Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 63

KAJIAN MUTU MINYAK SAWIT KASAR DAN ANALISIS

KARAKTERISTIK OLEIN SERTA STEARIN SEBAGAI HASIL


FRAKSINASINYA

SKRIPSI

RICKY ALBERTO SINAGA


F24070084

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
STUDY OF CPO'S QUALITY AND ANALYSIS OF CHARACTERISTICS
OF THE OLEIN AND STEARIN AS A RESULT OF PALM OIL FRACTIONATION

Ricky Alberto Sinaga, Slamet Budijanto, Nur Wulandari


Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor
Agricultural University, IPB Dramaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone: +6285695748663, email: rickyalbertosinaga@gmail.com

ABSTRACT

Crude Palm Oil (CPO) is a vegetable oil obtained from oil palm fruit extraction process
(Elais guinneensis) with reddish orange colour. Standards applicable in Indonesia for CPO released
by the National Standardization Agency stated in the document SNI 01-2901-2006 include free fatty
acids (maximum 0.5%), moisture and impurities (maximum 0.5%), iodine value (50-55 g yodium/100
g), and reddish orange. In addition to chemical characteristics, other characteristics CPO such as
carotene content and DOBI are also important to know as additional data. To increase the value-
added palm oil, fractionated CPO usually produces two components, namely liquid olein and stearin
with solid form. This study aims to obtain quality data CPO based on SNI-01-2901-2006, carotene,
DOBI, and investigate the characteristics of the olein and stearin. Analysis of five types of CPO
samples show different data on each CPO character. The result showed moisture content and
impurities 0.33-5.39%, free fatty acids 3.84-5.88%, iodine value 50.38-54.15 g yodium/100 g,
carotene content 428.28-815.56 ppm, and DOBI 1.34-3.11. The variation can be influenced by several
factors including the processing of each palm oil mill and palm fruit oil condition of maturity that will
be processed into crude palm oil. Fractination process carried out by melted CPO at 50 °C. The
melted CPO was cooled until 15 °C with cooling rate 5 °C/30 minutes. Then crystallization carried
out at 12°C for 16 hours. Separation was done by vacuum filter to get olein and stearin. The Olein
and stearin were produced from fractination were analyzed. The results showed iodine value, slip
melting point, and carotene content for olein consecutive 57.75-60.02 g yodium/100 g, 18.33-24 °C,
and 438-536 ppm. While for stearin iodine value 34.95-42.32 g yodium/100 g, slip melting point
50.33-52 °C, and carotene content 215-276 ppm. Olein and stearin have very different characteristics.

Keyword: CPO, Olein, Stearin, Fractination

ii
Ricky Alberto Sinaga. F24070084. Kajian Mutu Minyak Sawit Kasar dan Analisis Karakteristik
Olein serta Stearin sebagai Hasil Fraksinasinya. Di bawah bimbingan Slamet Budijanto dan Nur
Wulandari, 2011

RINGKASAN

Minyak sawit kasar (Crude Palm Oil) merupakan minyak nabati berwarna jingga kemerah-
merahan yang diperoleh dari proses ekstraksi daging buah kelapa sawit (mesocarp) tanaman Elais
guinensis Jacq. Minyak sawit kasar terdiri dari gliserida yang tersusun oleh serangkaian asam lemak.
Komponen utama minyak sawit adalah trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan mono
gliserida. Minyak sawit kasar berbentuk semipadat pada suhu kamar. Warna minyak sawit kasar yang
berwarna jingga kemerah-merahan disebabkan oleh komponen minor yang dmiliki CPO berupa
pigmen karoten. Kandungan karoten pada CPO berkisar antara 500-700 ppm. Kandungan karoten
yang tinggi membuat CPO berpotensi dimanfaatkan sebagai sumber vitamin A.
Badan Standarisasi Nasional (BSN) selaku lembaga yang berwenang menetapkan standar
mutu produk di Indonesia menetapkan standar minyak sawit kasar (cpo) seperti yang tertuang dalam
dokumen SNI-01-2901-2006 yaitu asam lemak bebas (maksimum 5%), kadar air dan kotoran
(maksimum 0.5%), bilangan yodium (50-55 g yodium/100 g), dan berwarna jingga kemerah-merahan.
Dengan adanya standar tersebut diharapkan minyak sawit kasar Indonesia memiliki mutu yang baik
dan seragam sesuai standar yang ditetapkan sehingga mampu bersaing di pasaran domestik maupun
global dengan minyak sawit kasar dari negara produsen CPO yang lain.
Selain persyaratan mutu yang telah ditetapkan oleh BSN, terdapat beberapa karakteristik lain
dari CPO yang perlu diketahui dan terkadang menjadi syarat mutu yang ditetapkan oleh negara
konsumen CPO. Karakteristik tersebut meliputi kadar karoten, densitas, slip melting point (titik leleh),
dan nilai Deterioration of Bleachibility Index (DOBI).
Minyak sawit kasar dapat dipisahkan menjadi dua fraksi. Fraksi yang dihasilkan berupa
fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin). Proses pemisahan fraksi-fraksi minyak sawit kasar
tersebut dikenal dengan istilah fraksinasi. Ada beberapa jenis metode fraksinasi yang sering
digunakan, antara lain dry fractination, lanza fractination, dan fraksinasi menggunakan pelarut. Pada
penelitian ini metode fraksinasi yang digunakan adalah metode dry fractination. Metode dry
fractination terdiri dari dua tahapan penting yaitu kristalisasi dan separasi.
Penelitian ini bertujuan untuk 1). Memperoleh data dan informasi lengkap mengenai
karakteristik minyak sawit kasar (crude palm oil) mencakup kadar air dan kotoran, kada asam lemak
bebas, bilangan yodium, kandungan karoten, nilai DOBI, densitas, dan slip melting point, 2)
menentukan tahapan fraksinasi beserta kondisi fraksinasi yang optimal untuk mendapatkan fraksi
dengan mutu yang diharapkan pada skala laboratorium, 3). Mengetahui karakteristik fraksi olein dan
stearin meliputi kandungan karoten, bilangan yodium dan slip melting point.
Hasil analisis mutu lima sampel CPO berdasarkan SNI-01-2901-2006 menghasilkan kadar air
dan kotoran berkisar antara 0.33% sampai 5.39%, kadar asam lemak bebas berkisar 3.84% sampai
5.8%, dan bilangan yodium antara 50.38-54.15 g iod/100 g. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan
mutu CPO tidak terlalu baik dan memiliki nilai yang tidak seragam. Hal tersebut dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain efisiensi selama pengolahan buah kelapa sawit menjadi minyak sawit
kasar di pabrik-pabrik kelapa sawit dan dapat juga disebabkan oleh kualitas buah sawit yang diolah.
Hasil analisis untuk karakter tambahan CPO meliputi analisis kandungan karoten dan nilai DOBI

iii
sebagai berikut: kandungan karoten CPO memiliki kisaran 428.28-815.56 ppm, untuk nilai DOBI
berkisar antara 1.34-3.11.
Fraksinasi CPO yang dilakukan dengan metode dry fractination menghasilkan dua produk
yaitu olein (fraksi cair) dan stearin (fraksi padat). Fraksinasi dilakukan dengan mula-mula sampel
CPO dipanaskan hingga suhu 50 °C. Sampel yang telah dipanaskan didinginkan hingga suhu 15 °C
dengan laju penurunan suhu 5 °C/30 menit. Setelah itu sampel CPO disimpan pada pendingin bersuhu
12 °C selama 16 jam. Kemudian dilakukan separasi untuk mendapatkan olein dan stearin. Analisis
dilakukan terhadap kedua prroduk fraksinasi tersebut meliputi analisis bilangan yodium, slip melting
point (titik leleh), dan kandungan karoten. Ketiga karakter ini dipilih untuk dianalisis karena karakter
tersebut mampu menunujukkan perbedaan antara olein dengan stearin.
Hasil analisis untuk bilangan yodium olein berada pada kisaran 57.75-60.02 g iod/100 g
sedangkan untuk stearin berada pada kisaran 34.95-42.32 g iod/100 g. Dari hasil analisis diketahui
perbedaan antara asam lemak penyusun olein dengan asam lemak penyusun stearin. Olein disusun
oleh asam lemak tak jenuh sehingga memiliki bilangan yodium yang lebih tinggi dibanding stearin
yang tersusun oleh asam lemak jenuh. Bilangan yodium pada olein dan stearin memiliki korelasi
dengan titik lelehnya. Olein memiliki titik leleh yang lebih rendah dibanding titik leleh stearin. Titik
leleh olein berkisar antara 18.33-24 °C sedangkan titik leleh stearin berkisar antara 50.33-52 °C. Hal
ini menunjukkan lemak/minyak yang disusun oleh asam lemak jenuh memiliki titik leleh yang lebih
tinggi dibanding lemak/minyak yang tersusun oleh asam lemak tidak jenuh.
Perbedaan karakterisrik olein dan stearin dapat juga dilihat dari perbedaan kandungan
karotennya. Karoten lebih banyak terdapat pada olein dibanding pada stearin. Kandungan karoten
pada olein berkisar antara 438 – 536 ppm sedangkan kandungan karoten stearin hanya berkisar antara
215 -276 ppm.

iv
KAJIAN MUTU MINYAK SAWIT KASAR DAN ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN
SERTA STEARIN SEBAGAI HASIL FRAKSINASINYA.

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh
RICKY ALBERTO SINAGA
F24070084

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

v
Judul Skripsi : Kajian Mutu Minyak Sawit Kasar dan Analisis Karakterisrik Olein serta
Stearin sebagai hasil Fraksinasinya
Nama : Ricky Alberto Sinaga
NIM : F24070084

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr) (Nur Wulandari STP, M.Si)


NIP. 19610502 198603 1 002 NIP 19741003 200003 2
001

Mengetahui,
Plt. Ketua Departemen.

(Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, MSi)


NIP 19610802 198703 2 002

Tanggal lulus :

vi
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Mutu
Minyak Sawit Kasar dan Analisis Karakteristik Olein serta Stearin sebagai Hasil
Fraksinasinya adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum
diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor Oktober 2011

Yang membuat pernyataan,

Ricky Alberto Sinaga

F24070084

vii
© Hak cipta milik Ricky Alberto Sinaga, tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari


Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak,
fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

viii
BIODATA PENULIS

Ricky Alberto Sinaga lahir di Desa Juhar, 10 Agustus 1989 sebagai anak kedua
dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan jenjang SD di SD
Negeri 102075 Juhar 1 (2001), jenjang SMP di SMP Negeri 1Bandar Khalifah
(2004), jenjang SMA di SMA Negeri 1 Tebing Tinggi (2007), dan jenjang S1 di
Institut Pertanian Bogor (2011) dengan mayor Ilmu dan Teknologi Pangan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam beberapa kegiatan
kemasiswaan di antaranya Pengurus Komisi Pembinaan Pemuridan (KPP) UKM
Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB (2009), anggota Divisi Dana dan Usaha
Kebaktian Awal Tahun Ajaran (KATA) 2008, anggota Divisi Logistik dan Transportasi acara LCTIP
(Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan) Nasional XVII (2009), anggota Divisi Logistik dan Transportasi
acara Pelatihan Sistem Manajemen Pangan Halal (PLASMA) (2009), anggota Divisi Tata Tertib
BAUR ITP IPB (2010). Penulis juga berkesempatan menjadi asisten praktikum mata kuliah dasar
umum agama Kristen Protestan (2008).

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga
karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul karya ilmiah ini adalah “Kajian Mutu Minyak Sawit
Kasar dan Analisis Karakteristik Olein serta Stearin sebagai Hasil Fraksinasinya”. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
karya ilmiah ini, yaitu :
1. Kedua orang tua, kakak, dan adik yang selalu setia memberikan dukungan, doa, dan kasih
sayang kepada penulis.
2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr selalu dosen pembimbing akedemik yang selalu
memberikan nasihat, masukan, dan dukungan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
3. Nur Wulandari STP, M.Si. selaku dosen pembimbing akedemik kedua yang selalu sabar
memberikan nasihat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.
4. Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc. selaku dosen penguji yang telah meluangkan
waktunya untuk menguji penulis dan memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini.
5. Kristina Paskianti, yang selalu sabar menemani penulis disaat suka dan duka sampai
penulis menyelesaikan karya ilmiah ini.
6. Teman-teman penelitian CPO, Desir, Hanna Meri, dan Renny, terima kasih atas bantuan
dan dorongan yang telah diberikan selama mengerjakan karya ilmiah ini.
7. Teman-teman praktikum golongan P1.
8. Teman-teman ITP 44 atas kebersamaannya selama kurang lebih empat tahun menjalani
studi di ITP.
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang teknologi pangan. Terima kasih.

Bogor, Oktober 2011

Ricky Alberto Sinaga

x
DAFTAR ISI

Halaman

BIODATA PENULIS ...................................................................................................................... ix


KATA PENGANTAR ...................................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN .................................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG ...................................................................................................... 1
B. TUJUAN ......................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................................... 3
A. KELAPA SAWIT ................................................................................................................ 3
B. PENGOLAHAN MINYAK SAWIT KASAR ................................................................... 4
C. KARAKTER FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT KASAR ............................................... 5
D. FRAKSINASI DAN KRISTALISASI .............................................................................. 9
III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................................................. 12
A.
ALAT DAN BAHAN .................................................................................................... 12
1. Alat ....................................................................................................................... 12
2. Bahan .................................................................................................................... 12
B. METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................................... 12
1. Persiapan Bahan dan Analisis Mutu CPO ............................................................... 12
2. Fraksinasi CPO ...................................................................................................... 13
3. Analisis olein dan stearin ....................................................................................... 14
C. METODE ANALISIS .................................................................................................... 14
1. Analisis kadar air ................................................................................................... 14
2. Analisis kadar kotoran (BSN 2006) ........................................................................ 14
3. Analisis asam lemak bebas (BSN 2006) ................................................................. 15
4. Analisis bilangan iod (BSN 2006) .......................................................................... 15
5. Analisis Kadar Karotenoid, Metode Spektrofotometri (PORIM 1995) .................... 15
6. Slip melting point (AOCS Official Methods Cc 3-25, 1993).................................... 16
7. Deterioration of Bleachability Index (DOBI) (Ketaren 2008).................................. 16
8. Recovery Karotenoid.............................................................................................. 16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................... 17
A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR.................................................................. 17
1. Kadar air dan kotoran............................................................................................. 17
2. Kadar asam lemak bebas ........................................................................................ 20
3. Bilangan iod .......................................................................................................... 21
4. Analisis karoten ..................................................................................................... 22
5. DOBI (Deterioration of Bleachability Index) .......................................................... 23
B. PENENTUAN TAHAP FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR ............................... 24
a. Proses I.................................................................................................................. 24
b. Proses II ................................................................................................................ 24
c. Proses III ............................................................................................................... 25

xi
C. ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN ............................................... 29
1. Bilangan iod .......................................................................................................... 29
2. Slip melting point ................................................................................................... 30
3. Kadar karoten ........................................................................................................ 30
V. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................................... 32
A. SIMPULAN ................................................................................................................... 32
B. SARAN ......................................................................................................................... 32

xii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Nilai Sifat Fisiko Kimia CPO .............................................................................................. 6
Tabel 2. Asam Lemak pada CPO dan Titik lelehnya .......................................................................... 6
Tabel 3. Kandungan Karoten pada CPO di Storage Tank dari 9 PKS.................................................. 7
Tabel 4. Densitas RBDPO ................................................................................................................. 8
Tabel 5. Hasil analisis olein Proses III ............................................................................................. 25

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Buah kelapa sawit (Osborne & Henderson 2000) .............................................................. 3
Gambar 2. Diagram alir penelitian................................................................................................... 13
Gambar 3. Kadar air sampel CPO.................................................................................................... 17
Gambar 4. Reaksi hidrolis minyak oleh air (Ketaren 2008) .............................................................. 18
Gambar 5. Kadar kotoran CPO........................................................................................................ 19
Gambar 6. Kadar air dan kotoran lima sampel CPO ......................................................................... 19
Gambar 7. Kandungan Asam lemak bebas CPO .............................................................................. 20
Gambar 8. Reaksi penentuan bilangan iod ....................................................................................... 21
Gambar 9. Bilangan iod sampel CPO .............................................................................................. 22
Gambar 10. Kandungan karoten sampel CPO .................................................................................. 22
Gambar 11. Nilai DOBI sampel CPO .............................................................................................. 23
Gambar 12. Diagram alir proses fraksinasi CPO terpilih .................................................................. 26
Gambar 13. CPO setelah pemanasan 50 °C ..................................................................................... 26
Gambar 14. Penurunan suhu CPO dalam waterbath......................................................................... 27
Gambar 15. CPO setelah proses kristalisasi dan siap untuk diseparasi .............................................. 27
Gambar 16. Proses separasi ............................................................................................................. 28
Gambar 17. Bilangan iod olein dan stearin ...................................................................................... 29
Gambar 18. Nilai slip melting point olein dan stearin ....................................................................... 30
Gambar 19. Kandungan karoten olein, stearin dan karoten awal ....................................................... 31

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
Lampiran 1. Hasil analisis kadar air sampel CPO............................................................................. 36
Lampiran 2. Hasil analisis kadar kotoran CPO ................................................................................. 37
Lampiran 3. Hasil analisis asam lemak bebas CPO .......................................................................... 38
Lampiran 4. Hasil analisis bilangan iod sampel CPO ....................................................................... 38
Lampiran 5. Hasil analisis kandungan karoten sampel CPO ............................................................. 39
Lampiran 6. Hasil analisis nilai DOBI sampel CPO ......................................................................... 40
Lampiran 7. Hasil analisis slip melting point CPO ........................................................................... 41
Lampiran 8. Hasil analisis bilangan iod olein................................................................................... 42
Lampiran 9. Hasil analisis bilangan iod stearin ................................................................................ 43
Lampiran 10. Hasil analisis karoten olein ........................................................................................ 44
Lampiran 11. Hasil Analisis karoten stearin..................................................................................... 45
Lampiran 12. Hasil analisis slip melting point olein ......................................................................... 46
Lampiran 13. Hasil analisis slip melting point stearin ...................................................................... 47
Lampiran 14. Recovery karoten proses fraksinasi terpilih ................................................................ 48
Lampiran 15. Gambar pengukuran slip melting point ....................................................................... 48
Lampiran 16. Gambar pipa kapiler pengukuran slip melting point .................................................... 48
Lampiran 17. Gambar olein hasil fraksinasi ..................................................................................... 48
Lampiran 18.Gambar stearin hasil fraksinasi ................................................................................... 48

xv
I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas andalan di sektor pertanian dan pangan.
Beberapa indikator perkembangan bisnis kelapa sawit yang dapat dilihat antara lain peningkatan
luas areal perkebunan kelapa sawit dan peningkatan produksi minyak sawit mentah. Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Perkebunan, produksi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO)
Indonesia pada tahun 2010 mencapai 19.8 juta ton dengan luas areal kelapa sawit 8.4 juta hektar
yang tersebar hampir di seluruh provinsi di wilayah Indonesia. Sedangkan untuk total ekspor
produk kelapa sawit dan turunannya pada tahun 2009 mencapai 21.2 juta ton dengan nilai US$
11.6 milyar.
Besarnya produksi minyak sawit Indonesia diikuti dengan terjadinya keragaman kualitas
minyak sawit yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, perbedaan varietas kelapa sawit, tingkat kematangan
buah sawit yang diolah, dan proses pemanasan di unit pengolahan kelapa sawit. Selain itu,
infrakstruktur kebun yang tidak baik dan cuaca buruk menyebabkan buah menginap (restan), dan
dapat menyebabkan penurunan kualitas CPO (Hasibuan & Harijanto 2004).
Selain parameter kimia yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dalam
dokumen SNI 01-2901-2006, parameter mutu yang menjadi perhatian dalam perdagangan CPO di
pasaran internasional yaitu kandungan karoten dan nilai Deterioration of Bleachability Index
(DOBI). Pada tahun 2007 BSN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah melakukan karakterisasi CPO dari
181 pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia, yang menunjukkan bahwa kadar karoten pada CPO
Indonesia berkisar 400-700 ppm dan membuktikan bahwa kadar karoten pada sebagian CPO
Indonesia belum sesuai dengan persyaratan Codex Alimentarius Commision (CAC 2003). Standar
CAC (2003) yang digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional menetapkan bahwa
persyaratan kadar karoten CPO 500-2000 ppm sebagaimana tercantum dalam Codex Standard for
Named Vegetable Oils CODEX STAN 210 (Amended 2003, 2005) (Hasibuan & Harijanto 2004).
Nilai DOBI pada beberapa CPO di Indonesia berada di bawah 2.8. Nilai DOBI minimal yang
ditetapkan oleh kebanyakan negara tujuan ekspor sebesar 2.8, nilai ini berdasarkan ketentuan
dalam Codex Alimentarius Commision. Dengan demikian nilai DOBI CPO Indonesia masih
dibawah standar dan dianggap memiliki mutu yang kurang baik (Anonim 2004).
Salah satu keunggulan yang dimiliki minyak sawit yaitu tingginya kandungan karotenoid
yang dimilikinya. Minyak sawit kasar memiliki kandungan karoten sekitar 500-700 ppm (Mustapa
et al. 2010). Karoten terutama dari jenis β-karoten merupakan prekursor vitamin A dalam
metabolisme tubuh manusia, senyawa antikanker, dapat mencegah penuaan dini dan penyakit
kardiovaskuler, menanggulangi kebutaan akibat xeropthalmia, pemusnah radikal bebas,
mengurangi penyakit degeneratif, meningkatkan kekebalan tubuh, dan dapat menurunkan
atherosclerosis. Karena begitu banyak manfaatnya, karotenoid pada minyak sawit hendaknya
dipertahankan dengan mengubah minyak sawit menjadi beberapa produk, seperti minyak kaya
karotenoid, konsentrat karotenoid atau zat pewarna yang aman. Di Indonesia, sebagian besar
produk olahan dari karotenoid masih diimpor dan harganya relatif mahal. Tahap bleaching dalam
pemurnian minyak sawit konvensional dapat mendegradasi karotenoid dalam minyak sawit karena
digunakannya bleaching earth yang dapat menjerap karotenoid. Beberapa koreksi dilakukan di
tahap-tahap pemurnian minyak sawit, terutama dengan penghilangan tahap bleaching. Koreksi ini
menghasilkan minyak sawit yang kaya karotenoid, yang dikenal sebagai minyak sawit merah (red
palm oil). Minyak sawit merah adalah minyak sawit yang diperoleh tanpa melalui proses
pemucatan (bleaching) dengan tujuan mempertahankan kadar karotenoid yang terkandung di
dalamnya.
Minyak sawit kasar dapat difraksinasi menjadi dua fraksi. Fraksi cair yang dikenal dengan
olein dan fraksi padat atau disebut juga stearin. Fraksi olein sering digunakan sebagai minyak
goreng sedangkan fraksi stearin dimanfaatkan menjadi margarin. Fraksi olein yang diperoleh
memiliki kandungan karoten yang lebih tinggi dibanding pada fraksi stearin. Hal ini disebabkan
karena karoten diduga lebih bersifat polar daripada trigliserida. Asam lemak tidak jenuh
mempunyai kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuh sehingga karoten yang
mempunyai ikatan rangkap lebih mudah larut dalam olein yang banyak mengandung asam lemak
tidak jenuh (Casiday & Frey 2001).
Fraksinasi minyak sawit dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu fraksinasi kering,
fraksinasi basah, dan fraksinasi dengan menggunakan pelarut. Fraksinasi kering lebih disukai
karena biaya operasionalnya lebih rendah, tekniknya lebih sederhana, ramah lingkungan, dan
menghasilkan yield olein paling tinggi diantara metode fraksinasi lain (O’Brien 2000). Fraksinasi
kering dilakukan melalui dua tahap, yaitu kristalisasi dan separasi. Selain keberhasilan proses
kristalisasi, kondisi separasi yang optimum juga penting agar efisiensi fraksinasi tercapai (O’Brien
2000).
Untuk memperoleh minyak sawit merah proses fraksinasi dilakukan setelah CPO terlebih
dahulu dimurnikan atau dalam bentuk neutralized deodorized red palm oil (NDRPO). Produksi
minyak sawit merah akan lebih efisien jika CPO terlebih dahulu difraksinasi kemudian
dimurnikan. Apabila CPO dimurnikan terlebih dahulu baru kemudian difraksinasi akan
membutuhkan energi dan bahan kimia yang lebih besar dibanding jika CPO terlebih dahulu
difraksinasi karena masih terdapat stearin yang sebenarnya menjadi bahan samping dalam
pembuatan minyak sawit merah. Di lain pihak proses fraksinasi pada CPO lebih sulit dilakukan
karena CPO masih mengandung komponen-komponen minor berupa getah atau lendir-lendir yang
terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, air, dan resin. Komponen minor tersebut dapat
mengganggu proses pemisahan olein dan stearin (Ketaren 1986). Oleh karena itu penentuan
kondisi proses fraksinasi CPO penting untuk dilakukan untuk memperoleh olein dan stearin
dengan karakteristik terbaik. Adapun parameter yang digunakan untuk menentukan kualitas fraksi
yang dihasilkan meliputi bilangan iod, kandungan karoten, dan slip melting point.

B. TUJUAN

Penelitian ini bertujuan untuk (1) memperoleh data mengenai profil mutu minyak sawit
kasar (CPO) yang dihasilkan beberapa produsen CPO di Indonesia mencakup kadar air, kadar
asam lemak bebas, kadar kotoran, bilangan iod, kadar karoten, dan DOBI; (2) menentukan tahapan
fraksinasi beserta kondisi fraksinasi yang sesuai untuk mendapatkan fraksi dengan mutu yang
diharapkan pada skala laboratorium; (3) mengetahui karakteristik fraksi olein dan stearin yang
dihasilkan.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KELAPA SAWIT

Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan
palma yang termasuk tanaman tahunan. Tanaman ini adalah tanaman berkeping satu yang masuk
dalam genus Elais, family Palmae, kelas divisio Monocotyledonae, subdivisio Angiospermae
dengan divisio Spermatophyta. Nama Elaeis berasal dari kata Elaion yang berarti minyak dalam
bahasa Yunani, guineensis berasal dari kata Guinea yang berarti Afrika. Jacq berasal dari nama
botanis Amerika yang menemukannya, yaitu Jacquine. Tanaman ini tumbuh pada iklim tropis
dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan suhu 22-32 °C (Harley 1997). Kelapa sawit berasal dari
Afrika Barat dan di Indonesia tanaman ini pertama kali ditanam di Kebun Raya Bogor oleh orang
Belanda pada tahun 1848 (Sambanthamurthi et al. 2000).
Kelapa sawit mulai berbuah pada umur 3-4 tahun. Kematangan buah yang optimum adalah
pada umur 15-17 minggu setelah pembuahan. Untuk memperoleh kelapa sawit yang baik, panen
kelapa sawit dilakukan pada saat kadar minyak mesokarpnya maksimum dan kandungan asam
lemak bebasnya minimum, yaitu saat buah mencapai tingkat kematangan tertentu yang dilihat dari
warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada setiap tandan. Kadar minyak sawit dan
minyak inti sawit yang tertinggi diperoleh dari buah sawit yang berumur 16 minggu (Ketaren
1986). Kriteria kematangan dapat dilihat dari warna kulit buah dan jumlah buah yang rontok pada
tiap tandan. Kenaikan jumlah buah yang rontok 5-74% menunjukkan kenaikan kandungan minyak
pada mesokarp sebesar 5% dan kadar asam lemak bebas meningkat dari 0.5% menjadi 2.9%
(Ketaren 1986).
Ada beberapa varietas tanaman sawit. Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging
buahnya, tanaman sawit dibedakan atas dura (tebal, bentuk buah tidak teratur), delidura (tebal,
bentuk buah bulat), tenera (tipis, bentuk buah bulat), dan psivera (inti buah kecil, bentuk buah
bulat). Sedangkan berdasarkan warna kulit buahnya tanaman sawit dibedakan atas nigricens
(merah kehitaman), virescens (merah terang), dan albescens (hitam) (Ketaren 1986).
Buah sawit berukuran kecil antara 12-18 g/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri
dari 10-18 butir tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir bersatu membentuk
tandan. Buah sawit yang dipanen dalam bentuk tandan disebut dengan tandan buah sawit.

Gambar 1. Buah kelapa sawit (Osborne & Henderson 2000)


Buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah (perikarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa
sawit terdiri dari tiga lapis yaitu lapisan luar atau kulit buah yang disebut perikarp, lapisan sebelah
dalam disebut mesokarp atau pulp, dan lapisan paling dalam disebut endokarp. Inti kelapa sawit
terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm, dan embrio. Mesokarp mengandung kadar minyak
rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel) mengandung minyak sebesar 44%, dan endokarp tidak
mengandung minyak.

B. PENGOLAHAN MINYAK SAWIT KASAR

Minyak kelapa sawit adalah minyak yang diperoleh dari proses ekstraksi daging buah
kelapa sawit (mesokarp) tanaman Elais guineensis Jacq. Kelapa sawit menghasilkan dua jenis
minyak yang berlainan sifatnya, yaitu crude palm oil atau CPO dan palm kernel oil atau PKO.
CPO adalah minyak yang berasal dari serabut (mesokarp) kelapa sawit, sedangkan PKO adalah
minyak yang berasal dari inti (kernel) kelapa sawit (Hariyadi 2010). Perbedaan kedua jenis minyak
ini terletak pada kandungan asam lemaknya. Minyak inti sawit mengandung asam kaproat dan
asam kaprilat yang tidak terdapat dalam minyak sawit kasar dan perbedaan lainnya adalah adanya
pigmen karotenoid yang berwarna kuning merah pada minyak sawit yang tidak terdapat pada
minyak inti sawit. Tahapan pengolahan buah kelapa sawit menjadi minyak sawit kasar dijelaskan
sebagai berikut (Naibaho 1998):

1. Penerimaan buah
Tandan buah segar (TBS) hasil pemanenan harus segera diolah lebih lanjut. Pada buah
yang tidak segera diolah, maka kandungan asam lemak bebasnya semakin meningkat. Untuk
menghindari hal tersebut, maksimal 8 jam setelah panen, TBS harus segera diolah. Untuk
mendapat CPO dengan kualitas yang baik maka harus dilakukan sortasi tandan buah segar
dengan memperhatikan tingkat kerusakan buah yang minimal dan tingkat kematangan yang
optimal.
2. Sterilisasi dan Perontokan
Tandan buah yang telah disortir kemudian direbus dalam suatu tempat perebusan
(sterilizer) atau dalam ketel rebus pada suhu 143 °C dengan tekanan 3 kg/cm2 selama 60 menit.
Akhir perebusan ditandai dengan beberapa gejala, antara lain bau buah yang gurih, empuk, dan
buah mudah rontok. Buah yang sudah direbus kemudian dimasukkan ke dalam alat perontok.
Proses sterilisasi mempunyai tujuan antara lain:
a. Menghentikan aktivitas enzim lipase. Terhentinya proses enzim lipase akan mengurangi
kerusakan bahan, antara lain akibat penguraian minyak menjadi asam lemak bebas..
b. Menggumpalkan protein dalam buah sawit, penggumpulan protein bertujan agar protein
tidak ikut terekstrak pada waktu pengepresan minyak (ektraksi).
c. Memudahkan pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang.
d. Memperlunak daging buah sehingga mempermudah proses ekstraksi.
3. Pelumatan
Tahap pelumatan ini bertujuan untuk melumatkan biji sawit sehingga daging buah
mudah terlepas dari biji serta memudahkan pengeluaran minyak pada tahap pengepresan.
Kondisi optimum pada tahap ini yaitu pada suhu 95-100 ºC selama 20 menit. Tahapan
pelumatan ini dilakukan pada silinder vertikal yang dilengkapi dengan empat pisau pengaduk
dan satu set pisau pelempar yang berputar berlawanan arah.

4
4. Ekstraksi
Ekstraksi minyak dilakukan menggunakan screw press yang terintegrasi langsung
dengan alat pelumat (digester). Pada tahap ini dihasilkan dua produk yaitu (1) campuran antara
minyak, air, dan benda padat lainnya; (2) Padatan berupa serat mesokarp buah sawit dan biji
sawit hasil pemisahan dari buah.
5. Pemurnian minyak
Proses ini bertujuan untuk memperoleh minyak sebanyak-banyaknya dan menghasilkan
CPO dengan kadar asam lemak bebas, kadar air, dan kadar kotoran yang sesuai dengan standar.
Minyak kasar yang berasal dari hasil ekstraksi memiliki komposisi rata-rata 66% minyak, 24%
air, dan 10% padatan bukan minyak (nonoily solids). Karena tingginya proporsi padatan yang
masih terdapat pada minyak maka harus dilakukan penambahan air panas agar padatan tersebut
larut dengan air. Kemudian minyak disaring untuk memisahkan padatan tersebut. Selanjutnya
minyak kasar dimasukkan ke dalam tangki yang berfungsi sebagai tempat penampungan
minyak sawit kasar sementara sebelum mengalami proses pemurnian yang lebih lanjut. Minyak
berada pada lapisan atas dipompakan menuju continuous settling tank (CST) sedangkan
kotoran yang masih mengandung sekitar 10% minyak dialirkan ke parit untuk dikumpulkan
kembali ke dalam main settling tank. Di dalam CST minyak dipisahkan dari kotoran dengan
cara pengendapan. Fraksi berat akan bergerak ke bawah tank sedangkan fraksi ringan akan
bergerak menuju ke atas. Suhu berpengaruh terhadap viskositas minyak. Semakin tinggi suhu
minyak semakin kecil viskositasnya. Untuk mempermudah pemisahan minyak dari kotoran dan
air maka viskositas minyak diperkecil, salah satu caranya dengan pemanasan. Berdasarkan
viskositas maka suhu yang paling tepat digunakan suhu lebih besar dari 90 °C.
6. Pengering hampa
Pada pengering hampa air dikeluarkan dengan sistem pengkabutan minyak di dalam
ruang hampa sampai air tersisa 0.1%. Suhu minyak yang masuk antara 90 – 95°C dengan
tekanan vakum 30 bar. Minyak terhisap ke dalam tabung hampa melalui nozzle sampai seperti
kabut. Uap air terhisap oleh ejector dan masuk ke dalam kondensor secara bertahap dan
akhirnya ditampung.
7. Penyimpanan minyak sawit kasar
Minyak hasil produksi yang akan dipasarkan ditampung dalam tangki timbun. Bagian
dalam tangki timbun umumnya dilapisi dengan bahan yang terbuat dari epoksi untuk mencegah
kontaminasi logam besi yang berasal dari bahan tangki timbun. Suhu tangki timbun dikontrol
pada suhu antara 32-40°C. Suhu ini cukup untuk meminimalkan kerusakan akibat pemanasan
dan mampu mencegah minyak memadat.

C. KARAKTER FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT KASAR

Seperti minyak lain pada umumnya, minyak sawit juga disusun oleh trigliserida. Lebih dari
95% minyak sawit disusun oleh campuran trigliserida dan sisanya adalah komponen minor seperti
karotenoid, tokoperol, alkohol alifatik, sterol dan lain-lain. Trigliserida tersusun atas tiga asam
lemak. Asam lemak dominan yang terdapat pada minyak sawit adalah asam lemak palmitat (Hart
2003).
Sifat fisiko-kimia minyak sawit kasar (CPO) meliputi warna, bau dan flavour, kelarutan,
polimorphism, titik didih (boiling point), titik pelunakan, slip melting point, bobot jenis, indeks
bias, titik kekeruhan (turbidity point), titik asap, titik nyala dan titik api (Ketaren 1986). Sifat
fisiko-kimia tersebut sangat penting untuk menentukan kualitas CPO selain dapat juga digunakan

5
untuk informasi dalam pengolahan lebih lanjut. Nilai sifat fisiko kimia CPO dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Sifat Fisiko Kimia CPO

Sifat Fisiko Kimia Nilai


Trigliserida 95%
Asam lemak bebas 5-10%
Warna (5¼ lovibond cell) Merah orange
Kelembaban dan impurities 0.15%-3.0%
Bilangan peroksida 1-5.0 (meq/kg)
Bilangan anisidin 2-6 (meq/kg)
Kadar β-karoten 500-700 ppm
Kadar fosfor 10-20 ppm
Kadar besi 4-10 ppm
Kadar tokoferol 600-1000 ppm
Digliserida 2-6%
Bilangan asam 6.9 mg KOH/g minyak
Bilangan penyabunan 224-249 mg KOH/g minyak
Bilangan iod (wijs) 44-54
Titik leleh 21-24 °C
Indeks refraksi 36.0-37.5
Sumber : Ketaren (1986)

Minyak sawit memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam
oleat. Kandungan asam palmitat pada kelapa sawit sebesar 39-45%, sedangkan asam oleat sebesar
37- 44% (Ketaren 2008). Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan
terhadap oksidasi dibanding jenis minyak nabati lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik leleh asam
oleat lebih rendah dibandingkan asam palmitat yaitu 14 °C. Kandungan asam lemak minyak
kelapa sawit dan titik lelehnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Asam Lemak pada CPO dan Titik lelehnya
Jenis Asam lemak Komposisi (%) Titik leleh (°C)
Asam kaprat (C10:0) 1-3 31.5
Asam laurat (C12:0) 0-1 44
Asam miristat (C14:0) 0.9-1.5 58
Asam palmitat (C16:0) 39.2-45.8 64
Asam stearat (C18:0) 3.7-5.1 70
Asam oleat (C18:1) 37.4-44.1 14
Asam linoleat (C18:2) 8.7- 12.5 -11
Asamlinoleat (C18:3) 0-0.6 -9
Sumber : Ketaren (2008)

6
Bau dan flavour dalam minyak terdapat secara alami, juga terjadi akibat adanya asam-asam
lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak seperti alkana yang mempunyai jumlah atom C
antara empat dan tujuh, senyawa trans-2-alkena dengan jumlah atom C antara lima dan delapan,
senyawa 2-alkil furan dengan jumlah atom C sebanyak satu, dua, empat dan lima, serta
hidrocarbon alifatik dan aromatik. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit ditimbulkan oleh
persenyawaannya beta ionone (Ketaren 1986).
Menurut Choo et at. (1989) CPO terdiri dari gliserida yang tersusun oleh asam lemak.
Komponen utamanya adalah trigliserida dengan sebagian kecil digliserida dan monogliserida.
CPO juga mengandung komponen minor lain seperti asam lemak bebas dan komponen non
trigliserida. Komponen non trigliserida pada CPO menyebabkan bau dan rasa tidak enak pada
minyak, berpengaruh terhadap warna minyak, dan mempercepat proses ketengikan minyak. Oleh
karena itu komponen non triglserida pada minyak dapat mempersingkat umur simpan minyak.
CPO berbentuk semi padat pada suhu kamar, hal ini disebabkan karena tingkat kejenuhan
CPO yang mencapai 50%. Minyak sawit memiliki ketahanan yang baik terhadap panas dan
oksidasi dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga minyak sawit sangat baik sebagai bahan
baku minyak goreng (Hariyadi 2010).
CPO berwarna jingga kemerah-merahan disebabkan oleh pigmen karoten yang larut dalam
minyak. Kandungan karoten pada minyak sawit dapat mencapai 1000 ppm atau lebih, tetapi dalam
minyak dari jenis tenera kurang lebih 500-700 ppm (Ketaren 1986).
Menurut Hasibuan dan Harianto (2008), kandungan karoten minyak sawit pada pabrik
kelapa sawit (PKS) yang ada di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan
Kalimantan Selatan memiliki konsentrasi yang berbeda-beda. Kandungan karoten pada masing-
masing PKS tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan Karoten pada CPO di Storage Tank dari 9 PKS

Nama PKS Kadar Karoten (ppm)


PKS A 513
PKS B 486
PKS C 584
PKS D 509
PKS E 564
PKS F 547
PKS G 526
PKS H 637
PKS I 590
Sumber : Hasibuan dan Harijanto (2008)
Keterangan : PKS A, PKS B, PKS C berlokasi di Sumatera Utara.
PKS D dan PKS E berlokasi di Sumatera Barat.
PKS F dan PKS G berlokasi di Sumatera Selatan.
PKS H dan PKS I berlokasi di Kalimantan Selatan.

Menurut Ong et al. (1995), karakteristik fisik dasar minyak sawit mencakup berat jenis
(density), panas jenis (specific heat), panas lebur (heat of fusion), dan kekentalan (viscosity).

7
Karakteristik empiris minyak sawit antara lain titik leleh (melting point), dan kandungan lemak
padat (solid fat content), serta fase polimorfisme lemak sawit.
Densitas minyak sawit berguna di dalam penentuan berat bahan khususnya untuk keperluan
ekspor. Suhu berpengaruh pada densitas minyak, dimana suhu yang semakin tinggi akan
menurunkan nilai densitas minyak sawit (Ong et al. 1995). Data densitas minyak sawit yang telah
dimurnikan (refined bleached deodorized palm oil/RBDPO) pada beberapa suhu dapat dilihat pada
Tabel 4.

Tabel 4. Densitas RBDPO


Suhu (°C) Densitas (kg/m3)
50 891
75 874
100 857
200 789
Sumber : Ong et al. (1995)

Menurut Ong et al. (1995), pada kondisi cair, panas jenis (Cp) akan sedikit meningkat
dengan bertambahnya berat molekul tetapi sedikit menurun dengan meningkatnya bilangan iod.
Secara praktis, panas jenis minyak, termasuk minyak sawit dapat dihitung dengan Persamaan (1).
Cp = 0.47 + 0.0073 T kkal/kg
(1)
dimana T adalah suhu minyak (°C).

Titik leleh minyak sawit berada dalam kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit
mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik leleh yang berbeda-beda
(Ketaren 1986). Ong et al. (1995) mengemukakan bahwa titik leleh minyak sawit ditentukan
dengan metode slip melting point (SMP). Suatu survey di Malaysia telah berhasil mengetahui
kisaran nilai SMP dari CPO yaitu antara 30.8-37.6oC. Nilai SMP RBDPO sedikit mengalami
peningkatan yaitu menjadi 34.0-39.0oC.
Minyak sawit terdiri dari dua fraksi yaitu fraksi olein dan stearin. Stearin merupakan fraksi
yang lebih padat, dan merupakan co-product yang diperoleh dari minyak sawit bersama-sama
dengan fraksi olein. Stearin memiliki slip melting point pada kisaran 46-56 oC, sedangkan olein
pada kisaran 13-23 oC. Hal ini menunjukkan bahwa stearin memiliki slip melting point yang lebih
tinggi dan akan berada dalam bentuk padat pada suhu kamar (Pantzaris 1994).
Basiron (2005) mengungkapkan bahwa struktur TAG minyak sawit sangat menentukan
karakteristik fisik minyak sawit tersebut. Titik leleh TAG dan sifat kristalisasi minyak sawit
ditentukan oleh struktur dan posisi asam lemak di dalamnya. Sifat minyak sawit yang semi padat
pada suhu kamar disebabkan oleh kandungan fraksi oleo dengan kandungan dua asam lemak jenuh
(oleo-disaturated fraction). Pada minyak sawit juga terkandung pecahan dari TAG yang diketahui
sangat mempengaruhi sifat kristalisasi minyak sawit.

8
D. FRAKSINASI DAN KRISTALISASI

Menurut Gunstone dan Padley (1997), fraksinasi merupakan proses thermomechanical di


mana bahan dasar dipisahkan menjadi dua atau lebih fraksi. Proses ini dilakukan dalam dua tahap,
yaitu proses kristalisasi dengan cara mengatur kondisi suhu dan filtrasi dengan penyaringan.
Proses fraksinasi dijelaskan oleh Winarno (1997) dengan mekanisme dimana lemak
didinginkan sehingga menyebabkan hilangnya panas dan memperlambat gerakan molekul. Jarak
antar molekul menjadi lebih kecil. Pada jarak tertentu terjadi gaya van der Waals dimana radikal
asam lemak saling bertumpuk membentuk kristal yang spesifik tergantung jenis asam lemaknya
dan terjadilah pemisahan. Fraksi kristal yang diperoleh mempunyai titik leleh yang lebih tinggi
daripada fraksi cair (Moran & Rajah 1994).
Mekanisme pembentukan kristal karena penurunan suhu diawali dengan melambatnya
gerakan termal molekul-molekul minyak karena hilangnya panas. Kondisi ini menyebabkan jarak
antara molekul-molekulnya lebih kecil. Jika jarak antara molekul tersebut mencapai 5 Å, maka
akan timbul gaya tarik menarik antar molekul yang disebut gaya van der Waals. Akibatnya,
asam-asam lemak dalam molekul minyak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta
berikatan membentuk kristal. Kristal-kristal yang terbentuk ini berbeda sifat dan titik lelehnya.
Fardiaz et al. (1992) menambahkan bahwa gaya tarik menarik pada pembentukan kristal minyak
tidak hanya oleh gaya van der Waals, tetapi juga karena adanya ikatan hidrogen. Ikatan hidrogen
dapat menyebabkan molekul-molekul tertarik satu sama lain. Apabila rantai molekul minyak
cukup panjang, maka daya tarik kumulatif dapat menyebabkan asam-asam lemak dalam molekul
minyak berjejer secara paralel membentuk kristal.
Pemadatan lemak akibat proses kristalisasi merupakan proses yang tidak sederhana.
Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat
menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Faktor-faktor tersebut juga menentukan
bentuk struktur kristalin produk berlemak. Proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi
lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan dengan kondisi lewat dingin (supercooling), sehingga
akan terjadi pembentukan inti (nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth) (Lawler &
Dimick 2002).
Proses kristalisasi mempunyai tahap yang berlanjut secara simultan. Tahap pertama adalah
pembentukan partikel kecil, yang disebut dengan inti (nucleid). Pembentukan inti terjadi saat
beberapa molekul lemak berkumpul membentuk agregat dan energi potensialnya turun sampai
nilai minimum. Tahap kedua dalam proses kristalisasi adalah pertumbuhan inti. Inti kristal dapat
tumbuh menjadi kristal bila probabilitas molekul lemak untuk teradsorpsi di permukaan inti kristal
cukup besar. Semakin besar agregat yang terbentuk, semakin rendah energi potensialnya dan
probabilitas untuk mengadsorpsi molekul lemak semakin besar. Minyak yang mengalami
kristalisasi membentuk molekul yang rigid, beraturan, dan berbentuk tiga dimensi (Fardiaz et al.
1992).
Kristalisasi terjadi dalam dua tahap, yaitu pendinginan cairan atau triasilgliserol yang
dilelehkan untuk memicu terbentuknya inti kristal, yang memiliki bentuk dan ukuran tertentu yang
akan menentukan efisiensi separasi (Krishnamurthy & Kellens 1996). Suhu, waktu proses, dan
pengadukan menjadi tiga faktor mendasar dalam pembentukan dan timbulnya sifat kristal (Pahan
2007). Penurunan suhu menyebabkan komponen yang memiliki titik leleh tinggi menjadi super
jenuh sehingga terpisah dari fase larutan. Pengadukan selama proses kristalisasi memfasilitasi
pembentukan kristal-kristal kecil. Selanjutnya, suhu rendah akan menyebabkan pengendapan yang
meningkatkan pembentukan kristal-kristal yang lebih panjang (Pahan 2007).

9
Kristalisasi dilakukan untuk membentuk struktur kristalin pada triasilgliserol yang
membuatnya padat (solid). Ada tiga jenis strutur kristalin yang dikenal, yaitu struktur heksagonal
(bentuk kristal ), orthorhombic (bentuk ’), dan triclinic (bentuk ) (Krishnamurthy & Kellens
1996). Bentuk adalah bentuk yang tidak stabil dan bentuk merupakan bentuk yang paling
stabil. Namun tidak semua minyak atau lemak kristalnya stabil pada bentuk beta. Ada minyak atau
lemak yang stabil pada bentuk kristal’, seperti minyak sawit lebih stabil pada bentuk kristal ’.
Ketiga jenis struktur kristal ini berbeda dalam hal tingkat kristalisasi, stabilitas kristal yang
dibentuk, dan energi aktivasi. Struktur heksagonal memiliki energi aktivasi terendah, tingkat
kristalisasi tertinggi, namun stabilitas kristal terendah. Stabilitas kristal struktur triclinic (bentuk )
paling tinggi diantara struktur lain namun tingkat kristalisasinya paling rendah dan energi
aktivasinya paling tinggi. Struktur orthorhombic (bentuk ’) memiliki tingkat kristalisasi, stabilitas
kristal, dan energi aktivasi yang medium (Krishnamurthy & Kellens 1996).
Kristalisasi ditujukan untuk membentuk struktur kristalin orthorhombic (bentuk ’) melalui
kontrol suhu dan pengadukan. Minyak sawit dipanaskan pada suhu 75 °C. Setelah itu
kehomogenannya dijaga pada suhu 70 °C sebelum dikristalkan. Prinsipnya adalah menghancurkan
kristal yang terlanjur ada dan mengarahkan proses pada lingkungan crystallizer yang terkendali
(Pahan 2007). Minyak sawit didinginkan hingga suhu 5-10°C sambil dilakukan agitasi terkontrol
lalu dijaga selama beberapa waktu (minimal 6 jam) untuk memulai pembentukan dan stabilisasi
kristal. Setelah stabilisasi, suhu minyak secara normal akan naik hingga sekitar 15 °C sehingga
menurunkan viskositasnya dan memudahakan separasi (Krishnamurthy & Kellens 1996).
Menurut Timms (1997), desain optimal untuk proses kristalisasi yang mencukupi harus
memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Permukaan pendinginan (cooling surface) yang mencukupi, dengan ukuran tangki (vessel)
pada umumnya 2 m2/m3; 3 – 4 m2/m3)
2. Perbedaan suhu antara media pendingin dengan minyak tidak boleh terlalu besar, maksimal
3 oC dan dianjurkan 1 oC, walaupun perbedaan suhu ini dapat terjadi lebih tinggi pada
periode awal pendinginan sebelum proses kristalisasi mulai terjadi, dan sangat bermanfaat
bila perbedaan suhu dapat divariasikan secara sistematis.
3. Agitasi yang lambat namun efektif untuk membantu proses transfer panas dan
mempertahankan suhu yang seragam, namun tetap dapat mencegah terjadinya kerusakan
pada kristal.
4. Pendinginan yang lambat untuk menjamin bahwa proses kristalisasi terjadi pada kondisi yang
sedekat mungkin dengan kondisi kesetimbangan. Waktu kristalisasi pada proses fraksinasi
pada umumnya dilakukan selama 10 – 30 jam.
Menurut Che dan Swe (1995) pendinginan yang relatif cepat akan menghasilkan kristal
yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju lambat. Bila pada
lemak terlalu banyak kristal-kristal kecil (dari tipe kristal α), struktur lemak akan menjadi terlalu
rapat. Kapiler antar padatan akan menyempit, dan mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci
dengan cairan yang ada disekelilingnya. Pendinginan yang terlalu lama akan memperlambat
pembentukan kristal yang disebabkan oleh penurunan energi potensial yang tidak secara tiba-tiba.
Bentuk kristal yang dihasilkan adalah bentuk seperti jarum halus dengan bentuk polimorfis beta
intermediet (Oh et al. 1990). Kristal yang terlalu halus dan terlalu kecil dapat mengakibatkan
pemisahan tidak efisien (Tirtaux 1990).
Menurut Hamilton (1995), minyak sawit kasar berbentuk semipadat pada suhu 25 ºC.
Minyak sawit yang disimpan di tempat dingin pada suhu 5-7 ºC dapat terpisah menjadi fraksi
padat (stearin) dan fraksi cair (olein). Pahan (2007) mengemukakan bahwa fraksinasi minyak

10
sawit dapat terjadi karena trigliserida di dalam minyak sawit memiliki titik leleh yang berbeda.
Pada suhu tertentu, trigliserida yang mempunyai titik leleh lebih rendah akan mengkristal menjadi
padatan sehingga memisahkan minyak sawit menjadi fraksi cair (olein) dan fraksi padat (stearin).
Menurut Choo et al. (1989), fraksinasi minyak kelapa sawit dapat menghasilkan olein
sebesar 70-80% dan stearin 20-30%. Olein merupakan triasilgliserol yang bertitik leleh rendah dan
mengandumg asam oleat dengan kadar yang lebih tinggi dibandingkan dengan stearin. Olein dan
stearin mempunyai komposisi asam lemak yang berbeda.
Pemisahan olein dan stearin dalam minyak sawit cukup sulit karena minyak memiliki
viskositas yang tinggi. Metode yang biasa digunakan dalam proses pemisahan stearin dan olein
yaitu dry fractination, lanza fractination (lipofraksinasi), dan fraksinasi menggunakan pelarut.
Menurut Moran dan Rajah (1994), fraksinasi kering (dry fractination) biasa dilakukan secara semi
kontinyu pada minyak yang dimurnikan. Proses ini tidak membutuhkan bahan kimia tetapi minyak
dihomogenkan pada suhu 70 ºC. Dry fractination biasanya menghasilkan olein sebanyak70-75%.
Lanza fractination (fraksinasi deterjen) biasanya dilakukan pada minyak sawit kasar.
Minyak didinginkan pada crystallizer dengan pendingin air untuk mendapatkan kristal dari
gliserida dengan titik leleh tinggi. Ketika suhu yang diinginkan tercapai, massa yang mengkristal
dicampur dengan larutan deterjen yang mengandung 0.5% natrium lauril sulfat dan MgSO4
sebagai elektrolit. Pemisahan berlangsung dalam suspensi cair. Kemudian dilakukan sentrifugasi
agar fraksi olein dan fraksi stearin terpisah. Fraksi olein kemudian dicuci dengan air panas untuk
menghilangkan sisa deterjen lalu dikeringkan dengan vacuum dryer. Olein yang diperoleh
mencapai 80% (Moran & Rajah 1994).
Solvent fractination merupakan fraksinasi menggunakan pelarut. Proses ini relatif mahal
karena terjadi penyusutan jumlah pelarut, memerlukan perlengkapan untuk recovery pelarut,
membutuhkan suhu rendah, dan membutuhkan penanganan untuk mencegah bahaya pelarut yang
digunakan. Pelarut yang biasa digunakan adalah heksana atau aseton. Minyak harus dilarutkan
dalam pelarut diikuti dengan pendinginan sehingga suhu yang diinginkan tercapai untuk
mendapatkan kristal yang diinginkan. Proses ini biasanya digunakan untuk mendapatkan produk
bernilai tinggi, seperti mentega coklat atau mendapatkan lemak tertentu berdasarkan titik lelehnya
(Moran & Rajah 1994).
Fraksinasi kering adalah metode yang paling sering diaplikasikan secara komersial.
Fraksinasi kering dilakukan melalui dua tahap, yaitu kristalisasi dan separasi (O’Brien 2000).
Kristalisasi dilakukan untuk menghilangkan asilgliserol yang memiliki titik leleh tinggi yang
menyebabkan minyak menjadi keruh dan lebih kental pada suhu rendah. Separasi dilakukan untuk
memisahkan kristal (fraksi padat) dari fraksi cair minyak sawit.
Setelah proses kristalisasi, dilakukan proses separasi untuk memisahkan fraksi olein dan
stearin minyak sawit. Proses separasi dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu filtrasi dengan sistem
vakum atau tekanan, sentrifugasi, dan dekantasi.
Setelah proses separasi maka akan diperoleh dua fraksi minyak sawit, yaitu fraksi padat
dinamakan stearin dan fraksi cair dinamakan olein. Fraksi olein berwarna merah sedangkan fraksi
stearin berwarna kuning pucat. Warna merah pada olein disebabkan oleh kandungan karotenoid
yang terlarut di dalamnya sedangkan fraksi stearin hanya sedikit mengandung karotenoid.
Faktor yang mempengaruhi pembentukan kristal stearin adalah suhu awal minyak, suhu
akhir fraksinasi, kecepatan pendinginan, dan metode separasi. Variabel tersebut mempengaruhi
ukuran dan bentuk kristal, kecepatan filtrasi, perolehan olein dan stearin, solid fat content, titik
leleh, profil asam lemak dari fraksi cair dan fraksi padat (kristal).

11
III. METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

1. Alat
Alat-alat yang digunakan yaitu oven pengering dengan pemanas listrik, desikator,
neraca analitik, penangas air, gegep, spektrofotometer UV-Vis, spektrofotometer double beam,
kuvet, termometer, pipa kapiler, piknometer, pinset, hot plate, agitator, inkubator, gelas piala,
kertas saring Whatman No.41, corong gelas, pompa vakum, buret, erlenmeyer, labu takar, pipet
tetes, pipet mohr dengan berbagai ukuran.

2. Bahan
Bahan yang digunakan yaitu lima sampel minyak sawit kasar (crude palm oil/CPO)
yang berasal dari PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Banten, PTPN XIII Kalimantan
Barat dari Perkebunan Gunung Meliau dan Perkebunan Ngabang, PT. Wilmar Internasional
Riau, dan PT. Sinar Meadow Internasional Jakarta. Bahan-bahan yang digunakan untuk
analisis yaitu air destilata, heksana, NaOH, kaliumhidrogenftalat (KHP), indikator fenolftalin,
etanol, asam asetat glasial, KI, Na2S2O3, K2Cr2O7, HCl, indikator kanji, dan iso-oktana.

B. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) analisis mutu CPO, (2) fraksinasi CPO,
dan (3) analisis fraksi olein dan stearin yang dihasilkan. Garis besar tahap penelitian ini dapat
dilihat pada Gambar 2.

1. Persiapan Bahan dan Analisis Mutu CPO


Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel dari industri pengolah CPO yang
belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Dengan
demikian, diharapkan komposisi kimia di dalamnya belum mengalami perubahan dan mutu
CPO masih dalam keadaan baik.
Analisis mutu CPO dilakukan berdasarkan atribut mutu yang ditetapkan dalam standar
spesifikasi menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-2901-2006 yang mencakup warna
visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran (maksimal 0.5%), kadar asam lemak
bebas (sebagai asam palmitat, maksimal 5%), dan bilangan iod (50-55 g iod/100 g).
Analisis mutu tambahan CPO meliputi analisis kandungan karoten dan nilai
Deterioration of Bleachability Index (DOBI). Kedua parameter ini tidak termasuk dalam
atribut mutu yang ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN) dalam dokumen SNI 01-
2901-2006. Namun kedua parameter ini sering digunakan sebagai syarat dalam perdagangan
CPO di pasar internasional. Codex Alimentarius Comission (CAC 2003) sebagai acuan dalam
perdagangan internasional menetapkan bahwa persyaratan kandungan karoten CPO 500-2000
ppm dan persyaratan nilai DOBI yang ditetapkan minimum 2.8.
CPO

Analisis mutu CPO antara


lain, analisis kadar air,
kotoran, kadar asam lemak
bebas, bilangan yodium,
kadar karoten dan DOBI.

Fraksinasi

Olein Stearin

Analisis bilangan iod, slip


melting point (SMP), dan
kandungan β-karoten.

Gambar 2. Diagram alir penelitian

2. Fraksinasi CPO
Fraksinasi CPO dilakukan untuk memperoleh fraksi olein dan stearin. Fraksinasi
dilakukan pada sampel CPO yang telah dianalisis. Sampel CPO C dan D tidak difraksinasi.
Sampel CPO C memiliki kualitas yang kurang baik berupa kadar kotoran yang tinggi
sedangkan sampel CPO D tidak mencukupi untuk difraksinasi karena jumlahnya terbatas.
Sebagai ganti sampel CPO C dipilih minyak sawit merah (SawitA). Fraksinasi dilakukan
dengan mengikuti prinsip kristalisasi dan separasi. Pada awalnya belum diketahui kondisi pasti
yang akan digunakan dalam tahap fraksinasi ini. Kemudian dicobakan tiga metode yaitu proses
I, II, dan III. Ketiga metode ini menerapkan prinsip kristalisasi dan separasi.
Proses I dilakukan dengan mula-mula memanaskan sampel CPO sampai suhu 70 °C
sambil diaduk menggunakan agitator. Kemudian suhu CPO diturunkan hingga 15 °C lalu
dilakukan separasi dengan kain saring. Proses II dilakukan dengan memanaskan CPO hingga
suhu 50 °C kemudian dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu 20 °C selama 6 jam. Setelah itu
sampel CPO dibiarkan semalaman dalam suhu ruang, lalu diseparasi menggunakan penyaring
vakum. Sedangkan Proses III dilakukan dengan memvariasikan waktu kristalisasi yaitu selama

13
16, 24, dan 48 jam. Sampel CPO mula-mula dipanaskan hingga suhu 50 °C kemudian
dilakukan penurunan suhu dengan laju 5 °C/30 menit hingga suhu CPO mencapai 15 °C.
Setelah itu sampel CPO disimpan pada suhu 12 °C dengan waktu penyimpanan 16, 24, dan 48
jam. Kemudian dilakukan separasi dengan penyaring vakum. Dari ketiga proses fraksinasi
yang dicobakan tersebut, dipilih proses fraksinasi yang menghasilkan fraksi olein dan stearin
dengan karakteristik yang paling baik. Kondisi proses fraksinasi yang dikontrol meliputi suhu
kristalisasi, waktu kristalisasi, agitasi, dan separasi.

3. Analisis olein dan stearin


Fraksi olein dan stearin yang diperoleh dari proses fraksinasi kemudian dianalisis
karakteristiknya. Parameter yang diuji meliputi analisis kadar karoten, slip melting point, dan
bilangan iod. Ketiga parameter tersebut dapat membedakan olein dan stearin yang dihasilkan.

C. METODE ANALISIS

1. Analisis kadar air (BSN 2006)


Gelas kimia 100 ml dikeringkan dalam oven selama 15 menit kemudian didingankan
dalam desikator. Cawan yang sudah kering diambil dengan penjepit, kemudian ditimbang.
Sampel minyak dilelehkan dengan memanaskan sampai suhu 50 °C dan diaduk rata. Sebanyak
5-10 g sampel minyak yang sudah dilelehkan ditimbang pada gelas kimia yang sudah kering,
kemudian dikeringkan dalam oven selama semalaman (16 jam). Kadar air dihitung dengan
persamaan (2) :

%Kadar air (g/100 g bahan basah) = (2)

Keterangan :
W = Berat sampel sebelum dikeringkan (g)
W1 = Berat sampel + cawan kering kosong (g)
W2 = Berat cawan kosong (g).

2. Analisis kadar kotoran (BSN 2006)


Kertas saring Whatman No.41 (alat penyaring) dicuci dengan n-heksana, kemudian
dikeringkan dalam oven pada suhu 103 °C selama 30 menit, lalu ditimbang. CPO yang
digunakan dalam analisis ini yaitu CPO hasil penentuan kadar air yang sudah diketahui
beratnya. Sebanyak 50 ml n-heksana ditambahkan ke dalam CPO tersebut dan dipanaskan pada
penangas air sambil digoyang-goyang sampai minyak larut seluruhnya. Setelah minyak larut,
CPO disaring melalui alat penyaring yang telah disiapkan sebelumnya. Kertas saring tersebut
dicuci beberapa kali menggunakan n-heksana setiap kalinya 10 ml sampai alat penyaringnya
bersih dari minyak. Alat penyaring dengan seluruh isinya kemudian dikeringkan dalam oven
pada suhu 103 °C selama 30 menit. Kadar kotoran dihitung dengan persamaan (3).

% Kadar kotoran = (3)

Keterangan :
W = berat sampel (g)

14
W1 = berat alat penyaring setelah dikeringkan (g)
W2 = berat alat penyaring kering (g)

3. Analisis asam lemak bebas (BSN 2006)


Sampel CPO dipanaskan pada suhu 60-70°C sambil diaduk hingga homogen.
Sampel tersebut ditimbang sebanyak 5 g pada erlenmeyer, 50 ml etanol 95% yang sudah
dinetralkan ditambahkan ke dalam erlenmeyer tersebut. Sampel dan etanol kemudian
dipanaskan di atas pemanas dan suhunya diatur 40 °C hingga sampel larut semua. Sebanyak
1-2 tetes larutan indikator fenolftalin ditambahkan ke dalam erlenmeyer kemudian dititrasi
dengan NaOH 0.1 N hingga titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah
muda yang stabil minimal 30 detik. Volume NaOH 0.1 N yang terpakai kemudian dicatat.
Kadar asam lemak bebas dihitung dengan persamaan (4).

%Asam lemak bebas = (4)

Keterangan :
V = volume larutan NaOH 0.1 N yang digunakan (ml)
N = normalitas larutan NaOH yang digunakan
W = berat sampel uji (g)
25.6 = konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat.

4. Analisis bilangan iod (BSN 2006)


Sampel CPO dilelehkan pada suhu 60-70 °C dan diaduk hingga rata. Kemudian
sebanyak 0.4-0.6 g dari sampel tersebut ditimbang dalam erlenmeyer bertutup asah 250 ml atau
500 ml. Setelah itu sebanyak 15 ml larutan sikloheksana ditambahkan dengan menggunakan
pipet untuk melarutkan larutan uji tersebut. Sebanyak 25 ml larutan Wijs ditambahkan lalu
erlenmeyer tersebut ditutup dengan penutupnya, dikocok kemudian disimpan dalam
tempat/ruang gelap selama 30 menit. Setelah itu sebanyak 10 ml larutan KI 10% ditambahkan
dengan pipet dan 50 ml air suling. Erlenmeyer ditutup, dikocok sebentar, kemudian dilakukan
titrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua
menjadi kuning muda. Indikator kanji ditambahkan sebanyak 1-2 ml, kemudian titrasi
dilanjutkan sampai warna birunya hilang setelah dikocok kuat-kuat. Penetapan blanko
dilakukan dengan cara yang sama. Bilangan iod dihitung dengan persamaan (5).

(5)
Bilangan iod =
)

Keterangan :
N = normalitas larutan tiosulfat 0.1 N
V2 = volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan blanko (ml)
V1 = volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan sampel (ml)
W = berat sampel uji (g)
12.69 = konstanta untuk menghitung bilangan iod.

5. Analisis Kadar Karotenoid, Metode Spektrofotometri (PORIM 1995)


Sampel ditimbang sebanyak 0.1 g ke dalam labu takar 25 ml, kemudian ditepatkan
hingga tanda tera dengan heksana. Pengenceran dilakukan apabila absorbansi yang diperoleh

15
nilainya lebih dari 0.700. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm. Kadar
karotenoid dihitung dengan persamaan (4).

Karoten (ppm) = (6)

Keterangan:
W = Bobot sampel yang dianalisis (g)
As = Absorbansi sampel
Ab = Absorbansi blanko

6. Slip melting point (AOCS Official Methods Cc 3-25, 1993)


Sampel yang telah disaring dilelehkan dan dimasukkan ke dalam tabung kapiler (3
buah) setinggi 1 cm. Selanjutnya tabung kapiler disimpan dalam refrigerator pada suhu 4-10 °C
selama 16 jam. Tabung kapiler diikatkan pada termometer dan termometer tersebut
dimasukkan ke dalam beaker glass (600 ml) berisi air distilasi (sekitar 300 ml). Suhu air dalam
gelas kimia diatur pada suhu 8 – 10 °C di bawah titik leleh sampel dan suhu air dipanaskan
pelan-pelan (dengan kenaikan 0.5 – 1 °C/menit ) dengan pengadukan (magnetic stirrer).
Pemanasan dilanjutkan dan suhu diamati dari saat sampel meleleh sampai sampel naik
pada tanda batas atas. Slip melting point dihitung berdasarkan rata-rata suhu dari ketiga sampel
yang diamati.

7. Deterioration of Bleachability Index (DOBI) (Ketaren 2008)


Sampel CPO ditimbang sebanyak 0.04 g ke dalam labu takar 25 ml yang telah diukur
berat kosongnya. Sampel ditepatkan dengan pelarut iso-oktana dan digoncang agar minyak
larut sempurna. Ukur absorbansi pada panjang gelombang 446 nm (Ab) dan 269 nm (As). Nilai
DOBI dapat ditentukan dengan persamaan (7).

(7)
DOBI =

Keterangan ;
Ab = Absorbansi blanko
As = Absorbansi sampel

8. Recovery Karotenoid
Recovery karotenoid adalah total karotenoid CPO yang dapat diperoleh kembali setelah
proses fraksinasi. Recovery karotenoid dapat dihitung dengan persamaan (8).

Recovery Karotenoid = X 100% (8)

Total karotenoid = konsentrasi karotenoid (ppm) x volume sampel (ml)

16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR

Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar
Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar Internasional Riau, dan PTPN XIII
Kalimantan Barat dari perkebunan Gunung Meliau dan Ngabang. Profil mutu minyak sawit kasar
meliputi analisis CPO berdasarkan SNI 01-2901-2006, kandungan karoten dan nilai Deterioration
of Bleachability Index (DOBI). Sampel CPO PT. Sinar Meadow, PTPN VIII, PT Wilmar, PTPN
VIII kebun Meliau, dan PTPN VIII Kebun Ngabang masing-masing disimbolkan dengan CPO A,
CPO B, CPO C, CPO D, dan CPO E.
Analisis mutu CPO dilakukan untuk mengetahui profil mutu minyak sawit kasar yang ada
di Indonesia yang diwakilkan dari lima sampel CPO yang dianalisis. Profil mutu CPO perlu
diketahui karena berkaitan dengan harga CPO di pasar internasional dan tahapan pengolahan CPO
selanjutnya.

1. Kadar air dan kotoran


Kadar air dihitung sebagai berat yang hilang akibat pemanasan CPO pada suhu 103°C
± 2°C selama 3 jam. Umumnya air dalam minyak hanya dalam jumlah kecil. Hal ini dapat
terjadi akibat perlakuan di pabrik serta penimbunan CPO. Air digunakan sebagai bahan
penolong pada ekstraksi minyak, baik dalam bentuk cair maupun dalam bentuk uap. Air
banyak dipakai untuk proses pencucian dan bahan pengisi ketel uap. Uap panas dipakai pada
proses sterilisasi, pemanasan, dan sebagai sumber tenaga (Ketaren 2008). Air yang terdapat
dalam minyak dapat ditentukan dengan cara penguapan dalam alat pengering. Hasil analisis
kadar air sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 3.

0.6 0.55
0.49
0.5
kadar air (%bb)

0.4 0.38 0.38


0.3
0.23
0.2
0.1
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Sampel CPO

Gambar 3. Kadar air sampel CPO

Standar CPO yang berlaku di Indonesia yang tertuang dalam dokumen SNI 01-2901-
2006 ditetapkan bahwa kadar air dan kotoran CPO maksimal 0.5%. Dokumen SNI 01-2901-
1992 memisahkan antara standar maksimum kadar air dan kotoran. Standar kadar air
maksimum sebesar 0.45% dan standar kadar kotoran maksimum 0.05%. Pada Gambar 3
dapat dilihat kadar air untuk lima sampel CPO berkisar antara 0.23 – 0.55%. Empat sampel

17
CPO memenuhi nilai standar maksimum kadar air menurut SNI 01-2901-1992 dan hanya
terdapat satu sampel CPO yang tidak memenuhi standar yaitu sampel CPO C.
Kadar air memegang peranan penting dalam mutu CPO, kadar air CPO diharapkan
tidak terlalu besar karena hal ini berkaitan dengan reaksi hidrolisis yang dapat terjadi pada
CPO dan akan mengakibatkan kerusakan pada CPO. Dalam reaksi hidrolisis minyak akan
diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Reaksi ini dipercepat oleh basa, asam, dan
enzim. Asam lemak bebas yang terbentuk dari hasil hidrolisis menghasilkan flavour dan bau
tengik pada minyak terutama asam lemak rantai pendek seperti asam butirat dan kaproat
(Ketaren 2008). Persamaan reaksi hidrolisis minyak oleh air dapat diihat pada Gambar 4.
Faktor yang mempengaruhi kadar air pada CPO antara lain adalah efektifitas pada
tahap pengolahan buah sawit menjadi CPO. Tahapan pengolahan yang memegang peranan
penting dalam mengendalikan kadar air CPO yaitu tahap pemurnian minyak (Basiron 2005).
Pada tahap ini terjadi pemisahan antara air yang secara alami terdapat pada buah dan yang
digunakan pada proses sterilisasi dengan minyak/CPO menggunakan prinsip pengendapan
dan pengeringan dengan menggunakan vacum dryer.

Gambar 4. Reaksi hidrolis minyak oleh air (Ketaren 2008)

Kotoran pada CPO mencakup kotoran-kotoran kecil atau serabut yang terdapat pada
CPO dan bahan yang terkandung pada CPO yang tidak larut pada n-heksana. Kadar kotoran
menjadi salah satu parameter yang perlu diperhatikan karena CPO umumnya digunakan
sebagai bahan baku dalam industri pangan. Dalam dokumen SNI 01-2901-1992 ditetapkan
kadar kotoran maksimum CPO sebesar 0.05%.
Berdasarkan hasil analisis lima sampel CPO, kadar kotoran CPO memiliki kisaran
antara 0.3%-4.84% dengan kadar kotoran terkecil dimiliki oleh sampel CPO A dan kadar
kotoran terbesar dimiliki oleh sampel CPO C. Nilai kadar kotoran lima sampel CPO yang
dianalisis berada di atas nilai kadar kotoran dalam syarat mutu SNI 01-2901-1992. Tingginya
kadar kotoran yang dimiliki oleh sampel C bisa disebabkan oleh sumber CPO yang diberikan
oleh perusahaan C kemungkinan bukan CPO yang akan digunakan untuk bahan baku industri
pangan tetapi CPO yang akan digunakan untuk bahan baku industri non pangan seperti untuk
bahan baku biofuel ataupun untuk bahan baku pelumas. Gambar 5 menunjukkan hasil analisis
kadar kotoran lima sampel CPO.

18
6

kadar kotoran (%bb)


4.84
5
4
3
2
1 0.2 0.29 0.3
0.1
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Sampel CPO

Gambar 5. Kadar kotoran CPO

Standar SNI 01-2901-2006 melakukan penggabungan nilai kandungan maksimal


terhadap parameter kadar air dan kadar kotoran. Nilai maksimal yang ditetapkan Badan
Standarisasi Nasional terhadap kedua parameter tersebut yaitu maksimal 0.5%. Apabila nilai
kedua parameter tersebut digabungkan maka akan didapat nilai kandungan kadar air dan
kadar kotoran seperti yang ditampilkan pada Gambar 6.

6
5.39
5
Kadar air dan kotoran

4
(% bb)

1 0.69 0.67 0.68


0.33
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Sampel
Gambar 6. Kadar air dan kotoran lima sampel CPO

Berdasarkan data yang diperoleh kandungan kadar air dan kotoran pada lima jenis
sampel CPO berkisar antara 0.33% sampai 5.39 %. Jika mengacu pada standar SNI 01-2901-
2006 hanya satu sampel CPO yang memenuhi standar yaitu sampel CPO A sedangkan empat
sampel CPO lainnya tidak memenuhi standar.
Tingginya kadar air dan kotoran empat sampel CPO tersebut dapat dipengaruhi oleh
efektivitas selama proses pengolahan terutama pada tahap pemurnian minyak dan
pengeringan hampa. Pada tahap pemurnian, minyak sawit diendapkan dalam tangki
pengendapan. Kotoran dan air yang masih terdapat pada minyak terpisah karena adanya
perbedaan bobot jenis. Bobot jenis minyak lebih kecil daripada bobot jenis air dan kotoran
sehingga air dan kotoran akan mengendap dan proses pemisahan dapat dilakukan. Apabila
lama pengendapan terlalu pendek dan suhu dalam tangki pengendapan terlalu rendah maka

19
pemisahan kotoran dan air tidak optimal. Pengeringan dengan pengering hampa dilakukan
setelah kotoran terpisah dari minyak.

2. Kadar asam lemak bebas


Karakteristik mutu suatu minyak atau lemak dipengaruhi oleh kadar asam lemak
bebasnya (ALB). Kadar ALB yang tinggi menunjukkan bahwa minyak atau lemak memiliki
kualitas yang buruk. Tingginya kadar ALB dapat memperbesar risiko kerusakan minyak
lebih lanjut akibat oksidasi. Kenaikan ALB pada CPO disebabkan adanya reaksi hidrolisis
pada minyak. Reaksi ini dipercepat dengan adanya asam, panas, air, dan enzim.
Salah satu enzim yang berperan dalam peningkatan ALB pada minyak yaitu enzim
lipase (triacylglycerol acylhydrolase) (Sambanthamurthi et al. 2000). Enzim ini secara alami
terdapat pada buah kelapa sawit. Aktivitas enzim ini berperan dalam peningkatan ALB pada
CPO. Semakin matang buah sawit maka aktivitas enzim lipase semakin meningkat yang
mengakibatkan peningkatan ALB pada minyak. Sebaliknya buah sawit yang belum matang
memiliki aktivitas lipase yang rendah namun rendamen minyaknya juga rendah. Selain faktor
kematangan buah, lama waktu antara pemanenan buah hingga pengolahan juga turut
mempengaruhi kandungan ALB pada minyak. Buah yang sudah dipanen harus segera diolah
untuk mengurangi kandungan ALB pada CPO (Tan et al. 2009).
Kandungan ALB yang tinggi pada minyak dapat dikurangi dengan melakukan proses
netralisasi pada minyak tersebut sebelum digunakan sebagai bahan baku (Ketaren 1986).
Selain itu menurut Tan (2009) pengeringan buah sawit pada suhu 66.8 °C selama 12.8 jam
sebelum ekstraksi dapat mengurangi kandungan ALB pada CPO.
Hasil analisis lima sampel CPO menunjukkan bahwa kandungan ALB CPO pada
kelima sampel berkisar antara 3.84-5.8%. Kandungan ALB tertinggi terdapat pada sampel
CPO A sedangkan kandungan asam lemak terendah terdapat pada sampel CPO C. Untuk
CPO di Indonesia, standar kandungan ALB-nya ditetapkan maksimal 5%. Kandungan ALB
kelima sampel CPO tersebut sudah cukup baik, hanya satu sampel yaitu sampel CPO A yang
memiliki kadar asam lemak bebas diatas standar SNI. Perbedaan kandungan ALB pada
sampel CPO tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: kondisi kematangan
buah sawit saat dipanen, efektivitas pengolahan, dan lama waktu penimbunan. Kandungan
ALB pada lima sampel CPO dapat dilihat pada Gambar 7.

7
asam lemak bebas (%)

5.8
6
5 4.6 4.58
3.88 3.84
4
3
2
1
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Sampel CPO

Gambar 7. Kandungan Asam lemak bebas CPO

20
3. Bilangan iod
Bilangan iod digunakan untuk mengukur derajat ketidakjenuhan suatu minyak atau
lemak. Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh dapat diadisi oleh senyawa
iod sehingga menghasilkan senyawa dengan ikatan jenuh. Semakin tinggi bilangan iod maka
semakin banyak ikatan rangkap yang diadisi dan semakin tinggi derajat ketidakjenuhan
minyak tersebut. Penetapan bilangan iod dilakukan dengan menambahkan iod secara berlebih
ke dalam sampel minyak. Kelebihan iod dititrasi dengan natrium tiosulfat sehingga iod yang
digunakan untuk mengadisi minyak dapat diketahui jumlahnya (Kusnandar 2010). Reaksi
adisi ikatan rangkap asam lemak oleh senyawa iod pada penelitian ini menggunakan larutan
KI 10% sebagai carrier. Reaksi yang terjadi dalam penentuan bilangan iod dapat dilihat pada
Gambar 8 berikut.

Gambar 8. Reaksi penentuan bilangan iod

Asam lemak penyusun CPO didominasi oleh asam lemak jenuh (50% ) dan asam
lemak tidak jenuh (50%). Asam lemak jenuh penyusun CPO terdiri dari asam palmitat
(C16:0) dengan komposisi 44.02% dan asam stearat (C18:0) dengan komposisi sekitar
4.54%. Sedangkan asam lemak tidak jenuh terdiri dari asam oleat (C18:1) yang terdapat
sekitar 39.15% dan asam linoleat (C18:2) sekitar 10.2% (Basiron 2005). Dengan komposisi
asam lemak yang seperti ini menyebabkan bilangan iod CPO berada dikisaran 50-55 g
iod/100 g sampel.
Tingkat ketidakjenuhan suatu minyak sangat menentukan kondisi minyak pada suhu
ruang. Minyak dengan ketidakjenuhan yang tinggi akan berwujud cair pada suhu ruang.
Sebaliknya minyak dengan ketidakjenuhan yang rendah cenderung berbentuk padat suhu
ruang (Patterson 2009). CPO memiliki tingkat ketidakjenuhan yang tidak terlalu tinggi dan
tidak terlalu rendah sehingga pada suhu ruang CPO akan berbentuk semipadat dan cenderung
lebih tahan terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lain (Basiron 2005).
Metode yang sering digunakan dalam menentukan bilangan iod ada dua, yaitu metode
Hanus dan metode Wijs. Dalam penelitian ini digunakan metode Wijs. Kusnandar (2010)
menyatakan bahwa ada sedikit perbedaan hasil yang diperoleh dengan kedua metode ini,
akan tetapi variasi perbedaan ini tidak lebih besar dari variasi bilangan iod dalam minyak itu
sendiri. Namun pada kenyataannya metode Wijs memberikan hasil yang lebih baik dibanding
metode Hanus.
Hasil analisis dari lima sampel CPO menunjukkan bahwa bilangan iod dari kelima
sampel CPO yang dianalisis menunjukkan jumlah bilangan iod berkisar antara 50.38-54.15 g
iod/100 g sampel. Standar CPO berdasarkan SNI 01-2901-2006 menetapkan standar bilangan
iod untuk CPO sebesar 50-55 g iod/100 sampel. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
nilai bilangan iod lima sampel CPO yang dianalisis masih memenuhi standar bilangan iod
berdasarkan SNI 01-2901-2006. Hasil analisis bilangan iod sampel CPO dapat dilihat pada
Gambar 9.

21
60
51.3 52.47 54.15
50.38 50.79
50

bilangan yodium
40
30
20
10
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Sampel

Gambar 9. Bilangan iod sampel CPO

4. Analisis karoten
CPO umumnya mengandung 500-700 ppm karoten. Selain sebagai pemberi warna,
karoten juga berfungsi sebagai antioksidan dalam tubuh serta berfungsi sebagai prekursor
vitamin A khususnya dalam bentuk β-karoten (Mustapa et al. 2010). Codex Alimentarius
Commission (2003) yang digunakan sebagai acuan dalam perdagangan internasional
menetapkan bahwa persyaratan kadar karoten CPO berkisar antara 500-2000 ppm
sebagaimana tercantum dalam Codex Standar for Named Vegetables Oil CODEX STAN 210.
Sementara itu Badan Standardisasi Nasional (BSN) selaku organisasi yang menetapkan
standar di Indonesia belum mencantumkan standar kandungan karoten pada CPO.
Gambar 10 menunjukkan kandungan karoten yang terdapat pada lima sampel CPO
yang dianalisis. Dari data yang diperoleh terdapat variasi nilai karoten CPO yang berkisar
antara 428.28-815.56 ppm. Kandungan karoten tertinggi dimiliki oleh sampel CPO A dengan
kandungan karoten sebesar 815.56 ppm dan sampel yang mengandung karoten terendah
adalah sampel CPO C dengan kandungan karoten 428.28 ppm. Sedangkan CPO B, D, dan E
masing-masing memiliki kandungan karoten 772.43 ppm, 668.31 ppm, dan 500.95 ppm. Dari
kelima sampel tersebut terdapat satu sampel yang mengandung kadar karoten di bawah kadar
karoten CPO yang ditetapkan oleh CODEX(2003).

900 815.56
800 772.43
700 668.31
Karoten (ppm)

600
500.95
500 428.28
400
300
200
100
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E

Sampel
Gambar 10. Kandungan karoten sampel CPO

22
Perbedaan kandungan karoten pada masing-masing sampel tersebut dapat disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain: varietas kelapa sawit, tingkat kematangan buah kelapa sawit,
dan pemanasan di unit proses pengolahan kelapa sawit. Selain itu, infrastruktur kebun kelapa
sawit yang tidak baik dan cuaca buruk menyebabkan buah kelapa sawit tidak langsung diolah
menjadi CPO dapat menurunkan kandungan karoten CPO (Hasibuan & Harijanto 2008).
Penyimpanan CPO ditangki timbun yang terlalu lama juga dapat menyebabkan
penurunan kandungan karoten yang cukup signifikan. Hal ini disebabkan karena pada tangki
timbun tidak bisa dihindari pemanasan yang berulang-ulang pada saat loading ke truk
pengangkut dan kapal. Padahal karoten relatif lebih cepat terdegradasi dengan pemanasan
yang berlebihan serta pemanasan yang berulang (Hasibuan & Harijanto 2008).

5. DOBI (Deterioration of Bleachability Index)


DOBI adalah angka perbandingan serapan CPO pada panjang gelombang 446 nm dan
269 nm (Gee 2005). Angka DOBI dapat digunakan sebagai indikator kerusakan CPO akibat
oksidasi. Selain itu angka DOBI ini juga digunakan oleh industri yang akan mengolah CPO
menjadi minyak goreng untuk menentukan jumlah bleaching earth yang akan digunakan
untuk pemucatan CPO sehingga menghasilkan warna yang dapat diterima oleh konsumen
minyak goreng (Lin 2004).
Berdasarkan nilai DOBI, CPO dapat dikelompokkan menjadi lima kelas. CPO dengan
angka DOBI < 1.68, termasuk ke dalam CPO yang memiliki kualitas buruk. Sementara itu
CPO dengan angka DOBI antara 1.78 – 2.30 memiliki mutu yang kurang baik. Kemudian
CPO dengan angka DOBI 2.30 – 2.92 mengindikasikan bahwa CPO ini memiliki mutu cukup
baik. Angka DOBI 2.93 – 3.23 memperlihatkan indikasi CPO dengan mutu baik, dan angka
DOBI di atas 3.24 berarti CPO memiliki kualitas yang sangat baik. Sementara itu negara
tujuan ekspor menetapkan angka DOBI CPO yang dapat diterima harus memiliki angka
DOBI lebih besar atau sama dengan 2.8 (Anonim 2004). Di Indonesia sendiri standar
mengenai mutu CPO belum memasukkan nilai DOBI sebagai salah satu parameter dalam
menentukan kualitas CPO.
Hasil analisis dari kelima sampel CPO yang diuji menunjukkan nilai DOBI seperti
pada Gambar 11. Dari hasil analisis didapat nilai DOBI berkisar antara 1.34–3.11. Hanya ada
dua CPO yang memenuhi standar nilai DOBI yaitu sampel CPO A dan CPO D.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai DOBI antara lain: (1) kualitas buah,
menyangkut kondisi buah saat dipanen apakah masih dalam kondisi utuh atau banyak
mengalami luka karena benturan saat pemanenan, (2) derajat kematangan buah sawit,
(3) kondisi saat proses pengolahan buah sawit menjadi CPO, (4) selang waktu antara
pemanenan dengan sterilisasi buah sawit, dan (5) suhu serta kondisi penyimpanan CPO (Lin
2004).

3.5 3.11
3 3.06
2.5 2.15
DOBI

2 1.68
1.5 1.34
1
0.5
0
CPO A CPO B CPO C CPO D CPO E
Sampel
Gambar 11. Nilai DOBI sampel CPO

23
B. PENENTUAN TAHAP FRAKSINASI MINYAK SAWIT KASAR

Proses fraksinasi minyak sawit kasar menghasilkan dua produk utama, yaitu olein dan
stearin yang bisa digunakan untuk berbagai aplikasi, seperti minyak goreng, minyak salad,
margarin, dan shortening.
Kondisi proses fraksinasi melibatkan pengaturan suhu, agitasi, kontrol waktu kristalisasi,
dan metode separasi yang digunakan. Keberhasilan proses fraksinasi sangat ditentukan oleh
parameter tersebut. Keterbatasan peralatan dilaboratorium mengakibatkan kesulitan selama
penelitian untuk melakukan kontrol terhadap parameter tersebut secara keseluruhan.
Pada penelitian ini, ada tiga proses yang dilakukan untuk memperoleh proses fraksinasi
yang menghasilkan olein dan stearin dengan mutu yang diharapkan. Proses tersebut adalah Proses
I, II, dan III. Langkah-langkah yang dilakukan dan kondisi tiap proses dijelaskan dibawah ini.

a. Proses I
Pada proses I tahap kristalisasi dilakukan dengan mula-mula sampel CPO dipanaskan
dalam wadah logam berukuran 2 liter sampai suhu CPO 70 °C sambil diaduk menggunakan
agitator dengan kecepatan tertentu. Setelah suhu mencapai 70°C pemanasan dihentikan. Wadah
logam yang berisi CPO tersebut dimasukkan ke dalam wadah yang berukuran lebih besar
(semacam baskom) yang telah berisi air dan ditambahkan es agar suhu air konstan pada suhu
5 °C sambil dilakukan pengadukan terhadap CPO dengan agitator. Kondisi ini dipertahankan
sampai suhu CPO mencapai 15 °C. Setelah suhu CPO mencapai 15 °C dilakukan separasi
menggunakan kain saring.
Proses I tidak menghasilkan olein maupun stearin. Produk yang dihasilkan masih
berupa CPO namun memiliki viskositas yang tinggi. Kegagalan mungkin disebabkan karena
waktu fraksinasi yang tidak mencukupi. Menurut Timms (1997) waktu kristalisasi pada proses
fraksinasi pada umumnya dilakukan selama 10-30 jam. Sedangkan waktu kristalisasi Proses I
tidak mencapai 10 jam. Salah satu kesulitan pada tahap ini yaitu diperlukannya banyak es
untuk menurunkan suhu CPO. Disamping itu saat proses kristalisasi dilakukan, tidak semua
bagian CPO yang mendapatkan suhu rendah hal ini disebabkan wadah kristalisasi yang cukup
tebal dan kemungkinan suhu rendah hanya pada CPO yang paling dekat dengan dinding
wadah. Karena proses I ini tidak menghasilkan olein seperti yang diharapkan maka proses I
tidak dipilih sebagai proses fraksinasi yang akan digunakan untuk menghasilkan olein dan
stearin.

b. Proses II
Karena proses I tidak menghasilkan olein dan stearin maka dilakukan uji coba proses
fraksinasi selanjutnya. Proses fraksinasi yang dicobakan tetap berdasarkan prinsip dalam
proses fraksinasi yaitu kristalisasi dan separasi.
Pada proses II ini tahap kristalisasi dilakukan dengan memanaskan CPO pada
erlenmeyer sampai suhu 50 °C. Setelah suhu mencapai 50 °C erlenmeyer yang berisi CPO
dimasukkan ke dalam pendingin yang bersuhu 20 °C selama 6 jam. Setelah 6 jam dalam
pendingin, sampel CPO yang membeku kemudian dibiarkan semalaman dalam suhu ruang
sehingga terlihat fraksi olein terpisah dengan fraksi stearin dalam erlenmeyer. Kemudian
dilakukan tahap separasi dengan kertas Whatman dengan bantuan penyaring vakum.
Hasil yang diperoleh setelah dilakukan penyaringan pada proses II ini yaitu olein
berwarna merah dan stearin berwarna kuning. Namun mutu olein yang dihasilkan tidak stabil.
Olein yang disimpan semalaman akan berubah membentuk dua fase dalam wadah

24
penyimpanan. Fase yang mengendap diperkirakan stearin yang masih terdapat dalam olein. Hal
ini tidak inginkan karena mengindikasikan olein masih tercampur dengan stearin dan
memberikan kenampakan visual yang kurang baik.
Kegagalan dalam proses II ini dapat disebabkan karena laju pendinginan yang
terlalu cepat. CPO yang bersuhu 50 °C dan langsung dimasukkan ke dalam pendingin bersuhu
20 °C mengakibatkan laju pendinginan yang cepat. Laju pendinginan yang cepat akan
menghasilkan kristal yang berukuran kecil dan seragam. Kristal seperti ini mengakibatkan
kesulitan dalam tahap separasi sehingga olein yang dihasilkan tidak memiliki mutu yang baik
(Che & Swe 1995). Selain itu proses penyimpanan CPO selama semalaman pada suhu ruang
setelah proses kristalisasi mengakibatkan kristal yang terbentuk menjadi rusak, sehingga sulit
untuk melakukan separasi.
Secara umum proses II yang dicobakan belum memberikan hasil yang baik sehingga
proses II ini tidak dipilih sebagai proses fraksinasi yang digunakan untuk menghasilkan olein
dan stearin.

c. Proses III
Proses III ini didisain dengan memodifikasi proses fraksinasi yang dilakukan Zaliha et
al. (2004). Suhu kristalisasi yang dipilih yaitu 12 °C dengan mempertimbangkan suhu terendah
yang dapat dicapai oleh alat pendingin yang terdapat di laboratorium.
Proses III ini juga dilakukan dengan memvariasikan waktu kristalisasi yaitu selama 16,
24, dan 48 jam dan kemudian dipilih waktu kristalisasi yang memberikan karakteristik olein
terbaik. Sampel CPO dalam erlemeyer 250 ml mula-mula dipanaskan hingga suhu 50 °C
dengan menggunakan hotplate. Setelah suhu 50 °C tercapai, dilakukan penurunan suhu CPO
dengan laju 5 °C/30 menit sampai suhu CPO mencapai 15 °C. Penurunan suhu ini dilakukan
dalam waterbath. Setelah selesai proses penurunan suhu sampel CPO kemudian dimasukkan
dalam refrigerator yang bersuhu 12 °C, tahapan ini disebut kristalisasi. Waktu kristalisasi
dilakukan pada 3 waktu berbeda, yaitu 16, 24, 48 jam. Setelah selesai tahap kristalisasi maka
dilanjutkan ke tahap separasi menggunakan kertas saring Whatman dengan bantuan penyaring
vakum. Setelah diperoleh fraksi olein, dilakukan analisis terhadap olein untuk menentukan
metode dengan waktu yang tepat untuk menghasilkan olein dengan karakter terbaik.
Proses III secara keseluruhan menghasilkan olein dan stearin dengan mutu yang baik
secara visual serta stabil dalam penyimpanan suhu ruang. Untuk memperoleh kondisi proses
terbaik maka dilakukan analisis terhadap olein yang dihasilkan dari masing-masing waktu
kristalisasi. Analisis yang dilakukan meliputi analisis bilangan iod dan kandungan karoten.
Proses fraksinasi yang menghasilkan olein dengan bilangan iod dan kandungan karoten
tertinggi dipilih sebagai proses fraksinasi yang digunakan untuk fraksinasi selanjutnya.
Hasil analisis bilangan iod dan kandungan karoten olein yang dihasilkan pada proses III
dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Hasil analisis olein Proses III

Waktu kristalisasi Bilangan iod Kadar karoten


(jam) (g iod/100 g) (ppm)
16 59.66 536.24
24 59.65 473.46
48 58.82 460.16

25
Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa proses fraksinasi yang menghasilkan olein
dengan karakter terbaik yaitu waktu fraksinasi proses III dengan lama waktu kristalisasi 16
jam. Proses fraksinasi tersebut menghasilkan olein dengan rata-rata bilangan iod sebesar 59.66
g iod/100 g sampel dan kadar karoten oleinnya rata-rata 536.24 ppm. Dari data tersebut
akhirnya dipilih metode fraksinasi proses III dengan waktu kristalisasi 16 jam. Diagram alir
proses fraksinasi terpilih tersebut dapat dilihat pada Gambar 12 berikut.

CPO

Pemanasan sampai suhu


50 0C

Pendinginan sampai 15 0C
dengan laju 5 0C/30 menit

Kristalisasi pada suhu 12 0C


selama 16 jam

Separasi/pemisahan

Olein Stearin

Gambar 12. Diagram alir proses fraksinasi CPO terpilih

Proses fraksinasi terpilih tersebut dilakukan secara manual dengan memanfaatkan


peralatan yang ada di laboratorium. Skala kerja fraksinasi metode terpilih tersebut hanya dalam
skala kecil dengan volume sampel CPO 250 ml, dimana penurunan suhu dilakukan pada
waterbath berukuran kecil. Pada Gambar 13 terlihat kondisi CPO setelah pemanasan, dimana
pemanasan dilakukan di atas hotplate dan sampel ditempatkan dalam erlenmeyer 250 ml.

Gambar 13. CPO setelah pemanasan 50 °C

26
Setelah dipanaskan CPO tersebut kemudian didinginkan dengan laju penurunan suhu
5 °C/30 menit dalam waterbath (Gambar 14). Asmaranala (2004) melakukan fraksinasi
NDRPO skala pilot plan dengan laju penurunan suhu yang bervariasi. Penurunan suhu pertama
dilakukan dengan laju 13.33 °C/jam. Penurunan suhu ini dilakukan selama 3 jam dari suhu
75 °C sampai menjadi 35 °C. Penurunan suhu kedua dilakukan dengan laju 6.67 °C/jam selama
3 jam dari suhu 35 °C sampai menjadi 15 °C.
Sampel CPO yang telah mencapai suhu 15 °C kemudian dimasukkan ke dalam
pendingin bersuhu 12 °C selama 16 jam dan dihasilkan CPO yang berbentuk kristal. Gambar
15 menunjukkan CPO setelah dikristalisasi.

Gambar 14. Penurunan suhu CPO dalam waterbath

Gambar 15. CPO setelah proses kristalisasi dan siap untuk diseparasi

Hasil dari proses kristalisasi tersebut kemudian diseparasi menggunakan penyaring


vakum seperti pada Gambar 16 berikut. Proses separasi ini membutuhkan waktu yang cukup
lama. Untuk 250 ml sampel CPO yang sudah dikristalisasi dibutuhkan waktu minimal 4 jam
untuk memisahkan olein dengan stearinnya.

27
Gambar 16. Proses separasi

Asmaranala (2010) melakukan fraksinasi Neutralized Deodorized Red Palm Oil


(NDRPO) dengan alat fraksinasi skala pilot plan. Alat tersebut dilengkapi dengan agitator yang
bekerja selama proses kristalisasi. Kristal CPO yang dihasilkan tidak terlalu keras sehingga
dapat dialirkan melalui pipa plastik dengan bantuan pompa sentrifugal ke dalam alat pemisah.
Berbeda dengan proses fraksinasi terpilih pada penelitian ini, pada proses tersebut tidak
dilengkapi agitator sehingga mengakibatkan kristal yang terbentuk sangat keras dan
mengakibatkan sulitnya pemisahan olein dan stearin selama proses separasi. Dapat dikatakan
bahwa proses agitasi mempengaruhi kristal yang dihasilkan dari proses kristalisasi.
Proses fraksinasi yang dilakukan oleh Asmaranala (2010) dilakukan dengan
memanaskan sampel NDRPO hingga suhu 75 °C dan diholding selama 15 menit. Jika
dibandingkan dengan proses fraksinasi terpilih pada penelitian ini, dimana pemanasan
dilakukan sampai suhu 50 °C tanpa holding, proses tersebut menggunakan suhu pemanasan
awal yang lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal itu dapat berpengaruh
terhadap kandungan karoten yang terdapat pada fraksi olein yang dihasilkan. Pemanasan pada
suhu tinggi dalam jangka waktu yang lama dapat mendegradasi karoten yang terdapat pada
sampel. Gross (1991) mengatakan bahwa laju oksidasi karotenoid dapat meningkat dengan
peningkatan suhu. Kondisi fraksinasi NDRPO yang dilakukan oleh Asmaranala (2010) dapat
dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kodisi fraksinasi NDRPO skala pilot plan


Kodisi Parameter kondisi
Laju perubahan suhu Waktu Kecepatan agitasi
Pemanasan hingga 75°C 1.50°C/menit 30 menit 30 rpm
Holding pada 75°C - 15 menit 30 rpm
Pendinginan hingga 35°C -13.33°C/jam 3 jam 8 rpm
Holding pada 35°C - 3 jam 8 rpm
Pendinginan hingga 15°C -6.67°C/jam 3 jam 8 rpm
Holding pada 15°C - 6 jam 8 rpm
Separasi Manual
Sumber: Asmaranala (2010)

28
C. ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN DAN STEARIN

Sampel CPO yang sudah dianalisis kemudian difraksinasi masing-masing menghasilkan


olein dan stearin. CPO C tidak difraksinasi karena memiliki kualitas yang kurang baik berupa
kadar kotoran yang tinggi. Sedangkan CPO D tidak mencukupi jumlahnya untuk difraksinasi.
Sebagai pengganti CPO C dipilih minyak sawit merah (SawitA). Hasil fraksinasi CPO A
kemudian disimbolkan sebagai olein A dan stearin A begitu seterusnya sampai sampel CPO E.
Untuk hasil fraksinasi minyak sawit merah (SawitA) disimbolkan dengan olein F dan stearin F.
Parameter karakteristik yang dianalisis meliputi bilangan iod, slip melting point, dan kadar
karoten. Parameter ini dipilih karena dianggap mampu sebagai indikator mutu olein dan stearin
hasil fraksinasi dan juga mampu menunjukkan efektivitas fraksinasi.

1. Bilangan iod
Olein dan stearin memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
asam lemak penyusunnya. Asam lemak penyusun olein didominasi oleh asam lemak tak jenuh
sedangkan asam lemak penyusun stearin didominasi oleh asam lemak jenuh oleh karena itu
olein memiliki bilangan iod yang lebih tinggi dibanding stearin. Menurut Basiron (2005) asam
lemak penyusun olein terdiri dari asam oleat (C18:1) sekitar 40.7% sampai 43.9%, asam
linoleat (C18:2) sekitar 10.4% sampai 13.4% dan asam palmitat (C16:0) sekitar 37.9% sampai
41.7%. Sedangkan asam lemak penyusun stearat terdiri dari asam palmitat (C16:0) sekitar
47.2% sampai 73.8%, asam oleat (C18:1) sekitar 15.6% - 37.0%, dan asam stearat (C18:0)
sekitar 4.4% - 5.6%.
Codex Alimentarius Commision (CAC) (2003) menetapkan bilangan iod untuk olein
lebih besar dari 56 g iod/100 g sedangkan bilangan iod stearin ditetapkan lebih kecil dari 48 g
iod/ 100 g. Berdasarkan hasil analisis terhadap olein dan stearin dari hasil fraksinasi CPO
seperti pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa bilangan iod olein berkisar antara 57.75-60.02 g
iod/100 g. Sedangkan bilangan iod stearin berada pada kisaran 34.95-42.32 g iod/100 g. Nilai
bilangan iod untuk olein dan stearin dari hasil fraksinasi NDRPO yang dilakukan Asmaranala
(2010) sebesar 54.85 g iod/100 g dan 48.18 g iod/100 g. Nilai bilangan iod olein tersebut lebih
kecil dari nilai bilangan iod olein dari proses fraksinasi terpilih pada penelitian ini dan nilai
bilangan iod stearinnya lebih besar dari bilangan iod stearin yang dihasilkan dari proses
fraksinasi terpilih. Nilai bilangan iod baik untuk olein maupun stearin sudah memenuhi
standar yang ditetapkan oleh Codex (2003). Disamping itu dapat dikatakan bahwa olein dan
stearin dari hasil fraksinasi telah memiliki kemurnian yang cukup baik.
70
59.66 57.91 60.02 57.75
60
Bilangan yodium

Olein
50 42.32
38.99 Stearin
40 36.68 34.95
30
20
10
0
A B Sampel E F
Gambar 17. Bilangan iod olein dan stearin

29
2. Slip melting point
Asam lemak penyusun olein terdiri dari asam lemak tidak jenuh oleh karena itu olein
memiliki titik leleh yang relatif rendah. Sebaliknya asam lemak penyusun stearin didominasi
oleh asam lemak jenuh sehingga memiliki titik leleh yang lebih rendah dibanding titik leleh
olein. Olein berbentuk cair pada suhu ruang dan stearin berbentuk padat.
Berdasarkan hasil analisis, nilai slip melting point (SMP) olein lebih rendah dibanding
nilai SMP stearin. Hal ini dipengaruhi derajat kejenuhan asam lemak penyusun olein dan
stearin. Olein memiliki derajat kejenuhan yang lebih rendah sehingga nilai SMP-nya rendah
sebaliknya stearin memiliki derajat kejenuhan yang lebih tinggi sehingga SMP-nya tinggi.
Olein mengandung asam oleat (C18:1) lebih banyak dan asam palmitat (C16:0) lebih sedikit
dibanding dengan stearin. Nilai SMP stearin berkisar antara 50.33-52°C. Sedangkan nilai SMP
olein berkisar antara 18.33-24°C. Nilai SMP fraksi olein dan stearin dapat dilihat pada Gambar
19.

60
51 52 50.33 51
50
40
Suhu (ºC)

30 Olein
24 22.33
20 18.33 20 Stearin

10
0
A B E F
Sampel
Gambar 18. Nilai slip melting point olein dan stearin

Standar Codex Alimentarius Commission (CAC) (1999) menetapkan nilai SMP


olein maksimal 24 °C dan nilai SMP stearin minimal 44 °C. Hal ini berarti fraksi olein dan
stearin yang diperoleh dari fraksinasi terpilih masih memenuhi standar CAC (1999) dan
memiliki mutu yang baik ditinjau dari segi kemurniannya.

3. Kadar karoten
Muchtadi (1992) menjelaskan bahwa karotenoid belum mengalami kerusakan oleh
pemanasan pada suhu 60 °C dan reaksi oksidasi karotenoid berjalan lebih cepat pada suhu yang
relatif tinggi terutama jika terdapat prooksidan.
Karotenoid lebih tahan tersimpan dalam lingkungan asam lemak tidak jenuh jika
dibandingkan dengan penyimpanan dalam asam lemak jenuh. Hal ini disebabkan asam lemak
lebih muda menerima radikal bebas apabila dibandingkan dengan karotenoid, sehingga
oksidasi yang pertama kali terjadi pada asam lemak dan akibatnya karotenoid terlindung dari
oksidasi (Muchtadi 1992).
Suhu maksimal yang digunakan selama fraksinasi adalah 50 °C, suhu tersebut tidak
menyebabkan kerusakan yang terlalu besar terhadap karoten yang terdapat pada olein.
Penurunan kadar karoten kemungkinan disebabkan oleh oksidasi karena oksigen yang terlarut
dalam CPO selama fraksinasi.
Berdasarkan hasil analisis terhadap kandungan karoten dari hasil fraksinasi CPO dapat
dilihat bahwa kandungan karoten pada olein lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan

30
karotenoid pada stearin. Hal ini disebabkan karena karoten diduga lebih bersifat polar daripada
trigliserida. Asam lemak tidak jenuh mempunyai kepolaran yang lebih tinggi dibandingkan
asam lemak jenuh sehingga karoten yang mempunyai ikatan rangkap lebih mudah larut dalam
olein yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh (Casiday & Frey 2001). Kandungan
karoten dari empat sampel olein berkisar antara 438.31 -536.24 ppm sedangkan kandungan
karoten pada stearin berkisar antara 215.24-276.13 ppm. Olein hasil fraksinasi NDRPO yang
dilakukan oleh Asmaranala (2010) mengandung total karoten 382.60 ppm sedangkan total
karoten stearin nya sebesar 276.08 ppm. Dengan demikian total karoten olein yang diperoleh
dari fraksinasi CPO dengan metode terpilih lebih tinggi dibanding total karoten olein dari hasil
fraksinasi yang dilakukan oleh Asmaranala (2010).

900
816
800 772
Total karoten (ppm)

700
600 536 543
501 CPO Awal
500 462 438 472
400 Stearin
300 276 245 236 215 Olein
200
100
0
A B E F
Sampel

Gambar 19. Kandungan karoten olein, stearin dan karoten awal

Recovery karoten digunakan untuk menghitung tingkat efisiensi proses fraksinasi dalam
mempertahankan karoten pada produk fraksinasi. Recovery karoten merupakan perbandingan
total karoten pada olein dan stearin dengan total karoten pada CPO awal sebelum fraksinasi.
Nilai recovery karoten pada pada fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat
pada Tabel 7 berikut:

Tabel 7. Recovery karoten pada proses fraksinasi


Sampel Recovery karoten (%)
A 56.76
B 51.97
E 74.52
F 62.00
Rata-rata 61.31

31
V. SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN
CPO yang berasal dari Indonesia yang diwakili oleh lima sampel CPO yang dipilih
memiliki kualitas yang tidak seragam. Kadar air dan kotoran CPO berkisar antara 0.33-5.39%,
kadar asam lemak bebas antara 3.84-5.8%, bilangan iod 50.38-54.15 g iod/100 g, kandungan
karoten 428.28-815.56 ppm, dan DOBI 1.34-3.11. Perbedaan ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain efektivitas pengolahan di pabrik kelapa sawit, kematangan buah sawit yang
diolah dan lamanya CPO di tangki penyimpanan sebelum dianalisis.
Fraksinasi CPO menghasilkan dua jenis produk utama yaitu olein (fraksi cair) dan stearin
(fraksi padat). Fraksinasi CPO dapat dilakukan dengan baik dengan kondisi suhu dan lama waktu
kristalisasi tertentu. Proses fraksinasi yang dipilih dilakukan dengan mula-mula memanaskan CPO
sampai suhu 50 °C kemudian dilakukan penurunan suhu hingga suhu 15 °C dengan laju penurunan
suhu 5°C/30 menit. Kemudian dilakukan kristalisasi pada suhu 12 °C selama 16 jam. Setelah
proses kristalisasi selesai dilakukan separasi untuk mendapatkan olein dan stearin.
Olein dan stearin memiliki karakteristik yang sangat berbeda yang disebabkan oleh
perbedaan asam lemak penyusunnya. Analisis karakteristik olein dan stearin meliputi analisis
bilangan iod, kandungan karoten, dan slip melting point. Hasil analisis olein sebagai berikut
bilangan iod berkisar antara 57.75-60.02 g iod/100 g, kandungan karoten 438-536 ppm, dan slip
melting point berkisar 18.33-24 °C sedangkan untuk stearin bilangan iodnya berkisar antara 34.95-
42.32 g iod/100 g, kandungan karotennya 215-276 ppm, dan slip melting point 50.33-52 °C. Asam
lemak penyusun olein didominasi oleh asam lemak tidak jenuh sedangkan asam lemak penyusun
stearin didominasi oleh asam lemak jenuh. Olein mengandung lebih banyak karoten dibandingkan
stearin sehingga cocok dimanfaatkan sebagai minyak sawit merah.

B. SARAN
Penelitian tentang pemurnian olein yang diperoleh dari fraksinasi CPO perlu dilakukan
untuk mengetahui perbedaan karakteristik olein yang diperoleh dari fraksinasi CPO dengan olein
yang diperoleh dari CPO yang telah dimurnikan terlebih dahulu (NDRPO) baru kemudian
difraksinasi sehingga dapat dipilih proses yang lebih efektif untuk menghasilkan olein dengan
karakteristik yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Beberapa Upaya Mendongkrak Harga Crude Palm Oil Indonesia. Info Mutu Ed Mei.
Jakarta
. 2010. Peran Strategis Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian.
Asmaranala A. 2010. Analisis efisiensi membran filter press skala pilot plan dalam fraksinasi NDRPO
(Neutralized Deodorized Red Palm Oil). [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor.
[AOCS] American Oil Chemists’ Society. 1993. Official Methods and Recommended Practices of the
AOCS. 5th ed. AOCS. USA.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Minyak Kelapa Sawit. SNI
01-2901-2006. Jakarta.
Basiron Y. 2005. Palm oil. In Shahidi F (ed). Bailey’s Industrial Oil and Fat Product. Ed ke-6. Vol
ke-5. Hoboken: John Wiley & Sons Inc. hlm 333-429.
Calliaw G, Gibon V, Greyt W De, Plees L, Foubert I, Dewettinck K. 2007. Phase composition during
palm olein fractionation and its effect on soft PMF and superolein quality. J Am Oil Chem Soc
84:885-981.
Calliauw et al. 2010. On the fractional crystallization of palm olein: Solid solutions and eutectic
solidification. J Food Research International 43:972-981.
Casiday, R dan R. Frey. 2001. Nutrients and Solubility. Departement of Chemistry Washington
University St Louis MO 63130.
[CAC] CODEX Alimentarius Commission. 2003. CODEX Standard for Named Vegetable Oils.
CODEX STAN 210-1999 (Adopted 1999, Revisions 2001, 2003, 2009. Amendment 2005).
Che Man YB, Swe PZ. 1995. Thermal Analysis of Failed Batch Palm Oil by Differential Scanning
Calorimetry. J Am Oil Chem Soc. 72 : 529-1532.
Fardiaz D, Andarwulan N, Wijaya H, Puspitasari NL. 1992. Teknik Analisa Sifat Kimia dan
Fungsional Komponen Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor.
Gee P T. 2005. Use of the Deterioration of Bleachability Index (DOBI) to Characterise the Quality of
Crude Palm Oil. Keck Seng (M) Benhard, Johor.
Gunstone F D, Padley FD. 1997. Lipids Technologies and Application. Marcel Dekker Inc. New
York.
Gunstone F D, Noris FA. 1983. Lipids Technologies and Applications. Marcel Dekker Inc., New
York.
Hasibuan dan Harjanto. 2008. Kajian lanjutan kandungan karoten pada crude palm oil Indonesia.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Hariyadi P. 2010. Karakter Unggul Minyak Sawit. Info sawit . Ed Oktober. hlm 30-32
Hartley CWS. 1988. The Oil Palm. London: Longmans.
Ketaren. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. UI Press.

33
Ketaren. 2008. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta. UI Press.
Krishnamurthy R, Kellens M. 1996. Fractionation and Winterization. Di dalam Hui YH. (ed.).
Bailey’s Industrial Oil and Fats Products, Fifth Edition Vol. 4, Edible Oil and Fats Products:
Processing Technology. A Wiley-Interscience Publication, John Wiley and Sons, Inc. New
York.
Kusnandar F. 2010. Mengenal Sifat Lemak dan Minyak. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan IPB.
Lawler PJ, Dimick PS. 2002.Crystallization and Polymorphism of Fats. In : Akoh CC, Min DB (ed.).
Foods Lipids: Chemistry, Nutrition, and Biotechnology.Ed ke-2. New York: Marcel Dekker
Inc.
Lin S W. 2004. Deterioration of Bleachability Index. Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Board.
Naibaho PM. 1998. Teknologi Pengolahan Kelapa Sawit. Medan : Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
Man L de, Man JM de, Blackman B. 1989. Physical and Textural Evaluation of Some Shortening and
Margarins. J Am Oil Chem Soc 66:128-132.
Moran D P J, Rajah K K. 1994. Fats in Food Products. Chapman and Hall. New York.
Muchtadi T R. 1992. Karakterisasi komponen intrinsik utama buah sawit (Elaeis guineensis, Jacq)
dalam rangka optimalisasi proses ekstraksi minyak dan pemanfaatan provitamin A. [disertasi].
Bogor : Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Mustapa AN, Manan ZA, Mohd Azizi CY, Setianto WB, dan Mohd Omar. 2010. Extraction of b-
carotenes from palm oil mesocarp using sub-critical R134a. J Food chemistry 42:1-6
O’Brien R D. 2000. Fats and Oils : Formulating and Processing for Apllications. CRC Press. Florida.
Ong ASH, Choo YM, Ooi CK. 1995. Developments in palm oil. In: Hamilton RJ(ed). Developments
in Oils and Fats. London: Blackie Academic & Profesional.
Osborne DJ dan Henderson J. 2000. The oil palm in all our lives : How this came about. J Endevour
24(2) : 63-68.
Pahan I. 2007. Panduan Lengkap Kelapa Sawit: Manajemen Agribisinis dari Hulu Hingga Hilir.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Pantzaris TP. 1994. Pocket Book of Palm Oil Uses. Kuala Lumpur: PORIM.
[PORIM] Palm Oil Research Institite of Malaysia. 1995. Porim Test Methods. Palm Oil Research
Institute of Malaysia.
Sambanthamurthi R, Sundram K, Tan YA. 2000. Chemistry and biochemistry of palm oil. Progress in
Lipid Research 39:507-558
Tan C.H., M. H. Ghazali, A. Kuntom., C. P. Tan, A. A. Arifin. 2009. Extraction and Physicochemical
Properties of Low Free Fatty Acid Crude Palm Oil. J Food Chemistry 113: 645-650.
Timms RE. 1997. Fractionation. In: Gunstone FD, Padley FB (eds). Lipid Technologies and
Applications. New York: Marcel Dekker Inc. hlm 199-222.
Wang T, Briggs JL. 2002. Rheological and thermal properties of soybean oils with modified FA
compositions. J Am Oil Chem Soc 79:831-836
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

34
Zaliha O, Chong CL, Cheow CS, Norizzah AR, Kellens MJ. 2004. Crystallization properties of palm
oil by dry fractionation. J Food Chemistry 86: 245–250.

35
Lampiran 1. Hasil analisis kadar air sampel CPO

Kadar air
Sampel W (g) W1(g) W2(g) Rata-rata SD
(%)
10.0097 72.2427 62.2562 0.2323
CPO A 0.2271 0.0074
10.0259 74.2595 64.2558 0.2219
5.0412 30.5444 25.5278 0.4903
CPO B 0.4879 0.0033
5.2559 26.3913 21.1608 0.4856
5.0795 20.8171 15.7583 0.4091
CPO C 0.5546 0.2056
5.3076 26.4862 21.2155 0.7000
4.9973 26.7542 21.7751 0.3655
CPO D 0.3768 0.0161
5.0167 26.5835 21.5862 0.3882
5.2311 23.6901 18.4789 0.3818
CPO E 0.3842 0.0033
5.2204 23.5268 18.3265 0.3865

36
Lampiran 2. Hasil analisis kadar kotoran CPO

Kadar
Sampel W(g) W1(g) W2(g) kotoran Rata-rata SD
(%)
10.0097 0.5420 0.5312 0.1079
CPO A 0.1038 0.0057
10.0259 0.5373 0.5273 0.0997
5.0412 0.9245 0.9139 0.2103
CPO B 0.1984 0.0168
5.2559 0.9256 0.9158 0.1865
5.0795 1.1730 0.9236 4.9099
CPO C 4.8374 0.1026
5.3076 1.1857 0.9328 4.7649
5.2311 0.9410 0.9270 0.2676
CPO D 0.2899 0.0315
5.2204 0.9440 0.9277 0.3122
4.9973 0.9376 0.9233 0.2862
CPO E 0.2956 0.0133
5.0167 0.9288 0.9135 0.3050

37
Lampiran 3. Hasil analisis asam lemak bebas CPO

Berat Volume
Sampel Normalitas ALB (%) Rata-rata SD
sampel (g) NaOH (ml)
2.4942 0.0858 6.6 5.81
CPO A 5.80 0.02
2.5433 0.0858 6.7 5.79
2.5081 0.0858 4.4 3.85
CPO B 3.88 0.04
2.5088 0.0858 4.5 3.91
2.5367 0.0916 5.1 4.71
CPO C 4.6 0.16
2.5578 0.0916 4.9 4.49
2.5882 0.0858 4.5 3.82
CPO D 3.84 0.03
2.5630 0.0858 4.5 3.86
2.5794 0.0916 5.1 4.64
CPO E 4.58 0.08
2.5433 0.0858 4.9 4.52

Lampiran 4. Hasil analisis bilangan iod sampel CPO

Berat
V blanko V sampel Bilangan Rata-
Sampel sampel Nomalitas SD
(ml) (ml) Iod rata
(g)
0.5111 0.1058 34.40 14.30 50.17
CPO A 50.38 0.29
0.5110 0.1058 34.40 14.15 50.58
0.5516 0.1058 34.40 13.50 50.87
CPO B 51.30 0.61
0.5372 0.1058 34.40 13.70 51.73
0.5426 0.1058 34.40 14.10 50.23
CPO C 50.79 0.80
0.5176 0.1058 34.40 14.60 51.36
0.5002 0.1000 48.00 27.25 52.64
CPO D 52.47 0.24
0.5107 0.1000 48.00 26.95 52.31
0.5204 0.1000 48.00 25.70 54.38
CPO E 54.15 0.32
0.5213 0.1000 48.00 25.85 53.92

38
Lampiran 5. Hasil analisis kandungan karoten sampel CPO

Berat Absorbansi Karoten (ppm) Rata-


Sampel
Sampel (g) 1 2 1 2 rata
CPO A 0.1221 0.520 0.520 815.56 815.56 815.56
CPO B 0.1092 0.610 0.605 534.87 530.48 772.43
CPO C 0.1328 0.596 0.592 429.72 426.84 428.28
CPO D 0.1182 0.820 0.830 664.26 672.36 668.31
CPO E 0.1057 0.554 0.552 501.85 500.04 500.95
SawitA 0.1002 0.568 0.568 0.568 542.77 542.77

39
Lampiran 6. Hasil analisis nilai DOBI sampel CPO

Berat Absorbansi 446 Absorbansi 269


DOBI Rata-
Sampel Sampel nm nm
1 2 1 2 1 2 rata
(g)
CPO A 0.0811 0.656 0.650 0.211 0.209 3.1094 3.1151 3.1123
CPO B 0.0538 0.254 0.242 0.151 0.134 1.6790 1.6848 1.6819
CPO C 0.0530 0.283 0.267 0.207 0.202 1.3652 1.3218 1.3435
CPO D 0.0521 0.646 0.642 0.212 0.212 3.0471 3.0283 3.0377
CPO E 0.0502 0.269 0.264 0.125 0.123 2.1467 2.1539 2.1489

40
Lampiran 7. Hasil analisis slip melting point CPO

Slip melting point Slip melting point Slip melting pont


Sampel Rata-rata
1 2 3
CPO A 30 28 31.5 29.83
CPO B 32 34.5 32 32.83
CPO C 40 42 40 41.33
CPO D 30.5 29 31 30.17
CPO E 32 30 32 31.33

41
Lampiran 8. Hasil analisis bilangan iod olein

Berat
V blanko V sampel Bilangan Rata-
Sampel sampel Nomalitas SD
(ml) (ml) Iod rata
(g)
0.2713 0.1000 24.00 11.20 59.87
Olein A 59.66 0.297
0.2636 0.1000 24.00 11.65 59.45
0.2415 0.1000 23.65 12.75 57.28
Olein B 57.91 0.89
0.2796 0.1000 23.65 10.75 58.55
0.2699 0.1000 23.65 10.40 62.29
Olein E 60.02 3.21
0.2571 0.1000 23.65 11.95 57.75
0.2423 0.1000 23.45 12.60 56.82
Olein F 57.55 1.03
0.2601 0.1000 23.45 11.50 58.28

42
Lampiran 9. Hasil analisis bilangan iod stearin

Berat
V blanko V sampel Bilangan Rata-
Sampel sampel Nomalitas SD
(ml) (ml) Iod rata
(g)
0.2690 0.0978 23.45 15.10 38.52
Stearin A 38.99 0.66
0.2516 0.0978 23.45 15.45 39.46
0.2598 0.1000 23.65 15.80 38.34
Stearin B 36.29 2.89
0.2798 0.1000 23.65 16.10 34.24
0.2896 0.1000 23.65 14.15 41.63
Stearin E 42.32 0.97
0.2523 0.1000 23.65 15.10 43.00
0.2611 0.0978 23.45 16.45 33.27
Stearin F 34.95 2.37
0.2778 0.0978 23.45 15.25 36.63

43
Lampiran 10. Hasil analisis karoten olein

Berat Absorbansi Karoten (ppm)


Sampel 1 2 1 2 Rata-rata
Sampel (g)
Olein A 0.1066 0.596 0.598 535.34 537.13 536.24
Olein B 0.1207 0.580 0.586 460.11 464.87 462.49
Olein E 0.1062 0.504 0.504 438.31 438.31 438.31
Olein F 0.1101 0.520 0.526 468.83 474.24 471.54

44
Lampiran 11. Hasil Analisis karoten stearin

Sampel Berat Absorbansi Karoten (ppm) Rata-rata


Sampel (g) 1 2 1 2
Stearin A 0.1179 0.343 0.337 278.56 273.69 276.13
Stearin B 0.1243 0.322 0.315 248.04 242.65 245.35
Stearin E 0.1074 0.266 0.263 237.15 234.47 235.81
Stearin F 0.1190 0.269 0.266 216.44 214.03 215.24

45
Lampiran 12. Hasil analisis slip melting point olein

Slip melting point Slip melting point Slip melting pont


Sampel Rata-rata
1 2 3
Olein A 18 19 18 18.33
Olein B 24 24 24 24
Olein E 22 22 23 22.33
Olein F 20 20 20 20

46
Lampiran 13. Hasil analisis slip melting point stearin

Slip melting point Slip melting point Slip melting pont


Sampel Rata-rata
1 2 3
Sterain A 51 51 51 51
Stearin B 52 52 52 52
Stearin E 50 51 50 50.33
Stearin F 51 51 51 51

47
Lampiran 14. Recovery karoten proses fraksinasi terpilih

Sampel Volume Volume Volume Total Total Total Recovery


CPO awal olein (ml) stearin karoten karoten karoten karoten
(ml) (ml) CPO Olein Stearin (%)
A 250 180 70 204.000 96.480 19.320 56.76
B 250 180 70 193.000 83.160 17.150 51.97
E 250 170 80 125.250 74.460 18.880 74.52
F 250 175 75 135.750 82.600 1.575 62.00
Lampiran 15. Gambar pengukuran slip melting Lampiran 17. Gambar olein hasil fraksinasi
point

Lampiran 18.Gambar stearin hasil fraksinasi

Lampiran 16. Gambar pipa kapiler


pengukuran slip melting point

48

You might also like