Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 38

PEMBERDAYAAN PEMILIH PEMULA KELOMPOK

DIFABEL DALAM SOSIALISASI POLITIK

Abstract

This study explains how to empower disabled voters in


political socialization carried out in the school environment.
The findings of the data revealed that the empowerment of
diffable groups in political socialization was carried out in
two ways, namely through thematic material in the
classroom for disabled students and by conducting electoral
simulations in the selection of student council leaders in the
school environment. Based on field research in schools,
there are special methods for understanding diffable
students in political socialization. Political socialization for
each student is done in a different way, because each
student has a different obstacle than other students. The
research method uses qualitative methods to mine data in
Surabaya Galuh Handayani High School. Then the findings
of the data were analyzed using the concept of
empowerment and habitus and domain theory by Pierre
Bourdieu. Data mining is done by observation and in-depth
interviews with students aged 17 years and over, amounting
to 5 people and 2 teachers who are directly involved in
political socialization. The findings of the data indicate that
in a mock election at school, students interact with 3 board
presidential candidates for students and vice presidents
from the regular class. How students participate in elections
has provided stronger knowledge about political knowledge.
The background of the emergence of socialization and
electoral simulation is because principals feel that disabled
students need real practice so they really understand. In the
end, the teacher simulated the general election through the
activity of electing the student council president and vice
president

Keywords: diffable empowerment, political


participation, general elections

Abstrak

Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana pemberdayaan


pemilih pemula kelompok difabel dalam sosialisasi politik
yang dilakukan di lingkungan sekolah. Temuan data
mengungkapkan pemberdayaan kelompok difabel dalam
sosialisasi politik dilakukan dalam dua cara yaitu: melalui
materi di kelas secara tematik pada kelas siswa difabel dan
dengan cara melakukan simulasi pemilihan umum pada
pemilihan ketua OSIS di lingkungan sekolah. Berdasarkan
penelitian lapangan di sekolah, terdapat metode khusus
untuk memahamkan siswa difabel dalam sosialisasi politik.
Sosialisasi politik pada setiap siswa dilakukan dengan cara
yang berbeda-beda, karena setiap siswa memiliki hambatan
yang berbeda dengan siswa yang lain. Metode penelitian
menggunakan metode kualitatif untuk melakukan
penggalian data di Sekolah Menengah Atas Galuh
Handayani Surabaya. Kemudian hasil temuan data dianalisis
menggunakan konsep pemberdayaan dan teori habitus dan
ranah oleh Pierre Bourdieu. Penggalian data dilakukan
dengan observasi dan wawancara mendalam dengan siswa
berusia 17 tahun ke atas berjumlah 5 orang dan 2 guru yang
terlibat langsung dalam sosialisasi politik. Temuan data
menunjukkan dalam pemilihan umum secara pura-pura di
sekolah, para siswa berinteraksi dengan 3 kandidat ketua
dan wakil ketua OSIS dari kelas reguler. Bagaimana para
siswa berpartisipasi dalam pemilihan umum telah
memberikan pengetahuan yang lebih kuat tentang
pengetahuan politik. Latar belakang muculnya sosialisasi
dan simulasi pemilu karena pihak kepala sekolah merasa
para siswa difabel membutuhkan praktik nyata agar mereka
benar-benar faham. Pada ahkirnya, guru mensimulasikan
pemilihan umum melalui kegiatan pemilihan ketua dan
wakil ketua OSIS

Kata Kunci: pemberdayaan difabel, patisipasi politik,


pemilihan umum

Pendahuluan

Di dalam negara demokrasi, pemilu merupakan salah


satu cara untuk melakukan rekruitmen elit politik.
Pelaksanaan pemilu yang selalu dinantikan setiap ajang
kontestasi politik selalu mengundang antusiasme seluruh
masyarakat. Pemilihan umum adalah wujud dari adanya
negara demokrasi. Negara yang demokratis memberikan
hak sepenuhnya kepada rakyatnya untuk terlibat langsung
dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Rakyat
memiliki hak sepenuhnya untuk menggunakan hak suaranya
untuk memberikan masukan maupun kritikan yang
membangun untuk jalannya kebijakan pemerintahan. Ciri
negara demokratis adalah selalu melibatkan suara rakyat
dalam setiap pengambilan keputusan di dalam
pemerintahan.

Hal yang sama juga dilakukan Indonesia. Di dalam


sejarah Indonesia, pelaksanaan pemilu telah terjadi sejak
berakhirnya Orde Baru sehingga melatarbelakangi
perubahan besar dalam perpolitikan dan memunculkan
demokrasi. Kemunculan demokrasi di Indonesia membuat
perubahan tatanan politik di Indonesia. Seperti pemilihan
anggota Legislatif, pemilihan presiden dan wakil presiden,
sampai pemilihan kepala desa dilakukan dengan cara
pemilihan umum. Wujud negara demokratis ini adalah
Indonesia selalu melaksanakan pesta rakyat atau disebut
juga pesta demokrasi yang melibatkan suara rakyat dalam
pengambilan keputusan pemerintahan. Pemilihan umum ini
tentunya dilaksanakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Pemilu memberikan hak yang sama kepada seluruh
lapisan masyarakat untuk dipilih dan memilih. Perlu
digarisbawahi bahwa pelaksanaan pesta demokrasi harus
dilaksanakan secara bebas, sepenuhya oleh rakyat, namun
masih mematuhi peraturan perundang-undangan. Karena
pelaksanaan pemilu bertujuan untuk menentukan siapa
yang akan menjadi pemimpin rakyat maupun wakil rakyat.

Hak untuk dipilih dan memilih itu sama pada setiap


warga negara. Namun demikian, ada perbedaan terkait hak
dipilih. Berdasarkan pada Pasal 43 ayat 1 UU No.39 Tahun
199 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi tentang
“setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih
dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan ( UU RI No.39 Tahun 199 Tentang Hak
Asasi Manusia ). Berdasarkan Pasal 43 ayat 1 UU No.39
Tahun 199 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan
bahwa setiap orang bisa dipilih melalui pemungutan suara
pada pelaksanaan pemilihan umum. Namun dalam
prakteknya, terdapat perbedaan hak memilih, kecuali
TNI/Polri, hak untuk memilih praktis sama pada setiap
warga negara tanpa terdapat hambatan untuk
menggunakan hak suaranya pada pelaksanaan pemilihan
umum.

Di dalam beberapa bulan terakhir, ada persoalah


terkait hak untuk memilih, yaitu hak untuk memilih pada
orang-orang difabel. Diffable “differently able (people)”
adalah individu yang dimaknai sebagai individu yang
memiliki kemampuan berbeda. Di budaya masyarakat
Indonesia, orang-orang yang memiliki kemampuan berbeda
ini adalah orang-orang yang memiliki kekurangan seperti
disabilitas netra, disabilitas rungu, disabilitas grahita,
disabilitas daksa, disabilitas laras, disabilitas belajar,
disabilitas perhatian dan aktivitas, disabilitas bicara dan
bahasa, disabilitas autis, dan masih banyak disabilitas
lainnya(Wahyudi, 2018: 2). Berita dari Tirto.id, tentang
pelaksanaan pemilu di DKI Jakarta yang belum
melaksanakan pemilu ramah diffable. “Apalagi bagi kami
(penyandang disabilitas). Para calon yang mau dipilih
bahkan seperti menganggap kami tidak ada. Tidak ada
sosialisasi khusus kepada kami, “Saliman menimpali.
“Jangankan para calon, saat mau milih saja bingung, TPS
nya di mana, jauh, gimana nyoblosnya, kita kan ngga
kelihatan,” timpal kaaribnya (Putri, tirto.id. 2016).

Orang-orang difabel tidak diabaikan. Berdasarkan


data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur,
penyandang disabilitas khususnya pada anak-anak
berjumlah 810 jiwa di Surabaya (BPS Jawa Timur, 2018).
Diketahui pula sebanyak 3.650 pemilih penyandang
disabilitas di Surabaya siap mengikuti partisipasi pemilu
pada 2019 (ngopibareng, 2018).. Partisipasi kelompok
diffable dalam pelaksanaan pemilu telah memberikan
masukan bagi penyelenggaraan pemilu pada pelaksanaan
pemilu selanjutnya. Karena pelaksanaan pemilu inklusif di
Surabaya pada tahun 2018 masih banyak kekurangan.

Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian


tentang “Pemberdayaan Kelompok Disabilitas Dalam
Sosialisasi Politik Sebagai Pemilih Pemula” diantaranya
yaitu penelitian oleh Agus Andika Putra,dkk, 2014 berjudul
“Kesadaran Demokatis: Partisipasi Politik Kaum Difabel
dalam Pilpres 2014 di Yogyakarta, Indonesia”. Penelitian ini
menggunakan metode deskriptif kualitatif. Hasil penelitian
dari focus penelitian tersebut adalah partisipasi kelompok
diffable yang kritis, mereka tidak hanya aktif sebagai
pemilih atau saja, tetapi mereka juga terlibat langsung
menjadi tim relawan demokrasi dan tergabung di dalam
petugas TPS. Namun pelaksanaan pemilu 2014 di
Yogyakarta masih belum sepenuhnya menerapkan pemilu
inklusif. Masih terdapat diskriminasi kepada kelompok
difabel yang dilakukan oleh masyarakat dan oleh
pemerintahan. Hasil penelitian juga menyebutkan kelompok
difable di Yogyakarta sangat aktif dalam berorganisasi untuk
memperjuangkan hak difabel, mengingat masih terjadi
diskriminasi oleh masyarakat terhadap kelompok difabel.

Penelitian oleh I Gusti gedemade Gustem Lasida


berjudul “Membangun Pemilu Inklusi Untuk Difabel (Studi
Kasus Pilwali Kota Yogyakarta 2017)” dengan menggunakan
metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
interpretatif. Penelitian ini membahas tentang perhelatan
pemilu yang belum ramah terhadap kelompok penyandang
disabilitas. Dari hasil penelitian didapat hambatan dalam
pelaksanaan pemilihan wali kota Yogyakarta 2017.
Hambatan yang ditemukan adalah hambatan berupa
structural, tempat TPS yang belum ramah pada kelompok
difabel, sikap para petugas TPS yang belum ramah terhadap
kelompok difabel, dan pelayanan yang belum ramah
terhadap kelompok disabilitas.

Riset oleh Riko Firman Andika, dkk, 2018 berjudul “


Desa Bengkala dan Pemenuhan Hak Politik Dalam Pemilu
(Studi Kasus Kaum Disabilitas Desa Bengkala Dalam
Pemilukada 2017) dengan menggunakan metode penelitian
deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian menunjukkan
bahwa keikutsertaan penyandang disabilitas pada
pemilukada 2017 di desa Bengkala mencapai 100%.
Keikutsertaan kelompok penyandang disabilitas ini tidak
hanya sebagai pemilih, namun juga aktif sebagai panitia
penyelenggara pemiliukada.
Hal ini menjadi perhatian penting untuk Indonesia
menggalakkan budaya masyarakat ramah disabilitas atau
menggalakkan adanya budaya masyarakat inklusi.
Sebelumnya sosialisasi politik pada kelompok disabilitas
memang kurang mendapat perhatian, dikarenakan
kelompok disabilitas dalam masyarakat kita dianggap
sebagai individu yang tidak berdaya dan dianggap tidak
memiliki pengaruh dalam partisipasi politik. Untuk
menghapuskan pelapisan individu yang menggambarkan
siapa manusia yang berada di lapisan pertama dan siapa
manusia yang berada di lapisan kedua, maka perlu
digencarkan sosialisasi politik. Sosialisasi politik ini perlu
digencarkan khususnya pada kelompok difabel pemilih
pemula. Karena dengan adanya sosialisasi politik pada
kelompok difabel pemilih pemula telah menghapuskan
marginalisasi kelompok pada difabel.

Sosialisasi politik yang dikhususkan pada sosialisasi


pemilu di Surabaya seharusnya juga melibatkan kelompok
difabel dalam sosialisasi pemilu. Sosialisasi pemilu pada
kelompok difabel terbukti sangat kurang diperhatikan.
Ketika observasi awal di SMA Galuh Handayani, ibu Rini
selaku kepala sekolah mengatakan bahwa di sekolah
tersebut tidak pernah mendapatkan sosialisasi pemilu dari
pihak luar. Kemudian ketika wawancara dengan 6 siswa
difabel yang telah genap berusia 17 tahun di SMA Galuh
Handayani Surabaya, lima dari siswa tersebut menyataka
bahwa tidak pernah mendapatkan sosialisasi pemilu dari
pihak luar atau dari pihak KPU. Padahal pabila dikritisi,
tugas dari pihak KPU adalah melakukan sosialisasi pemilu
termasuk melibatkan kelompok difabel dalam melakukan
sosialisasi pemilu. Sangat disayangkan apabila kelompok
difabel sebagai pemilih pemula kurang mendapatkan
perhatian dalam sosialisasi pemilu. Karena pada dasarnya
generasi muda juga memiliki hak pilih.

Oleh karena itu pemberdayaan disabilitas yang


berfokus pada sosialisasi politik pada pemilih pemula perlu
dilakukan di sekolah-sekolah.Termasuk diselenggarakan
sosialisasi pemilu di sekolah inklusi. Karena UU No.7 tahun
2017 tentang pemilu memberikan jaminan bagi pemilih
pemula yang pada hari pemilu telah genap berusia 17 tahun
untuk menyalurkan hak pilihnya pada pemilu
(Detiknews.com, 2018). Para pemilih pemula ini tentunya
adalah para siswa-siswi SMA, dimana mereka ini seringkali
tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk
menyalurkan hak pilihnya di pemilihan umum. Kurangnya
kesadaran anak berkebutuhan khusus ini disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan kurangnya
sosialisasi pada anak-anak berkebutuhan khusus. Peran
pemerintah dalam melakukan sosialisai politik masih kurang
merata, seringkali pemerintah dalam melakukan sosialisasi
politik pada pemilih pemula hanya menyasar pada sekolah-
sekolah umum dimana hanya terdapat siswa normal.

Kurangnya perhatian pemerintah dalam melakukan


sosialisasi politik bagi pemilih pemula difabel ini dapat
diatasi dengan peran sekolah inklusi dalam melakukan
sosialisasi politik pada siswa berkebutuhan khusus.
Kemudian bagaimana peran sekolah inklusi dalam
melakukan sosialisasi politik terhadap para siswa
berkebutuhan khusus ? melihat para siswa berkebutuhan
khusus sangat membutuhkan pembelajaran ekstra untuk
mampu menerima sosialisasi politik di sekolah. Karena
siswa dengan latar belakang berkebutuhan khusus ini dirasa
kurang dalam mendapatkan sosialisasi politik dari
pemerintah, maka sekolah sangat berperan dalam
mensosialisasikan terkait apa itu pemilihan umum dan
bagaimana cara menggunakan hak pilih di pemilu. Perlu
diketahui juga bagaimana peran guru dalam melakukan
sosialisasi politik khususnya terkait pemilu, apakah guru
melakukan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon
kandidat ketika melakukan sosialisasi pemilu pada siswa
penyandang disabilitas ?.

Berdasarkan kekurangan dari penelitian terdahulu


yang belum melakukan penelitian yang berfokus pada
sosialisasi politik kelompok disabilitas sebagai pemilih
pemula, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang
“Pemberdayaan Kelompok Disabilitas Dalam Sosialisasi
Politik Sebagai Pemilih Pemula” penelitian ini akan
dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif-
positivistik dengan rumusan masalah “bagaimana
pemberdayaan pemilih pemula kelompok difabel dalam
sosialisasi politik ?”.

RUMUSAN MASALAH

“bagaimana pemberdayaan pemilih pemula kelompok


difabel dalam sosialisasi politik ?”.

TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah :

1. untuk mendeskripsikan sosialisasi pemilu pada


kelompok difabel sebagai pemilih pemula;
2. untuk mendeskripsikan metode sosialisasi politik pada
kelompok difabel sebagai pemilih pemula;
3. untuk menganalisis metode sosialisasi politik pada
kelompok difabel sebagai pemilih pemula;
4. untuk mendeskripsikan peran guru dalam sosialisasi
pemilu pada kelompok difabel sebagai pemilih pemula.

Manfaat Penelitian

Dalam penelitian terdapat dua manfaat yaitu :

1. Manfaat teoritis

Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya


yang berkaitan dengan pemberdayaan kelompok
disabilitas dalam sosialisasi politik sebagai pemilih
pemula. Dan juga dapat membantu memberikan
pemikiran mengenai metode sosialisais politik yang
disesuaikan dengan keadaan kelompok disabilitas.

2. Manfaat praktis

Bermanfaat untuk memperluas pemahaman


tentang pengetahuan sosiologi disabilitas tentang
pemberdayaan kelompok disabilitas dalam sosialisasi
politik sebagai pemilih pemula. Sekaligus dapat
digunakan sebagai sumber referensi bagi lembaga
pendidikan guna menemukan kelemahan atau
kekurangan pada penerapan sosialisaisi politik di
sekolah inklusi.

Kajian Pustaka

A. Habitus dan Ranah (Pierre Bourdieu)


Teori Pierre Boudieu digerakkan oleh keinginan untuk
mengatasi apa yang disebutnya sebagai oposisi palsu
antara objektivisme dengan subjektivisme. Seperti yang
dikatakan Bourdieu, “keinginan paling abadi (dan, di mata
saya, paling penting) yang mengarahkan karya saya
adalah untuk mengatasi oposisi antara objektivisme
dengan subjektivisme” (1989: 15 dalam Ritzer dan
Goodman, 2008: 577). Boudieu mengenalkan tiga konsep
kunci pertama, habitus merupakan disposisi yang
berfungsi sebagai skema praktik dan representasi yang
menubuh pada diri agen dengan menginternalisasi
struktur dunia social di mana ia hidup. Kedua, ranah
adalah wilayah semi otonomi dari dunia social yang
berupa jaringan-jaringan, posisi-posisi objektif yang
ditentukan berdasarkan distribusi modal. Ketiga, modal
yaitu sumber daya, material maupun simbolis yang
dihargai dan diperebutkan dalam sebuah ranah. Agen
menghasilkan praktik dan representasi yang
distrukturkan habitusnya dalam ranah tertentu untuk
mengakumulasi modal (Suyanto, 2010: 440)
B. Konsep Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan dalam bahasa Inggris adalah
empowerment. Menurut Mernam Webster Oxford English
Dictionary, kata empower memiliki dua arti yaitu:
1. to give power yaitu memberikan kekuasaan,
mengalihkan atau mendelegasikan otoritas dari pihak
lain;
2. to give ability to yaitu enable atau usaha untuk
memberikan kemampuan.
Pemberdayaan juga diartika sebagai upaya memberikan
daya (empowerment) atau kekuatan (stenght) kepada
masyarakat. Keberdayaan masyarakat adalah unsure-
unsur yang membuat masyarakat mampu bertahan
(survive) dan mampu mengembangkan kemampuan diri
untuk mencapai tujuan-tujuannya. Memberdayakan
masyarakat adalah meningkatkan kemandirian
masyarakat (Pratiwi, 2013: 23-24)
C. Unsur Pemberdayaan Masyarakat
Terdapat empat unsure yang perlu diperhatikan dalam
pemberdayaan masyarakat sebagai berikut:
1. Aksesibilitas informasi, karena informasi adalah
kekuasaan baru kegiatannya dengan peluang, layanan,
penegakan hokum, efektifitas negosiasi, dan
akuntabilitas;
2. Keterlibatan dan partisipasi, menyangkut siapa yang
terlibat dan bagaimana mereka terlibat dalam semua
proses pembangunan;
3. Akuntabilitas, kaitannya dengan pertanggungjawaban
public atas semua kegiatan yang dilakukan atas nama
masyarakat;
4. Kapasitas organisasi local, kegiatanya dengan
kemampuan masyarakat dalam bekerja sama,
mengrganisasi masyarakt, dan memobilitas sumber
daya manusia untuk memecahkan permasalahan yang
mereka hadapi.
Untuk mencapai tujuan pemberdayaan masyarakat
terdapat tiga jalur kegiatan yang harus dilaksanakan yaitu
sebagai berikut:
1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan
potensi masyarakat untuk berkembang. Titik tolaknya
adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan
masyarakatnya memiliki potensi atau memiliki daya
yang dapat dikembangkan;
2. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya
yang dimiliki masyarakat dengan memberikan
dorongan, motivasi, dan membangkitkan kesadaran
terhadap potensi yang dimilikinya dan upaya untuk
mengembangkan daya tersebut;
3. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
masyarakat (empowering).
(Niniek, 2013: 25)

D. Pengertian Partisipasi Politik


Partisipasi diartikan sebagi keikutsertaan warga
negara biasa yang tidak memiliki wewenang dalam
memengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik. Kegiatan ini terbagi menjadi dua, yaitu
memengaruhi isi kebijakan umum dan ikut menentukan
pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Dengan
kata lain, partisipasi politik adalah perilaku politik tetapi
tidak selalu berupa partisipasi politik. (Surbakti, 2010:
180).
E. Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian
tentang “Pemberdayaan Kelompok Disabilitas Dalam
Sosialisasi Politik Sebagai Pemilih Pemula” diantaranya
yaitu penelitian oleh Agus Andika Putra,dkk, 2014
berjudul “Kesadaran Demokatis: Partisipasi Politik Kaum
Difabel dalam Pilpres 2014 di Yogyakarta, Indonesia”.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif.
Hasil penelitian dari focus penelitian tersebut adalah
partisipasi kelompok diffable yang kritis, mereka tidak
hanya aktif sebagai pemilih atau saja, tetapi mereka juga
terlibat langsung menjadi tim relawan demokrasi dan
tergabung di dalam petugas TPS. Namun pelaksanaan
pemilu 2014 di Yogyakarta masih belum sepenuhnya
menerapkan pemilu inklusif. Masih terdapat diskriminasi
kepada kelompok difabel yang dilakukan oleh masyarakat
dan oleh pemerintahan. Hasil penelitian juga
menyebutkan kelompok difable di Yogyakarta sangat aktif
dalam berorganisasi untuk memperjuangkan hak difabel,
mengingat masih terjadi diskriminasi oleh masyarakat
terhadap kelompok difabel (Putra, Efendi, & Sanahdi,
2014)Penelitian oleh I Gusti gede made Gustem Lasida
berjudul “Membangun Pemilu Inklusi Untuk Difabel (Studi
Kasus Pilwali Kota Yogyakarta 2017)” dengan
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan interpretatif. Penelitian ini membahas tentang
perhelatan pemilu yang belum ramah terhadap kelompok
penyandang disabilitas. Dari hasil penelitian didapat
hambatan dalam pelaksanaan pemilihan wali kota
Yogyakarta 2017. Hambatan yang ditemukan adalah
hambatan berupa structural, tempat TPS yang belum
ramah pada kelompok difabel, sikap para petugas TPS
yang belum ramah terhadap kelompok difabel, dan
pelayanan yang belum ramah terhadap kelompok
disabilitas (Gede, 2017: 1) .
Riset oleh Riko Firman Andika, dkk, 2018 berjudul “
Desa Bengkala dan Pemenuhan Hak Politik Dalam Pemilu
(Studi Kasus Kaum Disabilitas Desa Bengkala Dalam
Pemilukada 2017) dengan menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa keikutsertaan penyandang disabilitas
pada pemilukada 2017 di desa Bengkala mencapai 100%.
Keikutsertaan kelompok penyandang disabilitas ini tidak
hanya sebagai pemilih, namun juga aktif sebagai panitia
penyelenggara pemiliukada (Riko Firman Andika, Piers
Andreas Noak, 2018).
Penelitian sebelumnya oleh Odegaard, 2018.
Penelitian menggunakan metode kualitatif berjudul “Am I
Politic person” menghasilkan sebuah data penelitian
tentang bagaimana siswa menafsirkan diri mereka
sebagai bagian dari komunitas demokratis melalui politik
identitas siswa berinteraksi di sekolah. Penelitian ini
dilakukan di Norwegia, tentang simulasi pemilihan umum
di lingkungan sekolah. Pada temuan data menunjukkan
bahwa simulasi pemilihan umum yang dilakukan oleh para
siswa menghasilkan bahwa siswa melakukan pemilihan
umum tiruan karena merasa hal itu sebagai tugas dari
sekolah. Bukan dimaknai sebagai kegiatan pemungutan
suara dalam pemilu tiruan untuk mengekspresikan suara
generasi muda (Borge, 2019).
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif,
Karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan bagaimana pemberdayaan pemilih pemula
difabel dalam sosialisasi politik. Pada tahap penggalian data,
pada tahap awal peneliti membuat surat di tingkat jurusan
kemudian dilanjut surat tingkat fakultas, kemudian surat
dari fakultas diserahkan kepada kepala sekolah SMA Galuh
Handayani beserta proposal penelitian. Penyerahan surat
dan proposal tersebut sebagai bentuk permintaan izin
peneliti untuk melakukan penelitian di sekolah tersebut.
Setelah izin penelitian disetuji oleh pihak sekolah, peneliti
melakukan negosiasi kepada kepala sekolah untuk
menanyakan mulai tanggal berapa diperbolehkan untuk
pengambila data. Setelah didapat kesepakatan awal
penggalian data dan akhir dari penelitian di sekolah
tersebut, peneliti melengkapi data administrasi dan
membayarkan sejumlah uang untuk administrasi.
Penggalian data dilakukan dengan dua cara yaitu
penggalian data sekunder dilakukan dengan observasi dan
mawancara mendalam. Penggalian data sekunder dilakukan
dengan cara penelusuran jurnal, artikel ilmiah, dan buku-
buku yang relevan dengan penelitian tentang pemberdayaan
pemilih pemula difabel dalam sosialisasi politik. Proses
wawancara dilakukan dengan menggunakan sesuai
pedoman wawancara yang sebelumnya telah dibuat
berdasarkan teori habitus dan ranah dalam pandangan
Pierre Bourdieu.
Pertanyaan yang diajukan kepada subyek penelitian
adalah jenis pertanyaan terbuka, sehingga subyek dapat
memberikan jawabannya secara bervariasi namun masih
tetap berada dalam koridor panduan wawancara. Hasil
temuan data di lapangan di dokumentasikan berupa foto
dan rekaman suara. Hasil temuan data primer dicatat di
buku catatan peneliti berupa field note dengan diketik.
Catatan lapangan berupa catatan secara kontekstual, bukan
secara analitis. Data yang telah terkumpul baik data primer
maupun data sekunder, selanjutnya data diolah menjadi
narasi lapran penelitian dan dianalisis menggunakan konsep
pengertian dan unsure-unsur pemberdayaan masyarakat.
Penelitian ini dilakukan di SMA Galuh Handayani
Surabaya, alasan peneliti mengambil tempat ini sebagai
lokasi penelitian karena hanya di sekolah tersebut dilakukan
simulasi pemilihan umum ketika menjelang peristiwa
pemilihan umum. Alasan lainnya adalah hanya di sekolah
inklusi tersebut terdapat keaktifan guru dalam memberikan
metode khusus dalam memberikan sosialisasi politik kepada
siswa difabel. Penelitian ini dilakukan sejak akhir Maret
sampai 15 April 2019.
Subyek penelitian dalam penelitian ini adalah 5 siswa
berusia 17 tahun ke atas, dan dua guru yang terlibat secara
langsung dalam sosialisasi politik dan simulasi pemilihan
umum di SMA Galuh Handayani Surabaya. Teknik
pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan
purposive sampling. Subyek dipilih berdasarkan tujua
penelitian, dimana peneliti membutuhkan siswa yang telah
berusia 17 tahun karena mereka telah memiliki hak suara
dalam pemilu. Dalam menghadirkan 5 subyek penelitian
dari siswa SMA Galuh Handayani Surabaya, peneliti
mengalami banyak kesulitan. Karena banyak subyek
penelitian yang harus diganti karena setelah dilakukan
wawancara subyek tidak dapat mengutarakan pendapatnya.
Kendala lainnya juga disebabkan para siswa kelas XII yang
benar-benar cukup usia atau telah genap berusi 17 tahun
tidak dapat menghadiri proses wawancara dengan peneliti
dikarenakan mempersiapkan diri menjelang UNBK.

Temuan data
Informan 1

Pertanyaan utama yang diajukan oleh peneliti adalah terkait


latar belakang diadakannya pemberdayaan kelompok difabel
dalam sosialisasi politik. Berdasarkan penuturan kepala
sekolah SMA Galuh Handayani, dulu sampai diadakan LDKS
dan lain sebaginya termasuk demontrasi pemilihan ketua
OSIS, dan sosialisasi pemilu karena dahulu input siswanya
terbilang bagus dan mumpuni untuk diberikan mandate
sebagai ketua OSIS terutama pada siswa regular. Jadi yang
dipilih untuk menjadi kandidat ketua OSIS adalah siswa
regular. Untuk adik-adiknya atau untuk teman-temannya
yang berkebutuhan khusus yang mengikuti kegiatan
pencoblosan atau sebagai pemilih. Cuman, adik-diknya yang
tidak terlibat sebagai kandidat tetap mendapatkan
pembelajaran politik terkait bagaimana caranya memilih,
kampanye, mempromosikan diri sendiri, kemudian belajar
mengenai bagaimana criteria memilih kandidat itu harus
seperti apa, nah mereka tetap mendapatkan pengetahuan
tersebut dengan ikut berpartisipasi dalam simulasi
pencoblosan melalui pemilihan ketua OSIS. Namun untuk
dua tahun kebelakang ini sudah tidak dilaksanakan lagi
terkait simulasi pencoblosan itu. Kemudian peneliti
menanyakan kenapa dua tahun kebelakang kemarin tidak
dilakukan pencoblosan lagi. Beliau menjawab karena ketua
OSIS yang lama masih menjadi ketua OSIS, dan belum ada
kandidat yang diangap mampu atau setidaknya
kompetensinya dapat menyamai ketua OSIS yang lama.
Kompetensi yang menjadi pertimbangan diantaranya
mampu berorasi, mampu menyampaikan program kerja
ketika telah menjadi ketua OSIS. Secara intelegensi
pertimbangannya seperti itu, khususnya pada siswa regular.

Terkait sosialisasi pemilu, guru juga melakukan


simulasi di kelas-kelas pada mata pelajaran PPKn, terutama
untuk anak-anak yang kategori usianya sudah cukup untuk
memilih. Biasanya siswa yang usianya sudah cukup untuk
memilih akan ditempatkan di kelas tertentu, atau
dikelompokkan dengan anak-anak yang sumuran. Sosialisasi
terkait pemilu dilakukan dengan cara disampaikan di kelas
secara bersama-sama untuk siswa yang telah cukup usia,
dan dilakukan dengan cara disampaikan secara terpisah
bagaimana para siswa harus memilih. Guru melakukan
penjaringan usia, yaitu pada usia 17 tahun keatas. Kriteria
yang dianggap mampu menjadi ketua OSIS adalah siswa
yang setidaknya mampu menyampaikan kemauannya seperti
“buk aku maunya seperti ini lho” meskipun nantinya guru
memberikan instruksi yang lebih luas kepada siswa. Jadi
yang terpenting adalah yang mampu menyampaikan apa
kemauan dan yang mampu menjalankan instruksi yang
diberikan oleh guru. Karena guru tidak hanya memberikan
satu atau dua instruksi, namun memberikan instruksi yang
lebih luas. Jadi siswa yang dijadikan sebagai kandidat harus
memahami apa yang diinstruksikan oleh guru, meskipun
nantinya terdapat perilakudan emosi yang menjadi
hambatan. Namun perilaku dan emosi yang menjadi
hambatan ini akan dikendalikan oleh guru pendamping
kandidat tersebut.

Pelaksanaan pemilihan ketua OSIS dahulu


dilaksanakan dengan melibatkan tiga kandidat, namun dua
kandidat yang tidak menjadi ketua OSIS telah keluar dari
SMA Galuh Handayani, dan satu kandidat yang telah
menjadi ketua OSIS masih berada di SMA Galuh Handayani.
Berdasarkan pengamatan ibu Rini, kandidat ketua OSIS
memiliki input yang bagus-bagus. Jadi para calon kandidat
antara ketua dengan wakit ketua OSIS dipasangkan secara
seimbang dengan memperhatikan kekurangan dan
kelebihan masing-masih kandidat. Contohnya apabila
kandidat ketua OSIS nya memiliki input yang bagus, maka
dicarikan wakil ketua OSIS yang agak dibawahnya. Dua
kandidat ketua OSIS memiliki hambatan yang berbeda,
kandidat 1 hambatannya adalah low vision (low vision yaitu
memiliki kekurangan pada penglihatan namun tidak buta
total sehingga masih memiliki sisa penglihatan 50%-60%.
Apabila penglihatan mata normal mampu membaca huruf
pada font 12, maka low vision mampu membaca huruf pada
font 14). Kemudian kandidat yang lain rata-rata
hambatannya adalah slow learner, (slow learner yaitu IQ-
nya di bawah rata-rata atau biasanya IQ-nya di bawah 100.
Dia tidak memiliki hambatan fisik, semuanya normal, hanya
saja dia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk
memahami sesuatau. Misalnya untuk memahami seseorang
yang bepergian dari Unesa-Ketintang menuju SMA Galuh
Handayani Surabaya mengambil rute melalui Jalan Ngagel,
maka penjelasannya harus lebih jelas atau lebih rumit agar
dia lebih jelas. Semisal, menjelaskan terkait ilmu ekonomi
maka kita tidak dapat menjelaskan tentang pengertian ilmu
ekonomi secara teoritis. Namun dapat dilakukan dengan
cara memberikan pemahaman melalui logika seperti
“apabila kita mau membeli barang ke pasar, apakah itu
termasuk ilmu ekonomi?” harus terdapat penjelasan seperti
itu). Kemudian setelah mendapatkan penjelasan tersebut
peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana cara
sosialisasi kepada para kandidat tentang bagaimana para
siswa dijadikan sebagai ketua OSIS. Ibu Rini menjelaskan
bahwa briefing-nya agak lama, yang bertugas untuk
menjaring kandidat adalah para wali kelas. Para wali kelas
menjaring para siswa berdasarkan keaktifan para siswa di
kelas, salah satunya adalah siswa yang mampu
mengungkapkan keinginannya. Kemudian masing-masing
wali kelas ini akan memberikan motivasi dan pendampingan
khusus tentang “kamu harus menjadi ketua OSIS”. Para
kandidat meskipun kemampuannya terbatas dengan latar
belakang hambatannya, namun tingkat percaya dirinya luar
biasa. Nah kelebihan inilah yang digunakan oleh para wali
kelas untuk dapat memotivasi mereka bahwa mereka
mampu menjadi pemimpin. Diberikan motivasi bahwa
“kamu ini bisa, kamu bisa !” akhirnya para kandidat ini
dilatih dengan jangka waktu yang lama. Meskipun proses
LDKS hanya selama dua hari, namun proses persiapan
untuk menyiapkan kandidat dan menyiapkan replica
pencoblosan bisa mencapai satu bulan sebelumnya.
Contoh bentuk pendampingannya seperti diberikan
pelatihan bagaimana cara berorasi, membuat yel-yel untuk
keperluan kampanye, dan disuruh membuat yel-yel sesuai
keinginan mereka. Dan diakui memang para kandidat ini
mamapu untuk diminta membuat yel-yel yang sebelumnya
guru melakukan “pancingan”, kemudian guru sedikit
memberikan intervensi seperti apa yang tidak boleh
dilakukan atau terdapat berbaikan susunan kata-kata atau
pemilihan kata-kata. Namun intervensi dari guru tidak
memberikan perubahan yang begitu banyak, ide-ide kreatif
tetap diutamakan dari para kandidat. Contohnya membuat
yel-yel “Galuh Handayani: Yes ! Yes! Yes!” guru
mengintervensi untuk menyarankan “jangan Galuh
Handayani Yes,yes, yes” tetapi “Galuh Handayani: Semakin
Oke, Tetap Semangat,Galuh Handayani: Yes! Yes! Yes!” nah
terdapat intervensi dalam bentuk seperti itu. Dan para
kandidat juga harus mampu menghafalkan yel-yel tersebut.
Kemudian guru juga menanyakan apa saja keinginan
kandidat apabila terpilih sebagai ketua OSIS. Jadi harus
dilakukan pemahaman dulu kepada para kandidat,
kemauannya seperti apa “Oo itu pak, mau ada pertandingan
basket” kemudian guru mencatatnya sebagai program kerja.
Nah kemudian guru menyampaikan bahwa program kerja
inilah yang harus disampaikan di depan teman-temannya
ketika terpilih menjadi ketua OSIS. Disampaikan bahwa
“ketika kamu terpilih menjadi ketua OSIS kamu akan
menghidupkan …” nah idenya tetap dari para kandidat,
cuman pengembangan bahasanya dari pihak guru.

Sebelum para kandidat berorasi, mereka dilatih


terlebih dahulu oleh para guru. Untuk calon pemilih dilatih
untuk memilih, untuk para kandidat dilatih untuk berorasi.
Jadi kegiatan luar kelas dilakukan selama satu hari full jam
kegiatan belajar mengajar untuk keperluan pemantapan
tersebut. Jadi selama satu hari full tidak ada pembelajaran
di kelas, satu hari full untuk kegiatan LDKS. Selanjutnya
peeliti menanyakan “bagaimana cara berkomunikasi dengan
kelompok difabel dalam sosialisasi pemilu atau dalam
pelaksanaan LDKS ?” ibu Rini mengatakan bahwa, rata-rata
kandidat ketua OSIS dipahamkan dulu terkait tugas yang
akan diemban ketika menjadi ketua OSIS, juga dipahamkan
tentang ketua OSIS harus menjaga sikap dan prilakuna.
Karena ketika menjadi ketua OSIS mereka menjadi panutan
adik-adik kelas dan teman-temannya. Juga disosialisasikan
untuk meminimalkan berbuat kesalahan. Tahapan-tahapan
penjaringan kandidat ini diawali dengan penjaringan oleh
wali kelas, kemudian wali kelas akan berunding dengan wali
kelas yang lain tentang siswa yang dirasa mampu untuk
menjadi kandidat ketua OSIS. Pemilihan wakil ketua OSIS
juga dilakukan oleh pihak guru, karena apabila pemilihan
wakil ketua OSIS diserahkan sepenuhnya kepada siswa,
mereka akan memilih temannya sendiri untuk menjadi
wakilnya. Tetapi guru tidak langsung mengarahkan secara
paksa bahwa kandidat ketua OSIS harus dipasangkan
dengan pilihan guru. Namun guru memberikan pemahaman
bahwa “sebaiknya kamu didampingi oleh ini, karena kalau
kamu samaini kekurangan kamu di sini akan ditutupi sama
ini”. Jadi siswa diberikan pemahaman, tidak langsung
dipaksa harus dipasangkan dengan siswa pilihan guru.
Pemasangan antara ketua dengan wakil OSIS yang
dilakukan dengan banyak pertimbangan ini bertujuan agar
tercipta keseimbangan, sehingga ketika proses kampanye
lebih menarik.

Pertanyaan selanjutnya adalah “bagaimana reaksi


kelompok difabel ketika ditunjuk menjadi kandidat ketua
dan wakil ketua OSIS ?”. Berdasarkan penuturan oleh
kepala sekolah, rata-rata anak-anak sangat senang dan
antusias ketika ditunjuk menjadi kandidat. Karena pada
dasarnya mereka tidak mengetahui tugas ketua OSIS itu
berat. Berbeda dengan siswa normal di sekolah umum yang
akan menolak untuk menjadi ketua OSSI, karena mereka
telah mengetahui beratnya tugas ketua OSIS. Kalau untuk
anak-anak di sini responnya “saya tah buk? Mesti begitu”
kata ibu Rini dalam menanggapai pertanyaan dari peneliti.
Namun di suatu ketika pasti anak-anak pasti akan over
percaya diri, nah guru akan menurunkan tingkat
kepercayaan diri tersebut. Karena tingkat percaya diri yang
terlalu tinggi akan berakibat negative pada anak-anak yang
slow learner. Anak-anak yang slow learner pemahamannya
juga sangat terbatas, ketika tingkat percaya dirinya terlalu
tinggi akan berakibat negative pada dirinya.
Apakah kelompok difabel menerima (mencerna) apa
yang diajarkan oleh guru ?. Tentunya bisa, namun harus
diberikan pemahaman yang khusus, mereka tidak dapat
menerimanya secara mentah-mentah. Untuk anak slow
learner misalnya, mereka memiliki tingkat pemahaman yang
terbatas, namun bukan berarti tidak bisa memahami
sesuatau. Dapat memahami, namun membutuhkan usaha
untuk memahamkan mereka.

Bagaimana bentuk-bentuk sosialisasi tentang pemilu?.


Selain ada LDKS di luar kelas, juga terdapat sosialisasi di
mata pelajaran PPKn yang dibuat dengan sistem tematik.
Dalam artian pembelajaran terkait dengan pemilihan umum
di mata pelajaran PPKn kelas XI itu memang tidak ada,
sedangkan para siswa membutuhkannya. Karena ini adalah
moment menjelang Pilpres, jadi para siswa harus tahu
mengenai pemilu, nah dari itulah guru menghadirkan
pembelajaran pemilu di mata pelajaran PPKn. Dihadirkan
dengan metode tematik, meskipun hal tersebut sudah
berada di luar pembelajaran. Pembelajaran pemilu tetap
dilakukan di dalam kelas, meskipun miniaturnya tidak
dibawakan secara persis seperti di LDKS. Paling tidak guru
mengadirkan contoh bilik suara melalui youtube. Para siswa
juga diberikan pemahaman tentang rangkaian kegiatan
pencoblosan seperti diawali dengan harus mengantri
terlebih dahulu, menyerahkan suratt panggilan pemilih
untuk memilih ke petugas, kemudian mengantri untuk
menunggu panggilan mencoblos, kemudian akan dipanggil
dan mendapatkan surat suara, setelah mendapatkan surat
suara akan masuk ke bilik, nah setelah di dalam bilik siswa
akan membuka surat suara (dibuka byak seperti ini), baru
dilakukan pencoblosan. Kemudian guru juga memberikan
pengarahan terkait bagaimana cara mencoblos yang benar,
ibu Rini menjelaskan bagaimana beliau menyampaikan
pengarahan tersebut bahwa, “mencoblosnya tidak boleh di
sebelah sini, ini nanti ndak sah, seperti itu. Setelah itu
dilipat seperti semula, setelah dilipat seperti semula surat
suaranya baru dimasukkan ke kotak suara. Setelah itu kamu
akan mencelubkan jarimu ke tinta, kalau sudah
mencelubkan jarimu ke tinta berarti kamu sudah mencoblos.
Tidak boleh boleh mencoblos lagi. Berarti proses kamu
menentukan suaramu sudah selesaai, seperti itu”.
Apakah terdapat perbedaan metode antar siswa yang
memiliki kemampuan yang berbeda satu dengan yang
lainnya (dalam sosialisasi pemilu) ?. Jawabannya adalah iya,
biasanya untuk siswa tuna grahita. Di SMA Galuh
Handayani Surabaya ini terdapat siswa tuna grahita berat.
Jadi usianya sudah 18 tahun tetapi kemampuannya seperti
anak TK. Menurut ibu Rini, justru kemampuannya lebih baik
pada anak di pendidikan TK. Nah untuk siswa seperti itu
membutuhkan pendampingan yang lebih khusus lagi dalam
sosialisasi pemilu juga dibutuhkan pendampingan ketika
berpartisipasi menjadi pemilih. Ibu Rini juga mencemaskan
bagaimana anak dengan hambatan tuna grahita berat ketika
memilih di TPS. Kalau anak slow learner dia masih bisa
berangkat sendiri ke TPS, anak tuna grahita ringan juga
bisa, namun tuna grahita yang berat ini akan sangat sulit
untuk melakukan hal tersebut. Pada aktifitas sehari-hari saja
ia memakai (shadowteacher) untuk memberikan
pemahaman kepadanya. Namun siswa tuna grahita kategori
berat ini juga mengikuti LDKS saat pemilihan ketua OSIS.
Dan dia terbukti mampu melakukannya. Sambil dibimbing
oleh gurunya, guru bertanya kepada siswa tersebut “pilih
yang mana ?”, nah dia kan melihat foto temannya, jadi hal
ini tidak menyulitkan dia untuk memberikan hak suaranya.

Metode khusus juga dilakukan untuk siswa dengan


hambatan memiliki kemampuan pendengaran yang kurang.
Biasanya guru akan menekankan pada pelafalan kata
dengan menekankan pada bagian bibir. Karena anak dengan
pendengaran yang kurang dapat mengerti apa yang
diucapkan lawan bicaranya dengan melihat gerak bibir oleh
lawan bicara. Semisal guru tidak dapat memahami apa yang
dikatakan oleh siswa tersebut, maka guru meminta siswa
menyampaikan pendapatnya melalui tulisan.

Hambatan dari sosialisasi pemilu ini terletak pada


praktik siswa dalam memilih. Ketika dia berada TPS yang
mendampingi sudah bukan guru lagi. Guru tidak berwenang
mendampingi siswa ketika melakukan hal pilihnya di TPS
daerahnya masing-masing.Sehingga kebanyakan dari siswa
meskipun sudah diberikan sosialisai pemilu, banyak yang
tidak menggunakan hak suaranya untuk berpartisipasi di
pemilu. Seharusnya siswa difabel ini didampingi orang
terdekatnya, entah dari pihak keluarga atau dari pihak
panitia di TPS. Pemberian motivasi untuk siswa dengan
hambatan tuna grahita berat akan sangat berbeda, karena
dia dapat menerima shadow di pemilihan ketua OSIS di
sekolah karena memilih teman yang dikenalnya. Ketika
disuruh memilih di pemilihan umum belum tentu shadow-
nya dapat masuk ke anak tersebut. Misalnya “ayo, Farah
milih yang mana ? pilih Gilang, pilih Calvin, atau pilih
Firman ?” nah dia melihat foto temannya. Kalau untuk
hambatan pelaksanaan sosialisasi pemilu tidak memiliki
hambata. Karena para siswa ini adalah anak-anak yang
manis, penurut, selalu mentaati dan mematuhi apa yang
diberikan oleh gurunya. Dan tidak ada keonaran atau
penolakan dari para siswa.

Bagaimana komunikasi antar siswa ketika dilakukan


sosialisasi politik atau simulasi pencoblosan ?. Komunikasi
yang terjadi berjalan dengan baik. Tidak terdapat
permasalahan apapun terkait komunikasi antar siswa. Apa
saja kebiasaan yang ditanamkan kepada para siswa dalam
sosialisasi politik ?. Yang paling utama adalah penanaman
kejujuran, sopan santun, ketika di TPS tidak boleh bersuara
atau berbicara terlalu banyak dan nyerocos yang tidak
perlu. Karena dikhawatirkan nanti anak difabel akan
mengganggu orang lain, bagi orang lain yang tidak
mengetahui bahwa anak ini difabel ketika anak ini berbicara
hal-hal yang tidak perlu mereka akan langsung mengetahui
dari tingkah laku mereka ini. Ibu Rini juga mengajarkan
kepada para siswa bahwa, “harus ngantri, ndak boleh
srondol-srondol, ketika berbicara dilihat mimic muka lawan
bicaramu jangan sampai kamu berbicara terus menerus
padahal kamu tidak didengarkan, kalau ndak tahu nanya
tapi ndak boleh nanya ke sembarangan orang”. Namun yang
paling ditekankan adalah nilai kejujuran.

Latar belakang diadakannya simulasi pencoblosan


melalui LDKS, karena pada waktu itu memang sangat
dibutuhkan kehadiran ketua OSIS. Dan ibu Rini merasa
anak-anak memerlukan pengetahuan tentang politi karena
secara usia anak-anak SMA sudah mencapai usia yang
cukup untuk menggunakan hak pilihnya. Awalnya
pelaksanaan pemilihan ketus OSIS tidak siatur sedemikia
rupa seperti replica pemilu, namun lambat-laun ibu Rini
merasa replica suasana pemilu ini dibutuhkan untuk para
siswa. Bahwa pengetahuan terkait pemilu sangat
dibutuhkan untuk anak-anak difabel. Dan sekolah bertugas
untuk memberikan pengetahuan politik sampai para siswa
mampu memahami pengetahuan politik dan pemilu.
Kemudian ibu Rini selaku kepala sekolah merasa
pelaksanaan LDKS perlu disetting seperti pelaksanaan
pemilu. Paling tidak para siswa telah mengetahui bagaimana
pelaksanaan pemilu sebelum mereka datang ke TPS.
Kemudian peneliti mencoba menanyakan kejelasan
tentang “Bagaimana waktu itu sampai dibutuhkan ketua
OSIS di SMA Galuh Handayani, karena saya fikir di sekolah
inklusi memang tidak ada organisasi seperti OSIS bu ?”. Ibu
Rini menjelaskan bahwa sekolah ini memang menerima
anak-anak berkebutuhan khusus, sekolah mencoba men-
setting semuanya sesuai kebutuhan SOP sekolah. SOP untuk
SMA diantaranya adalah terdapat ruang OSIS, terdapat
ketua OSIS, terdapat ruang advokasi dan lain sebagaina.
Karena siswa berkebutuhan khusus tidak hanya
membutuhkan pengetahuan akademik, juga membutuhkan
pengetahuan lain termasuk advokasi. Untuk menjalankan
pendidikan di sekolah ini dengan apapun labelnya, OSIS
harus ada, pramuka harus ada, walaupun materi yang
disampaikan tidak sama dengan materi yang didapat oleh
para siswa di sekolah umum. Pramuka mungkin sudah
melakukan penjelajahan kemana-mana, kalau di SMA Galuh
Handayani ini tidak. Hanya sekedar mengenalkan Hymne
pramuka, mengenaalkan bahwa pramuka itu mengajarkan
tentang kebersamaan, kegotong royongan, kedisiplinan,
seperti itu. Penjelajahan dilakukan hanya di sekitar
lingkungan sekolah, seperti bermain game ada pos 1, pos 2,
pos 3. Pihak sekolah mengupayakan agar para siswa
mendapatkan pengalaman yang sama dengan para siswa
yang berada di sekolah umum. Meskipun materi yang
disampaikan disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak
difabel.

Bagaimana respon para siswa ketika disuruh datang,


berkumpul di halaman sekolah untuk melakukan pemilihan
ketua OSIS ?. Anak-anak ini memiliki karakteristik yang
berbeda, jadi semua pemilih dikumpulkan oleh guru, masuk
di kelas masing-masing, dengan bimbingan guru masing-
masing. Misalnya 30 siswa akan dibagi menjadi 3 kelompok,
ini semuanya untuk pemilih. Masing-masing kelompok ini
memiliki guru pendamping yang akan bertugas
mendampingi siswa dalam sosialisasi pemilu. Para siswa
diberikan pemahaman bahwa mereka harus memilih, hak
pilih harus digunakan, ketika memilih harus memilih dengan
benar bukan memilih karena gantengnya tetapi tidak
mengetahui programnya, seperti itu. Jangka waktu
pemahaman dalam tahap ini hampir seharian untuk mampu
memahamkan para siswa menjelang pemilihan ketua OSIS.
Di depan kelas sudah ditempel surat suaranya, untuk
memperkenalkan siapa saja kandidat dan berapa jumlah
kandidat ketua dan wakil ketua OSIS, dan berapa jumlah
kandidat yang harus dipilih. Materi yang disampaikan juga
terkait pencoblosan yang sah itu harus bagaimana. Jadi
siswa menerima materinya terlebih dahulu, kemudian
diberikan simulasi pencoblosan. Kemudian para guru yang
menjadi para pembimbing tadi turun ke lapangan untuk
mendampingi setiap kelompok yang sebelumnya telah di-
briefing di kelas.

Setiap guru membimbing setiap kelompok, seperti


memberikan pengarahan “ayo, habis ini kamu dipanggil loh
ya, habis ini kamu yang dipanggil loh ya”. Baru di dalam
bilik sura siswa dibiarkan sendiri, kecuali yang tuna grahita
berat shadow teacher bisa masuk untuk mendampingi.

Tahap penyampaian terkait pemilihan presiden juga


dilakukan seperti sosialisasi pemilihan ketua dan wakil
ketua OSIS. Dengan catatan bahwa guru tidak melakukan
kampanye negative. Materi yang disampaikan seperti
pengetahuan tentang hal positif yang dimiliki oleh bapak
Jokowi dan bapak Prabowo, penjelasan tentang bagaimana
capres memulai karir berpolitiknya. Jadi para siswa paham,
nanti harus memilih siapa. Jadi materi tentang pemilu hanya
disampaikan tentang praktik pemilu, tidak disampaikan
secara teoritis seperti kapan dilaksanakannya pemilu, dan
lain sebagainya. Materi disampaikan secara praktinya saja,
pemilu itu untuk memilih siapa, untuk memilih presiden dan
wakil presiden, memilih angggota legislative, memilih
bupati, seperti itu. Apabila diberikan hafalan “pemilu
pertama diselenggarakan pada tahun 1950”, para siswa
tidak dapat memahami.

Sosialisasi pemilu dan simulasi ini dilakukan setiap


mendekati pemilu baik pemilihan gubernur, wali kota, atau
presiden. Jadi guru tetap melaksanakan sosialisasi pemilu
meskipun di Surabaya tidak sedang diselenggarakan
pemilihan umum. MIsalnya, di Sidoarjo sedang
diselenggarakan pemilu gubernur, karena di sekolah
tersebut terdapat siswa yang cukup umur untuk memilih
dan berasal dari Sidoarjo, maka sosialisasi pemilu tetap
dilaksanakan agar siswa tersebut mengetahui tata cara
memilih.

Sosialisasi pemilu yang dilakukan oleh guru adalah


sosialisasi pemberitahuan atau wacana kepada para siswa
bahwa mereka harus ikut memilih. Jadi dalam praktiknya
siswa akan berpartisipasi dalam pemilu hal itu sudah di luar
wewenang guru. Di sekolah memang diberikan pembekalan
terkait pemilu, namun dalam praktiknya, hal itu sudah
menjadi wewenang dari wali murid. Kebanyakan dari para
siswa memang tidak dihadirkan dalam pemilu oleh
orangtuanya. Hanya sedikit jumlah siswa yang telah cukup
usia mau berpartisipsi dalam pemilu. Seperti yang dikatakan
oleh ibu Rini bahwa, “kita ndak bisa meng-cover siswa
sampai di rumah mbak, biasanya stelah masuk sekolah kita
lihat ujung jarinya ada bukti telah memilih atau ndak.
Terkadang kita juga menanyakan kepada siswa kemarin dia
ikut memilih atau tidak. Meskipun ikut memilih pun kita
ndak tahu, yang dicoblos itu sah atau tidak”. Jadi dalam
pemberdayaan kelompok difabel dalam sosialisasi politik ini
hanya sekedar sosialisasi, dampaknya tidak dapat diketahui
karena guru tidak melakukan pemberdayaan sampai pada
tahapan praktik siswa dalam pemilu.

Apakah KPU pernah melakukan sosialisasi pemilu


pada anak difabel khususnya di lingkungan sekolah ini bu?.
Ibu Rini menjawab bahwa para siswa tidak pernah
mendapatkan tawaran atau diberi sosialisasi terkait pemilu
oleh pihak luar. Ibu Rini juga mengatakan bahwa ia akan
menyambut dengna baik apabila terdapattawaran dari luar
terkait sosialisasi pemilu khususnya dari pihak KPU. Ibu Rini
sejauh ini telah memperjuangkan hak kelompok difabel di
sekolah tersebut untuk mendapatkan pengetahuan politik
dan pengalaman pra pemilu. Beliau sampai mencari bentuk
surat suara yang digunakan di TPS, agar beliau dapat
menunjukkannya kepada para siswanya dan diharapkan
siswa dapat memahaminya. Tujuan dari ibu Rini ingin
menghadirkan replica surat suara adalah agar para siswa
tidak bingung ketika praktik langsung di TPS. Karena para
siswa telah melihat surat suara sebelumnya di sekolah, jadi
dapat meminimalisisr kesalahan siswa dalam mencoblos di
TPS.

Informan 2

Subyek adalah Jerrico Riyu Passa siswa laki-laki


berusia 17 tahun, siswa kelas X, tinggal di Manyar Rejo 9,
Sabrangan No.24 Surabaya. Jerrico adalah siswa pindahan
dari Ambon, pindah ke SMA Galuh Handayani Surabaya
ketika kelas X. Sebelumnya Jerrico adalah siswa pindahan
dari sekolah SLB Surabaya. Ketika peneliti menanyakan
terkait “apakah subyek sudah mendapatkan sosialisasi
politik selama menjadi siswa SMA Galuh Handayani ?”
subyek mengatakan belum mendapatkan sosialisasi, karena
dia adalah siswa baru di sekolah tersebut. Berbeda dengan
teman-teman lainnya yang telah mendapatkan pelajaran
simulasi berpartisipasi dalam pesta demokrasi dengan
bentuk pencoblosan calon ketua OSIS atau simulasi terkait
bagaimana cara pencoblosan yang benar ketika di TPS.
Selama menjadi siswa SMA Galuh Handayani, subyek hanya
mendapatkan sosialisasi politik melalui pelajaran PPKn yang
diajarkan di kelas.

Subyek juga masih belum mengetahui terkait kapan


diadakannya pemilihan presiden di tahun 2019 mendatang.
Terkait siapa saja yang akan menjadi kandidat dalam
pencalonan presiden 2019, subyek juga belum
mengetahuinya ketika peneliti menanyakan secara langsung
perihal “apakah ia sudah mengetahui siapa saja calon
presiden dan wakil presiden tahun 2019 ?”. Namun Jericho
mengenal bapak Jokowi, “kenal bapak Jokowi di tv, suka
bapak Jokowi karena dia baik suka bagi-bagi sepedah”, kata
Jericho dalam proses wawancara dengan peneliti. Informasi
terkait bapak Jokowi ini didapatkan melalui menonton
televisi di rumah, meskipun Jericho tidak terlalu sering
menonton televisi tetapi ia cukup mengenal bapak Jokowi
dengan karakternya yaitu bagi-bagi sepedah kepada anak-
anak. Hasil dari wawancara mendalam dengan Jericho,
didapat data bahwa ia belum pernah melakukan pemilihan
umum dalam setiap pemilu.

Informan 3
Informan ke-tiga adalah Prisillia Anggun Wibowo
berusia 19 tahun, tinggal di Kalijudan-Surabaya. Proses
wawancara didampingi oleh ibu Suci untuk menerjemahkan
respon siswa dan membantu peneliti dalam menyampaikan
pertanyaan kepada subyek. Prisil adalah siswi kelas XI
dengan hambatan tuna rungu. Ia juga memiliki kesamaan
dengan siswa difabel lainnya. Prisil masih kurang dalam
kesadaran berpartisipasi dalam pemilu. Untuk sosialisasi
pemilu Prisil hanya mendapatkan sosialisasi di kelas melalui
kegiatan belajar mengajar di mata pelajaran PPKn. Karena
ia memiliki hambatan tuna rungu, maka dalam mengikuti
sosialisasi pemilu di kelas ia mengandalkan pendengaran
dan gerak bibir dari guru. Secara intelektual ia dapat
memahami pemilu itu seperti apa, pemilu harus memilih
siapa, kandidatnya siapa saja, ia dapat memahaminya.
Ketika peneliti menanyakan apakah Prisil sudah pernah
berpartisipasi dalam pemilu, Prisil mengatakan bahwa
sebelumnya ia belum pernah mencoblos. Alasan subyek
tidak pernah berpartisipasi dalam pemiliu karena
sebelumnya ia tidak mengetahui kapan pelaksanaan pemilu
baik pemilihan wali kota atau pemilihan presiden. Subyek
juga menambahkan bahwa alasan lain adalah karena pada
waktu itu identitas di KTP nya masih identitas Ambon, jadi
ia tidak dapat melaksanakan pemilihan wali kota Surabaya.

Akan tetapi Pricilla cukup memahami tentang berita


mengenai politik yg dapat ia akses melalui media massa.
Walaupun informasi yang ia dapatkaan tidak begitu banyak.
Adapun pembelajaran tentang politik ia dapatkan dari guru
PKNnya. Di sekolah inklusi juga diberikan materi tentang
bagaimana cara memilih melalui simulasi pemilihaan ketua
OSIS. Hal ini bertujuan agar memiliki pengetahuan tentang
bagaimana cara mrmilih dengan benar. Walaupun ia masih
belum pernah melakukan pemilihan. Akantetapi pricilla
cukup memahami tentang bagaimana berpartisipasi dan
mencoblos ketua OSIS sesuai dengan pilihannya. Adapun
kegiatan saat pemilihan ketua OSIS, beberapa waktu lalu
adaanya kegiatan orasi, TPU, dan lainnya. Pricilla cukup
memahami tentang kegiatan dalam pastisipasi politik. Akan
tetapi didalam pemilihan presiden mendatang dirinya belum
memiliki keinginan untuk mencoblos, yang artinya saat
menjelang pilpres 2019 ia masih belum memastikan apakah
dirinya ingin berpartisipasi atau tidak,meskipun dirinya tau
bahwa akan ada pilpres 2019.

Informan 4

Ibu Nunik Aslamiyah (49) tahun adalah guru yang


mengajar Bhasa Inggris di kelas X-XII. Beliau tinggal di
Juwingan 134 Surabaya. Rekam jejak pendidikan yaitu S1
pendidikan bahasa Inggris kemudian menlanjutkan S2 PLB.
Setelah menanyakan biodata subyek, peneliti menanyakan
pertanyaan pembuka dengan menanyakan alasan beliau
memilih menjadi guru di SMA Galuh Handayani Surabaya.
Beliau menjelaskan bahwa, awal mengajar pada tahun 1995
di sekolah SD. Ketika itu sekolah Galuh Handayani belum
menjadi sekolah inklusi. Namun Pada saat itu sekolah Galuh
Handayani telah menerima siswa yang mengindikasikan
anak yang lambat dalam belajar. Anak yang mengalami
keterlambatan ini ketika disekolahkan di sekolah umum
akan mengalami kesulitan dalam belajar, namun ketika
disekolahkan di SLB anak ini bukan kategori anak yang
harus bersekolah di SLB. Sebenarnya saya tidak memilih
mengajar di sekolah inklusi. Tatapi bahwasannya saya dari
awal memang mengajar di sekolah ini yang dahulunya
belum terdapat paying hukum mengenai pendidikan inklusi.
Tetapi subyek memang pada dasarnya memiliki ketertarikan
dalam mengajar dan membimbing pada anak-anak regular
dan anak-anak berkebutuhan khusus. Alasan tersebut
diperkuat dengan latar belakang pendidikan yang telah
ditemuh subyek pada PLB (Pendidikan Luar Biasa), secara
moral subyek merasa berempati pada anak-anak difabel.
Cara berkomunikasi dengan kelompok difabel dalam
sosialisasi politik menurut ibu Nunik adalah menyesuaikan
hambatan pada anak tersebut. Apabila berkomunikasi
dengan anak yang memiliki hambatan pada pendengaran
maka cara berkomunikasinya harus dilakukan dengan
bertatap muka, sehingga anak dengan hambatan pada
pendengaran tersebut dapat membaca gerak bibir lawan
bicaranya. Kemudian cara berkomunikasi dengan dengan
siswa slow learner sistem komunikasi signalong, atau
dengan menerapkan tutor sebaya, atau menggunakan
bahasa tulisan.

Bagaimana proses sosialisasi potik khususnya pada


sosialisasi pemilu ?. Salah satu media sosialisasi adalah
majalah dinding, kata ibu Nunik. Dengan menggunakan
majalah dinding, guru berusaha memberitahukan kepada
siswa kapan dilaksanakannya pemilu, dan siapa nantinya
yang akan dipilih. Sosialisasi pemilu ini juga dilaksanakan
pada apel pagi juga. ibu Nunik memberikan contoh apa yang
disampaikan terkait pemilu ketika apel pagi, “kenapa anak-
anak kita sering melihat gambar-gambar yanga da di jalan-
jalan ? itu maksutnya apa ?” penyampaian seperti itu agar
anak-anak faham apa yang terjadi pada musim pemilu.
Sosialisasi pemilu untuk anak-anak difabel harus dilakukan
sesering mungkin, karena mereka cepat lupa. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya peran pihak keluarga dalam
memberikan pemahaman tentang pemilu.

Bagaimana respon anak difabel dalam sosialisasi


pemilu ?. banyak anak-anak yang kurang memahami terkait
pemilu. Anak-anak harus dijelaskan dengan menggunakan
media yang sama persis untuk menyampaikan materi
pemilu. Contohnya menghadirkan surat suara semirip
mungkin agar para siswa dapat memahaminya. Bagi ibu
Nunik tata cara bagaimana untuk memilih, para siswa sudah
mampu dan telah mengetahuinya. Karena para siswa telah
melihatnya secara langsung melalui pemilihan ketua OSIS
yang diatur seperti simulasi pencoblosan dalam pemilu.
Dengan mempraktikkan secara langsung, dapat
memudahkan para siswa untuk memahami praktik
pencoblosan dalam pemilu.
Apakah terdapat metode untuk menyampaikan
sosialisasi pemilu berdasarkan hambatan-hambatan yang
berbeda pada setiap siswa ?. Iya contohnya seperti
sosialisasi pemilu kepada siswa autis berat, guru tatap
membimbing siswa tersebut sampai siswa tersebut dapat
mempraktikkan tahapan pencoblosan sampai tahap akhir.
Untuk dapat memahamkan siswa difabel dalam sosialisasi
pemilu, maka guru harus mendapatkan trus dari siswa, dan
guru harus memahami dengan baik hambatan yang dimiliki
oleh siswa.
Respon siswa dalam simulasi pemilu, berdasarkan
hasil wawancara dengan ibu Nunik dikatakan bahwa para
siswa sangat antusias dalam merespon kegiatan LDKS
pemilihan ketua OSIS. Semua siswa sebagai pemilih sangat
antusias dan semuanya menggunakan hak suaranya. Ibu
Nunik juga mengatakan bahwa setelah diadakannya
simulasi pemilu, para siswa menjadi lebih faham tentang
tata cara pemilu. Setelah diselenggarakan kegiatan simulasi
pemilu, para siswa memiliki bekal atau telah memiliki
gambaran bagaimana tata cara pemilihan dalam pemilu.

Tahapan selanjutnya dari pemberdayaan dalam


sosialisasi politik adalah guru akan menanyakan kepada
siswa apakah telah mempraktikkan pencoblosan di pemilu
yang telah terselenggara di tempat tinggalnya masing-
masing. Seperti pemilihan wali kota Surabaya, setelah
terselenggara pemilu tersebut keesokan harinya pihak guru
akan menanyakan siapa saja yang telah menggunakan hak
suaranya dalam pemilu. Pada tahapan ini guru menanyakan
hal tersebut dilakukan dengan mengobrol secara santai.

Apakah di sekolah ini juga dilakukan sosialisasi yang


bertujuan agar kelompok disabilitas tidak selalu bergantung
kepada orang lain ?. Ibu Nunik berkata bahwa “ya itu sesuai
Visi dan Misi sekolah ini, Visi-Misi sekolah ini salah satunya
memeberi bekal kepada mereka sehingga mereka memiliki
bekal dan keterampilan. Kan nantinya bisa hidup di
msayarakat kemudian juga mandiri. Termasuk adanya
simulasi pencoblosan juga bertujuan untuk memandirikan
mereka dalam berpartisipasi pada pesta demokrasi”.
Bagaimana sejarah awal sekolah memunculkan
metode khusus terhapad sosialisasi politik pada siswa
disabilitas ?. Menurut ibu Nunik, hal itu berkaitan dengan
mata pelajaran, dan para siswa membutuhkan praktik
secara langsung untuk memahamkan tahapan-tahapan
pemilu pada para siswa di sekolah Galuh Handayani. Untuk
siswa yang memiliki hambatan, menurut ibu Nunik mereka
cenderung lebih pasif dalam keingintahuan mereka
terhadap pengetahuan politik dan pengetahuan pemilu.
Informan 5

Subyek adalah siswa kelas XI bernama Calvin Lii


berusia 16 tahun, subyek tinggal bersama dengan kedua
orangtuanya di Rungkut, Menanggal, Surabaya. Wawancara
dengan subyek dilakukan dengan santai, menggunakan
bahasa santai namun tetap berada di dalam koridor
panduan wawancara. Respon subyek kepada peneliti ramah,
sopan, dan subyek memberikan informasi yang membantu
peneliti dalam pengambilan data primer. Proses wawancara
dilakukan di ruangan kepala sekolah. Pada saat proses
wawancara selalu ada siswa difabel yang keluar masuk
ruangan tersebut, mereka hanya keluar-masuk tanpa
mengganggu jalannya kegiatan wawancara. Setelah proses
wawancara mengenai biodata subyek, peneliti menanyakan
alasan subyek memilih sekolah Galuh Handayani. Subyek
mengatakan bahwa sebenarnya ia menuruti tawaran ibunya
untuk bersekolah di sekolah tersebut. Dan pada waktu itu
subyek memang tertarik untuk bersekolah di sekolah
tersebut dengan keinginan lain untuk dapat membaur
dengan teman-temannya yang memiliki kemampuan khusus.
Selanjutnya peneliti menanyakan tentang sosialisasi politik
di sekolah tersebut. Subyek mengatakan bahwa sosialisasi
politik didapatkannya sejak ia berada di kelas IIIX. Di kelas
delapan itulah ia dicalonkan sebagai wakil ketua OSIS dan
dibimbing oleh gurunya untuk menjadi wakil ketua OSIS.
Subyek juga mengatakan bahwa sosialisasi politik di sekolah
tersebut didapatkan dari mata pelajaran Sosiologi, PPKn,
Ekonomi, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris. Bentu-
bentuk dari sosialisasi politik ini berupa materi
pembelajaran di kelas dan simulasi pemilu dalam pemilihan
ketua OSIS. Peneliti kemudian menanyakan tentang apa
yang dirasakan oleh subyek ketika terlibat langsung dalam
kegiatan LDKS. Subyek mengatakan bahwa pada saat itu ia
merasa biasa saja, karena ia hanya sebagai wakil ketua
OSIS yang tidak banyak mempersiapkan diri dalam proses
kampanye. Calvi adalah siswa regular di sekolah tersebut.
Saat ini usianya masih belum genap 17 tahun, sehingga ia
belum bisa mengikuti pemilu presiden yang akan
diselenggarakan pada bulan April ini. Namun subyek
mengatakan bahwa ia sedikit memahami tata cara pemilu,
tetapi ketika peneliti menanyakan “apakah subyek
mengetahui letak mencoblos yang sah itu di mana ?” subyek
mengatakan ia belum mengetahui. Terkait sosialisasi politik
dan pemilu telah ia dapatkan di lingkungan keluarganya
terutama didapat dari ayahnya. Ia diberikan pemahaman
tentang tahapan pencoblosan di TPS, dan siapa saja
kandidat capres dan cawapres yang akan dipilih.
Selanjutnya peneliti bertanya “apakah pihak keluarga juga
mengintervensi pilihan kamu dalam memberikan hak
suara ?”. Subyek mengatakan bahwa keluarga tentu
mengintervensi siapa kandidat yang harus ia pilih. Subyek
juga menambahkan bahwa ia cenderung mengikuti masukan
dari orang tua karena ia sendiri juga merasa kurang
mengetahui tentang pengetahuan politik dan rekam jejak
dari kandidat.

Informan 6

Aprillia Maharani (18) tahun siswi SMA Galuh


Handayani di kelas IX IPS. Ia adalah siswi reguler di sekolah
tersebut. Proses wawancara dengan subyek sedikit memiliki
hambatan, karena subyek kesulitan dalam memberikan
jawaban dan menjelaskan jawaban dari pertanyaan yang
diberikan oleh penliti. Namun subyek sangat ramah dan
sopan santun kepada peneliti. Terkait sosialisasi pemilu, ia
mengaku pernah mengikuti jalannya LDKS pemilihan ketua
OSIS di kelas IIIX. Karena subyek kesulitan untuk
memberikan jawabannya, maka peneliti hanya bisa
mengajukan pertanyaan pokok kepada subyek. Dalam
proses wawancara tersebut, subyek mengatakan bahwa ia
mengetahui tentang pemilu dan mengerti tahapan-tahapan
dalam pencoblosan di TPS. Subyek pernah mengikuti
pemilihan wali kota Surabaya, waktu pemilihan Bu Risma.
Terkait pertimbangan dalam memberikan suaranya kepada
calon yang mana, subyek mengatakan bahwa ia mengikuti
saran dari orang tua. Karena subyek merasa kurang
memahami pengetahuan politik tetapi ingin berpartisipasi
dalam pemilu. Sosialisasi politik juga diberikan di
lingkungan keluarganya, keluarganya tidak acuh terhadap
pengetahuan politik pada Rani. Selain didapat dari orang
tua, Rani juga memperkaya pengetahuannya melalui media
social. Ia mengatakan bahwa ia sering stalking bapak Jokowi
di instagram. Untuk pemilu Presiden yang akan datang,
Rani juga mengetahuinya. Ia juga menegtahui jumlah
kandidat calon Presiden. Rani juga mengatakan bahwa ia
sudah mengetahui ia akan memilih siapa dalam pemilu
presiden dan wakil presiden.

Informan 7

Subyek adalah Muhammad Fajar (18) tahun, siswa


kelas XI IPS. Alamat lengkapnya di Jl.Semampir Tengah 2
18A. Subyek adalah siswa reguler yang cakap dalam
berkomunikasi dan pandai bergaul. Pada awal pertemuan
dan awal perbincangan, ia menunjukkan sikap yang baik,
ramah, dan sopan sehingga membuat peneliti nyaman. Ia
anak yang pandai bersosialisasi dengan orang baru. Pada
pertanyaan pembuka tentang alasan mengapa ia bersekolah
di sekolah inklusi, ia mengatakan bahwa pada pendidikan
tingkat pertama ia pernah koma selama 3 bulan. Karena
tertinggal pelajaran jauh dengan teman-temannya, pada
akhirnya orangtuanya memindahkannya ke sekolah inklusi.
Pada waktu dipindahkan ke sekolah inklusi tersebut, ia
masih dalam keadaan tidak sadar, sehingga ia tidak
melakukan penolakan ketika disekolahkan di sekolah
tersebut. Kemudian peneliti menanyakan bagaimana
sosialisasi politik di sekolah Galuh Handayani. Subyek
menjelaskan bahwa sosialisasi politik sudah didapatkan
sejak ia masih SMP, termasuk kegiatan LDKS pemilihan
ketua OSIS. Ketika mengikuti LDKS pemilihan ketua OSIS,
ia berpartisipasi sebagai pemilih. Fajar mengatakan bahwa
sosialisasi pemilu ia dapatkan di rumah dan di sekolah. Di
rumah ia disosialisasikan tentang siapa yang pantas untuk
dipilih dan tata cara memilih yang benar agar suaranya
dianggap sah. Di lingkungan sekolah ia mendapatkan
sosialisasi politik dari mata pelajaran sosiologi, PPKn,
ekonomi, bahasa Inggris, dan bahasa Indonesia. Dalam
praktik pemilu, Fajar mengatakan bahwa dari keluarga
terdapat intervensi terhadap pilihannya termasuk
menentukan pilihan presiden dan wakil presiden pada
pemilu bulan April 2019. Kemudian peneliti menanyakan
bagaimana respon subyek dalam menanggapi intervensi
keluarga dalam menentukan pilihannya. Subyek
mengatakan bahwa ia setuju dengan pendapat orangtuanya
apabila dia diminta mengikuti pilihan orangtuanya dalam
pemilu presiden dan wakil presiden. Dari proses wawancara
ini dapat diketahui bahwa praktik pemilih pemula dalam
menentukan pilihannya belum dilakukan secara jujur dan
rahasia.

Analisis Data

Topik penelitian yang diteliti adalah tentang


pemberdayaan kelompok difabel dalam sosialisasi politik.
Tanggapan para siswa pada pelaksanaan sosialisasi politik
di sekolah sangat antusias dan menyukai kegiatan simulasi
pemilihan umum yang dilaksanakan dalam pemililihan ketua
OSIS. Hasil dari temuan data menunjukkan keragaman
dalam partisipasi politik. Kebanyakan dari siswa
berkebutuhan khusus bersikap pasif terhadap keingintahuan
pada politik termasuk pada pemilihan umum. Dari 5 siswa
yang pernah berpartisipasi dalam pemilu adalah terdapat 3
siswa yang pernah mengikuti pemilihan umum. Dua
diantaranya tidak pernah mengikuti pemilihan umum
dikarenakan kurangnya informasi tentang pelaksanaan
pemilu di tempat tinggalnya. Namun dari kelima informan
tersebut, semuanya telah mendapatkan pembekalan
pengetahuan politik di sekolah. Juga terdapat ketiga
informan yang telah terlibat langsung dalam simulasi
pemilihan umum di lingkungan sekolah.

Kebanyakan dari para siswa difabel tidak tertarik


dengan politik dan memperlihatkan minat yang sangat
rendah dalam partisipasi politik dibanding dengan siswa
reguler lainnya. Terdapat dua siswa yang sangat tertarik
pada politik. Hal ini ditunjukkan dengan respon subyek yang
begitu kritis dalam memberikan penjelsan partisipasi politik
yang telah dilakukannya. Siswa yang tetarik pada politik ini
adalah siswa dari kelas reguler yang aktif di organisasi
tingkat desa, yaitu Karang Taruna.

Praktik sosialisasi politik di lingkungan sekolah adalah


bentuk pemberdayaan kelompok difabel yang dicetuskan
oleh kepala sekolah. Kepala sekolah mengatakan bahwa
praktik secara nyata itu penting agar para siswa di sekolah
tersebut dapat memahami tahapan pelaksanaan pemilihan
umum, khususnya pada siswa difabel. Kepala sekolah
merasa para siswa harus mendapatkan pengalaman pra
pemilu sebelum berpartisipasi secara nyata di pemilihan
umum yang diselenggarakan oleh negara. Paling tidak
kegiatan simulasi tersebut menjadi pembekalan atau tahap
pengenalan bagi mereka.

Pada praktik pencoblosan, pihak sekolah telah


menanamkan kepada siswa bahwa dalam memilih pemimpin
kelak dalam kegiatan Pemilu sesuai dengan keinginan
masing-masing individu. Walaupun kembali lagi kepada
keluarga untuk membiarkan anaknya memilih di TPS atau
tidak. Juga melakukan intervensi atau tidak terhadap pilihan
anak dalam memberikan hak suaranya. Namun sekolah
telah berupaya agar siswanya walaupun memiliki hambatan,
namun memiliki kemampuan agar dapat menggunakan hak
pilihnya dengan benar.

Dari lima siswa yang diwawancara, dua telah mampu


menggunakan hak pilihnya dalam kegiatan Pilkada Serentak
2018 kemarin dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur.
Bahkan ketika menggunakan hak pilihnya di TPS untuk
pertama kali mereka mampu dapat memilih sendiri tanpa
bantuan. Hal ini dikarenakan penanaman dari pihak sekolah
SMA Galuh Handayani sendiri yang mengatakan bahwa
tingkah laku serta kesopanan dalam kegiatan pemungutan
suara di PTS harus selalu dijaga agar tidak menjadikan
mereka sebagai bahan lelucon di lingkungan masyarakat.
Penanaman nilai-nilai tersebut cukup efisien karena dua
siswa ini mampu melakukan kegiatan pemungutan suara di
TPS dengan lancar sesuai dengan yang diajarkan oleh pihak
sekolah. Dua siswa ini pun dalam memilih juga tidak merasa
mendapat praktik money politik yang dilakukan oleh
kandidat sehingga dua siswa ini memang memilih karena
referensi dari keluarga, dari media baik itu televisi maupun
internet.

Sedangkan tiga siswa lainnya yang akan menghadapi


Pemilu 2019 mendatang memang belum memahami secara
penuh kandidat yang akan bertarung nantinya. Namun dari
tiga siswa tersebut nantinya jika ingin memilih presiden
cenderung melihat dari media televisi. Apa yang sering
dibahas dalam media televisi dan dianggap baik oleh
mereka maka besar kemungkinan mereka akan memilih
kandidat tersebut sebagai pemimpin. Dalam temuan data
pun juga terlihat bahwa mereka ingin memilih pemimpin
kedepannya karena memang keinginan sendiri dengan
berbagai jawaban mulai dari karena kebaikan, prestasi,
maupun tampilan dari kandidat.

Jika dilihat secara seksama praktik siswa dalam


berpartisipasi dalam pemilu dilakukan dengan jujur tanpa
menerima money politic. Mereka terutama yang sudah
mengikuti Pilkada Serentak 2018 telah menggunakan hak
pilih mereka. Selain itu yang telah menjadi pemilih Pilkada
serentak 2018 juga tidak mendapatkan money politik atau
pendekatan yang secara berbeda. Hal ini sendiri juga dipicu
dengan proses pengenalan Pemilu yang dilakukan sekolah
dengan jujur, adil, langsung. Walaupun tidak menutup
kemungkinan ketika melakukan simulasi pemungutan suara
di sekolah tetap harus didampingi oleh guru pengawas agar
dalam kegiatan mencoblos tidak menuju kemana-mana dan
mempertahan fokus siswa.

Kesimpulan
Penerapan pembelajaran tentang politik dilakukan
dalam bentuk penyampaian materi di kelas dan simulasi
pemilihan OSIS, dimana sekolah SMA Galuh Handayani
menggunakan sistem demokrasi. Jadi pada praktek
pemilihan OSIS semua penyampaiannya ilmu dan praktek
politik tidak membedakan keterbatasan siswa. Meskipun
peran guru masih besar dalam terlaksananya kegiatan
demokrasi seperti memberikan gagasan, ide dan
sebagainnya. Kegiatan simulasi pemilihan OSISdiajarkan
cara memilih dan mengenali kandidat yang berkontestasi.
Siswa dan siswi berkebutuhan khusus sangat mudah
terpengaruh oleh lingkungan sekitar seperti teman,
tetangga dan sebagainnya. Namun guru-guru di sekolah
SMA Galuh Handayanimengajar mengajarkan siswanya agar
tidak mudah terpengaruh oleh lingkungan dengan caraguru-
guru disini menanamkan sikap percaya pada diri sendiri dan
juga untuk meminimalisir terjadinya intervensi dari pihak
lainnya ketika melaksanakan hak pilihnya nanti.
Peranan sekolah sangat penting dalam meminimalisir
terjadinya kesalahan yang hanya membuat siswa difabel
tidak percaya diri dan tidak mandiri.Seperti fenomena yang
terjadi disekolahan Galuh Handayani ini para guru-guru
menanamkan sikap percaya diri agar siswa-siwanya bisa
hidup mandiri untuk dirinya sedniri dan mengurangi
ketergantungannya kepada orang lain. Oleh karena itu guru-
guru tidak hanya memberikan sosialisasi ketika menjelang
pemilu akan tetapi jauh-jauh hari para pengajar
memberikan sosialisai mengenai perpolitiakan di
Indonesia.dalam penelitian tersebut apabila dikaitkan
dengan darwinisme sosial dapat dilihat bahwa di sekolah
Galuh Handayani Sendiri terutama kepada siswa yang
sebagai pemilih pemula tidak menerima pendekatan amal
atau mendapatkan praktik money politik yang berasal dari
para kandidat yang bertarung.
Pentingnya peran sekolah terhadap sosialisasi politik
untuk kelompok difabel juga menentukan pengetahuan dan
minat siswa disabilitas tentang politik Indonesia dan
penggunaan hak suara mereka dalam pemilu. Namun tidak
semua siswa dan siswi disabilitas yang merasakan atau
belum mendapatkan sosialisasi politik. Sekolah inklusi SMA
Galuh Handayani setidaknya telah berusaha untuk
mensosialisaikan pengetahuan politik sesuai dengan
penjelasan kepala sekolah menekankan dan
mensosialisasikan bagaimana politik yang sebenarnya agar
mereka (kelompok difabel) tidak dirugikan dan mudah
dipengaruhi pihak-pihak tertentu dalam menggunakan
suaranya. Seperti pelarangan adanya intervensi terhadap
pilihan masing masing anak, penolakan politik uang, dan
segala hal yang tidak benar dalam politik. Sehingga perlu
adanya peningkatan sosialisasi pengetahuan tentang politik
secara baik agar semua siswa dan siswi mereka mengerti
dengan sangat baik mengenai dunia politik.

DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2008. Teori


Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi Postmodern.
Bantul: Kreasi Wacana.

Pratiwi, L. Niniek. 2013. Pemberdayaan Masyarakat Dan


Perilaku Kesehatan (Teori dan Praktek).
Surabaya:Pusat Penerbitan dan percetakan unair
(AUP).

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT


Grasindo.

Suyanto, Bagong dan Amal Khusna. M. 2010. Anatomi dan


Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media
Publishing.

Students ’ Perspectives on Mock Elections as Political


Education. Jurnal of Social Science Education, 17(3),
63–74. (Online) (https://doi.org/10.4119/UNIBI/jsse)
Putra, A. A., Efendi, D., & Sanahdi, R. (2014). Kesadaran
Demokratis : Partisipasi Politik Kaum Difabel Dalam
Pilpres 2014 di Yogyakarta, Indonesia, 1–23. Retrieved
from
https://www.academia.edu/34467772/Kesadaran_Demok
ratis_Partisipasi_Politik_Kaum_Difabel_dalam_Pilpres_20
14_di_Yogyakarta_Indonesia

Riko Firman Andika, Piers Andreas Noak, B. (2018). Desa


bengkala dan pemenuhan hak politik dalam pemilu, 1–
15. (Online)
(https://media.neliti.com/media/publications/248001-
desa-bengkala-dan-pemenuhan-hak-politik-
c5b171d1.pdf). Diakses pada 15 April 2019

You might also like