Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 6

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/323004150

Pengaruh Asupan Berbagai Jenis Biji-bijian Terhadap Kadar Asam Urat pada
Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus)

Conference Paper · February 2018

CITATIONS READS

0 2,329

14 authors, including:

Dhanang Puspita Rosiana Eva Rayanti


Universitas Kristen Satya Wacana Universitas Kristen Satya Wacana
26 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    5 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Pigment of Capsicum chinense View project

The Dawn of Civilization in Jambi (Central Sumatra) View project

All content following this page was uploaded by Dhanang Puspita on 08 February 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Pengaruh Asupan Berbagai Jenis Biji-bijian Terhadap
Kadar Asam Urat pada Tikus Putih Jantan (Rattus norvegicus)
Dhanang Puspita1,2*, Rosiana Eva Rayanti3, Yohana Ikka Maylani4, Theresia Pratiwi
Elingsetyo Sanubari4
1. Magister Biologi, Univeristas Kristen Satya Wacana-Salatiga
2. Teknologi Pangan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UKSW-Salatiga
3. Imu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UKSW-Salatiga
4. Ilmu Gizi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UKSW-Salatiga
*E-mail: dhavedhanang@gmail.com

Abstrak
Grains known as foods that contain purine. The existence of purines can cause gout patients/
hyperuricemia increased levels of uric acid in the blood. High levels of uric acid cause gout arthritis. This
study aims to determine the increase in uric acid levels in male rats (Rattus norvegicus) by the intake of
various types of grain. Male rats per group were given intake melinjo (Gnemon gnetum), soy (Glycine
max), white rice (Oryza sativa), peanuts (Arachis hypogaea), red beans (Phaseolus vulgaris), green beans
(Vigna radiata), and BR1 (as control). Long treatment for 15 days. Calculation of uric acid levels in male
rats at the start of the day to 0, 5, 10, and 15. The measurement results showed that rats with intake a diet
melinjo seeds have elevated levels of uric acid highest is 20 mg/dl and the lowest is peanuts (7,2 mg/dl),
while control is 4,2 mg/dl. The amount of uric acid content in rats with grain intake showed a high purine
content. This study concluded that contribute grain in elevated uric acid levels are highest is melinjo, rice,
green beans, soybeans, red beans, and peanuts.
Keywords: grain, hyperuricemia, male-rats, uric-acid.

Pendahuluan
Asam urat merupakan hasil metabolisme protein di dalam tubuh yang mengalir bersama peredaran darah.
Meningkatnya kadar asam urat di dalam darah akan menyebabkan pengendapan di persendian dan membentuk
kristal kecil, sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat. Pola makan yang salah atau sembarangan, terutama
terlalu banyak mengonsumsi makanan yang mengandung purin tinggi merupakan salah satu penyebab seseorang
menderita nyeri gout (Sudewo, 2007). Penyakit gout adalah penyakit akibat gangguan metabolisme purin yang
ditandai dengan hiperurisemia dan serangan sinovitis akut berulang-ulang.
Prevalensi gout/asam urat di Indonesia diperkirakan 1,6–13,6/100.000 orang. Prevalensi ini meningkat seiring
dengan meningkatnya umur (Tjokroprawiro, 2007). Prevalensi penyakit sendi berdasarkan diagnosis Nakes di
Indonesia 11,9% dan berdasarkan diagnosis atau gejala 24,7%. Prevalensi berdasarkan diagnosis Nakes tertinggi di
Bali (19,3%), diikuti Aceh (18,3%), Jawa Barat (17,5%), dan Papua (15,4%). Pevalensi penyakit sendi berdasarkan
diagnosis Nakes atau gejala tertinggi di Nusa Tenggara Timur (33,1%), diikuti Jawa Barat (32,1%), dan Bali (30%)
(Riskesdas, 2013).
Faktor yang memengaruhi kadar asam urat digolongkan menjadi tiga, yaitu faktor primer, faktor sekunder, dan
faktor predisposisi. Pada faktor primer dipengaruhi oleh faktor genetik. Faktor sekunder dapat disebabkan oleh dua
hal, yaitu produksi asam urat yang berlebihan dan penurunan ekskresi asam urat. Pada faktor predisposisi
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan iklim (Muttaqin, 2008).
Ada beberapa hal yang dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah dan merupakan faktor risiko
terjadinya hiperurisemia. Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga mekanisme, yaitu:
a. Peningkatan produksi asam urat yang dapat disebabkan oleh faktor idiopatik primer, makanan yang kaya
akan purin, obesitas, alkohol, proses hemolitik, dan psoriasis.
b. Penurunan ekskresi asam urat yang disebabkan oleh idiopatik primer, insufusiensi ginjal, diuretik, diabetes
insipidus, hipertensi, asidosis, alkohol, levodopa, ethambutol, dan pirazinamid.
c. Kombinasi antara kedua mekanisme tersebut..
Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin yang mengalir bersama peredaran darah. Purin (adenin dan
guanin) merupakan konstituen asam nukleat. Purin selain didapat dari makanan juga berasal dari penghancuran sel-
sel tubuh yang sudah rusak akibat gangguan penyakit atau penggunaan obat kanker (kemoterapi), serta sintesis purin
dalam tubuh dari bahan-bahan pangan seperti, CO2, glutamine, glisin, asam aspartat, dan asam folat (Indriawan,
2009). Asam urat disintesis terutama dalam hati, dalam suatu reaksi yang dikatalisis oleh enzim xantin oksidase.
Asam urat kemudian mengalir melalui darah ke ginjal, tempat zat ini difiltrasi, direabsorpsi sebagian, dan
disekskresi sebagian sebelum akhirnya diekskresikan melalui urine. Dalam kondisi tertentu, ginjal tidak lagi mampu
mengeluarkan zat asam urat secara seimbang sehingga terjadi kelebihan dalam darah. Kelebihan zat asam urat ini
akhirnya menumpuk dan tertimbun pada persendian-persendian di tempat lainnya termasuk di ginjal itu sendiri
dalam bentuk kristal-kristal (Sandjaya, 2014). Asam urat dibentuk dari degenerasi purin baik secara eksogen
maupun endogen. Pembentukan purin melalui metabolisme DNA dan RNA merupakan pembentukan secara
endogen sedangkan jalur eksogen melalui intake diet tinggi purin (Sarawek, 2007). Di dalam tubuh, perputaran
purin terjadi secara terus menerus seiring dengan sintesis dan penguraian RNA dan DNA, sehingga walaupun tidak
ada asupan purin, tetap terbentuk asam urat dalam jumlah yang substansial.
Penyakit asam urat dapat dialami oleh manusia maupun binatang. Namun pada binatang, misalnya tikus tidak
dapat dilihat bagaimana respon dari keadaan asam urat yang tinggi. Pada binatang hanya dapat diketahui dengan tes
asam urat melalui darahnya. Kadar rata-rata asam urat di dalam darah atau serum tergantung pada usia dan jenis
kelamin. Nilai normal asam urat pada laki-laki adalah 5,1 ± 1,0 mg/dL, sedangkan pada perempuan adalah 4,0 ± 1,0
mg/dL. Nilai ini dapat mengalami peningkatan sampai 9–10 mg/dL pada seseorang dengan keadaan gout (Price dan
Wilson, 2006). Kadar asam urat normal pada tikus jantan strain winstar adalah 4,37±1,11 mg/dl, (Taconic Technical
Laboratory, 1998 dalam Kusmiyati, 2008).
Dalam penelitian diperlukan hewan uji yang memiliki kemiripan dengan manusia dalam hal faal, anatomi,
nutrisi, patologi atau metabolisme dengan manusia (Hakim, 2002). Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan
hewan uji berupa tikus putih (Rattus norvegicus) dengan berat 150–200 gr. Beberapa alasan lain yang membuat
peneliti mimilih tikus putih sebagai hewan uji adalah sebagai berikut: 1) tikus dapat berkembang biak dengan cepat
dan berumur pendek, sehingga pengamatan dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, 2) tikus relatif murah
dan dapat dibeli dalam jumlah besar, 3) sebagian besar tikus sama secara genetis kecuali jenis kelamin, sehingga
mudah untuk menyeragamkan hasil percobaan medis, 4) secara genetis tikus mirip dengan manusia, sehingga
karakteristik biologi dan perilakunya mirip, 5) tikus kecil mudah dalam pemeliharaan serta cepat beradaptasi dengan
lingkungan sekitar, 6) tikus mudah untuk dideteksi.
Asupan makanan yang mengandung purin secara berlebihan dapat meningkatkan kadar asam urat dalam darah.
Berbagai jenis biji-bijian seperti biji melinjo, kacang kedelai sering disebut masyarakat sebagai bahan makanan
yang dapat menyebabkan asam urat. Beras putih juga termasuk bahan makanan yang mengandung protein.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian asupan bebijian terhadap peningkatan kadar asam urat
pada tikus putih jantan (Rattus Norvegicus) strain winstar. Dengan diketahuinya pengaruh asupan bebijian pada
peningkatan kadar asam urat bisa menjadi rujukan masyarakat yang mengalami hiperurisemia/penyakit asam urat
dalam mengonsumsi bebijian.

Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental in vivo. Tempat penelitian adalah di Laboratorium Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah
berbagai macam jenis biji-bijian, yaitu biji melinjo, kacang kedelai, beras putih, kacang tanah, kacang merah,
kacang hijau, dan BR1 (kontrol). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah kadar asam urat. Variabel
terkendali dalam penelitian ini adalah tikus putih jantan (Rattus norvegicus) strain winstar yang berumur 2 – 3 bulan
dengan berat badan 150 – 200 gr. Hewan uji dipelihara dalam kondisi kandang, pakan minum dan pencahayaan
yang sama. Hewan uji dibagi menjadi 7 kelompok. Terdapat 6 kelompok tikus yang diberi makan biji-bijian, yaitu
biji melinjo, kacang kedelai, beras putih, kacang tanah, kacang merah, kacang hijau dan satu kelompok kontrol yang
diberi BR 1. Masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor tikus. Sebelum pemberian bahan uji, yaitu pada hari ke-0
semua tikus diambil darahnya pada bagian ekor untuk pemeriksaan kadar asam urat awal. Menurut Smith dan
Mangkoewidjojo (1988), tiap hari seekor tikus dewasa makan antara 12 gram sampai 20 gram makanan. Biji-bijian
diberikan secara oral setiap hari sebanyak 45 gram untuk 3 ekor pada setiap kelompok pemberian selama 15 hari.
Hewan uji diberi perlakuan sesuai kelompoknya selama 15 hari. Pada hari ke-5, ke-10, dan ke-15, dilakukan
pengukuran kadar asam urat. Sebelum pengambilan darah bagian ekor disterilkan dengan kapas alkohol 70%
kemudian darah diperoleh dari vena lateralis ekor menggunakan jarum lancet. Darah yang didapatkan ± 1 ml yang
selanjutnya digunakan untuk penentuan uji asam urat menggunakan alat pengukur kadar asam urat (NESCO). Uji
normalitas dilakukan dengan menggunakan metode analitik Saphiro-Wilk dan didapatkan distribusi data normal.

Hasil dan Pembahasan


Hasil pengukuran asam urat tikus yang diberi perlakuan selama 5, 10, dan 15 hari untuk masing-masing
kelompok ditabulasi dan dirata-ratakan. Rata-rata kadar asam urat serum tikus pada setiap kelompok seperti terlihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengukuran Kadar Rerata Asam Urat Tikus dengan Perlakuan Asupan Berbagai Jenis
Bebijian

Perlakuan Pengambilan Darah (mg/dl)


Hari ke-0 Hari ke-5 Hari ke-10 Hari ke-15
Kedelai 2,5 3,7 4,3 7,9
Melinjo 2,5 7,1 7,7 20
Beras 2,5 5,9 8,6 17,4
Kacang Tanah 2,5 4,1 6,8 7,2
Kacang Merah 3,1 5,4 6,9 7,5
Kacang Hijau 2,5 5,1 5,9 9
Kontrol : 4,2 mg/dl.

Berdasarkan tabel 1, kadar asam urat tikus dari masing-masing kelompok mengalami peningkatan selama 4
kali pengambilan, yaitu setelah 15 hari pemberian perlakuan. Kadar asam urat tikus setelah 15 hari paling tinggi
terdapat pada perlakuan asupan biji melinjo yaitu sebesar 20 mg/dl, sedangkan yang terendah pada perlakuan
asupan kacang tanah yaitu 7,2 mg/dl. Kadar asam urat pada tikus menjadi representasi dari profil makanan
terutaman protein yang dikonsumsi oleh tikus seperti yang ditunjukan pada tabel 2 yakni tentang kandungan protein
pada berbagai jenis biji-bijian.

Tabel 2. Besaran Kandungan Protein pada Berbabagi Jenis Bebijian


Jenis Kandungan Protein Sumber
Bebijian per 100gr (gr)
Melinjo 5 Direktorat Gizi Depkes RI dalam Ika
Wahyu Yuni Asri (2010)
Kedelai 36 Aparicio et al, 2008 dalam Winarsi (2010)
Kacang Tanah 25,3 Direktorat Gizi Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 1981
Kacang Merah 25,3 Data Nutrisi USDA, 2007
Kacang Hijau 22 Retnaningsih et. al, 2008
Beras 6,18 Suhartiningsih, 2004

Secara umum, kandungan protein kacang-kacangan berkisar antara 20 – 40%. Pada kelompok bahan pangan
nabati, kacang-kacangan memilki kandungan protein tinggi: misalnya kedelai (35 %), kacang tanah (25 %), kacang
merah (23 %) dan kacang hijau (22 %) (Sajogyo, 1994).

Tabel 3. Hasil Uji Normalitas dengan Metode Uji Shapiro Wilk


Kelompok Signifikansi
Kedelai 0,388
Melinjo 0,435
Beras 0,488
Kacang Tanah 0,858
Kacang Merah 0,097
Kacang Hijau 0,082
Kontrol 0,297

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahui bahwa data berdistribusi normal karena nilai probabilitas di setiap
kelompok lebih besar dari 0,05.
Gambar 1. Grafik pola peningkatan kadar asam urat tikus putih jantan pada berbagai jenis asupan bebijian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian berbagai bebijian, seperti kacang kedelai, melinjo, beras,
kacang tanah, kacang merah, dan kacang hijau dapat menaikkan kadar asam urat tikus seperti pada gambar 1. Dalam
15 hari pemberian berbagai bebijian dapat membuat kondisi tikus hiperurisemia dibuktikan dengan kadar asam urat
tikus pada masing-masing kelompok adalah biji belinjo (20 mg/dl), lalu beras putih (17,4 mg/dl), kacang merah (7,5
mg/dl), kacang hijau (9 mg/dl), kacang kedelai (7,9 mg/dl), dan kacang tanah (7,2 mg/dl). Kadar asam urat normal
pada tikus jantan strain winstar adalah 4,37±1,11 mg/dl, (Taconic Technical Laboratory, 1998 dalam Kusmiyati,
2008).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Tasminatum dan Palupi Fatma (2016) diperoleh hasil bahwa
pemberian perasan biji melinjo tidak dapat membuat kondisi tikus hiperurisemia. Hasil yang diperoleh dalam
penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini pemberian biji melinjo justru sangat
mempengaruhi terhadap kenaikan kadar asam urat tikus yang dibuktikan dengan kadar asam urat tikus saat
pengambilan darah terakhir selama 15 hari pemberian sebesar 20 mg/dl. Hal ini dapat terjadi karena dipengaruhi
oleh pengolahan biji melinjo dengan cara direbus terlebih dahulu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Sri
Tasminatum dan Palupi Fatma (2016) disebutkan bahwa proses pembuatan perasan daging biji melinjo adalah
dengan perebusan terlebih dahulu selama 10 menit sebelum diparut, dihaluskan, kemudian disaring dan diperas,
sedangkan penelitian ini tidak melalui proses pengolahan apapun. Menurut Yenrina dan Krisnatuti (2008),
pengolahan pangan, terutama perebusan, dapat menurunkan kandungan purin karena purin lepas ke dalam air
rebusan. Winarno (2004) juga menjelaskan bahwa pemasakan seperti perebusan dan pengukusan (boiling dan
steaming pada suhu 1000C), broiling (pemanggangan daging), baking (pemanggangan roti), roasting
(pengsangraian) dan frying (penggorengan dengan minyak) dengan suhu antara 150 – 3000C sangat berpengaruh
pada nilai gizi bahan pangan. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Sundari, et.al., 2015) yang
menyatakan bahwa terjadi penurunan kadar protein pada tahu, ikan kembung, ayam potong, dan tempe setelah
mengalami proses pemasakan. Penurunan kadar protein pada bahan pangan yang direbus tertinggi terjadi pada tahu
(3,73%), diikuti oleh ikan kembung (3,12%), ayam potong (1,65%), dan terendah pada tempe (1,37%). Pengolahan
bahan pangan sangat mempengaruhi kerusakan yang terjadi pada protein. Semakin tingi suhu dan semkain lama
waktu pengolahan semakin tinggi kerusakan protein yang terjadi pada bahan pangan tersebut (Winarno, et.al.,
1980). Perebusan dapat menurunkan kadar protein dalam bahan pangan. Penurunan kadarprotein ini terjadi karena
pengolahan dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein protein sehingga terjadi
koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya.
Kandungan protein pada melinjo per 100 gram tidak lebih besar dari kandungan protein pada biji-bijian yang
lainnya, namun kadar asam urat tikus paling tinggi justru didapat pada kelompok melinjo. Perbedaan besaran kadar
asam urat ini dapat disebabkan oleh tingkatan palabilitas tikus terhadap melinjo dibanding biji-bijian yang lainnya.
Tingkatan palabilitas tikus terhadap bebijian dibuktikan saat uji pabilitas dengan menggunakan 6 tikus yang
sebelumnya dipuasakan selama 24 jam. Masing-masing tikus diberi makan biji-bijian yang berbeda, yaitu melinjo,
beras, kacang merah, kacang kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Biji-bijian yang lebih cepat habis dimakan
adalah melinjo, selanjutnya kacang merah, beras, kacang kedelai, kacang tanah, dan terakhir kacang hijau.
Bebijian merupakan salah satu sumber protein yang terdapat kandungan purin di dalamnya. Berkaitan dengan
penyakit asam urat, melinjo adalah salah satu jenis makanan yang sangat dihindari oleh penderita penyakit asam
urat. Bahan makanan sumber purin tinggi adalah bahan makanan yang mengandung 150 – 1000 mg purin dalam 100
gram bahan makanan (Setyoningsih, 2009). Kadar purin pada biji melinjo, kedelai, kacang tanah, kacang merah,
kacang hijau, dan beras termasuk dalam kriteria bahan makanan dengan sumber purin tinggi. Beberapa jenis
makanan diketahui mengandung banyak purin, antara lain daging, kacang-kacangan termasuk kacang kedelai,
bayam, jamur dan kembang kol.
Berbagai jenis bebijian, seperti kacang kedelai, biji melinjo, beras, kacang tanah, kacang merah, dan kacang
hijau mampu meningkatkan kadar asam urat pada tikus. Peningkatan kadar asam urat tikus setelah diberi asupan
makanan berupa bebijian menjadi pertimbangan bagi masyarakat supaya dapat membatasi konsumsi biji-bijian baik
dalam jumlah maupun frekuensi dalam mengonsumsi, terutama bagi masyaratkat yang memilki kadar asam urat
tinggi.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, asupan berbagai jenis biji-bijian yang diberikan selama 15 hari mampu
meningkatkan kadar asam urat tikus. Kelompok tikus yang memilki kadar asam urat tertinggi setelah diberikan biji-
bijian selama 15 hari adalah tikus yang diberi asupan biji melinjo, yaitu sebesar 20 mg/dl dan terendah pada tikus
yang diberi asupan kacang tanah, yaitu sebesar 7,2 mg/dl. Besarnya kandungan asam urat juga dipengaruhi dengan
tingkatan palabilitas tikus jantan terhadap konsumsi bebijian dan yang paling disukai adalah melinjo, selanjutnya
kacang merah, beras, kacang kedelai, kacang tanah, dan terakhir kacang hijau.

Saran
Perlu dilakukan penelitian pengaruh pemberian biji-bijian terhadap kadar asam urat tikus putih jantan
dengan bii-bijian serupa namun dengan tekstur yang mudah dicerna.

Daftar Pustaka
Asri IWY. Analisis Usaha Industri Emping Melinjo Skala Rumah Tangga di Kabupaten Magetan. Universitas
Sebelas Maret, Surakarta, Skripsi, 2010.
Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1981.
Hakim, L. Uji Farmakologi dan Toksikologi Obat Alam pada Hewan Coba. Purwoketo: Prosiding Seminar Herbal
Medicine Universitas Muhammadiyah, 2002.
Hawkins D.W, Daniel W.R. Pharmacoteraphy; A Pathophysiological Approach 3rd ed. London : Black Well
Scientific Publication: 1755-1760. 2005
Indriawan,2009.Penyakit.asamurat/gout.unikom.ac.id/repo/sector/kampus/view/blog/key/.../Penyakit (diakses 7
Februari 2017)
Kusmiyati, A. Kadar Asam Urat Serum dan Urin Tikus Putih Hiperurikemia Setelah Pemberian Jus Kentang
(Solanum tuberosum L.). Universitas Negeri Surakarta, Skripsi, 2008.
Kementerian KesehatanRepublik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan. 2013.
McCrudden, Francis H. Uric Acid. Penerjemah Suseno Akbar. Yogyakarta: Salemba Mendika. 2000.
Muttaqin Arif. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: EGC, 2008.
Price, S, Wilson, L. Patofisiologi edisi 6. Jakarta : EGC: 1402-1405. 2006.
Ratnaningsih et. al.Pengaruh Jenis Kavcan Tolo, Proses Pembuatan Dan Jenis Inokulum Terhadap Perubahan Zat-
zat Gizi Pada Fermentasi Tempe Kacang Tolo. Jurnal Penelitian Saintek. Vol.14 (1): 97-128
Sajogyo dkk. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Kota. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1994.
Sandjaya H. Buku Sakti Pencegah dan Penangkal Asam Urat. Yogyakarta: Mantra Books. 2014
Sarawek, S. Xanthine Oxidase Inhibition and Antioxidant Activity of An Artichoke Leaf Extract (Cynara Scolymus
L.) and Its Compounds. Disertasi strata tiga, University of Florida.
Setyoningsih R. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hiperurisemia pada Pasien Rawat Jalan RSUP
Dr.Kariadi Semarang. Semarang: Artikel Penelitian Universitas Diponegoro, 2009.
Smith JB, Mangkoewidjojo S. Pemeliharaan, Pembiakan, Dan Penggunaan Hewan Percobaan Di Daerah Tropis.
Depok: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press). 1988: 44
Sudewo B. Tanaman Obat Populer Penggempur Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka, 2007.
Sundari D, Almasyhuri, Lamid A. Pengaruh Proses Pemasakan terhadap Komposisi Zat Gizi Bahan Pangan Sumber
Protein. Media Litbangkes. Vol. 25 (24): 236-241
Tjokroprawiro Askandar. Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya: Airlangga University Press, 2007.
United State Department of Agliculture. The USDA Food Search for Windows. Human Nutrition. Research Center
of Agricultural Research and Service. 2007.
Winarno FG. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 2004.
Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: Penerbit Gramedia.1980.
Winarsi H. Protein Kedelai dan Kecambah Manfaatnya bagi Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. 2010.
Yenrina R, Krisnatuti D. Diet Sehat untuk Penderita Asam Urat. Jakarta: Penebar Swadaya. 2008

View publication stats

You might also like