Fungi Mikoriza Arbuskula

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 225

ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN

WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE,


PROVINSI MALUKU UTARA

FIRDAWATY MARASABESSY

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Infrastruktur Kota di


Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara” adalah
karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2013

Firdawaty Marasabessy
NRP : A156100142
ABSTRACT

FIRDAWATY MARASABESSY. The Analysis of Urban Infrastructure in


Waterfront Area : Case Study Ternate City, North Maluku Province. Supervised
by WIDIATMAKA and SOEKMANA SOMA.

The development of waterfront city of Ternate in 2006-2015 initially


began with the limitation of land due to the high amount of population,
geographical and topographical conditions of the region, the threat of catastrophic
volcanic eruptions as well as national and provincial development strategy. The
purpose of this study is focused on three points related to urban growth of Ternate
City. First, land use mapping of the urban growth of Ternate was done, divided
into two periods: before and after the development of the waterfront. Second, by
coverage of urban infrastructure to support socio-economic activities of the
community is analyzed. Third, by determining the strategy in the structuring and
management of sustainable infrastructure based on the interests of the
stakeholders for the improvement towards a better infrastructure. The
methodology used in this research were Geographical Information System (GIS),
descriptive analysis, scalogram analysis, linear regression and Analytical
Hierarchy Process (AHP). The result of the analysis showed that the spatial
changes of Ternate City were characterized by changes in the shoreline and land
use due to the development of waterfront areas done by reclamation. The regional
hierarchy analysis (2005-2011) showed that there were aspects of the
development of infrastructure and accessibility, where coastal villages was more
developed than non coastal village. Spreading of infrastructure in Ternate City
was mainly concentrated in the downtown area, so the access is relatively easy
linked to the road, but the travel time in each district is different. The evaluation
shows that the availability of infrastructure don’t meet the service standard, they
are water supply from PDAM, electricity, the disposal garbage transported to
sanitary landfill (TPA), the capacity of educational facilities, and market facilities.
The infrastructures which were inadequate the service standards were roads,
health facilities, commerce facilities, and green open space. The prediction of
infrastructure needs in 2013-2032 were analyzed based on the projected
population. The infrastructure needs until 2032 were water supply from PDAM
28.002.700 liters/day, the need for electricity 114.557 KVA, the production of
garbage 636.425 liters/day, health facilities 129 units, and commerce facilities
1.037 units. The structuring and managing infrastructure in waterfront areas that
need to be prioritized based on the perceptions of stakeholders are the integrated
garbage management, the structuring area of street vendor (PKL) and the
arrangement of city park landscape.

Keywords : waterfront city, shoreline change, land use change, urban


infrastructure.
RINGKASAN

FIRDAWATY MARASABESSY. Analisis Infrastruktur Kota di Kawasan


Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh
WIDIATMAKA dan SOEKMANA SOMA.

Pengembangan wilayah pesisir saat ini menjadi prioritas pembangunan


terutama pada kota-kota pesisir. Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas
dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota.
Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan
perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya masyarakat serta dapat
mempertahankan daya dukung lingkungan.
Dalam konteks penataan ruang, pembangunan infrastruktur merupakan
kebutuhan turunan sebagai konsekuensi logis dari perencanaan tata ruang yang
dapat membentuk struktur ruang wilayah. Salah satu kota tepian air (waterfront
city) di Indonesia yang tengah mengalami perkembangan adalah Kota Ternate.
Pengembangan waterfront city yang termuat dalam rencana tata ruang kota
Ternate tahun 2006-2015 diantaranya bermuara dari keterbatasan lahan kota
dalam menyediakan infrastruktur perkotaan akibat tekanan populasi yang semakin
meningkat, kondisi geografis dan topografis wilayah, ancaman bencana dari
letusan gunung api serta strategi pengembangan Nasional dan Provinsi.
Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi ketersediaan
infrastruktur di kota Ternate belum mencapai standar kebutuhan, khususnya untuk
infrastruktur dasar cakupan pelayanannya terkonsentrasi di kawasan pesisir.
Perubahan status dari Keresidenan hingga menjadi Kota, menuntut adanya
pembangunan infrastruktur kota yang layak dan mudah dijangkau seluruh lapisan
masyarakat. Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate diharapkan dapat
meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Tujuan penelitian ini adalah
untuk melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan
lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront, menganalisis perubahan
hierarki wilayah setelah pengembangan waterfront, melakukan pemetaan sebaran
dan ketersediaan infrastruktur, memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20
tahun mendatang (2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan, dan
menentukan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan
waterfront.
Data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder, diantaranya
masterplan kawasan waterfront, RDTR Kota Ternate, RTRW Kota Ternate, Peta
RBI, citra satelit, data tabular infrastruktur, SNI infrastruktur dan Kota Ternate
Dalam Angka. Metodologi dalam peneltian ini menggunakan analisis spasial
Sistem Informasi Geografis (SIG), analisis skalogram, analisis deskriptif, analisis
regresi linear serta Analitycal Hierarchy Process (AHP).
Hasil analisis menunjukkan bahwa garis pantai Kota Ternate mengalami
perubahan karena adanya pengembangan kawasan waterfront yang dilakukan
dengan cara reklamasi pantai. Perubahan garis pantai ditandai dengan majunya
garis pantai berkisar 30-250 m dan luas kawasan waterfront yang direklamasi
adalah 23,26 ha (0,23 km2). Perubahan penggunaan lahan yang terjadi setelah
pengembangan kawasan waterfront adalah berkurangnya luas penggunaan lahan
tidak terbangun sebesar 411 ha, sedangkan lahan terbangun meningkat seluas 521
ha.
Hierarki wilayah Kota Ternate (tahun 2005-2011) menunjukkan bahwa
telah terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas.
Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan)
meningkat dari 3 kelurahan menjadi 6 kelurahan, sedangkan kategori kelurahan
bukan pesisir yang semula 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan
pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8
kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga meningkat dari 8 kelurahan menjadi
10 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun
dari 23 kelurahan menjadi 20 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir
meningkat dari 13 kelurahan menjadi 12 kelurahan. Kelurahan/desa pesisir
cenderung lebih berkembang dibandingkan dengan kelurahan/desa bukan pesisir
yang terlihat dari perubahan tingkatan hierarki wilayah.
Sebaran infrastruktur di kota Ternate terkonsentrasi di pusat kota. Akses
pencapaian ke infrastruktur perkotaan relatif mudah karena dihubungkan dengan
jalan, namun waktu tempuh pencapaian setiap kecamatan berbeda. Hasil evaluasi
menunjukkan bahwa ketersediaan infrastruktur yang belum memenuhi standar
pelayanan diantaranya adalah kekurangan kapasitas produksi air bersih PDAM,
daya listrik, pengangkutan sampah ke TPA, daya tampung fasilitas pendidikan,
prasarana pasar. Infrastruktur yang telah mencukupi standar pelayanaan
diantaranya adalah jaringan jalan, prasarana kesehatan, prasarana niaga dan
perdagangan dan ruang terbuka hijau (RTH).
Prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2013-2032 dianalisis berdasarkan
proyeksi jumlah penduduk di tahun tersebut. Proyeksi penduduk di tahun 2013
diprediksikan mencapai 188.795 jiwa dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa
dengan rata-rata pertumbuhan penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar
1,68%. Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate diatas, maka kebutuhan
infrastruktur hingga tahun 2032 diantaranya adalah air bersih PDAM 28.002.700
lt/hari, kebutuhan daya listrik sebesar 114.557 KVA, produksi sampah 636.425
lt/hari, prasarana kesehatan 129 unit dan prasarana niaga dan perdagangan 1.037
unit.
Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront
yang perlu diprioritaskan pada tiap kategori infrastruktur berdasarkan persepsi
stakeholder adalah pengelolaan sampah terpadu untuk infrastruktur fisik, penataan
kawasan PKL untuk infrastruktur sosial ekonomi dan penataan lansekap taman
kota untuk infrastruktur hijau.

Kata kunci : Kota tepian air, perubahan garis pantai, perubahan penggunaan
lahan, infrastruktur perkotaan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN
WATERFRONT : STUDI KASUS KOTA TERNATE,
PROVINSI MALUKU UTARA

FIRDAWATY MARASABESSY

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc
Karya ini ku persembahkan untuk :
Ayahanda Tercinta Hi. Bunyamin Marasabessy
dan
Ibunda Tercinta Hj. Satiah Mahmud (Alm.)
“terima kasih atas segala kasih sayang, doa dan pengorbanan
yang tiada henti”
PRAKATA
Alhamdulillahirabbila’lamin, atas limpahan rahmat dan karunia Allah
SWT, penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul ”Analisis Infrastruktur
Kota di Kawasan Waterfront : Studi Kasus Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara”.
Tesis ini merupakan hasil penelitian penulis yang dapat terwujud berkat bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr. Ir. Widiatmaka, DAA., Dr. Ir. Soekmana Soma M.SP., M.Eng sebagai
Komisi Pembimbing atas segenap waktu, pemikiran dan arahanya semenjak
awal penelitian hingga selesainya penulisan tesis.
2. Dr. Ir. Manuwoto, M.Sc., sebagai Penguji Luar Komisi atas waktu, kritik dan
sarannya.
3. Ketua, Sekretaris dan Manajemen Program Pascasarjana Ilmu Perencanaan
Wilayah Institut Pertanian Bogor atas bantuan dan kerjasamanya.
4. Seluruh Dosen Pengajar dan Asisten atas didikan dan bimbingannya selama
belajar di PWL.
5. Pemerintah Daerah Kota Ternate atas izin untuk melakukan penelitian di
Kota Ternate.
6. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Ternate atas kesediaan
memberikan data dan kerjasamanya.
7. Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate atas kesediaan memberikan data dan
kerjasamanya.
8. Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Ternate atas kesediaan memberikan
data dan kerjasamanya.
9. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara atas kesediaan memberikan
data.
10. BUMN Kota Ternate (PDAM dan PLN) atas kesediaan memberikan data.
11. Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur atas bantuan dan
kerjasamanya.
12. Ayahanda Prof. Drs. Hi. B. Marasabessy M.Pd., Ibunda Hj. Satiah Mahmud
(Alm.) dan Kakak-kakak tercinta Rauf CH, Dra. Fachria M.Pd., M.Si.,
Helmy, Fitri, Nurainy, ST., dan Chairil ST., serta keponakan tecinta Aldy,
Caca dan Ehsan atas segala limpahan kasih sayang, didikan serta doanya yang
tiada henti.
13. Teman-teman seperjuangan (Desyan Rya, SP., M.Si., Rahmi Fajarini, SP.,
Djoko Purnomo, S.Si., Manijo, SP) dan teman PS PWL Reguler lainnya atas
segala bantuan dan dukungannya selama belajar di PWL.
14. Teman-teman Arsitektur angk. 2003 Universitas Khairun (Asmiyani, ST.,
Nurzakiah, ST., Wahyudi Djamaa, ST., Iswanto, ST.) atas bantuan dan
kerjasamanya.
15. Semua pihak yang yang tidak sempat disebutkan dan memiliki andil dalam
penyelesaian masa studi.

Akhir kata, mudah-mudahan apa yang disajikan pada penulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Februari 2013


Firdawaty Marasabessy
RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Ternate, tanggal 16 Mei 1986, putri kelima dari lima
bersaudara dari Ayahanda Hi. Bunyamin Marasabessy dan Ibunda Hj. Satiah
Mahmud (Alm.). Tahun 2003, penulis menyelesaikan sekolah di SMA Negeri 1
Ternate dan melanjutkan studi ke Universitas Khairun Ternate, Fakultas Teknik,
Jurusan Arsitektur. Setelah menyelesaikan pendidikan S1 tahun 2009, penulis
berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah pada tahun 2010 dengan biaya sendiri.
Tahun 2009, penulis pernah bekerja sebagai Asisten Dosen pada
Universitas Khairun Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur. Pada tahun yang sama
pula penulis bekerja di lembaga Profesi Arsitek sebagai staf pada Ikatan Arsitek
Indonesia Cabang Maluku Utara.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL .............................................................................................. ii


DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... iv

PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
Latar Belakang............................................................................................ 1
Perumusan Masalah .................................................................................... 4
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 7
Kerangka Pemikiran ................................................................................... 7

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 10


Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota ........................................................... 10
Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City) .................................... 13
Pertumbuhan Kota Dalam Konsep Pengembangan Wilayah ...................... 17
Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan ........................................... 19
Infrastruktur Fisik ..................................................................................... 22
Infrastruktur Sosial Ekonomi .................................................................... 38
Infrastruktur Hijau .................................................................................... 41

METODOLOGI PENELITIAN ...................................................................... 46


Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 46
Bahan dan Alat ......................................................................................... 46
Jenis dan Sumber Data .............................................................................. 47
Metode Analisis Data................................................................................ 48
Analisis Sistem Informasi Geografis .................................................. 48
Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram ................................... 50
Analisis Ketersediaan Infrastruktur .................................................... 52
Infrastruktur Fisik ....................................................................... 52
Infrastruktur Sosial dan Ekonomi ................................................ 57
Infrastruktur Hijau ...................................................................... 58
Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032 ...................... 59
Analisis Persepsi Stakeholder dengan AHP ........................................ 59

GAMBARAN UMUM KOTA TERNATE...................................................... 65


Letak Geografis dan Batas Administratif................................................... 65
Topografi dan Kondisi Iklim .................................................................... 66
Kependudukan ......................................................................................... 69
Penggunaan Lahan Perkotaan .................................................................. 71
Gambaran Struktur Ruang Kota ................................................................ 74
Kawasan Kota Tepian Air (Waterfront City) ............................................. 79
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ............................................... 82

HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... 85


Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate .................................... 85
Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront ................... 85
Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront ........................................ 88
Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 ..................................... 91
Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate ................................................... 93
Cakupan Pelayanan Infrastruktur .............................................................. 98
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik ...................................................... 98
Infrastruktur Jaringan Jalan ............................................................... 98
Infrastruktur Air Bersih .................................................................... 107
Infrastruktur Listrik .......................................................................... 113
Infrastruktur Sistem Drainase .......................................................... 118
Infrastruktur Persampahan .............................................................. 129
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi ............................ 135
Prasarana Pendidikan ...................................................................... 135
Prasarana Kesehatan ....................................................................... 145
Prasarana Niaga dan Perdagangan .................................................... 149
Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau ................................................... 154
Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032 ................................ 162
Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur
Kawasan Waterfront .............................................................................. 167

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 173


Simpulan ................................................................................................ 173
Saran ..................................................................................................... 174

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 175

LAMPIRAN .................................................................................................. 180


DAFTAR TABEL
Halaman

1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota .......................................................... 27


2. Klasifikasi Sampah Menurut Ditjen Cipta Karya ........................................ 35
3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil ................................. 47
4. Variabel Untuk Analisis Hierarki WIlayah ................................................. 50
5. Klasifikasi Jalan Perkotaan......................................................................... 52
6. Kebutuhan Air Non Domestik Perkotaan ................................................... 55
7. Bagian Jaringan Drainase .......................................................................... 55
8. Besaran Timubulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber
Sampah ..................................................................................................... 56
9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi ................................ 57
10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan ...... 58
11. Wilayah Administrasi Kota Ternate ........................................................... 65
12. Temperatur Rata-rata di Kota Ternate Tahun 2010 ...................................... 67
13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate
Tahun 2010 ............................................................................................... 67
14. Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan
Arah Angin di Kota Ternate ....................................................................... 68
15. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kota Ternate Menurut Bulan,
Tahun 2010 ................................................................................................ 68
16. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2010 ..... 69
17. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rasio Jenis Kelamin ...................... 70
18. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur ........................................ 71
19. Penggunaan Lahan di Kota Ternate, 2010 ................................................... 72
20. Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan ............................................................ 73
21. Fungsi Strategis BWK I dan BWK II dalam mendukung Waterfront City
Kota Ternate .............................................................................................. 80
22. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku ........................................... 84
23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront ................................................ 90
24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010 ......................................... 92
25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010 .............. 92
26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 ....................................................................... 95
27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 ....................................................................... 96
28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 ....................................................... 97
29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate .................................................... 101
30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010 ........................................... 102
31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi ................................................... 108
32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011.................................................. 112
33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang .................................................... 114
34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate ............. 115
35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011 .................. 117
36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah ......................... 120
37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan .......................... 122
38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara ............................. 124
39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate ............................ 125
40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate ............................................ 127
41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru .................................................. 129
42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate ....................................... 132
43. Komposisi Sampah Kota Ternate ............................................................. 133
44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008 ........ 133
45. Jumlah Prasarana Pendidikan ................................................................... 135
46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik ........................................................ 136
47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar ............... 137
48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate .................................... 137
49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate .................................... 139
50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate ................................ 141
51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate ....................... 142
52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate ....................................................... 145
53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate ..................................... 147
54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan .................................................. 148
55. Prasarana Niaga dan Perdagangan ............................................................ 150
56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan .......................................... 152
57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan ................................ 153
58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate ................................. 156
59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan ........................................... 157
60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan ........................................ 157
61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan ................. 158
62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah .................................... 159
63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah ................ 159
64. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara ....................................... 161
65. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara ................... 159
66. Proyeksi Jumlah Penduduk Tahun 2013-2032............................................... 162
67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032 ........................ 164
68. Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032 .................................. 165
69. Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032 ............................................ 165
70. Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Tahun 2013-2032...................... 166
71. Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan Tahun 2013-2032 . 166
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1. Kerangka Pemikiran .................................................................................... 9


2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat ................................................ 24
3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman .................................... 25
4. Bagan Aliran Proses Pengolahan Air ......................................................... 26
5. Komponen Utama dalam Penyaluran Listrik ............................................. 29
6. Sistem Drainase Perkotaan ........................................................................ 33
7. Teknik Operasional Sampah Perkotaan ..................................................... 38
8. Jaringan Infrastruktur Hijau ....................................................................... 44
9. Lokasi Penelitian ....................................................................................... 46
10. Bagan Alir Penelitian ................................................................................ 49
11. Struktur Hierarki AHP .............................................................................. 62
12. Peta Kemiringan Lereng Kota Ternate ...................................................... 66
13. Persentase Jumlah Penduduk di Kota Ternate ............................................. 69
14. Penggunaan Lahan di Kota Ternate Tahun 2010 ........................................ 73
15. Peta Rencana Struktur Ruang Kota ............................................................ 78
16. Kawasan Prioritas Action Plan Waterfront City Kota Ternate .................... 81
17. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011 ............. 83
18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010 ................. 86
19. Perubahan Spasial Kota Ternate ................................................................ 87
20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront ............................................... 89
21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010 .................. 91
22. Nilai Standar Deviasi dan Nilai Rataan Indeks Perkembangan .................. 94
23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011 ..................................... 97
24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010 ............................................ 99
25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan ............... 100
26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah .......................... 103
27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan ........................ 104
28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara ............................. 105
29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate ............................... 106
30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate ................. 109
31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM ....... 110
32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010 ............................ 110
33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN ..................................................................... 115
34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN, 2011 ............................................. 116
35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah .................................... 121
36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan ..................................... 123
37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara ....................................... 124
38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate ........................................ 126
39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate ........................ 128
40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate ...................... 131
41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK .............................................................. 138
42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD .............................................................. 140
43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP ........................................................... 141
44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK ................................................. 143
45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate ............................................ 146
46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate ........................ 151
47. RTH Kecamatan Ternate Selatan .............................................................. 157
48. RTH Kecamatan Ternate Tengah ............................................................. 159
49. RTH Kecamatan Ternate Utara ................................................................. 160
50. Hasil AHP Aspek Infrastruktur ................................................................. 168
51. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik ................................................. 168
52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi .......................... 169
53. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Hijau ..................................................... 170
54. Hasil AHP Alternatif Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur Kawasan
Waterfront Kota Ternate .................................................................................. 171
55. Struktur Hierarki AHP ..................................................................................... 172
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

1. Hasil Pengecekan Lapang Beberapa Titik di Lokasi Kota Ternate ............. 180
2. Hasil Analisis Skalogram untuk Hierarki Wilayah ..................................... 181
3. Hierarki Jalan di Kota Ternate ................................................................... 187
4. Lembaran Kuesioner ................................................................................. 199
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi
dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam
rangka memberikan kontribusi untuk pembangunan (Anwar, 1999). Upaya
pembangunan pada suatu wilayah bertujuan agar kesejahteraan masyarakat
tercapai. Pengembangan wilayah memanfaatkan sumberdaya alam, sumberdaya
manusia, kelembagaan, teknologi dan prasarana secara optimal dan berkelanjutan.
Kegiatan-kegiatan ekonomi (perdagangan, industri dan pertanian), perlindungan
lingkungan, penyediaan fasilitas pelayanan dan penyediaan prasarana
(transportasi, komunikasi dan lain-lain) adalah bentuk kegiatan yang mampu
menggerakkan perkembangan wilayah (Witoelar, 2002 diacu dalam Gustiani,
2005).
Populasi digunakan sebagai indikator pertumbuhan kota (Hsu, 1996 diacu
dalam Cheng dan Masser, 2003). Pertumbuhan wilayah perkotaan yang kian pesat
ditandai dengan meningkatnya populasi. Konsentrasi populasi kota-kota di dunia
diprediksikan pada tahun 2020 mencapai 2,5 juta jiwa, hampir 65 persen berada di
sepanjang pantai (Agenda 21, 1992 diacu dalam Vallega, 2001). Sebagai contoh
kasus, Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi secara signifikan,
dimana lebih dari 86 persen penduduknya tinggal di wilayah pesisir timur hingga
ke wilayah pesisir selatan, diantaranya kota Sydney, Brisbane, Melbourne dan
Perth (Norman, 2011). Kota-kota tersebut kemudian berkembang pesat menjadi
kota-kota pantai (waterfront city) yang terkenal dan menjadi daya tarik utama
sebagai kawasan wisata.
Di Indonesia terdapat 516 kota andalan dengan 216 kota diantaranya
merupakan kota tepian air (waterfront city) yang berada di tepi pantai, sungai atau
danau (Suprijanto, 2007). Perkembangan kota pantai (waterfront city) di
Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dengan kegiatan utamanya perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan
(Mulyandari, 2010). Kota pantai di Indonesia secara historis merupakan titik awal
pertumbuhan suatu kota, dan juga berfungsi sebagai pintu gerbang aktivitas
kawasan perkotaan baik aktivitas ekonomi, sosial maupun budaya yang
2

berorientasi ke laut (Laras, 2011). Wilayah pesisir dewasa ini memegang peran
penting dalam perkembangan kota.
Kota Ternate merupakan salah satu waterfront city di Indonesia, yang pada
awalnya dikenal dalam sejarah dunia sebagai pusat perdagangan rempah-rempah
skala internasional di abad ke-15. Jumlah penduduk pada tahun 2010 adalah
185.705 jiwa dengan laju pertumbuhan selama periode 10 tahun terakhir (2000-
2010) sebesar 1,79% dan memiliki penduduk terpadat di Maluku Utara dengan
kepadatan penduduk 740 jiwa/km2 (BPS Kota Ternate, 2011) yang sebagian besar
bermukim di wilayah pesisir.
Pertambahan jumlah penduduk berkorelasi positif terhadap kebutuhan
lahan sebagai tempat bermukim maupun penyediaan sarana dan prasarana
perkotaan. Lahan merupakan sumberdaya alam yang hampir tidak dapat
diperbaharui (non renewable), sedangkan kebutuhan lahan semakin meningkat
seiring dengan pertambahan jumlah penduduk (Hardjowigeno dan Widiatmaka,
2007). Kondisi yang demikian terjadi di Kota Ternate, dimana jumlah penduduk
semakin bertambah, namun ketersediaan lahan terbatas karena kondisi topografis
yang kurang menunjang. Untuk itu kebijakan pengembangan wilayah pesisir
diarahkan untuk penyediaan infrastruktur sehingga dapat melayani kebutuhan
masyarakat kota yang semakin heterogen. Kebijakan tersebut termuat dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2006-2015 yang
mengalokasikan wilayah pesisir yang berada di pusat kota (CBD) untuk
dikembangkan sebagai kawasan waterfront (BAPPEDA Kota Ternate, 2006).
Kawasan waterfront Kota Ternate tumbuh sebagai pusat pelayanan jasa,
perdagangan, sarana ibadah, transportasi dan ruang terbuka hijau (taman kota
berbasis budaya).
Isu kawasan waterfront di Kota Ternate berkaitan dengan perkembangan
spasial kota. Pengembangan kawasan dengan cara reklamasi pantai berarti
menambah luas wilayah pesisir Kota Ternate. Penambahan daratan di wilayah
pesisir tentunya berdampak pada perubahan garis pantai. Dengan bertambahnya
luas daratan, maka penggunaan lahan di Kota Ternate ikut meningkat. Sistem
penggunaan lahan perkotaan yang didominasi oleh aktivitas manusia yang
3

kompleks berpengaruh terhadap dinamika spasial-temporal perkembangan


wilayah (Hu dan Lo, 2007).
Indikator ketersediaan infrastruktur menjadi tolak ukur perkembangan
kota. Peningkatan pelayanan infrastruktur ikut mempengaruhi pola permukiman
di perkotaan. Umumnya masyarakat cenderung memilih tempat bermukim yang
dekat atau mudah diakses dalam hal sarana dan prasarana wilayah. Preferensi
bermukim dipengaruhi oleh faktor kondisi lingkungan permukiman yang baik,
fasilitas transportasi dan penyediaan barang dan jasa, serta pusat lapangan kerja
(Sinulingga, 1999). Ketersediaan infrastruktur yang memadai akan mendorong
pertumbuhan kota yang berkelanjutan.
Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan pesisir harus
didasari konsep penataan ruang wilayah pesisir yang berkelanjutan.
Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan
keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi
(Madiasworo, 2011 diacu dalam Lubis, 2011). Pemenuhan ketiga aspek tersebut
dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan yang kembali menjadikan
pesisir sebagai beranda, agar memiliki nilai estetika sehingga mampu memberikan
kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota (Bischof, 2007 diacu dalam
Lubis, 2011). Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keterpaduan antara konsep
infrastruktur fisik (grey infrastructure), infrastruktur hijau/ramah lingkungan
(green infrastructure), dan infrastruktur sosial (social infrastructure) dapat
diterapkan guna membangun infrastruktur yang berkelanjutan.
Pengembangan kawasan waterfront di Kota Ternate, diharapkan dapat
meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan. Studi ini difokuskan pada tiga
poin berikut yang berkaitan dengan pertumbuhan Kota Ternate. Pertama,
memodelkan perkembangan Kota Ternate setelah pengembangan kawasan
waterfront. Ini berarti bahwa pengembangan kawasan waterfront merupakan
faktor kunci yang mempengaruhi proses pembangunan perkotaan. Kedua,
mengkaji cakupan pelayanan infrastruktur kota sebagai penunjang kegiatan sosial
ekonomi masyarakat. Ketiga, menentukan arahan dalam penataan dan pengelolaan
infrastruktur secara berkelanjutan di kawasan waterfront berdasarkan persepsi
stakeholders guna perbaikan infrastruktur kearah yang lebih baik.
4

Perumusan Masalah

Pengembangan wilayah Kota Ternate secara eksternal tidak dapat


dilepaskan dari kedudukan, peran dan fungsinya dalam lingkup antar wilayah,
baik dalam wilayah Propinsi Maluku Utara, Kawasan Timur Indonesia, Nasional
serta kemungkinan keterkaitannya dengan negara lain di Kawasan Asia‐Pasifik.
Berdasarkan strukturnya, wilayah Kota Ternate terletak pada jalur pelayaran
internasional serta berada di titik singgung lingkaran pasifik yang secara langsung
akan dipengaruhi oleh perubahan global. Pengaruh ini akan memungkinkan Kota
Ternate berkembang sebagai salah satu pintu masuk dan keluar diantara sistem
banyak pintu (multygate system) ke arah lingkaran Pasifik tersebut. Kondisi
semacam ini membentuk suatu sistem keterkaitan wilayah antar kota‐kota (pulau‐
pulau) yang berada di dalam satu Kawasan Laut‐Pulau (KLP), yang secara
fungsional dapat menghilangkan atau mengabaikan batas‐batas administratif
dalam upaya pemberdayaan wilayahnya.
Sementara dari tinjauan nasional, Kota Ternate berada dalam konstelasi
wilayah yang dilewati jalur Alur Laut Kepulauan Indonesia 3 (ALKI 3) dan jalur
poros pengembangan strategis Nasional (Manado-Ternate-Sorong-Biak-
Jayapura). Selain itu Kota Ternate juga berperan sebagai jalur transit ke
kabupaten/kota dalam lingkup provinsi Maluku Utara. Secara regional Kota
Ternate masuk dalam pengelompokan Kawasan Timur Indonesia, yang saat ini
menjadi fokus untuk pengembangan dan pembangunan nasional.
Dipihak lain, Kota Ternate diperhadapkan pada kondisi geografis
wilayahnya yang berupa daerah perbukitan dengan sebuah gunung api aktif dan
memiliki kemiringan lereng terbesar diatas 40% yang mengerucut kearah puncak
gunung dan dikelilingi laut. Hal ini tentunya berdampak pada ketersediaan lahan
untuk pengembangan ruang publik kota. Wilayah pesisir menjadi salah satu
alternatif strategis dalam pengembangan kawasan, khususnya dalam pemenuhan
infrastruktur perkotaan dengan metode reklamasi pantai yang saat ini tengah
menjadi tren pengembangan kawasan kota pantai (waterfront city) di Indonesia.
Secara spasial, luas kawasan pesisir Kota Ternate saat ini semakin
bertambah. Kawasan tersebut meliputi pesisir timur dan pesisir selatan kota yang
dijadikan kawasan pengembangan waterfront. Teknik reklamasi pantai bertujuan
5

untuk mendapatkan lahan/daratan baru melalui pengurugan atau pengeringan.


Strategi ini dipilih antara lain karena semakin langkanya ketersediaan lahan
perkotaan untuk mengakomodir pemenuhan kebutuhan fungsi perkotaan. Hal
yang demikian akan berpengaruh terhadap spasial kota dan perubahan garis pantai
karena kawasan waterfront bersinggungan langsung dengan wilayah pesisir.
Sebelum pengembangan kawasan waterfront, kondisi eksisiting
infrastruktur masih terbatas cakupan pelayanannya terutama di wilayah belakang
(hinterland) yaitu di kecamatan Pulau Ternate, sebagian kecamatan Ternate Utara
dan sebagian kecamatan Ternate Selatan yang cenderung berada pada kondisi
topografis perbukitan (upland) dan jauh dari pusat kota. Ketimpangan sebaran
infrastruktur menyebabkan perbedaan yang cukup signifikan antara wilayah
bagian barat dan wilayah bagian timur Pulau Ternate, dari segi cakupan pelayanan
terhadap penduduk. Kondisi ini menunjukkan adanya prioritas pembangunan
wilayah yang berorientasi di wilayah bagian timur Pulau Ternate sebagai kawasan
cepat tumbuh dalam menghubungkan dengan pulau-pulau sekitarnya dalam
lingkup lokal maupun regional.
Perkembangan kawasan kota pantai (waterfront city) khususnya di
kawasan pesisir timur dan sebagian pesisir selatan Kota Ternate menyebabkan
berkembangnya hierarki wilayah di kawasan tersebut serta kawasan sekitarnya.
Hal ini dapat dilihat dari indikator sebaran dan ketersediaan infrastruktur. Secara
teoritik, hierarki wilayah sebenarnya ditentukan oleh tingkat kapasitas pelayanan
wilayah secara totalitas yang tidak terbatas, yang ditunjukkan oleh kapasitas
infrastruktur, kapasitas kelembagaan, sumberdaya manusia serta kapasitas
perekonomiannya. Pengembangan wilayah harus memperhatikan karakteristik
potensial yang dimiliki wilayah.
Permasalahan muncul setelah pengembangan waterfront, baik dari segi
ekosistem dan fisik lingkungan pesisir, sosial ekonomi, serta persoalan sarana dan
prasarana lingkungan. Sistem drainase buruk dan pembuangan air limbah kawasan
waterfront yang bermuara ke laut mengakibatkan badan air terkontaminasi. Status
perairan dalam kondisi buruk di kawasan waterfront Kota Ternate untuk
pemanfaatan budidaya perikanan akibat beban pencemaran dari limbah
permukiman, pasar, restoran, pertokoan, industri kecil, dan aktivitas pelabuhan
6

laut (Drakel, 2004). Hal ini terkait pula dengan pengelolaan sampah, dimana
sistem persampahan di kawasan ini masih minim pengelolaan dan masih terjadi
tumpukan sampah di pesisir pantai.
Kapasitas pemenuhan infrastruktur sosial dan ekonomi, misalnya pasar
tradisional masih belum memenuhi daya tampung untuk para pedagang.
Akibatnya lahan di kawasan terminal angkutan kota dimanfaatkan sebagai lokasi
untuk berjualan. Kondisi ini tentunya menimbulkan kesemrawutan di sekitar
kawasan terminal. Dampak yang terjadi ialah konflik dalam pemanfaatan kawasan
tersebut, areal untuk parkir kendaraan menjadi berkurang dan sering kali terjadi
kemacetan lalu lintas. Aspek sosial ekonomi yang timbul ialah munculnya sektor
informal (kawasan PKL) yang tidak terencana di kawasan. Keadaan tersebut
membutuhkan arahan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan
waterfront yang terintegrasi.
Berdasarkan berbagai permasalahan diatas, maka dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:
1. Bagaimana perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan lahan di Kota
Ternate sebelum (2001) dan sesudah (2010) pengembangan waterfront?
2. Bagaimana perubahan hierarki wilayah Kota Ternate setelah pengembangan
waterfront?
3. Bagaimana perkembangan eksisting sebaran dan ketersediaan infrastruktur
perkotaan dapat melayani standar kebutuhan masyarakat?
4. Bagaimana prediksi kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang
(2032) untuk perencanaan infrastruktur perkotaan?
5. Bagaimana arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan
waterfront?

Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah menilai perkembangan Kota
Ternate dalam kurun waktu sebelum dan sesudah pengembangan kawasan
waterfront ditinjau dari aspek infrastruktur untuk perencanaan wilayah. Secara
lebih detil dapat dijabarkan dalam sub tujuan sebagai berikut :
1. Melakukan pemetaan perubahan garis pantai dan perubahan penggunaan
lahan sebelum dan sesudah pengembangan waterfront.
7

2. Menganalisis perubahan hierarki wilayah berdasarkan karakteristik wilayah


yang dimiliki setelah pengembangan waterfront.
3. Melakukan pemetaan sebaran dan ketersediaan infrastruktur eksisting di Kota
Ternate.
4. Memprediksikan kebutuhan infrastruktur hingga 20 tahun mendatang (2032)
untuk perencanaan infrastruktur perkotaan.
5. Menyusun arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan
waterfront.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :


1. Memberikan kontribusi data spasial ketersediaan infrastruktur perkotaan.
2. Memberikan arahan perencanaan infrastruktur perkotaan hingga 20 tahun
mendatang (2032).
3. Memberikan pemikiran serta kajian ilmiah pada konsep infrastruktur
perkotaan dan waterfront city.
4. Memberikan arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur perkotaan kepada
Pemerintah Daerah dalam merancang konsep kebijakan pengelolaan
kelayakan infrastruktur yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran
Perkembangan Kota Ternate dapat diidentifikasi dari perubahan spasial
kota sebelum (tahun 2001) dan setelah pengembangan kawasan waterfront (tahun
2010). Ini menandakan bahwa pengembangan kawasan waterfront menjadi tolak
ukur terhadap perkembangan kota. Pengembangan kawasan waterfront dilakukan
dengan cara reklamasi pantai guna mendapatkan lahan/daratan baru. Kawasan
waterfront yang berada di kawasan pesisir menyebabkan perubahan spasial kota
yang dapat dianalisis dari parameter garis pantai dan penggunaan lahan.
Wilayah-wilayah pesisir yang dekat dengan kawasan waterfront
cenderung ikut berkembang seiring dengan berkembangnya kawasan waterfront.
Wilayah-wilayah yang berkembang ditandai dengan meningkatnya aksesibilitas
dan jumlah sarana dan prasarana (infrastruktur) di wilayah tersebut. Untuk
mengetahui hierarki wilayah kota Ternate, maka dapat dianalisis dengan indikator
8

aksesibilitas dan ketersediaan infrastruktur. Wilayah-wilayah yang termasuk


kategori hierarki 1 merupakan pusat pelayanan kota, wilayah dengan kategori
hierarki 2 berarti masih bergantung pada wilayah hierarki 1, sedangkan wilayah
dengan kategori hierarki 3 merupakan wilayah belakang (hinterland). Untuk itu,
analisis skalogram digunakan dalam menentukan hierarki wilayah.
Ketersediaan infrastruktur yang dianalisis meliputi infrastruktur fisik,
infrastruktur sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau. Ketiga jenis infrastruktur
tersebut dianalisis sebaran dan ketersediaannya guna menyediakan data spasial
ketersediaan infrastruktur perkotaan dan mengetahui cakupan pelayanan
infrastruktur kepada masyarakat. Cakupan pelayanan infrastruktur berkorelasi
dengan jumlah penduduk dan akses pencapaian. Untuk menganalisis sebaran dan
ketersediaan infrastruktur, maka digunakan analisis spasial (SIG) untuk
menentukan jarak dan wilayah pelayanan. Selain itu dilakukan prediksi kebutuhan
infrastruktur guna perencanaan hingga 20 tahun mendatang (2032), berdasarkan
proyeksi jumlah penduduk.
Pengembangan kawasan waterfront masih menyisakan permasalahan
diantaranya adalah belum optimalnya pengelolaan sampah, konflik penggunaan
lahan pasar tradisional dan terminal angkutan kota serta timbulnya kawasan PKL
(sektor informal) yang tidak tertata, yang tentunya harus segera diselesaikan.
Arahan penataan dan pengelolaan berdasarkan persepsi stakeholder diharapkan
dapat menjadi alternatif penangan permasalahan yang ada di kawasan waterfront.
Untuk itu, analisis AHP digunakan untuk menentukan skala prioritas penataan dan
pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront. Kerangka pemikiran penelitian
disajikan pada Gambar 1.
9

Perubahan Garis
Sebelum Pengembangan Pantai
Kawasan Waterfront Perubahan Spasial
(sebelum tahun 2001) Kota
Perubahan
Penggunaan Lahan

Hierarki I
(Pusat Pelayanan)

Pengembangan
Wilayah Kota Ternate Hierarki Wilayah Hierarki II
Data Spasial Sebaran dan
Ketersediaan Infrastruktur
Hierarki III
(Wilayah Belakang/
hinterland)
Analisis Cakupan Pelayanan
Infrastruktur
Infrastruktur Fisik

Setelah Pengembangan Jumlah Penduduk


Kawasan Waterfront Sebaran & Ketersediaan Infrastruktur Sosial & Prediksi Kebutuhan
(setelah tahun 2010) Infrastruktur Ekonomi Infrastruktur hingga tahun 2032
Akses Pencapaian
Infrastruktur Hijau
Alternatif Arahan
Penataan dan Pengelolaan
Infrastruktur di Kota Ternate

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

9
TINJAUAN PUSTAKA
Urbanisasi dan Pertumbuhan Kota

Urbanisasi secara harfiah berarti pengkotaan, yaitu proses menjadi kota


(Pontoh dan Kustiawan, 2008). Urbanisasi dipahami secara umum sebagai proses
menjadi kawasan perkotaan, migrasi masuk kota, perubahan pekerjaan dari bertani
berubah menjadi non-petani, dan juga menyangkut perubahan pola perilaku
manusia (Daldjoeni, 1987 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Pengkotaan
juga dapat diterapkan pada suatu negara, sehingga dapat meningkatkan proporsi
penduduk yang bertempat tinggal di perkotaan.
Faktor-faktor pendorong terjadinya urbanisasi dapat ditinjau dalam
beberapa perspektif, yaitu kemajuan di bidang pertanian, industrialisasi, potensi
pasar, peningkatan kegiatan pelayanan, kemajuan transportasi, tarikan sosial dan
kultural, kemajuan pendidikan dan pertumbuhan penduduk alami (Hammond,
1979 diacu dalam Rustiadi et al., 2009). Alasan penduduk melakukan migrasi
dipengaruhi oleh faktor ekonomi yang berkaitan dengan alasan pekerjaan ataupun
alasan non ekonomi yang berkaiatan dengan sosial, budaya, pendidikan, politik
dan keamanan.
Ditinjau dari aspek demografis, urbanisasi yang diartikan sebagai
mengalirnya penduduk dari desa ke kota yang disebabkan oleh adanya perbedaan
signifikan tingkat kehidupan antara desa dan kota. Dalam konteks ini, para pakar
mengidentifikasikan faktor pendorong (push factors) dan faktor penarik (pull
factors) yang berkaitan dengan bangkitan urbanisasi (Khairuddin, 1992 diacu
dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008).
Faktor pendorong ialah semakin terbatasnya lapangan kerja di pedesaan,
kemiskinan di pedesaan akibat bertambahnya jumlah penduduk, transportasi desa-
kota yang semakin lancar, tingginya upah buruh di kota dari pada di desa,
meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat desa, dan tata cara serta adat istiadat
yang kadang kala dianggap sebagai beban oleh masyarakat desa. Sementara faktor
penarik antara lain adalah kesempatan kerja yang lebih luas dan bervariasi di kota,
tingkat upah yang lebih tinggi, lebih banyak kesempatan untuk maju (diferensiasi
pekerjaan dan pendidikan dalam segala bidang), tersedianya barang-barang
kebutuhan yang lebih lengkap, terdapatnya berbagai kesempatan untuk rekreasi
11

dan pemanfaatan waktu luang, dan bagi orang-orang atau kelompok tertentu di
kota memberikan kesempatan untuk menghindari diri dari kontrol sosial yang
ketat.
Analisis hubungan keterkaitan antara urbanisasi dengan pembangunan
ekonomi menurut ahli ekonomi dan sosial dapat ditinjau dari dua aspek. Aspek
pertama berkaitan dengan peran urbanisasi terhadap pembangunan ekonomi dan
aspek kedua tentang pengaruh dari pembangunan ekonomi terhadap urbanisasi
(Sukirno, 1985 diacu dalam Pontoh dan Kustiawan, 2008). Kedua aspek analisis
tersebut menunjukkan bahwa diantara urbanisasi dan pembangunan ekonomi
terdapat hubungan sebab akibat yang timbal balik sifatnya, dimana pembangunan
ekonomi dapat mempercepat proses urbanisasi dan sebaliknya proses urbanisasi
dapat pula mempercepat proses pembangunan ekonomi.
Lebih lanjut menurut Sukirno (1985), faktor yang bersifat ekonomi
merupakan penyebab terpenting dari timbulnya urbanisasi dan perkembangan
kota. Pembangunan ekonomi akan diikuti oleh perombakan dalam corak kegiatan
ekonomi, dimana semakin maju suatu kegiatan ekonomi, maka semakin penting
peranan kegiatan industri dan perdagangan. Perkembangan tersebut selanjutnya
akan menghasilkan spesialisasi dalam perekonomian tersebut.
Urbanisasi timbul oleh adanya usaha untuk mempertinggi efisiensi
kegiatan tukar menukar, karena usaha tersebut akan mengembangkan pusat-pusat
perdagangan yang nantinya dapat berfungsi sebagai tempat pengumpulan barang
produksi suatu wilayah yang akan dipersiapkan untuk didistribusikan ke wilayah
lainnya. Untuk menjamin kelancaran usaha pengumpulan dan pendistribusian
barang oleh pusat-pusat perdagangan tersebut, maka secara tidak langsung akan
berkembang pula kegiatan-kegiatan yang merupakan suplemen/tambahan dari
kegiatan perdagangan seperti kegiatan pengangkutan, komunikasi, dan badan-
badan keuangan. Perkembangan dari berbagai kegiatan tersebut mendorong orang
untuk berpindah ke kota-kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan dalam
suatu wilayah tertentu.
Kaitan urbanisasi dengan perkembangan ekonomi menyangkut pula
sumber-sumber pembangunan atau pengembangan ekonomi. Pembangunan
bersumber dari beberapa faktor, diantaranya yang terpenting adalah pembentukan
12

modal, perkembangan penduduk dan teknologi. Sejarah pembangunan di negara


maju menunjukkan bahwa perkembangan teknologi memegang peran penting
dalam pembangunan ekonomi dan faktor tersebut dianggap lebih penting dari
pada faktor lainnya. Implikasi dari keadaan ini bahwa kemajuan dalam teknologi
sangat berpengaruh terhadap penyebaran kegiatan ekonomi diantara kawasan
pedesaan dan perkotaan, yakni kemajuan teknologi menyebabkan kegiatan
ekonomi lebih dominan dilakukan di perkotaan.
Sementara untuk kasus di negara-negara berkembang, kecepatan
urbanisasi jauh lebih besar dibandingkan dengan faktor kemajuan teknologi
maupun pembentukan modal. Secara spasial, proses urbanisasi ini tidak
berlangsung secara merata di semua ukuran kota, tapi hanya terkonsentrasi di
kota-kota besar atau kota-kota utama saja sehingga menimbulkan fenomena
primate city (kota yang tidak proporsional dalam sistem hierarki perkotaan).
Pertumbuhan penduduk perkotaan yang kian pesat berdampak pada
kebutuhan sarana dan prasarana/infrastruktur perkotaan (urban infrastructure).
Penduduk kota dipandang dalam konteks permintaan (demand), sedangkan
penyediaan infrastruktur kota merupakan penawaran (suplly) (Adisasmita dan
Sakti, 2010). Dalam pembangunan perkotaan yang berkesinambungan, maka sisi
permintaan dan sisi penawaran harus diupayakan mencapai titik keseimbangan,
sehingga tidak menimbulkan ketimpangan yang berujung pada terjadinya
kelangkaan ataupun kesulitan dalam pelayanan terhadap masyarakat.
Kegagalan dalam meningkatkan pelayanan infrastruktur perkotaan menjadi
penyebab utama dari masalah kota-kota di negara berkembang. Dalam laporan
The UN Centre for Human Settlements (1986 diacu dalam Sadyohutomo, 2008),
dinyatakan bahwa sekitar 30% dari populasi perkotaan di negara berkembang
tidak memiliki akses terhadap penyediaan air bersih, dan populasi sekitar 40%-
50% hidup di perumahan kumuh dan perkampungan.
Semakin lengkap ketersediaan infrastruktur perkotaan, akan semakin kuat
daya tarik penduduk untuk melakukan urbanisasi. Urbanisasi sangat dipengaruhi
oleh semakin banyaknya pelayanan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur
perkotaan memberikan kemudahan bagi masyarakat kota dalam menunjang
kegiatannya. Kemudahan diartikan sebagai suatu keadaan dimana dapat diperoleh
13

dengan mudah atau dalam jumlah yang cukup pelayanannya yang diperlukan
untuk memenuhi kebutuhan atau untuk melaksanakan kegiatannya.
Suatu kota yang memiliki ketersediaan infrastruktur yang lengkap, berarti
memiliki tingkat kemudahan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kota
tersebut memberikan peluang bagi kegiatan usaha untuk mendapatkan keuntungan
dan penghematan eksternal (external economies) secara berkesinambungan. Oleh
karena itu terdapat kecenderungan manusia (terutama pengusaha dan pemilik
modal) untuk berpindah tempat tinggal guna menempatkan kegiatan usahanya
(membawa modal, ketrampilan dan pengalamannya) ke suatu tempat (kota) yang
memiliki tingkat kemudahan tinggi, sehingga memberikan keuntungan yang
tinggi dan keberhasilan bagi usahanya. Dengan demikian tingkat kemudahan
merupakan faktor penentu lokasi kegiatan (usaha).
Dalam hal migrasi penduduk ke kota (urbanisasi), manusia cenderung
meninggalkan tempat bermukim asal dan berpindah ke tempat permukimannya
yang baru karena di tempat baru tersebut memberikan peluang lapangan kerja,
peningkatan pendapatan, pengembangan bakat, dan menikmati kehidupan yang
lebih baik. Semua peluang tersebut merupakan daya tarik perpindahan penduduk
dari desa ke kota, atau dari kota-kota kecil ke kota-kota yang lebih besar. Kota
sebagai wadah konsentrasi permukiman penduduk dan berbagai kegiatan
produktif (ekonomi dan sosial) merupakan kutub daya tarik (pole of attraction)
(Adisasmita, 1988 diacu dalam Adisasmita dan Sakti, 2010).

Perkembangan Kota Tepian Air (Waterfront City)


Pembangunan kota tepian air (waterfront city) berkembang sebagai tren
pembangunan kawasan perkotaan yang populer saat ini. Secara umum, waterfront
city dapat didefinisikan sebagai suatu daerah/area yang berbatasan dengan
perairan (pantai, sungai dan danau), dimana terdapat satu atau beberapa kegiatan
pada kawasan tersebut (Laras, 2011). Kota tepian air adalah tempat dimana
komponen-komponen alam seperti badan air dan formasi tanah serta
ekosistemnya saling bersinggungan satu sama lain dengan ketidakstabilan
(fluidity) yang besar (Bunce dan Desfor, 2007). Bentuk-bentuk komponen alam
hasil dari artifisial manusia ternyata tidak meninggalkan kota tepian air sebagai
14

tempat alam yang masih asli, tetapi telah dipengaruhi oleh transformasi dari waktu
ke waktu.
Lebih lanjut Bunce dan Desfor (2007) menambahkan bahwa sejarah
perkembangan kota tepian air telah menunjukkan seluk-beluk hubungan antara
masyarakat dan alam, tetapi yang lebih penting bahwa komponen pembentuk
alam tersebut terus-menerus dikembangkan melalui proses sosial. Alam
diejawantahkan sebagai komponen integral dari hubungan kekuasaan dan
produksi ekonomi di kota tepian air.
Pendekatan pembangunan waterfront memiliki jangkaun luas, mulai dari
konservasi, revitalisasi, atau penataan ulang hingga reklamasi kawasan laut.
Waterfront berdasarkan tipe proyeknya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu
konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan
(development) (Soesanti dan Sastrawan, 2006 diacu dalam Nurfaida, 2009).
Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai
saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat. Redevelopment
merupakan upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang
sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah
atau membangun kembali fasilitas-fasilitas yang ada. Development adalah usaha
menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan
dengan cara mereklamasi pantai.
Awalnya konsep pengembangan waterfront merupakan inovasi Amerika
Serikat. Konsep tersebut sebagai bentuk redesign kawasan Baltimore dalam
mengatasi kebangkrutan yang dialami kota-kota besar akibat resesi ekonomi pada
tahun 1970an. Strategi pengembangan kawasan perkotaan tersebut secara tidak
langsung dijadikan sebagai solusi untuk memperbaiki pengkumuhan kota-kota
besar yang mengkhawatirkan di Amerika Utara.
Rehabilitasi waterfront dapat menyumbangkan kemajuan perbaikan
lingkungan di dunia yang sedang berkembang (Vollmer, 2009 diacu dalam Laras,
2011). Contoh kasus Toronto merupakan wilayah tepian danau yang tercemar
berat, dengan penggunaan konsep kota tepian air (waterfront city), yang dalam
waktu singkat (1980-2000) telah mampu meningkatkan tahapan pengelolaan dari
semula pendekatan ekosistem dengan semboyannya lingkungan sehat, pemulihan
15

ekonomi, keberlanjutan, dan menjaga kesejahteraan masyarakat, dapat


ditingkatkan menjadi pendekatan global yang sangat penting dengan semboyan
peningkatan efektifitas dan kreatifitas.
Era kota pantai (waterfront city) telah melewati dua tahap, yaitu tahap
pertama (1960-1990) dengan program revitalisasi pantai dirancang untuk
mengejar tujuan-tujuan penting bagi pengambilan keputusan lokal dalam
menjamin pertumbuhan ekonomi dan tahap kedua sebagai bagian dari konsep
pembangunan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi mengedepankan pekerjaan
dan produk bruto per kapita (PDB), sedangkan konsep pembangunan
berkelanjutan yang diadopsi oleh komunitas internasional (UNCED), ditunjukkan
sebagai tujuan akhir penilaian revitalisasi pantai yang terintegrasi dengan program
pembangunan. Relevansi dari revitalisasi pantai untuk pengelolaan kawasan
pesisir telah menjadi isu utama karena manajemen terpadu yang telah diklaim
oleh Agenda 21 sebagai alat untuk mengejar pembangunan berkelanjutan wilayah
pesisir dan pulau-pulau (Vallega, 2001). Merujuk pada pendekatan pembangunan
berkelanjutan, banyak kota-kota pantai telah menemukan karakteristik dalam
menghadapi pilihan dasar, antara merencanakan dan mengelola pantai
berdasarkan kriteria konvensional, atau merancang rencana pembangunan dimana
tepi pantai adalah komponen inti dari pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Perkembangan kota pantai (waterfront city) di Indonesia dipengaruhi oleh
kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara di masa silam dengan kegiatan utama adalah
perdagangan, jasa dan pusat pemerintahan. Karakteristik tersebut menjadikan
wilayah pesisir sebagai elemen utama yang berperan penting dalam
perkembangan kota. Oleh sebab itu, kota-kota pantai di Indonesia memiliki unsur
historikal dan budaya yang kuat dalam pengembangan kawasan pesisir.
Karakteristik pantai dan pengaruhnya dalam perkembangan kawasan kota
pantai di Indonesia menurut Hantoro (2001 diacu dalam Mulyandari, 2011),
antara lain :
a. Wilayah pesisir memiliki bentang alam yang dibentuk oleh gejala endogen
geologi, dimana tiga gejala utama tektonik merupakan pengontrol awal bentang
alam yang meliputi tumbukan lempeng, gerak gesek antar lempeng, gunung api
16

dengan komponen gerak tegaknya. Jenis batuan menentukan kestabilan pantai


dan kemampuan bertahan dari terjangan laut dan cuaca.
b. Di perairan yang stabil tanpa gejala geologi endogen, di bagian yang
mengalami pengaruh kuat perubahan paras muka laut, di pesisir dan di pantai,
pembentukan bentang alam lebih dipengaruhi oleh gejala cuaca (erosi) dan laut
(erosi dan sedimentasi).
c. Pantai yang menghadap perairan terbuka dengan agitasi kuat memiliki kota
pantai yang berkembang di rataan pasir pantai, berawal dari permukiman dan
pelabuhan sebagai bandar niaga di muara sungai. Pemilihan muara di bentang
manapun sebagai awal permukiman sangat umum dijumpai di Indonesia, di
daratan alluvial, di kaki gunung pulau volkanik, di pesisir perairan paparan
tepian kontinen atau di pantai dataran limpahan banjir.
d. Kota pantai tumbuh dan berkembang sesuai status dan fungsinya dari waktu ke
waktu melalui beberapa periode masa penjajahan dan kemudian masa setelah
kemerdekaan. Perkembangan luas kota yang berstatus kota pusat pemerintahan
terlihat cenderung lebih pesat.
e. Perluasan permukiman mulai terasa sejak 30 tahun terakhir. Demikian halnya
dengan sarana pelabuhan dan transportasi lain.
f. Sejumlah besar kota pantai berkembang pesat oleh peningkatan usaha ekonomi
perniagaan, pertanian/perkebunan, dan industri, sementara mariekultur dan
industri hilirnya hanya berkembang di beberapa kota pantai atau hanya sebagai
suplemen kecil usaha ekonomi. Usaha ekonomi kelautan di segala bidang perlu
untuk ditingkatkan misalnya industri rekayasa, budidaya dan tangkap,
pengolahan, dan wisata.
g. Pertumbuhan kota-kota pantai akhir abad 20-an cenderung mengabaikan daya
dukung lingkungan di sekelilingnya serta ancaman bencana yang berpotensi
merusak. Keterbatasan ruang yang layak dikembangkan menyebabkan
perluasan merambah lingkungan pantai yang seharusnya dipertahankan sebagai
penyangga (buffer).
h. Cuaca, kondisi laut dan tektonik merupakan gejala-gejala yang mengontrol
bentang alam dari awal pembentukan hingga bentuk saat ini, sehingga
17

fenomena tersebut harus diperhitungkan sebagai potensi alam dalam upaya


mempertahankan kelestarian lingkungan kota pantai.
i. Jenis ancaman bencana pada kota-kota pantai beragam, bergantung pada
fenomena alam misalnya ancaman abrasi pantai, gelombang tsunami maupun
intrusi air laut.

Pertumbuhan Kota dalam Konsep Pengembangan Wilayah

Kota merupakan wadah berkelompok penduduk yang disertai dengan


keragaman aktivitas ekonomi maupun sosial. Munculnya kota dalam peradaban
manusia sudah sejak berabad-abad silam, yang awalnya sebagai tempat
persinggahan pedagang, berkembang menjadi kelompok permukiman, kemudian
terbentuk kota kecil, kota menengah hingga kota besar. Dimensi pertumbuhan
kota merupakan keterkaitan yang bersifat multi disiplin. Masing-masing disiplin
ilmu tersebut melingkupi bidang demografi, keteknikan, tata ruang, ekonomi,
sosiologi dan sebagainya, memiliki cakupan objek bahasan, cara pandang, metode
analisis tersendiri. Namun dalam rumusan teori pertumbuhan kota (urban growth
theory), ternyata banyak menampilkan teori-teori pengembangan wilayah yang
muncul dalam tahun 1930-an hingga tahun 1970-an (Adisasmita dan Sakti, 2010).
Dalam pandangan Rondinelli (1985 diacu dalam Suhono, 2008), terdapat
tiga konsep dalam pengembangan wilayah yaitu: (1) kutub pertumbuhan (growth
pole); (2) integrasi fungsi (functional integration); dan (3) pendekatan
desentralisasi wilayah (decentralized territorial approaches). Pembangunan
setidaknya memuat tiga komponen dasar, yaitu kecukupan (sustainance) dalam
pemenuhan kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri (self-esteem), serta
kebebasan (freedom) untuk memilih, yang dijadikan sebagai konsep dasar dan
pedoman praktis dalam menterjemahkan pembangunan yang hakiki (Todaro, 2000
diacu dalam Rustiadi et al., 2009).
Dalam pembangunan, kota merupakan pusat pembangunan, dimana
terdapat berbagai kegiatan pembangunan yang didukung oleh tersedianya sarana
dan prasarana pembangunan. Kegiatan pembangunan di wilayah perkotaan selain
meliputi berbagai kegiatan sektoral, dapat juga melingkupi kegiatan fisik,
ekonomi dan sosial yang dilaksanakan secara intensif. Di kota-kota besar terdapat
18

industri-industri dan perusahan-perusahan besar akan mendistribusikan hasil-hasil


pembangunan ke wilayah sekitarnya. Menurut Perroux (1949 diacu dalam
Tarigan, 2006) dalam teori kutub pertumbuhan (growth pole), bahwa
pertumbuhan itu tidak terjadi pada setiap wilayah, namun hanya terjadi pada
wilayah tertentu yang memiliki industri pendorong.
Pusat pertumbuhan (growth pole) dapat diartikan dengan dua cara, yaitu
secara fungsional dan secara geografis (Tarigan, 2006). Secara fungsional, pusat
pertumbuhan merupakan suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang
industri karena adanya keterkaitan unsur-unsur sifat yang dinamis, sehingga
mampu menstimulasi kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar (daerah
belakangnya). Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang
banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole
of attraction), yang menyebabkan berbagai macam usaha tertarik untuk berlokasi
di tempat tersebut dan adanya pemanfaatan fasilitas kota meskipun tidak ada
interaksi antara usaha-usaha tersebut. Selanjutnya Tarigan (2006) mengemukakan
bahwa pusat pertumbuhan harus memiliki 4 (empat) ciri, yaitu adanya hubungan
intern antara berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi, adanya
unsur pengganda (multiplier effect), adanya konsentrasi geografis, dan bersifat
mendorong pertumbuhan ke daerah belakangnya (hinterland).
Konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia telah mengalami
perkembangan dan koreksi untuk setiap periodenya (Djakapermana dan
Djumantri, 2002 diacu dalam Djakapermana, 2010). Mulai dari pengembangan
wilayah dengan pengembangan sektoral dan parsial pada era tahun 1960-an, kutub
pertumbuhan (growth pole) yang lebih mengutamakan pembangunan
infrastruktur, regionalisasi dengan batas wilayah fungsional (fuctional regional)
yaitu membagi wilayah Indonesia dengan satuan-satuan ekonomi, sampai dengan
konsep pengembangan wilayah pada era tahun 2000-an dengan pendekatan
lingkungan, khususnya dengan lahirnya Undang-undang No. 24 tahun 1992
tentang Penataan Ruang yang telah mengalami penyempurnaan dan diganti oleh
Undang-undang No. 26 tahun 2007.
Memasuki abad ke 21 ini, konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia
harus mengikuti kaidah penataan ruang. Undang-undang No. 26 tahun 2007
19

disusun atas dasar keinginan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan


buatan untuk mensejahterakan rakyat, dengan pertimbangan prinsip keberlanjutan,
menjaga keserasian dan mencegah adanya kesenjangan baik antar pusat dan
daerah, antar desa dan kota maupun antar wilayah/kawasan, menciptakan ruang
yang nyaman, aman, produktif dan berkelanjutan, serta berbasis mitigasi bencana
untuk meningkatkan keselamatan, kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Hal
tersebut dapat direpresentasikan dengan pengaturan sistem pusat pertumbuhan
(kota) dan sistem pengembangan wilayah secara merata dan berhierarkis.
Berdasarkan landasan undang-undang tersebut, menurut Djakapermana
(2010), konsepsi pengembangan wilayah di Indonesia adalah by legal dan
empirikal harus mengikuti kaidah pendekatan yang bersifat gabungan (mixed-
concept). Mixed-concept melingkupi adanya struktur ruang yang terdiri dari pusat-
pusat permukiman sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan sosial
secara hierarki (growth pole) sebagai pusat yang akan memberikan penjalaran
perkembangan dan jaringan infrastruktur wilayah. Jaringan infrastruktur dapat
berupa media/alat untuk menjalarkannya yaitu jaringan transportasi, listrik,
telepon, energi dan jaringan sumberdaya air, serta pola ruang yang terdiri dari
pengaturan kawasan yang berfungsi lindung serta kawasan budidaya untuk
kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas bagi tumbuh dan berkembangnya
ekonomi wilayah dan kegiatan sosial.

Infrastruktur dan Hierarki Wilayah Perkotaan


Definisi infrastruktur sangat beragam dikalangan para ahli. Namun
beberapa bahan acuan dapat digunakan untuk menterjemahkan pemahaman
mengenai infrastruktur itu sendiri. Menurut Webster's New World Dictionary
infrastruktur adalah “substructure or underlying foundation on which the
continuance and growth of a community or state depends” (Soma, 2011b). Dalam
kaitannya dengan ekonomi, menurut Macmillan Dictionary of Modern Economics
(Pamungkas, 2009), infrastruktur merupakan elemen struktural ekonomi yang
memfasilitasi arus barang antara pembeli dan penjual. The Routledge Dictionary
of Economics (1995 diacu dalam Radiansyah, 2012), memberikan pengertian
yang lebih luas bahwa infrastruktur merupakan pelayanan utama dari suatu negara
20

yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat dalam rangka
penyediaan transportasi serta fasilitas pendukung lainnya.
World Bank (1994 diacu dalam Laras, 2011) membagi infrastruktur atas 3
(tiga) golongan yaitu :
1. Infastruktur ekonomi, merupakan pembangunan fisik yang menunjang aktivitas
ekonomi, meliputi public utilities (telekomunikasi, air bersih, sanitasi, gas),
public work (jalan, bendungan, irigasi, drainase) dan sektor transportasi (jalan,
rel kereta api, pelabuhan, lapangan terbang).
2. Infrastruktur sosial, merupakan infrastruktur yang mengarah kepada
pembangunan manusia dan lingkungannya seperti pendidikan, kesehatan,
perumahan, dan rekreasi.
3. Infrastruktur administrasi, merupakan infrastruktur dalam bentuk penegakan
hukum, kontrol administrasi dan koordinasi.

Selain itu, Jacob et al. (1999 diacu dalam Pamungkas, 2009), membagi
infrastruktur kedalam kategori infrastruktur dasar dan infrastruktur pelengkap,
sebagai berikut :
1. Infrastruktur dasar (basic infrastructure) meliputi sektor-sektor yang
mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar untuk sektor
perekonomian lainnya, tidak dapat diperjualbelikan (non-tradeable) dan tidak
dapat dipisahkan baik secara teknis maupun spasial. Contohnya jalan, kereta
api, kanal, pelabuhan laut, drainase, bendungan dan sebagainya.
2. Infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) berupa sarana dan
prasarana penunjang dalam aktivitas ekonomi maupun sosial, diantaranya
seperti gas, listrik, telepon dan pengadaan air minum.

Fungsi dan hierarki kota merupakan tata jenjang yang menunjukkan


hubungan keterkaitan antar komponen pembentuk struktur pemanfaatan ruang.
Penentuan fungsi kota pada prinsipnya didasarkan pada komponen pembentuk
yang dominan mempengaruhi aktivitas sosial ekonomi perkotaan, sedangkan
hierarki kota adalah hubungan antar kegiatan yang berpengaruh terhadap pola
21

pemanfaatan ruang, dalam skala wilayah yang dikenal dengan sistem kota atau
orde kota berdasarkan skala pelayanannya.
Perkotaan berperan besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Hal
ini terjadi karena di bagian wilayah tersebut terdapat berbagai kegiatan ekonomi
sekunder dan tersier serta fungsi pelayanan yang menimbulkan daya tarik bagi
penduduk. Disisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta
berpusatnya berbagai kegiatan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor
yang menarik bagi kegiatan ekonomi/bisnis. Perkotaan memiliki nilai strategis,
tidak hanya sebagai pemusatan penduduk tetapi juga sebagai pusat berbagai
fungsi sosial-ekonomi-politik dan administrasi, serta berpotensi sebagai instrumen
untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun
regional.
Perkembangan wilayah perkotaan dapat diukur dari tingkat ketersediaan
infrastruktur/fasilitas pelayanan yang ada. Perhitungan jumlah dan jenis sarana
dan prasarana pelayanan (infrastruktur) yang ada pada suatu wilayah, dapat
digunakan untuk mengukur hierarki perkembangan wilayah (Rustiadi et al.,
2009). Teori tempat sentral (central place theory) mengemukakan bahwa dalam
penentuan hierarki kota-kota dalam suatu wilayah dapat dilakukan dengan cara
meninjau jumlah pelayanan yang dapat diemban oleh sebuah kota (Christaller,
1933 diacu dalam Sinulingga, 1999).
Suatu ciri umum dari daerah-daerah nodal menurut Christaller (1933 diacu
dalam Sinulingga, 1999) adalah bahwa penduduk kota tidaklah tersebar secara
merata diantara pusat-pusat yang sama besarnya, tetapi tersebar diantara pusat-
pusat yang besarnya berbeda-beda dan secara keseluruhan membentuk suatu
hierarki perkotaan (urban hierarchy). Penyebab dari perkembangan seperti ini
adalah kurang efisiennya mensuplai barang-barang dan jasa-jasa tertentu di pusat-
pusat kecil sedangkan barang-barang dan jasa-jasa lainnya lebih efisien jika
disuplai di pusat-pusat yang lebih besar.
Menurut teori ini, fungsi-fungsi pokok suatu pusat kota adalah bertindak
sebagai pusat pelayanan bagi daerah belakangnya, mensuplai barang-barang dan
jasa-jasa sentral seperti jasa-jasa eceran, perdagangan, perbankan, fasilitas-
fasilitas pendidikan, hiburan dan kebudayaan, serta pelayanan pemerintah kota.
22

Pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya/hierarkinya melayani pusat-pusat yang


lebih rendah hierarkinya, dan antara pusat-pusat yang hierarkinya sama tidak
saling melayani.

Infrastruktur Fisik
Infrastruktur Jaringan Jalan
Tata ruang kota dapat berkembang menjadi dinamis, karena adanya
jaringan jalan. Hal ini serupa dengan pandangan Sinulingga (1999), bahwa
jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang membentuk struktur tata ruang
kota. Semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung berkaitan
dengan jaringan jalan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 26 tahun
1985 tentang jalan, menegaskan bahwa pengadaan jalan diselenggarakan dengan
mengutamakan pembangunan jaringan jalan yang terkoneksi ke pusat-pusat
produksi serta jalan-jalan yang menghubungkan ke wilayah pemasarannya.
Jaringan jalan dibangun secara hierarki dimulai dari jenjang terendah yang
bersifat lokal/lingkungan hingga ke jenjang wilayah berhubungan satu dengan
lainnya (Rachmawati, 2011).
Sebagai komponen yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah,
sistem jaringan jalan berperan memperlancar kegiatan aliran barang, orang dan
jasa, sehingga secara langsung akan menurunkan biaya produksi (Djakapermana,
2010). Pada gilirannya wilayah akan berkembang secara ekonomis. Breheny
(1995 diacu dalam Djakapermana, 2010), mengemukakan bahwa transportasi
khususnya jaringan jalan sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan kegiatan
ekonomi wilayah. Kegiatan pembangunan transportasi akan mendorong dan
mempromosikan kegiatan ekonomi yang kompetitif.
Ditinjau dari fungsi kota terhadap wilayah pengembangannya, maka
sistem jaringan jalan dapat dibagi menjadi dua, yaitu sistem primer dan sistem
sekunder. Sistem Primer merupakan jaringan jalan yang berkaitan dengan
hubungan antar kota. Di dalam kota, sistem primer ini akan terkoneksi dengan
fungsi-fungsi kota yang bersifat regional, seperti kawasan industri, perdagangan
maupun pelabuhan. Sistem Sekunder, yaitu jaringan jalan yang berkaitan dengan
pergerakan lalu lintas yang bersifat hanya di dalam kota. Sistem jaringan jalan
sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota yang
23

menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi


sekunder ke satu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan seterusnya
sampai ke perumahan.
Hierarki jaringan jalan sistem primer dan sistem sekunder dapat
diklasifikasi berdasarkan fungsi menjadi jalan arteri, jalan kolektor dan jalan
lokal.
Jalan Arteri
Berdasarkan Undang-undang No. 13 tahun 1980, jalan arteri berada pada
setiap kota yang melayani angkutan utama dengan ciri-ciri perjalanan agak jauh,
kecepatan rata-rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Jalan
arteri di perkotaan dapat dibagi ke dalam fungsi primer dan fungsi sekunder.
Dimensi jalan arteri dengan jalur lambat disajikan pada Gambar 2.
Jalan arteri primer menghubungkan kota orde pertama dengan kota orde
pertama lainnya yang berdampingan atau kota orde pertama dengan kota orde
kedua (PP No.26 tahun 1985). Jalan arteri primer hanya terdapat pada kota orde
pertama dan kota orde kedua dari suatu Satuan Wilayah Pengembangan (SWP).
Di dalam kota, jalan arteri primer akan melalui fungsi-fungsi kota yang bersifat
primer seperti pergudangan, perindustrian, ekspor ataupun pelabuhan. Beberapa
persyaratan dari jalan arteri primer adalah sebagai berikut :
a. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60
km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
b. Jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu
lintas rata-rata.
c. Pada jalan arteri primer, lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas ulang-alik, lalu lintas lokal dan kegiatan lokal.
d. Jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi secara efisien dan didesain
sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b)
masih tetap terpenuhi.
e. Persimpangan jalan arteri primer, dengan pengaturan tertentu harus dapat
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b).
f. Jalan arteri primer tidak terputus walaupun memasuki kota.
24

Dalam sistem sekunder maka jaringan arteri sekunder adalah jalan yang
menghubungkan pusat kota dengan pusat bagian wilayah kota, pusat bagian
wilayah kota dengan bagian wilayah kota lainnya serta menghubungkan pusat
kota dengan kawasan primer atau kawasan yang berfungsi melayani regional.
Sesuai dengan PP No. 26 tahun 1985 persyaratan untuk jalan arteri sekunder
adalah :
a. Jalan arteri sekunder didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 30
km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.
b. Jalan arteri sekunder mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.
c. Pada jalana arteri sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu
lintas lambat.
d. Persimpangan pada jalan arteri sekunder, dengan pengaturan tertentu harus
dapat memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b).

Gambar 2. Dimensi Jalan Arteri dengan Jalur Lambat


Sumber : Sinulingga (1999)

Jalan Kolektor
Jalan kolektor merupakan jalan yang melayani angkutan pengumpulan
atau pembagian dengan ciri-ciri perjalanan jalan sedang, kecepatan rata-rata
sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi (UU No.13 tahun 1980). Jaringan jalan
ini menghubungkan jalan arteri dengan jalan lokal. Jadi volume lalu lintas dari
jalan lokal dikumpulkan oleh jalan kolektor dan dibawa ke jalan arteri dan
selanjutnya dibawa ke tempat tujuan. Penampang jalan kolektor di kawasan
permukiman disajikan pada Gambar 3.
25

Untuk sistem primer, jalan kolektor primer menghubungkan kota orde


kedua dengan kota orde kedua lainnya dan menghubungkan kota orde kedua dan
kota orde ketiga. Adapun persyaratan jalan kolektor primer adalah :
a. Jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40
km/jam dan lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.
b. Jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang sama atau lebih besar dari
volume lalu lintas rata-rata.
c. Jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam (a) dan (b) masih tetap terpenuhi.
d. Jalan kolektor primer tidak terputus walaupun memasuki kota.

Pada jaringan jalan sistem sekunder, jalan kolektor sekunder


menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota.
Persyaratan dari jalan kolektor sekunder ialah didesain berdasarkan kecepatan
rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan tidak kurang dari 7
meter.

Gambar 3. Penampang Jalan Kolektor Kawasan Permukiman


Sumber : Sinulingga (1999)

Jalan Lokal
Dalam sistem primer hierarki jaringan jalan, jalan lokal primer merupakan
jalan yang menghubungkan pusat kota dari orde pertama, orde kedua, dengan
persil-persil pada kawasan yang berfungsi regional. Jalan lokal primer dirancang
berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan
paling kurang 6 meter.
Berbeda dengan sistem sekunder, jalan lokal sekunder menghubungkan
pusat kota dengan perumahan, pusat bagian wilayah kota dengan perumahan, dan
26

pusat sub bagian wilayah kota dengan perumahan yang terdekat pada masing-
masing pusat tersebut. Jalan lokal sekunder dirancang berdasarkan kegiatan
rencana paling rendah 10 km/jam dan lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.

Infrastruktur Air Bersih


Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi penduduk kota,
sehingga ketersediaannya menentukan derajat kesehatan dan kesejahteraan hidup
masyarakat. Pada kenyataannya, keterbatasan penyediaan air bersih erat kaitannya
dengan penyebab kemiskinan, karena kemiskinan juga disebabkan oleh masalah
kesehatan. Oleh karena itu, penyediaan jaringan air bersih terutama pada
permukiman miskin padat penduduk sangat penting untuk ikut memecahkan
masalah kemiskinan. Realita di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat miskin
yang tidak terjangkau PDAM harus membeli air bersih secara eceran yang
harganya jauh lebih mahal dibanding masyarakat yang memperoleh akses air
bersih dari PDAM.
Untuk dapat dijadikan sebagai air minum, maka air harus memenuhi
persyaratan fisik diantaranya ialah tidak memeberi rasa, tidak berwarna, tidak
berbau, suhu di antara 20°-25° C. Selain itu ada juga persyaratan khusus yaitu
kondisi biologi dan kimia, dimana air hanya mengandung kadar besi dan asam
arang dalam jumlah tertentu, mengadung soda flour untuk kesehatan gigi,
mengandung yodium untuk mencegah gondok, serta tidak boleh mengandung
bakteri patogen (penyebab penyakit) (Sinulingga, 1999). Syarat-syarat tersebut
diatas haruslah dipenuhi dan apabila air yang tersedia belum dapat memenuhi
persyaratan yang ada, maka harus diupayakan melalui suatu proses pengolahan
sehingga kualitas air tersebut dapat layak untuk dikonsumsi. Gambar 4
menunjukkan proses pengolahan air.

Gambar 4. Bagan Aliran Proses Pengolahan Air


Sumber : Sinulingga (1999)
27

Sumber utama air bersih bagi penduduk pedesaan dan perkotaan berbeda.
Bagi penduduk pedesaan, air sumber atau air tanah dangkal hanya diperoleh
dengan membuat sumur cukup sehat untuk langsung digunakan untuk memasak
dan mencuci. Sementara untuk penduduk perkotaan yang padat, air tanah dangkal
sudah diragukan kebersihannya karena kemungkinan tercemar septictank dan
limbah rumah tangga. Apabila air tanah dangkal sudah tercemar, maka dilakukan
upaya pemanfaatan air tanah dalam (aquifer). Air tanah dalam kualitasnya lebih
baik dari air tanah dangkal apabila belum terjangkau pencemaran dari lapisan
tanah atasnya. Pemompaan air tanah dalam perlu diatur karena berdampak
terhadap kestabilan lapisan tanah yang berisi air tersebut. Jika aquifer diambil
secara berlebihan dapat berdampak pada penurunan lapisan permukaan tanah atau
intrusi air laut ke dalam aquifer tersebut.
Air bersih dibutuhkan bagi makhluk hidup sangat bervariasi tergantung
pada berat dan besar tubuh, besarnya penguapan, dan cuaca (Soma, 2011a).
Menurut Al-Layla (1978 diacu dalam Soma, 2011a), penggunaan air di berbagai
kota dan negara sangat bervariasi bergantung pada faktor jumlah penduduk,
keadaan cuaca, kebiasaan dan cara hidup, fasilitas perpipaan (plumbing) yang
dimiliki oleh pelanggan, sistem air limbah (sewerage) komunal yang tersedia,
jumlah industri yang membutuhkan pasokan, serta besarnya pajak yang dikenakan
untuk setiap pengambilan air.
Standar kebutuhan air untuk kota-kota di Indonesia menurut Departemen
Pekerjaan Umum dibedakan berdasarkan kategori kota dan besarnya jumlah
penduduk (Soma, 2011a). Hal tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kebutuhan Air untuk Kategori Kota
Jumlah Penduduk Kebutuhan air
No Kategori Kota
(jiwa) (lt/orang/hari)
1. Metropolitan > 1.000.000 150 – 200
2. Kota besar 0,5 – 1 juta 120 – 150
3. Kota sedang 0,1 – 0,5 juta 100 – 120
4. Kota kecil 20.000 – 100.000 90 – 100
5. Semi urban 3.000 – 20.000 60 – 90
Sumber : Departemen Pekerjaan Umum (2007)

Kebutuhan air bersih di perkotaan perlu ditangani secara massal dalam


bentuk penyediaan fasilitas jaringan pipa air minum. Pengelola fasilitas ini
umumnya dilakukan oleh Perusahan Daerah Air Minum (PDAM). Pengelola
28

penyediaan air bersih melakukan kegiatan pengambilan bahan baku air,


pengolahan air, hingga penyaluran air bersih ke pelanggan. Dari ketiga kegiatan
pokok tersebut, sebagian besar PDAM di Indonesia masih menghadapi masalah
teknis, manajemen dan institusional.
Sumber air baku PDAM sebagian besar mengandalkan air sungai, danau
dan mata air. Pengambilan air baku menghadapi masalah teknis ketersediaan air
yang terbatas pada musim kemarau. Dalam penggunaan air sungai menghadapi
masalah kualitas air yang sudah tercemar berbagai polutan dari buangan limbah
rumah tangga maupun industri. Untuk menjaga kualitas dan kuantitas air baku
yang berasal dari daerah lain (lintas kabupaten/kota) menghadapi masalah
institusional. Tersedianya air baku umumnya tidak saja ditentukan oleh
ketersediaannya di dalam wilayah administrasi sendiri, melainkan juga terkait
dengan sistem tata air wilayah, seperti DAS atau aliran air tanah dalam (aliran
aquifer). Disini terdapat masalah institusional horizontal maupun vertikal.
Pengolahan air baku menghadapi kendala teknis kualitas air baku yang
rendah dengan teknis penjernihan yang masih konvensional. Hal ini diperberat
dengan mahalnya input produksi, serta kemampuan modal dan manajemen
keuangan yang lemah. Akibatnya, air jernih yang dihasilkan tidak layak untuk
langsung diminum. Perusahan juga kurang mampu memelihara sarana produksi
dan perpipaan yang telah disediakan dengan dana proyek (APBD/APBN)
sehingga kualitas pelayanan semakin menurun. Demikian pula dalam penyaluran
air bersih menghadapi kebocoran (teknis dan keuangan). Dalam penentuan tarif
layak tidak diawali dengan efisiensi manajemen intern. Disamping itu, penentuan
tarif tidak bersifat independen karena perlu persetujuan DPRD yang kadang-
kadang mengandung unsur politis. Oleh karena itu, sebagian besar PDAM masih
merugi sehingga perlu subsidi dari pemerintah daerah masing-masing
(Sadyohutomo, 2008).
Menurut Anwar (1992 diacu dalam Kusuma, 2006), permasalahan
sumberdaya air sering diperhadapkan pada sumberdaya yang bersifat terbuka
(open acces) pada beberapa wilayah. Keadaan demikian akan menimbulkan gejala
eksternalitas yang meluas, dimana ada pihak yang menanggung manfaat atau
biaya dari proses penggunaan sumberdaya oleh pemiliknya. Oleh karena itu,
29

eksternalitas dapat menimbulkan perbedaan manfaat dan biaya yang dinilai oleh
pihak swasta (private) dengan manfaat atau biaya yang dinilai oleh masyarakat
(social).
Air merupakan sumberdaya alam pokok dan penting dalam pembangunan
wilayah. Hal ini mengingat bahwa sumberdaya air berkaitan dengan kondisi sosial
ekonomi dan sumberdaya lingkungan. Perkembangan jumlah penduduk yang
tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur wilayah secara ekonomi dapat
mempengaruhi peningkatan kebutuhan air sehingga berdampak krisis dalam
pembangunan wilayah.

Infrastruktur Jaringan Listrik


Sistem jaringan listrik memiliki berbagai fasilitas yang berfungsi sebagai
sarana sistem, kapasitas sistem dan tingkat pelayanan sistem. Untuk itu,
interkoneksi antara berbagai sarana sistem tersebut mampu memberikan jaminan
tingkat layanan sistem (Rachmawati, 2011). Infrastruktur jaringan listrik terdiri
dari 3 (tiga) komponen utama, meliputi pembangkit, penyaluran (transmisi), dan
disitribusi (gardu) (Gambar 5).

Gambar 5. Komponen Utama dalam Penyaluran Listrik


Sumber : Anonim (2012)

Pembangkit listrik adalah bagian dari alat industri yang dipakai untuk
memproduksi dan membangkitkan tenaga listrik dari berbagai sumber tenaga.
Pembangkit listrik umumnya dapat berupa Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga
30

Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit merupakan sumber daya listrik dimana
hampir semua kota memilikinya.
Saluran listrik dari sumber pembangkit tenaga listrik sampai transformator
terakhir, sering disebut juga sebagai saluran transmisi. Sementara saluran
distribusi atau saluran primer merupakan saluran listrik dari transformator terakhir
sampai pada konsumen terakhir. Ada 2 (dua) macam saluran transmisi/distribusi
PLN yaitu saluran udara (overhead lines) dan saluran kabel bawah tanah
(underground cable). Kedua cara penyaluran tersebut masing-masing mempunyai
keuntungan dan kerugian. Dari segi estetika, saluran bawah tanah lebih disukai
dan juga tidak mudah terganggu oleh cuaca buruk misalnya hujan, petir, angin,
dan sebagainya, namun saluran bawah tanah jauh lebih mahal dibanding saluran
udara, tetapi saluran bawah tanah tidak cocok untuk daerah rawan banjir karena
bila terjadi gangguan akan sangat berbahaya.
Sistem tenaga listrik yang paling terakhir untuk disalurkan pada pelanggan
adalah sistem distribusi (Prihastomo, 2008 diacu dalam Rachmawati, 2011).
Sistem distribusi terdiri atas jaringan yang diisi dari sebuah Gardu Induk (GI).
Jaringan distribusi GI beroperasi secara tepisah, karena pada umumnya tidak
dihubungkan secara listrik dengan jaringan distribusi lain. Sistem distribusi
terbagi menjadi Jaringan Tegangan Menengah (JTM) dan Jaringan Tegangan
Rendah (JTR). JTM dan JTR beroperasi secara radial. Untuk sistem jaringan baru,
jaringan distribusi langsung diisi oleh pusat listrik, karena bebannya relatif
rendah sehingga tidak diperlukan sistem transmisi (penyaluran).
Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sistem kelistrikan tumbuh
dengan baik, karena pembangunan infrastruktur tersebut telah mampu
mengimbangi kebutuhan tenaga listrik yang mencapai pertumbuhan rata-rata 13%
per tahun. Dalam kurun waktu 1969-1993, kapasitas pembangkit tenaga listrik
nasional meningkat signifikan dari 542 MW menjadi 13.569 MW. Investasi dalam
pembangunan fasilitas ketenagaan dengan kapasitas sebesar 7.996 MW, jaringan
transmisi sepanjang 6.350 km, gardu induk dengan kapasitas 16.816 MVA, serta
berbagai jaringan tegangan listrik lainnya (Kadin, 2006 diacu dalam Pamungkas,
2009).
31

Meskipun mengalami perkembangan, namun listrik di Indonesia dirasakan


masih jauh dari mencukupi. Akses terhadap listrik masih sulit, diperkirakan
sekitar 90 juta penduduk, 90% diantaranya adalah masyarakat miskin tidak
mendapat akses listrik. Selain itu, biaya sambungan di daerah pedesaan 33% lebih
mahal dari pada di perkotaan. Kondisi demikian mengakibatkan tingkat
pemasangan listrik di Indonesia masuk dalam kategori rendah se-Asia
(Pamungkas, 2009).
Saat ini Indonesia mengalami kekurangan pasokan listrik. Sejak tahun
1997 hingga 2004, kelistrikan relatif tidak ada penambahan kapasitas baik pada
sistem Jamali (Jawa-Madura-Bali) maupun sistem di luar Jamali. Disatu sisi
permintaan terhadap listrik terus meningkat, sedangkan investasi pada bidang ini
baik melingkupi padat modal maupun teknologi tinggi, memerlukan persiapan dan
konstruksi yang lama. Untuk itu penambahan kapasitas listrik nasional menjadi
terhambat terutama pasca krisis ekonomi di tahun 1997.
Dalam hubungannya dengan peningkatan output, beberapa penelitian
menjelaskan bahwa pembangunan infrastruktur listrik memberikan kontribusi
dalam perekonomian suatu bangsa. Hasil penelitian Lee dan Anas (2005 diacu
dalam Bulohlabna, 2008), menyimpulkan bahwa kekurangan kapasitas listrik
menjadi hambatan terbesar pada perkembangan perusahaan yang berujung pada
kondisi perekonomian wilayah setempat.

Infrastruktur Sistem Drainase


Drainase dapat didefinisikan sebagai “prasarana yang berfungsi
mengalirkan air permukaan ke badan air dan atau ke bangunan resapan buatan,
sementara drainase permukiman adalah drainase di wilayah permukiman yang
berfungsi mengendalikan kelebihan air permukaan, sehingga tidak mengganggu
masyarakat dan dapat memberikan manfaat bagi kegiatan kehidupan manusia”
(Soma, 2011b).
Fungsi saluran drainase perkotaan meliputi :
a. Mengeringkan bagian wilayah kota yang permukaan lahannya rendah dari
genangan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif berupa kerusakan
infrastruktur kota dan harta benda milik masyarakat.
32

b. Mengalirkan kelebihan air permukaan ke badan air terdekat secepatnya agar


tidak membanjiri/menggenangi kota.
c. Mengendalikan sebagian air permukaan akibat hujan yang dapat dimanfaatkan
untuk persediaan air dan kehidupan akuatik.
d. Meresapkan air permukaan untuk menjaga kelestarian air tanah.

Saluran drainase merupakan prasarana yang melekat dengan lingkungan


permukiman, yang gunanya untuk menjaga agar lingkungan tidak tergenang oleh
air hujan. Sistem drainase kota sering juga disebut sistem tulang daun, yaitu terdiri
dari saluran utama (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan
ke laut, saluran pengumpul (kolektor) dan saluran lokal.
Saluran utama terdiri dari sungai-sungai yang melewati kota, dan apabila
tidak ada sungai atau jumlahnya tidak mencukupi, maka harus dibuat kanal buatan
(yang biasanya hampir menyamai sungai) untuk membawa air hujan ke laut.
Saluran utama berfungsi melayani hampir seluruh bagian wilayah kota sehingga
kekurangan pada saluran ini akan berdampak sangat luas dari bagian wilayah kota
tersebut (Sinulingga, 1999).
Selanjutnya saluran pengumpul (colector drain) membawa air menuju
sungai (saluran utama), biasanya terdiri dari anak sungai atau saluran buatan
terbuka maupun tertutup. Saluran pengumpul tersebut melayani lingkungan
permukiman dan diameter salurannya tergantung pada jumlah kapasitas daya
tampung debit air hujan. Berdasarkan luasan kota, maka saluran pengumpul
dibagi menjadi dua macam, yaitu saluran pengumpul besar (saluran primer) yang
langsung menuju sungai dan saluran pengumpul kecil (saluran sekunder) yang
mengalirkan airnya menuju saluran pengumpul besar.
Saluran yang melayani lingkungan permukiman pada tiap-tiap persil ialah
saluran lokal yang dapat berbentuk terbuka ataupun tertutup. Untuk kawasan
perdagangan, disarankan untuk membuat saluran yang bersifat tertutup agar tidak
mengganggu pergerakan manusia yang cukup sibuk. Untuk merencanakan
dimensi masing-masing sistem saluran, diperlukan debit rencana banjir yang akan
terjadi, yang ditentukan oleh besarnya curah hujan, karakteristik daerah aliran
33

(topografi) dan koefisien aliran permukaan. Gambar 6 menunjukkan sistem


drainase di kawasan perkotaan.

Gambar 6. Sistem Drainase Perkotaan


Sumber : Soma (2011b)

Pada masa Orde Baru, yang ditandai dengan berlakunya Rencana


Pembangunan Lima Tahun I-II (Repelita I-II) pada tahun 1696–1979, maka
dibentuk Direktorat Teknik Penyehatan di Departemen PU. Penanganan drainase
pada masa tersebut, banyak difokuskan kepada bantuan teknis ke Pemerintah
Daerah antara lain penyiapan Outline Plan dan detail desain drainase. Bentuk
bantuan fisik difokuskan ke arah rehabilitasi saluran yang sifatnya darurat.
Selanjutnya pada Repelita III-IV mulai dilakukan penanganan drainase
yang cukup komprehensif melalui program-program P3KT (Program
Pembangunan Prasarana Kota Terpadu), sehingga dihasilkan keterpaduan
program dengan sektor-sektor lain terutama jalan kota, air limbah dan
persampahan. Namun ketika terjadi krisis moneter pada masa Repelita VI (1994–
1998) yang menekan keuangan pemerintah, kondisi fisik sarana dan prasarana
drainase sangat memprihatinkan terutama berkurangnya perhatian terhadap
pemeliharaan rutin berkala.
Seiring dengan makin langkanya air baku yang dibutuhkan untuk air
minum, paradigma baru penanganan drainase adalah mengendalikan kelebihan air
permukaan yang dapat dimanfaatkan untuk persediaan air baku dan kehidupan
34

akuatik dengan meresapkan air permukaan tersebut ke dalam tanah (konservasi


air). Pergesaran paradigma baru tersebut diberlakukan sejak Repelita V tahun
1989, dimana perencanaan drainase sebagai prasarana perkotaan didasarkan pada
konsep pembangunan berwawasan lingkungan (berkelanjutan). Pemanfaatan air
hujan dimaksudkan agar air lebih banyak meresap kedalam tanah (maximazing
percolation) dan tidak banyak terbuang sebagai aliran permukaan (minimazing
run-off), melalui bangunan resapan, kolam tandon, serta penataan lansekap dan
sengkedan (Soma, 2011b).
Penanganan drainase saat ini menunjukkan kinerja yang masih rendah
dibandingkan dengan sub program PLP (Penyehatan Lingkungan Permukiman)
lainnya misalnya persampahan dan air limbah. Selama Pelita VI, kinerja
penanganan drainase hanya mercapai 43.016 ha atau 49% luas genangan dari
sasaran sebanyak 89.485 ha. Saat ini, hanya 43% dari rumah tangga yang
mempunyai akses ke saluran drainase, sisanya 57% tidak mempunyai saluran
drainase, atau sistem drainase yang ada dalam keadaan tergenang atau alirannya
lambat dengan kapasitas aliran yang kurang memadai. Masalah sampah dan
kurangnya pemeliharaan saluran juga memperparah keadaan yang ada serta
mempercepat kerusakan saluran (Anonim, 2007).
Evaluasi ekonomi yang dilakukan Asian Development Bank (ADB) di
Indonesia tahun 1999, memperkirakan bahwa biaya sosial yang harus ditanggung
dari kondisi kesehatan lingkungan yang buruk di Indonesia melebihi 2,4% dari
GDP per tahun (Anonim, 2007). Kesehatan lingkungan yang buruk menyebabkan
biaya ekonomi yang lebih tinggi melalui perawatan kesehatan atau kehilangan
produktivitas kerja. Dampak sosial lainnya yang muncul adalah tingginya angka
kematian bayi dan pengaruh kehidupan keluarga karena hambatan kegiatan
pendidikan.

Persampahan
Menurut Tchobanoglous (1977 diacu dalam Soma, 2010), sampah
didefinisikan sebagai semua jenis bahan buangan baik yang berasal dari manusia
ataupun binatang yang biasanya berbentuk padat karena dianggap tidak berharga,
tidak bernilai dan tidak diinginkan lagi. Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM)
35

Universitas Indonesia (1989 diacu dalam Nalarsih, 2007) mengemukakan bahwa


pada prinsipnya yang digunakan mengenai batasan pengertian sampah adalah :
1. Adanya sesuatu bahan atau benda padat.
2. Adanya hubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan manusia.
3. Bahan atau benda yang sudah tidak disenangi.
4. Bahan atau benda yang dibuang dengan menggunakan cara-cara umum.

Menurut Ditjen Cipta Karya (1991), sampah diklasifikasi menjadi 12 jenis,


seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Sampah menurut Ditjen Cipta Karya
No Sampah Contohnya
1. Basah (garbage) Sisa makanan dan sayuran
2. Kering (rubbish) a. Sampah mudah terbakar; kayu, plastik, kain.
b. Sampah tidak mudah terbakar; logam, kaca,
keramik
3. Debu Debu (asbes, kapur, semen) dan abu
4. Berbahaya a. Patogen; dari rumah sakit atau klinik
b. Beracun; sisa pestisida
c. Radioaktif; nuklir
d. Mudah meledak; petasan dll.
5. Bulky Waste Mobil rusak, kulkas rusak, pohon tumbang.
6. Jalanan Daun, kertas pembungkus dll.
7. Binatang Mati Bangkai kucing, ayam, dll.
8. Bangunan Potongan kayu, genteng, bata, sisa adukan.
9. Industri Berasal dari kegiatan industri.
10. Khusus Surat rahasia negara, rahasia patent dari pabrik.
11. Kandang/rumah potong Sisa tulang, kulit, daging, kotoran hewan
hewan
12. Lumpur Lumpur selokan, septictank dll.
Sumber : PU-Ditjen Cipta Karya (1991)

Pengelolaan sampah di Indonesia menuai kendala dan tantangan semenjak


zaman orde baru hingga saat ini. Sejak diluncurkan Rencana Pembangunan Lima
Tahun Pertama (Repelita I) di tahun 1969, sistem sanitasi mulai diperhatikan
seperti persampahan dan air limbah. Puncak keberhasilan pembangunan subsektor
persampahan berdasarkan The World Bank Report (1992 diacu dalam Soma,
2010) terjadi menjelang tahun 1990, yakni dengan peningkatan cakupan rata-rata
pelayanan persampahan di perkotaan yang meningkat mencapai lebih dari 50%
dibanding pada Repelita I yakni hanya 15%.
36

Pencapaian layanan persampahan yang digalakkan oleh pemerintah pusat


maupun daerah diperhadapkan pada berbagai tantangan berat, khususnya ketika
Repelita terhenti yang ditandai dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada
tahun 1997. Data BPS (2000) dan Studi National Action Plan Bidang
Persampahan oleh Departemen PU (2004), menunjukkan bahwa tingkat pelayanan
persampahan kota menurun cukup tajam hingga mencapai angka 41% pada tahun
1997 (Soma, 2010). Sistem pengelolaannya menjadi permasalahan di kota besar,
berdasarkan data BPS tahun 2000, sebanyak 384 kota di Indonesia menimbulkan
sampah sebesar 80.235,87 ton/hari, sampah yang diangkut ke TPA sebesar 4,2%,
dibakar sebesar 37,6%, dibuang ke sungai 4,9% dan tidak tertangani sebesar
53,3% (Rachmawati, 2011).
Penurunan cakupan pelayanan persampahan pasca Orde Baru tersebut
didasarkan atas adanya kendala (Zulkifli, 2005 diacu dalam Soma, 2010) sebagai
berikut :
1. Tingginya pertumbuhan penduduk perkotaan yang tidak sebanding dengan
kuantitas dan kualitas pelayanan persampahan.
2. Minimnya dukungan keuangan negara yang diperkirakan hanya mampu
membiayai kurang dari 20% kebutuhan infrastruktur perkotaan (Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002)
3. Ketidaksesuaian penempatan sumberdaya manusia dalam melaksanakan
tugasnya berdasarkan kompetensi yang dimiliki.
4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang standar kebersihan dan kesehatan
serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan mahalnya pembiayaan
penanganan persampahan.
5. Pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia belum direncanakan dengan
konsep optimasi pengaturan ruang pelayanan secara spasial.

Tingkat pelayanan pengelolaan sampah meliputi kuantitas dan kualitas


pelayanan. Tingkat pelayanan terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu strategi pelayanan,
frekuensi pelayanan dan kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan.
37

1. Strategi pelayanan
Strategi pelayanan adalah mendahulukan pencapaian keseimbangan pelayanan
dilihat dari segi kepentingan sanitasi dan ekonomi, serta kuantitas pelayanan
maupun kualitas pelayanan.
2. Frekuensi pelayanan
Berdasarkan hasil penentuan skala prioritas daerah pelayanan di atas maka
frekuensi pelayanan dibagi dalan beberapa kondisi sebagai berikut :
a. Wilayah dengan pelayanan intensif yaitu wilayah pusat kota, jalan protokol,
taman/hutan kota, kawasan pemukiman tidak teratur dan perdagangan
termasuk pasar.
b. Wilayah dengan pelayanan menengah yaitu wilayah pemukiman teratur,
komplek pendidikan, perkantoran, komplek kesehatan dan industri.
c. Wilayah dengan pelayanan rendah yaitu wilayah pinggir kota.
3. Kriteria penentuan kualitas pengelolaan pelayanan.
Kriteria untuk menentukan pengelolaan pelayanan adalah sebagai berikut :
a. Penggunaan jenis peralatan
b. Sampah yang terisolasi dari lingkungan
c. Frekuensi pelayanan
d. Frekuensi penyapuan jalan
e. Estetika
f. Tipe kota
g. Variasi daerah pelayanan
h. Pendapatan dari retribusi sampah
i. Timbulan sampah musiman

Menurut Rahmadi (1995 diacu dalam Yudiyanto, 2007), teknik


operasional pengelolaan sampah dipengaruhi oleh karakteristik wilayah
pelayanan, besarnya timbulan sampah, keserasian pola operasi antara subsistem
penanganan sampah serta kondisi sosial ekonomi masyarakat. Teknik operasional
pengelolaan sampah perkotaan berdasarkan acuan SNI-19-2454-2002, terdiri dari
kegiatan pewadahan hingga pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu
38

dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Pada Gambar 7 disajikan


skema teknik operasional pengelolaan persampahan perkotaan.

Timbulan Pemilahan, Pewadahan dan


Sampah Pengolahan di Sumber

Pengumpulan

Pemindahan Pemilahan dan


Pengolahan

Pengangkutan

Pembuangan Akhir

Gambar 7. Teknik Operasional Sampah Perkotaan

Infrastruktur Sosial dan Ekonomi


Infrastruktur sosial dan ekonomi yang dimaksud ialah prasarana dalam
menunjang aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Prasarana sosial dapat meliputi
prasarana kesehatan, pendidikan, peribadatan, maupun kebudayaan dan rekreasi.
Sementara untuk infrastruktur ekonomi dapat melingkupi prasarana niaga dan
perdagangan. Standar kebutuhan pelayanan infrastruktur sosial ekonomi dapat
diacu berdasarkan SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan
Perumahan di Perkotaan.

Prasarana Kesehatan
Prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat
peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan
pertumbuhan penduduk. Penyediaan prasarana kesehatan didasarkan pada jumlah
penduduk yang akan dilayani.
Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-
2004 adalah sebagai berikut :
39

a. Posyandu yang berfungsi memberikan pelayanan kesehatan untuk anak-anak


usia balita;
b. Balai pengobatan warga yang berfungsi memberikan pelayanan kepada
penduduk dalam bidang kesehatan dengan titik berat terletak pada
penyembuhan (curative) tanpa perawatan, dan berobat pada waktu-waktu
tertentu juga untuk vaksinasi;
c. Balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA/Klinik Bersalin), yang berfungsi
melayani ibu baik sebelum, pada saat dan sesudah melahirkan serta melayani
anak usia sampai dengan 6 tahun;
d. Puskesmas dan balai pengobatan, yang berfungsi melayani kesehatan tingkat
pertama yang memberikan pelayanan kepada penduduk dalam penyembuhan
penyakit, selain melaksanakan program pemeliharaan kesehatan dan
pencegahan penyakit di wilayah kerjanya;
e. Puskesmas pembantu dan balai pengobatan, yang berfungsi sebagai unit
pelayanan kesehatan sederhana yang memberikan pelayanan kesehatan terbatas
dan membantu pelaksanaan kegiatan puskesmas dalam lingkup wilayah yang
lebih kecil;
f. Tempat praktek dokter, merupakan salah satu prasarana yang memberikan
pelayanan kesehatan secara individual dan lebih dititikberatkan pada usaha
penyembuhan tanpa perawatan; dan
g. Apotek, berfungsi untuk melayani penduduk dalam pengadaan obat-obatan,
baik untuk penyembuhan maupun pencegahan.

Pelayanan kesehatan melalui rumah sakit dan puskesmas serta pelayanan


kesehatan lainnya diharapkan dapat meningkatkan mutu kesehatan yang
menjangkau seluruh masyarakat untuk mewujudkan pembangunan kesehatan
yang merata. Pengembangan prasarana kesehatan, baik secara kuantitas maupun
kualitas, akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang
merupakan faktor input pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
(Wahyuni, 2009).
40

Prasarana Pendidikan
Dasar penyediaan prasarana pendidikan adalah untuk melayani setiap unit
administrasi pemerintahan baik yang informal (RT, RW) maupun yang formal
(Kelurahan, Kecamatan), dengan mempertimbangkan usia anak sekolah yang
akan dilayani. Selain itu dasar penyediaan prasarana pendidikan ini juga
mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok
lingkungan yang ada. Hal ini tentunya dapat terkait dengan bentuk grup
bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks lingkungannya.
Penempatan penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius
area layanan terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk
melayani pada area tertentu.
Perencanaan prasarana pendidikan harus didasarkan pada tujuan
pendidikan yang akan dicapai, dimana prasarana pendidikan dan pembelajaran ini
akan menyediakan ruang belajar harus memungkinkan siswa untuk dapat
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap secara optimal. Oleh
karena itu dalam merencanakan prasarana pendidikan harus memperhatikan:
a. Berapa jumlah anak yang memerlukan fasilitas ini pada area perencanaan;
b. Optimasi daya tampung dengan satu shift;
c. Efisiensi dan efektifitas kemungkinan pemakaian ruang belajar secara terpadu;
d. Pemakaian sarana dan prasarana pendukung;
e. Keserasian dan keselarasan dengan konteks setempat terutama dengan berbagai
jenis sarana lingkungan lainnya.

Prasarana Niaga dan Perdagangan


Prasarana niaga dan perdagangan tidak selalu berdiri sendiri dan terpisah
dengan bangunan prasarana yang lain. Dasar penyediaan selain berdasarkan
jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan
desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Hal ini terkait
dengan bentukan grup bangunan/blok yang nantinya terbentuk sesuai konteks
lingkungannya. Sementara untuk penempatan penyediaan fasilitas ini akan
mempertimbangkan jangkauan radius area layanan terkait dengan kebutuhan dasar
prasarana tersebut yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu.
41

Menurut skala pelayanan, penggolongan jenis prasarana niaga dan


perdagangan adalah:
a. Toko/warung (skala pelayanan unit RT ≈ 250 penduduk), yang menjual
barang-barang kebutuhan sehari-hari;
b. Pertokoan (skala pelayanan 6.000 penduduk), yang menjual barang-barang
kebutuhan sehari-hari yang lebih lengkap dan pelayanan jasa seperti wartel,
fotocopy, dan sebagainya;
c. Pusat pertokoan atau pasar lingkungan (skala pelayanan unit kelurahan ≈
30.000 penduduk), yang menjual keperluan sehari-hari termasuk sayur, daging,
ikan, buah-buahan, beras, tepung, bahan-bahan pakaian, barang-barang
kelontong, alat-alat pendidikan, alat-alat rumah tangga, serta pelayanan jasa
seperti warnet, wartel dan sebagainya;
d. Pusat perbelanjaan dan niaga (skala pelayanan unit kecamatan ≈ 120.000
penduduk), yang selain menjual kebutuhan sehari-hari, pakaian, barang
kelontong, elektronik, juga untuk pelayanan jasa perbengkelan, reparasi, unit-
unit produksi yang tidak menimbulkan polusi, tempat hiburan serta kegiatan
niaga lainnya seperti kantor-kantor, bank, industri kecil dan lain-lain.

Infrastruktur Hijau
Kota ramah lingkungan (eco-city) merupakan dasar pemikiran yang
mengacu pada prinsip-prinsip pengembangan kota yang seimbang dan
berkelanjutan. Misi utama eco-city untuk membangun kota-kota yang ekologis
dan seimbang dengan alam. Konsep tersebut menuntut adanya penataan ruang dan
perencanaan pembangunan infrastruktur yang mendukung keseimbangan dengan
alam dalam prinsip pembangunan berkelanjutan (Roseland, 1997). Dalam Ecocity
World Summit 2008 yang berlangsung di San Francisco, konsep kota ramah
lingkungan (eco-city) dirumuskan sebagai solusi atas pemanasan global,
urbanisasi dan semakin langkanya sumberdaya yang akan terjadi di masa
mendatang.
Konsep kota ramah lingkungan di negara-negara maju telah dikenal
dengan penataan infrastruktur berbasis lingkungan yang sehat atau disebut juga
dengan istilah infrastruktur hijau (green infrastructure). Konsep pembangunan
42

infrastruktur hijau mulai menjadi tren di negara-negara maju pada abad 21 ini,
dimana perencanaan konservasi menjadi salah satu tujuan utama pembangunan.
Di Indonesia, konsep tersebut saat ini diimplementasikan dengan mengelola
kawasan terbuka hijau (Herwirawan, 2009).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun
2007, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam. Jadi RTH dapat didefinisikan sebagai ruang-ruang
terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman,
dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang
dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut, diantaranya faktor kenyamanan,
keamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan.
Tujuan pembangunan RTH sebagai infrastruktur hijau di wilayah
perkotaan adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup perkotaan dan
menciptakan kota yang sehat, layak huni dan berkelanjutan. Sementara untuk
fungsi RTH meliputi konservasi tanah dan air, ameliorasi iklim, pengendali
pencemaran, konservasi habitat satwa dan plasma nutfah, sarana kesehatan dan
olahraga, sarana rekreasi dan wisata, sarana pendidikan dan penyuluhan, area
evakuasi bencana, pengendali tata ruang kota dan estetika kota (Joga dan Ismaun,
2011).
Kondisi RTH di kota-kota Indonesia belum dapat mencapai standar
minimum dalam penyediaannya yaitu sebesar 30% dari total luas wilayah kota.
RTH rata-rata di hampir kawasan perkotaan, baik dalam kategori kota
megapolitan ataupun kota kecil hanya 12,69%. Kota Jakarta sebagai kota
megapolitan dan pusat ibukota negara, hanya mampu menyediakan RTH 9,8%
(2011) yang masih jauh dari angka idealnya. Sementara di kota-kota besar lainnya
misalnya Yogyakarta hanya memiliki RTH 17,17%, Semarang 16,64%, Medan
15,89%, Makassar 11,23%, Bandung 10,58%, dan kota Surabaya yang memiliki
luasan RTH paling sedikit yaitu 9% (KemenPU, 2011 diacu dalam Joga, 2011).
Namun sebenarnya konsep green infrastructure memiliki arti yang lebih
luas dibandingkan dengan ruang terbuka hijau. Secara keseluruhan, infrastruktur
hijau adalah sistem jaringan holistik ekologis, yang terdiri dari satu set vegetasi
43

alami, danau dan daerah lain dengan nilai ekologis yang dikenal atau potensial
(yaitu hub) dan kemudian dihubungkan oleh koridor atau link (Chang et al.,
2012). Sebuah jaringan keseluruhan infrastruktur hijau dapat digunakan untuk
menginformasikan keputusan konservasi yang berhubungan dengan penggunaan
lahan, jika dua bagian utama dari hub dan link yang secara proaktif diidentifikasi,
direncanakan dan dikelola sebelum pengembangan terutama di kota, dimana
pertumbuhan kota telah mengubah bahkan mengurangi kualitas dan kuantitas
ruang hijau secara luas.
Menurut Benedict dan McMahon (2002) infrastruktur hijau merupakan
hubungan interkoneksi dari ruang terbuka yang melindungi fungsi dan nila-nilai
ekosistem alam dan memberikan keuntungan bagi makhluk hidup. Jadi
infrastruktur hijau merupakan kerangka dasar ekologi yang dibutuhkan untuk
keberlanjutan sistem lingkungan, sosial dan ekonomi, atau dapat dikatakan
sebagai sistem kehidupan alami yang berkelanjutan.
Green infrastructure terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site.
Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan
komponen ekosistem alam. Hubs terdiri dari berbagai bentuk dan ukuran seperti
daerah perlindungan, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links disisi
lain merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs tersebut. Links dapat
berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun
jaringan jalan. Green infrastructure juga dibekali dengan sites yang lebih kecil
dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian
penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site pada kenyataannya dapat berupa
taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman
maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Jaringan infrastruktur hijau
disajikan pada Gambar 8.
44

Gambar 8. Jaringan Infrastruktur Hijau


Sumber : Anonim (2010)

Kota-kota di Indonesia kini tengah mengalami degradasi lingkungan


menuju bunuh diri ekologis, akibat pembangunan kota yang lebih menekankan
dimensi ekonomi dari pada dimensi ekologis. Lingkungan alami dikonversi
menjadi lingkungan binaan tanpa mempertimbangkan aspek ekologis.
Pembangunan struktur fisik kota tumbuh lebih cepat dibadingkan dengan
pengembangan struktur alami kota yang kian mengalami kemunduran. Struktur
alami sebagai tulang punggung RTH harus dilihat sebagai aset, potensi dan
investasi kota jangka panjang yang memiliki nilai ekologis, sosial, ekonomi,
edukatif, evakuasi dan estetis. Bencana ekologis yang marak terjadi dewasa ini
seperti banjir, longsor, krisis air tanah, peningkatan suhu di wilayah perkotaan,
pemanasan bumi, serta perubahan iklim, pada umumnya disebabkan oleh dampak
pembangunan kota yang kurang mempertimbangkan aspek ekologis (Joga dan
Ismaun, 2011).
Kecenderungan perencanaan wilayah dengan menggunakan pendekatan
green infrastructure menurut Manuwoto (2011), didasarkan pada beberapa hal,
diantaranya adalah masalah fragmentasi lansekap dan pertumbuhan wilayah
kumuh, masalah sumberdaya air, perlindungan terhadap spesies langka, kesehatan
masyarakat, meningkatnya nilai jual hunian dan permukiman di kawasan sekitar
kawasan hijau, revitalisasi kawasan perkotaan yang menekankan kawasan alami
di dalam kota, smart growth policies, serta upaya pembangunan yang didasarkan
45

pada sustainability baik sosial, ekonomi maupun lingkungan. Perkembangan


infrastruktur hijau dapat menjadi solusi dari kompleksitas pembangunan ekonomi
yang semakin maju yang menuntut adanya pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan (Suhono, 2008).
Prinsip green infrastructure menurut Benedict dan McMahon (2002 diacu
dalam Manuwoto, 2011) yang dijadikan sebagai tolok ukur untuk
menggabungkan pendekatan infrastruktur hijau menjadi penggunaan lahan,
rencana pembangunan ekonomi dan kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Infrastruktur hijau harus berfungsi sebagai kerangka kerja untuk konservasi
dan pembangunan.
2. Desain dan rencana infrastruktur hijau sebelum pembangunan.
3. Linkage menjadi kunci antara wilayah ekologis maupun antara berbagai
lembaga
4. Infrastruktur hijau berfungsi di seluruh wilayah hukum dan pada skala yang
berbeda.
5. Infrastruktur hijau didasarkan pada ilmu yang tepat dan teori perencanaan
penggunaan lahan dan prakteknya.
6. Infrastruktur hijau adalah investasi publik yang sangat penting.
7. Infrastruktur hijau melibatkan mitra kunci serta melibatkan pemangku
kepentingan (stakeholders) yang beragam.

Undang-Undang No. 26 tahun 2007 telah diamanatkan tentang proporsi


luas RTH minimal 30% dari luas wilayah kota yang terdiri atas RTH Publik 20%
(dikelola oleh pemerintah daerah) dan RTH privat 10% (dimiliki masyarakat dan
swasta). Luas RTH minimal 30% bertujuan untuk menyeimbangkan ekosistem
kota, baik sistem hidrologi, klimatologi untuk menjamin udara bersih, maupun
sistem ekologis lainnya, termasuk menjaga keanekaragaman hayati dan
meningkatkan estetika kota. Undang-undang tersebut telah mengakomodasi
pembangunan kota yang tetap mempertimbangkan fungsi kelestarian lingkungan
(ekologis) atau pembangunan kota berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kota Ternate yang merupakan salah satu kota di


Propinsi Maluku Utara. Secara administratif, Kota Ternate berada pada 0°‐2° LU
dan 126°‐128° BT, yang terdiri dari 4 (empat) pulau berpenghuni yaitu Pulau
Ternate, Pulau Hiri, Pulau Moti dan Pulau Batangdua. Lokasi penelitian dibatasi
pada kawasan reklamasi pantai yang berada di Pulau Ternate. Kota Ternate
(khususnya Pulau Ternate) memiliki 2 kecamatan di pesisir timur dan selatan
yang tepat berada di kawasan waterfront, yaitu Kecamatan Kota Ternate Utara
dan Kecamatan Kota Ternate Tengah (Gambar 9). Luas wilayah Kota Ternate
adalah 5.795,40 km2 dan lebih didominasi oleh wilayah laut. Penelitian
dilaksanakan dari bulan April hingga bulan Oktober 2012.

Gambar 9. Lokasi Penelitian

Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi (1) RTRW dan RDTR
Kota Ternate, (2) Peta Digital Rupabumi Indonesia (RBI) dengan NLP 2516-64,
(3) Citra Satelit GeoEye tahun 2001 dan citra Quickbird tahun 2010, (4) Dokumen
Perencanan Infrastruktur Kementerian PU, (5) Data tabular BPS, (6) Data Potensi
47

Desa (PODES) dan (7) Kuesioner. Alat yang digunakan adalah perangkat
komputer berserta software Microsoft Office, Microsoft Exel, ArcGIS 9.3, Global
Position System (GPS), dan kamera digital.

Jenis dan Sumber Data


Data yang dibutuhkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui survei di kawasan waterfront, kuesioner dan wawancara terkait
dengan ketersediaan infrastruktur dan waterfront. Data sekunder dikumpulkan
dari instansi terkait diantaranya data tabular BPS, dokumen perencanaan
infrastruktur, peta dasar dan citra satelit, RTRW dan RDTR. Jenis data, sumber
data, teknik analisis, serta hasil yang akan dicapai disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Jenis Data, Sumber Data, Teknik Analisis dan Hasil
Tujuan Jenis Data Sumber Data Teknik Analisis Hasil
1. Pemetaan  Peta RBI  BAKOSURTANAL • SIG  Peta perubahan
perubahan spasial  Citra Satelit  Google Earth garis pantai di
kota  Peta Administrasi  BAPPEDA kawasan
waterfront
 Peta penggunaan
• Pengamatan • Primer lahan kawasan
Lapang waterfront
 Peta perubahan
penggunaan lahan
2. Analisis hierarki • Potensi Desa • BPS • Skalogram Hierarki wilayah
wilayah (PODES) berdasarkan jumlah
ketersediaan
infrastruktur
3. Pemetaan • Peta Tematik • PU • SIG Peta sebaran dan
ketersediaan Ketersediaan • Analisis ketersediaan
infrastruktur di Deskriptif infrastruktur di kota
infrastruktur
kota Ternate
• Batas Ternate
• BAPPEDA
Administrasi
• Kota Ternate • BPS
Dalam Angka
• PU, PDAM, PLN,
• Data Tabular Dinas Tata Kota
Infrastruktur
• SNI Infrastruktur
• Pengamatan
Lapang • Primer
4. Prediksi • Jumlah Penduduk • BPS • Regresi Prediksi Kebutuahn
Kebutuhan • SNI Infrastruktur • PU Linear Infrastruktur untuk
Infrastruktur perencanaan
Tahun 2032 infrastruktur
perkotaan hingga
tahun 2032
5. Penentuan arahan • kuesioner • AHP Persepsi stakeholder
strategi penataan untuk arahan
dan pengelolaan strategi penataan
infrastruktur di dan pengelolaan
kawasan infrastruktur
waterfront
48

Metode Analisis Data


Analisis Sistem Informasi Geografis (SIG)
Analisis Perubahan Garis Pantai
Pengembangan kawasan waterfront di pesisir timur dan selatan kota
Ternate menyebabkan terjadinya perubahan spasial kawasan pesisir. Salah satu
parameter yang dapat diukur adalah perubahan garis pantai karena adanya
rekayasa teknis reklamasi pantai untuk penambahan luas daratan. Penentuan
perubahan garis pantai dilakukan dengan cara tracking sepanjang garis pantai
dengan menggunakan GPS (Global Position System) dan pengolahan data citra
Quickbird dan GeoEye pada dua titik tahun (akuisisi citra tahun 2001 dan tahun
2010) dengan menggunakan tools Sistem Informasi Geografis (SIG).
Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi
geometri dengan sistem UTM (Universal Transverse Mercator) karena daerah
penelitian relatif kecil dan kedua, delineasi garis pantai secaran visual di kawasan
waterfront untuk memisahkan kawasan darat dan laut. Hasil pengolahan citra
tersebut kemudian ditumpang-susunkan atau overlay (data citra tahun 2001 dan
tahun 2010) untuk mendapatkan peta perubahan garis pantai. Selanjutnya analisis
SIG digunakan untuk pemetaan penggunaan lahan di kawasan waterfront.
Analisis menggunakan citra Quickbird tahun 2010 dengan cara digitasi secara
visual. Hasil analisis berupa peta kondisi eksisting penggunaan lahan kawasan
waterfront.

Analisis Perubahan Penggunaan Lahan


Analisis penggunaan lahan dalam dua titik tahun (tahun 2004 dan tahun
2010) dilakukan untuk membandingkan penggunaan lahan sebelum dan sesudah
pengembangan kawasan waterfront. Analisis ini menggunakan data citra satelit
dengan resolusi tinggi yaitu citra Quickbird dan citra GeoEye. Analisis citra
dilakukan dengan menggunakan alat analisis Sistem Informasi Geografis (SIG).
Pengolahan data citra dilakukan dalam 2 tahapan, yaitu pertama, koreksi geometri
meliputi penyiapan data dengan pengambilan titik kontrol di bumi antara citra
dengan peta; penentuan titik kontrol dilakukan dengan sistem UTM (Universal
Transverse Mercator) dan kedua, digitasi visual yang didasarkan pada
warna/rona, tekstur, bentuk, ukuran, pola, bayangan dan asosiasi spasial. Citra
49

resolusi tinggi memiliki kenampakan visual yang dapat membedakan antara objek
satu dengan objek lainnya sehingga memudahkan dalam interpretasi tutupan
lahan. Klasifikasi penggunaan lahan ditetapkan menjadi 2 kelompok, yaitu lahan
terbangun (permukiman, jasa dan perdagangan, dan kawasan industri) dan lahan
tidak terbangun (hutan, perkebunan, pertanian lahan kering, taman dan tubuh air).
Analisis deteksi perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara
tumpang susun (overlay) peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010.
Hasil analisis berupa peta perubahan penggunaan lahan. Selanjutnya data atribut
dari peta tersebut digunakan untuk analisis perubahan luas penggunaan lahan
dengan menggunakan matriks transisi.

Analisis Sebaran dan Ketersediaan Infrastruktur


Analisis SIG juga digunakan untuk menganalisis sebaran dan ketersediaan
infrastruktur di kota Ternate. Penentuan sebaran dan ketersediaan infrastruktur
dilakukan dengan cara on screen digitizer dan hasilnya berupa peta eksisting
sebaran dan ketersediaan infrastruktur masing-masing unit kecamatan. Peta
tersebut dimanfaatkan untuk mengidentifikasi radius pelayanan infrastruktur
dalam hal akses pencapaian. Gambar 10 menunjukkan bagan alir penelitian
dengan menggunakan analisis Sistem Informasi Geografis (SIG).

Citra Satelit
 GeoEye tahun 2004
 Quickbird tahun 2010
Citra Satelit
 GeoEye tahun 2001 • Peta Administrasi
Survei • Citra Quickbird
 Quickbird tahun 2010 Lapang 2010
• Peta Tematik
Survei Infrastruktur
Lapang
Sistem Informasi Geografis
(SIG)

 Peta Perubahan  Peta Perubahan Peta Eksisting


Garis Pantai Penggunaan Lahan Ketersediaan Infrastruktur
 Peta Penggunaan Lahan
Kawasan waterfront

Gambar 10. Bagan Alir Penelitian


50

Analisis Hierarki Wilayah dengan Skalogram

Salah satu cara untuk mengukur hierarki wilayah secara cepat dan mudah
adalah menggunakan metode skalogram. Pada prinsipnya suatu wilayah yang
berkembang secara ekonomi dicirikan oleh jumlah ketersediaan sarana dan
prasarana serta tingkat aksesibilitas masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya
yang ada. Asumsi yang digunakan adalah bahwa wilayah yang memiliki rangking
tertinggi adalah lokasi yang dapat menjadi pusat pelayanan. Berdasarkan analisis
ini dapat ditentukan prioritas pengadaan infrastruktur atau sarana dan prasarana di
setiap unit wilayah yang dianalisis dan tingkat perkembangan wilayahnya.
Data yang digunakan dalam metode skalogram meliputi data umum
wilayah, aksesibilitas ke pusat pelayanan, keadaan perekonomian wilayah yang
ditunjukkan oleh aktifitas masyarakat yang ada di wilayah tersebut, dan data
tentang fasilitas umum yang meliputi data jumlah fasilitas pendidikan, kesehatan,
peribadatan, komunikasi dan jenis data penunjang lainnya.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini merupakan variabel-variabel
yang telah dimodifikasi dengan mempertimbangkan tujuan penelitian yang
berkaitan dengan infrastruktur dan waterfront city. Beberapa variabel yang
digunakan adalah variabel yang bersumber dari hasil penelitian Gustiani (2005),
yang sebelumnya menggunakan 33 variabel (variabel aksesibilitas dan variabel
infrastruktur sosial ekonomi) untuk menentukan hierarki wilayah pesisir. Variabel
yang digunakan dalam metode skalogram disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah
No Variabel
1. Jumlah penduduk
2. Luas desa/kelurahan
3. Jarak dari desa ke ibukota kecamatan
4. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kecamatan
5. Jarak dari desa ke ibukota kabupaten
6. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten
7. Jarak dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat
8. Waktu tempuh dari desa ke ibukota kabupaten/kota lain terdekat
9. Jumlah TK
10. Jumlah SD
11. Jumlah SLTP
12. Jumlah SMU/SMK
13. Jumlah Perguruan Tinggi (PT)
14. Jumlah Rumah Sakit Umum
51

Tabel 4. Variabel Untuk Analisis Hierarki Wilayah (Lanjutan)


No Variabel
15. Jumlah Rumah Sakit Bersalin
16. Jumlah Puskesmas
17. Jumlah Tempat Praktek Dokter
18. Jumlah Apotek
19. Jumlah Terminal Penumpang Kendaraana Bermotor Roda 4 atau Lebih
20. Jumlah Wartel/Kiospon/Warpostel/Warparpostel
21. Jumlah Kios Sarana Produksi Pertanian
22. Jumlah industri UKM
23. Jumlah Supermarket/ pasar swalayan/toserba/ minimarket
24. Jumlah Restoran/rumah makan
25. Jumlah Toko/Warung kelontong
26. Jumlah Hotel
27. Jumlah Bank Umum (Kantor Pusat/Cabang/Capem)
28. Jumlah Bank Perkreditan Rakyat
29. Jumlah Koperasi
30. Jumlah KUD
31. Jumlah Koperasi Simpan Pinjam
32. Jumlah Koperasi Non KUD lainnya
33. Jumlah Keluarga yang menggunakan listrik PLN
34. Jumlah Keluarga yang menggunakan air bersih PDAM
35. Jumlah Sarana Ibadah

Selanjutnya terhadap masing-masing data atau variabel dilakukan


pembobotan dan standarisasi. Struktur pusat pelayanan dalam wilayah dinilai
berdasarkan indeks perkembangan wilayah tersebut. Setiap wilayah diurutkan
hierarkinya berdasarkan akumulasi dari prasarana yang ada di wilayah tersebut
setelah dilakukan pembobotan dan standarisasi. Wilayah dengan tingkat hierarki
yang terbesar merupakan wilayah yang memiliki ketersediaan prasarana
terlengkap, demikian seterusnya hingga urutan hierarki terkecil atau merupakan
pusat pelayanan bagi wilayah yang hierarki wilayahnya lebih rendah. Urutan
hierarki yang diperoleh kemudian dikelompokan lagi menurut selang hierarki.
Nilai indeks perkembangan (IP) masing-masing unit kelurahan/desa
selanjutnya dikelompokan lagi untuk menentukan hierarki kelurahan/desa yaitu
hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2 dan hierarki 3 (hinterland). Penentuan
pengelompokan menggunakan selang hierarki berdasarkan nilai standar deviasi IP
dan nilai rataan dari IP. Hierarki 1 adalah nilai rata-rata ditambah dengan standar
deviasi, hierarki 2 adalah nilai yang berada diantara nilai hierarki 1 dan 3,
sedangkan hierarki 3 adalah nilai rata-rata standar deviasi.
52

Analisis Ketersediaan Infrastruktur


Identifikasi ketersediaan infrastruktur menggunakan data tabular,
kemudian dibandingkan dengan standar/pedoman kebutuhan infrastruktur
berdasarkan ketetapan dari Kementrian Pekerjaan Umum. Jumlah penduduk dan
akses pencapaian digunakan sebagai parameter untuk perhitungan ratio jumlah
dan sebaran infrastruktur dengan kebutuhan masyarakat pada masing-masing
kecamatan. Data yang digunakan merupakan data tabular ketersediaan
infrastruktur eksisting (tahun 2010 atau 2011). Hasil analisis diinterpretasikan
sebagai kondisi ketersediaan infrastruktur fisik, infrastruktur sosial dan ekonomi
dan infrastruktur hijau sesudah pengembangan kawasan waterfront.
Infrastruktur Fisik
a. Jaringan Jalan
Infrastruktur jalan memiliki peran penting sebagai media pergerakan
manusia maupun kendaraan dari satu tempat ke tempat lainnya, serta sebagai
akses pelayanan. Jalan perkotaan dapat diklasifikasikan berdasarkan fungsinya,
yaitu jalan arteri, jalan kolektor dan jalan lokal/lingkungan sebagaimana termuat
dalam Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan
No.010/T/BNKT/1990.
Tabel 5. Klasifikasi Jalan Perkotaan
Sistem Dimensi dari Elemen-Elemen Jalan
Kendaraan yang
Jaringan Jalan Jalur Bahu Trotoar Separator Median
diizinkan
Perkotaan (m) (m) (m) (m) (m)
Mobil, motor,
kendaraan
Arteri Primer 6.0-7.0 1.0 2.0 1.5 2.5 umum bus,
angkutan barang
berat
Mobil, motor,
Kolektor
5.0-6.0 1.0 1.5 1.0 1.5 bus, angkutan
Primer
barang berat
Mobil, motor,
Lokal Primer 4.5-5.0 0.7 1.5 - - bus, kendaraan
angkutan barang
Mobil, motor,
Arteri
6.0-7.0 1.0 2.0 1.0 2.0 bus, angkutan
Sekunder
barang ringan,
Kolektor Mobil, motor,
5.0-6.5 1.0 2.0 1.0 1.5
Sekunder bus
Lokal
3.0-4.5 0.5 2.0 - - Mobil, motor,
Sekunder
Sumber : Panduan Klasifikasi Jalan Perkotaan No.010/T/BNKT/1990 (diolah)
53

Evaluasi ketersediaan jaringan jalan di Kota Ternate dianalisis dengan data


jalan dalam deret waktu (time series) untuk mengetahui tingkat perkembangan
jaringan jalan yang ada. Selain itu parameter kerapatan jalan juga dianalisis guna
mengidentifikasi kecamatan-kecamatan mana yang memiliki tingkat kerapatan
jalan tinggi dalam penyediaan infrastruktur jalan. Kondisi eksisting ketersediaan
jalan saat ini dibandingkan dengan pedoman pada Tabel 5, untuk menunjukkan
kesesuaian kondisi jaringan jalan berdasarkan standar/pedoman tersebut.

b. Jaringan Listrik
Penyediaan infrastruktur jaringan listrik perkotaan meliputi pembangkit,
gardu dan jaringan kabel. Umumnya setiap kota memiliki pembangkit sebagai
sumberdaya listrik misalnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU) maupun Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Penelitian ini difokuskan untuk evaluasi distribusi daya listrik yang disebarkan
melalui gardu listrik yaitu: gardu tiang/portal, gardu tembok/beton, gardu cantol
atau gardu kios, dan jaringan kabel yang ada di Kota Ternate. Analisis deskriptif
dilakukan untuk menggambarkan sarana dan prasarana listrik di Kota Ternate.
Analisis ini bertujuan untuk mengidentifikasi cakupan pelayanan (jumlah
pelanggan/penduduk yang terlayani) jaringan listrik berdasarkan SNI 03-1733-
2004. Data yang digunakan meliputi data tabular dalam deret waktu (time series),
sehingga dapat mengetahui perkembangan cakupan pelayanan jaringan listrik
sesudah pengembangan kawasan waterfront.
Jenis-jenis elemen perencanaan pada jaringan listrik yang harus disediakan
pada lingkungan perumahan di perkotaan adalah:
a) kebutuhan daya listrik; dan
b) jaringan listrik.

Beberapa persyaratan, kriteria dan kebutuhan sarana dan prasarana listrik


yang harus dipenuhi berdasarkan SNI 03-1733-2004 adalah:
a) Penyediaan kebutuhan daya listrik
1) Setiap lingkungan perumahan harus mendapatkan daya listrik dari PLN
atau dari sumber lain; dan
54

2) Setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450
VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlah
kebutuhan rumah tangga.
b) Penyediaan jaringan listrik
1) Penyediaan jaringan listrik lingkungan mengikuti hierarki pelayanan,
dimana besar pasokannya telah diprediksikan berdasarkan jumlah unit
hunian yang mengisi blok siap bangun;
2) Penyediaan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada
area damija (daerah milik jalan) pada sisi jalur hijau yang tidak
menghalangi sirkulasi pejalan kaki di trotoar;
3) Penyediaan gardu listrik untuk setiap 200 KVA daya listrik ditempatkan
pada lahan yang bebas dari kegiatan umum;
4) Penerangan jalan yang disyaratkan memiliki kuat penerangan 500 lux
dengan tinggi >5 meter dari muka tanah;
5) Daerah di bawah tegangan tinggi sebaiknya tidak dimanfaatkan untuk
tempat tinggal atau kegiatan lain yang bersifat permanen karena akan
membahayakan keselamatan.

c. Air Bersih
Data lokasi sumber air bersih diambil dengan menggunakan alat Global
Positioning System (GPS), wawancara dan observasi. Analisis deskriptif
digunakan untuk identifikasi ketersediaan pelayanan instalasi air bersih pada
sarana publik misalnya pasar, pertokoan/mall, dan mesjid maupun terhadap
kebutuhan untuk rumah penduduk. Hasil analisis dibandingkan dengan SNI-03-
1733-2004 dan standar kebutuhan air bersih dari PDAM sebagai bahan acuan
(Tabel 6).
55

Tabel 6. Kebutuhan Air Domestik dan Non Domestik Perkotaan


Jenis Sarana Kebutuhan
Rumah Tangga 100 lt/org/hari
Sekolah 10 1t/murid/hari
Rumah sakit 200 lt/tempat tidur/hari
Puskesmas 2 m3/hari
Mesjid 2 m3/hari
Kantor 10 1t/pegawai/hari
Pasar 12 m3/ha/hari
Hotel 150 1t/tempat tidur/hari
Rumah makan 100 1t/tempat duduk/hari
Kompleks militer 60 1t/orang/hari
Kawasan industri 0,2-0,8 lt/dt/ha
Kawasan pariwisata 0,1-0,3 lt/dt/ha
Sumber : PDAM Kota Ternate (2007)

d. Drainase
Sistem drainase merupakan rangkaian bangunan air yang berfungsi untuk
mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan,
sehingga fungsi kawasan/lahan tersebut tidak terganggu. Analisis ketersediaan
sistem drainase perkotaan dilakukan dengan identifikasi jenis saluran yang
terlayani pada masing-masing kecamatan. Hasil analisis data di lapang
dikomparasikan dengan SNI 02-2406-1991 tentang Tata Cara Perencanaan Umum
Drainase Pekotaan (Tabel 7) dan Petunjuk Desain Drainase Permukaan Jalan
No.008/T/BNKT/1990.
Tabel 7. Bagian Jaringan Drainase
Jenis Sarana Prasarana
Badan Penerima Air Sumber air di permukaan tanah (laut, sungai, danau)
Sumber air di bawah permukaan tanah (air tanah akuifer)
Bangunan pelengkap Pertemuan saluran
Bangunan terjun
Jembatan
Street inlet
Pompa
Pintu air
Sumber : SNI 02-2406-1991

e. Sampah
Pengelolaan sampah menurut Tchobanoglous (1997 diacu dalam Soma,
2010) dapat dikelompokan kedalam 6 (enam) elemen terpisah yaitu :
56

1. Pengendalian bangkitan (control of generation)


2. Penyimpanan (storage)
3. Pengumpulan (collection)
4. Pemindahan dan pengangkutan (transfer and transport)
5. Pemrosesan (processing)
6. Pembuangan (disposal)

Keterkaitan antar elemen-elemen tersebut sangat menentukan keberhasilan


dalam pengelolaan sampah. Untuk mewujudkan efisiensi dalam pengelolaan
sampah, maka setiap elemen harus dikelola secara optimal dengan tetap
mempertimbangkan faktor kendala misalnya teknologi, biaya, pendidikan maupun
perilaku masyarakat (Soma, 2010). Identifikasi sistem pengelolaan sampah dalam
penelitian ini meliputi perilaku pembuangan sampah, timbulan sampah (sumber
dan tipe sampah), pewadahan sampah, frekuensi pelayanan kebersihan
(pengumpulan), proses pemindahan dan pengangkutan sampah, serta pembuangan
akhir (TPA). Analisis deskriptif digunakan untuk meninjau sistem persampahan
rumah tangga dalam unit masing-masing kecamatan. Pedoman standar yang
digunakan sebagai acuan adalah SNI 19-2454-2002 tentang Tata Cara Teknik
Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan dan SNI 19-3983-1995 tentang
Spesifikasi Timbulan Sampah Untuk Kota Kecil dan Sedang di Indonesia (Tabel
8).
Tabel 8. Besaran Timbulan Sampah Berdasarkan Komponen-Komponen Sumber
Sampah
Komponen Sumber Sampah Satuan Volume (liter) Berat (kg)
Rumah permanen per org/hari 2,25 - 2,50 0,350 - 0,400
Rumah semi permanen per org/hari 2,00 - 2,25 0,300 - 0,350
Rumah non permanen per org/hari 1,75 - 2,00 0,250 - 0,300
Kantor per pegawai/hari 0,50 - 0,75 0,025 - 0,100
Toko/ruko per petugas/hari 2,50 - 3,00 0,150 - 0,350
Sekolah per murud/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,020
Jalan arteri sekunder per meter/hari 0,10 - 0,15 0,020 - 0,100
Jalan kolekter sekunder per meter/hari 0,10 - 0,15 0,010 - 0,050
Jalan lokal per meter/hari 0,05 - 0,10 0,005 - 0,025
Pasar per meter2/hari 0,20 - 0,60 0,100 - 0,300
Sumber: SNI 19-3983-1995
57

Infrastruktur Sosial dan Ekonomi


Penyediaan infrastruktur sosial dan ekonomi berdasarkan jumlah
penduduk terlayani, radius area layanan terkait dengan kebutuhan pelayanan yang
harus dipenuhi. Standar kebutuhan dan pelayanan sarana dan prasarana sosial dan
ekonomi mengacu pada SNI-03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan
Lingkungan Perumahan di Perkotaan (Tabel 9). Analisis deskriptif digunakan
untuk evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi dengan cara
tabulasi, perhitungan dan penyajian dalam bentuk angka.
Tabel 9. Kebutuhan Sarana dan Prasarana Sosial dan Ekonomi
Kebutuhan per
Kriteria
Jumlah satuan sarana
Jenis Sarana & Penduduk Luas Luas Standar
Prasarana Pendukung Lantai Lahan (m2/jiwa) Radius Lokasi dan
(jiwa) Min. Min. (m’) Penyelesaian
(m2) (m2)
Pertokoan 6.000 1.200 3.000 0,5 2.000 Di pusat kegiatan sub
lingkungan. KDB
40% dapat berbentuk
P&D
Pusat Pertokoan 30.000 13.500 10.000 0,33 Dapat dijangkau
+ Pasar dengan kendaraan
Lingkungan umum
Pusat 120.000 36.000 36.000 0,3 Terletak di jalan
Perbelanjaan utama, termasuk
dan Niaga (toko sarana parkir sesuai
+ pasar + bank ketentuan setempat
+ kantor)
Mesjid 120.000 3.600 5.400 0,03 Berdekatan dengan
(Kecamatan) pusat lingkungan/
kelurahan.
Sebagian sarana
berlantai 2, KDB 40%

Gedung 120.000 1.500 3.000 0,025 100 Dapat dijangkau


Serbaguna dengan kendaraan
umum
Gedung 120.000 1.000 2.000 0,017 100 Terletak di jalan
Bioskop utama, dapat
merupakan bagian
dari pusat
perbelanjaan
Terminal 120.000 2.000 jarak jangkauan
wilayah (tiap pejalan kaki ideal
kecamatan) ke titik transit lain
/daerah tujuan = 400m
Sumber: SNI 03-1733-2004 (diolah)
58

Infrastruktur Hijau
Infrastruktur hijau (green infrastructure) merupakan konsep
pengembangan kota ekologis (eco-city) atau seimbang dengan alam dan
berkelanjutan. Pendekatan konsep infrastruktur hijau menurut Jongman dan
Pungetti (2004 diacu dalam Herwirawan, 2009) adalah hubungan multi fungsi
antar kawasan terbuka termasuk taman, kebun, areal tanaman hutan, koridor hijau,
saluran air, pohon-pohon di sepanjang jalan, dan daerah terbuka lainnya serta
kondisi fisik lingkungan di pedesaan maupun perkotaan. Dalam penelitian ini,
analisis kapasitas pemenuhan infrastruktur hijau dimaksudkan untuk evaluasi
karakteristik dan standar penyediaan kebutuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di
Kota Ternate.
Berdasarkan Undang-Undang No.26 Tahun 2007, Ruang Terbuka Hijau
(RTH) adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah
maupun sengaja ditanam. Ketentuan UU No. 26/2007 menyatakan bahwa
penyediaan RTH 30%, terdiri dari RTH publik di kawasan perkotaan minimal
20% dan RTH privat minimal 10% dari luas wilayah kota. Dalam kasus ini,
kondisi eksisting ketersediaan RTH tiap kecamatan di Kota Ternate (kecamatan-
kecamatan yang berada di pusat kota) dikomparasikan dengan ketentuan UU
No.26/2007 dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan (Tabel 10).
Tabel 10. Fungsi dan Penerapan RTH Berdasarkan Tipologi Kawasan Perkotaan
Tipologi Kawasan Karakteristik RTH
Perkotaan Fungsi Utama Penerapan Kebutuhan RTH
Pantai  Pengaman wilayah pantai  Berdasarkan luas wilayah
 Sosial budaya  Berdasarkan fungsi tertentu
 Mitigasi bencana
Pegunungan  Konservasi tanah  Berdasarkan luas wilayah
 Konservasi air  Berdasarkan fungsi tertentu
 Keanekaragaman hayati
Rawan Bencana  Mitigasi/evakuasi bencana  Berdasarkan fungsi tertentu
Berpenduduk jarang  Dasar perencanaan kawasan  Berdasarkan fungsi tertentu
sampai sedang  Sosial  Berdasarkan jumlah penduduk
Berpenduduk padat  Ekologis  Berdasarkan fungsi tertentu
 Sosial  Berdasarkan jumlah penduduk
 Hidrologis
Sumber : PERMEN PU No.05/PRT/M/2008
59

Analisis Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2032

Prediksi kebutuhan infrastruktur dimaksudkan untuk membantu


merencanakan sistem penyediaan infrastruktur di masa mendatang. Analisis
prediksi kebutuhan infrastruktur diantaranya adalah air bersih, listrik, sampah,
sarana kesehatan serta niaga dan perdagangan. Analisis ini menggunakan
parameter jumlah penduduk dalam 20 tahun kedepan (hingga tahun 2032) untuk
menentukan besarnya kebutuhan infrastruktur yang harus disediakan di suatu
wilayah.
Metode proyeksi penduduk dapat dibagi atas proyeksi secara global,
proyeksi secara kategorik dan proyeksi menurut lokasi (distribusi menurut lokasi
(Tarigan, 2006). Dalam studi kasus ini, metode yang digunakan adalah proyeksi
global dimana semua penduduk dianggap memiliki karakteristik yang sama
(hanya jumlah penduduk yang diproyeksi). Proyeksi secara global menggunakan
metode regresi linear dengan persamaan sebagai berikut :

Linear Regression
a dan b dapat dihitung :

Y = a + bX

Pt = a + bX b

Dimana:
Pt = Penduduk pada tahun t
a = Konstanta
b = Arah garis
X = variabel independen (jumlah penduduk)

Analisis Persepsi Stakeholders dengan Analitycal Hierarchy Process (AHP)

Setelah pengembangan kawasan waterfront masih menyisahkan beberapa


permasalahan dalam penataan maupun pengelolaan infrastruktur. Untuk dapat
menangani permasalahan tersebut, maka diperlukan integrasi antara stakeholder
untuk dapat merumuskan kebijakan dalam penataan dan pengelolaan infrastruktur
di kawasan waterfront. Stakeholder yang dipilih terkait langsung dengan bidang
infrastruktur, diantaranya adalah instansi pemerintah (BAPPEDA Kota Ternate,
60

Dinas Tata Kota, dan Dinas PU), pihak swasta (konsultan perencana dan
kontraktor) dan akademis dengan jumlah responden sebanyak 11 responden.
Metode Analitycal Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk analisis
persepsi stakeholders terkait dengan permasalahan dalam ketersediaan
infrastruktur di kawasan waterfront. Prinsip kerja AHP ialah menyederhanakan
suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta
menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi
nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif
dibandingkan dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan
kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas
tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin,
2000 diacu dalam Faizu, 2011).
Hal-hal yang diperhatikan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam
AHP adalah dekomposisi, komparatif judgement, sintesis prioritas dan konsistensi
logika. Adapun tahapan pendekatan AHP diuraikan dibawah ini.
a. Identifikasi Sistem
Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang
mempengaruhi permasalahan dan memerlukan variabel yang berpengaruh dan
solusi yang diinginkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, bahwa metoda
AHP digunakan untuk mendapatkan solusi dalam permasalahan terkait dengan
infrastruktur di kawasan waterfront. Untuk itu pertanyaan diajukan dalam
pendekatan 3 (tiga) kelompok infrastruktur yaitu infrastruktur fisik, infrastruktur
sosial dan ekonomi, dan infrastruktur hijau.
b. Penyusunan Sistem Hierarki
Penyusunan struktur hierarki diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan sub-sub tujuan kriteria dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkat
kriteria paling bawah (Gambar 11).
c. Pembuatan Matriks Perbandingan Berpasangan
Matriks perbandingan berpasangan menggambarkan pengaruh relatif atau
pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria/kepentingan
setingkat diatasnya. Perbandingan berdasarkan persepsi responden dengan menilai
tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.
61

Penilaian dilakukan dengan pembobotan masing-masing komponen dengan


perbandingan berpasangan dimulai dari level tertinggi sampai pada level terendah.
Pembobotan dilakukan berdasarkan persepsi responden dengan skala komparasi
1-9 (Saaty, 1991 diacu dalam Faizu, 2011). Nilai komparasi digunakan untuk
mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif.
62

Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur


Tingkat 1: Kawasan Waterfront
Fokus

Tingkat 2 :
Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau
Aspek

Tingkat 3: Jaringan Pelayanan Jaringan Saluran Sampah Pasar Pertokoan/ Mesjid Terminal Taman Lapangan
Sub Aspek Jalan Air Bersih Listrik Drainase Tradisional Mall Angkutan Kota Olahraga

Tingkat 4: Perbaikan Saluran Penataan Jalur Pengelolaan Penataan Revitalisasi kawasan Penataan Lansekap Penataan Lansekap
Alternatif Drainase Pedestrian Sampah Terpadu Kawasan PKL Pasar Tradisional Taman Kota Kawasan
“Dodoku-Ali” Gelanggang Remaja

Gambar 11. Struktur Hierarki AHP

62
63

1) Perhitungan Matriks Pendapat Individu


Formulasi matriks individu, sebagai berikut :
C1 C2 .... Cn
C1 1 a12 .... a1n
A = (aij) = C2 1/a12 1 .... a2n
.... .... .... .... ....
Cn 1/a1n 1/a2n ....

dimana :
C1, C2, ....., Cn = set elemen pada satu tingkat keputusan dalam hierarki.
Kuantifikasi pendapat dari hasil yang mencerminkan
nilai kepentingan Ci terhadap Cj

2) Perhitung Matriks Pendapat Gabungan


Matriks pendapat gabungan merupakan matriks baru yang elemen-
elemennya ( ∑ij ) berasal dari rata-rata geometrik elemen matrik pendapat individu
yang nilai rasio konsistensinya (CR) memenuhi syarat. Tujuan dari penyusunan
matriks pendapat gabungan ini adalah untuk membentuk suatu matriks yang
mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. Matriks ini selanjutnya
digunakan untuk mengukur tingkat konsistensi serta prioritas dari elemen-elemen
hierarki yang mewakili semua responden. Pendapat gabungan ini menggunakan
formula sebagai berikut ;

√∏

dimana :
gij = elemen matriks pendapat gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
aij = elemen matriks pendapat individu pada baris ke-i kolom ke-j
k = 1,2, .....m. dan m = jumlah responden
64

3) Pengolahan Vertikal
Pada penyusunan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki
keputusan tertentu terhadap sasaran utama dilakukan pengolahan vertikal. Bila
CVij merupakan nilai prioritas pengaruh elemen ke-i pada tingkat ke-j terhadap
sasaran utama, maka :

Untuk, i = 1,2,3,......p j = 1,2,3,.........r dan t = 1,2,3..........s

Dimana :
Cvij = nilai prioritas pengaruh ke-i pada tingkat ke-j terhadap sasaran
utama
Chij (t,i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-j pada tingkat ke-i terhadap
elemen ke-t pada tingkat diatasnya (i=1)
VWt(i – 1) = nilai prioritas pengaruh elemen ke-t pada tingkat ke (i-1)
terhadap sasaran utama
p = jumlah tingkat hierarki keputusan
r = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke-i ke (i-1)
s = jumlah elemen yang ada pada tingkat ke (i-1)

4) Revisi Pendapat
Revisi pendapat dilakukan apabila nilai konsistensi ratio (CR) pendapat
cukup tinggi (>0,1) dengan mencari deviasi RMS (Root Mean Square) dari baris-
baris (aij) dan perbandingan nilai bobot kolom (Wi/Wj) dan merevisi pendapat
pada baris yang mempunyai nilai terbesar, dengan persamaan :

∑( ⁄ )

Catatan dari beberapa ahli bahwa jika jumlah revisi terlalu besar,
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Oleh karena itu penggunaan revisi ini
sangat terbatas sekali mengingat akan terjadi penyimpangan dari jawaban.
65

GAMBARAN UMUM KOTA TERNATE


Letak Geografis dan Batas Administratif
Lokasi penelitian berada di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara dengan
letak geografis pada 0°-2° Lintang Utara dan 126°-128° Bujur Timur. Batas
administrasinya adalah sebagai berikut :
 Sebelah utara berbatasan dengan Laut Maluku,
 Sebelah timur berbatasan dengan Selat Halmahera,
 Sebelah selatan berbatasan dengan Laut Maluku, dan
 Sebelah barat berbatasan dengan Laut Maluku.

Secara administratif, kota Ternate terdiri dari kawasan kepulauan dengan


luas daratan sebesar 250,85 km², sementara luas lautannya 5.547,55 km², dan
terbagi dalam 7 kecamatan, 77 kelurahan/desa dengan klasifikasi 56
kelurahan/desa pesisir dan 21 kelurahan/desa bukan pesisir. Tabel 11
menunjukkan wilayah administrasi Kota Ternate.
Tabel 11. Wilayah Administrasi Kota Ternate
Luas Daratan Jumlah Jumlah
Kecamatan
(km2) Desa Pesisir Desa Bukan Pesisir
Pulau Ternate 65,88 12 1
Moti 24,60 6 -
Pulau Batang Dua 101,05 6 -
Pulau Hiri 6,70 6 -
Ternate Selatan 19,44 11 6
Ternate Tengah 18,52 4 11
Ternate Utara 14,16 11 3
Jumlah 250,85 56 21
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Lokasi penelitian difokuskan di Kota Ternate (Pulau Ternate), yang terdiri


dari 4 (empat) kecamatan, yakni Kecamatan Pulau Ternate, Kecamatan Ternate
Selatan, Kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Utara. Hal ini
berkaitan dengan pengembangan kawasan waterfront yang terdapat di sekitar
lokasi tersebut atau dengan kata lain hanya berada di Pulau Ternate. Dengan
demikian, analisis perkembangan wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur
hanya dibatasi pada kecamatan-kecamatan yang disebutkan diatas.
66

Topografi dan Kondisi Iklim


Kondisi topografi Kota Ternate adalah berbukit dengan sebuah gunung
berapi yang masih aktif dan terletak di tengah pulau. Kondisi yang demikian
ditandai dengan tingkat ketinggian dari permukaan laut yang beragam. Namun
secara sederhana dikelompokan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu: kemiringan lereng
rendah (2%-8% atau 0–499 mdpl), kemiringan lereng sedang (10%-20% atau
500–699 mdpl) dan kemiringan lereng terjal (>40% atau lebih dari 700 mdpl)
(Gambar 12). Berdasarkan klasifikasi tersebut, daerah ini memiliki kelurahan
dengan tingkat ketinggian dari permukaan laut dengan kriteria rendah sebanyak
53 kelurahan berada pada kemiringan lereng rendah yaitu berupa kawasan pesisir,
6 kelurahan berada pada kemiringan lereng sedang dan 4 kelurahan berada pada
kemiringan lereng terjal. Sementara untuk kedalaman laut bervariasi, terdapat
tingkat kedalaman sekitar 10 meter sampai pada jarak sekitar 100 meter dari garis
pantai sehingga memberikan peluang untuk diadakannya reklamasi pantai. Jenis
tanah dominan adalah tanah Regosol dan Rendzina, yang merupakan ciri tanah
pulau vulkanis dan pulau karang.

Gambar 12. Peta Kemiringan Lereng Kota Ternate


67

Kota Ternate dan juga umumnya daerah pantai di Propinsi Maluku Utara
memiliki tipe iklim tropis yang dipengaruhi oleh iklim laut yang biasanya
heterogen sesuai indikasi umum iklim tropis. Di daerah ini dikenal dua musim
yakni utara–barat dan timur–selatan yang seringkali diselingi dengan dua kali
masa pancaroba setiap tahunnya.
Selama tahun 2010 kondisi iklim Kota Ternate menurut hasil pengukuran
Stasiun Meteorologi dan Geofisika Ternate adalah sebagai berikut :
 Temperatur rata-rata 27,3ºC
 Kelembaban nisbi rata-rata 84%
 Tingkat penyinaran sinar matahari rata-rata 64%
 Kecepatan angin rata-rata 4 knot dengan kecepatan maksimum mutlak rata-
rata 19 knot.

Selengkapnya mengenai kondisi iklim di Kota Ternate disajikan pada


Tabel 12 sampai dengan Tabel 15.
Tabel 12. Temperatur Rata-rata di Kota Ternate Tahun 2010
Bulan Temperatur
Rata-Rata Maksimum Minimum
Januari 26,7 31,1 24,0
Februari 27,0 31,7 24,2
Maret 27,6 32,6 24,7
April 27,6 32,0 25,1
Mei 27,6 32,1 24,9
Juni 27,2 31,7 24,6
Juli 26,8 31,4 24,0
Agustus 26,5 30,8 23,3
September 27,0 30,7 23,1
Oktober 27,5 31,9 24,3
November 27,3 31,9 23,7
Desember 27,5 31,0 23,9
Rata-Rata 27,3 31,58 24,15
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

Tabel 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate
Tahun 2010
Kelembaban Nisbi Rata-rata Penyinaran Matahari
Bulan
(%) (%)
Januari 82 51
Februari 81 75
Maret 85 79
April 85 61
Mei 85 67
Juni 8 60
68

Tabel 13. Kelembaban Nisbi dan Rata-rata Penyinaran Matahari di Kota Ternate
Tahun 2010 (Lanjutan)
Kelembaban Nisbi Rata-rata Penyinaran Matahari
Bulan
(%) (%)
Juli 85 62
Agustus 85 55
September 84 67
Oktober 80 69
November 83 71
Desember 83 46
Rata-Rata 84 64
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

Tabel 14. Kecepatan Angin Rata-rata, Kecepatan Maksimum Mutlak dan Arah
Angin di Kota Ternate
Kecepatan Angin Rata- Kecepatan
Arah Angin
Bulan Rata Maksimum Mutlak
(°)
(knot) (knot)
Januari 06 18 330
Februari 06 22 340
Maret 07 21 330
April 05 24 330
Mei 05 15 340
Juni 04 17 230
Juli 03 12 330
Agustus 04 18 120
September 04 30 230
Oktober 04 15 230
November 04 19 230
Desember 04 20 330
Rata-Rata 04 19 280
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

Tabel 15. Banyaknya Hari Hujan dan Curah Hujan di Kota Ternate Menurut
Bulan, Tahun 2010
Jumlah Hujan Curah Hujan
Bulan
(Hari) (mm)
Januari 23 225,0
Februari 15 89,6
Maret 8 77,5
April 23 332,7
Mei 22 381,2
Juni 17 126,5
Juli 23 211,4
Agustus 21 228,4
September 22 166,6
Oktober 16 269,8
November 19 135,9
Desember 21 418,6
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
69

Kependudukan
Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk
Kota Ternate sebanyak 185.705 jiwa dengan jumlah laki-laki sebanyak 94.476
jiwa dan perempuan sebanyak 91.229 jiwa. Sebagian besar penduduk Kota
Ternate bermukim di wilayah kecamatan Ternate Selatan yaitu sebanyak 34,33%
dari jumlah penduduk sedangkan wilayah yang paling sedikit penduduknya yaitu
kecamatan Pulau Batang Dua, karena hanya 1,34% dari jumlah penduduk Kota
Ternate yang tinggal di kecamatan tersebut. Untuk lebih jelasnya, data
kependudukan disajikan pada Tabel 16 dan Gambar 13.
Moti; 2,37%
Pulau Ternate; Pulau Batang
7,91% Dua; 1,34%
Ternate Utara; Pulau Hiri;
24,54% 1,47%

Ternate
Selatan;
Ternate 34,33%
Tengah;
28,04%

Gambar 13. Persentase Jumlah Penduduk di Kota Ternate

Penduduk tidak hanya dilihat dari segi jumlahnya saja, tetapi juga perlu
ditinjau dari kepadatannya. Wilayah yang penduduknya banyak belum tentu
memiliki kepadatan penduduk yang besar. Pada Tabel 16 dapat dilihat bahwa
wilayah yang paling padat penduduknya adalah kecamatan Ternate Tengah
sebesar 4.799 jiwa/km2, sedangkan wilayah yang paling kecil kepadatan
penduduknya yaitu kecamatan Pulau Batang Dua.
Tabel 16. Jumlah Penduduk, Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk Tahun 2010
Jumlah Penduduk Luas Wilayah Kepadatan
Kecamatan
(jiwa) (Km2) (Km2/jiwa)
Pulau Ternate 14.692 37,23 394
Moti 4.399 24,8 177
Pulau Batang Dua 2.487 29,04 85
Pulau Hiri 2.735 6,70 408
Ternate Selatan 63.746 16,98 3.754
Ternate Tengah 52.072 10,85 4.799
Ternate Utara 45.574 14,38 3.169
Jumlah 185.705 139,98 1.326
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
70

Kecamatan Ternate Selatan memiliki penduduk lebih banyak daripada


kecamatan Ternate Tengah, tetapi luas wilayahnya lebih besar dari pada luas
wilayah Ternate Tengah sehingga kecamatan Ternate Tengah lebih padat
penduduknya. Faktor penyebab padatnya penduduk di kecamatan Ternate Tengah
karena kecamatan ini merupakan pusat pelayanan meliputi pusat pemerintahan,
pelayanan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, pusat pelayanan
kesehatan dan pendidikan, yang sebagian besar juga terletak di kecamatan ini.
Pada tahun 2010 jumlah penduduk jenis kelamin laki-laki sebanyak 94.476
jiwa lebih banyak dibanding dengan perempuan 91.229 jiwa dengan rasio jenis
kelamin penduduk sebesar 104 (lihat Tabel 17). Jumlah rumah tangga pada tahun
2010 sebesar 39.418 KK, berarti rata-rata jiwa per rumah tangga yaitu berkisar
antara 4-5 orang. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk dan
jumlah rumah tangga terbanyak, masing-masing yaitu 32.447 orang laki-laki dan
31.299 orang perempuan dengan rasio jenis kelamin 104 dan memiliki jumlah
rumah tangga sebanyak 13.666 KK.
Tabel 17. Jumlah Penduduk, Rumah Tangga dan Rasio Jenis Kelamin
Penduduk Rasio Jenis Jumlah Rumah Tangga
Kecamatan (KK)
Laki-Laki Perempuan Kelamain
Pulau Ternate 7.449 7.243 103 3.026
Moti 2.151 2.248 96 905
Pulau Batang Dua 1.259 1.228 103 585
Pulau Hiri 1.390 1.345 103 498
Ternate Selatan 32.447 31.299 104 13.666
Ternate Tengah 26.735 25.337 106 10.966
Ternate Utara 23.045 22.529 102 9.772
Jumlah 94.476 91.229 104 39.418
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Penduduk Kota Ternate yang berusia produktif (20-24 tahun) memiliki


komposisi terbanyak. Komposisi penduduk berdasarkan kelompok umur yang
disajikan pada Tabel 18 memperlihatkan bahwa penduduk Kota Ternate terbanyak
berada pada kelompok umur 20-24 tahun yaitu sebesar 24.434 jiwa, sedangkan
penduduk Kota Ternate terkecil pada kelompok umur 75 tahun keatas yaitu
sebesar 1.285 jiwa. Komposisi kelompok umur tersebut seharusnya dipergunakan
pemerintah sebagai modal untuk menciptakan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan keterampilan penduduk guna menjadi sumberdaya manusia yang
71

berkualitas. Untuk itu program pembangunan perlu diupayakan dapat mengarah


pada penciptaan lapangan kerja baru, sehingga dapat mengurangi angka
pengangguran.
Tabel 18. Jumlah Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur
Penduduk (jiwa)
Kelompok Umur Jumlah
Laki-Laki Perempuan
0–4 10.273 9.749 20.022
5–9 9.391 8.744 18.135
10 – 14 8.161 7.905 16.066
15 – 19 8.995 9.173 18.168
20 – 24 12.648 11.786 24.434
25 – 29 10.333 9.759 20.092
30 – 34 8.462 8.215 16.677
35 – 39 6.892 6.645 13.537
40 – 44 5.641 5.459 11.100
45 – 49 4.381 4.254 8.635
50 – 54 3.444 3.233 6.677
55 – 59 2.358 2.195 4.553
60 – 64 1.471 1.555 3.026
65 – 69 937 1.044 1.981
70 – 74 586 731 1.317
75 + 503 782 1.285
Jumlah 94.476 91.229 185.705
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Penggunaan Lahan Perkotaan


Informasi penggunaan lahan di Kota Ternate dihasilkan dari interpretasi
citra satelit. Hasil olahan data citra Quickbird tahun 2010 (data sekunder Bappeda
Kota Ternate) digunakan untuk interpretasi penggunaan lahan di kota Ternate.
Data citra diklasifikasi berdasarkan kelas penggunaan lahan kemudian diverifikasi
melalui survei lapang. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan lahan yang
terluas ialah penggunaan lahan perkebunan 8.745,64 ha atau 54,15%. Penggunaan
lahan hutan diketahui seluas 4.574,83 ha atau 28,33%, permukiman 1.380,18 ha
atau 8,55%, kawasan jasa perdagangan 152,79 ha atau 0,95%, serta penggunaan
lahan yang terkecil yaitu lapangan 19,09 ha atau 0,12%. Penggunaan lahan
selengkapnya disajikan pada Tabel 19.
72

Tabel 19. Penggunaan Lahan di Kota Ternate, 2010


Luas Persentase
Penggunaan Lahan
(ha) (%)
Bakau 94,20 0,58
Danau 47,18 0,29
Hutan 4574,83 28,33
Kawah 80,94 0,50
Kawasan Jasa Perdagangan 152,80 0,95
Kebun Campuran 249,39 1,54
Lahan Kosong 63,09 0,39
Lapangan 19,10 0,12
Makam 35,60 0,22
Perkebunan 8745,65 54,15
Permukiman 1380,18 8,55
Pertanian Lahan Kering 403,31 2,50
Semak Belukar 258,87 1,60
Taman 31,56 0,20
TPA 14,24 0,09
Jumlah 16.150,94

Gambar 14 menunjukkan bahwa pola penggunaan lahan yang dominan


yakni perkebunan yang berada pada ketinggian diatas 500 mdpl dan menutupi
hampir 50% daratan Pulau Ternate. Penggunaan lahan hutan berada di kawasan
sekitar kawah gunung api di Pulau Ternate yang memiliki ketinggan diatas 700
mdpl (kemiringan lereng >40%). Penggunaan lahan permukiman tersebar merata
di wilayah pesisir bagian timur hingga ke wilayah pesisir bagian selatan.
Sementara itu penggunaan lahan kawasan jasa dan perdagangan cenderung
terkonsentrasi di pusat kota yang sebagaian besar lahannya merupakan kawasan
waterfront.
73

Gambar 14. Penggunaan Lahan di Kota Ternate Tahun 2010

Penggunaan lahan pada masing-masing kecamatan secara detil disajikan


pada Tabel 20. Secara detil, luas wilayah kecamatan Pulau Ternate lebih luas
(4.746 ha), tetapi memiliki penggunaan lahan permukiman paling kecil (171 ha)
dibanding kecamatan lainnya yang berada di Pulau Ternate. Penggunaan lahan
hutan, perkebunan, lapangan, makam, permukiman dan pertanian lahan kering
berada di setiap wilayah kecamatannya.
Tabel 20. Penggunaan Lahan Tiap Kecamatan
Kecamatan
Penggunaan Lahan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
Bakau 0,34 3,38 - -
Danau 28,86 18,32 - -
Hutan 1.161,24 766,75 343,84 336,43
Kawah 37,26 20,48 8,53 14,66
Kawasan Jasa Perdagangan 0,95 11,18 72,37 68,30
Kebun Campuran 128,23 49,89 21,96 5,02
Lahan Kosong 8,26 25,05 2,57 27,20
Lapangan 2,11 4,42 4,13 3,36
Makam 6,17 6,69 12,91 4,33
Perkebunan 3.015,47 809,77 631,64 668,81
Permukiman 171,61 456,03 306,84 335,73
Pertanian Lahan Kering 88,19 64,19 2,45 53,34
Semak Belukar 77,17 0,96 - 177,60
Taman 6,28 11,97 4,45 8,86
TPA 14,24 - - -
Jumlah (ha) 4.746,38 2.249,08 1.411,69 1.703,64
74

Gambaran Struktur Ruang Kota


Struktur ruang kota merupakan kerangka sistem pusat-pusat pelayanan
kegiatan kota yang berhierarki dan satu sama lain dihubungkan oleh sistem
jaringan prasarana wilayah. Struktur ruang kota berfungsi sebagai pembentuk
sistem pusat-pusat pelayanan yang memberikan layanan bagi wilayah kota dan
juga sebagai arahan penempatan jaringan prasarana wilayah kota sesuai dengan
fungsi jaringannya yang menunjang keterkaitan antar pusat-pusat pelayanan.
Berdasarkan kondisi eksisting Kota Ternate, pusat pelayanan utama kota
saat ini berada di sekitar kawasan pusat kota (Kecamatan Ternate Tengah).
Sementara untuk ke arah luar, pusat pelayanan kota cenderung tumbuh mengikuti
struktur jaringan jalan. Sebaran permukiman berkembang secara sporadis tanpa
adanya pola yang jelas. Kondisi ini akan mempengaruhi penyediaan sarana dan
prasarana yang kebutuhannya dari waktu ke waktu terus meningkat.
Pada tatanan wilayah Kota Ternate, fungsi pelayanan primer diemban oleh
Kecamatan Ternate Utara, Ternate Tengah dan Ternate Selatan dicirikan dengan
ketersediaan fasilitas pelayanan yang melayani seluruh wilayah
pengembangannya terutama dalam konteks pelayanan administrasi pemerintahan
(Gambar 15). Fungsi pelayanan sekunder diemban oleh Kecamatan Pulau Ternate,
Moti, Pulau Hiri dan Pulau Batang Dua yang memiliki jangkauan pelayanan
penunjang terhadap wilayah pengembangan pusat kota.
Adapun penetapan sistem pusat pelayanan kota Ternate direncanakan
sebagai berikut :
1. Sistem pusat pelayanan kota dikembangkan dalam 1 (satu) pusat pelayanan
kota, 6 (enam) sub pusat pelayanan kota, dan 26 (dua puluh enam) pusat
lingkungan.
2. Masing-masing sistem pusat pelayanan kota dilengkapi dengan fasilitas
pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas peribadatan, dan fasilitas keamanan
dan keselamatan;
3. Pengembangan fasilitas pendidikan terdiri atas:
a. TK dan SD dengan jangkauan pelayanan lingkungan;
b. SLTP dengan jangkauan pelayanan sub pelayanan kota;
c. SLTA dengan jangkauan pelayanan kota; dan
75

d. Pendidikan/Perguruan Tinggi dengan jangkauan pelayanan kota dan


regional.
4. Pengembangan fasilitas kesehatan terdiri atas:
a. Balai Pengobatan dan praktek dokter dengan jangkauan pelayanan
lingkungan;
b. Puskesmas, puskesmas pembantu, dan apotek dengan jangkauan pelayanan
Sub Pusat Pelayanan Kota (SPK); dan
c. Rumah sakit dengan jangkauan pelayanan kota dan regional.
5. Pengembangan fasilitas peribadatan menyebar ke seluruh Kota Ternate sesuai
dengan agama yang dianut oleh masyarakat disesuaikan dengan jangkauan
pelayanan masing-masing jenis rumah ibadah serta jumlah dan sebaran
pemeluknya.
6. Pengembangan fasilitas keamanan dan keselamatan terdiri atas :
a. Fasilitas pos polisi dengan jangkauan pelayanan setingkat lingkungan dan
berlokasi di setiap pusat lingkungan;
b. Pemadam kebakaran berada dalam jangkauan pusat dan sub pelayanan
setingkat kota dan berlokasi di Kota Ternate;
c. Rencana pengembangan pemadam kebakaran dibuat dalam hierarki di setiap
kecamatan Kota Ternate;
d. Badan Penanggulangan Bencana Daerah berada dalam jangkauan pelayanan
setingkat kota dan berlokasi di Kecamatan Ternate Selatan.

Pusat Pelayanan Kota (PPK)


Pusat Pelayanan Kota (PPK) berperan untuk melayani seluruh wilayah
kota dan/atau regional. Pusat pelayanan kota di Kota Ternate, terletak di sebagian
Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian
Kecamatan Ternate Selatan, yang meliputi Kelurahan Salero, Soa, Makassar
Timur, Makassar Barat, Gamalama, Muhajirin, Tanah Raja, Takoma, Kota Baru,
Maliaro, Stadion, Tanah Tinggi, Kalumpang, Santiong dan Salahuddin.
Pusat Pelayanan Kota (PPK) di Kota Ternate terdapat arah dan fungsi
pengembangan meliputi: Pusat pelayanan Pemerintahan Kota; Pendidikan dan
76

olahraga; Perdagangan dan Jasa; Pusat pelayanan transportasi; Pusat pelayanan


kesehatan; Pusat keamanan dan keselamatan; dan Pusat sejarah dan kebudayaan.

Sub Pusat Pelayanan Kota (SPK)


Sub Pusat Pelayanan Kota (SPK) merupakan pusat pelayanan kegiatan
kota dengan lingkup wilayah pelayanan sebagian pengembangan wilayah kota
sebagaimana diatur dalam rencana perwilayahan kota. Sub pusat pelayanan di
Kota Ternate terbagi dalam 6 (enam) sub pusat pelayanan, yang meliputi: wilayah
yang terletak di Kelurahan Dufa-Dufa (Pemerintahan, jasa perdagangan,
pendidikan dan transportasi) Kelurahan Bastiong (jasa perdagangan, pendidikan
dan transportasi), Kelurahan Jambula, Kelurahan Moti Kota, Kelurahan Faudu
dan Kelurahan Mayau.
Sub Pusat Pelayanan Kota di Kota Ternate terdapat arah dan fungsi
pengembangan meliputi: Pusat pelayanan pemerintahan Kecamatan, Pendidikan,
Perdagangan dan Jasa, Pusat pelayanan transportasi, Pusat pelayanan kesehatan,
Pusat keamanan dan keselamatan dan Pusat sejarah dan kebudayaan.

Pusat Lingkungan
Pusat Lingkungan merupakan pusat pelayanan kegiatan dengan skala
pelayanan lingkungan yang tersebar di setiap Bagian Wilayah Kota (BWK)
dengan kegiatan dan kelengkapan fasilitas pada Pusat Lingkungan berupa pusat
pelayanan pemerintahan tingkat kelurahan, perdagangan tingkat lingkungan atau
kegiatan pendidikan skala lingkungan seperti sekolah taman kanak-kanak atau
sekolah dasar. Konsep dasar struktur tata ruang ditetapkan setelah mendapatkan
masukan dari visi dan misi tata ruang serta mencermati hasil analisis konektivitas
antara pusat-pusat pertumbuhan perkotaan serta konektivitas antar Pulau-pulau,
baik konektivitas internal maupun eksternal terhadap orientasi regional Kawasan
Timur Indonesia (KTI).

Bagian Wilayah Kota (BWK)


Dalam penentuan Bagian Wilayah Kota (BWK) berdasarkan Rencana
Detil Tata Ruang Kota Ternate tahun 2007, dimana terdapat 7 BWK yang
77

semuanya memiliki peran dan fungsi secara proporsional terhadap wilayah dalam
masing-masing BWK.
1. BWK 1 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Dufa-Dufa Kecamatan Ternate Utara yang meliputi Kelurahan Tarau, Sango,
Tabam, Tafure, Akehuda, Tubo, Dufa-Dufa, Sangadji Utara, Sangadji,
Toboleu, Kasturian, Salero, Soa-Sio, dan Soa. Adapun arah pengembangan di
BWK 1 adalah sebagai permukiman, kawasan bandara, pelabuhan, pariwisata,
militer, jasa, perdagangan, perikanan, pendidikan, dan olahraga.
2. BWK 2 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Salahuddin Kecamatan Ternate Tengah yang meliputi Kelurahan Makassar
Timur, Makassar Barat, Salahuddin, Kalumpang, Santiong, Gamalama, Moya,
Kampung Pisang, Marikurubu, Muhajirin, Tanah Raja, Maliaro, Stadion,
Takoma, dan Kota Baru. Adapun arah pengembangan di BWK 2 diarahkan
sebagai kawasan jasa, perdagangan, pariwisata, pelabuhan, permukiman,
pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga.
3. BWK 3 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Kalumata Kecamatan Ternate Selatan yang meliputi Kelurahan Sasa, Gambesi,
Ngade, Fitu, Kalumata, Kayu Merah, Tabona, Ubo-Ubo, Bastiong Karance,
Bastiong Talangame, Mangga Dua Utara, Mangga Dua, Jati Perumnas, Jati,
Tanah Tinggi Barat, Tanah Tinggi, dan Toboko. Adapun arah pengembangan
BWK 3 sebagai jasa, perdagangan, pariwisata, pelabuhan, perikanan, militer
olahraga dan pendidikan .
4. BWK 4 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Jambula Kecamatan Pulau Ternate yang meliputi Kelurahan Jambula, Kastela,
Foramadiahi, Rua, Afe Taduma, Dorpedu, Togafo, Loto, Takome, Sulamadaha,
Tobololo, Bula dan Kulaba. Adapun arah pengembangan BWK 4 sebagai
permukiman, pariwisata, dan pertanian.
5. BWK 5 dilengkapi dengan 1 (satu) Pusat Lingkungan terletak di kelurahan
Togolobe Kecamatan Pulau Hiri yang meliputi Kelurahan Faudu, Tomajiko,
Dorari Isa, Togolobe, Tafraka, dan Mado. Pusat BWK 5 di Kelurahan
Togolobe. Adapun arah pengembangan BWK 5 sebagai perikanan, pertanian
dan permukiman.
78

6. BWK 6 dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Moti Kota


Kecamatan Moti yang meliputi Kelurahan Moti Kota, Takofi, Tadenas, Figur,
Tafamutu, dan Tafaga. Adapun arah pengambangan BWK 6 sebagai
permukiman, pertanian dan perikanan.
7. BWK 7 dilengkapi dengan 1 Pusat Lingkungan terletak di kelurahan Mayau
Kecamatan Batang Dua yang meliputi Kelurahan Mayau, Tifure, Bido, Lelewi,
Perum Bersatu dan Pante Sagu. Adapun arah pengembangan BWK 7 sebagai
permukiman, pertanian dan perikanan.

Gambar 15. Peta Rencana Struktur Ruang Kota


Sumber : BAPPEDA Kota Ternate (2010)
79

Kawasan Kota Tepian Air (Waterfront City)


Secara administratif, kota Ternate terdiri dari kesatuan kawasan yang
terdiri dari 5 (lima) gugusan pulau dalam satu kluster pengembangan, yakni Pulau
Ternate, Pulau Hiri, Pulau Tifure dan Pulau Mayau (Batang Dua). Ditinjau dari
fungsional kawasan perkotaan, maka kota Ternate berfungsi sebagai pusat
pemerintahan, pusat perekonomian dan pusat pariwisata. Kondisi geografis kota
Ternate memiliki luas lautan yang lebih luas dibandingkan luas daratan, sehingga
strategi pengembangan kota diarahkan pada kawasan pesisir dalam upaya
peningkatan dan pengembangan waterfront city pada suatu sistem wilayah
kepulauan. Upaya pengembangan tersebut dapat melalui peningkatan infrastruktur
perkotaan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dalam rangka pengembangan
ekonomi berbasis kerakyatan.
Berdasarkan pertimbangan sasaran strategis pengembangan kawasan
dalam mendukung upaya pengembangan waterfront Kota Ternate, serta
memperhatikan rekomendasi dari arah kebijakan kota serta visi dan misi tata
ruang, maka ditetapkan 5 skenario pengembangaan kawasan waterfront, yaitu: 1)
Pengelolaan lingkungan pesisir, 2) Pengembangan dan pengelolaan pelabuhan, 3)
Penataan permukiman kumuh di kawasan pesisir, 4) Penataan kawasan khusus,
dan 5) Pengembangan objek wisata bahari, sejarah dan budaya (BAPPEDA,
2006).
Skenario pengembangan kota pantai (waterfront city) di Kota Ternate,
secara garis besar bertumpu pada karakteristik kota pantai yang tetap melestarikan
sumberdaya alam dan lingkungan pantai. Berdasarkan kebijakan rencana aksi
pengembangan kawasan pesisir, maka difokuskan arahan pengembangan pada
Bagian Wilayah Kota I (BWK I) dan BWK II yang mencakup Kecamatan Ternate
Utara, dan Kecamatan Ternate Tengah. Hal tersebut tentunya akan mempermudah
integrasi pengembangan infrastruktur yang akan dibangun. Fungsi strategis kedua
BWK ini disajikan dalam Tabel 21.
80

Tabel 21. Fungsi Strategis BWK I dan BWK II dalam mendukung Waterfront
City Kota Ternate
Wilayah Strategi Pengembangan Tata
Lokasi Fungsi Kegiatan Utama
Administrasi Ruang
BWK I Kecamatan Ternate Permukiman, Bandara,  Pengendalian pertumbuhan
Utara Pelabuhan, Pariwisata, permukiman
Militer, Jasa,  Pengendalian tata bangunan
Perdagangan, Perikanan dan lingkungan kawasan
pesisir dan kawasan
dan Olahraga
berkepadatan tinggi
 Pengembangan pariwisata
sejarah
 Pengembangan pusat
pendidikan
 Pengembangan sub pusat
pertumbuhan kawasan jasa
dan perdagangan skala kota
 Pengembangan sub sektor
perikanan
 Pengembangan pusat
olahraga, Pengembangan
Sektor Jasa dan
Perdagangan
BWK II Kecamatan Ternate Jasa Perdagangan,  Pengendalian pertumbuhan
Tengah Pariwisata, Pelabuhan, permukiman dan
Perikanan dan pengendalian tata bangunan
Permukiman dan lingkungan kawasan
 Pengembangan sub sektor
perikanan
 Pengembangan sub pusat
pertumbuhan baru
Sumber : DKP (2008)

Pengembangan struktur ruang kawasan waterfront city Kota Ternate akan


diarahkan berdasarkan kluster-kluster pengembangan dengan inti pusat kawasan
prioritas yang terdiri dari 9 (sembilan) kawasan prioritas yang ditentukan
berdasarkan hasil analisis pengembangan struktur ruang dan analisis pendapat
stakeholders. Sebaran kawasan prioritas tersebut dapat dilihat pada Gambar 16.
81

Gambar 16. Kawasan Prioritas Action Plan Waterfront City Kota Ternate
Sumber : DKP (2008)

Kondisi geografis wilayah kota Ternate merupakan suatu gugusan pulau-


pulau dan secara topografis sebagian besar kawasannya adalah lahan dengan
ketinggian lereng yang berbeda sehingga hanya beberapa bagian kawasan saja
yang dapat difungsikan sebagai kawasan terbangun. Pusat pengembangan
kawasan waterfront diarahkan pada BWK I dan BWK II yang berada di wilayah
pusat kota, sedangkan wilayah lainnya difungsikan sebagai kawasan pendukung.
Hasil analisis struktur ruang wilayah, kawasan perkotaan, perekonomian,
kemasyarakatan, kelembagaan, pendapat stakeholder dan fisik kawasan, maka
menghasilkan strategi pengembangan kawasan pesisir kota Ternate. Strategi
pengembangan kawasan pesisir diarahkan sebagai suatu sistem wilayah kepulauan
melalui peningkatan infrastruktur perkotaan, sumberdaya alam, sumberdaya
manusia dalam rangka pengembangan ekonomi masyarakat.
82

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Ternate


Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan ukuran
produktivitas wilayah yang paling umum dan telah diterima secara luas sebagai
indikator pembangunan dalam skala wilayah dan negara. Secara umum PDRB
dapat definisikan sebagai jumlah nilai tambah dari semua barang dan jasa yang
diproduksi di suatu negara atau wilayah dalam periode satu tahun. Jumlah nilai
barang dan jasa yang dihasilkan di suatu wilayah telah dihilangkan unsur-unsur
intermediate cost (Rustiadi et al., 2009).
Nilai PDRB dapat dihitung melalui tiga pendekatan yaitu :
1. Segi Produksi, merupakan jumlah nilai tambah bruto atas suatu barang dan jasa
yang dihasilkan oleh unit-unit produksi dalam suatu wilayah dan biasanya
dalam jangka waktu tertentu (satu tahun). Nilai tambah bruto yang terdiri dari
biaya faktor produksi (upah/gaji, bunga netto, sewa tanah, keuntungan),
penyusutan barang modal dan pajak tak langsung netto.
2. Segi Pendapatan, merupakan balas jasa (pendapatan) yang diterima faktor-
faktor produksi karena ikut serta dalam proses produksi dalam suatu wilayah,
dan biasanya dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).
3. Segi Pengeluaran, merupakan jumlah pengeluaran yang dilakukan oleh rumah
tangga, Pemerintah dan Lembaga Swasta Non Profit, pembentukan modal
tetap, perubahan stok serta Ekspor Netto, biasanya dalam jangka waktu
tertentu.

Saat ini Kota Ternate baru menghitung PDRB dari segi produksi saja.
PDRB terdiri dari PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga
konstan. PDRB atas dasar harga berlaku merupakan penjumlahan nilai tambah
dari barang dan jasa yang diproduksi dan dinilai menggunakan harga yang berlaku
pada tahun bersangkutan. PDRB atas dasar harga konstan merupakan
penjumlahan nilai tambah dari barang dan jasa yang diproduksi dan dinilai
menggunakan harga pada tahun dasar yaitu tahun 2000.
Besarnya nilai PDRB atas dasar harga berlaku di suatu wilayah
memberikan gambaran potensi perekonomian wilayah tersebut. PDRB atas dasar
harga berlaku Kota Ternate dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Pada
83

tahun 1999 PDRB atas dasar harga berlaku sebesar 349.727 juta rupiah meningkat
pada tahun 2011 menjadi 1.145.573 juta rupiah. Pada tahun 1999-2011 sektor-
sektor yang berkontribusi besar terhadap pembentukan PDRB atas dasar harga
berlaku yaitu sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor jasa, sektor
pengangkutan dan komunikasi serta sektor pertanian (Gambar 17 dan Tabel 22).
Peningkatan ini menunjukkan bahwa terjadi perkembangan perekonomian Kota
Ternate. Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh kenaikan produksi
barang dan jasa pada wilayah tersebut pada tahun tertentu. Jika kenaikan produksi
barang dan jasa pada tahun tertentu lebih tinggi dari tahun sebelumnya maka
dikatakan terjadi kenaikan pertumbuhan.

400.000 Pertanian
350.000 Pertambangan &
Penggalian
300.000 Industri Pengolahan
250.000 Listrik, Gas, Air Bersih
200.000 Bangunan

150.000 Perdagangan, Hotel &


Restoran
100.000 Pengangkutan &
Komunasi
50.000 Keuangan, Persewaan
& Jasa Perusahan
0 Jasa-Jasa
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 17. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011
84

Tabel. 22. PDRB Kota Ternate Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999-2011 (dalam juta rupiah)
Sektor 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Pertanian 45.831 46.016 49.517 50.556 53.868 57.288 60.870 64.756 76.963 108.284 120.257 134.682 151.855
Pertambangan & Penggalian 3.294 3.610 3.713 3.719 3.795 3.879 3.962 5.111 5.761 7.373 10.056 11.488 13.841
Industri Pengolahan 24.229 18.209 18.423 24.879 25.306 26.894 29.102 31.343 34.049 37.925 50.766 53.230 58.449
Listrik, Gas, Air Bersih 5.070 5.222 5.430 5.967 6.402 6.736 7.125 7.645 8.114 10.508 11.716 12.637 14.222
Bangunan 8.142 10.143 13.665 15.335 17.706 21.363 24.525 27.686 30.932 39.906 51.447 65.965 81.347
Perdagangan, Hotel & Restoran 111.989 110.058 113.320 118.569 128.514 139.790 156.176 166.854 187.741 199.348 246.306 294.696 337.365
Pengangkutan & Komunasi 60.937 65.939 69.013 53.447 57.212 59.118 64.526 77.338 89.648 114.500 133.526 155.427 186.029
Keuangan, Persewaan & Jasa 28.326 26.113 27.081 27.470 28.351 29.482 31.256 32.824 36.794 55.764 71.659 85.925 101.039
Perusahan
Jasa-Jasa 61.909 63.839 66.133 68.416 77.493 84.852 93.108 104.365 115.658 121.272 149.633 177.744 201.426
Jumlah 349.727 349.149 366.295 368.358 398.647 429.402 470.650 517.922 585.660 694.880 845.366 991.794 1.145.573
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
84
85

HASIL DAN PEMBAHASAN


Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate
Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront
Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan
adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk
mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga
secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis
pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan,
diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan,
terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia
yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam
(Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai
(garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor
eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor
internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana
sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008).
Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate
dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai.
Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2006-2015, sebagai pusat pelayanan perkotaan
khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman
kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana
daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan
langsung dengan daratan baru.
Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk
mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan
dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya
penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir
mengalami perubahan.
Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra
tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk
membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia
86

sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang
terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai
pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data
tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk
citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut
sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye
tahun 2001.
Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk
mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi
Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan
pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota
Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak
pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi
laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara
darat dan laut.

Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun 2001-2010


87

Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara


visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis
pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra
berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang
direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km2), dengan titik awal delineasi pada
koordinat 0°46”941 LU, 127°23”305 BT dan titik akhir pada koordinat 0°48”033
LU, 127°23”160 BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah
3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi
3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar 30-250 m. Perubahan garis pantai
atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat
0°47”456 LU, 127°23”415 BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai
awal (tahun 2001).
Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota
Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan
hanya 110,07 km2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau
Ternate bertambah menjadi 110,30 km2. Secara administratif, terjadi penambahan
luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08
km² (tahun 2010) (Gambar 19).

Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun 2001-2010


88

Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront


Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat)
kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan
Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan
semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan
wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk
(perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang
tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di
sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang
membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut.
Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan
ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan
memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas
lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan
luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi
ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir
tersebut.
Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara
digitasi visual dari data citra Quickbird tahun 2010. Interpretasi citra secara visual
untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur,
bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey
langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan
objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk
mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya.
Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa
dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/Mall.
Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan
di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II)
yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront
dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang
terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah
kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam
89

bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di
sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan
waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai
landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan
waterfront.

Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront


90

Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada


Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan
sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan
dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat
sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya.
Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan
ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12
ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini
berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan,
dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala
regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan
untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota
seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk
penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai
landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk
permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai
menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront.
Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront
Luas Persentase
Penggunaan Lahan
(ha) (%)
Badan air 4,25 17
Jalan 3,90 16
RTH/Taman Kota 2,86 12
Mall/Dept.Store 2,56 11
Pasar Tradisional 2,01 8
Permukiman 2,02 8
Pertokoan 1,42 6
RTH/Jalur Hijau 1,40 6
Ruko 1,12 5
Sarana Ibadah 0,87 4
Terminal Angkutan Umum 0,90 4
Perkantoran 0,59 2
TPS 0,03 1
Jumlah 23,93 100
91

Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010


Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta
penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas
penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari
hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan
terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan
dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan
terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi.
Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini
berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal
untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk
penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar
dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara
horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District-
CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk
melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun
2004-2010 disajikan pada Gambar 21.

Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun 2004-2010


92

Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun 2004-2010


(Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi
perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun
terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%).
Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha
(55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004
seluas 10.110 ha dan tahun 2010 seluas 10.220 ha. Ini menunjukkan bahwa pada
tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang
sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan
kawasan waterfront.
Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun 2004-2010
Tahun Perubahan
Persentase Perubahan
Penggunaan Lahan 2004 2010 Luas
luas/luas lahan awal
(ha) (ha) (ha)
(%)
Lahan Tidak Terbangun 9.166 8.755 -411 -4
Lahan Terbangun 944 1.465 521 55
Jumlah Luas 10.110 10.220 110

Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel


25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak
terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa
kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan
perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan
terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha.
Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut
dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate
Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi.
Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2010
Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha)
Penggunaan Lahan Jumlah Luas
Lahan Tidak Terbangun Lahan Terbangun
Tahun 2004 (ha) (ha)
(non built up) (built up)
Lahan Tidak Terbangun
8.721 445 9.166
(non built up)
Lahan Terbangun
34 910 944
(built up)
Jumlah Luas (ha) 8.755 1.355
93

Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate


Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh
berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau
sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang
ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk
menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut
berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis
berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang
ada di unit wilayah tersebut.
Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing
kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi
kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1
(pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland).
Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks
Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP.
Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa
kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun 2011. Keempat
titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama
masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui
bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga
untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang
seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik
tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk
menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori
variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan,
kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan.
Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi
(Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya
peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan
nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan
nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04
(lihat Gambar 22).
94

45,00
58,49 59,73 48,34 60,17
40,00
25,04 24,55 26,05 24,86
35,00
30,00
10,17 10,15 12,75 11,95
25,00
20,00
15,00
9,25 9,86 8,29 9,80
10,00
5,00
0,00
2005 2006 2008 2011
Stdev IP Average IP

Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan

Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki


tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan
infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke
prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah
menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor
ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit.
Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006,
2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun 2011. Hal ini
berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat
dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu
tempuh.
Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan
terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan
tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3
(hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2,
dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan
ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1
ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
95

terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh


yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan
yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan
Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa),
dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma).
2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP
24,86 - 34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki
ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir.
3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat
sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan
hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18
kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011


Hierarki Jenis Banyaknya Indeks
Jumlah Jenis
Wilayah Kelurahan Kelurahan/Desa Perkembangan (IP)
Hierarki 1 Pesisir 6
> 34,66 140
Bukan pesisir 1
Hierarki 2 Pesisir 8
24,86 - 34,66 275
Bukan pesisir 7
Hierarki 3 Pesisir 18
< 24,86 398
Bukan pesisir 8

Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan


banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12
kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari
jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan
pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan
ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1
ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,
terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta
jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada
hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir
96

(Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan


pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro).
2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP
25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang
lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini
dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir.
3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana
dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2.
Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan
pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir.

Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005


Hierarki Jenis Banyaknya Indeks
Jumlah Jenis
Wilayah Kelurahan Kelurahan/Desa Perkembangan (IP)
Hierarki 1 Pesisir 3
> 34,29 123
Bukan pesisir 3
Hierarki 2 Pesisir 7
25,04 - 34,29 213
Bukan pesisir 5
Hierarki 3 Pesisir 22
< 25,04 428
Bukan pesisir 8

Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan
bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan
aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat
pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011),
sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang
menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2
meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga
ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan
pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi
18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki
wilayah tahun 2005-2011 disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.
97

Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011


Tahun 2005 Tahun 2011
Hierarki Banyaknya Banyaknya Banyaknya Banyaknya
Wilayah Kelurahan/Desa Kelurahan/Desa Kelurahan/Desa Kelurahan/Desa
Bukan pesisir Pesisir Bukan pesisir Pesisir
Hierarki 1 3 3 1 6
Hierarki 2 5 7 7 8
Hierarki 3 8 22 8 18

Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah
penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas
yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi
dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah
mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas
dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah
hinterland dari wilayah yang lainnya.

Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005-2011


98

Cakupan Pelayanan Infrastruktur


Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan
infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen.
Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan
perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat
mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota
berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk
kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai
tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004.
Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota
diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur
pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik
dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan.
Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure),
infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur
hijau (green infrastructure).
Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi
sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di
Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah
dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan
infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada
peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan
infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan
membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik


Infrastruktur Jaringan Jalan
Kondisi Eksisting Jaringan Jalan
Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa
jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan
Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa
99

pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor
primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk
jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan
jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan
jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang
berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah.

Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010

Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi


fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan
antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar
permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan
jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997
hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada
tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan
dengan tahun 2001. Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang
jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan
kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km
100

(2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari
panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun
2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km.
Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya
saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan
kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya
Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate.

160,00
140,00
120,00
100,00
80,00
60,00
40,00
20,00
0,00
1997 1998 2001 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32
Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00
Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75
Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67

Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan

Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990


Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan
jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor
sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan).
Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan
jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada
kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota
yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang
jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis
moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama
arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini
berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.
101

Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya


berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan
pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi
jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah.
Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat
sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m.
Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal
sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder
merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal
primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan
mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas.
Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan
Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990,
yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat
dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan
jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan
lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih
terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m.
Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate
Kondisi Panjang Lebar Jalur Standar
Status Jalan Keterangan
Jalan Jalan (km) (m) Lebar Jalur* (m)
Kolektor Primer Baik 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi
Jumlah 47,499 standar
Kolektor Sekunder Baik 41,651
5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi
Rusak 7,947
standar
Jumlah 49,598
Lokal Primer Baik 21,278 Belum
3,0-7,0 4,5-5,0
Rusak 4,958 memenuhi
Jumlah 26,236 standar
Lokal Sekunder Baik 26,347 Belum
Rusak 2,720 1,5-5,0 3,0-4,5 memenuhi
Jumlah 29,067 standar
* Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990

Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan


Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan
yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan.
Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi
pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis
102

kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah


memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km
(<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan
waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau
Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini
menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding
dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman
yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada.
Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30.
Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010
Panjang Luas Kerapatan
Kecamatan Jalan Wilayah Jalan Keterangan*
(km) (km2) (km/km2)
Pulau Ternate 34,685 37,23 1,073 Kerapatan jalan rendah
Ternate Selatan 38,293 16,98 0,443 Kerapatan jalan tinggi
Ternate Tengah 38,656 10,85 0,280 Kerapatan jalan tinggi
Ternate Utara 27,504 14,38 0,522 Kerapatan jalan rendah
*kerapatan jalan <0,5 km/km2 = kerapatan jalan tinggi;
kerapatan jalan >0,5 km/km2 = kerapatan jalan rendah

Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II),


yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata,
pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga,
sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota
(sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km2,
dengan panjang jalan 38,656 km yang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi
yaitu 0,280 km/km2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda
transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).
103

Jalan Kolektor Primer


Jalan Kolektor Sekunder
Jalan Lokal Primer
Jalan Lokal Sekunder

Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah

Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan,


dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa
yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km2 memiliki
panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu
0,443 km/km2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di
kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana
dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.
104

Jalan Kolektor Primer


Jalan Kolektor Sekunder
Jalan Lokal Primer
Jalan Lokal Sekunder

Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan

Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan


rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km2 (>0,5 km/km2) dengan luas wilayah
14,38 km2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km.
Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate
Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan
prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer
dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun
jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan
di kecamatan Ternate Utara.
105

Jalan Kolektor Primer


Jalan Kolektor Sekunder
Jalan Lokal Primer
Jalan Lokal Sekunder

Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara

Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang


ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor
primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan
permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23
km2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang
merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan
rendah yaitu 1,073 km/km2 (>0,5 km/km2). Akses menuju pusat sarana dan
prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor
106

primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu
tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama.

Jalan Kolektor Primer


Jalan Kolektor Sekunder
Jalan Lokal Primer
Jalan Lokal Sekunder

Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan


Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan
membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua
elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,
107

infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar
karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal
ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke
tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi
kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi
terhadap pemakai jalan.
Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada
di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan
jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran
tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat
pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang
tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki
prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya.
Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah,
sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang
merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat
di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat
berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang
mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi
pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut.

Infrastruktur Air Bersih


Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih
Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum
bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah
melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota
Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna
di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air Tege-
Tege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega’ale, mata air
Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau
Ternate (lihat Gambar 30).
108

Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi


kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur
gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut
kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air
Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate.
Dengan bantuan hibah dalam program Six City’s Water Supply pada tahun 1980,
kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem
pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan
Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas 1.080 m3 di Skep (Kelurahan
Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang
tersebar di pusat kota.
Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin
bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara
kota, maka dibangun Instalasi Akega’ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit
sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m3 serta sistem booster di
Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m3 dan perluas jaringan pipa distribusi
sepanjang ±52 km’. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun
instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di
kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m3 serta reservoir di Jan dengan
kapasitas 100 m3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian.
Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan
jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan
berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31.
Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi
Jaringan Pipa Transmisi Distribusi
(mm) (m) (m)
Dn-315 1.700 1.276
Dn-250 1.481 1.382
Dn-200 3.505 6.391
Dn-160 975 14.535
Dn-110 2.066 27.106
Dn-90 - 28.059
Dn-75 - 39.445
Dn-63 - 51.485
Dn-50 - 13.297
Jumlah 9.664 182.968
Sumber: PDAM Kota Ternate (2011)
109

Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan
distribusi disajikan pada Gambar 30.

Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate

Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM


melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan
Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM
Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat)
kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada
Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih
PDAM yaitu 33.738 jiwa meningkat menjadi 41.916 jiwa di tahun 2011. Di
kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak
terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa
atau naik dari 2.025 jiwa (tahun 2008) menjadi 2.256 jiwa (tahun 2011) (Gambar
31).
110

45.000
40.000
35.000
30.000
25.000
20.000
15.000
10.000
5.000
0
PULAU TERNATE TERNATE TERNATE
TERNATE SELATAN TENGAH UTARA
2008 2.052 33.738 29.688 28.344
2009 2.058 35.820 30.864 27.756
2010 2.082 37.488 32.010 32.112
2011 2.256 41.916 36.228 32.550

Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM

Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32.
Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di
kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan
di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara.
Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2
kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan
kecamatan Ternate Selatan.

Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010


111

Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum


Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001
Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah 60-220
liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri
Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air
bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih
dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan
dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari).
Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun
2011 adalah sebesar 18.331.300 lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air
bersih hanya 3.965.760 lt/hari, sehingga masih kekurangan 14.365.540 lt/hari.
Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas
produksi sebesar 78% di tahun 2011.
Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011
sebanyak 183.313 jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM
di Kota Ternate sebanyak 112.950 jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani
sebanyak 70.363 jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah
penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% (32.550
jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan
Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki
jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% (36.228 jiwa), 64%
(41.916 jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah
penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air
bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan
pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan
jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut
menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup
tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di
kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.
112

Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011


Kecamatan
Infrastruktur Air Bersih Kota
Pulau Ternate Ternate Ternate
PDAM Ternate
Ternate Selatan Tengah Utara
Jumlah Penduduk
15.024 65.888 54.677 47.724 183.313
(jiwa)
Kebutuhan Air Bersih*
1.502.400 6.588.800 5.467.700 4.772.400 18.331.300
(lt/hari)
Jumlah Penduduk (Jiwa) 2.256 41.916 36.228 32.550 112.950
Terlayani PDAM
(%) 15 64 66 68 62
Ketersediaan Air (lt/hari) 79.210 1.471.702 1.271.993 1.142.855 3.965.760
Bersih PDAM (%) 5 22 23 24 22
Jumlah Penduduk
(jiwa) 12.768 23.972 18.449 15.174 70.363
Tidak Terlayani
PDAM (%) 85 36 34 32 38
Kekurangan Air (lt/hari) 1.423.190 5.117.098 4.195.707 3.629.545 14.365.540
Bersih PDAM
(%) 95 78 77 76 78
*Standar 100 lt/org/hari

Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat
yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses
distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas
pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu
diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01
ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5
tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan.
Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada
tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan (18.916 sambungan). Namun sebagian
pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan
bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini
berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97%
atau 5.930.417 m3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu 14.475.024 m3. Dampak
kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang
ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a).
Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara
kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke
pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran
tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk
113

mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum


terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan
pelayanan terhadap masyarakat.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih


Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah,
dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di
Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani.
Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan
yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi
topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran
tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk
mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya
operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada
wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari
PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air
sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari.
Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air
(demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan
tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011,
sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah
cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang
berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM
terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar
pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan
rendahnya tingkat kesehatan masyarakat.

Infrastruktur Listrik
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik
Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit,
penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan
listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.
114

Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota


Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada
untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM)
94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang 35.870
VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area)
kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara,
Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu
tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam.
Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang
Uraian Satuan Jumlah
Jumlah Pelanggan Sambungan 27.310
SKTM KMS 0,70
SUTM KMS 94,08
SUTR KMS 171,83
Daya Terpasang VA 35.870
Gardu Buah 133
Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010)

Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk
membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun
dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan
kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin
tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar 102.233 MWH dengan daya
tersambung sebesar 40.467 MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan
adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan
jumlah mesin yang ada.
Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas
mesin, selama tahun 2006-2011. Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun
2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6
unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan
energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang
dihasilkan sebesar 65.600 MWH di tahun 2006 meningkat hingga 115.620 MWH
pada tahun 2011. Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006
sebesar 31.239 KVA meningkat menjadi 41.042 KVA di tahun 2011. Daya
mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini
115

mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari,


sehingga menggangu aktivitas masyarakat.
Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate
Keadaan Mesin 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Mesin (Unit) 7 7 6 7 6 7
Kapasitas Terpasang (KW) 21.122 21.122 24.402 26.842 25.802 27.064
Daya Mampu (KW) 13.300 12.800 11.300 14.500 18.900 26.200
Beban Puncak (KW) 12.811 12.811 12.270 15.000 16.815 19.000
Produksi (MWH) 65.600 76.553 82.904 87.015 102.233 115.620
Daya Sambung (KVA) 31.239 34.814 38.468 39.215 40.467 41.042
Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011)

Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami


peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33
menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate
cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah
pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk
jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal
ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di
kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya
lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate.

14.000
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
2.000
0
PULAU TERNATE TERNATE TERNATE
TERNATE SELATAN TENGAH UTARA
2005 2.263 6.968 7.434 5.672
2006 2.279 6.968 7.434 5.678
2008 3.093 11.195 10.632 8.711
2011 3.250 12.884 12.292 10.186

Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun 2005-2011


116

Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011

Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah
pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate
Tengah. Kategori jumlah pelanggan 700-1.000 sambungan/pelanggan terdapat
pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate
Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan
pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan
Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di
kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate,
terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota
(kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota.

Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI 03-1733-2004


Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik
menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang
diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui
jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian
117

disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI 03-1733-2004,


mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik
minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari
jumlahkebutuhan rumah tangga.
Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan
jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam
wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah
tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu
listrik).
Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per
jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011
sebanyak 183.313 jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan
adalah 82.491.300 VA atau 82.491 KVA. Dibadingkan dengan daya sambung
41.042 KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara
keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih
kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada
Tabel 35.
Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011
Jumlah Daya Standar Kekurangan
Jumlah Jumlah Pelanggan Tersambung Kebutuhan Daya Listrik
Kecamatan Penduduk Keluarga Daya
(Jiwa) (KK) (PLG) (%) (KVA) (%) Listrik* (KVA) (%)
(KVA)
Pulau
15.024 3.947 3.250 82 3.455 51 6.761 3.306 49
Ternate
Ternate
65.888 15.795 12.884 82 13.695 46 29.650 15.955 54
Selatan
Ternate
54.677 11.898 11.892 100 13.066 53 24.605 11.539 47
Tengah
Ternate
47.724 10.882 10.186 94 10.827 50 21.476 10.649 50
Utara
Kota
183.313 42.522 38.212 90 41.042 50 82.491 41.449 50
Ternate
*Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa

Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate


yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses
listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan
yang telah teraliri listrik berkisar 82-100%. Persentase jumlah pelanggan tersebut
didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga
118

yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut


menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah
menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik


Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan
yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut
mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun 2011.
Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang
terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik
PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan
tersebut. Jika dibandingkan dengan standar SNI 03-1733-2004 yang
mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450
VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum
mampu melayani standar kebutuhan masyarakat.
Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008
mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal
ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4
jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya
aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai
sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah.

Infrastruktur Sistem Drainase


Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase
Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari
saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air
hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran
drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem
drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase
sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan
lingkungan.
119

Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah


maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi
(>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan
dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang
mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian
memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa
memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi
yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat
peka terhadap pergerakan air.
Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem
drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman
(1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha),
perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan
lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik
ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan
dalam kota yang disertai tingginya harga lahan serta kecenderungan
berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu
pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan
perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan
lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar
aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin
berkurangnya daerah resapan air.
Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada
kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi
konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan
permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan,
disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat
pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut.
Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi
menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung
(hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.
120

Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti


permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada
kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air
akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang
berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah.
Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya
longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol
dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota
Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan
sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran.
Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan
bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer
dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), 18.131 m saluran tersier, 30.276
m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan
kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari
jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36.
Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah
Luas Luas Lahan Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase
Kelurahan Wilayah Permukiman Sekunder Tersier
(ha) (ha) Gorong-Gorong Sungai
(m) (m)
Makassar Timur 18,74 18,68 1432 802 12 -
Makassar Barat 29,03 22,75 1150 2250 9 -
Santiong 24,36 16,47 1440 1906 8 1
Gamalama 40,56 38,99 3578 1394 19 -
Kalumpang 25,73 24,38 2383 1945 13 1
Moya 453,20 15,91 3596 2739 19 2
Marikrubu 432,79 51,12 5932 475 7 4
Muhajirin 14,38 14,03 1050 278 3 -
Tanah Raja 8,42 8,42 792 444 3 -
Stadion 16,54 14,78 1405 1096 - -
Kampung Pisang 14,73 14,13 1198 1004 2 1
Maliaro 249,66 57,55 2747 1696 9 4
Takoma 20,46 20,39 1886 1042 - -
Kota Baru 23,28 22,50 1687 1060 3 -
Jumlah 1.371,88 340,10 30.276 18.131 107 13
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang


terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area
permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi
121

tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat
kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu
kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar
Barat.

Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga)


pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase
yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri
ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan
pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke
saluran sekunder.
Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39
sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, 19.070 m saluran
tersier, dan 31.801 m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman
(412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti
jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer
(sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu
122

sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate


Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung
semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di
bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di
hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai.
Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan
Jumlah Bangunan
Luas Luas Lahan Panjang Drainase
Drainase
Kelurahan Wilayah Permukiman
Sekunder Tersier Gorong-
(ha) (ha) Sungai
(m) (m) Gorong
Toboko 12,06 10,42 956 1213 2 -
Tanah Tinggi 44,56 33,10 3241 1713 6 3
Jati 58,11 41,13 3988 1750 6 -
Jati Perumnas 25,31 16,70 1922 1849 10 2
Tobona 302,89 27,69 1872 996 10 2
Mangga Dua 58,03 51,87 1628 2487 6 3
Ubu-Ubo 22,23 21,59 1864 1082 11 1
Bastiong 60,38 57,91 2270 2803 28 3
Kalumata 333,63 73,54 2771 745 30 5
Sasa 388,83 30,91 938 1974 12 5
Gambesi 311,29 26,63 3814 2280 9 7
Fitu 331,15 21,42 6537 178 12 8
Jumlah 1.948,47 412,91 31.801 19.070 142 39
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan


bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran
drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi
(>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut
diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona,
dan kelurahan Ngade (Gambar 36).
123

Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat)


pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola
pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul
untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah
dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran
sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke
sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul
sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang
membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang
lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul.
Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa
terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan gorong-
gorong, 24.479 m saluran terseier, 18.703 m saluran sekunder yang berada di
permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha
(lihat Tabel 38).
124

Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara


Jumlah Bangunan
Luas Luas Lahan Panjang Drainase
Drainase
Kelurahan Wilayah Permukiman
Sekunder Tersier Gorong-
(ha) (ha) Sungai
(m) (m) Gorong
Tabam 234,89 39,76 1602 142 5 -
Tafure 71,06 61,42 1959 106 3 1
Tubo 202,01 13,87 2663 454 5 1
Akehuda 52,79 34,82 2374 554 9 1
Dufa-Dufa 270,31 42,72 1825 1275 11 2
Sangaji 130,92 32,73 3700 6923 20 2
Toboleu 118,46 27,91 2725 2271 12 1
Salero 20,18 14,42 921 1741 12 1
Kasturian 59,67 20,53 3877 1841 11 1
Soasio 17,90 14,67 681 621 6 1
Soa 46,76 26,68 2122 2248 6 2
Sango 257,47 31,26 30 527 1 -
Jumlah 1.482,42 360,79 24.479 18.703 101 13
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum


terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi
dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi
tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan
Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37).

Gambar 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara


125

Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat)


pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan
drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada
drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian
masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun
agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara
yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder
sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi
sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder.
Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki
saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan
Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan
bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan
gorong-gorong (Culvert), 2.247 m saluran tersier, 2.918 m saluran sekunder yang
sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans
Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas
lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran
drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39.
Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate
Jumlah Bangunan
Luas Luas Lahan Panjang Drainase
Drainase
Kelurahan Wilayah Permukiman
Sekunder Tersier Gorong-
(ha) (ha) Sungai
(m) (m) Gorong
Kastela 144,48 11,07 955 415 9 5
Foramadiahi 491,59 5,63 825 958 6 2
Jambula 115,16 33,01 1138 874 2 2
Jumlah 751,23 49,71 2.918 2.247 17 9
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan


kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia.
Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa
masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase.
Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma,
kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).
126

Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate

Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola
siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase
yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum
masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran
drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa
juga langsung menuju sungai.
Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama
kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan
Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol
membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas
tampung 800 m3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m3/det. Namun hal
tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang
bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat
musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa
memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas
tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.
127

Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas
(dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan
Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal,
dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan
permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui
koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol
tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas
yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi
dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008).

Identifikasi Daerah Genangan di Kota Ternate


Sistem drainase di kota Ternate masih terdapat saluran-saluran yang tidak
berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, misalnya di kelurahan
Gamalama, kelurahan Mangga Dua Utara, kelurahan Dufa-Dufa, kelurahan Tafure
dan Kelurahan Tubo (Lihat Tabel 40 dan Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh
rusaknya saluran drainase akibat dari sedimentasi dan tumpukan sampah pada
saluran yang menyumbat aliran air.
Tabel 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate
Data Kuantitatif Genangan
Area yang
Lokasi Genangan Banjir Luas Tinggi Waktu Konsentrasi Tergenang
(ha) (cm) (menit)
Jl. Poros Tafure 0,4 15 15 Jalan
Jalan dan rumah
Kel. Tubo RT 03-08 1,7 20 90
penduduk
Jl. Poros Mangga Dua
0,2 10 12 Jalan
(Depan SD Islamiyah)
Kel. Gamalama
0,3 15 15 Jalan
(Depan RS. Dharma Ibu)
Kel. Dufa-Dufa Jalan dan rumah
Lingkungan Toloko 0,7 20 30
penduduk
Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008)

Faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan di kota Ternate adalah


sebagai berikut :
a. Limpasan air dari sungai menggenangi dalam kota.
b. Limpasan air akibat kecepatan aliran air dalam saluran yang tinggi terutama
drainase yang berada pada jalan yang memiliki kemiringan.
128

c. Menurunnya kemampuan saluran/drainase akibat sedimentasi/endapan lumpur


dan penyumbatan akibat sampah.
d. Tidak cukupnya kapasitas saluran drainase kota.
e. Dimensi saluran yang mengecil akibat penyerobotan lahan permukiman atau
bangunan ataupun adanya bangunan di atas saluran.
f. Kemungkinan back water di saluran drainase atau di muara-muara sungai
karena air pasang atau karena sampah dan sedimentasi.

Gambar 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Sistem Drainase


Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan
yang sangat penting dalam menangani kelebihan air permukaan sebelum masuk
ke alur-alur besar atau sungai. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari
kualitas sistem drainase yang ada. Kondisi sistem drainase yang ada di kota
Ternate memberikan gambaran bahwa masih terdapat wilayah yang belum
tersedia saluran drainase (khususnya dataran tinggi) dan daerah-daerah genangan
yang umumnya terjadi pada saluran-saluran yang berada di jalan-jalan pusat kota.
Waktu konsentrasi genangan tidak berlangsung lama (rata-rata 30 menit) dan
129

terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat
memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak
infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan
yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

Infrastruktur Persampahan
Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan
Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas
Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola
pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di
Kelurahan/Desa Takome Kecamatan Pulau Ternate merupakan tempat
pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat
kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki
bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah
bebatuan.
Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open
dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan
terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan
bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha
merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem
controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang
ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona
penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas
TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di
sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39).
Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru
No Area Luas (ha) Keterangan
1 Zona Pasif
 TPA controlled landfill 1,12 Belum beroperasi
 Eks open dumping 0,40 Tidak beroperasi
2 Zona Aktif
 Open dumping 5,25
 Bangunan sarana dan prasarana 0,18
 Bangunan Komposting 0,01
3 Zona Penyangga
 Semak belukar, tanaman non 53,03
produktif
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008)
130

Pengolahan sampah secara open dumping dinilai ekonomis terhadap biaya


serta mekanisme pelaksanaannya mudah, namun dampak yang ditimbulkan cukup
kompleks terhadap lingkungan sekitar TPA. Dampak yang ditimbulkan meliputi
pencemaran udara berupa bau, pencemaran air meliputi pengaruh fisik dan kimia
air serta penyakit yang ditularkan oleh perkembangbiakan hewan misalnya lalat,
tikus, kecoak, cacing dan berbagai hewan lainnya. Selain itu sistem sanitasi yang
tidak baik dapat menimbulkan pencemaran air, karena air lindi dapat
meresap/merembes secara terinfiltrasi masuk kedalam tanah yang dapat
menyebabkan pencemaran tanah, air permukaan maupun air sungai yang berada di
sekitarnya.
Secara teknis sistem pengolahan sampah dengan metode open dumping
dimulai dari kedatangan truck amroll atau dump truck yang mengangkut sampah
dari sumber sampah ke lokasi TPA, selanjutnya petugas pengawas lapangan
menunjukkan lokasi dimana sampah yang datang harus dibongkar, hasil
pembongkaran selanjutnya diratakan tanpa diberi timbunan penutup, hal ini
berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh petugas pengelola di lokasi TPA.
Adapun mekanisme pengelolaan sampah di lokasi TPA diantaranya dengan cara
penimbunan, komposting, pemanfaatan sapi, serta daur ulang (recycling).
Dalam perencanaannya kedepan, sistem open dumping akan ditingkatkan
menjadi controlled landfill dengan mengambil lokasi dari zona aktif TPA seluas
1,12 ha (Dinas Kebersihan Kota Ternate, 2008). Penyiapan prasarana untuk
controller landfill telah dilaksanakan sebagian seperti penyediaan area sel dengan
sistem geomembran. Pemrosesan air lindi yang terdiri dari 3 (tiga) kolam, yaitu
kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi, pipa saluran air lindi yang
meliputi pipa primer 6” dan pipa sekunder 4”, dan pembuatan sumur kontrol
kualitas air sebanyak 3 buah. Akan tetapi prasarana tersebut belum dapat
dipergunakan karena ada beberapa hal teknis yang masih dipertimbangkan.
131

Gambar 40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate

Pengelolaan persampahan di Kota Ternate hingga saat ini baru


menjangkau 28 kelurahan pada 3 kecamatan di Kota Ternate yang terbagi dalam
10 blok pelayanan. Pada kecamatan Ternate Utara hanya dapat menjangkau 12
kelurahan dari jumlah14 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 3 blok pelayanan.
Sementara untuk kecamatan Ternate Tengah hanya mampu menjangkau kelurahan
yang berada di sekitar kawasan pesisir yaitu 12 kelurahan dari jumlah 15
kelurahan dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Ternate Selatan hanya
terlayani 12 kelurahan dari jumlah17 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 4 blok
pelayanan. Kecamatan Pulau Ternate belum sama sekali terlayani untuk
pengangkutan sampah ke TPA. Namun demikian lokasi Tempat Pembuangan
Sementara (TPS) tersebar merata di seluruh kecamatan (lihat Gambar 40).
Cakupan pelayanan pada tahun 2010 sebesar 80,02% dari jumlah penduduk Kota
Ternate (lihat Tabel 42).
132

Tabel 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate


Volume TPA Produksi Sampah Dan Tingkat Pelayanan
Produksi sampah
Lokasi Luas Luas Terpakai Jumlah Tingkat
Per hari Per hari
(ha) (ha) Pelayanan (jiwa)
(m3) lt/hari
TPA 80,02 %
Buku Deru- dari jumlah
56 3 145 2,5
Deru penduduk kota
(Kel.Takome) Ternate
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)

Komparasi Ketersediaan InfrastrukturPersampahan Berdasarkan Standar SNI


19-2454-2002
Kondisi eksisting penanganan persampahan di Kota Ternate dianalisis
menggunakan beberapa pola pelayanan yang disesuaikan dengan SNI 19-2454-
2002, dengan wilayah pelayanan antara lain :
1. Sampah Rumah Tangga
Untuk daerah permukiman menggunakan pola pelayanan dengan sistem
pola individual langsung atau sistem door to door yaitu sampah dikumpulkan dan
diangkut dengan dump truk dari sumbernya ke TPA. Masyarakat hanya
mengumpulkan dengan kantong-kantong plastik dan meletakkan dipinggir jalan.
Pola pelayanan tersebut sering menimbulkan kemacetan atau sulitnya kendaraan
berlintasan di permukiman yang jalannya sempit. Selain itu sistem door to door
ini waktu tempuh pengumpulan dan pengangkutan sampah menjadi lebih lama.
2. Sampah Perkantoran
Pola pelayanan sampah perkantoran menggunakan pola komunal langsung
yaitu sampah dikumpulkan pada wadahnya/TPS kemudian langsung diangkut ke
TPA menggunakan dump truk.
3. Sampah Jalan, Taman dan Drainase.
Pengumpulan sampah jalan, taman dan drainase pada umumnya dilakukan
pembersihan sampah dan dikumpulkan pada bak sampah kemudian diangkut
langsung ke TPA.
4. Sampah Pasar
Untuk areal pasar, pola pelayanan yang dipakai adalah pola kumunal
langsung yaitu sampah diangkut langsung ke TPA setelah sampah dikumpulkan
warga pasar dalam kontainer yang disediakan Dinas Kebersihan Kota Ternate.
133

namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya
di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk
mengolah sampah yang berasal dari pasar.
Merujuk pada SNI 19-3983-1995 tentang spesifikasai timbulan sampah
untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5–2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang
diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan
komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah
penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai 174.945 jiwa menghasilkan
produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari
komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak
terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang
belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang
berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39).
Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate
Berat Sampah per Persentase
No Komponen Sampah
Komponen di TPA (kg) (%)
1 Sisa Makanan (organik) 63,82 81,31
2 Kertas 2,51 3,20
3 Plastik 3,40 4,33
4 Kaca/botol gelas 2,88 3,67
5 Kulit 0,21 0,27
6 Logam 2,48 3,16
7 Kaleng 3,19 4,06
Jumlah 78,49 100,00
Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010)

Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005
sampai 2008 disajikan pada Tabel 44.
Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun 2005-2008
Jumlah
Jumlah Jumlah Penduduk
Tahun Penduduk Penduduk Tidak Produksi Diangkut ke Tidak diangkut
(jiwa) Terlayani Terlayani Sampah TPA ke TPA
jiwa % jiwa % m3/tahun m3/tahun % m3/tahun %
2005 163.166 134.499 82 28.667 18 129.240 77.040 60 52.200 40
2006 165.961 141.272 85 24.689 15 131.400 80.280 61 51.120 39
2007 171.722 142.134 83 29.588 17 136.080 82.800 61 53.280 39
2008 185.453 153.925 83 31.528 17 146.880 90.000 61 56.880 39

Kapasitas pelayanan sampah dari tahun 2005 hingga tahun 2008,


menunjukkan adanya peningkatan pelayanan. Ini ditandai dengan meningkatnya
tingkat pelayanan pada tahun 2005 hanya mampu melayani penduduk 134.499
134

jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat 153.925 jiwa (83%) di tahun 2008.
Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah
penduduk di tahun 2005-2008. Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas
angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara
keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah
pada tahun 2008 yaitu 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 90.000
m3/tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar
56.880 m3/tahun (39%).
Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat
dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi
pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini
mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus
ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di
kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi
dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh
aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai
tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan
tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Infrastruktur Persampahan


Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate
semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat
Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan
sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme
pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar
TPA.
Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan
dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh)
blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun 2005-2008 cenderung
meningkat dari 82% (134.499 jiwa) menjadi 83% (153.925 jiwa). Produksi
sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi
sampah pada tahun 2008 adalah 146.880 m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA
61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut
135

ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan


membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya
pencemaran lingkungan di sekitarnya.
Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan
perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat
dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu
kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah
bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi


Prasarana Pendidikan
Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen
sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan
anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain
dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah
dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3
tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok
belajar paket B.
Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah
jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah
SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap
jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik
(guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel
45 dan Tabel 46.
Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan
Jumlah Praarana Pendidikan
Kecamatan
TK SD SLTP SMU/SMK
Pulau Ternate 7 13 4 1
Ternate Selatan 12 33 8 7
Ternate Tengah 12 27 5 6
Ternate Utara 11 23 2 5
Kota Ternate 42 96 19 19
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)
136

Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik


TK SD SLTP SMU/SMK
Kecamatan
Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru
Pulau Ternate 249 37 1.637 189 440 64 118 33
Ternate Selatan 395 56 5.912 391 2.088 208 1.630 197
Ternate Tengah 396 62 6.283 372 2.473 187 3.213 255
Ternate Utara 381 57 3.819 274 1.502 96 2.353 280
Kota Ternate 1.421 212 17.651 1.226 6.503 555 7.314 765
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI 19-


2454-2002
Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan,
harus menyediakan ruang belajar untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas
pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang
membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan
memperhatikan jangkauan radius pelayanan.
Kebutuhan prasarana pendidikan berdasarkan SNI-03-1733-2004,
dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit
terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman
kanak-kanak (TK) per 1.250 jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung
sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 25-30 siswa dan
berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per 1.600 jiwa
dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang
belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan
perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah
Pertama (SLTP) per 4.800 jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah
minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat
bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh
dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan.
Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan
diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun
2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang
pendidikan disajikan pada Tabel 47.
137

Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar


Umur 0-4 Umur 5-9 Umur 10-14 Umur 15-19
Kecamatan
Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Tahun (jiwa)
Pulau Ternate 2.243 1.798 1.938 2.595
Ternate Selatan 4.807 6.038 3.277 3.121
Ternate Tengah 5.952 6.311 3.954 4.412
Ternate Utara 4.020 3.974 2.819 3.892

Kota Ternate 17.022 18.121 11.988 14.020


Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK)


Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4
tahun sebanyak 10.000 jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333
kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @ 25-30 siswa) atau 167 sekolah
(1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar).
Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate
(tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya
berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum
mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari
perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah
sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya
berkisar 1.421 siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah
pendidikan usia dini sebanyak 10.000 jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar
8.000 jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK.
Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate
Jumlah Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Kecamatan Penduduk Anak Usia Ket
Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
(Usia 0-4) Sekolah*
Tidak
Pulau Ternate 2.243 1.300 22 249 7 32 15 68
cukup
Tidak
Ternate Selatan 4.807 2.800 47 395 12 26 35 74
cukup
Tidak
Ternate Tengah 5.952 3.500 58 396 12 21 46 79
cukup
Tidak
Ternate Utara 4.020 2.400 40 381 11 28 29 73
cukup
Kota Ternate 17.022 10.000 167 1.421 42 125 Tidak
25 75
Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun

Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata


berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran
138

fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu


kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate
Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK
yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan
yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah
sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya
di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan
lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas
(Gambar 41).

Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD)


Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun
diasumsikan jumlah penduduk sebanyak 17.800 jiwa (dianalisis dari Tabel 47),
maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1
ruang kelas @40 siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang
belajar).
139

Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah,


maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang
terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak
sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa
SD yang terdaftar sebanyak 17.651 siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD
sebanyak 17.800 jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150
jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan
pada Tabel 49.
Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate
Jumlah Kebutuhan Ketersediaan
Kecamatan Penduduk Anak Usia Keterangan
Sekolah Siswa Sekolah
(Usia 5-14) Sekolah*
Pulau Ternate 3.736 2.200 9 1.637 13 Cukup
Ternate Selatan 9.315 5.500 23 5.912 33 Cukup
Ternate Tengah 10.265 6.100 25 6.283 27 Cukup
Ternate Utara 6.793 4.000 17 3.819 23 Cukup
Kota Ternate 30.109 17.800 74 17.651 96 Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun

Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang


mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses
pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada
lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder.
Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan
kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran
fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran
merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki
ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang
hanya 5.912 siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan
kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate
Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan
kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).
140

Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama


Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan
usia sekolah 13-15 tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah
sebanyak 7.400 jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI
03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah
minimal 6 ruang belajar).
Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010
sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa
sebanyak 6.503 siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari
standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan
perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah
sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk
usia sekolah) yang tersisa.
141

Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate


Jumlah Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Kecamatan Penduduk Anak Usia Ket
(Usia 10-19) Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Sekolah*
Tidak
Pulau Ternate 4.533 1.200 6 440 4 67 2 33
cukup
Ternate Selatan 6.398 1.900 7 2.088 8 100 - - Cukup
Tidak
Ternate Tengah 8.366 2.400 10 2.473 5 50 5 50
cukup
Tidak
Ternate Utara 6.711 1.900 7 1.502 2 29 5 71
cukup
Kota Ternate Tidak
26.008 7.400 30 6.503 19 63 11 37
Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 13-15 tahun

Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP

Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang


terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan.
Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk
kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan
untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan
radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun
142

terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah
meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke
fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian
kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar 10-15 menit. Sementara untuk wilayah
kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu
tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi.

Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan


Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun
kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata 16-18 tahun dengan perhitungan
jumlah penduduk usia sekolah sebanyak 8.200 jiwa, maka kebutuhan ruang
belajar adalah 200 kelas (standar SNI 03-1733-2004; 1 ruang kelas @40 siswa)
atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).
Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun
2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak 7.314
siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang
untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan
jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat
sekitar 1.000 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih
kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%).
Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate
Jumlah Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan
Kecamatan Penduduk Anak Usia Ket
(Usia 15-19) Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah %
Sekolah*
Tidak
Pulau Ternate 2.595 1.500 6 118 1 17 5 83
cukup
Ternate Selatan 3.121 1.800 7 1.630 7 100 - - Cukup
Tidak
Ternate Tengah 4.412 2.600 10 3.213 6 60 4 40
cukup
Tidak
Ternate Utara 3.892 2.300 9 2.353 5 56 4 44
cukup
Tidak
Kota Ternate 14.020 8.200 34 7.314 19 56 15 44
Cukup
*) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 16-18 tahun
143

Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK

Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing


kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada
wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius
pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah
dan kecamatan Ternate Selatan <1 km, sedangkan untuk kecamatan Ternate
Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh
hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan
jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya.
Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate
membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga)
kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan
jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan
dalam waktu tempuh.
144

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan


Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap
jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana
pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi
diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD
telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah
dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan,
maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas
sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk
jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum
mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah
TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang
bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan
pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun.
Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia
sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak
misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan
fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan
untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan
SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses
pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan
radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP
dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius
terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang
meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km.
Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan
kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah
fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas
pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam
membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi
modern, dan untuk mengembangkan kapasitas serta menyebarluaskan
145

pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan


daya saing bangsa.

Prasarana Kesehatan
Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan
Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam
mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk
mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah
didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut.
Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI 03-1733-
2004 adalah sebagai berikut :
a. Posyandu
b. Balai Pengobatan Warga
c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin)
d. Puskesmas dan Balai Pengobatan
e. Puskesmas
f. Tempat Praktek Dokter
g. Apotek

Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada


tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai
pengobatan, 6 puskemas, 9 puskesmas pembantu, 21 posyandu, 47 tempat praktek
dokter dan 26 Apotek (dilihat pada Tabel 52).
Tabel 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate
Kecamatan
Prasarana Kesehatan Pulau Ternate Ternate Ternate Jumlah
Ternate Selatan Tengah Utara
Posyandu 3 5 2 11 21
Poliklinik/Balai Pengobatan - - 1 - 1
Rumah Sakit Bersalin - 1 1 1 3
Puskesmas 1 2 2 1 6
Puskesmas Pembantu 2 2 2 3 9
Tempat Praktek Dokter - 11 32 4 47
Apotek - 7 15 4 26
Rumah Sakit - 1 4 1 6
Jumlah 6 29 59 25 119
Sumber : BPS Kota Ternate (2011)
146

Kecamatan Ternate Tengah memiliki prasarana kesehatan terbanyak dari


pada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pelayanan kesahatan
terkonsentrasi pada kecamatan Ternate Tengah. Puskesmas, Puskesmas Pembantu
dan Posyandu terlihat sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan (lihat Gambar
45). Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum
kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Sementara
sarana dan prasarana kesehatan lainnya misalnya rumah sakit, rumah sakit
bersalin, balai pengobatan, tempat praktek dokter maupun apotek hanya terpusat
pada wilayah yang berada di pusat kota atau sekitar pusat kota yaitu pada
kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate
Utara.

Gambar 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate

Komparasi Ketersediaan Prasarana Kesehatan Berdasarkan Standar SNI 03-


1733-2004
Jangkauan radius pelayanan fasilitas kesehatan dipertimbangkan terkait
dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu
wilayah. Berdasarkan SNI 03-1733-2004, kebutuhan Posyandu dengan ratio
147

pelayanan per 2.500 jiwa berada pada radius pelayanan 1 km2, balai kesejahteraan
ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per 30.000 jiwa radius pelayanan 4 km2,
puskesmas pembantu dan balai pengobatan per 30.000 jiwa radius pelayanan 1,5
km2, puskesmas dan balai pengobatan per 120.000 jiwa dengan radius pelayanan
3 km2, tempat praktek dokter per 5.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2,
dan Apotek per 30.000 jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km2.
Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate
Kecamatan
Prasarana Kesehatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
(15.024 jiwa)* (65.888 jiwa)* (54.677 jiwa)* (47.724 jiwa)*
Kebutuhan1 - 1 1 1
Rumah
Ketersediaan - 1 4 1
Sakit
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
Rumah Kebutuhan2 - 2 1 1
Sakit Ketersediaan - 1 1 1
Bersalin Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup
Kebutuhan3 1 1 1 1
Puskesmas Ketersediaan 1 2 2 1
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Kebutuhan4 3 13 10 9
Posyandu Ketersediaan 3 13 10 11
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Kebutuhan5 3 13 11 10
Praktek
Ketersediaan - 11 32 4
Dokter
Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup
Kebutuhan6 - 2 1 1
Apotek Ketersediaan - 7 15 4
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
* Jumlah Penduduk tahun 2011
1
Standar 150.000 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 120.000 jiwa; 4 Standar 5.000 jiwa; 5 Standar 5.000
jiwa; 6 Standar 30.000 jiwa;

Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada


jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai
pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas
yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah
sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut
cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota.
Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan
jumlah penduduk hanya berkisar 47.724 jiwa, sehingga masyarakat terlayani
untuk setiap Posyandu adalah sekitar 4.000 jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di
Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani 47.724 jiwa.
Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk
dapat melayani 15.024 jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI
148

03-1733-2004 untuk 30.000 jiwa/Puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas


juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate
Selatan.
Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga
sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut
paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan
kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan
dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek
dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama
(jalan kolektor).
Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh
adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah
pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit,
puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS
jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter
maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit.
Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat
kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses
ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi
titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses
pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang
jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan
oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54.
Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan
Radius Pencapaian
RSB/ Praktek
Kecamatan Posyandu Puskesmas RS Apotek
BKIA Dokter
(km) (km) (km) (km)
(km) (km)
Pulau Ternate 0,5-1 5-6 6-7 6-7 6-7 6-7
Ternate Selatan 0,2-0,5 2-3 2-3 2-3 1,5-2 1-1,5
Ternate Tengah 0,2-0,5 1-2 1-2 1-1,5 0,5-1 0,5-1
Ternate Utara 0,2-0,5 2-3 4-5 3-4 1,5-2 1,5-2
149

Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke


berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan
karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau
fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km
dengan waktu tempuh > 1 jam.
Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah,
kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah.
Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk
menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter
berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3
(tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari
permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari
lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai
standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai.

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan


Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran
tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan
cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi
pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan
kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke
fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada
tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan
minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini
berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar
pelayanan minimum.

Prasarana Niaga dan Perdagangan


Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan
Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan
jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan
desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi
penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan
150

terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani
pada area tertentu.
Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan
dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang
tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga
dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai
berikut:
1. Toko/warung.
2. Pertokoan, Rumah Toko.
3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan.
4. Mini Market/Swalayan kecil.
5. Supermarket/Pasar Swalayan.
6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall.
Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate
pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit
Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya
pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan 3.152 unit toko/warung tersebar di semua
kecamatan (lihat Tabel 55).
Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan
Pusat Pusat
Toko/ Pasar
Kecamatan Minimarket Pertokoan Perbelanjaan/
Warung Tradisional
(Ruko) Mall
Pulau Ternate 204 - - - -
Ternate Selatan 815 1 13 2 -
Ternate Tengah 1.379 1 6 6 2
Ternate Utara 754 1 2 3 -
Jumlah 3.152 3 21 11 2
Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas


toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota
Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang
bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya
fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun
minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah
penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan
151

perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar


14.692 jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau
minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena
ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan
kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke
pusat kota.
Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat
perbelanjaan/Mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir
semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk
pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola
sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau
Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate
Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata
lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini.
Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I)
berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan
sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal.

Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate


152

Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan


Standar SNI 03-1733-2004
Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI-03-1733-
2004 dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius
pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m,
dan pertokoan/ruko ratio 6.000 jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat
kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk 30.000
jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan
radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio 30.000 jiwa dengan
radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan.
Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per 120.000 jiwa berlokasi di jalan
utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri.
Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung,
minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan
minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih
diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan.
Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada
kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan
Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah
sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan
jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada
wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah).
Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Kecamatan
Prasarana Niaga dan
Perdagangan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara
(14.692 jiwa)* (63.746 jiwa)* (52.072 jiwa)* (45.574 jiwa)*
Kebutuhan1 59 255 208 182
Toko/warung Ketersediaan 204 815 1.379 754
Keterangan cukup cukup cukup cukup
Kebutuhan2 - 2 1 1
Pasar Ketersediaan - 1 1 1
Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup
Kebutuhan3 - 2 1 1
Minimarket Ketersediaan - 13 6 2
Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup
Pusat Kebutuhan4 - - 1 -
Perbelanjaan/ Ketersediaan - - 2 -
Mall Keterangan tidak butuh tidak butuh cukup tidak butuh
* Jumlah Penduduk tahun 2010
1
Standar 250 jiwa; 2 Standar 30.000 jiwa; 3 Standar 30.000 jiwa; 4 Standar 120.000 jiwa;
153

Wilayah pelayanan fasilitas toko/warung rata-rata berjarak <300 m atau


jarak terdekat dengan radius 150 m dengan relatif waktu tempuh <10 menit dari
permukiman penduduk. Jarak tempuh ke pasar tradisional rata-rata 2-3 km dengan
waktu tempuh >30 menit, minimarket dengan jarak <0,5 km dengan waktu
tempuh <15 menit, dan pusat pertokoan (ruko) maupun pusat perbelanjaan/mall
masing-masing berjarak rata-rata 2-3 km waktu tempuh >30 menit dan 3 km
dengan waktu tempuh >30 menit. Lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan
yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor
sekunder, sehingga memudahkan akses ke fasilitas. Jarak pencapaian sarana dan
prasarana niaga dan perdagangan disajikan dalam Tabel 57.
Tabel 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan
Radius Pencapaian
Pusat Pusat
Toko/ Mini-
Kecamatan Pasar Pertokoan Perbelanjaan/
Warung market
(km) (Ruko) Mall
(km) (km)
(km) (km)
Pulau Ternate 0,2-0,3 6-7 6-7 6-7 9-10
Ternate Selatan 0,1-0,25 2,5-4 0,5-1 2-3 3-5
Ternate Tengah 0,1-0,25 2-2,5 0,3-0,5 1-2 1-2
Ternate Utara 0,2-0,25 3-5 0,5-1 2-3 3-4,5

Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Niaga dan Perdagangan


Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan diantaranya toko/warung,
minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate telah memenuhi standar
pelayanan minimum. Namun fasilitas pasar masih diperlukan 1 unit untuk
mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Jumlah fasilitas
toko/warung dan minimarket melebihi jumlah pelayanan minimum dengan jarak
pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada
wilayah pelayanan yang terpusat di satu lokasi yaitu di kecamatan Ternate
Tengah.
Sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa merupakan
sektor-sektor yang memiliki andil terbesar dalam peningkatan Produk Domestik
Reginal Bruto (PDRB) Kota Ternate. Terlebih lagi sejak pengembangan kawasan
waterfront, peningkatan sektor tersebut cukup signifikan pada waktu memasuki
tahun 2008 hingga tahun 2011 (empat tahun terakhir) (lihat pada hal. 82 tentang
PDRB Kota Ternate). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan peningkatan
154

prasarana niaga dan perdagangan berdasarkan analisis cakupan pelayanannya,


sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor tersebut.
Akses pencapaian sangat mudah dari permukiman khususnya di
kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota yakni kecamatan Ternate
Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara untuk menuju
sarana dan prasarana niaga dan perdagangan. Khususnya di kecamatan Ternate
Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas tersebut berjarak rata-
rata <1 km, sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan lainnya rata-rata radius terdekat
berjarak 1-2,5 km. Hal ini didasari oleh peruntukan ruang kecamatan Ternate
Tengah, untuk pusat kegiatan khususnya untuk kawasan niaga dan perdagangan
(Central Business District) skala kota/lokal. Secara keseluruhan akses pencapaian
ke sarana dan prasarana niaga dan perdagngan telah terpenuhi atau sesuai standar
karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Pengaturan zona pelayanan
diperlukan agar tidak terjadi pemusatan sarana dan prasarana niaga dan
perdagangan di satu lokasi.

Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau


Dalam mewujudkan kota ramah lingkungan (eco-city), maka penataan
ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur harus mempertimbangan
keseimbangan ekologis dengan menerapkan konsep infrastruktur hijau (green
infrastructure). Infrastruktur hijau terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link
dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan
menyediakan komponen ekosistem alam, misalnya daerah konservasi, hutan
lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links merupakan komponen yang
menghubungkan antar hubs, berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk
hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Sites merupakan unit yang lebih kecil
dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian
penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site dapat berupa taman ataupun ruang
terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan
rekreasi atau tempat wisata alam.
Dari hasil identifikasi citra satelit, peta tematik dan survey lapang,
diperoleh objek-objek yang termasuk Hubs, Links dan Site di Kota Ternate,
155

dengan hasil klasifikasi menurut kategori elemen-elemen tersebut, sebagai


berikut:
Hubs
1. Cadangan alami : Hutan lindung, mangrove, semak belukar
2. Lahan kegiatan usaha: perkebunan cengkeh dan pala, kebun campur,
pertanian lahan kering
Links
1. Koridor konservasi: sepadan sungai, sepadan danau (badan air)
2. Keterkaitan lansekap: sepadan jaringan jalan
Site
1. Taman Kota, Taman wisata sejarah
2. Lapangan
3. Areal Pemakaman

Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate


Konsep pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) di
Indonesia saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan ruang terbuka
hijau (RTH) (Herwirawan, 2009). Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat
rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya
sebesar 30% dari luas wilayah kota. Tipologi RTH secara fisik dapat dibagi RTH
alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta
RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau
jalur-jaur hijau jalan, sedangkan berdasarkan kepemilikan terbagi atas RTH publik
dan RTH privat (PERMEN PU No.05/PRT/M/2008).
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan. RTH merupakan salah satu objek kawasan lindung
yang diprioritaskan dalam rencana pola ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun 2010-2030.
156

Dengan mengetahui luas wilayah pusat kota Ternate (Kecamatan Ternate


Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara) 5.428,58 ha, maka luas RTH yang
harus disediakan sebesar 1.628,57 ha dari luas kota. Pembagian RTH publik 20%
atau 1.085,72 ha dan 10% atau 542,86 ha untuk RTH privat. Target ketersediaan
RTH tersebut, dapat diwujudkan dengan sebaran kawasan hijau pada 3 (tiga)
kecamatan yang ada di Kota Ternate.
Ketersediaan RTH dapat diidentifikasi dari data penggunaan lahan
eksisting. Dari hasil analisis citra 2010, penggunaan lahan (landuse) didominasi
oleh kawasan vegetasi/RTH yaitu 4.035,94 ha atau 74% dari luas wilayah pusat
kota Ternate. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat kota Ternate tergolong
masih hijau, terutama di bagian dataran tinggi hingga menuju ke puncak gunung
Gamalama. Kawasan ini meliputi hutan lindung, kebun campur, semak belukar,
mangrove, taman dan lapangan. Berikut ini disajikan Tabel 58 berkaitan dengan
proporsi penggunaan lahan di Kota Ternate.
Tabel 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate
Jumlah Luas Persentase
Penggunaan Lahan
(ha) (%)
Lahan Terbangun 1.253,58 23
Kawasan Jasa Perdagangan 151,85
Permukiman 1.101,73
RTH/Vegetasi 4.035,94 74
Mangrove 3,38
Hutan 1.447,21
Kebun Campuran 75,90
Lapangan 11,91
Makam 23,93
Perkebunan 2.148,04
Pertanian Lahan Kering 121,51
Semak Belukar 178,56
Taman 25,51
Badan Air 40,55 1
Danau 18,32
Sungai 22,23
Lahan Kosong 54,83 1
Lahan Kosong 54,83
Kawah 43,68 1
Kawah Gunung Api 43,68
Penggunaan lahan di Kota Ternate 5.428,58

Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi
dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan
dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate
157

tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH
Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH
adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah)
(lihat Tabel 59).
Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan
Luas RTH Publik RTH Privat Jumlah Luas RTH
Kecamatan
Wilayah (ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%)
Ternate Tengah 1.416,34 365,33 26 656,06 46 1.021,39 72
Ternate Selatan 2.304,99 794,58 34 962,23 42 1.756,80 76
Ternate Utara 1.707,24 530,59 31 727,17 43 1.257,75 74
Kota Ternate 5.428,58 1.690,50 31 2.345,46 43 4.035,94 74

Gambar 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan

Tabel 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan


Luas Persentase
Penggunaan Lahan
(ha) (%)
Lahan Terbangun 470,32 20,40
RTH/Vegetasi 1.756,80 76,22
Badan Air 32,32 1,40
Lahan Kosong 25,05 1,09
Kawah Gunung Api 20,48 0,89
Jumlah 2.304,99 100
158

Penggunaan lahan vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas di kecamatan


Ternate Selatan dengan memiliki luas 1.756,80 ha atau masih ada sekitar 76% dari
luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan
kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 47). Sementara untuk penggunaan lahan
terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai dengan jumlah luasnya
470,32 ha atau 20% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60.

Persentase ketersediaan RTH didasarkan pada perhitungan persentase dari


jumlah luas RTH publik maupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah
kecamatan Ternate Selatan. RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate
Selatan yang terlihat pada Tabel 61 yaitu masing-masing 34% dan 42%. Hal ini
menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 962,23 ha dibandingkan
RTH Publik yang hanya 794,58 ha. Penggunaan lahan perkebunan mendominasi
RTH Privat yaitu 847,59 ha.
Tabel 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan
RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)
Lapangan 4,42 Kebun Campur 48,92
Makam 6,69 Pertanian Lahan Kering 65,72
Mangrove 3,38 Perkebunan 847,59
Taman 12,20
Hutan Lindung 766,93
Semak Belukar 0,96
Jumlah 794,58 962,23
Persentase (%) 34 42

Kondisi eksisting penggunaan lahan Kecamatan Ternate Tengah seperti


yang terlihat pada Gambar 48, menggambarkan bahwa perbandingan luas lahan
terbangun dan non terbangun hampir 1:3. Kecamatan ini merupakan wilayah
terpadat di Kota Ternate, karena merupakan bagian wilayah kota yang melayani
sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, jasa dan perdagangan, serta kawasan
permukiman. Luas RTH di kecamatan ini tergolong paling kecil diantara
kecamatan lainnya yaitu hanya 1.021,39 ha atau 72% (Tabel 62). Kawasan
vegetasi/RTH dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >40%.
Penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai
159

(kemiringan 0-10%) hingga ke dataran tinggi (kemiringan 10-20%) dengan luas


berkisar 379,21 ha atau 26% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Tengah.

Gambar 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah

Tabel 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah


Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Lahan Terbangun 379,21 26,77
RTH/Vegetasi 1.021,39 72,11
Badan Air 4,62 0,33
Lahan Kosong 2,57 0,18
Kawah Gunung Api 8,53 0,60
Jumlah 1.416,34 100

Tabel 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah


RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)
Lapangan 4,12 Kebun Campur 21,96
Makam 12,90 Pertanian Lahan Kering 2,45
Taman 4,45 Perkebunan 631,64
Hutan Lindung 343,84
Jumlah 365,31 656,05
Persentase (%) 26 46
160

Persentase ketersediaan RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan


Ternate Tengah yaitu masing-masing 26% dan 46%. Perhitungan persentase
jumlah luas RTH publik ataupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah
kecamatan Ternate Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat
masih lebih luas 365,31 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 656,05 ha.
Penggunaan lahan perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 631,64 ha
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat.
Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 63.
Proporsi penggunaan lahan di kecamatan Ternate Utara juga menunjukkan
penggunaan lahan untuk vegetasi/RTH masih terbilang cukup luas yakni 1.257,75
ha atau masih ada sekitar 73% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/RTH
dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 49).
Berbeda halnya dengan penggunaan lahan terbangun, dimana hampir sepanjang
kawasan pesisir pantai dipadati permukiman dengan jumlah luasnya berkisar
404,03 ha atau 23% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Utara (lihat pada
Tabel 654).

Gambar 49. RTH Kecamatan Ternate Utara


161

Tabel 64. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Utara


Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%)
Lahan Terbangun 404,03 23,67
RTH/Vegetasi 1.257,75 73,67
Badan Air 3,59 0,21
Lahan Kosong 27,20 1,59
Kawah Gunung Api 14,66 0,86
Jumlah 1.707,24 100

Tabel 65. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Utara


RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha)
Lapangan 3,36 Kebun Campur 5,01
Makam 4,33 Pertanian Lahan Kering 53,34
Taman 8,85 Perkebunan 668,80
Hutan Lindung 336,43
Semak Belukar 177,59
Jumlah 530,56 727,15
Persentase (%) 31 43

Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan yang dibagi menjadi RTH


Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Utara yaitu masing-masing 31%
dan 43%. Angka tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas
727,15 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 530,56 ha. Penggunaan lahan
untuk perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 668,80 ha
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat.
Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan di kecamatan Ternate Utara disajikan
pada Tabel 65.

Kesimpulan Cakupan Infrastruktur Hijau


Meskipun ketersediaan RTH kota Ternate tergolong cukup dalam
memenuhi standar RTH kota 30%, namun keberadaan RTH yang dominan bukan
berada pada kawasan pesisir (pusat kota) menyebabkan kondisi iklim kota
semakin tidak nyaman. Hal ini berkaitan dengan kondisi iklim di Kota Ternate,
dimana rata-rata suhu udara berkisar 21.0ºC – 32.5ºC dengan tingkat penyinaran
matahari rata-rata 64%, sehingga kondisi cuaca khususnya pada siang hari cukup
panas. Keberadaan tanaman dan unsur air sebagai komponen utama RTH mampu
menciptakan iklim mikro yang lebih baik di kawasan perkotaan.
162

Sebaran RTH khususnya di pusat Kota, yaitu 3 (tiga) kecamatan, Ternate


Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara, diupayakan untuk dapat
mengoptimalkan fungsi RTH. Penggunaan lahan di kawasan pusat perkotaan lebih
dominan sebagai kawasan jasa dan perdagangan, sarana pendidikan, kesehatan,
areal perkantoran serta permukiman penduduk, sehingga ketersediaan ruang
terbuka hijau masih sangat minim. Hal ini disebabkan karena laju konversi lahan
pada kawasan perkotaan semakin tinggi. Untuk itu perencanaan tata ruang kota
(RTRW) dapat dijadikan kerangka kerja (framework) untuk pengendalian
pemanfaatan ruang khususnya kawasan pusat kota serta peremajaan kota dengan
membangun spot-spot area terbuka hijau (site) dan jalur hijau pada jaringan jalan
(link) di pusat perkotaan sebagai RTH publik dan menetapkan koefisien dasar
hijau (KDH) pada lahan-lahan milik masyarakat di kawasan permukiman sebagai
RTH privat.

Prediksi Kebutuhan Infrastruktur Tahun 2013-2032


Jumlah penduduk merupakan faktor utama untuk menentukkan banyaknya
infrastruktur dan fasilitas umum yang harus disediakan di suatu wilayah
perencanaan. Proyeksi jumlah penduduk dalam kurun waktu tertentu sangat
membantu untuk menyusun perencanaan wilayah (perkotaan) di masa mendatang.
Berdasarkan hasil analisis regresi linear, proyeksi penduduk kota Ternate di tahun
2013-2032 disajikan pada Tabel 66.
Tabel 66. Proyeksi Jumlah Penduduk Kota Ternate Tahun 2013-2032
Tahun Proyeksi Rata-Rata
Kecamatan Pertumbuhan
2013 2017 2022 2027 2032
(%)
Pulau Ternate 15.483 16.348 17.428 18.509 19.589 1,33
Ternate Selatan 67.865 72.517 78.332 84.146 89.961 1,63
Ternate Tengah 56.293 60.744 66.308 71.872 77.436 1,88
Ternate Utara 49.154 53.034 57.884 62.734 67.584 1,87
Jumlah 188.795 202.643 219.952 237.261 254.570 1,68

Proyeksi penduduk di tahun 2013 diprediksikan mencapai 188.795 jiwa


dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa dengan rata-rata pertumbuhan
penduduk dalam kurun waktu 20 tahun sebesar 1,68%. Jumlah penduduk yang
terbesar diprediksikan berada di kecamatan Ternate Selatan yaitu 89.961 jiwa
pada tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan penduduk sebesar 1,63%.
163

Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate diprediksikan memiliki jumlah


penduduk terkecil yaitu 19.589 jiwa di tahun 2032 dengan rata-rata pertumbuhan
1,33%. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi jumlah dan sebaran sarana dan
prasarana yang harus disediakan untuk melayani kebutuhan masyarakat Kota
Ternate.
Proyeksi jumlah penduduk (Tabel 67) dapat dimanfaatkan untuk
menghitung kebutuhan infrastruktur perkotaan. Jumlah penduduk dapat dijadikan
sebagai parameter untuk merencanakan infrastruktur kota. Kebutuhan
infrastruktur yang dapat dianalisis dengan proyeksi jumlah penduduk secara linear
diantaranya adalah kebutuhan air bersih PDAM, daya listrik, produksi sampah,
prasarana kesehatan dan prasarana niaga dan perdagangan. Sementara untuk
prasarana pendidikan tidak dapat dilakukan analisis prediksi, disebabkan oleh
keterbatasan data (mortalitas dan fertilitas) sebagai penunjang untuk melakukan
analisi proyeksi penduduk berdasarkan usia. Dilain pihak bahwa untuk
memprediksi kebutuhan prasarana pendidikan harus didasarkan pada jumlah anak
usia sekolah. Hal demikian tentunya membutuhkan data prediksi jumlah
penduduk berdasarkan usia.

Prediksi Kebutuhan Air Bersih


Standar kebutuhan air bersih untuk ukuran Kota Sedang (jumlah penduduk
0,1–0,5 juta jiwa) adalah 100 lt/org/hr dengan asumsi tingkat kebocoran air 10%.
Melihat proyeksi jumlah penduduk Kota Ternate pada tahun 2013-2032 (Tabel
66) maka kebutuhan air bersih PDAM disajikan pada Tabel 67. Prediksi
kebutuhan air bersih di Kota Ternate pada tahun 2013 adalah 20.767.450 lt/hari
dan pada tahun 2032 meningkat 28.002.700 lt/hari. Peningkatan jumlah air bersih
tersebut mencapai 7.235.250 lt/hari atau 25%.
Dengan membandingkan ketersediaan air bersih PDAM tahun 2011
sebesar 3.965.760 lt/hari dan prediksi kebutuhan air di tahun 2032 adalah
28.002.700 lt/hari, maka upaya peningkatan kapasitas produksi air bersih yang
harus disediakan oleh PDAM hingga tahun 2023 sebesar 24.036.940 lt/hari atau
peningkatan 7x dari ketersediaan air bersih di tahun 2011. Penyediaan kapasitas
air dengan jumlah tersebut, sangatlah tinggi mengingat keterbatasan pelayanan air
164

bersih PDAM saat ini. Untuk itu disarankan untuk mencari alternatif potensi
sumber air baku yang berada di Kota Ternate untuk dapat dimanfaatkan
masyarakat dalam menunjang aktivitas sehari-hari, mengingat air merupakan
kebutuhan dasar (basic need) bagi kelangsungan kehidupan masyarakat.
Tabel 67. Prediksi Kebutuhan Air Bersih PDAM Tahun 2013-2032
Kondisi Kebutuhan Air Bersih (lt/hari)*
Kecamatan Eksisting
2013 2017 2022 2027 2032
2011
Pulau Ternate 79.210 1.548.300 1.634.800 1.742.800 1.850.900 1.958.900
Ternate Selatan 1.471.702 6.786.500 7.251.700 7.833.200 8.414.600 8.996.100
Ternate Tengah 1.271.993 5.629.300 6.074.400 6.630.800 7.187.200 7.743.600
Ternate Utara 1.142.855 4.915.400 5.303.400 5.788.400 6.273.400 6.758.400
Jumlah 3.965.760 18.879.500 20.264.300 21.995.200 23.726.100 25.457.000
Tingkat
1.887.950 2.026.430 2.199.520 2.372.610 2.545.700
Kebocoran 10%
Jumlah 3.965.760 20.767.450 22.290.730 24.194.720 26.098.710 28.002.700
*Standar 100 lt/org/hari

Prediksi Kebutuhan Daya Listrik


Untuk menentukan kebutuhan daya listrik digunakan standar pelayanan
daya listrik 450 VA per jiwa berdasarkan SNI 03-1733-2004. Proyeksi jumlah
penduduk pada tahun 2032 adalah 254.570 jiwa (Tabel 66), maka kebutuhan daya
listrik mencapai 114.557 KVA. Hasil estimasi perhitungan kebutuhan daya listrik
pada tahun 2013 hingga tahun 2032 terus mengalami peningkatan seiringan
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Hasil analisis menunjukkan bahwa
peningkatan kebutuhan daya listrik mencapai 29.599 KVA atau 26%. Prediksi
kebutuhan daya listrik tahun 2013-2032 disajikan pada Tabel 68.
Kondisi eksisting daya tersambung listrik tahun 2011 sebesar 41.042
KVA. Jika dibandingkan dengan prediksi kebutuhan daya listrik hingga tahun
2032 yaitu 114.557 KVA, maka kapasitas produksi listrik sebesar 73.515 KVA
atau 3x dari ketersediaan daya listrik (tahun 2011) perlu diupayakan untuk dapat
menjamin pelayanan listrik di Kota Ternate hingga tahun 2032.
165

Tabel 68. Prediksi Kebutuhan Daya Listrik Tahun 2013-2032


Kondisi Kebutuhan Daya Listrik (KVA)*
Kecamatan Eksisting
2013 2017 2022 2027 2032
2011
Pulau Ternate 3.455 6.967 7.357 7.843 8.329 8.815
Ternate Selatan 13.695 30.539 32.633 35.249 37.866 40.482
Ternate Tengah 13.066 25.332 27.335 29.839 32.342 34.846
Ternate Utara 10.827 22.119 23.865 26.048 28.230 30.413
Jumlah 41.042 84.958 91.189 98.978 106.767 114.557
*Standar 450 VA per jiwa

Prediksi Produksi Sampah


Berdasarkan hasil perhitungan estimasi produksi sampah tahun 2013-2032
mendatang menunjukkan peningkatan timbulan sampah dari 471.988 lt/hari
meningkat 636.425 lt/hari atau mengalami peningkatan sebesar 26%. Kecamatan
Ternate Selatan diprediksikan memiliki produksi sampah terbanyak yaitu sebesar
224.903 lt/hari, sedangkan produksi sampah yang terkecil berada di kecamatan
Pulau Ternate yaitu 48.973 lt/hari pada tahun 2032. Untuk itu kebutuhan jumlah
sarana TPS dan sebarannya perlu dipertimbangkan pada masing-masing
kecamatan untuk memberikan layanan pengangkutan sampah yang optimal dan
merata. Untuk lebih jelasanya disajikan pada Tabel 69.
Tabel 69. Prediksi Produksi Sampah Tahun 2013-2032
Kondisi Produksi Sampah (lt/hari)*
Kecamatan Eksisting
2008 2013 2017 2022 2027 2032
Pulau Ternate 6.720 38.708 40.870 43.570 46.273 48.973
Ternate Selatan 55.710 169.663 181.293 195.830 210.365 224.903
Ternate Tengah 51.980 140.733 151.860 165.770 179.680 193.590
Ternate Utara 32.470 122.885 132.585 144.710 156.835 168.960
Jumlah 146.880 471.988 506.608 549.880 593.153 636.425
*Standar 2,5 lt/org/hari

Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan


Estimasi jumlah kebutuhan prasarana kesehatan didasarkan oleh proyeksi
jumlah penduduk. Proyeksi jumlah penduduk hingga tahun 2032 adalah 254.570
jiwa (Tabel 66), sehingga diprediksikan membutuhkan 129 unit prasarana
kesehatan (Tabel 70). Prasarana kesehatan diprediksikan pada tahun 2013 hingga
tahun 2032 meningkat dari 129 unit menjadi 174 unit atau mengalami
peningkatan sebesar 25% (45 unit).
166

Melihat ketersediaan prasarana kesehatan tahun 2011 dan prediksi


kebutuhan tahun 2013-2032, maka prasarana kesehatan hingga tahun 2032 perlu
diupayakan peningkatannya untuk dapat melayani kebutuhan masyarakat.
Perencanaan prasarana kesehatan di tahun 2032 membutuhkan peningkatan
sebanyak 65 unit dan sebarannya perlu diperhatikan agar dapat memberikan
kemudahan untuk menjangkau tiap kecamatan ke prasarana kesehatan tersebut.
Tabel 70. Prediksi Kebutuhan Prasarana Kesehatan Tahun 2013-2032
Kondisi Tahun Prediksi
Prasarana Kesehatan Eksisting
2013 2017 2022 2027 2032
2011
1
Rumah Sakit 6 1 1 1 2 2
Rumah Sakit Bersalin2 3 6 7 7 8 8
Puskesmas3 6 2 2 2 2 2
Posyandu4 21 76 81 88 95 102
Praktek Dokter5 47 38 41 44 47 51
Apotek6 26 6 7 7 8 8
Jumlah 109 129 138 150 162 174
1
Standar 150.000 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 120.000 jiwa; 4Standar 5.000 jiwa;
5
Standar 5.000 jiwa; 6Standar 30.000 jiwa;

Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan


Rencana kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2013-
2032 berdasarkan analisis prediksi adalah 1.037 unit. Tabel 71 menunjukkan
peningkatan kebutuhan prasarana niaga dan perdagangan di tahun tersebut sebesar
241 unit. Namun ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan pada tahun 2010
telah melebihi kebutuhan pada tahun 2032. Hal ini menunjukkan bahwa prasarana
niaga dan perdagangan cenderung tumbuh lebih cepat di Kota Ternate. Jika dilihat
berdasarkan jenis prasarananya, maka fasilitas pasar masih diperlukan upaya
peningkatan sebanyak 5 unit pada tahun 2032. Selain itu zona pelayanan
prasarana niaga dan perdagangan perlu diatur sehingga sebarannya merata di
setiap unit kecamatan.
Tabel 71. Prediksi Kebutuhan Prasarana Niaga dan Perdagangan
Tahun 2013-2032
Prasarana Niaga dan Kondisi Tahun Prediksi
Perdagangan Eksisting
2013 2017 2022 2027 2032
2010
Toko/warung1 3.152 755 811 880 949 1.018
Pasar2 3 6 7 7 8 8
Minimarket3 21 6 7 7 8 8
Pusat Perbelanjaan/Mall4 13 2 2 2 2 2
Jumlah 3.189 769 826 896 967 1.037
1
Standar 250 jiwa; 2Standar 30.000 jiwa; 3Standar 30.000 jiwa; 4Standar 120.000 jiwa
167

Persepsi Stakeholder dalam Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur


Kawasan Waterfront
Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront
bertujuan untuk memberikan rancangan konsep kebijakan pengelolaan kelayakan
infrastruktur yang berkelanjutan. Setelah pengembangan kawasan waterfront
masih menyisakan sejumlah permasalahan. Permasalahan yang muncul
diantaranya belum selesainya pembangunan sarana dan prasarana misalnya
pembangunan gelanggang remaja sebagai sarana rekreasi dan fasilitas pasar
tradisional, munculnya sektor informal (PKL) yang tidak terencana, kebersihan
kawasan dimana masih terdapat sampah di sekitar tepi pantai dan kondisi taman
kota yang tidak terawat. Analisis persepsi stakeholder diharapkan dapat
memberikan alternatif untuk memperbaiki sarana dan prasarana di kawasan
waterfront.
Analisis persepsi stakeholder menggunakan tools Analitycal Hierarchy
Process (AHP). Jumlah responden sebanyak 11 responden yang terdiri dari
kalangan pemerintah, pihak swasta dan akademisi. Responden yang dipilih yaitu
para pihak yang terkait langsung dengan bidang infrastruktur.
Aspek Infrastruktur
Hasil analisis persepsi stakeholder terkait aspek infrastruktur memiliki
nilai Consistency Ratio (CR) 0,089. Nilai CR tersebut menunjukkan tingkat
konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen yang mewakili semua
responden. Pada elemen-elemen di Tingkat 2 yakni Aspek infrastruktur, aspek
yang menjadi prioritas untuk dibenahi menurut para stakeholders yaitu
infrastruktur fisik (0,525), kemudian disusul infrastruktur hijau (0,238) dan
selanjutnya infrastruktur sosial dan ekonomi (0,237). Pembobotan tertinggi dalam
tingkatan ini yaitu infrastruktur fisik didasarkan atas permasalahan di kawasan
waterfront misalnya belum optimalnya penanggulangan sampah di kawasan,
sehingga perlu pengelolaan lebih lanjut. Hasil analisis AHP untuk aspek
infrastruktur disajikan pada Gambar 50 .
168

Infrastruktur Hijau 0,238

Infrastruktur Sosial & Ekonomi 0,237

Infrastruktur Fisik 0,525

0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600

Gambar 50. Hasil AHP Aspek Infrastruktur

Sub Aspek Ketersediaan Infrastruktur di Kawasan Waterfront


Sub aspek ketersediaan infrastruktur yang berada di kawasan waterfront
meliputi jalan, air bersih, listrik, drainase dan sampah (infrastruktur fisik);
terminal angkutan umum, pasar tradisional, mall/pertokoan dan mesjid
(infrastruktur sosial ekonomi) dan taman kota (infrastruktur hijau). Beberapa sub
aspek infrastrutkur yang masih menjadi problem dalam penataan dan pengelolaan
kawasan diantaranya adalah sampah, pasar tradisional dan taman kota. Hasil
analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek infrastruktur memiliki nilai
Consistency Ratio (CR) 0,023.
Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek infrastruktur fisik yang
menjadi prioritas untuk diperhatikan menurut para stakeholders yaitu sampah
(0,233), jaringan jalan (0,211), saluran drainase (0,208) kemudian disusul
pelayanan air bersih (0,175) dan selanjutnya jaringan listrik (0,174). Gambar 51
menyajikan hasil analisis AHP sub aspek infrastruktur fisik.

Sampah 0,233

Saluran drainase 0,208

Pelayanan Air Bersih 0,174

Listrik 0,175

Jaringan Jalan 0,211

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250

Gambar 51. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Fisik


169

Bobot penilaian 0,233 pada sub aspek sampah menunjukkan bahwa


kebersihan kawasan waterfront yang menjadi prioritas. Pengembangan kawasan
waterfront dilihat dalam rencana tata ruang bahwa salah satu prioritas untuk
menanggulangi pencemaran lingkungan khususnya di kawasan pesisir yang
tercemar akibat sampah. Penanggulangan sampah diharapkan dapat memberikan
tatanan lingkungan khususnya kawasan pesisir yang lebih sehat dan bernilai
estetika.
Berdasarkan hasil analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek
infrastruktur sosial dan ekonomi memiliki nilai Consistency Ratio (CR) 0,043
yang menunjukkan tingkat konsistensi serta prioritas terhadap elemen-elemen
yang mewakili semua responden. Pada elemen-elemen di tingkat 3, sub aspek
infrastruktur sosial dan ekonomi yang mejadi prioritas utama menurut para
stakeholders secara berurutan yaitu pasar tradisional dengan bobot nilai 0,330,
mesjid dengan bobot nilai 0,310, terminal angkutan dengan bobot nilai 0,209
kemudian disusul pertokoan/mall dengan bobot nilai 0,159 (Gambar 52).

Terminal Angkutan 0,209

Mesjid 0,310

Pertokoan/Mall 0,159

Pasar Tradisional 0,330

0,000 0,050 0,100 0,150 0,200 0,250 0,300 0,350

Gambar 52. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Sosial dan Ekonomi

Pengembangan kawasan waterfront ditujukan untuk pelayanan sarana dan


prasarana sosial ekonomi. Sarana tersebut salah satunya adalah pasar tradisional.
Keberadaan pasar tradisional yang lama tidak layak lagi untuk dapat menampung
aktivitas jual beli masyarakat, sehingga pembangunan pasar tradisional yang baru
dirasakan penting untuk menanggulangi permasalahan tersebut. Prioritas utama
pada pasar tradisional dimaksudkan untuk mengembangkan ekonomi berbasis
masyarakat.
170

Hasil analisis persepsi stakeholder terkait sub aspek infrastruktur hijau


yang menjadi prioritas menurut para stakeholders yaitu taman kota dengan bobot
nilai 0,757, dan selanjutnya lapangan olahraga dengan bobot nilai 0,243. Prioritas
pada taman kota didasarkan pada fungsi ekologis, fungsi sosial budaya dan fungsi
estika. Gambar 53 menunjukkan hasil analisis AHP sub aspek infrastruktur hijau.

Lapangan Olahraga 0,243

Taman Kota 0,757

0,000 0,100 0,200 0,300 0,400 0,500 0,600 0,700 0,800

Gambar 53. Hasil AHP Sub Aspek Infrastruktur Hijau

Alternatif Kebijakan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur


Pada tingkat alternatif untuk penataan infrastruktur fisik yang ada di
kawasan, alternatif pengelolaan sampah terpadu (0,425) menjadi prioritas utama
dalam penangan permasalahan yang terkait dengan infrastruktur tersebut.
Permasalahan sampah di kawasan waterfront cukup terbilang kompleks, karena
sampah menumpuk di badan air (tepian pantai) dan juga pada TPS-TPS yang
kelebihan muatan sampah misalnya pada lokasi pasar tradisional, sementara disisi
lain kawasan waterfront lebih menonjolkan aspek estetika kota, sehingga perlu
adanya penanganan secara terpadu guna menyelesaikan persoalan tersebut.
Sementara untuk alternatif infrastruktur sosial dan ekonomi, para
stakeholder berpendapat bahwa penataan kawasan PKL (0,542) lebih penting
untuk diperhatikan. Hal ini berkaitan dengan aspek kawasan informal yang tidak
terencana tumbuh di kawasan ini. Keberadaan kawasan PKL ini, tentunya
membuka peluang usaha bagi masyarakat sekitar. Namun demikian suatu kawasan
yang tidak direncanakan tersebut, tampak cukup mengganggu terhadap estetika
kota karena penataannya sangat semraut. Selain itu, kawasan ini juga pada
akhirnya memproduksi sampah yang langsung ditumpukkan pada badan air
(tepian pantai).
Alternatif infrastruktur hijau yang penting sebagai prioritas dalam
penataan dan pengelolaan infrastruktur kawasan waterfront ialah penataan
kembali taman “Dodoku-Ali” (0,610). Taman tersebut merupakan suatu kesatuan
171

dimana simbol sejarah melekat pada kawasan ini. Saat ini kondisinya tidak
terawat dan beberapa prasarana yang ada, tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Untuk membangun simbol sejarah bagi keberadaan Kesultanan Ternate, maka
taman ini dapat difungsikan kembali, sebagai pusat interaksi masyarakat, sarana
rekreasi atau sebagai interaksi seni dan budaya.
Berdasarkan hasil dari persepsi stakeholder tersusun prioritas arahan
strategis yang menjadi capaian utama dalam penataan dan pengelolaan
infrastruktur kawasan waterfront di Kota Ternate disajikan pada Gambar 54 dan
Gambar 55.

Penataan Lansekap Kawasan Gelanggang


0,39
Remaja
Penataan Lansekap Taman Kota “Dodoku-
0,61
Ali
Revitalisasi kawasan Pasar Tradisional 0,458

Penataan Kawasan PKL 0,542

Pengelolaan Sampah Terpadu 0,425

Penataan Jalur Pedestrian 0,287

Perbaikan Saluran Drainase 0,288

0 0,2 0,4 0,6 0,8

Gambar 54. Hasil AHP Alternatif Penataan & Pengelolaan Infrastruktur Kawasan
Waterfront Kota Ternate
172

Tingkat 1: Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur


Fokus Kawasan Waterfront

Infrastruktur Sosial & Ekonomi


Tingkat 2 : Infrastruktur Fisik Infrastruktur Hijau
Aspek (0,237)
(0,525) (0,238)

Jaringan Pelayanan Jaringan Saluran Sampah Pasar Pertokoan/ Mesjid Terminal Taman Lapangan
Jalan Air Bersih Listrik drainase Tradisional Mall Angkutan Kota Olahraga
Tingkat 3: (0,211) (0,175) (0,174) (0,208) (0,233) (0,326)
(0,306) (0,159) (0,209) (0,757) (0,243)
Sub Aspek

Perbaikan Saluran Penataan Jalur Pengelolaan Penataan Revitalisasi kawasan Penataan Lansekap Penataan Lansekap
Tingkat 4: Kawasan PKL Pasar Tradisional Taman Kota Kawasan
Drainase Pedestrian Sampah Terpadu
Alternatif (0,458)
“Dodoku-Ali” Gelanggang Remaja
(0,288) (0,287) (0,425) (0,542)
(0,610) (0,390)

Gambar 55. Struktur Hierarki AHP


172
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

1. Garis pantai kota Ternate mengalami perubahan karena adanya reklamasi


pantai untuk pengembangan kawasan waterfront. Luas kawasan waterfront
yang direklamasi adalah 23,26 ha (0,23 km2) dan majunya garis pantai
berkisar 30-250 m. Selama 6 tahun (2004-2010) telah terjadi perubahan
penggunaan lahan, dimana luas penggunaan lahan tidak terbangun berkurang
sebesar 411 ha dan lahan terbangun meningkat seluas 521 ha.
2. Hasil analisis hierarki wilayah (tahun 2005-2011) menunjukkan bahwa telah
terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas.
Kelurahan/desa pesisir cenderung lebih berkembang dibandingkan dengan
kelurahan/desa bukan pesisir yang terlihat dari perubahan tingkatan hierarki
wilayah. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat
pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan menjadi 6 kelurahan, sedangkan
kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang menjadi 1
kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari
7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga ikut
meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan
pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan
menjadi 18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan.
3. Sebaran infrastruktur di kota Ternate terkonsentrasi di wilayah yang dekat
dengan pusat kota. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa ketersediaan
infrastruktur yang belum memenuhi standar pelayanan diantaranya adalah
kekurangan kapasitas produksi air bersih PDAM, pasokan daya listrik,
pengangkutan sampah ke TPA, daya tampung fasilitas pendidikan, dan
prasarana pasar. Infrastruktur yang telah mencukupi standar pelayanaan
diantaranya adalah jaringan jalan, fasilitas kesehatan, niaga dan perdagangan
dan RTH. Akses pencapaian ke prasarana relatif mudah karena dihubungkan
dengan jalan, namun waktu tempuh pencapaian setiap kecamatan berbeda.
4. Prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2013-2032 dianalisis berdasarkan
proyeksi jumlah penduduk dalam periode tersebut. Proyeksi penduduk di
tahun 2013 mencapai 188.795 jiwa dan di tahun 2032 mencapai 254.570 jiwa
174

dengan rata-rata pertumbuhan penduduk 1,68% (20 tahun), sehingga


kebutuhan infrastruktur hingga tahun 2032 diantaranya adalah air bersih
PDAM 28.002.700 lt/hari, kebutuhan daya listrik sebesar 114.557 KVA,
produksi sampah 636.425 lt/hari, prasarana kesehatan 129 unit, dan prasarana
niaga dan perdagangan 1.037 unit.
5. Arahan penataan dan pengelolaan infrastruktur di kawasan waterfront yang
perlu diprioritaskan adalah pengelolaan sampah terpadu untuk infrastruktur
fisik, penataan kawasan PKL untuk infrastruktur sosial ekonomi dan penataan
lansekap taman kota untuk infrastruktur hijau.

Saran

1. Diperlukan pengaturan zona pelayanan prasarana kesehatan serta prasarana


niaga dan perdagangan guna mengatasi ketidakmeratanya sebaran
infrastruktur di Kota Ternate dengan mempertimbangkan izin lokasi dalam
pembangunan prasarana tersebut.
2. Diperlukan peningkatan kapasitas produksi air bersih, pasokan daya listrik,
fasilitas sekolah, prasarana pasar, dan pengelolaan pengangkutan sampah
untuk menjamin pemerataan ketersediaan infrastruktur perkotaan.
3. Prediksi kebutuhan infrastruktur tahun 2013-2032 perlu digunakan untuk
perencanaan infrastruktur perkotaan di masa mendatang.
4. Pertimbangan pengembangan infrastruktur di kawasan waterfront Kota
Ternate perlu diprioritaskan pada pengelolaan sampah terpadu, penataan
kawasan PKL dan penataan kembali lansekap taman kota.
DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita R, Sakti A. 2010. Teori Pertumbuhan Kota (Perkotaan). Makassar:


Universitas Hasanuddin.

Anonim. 2007. Prinsip-Prinsip Dasar Sistem Drainase Perkotaan. http://pplp-


dinciptakaru.jatengprov.go.id/drainase/file/749053951_prinsip_dasar_dra
inase_perkotaan.pdf. download [28 Juli 2012]

Anonim. 2010. What’s Green Infrastructure?. /greeninfrastructure.net.[22 Mei


2012]

Anonim. 2012. Jaringan Distribusi Tenaga Listrik.


/danelspace.blogspot.com.html.[16 Mei 2012]

Anwar A. 1999. Mobilisasi Sumberdaya Ekonomi dalam Mengatasi


Pengangguran Kearah Pemerataan yang Menyumbang Kepada
Pertumbuhan Ekonomi. Seminar Nasional Pembangunan Wilayah dan
Pedesaan. IPB. Tidak dipublikasikan.

[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Ternate. 2006.


Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Ternate 2006-2015. Ternate:
BAPPEDA.

Benedict MA, McMahon ET. 2002. Green Infrastructure: Smart Conservation for
21th Century. Journal of The Renewable Resources 20: 12-17.

[BPS] Badan Pusat Statistik Maluku. 1982. Maluku Dalam Angka 1980. Ambon:
BPS.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Ternate. 2009. Kota Ternate Dalam Angka
2009. Ternate: BPS.

________________. 2010. Kota Ternate Dalam Angka 2010. Ternate: BPS.

________________. 2011. Kota Ternate Dalam Angka 2011. Ternate: BPS.

Bunce S, Desfor G. 2007. Introduction to Political Ecologies of Urban Waterfront


Transformations. Journal of City 24 : 251-258.

Bulohlabna C. 2008. Tipologi dan Pengaruh Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi Kawasan Timur Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
176

Chang Q, Huang X, Wu J. 2012. A GIS-based Green Infrastructure Planning for


Sustainable Urban Land Use and Spatial Development. Procedia
Environmental Science 12 : 491 – 498.

Cheng J, Masser I. 2003. Urban Growth Pattern Modeling: A Case Study of


Wuhan City, PR China. Journal of Landscape and Urban Planning 62:
199-217.

Dinas Kebersihan Kota Ternate. 2008. Sistem Pengelolaan Sampah Kota Ternate.
Ternate: Dinas Kebersihan.

Djafar RI. 2004. Kajian Pemanfaatan Ruang Pesisir Kota Ternate Provinsi
Maluku Utara: Studi Kasus Permukiman di Atas Laut Kelurahan
Makassar Timur [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas
Diponegoro.

Djakapermana RD. 2010. Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan


Kesisteman. Bogor: IPB Press.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Action Plan Waterfront City
Kota Ternate. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan.

Drakel A. 2004. Dampak Reklamasi Pantai Terhadap Perairan Pesisir di Kota


Ternate, Provinsi Maluku Utara [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Faizu WA. 2011. Alternatif Kebijakan Pengelolaan Pantai Kamali Hasil


Reklamasi di Kota Bau-Bau yang Meminimumkan Dampak Lingkungan
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gustiani L. 2005. Analisis Pengembangan Wilayah Pesisir Kota Bengkulu [tesis].


Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Hardjowigeno S, Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian lahan dan Perencanaan


Tataguna Lahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hermanto B. 1986. Pemantauan Garis Pantai Dengan Menggunakan Citra


Landsat. Jurnal Oseana 11: 163-170.

Herwirawan FX. 2009. Analisis Struktur Ruang Dalam Pengembangan


Infrastruktur Hijau di Kota Depok [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Hu Z, Lo CP. 2007. Modeling Urban Growth in Atlanta Using Logistic


Regression. Journal of Computers, Environment and Urban Systems 31 :
667–688.
177

Joga N, Ismaun I. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Joga N. 2011. Penataan Ruang Berbasis Aspek Ekologis untuk Mewujudkan Kota
Berkelanjutan, RTH 30%: Resolusi (Kota) Hijau. Seminar Teknik
Planologi 2011; Bogor, 3 Des 2011.

Kalay DE. 2008. Perubahan Garis Pantai di Sepanjang Pesisir Pantai Indramayu
[tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Kusuma NE. 2006. Analisis Ekonomi Pengelolaan Sumberdaya Air dan


Kebijakan Tarif Air PDAM Kota Madiun [skripsi]. Bogor: Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Laras KB. 2011. Desain Kebijakan Pengelolaan Waterfront City Kota Semarang
[disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lillesand MT, Kiefer RW. 1997. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra.
Terjemahan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lubis J. 2011. Mewujudkan Pembangunan Kota Pesisir di Indonesia yang


Berkelanjutan Melalui penyediaan Infrastruktur Berbasis Penataan
Ruang. Buletin Tata Ruang 4:18

Manuwoto. 2011. Green Infrastructure. Kumpulan Bahan Kuliah Sarana


Prasarana Wilayah. Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah. Bogor:
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Mulyandari H. 2010. Pengantar Arsitektur Kota. Yogyakarta: Andi.

Nalarsih RT. 2007. Analisis Ketersediaan dan Kapasitas Pemenuhan Infrastruktur


di Kawasan Bisnis Beteng Surakarta [tesis]. Semarang: Program
Pascasarjana, Universitas Diponegoro.

Nurfaida. 2009. Pengembangan dan Rencana Pengelolaan Lanskap Pantai Kota


Makassar Sebagai Waterfront City [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Norman BJ. 2011. From Integrated Coastal Management (ICM) to Sustainable


Coastal Planning. Buletin Tata Ruang 4:19

Pamungkas BT. 2009. Pengaruh Infrastruktur Ekonomi, Sosial, dan


Administrasi/Institusi Terhadap Pertumbuhan Provinsi-Provinsi di
Indonesia [skripsi]. Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
178

[PDAM] Perusahan Daerah Air Minum Kota Ternate. 2007. Standar Kebutuhan
Air Bersih Domestik dan Non Domestik Perkotaan. Ternate: PDAM
Kota Ternate.

[PLN] Perusahan Listrik Negara Cabang Kota Ternate. 2010. Data Tabular
Infrastruktur Jaringan Listrik di Kota Ternate. Ternate: PLN Kota
Ternate.

___________. 2011. Data Tabular Infrastruktur Jaringan Listrik di Kota Ternate.


Ternate: PLN Kota Ternate.

Pontoh NK, Kustiawan I. 2008. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung:


Penerbit ITB.

[PU] Departemen Pekerjaan Umum. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum


No.40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan
Reklamasi Pantai. Jakarta: Departemen PU.

___________. 1998. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.468/KPTS/1998


tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum Dan
Lingkungan. Jakarta: Departemen PU.

___________. 2008. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008


tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di
Kawasan Perkotaan. Jakarta: Departemen PU.

[PU] Departemen Pekerjaan Umum, Ditjen Cipta Karya. 1991. Klasifikasi


Sampah Menurut Ditjen Cipta Karya. Jakarta: Departemen PU.

[PU] Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate. 2008. Masterplan Drainase Kota
Ternate. Ternate : Dinas PU.

Radiansyah D. 2012. Analisis Kontribusi Infrastruktur Terhadap Pertumbuhan


Ekonomi Regional di Indonesia Periode Tahun 1996-2008 [tesis].
Jakarta: Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik,
Universitas Indonesia.

Rachmawati N. 2011. Sebaran dan Ketersediaan Sarana Prasarana di Kota


Tangerang Selatan [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.

Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan Pengembangan


Wilayah. Jakarta : Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia

Roseland M. 1997. Dimensions of The Eco-city. Journal of City 14 : 197-202.


179

Sadyohutomo M. 2008. Manajemen Kota dan Wilayah Realita dan Tantangan.


Jakarta: Bumi Aksara.

Sinulingga BD. 1999. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.

Soma S. 2010. Pengantar Ilmu Teknik Lingkungan: Pengelolaan Sampah


Perkotaan. Bogor: IPB Press.

Soma S. 2011a. Pengantar ilmu Teknik Penyehatan dan Lingkungan Seri Air
Minum. Yogyakarta: Pintal.

Soma S. 2011b. Sarana dan Prasarana Wilayah dan Kota. Kumpulan Bahan
Kuliah Sarana Prasarana Wilayah. Program Studi Ilmu Perencanaan
Wilayah. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Suhono A. 2008. Model Kebijakan Pembangunan Infrastruktur Terpadu dalam


Pengembangan Wilayah Perkotaan Berkelanjutan Studi Kasus Wilayah
Kedungsepur Jawa Tengah [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Suprijanto. 2007. Karakteristik Spesifik, Permasalahan dan Potensi


Pengembangan Kawasan Kota Tepi Laut/Pantai (coastal city) di
Indonesia. Proceeding Studi Dampak Timbal Balik Antar Pembangunan
Kota dan Perumahan di Indonesia dan Lingkungan Global. hlm 289-308.

Tarigan R. 2006. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.

Vallega A. 2001. Urban Waterfront Facing Integrated Coastal Management.


Journal of Ocean and Coastal Management 44 : 379–410.

Wahyuni KT. 2009. Analisis Pengaruh Infrastruktur Ekonomi dan Sosial


Terhadap Produktivitas Ekonomi di Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Yudiyanto. 2007. Analisis Sistem Pengelolaan Sampah Permukiman di Kota


Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
180

Lampiran 1.
Hasil Pengecekan Lapang Beberapa Titik di Lokasi Kota Ternate
Elevasi Kelurahan/
No X (m) Y (m) Nama Keterangan
(mdpl) Desa
1 N0°46.941 E127°23.305 40 Garis Pantai Awal 1 Depan Pelabuhan Muhajirin
2 N0°47.034 E127°23.324 42 Garis Pantai Awal 2 Depan Mesjid Muhajirin Muhajirin
3 N0°47.149 E127°23.312 47 Garis Pantai Awal 3 Depan Ex. Kantor Gubernur Muhajirin
4 N0°47.268 E127° 23.338 48 Garis Pantai Awal 4 Hotel Neraca Gamalama
5 N0°47.362 E127°23.365 41 Garis Pantai Awal 5 Pasar Gamalama Gamalama
6 N0°47.412 E127°23.339 55 Garis Pantai Awal 6 Toko Duta Merlin Gamalama
7 N0°47.537 E127°23.345 58 Garis Pantai Awal 7 Ex. Pasar Tradisional Gamalama
8 N0°47.674 E127°23.332 48 Garis Pantai Awal 8 Toko Bangunan Gamalama
9 N0°47.993 E127°23.139 17 Garis Pantai Tapak 1+ Lapangan Salero Soasio
10 N0°47.727 E127°23.373 22 Garis Pantai Tapak 1 Jembatan dekat Pasar Tradisional Makassar Timur
(Waterfront)
11 N0°47.573 E127°23.388 24 Garis Pantai Tapak 2 Jalan Boulevar (Waterfront) Gamalama
12 N0°47.385 E127°23.420 30 Garis Pantai Tapak 3 Dekat Taman Kota (Waterfront) Gamalama
13 N0°47.139 E127°23.311 34 Garis Pantai Tapak 4 Gerbang Mesjid Raya (waterfront) Muhajirin
14 N0°48.916 E127°23.339 104 Pasar Pasar Dufa-Dufa Dufa-Dufa
15 N0°51.061 E127°19.600 360 TPA TPA Buku Deru-Deru Takome
16 N0°47.364 E127°23.414 35 Mesjid Mesjid Al-Munawwar Gamalama
17 N0°47.659 E127°23.351 49 Pasar Pasar Tradisional Gamalama
18 N0°47.664 E127°23.363 43 Terminal Terminal Angkutan Kota Gamalama
19 N0°47.150 E127°22.840 156 Kantor Kantor Walikota Kampung Pisang
20 N0°47.782 E127°23.375 162 Rumah Sakit Rumah Sakit Hasan Basoeri Tanah Tinggi Barat
21 N0°47.989 E127°23.105 90 Jalan Persimpangan Depan Kadaton Kesultanan Ternate Soasio

180
181
181

Lampiran 2.
Hasil Analisis Skalogram untuk Hierarki Wilayah
Tabel 1. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2011
Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Tengah Kota Baru Pesisir 34,92 18 Hierarki 1
Ternate Tengah Takoma Bukan Pesisir 45,15 22 Hierarki 1
Ternate Tengah Makassar Timur Pesisir 42,36 17 Hierarki 1
Ternate Tengah Muhajirin Pesisir 55,05 18 Hierarki 1
Ternate Tengah Gamalama Pesisir 60,17 25 Hierarki 1
Ternate Utara Dufa Dufa Pesisir 41,55 24 Hierarki 1
Ternate Utara Soa Sio Pesisir 43,08 16 Hierarki 1
Pulau Ternate Kastela Pesisir 26,48 15 Hierarki 2
Pulau Ternate Loto Pesisir 34,25 15 Hierarki 2
Pulau Ternate Sulamadaha Pesisir 27,20 15 Hierarki 2
Ternate Selatan Gambesi Pesisir 32,40 19 Hierarki 2
Ternate Selatan Kalumata Pesisir 25,04 20 Hierarki 2
Ternate Selatan Bastiong Pesisir 27,14 23 Hierarki 2
Ternate Selatan Toboko Pesisir 29,67 18 Hierarki 2
Ternate Tengah Tanah Raja Bukan Pesisir 27,17 14 Hierarki 2
Ternate Tengah Stadion Bukan Pesisir 27,25 15 Hierarki 2
Ternate Tengah Moya Bukan Pesisir 29,17 13 Hierarki 2
Ternate Tengah Santiong Bukan Pesisir 27,59 23 Hierarki 2
Ternate Tengah Kalumpang Bukan Pesisir 32,29 23 Hierarki 2
Ternate Tengah Makassar Barat Bukan Pesisir 25,36 18 Hierarki 2
Ternate Utara Toboleu Bukan Pesisir 25,90 19 Hierarki 2
Ternate Utara Sangaji Pesisir 27,34 25 Hierarki 2
Pulau Ternate Jambula Pesisir 24,37 18 Hierarki 3
Pulau Ternate Foramadiahi Bukan Pesisir 15,10 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Kulaba Pesisir 15,46 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Rua Pesisir 18,36 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Bula Pesisir 14,24 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Afe-Taduma Pesisir 17,52 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Tobololo Pesisir 21,94 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Togafo Pesisir 17,98 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Takome Pesisir 11,95 9 Hierarki 3
Ternate Selatan Sasa Pesisir 19,16 19 Hierarki 3
Ternate Selatan Fitu Pesisir 16,41 17 Hierarki 3
Ternate Selatan Kayu Merah Pesisir 18,35 16 Hierarki 3
Ternate Selatan Ubo-Ubo Bukan Pesisir 24,28 20 Hierarki 3
Ternate Selatan Mangga Dua Pesisir 15,46 21 Hierarki 3
Ternate Selatan Jati Bukan Pesisir 24,05 21 Hierarki 3
Ternate Selatan Tanah Tinggi Bukan Pesisir 23,30 20 Hierarki 3
182

Tabel 1. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2011 (Lanjutan)


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Tengah Maliaro Bukan Pesisir 23,80 17 Hierarki 3
Ternate Tengah Kampung Pisang Bukan Pesisir 22,72 16 Hierarki 3
Ternate Tengah Marikurubu Bukan Pesisir 18,50 13 Hierarki 3
Ternate Utara Soa Bukan Pesisir 23,82 15 Hierarki 3
Ternate Utara Salero Pesisir 18,19 13 Hierarki 3
Ternate Utara Kasturian Pesisir 18,67 16 Hierarki 3
Ternate Utara Tafure Pesisir 20,80 19 Hierarki 3
Ternate Utara Tabam Pesisir 20,31 15 Hierarki 3
Ternate Utara Sango Pesisir 16,52 14 Hierarki 3
Ternate Utara Tarau Pesisir 14,43 13 Hierarki 3
Rataan IP 24,86
Standar Deviasi IP 9,80

Tabel 2. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2008


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Selatan Kalumata Pesisir 35,00 22 Hierarki 1
Ternate Tengah Takoma Bukan Pesisir 46,49 20 Hierarki 1
Ternate Tengah Kota Baru Pesisir 41,14 20 Hierarki 1
Ternate Tengah Tanah Raja Bukan Pesisir 34,83 17 Hierarki 1
Ternate Tengah Stadion Bukan Pesisir 38,05 16 Hierarki 1
Ternate Tengah Kalumpang Bukan Pesisir 41,54 22 Hierarki 1
Ternate Tengah Gamalama Pesisir 48,35 26 Hierarki 1
Pulau Ternate Jambula Pesisir 32,95 17 Hierarki 2
Pulau Ternate Loto Pesisir 28,31 14 Hierarki 2
Ternate Selatan Gambesi Pesisir 30,59 18 Hierarki 2
Ternate Selatan Bastiong Pesisir 31,96 22 Hierarki 2
Ternate Selatan Ubo-Ubo Bukan Pesisir 32,55 21 Hierarki 2
Ternate Selatan Jati Bukan Pesisir 27,07 22 Hierarki 2
Ternate Selatan Toboko Pesisir 30,86 18 Hierarki 2
Ternate Tengah Maliaro Bukan Pesisir 26,49 19 Hierarki 2
Ternate Tengah Kampung Pisang Bukan Pesisir 28,71 19 Hierarki 2
Ternate Tengah Muhajirin Pesisir 28,96 15 Hierarki 2
Ternate Tengah Marikurubu Bukan Pesisir 27,06 15 Hierarki 2
Ternate Utara Soa Bukan Pesisir 26,68 16 Hierarki 2
Ternate Utara Dufa Dufa Pesisir 34,18 21 Hierarki 2
Ternate Utara Tafure Pesisir 28,79 21 Hierarki 2
Pulau Ternate Kastela Pesisir 22,63 14 Hierarki 3
Pulau Ternate Foramadiahi Bukan Pesisir 14,87 12 Hierarki 3
183

Tabel 2. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2008 (Lanjutan)


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Pulau Ternate Kulaba Pesisir 15,93 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Rua Pesisir 19,91 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Bula Pesisir 14,63 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Afe-Taduma Pesisir 18,80 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Tobololo Pesisir 24,16 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Togafo Pesisir 19,62 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Sulamadaha Pesisir 23,81 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Takome Pesisir 12,75 9 Hierarki 3
Ternate Selatan Sasa Pesisir 24,25 19 Hierarki 3
Ternate Selatan Fitu Pesisir 20,23 15 Hierarki 3
Ternate Selatan Kayu Merah Pesisir 21,18 15 Hierarki 3
Ternate Selatan Mangga Dua Pesisir 15,33 18 Hierarki 3
Ternate Selatan Tanah Tinggi Bukan Pesisir 21,49 20 Hierarki 3
Ternate Tengah Moya Bukan Pesisir 25,70 12 Hierarki 3
Ternate Tengah Santiong Bukan Pesisir 24,57 20 Hierarki 3
Ternate Tengah Makassar Timur Pesisir 21,27 20 Hierarki 3
Ternate Tengah Makassar Barat Bukan Pesisir 25,89 19 Hierarki 3
Ternate Utara Soa Sio Pesisir 24,67 16 Hierarki 3
Ternate Utara Salero Pesisir 19,61 14 Hierarki 3
Ternate Utara Kasturian Pesisir 18,84 17 Hierarki 3
Ternate Utara Toboleu Bukan Pesisir 22,80 19 Hierarki 3
Ternate Utara Sangaji Pesisir 25,40 24 Hierarki 3
Ternate Utara Tabam Pesisir 21,79 15 Hierarki 3
Ternate Utara Sango Pesisir 13,54 13 Hierarki 3
Ternate Utara Tarau Pesisir 16,27 12 Hierarki 3
Rataan IP 26,05
Standar Deviasi IP 8,29

Tabel 3. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2006


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Tengah Maliaro Bukan Pesisir 39,67 19 Hierarki 1
Ternate Tengah Takoma Bukan Pesisir 47,90 24 Hierarki 1
Ternate Tengah Muhajirin Pesisir 35,02 16 Hierarki 1
Ternate Tengah Stadion Bukan Pesisir 45,43 19 Hierarki 1
Ternate Tengah Gamalama Pesisir 59,66 23 Hierarki 1
Ternate Utara Dufa Dufa Pesisir 40,76 23 Hierarki 1
Pulau Ternate Sulamadaha Pesisir 28,01 15 Hierarki 2
Pulau Ternate Loto Pesisir 25,62 14 Hierarki 2
Ternate Selatan Gambesi Pesisir 31,96 19 Hierarki 2
184

Tabel 3. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2006 (Lanjutan)


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Perkembangan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Selatan Kalumata Pesisir 33,94 21 Hierarki 2
Ternate Selatan Kayu merah Pesisir 33,66 20 Hierarki 2
Ternate Selatan Bastiong Pesisir 32,40 24 Hierarki 2
Ternate Selatan Jati Bukan Pesisir 25,95 18 Hierarki 2
Ternate Tengah Kampung Pisang Bukan Pesisir 26,38 13 Hierarki 2
Ternate Tengah Kota Baru Pesisir 32,05 18 Hierarki 2
Ternate Tengah Santiong Bukan Pesisir 24,82 16 Hierarki 2
Ternate Tengah Kalumpang Bukan Pesisir 26,41 16 Hierarki 2
Pulau Ternate Jambula Pesisir 22,29 17 Hierarki 3
Pulau Ternate Kastela Pesisir 20,09 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Foramadiahi Bukan Pesisir 22,04 14 Hierarki 3
Pulau Ternate Kulaba Pesisir 13,66 10 Hierarki 3
Pulau Ternate Rua Pesisir 16,34 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Bula Pesisir 9,89 9 Hierarki 3
Pulau Ternate Afe-Taduma Pesisir 15,00 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Tobololo Pesisir 14,67 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Togafo Pesisir 24,43 13 Hierarki 3
Pulau Ternate Takome Pesisir 16,38 11 Hierarki 3
Ternate Selatan Sasa Pesisir 21,91 18 Hierarki 3
Ternate Selatan Fitu Pesisir 18,97 15 Hierarki 3
Ternate Selatan Ubo-Ubo Bukan Pesisir 22,06 16 Hierarki 3
Ternate Selatan Mangga Dua Pesisir 21,02 21 Hierarki 3
Ternate Selatan Toboko Pesisir 24,18 14 Hierarki 3
Ternate Selatan Tanah Tinggi Bukan Pesisir 20,63 17 Hierarki 3
Ternate Tengah Tanah Raja Bukan Pesisir 24,43 11 Hierarki 3
Ternate Tengah Marikurubu Bukan Pesisir 12,86 12 Hierarki 3
Ternate Tengah Moya Bukan Pesisir 22,52 11 Hierarki 3
Ternate Tengah Makassar Timur Pesisir 15,70 18 Hierarki 3
Ternate tengah Makassar Barat Bukan Pesisir 19,72 18 Hierarki 3
Ternate Utara Soa Sio Pesisir 20,37 15 Hierarki 3
Ternate Utara Soa Bukan Pesisir 20,29 15 Hierarki 3
Ternate Utara Salero Pesisir 12,82 10 Hierarki 3
Ternate Utara Kasturian Pesisir 16,63 14 Hierarki 3
Ternate Utara Toboleu Bukan Pesisir 20,08 14 Hierarki 3
Ternate Utara Sangaji Pesisir 21,28 22 Hierarki 3
Ternate Utara Tafure Pesisir 24,35 19 Hierarki 3
Ternate Utara Tabam Pesisir 18,61 14 Hierarki 3
Ternate Utara Sango Pesisir 17,49 14 Hierarki 3
Ternate utara Tarau Pesisir 18,29 12 Hierarki 3
Rataan IP 24,55
Standar Deviasi IP 9,86
185

Tabel 4. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Pembangunan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Tengah Maliaro Bukan Pesisir 36,02 18 Hierarki 1
Ternate Tengah Takoma Bukan Pesisir 51,49 25 Hierarki 1
Ternate Tengah Muhajirin Pesisir 35,45 17 Hierarki 1
Ternate Tengah Stadion Bukan Pesisir 42,20 18 Hierarki 1
Ternate Tengah Gamalama Pesisir 58,49 22 Hierarki 1
Ternate Utara Dufa Dufa Pesisir 42,62 23 Hierarki 1
Pulau Ternate Sulamadaha Pesisir 26,21 14 Hierarki 2
Pulau Ternate Loto Pesisir 28,04 14 Hierarki 2
Ternate Selatan Gambesi Pesisir 31,29 20 Hierarki 2
Ternate Selatan Kalumata Pesisir 32,38 21 Hierarki 2
Ternate Selatan Kayu Merah Pesisir 26,79 18 Hierarki 2
Ternate Selatan Bastiong Pesisir 32,06 24 Hierarki 2
Ternate Selatan Jati Bukan Pesisir 26,41 19 Hierarki 2
Ternate Tengah Kampung Pisang Bukan Pesisir 27,66 14 Hierarki 2
Ternate Tengah Kota Baru Pesisir 33,31 18 Hierarki 2
Ternate Tengah Santiong Bukan Pesisir 25,56 16 Hierarki 2
Ternate Tengah Kalumpang Bukan Pesisir 25,20 16 Hierarki 2
Ternate Tengah Makassar Barat Bukan Pesisir 27,84 19 Hierarki 2
Pulau Ternate Jambula Pesisir 23,34 17 Hierarki 3
Pulau Ternate Kastela Pesisir 21,27 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Foramadiahi Bukan Pesisir 20,85 14 Hierarki 3
Pulau Ternate Kulaba Pesisir 14,93 10 Hierarki 3
Pulau Ternate Rua Pesisir 18,50 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Bula Pesisir 10,17 9 Hierarki 3
Pulau Ternate Afe-Taduma Pesisir 15,47 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Tobololo Pesisir 16,68 11 Hierarki 3
Pulau Ternate Togafo Pesisir 22,29 12 Hierarki 3
Pulau Ternate Takome Pesisir 19,66 11 Hierarki 3
Ternate Selatan Sasa Pesisir 23,15 18 Hierarki 3
Ternate Selatan Fitu Pesisir 18,79 15 Hierarki 3
Ternate Selatan Ubo-Ubo Bukan Pesisir 22,63 16 Hierarki 3
Ternate Selatan Mangga Dua Pesisir 21,13 22 Hierarki 3
Ternate Selatan Toboko Pesisir 23,84 15 Hierarki 3
Ternate Selatan Tanah Tinggi Bukan Pesisir 21,23 18 Hierarki 3
Ternate Tengah Tanah Raja Bukan Pesisir 23,22 12 Hierarki 3
Ternate Tengah Marikurubu Bukan Pesisir 16,83 13 Hierarki 3
Ternate Tengah Moya Bukan Pesisir 20,18 11 Hierarki 3
Ternate Tengah Makassar Timur Pesisir 16,16 18 Hierarki 3
Ternate Utara Soa Sio Pesisir 20,65 14 Hierarki 3
Ternate Utara Soa Bukan Pesisir 20,76 15 Hierarki 3
186

Tabel 4. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun 2005 (Lanjutan)


Indeks
Nama Nama Jenis Jumlah Hierarki
Pembangunan
Kecamatan Kelurahan/Desa Kelurahan Jenis Wilayah
(IP)
Ternate Utara Salero Pesisir 18,85 12 Hierarki 3
Ternate Utara Kasturian Pesisir 16,74 14 Hierarki 3
Ternate Utara Toboleu Bukan Pesisir 22,04 14 Hierarki 3
Ternate Utara Sangaji Pesisir 22,70 23 Hierarki 3
Ternate Utara Tafure Pesisir 23,56 19 Hierarki 3
Ternate Utara Tabam Pesisir 21,88 15 Hierarki 3
Ternate Utara Sango Pesisir 15,53 13 Hierarki 3
Ternate Utara Tarau Pesisir 20,05 13 Hierarki 3
Rataan IP 25,04
Standar Deviasi IP 9,25
187

LAMPIRAN
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Kolektor Primer Jalan Lingkar Pulau Ternate Baik 24,48162 3,5 - 6,0
Rusak 0,88807
Rusak Berat 0,12829
Jl. Slt. Khaerun Baik 2,89509 6,0
Jl. Bandara Babullah Baik 0,22608 5,0-8,0
Jl. Bandara Sultan Babullah Baik 0,45397 5,0
Jl. Hasan Esa Baik 0,78287 8,0-11,0
Jl. Jend. Ahmad Yani Baik 0,46473 7,0-9,0
Jl. Merdeka Baik 0,49453 7,0-10,0
Jl. Mononutu Baik 0,75811 7,0-9,0
Jl. Pahlawan Revolusi Baik 1,67644 8,5-16,5
Jl. Pelabuhan Feri Baik 0,06535 8,0
Jl. Pelabuhan Fery Baik 0,16781 4,5-7,0
Jl. Pemuda Baik 0,7510 4,0-9,0
Jl. Poros Danau Laguna Baik 0,31778 5,5
Jl. Poros Ngade Baik 1,97077 6,0
Jl. Raya Bastiong Baik 1,38139 7,0
Jl. Raya Fitu Baik 0,54041 6,0
Jl. Raya Gambesi Baik 0,99516 5,0-6,0
Jl. Raya Jambula Baik 1,82852 4,0-7,0
Jl. Raya Kalumata Baik 0,35202 7,0
Jl. Raya Kastela Baik 0,74186 4,5-6,0
Jl. Raya Mangga Dua Baik 0,71983 7,0-8,0
Jl. Raya Ngade Baik 0,16435 6,0
Jl. Raya Pertamina Baik 0,62404 4,5-10,0
Jl. Sultan Baabullah Baik 0,37329 8,0-9,0
Jumlah 44,24338

187
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Kolektor Sekunder Jl. Air Sentosa Baik 0,09003 4,0
Jl. Baru Soa Baik 0,33392 4,5-5,0
Jl. Baru Ubo-Ubo Baik 0,31642 7,0
Jl. Cakalang Baik 1,13193 4,5
Jl. Darul Khairat Baik 1,58119 3,5
Jl. Facei-Tarau Baik 0,14318 4,0-4,5
Rusak 3,96192
Jl. Gambesi-Sasa Baik 0,15695 3,5-4,0
Rusak 2,60561
Jl. Jati Besar Baik 0,59963 7,0-7,5
Jl. Kalumata Baik 1,07365 4,0-5,0
Jl. Kamboja Baik 0,39114 6,0
Jl. Kampus II Univ. Khairun Baik 3,3653 5,0
Jl. Kapitan Pattimura Baik 0,87297 6,5-9,0
Jl. Kayu Manis Baik 0,26644 6,5
Jl. Melati Baik 0,13953 4,5-7,0
Jl. Mesjid Agung Baik 1,06802 16,0-19,0
Rusak 0,79474
Jl. Ngidi Kasturian Baik 1,38242 4,0-4,5
Jl. Pasar Inpres Bastiong Baik 0,34104 3,0-6,0
Jl. Perumnas Baik 0,97308 6,0-7,0
Jl. Rambutan Baik 0,40292 4,0-5,5
Jl. Satelit Palapa Baik 0,20701 5,0
Jl. Teripang Baik 0,16204 4,0
Jl. Yos Sudarso Baik 0,74758 7,0-11,5

Jum lah 23,10866


188
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Primer Jl. Air tege tege Baik 0,78430 3,0-4,0
Jl. Ake Boca Baik 0,63121 4,5
Jl. Ake Oti Baik 0,32770 3,0
Jl. Bandara Sultan Babullah Baik 0,11508 5,0
Jl. Bangau Baik 0,25076 4,0
Jl. Batu Angus Belakang Rusak 0,18913 3,0-3,5
Jl. Bola Baik 0,42321 3,0
Jl. Bosoiri Baik 0,51106 6,5-11,0
Jl. Branjangan Baik 0,81175 4,0-6,5
Jl. Campedak Baik 0,72398 5,5
Jl. Cendrawasih Baik 0,24795 4,5
Jl. Cengkeh Afo Baik 0,58232 5,5-7,0
Jl. Cristina Martha Tiahahu Baik 0,55918 6,0-8,0
Jl. Daniel Bohang Baik 0,24362 3,0
Jl. Darul Khairat Baik 1,58119 3,5
Jl. Daulasi Baik 0,12386 4,0
Jl. Falajawa 2 Baik 0,82448 4,0-5,0
Jl. Hasan Senen Baik 0,32483 3,5-5,0
Jl. Jan Baik 2,44713
Jl. Jati Baik 1,40084
Jl. Jati 1 Baik 0,78767
Jl. Jati 2 Baik 0,43104
Jl. Jerbus Baik 0,74841
Jl. Kakatua Baik 0,42861
Jl. Kalumpang Rusak 0,96512
Jl. Kampung Pisang Baik 0,23151

189
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Primer Jl. Kelapa Pendek Baik 0,11928
Jl. Kemuning Baik 0,16564
Jl. Kesatrian Baik 0,24828
Jl. Ki Hajar Dewantara Baik 0,63338
Jl. Kuburan Sltan Babullah Rusak 0,70956
Jl. Kutilang Baik 0,21368
Jl. Lumba-Lumba Baik 0,25612
Jl. Maliaro Baik 0,77908
Rusak 0,27988
Jl. Maliaro Puncak Baik 0,42443
Rusak 3,07601
Jl. Marikurubu Baik 1,57047
Jl. Moya Baik 0,2538
Jl. Nukila Baik 0,40407
Jl. Nuku Baik 0,4046
Jl. Nuri Baik 0,66547
Jl. Nusa Indah Baik 0,3291
Jl. Oscar Baik 0,28393
Rusak 0,43092
Jl. Pekuburan Islam Branjangan Baik 0,37234
Jl. Pelabuhan Dufa-Dufa Baik 0,56231
Jl. Pemuda Baik 0,62356
Jl. Pemuda Sangaji Baik 0,40137
Jl. Pipit Baik 0,13592
Jl. Rambutan Baik 1,69719
Jl. Salak Baik 0,17254
190
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Primer Jl. Salim Fabanyo Baik 0,50133
Jl. Semangka Baik 1,37305
Jl. Seruni Baik 0,36447
Jl. Soa Konora Baik 0,43321
Jl. Stadion Baik 2,85111
Jl. Stadion Kie Raha Baik 0,0731
Jl. Tabahawa Baik 0,60385
Jl. Tanah Tinggi Baik 0,21658
Jl. Terminal Pasar Sayur Baik 0,18652
Jl. Tobeleu Baik 0,68636
Jl. Tongole Rusak 0,2189
Jl. Ubo-ubo Baik 0,33544
Jl. Yasin Gamsungi Baik 0,0428
Jumlah 39,79559
Lokal Sekunder Jalan Lingkar Pulau Ternate Baik 0,39406
Jl. A. I. S. Nasution Baik 0,20364
Jl. Air Potong Baik 0,95488
Jl. Air Sentosa Baik 0,08388
Jl. Ake Malako Baik 0,15144
Jl. Ake Oti 1 Baik 0,18615
Jl. AM. Kamaruddin Baik 1,1671
Jl. Anggrek Baik 0,22193
Jl. Anggrek/Lr. Pura Bali Baik 0,10627
Jl. Baru Tabahawa Baik 0,15696
Jl. Batu Angus Belakang Rusak 0,38733
Jl. Batu Angus Tabam Baik 1,94402

191
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. BLK Baik 0,54219
Jl. Bonsai Baik 0,24359
Jl. Bougenville Baik 0,13359
Jl. Cakalang Baik 1,13193
Jl. Campedak 1 Baik 0,07207
Jl. Campedak 2 Baik 0,06602
Jl. Cempaka Baik 0,90624
Jl. Cengkeh Baik 0,21165
Jl. Dahlia Baik 0,31529
Jl. DPRD Kota Ternate Baik 0,16577
Jl. Durian 1 Baik 0,04642
Jl. Durian 2 Baik 0,05446
Jl. Durian 3 Baik 0,06102
Jl. Falajawa 1 Rusak Berat 0,29737
Jl. Gang Melati 1 Baik 0,14936
Jl. Gg. Adlun Baik 0,12122
Jl. Gg. Al-Amin Baik 0,11433
Jl. Gg. Al-Falak Baik 0,12263
Jl. Gg. Al-Ikhlas Baik 0,10495
Jl. Gg. Al-Kasas Rusak 0,04671
Jl. Gg. Al-Khaerat Baik 0,29407
Jl. Gg. Al-Qamar Baik 0,14886
Jl. Gg. Annahlu Baik 0,08274
Jl. Gg. An-Nuur Baik 0,13805
Jl. Gg. Ar-Rahman Baik 0,12089
Jl. Gg. At-tiin Rusak 0,0962
192
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Gg. Iqraa Rusak 0,10028
Jl. Gg. Jamil Rusak 0,1377
Jl. Gosale 2 Baik 0,11055
Jl. Gosale 3 Baik 0,05326
Jl. Gosale 4 Baik 0,05811
Jl. Gosale 5 Baik 0,06045
Jl. Gosali 1 Baik 0,1111
Jl. Gudang Pupuk Baik 0,12443
Jl. Gufasa 1 Baik 0,05761
Jl. Gufasa 2 Baik 0,05916
Jl. Gugasa 3 Baik 0,06575
Jl. Inpres Baik 0,45073
Jl. Jati Baik 0,5062
Jl. Jati 3 Baik 0,3978
Jl. Jati Baru Baik 0,40158
Rusak 0,36737
Jl. Jauku III Baik 1,22316
Jl. Jeruk Baik 0,4317
Rusak 0,20646
Jl. Jeruk 1 Baik 0,08578
Jl. Jeruk 2 Rusak 0,06606
Jl. Kaca Piring Baik 0,24649
Jl. Kaka ade Baik 0,35489
Jl. Kalumpang Baik 0,455
Jl. Kampung Kodok Baik 0,16233
Jl. Kecubung Baik 0,16533

193
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Kedondong 1 Rusak 0,05195
Jl. Kedondong 2 Baik 0,04827
Jl. Kedondong 3 Rusak 0,04122
Jl. Kelapa Pendek Baik 0,11372
Jl. Kenanga Baik 0,1442
Jl. Ketapang 2 Baik 0,03051
Jl. Ki Hajar Dewantara Baik 0,25786
Jl. Kompleks Pekuburan Islam Baik 0,12983
Jl. Kompleks RRI Ternate Baik 0,18829
Jl. Kuburan Sltan Babullah Rusak 0,43072
Jl. Lap. Gambesi Rusak 0,36671
Jl. Linggua 1 Baik 0,04876
Jl. Linggua 2 Baik 0,05182
Jl. Linggua 3 Baik 0,11389
Jl. M. S. Djahir Baik 0,23123
Jl. Maleo Baik 0,14001
Jl. Manggis Baik 0,06391
Jl. Manggis 1 Rusak Berat 0,05363
Jl. Manggis 2 Baik 0,05873
Jl. Manggis 3 Baik 0,05326
Jl. Matoa 1 Baik 0,06738
Jl. Matoa 2 Baik 0,07056
Jl. Matoa 3 Baik 0,08435
Jl. Mawar Baik 0,08516
Jl. Melati Baik 0,15138
194
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Merpati Baik 0,25137
Jl. Mess Polisi Baik 0,22844
Jl. Mutiara Baik 0,20991
Jl. Nenas Baik 0,58589
Jl. Obyek Wisata Pantai Laguna Baik 0,1235
Jl. Pala Baik 0,09279
Jl. Palajawa 1 Baik 0,15006
Jl. Palajawa 2 Baik 0,11687
Jl. Palajawa3 Baik 0,16265
Jl. Palapa Baik 0,06248
Jl. Pasar Inpres Bastiong Baik 0,16119
Jl. Pelabuhan Baik 0,12774
Rusak 0,1011
Jl. Pelabuhan Bastiong Baik 0,17415
Jl. Pelabuhan Fery Baik 0,03674
Jl. Pelabuhan Perikanan Baik 0,04097
Jl. Pemuda Gong 1 Baik 0,10603
Jl. Penyu Baik 0,06609
Jl. Pepaya 1 Baik 0,07306
Jl. Pepaya 2 Baik 0,07853
Jl. Perumnas Baik 0,76092
Jl. Perumnas Ngade Rusak 0,37702
Jl. PLN Baik 0,25865
Jl. Puskesmas Baik 0,19714
Jl. Raflesia Baik 0,39192
Jl. Rambutan Baik 0,07273
Jl. Rambutan 2 Baik 0,04823

195
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Jl. Rambutan 3 Baik 0,04974
Jl. Raya Jambula Baik 0,14349
Rusak 0,44092
Jl. Raya Pertamina Baik 0,09609
Jl. Salak 1 Rusak 0,07476
Jl. Salak 2 Rusak 0,06965
Jl. Salim Abidin Syah Baik 0,38889
Jl. Sedap Malam Baik 0,16559
Jl. Senang Baik 0,15916
Jl. Seroja Baik 0,13949
Jl. Seruni Baik 0,09176
Jl. Seruni 2 Baik 0,06375
Jl. SMKN Baik 0,19552
Jl. Stadion Baik 0,16493
Jl. Tahu Tempe Baik 0,30224
Jl. Takome Baik 0,57055
Jl. Taman Ria Rusak 0,07442
Jl. Tanah Tinggi Baik 0,81065
Jl. Teratai Baik 0,18907
Jl. Termimnal Pasar Sayur Baik 0,18142
Jl. Tugu Makugawene Baik 0,40698
Jl. Vanda Baik 0,13344
Jl. Wijaya Kusuma Baik 0,49233
Jl. Wisata Danau Tolire Baik 0,24993
Lr. Al Hikmah Baik 0,10375
Lr. Anggrek 2 Rusak 0,07626
Lr. Anggrek 3 Baik 0,08474
Lr. Baru Baik 0,2442
196
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Lr. Cempaka Baik 0,10129
Lr. Cendana Baik 0,22828
Lr. Dahlia Baik 0,18431
Lr. Dahlia 1 Baik 0,13121
Lr. Dahlia 2 Baik 0,22439
Lr. Dahlia 3 0,10972
Lr. Falajawa 2 Baik 0,29847
Rusak 0,90015
Rusak Berat 0,15591
Lr. Gamlamo Baik 0,2343
Lr. Inpres Baik 0,34373
Rusak Berat 0,07152
Lr. Jati Baik 0,28102
Lr. Jati 1 Baik 0,1282
Lr. Jati Baru Baik 0,04943
Lr. Jati Besar Rusak 0,08235
Lr. Jend. Ahmad Yani Baik 0,12399
Lr. Jerbus Baik 0,24744
Rusak Berat 0,07173
Lr. Jeruk Baik 0,64461
Rusak Berat 0,08235
Lr. Kecubung Baik 0,07288
Lr. Kecubung 2 Baik 0,11123
Lr. Kehakiman Baik 0,239
Lr. Ki Hajar Dewantara Baik 0,10956
Lr. Kuburan Rusak 0,11733

197
Lampiran 3. Hierarki Jalan di Kota Ternate (Lanjutan)
Panjang Jalan
Status Jalan Nama Jalan Kondisi Jalan Lebar Jalur (m)
(km)
Lokal Sekunder Lr. Kutilang Baik 0,15404
Lr. Lapangan Bola Falajawa Baik 0,06734
Lr. Maliaro Baik 0,5445
Lr. Maliaro 4 Rusak 0,0761
Lr. Maliaro Jaya Baik 0,39101
Lr. Marimoi Rusak 0,2064
Lr. Melati 3 Baik 0,04202
Lr. Nukila Baik 0,061
Lr. Pala 1 Baik 0,07304
Lr. Panzer Maliaro Baik 0,05498
Lr. Pelelangan Ikan Rusak 0,30577
Lr. Penginapan Baik 0,03676
Lr. Puskesmas Baik 0,29314
Lr. Rambutan Baik 0,04733
Lr. Seruni Baik 0,03019
Lr. Seruni 1 Baik 0,0438
Lr. Seruni 2 Baik 0,32068
Lr. Seruni 3 Baik 0,1932
Lr. Setapak Rusak 0,07077
Lr. Stadion Baik 0,41989
Jumlah 41,27816
Sumber : PU Kota Ternate, 2010
198
Lampiran 4. Lembaran Kuesioner

KUISIONER PENELITIAN
ARAHAN PENATAAN DAN PENGELOLAAN INFRASTRUKTUR
DI KAWASAN WATERFRONT KOTA TERNATE

Judul Penelitian:
ANALISIS INFRASTRUKTUR KOTA DI KAWASAN WATERFRONT :
STUDI KASUS KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

FIRDAWATY MARASABESSY
A156100141

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
200

IDENTITAS RESPONDEN
Nama : ______________________________________________
Pekerjaa/Jabatan : ______________________________________________
Alamat : ______________________________________________
______________________________________________

PETUNJUK PENGISIAN
Pengisian kuisioner dilakukan dengan cara membandingkan faktor satu dengan
faktor lain (komponen kiri dari baris yang sama pada kolom isian) dan dilihat mana
yang lebih berperan antara faktor-faktor tersebut untuk menentukan level diatasnya.
Skala yang digunakan dalam pengisian adalah skala banding berpasangan, dengan
ketentuan sebagai berikut:
Intensitas
Definisi Penjelasan
Kepantingan
1 Kedua elemen sama penting (equal) Keduanya mempunyai pengearuh yang
sama besar terhadap tujuan
3 Elemen yang satu sedikit lebih Pengalaman dan penilaian sedikit
penting dari elemen yang lainnya menyokong satu elemen dibandingkan
(moderat) elemen lainnya
5 Elemen satu lebih penting dari pada Pengalaman dan penilaian sangat kuat
elemen lainnya (strong) menyokong satu elemen dibandingkan
elemen lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting dari Satu elemen yang kuat disokong dan
pada elemen lainnya (very strong) domain terlihat dalam praktek
9 Satu elemen mutlak/sangat penting Bukti yang mendukung elemen yang satu
dari pada elemen lainnya (extreme) terhadap elemen lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai Nilai ini diberikan bila ada dua kompromi
pertimbangan yang berdekatan diantara dua pilihan

Contoh : Jika Faktor A Penting dari pada Faktor B, maka diisi (beri tanda X) :
Elemen A Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan Elemen B
Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting
Penting

Penting
Sama

1 Faktor A 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Faktor B
201

Untuk mengetahui arahan strategi penataan dan pengelolaan infrastruktur menurut persepsi stakeholder, maka disusun pertanyaan
berhierarki dengan struktur hierarki sebagai berikut :

Struktur Hierarki AHP

Arahan Penataan dan Pengelolaan Infrastruktur


Tingkat 1: Kawasan Waterfront
Fokus

Tingkat 2 :
Infrastruktur Fisik Infrastruktur Sosial & Ekonomi Infrastruktur Hijau
Aspek

Tingkat 3: Jaringan Pelayanan Jaringan Saluran Sampah Pasar Pertokoan/ Mesjid Terminal Taman Lapangan
Sub Aspek Jalan Air Bersih Listrik drainase Tradisional Mall Angkutan Kota Olahraga

Tingkat 4: Perbaikan Saluran Penataan Jalur Pengelolaan Penataan Revitalisasi kawasan Penataan Lansekap Penataan Lansekap
Alternatif Drainase Pedestrian Sampah Terpadu Kawasan PKL Pasar Tradisional Taman Kota Kawasan
“Dodoku-Ali” Gelanggang Remaja
201
202

DAFTAR PERTANYAAN
1. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 2, yang
dibandingkan pada baris yang sama
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan

Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 2 Tingkat 2

Penting

Penting
Sama
1 Infrastruktur Infrastruktur
Fisik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sosial &
Ekonomi
2 Infrastruktur Infrastruktur
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Fisik Hijau
3 Infrastruktur Infrastruktur
Sosial & 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Hijau
Ekonomi

2. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 3, yang


dibandingkan pada baris yang sama terhadap Infrastruktur Fisik
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan
Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 3 Tingkat 3
Penting

Penting
Sama

1 Jaringan Jaringan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Listrik
2 Jaringan Pelayanan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Air Bersih
3 Jaringan Saluran
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jalan Drainase
4 Jaringan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Jalan
Jaringan Pelayanan
5 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Listrik Air Bersih
Jaringan Saluran
6 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Listrik Drainase
Jaringan
7 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Listrik
Pelayanan Saluran
8 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Air Bersih Drainase
Pelayanan
9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Air Bersih
Saluran
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Drainase
203

3. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 3, yang


dibandingkan pada baris yang sama terhadap Infrastruktur Sosial & Ekonomi
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan

Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 3 Tingkat 3

Penting

Penting
Sama
1 Pasar Pertokoan/
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tradisional Mall
2 Pasar
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mesjid
Tradisional
3 Pasar Terminal
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tradisional Angkutan
4 Pertokoan/
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Mesjid
Mall
5 Pertokoan/ Terminal
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Mall Angkutan
6 Terminal
Mesjid 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Angkutan

4. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 3, yang


dibandingkan pada baris yang sama terhadap Infrastruktur Hijau
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan
Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting

Elemen Elemen
Tingkat 3 Tingkat 3
Penting

Penting
Sama

Lapangan
1 Taman Kota 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Olahraga
204

5. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 4, yang


dibandingkan pada baris yang sama terhadap Infrastruktur Fisik
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan

Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 4 Tingkat 4

Penting

Penting
Sama
Perbaikan Penataan Jalur
1 Saluran 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Pedestrian
Drainase
Perbaikan Pengelolaan
2 Saluran 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Drainase Terpadu
Penataan Pengelolaan
3 Jalur 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Sampah
Pedestrian Terpadu

6. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 4, yang


dibandingkan pada baris yang sama terhadap Infrastruktur Sosial & Ekonomi
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan
Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting


Jelas Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Sangat Penting

Sangat Penting
Elemen Elemen
Tingkat 4 Tingkat 4
Penting

Penting
Sama

Penataan Revitalisasi
Kawasan Kawasan
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
PKL Pasar
Tradisional

7. Berilah penilaian terhadap kepentingan antara elemen-elemen pada Tingkat 4, yang


dibandingkan pada baris yang sama terhadap Infrastruktur Hijau
Tingkat Kepentingan Yang Dirasakan
Sedikit Lebih Penting

Sedikit Lebih Penting

Jelas Lebih Penting


Jelas Lebih Penting
Sangat Penting

Sangat Penting

Elemen Elemen
Tingkat 4 Tingkat 4
Penting

Penting
Sama

Penataan Penataan
Lansekap Lansekap
1 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Taman Kota Gelanggang
DodokuAli Remaja

You might also like