Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

KAJIAN KETERKAITAN TOPONIM TERHADAP FENOMENA GEOGRAFIS

STUDI KASUS: TOPONIM DESA DI SEBAGIAN KABUPATEN BATANG

Ilham Mashadi
Ilham.mashadi@mail.ugm.ac.id

Zuharnen
dt_harnen21@yahoo.co.id

ABSTRACT
Toponym is a phenomenon of language in a landscape that is influenced by aspects of language,
local culture, history, environment, and politics. Batang Regency has a variety of landforms such as
denudational, volcanic, structural, fluvial, and marine. Batang Regency experienced some cultural regime
of the Hindu Mataram Kingdom, Islamic Mataram, until the time of independence from Dutch colonial
occupation. Therefore, the village toponyms in the study area are influenced by Malay, Javanese, and
Sanskrit languages.
The aims of this research are (a) to know the relationship between toponyms with geographical
phenomena, (b) visualize the relationship between toponyms with geographical phenomena spatially, and
(c) to know the spatial pattern of relationship between toponyms with geographical phenomena. Census
survey method was used to achieve the objectives. Descriptive qualitative and spatial autocorrelation were
used to know the spatial pattern and the relationship between toponyms with geographical phenomena.
The results showed that (a) the toponyms in the area of research has relationship with physical
geographical phenomena and non-physical geographical phenomena; (b) the relationship between
toponyms with geographical phenomena can be visualized in the map of relationship between toponyms
with geographical phenomena using area symbol, selective perception, and color visual variable; (c) the
spatial pattern of the relationship between toponym with physical and non physical geographical
phenomena are clustered.

Keywords: Village Toponyms, Geographical Phenomena, Relationship, Spatial Pattern

INTISARI
Toponim merupakan suatu fenomena bahasa pada suatu bentanglahan yang dipengaruhi oleh
aspek bahasa, budaya lokal, sejarah, lingkungan, dan politik. Kabupaten Batang memiliki bentuklahan
beragam, baik itu bentuklahan asal proses denudasional, volkanik, struktural, fluvial, maupun marin.
Kabupaten Batang mengalami beberapa rezim kebudayaan dari masa Kerajaan Mataram Hindu, Mataram
Islam, hingga masa kemerdekaan dari penjajahan Kolonial Belanda. Oleh karena itu, toponim desa di
daerah ini berasal dari bahasa Melayu, Jawa, maupun Sanskerta dengan beragam fenomena geografis yang
mempengaruhinya.
Penelitan ini bertujuan untuk (a) mengetahui keterkaitan antara toponim dengan fenomena
geografis, (b) memvisualisasikan keterkaitan antara toponim dengan fenomena geografis secara spasial,
dan (c) mengetahui pola keruangan yang terbentuk dari keterkaitan toponim dengan fenomena geografis.
Penelitian ini menggunakan metode survei berupa sensus dan dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk
mengetahui jenis keterkaitan serta dianalisis secara autokorelasi spasial untuk mengetahui jenis pola
keruangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (a) toponim di daerah penelitian memiliki keterkaitan
dengan fenomena geografi fisikal dan fenomena geografi non fisikal; (b) keterkaitan toponim terhadap
fenomena geografis dapat divisualisasikan secara spasial dalam peta keterkaitan toponim terhadap
fenomena geografis dengan simbol berupa area, persepsi selektif, dan variabel grafis warna; dan (c) pola
keruangan yang terbentuk dari keterkaitan toponim terhadap fenomena geografi fisikal maupun fenomena
geografi non fisikal adalah pola sebaran mengumpul.

Kata Kunci : Toponim Desa, Keterkaitan, Hubungan Asosiasi, Fenomena Geografis

1
PENDAHULUAN contohnya seperti nama daerah atau
1. Latar Belakang toponim sering digunakan oleh pemerintah
Otonomi daerah diarahkan untuk untuk mempromosikan tujuan ideologis
mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan politis tertentu. Oleh karena itu,
masyarakat melalui peningkatan, toponim akhirnya dipengaruhi oleh aspek
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta bahasa, budaya lokal, sejarah, lingkungan,
masyarakat, serta peningkatan daya saing dan politik.Hal tersebut seperti yang terjadi
daerah. Pada kebijakan otonomi ini, di Kabupaten Batang. Nama-nama daerah
masyarakat diberikan kebebasan seluas- di Kabupaten ini dipengaruhi oleh
luasnya untuk ikut berpartisipasi dalam kebudayaan peninggalan masa Dapunta
membangun daerahnya masing-masing. Sailendra yang menggunakan nama-nama
Oleh karena itu, dibutuhkan berbagai upaya berbahasa Melayu, Jawa Kuno, maupun
dari masyarakat untuk mengetahui dan Sanskerta (Asa dkk., 2011).
memahami potensi daerahnya masing- 2. Perumusan Masalah
masing agar tercipta partisipasi Berdasarkan latar belakang yang telah
pembangunan yang optimal. Salah satu cara diuraikan di atas, dapat diambil perumusan
yang dapat dilakukan yaitu dengan masalah sebagai berikut :
memahami fenomena geografis daerah. 1. Bagaimanakah keterkaitan antara
Fenomena geografis daerah salah satunya toponim dengan fenomena geografis di
tercermin dari nama geografis suatu daerah penelitian?
wilayah. 2. Bagaimanakah cara memvisualisasi-
Nama geografis baik dalam ucapan kan keterkaitan antara toponim dengan
maupun tulisan muncul dari sejarah fenomena geografis secara spasial di
kebudayaan manusia sejak manusia daerah penelitian?
berhenti hidup sebagai pengembara yang 3. Bagaimanakah pola keruangan yang
nomaden (Rais dkk., 2008). Nama-nama terbentuk dari keterkaitan antara
geografis atau toponim suatu daerah toponim dengan fenomena geografis di
mulanya diberikan oleh manusia bertujuan daerah penelitian?
untuk identifikasi, komunikasi, dan 3. Tujuan Penelitian
informasi bagi sesamanya. Sejalan dengan Tujuan dari penelitian ini adalah :
hal tersebut, Rais dkk. (2008) 1. Mengetahui keterkaitan antara toponim
mengemukakan bahwa saat manusia mulai dengan fenomena geografis.
menempati suatu wilayah untuk hidup, 2. Memvisualisasikan keterkaitan antara
wilayah yang ditempati itu kemudian diberi toponim dengan fenomena geografis
nama berdasarkan kondisi alam yang secara spasial.
mudah dikenal di wilayah itu dan akhirnya 3. Mengetahui pola keruangan yang
menjadi nama desa / kampung tempat terbentuk dari keterkaitan antara
mereka hidup, berdasarkan apa yang toponim dengan fenomena geografis.
semula terlihat lebih menonjol dalam
kawasan itu. Perkembangannya, seperti TINJAUAN PUSTAKA
halnya yang disampaikan oleh Kamonkarn 1. Pengertian Toponimi dan Toponim
dkk. (2008) penamaan daerah tak hanya Toponim atau dalam bahasa Inggris
tertuju pada aspek lingkungan fisik, namun disebut toponym, menurut Rais dkk. (2008)
telah meluas menjadi sebuah fenomena diartikan secara harfiah sebagai nama
bahasa pada suatu betanglahan yang terjadi tempat di muka bumi (“topos” adalah
dari budaya lokal, bahasa, dan sejarah. “tempat” atau “permukaan” seperti
Ditambahkan lagi dalam Luo (2009) bahwa “topografi” adalah gambaran tentang
penamaan daerah ini merupakan aspek permukaan atau tempat-tempat di bumi,
integral dari hubungan antara tempat dan “nym” dari “onyma” adalah “nama”).
dan politik identitas dan kekuasaan, Dalam bahasa Indonesia, sering digunakan

2
istilah “nama unsur geografi” atau “nama dibuatnya peta. Nama unsur geografi
geografis” atau “nama rupabumi”. muncul ketika manusia untuk pertama
Raper (1996) mengemukakan bahwa kalinya mendiami suatu wilayah dan perlu
toponimi mempunyai dua pengertian, yaitu memberi nama pada unsur-unsur geografi
ilmu yang mempunyai objek studi tentang yang ada di sekitarnya.
toponim pada umumnya dan tentang nama 2. Pengertian Fenomena Geografis
geografis khususnya; dan totalitas dari Pada dasarnya, pembahasan mengenai
toponim dalam suatu wilayah. Batasan fenomena geografis tidak akan pernah
yang lebih jelas mengenai toponimi terlepas dari dua istilah yang
dikemukakan oleh Bishop dkk. (2011) yang membentuknya, yaitu fenomena dan
mendefinisikan toponimi sebagai suatu geografi. Kamus Bahasa Indonesia tahun
studi tentang tempat berdasarkan pada 2008 menyatakan bahwa fenomena adalah:
informasi historis dan geografis, “1) hal-hal yg dapat disaksikan dengan
menggunakan kata atau kumpulan kata pancaindria, dan dapat diterangkan serta
untuk menunjukkan, menjabarkan, atau dinilai secara ilmiah, seperti fenomena
mengidentifikasi sebuah wilayah geografis, alam; gejala; 2) orang kejadian, benda,
seperti: gunung, sungai, hutan, dan kota. dsb) yang menarik perhatian atau luar
Secara teknis, Kamonkarn dkk. (2008) biasa sifatnya; sesuatu yang lain dapat
membagi toponimi menjadi dua kategori yang lain; 3) fakta; kenyataan”.
besar, yaitu nama huni dan nama fitur. Bintarto dan Hadisumarmo (1979)
Nama huni merupakan nama yang mengemukakan bahwa geografi terpadu
menunjukkan suatu wilayah yang ditempati menggunakan pendekatan analisa
atau dihuni. Nama fitur merupakan nama keruangan, analisa ekologi, dan analisa
yang mengacu pada alam atau karakteristik kompleks wilayah untuk menyelesaikan
fisik suatu bentanglahan. Nama fitur masalah dalam geografi. Senada dengan
diklasifikasikan menjadi hidronim (fitur pernyataan tersebut, Hagget (1983)
air), oronim (fitur relief), dan tempat- mengemukakan bahwa terdapat tiga macam
tempat pertumbuhan vegetasi alami. Tak analisis dalam geografi, yaitu :
jauh berbeda dengan pembagian toponimi 1. Ruang (lokasi) : angka, karakteristik,
yang telah disampaikan sebelumnya, Rais kegiatan, dan distribusi.
dkk. (2008) menyatakan bahwa dalam 2. Ekologi: hubungan antara manusia
toponimi terdapat elemen generik dan dengan lingkungan.
elemen spesifik, atau disebut juga nama 3. Regional: kombinasi dari kedua
generik dan nama spesifik. Elemen generik dua tema sebelumnya dalam wilayah.
dari suatu toponim merepresentasikan Pendapat tersebut didukung oleh
migrasi manusia di masa lalu yang Goodall dalam Suhardjo (2013) yang
umumnya dinamakan menurut bahasa menyatakan bahwa geografi merupakan
pemukim pertama di wilayah itu. Elemen studi tentang permukaan bumi sebagai
spesifik dari toponim merupakan nama diri lingkungan dan ruang di mana manusia
dari elemen generik yang telah disebutkan hidup, dengan menekankan pada struktur
sebelumnya. dan interaksi sistem ekologis dan
Kamonkarn dkk. (2008) sistem tata ruang. Goodall dalam Suhardjo
mengungkapkan bahwa toponimi (2013) juga menyebutkan bahwa geografi
merupakan fenomena bahasa pada suatu memiliki unsur-unsur yang meliputi: (a)
bentanglahan yang terjadi dari budaya analisa spasial, dengan penekanan
lokal, bahasa, sejarah, dan lingkungan pada lokasi, (b) analisa ekologi, dengan
masing-masing daerah. Oleh karena itu, penekanan pada interaksi antara manusia
pola bahasa dari toponimi tergantung pada dengan lingkungan, dan (c) analisa daerah,
wilayah masing-masing. Adanya nama dengan penekanan pada perbedaan wilayah
unsur geografi ini lebih awal sebelum dan areal.

3
Bintarto dalam Bintarto dan 4. Semiotika
Hadisumarmo (1979) membagi fenomena Semiotik atau Semiotika berasal dari
dalam lingkungan geografi menjadi kata Yunani Semeion yang memiliki arti
fenomena lingkungan fisikal dan tanda. de Saussure (1988) menyebut
lingkungan non fisikal. Fenomena Semiotika sebagai Semiologi, yaitu studi
lingkungan fisikal terdiri dari aspek mengenai tanda–tanda sebagai suatu bagian
topologi, aspek non biotik, dan aspek dari kehidupan sosial. Sementara itu, Pierce
biotik. Aspek topologi merupakan aspek (1931) dalam van Zoest (1993) menyatakan
lingkungan fisikal yang berhubungan bahwa semiotika merupakan doktrin formal
dengan letak, luas, bentuk, dan batas suatu dari tanda – tanda yang memiliki hubungan
wilayah. Aspek non-biotik merupakan erat dengan logika. van Zoest (1993)
aspek lingkungan fisikal yang terdiri dari mendefinisikan semiotik sebagai sebuah
tanah, air, dan iklim. Aspek biotik cabang ilmu tentang pengkajian tanda dan
merupakan aspek lingkungan fisikal yang segala sesuatu yang berhubungan dengan
mencakup manusia, hewan, dan tanaman. tanda, seperti sistem dan proses yang
Fenomena lingkungan non fisikal terdiri berlaku bagi tanda.
dari aspek sosial, aspek ekonomi, aspek de Saussure (1988) mendasarkan
budaya, dan aspek politik. semiologi pada anggapan bahwa selama
3. Hermeneutika perbuatan dan tingkah laku manusia
Bleicher (1980) menyebutkan bahwa menimbulkan makna atau selama memiliki
istilah hermeneutika berasal dari kata kerja fungsi sebagai tanda, maka harus ada sistem
Yunani Hermeneuein yang memiliki arti pembedaan dan konvensi yang
menafsirkan, dengan kata bendanya adalah memungkinkan makna itu. Pierce (1931)
Hermenia, akar kata itu dekat dengan nama dalam van Zoest (1993) meyakini bahwa
salah satu dewa Yunani, yakni Hermes. segala sesuatu adalah tanda, karena
Hermes merupakan dewa dalam mitologi semiotika merupakan sinonim dengan
Yunani yang memiliki tugas sebagai logika. Dikatakan demikian karena diyakini
penghubung antara sang Maha Dewa di bahwa manusia berpikir dalam suatu tanda.
langit dengan para manusia di bumi. Selain itu, tanda juga merupakan unsur
Ricoeur (1982) mendefinisikan dalam komunikasi. van Zoest (1993)
Hermeneutika sebagai teori tentang suatu memberikan lima ciri untuk suatu tanda,
pemahaman dalam kaitannya dengan yaitu tanda harus dapat diamati sebagai
interpretasi teks. Sejalan dengan hal itu, tanda, tanda harus dapat dimengerti (syarat
Wadud Muhsin (1994) mengemukakan mutlak), merujuk pada sesuatu yang lain
bahwa Hermeneutika secara umum dapat (sesuatu yang tidak hadir), memiliki sifat
didefinisikan sebagai suatu teori atau representatif, dan suatu hal dapat
filsafat tentang interpretasi makna. merupakan tanda bila berdasarkan satu atau
Ricoeur (1982) mengemukakan tiga beberapa dasar.
proses pemahaman untuk mendapatkan 5. Pola Keruangan
pemahaman yang utuh, yaitu: (a) Pembahasan mengenai pola keruangan
Pemahaman dari penghayatan simbol- tidak akan pernah terlepas dari dua istilah
simbol (bahasa) menuju gagasan berfikir, yang membentuknya. Kedua istilah tersebut
(b) Pemberian makna oleh simbol-simbol yaitu ruang dan pola. Undang-Undang
dan penggalian yang cermat atas makna, Nomor 26 Tahun 2007 menyebutkan bahwa
dan (c) Berfikir dengan menggunakan ruang adalah “wadah yang meliputi ruang
simbol-simbol sebagai titik tolaknya. darat, ruang laut, dan ruang udara,
Ketiga langkah tersebut berhubungan erat termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu
dengan tiga tahap pemahaman bahasa, kesatuan wilayah, tempat manusia dan
yaikni tahap semantik, tahap reflektif, dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan,
tahap eksistensialis (Kaelan, 1998). dan memlihara kelangsungan hidupnya”.

4
Yunus (2010) mendefinisikan pola sebagai biotik. Ketiga aspek tersebut kemudian
suatu kekhasan sebaran objek berupa titik, dijabarkan kembali menjadi beberapa sub
garis, atau areal pada suatu bagian aspek. Aspek topologi memiliki sub aspek
permukaan bumi. letak, luas, bentuk, dan batas. Aspek non
Dengan demikian, jika kedua istilah biotik memiliki sub aspek tanah, air, dan
tersebut digabungkan, maka pola iklim. Aspek biotik memiliki sub aspek
keruangan dapat didefiniskan sebagai manusia, hewan, dan tumbuhan.
kekhasan sebaran keruangan gejala Fenomena geografi non fisikal
geosfera di permukaan bumi (Yunus, memiliki sosial, aspek ekonomi, aspek
2010). Ditambahkan oleh Webster (1996), budaya, dan aspek politik. Keempat aspek
Coffey (1981), dan Yunus (2001) dalam tersebut kemudian dijabarkan kembali
Yunus (2010) bahwa gejala keruangan akan menjadi beberapa sub aspek. Aspek sosial
selalu berkisar pada kekhasan sebaran titik, meliputi, tradisi, kelompok, masyarakat,
garis, dan areal yang merupakan bentuk dan lembaga sosial. Aspek ekonomi
abstraksi dari elemen pembentuk ruang. meliputi, industri, perdagangan,
perkebunan, transpor, pasar, dan kegiatan
METODE PENELITIAN ekonomi lainnya. Aspek budaya meliputi,
Penelitian ini menggunakan pendidikan, agama, bahasa, kesenian, dan
pendekatan populasi dengan metode sebagainya. Aspek politik meliputi,
sensus. Selain itu, analisis yang digunkan pemerintahan dan kepartaian.
menggunakan analisis deskriptif kualitatif. 2. Pemetaan Keterkaitan Toponim
Karakteristik penelitian ini bersifat terhadap Fenomena Geografis
penelitian eksplorasi, yaitu berusaha Peta Keterkaitan Toponim terhadap
melakukan identifikasi terhadap Fenomena Geografis ini merupakan luaran
keterkaitan toponim daerah dengan yang digunakan untuk menjawab tujuan
fenomena geografis di daerah tersebut. kedua, yaitu memvisualisaikan keterkaitan
Cara untuk mencapai tujuan adalah dengan antara toponim dengan fenomena geografis
melakukan (a) deskripsi keterkaitan secara spasial. Dalam pembuatan peta ini,
toponim terhadap fenomena geografis, (b) terlebih dahulu dilakukan klasifikasi
pemetaan keterkaitan toponim terhadap keterkaitan antara data toponim desa
fenomena geografis, dan (c) deskripsi pola dengan aspek fenomena geografis pada
keruangan keterkaitan toponim terhadap tahap analisis keterkaitan/asosiasi
fenomena geografis keruangan antara makna toponim desa
1. Deskripsi Keterkaitan Toponim dengan aspek fenomena geografis yang
terhadap Fenomena Geografis melandasi makna toponim. Hasil klasifikasi
Deskripsi dilakukan secara kualitatif keterkaitan akan memunculkan macam
mengacu pada hasil yang diperoleh dari keterkaitan toponim dengan fenomena
tahap analisis keterkaitan/asosiasi geografis yang meliputi toponim terkait
keruangan antara toponim desa dengan fenomena geografi fisikal dan fenomena
fenomena geografis yang melatar belakangi geografi non fisikal. Kedua macam
masing–masing toponim desa. Hasil dari keterkaitan tersebut memiliki aspek dan sub
tahap analisis keterkaitan/asosiasi adalah aspek masing-masing yang berbeda dan
klasifikasi keterkaitan toponim dengan dapat pula terjadi perpaduan. Macam dari
fenomena geografis yang meliputi toponim keterkaitan toponim itulah yang digunakan
terkait fenomena geografi fisikal dan sebagai acuan dalam mendesain Peta
fenomena geografi non fisikal. Masing- Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena
masing dari macam fenomena geografis Geografis Sebagian Kabupaten Batang.
tersebut memiliki aspek keterkaitan. Peta dibuat dalam 3 macam, yaitu peta yang
Fenomena geografi fisikal memiliki memuat informasi mengenai klasifikasi
aspek topologi, aspek non biotik, dan aspek keterkaitan toponim dengan lingkungan

5
fenomena geografis, peta yang memuat aspek, yaitu sub aspek letak dan sub
informasi mengenai klasifikasi keterkaitan aspek bentuk. Hal itu dikarenakan
toponim dengan aspek-aspek fenomena hanya terdapat dua sub aspek itu saja
geografis, dan peta yang memuat informasi yang berasosiasi dengan toponim di
mengenai klasifikasi keterkaitan toponim daerah kajian. Toponim yang
dengan sub aspek-sub aspek fenomena berasosiasi dengan aspek topologi
geografis. diantaranya toponim Cempereng,
3. Deskripsi Pola Keruangan Cepagan, Gapuro, Kandeman,
Keterkaitan Toponim terhadap Karanggeneng, Kedung-malang,
Fenomena Geografis Lawangaji, Silurah, Simpar, Tragung,
Deskripsi dilakukan mengacu pada hasil Ujungnegoro, dan Wates. Toponim
yang diperoleh dari tahap analisis Cempereng, Cepagan, Kandeman,
keterkaitan/asosiasi keruangan antara Karanggeneng, Tragung, dan Silurah
toponim desa dengan fenomena geografis berasosiasi dengan sub aspek bentuk.
yang melatar belakangi masing–masing Toponim Gapuro, Lawangaji, Simpar,
toponim desa dan tahap pembuatan peta dan Ujungnegoro berasosiasi dengan
keterkaitan toponim terhadap fenomena sub aspek letak.
geografis. Elemen keruangan dalam 2. Asosiasi dengan Aspek Non
penelitian ini diabstraksikan dalam bentuk Biotik
titik. Kekhasan sebaran dari fenomena Dalam asosiasi dengan aspek non
geografi fisikal dan fenomena geografi non biotik, hanya akan dibahas dua sub
fisikal yang tergambar dalam peta aspek, yaitu sub aspek tanah dan sub
keterkaitan antara toponim terhadap aspek air. Hal itu dikarenakan hanya
fenomena geografis selanjutnya terdapat dua sub aspek yang
diklasifikasikan dalam kategori pola berasosiasi dengan toponim di daerah
persebaran titik teratur, pola persebaran kajian. Toponim yang berasosiasi
titik acak, atau pola persebaran titik dengan sub aspek tanah yaitu toponim
mengumpul sesuai dengan hasil yang Batiombo dan toponim Terban.
diperoleh pada tahap analisis autokorelasi Toponim yang berasosiasi dengan sub
spasial. aspek air antara lain, toponim Banjiran,
HASIL DAN PEMBAHASAN Kalibeluk, Kecepak, Klidang, Lebo,
1. Deskripsi Keterkaitan Toponim Sendang, Tombo, dan Tumbrep.
terhadap Fenomena Geografis b. Asosiasi dengan Fenoena Geografi
Dalam deskripsi hubungan asosiasi Non Fisikal
toponim dengan fenomena geografis ini 1. Asosiasi dengan Aspek Sosial
akan diuraikan ke dalam dua jenis Dalam asosiasi dengan aspek
fenomena geografis, yaitu fenomena sosial, hanya akan dibahas tiga sub
geografis fisikal dan fenomena geografis aspek, yaitu sub aspek tradisi, sub
non fisikal. Kedua jenis fenomena aspek kelompok dan sub lembaga
geografis tersebut nantinya akan dijabarkan sosial. Hal itu dikarenakan hanya
kembali ke dalam masing-masing aspek terdapat tiga sub aspek yang
yang merupakan anggota dari keduanya. berasosiasi dengan toponim di daerah
Deskripsi hubungan asosiasi toponim kajian. Toponim yang berasosiasi
dengan fenomena geografis di Kabupaten dengan sub aspek tradisi diantaranya,
Batang adalah sebagai berikut: toponim Binangun, Brayo, Kemligi,
a. Asosiasi dengan Fenomena Geografi Menguneng, Pasekaran, Pesaren,
Fisikal Proyonanggan, Sidayu, dan Toso.
1. Asosiasi dengan Aspek Topologi Toponim yang berasosiasi dengan sub
Dalam asosiasi dengan aspek aspek kelompok diantaranya, toponim
topologi, hanya akan dibahas dua sub Karanganyar, Kasepuhan, Kauman,

6
Peta Topografi
Peta AMS Peta Data Sejarah
Citra Peta Geologi Peta RBI 1:100.000 (1863 dan
1:50.000 Administrasi Gasetir Toponim
Landsat 8 1:100.000 1:25.000 1892), 1:50.000
(1963) 1:25.000 Desa
(1919 dan 1920)

Interpretasi Interpretasi Interpretasi Interpretasi

Kontur Toponim Toponim Toponim Toponim

Interpretasi
Pengumpulan
visual

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian


Survei Toponim
Peta Bentuklahan
Lapangan Tentatif
Keterangan:

Peta Bentuklahan Toponim Baku Data Proses Hasil


Terkoreksi dan Makna
1 Tujuan

Analisis
Keterkaitan

1 2 3
Deskripsi Keterkaitan Toponim Peta Keterkaitan Toponim Deskripsi Pola Keruangan
terhadap Fenomena Geografis terhadap Fenomena Geografis Analisis Keterkaitan Toponim terhadap Fenomena
Sebagian Kabupaten Batang Sebagian Kabupaten Batang Autokorelasi Spasial Geografis Sebagian Kabupaten Batang

7
dan Watesalit. Toponim yang sub aspek yang berasosiasi dengan
berasosiasi dengan sub aspek lembaga toponim di daerah kajian. Toponim
sosial adalah toponim Karanganom. yang berasosiasi dengan sub aspek
2. Asosiasi dengan Aspek Ekonomi peme-rintahan antara lain, toponim
Dalam hal asosiasi dengan aspek Masin, Rowobelang, Sidorejo,
ekonomi, toponim daerah kajian yang Tambahrejo, dan Wonotunggal.
meliputi wilayah Kecamatan Bandar, c. Asosiasi dengan Perpaduan Antar
Wonotunggal, Warungasem, Kande- Fenomena Geografis
man, dan Batang hanya berasosiasi Di daerah kajian ditemui perpaduan
dengan dua sub aspek ekonomi. Kedua antar dua aspek dalam fenomena
sub aspek ekonomi tersebut adalah sub geografis yang menjadi dasar dalam
aspek perdagangan dan sub aspek penentuan asosiasi yang terjadi antara
pertanian. Oleh karena itu, hanya akan toponim dengan fenomena geografis
dibahas dua sub aspek tersebut dalam tertentu. Perpaduan yang terjadi adalah
hal asosiasi toponim dengan aspek perpaduan antara aspek biotik dengan
ekonomi. Toponim yang berasosiasi topologi, biotik dengan non biotik, dan
dengan sub aspek perdagangan yaitu non biotik dengan biotik. Sub aspek yang
toponim Bandar, Juragan, Sijono, dan menyebabkan perpaduan antara aspek
Warungasem. Toponim yang biotik dengan aspek topologi adalah sub
berasosiasi dengan sub aspek pertanian aspek tanaman dan sub aspek letak.
adalah toponim Wonokerto. Toponim yang berasosiasi dengan
3. Asosiasi dengan Aspek Budaya perpaduan sub aspek tanaman dan sub
Dalam hal asosiasi dengan aspek aspek letak adalah toponim Sawahjoho.
budaya, toponim daerah kajian yang Sub aspek yang menyebabkan perpaduan
meliputi wilayah Kecamatan Bandar, antara aspek biotik dengan aspek non
Wonotunggal, Warungasem, Kande- biotik adalah sub aspek tanaman dan sub
man, dan Batang berasosiasi dengan aspek air. Toponim yang berasosiasi
lima sub aspek budaya. Kelima sub dengan perpaduan sub aspek tanaman dan
aspek budaya tersebut adalah sub aspek sub aspek air adalah toponim
agama, sub aspek bangunan, sub aspek Wonosegoro. Sub aspek yang
kerajinan, sub aspek kesenian, dan sub menyebabkan perpaduan antara aspek non
aspek pendidikan. Toponim yang biotik dengan aspek biotik adalah sub
berasosiasi dengan sub aspek agama aspek air, sub aspek tanah, dan sub aspek
adalah toponim Kreyo. Toponim yang tanaman. Perpaduan yang terjadi adalah
berasosiasi dengan sub aspek antara sub aspek air dengan sub aspek
bangunan antara lain, toponim tanaman dan antara sub aspek tanah
Botolambat,Candiareng, Sambong, Si- dengan sub aspek tanaman. Toponim
watu, dan Sodong. Toponim yang yang berasosiasi dengan perpaduan antara
berasosiasi dengan sub aspek kerajinan sub aspek air dengan sub aspek tanaman
adalah toponim Pesalakan. Toponim adalah toponim Kalipucang, toponim
yang berasosiasi dengan sub aspek Kalisalak, dan toponim Kali-wareng.
kesenian adalah toponim Brokoh. Toponim yang berasosiasi dengan
Toponim yang berasosiasi dengan sub perpaduan antara sub aspek tanah dengan
aspek pendidikan adalah toponim sub aspek tanaman adalah toponim
Depok. Karangasem.
4. Asosiasi dengan Aspek Politik 2. Pemetaan Keterkaitan Toponim
Dalam asosiasi dengan aspek terhadap Fenomena Geografis
politik, hanya akan dibahas satu sub Pembuatan peta Keterkaitan Toponim
aspek, yaitu sub aspek pemerintahan. terhadap Fenomena Geografis ini dilakukan
Hal itu dikarenakan hanya terdapat satu untuk menjawab tujuan kedua, yaitu

8
memvisualisaikan keterkaitan antara Peta kedua, yaitu peta yang memuat
toponim dengan fenomena geografis secara informasi mengenai klasifikasi keterkaitan
spasial. Pemetaan dilakukan dengan aspek-aspek fenomena geografis. Pada peta
terlebih dahulu mencatat lokasi daerah- ini terdapat tujuh jenis keterkaitan yang
daerah yang telah diklasifikasikan macam dipetakan. Ketujuh jenis keterkaitan
keterkaitannya. Selanjutnya, dilakukanlah tersebut adalah keterkaitan terhadap aspek
simbolisasi untuk merepresentasikan topologi, aspek non biotik, aspek biotik,
macam keterkaitan pada tiap-tiap daerah. aspek sosial, aspek ekonomi, aspek
Pemilihan simbol ini mengacu pada skala budaya, dan aspek
data dan hubungan variabel grafis terhadap
sifat persepsualnya (Bertin dalam Kraak
dan Ormeling, 2007). Peta Keterkaitan
Toponim terhadap Fenomena Geografis
dibuat dalam 3 macam. Ketiga macam peta
tersebut dibuat dengan mengacu pada
klasifikasi keterkaitan yang dihasilkan dari
analisis keterkaitan/asosiasi. Tiga macam
peta tersebut meliputi peta yang memuat
informasi mengenai klasifikasi keterkaitan
fenomena geografis, peta yang memuat
informasi mengenai klasifikasi keterkaitan
aspek-aspek fenomena geografis, peta yang
memuat informasi mengenai klasifikasi
keterkaitan sub aspek-sub aspek fenomena
geografis.
Peta pertama, yaitu peta yang memuat
informasi mengenai klasifikasi keterkaitan
fenomena geografis. Pada peta ini terdapat
dua jenis keterkaitan yang dipetakan.
Kedua jenis keterkaitan tersebut adalah
keterkaitan terhadap fenomena geografis
fisikal dan keterkaitan terhadap fenomena Gambar 2. Peta Keterkaitan Toponim terhadap
geografis non fisikal. Simbol yang Fenomena Geografis
digunakan untuk merepresentasikan kedua Sebagian Kabupaten Batang
macam keterkaitan tersebut adalah simbol politik. Selain ketujuh jenis keterkaitan
area. Selanjutnya, persepsi visual yang yang telah disebutkan sebelumnya, masih
digunakan untuk merepresentasikan kedua terdapat tiga keterkaitan campuran, yaitu
jenis keterkaitan ini adalah persepsi keterkaitan terhadap aspek biotik-topologi,
selektif. Variabel visual yang digunakan biotik-non biotik, dan non biotik-biotik.
untuk merepresentasikan kedua jenis Simbol yang digunakan sama dengan
keterkaitan ini adalah warna. Isi utama peta simbol pada peta pertama. Persepsi visual
yang berupa informasi mengenai dua jenis yang digunakan untuk merepresentasikan
keterkaitan fenomena geografis ini sepuluh jenis keterkaitan ini adalah persepsi
tentunya harus dilengkapi dengan isi selektif dan ordinal. Variabel visual yang
pendukung untuk lebih menonjolkan digunakan untuk merepresentasikan kedua
informasi yang terdapat dalam isi utama. Isi jenis keterkaitan ini adalah warna dan
pendukung yang digunakan adalah jalan, tekstur. Peta kedua ini dapat dilihat pada
sungai, dan model elevasi digital. Peta Gambar 3.
pertama ini dapat dilihat pada Gambar 2. Peta ketiga, yaitu peta yang memuat
informasi mengenai klasifikasi keterkaitan

9
sub aspek fenomena geografis. Pada peta perpaduan, namun juga digunakan untuk
ini terdapat tujuh belas jenis keterkaitan memberikan persepsi pada pembaca peta
yang dipetakan. Ketujuh belas jenis bahwa sub aspek keterkaitan yang
keterkaitan tersebut adalah keterkaitan dipetakan merupakan bagian dari aspek
terhadap sub aspek letak, sub aspek bentuk, keterkaitan. Isi pendukung yang digunakan
sub aspek manusia, sub aspek hewan, sub pada peta ketiga ini sama dengan isi
aspek tanaman, sub aspek tanah, sub aspek pendukung yang digunakan pada peta
air, sub aspek tradisi, sub aspek kelompok, pertama. Peta ketiga ini dapat dilihat pada
sub aspek lembaga sosial, sub aspek Gambar 4.
perdagangan, sub aspek pertanian, sub
aspek pendidikan, sub aspek agama, sub
aspek bangunan, sub aspek kerajinan, dan
sub aspek pemerintahan. Selain ketujuh
belas jenis keterkaitan yang telah
disebutkan sebelumnya, masih terdapat
empat keterkaitan campuran, yaitu
keterkaitan terhadap sub aspek tanaman-
letak, sub aspek tanah-tanaman, dan sub
aspek air-tanaman.

Gambar 4. Peta Keterkaitan Toponim terhadap


Sub Aspek Fenomena Geografis
Sebagian Kabupaten Batang
3. Deskripsi Pola Keruangan Toponim
terhadap Fenomena Geografis
Keterkaitan antara toponim dengan
fenomena geografis memiliki karakteristik
yang khas. Salah satu kekhasan dari
karakteristik tersebut adalah pola
keruangan. Pola keruangan terbentuk dari
Gambar 3. Peta Keterkaitan Toponim terhadap Aspek adanya kekhasan sebaran dari elemen
Fenomena Geografis Sebagian Kabupaten Batang pembentuk ruangnya. Elemen pembentuk
Simbol, persepsi visual, dan variabel ruang dalam penelitian ini adalah jenis
visual yang digunakan peta ketiga ini sama keterkaitan yang terjadi antara toponim
dengan simbol dan persepsi visual pada desa dengan fenomena geografis, baik itu
peta kedua. Meskipun begitu, persepsi keterkaitan toponim desa dengan fenomena
visual ordinal pada peta ketiga ini tak hanya geografi fisikal maupun dengan fenomena
digunakan untuk memudahkan dalam geografi non fisikal. Elemen pembentuk
melakukan persepsi terhadap keterkaitan ruang tersebut diabstraksikan dalam bentuk

10
titik. Bentuk titik digunakan sebagai topologi berupa letak dan bentuk, daerah
abstraksi dari elemen pembentuk ruang tersebut diantaranya, Desa Ujungnegoro,
dalam penelitian ini karena setiap jenis Desa Karanggeneng, Desa Kandeman,
keterkaitan yang terdapat dalam setiap Desa Lawangaji, Desa Tragung, dan Desa
toponim desa tidak mempengaruhi dimensi Cempereng. Hanya beberapa saja yang
panjang, lebar, maupun luasan aktual desa. mengumpul pada daerah-daerah yang
Keterkaitan toponim desa dengan dipengaruhi oleh adanya aspek biotik
fenomena geografi fisikal membentuk berupa tanaman dan sub aspek non biotik
suatu sebaran yang khas dalam peta berupa air, dalam hal ini air yang dimaksud
keterkaitan toponim terhadap fenomena adalah sungai.
geografis. Berdasarkan hasil yang diperoleh Pada bagian tengah sebelah barat, terjadi
dari metode autokorelasi spasial dengan pengelompokan toponim terkait fenomena
algoritma Moran (Gambar 5), diketahui geografi fisikal pada daerah-daerah yang
bahwa sebaran dari jenis keterkaitan ini dipengaruhi oleh aspek biotik berupa
membentuk pola sebaran titik mengumpul. tanaman, daerah tersebut antara lain, Desa
Nilai dari indeks Moran yang dihasilkan Dringo, Desa Sariglagah, Desa Pejambon,
sebesar 0,636712 dengan nilai z sebesar dan Desa Kaliwareng. Hanya dua toponim
6,850895. Nilai indeks Moran ini saja yang mengumpul pada daerah yang
menunjukkan bahwa dalam kelompok dipengaruhi oleh aspek topologi berupa
daerah toponim terkait fenomena geografi letak yaitu Desa Wates dan aspek biotik
fisikal diindikasikan terdapat kesamaan berupa manusia yaitu Desa Pandansari.
nilai yang mengelompok dengan hubungan Sama halnya dengan bagian tengah sebelah
spasial yang sama. Pengelompokan sebaran barat, pada bagian tengah sebelah timur,
keterkaitan toponim terhadap fenomena terjadi pengelompokan toponim terkait
geografi fisikal terdapat pada bagian utara fenomena geografi fisikal pada daerah-
hingga timur laut, bagian tengah (barat dan daerah yang dipengaruhi oleh aspek biotik
timur), dan bagian selatan. berupa tanaman, daerah tersebut
diantaranya, Desa Cepokokuning, Desa
Penangkan, Desa Sigayam, Desa
Pucanggading, Desa Candi, dan Desa
Kluwih.
Pada bagian selatan, pola
pengelompokan toponim terkait fenomena
geografi fisikal tidak hanya dominan pada
satu aspek saja, melainkan bervariasi dari
aspek topologi berupa bentuk, aspek biotik
berupa tanaman, dan aspek non biotik
berupa air. Hal ini menunjukkan bahwa
daerah selatan telah berkembang lebih
dahulu sebelum daerah utara. Pembentukan
daerah bagian selatan lebih didominasi oleh
rezim bentuklahan volkanik. Ditambahkan
oleh Raffles (1829) dalam buku “History of
Gambar 5. Hasil Autokorelasi Spasial Java”, bahwa bagian utara Jawa bagian
Keterkaitan Toponim terhadap Tengah didominasi oleh daerah perbukitan
Fenomena Geografi Fisikal dan pegunungan yang subur.
Pada bagian utara hingga timur laut, Keterkaitan toponim desa dengan
toponim yang terkait fenomena geografi fenomena geografi non fisikal membentuk
fisikal cenderung mengumpul pada daerah- suatu sebaran yang khas dalam peta
daerah yang dipengaruhi oleh aspek keterkaitan toponim terhadap fenomena

11
geografis. Berdasarkan hasil yang diperoleh daerah yang dipengaruhi oleh aspek sosial
dari metode autokorelasi spasial dengan berupa tradisi yaitu Desa Brayo dan Desa
algoritma Moran (Gambar 6), diketahui Kemligi serta pada daerah yang
bahwa sebaran dari jenis keterkaitan ini dipengaruhi oleh aspek politik berupa
membentuk pola sebaran titik mengumpul. pemerintahan yaitu Desa Wonotunggal.
Nilai dari indeks Moran yang dihasilkan Pada bagian selatan, toponim yang
sebesar 0,873177 dengan nilai z sebesar terkait fenomena geografi non fisikal
7,969635. Nilai indeks Moran ini cenderung mengumpul pada daerah-daerah
menunjukkan bahwa dalam kelompok yang dipengaruhi oleh aspek sosial berupa
daerah toponim terkait fenomena geografi tradisi, daerah tersebut antara lain, Desa
non fisikal diindikasikan terdapat kesamaan Binangun, Desa Sidayu, dan Desa Toso.
nilai yang mengelompok dengan hubungan Selain itu, pada bagian selatan ini toponim
spasial yang sama. Pengelompokan sebaran yang terkait fenomena geografi non fisikal
keterkaitan toponim terhadap fenomena juga mengumpul pada daerah-daerah yang
geografi fisikal terdapat pada bagian utara dipengaruhi oleh aspek ekonomi yaitu Desa
hingga barat laut, bagian tengah hingga Bandar dan Desa Wonokerto serta juga
barat, dan bagian selatan. mengumpul pada daerah-daerah yang
dipengaruhi oleh aspek budaya yaitu Desa
Pesalakan dan Desa Sodong.

KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari
penelitian ini antara lain :
1. Toponim di daerah penelitian memiliki
keterkaitan dengan fenomena geografi
fisikal dan fenomena geografi non
fisikal. Keterkaitan toponim terhadap
fenomena geografi fisikal didominasi
oleh keterkaitan toponim terhadap sub
aspek tanaman dengan jumlah sebanyak
14 toponim. Keterkaitan toponim
terhadap fenomena geografi non fisikal
Gambar 6. Hasil Autokorelasi Spasial didominasi oleh keterkaitan toponim
Keterkaitan Toponim terhadap terhadap sub aspek tradisi dengan
Fenomena Geografi Non Fisikal jumlah sebanyak 9 toponim.
Pada bagian utara hingga barat laut, 2. Keterkaitan toponim terhadap fenomena
toponim yang terkait fenomena geografi geografis dapat divisualisasikan secara
non fisikal cenderung mengumpul pada spasial dalam peta keterkaitan toponim
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh aspek terhadap fenomena geografis dengan
sosial, daerah tersebut antara lain, Desa simbol berupa area, persepsi selektif,
Kasepuhan, Desa Proyonanggan Utara, dan variabel grafis warna.
Desa Watesalit, Desa Kauman, Desa 3. Pola keruangan yang terbentuk dari
Menguneng, dan Desa Pasekaran. keterkaitan toponim terhadap fenomena
Pada bagian tengah hingga barat, geografi fisikal adalah pola sebaran
toponim yang terkait fenomena geografi mengelompok dengan nilai indeks
non fisikal cenderung mengumpul pada autokorelasi spasial sebesar 0,636712
daerah-daerah yang dipengaruhi oleh aspek dan nilai z sebesar 6,850895 serta pola
budaya, daerah tersebut diantaranya, Desa keruangan yang terbentuk dari
Brokoh, Desa Kreyo, dan Desa Siwatu. keterkaitan toponim terhadap fenomena
Hanya tiga toponim yang mengumpul pada geografi non fisikal adalah pola sebaran

12
mengelompok dengan nilai indeks and Eco-Tourism: Case Study in The
autokorelasi spasial sebesar 0,873177 District of: Muang, Mae Chan, Mae
dan nilai z sebesar 7,969635. Sai, Chiang Sean, Chiang Khong,
Wieng Kaen , and Teoung, Chiangrai.
DAFTAR PUSTAKA Luo, Wei, dkk. (2009). Terrain
Asa, Kusnin., dkk. (2011). Sejarah Budaya Characteristics And Tai Toponyms: a
Batang. Batang: Dinas Kebudayaan GIS Analysis of Muang, Chiang, and
dan Pariwisata Kabupaten Batang. Viang. Springer, Mei 2009.
Bintarto, R., dan Hadisumarmo, S. (1979). Rais, Jacub., dkk. (2008). Toponimi
Metode Analisa Geografi. Jakarta: Indonesia: Sejarah Budaya Bangsa
LP3ES. yang Panjang dari Permukiman
Bishop, Preeyapha., dkk. (2011). An Manusia dan Tertib Administrasi.
Analysis of Village Toponym in Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Muang District, Chiangrai Province. Raper, P.E. (1996). Glossary of Toponymic
The 12th Khon Khaen University Terminology. United Nations
Graduate Research Conference, 1247- Document.
1252. Republik Indonesia. (2007). Undang –
Bleicher, Josef. (1980). Contemporary Undang Republik Indonesia Nomor 26
Hermeneutic. London: Routledge and Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Kegan Paul. Jakarta: Sekretariat Negara
de Saussure, F. (1988). Course in General Republik Indonesia. (2008). Kamus Bahasa
Linguistics. Yogyakarta: Gadjah Mada Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa
University Press Departemen Pendidikan Nasional.
Hagget, P. (1983). Geography A Modern Ricoeur, Paul. (1982). Hermeneutics and
Shyntesis. New York: Harper and the Human Science. Cambridge:
Row Publishers. Cambridge University Press.
Jan Kraak, Menno., dan Ormeling, Ferjan. Suhardjo, A.J. (2013). Filsafat sains
(2007). Kartografi: Visualisasi Data geografi. Dalam Suhardjo, A.J., dkk.,
Geospasial Edisi Kedua, alih bahasa: Filsafat Sains Geografi. Yogyakarta:
Sukendra Martha, dkk. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Gadjah Mada University Press. van Zoest, Aart. (1993). Semiotika:
Kaelan. (1998). Filsafat Bahasa Masalah Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan
dan Perkembangannya. Jakarta: 1998. Apa yang Kita Lakukan Dengannya.
Kamonkarn, Ambua., dkk. (2008). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Toponymy, Landform and Wadud Muhsin, Amina. (1994). Wanita di
Geographical Analysis that influence dalam Al-Qur'an, alih bahasa: Yaziar
The community’s Cultural economics Radianti. Bandung: Pustaka.

13

You might also like