Professional Documents
Culture Documents
Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi Mikoriza Arbuskula
FIRDAWATY MARASABESSY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Firdawaty Marasabessy
NRP : A156100142
ABSTRACT
Kata kunci : Kota tepian air, perubahan garis pantai, perubahan penggunaan
lahan, infrastruktur perkotaan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN
WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE,
PROVINSI MALUKU UTARA
FIRDAWATY MARASABESSY
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc
Karya ini ku persembahkan untuk :
Ayahanda Tercinta Hi. Bunyamin Marasabessy
dan
Ibunda Tercinta Hj. Satiah Mahmud (Alm.)
“terima kasih atas segala kasih sayang, doa dan pengorbanan
yang tiada henti”
PRAKATA
Alhamdulillahirabbila’lamin, atas limpahan rahmat dan karunia Allah
SWT, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Infrastruktur
Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara”.
Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis yang dapat terwujud berkat bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., Dr. Ir. Soekmana Soma M.SP., M.Eng sebagai
Komisi Pembimbing atas segenap waktu, pemikiran dan arahanya semenjak
awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis.
2. Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., sebagai Penguji Luar Komisi atas waktu, kritik dan
sarannya.
3. Ketua, Sekretaris dan Manajemen Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan
Wilayah Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya.
4. Seluruh Dosen Pengajar dan Asisten atas didikan dan bimbingannya selama
belajar di PWL.
5. Pemerintah Daerah Kota Ternate atas izin untuk melakukan penelitian di
Kota Ternate.
6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Ternate atas kesediaan
memberikan data dan kerjasamanya.
7. Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan
kerjasamanya.
8. Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Ternate atas kesediaan memberikan
data dan kerjasamanya.
9. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara atas kesediaan memberikan
data.
10. BUMN Kota Ternate (PDAM dan PLN) atas kesediaan memberikan data.
11. Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur atas bantuan dan
kerjasamanya.
12. Ayahanda Prof. Drs. Hi. B. Marasabessy M.Pd., Ibunda Hj. Satiah Mahmud
(Alm.) dan Kakak-kakak tercinta Rauf CH, Dra. Fachria M.Pd., M.Si.,
Helmy, Fitri, Nurainy, ST., dan Chairil ST., serta keponakan tecinta Aldy,
Caca dan Ehsan atas segala limpahan kasih sayang, didikan serta doanya yang
tiada henti.
13. Teman-teman seperjuangan (Desyan Rya, SP., M.Si., Rahmi Fajarini, SP.,
Djoko Purnomo, S.Si., Manijo, SP) dan teman PS PWL Reguler lainnya atas
segala bantuan dan dukungannya selama belajar di PWL.
14. Teman-teman Arsitektur angk. 2003 Universitas Khairun (Asmiyani, ST.,
Nurzakiah, ST., Wahyudi Djamaa, ST., Iswanto, ST.) atas bantuan dan
kerjasamanya.
15. Semua pihak yang yang tidak sempat disebutkan dan memiliki andil dalam
penyelesaian masa studi.
Akhir kata, mudah-mudahan apa yang disajikan pada penulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis lahir di Ternate, tanggal 16 Mei 1986, putri kelima dari lima
bersaudara dari Ayahanda Hi. Bunyamin Marasabessy dan Ibunda Hj. Satiah
Mahmud (Alm.). Tahun 2003, penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1
Ternate dan melanjutkan studi ke Universitas Khairun Ternate, Fakultas Teknik,
Jurusan Arsitektur. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2009, penulis
berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada tahun 2010 dengan biaya sendiri.
Tahun 2009, penulis pernah bekerja sebagai Asisten Dosen pada
Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur. Pada tahun yang sama
pula penulis bekerja di lembaga Profesi Arsitek sebagai staf pada Ikatan Arsitek
Indonesia Cabang Maluku Utara.
DAFTAR ISI
Halaman
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
Latar Belakang............................................................................................ 1
Perumusan Masalah .................................................................................... 4
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
Kerangka Pemikiran ................................................................................... 7
1. Hasil Pengecekan Lapang Beberapa Titik di Lokasi Kota Ternate ............. 180
2. Hasil Analisis Skalogram untuk Hierarki Wilayah ..................................... 181
3. Hierarki Jalan di Kota Ternate ................................................................... 187
4. Lembaran Kuesioner ................................................................................. 199
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi
dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam
rangka memberikan kontribusi untuk pembangunan (Anwar, 1999). Upaya
pembangunan pada suatu wilayah bertujuan agar kesejahteraan masyarakat
tercapai. Pengembangan wilayah memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara optimal dan berkelanjutan.
Kegiatan-kegiatan ekonomi (perdagangan, industri dan pertanian), perlindungan
lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana
(transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah bentuk kegiatan yang mampu
menggerakkan perkembangan wilayah (Witoelar, 2002 diacu dalam Gustiani,
2005).
Populasi digunakan sebagai indikator pertumbuhan kota (Hsu, 1996 diacu
dalam Cheng dan Masser, 2003). Pertumbuhan wilayah perkotaan yang kian pesat
ditandai dengan meningkatnya populasi. Konsentrasi populasi kota-kota di dunia
diprediksikan pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta jiwa, hampir 65 persen berada di
sepanjang pantai (Agenda 21, 1992 diacu dalam Vallega, 2001). Sebagai contoh
kasus, Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi secara signifikan,
dimana lebih dari 86 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir timur hingga
ke wilayah pesisir selatan, diantaranya kota Sydney, Brisbane, Melbourne dan
Perth (Norman, 2011). Kota-kota tersebut kemudian berkembang pesat menjadi
kota-kota pantai (waterfront city) yang terkenal dan menjadi daya tarik utama
sebagai kawasan wisata.
Di Indonesia terdapat 516 kota andalan dengan 216 kota diantaranya
merupakan kota tepian air (waterfront city) yang berada di tepi pantai, sungai atau
danau (Suprijanto, 2007). Perkembangan kota pantai (waterfront city) di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan kegiatan utamanya perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan
(Mulyandari, 2010). Kota pantai di Indonesia secara historis merupakan titik awal
pertumbuhan suatu kota, dan juga berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas
kawasan perkotaan baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya yang
2
berorientasi ke laut (Laras, 2011). Wilayah pesisir dewasa ini memegang peran
penting dalam perkembangan kota.
Kota Ternate merupakan salah satu waterfront city di Indonesia, yang pada
awalnya dikenal dalam sejarah dunia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah
skala internasional di abad ke-15. Jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah
185.705 jiwa dengan laju pertumbuhan selama periode 10 tahun terakhir (2000-
2010) sebesar 1,79% dan memiliki penduduk terpadat di Maluku Utara dengan
kepadatan penduduk 740 jiwa/km2 (BPS Kota Ternate, 2011) yang sebagian besar
bermukim di wilayah pesisir.
Pertambahan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap kebutuhan
lahan sebagai tempat bermukim maupun penyediaan sarana dan prasarana
perkotaan. Lahan merupakan sumberdaya alam yang hampir tidak dapat
diperbaharui (non renewable), sedangkan kebutuhan lahan semakin meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007). Kondisi yang demikian terjadi di Kota Ternate, dimana jumlah penduduk
semakin bertambah, namun ketersediaan lahan terbatas karena kondisi topografis
yang kurang menunjang. Untuk itu kebijakan pengembangan wilayah pesisir
diarahkan untuk penyediaan infrastruktur sehingga dapat melayani kebutuhan
masyarakat kota yang semakin heterogen. Kebijakan tersebut termuat dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2006-2015 yang
mengalokasikan wilayah pesisir yang berada di pusat kota (CBD) untuk
dikembangkan sebagai kawasan waterfront (BAPPEDA Kota Ternate, 2006).
Kawasan waterfront Kota Ternate tumbuh sebagai pusat pelayanan jasa,
perdagangan, sarana ibadah, transportasi dan ruang terbuka hijau (taman kota
berbasis budaya).
Isu kawasan waterfront di Kota Ternate berkaitan dengan perkembangan
spasial kota. Pengembangan kawasan dengan cara reklamasi pantai berarti
menambah luas wilayah pesisir Kota Ternate. Penambahan daratan di wilayah
pesisir tentunya berdampak pada perubahan garis pantai. Dengan bertambahnya
luas daratan, maka penggunaan lahan di Kota Ternate ikut meningkat. Sistem
penggunaan lahan perkotaan yang didominasi oleh aktivitas manusia yang
3
Perumusan Masalah
laut (Drakel, 2004). Hal ini terkait pula dengan pengelolaan sampah, dimana
sistem persampahan di kawasan ini masih minim pengelolaan dan masih terjadi
tumpukan sampah di pesisir pantai.
Kapasitas pemenuhan infrastruktur sosial dan ekonomi, misalnya pasar
tradisional masih belum memenuhi daya tampung untuk para pedagang.
Akibatnya lahan di kawasan terminal angkutan kota dimanfaatkan sebagai lokasi
untuk berjualan. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesemrawutan di sekitar
kawasan terminal. Dampak yang terjadi ialah konflik dalam pemanfaatan kawasan
tersebut, areal untuk parkir kendaraan menjadi berkurang dan sering kali terjadi
kemacetan lalu lintas. Aspek sosial ekonomi yang timbul ialah munculnya sektor
informal (kawasan PKL) yang tidak terencana di kawasan. Keadaan tersebut
membutuhkan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan
waterfront yang terintegrasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan di Kota
Ternate sebelum (2001) dan sesudah (2010) pengembangan waterfront?
2. Bagaimana perubahan hierarki wilayah Kota Ternate setelah pengembangan
waterfront?
3. Bagaimana perkembangan eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur
perkotaan dapat melayani standar kebutuhan masyarakat?
4. Bagaimana prediksi kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang
(2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan?
5. Bagaimana arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan
waterfront?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai perkembangan Kota
Ternate dalam kurun waktu sebelum dan sesudah pengembangan kawasan
waterfront ditinjau dari aspek infrastruktur untuk perencanaan wilayah. Secara
lebih detil dapat dijabarkan dalam sub tujuan sebagai berikut :
1. Melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan
lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront.
7
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran
Perkembangan Kota Ternate dapat diidentifikasi dari perubahan spasial
kota sebelum (tahun 2001) dan setelah pengembangan kawasan waterfront (tahun
2010). Ini menandakan bahwa pengembangan kawasan waterfront menjadi tolak
ukur terhadap perkembangan kota. Pengembangan kawasan waterfront dilakukan
dengan cara reklamasi pantai guna mendapatkan lahan/daratan baru. Kawasan
waterfront yang berada di kawasan pesisir menyebabkan perubahan spasial kota
yang dapat dianalisis dari parameter garis pantai dan penggunaan lahan.
Wilayah-wilayah pesisir yang dekat dengan kawasan waterfront
cenderung ikut berkembang seiring dengan berkembangnya kawasan waterfront.
Wilayah-wilayah yang berkembang ditandai dengan meningkatnya aksesibilitas
dan jumlah sarana dan prasarana (infrastruktur) di wilayah tersebut. Untuk
mengetahui hierarki wilayah kota Ternate, maka dapat dianalisis dengan indikator
8
Perubahan Garis
Sebelum Pengembangan Pantai
Kawasan Waterfront Perubahan Spasial
(sebelum tahun 2001) Kota
Perubahan
Penggunaan Lahan
Hierarki I
(Pusat Pelayanan)
Pengembangan
Wilayah Kota Ternate Hierarki Wilayah Hierarki II
Data Spasial Sebaran dan
Ketersediaan Infrastruktur
Hierarki III
(Wilayah Belakang/
hinterland)
Analisis Cakupan Pelayanan
Infrastruktur
Infrastruktur Fisik
9
TINJAUAN PUSTAKA
Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota
dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi orang-orang atau kelompok tertentu di
kota memberikan kesempatan untuk menghindari diri dari kontrol sosial yang
ketat.
Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan
ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek
pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan
aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi
(Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis
tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi
terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan
ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi
dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi.
Lebih lanjut menurut Sukirno (1985), faktor yang bersifat ekonomi
merupakan penyebab terpenting dari timbulnya urbanisasi dan perkembangan
kota. Pembangunan ekonomi akan diikuti oleh perombakan dalam corak kegiatan
ekonomi, dimana semakin maju suatu kegiatan ekonomi, maka semakin penting
peranan kegiatan industri dan perdagangan. Perkembangan tersebut selanjutnya
akan menghasilkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut.
Urbanisasi timbul oleh adanya usaha untuk mempertinggi efisiensi
kegiatan tukar menukar, karena usaha tersebut akan mengembangkan pusat-pusat
perdagangan yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang
produksi suatu wilayah yang akan dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah
lainnya. Untuk menjamin kelancaran usaha pengumpulan dan pendistribusian
barang oleh pusat-pusat perdagangan tersebut, maka secara tidak langsung akan
berkembang pula kegiatan-kegiatan yang merupakan suplemen/tambahan dari
kegiatan perdagangan seperti kegiatan pengangkutan, komunikasi, dan badan-
badan keuangan. Perkembangan dari berbagai kegiatan tersebut mendorong orang
untuk berpindah ke kota-kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam
suatu wilayah tertentu.
Kaitan urbanisasi dengan perkembangan ekonomi menyangkut pula
sumber-sumber pembangunan atau pengembangan ekonomi. Pembangunan
bersumber dari beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah pembentukan
12
dengan mudah atau dalam jumlah yang cukup pelayanannya yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan kegiatannya.
Suatu kota yang memiliki ketersediaan infrastruktur yang lengkap, berarti
memiliki tingkat kemudahan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kota
tersebut memberikan peluang bagi kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan
dan penghematan eksternal (external economies) secara berkesinambungan. Oleh
karena itu terdapat kecenderungan manusia (terutama pengusaha dan pemilik
modal) untuk berpindah tempat tinggal guna menempatkan kegiatan usahanya
(membawa modal, ketrampilan dan pengalamannya) ke suatu tempat (kota) yang
memiliki tingkat kemudahan tinggi, sehingga memberikan keuntungan yang
tinggi dan keberhasilan bagi usahanya. Dengan demikian tingkat kemudahan
merupakan faktor penentu lokasi kegiatan (usaha).
Dalam hal migrasi penduduk ke kota (urbanisasi), manusia cenderung
meninggalkan tempat bermukim asal dan berpindah ke tempat permukimannya
yang baru karena di tempat baru tersebut memberikan peluang lapangan kerja,
peningkatan pendapatan, pengembangan bakat, dan menikmati kehidupan yang
lebih baik. Semua peluang tersebut merupakan daya tarik perpindahan penduduk
dari desa ke kota, atau dari kota-kota kecil ke kota-kota yang lebih besar. Kota
sebagai wadah konsentrasi permukiman penduduk dan berbagai kegiatan
produktif (ekonomi dan sosial) merupakan kutub daya tarik (pole of attraction)
(Adisasmita, 1988 diacu dalam Adisasmita dan Sakti, 2010).
tempat alam yang masih asli, tetapi telah dipengaruhi oleh transformasi dari waktu
ke waktu.
Lebih lanjut Bunce dan Desfor (2007) menambahkan bahwa sejarah
perkembangan kota tepian air telah menunjukkan seluk-beluk hubungan antara
masyarakat dan alam, tetapi yang lebih penting bahwa komponen pembentuk
alam tersebut terus-menerus dikembangkan melalui proses sosial. Alam
diejawantahkan sebagai komponen integral dari hubungan kekuasaan dan
produksi ekonomi di kota tepian air.
Pendekatan pembangunan waterfront memiliki jangkaun luas, mulai dari
konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut.
Waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan
(development) (Soesanti dan Sastrawan, 2006 diacu dalam Nurfaida, 2009).
Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai
saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment
merupakan upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang
sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah
atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha
menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan
dengan cara mereklamasi pantai.
Awalnya konsep pengembangan waterfront merupakan inovasi Amerika
Serikat. Konsep tersebut sebagai bentuk redesign kawasan Baltimore dalam
mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada
tahun 1970an. Strategi pengembangan kawasan perkotaan tersebut secara tidak
langsung dijadikan sebagai solusi untuk memperbaiki pengkumuhan kota-kota
besar yang mengkhawatirkan di Amerika Utara.
Rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan
lingkungan di dunia yang sedang berkembang (Vollmer, 2009 diacu dalam Laras,
2011). Contoh kasus Toronto merupakan wilayah tepian danau yang tercemar
berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air (waterfront city), yang dalam
waktu singkat (1980-2000) telah mampu meningkatkan tahapan pengelolaan dari
semula pendekatan ekosistem dengan semboyannya lingkungan sehat, pemulihan
15
yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat dalam rangka
penyediaan transportasi serta fasilitas pendukung lainnya.
World Bank (1994 diacu dalam Laras, 2011) membagi infrastruktur atas 3
(tiga) golongan yaitu :
1. Infastruktur ekonomi, merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas
ekonomi, meliputi public utilities (telekomunikasi, air bersih, sanitasi, gas),
public work (jalan, bendungan, irigasi, drainase) dan sektor transportasi (jalan,
rel kereta api, pelabuhan, lapangan terbang).
2. Infrastruktur sosial, merupakan infrastruktur yang mengarah kepada
pembangunan manusia dan lingkungannya seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, dan rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan
hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.
Selain itu, Jacob et al. (1999 diacu dalam Pamungkas, 2009), membagi
infrastruktur kedalam kategori infrastruktur dasar dan infrastruktur pelengkap,
sebagai berikut :
1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) meliputi sektor-sektor yang
mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor
perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non-tradeable) dan tidak
dapat dipisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan, kereta
api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dan sebagainya.
2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) berupa sarana dan
prasarana penunjang dalam aktivitas ekonomi maupun sosial, diantaranya
seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum.
pemanfaatan ruang, dalam skala wilayah yang dikenal dengan sistem kota atau
orde kota berdasarkan skala pelayanannya.
Perkotaan berperan besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Hal
ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi
sekunder dan tersier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi
penduduk. Disisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta
berpusatnya berbagai kegiatan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor
yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Perkotaan memiliki nilai strategis,
tidak hanya sebagai pemusatan penduduk tetapi juga sebagai pusat berbagai
fungsi sosial-ekonomi-politik dan administrasi, serta berpotensi sebagai instrumen
untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun
regional.
Perkembangan wilayah perkotaan dapat diukur dari tingkat ketersediaan
infrastruktur/fasilitas pelayanan yang ada. Perhitungan jumlah dan jenis sarana
dan prasarana pelayanan (infrastruktur) yang ada pada suatu wilayah, dapat
digunakan untuk mengukur hierarki perkembangan wilayah (Rustiadi et al.,
2009). Teori tempat sentral (central place theory) mengemukakan bahwa dalam
penentuan hierarki kota-kota dalam suatu wilayah dapat dilakukan dengan cara
meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota (Christaller,
1933 diacu dalam Sinulingga, 1999).
Suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal menurut Christaller (1933 diacu
dalam Sinulingga, 1999) adalah bahwa penduduk kota tidaklah tersebar secara
merata diantara pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi tersebar diantara pusat-
pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu
hierarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab dari perkembangan seperti ini
adalah kurang efisiennya mensuplai barang-barang dan jasa-jasa tertentu di pusat-
pusat kecil sedangkan barang-barang dan jasa-jasa lainnya lebih efisien jika
disuplai di pusat-pusat yang lebih besar.
Menurut teori ini, fungsi-fungsi pokok suatu pusat kota adalah bertindak
sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya, mensuplai barang-barang dan
jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa eceran, perdagangan, perbankan, fasilitas-
fasilitas pendidikan, hiburan dan kebudayaan, serta pelayanan pemerintah kota.
22
Infrastruktur Fisik
Infrastruktur Jaringan Jalan
Tata ruang kota dapat berkembang menjadi dinamis, karena adanya
jaringan jalan. Hal ini serupa dengan pandangan Sinulingga (1999), bahwa
jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang membentuk struktur tata ruang
kota. Semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung berkaitan
dengan jaringan jalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun
1985 tentang jalan, menegaskan bahwa pengadaan jalan diselenggarakan dengan
mengutamakan pembangunan jaringan jalan yang terkoneksi ke pusat-pusat
produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan ke wilayah pemasarannya.
Jaringan jalan dibangun secara hierarki dimulai dari jenjang terendah yang
bersifat lokal/lingkungan hingga ke jenjang wilayah berhubungan satu dengan
lainnya (Rachmawati, 2011).
Sebagai komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah,
sistem jaringan jalan berperan memperlancar kegiatan aliran barang, orang dan
jasa, sehingga secara langsung akan menurunkan biaya produksi (Djakapermana,
2010). Pada gilirannya wilayah akan berkembang secara ekonomis. Breheny
(1995 diacu dalam Djakapermana, 2010), mengemukakan bahwa transportasi
khususnya jaringan jalan sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan kegiatan
ekonomi wilayah. Kegiatan pembangunan transportasi akan mendorong dan
mempromosikan kegiatan ekonomi yang kompetitif.
Ditinjau dari fungsi kota terhadap wilayah pengembangannya, maka
sistem jaringan jalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem primer dan sistem
sekunder. Sistem Primer merupakan jaringan jalan yang berkaitan dengan
hubungan antar kota. Di dalam kota, sistem primer ini akan terkoneksi dengan
fungsi-fungsi kota yang bersifat regional, seperti kawasan industri, perdagangan
maupun pelabuhan. Sistem Sekunder, yaitu jaringan jalan yang berkaitan dengan
pergerakan lalu lintas yang bersifat hanya di dalam kota. Sistem jaringan jalan
sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang
23
Dalam sistem sekunder maka jaringan arteri sekunder adalah jalan yang
menghubungkan pusat kota dengan pusat bagian wilayah kota, pusat bagian
wilayah kota dengan bagian wilayah kota lainnya serta menghubungkan pusat
kota dengan kawasan primer atau kawasan yang berfungsi melayani regional.
Sesuai dengan PP No. 26 tahun 1985 persyaratan untuk jalan arteri sekunder
adalah :
a. Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30
km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
b. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.
c. Pada jalana arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.
d. Persimpangan pada jalan arteri sekunder, dengan pengaturan tertentu harus
dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b).
Jalan Kolektor
Jalan kolektor merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpulan
atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jalan sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi (UU No.13 tahun 1980). Jaringan jalan
ini menghubungkan jalan arteri dengan jalan lokal. Jadi volume lalu lintas dari
jalan lokal dikumpulkan oleh jalan kolektor dan dibawa ke jalan arteri dan
selanjutnya dibawa ke tempat tujuan. Penampang jalan kolektor di kawasan
permukiman disajikan pada Gambar 3.
25
Jalan Lokal
Dalam sistem primer hierarki jaringan jalan, jalan lokal primer merupakan
jalan yang menghubungkan pusat kota dari orde pertama, orde kedua, dengan
persil-persil pada kawasan yang berfungsi regional. Jalan lokal primer dirancang
berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan
paling kurang 6 meter.
Berbeda dengan sistem sekunder, jalan lokal sekunder menghubungkan
pusat kota dengan perumahan, pusat bagian wilayah kota dengan perumahan, dan
26
pusat sub bagian wilayah kota dengan perumahan yang terdekat pada masing-
masing pusat tersebut. Jalan lokal sekunder dirancang berdasarkan kegiatan
rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.
Sumber utama air bersih bagi penduduk pedesaan dan perkotaan berbeda.
Bagi penduduk pedesaan, air sumber atau air tanah dangkal hanya diperoleh
dengan membuat sumur cukup sehat untuk langsung digunakan untuk memasak
dan mencuci. Sementara untuk penduduk perkotaan yang padat, air tanah dangkal
sudah diragukan kebersihannya karena kemungkinan tercemar septictank dan
limbah rumah tangga. Apabila air tanah dangkal sudah tercemar, maka dilakukan
upaya pemanfaatan air tanah dalam (aquifer). Air tanah dalam kualitasnya lebih
baik dari air tanah dangkal apabila belum terjangkau pencemaran dari lapisan
tanah atasnya. Pemompaan air tanah dalam perlu diatur karena berdampak
terhadap kestabilan lapisan tanah yang berisi air tersebut. Jika aquifer diambil
secara berlebihan dapat berdampak pada penurunan lapisan permukaan tanah atau
intrusi air laut ke dalam aquifer tersebut.
Air bersih dibutuhkan bagi makhluk hidup sangat bervariasi tergantung
pada berat dan besar tubuh, besarnya penguapan, dan cuaca (Soma, 2011a).
Menurut Al-Layla (1978 diacu dalam Soma, 2011a), penggunaan air di berbagai
kota dan negara sangat bervariasi bergantung pada faktor jumlah penduduk,
keadaan cuaca, kebiasaan dan cara hidup, fasilitas perpipaan (plumbing) yang
dimiliki oleh pelanggan, sistem air limbah (sewerage) komunal yang tersedia,
jumlah industri yang membutuhkan pasokan, serta besarnya pajak yang dikenakan
untuk setiap pengambilan air.
Standar kebutuhan air untuk kota-kota di Indonesia menurut Departemen
Pekerjaan Umum dibedakan berdasarkan kategori kota dan besarnya jumlah
penduduk (Soma, 2011a). Hal tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota
Jumlah Penduduk Kebutuhan air
No Kategori Kota
(jiwa) (lt/orang/hari)
1. Metropolitan > 1.000.000 150 – 200
2. Kota besar 0,5 – 1 juta 120 – 150
3. Kota sedang 0,1 – 0,5 juta 100 – 120
4. Kota kecil 20.000 – 100.000 90 – 100
5. Semi urban 3.000 – 20.000 60 – 90
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2007)
eksternalitas dapat menimbulkan perbedaan manfaat dan biaya yang dinilai oleh
pihak swasta (private) dengan manfaat atau biaya yang dinilai oleh masyarakat
(social).
Air merupakan sumberdaya alam pokok dan penting dalam pembangunan
wilayah. Hal ini mengingat bahwa sumberdaya air berkaitan dengan kondisi sosial
ekonomi dan sumberdaya lingkungan. Perkembangan jumlah penduduk yang
tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur wilayah secara ekonomi dapat
mempengaruhi peningkatan kebutuhan air sehingga berdampak krisis dalam
pembangunan wilayah.
Pembangkit listrik adalah bagian dari alat industri yang dipakai untuk
memproduksi dan membangkitkan tenaga listrik dari berbagai sumber tenaga.
Pembangkit listrik umumnya dapat berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga
30
Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit merupakan sumber daya listrik dimana
hampir semua kota memilikinya.
Saluran listrik dari sumber pembangkit tenaga listrik sampai transformator
terakhir, sering disebut juga sebagai saluran transmisi. Sementara saluran
distribusi atau saluran primer merupakan saluran listrik dari transformator terakhir
sampai pada konsumen terakhir. Ada 2 (dua) macam saluran transmisi/distribusi
PLN yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel bawah tanah
(underground cable). Kedua cara penyaluran tersebut masing-masing mempunyai
keuntungan dan kerugian. Dari segi estetika, saluran bawah tanah lebih disukai
dan juga tidak mudah terganggu oleh cuaca buruk misalnya hujan, petir, angin,
dan sebagainya, namun saluran bawah tanah jauh lebih mahal dibanding saluran
udara, tetapi saluran bawah tanah tidak cocok untuk daerah rawan banjir karena
bila terjadi gangguan akan sangat berbahaya.
Sistem tenaga listrik yang paling terakhir untuk disalurkan pada pelanggan
adalah sistem distribusi (Prihastomo, 2008 diacu dalam Rachmawati, 2011).
Sistem distribusi terdiri atas jaringan yang diisi dari sebuah Gardu Induk (GI).
Jaringan distribusi GI beroperasi secara tepisah, karena pada umumnya tidak
dihubungkan secara listrik dengan jaringan distribusi lain. Sistem distribusi
terbagi menjadi Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dan Jaringan Tegangan
Rendah (JTR). JTM dan JTR beroperasi secara radial. Untuk sistem jaringan baru,
jaringan distribusi langsung diisi oleh pusat listrik, karena bebannya relatif
rendah sehingga tidak diperlukan sistem transmisi (penyaluran).
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sistem kelistrikan tumbuh
dengan baik, karena pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu
mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13%
per tahun. Dalam kurun waktu 1969-1993, kapasitas pembangkit tenaga listrik
nasional meningkat signifikan dari 542 MW menjadi 13.569 MW. Investasi dalam
pembangunan fasilitas ketenagaan dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan
transmisi sepanjang 6.350 km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta
berbagai jaringan tegangan listrik lainnya (Kadin, 2006 diacu dalam Pamungkas,
2009).
31
Persampahan
Menurut Tchobanoglous (1977 diacu dalam Soma, 2010), sampah
didefinisikan sebagai semua jenis bahan buangan baik yang berasal dari manusia
ataupun binatang yang biasanya berbentuk padat karena dianggap tidak berharga,
tidak bernilai dan tidak diinginkan lagi. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
35
1. Strategi pelayanan
Strategi pelayanan adalah mendahulukan pencapaian keseimbangan pelayanan
dilihat dari segi kepentingan sanitasi dan ekonomi, serta kuantitas pelayanan
maupun kualitas pelayanan.
2. Frekuensi pelayanan
Berdasarkan hasil penentuan skala prioritas daerah pelayanan di atas maka
frekuensi pelayanan dibagi dalan beberapa kondisi sebagai berikut :
a. Wilayah dengan pelayanan intensif yaitu wilayah pusat kota, jalan protokol,
taman/hutan kota, kawasan pemukiman tidak teratur dan perdagangan
termasuk pasar.
b. Wilayah dengan pelayanan menengah yaitu wilayah pemukiman teratur,
komplek pendidikan, perkantoran, komplek kesehatan dan industri.
c. Wilayah dengan pelayanan rendah yaitu wilayah pinggir kota.
3. Kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan.
Kriteria untuk menentukan pengelolaan pelayanan adalah sebagai berikut :
a. Penggunaan jenis peralatan
b. Sampah yang terisolasi dari lingkungan
c. Frekuensi pelayanan
d. Frekuensi penyapuan jalan
e. Estetika
f. Tipe kota
g. Variasi daerah pelayanan
h. Pendapatan dari retribusi sampah
i. Timbulan sampah musiman
Pengumpulan
Pengangkutan
Pembuangan Akhir
Prasarana Kesehatan
Prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat
peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk. Penyediaan prasarana kesehatan didasarkan pada jumlah
penduduk yang akan dilayani.
Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-
2004 adalah sebagai berikut :
39
Prasarana Pendidikan
Dasar penyediaan prasarana pendidikan adalah untuk melayani setiap unit
administrasi pemerintahan baik yang informal (RT, RW) maupun yang formal
(Kelurahan, Kecamatan), dengan mempertimbangkan usia anak sekolah yang
akan dilayani. Selain itu dasar penyediaan prasarana pendidikan ini juga
mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok
lingkungan yang ada. Hal ini tentunya dapat terkait dengan bentuk grup
bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya.
Penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius
area layanan terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk
melayani pada area tertentu.
Perencanaan prasarana pendidikan harus didasarkan pada tujuan
pendidikan yang akan dicapai, dimana prasarana pendidikan dan pembelajaran ini
akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap secara optimal. Oleh
karena itu dalam merencanakan prasarana pendidikan harus memperhatikan:
a. Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area perencanaan;
b. Optimasi daya tampung dengan satu shift;
c. Efisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu;
d. Pemakaian sarana dan prasarana pendukung;
e. Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai
jenis sarana lingkungan lainnya.
Infrastruktur Hijau
Kota ramah lingkungan (eco-city) merupakan dasar pemikiran yang
mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan kota yang seimbang dan
berkelanjutan. Misi utama eco-city untuk membangun kota-kota yang ekologis
dan seimbang dengan alam. Konsep tersebut menuntut adanya penataan ruang dan
perencanaan pembangunan infrastruktur yang mendukung keseimbangan dengan
alam dalam prinsip pembangunan berkelanjutan (Roseland, 1997). Dalam Ecocity
World Summit 2008 yang berlangsung di San Francisco, konsep kota ramah
lingkungan (eco-city) dirumuskan sebagai solusi atas pemanasan global,
urbanisasi dan semakin langkanya sumberdaya yang akan terjadi di masa
mendatang.
Konsep kota ramah lingkungan di negara-negara maju telah dikenal
dengan penataan infrastruktur berbasis lingkungan yang sehat atau disebut juga
dengan istilah infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep pembangunan
42
infrastruktur hijau mulai menjadi tren di negara-negara maju pada abad 21 ini,
dimana perencanaan konservasi menjadi salah satu tujuan utama pembangunan.
Di Indonesia, konsep tersebut saat ini diimplementasikan dengan mengelola
kawasan terbuka hijau (Herwirawan, 2009).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun
2007, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam. Jadi RTH dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang
terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman,
dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut, diantaranya faktor kenyamanan,
keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan.
Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah
perkotaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan dan
menciptakan kota yang sehat, layak huni dan berkelanjutan. Sementara untuk
fungsi RTH meliputi konservasi tanah dan air, ameliorasi iklim, pengendali
pencemaran, konservasi habitat satwa dan plasma nutfah, sarana kesehatan dan
olahraga, sarana rekreasi dan wisata, sarana pendidikan dan penyuluhan, area
evakuasi bencana, pengendali tata ruang kota dan estetika kota (Joga dan Ismaun,
2011).
Kondisi RTH di kota-kota Indonesia belum dapat mencapai standar
minimum dalam penyediaannya yaitu sebesar 30% dari total luas wilayah kota.
RTH rata-rata di hampir kawasan perkotaan, baik dalam kategori kota
megapolitan ataupun kota kecil hanya 12,69%. Kota Jakarta sebagai kota
megapolitan dan pusat ibukota negara, hanya mampu menyediakan RTH 9,8%
(2011) yang masih jauh dari angka idealnya. Sementara di kota-kota besar lainnya
misalnya Yogyakarta hanya memiliki RTH 17,17%, Semarang 16,64%, Medan
15,89%, Makassar 11,23%, Bandung 10,58%, dan kota Surabaya yang memiliki
luasan RTH paling sedikit yaitu 9% (KemenPU, 2011 diacu dalam Joga, 2011).
Namun sebenarnya konsep green infrastructure memiliki arti yang lebih
luas dibandingkan dengan ruang terbuka hijau. Secara keseluruhan, infrastruktur
hijau adalah sistem jaringan holistik ekologis, yang terdiri dari satu set vegetasi
43
alami, danau dan daerah lain dengan nilai ekologis yang dikenal atau potensial
(yaitu hub) dan kemudian dihubungkan oleh koridor atau link (Chang et al.,
2012). Sebuah jaringan keseluruhan infrastruktur hijau dapat digunakan untuk
menginformasikan keputusan konservasi yang berhubungan dengan penggunaan
lahan, jika dua bagian utama dari hub dan link yang secara proaktif diidentifikasi,
direncanakan dan dikelola sebelum pengembangan terutama di kota, dimana
pertumbuhan kota telah mengubah bahkan mengurangi kualitas dan kuantitas
ruang hijau secara luas.
Menurut Benedict dan McMahon (2002) infrastruktur hijau merupakan
hubungan interkoneksi dari ruang terbuka yang melindungi fungsi dan nila-nilai
ekosistem alam dan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup. Jadi
infrastruktur hijau merupakan kerangka dasar ekologi yang dibutuhkan untuk
keberlanjutan sistem lingkungan, sosial dan ekonomi, atau dapat dikatakan
sebagai sistem kehidupan alami yang berkelanjutan.
Green infrastructure terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site.
Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan
komponen ekosistem alam. Hubs terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti
daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links disisi
lain merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat
berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun
jaringan jalan. Green infrastructure juga dibekali dengan sites yang lebih kecil
dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian
penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site pada kenyataannya dapat berupa
taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman
maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Jaringan infrastruktur hijau
disajikan pada Gambar 8.
44
Desa (PODES) dan (7) Kuesioner. Alat yang digunakan adalah perangkat
komputer berserta software Microsoft Office, Microsoft Exel, ArcGIS 9.3, Global
Position System (GPS), dan kamera digital.
resolusi tinggi memiliki kenampakan visual yang dapat membedakan antara objek
satu dengan objek lainnya sehingga memudahkan dalam interpretasi tutupan
lahan. Klasifikasi penggunaan lahan ditetapkan menjadi 2 kelompok, yaitu lahan
terbangun (permukiman, jasa dan perdagangan, dan kawasan industri) dan lahan
tidak terbangun (hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, taman dan tubuh air).
Analisis deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara
tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010.
Hasil analisis berupa peta perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya data atribut
dari peta tersebut digunakan untuk analisis perubahan luas penggunaan lahan
dengan menggunakan matriks transisi.
Citra Satelit
GeoEye tahun 2004
Quickbird tahun 2010
Citra Satelit
GeoEye tahun 2001 • Peta Administrasi
Survei • Citra Quickbird
Quickbird tahun 2010 Lapang 2010
• Peta Tematik
Survei Infrastruktur
Lapang
Sistem Informasi Geografis
(SIG)
Salah satu cara untuk mengukur hierarki wilayah secara cepat dan mudah
adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya suatu wilayah yang
berkembang secara ekonomi dicirikan oleh jumlah ketersediaan sarana dan
prasarana serta tingkat aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
yang ada. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki rangking
tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis
ini dapat ditentukan prioritas pengadaan infrastruktur atau sarana dan prasarana di
setiap unit wilayah yang dianalisis dan tingkat perkembangan wilayahnya.
Data yang digunakan dalam metode skalogram meliputi data umum
wilayah, aksesibilitas ke pusat pelayanan, keadaan perekonomian wilayah yang
ditunjukkan oleh aktifitas masyarakat yang ada di wilayah tersebut, dan data
tentang fasilitas umum yang meliputi data jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan,
peribadatan, komunikasi dan jenis data penunjang lainnya.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel
yang telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan tujuan penelitian yang
berkaitan dengan infrastruktur dan waterfront city. Beberapa variabel yang
digunakan adalah variabel yang bersumber dari hasil penelitian Gustiani (2005),
yang sebelumnya menggunakan 33 variabel (variabel aksesibilitas dan variabel
infrastruktur sosial ekonomi) untuk menentukan hierarki wilayah pesisir. Variabel
yang digunakan dalam metode skalogram disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah
No Variabel
1. Jumlah penduduk
2. Luas desa/kelurahan
3. Jarak dari desa ke ibukota kecamatan
4. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kecamatan
5. Jarak dari desa ke ibukota kabupaten
6. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten
7. Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat
8. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat
9. Jumlah TK
10. Jumlah SD
11. Jumlah SLTP
12. Jumlah SMU/SMK
13. Jumlah Perguruan Tinggi (PT)
14. Jumlah Rumah Sakit Umum
51
b. Jaringan Listrik
Penyediaan infrastruktur jaringan listrik perkotaan meliputi pembangkit,
gardu dan jaringan kabel. Umumnya setiap kota memiliki pembangkit sebagai
sumberdaya listrik misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Penelitian ini difokuskan untuk evaluasi distribusi daya listrik yang disebarkan
melalui gardu listrik yaitu: gardu tiang/portal, gardu tembok/beton, gardu cantol
atau gardu kios, dan jaringan kabel yang ada di Kota Ternate. Analisis deskriptif
dilakukan untuk menggambarkan sarana dan prasarana listrik di Kota Ternate.
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi cakupan pelayanan (jumlah
pelanggan/penduduk yang terlayani) jaringan listrik berdasarkan SNI 03-1733-
2004. Data yang digunakan meliputi data tabular dalam deret waktu (time series),
sehingga dapat mengetahui perkembangan cakupan pelayanan jaringan listrik
sesudah pengembangan kawasan waterfront.
Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:
a) kebutuhan daya listrik; dan
b) jaringan listrik.
2) Setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450
VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlah
kebutuhan rumah tangga.
b) Penyediaan jaringan listrik
1) Penyediaan jaringan listrik lingkungan mengikuti hierarki pelayanan,
dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan jumlah unit
hunian yang mengisi blok siap bangun;
2) Penyediaan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada
area damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak
menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar;
3) Penyediaan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik ditempatkan
pada lahan yang bebas dari kegiatan umum;
4) Penerangan jalan yang disyaratkan memiliki kuat penerangan 500 lux
dengan tinggi >5 meter dari muka tanah;
5) Daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk
tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen karena akan
membahayakan keselamatan.
c. Air Bersih
Data lokasi sumber air bersih diambil dengan menggunakan alat Global
Positioning System (GPS), wawancara dan observasi. Analisis deskriptif
digunakan untuk identifikasi ketersediaan pelayanan instalasi air bersih pada
sarana publik misalnya pasar, pertokoan/mall, dan mesjid maupun terhadap
kebutuhan untuk rumah penduduk. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI-03-
1733-2004 dan standar kebutuhan air bersih dari PDAM sebagai bahan acuan
(Tabel 6).
55
d. Drainase
Sistem drainase merupakan rangkaian bangunan air yang berfungsi untuk
mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan,
sehingga fungsi kawasan/lahan tersebut tidak terganggu. Analisis ketersediaan
sistem drainase perkotaan dilakukan dengan identifikasi jenis saluran yang
terlayani pada masing-masing kecamatan. Hasil analisis data di lapang
dikomparasikan dengan SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum
Drainase Pekotaan (Tabel 7) dan Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan
No.008/T/BNKT/1990.
Tabel 7. Bagian Jaringan Drainase
Jenis Sarana Prasarana
Badan Penerima Air Sumber air di permukaan tanah (laut, sungai, danau)
Sumber air di bawah permukaan tanah (air tanah akuifer)
Bangunan pelengkap Pertemuan saluran
Bangunan terjun
Jembatan
Street inlet
Pompa
Pintu air
Sumber : SNI 02-2406-1991
e. Sampah
Pengelolaan sampah menurut Tchobanoglous (1997 diacu dalam Soma,
2010) dapat dikelompokan kedalam 6 (enam) elemen terpisah yaitu :
56
Infrastruktur Hijau
Infrastruktur hijau (green infrastructure) merupakan konsep
pengembangan kota ekologis (eco-city) atau seimbang dengan alam dan
berkelanjutan. Pendekatan konsep infrastruktur hijau menurut Jongman dan
Pungetti (2004 diacu dalam Herwirawan, 2009) adalah hubungan multi fungsi
antar kawasan terbuka termasuk taman, kebun, areal tanaman hutan, koridor hijau,
saluran air, pohon-pohon di sepanjang jalan, dan daerah terbuka lainnya serta
kondisi fisik lingkungan di pedesaan maupun perkotaan. Dalam penelitian ini,
analisis kapasitas pemenuhan infrastruktur hijau dimaksudkan untuk evaluasi
karakteristik dan standar penyediaan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kota Ternate.
Berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau
(RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam. Ketentuan UU No. 26/2007 menyatakan bahwa
penyediaan RTH 30%, terdiri dari RTH publik di kawasan perkotaan minimal
20% dan RTH privat minimal 10% dari luas wilayah kota. Dalam kasus ini,
kondisi eksisting ketersediaan RTH tiap kecamatan di Kota Ternate (kecamatan-
kecamatan yang berada di pusat kota) dikomparasikan dengan ketentuan UU
No.26/2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan (Tabel 10).
Tabel 10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan
Tipologi Kawasan Karakteristik RTH
Perkotaan Fungsi Utama Penerapan Kebutuhan RTH
Pantai Pengaman wilayah pantai Berdasarkan luas wilayah
Sosial budaya Berdasarkan fungsi tertentu
Mitigasi bencana
Pegunungan Konservasi tanah Berdasarkan luas wilayah
Konservasi air Berdasarkan fungsi tertentu
Keanekaragaman hayati
Rawan Bencana Mitigasi/evakuasi bencana Berdasarkan fungsi tertentu
Berpenduduk jarang Dasar perencanaan kawasan Berdasarkan fungsi tertentu
sampai sedang Sosial Berdasarkan jumlah penduduk
Berpenduduk padat Ekologis Berdasarkan fungsi tertentu
Sosial Berdasarkan jumlah penduduk
Hidrologis
Sumber : PERMEN PU No.05/PRT/M/2008
59
Linear Regression
a dan b dapat dihitung :
Y = a + bX
Pt = a + bX b
Dimana:
Pt = Penduduk pada tahun t
a = Konstanta
b = Arah garis
X = variabel independen (jumlah penduduk)
Dinas Tata Kota, dan Dinas PU), pihak swasta (konsultan perencana dan
kontraktor) dan akademis dengan jumlah responden sebanyak 11 responden.
Metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk analisis
persepsi stakeholders terkait dengan permasalahan dalam ketersediaan
infrastruktur di kawasan waterfront. Prinsip kerja AHP ialah menyederhanakan
suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta
menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi
nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan
kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas
tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin,
2000 diacu dalam Faizu, 2011).
Hal-hal yang diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam
AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi
logika. Adapun tahapan pendekatan AHP diuraikan dibawah ini.
a. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhi permasalahan dan memerlukan variabel yang berpengaruh dan
solusi yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, bahwa metoda
AHP digunakan untuk mendapatkan solusi dalam permasalahan terkait dengan
infrastruktur di kawasan waterfront. Untuk itu pertanyaan diajukan dalam
pendekatan 3 (tiga) kelompok infrastruktur yaitu infrastruktur fisik, infrastruktur
sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau.
b. Penyusunan Sistem Hierarki
Penyusunan struktur hierarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat
kriteria paling bawah (Gambar 11).
c. Pembuatan Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif atau
pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria/kepentingan
setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan persepsi responden dengan menilai
tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.
61
Tingkat 2 :
Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau
Aspek
Tingkat 3: Jaringan Pelayanan Jaringan Saluran Sampah Pasar Pertokoan/ Mesjid Terminal Taman Lapangan
Sub Aspek Jalan Air Bersih Listrik Drainase Tradisional Mall Angkutan Kota Olahraga
Tingkat 4: Perbaikan Saluran Penataan Jalur Pengelolaan Penataan Revitalisasi kawasan Penataan Lansekap Penataan Lansekap
Alternatif Drainase Pedestrian Sampah Terpadu Kawasan PKL Pasar Tradisional Taman Kota Kawasan
“Dodoku-Ali” Gelanggang Remaja
62
63
dimana :
C1, C2, ....., Cn = set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki.
Kuantifikasi pendapat dari hasil yang mencerminkan
nilai kepentingan Ci terhadap Cj
√∏
dimana :
gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
aij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j
k = 1,2, .....m. dan m = jumlah responden
64
3) Pengolahan Vertikal
Pada penyusunan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki
keputusan tertentu terhadap sasaran utama dilakukan pengolahan vertikal. Bila
CVij merupakan nilai prioritas pengaruh elemen ke-i pada tingkat ke-j terhadap
sasaran utama, maka :
Dimana :
Cvij = nilai prioritas pengaruh ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran
utama
Chij (t,i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i=1)
VWt(i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1)
terhadap sasaran utama
p = jumlah tingkat hierarki keputusan
r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i ke (i-1)
s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1)
4) Revisi Pendapat
Revisi pendapat dilakukan apabila nilai konsistensi ratio (CR) pendapat
cukup tinggi (>0,1) dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari baris-
baris (aij) dan perbandingan nilai bobot kolom (Wi/Wj) dan merevisi pendapat
pada baris yang mempunyai nilai terbesar, dengan persamaan :
∑( ⁄ )
Catatan dari beberapa ahli bahwa jika jumlah revisi terlalu besar,
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Oleh karena itu penggunaan revisi ini
sangat terbatas sekali mengingat akan terjadi penyimpangan dari jawaban.
65
Kota Ternate dan juga umumnya daerah pantai di Propinsi Maluku Utara
memiliki tipe iklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya
heterogen sesuai indikasi umum iklim tropis. Di daerah ini dikenal dua musim
yakni utara–barat dan timur–selatan yang seringkali diselingi dengan dua kali
masa pancaroba setiap tahunnya.
Selama tahun 2010 kondisi iklim Kota Ternate menurut hasil pengukuran
Stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate adalah sebagai berikut :
Temperatur rata-rata 27,3ºC
Kelembaban nisbi rata-rata 84%
Tingkat penyinaran sinar matahari rata-rata 64%
Kecepatan angin rata-rata 4 knot dengan kecepatan maksimum mutlak rata-
rata 19 knot.
Tabel 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate
Tahun 2010
Kelembaban Nisbi Rata-rata Penyinaran Matahari
Bulan
(%) (%)
Januari 82 51
Februari 81 75
Maret 85 79
April 85 61
Mei 85 67
Juni 8 60
68
Tabel 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate
Tahun 2010 (Lanjutan)
Kelembaban Nisbi Rata-rata Penyinaran Matahari
Bulan
(%) (%)
Juli 85 62
Agustus 85 55
September 84 67
Oktober 80 69
November 83 71
Desember 83 46
Rata-Rata 84 64
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
Tabel 14. Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah
Angin di Kota Ternate
Kecepatan Angin Rata- Kecepatan
Arah Angin
Bulan Rata Maksimum Mutlak
(°)
(knot) (knot)
Januari 06 18 330
Februari 06 22 340
Maret 07 21 330
April 05 24 330
Mei 05 15 340
Juni 04 17 230
Juli 03 12 330
Agustus 04 18 120
September 04 30 230
Oktober 04 15 230
November 04 19 230
Desember 04 20 330
Rata-Rata 04 19 280
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
Tabel 15. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kota Ternate Menurut
Bulan, Tahun 2010
Jumlah Hujan Curah Hujan
Bulan
(Hari) (mm)
Januari 23 225,0
Februari 15 89,6
Maret 8 77,5
April 23 332,7
Mei 22 381,2
Juni 17 126,5
Juli 23 211,4
Agustus 21 228,4
September 22 166,6
Oktober 16 269,8
November 19 135,9
Desember 21 418,6
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
69
Kependudukan
Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Kota Ternate sebanyak 185.705 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 94.476
jiwa dan perempuan sebanyak 91.229 jiwa. Sebagian besar penduduk Kota
Ternate bermukim di wilayah kecamatan Ternate Selatan yaitu sebanyak 34,33%
dari jumlah penduduk sedangkan wilayah yang paling sedikit penduduknya yaitu
kecamatan Pulau Batang Dua, karena hanya 1,34% dari jumlah penduduk Kota
Ternate yang tinggal di kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, data
kependudukan disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 13.
Moti; 2,37%
Pulau Ternate; Pulau Batang
7,91% Dua; 1,34%
Ternate Utara; Pulau Hiri;
24,54% 1,47%
Ternate
Selatan;
Ternate 34,33%
Tengah;
28,04%
Penduduk tidak hanya dilihat dari segi jumlahnya saja, tetapi juga perlu
ditinjau dari kepadatannya. Wilayah yang penduduknya banyak belum tentu
memiliki kepadatan penduduk yang besar. Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa
wilayah yang paling padat penduduknya adalah kecamatan Ternate Tengah
sebesar 4.799 jiwa/km2, sedangkan wilayah yang paling kecil kepadatan
penduduknya yaitu kecamatan Pulau Batang Dua.
Tabel 16. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2010
Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan
Kecamatan
(jiwa) (Km2) (Km2/jiwa)
Pulau Ternate 14.692 37,23 394
Moti 4.399 24,8 177
Pulau Batang Dua 2.487 29,04 85
Pulau Hiri 2.735 6,70 408
Ternate Selatan 63.746 16,98 3.754
Ternate Tengah 52.072 10,85 4.799
Ternate Utara 45.574 14,38 3.169
Jumlah 185.705 139,98 1.326
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
70
Pusat Lingkungan
Pusat Lingkungan merupakan pusat pelayanan kegiatan dengan skala
pelayanan lingkungan yang tersebar di setiap Bagian Wilayah Kota (BWK)
dengan kegiatan dan kelengkapan fasilitas pada Pusat Lingkungan berupa pusat
pelayanan pemerintahan tingkat kelurahan, perdagangan tingkat lingkungan atau
kegiatan pendidikan skala lingkungan seperti sekolah taman kanak-kanak atau
sekolah dasar. Konsep dasar struktur tata ruang ditetapkan setelah mendapatkan
masukan dari visi dan misi tata ruang serta mencermati hasil analisis konektivitas
antara pusat-pusat pertumbuhan perkotaan serta konektivitas antar Pulau-pulau,
baik konektivitas internal maupun eksternal terhadap orientasi regional Kawasan
Timur Indonesia (KTI).
semuanya memiliki peran dan fungsi secara proporsional terhadap wilayah dalam
masing-masing BWK.
1. BWK 1 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Dufa-Dufa Kecamatan Ternate Utara yang meliputi Kelurahan Tarau, Sango,
Tabam, Tafure, Akehuda, Tubo, Dufa-Dufa, Sangadji Utara, Sangadji,
Toboleu, Kasturian, Salero, Soa-Sio, dan Soa. Adapun arah pengembangan di
BWK 1 adalah sebagai permukiman, kawasan bandara, pelabuhan, pariwisata,
militer, jasa, perdagangan, perikanan, pendidikan, dan olahraga.
2. BWK 2 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Salahuddin Kecamatan Ternate Tengah yang meliputi Kelurahan Makassar
Timur, Makassar Barat, Salahuddin, Kalumpang, Santiong, Gamalama, Moya,
Kampung Pisang, Marikurubu, Muhajirin, Tanah Raja, Maliaro, Stadion,
Takoma, dan Kota Baru. Adapun arah pengembangan di BWK 2 diarahkan
sebagai kawasan jasa, perdagangan, pariwisata, pelabuhan, permukiman,
pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga.
3. BWK 3 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Kalumata Kecamatan Ternate Selatan yang meliputi Kelurahan Sasa, Gambesi,
Ngade, Fitu, Kalumata, Kayu Merah, Tabona, Ubo-Ubo, Bastiong Karance,
Bastiong Talangame, Mangga Dua Utara, Mangga Dua, Jati Perumnas, Jati,
Tanah Tinggi Barat, Tanah Tinggi, dan Toboko. Adapun arah pengembangan
BWK 3 sebagai jasa, perdagangan, pariwisata, pelabuhan, perikanan, militer
olahraga dan pendidikan .
4. BWK 4 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Jambula Kecamatan Pulau Ternate yang meliputi Kelurahan Jambula, Kastela,
Foramadiahi, Rua, Afe Taduma, Dorpedu, Togafo, Loto, Takome, Sulamadaha,
Tobololo, Bula dan Kulaba. Adapun arah pengembangan BWK 4 sebagai
permukiman, pariwisata, dan pertanian.
5. BWK 5 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Togolobe Kecamatan Pulau Hiri yang meliputi Kelurahan Faudu, Tomajiko,
Dorari Isa, Togolobe, Tafraka, dan Mado. Pusat BWK 5 di Kelurahan
Togolobe. Adapun arah pengembangan BWK 5 sebagai perikanan, pertanian
dan permukiman.
78
Tabel 21. Fungsi Strategis BWK I dan BWK II dalam mendukung Waterfront
City Kota Ternate
Wilayah Strategi Pengembangan Tata
Lokasi Fungsi Kegiatan Utama
Administrasi Ruang
BWK I Kecamatan Ternate Permukiman, Bandara, Pengendalian pertumbuhan
Utara Pelabuhan, Pariwisata, permukiman
Militer, Jasa, Pengendalian tata bangunan
Perdagangan, Perikanan dan lingkungan kawasan
pesisir dan kawasan
dan Olahraga
berkepadatan tinggi
Pengembangan pariwisata
sejarah
Pengembangan pusat
pendidikan
Pengembangan sub pusat
pertumbuhan kawasan jasa
dan perdagangan skala kota
Pengembangan sub sektor
perikanan
Pengembangan pusat
olahraga, Pengembangan
Sektor Jasa dan
Perdagangan
BWK II Kecamatan Ternate Jasa Perdagangan, Pengendalian pertumbuhan
Tengah Pariwisata, Pelabuhan, permukiman dan
Perikanan dan pengendalian tata bangunan
Permukiman dan lingkungan kawasan
Pengembangan sub sektor
perikanan
Pengembangan sub pusat
pertumbuhan baru
Sumber : DKP (2008)
Gambar 16. Kawasan Prioritas Action Plan Waterfront City Kota Ternate
Sumber : DKP (2008)
Saat ini Kota Ternate baru menghitung PDRB dari segi produksi saja.
PDRB terdiri dari PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga
konstan. PDRB atas dasar harga berlaku merupakan penjumlahan nilai tambah
dari barang dan jasa yang diproduksi dan dinilai menggunakan harga yang berlaku
pada tahun bersangkutan. PDRB atas dasar harga konstan merupakan
penjumlahan nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi dan dinilai
menggunakan harga pada tahun dasar yaitu tahun 2000.
Besarnya nilai PDRB atas dasar harga berlaku di suatu wilayah
memberikan gambaran potensi perekonomian wilayah tersebut. PDRB atas dasar
harga berlaku Kota Ternate dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada
83
tahun 1999 PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 349.727 juta rupiah meningkat
pada tahun 2011 menjadi 1.145.573 juta rupiah. Pada tahun 1999-2011 sektor-
sektor yang berkontribusi besar terhadap pembentukan PDRB atas dasar harga
berlaku yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor jasa, sektor
pengangkutan dan komunikasi serta sektor pertanian (Gambar 17 dan Tabel 22).
Peningkatan ini menunjukkan bahwa terjadi perkembangan perekonomian Kota
Ternate. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh kenaikan produksi
barang dan jasa pada wilayah tersebut pada tahun tertentu. Jika kenaikan produksi
barang dan jasa pada tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya maka
dikatakan terjadi kenaikan pertumbuhan.
400.000 Pertanian
350.000 Pertambangan &
Penggalian
300.000 Industri Pengolahan
250.000 Listrik, Gas, Air Bersih
200.000 Bangunan
Gambar 17. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011
84
Tabel. 22. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011 (dalam juta rupiah)
Sektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Pertanian 45.831 46.016 49.517 50.556 53.868 57.288 60.870 64.756 76.963 108.284 120.257 134.682 151.855
Pertambangan & Penggalian 3.294 3.610 3.713 3.719 3.795 3.879 3.962 5.111 5.761 7.373 10.056 11.488 13.841
Industri Pengolahan 24.229 18.209 18.423 24.879 25.306 26.894 29.102 31.343 34.049 37.925 50.766 53.230 58.449
Listrik, Gas, Air Bersih 5.070 5.222 5.430 5.967 6.402 6.736 7.125 7.645 8.114 10.508 11.716 12.637 14.222
Bangunan 8.142 10.143 13.665 15.335 17.706 21.363 24.525 27.686 30.932 39.906 51.447 65.965 81.347
Perdagangan, Hotel & Restoran 111.989 110.058 113.320 118.569 128.514 139.790 156.176 166.854 187.741 199.348 246.306 294.696 337.365
Pengangkutan & Komunasi 60.937 65.939 69.013 53.447 57.212 59.118 64.526 77.338 89.648 114.500 133.526 155.427 186.029
Keuangan, Persewaan & Jasa 28.326 26.113 27.081 27.470 28.351 29.482 31.256 32.824 36.794 55.764 71.659 85.925 101.039
Perusahan
Jasa-Jasa 61.909 63.839 66.133 68.416 77.493 84.852 93.108 104.365 115.658 121.272 149.633 177.744 201.426
Jumlah 349.727 349.149 366.295 368.358 398.647 429.402 470.650 517.922 585.660 694.880 845.366 991.794 1.145.573
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
84
85
sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang
terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai
pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data
tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk
citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut
sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye
tahun 2001.
Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk
mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi
Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan
pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota
Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak
pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi
laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara
darat dan laut.
bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di
sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan
waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai
landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan
waterfront.
45,00
58,49 59,73 48,34 60,17
40,00
25,04 24,55 26,05 24,86
35,00
30,00
10,17 10,15 12,75 11,95
25,00
20,00
15,00
9,25 9,86 8,29 9,80
10,00
5,00
0,00
2005 2006 2008 2011
Stdev IP Average IP
Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan
Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan
bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan
aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat
pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011),
sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang
menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2
meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga
ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan
pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi
18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki
wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.
97
Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah
penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas
yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi
dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah
mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas
dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah
hinterland dari wilayah yang lainnya.
pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor
primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk
jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan
jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan
jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang
berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.
(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari
panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun
2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km.
Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya
saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan
kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya
Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.
160,00
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32
Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00
Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75
Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67
primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu
tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama.
infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar
karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal
ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke
tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi
kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi
terhadap pemakai jalan.
Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada
di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan
jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran
tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat
pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang
tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki
prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya.
Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah,
sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang
merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat
di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat
berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang
mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi
pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut.
Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan
distribusi disajikan pada Gambar 30.
Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate
45.000
40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
PULAU TERNATE TERNATE TERNATE
TERNATE SELATAN TENGAH UTARA
2008 2.052 33.738 29.688 28.344
2009 2.058 35.820 30.864 27.756
2010 2.082 37.488 32.010 32.112
2011 2.256 41.916 36.228 32.550
Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM
Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32.
Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di
kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan
di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara.
Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2
kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan
kecamatan Ternate Selatan.
Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat
yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses
distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas
pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu
diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01
ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5
tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan.
Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada
tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian
pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan
bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini
berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97%
atau 5.930.417 m3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m3. Dampak
kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang
ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a).
Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara
kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke
pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran
tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk
113
Infrastruktur Listrik
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik
Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit,
penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan
listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.
114
Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk
membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun
dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan
kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin
tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya
tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan
adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan
jumlah mesin yang ada.
Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas
mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun
2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6
unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan
energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang
dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH
pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006
sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya
mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini
115
14.000
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
0
PULAU TERNATE TERNATE TERNATE
TERNATE SELATAN TENGAH UTARA
2005 2.263 6.968 7.434 5.672
2006 2.279 6.968 7.434 5.678
2008 3.093 11.195 10.632 8.711
2011 3.250 12.884 12.292 10.186
Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah
pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate
Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat
pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate
Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan
pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan
Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di
kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate,
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota
(kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota.
tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat
kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu
kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar
Barat.
Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola
siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase
yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum
masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran
drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa
juga langsung menuju sungai.
Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama
kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan
Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol
membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas
tampung 800 m3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m3/det. Namun hal
tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang
bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat
musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa
memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas
tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.
127
Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas
(dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan
Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal,
dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan
permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui
koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol
tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas
yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi
dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008).
terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat
memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak
infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan
yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.
Infrastruktur Persampahan
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan
Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas
Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola
pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di
Kelurahan/Desa Takome Kecamatan Pulau Ternate merupakan tempat
pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat
kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki
bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah
bebatuan.
Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open
dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan
terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan
bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha
merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem
controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang
ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona
penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas
TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di
sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39).
Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru
No Area Luas (ha) Keterangan
1 Zona Pasif
TPA controlled landfill 1,12 Belum beroperasi
Eks open dumping 0,40 Tidak beroperasi
2 Zona Aktif
Open dumping 5,25
Bangunan sarana dan prasarana 0,18
Bangunan Komposting 0,01
3 Zona Penyangga
Semak belukar, tanaman non 53,03
produktif
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008)
130
namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya
di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk
mengolah sampah yang berasal dari pasar.
Merujuk pada SNI 19-3983-1995 tentang spesifikasai timbulan sampah
untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5–2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang
diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan
komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah
penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai 174.945 jiwa menghasilkan
produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari
komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak
terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang
belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang
berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39).
Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate
Berat Sampah per Persentase
No Komponen Sampah
Komponen di TPA (kg) (%)
1 Sisa Makanan (organik) 63,82 81,31
2 Kertas 2,51 3,20
3 Plastik 3,40 4,33
4 Kaca/botol gelas 2,88 3,67
5 Kulit 0,21 0,27
6 Logam 2,48 3,16
7 Kaleng 3,19 4,06
Jumlah 78,49 100,00
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)
Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005
sampai 2008 disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008
Jumlah
Jumlah Jumlah Penduduk
Tahun Penduduk Penduduk Tidak Produksi Diangkut ke Tidak diangkut
(jiwa) Terlayani Terlayani Sampah TPA ke TPA
jiwa % jiwa % m3/tahun m3/tahun % m3/tahun %
2005 163.166 134.499 82 28.667 18 129.240 77.040 60 52.200 40
2006 165.961 141.272 85 24.689 15 131.400 80.280 61 51.120 39
2007 171.722 142.134 83 29.588 17 136.080 82.800 61 53.280 39
2008 185.453 153.925 83 31.528 17 146.880 90.000 61 56.880 39
jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat 153.925 jiwa (83%) di tahun 2008.
Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah
penduduk di tahun 2005-2008. Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas
angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara
keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah
pada tahun 2008 yaitu 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 90.000
m3/tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar
56.880 m3/tahun (39%).
Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat
dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi
pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus
ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di
kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi
dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh
aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai
tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan
tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota.
terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah
meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke
fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah
kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu
tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi.
Prasarana Kesehatan
Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam
mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah
didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut.
Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-
2004 adalah sebagai berikut :
a. Posyandu
b. Balai Pengobatan Warga
c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin)
d. Puskesmas dan Balai Pengobatan
e. Puskesmas
f. Tempat Praktek Dokter
g. Apotek
pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km2, balai kesejahteraan
ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km2,
puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5
km2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan
3 km2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2,
dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2.
Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate
Kecamatan
Prasarana Kesehatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
(15.024 jiwa)* (65.888 jiwa)* (54.677 jiwa)* (47.724 jiwa)*
Kebutuhan1 - 1 1 1
Rumah
Ketersediaan - 1 4 1
Sakit
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
Rumah Kebutuhan2 - 2 1 1
Sakit Ketersediaan - 1 1 1
Bersalin Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup
Kebutuhan3 1 1 1 1
Puskesmas Ketersediaan 1 2 2 1
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Kebutuhan4 3 13 10 9
Posyandu Ketersediaan 3 13 10 11
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Kebutuhan5 3 13 11 10
Praktek
Ketersediaan - 11 32 4
Dokter
Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup
Kebutuhan6 - 2 1 1
Apotek Ketersediaan - 7 15 4
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
* Jumlah Penduduk tahun 2011
1
Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000
jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa;
terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani
pada area tertentu.
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan
dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang
tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga
dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai
berikut:
1. Toko/warung.
2. Pertokoan, Rumah Toko.
3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan.
4. Mini Market/Swalayan kecil.
5. Supermarket/Pasar Swalayan.
6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall.
Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate
pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit
Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya
pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua
kecamatan (lihat Tabel 55).
Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan
Pusat Pusat
Toko/ Pasar
Kecamatan Minimarket Pertokoan Perbelanjaan/
Warung Tradisional
(Ruko) Mall
Pulau Ternate 204 - - - -
Ternate Selatan 815 1 13 2 -
Ternate Tengah 1.379 1 6 6 2
Ternate Utara 754 1 2 3 -
Jumlah 3.152 3 21 11 2
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi
dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan
dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate
157
tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH
Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH
adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah)
(lihat Tabel 59).
Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan
Luas RTH Publik RTH Privat Jumlah Luas RTH
Kecamatan
Wilayah (ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
Ternate Tengah 1.416,34 365,33 26 656,06 46 1.021,39 72
Ternate Selatan 2.304,99 794,58 34 962,23 42 1.756,80 76
Ternate Utara 1.707,24 530,59 31 727,17 43 1.257,75 74
Kota Ternate 5.428,58 1.690,50 31 2.345,46 43 4.035,94 74
bersih PDAM saat ini. Untuk itu disarankan untuk mencari alternatif potensi
sumber air baku yang berada di Kota Ternate untuk dapat dimanfaatkan
masyarakat dalam menunjang aktivitas sehari-hari, mengingat air merupakan
kebutuhan dasar (basic need) bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.
Tabel 67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032
Kondisi Kebutuhan Air Bersih (lt/hari)*
Kecamatan Eksisting
2013 2017 2022 2027 2032
2011
Pulau Ternate 79.210 1.548.300 1.634.800 1.742.800 1.850.900 1.958.900
Ternate Selatan 1.471.702 6.786.500 7.251.700 7.833.200 8.414.600 8.996.100
Ternate Tengah 1.271.993 5.629.300 6.074.400 6.630.800 7.187.200 7.743.600
Ternate Utara 1.142.855 4.915.400 5.303.400 5.788.400 6.273.400 6.758.400
Jumlah 3.965.760 18.879.500 20.264.300 21.995.200 23.726.100 25.457.000
Tingkat
1.887.950 2.026.430 2.199.520 2.372.610 2.545.700
Kebocoran 10%
Jumlah 3.965.760 20.767.450 22.290.730 24.194.720 26.098.710 28.002.700
*Standar 100 lt/org/hari
Sampah 0,233
Listrik 0,175
Mesjid 0,310
Pertokoan/Mall 0,159
Gambar 52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi
dimana simbol sejarah melekat pada kawasan ini. Saat ini kondisinya tidak
terawat dan beberapa prasarana yang ada, tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk membangun simbol sejarah bagi keberadaan Kesultanan Ternate, maka
taman ini dapat difungsikan kembali, sebagai pusat interaksi masyarakat, sarana
rekreasi atau sebagai interaksi seni dan budaya.
Berdasarkan hasil dari persepsi stakeholder tersusun prioritas arahan
strategis yang menjadi capaian utama dalam penataan dan pengelolaan
infrastruktur kawasan waterfront di Kota Ternate disajikan pada Gambar 54 dan
Gambar 55.
Gambar 54. Hasil AHP Alternatif Penataan & Pengelolaan Infrastruktur Kawasan
Waterfront Kota Ternate
172
Jaringan Pelayanan Jaringan Saluran Sampah Pasar Pertokoan/ Mesjid Terminal Taman Lapangan
Jalan Air Bersih Listrik drainase Tradisional Mall Angkutan Kota Olahraga
Tingkat 3: (0,211) (0,175) (0,174) (0,208) (0,233) (0,326)
(0,306) (0,159) (0,209) (0,757) (0,243)
Sub Aspek
Perbaikan Saluran Penataan Jalur Pengelolaan Penataan Revitalisasi kawasan Penataan Lansekap Penataan Lansekap
Tingkat 4: Kawasan PKL Pasar Tradisional Taman Kota Kawasan
Drainase Pedestrian Sampah Terpadu
Alternatif (0,458)
“Dodoku-Ali” Gelanggang Remaja
(0,288) (0,287) (0,425) (0,542)
(0,610) (0,390)
Saran
Benedict MA, McMahon ET. 2002. Green Infrastructure: Smart Conservation for
21th Century. Journal of The Renewable Resources 20: 12-17.
[BPS] Badan Pusat Statistik Maluku. 1982. Maluku Dalam Angka 1980. Ambon:
BPS.
[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Ternate. 2009. Kota Ternate Dalam Angka
2009. Ternate: BPS.
Dinas Kebersihan Kota Ternate. 2008. Sistem Pengelolaan Sampah Kota Ternate.
Ternate: Dinas Kebersihan.
Djafar RI. 2004. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir Kota Ternate Provinsi
Maluku Utara: Studi Kasus Permukiman di Atas Laut Kelurahan
Makassar Timur [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas
Diponegoro.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Action Plan Waterfront City
Kota Ternate. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.
Joga N, Ismaun I. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Joga N. 2011. Penataan Ruang Berbasis Aspek Ekologis untuk Mewujudkan Kota
Berkelanjutan, RTH 30%: Resolusi (Kota) Hijau. Seminar Teknik
Planologi 2011; Bogor, 3 Des 2011.
Kalay DE. 2008. Perubahan Garis Pantai di Sepanjang Pesisir Pantai Indramayu
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Laras KB. 2011. Desain Kebijakan Pengelolaan Waterfront City Kota Semarang
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lillesand MT, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
[PDAM] Perusahan Daerah Air Minum Kota Ternate. 2007. Standar Kebutuhan
Air Bersih Domestik dan Non Domestik Perkotaan. Ternate: PDAM
Kota Ternate.
[PLN] Perusahan Listrik Negara Cabang Kota Ternate. 2010. Data Tabular
Infrastruktur Jaringan Listrik di Kota Ternate. Ternate: PLN Kota
Ternate.
[PU] Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate. 2008. Masterplan Drainase Kota
Ternate. Ternate : Dinas PU.
Sinulingga BD. 1999. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Soma S. 2011a. Pengantar ilmu Teknik Penyehatan dan Lingkungan Seri Air
Minum. Yogyakarta: Pintal.
Soma S. 2011b. Sarana dan Prasarana Wilayah dan Kota. Kumpulan Bahan
Kuliah Sarana Prasarana Wilayah. Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Tarigan R. 2006. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
Lampiran 1.
Hasil Pengecekan Lapang Beberapa Titik di Lokasi Kota Ternate
Elevasi Kelurahan/
No X (m) Y (m) Nama Keterangan
(mdpl) Desa
1 N0°46.941 E127°23.305 40 Garis Pantai Awal 1 Depan Pelabuhan Muhajirin
2 N0°47.034 E127°23.324 42 Garis Pantai Awal 2 Depan Mesjid Muhajirin Muhajirin
3 N0°47.149 E127°23.312 47 Garis Pantai Awal 3 Depan Ex. Kantor Gubernur Muhajirin
4 N0°47.268 E127° 23.338 48 Garis Pantai Awal 4 Hotel Neraca Gamalama
5 N0°47.362 E127°23.365 41 Garis Pantai Awal 5 Pasar Gamalama Gamalama
6 N0°47.412 E127°23.339 55 Garis Pantai Awal 6 Toko Duta Merlin Gamalama
7 N0°47.537 E127°23.345 58 Garis Pantai Awal 7 Ex. Pasar Tradisional Gamalama
8 N0°47.674 E127°23.332 48 Garis Pantai Awal 8 Toko Bangunan Gamalama
9 N0°47.993 E127°23.139 17 Garis Pantai Tapak 1+ Lapangan Salero Soasio
10 N0°47.727 E127°23.373 22 Garis Pantai Tapak 1 Jembatan dekat Pasar Tradisional Makassar Timur
(Waterfront)
11 N0°47.573 E127°23.388 24 Garis Pantai Tapak 2 Jalan Boulevar (Waterfront) Gamalama
12 N0°47.385 E127°23.420 30 Garis Pantai Tapak 3 Dekat Taman Kota (Waterfront) Gamalama
13 N0°47.139 E127°23.311 34 Garis Pantai Tapak 4 Gerbang Mesjid Raya (waterfront) Muhajirin
14 N0°48.916 E127°23.339 104 Pasar Pasar Dufa-Dufa Dufa-Dufa
15 N0°51.061 E127°19.600 360 TPA TPA Buku Deru-Deru Takome
16 N0°47.364 E127°23.414 35 Mesjid Mesjid Al-Munawwar Gamalama
17 N0°47.659 E127°23.351 49 Pasar Pasar Tradisional Gamalama
18 N0°47.664 E127°23.363 43 Terminal Terminal Angkutan Kota Gamalama
19 N0°47.150 E127°22.840 156 Kantor Kantor Walikota Kampung Pisang
20 N0°47.782 E127°23.375 162 Rumah Sakit Rumah Sakit Hasan Basoeri Tanah Tinggi Barat
21 N0°47.989 E127°23.105 90 Jalan Persimpangan Depan Kadaton Kesultanan Ternate Soasio
180
181
181
Lampiran 2.
Hasil Analisis Skalogram untuk Hierarki Wilayah
Tabel 1. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2011
Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Tengah Kota Baru Pesisir 34,92 18 Hierarki 1
Ternate Tengah Takoma Bukan Pesisir 45,15 22 Hierarki 1
Ternate Tengah Makassar Timur Pesisir 42,36 17 Hierarki 1
Ternate Tengah Muhajirin Pesisir 55,05 18 Hierarki 1
Ternate Tengah Gamalama Pesisir 60,17 25 Hierarki 1
Ternate Utara Dufa Dufa Pesisir 41,55 24 Hierarki 1
Ternate Utara Soa Sio Pesisir 43,08 16 Hierarki 1
Pulau Ternate Kastela Pesisir 26,48 15 Hierarki 2
Pulau Ternate Loto Pesisir 34,25 15 Hierarki 2
Pulau Ternate Sulamadaha Pesisir 27,20 15 Hierarki 2
Ternate Selatan Gambesi Pesisir 32,40 19 Hierarki 2
Ternate Selatan Kalumata Pesisir 25,04 20 Hierarki 2
Ternate Selatan Bastiong Pesisir 27,14 23 Hierarki 2
Ternate Selatan Toboko Pesisir 29,67 18 Hierarki 2
Ternate Tengah Tanah Raja Bukan Pesisir 27,17 14 Hierarki 2
Ternate Tengah Stadion Bukan Pesisir 27,25 15 Hierarki 2
Ternate Tengah Moya Bukan Pesisir 29,17 13 Hierarki 2
Ternate Tengah Santiong Bukan Pesisir 27,59 23 Hierarki 2
Ternate Tengah Kalumpang Bukan Pesisir 32,29 23 Hierarki 2
Ternate Tengah Makassar Barat Bukan Pesisir 25,36 18 Hierarki 2
Ternate Utara Toboleu Bukan Pesisir 25,90 19 Hierarki 2
Ternate Utara Sangaji Pesisir 27,34 25 Hierarki 2
Pulau Ternate Jambula Pesisir 24,37 18 Hierarki 3
Pulau Ternate Foramadiahi Bukan Pesisir 15,10 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Kulaba Pesisir 15,46 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Rua Pesisir 18,36 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Bula Pesisir 14,24 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Afe-Taduma Pesisir 17,52 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Tobololo Pesisir 21,94 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Togafo Pesisir 17,98 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Takome Pesisir 11,95 9 Hierarki 3
Ternate Selatan Sasa Pesisir 19,16 19 Hierarki 3
Ternate Selatan Fitu Pesisir 16,41 17 Hierarki 3
Ternate Selatan Kayu Merah Pesisir 18,35 16 Hierarki 3
Ternate Selatan Ubo-Ubo Bukan Pesisir 24,28 20 Hierarki 3
Ternate Selatan Mangga Dua Pesisir 15,46 21 Hierarki 3
Ternate Selatan Jati Bukan Pesisir 24,05 21 Hierarki 3
Ternate Selatan Tanah Tinggi Bukan Pesisir 23,30 20 Hierarki 3
182
LAMPIRAN
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Kolektor Primer Jalan Lingkar Pulau Ternate Baik 24,48162 3,5 - 6,0
Rusak 0,88807
Rusak Berat 0,12829
Jl. Slt. Khaerun Baik 2,89509 6,0
Jl. Bandara Babullah Baik 0,22608 5,0-8,0
Jl. Bandara Sultan Babullah Baik 0,45397 5,0
Jl. Hasan Esa Baik 0,78287 8,0-11,0
Jl. Jend. Ahmad Yani Baik 0,46473 7,0-9,0
Jl. Merdeka Baik 0,49453 7,0-10,0
Jl. Mononutu Baik 0,75811 7,0-9,0
Jl. Pahlawan Revolusi Baik 1,67644 8,5-16,5
Jl. Pelabuhan Feri Baik 0,06535 8,0
Jl. Pelabuhan Fery Baik 0,16781 4,5-7,0
Jl. Pemuda Baik 0,7510 4,0-9,0
Jl. Poros Danau Laguna Baik 0,31778 5,5
Jl. Poros Ngade Baik 1,97077 6,0
Jl. Raya Bastiong Baik 1,38139 7,0
Jl. Raya Fitu Baik 0,54041 6,0
Jl. Raya Gambesi Baik 0,99516 5,0-6,0
Jl. Raya Jambula Baik 1,82852 4,0-7,0
Jl. Raya Kalumata Baik 0,35202 7,0
Jl. Raya Kastela Baik 0,74186 4,5-6,0
Jl. Raya Mangga Dua Baik 0,71983 7,0-8,0
Jl. Raya Ngade Baik 0,16435 6,0
Jl. Raya Pertamina Baik 0,62404 4,5-10,0
Jl. Sultan Baabullah Baik 0,37329 8,0-9,0
Jumlah 44,24338
187
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Kolektor Sekunder Jl. Air Sentosa Baik 0,09003 4,0
Jl. Baru Soa Baik 0,33392 4,5-5,0
Jl. Baru Ubo-Ubo Baik 0,31642 7,0
Jl. Cakalang Baik 1,13193 4,5
Jl. Darul Khairat Baik 1,58119 3,5
Jl. Facei-Tarau Baik 0,14318 4,0-4,5
Rusak 3,96192
Jl. Gambesi-Sasa Baik 0,15695 3,5-4,0
Rusak 2,60561
Jl. Jati Besar Baik 0,59963 7,0-7,5
Jl. Kalumata Baik 1,07365 4,0-5,0
Jl. Kamboja Baik 0,39114 6,0
Jl. Kampus II Univ. Khairun Baik 3,3653 5,0
Jl. Kapitan Pattimura Baik 0,87297 6,5-9,0
Jl. Kayu Manis Baik 0,26644 6,5
Jl. Melati Baik 0,13953 4,5-7,0
Jl. Mesjid Agung Baik 1,06802 16,0-19,0
Rusak 0,79474
Jl. Ngidi Kasturian Baik 1,38242 4,0-4,5
Jl. Pasar Inpres Bastiong Baik 0,34104 3,0-6,0
Jl. Perumnas Baik 0,97308 6,0-7,0
Jl. Rambutan Baik 0,40292 4,0-5,5
Jl. Satelit Palapa Baik 0,20701 5,0
Jl. Teripang Baik 0,16204 4,0
Jl. Yos Sudarso Baik 0,74758 7,0-11,5
189
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Primer Jl. Kelapa Pendek Baik 0,11928
Jl. Kemuning Baik 0,16564
Jl. Kesatrian Baik 0,24828
Jl. Ki Hajar Dewantara Baik 0,63338
Jl. Kuburan Sltan Babullah Rusak 0,70956
Jl. Kutilang Baik 0,21368
Jl. Lumba-Lumba Baik 0,25612
Jl. Maliaro Baik 0,77908
Rusak 0,27988
Jl. Maliaro Puncak Baik 0,42443
Rusak 3,07601
Jl. Marikurubu Baik 1,57047
Jl. Moya Baik 0,2538
Jl. Nukila Baik 0,40407
Jl. Nuku Baik 0,4046
Jl. Nuri Baik 0,66547
Jl. Nusa Indah Baik 0,3291
Jl. Oscar Baik 0,28393
Rusak 0,43092
Jl. Pekuburan Islam Branjangan Baik 0,37234
Jl. Pelabuhan Dufa-Dufa Baik 0,56231
Jl. Pemuda Baik 0,62356
Jl. Pemuda Sangaji Baik 0,40137
Jl. Pipit Baik 0,13592
Jl. Rambutan Baik 1,69719
Jl. Salak Baik 0,17254
190
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Primer Jl. Salim Fabanyo Baik 0,50133
Jl. Semangka Baik 1,37305
Jl. Seruni Baik 0,36447
Jl. Soa Konora Baik 0,43321
Jl. Stadion Baik 2,85111
Jl. Stadion Kie Raha Baik 0,0731
Jl. Tabahawa Baik 0,60385
Jl. Tanah Tinggi Baik 0,21658
Jl. Terminal Pasar Sayur Baik 0,18652
Jl. Tobeleu Baik 0,68636
Jl. Tongole Rusak 0,2189
Jl. Ubo-ubo Baik 0,33544
Jl. Yasin Gamsungi Baik 0,0428
Jumlah 39,79559
Lokal Sekunder Jalan Lingkar Pulau Ternate Baik 0,39406
Jl. A. I. S. Nasution Baik 0,20364
Jl. Air Potong Baik 0,95488
Jl. Air Sentosa Baik 0,08388
Jl. Ake Malako Baik 0,15144
Jl. Ake Oti 1 Baik 0,18615
Jl. AM. Kamaruddin Baik 1,1671
Jl. Anggrek Baik 0,22193
Jl. Anggrek/Lr. Pura Bali Baik 0,10627
Jl. Baru Tabahawa Baik 0,15696
Jl. Batu Angus Belakang Rusak 0,38733
Jl. Batu Angus Tabam Baik 1,94402
191
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. BLK Baik 0,54219
Jl. Bonsai Baik 0,24359
Jl. Bougenville Baik 0,13359
Jl. Cakalang Baik 1,13193
Jl. Campedak 1 Baik 0,07207
Jl. Campedak 2 Baik 0,06602
Jl. Cempaka Baik 0,90624
Jl. Cengkeh Baik 0,21165
Jl. Dahlia Baik 0,31529
Jl. DPRD Kota Ternate Baik 0,16577
Jl. Durian 1 Baik 0,04642
Jl. Durian 2 Baik 0,05446
Jl. Durian 3 Baik 0,06102
Jl. Falajawa 1 Rusak Berat 0,29737
Jl. Gang Melati 1 Baik 0,14936
Jl. Gg. Adlun Baik 0,12122
Jl. Gg. Al-Amin Baik 0,11433
Jl. Gg. Al-Falak Baik 0,12263
Jl. Gg. Al-Ikhlas Baik 0,10495
Jl. Gg. Al-Kasas Rusak 0,04671
Jl. Gg. Al-Khaerat Baik 0,29407
Jl. Gg. Al-Qamar Baik 0,14886
Jl. Gg. Annahlu Baik 0,08274
Jl. Gg. An-Nuur Baik 0,13805
Jl. Gg. Ar-Rahman Baik 0,12089
Jl. Gg. At-tiin Rusak 0,0962
192
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Gg. Iqraa Rusak 0,10028
Jl. Gg. Jamil Rusak 0,1377
Jl. Gosale 2 Baik 0,11055
Jl. Gosale 3 Baik 0,05326
Jl. Gosale 4 Baik 0,05811
Jl. Gosale 5 Baik 0,06045
Jl. Gosali 1 Baik 0,1111
Jl. Gudang Pupuk Baik 0,12443
Jl. Gufasa 1 Baik 0,05761
Jl. Gufasa 2 Baik 0,05916
Jl. Gugasa 3 Baik 0,06575
Jl. Inpres Baik 0,45073
Jl. Jati Baik 0,5062
Jl. Jati 3 Baik 0,3978
Jl. Jati Baru Baik 0,40158
Rusak 0,36737
Jl. Jauku III Baik 1,22316
Jl. Jeruk Baik 0,4317
Rusak 0,20646
Jl. Jeruk 1 Baik 0,08578
Jl. Jeruk 2 Rusak 0,06606
Jl. Kaca Piring Baik 0,24649
Jl. Kaka ade Baik 0,35489
Jl. Kalumpang Baik 0,455
Jl. Kampung Kodok Baik 0,16233
Jl. Kecubung Baik 0,16533
193
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Kedondong 1 Rusak 0,05195
Jl. Kedondong 2 Baik 0,04827
Jl. Kedondong 3 Rusak 0,04122
Jl. Kelapa Pendek Baik 0,11372
Jl. Kenanga Baik 0,1442
Jl. Ketapang 2 Baik 0,03051
Jl. Ki Hajar Dewantara Baik 0,25786
Jl. Kompleks Pekuburan Islam Baik 0,12983
Jl. Kompleks RRI Ternate Baik 0,18829
Jl. Kuburan Sltan Babullah Rusak 0,43072
Jl. Lap. Gambesi Rusak 0,36671
Jl. Linggua 1 Baik 0,04876
Jl. Linggua 2 Baik 0,05182
Jl. Linggua 3 Baik 0,11389
Jl. M. S. Djahir Baik 0,23123
Jl. Maleo Baik 0,14001
Jl. Manggis Baik 0,06391
Jl. Manggis 1 Rusak Berat 0,05363
Jl. Manggis 2 Baik 0,05873
Jl. Manggis 3 Baik 0,05326
Jl. Matoa 1 Baik 0,06738
Jl. Matoa 2 Baik 0,07056
Jl. Matoa 3 Baik 0,08435
Jl. Mawar Baik 0,08516
Jl. Melati Baik 0,15138
194
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Merpati Baik 0,25137
Jl. Mess Polisi Baik 0,22844
Jl. Mutiara Baik 0,20991
Jl. Nenas Baik 0,58589
Jl. Obyek Wisata Pantai Laguna Baik 0,1235
Jl. Pala Baik 0,09279
Jl. Palajawa 1 Baik 0,15006
Jl. Palajawa 2 Baik 0,11687
Jl. Palajawa3 Baik 0,16265
Jl. Palapa Baik 0,06248
Jl. Pasar Inpres Bastiong Baik 0,16119
Jl. Pelabuhan Baik 0,12774
Rusak 0,1011
Jl. Pelabuhan Bastiong Baik 0,17415
Jl. Pelabuhan Fery Baik 0,03674
Jl. Pelabuhan Perikanan Baik 0,04097
Jl. Pemuda Gong 1 Baik 0,10603
Jl. Penyu Baik 0,06609
Jl. Pepaya 1 Baik 0,07306
Jl. Pepaya 2 Baik 0,07853
Jl. Perumnas Baik 0,76092
Jl. Perumnas Ngade Rusak 0,37702
Jl. PLN Baik 0,25865
Jl. Puskesmas Baik 0,19714
Jl. Raflesia Baik 0,39192
Jl. Rambutan Baik 0,07273
Jl. Rambutan 2 Baik 0,04823
195
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Rambutan 3 Baik 0,04974
Jl. Raya Jambula Baik 0,14349
Rusak 0,44092
Jl. Raya Pertamina Baik 0,09609
Jl. Salak 1 Rusak 0,07476
Jl. Salak 2 Rusak 0,06965
Jl. Salim Abidin Syah Baik 0,38889
Jl. Sedap Malam Baik 0,16559
Jl. Senang Baik 0,15916
Jl. Seroja Baik 0,13949
Jl. Seruni Baik 0,09176
Jl. Seruni 2 Baik 0,06375
Jl. SMKN Baik 0,19552
Jl. Stadion Baik 0,16493
Jl. Tahu Tempe Baik 0,30224
Jl. Takome Baik 0,57055
Jl. Taman Ria Rusak 0,07442
Jl. Tanah Tinggi Baik 0,81065
Jl. Teratai Baik 0,18907
Jl. Termimnal Pasar Sayur Baik 0,18142
Jl. Tugu Makugawene Baik 0,40698
Jl. Vanda Baik 0,13344
Jl. Wijaya Kusuma Baik 0,49233
Jl. Wisata Danau Tolire Baik 0,24993
Lr. Al Hikmah Baik 0,10375
Lr. Anggrek 2 Rusak 0,07626
Lr. Anggrek 3 Baik 0,08474
Lr. Baru Baik 0,2442
196
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Lr. Cempaka Baik 0,10129
Lr. Cendana Baik 0,22828
Lr. Dahlia Baik 0,18431
Lr. Dahlia 1 Baik 0,13121
Lr. Dahlia 2 Baik 0,22439
Lr. Dahlia 3 0,10972
Lr. Falajawa 2 Baik 0,29847
Rusak 0,90015
Rusak Berat 0,15591
Lr. Gamlamo Baik 0,2343
Lr. Inpres Baik 0,34373
Rusak Berat 0,07152
Lr. Jati Baik 0,28102
Lr. Jati 1 Baik 0,1282
Lr. Jati Baru Baik 0,04943
Lr. Jati Besar Rusak 0,08235
Lr. Jend. Ahmad Yani Baik 0,12399
Lr. Jerbus Baik 0,24744
Rusak Berat 0,07173
Lr. Jeruk Baik 0,64461
Rusak Berat 0,08235
Lr. Kecubung Baik 0,07288
Lr. Kecubung 2 Baik 0,11123
Lr. Kehakiman Baik 0,239
Lr. Ki Hajar Dewantara Baik 0,10956
Lr. Kuburan Rusak 0,11733
197
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Lr. Kutilang Baik 0,15404
Lr. Lapangan Bola Falajawa Baik 0,06734
Lr. Maliaro Baik 0,5445
Lr. Maliaro 4 Rusak 0,0761
Lr. Maliaro Jaya Baik 0,39101
Lr. Marimoi Rusak 0,2064
Lr. Melati 3 Baik 0,04202
Lr. Nukila Baik 0,061
Lr. Pala 1 Baik 0,07304
Lr. Panzer Maliaro Baik 0,05498
Lr. Pelelangan Ikan Rusak 0,30577
Lr. Penginapan Baik 0,03676
Lr. Puskesmas Baik 0,29314
Lr. Rambutan Baik 0,04733
Lr. Seruni Baik 0,03019
Lr. Seruni 1 Baik 0,0438
Lr. Seruni 2 Baik 0,32068
Lr. Seruni 3 Baik 0,1932
Lr. Setapak Rusak 0,07077
Lr. Stadion Baik 0,41989
Jumlah 41,27816
Sumber : PU Kota Ternate, 2010
198
Lampiran 4. Lembaran Kuesioner
KUISIONER PENELITIAN
ARAHAN PENATAAN DAN PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR
DI KAWASAN WATERFRONT KOTA TERNATE
Judul Penelitian:
ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT :
STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA
FIRDAWATY MARASABESSY
A156100141
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
200
IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ______________________________________________
Pekerjaa/Jabatan : ______________________________________________
Alamat : ______________________________________________
______________________________________________
PETUNJUK PENGISIAN
Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara membandingkan faktor satu dengan
faktor lain (komponen kiri dari baris yang sama pada kolom isian) dan dilihat mana
yang lebih berperan antara faktor-faktor tersebut untuk menentukan level diatasnya.
Skala yang digunakan dalam pengisian adalah skala banding berpasangan, dengan
ketentuan sebagai berikut:
Intensitas
Definisi Penjelasan
Kepantingan
1 Kedua elemen sama penting (equal) Keduanya mempunyai pengearuh yang
sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
penting dari elemen yang lainnya menyokong satu elemen dibandingkan
(moderat) elemen lainnya
5 Elemen satu lebih penting dari pada Pengalaman dan penilaian sangat kuat
elemen lainnya (strong) menyokong satu elemen dibandingkan
elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting dari Satu elemen yang kuat disokong dan
pada elemen lainnya (very strong) domain terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak/sangat penting Bukti yang mendukung elemen yang satu
dari pada elemen lainnya (extreme) terhadap elemen lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi
pertimbangan yang berdekatan diantara dua pilihan
Contoh : Jika Faktor A Penting dari pada Faktor B, maka diisi (beri tanda X) :
Elemen A Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan Elemen B
Sedikit Lebih Penting
Sangat Penting
Penting
Penting
Sama
1 Faktor A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Faktor B
201
Untuk mengetahui arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur menurut persepsi stakeholder, maka disusun pertanyaan
berhierarki dengan struktur hierarki sebagai berikut :
Tingkat 2 :
Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau
Aspek
Tingkat 3: Jaringan Pelayanan Jaringan Saluran Sampah Pasar Pertokoan/ Mesjid Terminal Taman Lapangan
Sub Aspek Jalan Air Bersih Listrik drainase Tradisional Mall Angkutan Kota Olahraga
Tingkat 4: Perbaikan Saluran Penataan Jalur Pengelolaan Penataan Revitalisasi kawasan Penataan Lansekap Penataan Lansekap
Alternatif Drainase Pedestrian Sampah Terpadu Kawasan PKL Pasar Tradisional Taman Kota Kawasan
“Dodoku-Ali” Gelanggang Remaja
201
202
DAFTAR PERTANYAAN
1. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 2, yang
dibandingkan pada baris yang sama
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 2 Tingkat 2
Penting
Penting
Sama
1 Infrastruktur Infrastruktur
Fisik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sosial &
Ekonomi
2 Infrastruktur Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fisik Hijau
3 Infrastruktur Infrastruktur
Sosial & 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Hijau
Ekonomi
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 3 Tingkat 3
Penting
Penting
Sama
1 Jaringan Jaringan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Listrik
2 Jaringan Pelayanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Air Bersih
3 Jaringan Saluran
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Drainase
4 Jaringan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Jalan
Jaringan Pelayanan
5 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Listrik Air Bersih
Jaringan Saluran
6 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Listrik Drainase
Jaringan
7 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Listrik
Pelayanan Saluran
8 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Air Bersih Drainase
Pelayanan
9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Air Bersih
Saluran
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Drainase
203
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 3 Tingkat 3
Penting
Penting
Sama
1 Pasar Pertokoan/
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tradisional Mall
2 Pasar
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mesjid
Tradisional
3 Pasar Terminal
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tradisional Angkutan
4 Pertokoan/
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mesjid
Mall
5 Pertokoan/ Terminal
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mall Angkutan
6 Terminal
Mesjid 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Angkutan
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 3 Tingkat 3
Penting
Penting
Sama
Lapangan
1 Taman Kota 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Olahraga
204
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 4 Tingkat 4
Penting
Penting
Sama
Perbaikan Penataan Jalur
1 Saluran 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pedestrian
Drainase
Perbaikan Pengelolaan
2 Saluran 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Drainase Terpadu
Penataan Pengelolaan
3 Jalur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Pedestrian Terpadu
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 4 Tingkat 4
Penting
Penting
Sama
Penataan Revitalisasi
Kawasan Kawasan
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PKL Pasar
Tradisional
Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 4 Tingkat 4
Penting
Penting
Sama
Penataan Penataan
Lansekap Lansekap
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Taman Kota Gelanggang
DodokuAli Remaja