Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No.

3 Oktober 2016

PUBLIC STIGMA TERHADAP ORANG DENGAN GANGGUAN JIWA


DI KABUPATEN KEBUMEN

Arnika Dwi Asti ¹, Sahrul Sarifudin ², Ike Mardiati Agustin ³


¹²³ STIKES Muhammadiyah Gombong

ABSTRACT
Indonesian Basic Health Research Data (2013) showed that the
prevalence of people with mental disorders in Central Java is 3.3% of the
entire population and Kebumen district ranked as the second region with
773 people were detected as mental disorders in 2012. People with
mental disorders experienced self stigma and also public stigma from the
community in the form of labels, prejudice and discrimination (Corrigan,
2005). The purpose of this study is to describe the public stigma given by
the community to the people with mental disorders in Kebumen district.
This was a quantitative study with descriptive analytic method
and survey approach, conducted in March 2016 in Rogodono village,
Buayan, Kebumen district. The sample were 207 people taken by
proportional random sampling technique. The study used demographic
characteristics questionnaire and ODGJ public stigma questionnaire that
modified from the Perceived Stigma of Substance Abuse Scale (PSAS)
questionnaire by Luoma (2010). The data analysis used univariate
descriptive.
The results show that most of the respondents were female
(59.4%), with an age range 41-50 years (32.4%), elementary education
(49.3%), working as laborers (47.8%) and provide public stigma of
prejudice (87.43%). Public stigma effect on healing and the incidence of
recurrence clients with mental disorders in the community. It is
important for nurses to do health promotion and education in order to
improve the cure rate and lower the recurrence rate clients with mental
disorders in the community

Keywords: Descriptive Analytical, Mental Disorder, Public Stigma

PENDAHULUAN menduduki peringkat kedua


Data World Health sebagai wilayah dengan
Organisasi (WHO) menyatakan penderita gangguan jiwa
sekitar 450 juta orang di dunia terbanyak setelah Kabupaten
mengalami gangguan jiwa Semarang. Pada tahun 2012
(Yosep, 2013). Sementara hasil hasil pendataan yang dilakukan
Riset Kesehatan Dasar tahun di 35 Puskesmas di Kabupaten
2013, menunjukan bahwa Kebumen dari 26 kecamatan
prevalensi orang dengan tercatat 773 warga mengalami
gangguan jiwa (ODGJ) adalah gangguan jiwa.
1,7 per 1000 penduduk atau Gangguan jiwa
sekitar 400.000 orang. Di Jawa merupakan suatu sindrom atau
Tengah gangguan jiwa mencapai pola perilaku yang secara klinis
3,3% dari seluruh populasi yang bermakna yang berhubungan
ada dan Kabupaten Kebumen dengan distres atau penderitaan

176
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No.3 Oktober 2016

dan menimbulkan gangguan lingkungannya. Stigma terhadap


pada satu atau lebih fungsi gangguan jiwa merupakan
kehidupan manusia (Keliat, sebuah fenomena sosial tentang
2011). Menurut Pasal 1 UU No sikap masyarakat terhadap
18, (2014) Tentang Kesehatan individu yang mengalami
Jiwa, orang dengan gangguan gangguan jiwa serta
jiwa adalah orang yang menunjukan abnormalitas pada
mengalami gangguan dalam pola perilakunya, serta
pikiran, perilaku, dan perasaan dipandang memiliki identitas
yang termanifestasi dalam sosial yang menyimpang,
bentuk sekumpulan gejala atau sehingga membuat masyarakat
perubahan perilaku yang tidak dapat menerima
bermakna, serta dapat sepenuhnya dan menyebabkan
menimbulkan penderitaan dan sikap masyarakat menjadi
hambatan dalam menjalankan cenderung diskriminatif. Stigma
fungsi sebagai manusia. berasal dari kecenderungan
Orang dengan gangguan jiwa manusia untuk menilai orang
secara fisik tampil tidak lain. Berdasarkan penelitian itu,
terpelihara, berperilaku aneh, kategorisasi atau stereotip
beberapa diantaranya dilakukan tidak berdasarkan
mengamuk tanpa sebab, keadaan yang sebenarnya atau
bertelanjang diri sehingga berdasarkan fakta, tetapi pada
menyebabkan masyarakat apa yang masyarakat anggap
beranggapan negatif kepadanya. sebagai tidak pantas, luar biasa,
Masyarakat memberi label memalukan, dan tidak dapat
mereka sebagai orang gila, edan, diterima. Stigma telah
sedeng, miring dan dan dianggap digambarkan sebagai konsep
tidak layak hidup bersama menyeluruh yang mengandung
dalam lingkungan masyarakat. tiga unsure : masalah
Inilah yang pada akhirnya pengetahuan (pelabelan),
melahirkan stigma dikhalayak masalah sikap (prasangka), dan
umum. Kurangnya pengetahuan masalah perilaku (diskriminsi)
akan kesehatan jiwa memang (Thornicroft et al, 2007). Dengan
tidak dipungkiri sebagai adanya stigma, orang dengan
penyebab utama terjadinya gangguan jiwa yang sudah
stigma bagi penderita gangguan dinyatakan sembuh dan
jiwa (Smith & Casswell, dikembalikan ke keluarganya,
2010). Stigma merupakan sering kambuh lagi karena
bentuk penyimpangan penilaian adanya stigma masyarakat yang
dan perilaku negatif yang terjadi membuat mereka tidak dapat
karena pasien gangguan jiwa sembuh ( Noorkasani dkk, 2007).
tidak memiliki keterampilan atau Pada kasus gangguan jiwa,
kemampuan untuk berinteraksi adanya stigma akhirnya
dan bahaya yang mungkin dapat membangun prejudice tanpa
ditimbulkannya (Michaels et al, dasar yang mengarah pada
2012). Menurut Kamus Besar usaha-usaha
Bahasa Indonesia stigma adalah mendiskriminasikan penderita
ciri negatif yang menempel pada gangguan jiwa dalam banyak
diri seseorang karena pengaruh hal, seperti tindakan kekerasan,

177
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No.3 Oktober 2016

diskriminasi ditempat kerja dan wawancara terhadap 15 warga


sekolah (Buckles dkk, 2008). yang tinggal di Desa Rogodono
Stigma terbagi menjadi tentang tanggapan mereka
dua bentuk, tergantung pada mengenai orang gangguan jiwa
sumber stigma yaitu public dilingkunganya, 10 orang
stigma dan self stigma. Public mengatakan bahwa mereka
stigma adalah perilaku stigma mengganggu, mengerikan,
dan sikap anggota masyarakat menakutkan, memalukan.
sementara self stigma adalah Menurut mereka sebagian dari
stigma yang diproyeksikan oleh masyarakat ada yang melakukan
orang dengan gangguan jiwa tindakan kekerasan, bulling
pada diri mereka sendiri. Public verbal, dan penindasan terhadap
stigma digambarkan sebagai hak-hak dasar sebagai manusia
label, prasangka dan dalam kehidupan. Sementara 5
diskriminasi (Corrigan, 2005). orang mengatakan merasa
Penelitian yang dilakukan kasihan, memberikan mereka
oleh Subu, (2015) terhadap 15 makan, minum, pakaian dan
perawat dan 15 pasien di Rumah memberikan tempat untuk
Sakit Jiwa Marzoeki Mahdi istirahat. Disimpulkan bahwa
Bogor dengan metode kualitatif hanya 5 dari 15 orang yang
grounded theory menunjukan memberikan tanggapan positif
bahwa stigmatisasi pada orang terhadap orang dengan
dengan gangguan jiwa banyak gangguan jiwa, dan masih
dilakukan oleh anggota keluarga, banyak yang memberikan stigma
anggota masyarakat, pelayanan terhadap orang dengan
kesehatan, dan juga oleh gangguan jiwa.
lembaga pemerintah dan media.
Stigmatisasi yang ditimbulkan METODE PENELITIAN
meliputi kekerasan, ketakutan, Penelitian ini
pengucilan, isolasi, penolakan, menggunakan metode deskriptif
menyalahkan, diskriminasi, dan analitik dengan pendekatan
devaluasi. Kekerasan fisik, survey dimana fakta-fakta dari
psikologis dan penghinaan telah gejala-gejala yang muncul dicari
menyebabkan orang dengan untuk kemudian disajikan apa
gangguan jiwa dihindari, diusir, adanya. Pengumpulan data
diabaikan, diisolasi, dilakukan pada bulan Maret
disembunyikan, atau 2016. Populasi pada penelitian
ditinggalkan dijalan-jalan. Dari ini adalah seluruh masyarakat
hasil penelitian tersebut, peneliti Desa Rogodono yang berusia 18
tertarik untuk melihat dengan – 60 tahun sebanyak 2.073 jiwa.
cara yang berbeda melalui studi Sample diambil dengan tehnik
kuantitatif, apakah di wilayah propotional random sampling
Kebumen terjadi hal yang sama. pada 7 RW di Desa Rogodono
Berdasarkan data yang dengan jumlah total sebanyak 10
diperoleh dari Puskesmas % dari populasi ( Arikunto, 2006)
Buayan dinyatakan bahwa yaitu 207 orang. Untuk
penderita gangguan jiwa meminimalisir bias maka
terbanyak ada di desa Rogodono ditentukan kriteria inklusi
yaitu sejumlah 8 orang. Hasil sampel yaitu berusia 18-60

178
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No.3 Oktober 2016

tahun, mampu membaca dan reliabilitas pada 30 warga Desa


menulis, dan bersedia menjadi Mergosono Kecamatan Buayan
responden. Sementara kriteria yang memiliki karakteristik yang
eksklusinya adalah warga yang sama dengan warga Desa
tinggal 1 rumah dengan pasien Rogodono. Hasil uji validitas
dan warga yang mengalami menunjukkan hasil r hitung >
gangguan pendengaran dan dari r tabel (0,374) untuk
penglihatan. seluruh item pertanyaan dan
Peneliti menggunakan 2 hasil uji reliabilitas
jenis kuesioner yaitu kuesioner menunjukkan nilai Alpha
tentang karakteristik demografi Cronbrach sebesar (0,711) ≥ 0,7
dan kuesioner public stigma sehingga instrumen dinyatakan
ODGJ. Kuesioner karakteristik valid dan reliable.
responden terdiri dari jenis
kelamin, umur, tingkat HASIL DAN BAHASAN
pendidikan dan pekerjaan. Setelah dilakukan
Sementara kuesioner public tabulasi terhadap 207 kuesioner,
stigma ODGJ diadopsi dari maka dapat disajikan distribusi
kuesioner Perceived Stigma of karaktekteristik responden
Substance Abuse Scale (PSAS) berdasarkan jenis kelamin, usia,
dari Luoma (2010) yang terdiri tingkat pendidikan, dan
atas 8 item pertanyaan yang pekerjaan dari warga Desa
dimodifikasi bagi pasien Rogodono, Kecamatan Buayan,
gangguan jiwa, diterjemahkan Kabupaten sebagai subjek
dengan forward translation dan penelitian.
dilakukan uji validitas dan
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis
Kelamin, Usia, Tingkat Pendidikan, dan Pekerjaan Di Desa Rogodono
Kecamatan Buayan Kabupaten Kebumen Tahun 2016 (n=207)
Karakteristik Frekuensi (f) Presentase (%)
Jenis Kelamin 84 40,6%
Laki-laki
Perempuan 123 59,4 %
Usia
18 - 20 15 7,2%
21- 30 49 23,7%
31 - 40 36 17,4%
41 - 50 67 32,4%
51 - 60 40 19,3%
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah 13 6,3%
SD 102 49,3%
SMP 44 21,3%
SMA 43 20,8%
Perguruan Tinggi 5 2,4%
Pekerjaan 24 11,6%
Tidak Bekerja
Petani 23 11,1%
Buruh 99 47,8%
Pedagang 15 7,2%
Wiraswasta 17 8,2%
PNS 5 2,4%
Pekerjaan Lainnya 24 11,6%

179
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No.3 Oktober 2016

Tabel 1 menggambarkan bahwa Sementara hasil distribusi


sebagian besar responden frekuensi public stigma
berjenis kelamin perempuan pelabelan, prasangka dan
(59,4%), dengan rentang usia 41- diskriminasi adalah sebagai
50 tahun (32,4%), berpendidikan berikut :
SD (49,3%) dan bekerja sebagai
buruh (47,8%).

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Public Stigma Terhadap Orang Dengan


Gangguan Jiwa Di Desa Rogodono Kecamatan Buayan Kabupaten
Kebumen Tahun 2016.
Public Stigma Jumlah Presentase (%)
Public Stigma Pelabelan 1 0.48
Public Stigma Prasangka 181 87.43
Public Stigma Diskriminasi 25 12.07
Dari tabel 2 dapat dilihat prasangka khususnya untuk
sebagian besar responden stigma berdasarkan label
memberikan public stigma penyakit mental, lebih
prasangka yaitu sebanyak berhubungan dengan etnis dan
(87,43%). Berdasarkan penelitian jenis kelamin tidak erat
yang telah dilakukan dari 207 kaitannya dengan stigma.
responden, 84 responden Kondisi ini dipengaruhi oleh
(40,6%) berjenis kelamin laki- banyak faktor salah satunya
laki dan123 responden (59,4%) faktor pengetahuan seseorang
berjenis kelamin perempuan. Hal tentang gangguan jiwa. Sehingga
ini menunjukan bahwa dapat diambil kesimpulan bahwa
responden berjenis kelamin banyaknya jenis kelamin
perempuan lebih mudah perempuan dalam penelitian ini
memberikan stigma terhadap tidak erat kaitanya dengan
orang dengan gangguan jiwa munculnya stigma terhadap
dibandingkan dengan responden orang dengan gangguan jiwa.
berjenis kelamin laki-laki. Jenis Berdasarkan karakteristik
kelamin merupakan perbedaan usia, usia responden terbanyak
antara perempuan dengan laki- berada pada rentang usia 41-50
laki secara biologis sejak tahun sebanyak 67 responden
seseorang dilahirkan (Hungu, (32,4%). Hal ini berbeda dengan
2007). penelitian yang menyatakan
Tetapi hal tersebut sedikit bahwa anak muda memiliki
berbeda dengan penelitian di pandangan yang sangat negatif
Kanada yang menemukan bahwa dan menggunakan istilah untuk
lebih banyak laki-laki menghina dalam bahasa sehari-
memberikan stigma terhadap hari mereka (Candra et al,2007).
orang dengan gangguan jiwa Ini terkait dengan rendahnya
daripada perempuan yang tingkat pengetahuan tentang
(Wang, 2007). Quinn & Chaudoir kesehatan mental pada anak
(2009) menyatakan bahwa jenis muda. Berdasarkan studi yang
kelamin antara laki-laki dengan menyoroti kurangnya
perempuan tidak erat kaitannya pengetahuan anak muda
dengan stigma. Stigma dan terhadap kesehatan mental,

180
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

mereka yang memiliki masalah tinggi maka orang tersebut


pemahaman tentang kesehatan semakin luas pengetahuannya
mental menggunakan kurangnya (Erfandi, 2009). Pendidikan
pemahaman mereka dengan cara sangat berpengaruh terhadap
menghina orang dengan stigma terhadap orang dengan
gangguan jiwa yang berlanjut gangguan jiwa, karena tingkat
dengan stigma kepada orang pendidikan dapat mempengaruhi
dengan gangguan jiwa (Rose, pola berpikir seseorang. Apabila
2007). Berdasarkan hal tersebut tingkat pendidikan seseorang
dapat diambil kesimpulan bahwa tinggi, maka cara berpikir
banyaknya responden yang seseorang lebih luas, hal ini
berusia 41-50 tahun dalam akan ditunjukkan oleh berbagai
penelitian ini tidak erat kaitanya kegiatan yang dilakukan sehari-
dengan munculnya stigma hari(Entjang, 1985). Pendidikan
terhadap orang dengan sangat mempengaruhi terhadap
gangguan jiwa. pengetahuan seseorang karena
Berdasarkan tingkat pendidikan merupakan suatu
pendidikan terlihat bahwa proses pembelajaran pola pikir
sebanyak 102 responden (49,3%) seseorang dari tidak tahu
berpendidikan tamat SD. Hal ini menjadi tahu dan dari jenjang
menandakan bahwa tingkat pendidikan inilah dapat
pendidikan di Desa Rogodono diketahui pola pikir seseorang,
masih rendah. Hal inilah yang semakin tinggi pendidikan maka
menyebabkan banyak responden ilmu yang diperoleh semakin
memberikan stigma terhadap banyak (Dwi Siswoyo, 2007).
orang dengan gangguan jiwa Kurangnya pengetahuan
dikarenakan rendahnya masyarakat terhadap orang
pendidikan yang dimiliki dan dengan gangguan jiwa
kurangnya pengetahuan tentang menyebabkan banyaknya stigma
orang dengan gangguan jiwa. Ini yang berkembang dimasyarakat.
sesuai dengan penelitian di Oleh karena itu kurangnya
Afrika yang menemukan bahwa, pengetahuan telah
pendidikan membuat perbedaan dihipotesiskan meningkatkan
orang dengan tigkat pedidikan potensi untuk menstigmatisasi.
rendah yang mengira orang Sehingga dapat diambil
dengan penyakit mental jauh kesimpulan bahwa pengetahuan
lebih berbahaya, dan banyak seseorang dalam penelitian ini
masyarakat yang lebih sangat erat kaitanya dengan
cenderung membuat jarak sosial munculnya stigma terhadap
kepadanya (Barney et al, 2006). orang dengan gangguan jiwa.
Pendidikan merupakan suatu Terkait dengan jenis
usaha untuk mengembangkan pekerjaan responden,
kepribadian dan kemampuan didapatkan data bahwa
didalam dan diluar sekolah dan sebanyak 99 responden (47,8%)
berlangsung seumur hidup. bekerja sebagai buruh. Hal
Pengetahuan sangat erat sesuai dengan rata-rata tingkat
hubungannya dengan pendidikan responden yaitu
pendidikan dimana diharapkan sebanyak 102 responden (49,3%)
seseorang dengan pendidikan adalah tamat SD. Rendahnya

181
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

tingkat pendidikan berpengaruh dan diskriminasi. Meski


pada jenis pekerjaan yang demikian pelabelan tetap
mereka miliki. Pekerjaan memberikan dampak negatif
merupakan suatu kegiatan atau kepada orang dengan gangguan
aktivitas untuk memperoleh jiwa di masyarakat. Sesuai
penghasilan untuk memenuhi dengan penelitian sebelumnya
kebutuhan hidupnya sehari- yang menyebutkan bahwa label
hari. Pekerjaan merupakan gangguan jiwa dapat
faktor yang mempengaruhi menghasilkan hal yang negatif
pengetahuan. Pengalaman terhadap individu (Loeb, Wolf,
belajar dalam bekerja yang Rosen, & Rutman, 1968). Hasil
dikembangkan memberikan penelitian lainya menunjukkan
pengetahuan dan keterampilan bahwa orang dengan gangguan
profesional serta pengalaman jiwa diberi label "gila" atau
belajar dalam bekerja dapat “orang gila”, dan jika diketahui
mempengaruhi kemampuan bahwa mereka telah datang ke
seseorang dalam mengambil rumah sakit jiwa, mereka diberi
keputusan yang merupakan label sebagai "pasien sakit jiwa".
keterpaduan menalar secara Pelabelan tidak hanya
ilmiah dan etik (Ratnawati, mempengaruhi individu orang
2009). Sehingga dapat diambil yang mengalami gangguan
kesimpulan bahwa pekerjaan mental, tapi juga mempengaruhi
seseorang pada penelitian ini orang-orang yang datang dan
tidak erat kaitanya dengan melakukan kontak dengan
munculnya stigma terhadap mereka, termasuk para
orang dengan gangguan jiwa profesional kesehatan mental
tetapi lebih disebabkan karena yang merawat mereka. Hal ini
pendidikan dan pengetahuan terutama berlaku untuk
seseorang yang menyebabkan perawat, yang kadang-kadang
munculnya stigma. disebut "perawat gila". Studi
Dari hasil penelitian yang menemukan bahwa pelabelan
dilakukan di Desa Rogodono adalah bagian penting dari
terhadap 207 responden stigmatisasi, yang berkontribusi
didadaptkan gambaran untuk semua komponen dari
mengenai public stigma yang proses stigmatisasi (Link, 2001).
terbagi atas pelabelan, Pelabelan adalah
prasangka dan diskriminasi. pembedaan dan memberikan
a. Pelabelan label atau penamaan
Terdapat 1 orang berdasarkan perbedaan-
responden (0,48 %) yang perbedaan yang dimiliki anggota
memberikan pelabelan kepada masyarakat tersebut (Scheid &
orang dengan gangguan jiwa. Ini Brown, 2010). Para ahli teori
menunjukan bahwa sangat sosial-budaya juga berpendapat
sedikit warga yang memberikan bahwa apabila pelabelan
pelabelan kepada orang dengan digunakan, maka akan sulit
gangguan jiwa di Desa sekali menghilangkanya.
Rogodono. Pelabelan adalah Pelabelan mempengaruhi pada
tingkat terendah dari public bagaimana orang lain
stigma dibandingkan prasangka memberikan respon. Dengan

182
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

pelabelan maka orang lain akan prasangka kepada orang


memberikan stigmatisasi dan mengalami gangguan jiwa. Hal
degradasi sosial. Peluang- ini menandakan masih
peluang kerja tertutup bagi banyaknya public stigma
mereka, persahabatan mungkin terhadap orang dengan
putus, dan orang dengan gangguan jiwa di Desa
gangguan jiwa semakin lama Rogodono. Hal ini sesuai studi
makin diasingkan oleh yang dilakukan Hawari (2009),
masyarakat. Masih banyak yang menyatakan bahwa 75%
pandangan dan pelabelan negatif orang dengan penyakit mental
yang diberikan kepada orang merasa bahwa mereka telah
dengan gangguan jiwa. Masih menerima stigma oleh
banyak pula pandangan negatif pemerintah, petugas kesehatan,
yang malah semakin media dan masyarakat umum
memperburuk stigma terhadap yang menghasilkan prasangka,
orang dengan gangguan jiwa. kesalahpahaman, kebingungan
Informasi-informasi yang beredar dan ketakutan. Dan menurut
dimasyarakat masih banyak penelitian dari Amerika, 61%
yang keliru terntang orang dari populasi percaya bahwa
dengan gangguan jiwa. seseorang didiagnosis dengan
Bukannya memberikan hal yang gangguan jiwa akan berbahaya
positif untuk mempercepat untuk orang lain (SAMHSA,
penyembuhan malah semakin 2010).
memperburuk stigma negatif Prasangka merupakan
yang sudah ada. Goffman (1963) sikap perasaan orang-orang
dalam Howarth (2006) terhadap golongan manusia
mengungkapkan bahwa stigma tertentu, golongan ras atau
merupakan tanda atau ciri yang kebudayaan yang berbeda
menandakan pemiliknya dengan golongan orang yang
membawa sesuatu yang buruk berprasangka. Prasangka
dan oleh karena itu dinilai lebih mempunyai kualitas suka dan
rendah dibandingkan dengan tidak suka pada objek yang di
orang normal. Pengertian yang prasangkainya, dan kondisi ini
diberikan oleh Goffman ini akan mempengaruhi tindakan
sesuai dengan kenyataan atau perilaku seseorang untuk
dimana banyak penderita berprasangka. Prasangka pada
gangguan jiwa yang dikucilkan, awalnya hanya merupakan
didiskriminasi, dihilangkan sikap-sikap perasaan negatif
haknya dalam mendapatkan yang lambat laun menyatakan
pekerjaan. Orang dengan dirinya dalam tindakan-tindakan
gangguan jiwa seakan memiliki diskriminatif terhadap orang-
perilaku yang khas dan itu orang yang termasuk golongan-
bersifat negatif yang membuat golongan yang diprasangkai itu
orang lain disekitarnya memberi tanpa adanya alasan-alasan
pelabelan buruk. yang objektif pada pribadi orang
b. Prasangka yang dikenai tindakan–tindakan
Sebagian besar responden diskriminatif (Pescosolido et al,
yaitu sebanyak 181 orang (87,43 2010).
%) memberikan stigma

183
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

Berdasarkan data orang lain untuk mencegah


tersebut maka dapat orang dengan gangguan jiwa
disimpulkan bahwa public stigma berkeliaran dijalan-jalan (Keliat
masih sangat kuat terjadi di et al, 2011). Diskriminasi yang
Desa Rogodono karena sebagian sering dilakukan di masyarakat
besar masyarakatnya masih antara lain pengekangan,
memberikan prasangka terhadap pemasungan, pengasingan,
orang dengan gangguan jiwa pembatasan dengan tujuan agar
sehingga mereka sering orang dengan gangguan jiwa
dicemooh, dikucilkan, dijauhi, mudah dan aman untuk
diabaikan, dianggap aib di dikelola. Sebuah studi di Aceh,
masyarakat dan dianggap orang menunjukan bahwa pasien yang
yang berbahaya serta dibatasi oleh keluarga mereka
mengancam bagi masyarakat. selama lebih dari 20 tahun akan
mengalami atrofi otot dan
c. Diskriminasi membuat mereka tidak bisa
Dari 207 responden berjalan (Puteh, Marthoenis dan
penelitian terdapat 25 responden Minas, 2011). Hasil dari studi
(12,07 %) yang memberikan lainya menunjukkan bahwa
public stigma diskriminasi. Ini orang Indonesia dengan penyakit
menandakan bahwa sebagian mental telah mengalami
warga masih melakukan diskriminasi dalam sehari-hari
diskriminasi terhadap orang hidup, di rumah sakit, dan
dengan gangguan jiwa di Desa dalam masyarakat. Banyak
Rogodono, yang dapat kerabat dan anggota masyarakat
menyebabkan orang dengan merasa terancam atau tidak
gangguan jiwa mengalami nyaman saat berhadapan
kesulitan untuk sembuh dan dengan orang dengan gangguan
lebih rentan mengalami jiwa (Amalia, 2010).
kekambuhan. Hal ini sesuai Diskriminasi dilakukan
dengan penelitian sebelumnya kebanyakan karena keluarga
yang menghasilkan suatu atau orang dengan gangguan
simpulan bahwa seseorang yang jiwa tidak berdaya terhadap
dikenai stigma tidak tuntutan masyarakat sekitar
diperlakukan sama dengan yang merasa terancam oleh
orang lain, terbentuk perilaku orang dengan gangguan
diskriminasi yang membuat jiwa (Lestari dan Wardani, 2014).
orang tersebut kehilangan Orang dengan gangguan jiwa
beberapa kesempatan penting juga sering diperlakukan tidak
dalam hidup sehingga pada pantas oleh keluarga dan
akhirnya tidak leluasa untuk masyarakat mereka. Mereka
berkembang (Hinshaw, 2007). sering menjadi korban perlakuan
Diskriminasi adalah tidak manusiawi sebagai contoh
perilaku yang merendahkan masih mudah untuk
orang lain karena keanggotaanya menemukan orang-orang yang
dalam suatu kelompok (Rahman, telah ditahan dan diisolasi oleh
2013). Diskriminasi sering keluarga mereka. Keluarga
dilakukan oleh anggota sering menyembunyikan atau
masyarakat untuk melindungi mengucilkannya karena mereka

184
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

merasa malu untuk membawa diskriminasi. Apabila hal ini


orang dengan gangguan jiwa ke tidak di tangani dengan serius,
fasilitas mental (Daulima, 2014). maka timbul resiko sulitnya
Akibatnya banyak yang kesembuhan dan naiknya
membutuhkan pengobatan tingkat kekambuhan bagi ODGJ.
tetapi tidak terpenuhi karena Hasil penelitian ini sesuai
adanya jarak sosial atau dengan penelitian yang
pemisah dengan keluarga dan dilakukan di Australia yang
masyarakat. Banyak orang menemukan bahwa hampir tiga
dengan gangguan jiwa perempat responden (74%) dari
ditinggalkan dan diabaikan oleh keseluruhan responden yang
keluarga dan masyarakat yang hidup dengan gangguan jiwa
tidak ingin bersosialisasi dengan mengalami stigma (self stigma)
orang-orang yang menampilkan yang dipengaruhi oleh adanya
perilaku abnormal (Corrigan, public stigma yang diterima
2009). (Research Bulletin, 2006). Public
Berdasarkan pemaparan stigma membuat orang dengan
diatas kita dapat menelaah gangguan jiwa kerap menjadi
bahwa masih banyak warga yang sumber kesalahpahaman bagi
beranggapan buruk kepada masyarakat sekitar. ODGJ
orang dengan gangguan jiwa seringkali menjadi objek dan
karena lebih dari 50% responden dihina serta tidak diperdulikan
memberikan public stigma nasibnya. Masyarakat dan
prasangka seperti: menganggap keluarga tidak mau mengakui
orang dengan gangguan jiwa ODGJ sebagai bagian dari dari
mengerikan,menakutkan, mereka. Mereka menjadi orang
mengganggu, mamalukan, yang terpinggirkan dan selalu
merupakan aib yang harus dihindari orang lain dan harus
disembunyikan, dan merupakan berjuang hidup sendirian dengan
orang yang terkena guna- stigma yang melekat pada
guna/ilmu gaib. Sebagian warga dirinya. Semua itu membuat
juga masih memberikan orang dengan gangguan mental
diskriminasi kepada orang merasakan efek penolakan
dengan gangguan jiwa seperti: sosial, isolasi, dan diskriminasi
bullying verbal, kekerasan, untuk sebagian besar hidupnya
pengasingan atau isolasi sosial, (Corrigan, 2009). Sikap dan
dan pengurangan/peniadaan penerimaan dari masyarakat
terhadap hak-hak dasar sebagai terhadap orang dengan
manusia dalam kehidupan. gangguan jiwa merupakan faktor
Sedangkan yang memberikan yang sangat berpengaruh
pelabelan kepada orang dengan terhadap penyembuhan orang
gangguan jiwa seperti: orang gangguan jiwa. Tidak jarang
gila, edan, sedeng, miring, dan penderita yang mengalami
lain-lain jumlahnya lebih sedikit. gangguan kejiwaan sering keluar
Kondisi ini dapat memberikan masuk rumah sakit karena
dampak negatif yang besar kekambuhan. Kekambuhan yang
mengingat masih banyaknya terjadi pada orang dengan
responden yang memberikan gangguan jiwa diakibatkan oleh
stigma prasangka dan salah satu hubungan keluarga

185
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

yang kurang harmonis dan tidak Arikunto. (2006). Prosedur


adanya dukungan sosial (Amelia Penelitian: Suatu
& Anwar, 2013). Pendekatan Praktik.
Jakarta:Rineka Cipta.
SIMPULAN Badan Penelitian dan
Stigma yang diciptakan Pengembangan
oleh masyarakat terhadap orang Kesehatan Departmen
dengan gangguan jiwa secara Kesehatan Republik
tidak langsung menyebabkan Indonesia. (2013). Riset
keluarga atau masyarakat Kesehatan Dasar
disekitar penderita gangguan Indonesia. Diunduh
jiwa enggan untuk memberikan Tanggal 28 Agustus
penanganan yang tepat terhadap 2015.
ODGJ, sehingga tidak jarang Barney LJ, Griffiths KM, Jorm
mengakibatkan penderita AF, et al. (2006). Stigma
gangguan jiwa yang tidak about depression and its
tertangani dengan semestinya. impact on help-seeking
Berdasarkan hasil penelitian intentions. Aust N Z J
terlihat bahwa Psychiatry
public stigma terhadap ODGJ di Buckles. (2008). Beyond Stigma
Desa Rogodono masih besar. and Discrimination :
Salah satu penyebabnya yaitu Challenges for Social
karena rendahnya tingkat Work Practice in
pendidikan dan pengetahuan Psychiatric
mengenai kesehtan jiwa di Rehabilitation and
masyarakat Desa Rogodono. Hal Recovery, Journal of
tersebut menyebahkan Social Work in Disability
masyarakat memberikan &Rehabilitation,
pelabelan, prasangka dan vol. 7, no. 3, hal. 232-283.
diskriminasi ODGJ. Adanya Chandra, A. & Minkovitz, C. S.
public stigma menyebabkan (2007) Factors that
ODGJ semakin menderita, influence mentalhealth
mengalami kesulitan untuk stigma
sembuh dan rentan mengalami among 8th grade adolescent.
kekambuhan. Journal of Youth
andAdolescence, 36, pp.
DAFTAR PUSTAKA 763-774s
Amalia, L. (2010). Mental health
illness: Who cares? Corrigan, (2005). On the Stigma
Jogyakarta Indonesia : of Mental Illness:
School of Medicine Implications for Research
Gadjah Mada University And SocialChange.
Amelia, dan Anwar. (2013). Washington: The
Relaps Pada Pasien American Psychological
Skizofrenia. Association.
ejournal.umn.ac.id/ _______.(2009). Self-stigma and
index.php/jipt/article/vie the ‘why try’ effect:
w/1375/1452. Diakses impact on life goals and
25 April 2016. evidence-based practices.

186
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

World Psychiatry, 8(2), Link. (2001). The Consequences


75-81. of Stigma for the Self
Daulima. (2014). Pelatihan Esteem people with
Praktik Keperawatan Mental Illness,
Jiwa Terkini. Jakarta: Psychiatric Services, vol.
Grasindo. 52, no. 12, hal. 1621-
Erfandi, (2009). Pengetahuan 1626
dan faktor-faktor yang Loeb, S., Wolf, A., Rosen, M., 4
mempengaruhi. Rutman. (1968). The
Yogyakarta: influence of diagnostic
UNY Press. labelling degree of
Entjang, I. (2000). Ilmu normally on attitudes
Kesehatan Masyarakat. toward for mental
Bandung. Citra Aditya patients. Community
Bakti. Mental Health Journal.
Hawari. (2007). Manajemen Stres Luoma, J. B., O'Hair, A. K.,
Cemas dan Depresi. Kohlenberg, B. S., Hayes,
Jakarta : FK Universitas S. C., Fletcher, L. (2010).
Indonesia The development and
_________.(2009). Pendekatan psychometric properties
Holistik Pada Gangguan of a new measure of
Jiwa Skizofrenia. perceived stigma toward
Jakarta: Fakultas Kedokteran substance users.
Universitas Indonesia. Substance Use and
Hinshaw SP. (2007). The Mark of Misuse,45, 47-57.
Shame: Stigma of Mental Michaels, et all. (2012).
Illness and an Agenda Constructsnand
forChange. New York: conceptsncomprising the
Oxford Univ. Press. stigma of
Howarth, Caroline. (2006). mental illness. Psychology,
Positioning the Society, and Education,
stigmatized as agents not 4, 2, 183-194
objects. Journal Of Noorkasiani. (2007). Sosiologi
Community And Applied Keperawatan. Jakarta :
Social EGC.
Psychology, 16 (6).Pp.442-451 Pescosolido, B.A., S.T. Tuch, and
Hungu. (2007). Demografi J.K. Martin. (2001). The
Kesehatan Indonesia. Profession of
Jakarta: Grasindo. Medicineand the Public:
Keliat. (2011). Manajemen Kasus Examining Americans’
Gangguan Jiwa. Jakarta Changing Confidence in
: EGC. PhysicianAuthority from
Lestari dan Wardhani. (2014). the Beginning of the
Stigma dan Penanganan “Health Care Crisis” to
Penderita Gangguan Jiwa the Era ofHealth Care
Berat Yang Dipasung. Reform. Journal of Health
Buletin Penelitian Sistem and Social Behavior
Kesehatan. Vol.17 No.2 42:1–16.
April 2014: 157-166

187
Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 12, No. 3 Oktober 2016

Puteh, I., Marthoenis, M., and system (pp. 135-161), New York:
Minas, H. (2011). Aceh Cambridge University
Free Pasung: Releasing Press.
the Siswoyo, dkk. (2007). Ilmu
mentally ill from physical Pendidikan. Yogyakarta:
restraint. International UNY Press
Journal of Mental Health Substance Abuse and Mental
Systems,5(1),1-5. Health Service
Quinn DM, Chaudoir SR .(2009). Administration
Living with a concealable (SAMHSA). (2011).
stigmatized identity: The Tobacco Use Cessation
impact of anticipated During Substance Abuse
stigma, centrality, Treatment Counseling.
salience, and cultural Subu. (2015). Understanding
stigma on psychological Mental Illness and Stigma
distress and health. among Indonesian Adults
Journal of Personality Through Grounded
and Social Psychology. Theory
Rahman S, Dillon G. Hussain R., http:/www.ruor.uottawa.
Loxton, D. (2013). Mental ca/bitstream/10393/333
and physical health and 87/1/subu_%20muhamm
intimate partner violence ad_arsyad_2015_thesis.p
against women: A review df. Diunduh Tanggal 6
of the literature. Januari 2016.
International Journal of Thornicroft, et al. (2007). Stigma:
FamilyMedicine. ignorance, prejudice or
Ratnawati. (2009). Penelitian discrimination. British
Tindakan Dalam Bidang Journal of Psychiatry, 190, pp.
Pendidikan dan Sosial. 192-193.
Mojokerto : Bayu Media Undang-Undang Republik
Publishing. Indonesia Nomor 18
Research Bulletin (2006). Mental Tahun 2014 Tentang
illness and keeping “Kesehatan
well.Sane Australia. Jiwa”.
Rose, D, Thornicroft, G., Pinfold, Wang JL, Fick G, Adair C, Lai D:
V. & Kassam, A. Gender specific correlates
(2007).250 labels used to of stigma toward
stigmatise people with mental depression in a Canadian general
illness. BMC Health population sample.
services Research,7:97. Journal of
http://www.biomedcentr Affective Disorders. 2007, 103:
al.com/1472-6963/7/97 91-97.
Scheid & T.N. Brown. (2010). Yosep. (2013). Keperawatan Jiwa
Mental health system in a Edisi Revisi. Bandung :
cros-cultural context. A PT. Refika Aditama346.
handbook for the study of mental
health: Social contex,
theories, and

188

You might also like