Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

Sejarah Baju Bodo

Pada tahun 1930-an, masih banyak ditemui perempuan Bugis- Makassar memakai Baju
Bodo/Waju Tokko tanpa memakai penutup dada.

Sejarah Baju Bodo adalah pakaian tradisional perempuan Makassar. Dalam suku
Bugis baju ini disebut Waju Tokko. Baju Bodo berbentuk segi empat, biasanya berlengan
pendek, yaitu setengah atas bagian siku lengan. Dalam bahasa Makassar, kata “Bodo” berarti
pendek. Baju Bodo atau Waju Tokko, sudah dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan sejak
pertengahan abad IX (pen), hal ini diperkuat dari sejarah kain Muslin, kain yang digunakan
sebagai bahan dasar Baju Bodo itu sendiri. Kain Muslin adalah lembaran kain hasil tenunan
dari pilinan kapas yang dijalin dengan benang katun. Memiliki rongga dan kerapatan benang
yang renggang menjadikan kain Muslin sangat cocok untuk daerah tropis dan daerah beriklim
kering. Kain Muslin (Eropa) atau Maisolos (Yunani Kuno), Masalia (India Timur) dan Ruhm
(Arab), tercatat pertama kali dibuat dan diperdagangkan di kota Dhaka, Bangladesh, hal ini
merujuk pada catatan seorang pedagang Arab bernama Sulaiman pada abad IX. Sementara
Marco Polo pada tahun 1298 Masehi, dalam bukunya The Travel of Marco Polo, menjelaskan
bahwa kain Muslin itu dibuat di Mosul (Irak) dan dijual oleh pedagang yang disebut
“Musolini”. Uniknya, masyarakat Sulawesi Selatan sudah lebih dulu mengenal dan
mengenakan jenis kain ini dibanding masyarakat Eropa, yang baru mengenalnya pada abad
XVII dan baru populer di Perancis pada abad XVIII.

Dalam ajaran agama Islam ditegaskan bahwa, pakaian yang dibenarkan adalah
pakaian yang menutup aurat, tidak menampakkan lekuk tubuh dan rona kulit selain telapak
tangan dan wajah. Kontroversi ini kemudian disikapi bijak oleh kerajaan Gowa, hingga
muncullah modifikasi baju bodo yang dikenal dengan nama Baju La’bu (serupa dengan Baju
Bodo, tetapi lebih tebal, gombrang, panjang hingga lutut) Perlahan, Baju Bodo/Waju Tokko
yang semula tipis berubah menjadi lebih tebal dan terkesan kaku. Jika pada awalnya memakai
kain muslin, berikutnya baju ini dibuat dengan bahan benang sutera. Bagi golongan
agamawan, adanya Baju La’bu ini adalah solusi terbaik, tidak melanggar hukum Islam dan
juga tidak menghilangkan nilai adat.

Warna dan Arti Menurut adat Bugis, setiap warna Waju Tokko yang dipakai oleh
perempuan Bugis menunjukkan usia ataupun martabat pemakainya. Anak dibawah 10 tahun
memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella (kupu-kupu), berwarna kuning gading
(maridi) sebagai pengambaran terhadap dunia anak kecil yang penuh keriangan. Warna ini
adalah analogi agar sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Umur 10-14
tahun memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda. Warna merah muda dalam
bahasa Bugis disebut Bakko, adalah representasi dari kata Bakkaa, yang berarti setengah
matang. Umur 14-17 tahun, masih memakai Waju Tokko berwarna jingga atau merah muda,
tapi dibuat berlapis/ bersusun dua, hal ini dikarenakan sang gadis sudah mulai tumbuh
payudaranya.
Baju bodo Juga dipakai oleh mereka yang sudah menikah tapi belum memiliki
anak. Umur 17-25 tahun memakai Waju Tokko berwarna merah darah, berlapis/ bersusun.
Dipakai oleh perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak, berasal dari filosofi, bahwa
sang perempuan tadi dianggap sudah mengeluarkan darah dari rahimnya yang berwarna
merah. Umur 25-40 tahun memakai Waju Tokko berwarna hitam. Waju Tokko berwarna
putih digunakan oleh para inang/ pengasuh raja atau para dukun atau bissu. Para bissu
memiliki titisan darah berwarna putih, inilah yang mengantarkan mereka mampu menjadi
penghubung dengan Botting Langi (khayangan), peretiwi (dunia nyata), dan ale kawa(dunia
roh). Mereka dipercaya tidak memiliki alat kelamin, sehingga terlepas dari
kepentingan syahwat. Para putri raja, bangsawan dan keturunannya yang dalam bahasa Bugis
disebut maddara takku (berdarah bangsawan) memakai Waju Tokko berwarna hijau. Dalam
bahasa Bugis, warna hijau disebut kudara, yang berasal dari kata na-takku dara-na, yang
secara harfiah berarti “mereka yang menjunjung tinggi harkat kebangsawananny a.” Waju
Tokko berwarna ungu dipakai oleh para janda. Dalam bahasa Bugis, warna ungu disebut
kemummu yang juga dapat berarti lebamnya bagian tubuh yang terkena pukulan atau
benturan benda keras. Dalam pranata sosial masyarakat Bugis jaman dahulu, menikah dengan
seorang janda merupakan sebuah aib. Cara Pakai dan Aksesoris Cara memakai Baju
Bodo/Waju Tokko sangat mudah, layaknya seperti memakai t-shirt. Baju Bodo/Waju Tokko
dikenakan dengan menggunakan bawahan Lipa’ Sa’be (sarung sutera) yang bermotif kotak-
kotak cerah.

Lipa’ Sa’be dipakai seperti memakai sarung yang kadang diperkuat dengan tali atau
ikat pinggang agar tidak melorot. Pada bagian pinggang, Baju Bodo/Waju Tokko dibiarkan
menjuntai menutupi ujung sarung bagian atas. Si pemakai biasanya memegang salah satu
ujung baju bodo lalu disampirkan di lengan. Sebagai aksesoris, ditambahkan kalung, gelang
panjang, anting, dan bando atau tusuk konde di kepala.

Ada pula yang menambahkan bunga sebagai penghias di rambut. Selain untuk acara
adat seperti upacara pernikahan, Baju Bodo/Waju Tokko saat ini juga dipakai untuk
menyambut tamu agung dan acara lainnya seperti menari.
Anak dibawah 10 tahun memakai Waju Tokko yang disebut Waju Pella-Pella, berwarna
Kuning Gading. Disebut waju pella-pella (kupu-kupu), adalah sebagai pengambaran
terhadap dunia anak kecil yang perlu keriangan. Warna kuning gading adalah analogi agar
sang anak cepat matang dalam menghadapi tantangan hidup. Berasal dari kata maridi
(kuning gading), yang jika ditulis dalam aksara lontara Bugis, bisa juga dibaca menjadi
Mariddi, yang berarti matang.
Baju bodo umumnya dipasangkan dengan sarung sutera dengan motif khas yang dikenal
dengan sebutan lipa’ sabbe, namun sekarang busana ini banyak dikombinasikan dengan kain
dari bahan lain
Meski sudah kekinian, aksesoris pelengkap baju bodo tetap menjadi ciri khas
utama. Kalung berantai, gelang keroncong bersusun, mahkota kepala, serta
perhiasan lengan baju tak boleh ketinggalan
Banyak juga baju bodo yang bertransformasi bersama hijab dan pakaian
pengantin muslim. Seperti pasangan ini yang kenakan atasan baju
kurung dengan paduan lipa’ sabbe
khas Bugis berwarna hitam yang dipadukan dengan riasan yang tegas
cocok untuk acara di malam hari.
Paduan warna abu-abu dan emas seperti ini terlihat soft namun tetap
cantik!

You might also like