Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

Understanding the Lending Models of Indonesian Fintech Startups

June 29, 2018 by Convergence Ventures


Written by Alvin Cahyadi
Originally published here by Bisnis.com.
Coming from one of the large global retail banks and having learned about risk management
and consumer products in particular, it has been exciting to see the growth of the fintech
sector. Approximately a month ago, our Managing Partner, Adrian Li, wrote about how fintech
lending can boost Indonesia’s lackluster growth. After reading this, my team and I thought it
might be useful to elaborate on this and illustrate how we are seeing the various ways fintech
lending players in Indonesia are going after this space.
Let’s first recall the opportunity that fintech lending presents. Indonesia’s finance authority
(OJK) estimated approximately US$74BN in unmet financing needs in 2016 due to the lack of
credit data of loan applicants – a critical gap that is largely served by unlicensed offline
lenders (aka loan sharks). Further to this and as we have seen, Indonesia’s sizeable market
opportunity for alternative lending has generated a myriad of financial technology companies
in the past several years. Indonesia’s Fintech Association’s latest data indicates 134 fintech
companies have been fully registered as per April 2018, more than doubled from only 55 in
2016.
The various existing fintech lending players can be categorized based on i) the recipient and
ii) purpose of the loans as well as iii) the source of lending capital. Below is table of some of
financial technology startups in Indonesia categorized according to the financial product they
offer based on Convergence Ventures’ study.

Fintech startups can either lend to individuals or businesses. It’s important to note that
being a lender for individuals does not prevent the startups to lend to SMEs, and vice versa.
Generally, the key differentiating factor is the product offered by the startups. For the ones
targeting individual borrowers, the products commonly offered as depicted above, include
special purpose loans (mortgages, car financing and education loans), payday short term
loans, pawnshop services, multi-purpose consumptive loans and payroll financing loans. On
the other side, those who lend to businesses (SMEs) offer SME invoice financing, SME long
term financing and equity crowdfunding. Startups offering all of the above will take the
inherent risk of each type of loan and generally, manage this risk by balancing interest rates
against their projected non-performing loans.
Taking it one step further, we can also categorize based on where the startup sources their
lending capital. While there are essentially 3 models based on sources for lending capital,
startups also can combine multiple models. Below are the variety of models we can identify
today.
1. Crowd-lending or P2P Model:

P2P lending model is a model where the fintech startup acts as a connector between
borrowers and lenders- essentially becoming a marketplace for loans service. On top of being
a connector, the fintech company also runs a risk management platform to assess credit
worthiness for the borrowers and to assign interest rates to borrowers’ financing request. The
lenders can see the risk level for a specific loan request and make a decision based on that. In
the P2P lending model, the lenders are usually individuals who have access to money and the
borrowers could be an individual who needs consumptive loans or a SMEs that needs
additional working capital. Usually the platform will pool money from multiple lenders to
fully satisfy the funding requirements. Due to the platform only mediating the borrowing
process, default risk is being carried by the lenders. Fintech companies using this model
generates revenue by charging service fees which is usually deducted from the loan disbursed
to the borrowers. The interest payments from the borrowers would all be given to the
individual lenders for the project. Examples of startups with this model are Modalku,
Koinworks, and Investree.
2. Balance Sheet Model

What is the definition of Balance Sheet model?


The financial technology startups that use this model essentially use their equity financing to
fund loans or take on lending capital from other financial institutions. The fintech companies
assess the risk and assign interest rate for the financing needs and then disburse loans from
their own pocket (balance sheet) for the projects that fit their risk criteria. Naturally, since
the fintech uses its own money to disburse the loan, the default risk as well as the interest
income are being given to the fintech company. An Example of a startup that works with this
model is UangTeman.

3. Institution-Backed Lending:

Startup with this model partners with banks as their funding source. In general, the
partnership formed could be one of the 2 models below:
I. Pure Institution-Backed Model:
Pure Institution-backed model means the startups directly disburse from third-party
institutions’ pocket to make loans, thus the lender is basically the institutions. In this model,
the fintech startups act as a lead generator of credit worthy borrowers whereby only the
borrowers that pass the fintech startups’ risk assessment would be sent to the financial
institution. Since the loan is generated using the institutions’ money, the default risk is
assumed by the financial institutions as well. In this model, the fintech company makes
revenue from commission fees out of the loan disbursed.
II. Hybrid Model:

In the hybrid model, the startups borrow money from financial institution to make loans and
hence the startups incur cost of funds for each loan disbursed. In this model, different from
pure institution-backed model, the fintech companies are still being the lenders and
therefore assuming the loan default risk. The startups in this model generates revenue from
both origination fees and interest income. An example of a financial technology startup that
use this model is Julo.
Indonesia’s fintech lending landscape is heating up, and we are excited to see the impact of it
in the near future. Nevertheless, it is important to note that fintech lending cannot grow
alone if it is to maximize its potential in Indonesia. Strong payments and remittance systems
are mandatory to ensure the lending facilities are able to capture the entire population across
the archipelago. Fortunately, we have seen similar patterns of development in these sectors
which gives us a strong reason to be hopeful for fintech disruption.
Meski seringkali dianggap serupa karena sifatnya yang jangka pendek, P2P lending di bawah
naungan tekfin dengan payday loan memiliki model bisnis yang sama sekali berbeda. Lebih
luas lagi, industri tekfin lending di Tanah Air juga terdiri dari berbagai macam bentuk dan
segmentasi. Ada yang berfokus pada dana talangan konsumen dengan nominal di bawah Rp 3
juta dengan termin pinjaman kurang dari 1 minggu, ada pula yang hanya melayani pinjaman
untuk modal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) hingga Rp 2 miliar dengan termin
pinjaman 1 – 12 bulan. P2P lending sendiri bekerja sesuai dengan jenis yang kedua di mana
hal tersebut mempengaruhi ciri-ciri produk dan pendekatan mitigasi risiko yang dimiliki.
Secara definitif, P2P lending merupakan layanan yang menghubungkan orang yang ingin
mengajukan pinjaman dengan orang yang bersedia memberikan pinjaman melalui sebuah
online platform yang disebut marketplace.

Perbedaan P2P lending dan payday loan terletak pada berbagai hal. Apa saja?

Tingkat bunga
P2P lending menawarkan bunga yang relatif rendah mulai dari 5% – 30% per tahun, sedangkan
payday loan menawarkan bunga harian mulai dari 1% atau mencapai angka 300% per tahun.
Dalam menentukan bunga pinjaman, P2P lending senantiasa mengacu pada tingkat bunga
pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya dengan menekankan poin aksesibilitas dan
kecepatan proses serta persediaan dan permintaan di mana pemberi pinjaman turut melihat
kondisi pasar. Hal ini dikarenakan P2P lending tidak mengambil keuntungan dari biaya bunga—
keseluruhannya menjadi milik pemberi pinjaman. Pada praktiknya, masyarakat unbankable
seperti UMKM seringkali mengalami kesulitan mengajukan pinjaman dari bank atau lembaga
keuangan lainnya karena diminta untuk menyerahkan jaminan. Dengan P2P lending, keinginan
mereka untuk mendapatkan pinjaman akhirnya dapat difasilitasi melalui proses yang aman,
mudah, dan cepat.

Jatuh tempo pinjaman


Tenor pinjaman pada P2P lending bisa bermacam-macam tergantung keinginan peminjam,
namun rata-rata sekitar 6 bulan dengan minimal tenor umum 30 hari, sedangkan payday loan
harus dibayarkan pada satu waktu—tidak bisa melalui cicilan—dan terdapat biaya tambahan
jika peminjam terlambat membayar.

Biaya tambahan
Melalui P2P lending, peminjam hanya perlu membayar bunga yang telah ditetapkan hingga
pinjaman terbayar penuh, sedangkan melalui payday loan, peminjam diperbolehkan untuk
memperpanjang masa pinjamannya namun harus membayar biaya tambahan. Di sinilah
pemberi pinjaman mendapatkan keuntungan paling banyak.

Penilaian risiko untuk menekan angka non-performing loan


P2P lending sangat mempertimbangkan kondisi finansial peminjam. Pada prosesnya, penyedia
layanan P2P lending akan mengadakan analisis kredit untuk menentukan risiko peminjam
secara keseluruhan. Sedangkan payday loan tidak mempertimbangkan kondisi finansial
peminjam. Kemampuan untuk mengembalikan pinjaman kerap kali diabaikan selama
pengajuan sudah memenuhi ketentuan memiliki dokumen slip gaji. Dari segi perolehan
keuntungan, P2P lending memotong biaya administrasi dari peminjam, bukan biaya bunga
seperti yang dilakukan oleh payday loan. Keuntungan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh
P2P lending untuk kegiatan mitigasi risiko sehingga tetap memberikan manfaat baik bagi
penyedia layanan P2P lending, peminjam, maupun pemberi pinjaman.
Transparansi
Segala informasi yang dibutuhkan oleh peminjam atau pemberi pinjaman disediakan secara
lengkap di situs tiap-tiap penyedia layanan P2P lending, tak hanya yang berkaitan dengan
produk dan cara kerja tetapi juga penjelasan tentang perhitungan bunga, risiko, dan profil
pemilik sehingga masyarakat dapat mencermati secara langsung. Seluruh peminjam dan
pemberi pinjaman yang terdaftar pun akan disediakan dasbor untuk memantau proses
pendanaan pinjaman yang sedang berjalan di situs tersebut. Dan jika ditelaah lebih lanjut,
P2P lending cenderung menghadirkan produk yang beragam untuk memenuhi setiap lini
kebutuhan masyarakat terutama yang bersifat produktif. Sementara payday loan hanya
menyajikan produk tunggal yaitu pinjaman cepat yang biasa digunakan untuk memenuhi
kebutuhan konsumtif.
Sejak awal, konsep P2P lending dihadirkan oleh para pemainnya dengan tujuan untuk
menjembatani kesenjangan akses keuangan, terlebih untuk memfasilitasi pembiayaan bagi
pengembangan bisnis UMKM. Hal ini sejalan dengan program inklusi keuangan yang telah
dicanangkan oleh pemerintah. Dengan menawarkan prosedur dan proses pinjam meminjam
yang mudah dan cepat namun tetap dengan mempertimbangkan seleksi berdasarkan tingkat
risiko yang seksama, P2P lending banyak dimanfaatkan oleh mereka yang belum memiliki
akses terhadap perbankan seperti industri kreatif, pekerja lepas atau paruh waktu, buruh
tani, nelayan, dan lain sebagainya. Itulah mengapa tekfin mempunyai potensi yang sangat
besar untuk membantu mewujudkan inklusi finansial sesuai dengan Strategi Nasional
Keuangan Inklusif (SNKI), dengan prioritas agenda nasional yaitu membuka akses layanan
keuangan kepada sedikitnya 75% penduduk Indonesia yang belum bankable.
Oleh karena itu, masyarakat harus senantiasa bijak dalam membedakan dan memilih produk
pinjaman berbasis tekfin. Hal termudah adalah dengan memperhatikan kredibilitas pemilik
dan terdaftarnya sebuah perusahaan layanan tekfin di OJK. Masyarakat disarankan jeli dengan
atribut-atribut seperti apakah perusahaan layanan tekfin tersebut melakukan audit secara
berkala dengan auditor eksternal yang kredibel dan berapa banyak penghargaan yang telah
diperoleh. OJK selaku regulator juga diharapkan mampu memberikan edukasi akurat yang
lebih luas tentang tekfin agar masyarakat semakin paham dan bersedia menggunakan tekfin
sebagai solusi pembiayaan yang efisien, terutama bagi UMKM di Indonesia, sehingga cita-cita
inklusi finansial yang nyata dapat segera terwujud.

You might also like