Download as pdf
Download as pdf
You are on page 1of 40
sera ‘Celcah” RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “FATIMAH” LAMONGAN SK. Menkes RI Nomor : HK.03.05 / 1 / 564/ 2012 Ji. Pahlawan Selatan No. 18 Telp. 0322-22155, Fax. 0322- 318915 LAMONGAN ~62216 KODE RS : 3512035 Email: rsia_fatimahimg@yahoo.co.id- rsiafatimah@gmail.com KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “FATIMAH” LAMONGAN No : 025/RSIA_FAT/G/KEP/V1/2019 tentang PEMBERLAKUAN PEDOMAN PELAYANAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “FATIMAH” LAMONGAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “FATIMAH” LAMONGAN ‘Menimbang Mengingat Menetapkan 1 Bahwa dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan RSIA “Fatimah” Lamongan, khususnya dalam rangka peningkatan keschatan masyarakat di RSIA “Fatimah” Lamongan serta_ untuk _memberikan _pelayanan pemeriksaan dan pengobatan HIV AIDS di RSIA “Fatimah” Lamongan ‘maka perlu adanya Pedoman Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS di RSIA “Fatimah” Lamongan. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud 1 diatas diperlukan kebjakan pemberlakuan Panduan pelayanan Poli VCT di RSIA “Fatimah” Lamongan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang praktek kedokteran (Lembaran Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Jembaran negara republik Indonesia Nomor 4431) Keputusan Mentri Keschatan 1285/MENKES/SK/X/2002 tentang pedoman Penanggulangan HIV/AIDS Peraturan mentri Kesehatan republik indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pongobatan anti retriviral Keputusan —menteri__kesehatan —republik indonesia. Nomor 1507/MENKES/SK/X//2005 Tentang Pedoman Pelayanan KOnseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary Counselling And Testing) Keputusan Ketua Yayasan Kelg. Fatimah Nomor 001/YKF/SK/1I1/2017 tentang pengangkatan dalam jabatan Direktur RSIA “Fatimah” Lamongan, MEMUTUSKAN KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “FATIMAH” LAMONGAN TENTANG PEMBERLAKUAN PEDOMAN PELAYANAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK “FATIMAH” LAMONGAN Kesatu Rumah sakit melaksanakan pedoman pelayanan penanggulangan HIV/AIDS untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan bayi Kedua meningkatkan kesiapan rumah sakit dengan cara melaksanakan dan menerapkan pedoman pelayanan penanggulangan HIV/AIDS Ditetapkan di: Lamongan Pada Tanggal : 25 Juni 2019 DIREKTUR RSIA “FATIMAH” LAMONGAN RIRIN MARDI’ NIK. 182 421 01 Lampiran Keputusan Direktur RSIA “Fatimah” Lamongan Tentang Pemberlakuan Pedoman Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS Di Rumah Sakit Tbu Dan Anak “Fatimah” Lamongan Nomor O2SIRSIA_FATIG/KEP/VI/2019 Tanggal 25 Juni 2019 PEDOMAN PELAYANAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS, DI RSIA “FATIMAH” LAMONGAN 2019 BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan data Kementerian Kesehatan sampai dengan 2010, terjadi laju peningkatan kasus baru HIV yang semakin cepat terutama jumlah kasus baru HIV dalam 3 tahun terakhir lebih dari 3 Kali lipat dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi HIV di Indonesia. Dari jumlah kumulatif 22.726 kasus AIDS yang dilaporkan pada September 2010, dengan proporsi 73.6% adalah laki-laki, 26.0% perempuan. Persentasi kasus AIDS pada pengguna napza suntik 91.2% pada kelompok berusia 20-39 tahun. Seiring dengan pertambahan total kasus AIDS, jumlah daerah yang melaporkan kasus AIDS pun bertambah, Pada akhir tahun 2000, terdapat 16 provinsi yang melaporkan kasus AIDS, dan kemudian pada akhir tahun 2003 jumlah tersebut meningkat menjadi 25 provinsi. Jumlah ini meningkat tajam pada tahun 2006, yaitu sebanyak 32 dari 33, provinsi yang ada di Indonesia yang sudah melaporkan adanya kasus AIDS. Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2009 memperkirakan ada 5 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV. Jumlah terbesar berada pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,9 juta Risiko penularan HIV tidak hanya terbatas pada sub-populasi yang berperilaku risiko tinggi, tetapi juga dapat menular pada pasangan atau istrinya, bahkan anaknya, Berdasarkan modeling matematika, diperkirakan dalam rentang waktu tahun 2008 — 2015, secara kumulatif akan terdapat 44.180 anak yang dilahirkan dari ibu positif HIV. Di Indonesia sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada subpopulasi tertentu di beberapa propinsi yang mempunyai prevalensi HIV cukup tinggi. Peningkatan ini terjadi pada kelompok berprilaku berisiko tinggi tertular HIV yaitu para pekerja seks komersial, penyalah guna NAPZA suntikan dan bayi yang lahir dari seorang ibu dengan HIV/AIDS. Kondisi ini memerlukan penanganan secara komprehensif dan terstruktur di berbagai aspek secara terkoordinasi dari semua pihak yang terkait. Pelayanan tersebut yang meliputi ; Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS /VCT), Perawatan Dukungan dan Pengobatan (PDP/CST), Penatalaksanaan Infeksi Oportunistik (IO), Penanganan Pasien IDU, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA/PMTCT), tersedianya layanan Rujukan, B. Tujuan Pedoman 1. Tujyan Umum Menurunkan angka kesakitan dan kematian melalui peningkatan mutu pelayanan Konseling dan testing HIV/AIDS sukarela dan perlindungan bagi petugas layanan VCT dan klien 2. Tujuan Khusus a 1 a 3 4 5 Sebagai_pedoman pedoman penatalaksanaan pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS di RSIA “Fatimah” Lamongan. ‘Menjaga muta layanan melalui penyediaan sumber daya dan manajemen yang sesuai Memberi perlindungan dan konfidensialitas dalam pelayanan konseling dan testing HIV/AIDS ‘Menggerakkan segala sumber daya yang ada di rumah sakit dan fasilitas kesehatan Iain secara efektif dan efesien ‘Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan pelayanan HIV/AIDS di RSIA “Fatimah” Lamongan. Sebagai indikator mutu penerapan standar pelayanan rumah sakit dalam program penanggulangan HIV/AIDS melalui indikator standar pelayanan minimal RUANG LINGKUP PELAYANAN Penemuan Kasus HIV/AIDS dan Diagnosa. Pemberian Layanan Konseling dan Testing (VCT), PMTCT (Preventive Mother 10 Child Transmition), IDU (Injection Drug Use), Infeksi Oportunistik (10). Pemberian Konseling layanan CST (Care Suport Treathment) pada ODHA Pemberian Pelayanan dan Penanganan PMTCT (Mother to Child Transmition) Pemberian Layanan Rujukan (Menerima dan Merujuk). D. LANDASAN HUKUM 1 2 3 Undang-undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Undang-undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit. Keputusan Menteri Keschatan Nomor 1285/Menkes/SK/X/2002 tentang pedoman penanggulangan HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278/Menkes/SK/X11/2009 tentang, Pedoman Pelaksanaan Kolaborasi Pengendalian Penyakit TB dan HIV Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 74 tahun 2014 tentang Pedoman dan Pelaksanaan Konseling Dan Tes HIV BABIL STANDAR KETENAGAAN 1. Kualifikasi SDM + Konsulen 1 orang, + Konselor 2 orang, + Laboratorium 1 orang = Farmasi: 1 orang - Monev | orang, + Administrasi 1 orang 2, DISTRIBUSI KETENAGAAN Standar Ketenagaan 1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia Untuk distribusi ketenagaan di setiap instalasi ada koordinator untuk Poli VCT, Unit Rawat Jalan, Unit Rawat Inap dan Laboratorium dalam tim HIV/AIDS, Untuk waktu kerja ‘masing-masing koordinator ini disesusaikan dengan kondisi masing-masing_instalasi dimana petugas / tim HIV/AIDS bekerja > Ketua Poli VCT Ketua /Konsulen Poli VCT Rumah Sakit bu dan Anak “Patimah” Lamongan. adalah seorang dokter Umum. Petugas CST dokter atau perawat yang mengikuti pelatihan dan bersertfikat Konselor adalah dokter atau perawat maupun petugas sosial yang mengikuti pelatihan Konseling Petugas Laboratorium dokter atau analis yang mengikuti pelatihan HIV Petugas Farmasi, apoteker atau asisten apoteker yang mengikuti pelatihan HIV Petugas Monev adalah perawatan yang mengikuti pelatihan monev Petugas administrasi, Petugas yang telah menikuti pelatihan system informasi HIV/AIDS. vv vv 2. Distribusi Ketenaga: > Tenaga tetap di Poli: 4 orang > Tenaga pendukung : 2 orang 3. Pengaturan Jadwal Pelayanan Jadwal kerja diatur sesuai hari jaga dan jadwal kondisi masing-masing Unit dimana petugas/ tim HIV/AIDS bekerja. Jadwal konselor berlaku untuk pasien yang datang di Poli VCT ,maupun pasien yang berada di Unit Rawat Inap. Jadwal Konselor jaga di VCT Rumah Sakit Ibu dan Anak “Fatimah” Lamongan, Hari Senin s/d Sabtu Jam: 12.00 wib — s/d 13.00 wib BAB IIL STANDAR FASILITAS A. Poli VCT Poli VCT Rumah Sakit Ibu dan Anak “Fatimah” Lamongan terletak di bagian depan bersebelahan dengan poli Obgyn dan Bedah dan Anak merupakan tempat yang tidak menjorok tetapi mudah di cari oleh Klien dan keluarganya. Terdiri dari ruangan untuk konseling, ruangan administrasi dan ruangan tunggu di serambi depan 1, DENAH RUANGAN DENAH POLL KETERANGAN: A. Pintu Masuk B. Timbangan Badan Diatas Lemari C. Pintu Keluar D. Bed Pasien E. Kursi Pasien dan Keluarga F. Meja Konseling G. Kursi Dokter H. Troli Tempat alat medis 1_ Washtafel ‘Tempat sampah Medis SS Standar Fasilitas Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai_tujuan dan ffangsi pelayanan Poli VCT yang optimal bagi pasien HIV/AIDS, Kriteria 1. Tersedianya ruangan yang representative / memadai untuk menyelenggarakan pelayanan HIV/AIDS baik ruangan konseling, ruangan administrasi, ruangan logistic dan ruangan pertemuan. 2. Tersedianya ruangan yang representative / memadai untuk menyelenggarakan pelayanan konseting 3. Tersedianya ruangan yang representative) memadai untuk administrasi klien dan penyimpanan fasilitas pendukung seperti rekam medik dan ATK 4, Tersedianya ruangan yang representative / memadai untuk penyimpanan stok obat sementara, 5, Tersedianya tempat pertemuan untuk menyelenggarakan Konseling dukungan keluarga klien termasuk kegiatan penyuluhan gizi apabila ada klien yang dipandang perlu untuk diberikan konseling tentang kebutuhan nutrisinya,itu semua kita lakukan atas peretujuan klien 6. Ruang konseling hendaknya cukup untuk 2 atau 3 orang, dengan penerangan yang, cukup untuk membaca dan menulis, ventilasi lancer, dan suhu yang nyaman untuk kebanyakan orang, Ruang konseling dilengkapi dengan ‘a. Tempat duduk bagi kien maupun konselor , Buku catatan perjanjian klien dan catatan harian, forml Informed Consent, Catatan medis Klien, formulir pra dan pasea testing, buku rujukan, formulir rujukan, kalender dan alat tulis. Kondom dan alat peraga penis, jika mungkin alat peraga alat reproduksi perempuan. Alat peragaan lainnya misalnya gambar berbagai penyakit oportunistt=ik, dan alat peraga menyuntik yang aman, . Buku resep gizi seimbang £. KIE HIV/AIDS dan infeksi oportunistik g. Bed Pasien h i k as |. Stetoskop dan Tensimeter Timbangan Badan Form Rujukan Lemar arsip atau lemari dokumen yang dapat dikunci - Ruang Laboratorium Lokasi pengambilan darah, dilakukan di ruang di Laboratorium. Peralatan yang harus ada di troli pengambilan darah: 1, Jarum dan semprit steril 2. Tabung dan botol tempat penyimpanan darah 3. Stiker Kode 4. Alkohol swab 5. Handscoon 6. Apron plastic 7. Sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir (washtafel), Tisu 8, Tempat sampah infeksius, dan non infeksius, serta safetybox untuk sampah benda tajam (sesuai petunjuk Kewaspadaan Universal Departemen kesehatan) 9, Petunjuk Pajanan okupasional dan alur permintaan pasca pajanan ocupasional Di dalam sarana kesehatan atau sarana kesehatan lainnya, laboratorium letaknya ada di bagian belakang Ruang UGD. 4, Reagen untuk testing dan peralatannya b. Sarung tangan karet ¢. Jas laboratorium 4. Lemari pendingin @, Alat sentrifugasi £ Buku-buku register (stok barang habis paksi, penerimaan sample, hasil testing, Penyimpanan sample, kecelakaan okupasieonal) atau computer pencatat 2, Cap tanda Positif atau Negatif’ hi. Cairan desinfektan i, Pedoman Testing HIV J. Pedoman pajanan okupasional . Lemari untuk menyimpan arsip yang dapat dikunci Yang Perlu diperhatikan dalam pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS sukarela adalah ~ Memiliki akses dengan unit rawat jalan ~ Leta Letak rang Konseling, tempat pengambilandarah, dan sta medik hendaknya berada erdekatan ~ Pengambilan darah dilakukan di ruang pengambilan darah dan Pemeriksaan darah 18 bulan, Remaja dan Dewasa Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi IIT (pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas dan Spesivitasnya. Bagan 2. Alur diagnosis HIV pada anak >18 bulan, remaja, dan dewasa Keputusan klinis dari hasil pemeriksaan anti HIV dapat berupa positif, negatif, dan indeterminate. Berikut adalah interpretasi hasil dan tindak lanjut yang perlu dilakukan, ‘Tabel 2. Kriteria interpretasi tes anti-HIV dan tindak lanjutnya Hasiltes [ Kriteria ] Tindak lanjut ] Positif Bila hasil AT reaktif, A2 reaktif dan Rujuk ke Pengobatan HIV A3 reaktif ‘Negatif | *Bila hasil Al non reaktif © Bila tidak memiliki_perilaku “Bila hasil Al reaktif tapi pada| berisiko, dianjurkan _perilaku pengulangan Al dan A2 nonreaktif| hidup sehat ++ Bila salah satu reaktif tapi tidak | Bila berisiko, _dianjurkan berisiko pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari | pemeriksaan pertama sampai satu tahun Intermediate |e Bila dua hasil tes reaktif ¢ Tes perlu diulang dengan * Bila hanya 1 tes reaktif tapi| spesimen baru minimal setelah mempunyai risiko atau pasangan| dua minggu dari pemeriksaan berisik vyang pertama, * Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR. * Bila sarana_pemeriksaan PCR | tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif 7 — _ Pengkajian Setelah Sesudah dinyatakan HIV positif, dilakukan pemeriksaan untuk mendiagnosis adanya penyakit penyerta serta infeksi oportunistik, dan pemeriksaan laboratorium. Untuk menentukan stadium infeksi HIV dapat dilihat pada tabel 3 dan 4, Untuk selanjutnya ODHA akan mendapatkan paket layanan perawatan dukungan pengobatan yang dapat di lihat pada bagan 3. Sclanjutnya dilakukan pencatatan pada Ikhtisar Perawatan HIV dan Terapi Antiretroviral. Definisi Kasus HIV berdasarkan Stadium WHO untuk Dewasa dan Anak 2. Stadium 1 - Asimtomatik - Limfadenopati generalisata persisten 3. Stadium klinis 2 - Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan (<10% BB ~ Infeksi saluran napas atas berulang (episode saat ini, ditambah 1 episode atau lebih dalam 6 bulan) - Herpes zoster + Keilitis angularis + Sariawan berulang (2 episode atau lebih dalam 6 bulan) ~ Erupsi Papular Pruritik - Dermatitis seboroik - Infeksi jamur pada kuku ~ Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan - Eritema linea gingiva ~ Infeksi virus wart luas - Moluskum kontagiosum luas ~ Pembesaran kelenjar parotis yang tidak dapat dijelaskan 4. Stadium klinis 3 = Penurunan berat badan derajat sedang yang tidak dapat dijelaskan (<10% BB) ~ Diare kronik selama>1 bulan yang tidak dapat dijelaskan - Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (>37,50C intermiten atau Konstan, > | bulan) - Kandidiasis oral (di luar masa 6-8 minggu pertama kehidupan) - Oral hairy leukoplakia - TB Paru - Infeksi bakterial berat (seperti pneumonia, meningitis, empiema, piomiositis, infeksi tulang atau sendi, bakteremia, radang panggul berat. - Stomatitis, ginggivitis, atau periodontitis ulseratif nekrotikans akut - Anemi yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl), netropenia (<1000/mm3) dan/atau atau trombositopenia kronik (<50,000/ mm3, >1 bulan) - Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan - TBkelenjar = Pneumonitis interstisial limfoid (PIL) simtomatik ~ Penyakit paru berhubungan dengan HIV, termasuk bronkiektasis 5. Stadium klinis 4 ~ HIV wasting syndrome ~ Pneumonia Pneumocystis (PCP) ~ Pneumonia bakterial berulang (episode saat ini ditambah satu episode atau lebih dalam 6 bulan terakhir) = Infeksi herpes simpleks kronik (orolabial, genital atau anorektal) selama >1 bulan, atau viseral tanpa melihat lokasi ataupun durasi ~ Kandidiasis esophageal - TBekstraparu ~ Sarkoma Kaposi - Infeksi sitomegalovirus (retinitis atau infeksi CMV pada organ lain kecuali liver, limpa dan KGB) - Toksoplasmosis otak - Ensefalopati HIV - Kriptokokosis ekstrapulmonar (termasuk meningitis) ~ Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata - Progressive multi focal leukoencephalopathy (PML) - Kriptosporidiosis kronik = Isosporiasis kronik ~ Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) Septisemia berulang (termasuk Salmonella nontifoid) Limfoma (sel B nonHodgkin atau limfoma serebral) atau tumor solid terkait HIV lainnya Karsinoma serviks invasive Leishmaniasis diseminata atipikal Nefropati terkait HIV (HIVAN) Kardiomiopati terkait HIV ‘Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons terhadap terapi standar Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia) Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru) ‘Tabel 3. Klasifikasi Imunodefisiensi Klasifikasi WHO tentang imunodefisiensi HIV menggunakan CD4 Imunodefisiensi | <11 bulan (%) | 12-35 bulan (%) | 36-59 bulan | > 5 tahun - dewasa (2%) __| (se’mm3) Tidak ada 335 330 335 >500 Ringan 3035 «4 25-30 20-25 | 350-499 Sedang 25.30 20-25 1530 "200.349 Berat 2! 25 250 sel/mm3 dan koinfeksi HCV, Namun enzim hati awal memiliki nilai prediktif yang rendah untuk memonitor toksisitas NVP. 3. Pemantauan pada ODHA yang Belum Mendapat ART. ODHA yang belum memenuhi syarat untuk mendapat terapi ARV perlu dimonitor perjalanan Klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih muda. Evaluasi Klinis meliputi parameter seperti pada evaluasi awal termasuk pemantauan berat badan dan munculnya tanda dan gejala klinis perkembangan infeksi HIV. Pada anak, juga dilakukan pemantauan tumbuh kembang dan pemberian layanan rutin lainnya, seperti imunisasi. Parameter Klinis dan CD4 ini digunakan untuk mencatat perkembangan stadium Klinis WHO pada setiap kunjungan dan menentukan apakah ODHA mulai memenuhi syarat untuk pengobatan pencegahan kotrimoksazol (PPK) dan/atau ARV. Evaluasi klinis dan jumlah CD4 perlu dilakukan lebih ketat ketika mulai mendekati ambang dan syarat untuk memulai ART. 4. Indikasi Memulai ART Inisiasi ART secara dini terbukti bermanfaat secara klinis, berguna untuk pencegahan, meningkatkan harapan hidup dan menurunkan insiden infeksi terkait HIV dalam populasi. Rekomendasi inisiasi ART pada dewasa dan anak dapat dilihat dalam tabel 5 ‘Tabel 5. Rekomendasi Inisiasi ART pada Dewasa dan Anak { Populasi Rekomendasi jika jumlah CD4 < 350 sel/mm3 Inisiasi ART pada orang terinfeksi HIV stadium Klinis 3 dan 4, atau | | Populasi umum pada dacrah dengan epidemi HIV meluas jumlah CD4c _ Dewasa | Inisiasi ART tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun dan anak > 5 | jumlah CD4 + Koinfeksi TBa + Koinfeksi Hepatitis B + Tbu hamil tahun dan menyusui terinfeksi HIV + Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan serodiskordan), untuk | mengurangi risiko penularan + LSL, PS, Waria, atau Penasunb + | ‘Anak <5 tahun | Inisiasi ART tanpa melihat stadium Klinis WHO dan ‘san Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan C4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus. b Dengan memperhatikan kepatuhan Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV dlihentikan, 5, Paduan ART Lini Pertama Pilihan paduan ART lini pertama berikut ini berlaku untuk ODHA yang belum pemnah mendapatkan ARV sebelumnya (naive ARV). 1. Paduan ART lini pertama pada anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa Tabel 6. ART lini pertama untuk anak usia 5 tahun ke atas dan dewasa, termasuk ibu hamil dan menyusui, ODHA koinfeksi hepatitis B, dan ODHA dengan TB ‘ARV lini pertama untuk dewasa a ] Paduan pilihan | TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTe | Paduan alternatif | AZTb + 3TC + EFV (atau NVP) TDFa + 3TC (atau FTC) + l NVP a. Jangan memulai TDF jika creatine clearance test (CCT) hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal b. Jangan memulai dengan AZT jika Hb < 10 g/dL sebelum terapi_c Kombinasi 3 dosis tetap (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV 2. Paduan ART lini pertama pada anak usia kurang dari 5 tahun Paduan ART lini pertama pada anak sama seperti orang dewasa, yaitu menggunakan kombinasi 2 NRTI dan | NNRTI dengan pilihan seperti pada tabel 7. ‘Tabel 7. ART lini pertama pada anak <5 tahun | Pilhan NRTI ke-1 | Pilihan NRTI ke-2 Pilihan NNRTI Zidovudin (AZT)a Lamivudin (3TC) Nevirapin (NVP) Sani | Renee | Tenofovir (TDF)e | a. Zidovudin (AZT) merupakan pilihan utama, Namun bila Hb anak <7,5 g/dl maka dipertimbangkan pemberian Stavudin(d4T). 'b Dengan adanya risiko efek samping pada penggunaan d4T jangka panjang, maka dipertimbangkan mengubah d4T ke AZT (bila Hb anak > 10 gridl) setelah Pemalcian 6~ 12 bulan, Bila terdapat efek anemia berulang maka dapat kembali ke d4T. ©. Tenofovir saat ini dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun. Selain itu perlu dipertimbangkan efek samping osteoporosis pada tulang anak yang sedang bertumbuh arena penggunaan ARV diharapkan tidak menggangou pertumbuhan tinggi badan. 4. EFV dapat digunakan pada anak > 3 tahun atau BB > 10 kg, jangan diberikan pada anak dengan gangguan psikiatrik berat. EFV adalah pilihan pada anak dengan TB, Jika berat badan anak memungkinkan, sebaiknya gunakan KDT. Pemantauan Setelah Pemberian ARV Bertujuan untuk mengevaluasi respons pengobatan. Evaluasi ODHA selama dalam Pengobatan dilakukan bersama-sama antara dokter, perawat, dan konselor Evaluasi tidak hanya dilakukan untuk kondisi fisik, namun juga psikologis, untuk membantu ODHA dan keluarganya selama menjalani pengobatan. 1, Jadwal Pemantauan Setelah Pemberian ARV Penilaian klinis dan tes Jaboratorium berperan penting untuk melihat kondisi ODHA sebelum inisiasi ART dan berguna untuk memonitor respons pengobatan dan kemungkinan toksisitas obat ARV. Pemantauan klinis dalam pengawasan dokter dilakukan rutin minimal sebulan sekali dalam 6 bulan pertama setelah inisiasi ART. Pemantauan oleh dokter selanjutnya dapat dilakukan minimal 3 bulan sekali atau lebih sering, sesuai dengan kondisi dan kepatuhan pengobatan, ‘Tes laboratorium yang direkomendasikan dapat dilihat pada tabel 8 ‘Tabel 8. Rekomendasi tes laboratorium setelah pemberian terapi ARV Fase penatalaksanaan HIV | Rekomendasi Yang diperlukan (bila ada atau atas indikasi) Selama menggunakan | Jumlah sel CD4 | serum kreatinin tiap 6 bulan pada ARV (tiap 6 bulan)a_/ penggunaan TDF Hb pada penggunaan | AZT (dalam 3 bulan pertama perlu pemeriksaan intensif) Fungsi__ hati | (SGPT/SGOT) tiap 6 bulan HIV RNA (6 bulan setelah inisiasi ARV, tiap 12 bulan | setelahnyaa) Gagal terapi Jumlah sel CD4 | HBsAg (bila sebelum switch belum HIVRNAb | pernah di tes, atau jika hasil baseline sebelumnya negatif) ‘a, Pada ODHA dengan kepatuhan dan hasil pengobatan ARV yang baik, frekuensi b pemantauan CD4 dan HIV RNA dapat dikurangi ‘Tes HIV RNA (viral load) sangat dianjurkan untuk menentukan kegagalan terapi b, Pemantauan terhadap efek samping ARV dan substitusi ARV Saat ini paduan ART yang dianjurkan (KDT) dalam lini pertama mempunyai efek samping minimal (jarang terjadi), kurang toksik dan sederhana (sekali sehari), sehingga akan meningkatkan kepatuhan pengobatan, Efek samping (toksisitas) ARV dapat terjadi dalam beberapa minggu pertama setelah inisiasi hingga toksisitas pada pemakaian lama seperti dalam tabel 10. Kebanyakan reaksi toksisitas ARV tidak berat dan dapat diatasi dengan memberi terapi suportif. Efek samping minor dapat menyebabkan ODHA tidak patuh minum obat, karenanya tenaga Kesehatan harus terus mengkonseling ODHA dan mendukung terapi Prinsip penanganan efek samping akibat ARV adalah sebagai berikut: a. Tentukan beratnya toksisitas b. Evaluasi obat yang diminum bersamaan, dan tentukan apakah toksisitas terjadi karena (satu atau lebih) ARV atau karena obat lainnya ¢. Pertimbangkan proses penyakit lain (seperti hepatitis virus atau sumbatan bilier jika timbul ikterus) 4, Tata laksana efek samping bergantung pada beratnya reaksi Penanganan secara umum adalah: a Derajat 4, reaksi yang mengancam jiwa: segera hentikan semua obat ARV, beri terapi suportif dan simtomatis, berikan lagi ARV dengan paduan yang sudah dimodifikasi (contoh: substitusi 1 ARV untuk obat yang menyebabkan toksisitas) setelah ODHA stabil b. Derajat 3, reaksi berat: ganti obat yang dicurigai tanpa menghentikan pemberian ARV secara keseluruhan ©. Derajat 2, reaksi sedang: beberapa reaksi (lipodistrofi dan neuropati perifer) memerlukan penggantian obat, Untuk reaksi lain, pertimbangkan untuk tetap melanjutkan pengobatan; jika tidak ada perubahan dengan terapi simtomatis, pertimbangkan untuk mengganti I jenis obat ARV 4. Derajat 1, reaksi ringan: tidak memerlukan penggantian terapi. €. Tekankan pentingnya tetap meminum obat meskipun ada toksisitas pada reaksi ringan dan sedang f. Jika diperlukan, hentikan pemberian terapi ARV apabila ada toksisitas yang mengancam jiwa. Perlu diperhatikan waktu paruh masing- masing obat untuk menghindari kejadian resistansi. is ARV Toksisitas ARV mempengaruhi Gastrointestinal, Diare, Urinalis, Sistemik, , Dermatologis, Muskoloskeletal, Neurologis, dan Endokrin/Metabolic, Toksisitas ARV ada 4 tahap © Tahap | Ringan © Tahap 2 Sedang ‘© Tahap 3 Berat © Tahap 4 Potensial mengancam jiwa « To d. Diagnosis kegagalan terapi ARV Kegagalan terapi dapat dilihat dari berbagai kriteria, yaitu kriteria virologis, imunologis, dan Klinis, seperti dalam tabel 13. Kriteria terbaik adalah kriteria virologis, namun bila tidak dapat dilakukan pemeriksaan maka digunakan kriteria imunologis. Sebaiknya tidak menunggu kriteria klinis terpenuhi agar dapat melakukan switch ke lini selanjutnya lebih dini ODHA harus menggunakan ARV minimal 6 bulan sebelum dinyatakan ‘gagal terapi dalam keadaan kepatuhan yang baik. Kalau ODHA kepatuhan tidak baik atau berhenti minum obat, penilaian kegagalan dilakukan setelah minum ‘obat kembali secara teratur minimal 3-6 bulan seperti dalam bagan 4 Tabel 9. Definisi Kegagalan Terapi dan Keputusan untuk Ubah Paduan (Switch) ARV Kegagalan Definisi Keterangan| Gagal Klinis Dewasa dan remaja: | Kondisi Klinis harus dibedakan dengan Munculnya infeksi | IRIS yang muncul setelah_memulai oportunistik baru atau | terapi ARV. Untuk dewasa, beberapa berulang (stadium klinis | stadium klinis WHO 3 (TB paru atau WHO 4) Anak: | infeksi bakteri berat lainnya) atau Munculnya infeksi | munculnya EPP kembali dapat oportunistik baru atau | mengindikasikan gagal terapi berulang (stadium klinis WHO 3 atau 4, kecuali TB) [Gagal | imunotogis Dewasa dan anak > 5 tahun | Tanpa adanya infeksi lain yang CD4 turun ke nilai awal | menyebabkan penurunan jumlah CD4 atau lebih rendah lagi Atau | Kriteria klinis dan imunoiogis memiliki ‘CD4 persisten dibawah 100 | sensitivitas rendah untuk sel/mm3 setelah satu tahun | mengidentifikasi gagal virologis, pengobatan atau CDS | terlebih pada kasus yang memulai ARV turun >50% dari jumlah | dan mengalami gagal terapi pada CD4 tertinggi ‘Anak usia di bawah 5 tahun | ini belum ada alternatif yang valid CD4 persisten di bawah | untuk mendefinisikan gagal imunologis 200 sel/mm3 atau < 10% | | jumlah CD4 yang tinggi. Namun saat | selain kriteria ini Gagal virologis, Pada ODHA dengan | Batasan untuk —_mendefinisikan | kepatuhan yang baik, viral | kegagalan virologis ‘dan penggantian | load di atas 1000 kopi/mL. | paduan ARV belum dapat ditentukan berdasarkan 2x pemeriksaan HIV RNA. dengan jarak 3-6 bulan Bagan 4. Alur pemeriksaan HIV RNA untuk evaluasi terapi ARV Pasien suspek gage! Pemeriksaan rutin HIV ‘ins atau imunologis RNA saat koatrol i ¥ ‘Tes HIV RNA ——— Vial Load >1000 kopiim t ‘Evaluasi kepatuhan —— ‘Ulangi HIV RNA setelah 3.6 balan 2 2 ‘Viral Load < 1000 kopi‘mL. Viral Lead > 1000 kopitml. z ¥ ‘Teruskan terapi sebelumny ‘Switch ke terapt in selanjutnya 6, Paduan ARV Lini Kedua 1. Paduan ARV lini kedua pada remaja dan dewasa Resistansi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka yang mengalami kegagalan terapi. Resistansi terjadi ketika HIV terus berproliferasi meskipun dalam terapi ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan paduan NNRTI atau 31C, hampir pasti terjadi resistansi terhadap seluruh NNRTI dan 3TC. Penggunaan ARV menggunakan kombinasi 2 NRT! + boosted PI menjadi rekomendasi sebagai terapi pilihan lini kedua untuk dewasa, remaja, dan juga anak dengan paduan berbasis NNRTI yang digunakan sebagai lini pertama Prinsip pemilihan paduan ARV lini kedua adalah pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin, dan bila kelas obat yang sama akan dipilih maka pilihlah ‘obat yang sama sekali belum dipakai sebelumnya, Anak dengan paduan berbasis PI untuk lini pertama, diubah (switch) ke NNRTI atau tetap berbasis PI namun sesuaikan dengan umur yang direkomendasikan, Selengkapnya pilihan paduan ARV beserta efek samping yang mungkin timbul dapat dilihat dalam tabel 14, 15, dan 16 sebagai berikut Tabel 10. Paduan ARV Lini Kedua pada remaja dan dewasa {~ Populasiterget | Paduan ARV yang digunakan | Paduan lini kedua pilihan pada lini pertama_ _ Dewasa dan remaja Berbasis AZT atau d4T TDF + 3TC (atau FTC) + (© 10 tahun) {Lev Berbasi AZT + 3TC + LPVit HIV dan koinfeksi Berbasis AZT atau d4T | TDF + 3TC (atau FTC) + TB a LPVir dosis gandaa HIV dan HBV Berbasis TDF AZT + 3TC + LPVir koinfeksi __| dosis ganda a. Rifampisin sebaiknya tidak digunakan pada pemakaian LPV/r, Paduan OAT yang dianjurkan adalah 2SHZE, selanjutnya diteruskan dengan 4HE dengan evaluasi rutin kelainan mata, Namun, pada infeksi meningitis TB yang perlu tetap menggunakan rifampisin maka LPV/r dapat digunakan dengan dosis ganda LPVir 800 mg/200 mg 2x sehari atau 2 x 2 tablet. 2. Paduan ART lini kedua pada anak Tabel 11. Paduan ART Lini Kedua pada anak [Lini pertama ‘Lini kedua | AZT (atau d4T) + 3TC + NVP | (atau EFV) (atau EFV ABC (atau TDFa) + 3TC (atau FTC) + LPV/r ‘TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP | AZT + 3TC + LPV/r (atau EFV) ‘ABC + 3TC + NVP (atau EFV) a TDF hanya dapat digunakan pada anak usia di atas 2 tahun 3, Pemantauan tethadap efek samping ARV lini kedua dan substitusi - EKG abnormal (pemanjangan interval PR dan QT, torsade de pointes) - Pemanjangan interval QT - Hepatotoksisitas - Pankreatitis - Risiko prematur, lipoatrofi, sindrom metabolik, dislipidemia, diare - Disfungsi tubulus renalis Sindrom Fanconi ~ Menurunnya densitas mineral tulang ~ _Asidosis laktat atau hepatomegali dengan steatosis - Eksaserbasi hepatitis B (hepatic flares ~ _ Reaksi hipersensitivitasa ~ Anemia atau neutropenia berata, miopati,lipoatrofi atau lipodistroft ~ _Asidosis laktat atau hepatomegali dengan steatosis ~ Neuropati perifer, lipoatrofi atau lipodistrofi - _Asidosis laktat atau hepatomegali dengan steatosis, pankreatitis akut Hipersensitivitas ABC biasanya terjadi dalam 6 minggu pertama dan dapat mengancam jiwa. Segera hentikan obat dan jangan pernah menggunakan lagi 7, Paduan ART Lini Ketiga Jika terjadi kegagalan lini kedua maka perlu dilakukan terapi penyelamatan yang efektif. Kriteria yang digunakan untuk penentuan kegagalan terapi lini kedua harus menggunakan kriteria virologis (pemeriksaan HIV RNA). Seperti pada penentuan gagal terapi lini pertama, penentuan kegagalan terapi lini kedua harus dilakukan saat ODHA menggunakan ART lini kedua minimal 6 bulan dalam keadaan kepatuhan yang baik. Tes resistansi genotyping diwajibkan sebelum pindah ke lini ketiga. Pada penentuan indikasi dan memulai lini ketiga, diperlukan konsultasi dengan Tumah sakit rujukan yang sudah mempunyai pengalaman. Berikut adalah paduan ART lini ketiga beserta efek sampingnya dalam tabel 16 dan 17 Tabel 12. Paduan ARV lini ketiga pada dewasa dan anak Rekomendasi paduan ART lini ketiga Dewasa [ETR+RAL + DRV/r | Anak | ETR+RAL + DRV/r Tabel 13 . Efek samping ART lini ketiga ARV Tipe toksisitas Etravirin (ETR) | Mual Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom Stevens-Johnson, kadang disertai disfungsi organ seperti | gagal hati Raltegravir (RAL) | Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom Stevens- Johnson dan toxic epidermal necrolysis, Mual, diare, nyeri kepala, insomnia, demam Kelemahan otot dan rabdomiolisis Darunavir/Ritonavir | Ruam, reaksi hipersensitivitas, termasuk sindrom Stevens- (DRV/t) Johnson dan eritema multiformis Hepatotoksisitas Diare, mual, | nyeri kepala Perdarahan pada hemofilia Hiperlipidemia, 7 peningkatan transaminase, hiperglikemia, maldistribusi lemak Catatan :ARV lini ketiga belum disediakan program nasional 8, Pencegahan penularan HIV melalui terapi ARV 1, Pencegahan Penularan HIV pada pasangan serodiskordan Penelitian HPTN 052 telah membuktikan bahwa terapi ARV adalah pencegahan penularan HIV paling efektif saat ini. Orang dengan HIV yang mempunyai pasangan seksual non-HIV (pasangan serodiskordan) harus diinformasikan bahwa terapi ARV juga bertujuan untuk mengurangi risiko penularan pada pasangannya. Orang HIV tersebut dengan CD4 < 350 sel/mm3, atau menderita TB paru aktif, atau hepatitis B, atau sedang hamil atau menyusti, 2 dan yang akan memulai terapi ARV, perlu ditekankan informasi pencegahan penularan schingga kepatuhan terhadap ARV menjadi lebih baik Jika orang dengan HIV yang mempunyai pasangan serodiskordan tersebut ‘mempunyai jumlah CD4 > 350 sel/mm3 atau tidak mempunyai indikasi memulai ARV lainnya, sebaiknya ditawarkan untuk memulai terapi ARV segera dengan tyjuan menurunkan penularan HIV kepada pasangannya. Upaya pencegahan dengan menggunakan antiretroviral ini merupakan bagian dari ‘Treatment as Prevention (TasP) yang di Indonesia diadaptasi dengan SUFA. Sangat penting untuk disadari bahwa penurunan jumlah virus akibat ARV hharus disertai dengan penurunan perilaku berisiko, penggunaan ARV secara onsisten dan tepat, penggunaan kondom yang konsisten, perilaku seks dan NAPZA yang aman, pengobatan IMS yang Konsisten dengan paduan yang tepat mutlak diperlukan untuk pencegahan penularan HIV. Upaya ini yang disebut dengan positive prevention, Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) / PMTCT (Preventive Mother to Child Transmition). ‘Tanpa upaya pencegahan, 20-50% bayi dari ibu HIV dapat tertular HIV, dengan perincian risiko 5-10% selama masa kehamilan, 10-20% pada saat persalinan, dan 5-20% pada saat menyusui. Dengan upaya yang tepat, risiko penularan dapat diturunkan menjadi kurang dari 2%, Bahkan, kurang dari 1% jika viral load ibu sudah tidak terdeteksi (undetected) dalam terapi antiretroviral sebelum kehamilan, Upaya PPIA dilaksanakan melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif berkesinambungan yang meliputi empat komponen (prong) sebagai berikut. Prong 1 pencegahan primer agar perempuan pada usia reproduksi tidak tertular HIV Prong 2 pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV Prong 3 pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya Prong 4 pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan keluarganya Untuk menjangkau sasaran ibu hamil dan wanita usia subur, layanan PLA dilaksanakan melalui layanan kesehatan reproduksi, khususnya layanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), Keluarga Berencana (KB) dan Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR). Pada layanan KIA, karena mempunyai sasaran dan pendekatan yang serupa, layanan PPIA saat ini diimtegrasikan dengan upaya pencegahan sifilis kongenital Pintu masuk layanan PPIA adalah tes HIV pada ibu hamil. Bersamaan dengan pemeriksaan rutin lainnya pada layanan antenatal terpadu, tes dapat dilakukan mulai dari kunjungan pertama hingga menjelang persalinan dengan kebijakan sesuai dengan status epidemi HIV dalam tabel 19 sebagai berikut. ‘abel 14. Epidemiologi HIV dan kebijakan tes yang akan diambil pada ibu_hamil Prevalensi kasus | Prevalensi kasus | Status epidemi | Kebijakan tes HIV dan sifilis HIV pada HIV pada HIV | populast uum | populasi risiko ‘tau ibu hamil tinggi 7 (khususnya TB) <1% <5% ii ‘Rendah Pada ibu hamil dengan | indikasi adanya _perilaku berisiko, keluhan/gejala IMS | atau infeksi oportunistik > 1% | (Biasanya>3%) | Meluas = 1% [ > 5% ‘Terkonsentrasi | Pada semua ibu hamil | Penjelasan tentang epidemi 1. Epidemi rendah Jika Prevalensi kasus HIV pada populasi umum atau ibu hamil <1%, Prevalensi kasus HIV pada populasi Tisiko tinggi < 5% 2. Epidemi terkonsentrasi Prevalensi kasus HIV pada populasi umum atau ibu hamil <1%, Prevalensi kasus HIV pada populasi risiko tinggi > 5% 3. Epidemi meluas Prevalensi kasus HIV pada populasi umum atau ibu hamil >1%, Prevalensi kasus HIV pada populasi risiko tinggi > 3% Setelah diketahui status HIV positif pada ibu hamil, upaya pencegahan selanjutnya bertujuan agar bayi yang dilahirkan terbebas dari HIV, serta ibu dan bayi tetap hidup dan sehat. Upaya ini terdiri dari 1. Pemberian ARV pada ibu hamil; 2. Persalinan yang aman; 3. Pemberian ARV pencegahan pada bayi; 4 Pemberian nutrisi yang aman pada bayi a. Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri ‘merupakan indikasi pemberian ARV yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+). Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan sebagai acuan untuk memulai terapi. Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang 2500 g = 15 mg 2x sehari bayi dengan berat < 2000 g harus mendapat dosis mg/kg, disarankan dengan dosis awal 2 mg/kg sekali sehari Bayi prematur < | Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 4 minggu pertama, 30 minggu | kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu Bayi prematur | Zidovudin 2 mg/kg BB/12 jam selama 2 minggu pertama, | 3035 minggu | kemudian 2 mg/kg BB/8 jam selama 2 minggu, lalu 4 mgkg BB/12 jam selama 2 minggu 4. Ibu sebaiknya diberikan penjelasan mengenai piliban nutrisi yang aman bagi bayinya sebelum melahirkan. Pilihan yang diambil haruslah antara ASI saja atau susu formula saja (bukan mixed feeding). Ibu dengan HIV boleh memberikan susu formula bagi bayinya yang HIV negatif atau tidak diketahui status HIV-nya, jika seluruh syarat AFASS (affordable‘terjangkau, feasible/mampu laksana, acceptable/dapat diterima, sustainable/berkesinambungan dan safe/aman) dapat dipenuhi. Di negara berkembang, syarat tersebut sulit dipenuhi, karena itu WHO ‘menganjurkan pemberian ASI eksklusif 6 bulan, yang cukup aman selama ibu mendapat terapi ARV secara teratur dan benar. 2. Pencegahan, Skrining, dan Penanganan Infeksi Oportunistik (IO) yang Umum 1, Pengobatan Pencegahan Kotrimoksasol Pemberian kotrimoksasol harus diberikan sebagai bagian dari pelayanan HIV. Berbagai penelitian telah membuktikan efektivitas pengobatan pencegahan kotrimoksasol dalam menurunkan angka kematian dan kesakitan pada orang yang terinfeksi HIV. Sudah ada beberapa rekomendasi untuk memberikan kotrimoksasol sebagai pengobatan pencegahan pada ODHA dewasa, wanita hamil dan anak untuk Pneumocystis pneumonia, toksoplasmosis dan infeksi bakteri, manfaat untuk profilaksis malaria dan petunjuk pemberhentian kotrimoksasol. Pada tabel 25 berikut dapat dilihat rekomendasi pemakaian kotrimoksazol untuk berbagai kelompok usia. a, Tuberkulosis pada ODHA Dewasa 1) Diagnosis Gejala klinis TB pada ODHA tidak spesifik. Pada sebagian besar ODHA gejala klinis yang sering ditemukan adalah demam dan penurunan berat badan yang signifikan, sedangkan keluhan batuk pada ODHA. seringkali tidak spesifik seperti yang dialami terduga TB pada umumnya Oleh karena itu direkomendasikan bila ODHA datang dengan keluhan batuk berapapun lamanya harus dievaluasi untuk diagnosis TB. Baik deteksi dini TB pada ODHA maupun deteksi dini HIV pada pasien TB keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini koinfeksi TB-HIV, sehingga dapat memulai pengobatan lebih cepat agar keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Bagan 6. Alur diagnosis TB paru pada ODHA di fasyaskes dengan akses tes cepat Xpert MTB/RIF ST pa OOH Tenge TB, gels demu, BB to, eng am nk pa a pn = Penenkae miRp MTB powifRit ] ‘MTB powaif Rit MTB nega Tepsreman ange Cope T2* | "ae Takacs To Rh rhea act 2a PR 3._ IMS (Infeksi Menular Seksual) Infeksi Menular Seksual dan Kanker Serviks 1) Infeksi Menular Seksual Beberapa Infeksi Menular Seksual (IMS) dapat memfasilitasi transmisi infeksi HIV. Baik laki-laki atau perempuan, IMS, terutama yang berupa ulkus genital, dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi HIV. ODHA pun lebih mudah tertular IMS karena daya tahan tubuh ‘menurun, terutama jika masih melakukan perilaku berisiko. ‘Manifestasi IMS pada infeksi HIV menjadi tidak khas, umumnya lebih parah, lebih sukar sembuh. Misalnya ulkus pada sifilis primer yang umumnya soliter, bisa menjadi multipel, bentuk tidak bulat, bisa iregular, indurasi tidak terlalu jelas, dapat disertai nyeri, dan kadang disertai tanda-tanda infeksi susunan saraf pusat. Herpes genitalis bisa lebih nyeri dan lesinya lebih luas. Kutil kelamin dapat berukuran besar atau berjumlah banyak Bila fasilitas kurang memadai, tata laksana IMS dengan gejala yang khas dapat menggunakan pendekatan sindrom, namun bila gejala tidak khas dapat dirujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Oleh karena sebagian besar IMS bersifat asimptomatik, terutama pada perempuan, program skrining sebaiknya tersedia untuk kelompok populasi kunci saat awal datang dan dapat diulang selma masih melakukan perilaku berisiko. Perilaku berisiko yang dimaksud adalah: + Pasangan seksual >1 dalam 1 bulan terakhir + Berhubungan seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir + Mengalami | atau lebih episode IMS dalam 1 bulan terakhir + Perilaku pasangan seksual berisiko tinggi 2) HPV dan Kanker Serviks Saat ini HPV merupakan penyebab infeksi menular seksual yang paling sering. Prevalensi infeksi HPV pada ODHA perempuan dengan HIV positif lebih tinggi dibandingkan dengan HIV negatif. Hal ini berhubungan dengan kondisi imunosupresi. ODHA perempuan dengan HIV positif dua kali lebih berisiko terkena infeksi HPV dibandingkan yang HIV negatif (64% vs 28%). Viral load tinggi dengan hitung CD4 rendah juga berhubungan dengan meningkatnya prevalensi dan insiden infeksi HPV. Perempuan dengan HIV positif lebih mudah terinfeksi HPV, menjadi persisten dengan tipe onkogenik, dan lebih muah mengalami progresivitas menjadi SIL. Insiden kanker serviks 8.8 Kali lebih tinggi pada perempuan dengan HIV dibandingkan dengan populasi umum. Prevalensi infeksi HPV juga lebih tinggi pada ODHA LSL dengan HIV. positif dibandingkan dengan LSL HIV negatif (57% vs 88%). Pencegahan infeksi HPV akan menurunkan angka kematian perempuan akibat kanker serviks, yang merupakan kanker terbanyak kedua pada perempuan, Oleh Karena itu, skrining HPV merupakan salah satu pemeriksaan ginekologis paling penting pada perempuan dengan HIV, terutama jika berperilaku seksual berisiko tinggi, mempunyai kanker atau high-grade cervical atau vulval lesions, kondiloma akuminatum, mempunyai pasangan seksual dengan kondiloma akuminatum. 3) Neuro AIDS NeuroAIDS adalah istilah umum untuk kelainan pada sistim saraf yang disebabkan oleh atau yang berhubungan dengan infeksi HIV. Pada bagian ini yang akan dibicarakan terutama aspek infeksi oportunistik dari NeuroAIDS. Infeksi oportunistik otak seringkali timbul pada pada ODHA dalam stadium lanjut dengan jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3. Infeksi oportunistik NeuroAIDS juga terjadi sebagai manifestasi sindrom pulih imun (immune reconstitution inflammatory syndrome/IRIS). Kecurigaan infeksi oportunistik di bidang neurologi umumnya baru dipikirkan jika penderita HIV stadium lanjut yang memiliki jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3, 4) Meningitis TB Meningitis TB Meningitis tuberkulosis_ merupakan _komplikasi tuberkulosis paru yang paling berat. Infeksi HIV meningkatkan risiko terkena Penyakit ini sampai lebih dari 10 kali lipat a) Kriteria Diagnostik Diagnosis pasti ditegakkan pada ODHA dengan klinis meningitis dan ditemukan BTA di dalam Liquor Cerebrospinalis (LCS) dari pewarnaan langsung dan atau biakan, Dalam praktek di klinik tidak selalu mudah menemukan bukti mikrobiologi infeksi TB. Diagnosis MTB dikatakan possible bila ada tanda Klinis meningitis disertai gambaran LCS yang abnormal dan setidaknya dijumpai empat dari hal berikut: + Riwayat tuberculosis + Predominasi sel mononuklear di LCS + Lama sakit > 5 hari + Rasio glukosa LCS: darah < 0,5 + Penurunan kesadaran + LCS kuning (xanthochrom) + Tanda defisit neurologi fokal b) Pengobatan Pengobatan meningitis TB adalah sama dengan pengobatan TB ekstraparu yang berat 5) Meningitis Kriptokokus Diagnosis pasti ditegakkan jika didapatkan jamur dengan bentuk khas (budding) di dalam LCS dengan pewarnaan Tinta India. Pemeriksaan jamur ini dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan antigen (cryptococcal antigen/CrAg), pemeriksaan antibodi (cryptococcal latex agglutination tesvCLAT), kultur atau pemeriksaan histologi. Pengobatan meningitis kriptokokus fase akut: + Minggu 1-2 0 Amfoterisin-B 0.7-1 mg/kg per hari dalam infus dekstrosa 5 % dan diberikan selama 4-6 jam. (jangan dilarutkan dengan NaCl). 0 Dikombinasi dengan flukonazol 800 mg per hari PO. + Minggu 3-10 0 Flukonazol 800 mg per hari PO. 6) Hepatitis B dan C Koinfeksi HIV-Hepatitis B Adanya koinfeksi HIV dengan HBV secara bermakna dapat mempengarui perjalanan alamiah virus hepatitis B. ODHA dengan infeksi hepatitis B kronik memiliki jumlah HBV DNA. yang: lebih tinggi. Adanya HIV berperan dalam meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler, schingga penyakit hati berperan sebagai penyebab terbesar kematian ODHA. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada ODHA dengan koinfeksi HBV disebabkan oleh beberapa hal, yaitu peningkatan replikasi virus hepatitis B, penurunan kejadian bersihan spontan HBeAg, peningkatan risiko infeksi hepatitis B kronik, dan peningkatan progresivitas penyakit hat Skrining antibodi virus hepatitis C (HCV) dan hepatitis A (IgG antibodi hepatitis A) sebaiknya dilakukan pada setiap ODHA dengan koinfeksi hepatitis B. Bila tidak ditemukan infeksi lama, maka dapat diberikan vaksin virus hepatitis A (HAV). Semua ODHA dilakukan pemeriksaan HBsAg. Bila HBsAg positif dianjurkan melakukan pemeriksaan HBeAg, jumlah HBV DNA, Pemeriksaan fungsi hati, waktu protrombin dan trombosit. Pemeriksaan fersebut digunakan untuk menilai kondisi hati. ODHA dengan HBeAg negatif dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan antibodi HBe dan antibodi HBs untuk menilai ada atau tidaknya infeksi di masa lampau. Bila antibodi HBe positif, maka ODHA memiliki risiko mengalami reaktivasi, khususnya pada keadaan imunosupresi, 7) Koinfeksi HIV-hepatitis C Adanya koinfeksi HIV dengan hepatitis C (HCV) dapat mempengaruhi_ perjalanan alamiah virus hepatitis C. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada ODHA koinfeksi HCV disebabkan oleh beberapa hal, antara lain replikasi HCV lebih tinggi, kemungkinan bersihan HCV (menjadi tak terdeteksi lebih rendah), dan progresivitas penyakit hati lebih cepat, Pengobatan standar untuk HCV kronis adalah pemberian kombinasi Pegylated Interferon (peg-IFN) dan Ribavirin (RBV). Pencapaian respons virologis menetap atau Sustained Virological Response (SVR) pada ODHA Koinfeksi HCV lebih rendah 10-20% dibandingkan dengan pasien monoinfeksi HCV. Lama pemberian terapi pada koinfeksi HIV-HCV adalah 48 minggu, tidak melihat jenis genotip yang menginfeksi 8) Kesehatan mental ODHA dan keluarganya membutuhkan layanan kesehatan jiwa, Gangguan psikiatri seringkali menyebabkan ODHA tidak patuh terhadap pengobatan ARV dan tidak adanya penurunan perilaku berisiko. Gangguan psikiatri yang paling sering dialami oleh ODHA adalah gangguan depresi, gangguan terkait penggunaan NAPZA, gangguan cemas, gangguan_ psikotik, demensia dan gangguan kognitif lainnya Gangguan jiwa seringkali_ menyebabkan ODHA tidak patuh tethadap pengobatan ARV dan tidak adanya penurunan perilaku berisiko. Gangguan jiwa dapat mempengaruhi ketaatan dalam minum ARV terkait dengan fungsi organisasi pikiran yang memburuk, mudah lupa, motivasi yang kurang, dan pengertian yang kurang tentang rencana terapi. Oleh karena pentingnya deteksi dan tata laksana gangguan jiwa pada ODHA maka layanan kesehatan mental harus menjadi bagian pada layanan HIV. Layanan kesehatan harus terintegrasi dan komprehensif, menyediakan layanan bersifat patient-centered, dan perawatan untuk keschatan jiwa. 9) Penggunaan NAPZA dengan Resiko IDU ODHA yang menggunakan NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif Lainnya) akan mengalami gangguan yang terkait dengan penggunaan NAPZA tersebut, berupa ketergantungan NAPZA, intoksikasi dan sindrom putus NAPZA. Penggunaan NAPZA. dapat meningkatkan risiko untuk terinfeksi HIV, baik dengan ‘menggunakan suntikan ataupun yang bukan suntikan, NAPZA golongan stimulan dapat meningkatkan nafsu seksual yang seringkali menimbulkan hhubungan seksual tidak aman. Pada ODHA yang masih menggunakan NAPZA juga seringkali memiliki kepatuhan yang —buruk. WHO merekomendasikan penatalaksanaan penggunaan NAPZA pada ODHA tidak boleh ditunda. Penatalaksanaan penggunaan NAPZ.A dan pemberian ARV dapat berjalan bersamaan. Kriteria klinis dan imunologis untuk pemberian terapi ARV pada ODHA dengan ketergantungan NAPZA tidak berbeda dengan rekomendasi umum. Pethatian khusus harus diberikan pada interaksi obat antara ARV dengan obat yang diberikan untuk mengatasi penggunaan NAPZA, misalnya metadona, Oleh karena itu penting untuk melakukan monitoring terhadap efektivitas dan efek samping obat. Pemantavan yang baik akan dapat terlaksana dengan optimal dengan pengembangan program terpadu untuk layanan ketergantungan NAPZA dan HIV. C. Tata laksana dukungan gizi Hubungan antara HIV, status gizi, dan fungsi imun mempunyai keterkaitan yang sulit dipisahkan. Infeksi HIV dalam tubuh ODHA mempunyai 2 dampak : + Menyebabkan status zat-zat gizi makro terganggu melalui penurunan berat badan, muscle wasting and weakness, dan hal ini dapat dipantau dengan penilaian status gizi sejak pertama ODHA datang dan diikuti terus. Dapat dilakukan dengan pemantauan IMT (indeks massa tubuh) + Menyebabkan penurunan/defisiensi zat-zat gizi mikro sampai terjadinya kegagalan metabolisme, akibat dari kerusakan sistem imun tubuh, sehingga tidak mampu melawan HIV dan infeksi lainnya atau infeksi oportunistik. Kedua keadaan ini menyebabkan meningkatnya risiko infeksi terutama infeksi saluran cera, TB, influenza, sehingga mempercepat progres menjadi AIDS dan diperberat dengan kebutuhan zat-zat gizi yang meningkat karena adanya ‘malabsorpsi dan asupan yang sangat berkurang, Hal ini menjadikan lingkaran setan yang akan memperburuk keadaan ODHA. Infeksi HIV akan menyebabkan peningkatan kebutuhan energi dan penurunan intake energi, yang berujung pada Penurunan berat badan dan wasting Gangguan metabolisme, penurunan nafsu makan dan diare juga memperparah intake dan absorpsi zat-zat gizi, terlebih faktor ekonomi rendah dan higiene makanan. IMT rendah pada dewasa (<18,5 kg/m2), penurunan berat badan dan wasting pada anak merupakan faktor risiko independen progresi morbiditas dan mortalitas terkait HIV. Faktor-faktor tersebut saling berhubungan, artinya bila salah satu faktor tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan masalah atau memperbesar masalah pada aspek yang lain. Karena itu, penatalaksanaan penyakit HIV harus mempethatikan seluruh aspek di atas secara komprehensif dan berkesinambungan Penatalaksanaan gejala: ODHA pada stadium AIDS sering mengalami gejala sesuai dengan infeksi yang banyak dijumpai yaitu. Kandidiasis oral dan esofagus, tuberkulosis, diare kronis, PCP, meningitis kriptokokus, dan toksoplasma otak yaitu: + Nyeri: disfagia, arthralgia, myalgia, sefalgia, neuralgia, nyeri viseral » Gangguan gastrointestinal: mulut kering, mual, diare, konstipasi + Gangguan respirator: sesak napas, batuk dan hipersekresi + Konstitutional: anoreksia, penurunan berat badan, fatik, demam, banyak keringat * Neurologi/Psikiatri: depresi, delirium, demensia + Dermatologi: kulit kering, pruritus, dekubitus D, Penatalaksanaan Pasca Pajanan. a, Keputusan pemberian ARV harus segera diambil dan ARV diberikan < 4 jam setelah paparan. Penanganan luka, Beri informed consent. Lakukan test HIV, Pemberian ARV profilaksis. Penanganan tempat paparan / luka, Segera!! Luka tusuk —» bilas air mengalir dan sabun / antiseptic. Pajanan mukosa mulut > ludahkan dan kumur. i. Pajanan mukosa mata — irigasi dengan air / garam fisiologis. ji. Pajanan mukosa hidung —> hembuskankeluardanbersihkandenganair k. Jangan dihisap dengan mulut,jangan ditekan Disinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengans alah satu a. Betadine (povidone iodine 2.5%) selama 5 menit. b. Alcohol 70% selama 3 menit. Catatan, 1. Chlothexidine cetrimide bekerja melawan HIV tetapi_ bukan HBV. 2. Pelaporan terjadinya paparan. Rincian waktu, tempat, paparan dan konseling — serta manajemen pasca paparan. 3. Evaluasi dan risiko transmisi. 4. Konseling berupa risiko transmisi, pencegahan transmisi sekunder, tidak boleh hamil dsb, 5. Pertimbangan pemakaian terapi profilaksis pasca paparan. 6. Pemantauan (follow up). Pemantauan, Test Antibodi dilakukan pada minggu ke-6 , minggu ke-12 dan bulan ke - 6. Dapat di perpanjang sampai bulan ke - 12. Aspek Manajemen. a. Merupakan bagian medico legal. b. Perlu dilakukan pencatatan dan evaluasi c. Evaluasi meliputi 1) Kesalahan sistem. 2) Tidak ada pelatihan. 3) Tidak ada SOP tidak tersedia alat pelindung dir. 4) Ratio pekerjaan pasien yang tidak seimbang. 5) Kesalahan manusia. 6) Kesalahan dalam penggunaan dan pemilihan alat kerja 7) Rekomendasi kepada management Rumah Sakit perlu di berikan setelah evaluasi di lakukan. Pelayanan VCT bekerja dengan membangun hubungan antara masyarakat dan rujukan yang sesuai dengan kebutuhannya seria memastikan rujukan dari masyarakat kepusat VCT. Sistem rujukan dan alur: 2) Rujukan klien dalam lingkungan sarana kesehatan, Jika dokter mencurigai sescorang menderita HIV, maka dokter ‘merekomendasikan klien dirujuk ke konselor yang ada di Rumah Sakit. 2) Rujukan antar sarana kesehatan. 3) Rujukan Klien dari sarana kesehatan kesarana kesehatan lainnya Rujukan ini dilakukan secara timbal balik dan berulang sesuai dengan kebutuhan Klien, 4. Rujukan Klien dari sarana kesehatan lainnya ke sarana kesehatan rujukan. Dari sarana kesehatan lainnya kesarana kesehatan dapat berupa rujukan medik klien, rujukan spesimen, rujukan tindakan medik lanjut atau spesialistik BABV LOGISTIK A, PERENCANAAN BARANG Tata cara logistik Pelayanan Penanggulangan HIV/AIDS, dengan adanya Poli VCT adalah sebagai berikut 1. Barang Rutin: a Pengajuan untuk menggandakan form-form poli VCT b. Bahan habis pakai untuk keperluan laboratorium TB seperti reagen, objek glass, masker, sabun cuci tangan, handscoon dll. 2. Barang Tidak Rutin a. Pengadaan Leaflet HIV/AIDS b. Pengadaan Lembar Balik untuk edukasi B. PERMINTAAN BARANG 1, Bagian rutin disampaikan pada bagian urusan rumah tangga rumah sakit dengan menggunakan form permintaan barang. 2. Barang tidak rutin disampaikan terlebih dahulu pada direktur untuk dimintakan Persetujuan, C. PENDISTRIBUSIAN Semua barang masuk akan melalui logistic, kemudian apabila poli TB membutuhkan ‘maka mengajukan permintaan barang dengan menggunakan form permintaan barang ‘kepada petugas urusan rumah tanga. D. KERUSAKAN BARANG Jika ada kerusakan barang atau alat diruangan poli VCT atau laboratorium maka akan disampaikan pada petugas logistic, apabila barang masih bias diperbaiki akan diserahkan pada petugas IPS, tetapi bila tidak dapat diperbaiki akan ganti dengan yang baru BAB VI KESELAMATAN PASIEN Kewaspadaan merupakan upaya pencegahan infeksi yang_mengalami Perjalanan panjang. Mulai dari infeksi nos g petigaskesthatan dan pasion, Scperanghat prosodur den pose yeaa baat untuk mencegah terjadinya infeksi pada tenaga kesehatan dan juga memutus rantai penularan ke pasien. Terutama untuk mencegah penularan melalui darah dan cairan tubuh, seperti : HIV dan HBV — juga pathogen lain. 1 2 Prinsip Kewaspadaan Umum di jabarkan dalam 5 kegiatan pokok yaitu: Cuci tangan guna mencegah infeksi silang Cuci tangan di fakukan 2. Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi dan bahan terkontaminasi lain Segera setelah melepas sarung tangan. Diantara kontak dengan pasien. Tidak di rekomendasikan mencuci tangan saat masih memakai sarung tangan. Cuci tangan 6 langkah Prosedur terpenting untuk mencegah tranmisi penyebab infeksi. Antiseptik dan air mengalir atau handscrub. emakaian Alat Pelindung Diri (APD). Sarung Tangan. Pelindung Muka Masker. Kaca Mata / goggle. Gaun / Jubah / Apron. t. Pelindung Kaki. Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai (Dekontaminasi, ste1 disinfeksi) a. Dekontaminasi : Suatu proses menghilangkan mikro organism pathogen dan kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan alkes bekas pakai. b. Pencucian : Proses secara fisik untuk menghilangkan kotoran terutama bekas darah, cairan tubuh dan benda asing lainnya seperti debu, kotoran yang menempel dikulit atau alat kesehatan. c. Disinfeksi : Suatu proses untuk menghilangan sebagian mikroorganisme. 4, Disinfeksi Tingkat Tinggi = DTT (1) Suatu proses untuk menghilangan mikroorganisme dari alat kesehatan kecuali beberapa endospora bakteri (2) Alternatif penanganan alkes apabila tidak tersedia sterilisator atau tidak mungkin dilaksanakan Dapat membunuh Mikroorganisme (hep B, HIV), namun tidak membunuh endospora dengan sempuma seperti tetanus. e. Sterilisasi. (2) Suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme termasuk endospora bakteri dari alat kesehatan. Cara yang paling aman untuk pengolaan alkes yang berhubungan langsung dengan darah a ee 4 Pengelolaan jarum & alat tajam Untuk pengelolaan Jarum dan alat tajam habis pakai di masukkan di savety box dan luntuls Pemusnahannya dilakukan di Incenerator Rumah Sakit untuk menghindari penularan pada orang lain Pengelolaan limbah & sanitasi Ruangan Pemilihan Cara Pengelolaan Limbah dan Sanitasi Ruangan Limbah Cair. Sampah Medis, Sampah Rumah Tangga. Insenerasi Penguburan, Disinfeksi permukaan, Penanganan Linen a. Kereta dorong bersih dan kotor di pi b. Tidak boleh keluar dan masuk pada jalan yang sama. c. Tidak boleh ada perendaman di ruang perawatan. 4. Pisahkan dalam kantong berwarna kuning untu klinen yang terkontaminasi dengan darah atau kontaminan lain. hkan. BABV KESELAMATAN KERJA. 1. Perlindungan Diri ~ PROFILAKSIS PASCA PAJANAN HIV (PPP). Z 3. Profilaksis Pasa Pajanan HIV adalah tindak. ; ‘an pencegahan terha kesh ane lr IV ata te a ezine tga ‘atau mayat penderita HIV. Paparan cairan infeksius tidak saja membawa virus HIV ‘ctapi juga virus hepatitis (Hepatitis B maupun C). Perlukaan perkutaneus merupakan kecelakaan kerja tersering dan biasanya diseb: berlubang (hollow-bore-needle). a Faktor Yang Mempengaruhi. a. Jumlah dan jenis cairan yang mengenai, b. Dalamnya tusukan / Tuka. ¢. Tempat perlukaan / paparan. Indil Pemberian PPP. a Tertusuk /luka superficial yang merusak kulit oleh jarum solid yang telah terpapar sumber dengan HIV Positif asimptomatik. Membran mukosa terpapar oleh darah terinfeksi HIV dalam jumlah banyak, dari sumber HIV Positif asimptomatik (tergantung dari banyak tidaknya volume dan tetesan). ». Membran mukosa terpapar darah yang terinfeksi HIV Positif dalam jumlah sedikit, dari sumber dengan HIV Positif simptomatik. ¢. Terpapar dengan orang HIV Positif asimptomatik lewat tusukan yang dalam jarum berlubang yang berukuran besar. 4. Luka tusukan jarum dengan darah yang terlihat di permukaan jarum, e. Luka tusukan jarum yang telah digunakan untuk mengambil darah arteri atau vena pasien #. Luka tusuk dari jenis jarum apapun yang telah di gunakan pada sumber dengan HIV Positif yang simptomatik. g. Membran mukosa yang terpapar oleh darah yang terinfeksi HIV dalam jumlah yang banyak dari sumber HIV Positif yang simptomatik. h. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari sumber dengan status HIV tidak di ketahui tetapi memiliki factor resiko HIV. i. Tusukan jarum dengan tipe jarum apapun dan berbagai derajat paparan dari sumber yang tidak diketahui status HIV dan tidak diketahui faktor resikonya, namun di anggap sebagai sumber HIV Positif. j. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber yang tidak di ketahui status HIV tetapi memiliki factor resiko HIV k. Membran mukosa yang terpapar darah dalam jumlah berapapun dari sumber yang tidak diketahui status HIV nya, namun sumber tersebut dianggap sebagai sumber HIV Positif, Klasifikasi Katagori Paparan (Exposure Category). Berdasarkan paparan, kadar RNA HIV dan bahan paparan terdapat 4 kategori a ECL 1. Tempat paparan adalah kulit atau mukosa yang mengalami luka 2. Bahan paparan jumlahnya sedikit (tetesan darah atau cairan tubuh yang berdarah). 3._ Waktu paparan cepat (tidak lama). b. EC 2: Seperti EC-1, tetapi jumlah bahan paparan lebih banyak dan waktu paparan lebih lama. . EC2 : Paparan perkutaneus, Iuka superficial dengan jarum kecil 4. EC3 : Seperti EC 2, tetapi lewat jarum besar, tertusuk dalam, keluar darah 5. Penatalaksanaan Pasca Pajanan. a, Keputusan pemberian ARV harus segera diambil dan ARV diberikan <4 jam setelah paparan, Penanganan luka. Beri informed consent. Lakukan test HIV, Pemberian ARV profilaksis. Penanganan tempat paparan / luka. Segera!! Luka tusuk —> bilas air mengalir dan sabun / antiseptic. Pajanan mukosa mulut — ludahkan dan kumur. Pajanan mukosa mata — irigasi dengan air / garam fisiologis. Pajanan mukosa hidung — hembuskankeluardanbersihkandenganair. Jangan dihisap dengan mulut,jangan ditekan. 6. Disinfeksi luka dan daerah sekitar kulit dengans alah satu a. Betadine (povidone iodine 2.5%) selama 5 menit. b. Alcohol 70% selama 3 menit Catatan 1. Chlorhexidine cetrimide bekerja melawan HIV tetapi_bukan HBV. 2. Pelaporan terjadinya paparan. Rincian waktu, tempat, paparan dan konseling, serta manajemen pasca paparan. 3. Evaluasi dan risiko transmisi.Konseling berupa risiko transmisi, pencegahan transmisi sekunder, tidak boleh hamil dsb. 4. Pertimbangan pemakaian terapi profilaksis pasca paparan. 5. Pemantauan (follow up). 7. Pemantauan, ‘Test Antibodi dilakukan pada minggu ke-6 , minggu ke-12 dan bulan ke - 6. Dapat di perpanjang sampai bulan ke - 12. 8 Aspek Manajemen. a. Merupakan bagian medico legal. b. Perlu dilakukan pencatatan dan evaluasi, c. Evaluasi meliputi 3) Kesalahan sistem. 2) Tidak ada pelatihan. 3) Tidak ada SOP tidak tersedia alat pelindung diri 4) Ratio pekerjaan pasien yang tidak seimbang. 5) Kesalahan manusia, 6) Kesalahan dalam penggunaan dan pemilihan alat kerja, Rekomendasi kepada management Rumah Sakit perlu di berikan setelah evaluasi di lakukan, BABIV PENGENDALIAN MUTU Salah satu prinsip yang menggaris bawahi implementasi layanan VCT adalah Jayanan berkualitas, guna memastikan klien mendapatkan layanan tepat dan menarik orang untuk menggunakan layanan. Tujuan pengukuran dari jaminan kualitas adalah ‘menilai kinerja petugas, kepuasan pelanggan atau klien, dan menilai ketepatan protokol konseling dan testing yang kesemuanya bertujuan tersedianya layanan yang terjamin kualitas dan mutu, 1. Konseling dalam VCT Pelayanan konseling dimulai dengan suasana bersahabat yang dilayani oleh konselor terlatih. Perangkat untuk menilai kualitas layanan termasuk mengevaluasi kinerja seluruh staff VCT, penilaian kualitas konseling dengan menghadirkan supervisor yang menyamar sebagai Klien, melakukan pertemuan berkala dengan para konselor, mengikuti perkembangan konseling dan HIV AIDS, kotak saran, penilaian oleh petugas jasa, mengukur seberapa jauh konselor mengikuti aturan protocol dan supervisi suportif yang regular. Perangkat jaminan mutu konseling dalam VCT a. Perangkat rekaman saat konseling dengan klien samaran atau klien sungguhan yang telah memberikan persetujuan untuk direkam, Kegiatan ini dapat digunakan untuk melakukan pengamatan, melakukan ikhtisar sesudah sesi berlangsung (sesi rekam) atau pengamatan ketrampilan konselor melalui Klien samaran (tak diketahui Konselor), untuk mendapatkan ketepatan pengamatan. b. Formulir kepuasan pelanggan. Nomor dan nama klien dicatat. Formulir dimasukkan ke kotak yang aman dan terkunci. Semua komentar dikumpulkan dan dinilai pada pertemuan dengan seluruh petugas. Klien yang tidak dapat menulis / membaca dapat dibantu relawan. Petugas yang bekerja pada institusi tidak di perkenankan membantu pengisian. Baca terlebih dahulu petunjuk dan isi dari formulir, kemudian baru diisi. Klien sama sekali tidak boleh dipengaruhi pendapatnya, administrasi ‘memastikan apakah jawaban Klien sudah lengkap dan benar sesuai petunjuk ¢. Syarat minimal layanan VCT. Penilaian internal atau eksternal dapat menggunakan daftar sederhana apakah pelayanan VCT memenuhi persyaratan standar minimal yang ditentukan Departemen Kesehatan dan WHO. BAB IIT PENUTUP A. KESIMPULAN Pelayanan Konsultasi dan test HIV/AIDS di poli VCT diadakan secara sukarela bagi penderita HIV-AIDS dan yang dicurigai, sehingga sangat tepat untuk memberikan wawasan serta pengetahuan yang akurat. Juga dapat mempercepat penentuan diagnosis serta terapi yang tepat bagi ODHA selanjutnya, dapat memberi dukungan secara psikologis, social dan encana masa depan bagi ODHA. Pelayanan HIV-AIDS meliputi konseling yang diawali dengan persetujuan tertulis dan pananda tanganan informed consent yang kemudian dilanjutkan dengan pengambilan sampel darah oleh petugas laboratorium unuk diperiksa selanjutnya. Hasil dari laboratorium diserahkan ke konselor untuk dibuka dan diinformasikan hasilnya ke pasien. Demikian pedoman ini disusun agar dapat dipergunakan sebagai acuan dalam memberikan pelayanan terkait penanggulangan HIV/AIDS di Rumah Sakit Ibu dan Anak “Fatimah” Lamongan dan senantiasa akan dilakukan revisi sebagai bentuk penyesuaian dengan perkembangan yang ada, B.SARAN 1. Diharap kepada masyarakat yang mencurigai atau merasa pada diri sendiri atau anggota keluarga dengan gejala-gejala mirip tersebut diatas hendaknya berkunjung ke puskesms terdekat Pada ibu hamil sebaiknya melakukan ANC terpadu di puskesmas dan ‘melakukan USG serta pemeriksaan kehamilan di RSIA “Fatimah” Lamongan 2. Untuk mereka yang sudah terinfeksi atau bagi ODHA supaya lebih berhati-hati dalam pergaulan dan terhadap lingkungan agar tidak terpengaruh dengan hal-hal yang sekiranya membuat penderita merasa terisolasi dan tersingkir. Ditetapkan di: Lamongan Pada Tanggal : 25 Juni 2019 RSIA “FATIMAH” LAMONGAN DIREKTUR dr. Ririn Mardivah Hayati, MMKes. NIK. 18242101

You might also like