Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum

Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

KEBIJAKAN FORMULASI KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ISTRI (MARITAL RAPE) BERBASIS


KEADILAN GENDER DI INDONESIA

Aldila Arumita Sari1, R.B. Sularto2


Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1-3, Kampus Peleburan, Semarang 50241
aldilamita47@gmail.com

ABSTRACT
Indonesian National Commission for Women in 2017 issued a report of 172 (totaling seventy two) cases of
Marital Rape Sex. Marital Rape is defined as an act of sexual violence against a wife which leads to acts of
rape, causing no sexual coercion. From the results of the author's research, the Criminal Code (KUHP) has
not been explicitly regulated. In the Criminal Code it is only like rape outside a sacred bond or marriage. This
can be seen as a gender bias because the wife does not have the right to get sexual violence from her
husband. The PKDRT Law is used in connection with rape in the family, but the imposition is not a
specification of the victim. In the Law the provisions of the victims of a person who lives in a household are
subject to the same sanctions except children because there is a weighting of 1/3 in the Criminal Code. Then it
is necessary to reform the criminal law of Marital Rape's criminal act itself. Making legal conception can be
done using a legal approach in other countries that regulate this Marital Rape. In preparing and printing the
work of the author using the Normative Juridical Research Methodology.
Keywords: Formulation Policy, Marital Rape, Gender Justice

ABSTRAK

Komnas Perempuan Indonesia pada tahun 2017 mengeluarkan laporan terdapat 172 (seratus tujuh puluh
dua) kasus mengenai Marital Rape. Marital Rape diartikan sebagai tindakan kekerasan seksual terhadap istri
yang mengarah pada tindakan pemerkosaan, sebab terdapat unsur-unsur pemaksaan seksual. Dari hasil
penelitian penulis, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara eksplisit. Dalam
KUHP hanya mengenal pemerkosaan di luar ikatan suci atau perkawinan. Hal ini terlihat bias gender karena
istri tidak mempunyai hak apabila mendapatkan kekerasan seksual dari suami. UU PKDRT mengatur terkait
tindak pidana pemerkosaan dalam keluarga, namun penjatuhan sanksi tidak terdapat spesifikasi korban.
Dalam Undang-Undang tersebut diatur korbannya seseorang yang tinggal dalam rumah tangga penjatuhan
sanksinya sama kecuali anak karena ada pemberatan 1/3 dalam KUHP. Maka perlu adanya pembaharuan
hukum pidana mengenai tindak pidana Marital Rape itu sendiri. Pembuatan konsepsi hukum dapat dilakukan
dengan menggunakan pendekatan perbandingan hukum di negara-negara lain yang mengatur tentang Marital
Rape ini. Dalam penyusunan dan penulisan karya ilmiah ini penulis menggunakan Metodologi Penelitian
Yuridis Normatif.

Kata kunci: Keadilan Gender; Kebijakan Formulasi; Marital Rape.

1
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
2 Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro

117
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

A. PENDAHULUAN kesenjangan antara ketentuan-ketentuan yang diatur


Hukum di suatu negara berbeda-beda. Setiap dalam undang-undang dengan realitas yang terjadi di
negara memiliki aturan hukum sendiri-sendiri untuk masyarakat.
mewujudkan keadaan aman tentram dan sejahtera. Faktor kendala dalam proses penegakan
Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum hukum kekerasan terhadap perempuan dan anak
pidana, sebagai salah satu upaya untuk mengatasi diakibatkan oleh dua faktor, yaitu tidak adanya
masalah sosial termasuk dalah bidang kebijakan laporan masyarakat (unreported) yang akan
penegakan hukum.(Arief, 2010) menghambat efektivitas proses penegakan hukum
Meminimalisir bahkan menghilangkan serta apabila laporan masyarakat tidak mendapatkan
perbuatan pidana merupakan salah satu tugas suatu penyelesaian secara tuntas (unsolved) dari aparat
hukum di negara tersebut. penegak hukum akan menimbulkan
Menurut catatan tahunan (catahu) 2018 data- ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses
data yang terkumpul yang berkaitan dengan penegakan hukum tersebut. (Chilmiati & Sularto,
kekerasan terhadap perempuan (KtP) yang paling 2014)
menonjol sama seperti tahun sebelumnya adalah Pembatasan-pembatasan peran perempuan
KDRT/RP (ranah personal) yang mencapai angka oleh budaya patriarki membuat perempuan
71% (9.609). Ranah pribadi paling banyak dilaporkan terdiskriminasi. Akibatnya, munculnya berbagai
dan tidak sedikit diantaranya mengalami kekerasan masalah sosial yang mendiskriminasikan kebebasan
seksual. Kekerasan seksual menjadi terbanyak perempuan. Indonesia adalah negara hukum, namun
kedua yang dilaporkan, dan menunjukkan rumah dan kenyataannya payung hukum sendiri belum mampu
relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi mengakomodasi berbagai permasalahan sosial
perempuan. Dari 2.969 jumlah kasus terdapat 172 tersebut. Penyebabnya, karena anggapan ranah
kasus mengenai marital rape. Karena negara perempuan masih dianggap terlalu domestik.
Indonesia masih kental budaya patriarki sehingga Sehingga penegakan hukum pun masih cukup lemah
istri enggan melapor. ( Catatan Tahunan Kekerasan dan tidak adil gender.
Terhadap Perempuan Komnas Perempuan 2018) Seperti apa yang telah di tegaskan di atas
Upaya penanganan kekerasan terhadap masih banyaknya kasus marital rape yang khususnya
perempuan dan anak terus dilakukan baik oleh dilakukan terhadap istri, bahwa problem marital rape
kelembagaan formal (pemerintah) maupun adalah problem kekerasan seksual terhadap istri
kelembagaan informal seperti LSM maupun yang mengarah pada tindakan pemerkosaan, sebab
Organisasi Masyarakat lainnya. Namun, hal yang terdapat unsur-unsur pemaksaan seksual. Dan ini
menjadi permasalahan adalah terjadinya berdampak yang cukup buruk terhadap istri baik

118
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

secara fisik maupun secara psikis maka seharusnnya penjatuhan sanksi pidana. Seperti spesifikasi
mendapat perlindungan baik dari masyarakat terhadap korban istri (marital rape) menurut teori
maupun dari aparat pemerintah yang terkait. Kita nurture yang dengan adanya konstruksi sosiak
ketahui belum adanya pengaturan mengenai menempatkan perempuan stratanya lebih rendah
permasalahan marital rape di Indonesia secara jelas. dari laki-laki maka dari itu adanya perkawinan
Maka perlu adanya pembaharuan hukum pidana tersebut dan masih melekatnya budaya Indonesia
mengenai marital rape itu sendiri. Berkaitan dengan yang patriarki yang menempatkan istri sebagai
pembaruan hukum pidana tersebut, Barda Nawawi stratanya lebih rendah dari suami. Hubungan seksual
Arief menyatakan: Makna dan hakikat pembaruan antara suami istri di anggap wajar yang di lakukan
hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang berulang-ulang selama ikatan perkawinan terjadi
dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana sehingga pemerkosaan yang dilakukan oleh suami
itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya termasuk ranah domestik rumah tangga maka
pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek masyarakat luas melihat hal tersebut pertengkaran
sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari yang wajar bukan suatu kejahatan. Hal ini berbeda
berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan dengan ikatan antara majikan dan pembantu dan
sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan juga ipar dan mertua. Perbedaannya tidak terikat
hukum). (Arief, 2011) dalam ikatan perkawinan jadi perbuatan tersebut
Tidak adanya pengaturan kekerasan seksual dinilai tidak wajar bagi masyarakat umum dan tidak
dalam rumah tangga di dalam KUHP. Pengaturan lebih rentan di lakukan secara berulang-ulang
mengenai kekerasan seksual dalam rumah tangga di berbeda apabila dalam ikatan perkawinan yang
Indonesia terdapat pada Undang-Undang dinilai hubungan suami istri adalah kewajiban bagi
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga setiap pasangan yang menikah. Apabila korbannya
terdapat pengaturan mengenai kekerasan seksual anak sudah ada pengaturan secara khusus
dalam rumah tangga dalam Pasal 8 dan sanksi mengenai hal tersebut.
pidana nya pada Pasal 46. Pasal 8 masih sangat Menurut Satjipto Rahardjo prinsip hukum
luas dikarenakan korban yang dimaksud dalam Pasal adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya, dan
tersebut adalah semua orang yang menetap di hukum tidak untuk diri sendiri, melainkan untuk
rumah tersebut seperti anak, anak angkat, sesuatu yang lebih luas, yaitu harga diri manusia,
suami/istri, mertua ipar dan pembantu rumah tangga, kebahagiaan, kesejahterahan dan kemuliaan
hal ini terlihat belum adanya spesifikasi korban dalam manusia. (Rahardjo, 2006)
menentukan penjatuhan sanksi pidana. Harus Identifikasi masalah yang penulis akan bahas
adanya spesifikasi korban yang berdampak pada adalah berkaitan dengan kekerasan seksual dalam

119
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

rumah tangga yang spesifikasi korbannya adalah istri Menurut Mansor Faqih gender related violence
(marital rape). Berdasarkan latar belakang tersebut, kekerasan yang disebabkan oleh bias gender.
maka rumusan masalahnya mengenai Apakah Kekerasan atas nama gender ini seringkali di
kebijakan formulasi marital rape di indonesia bias sebabkan oleh ketidaksetaraan kekuatan yang ada
gender, bagaimana kebijakan formulasi marital rape dalam masyarakat atau keluarga. Beberapa contoh
yang berkeadilan gender. Tujuan dari penelitian ini kekerasan gender di antaranya : pemerkosaan
adalah mengetahui apakah kebijakan di Indonesia perempuan, tindakan kekerasan fisik dalam rumah
sudah tepat dan tidak bias gender dan merumuskan tangga (domestic violence).( Fanani,2014)
bagaimana suatu kebijakan yang tepat dan Bias gender itu berkorelasi dengan kekerasan
berkeadilan gender dalam tindak pidana marital rape. dalam rumah tangga. Dari beberapa kajian literatur,
B. PEMBAHASAN istilah bias gender merujuk pada pandangan tentang
1.Kebijakan Formulasi Marital Rape Di Indonesia maskulinisme dan feminimisme bahwa laki‐laki dan
Tindak pidana perkosaan adalah salah satu perempuan memiliki perbedaan mengenai diri atau
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang identitas mereka masing‐masing. Teori individualis
merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, mengatakan bahwa perilaku agresi dan kekerasan
utamanya terhadap kepentingan seksual laki- laki. dipelajari dari karakteristik maskulin seorang laki‐laki.
Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan Dengan melakukan kekerasan dalam rumah tangga
korban tindak pidana perkosaan baik melalui proses laki‐laki merasa menunjukan jati dirinya sebagai laki‐
peradilan pidana maupun melalui sarana kepedulian laki sejati. (Asmarany,2008) Berbicara mengenai
sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu marital rape di Indonesia, berarti juga berbicara
dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan hukum yang berlaku di Indonesia.
kebijakan- kebijakan sosial, baik oleh lembaga Prinsip-prinsip yang harus di muat dalam suatu
eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun lembaga- aturan hukum yang bersepektif Ham dan keadilan
lembaga sosial lainnya. (Wedani, 2015) serta kesetaraan gender, yaitu: (Komisi Anti
Marital rape adalah istri yang beroleh tindak Kekerasan Terhadap Perempuan,2014)
kekerasan seksual suami dalam sebuah perkawinan Yaitu, persamaan substantive (substantive
atau rumah tangga. Dengan demikian, marital rape Equality),3Non-Diskriminasi,4 Integritas tubuh (Body
merupakan tindak kekerasan atau pemaksaan yang
dilakukan oleh suami terhadap istri untuk melakukan
aktivitas seksual tanpa mempertimbangkan kondisi 3Menekankan pentingnya kesetaraan gender secara substansial
istri.( Maria, 2007) bukan lagi sekedar formalitas.
4 Tidak ada pembedaan berdasarkan jenis kelamin dalam setiap

kebijakan dan tindakan negara termasuk dalam pemenuhan hak


korban.

120
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Integegritu),5 Kedirian (Persohood),6 Keberagaman alasan pemerkosaan. Jikapun ada, perkaranya akan
(Diversity).7 dianggap dan di proses sebagai penganiyaan bukan
Berikut penulis paparkan mengenai hukum yang pemerkosaan.
berlaku di Indonesia. Berbagai produk hukum di Indonesia, secara
a. Kitab Undang-undang substansi, selalu didominasi dan lebih berpihak pada
Pasal 285 sampai 287 adalah pengaturan kepentingan laki-laki. Standar yang digunakan untuk
pemaksaan bersetubuh dalam luar perkawinan dan mengatakan: apakah suatu perbuatan melanggar
pasal 287 juga membahas tentang korban hukum atau tidak, juga standar laki-laki. Seakan-
persetubuhan di bawah umur. Pasal 288 membahas akan, jenis kelamin hukum di Indonesia adalah laki-
mengenai pemaksaan persetubuhan di dalam laki. Keberpihakan hukum terhadap laki-laki itu,
perkawian namun di jelaskan apabila korban di sangat terlihat dalam Hukum Positif (hukum yang
bawah umur dan menyebab kan luka-luka. Dalam berlaku) di Indonesia.(Harahap, 2003)
KUHP tindak ada pengaturan mengenai b. Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2004 Tentang
pemerkosaan atau pemaksaan persetubuhan dalam Penghapusan Kekersan Dalam Rumah Tangga
perkawinan secara luas hanya di bahas apabila (UUPKDRT)
korban di bawah umur dan menyebabkan luka-luka. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
Karena pengaturan pemaksaan persetubuhan hanya Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
di atur di luar perkawinan, maka pemaksaan Tangga (UUPKDRT) membahas mengenai
hubungan di dalam perkawinan tidak di pidana. Bagi pengaturan kekerasan dalam rumah tangga adalah
KUHP, yang disebut pemerkosaan hanyalah pemaksaan hubungan seksual yang di lakukan
pemaksaan hubungan seksual pada perempuan terhahap orang yang tinggal dalam lingkup rumah
bukan istri. Karena hal tersebut maka istri tidak bisa tangga tersebut “pemaksaan hubungan seksual yang
mengadukan sang suami ke pengadilan dengan dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga” dan sudah ada pengaturan
5 Bentuk-bentuk perlindungan ham atas tubuh manusia yang
secara fisik dan psikologis harus di hormati sesuai martabat pemidanaanya. namun pengaturan pasal ini sangat
kemanusiaan, hak utama integritas,kebebasan dan kesetaraan luas sekali karena pasal tersebut tidak
status semua manusia.
6 Setiap individu mempunyai hak menentukan dirinya sendiri
mengklasifikasikan korbannya anak, istri-suami, atau
dan memperoleh perlakuan secara individual dan bersifat
khusus, sesuai kebutuhan dirinya sendiri sebagai subjek hukum pembantu rumah tangga. Hanya tujuanlah sebagai
untuk didengar diikuti keinginannya, ditumbuhkan
pengetahuannya tentang hak dan kewajiban di dalam hukum. pembeda klasifikasi sebuah perbuatan tersebut.
7
Asas ini memberi makna tentang pengakuan dan pengukuhan
bahwa pelaksanaan hak asasi manusia harus dijalankan
Untuk pasal 8a tidak ada tujuan hanya ada
dengan tetap menghormati dan mengharagi realitas pemaksaan persetubuhan saja sedangkan 8b
keberagaman dan perbedaan atas nama budaya, agama, status
sosial, status pendidikan, ekonomi dan orientasi seksual. mempunyai tujuan “tujuan komersial dan/atau tujuan

121
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

tertentu.” Hanya hal ini sebagai klasifikasi pembeda masyarakat atau keluarga. Beberapa contoh
untuk pemidanaan nya. Klasifikasi korban dalam kekerasan gender di antaranya: pemerkosaan
penjatuhan pemidanaan di perundang-undangan ini perempuan, tindakan kekerasan fisik dalam rumah
tidak ada. Penanganan permasalahan kekerasan tangga (domestic violence). (Fanani ,2014) Menurut
seksual yang korbannya anak, istri, saudara dan penulis adanya marital rape karena dominannya
pekerja rumah tangga sangat berbeda-beda maka kekuasaan laki-laki dari pada perempuan. Karena
dari itu, menurut saya, pengaturan ini kurang melihat melihat dari budaya Indonesia sendriri marital rape
terhadap korban dari pemaksaan hubungan seksual membuat seolah-olah istri pelayan suami atau milik
yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam suami ketika sudah menikah karena menepatkan
lingkup rumah tangga tersebut. Budaya patriarki dan laki-laki yang sudah menikah drajatnya di atas
teori nurture ini sendiri yang membuat posisi perempuan yang sudah menikah.
perempuan di bawah laki-laki, maka perempuan Putusan pengadilan adalah tahap aplikasi dari
memiliki ketergantungan terhadap laki-laki. Alasan tahap-tahap penegakan hukum pidana, dalam
penulis mempunyai ide adanya spesifiksai terhadap membuat putusan seorang hakim harus melihat
kekerasan seksual yang korban nya istri dan dasar hukum yang berlaku. Putusan Nomor:
pelakunya suami, dengan adanya suatu perkawinan 912/Pid/B/2011/PN.Bgl dan Putusan Nomor: 899/
antara suami istri tersebut dan budaya Indonesia Pid.Sus/2014/PN Dps hakim dalam membuat
yang masih kental dengan patriarki yang di analisis putusan marital rape menggunakan pengaturan
dengan teori nurture menepatkan istri sebagai marital rape terdapat Undang-undang No.23 tahun
pelayan kebutuhan suami sehingga kekerasan 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
seksual yang di lakukan oleh suami ke istri di anggap Rumah Tangga.
sesuatu yang wajar dan perbuatan tersebut rentan di Menurut penulis dalam kasus marital rape ini
lakukan secara berulang-ulang selama ikatan harus adanya pemberatan penjatuhan pidana karena
perkawinan terjadi. dalam budaya Indonesia yang patriarki ini
c. Putusan Pengadilan Marital Rape Di Indonesia menepatkan suami sebagai kepala rumah tangga
Penulis mengelompokkan Marital Rape yang seharusnya melindungi. Adanya pemberatan
termasuk manifestasi ketidakadilan gender termasuk penjatuhan pidana ini bertujuan membuka
dalam “gender related violence”. Menurut Mansor masyarakat bahwa marital rape termasuk kejahatan
Faqih gender related violence kekerasan yang dan perbuatan tersebut salah di lakukan. Apalagi
disebabkan oleh bias gender. Kekerasan atas nama karena budaya patriarki ini membuat perempuan
gender ini seringkali di sebabkan oleh yang sudah menikah menjadi ketergantungan
ketidaksetaraan kekuatan yang ada dalam terhadap suami maka rentan marital rape tersebut di

122
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

lakukan secara berulang-ulang hal ini yang penulis bahwa marital rape adalah perbuatan berlanjut. Bias
tekankan perlunya adanya pemberatan. Dalam gender dalam putusan pengadilan di atas adalah
perspektif kriminologi tentang maslah kejahatan hal ketika pertimbangan hakim tidak menempatkan
ini masuk dalam Macrotheories. marital rape sebagai perbuatan rentan yang terjadi
Macrotheories adalah teori-teori yang berulang atau perbuatan berlanjut, maka dalam
menjelaskan kejahatan dipandang dari segi struktur putusan tersebut hakim tidak menjunctokan
sosial dan dampaknya. Dalam hal ini melihat penjatuhan sanksi marital rape dengan KUHP Pasal
tepatnya karena dalam konteks hubungan social,laki- 65 mengenai perbuatan berlanjut sehingga
laki dan perempuan tidak menepati kedudukan penjatuhan sanksi pidana tersebut dapat di perberat.
setara dala hirarki social, terdapat bentuk 2. Kebijakan Formulasi Marital rape di Beberapa
diskriminasi structural yang terungkap dalam Negara
hubungan kerja, dan yang lebih penting dalam a. Pengaturan Marital Rape Di Philipina
lingkup kerja.( Kristiani, 2014) Republic Act No. 8353 September 30, 1997 An
Teori macrotheories di dukung dengan Act Expanding The Definition Of The Crime Of Rape,
pengelompokan yang penulis telah di jelaskan di atas Reclassifying The Same As A Crime Against
yaitu marital rape termasuk “gender related violence”. Persons, Amending For The Purpose Act No. 3815,
Marital rape di sebabkan karena budaya patriarki As Amended, Otherwise Known As The Revised
yang menganggap apabila suami istri menikah maka, Penal Code, And For Other Purposes. Pasal 226-B
istri atau perempuan tersebut menjadi milik suami pelaku pemerkosaan hukumannya adalah “Reclusión
atau istri menjadi pelayan suami. Konsep patriarki perpetua”.8 Dalam keadaan tertentu di atas di
menempatkan perempuan sebagai bumi yang sebutkan dapat menjadi hukuman mati.
memberi. Keangkuahan patriaki menyimbolkan alam Hukum Filipina, tahanan dilarang hidup dari
sebagai ibu pertiwi. Menempatkan ibu dalam hal ini memegang jabatan politik, jadi pelaku pemerkosaan
perempuan yang selalu memberi tanpa dirawat tidak boleh memegang jabatan politik. Lalu apabila
kembali atau tidak ada timbal baliknya. pelaku terkena HIV dan juga pelaku menyebabkan
Menurut penulis, marital rape adalah cacat fisik mendapat hukuman mati. Pasal 226-C
perbuatan yang berlanjut, dengan adanya budaya tersebut menjelaskan apabila suami sebagai pelaku
patriarki di Indonesia menempatkan bahwa istri dan istri sebagai korban. apabila suami mendapatkan
adalah pelayan suami, dan di perkuat dengan Pasal pengampunan dari istri, maka pidananya di
285 KUHP ini mensyiratkan bahwa istri tidak dapat hapuskan. Dan apabila pernikahan batal demi
melapor apabila terjadi kekerasan seksual yang di
lakukan oleh suami. Penulis dapat menyimpulkan
8 Tahanan dilarang hidup dengan memegang jabatan politik.

123
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

hukum, maka pemidanaan tersebut tidak dapat di jatuhi pidana hal ini termasuk pemenuhan hak warga
hapuskan. negaranya, persamaan substantive, integritas tubuh,
Kebijakan tersebut termasuk keadilan gender bentuk-bentuk perlindungan ham atas tubuh
karena menerapkan prinsip non diskriminatif, sama di manusia, kedirian,kebebasan individu menentukan
mata hukum, jadi pemerkosaan yang di lakukan di dirinya sendiri karena di ketahuhi manusia di lahirkan
luar perkawinan dan di dalam perkawinan dapat di merdeka keberagaman dan kewajiban negara dari
jatuhi pidana hal ini termasuk pemenuhan hak warga kenakan penjatuhan pemidanaan terhadap suami
negaranya.integritas tubuh, kedirian, keberagaman yang melakukan pemaksaan hubungan suami istri
dan kewajiban negara dari kenakan penjatuhan pada masa idah.
pemidanaan terhadap suami yang melakukan marital c. Pengaturan Marital Rape Di Korea
rape. Apabila cacat fisik atau suami HIV di jatuhkan Penal Code korea mengatur pemerkosaan
hukuman mati hal tersebut terlihat prinsip integritas secara umum Pasal 297 SAMPAI 298 sedangkan,
tubuh. Act On Special Cases Concerning The Punishment,
b. Pengaturan Marital Rape Di Malaysia Etc. Of Sexual Crimes. Chapter I General Provisions
Penal Code Of Malaysia Merujuk pada pasal ini pengaturan secara khususnya di lihat dari
375 KUHP, sebelum amandemen pada tahun 1989 penjatuhan pemidanaannya lebih besar penjatuhan
kode itu diam tentang pembebasan perkawinan pemidanaan dalam Special Cases Concerning The
dalam perkosaan. Yang paling dekat untuk Punishment, Etc. Of Sexual Crimes. Chapter I
menyentuh masalah itu adalah pengecualiannya, General Provisions. Pada Pasal 5 “Rape,etc. through
Malaysia pemerkosaan suami terhadap istri abuse of consanguineous or Marital Relationship :”
atau yang di sebut “Marital Rape” ini tidak ada. Di Yang artinya adalah Pemerkosaan, melalui
anggap pemerkosaan apabila sudah ada keputusan penyalahgunaan Hubungan kerabat atau Hubungan
pemisahan dari pengadilan. Sedangkan untuk Pernikahan, jadi pengaturan ini mengenai
muslim di malaysia setelah talak 3 kali yang dalam pemerkosaan yang dalam ranah hubungan pertalian
masa iddah walaupun belum ada putusan dari seperti perkawinan dan kerabat atau saudara.
pengadilan apabila suami memaksa hubungan suami Setelah penulis menganalisis Undang-udang di
istri maka, dapat di katakan pemerkosaan atau negara lain yang mengatur mengenai marital rape ini
kekerasan seksual.( Aziz, 2004) penulis mempunyai ide pembaharuan dalam
Kebijakan tersebut termasuk keadilan gender pengaturan marital rape di Indonesia. Yaitu ada
karena menerapkan prinsip non diskriminatif sama di spesifikasi korban istri dalam kekerasan seksual
mata hukum, jadi pemerkosaan yang di lakukan di dalam rumah tangga yang berada di Undang-Undang
luar perkawinan dan di dalam perkawinan dapat di No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan

124
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Dalam Rumah Tangga, dilihat dari korbannya karena yang di tetapkan pengadilan, korban melakukan
seorang istri lebih rentan di lakukan berulang-ulang perceraian melalui jalan pintas. Jalan pintas yang di
dan juga karena kontruksi social dan buaya patriarki maksud hanya pengalihan berkas terhadap panitera,
di indonesi seolah-olah istri pelayan suami termasuk korban mengisi formulir apakah ingin bercerai atau
urusan seksual tersebut jadi, seolah-olah istri tidak tidak apabila ingin bercerai panitera menstransfer
mempunyai hak untuk menolak dan pemaksaan berkas non muslim panitera pidana akan
hubungan seksual tersebut seperti yang penulis menstransfer berkas ke panitera perdata untuk
katakan di atas lebih rentan di lakukan secara mengeluarkan putusan cerai, jika yang bercerai
berulang-ulang, serta apabila suami menjadi muslim panitrea pidana pengadilan negeri
pemimpin dalam tumah tangga seharusnya menstranfer berkas terhadap panitera pengadilan
melindungi tidak menyakiti. Berbeda dengan putusan agama. Hal tersebut mengurangi beban dan trauma
pengadilan di atas yang menurut penulis kurang adil. korban dan dapat membantu pemulihan korban dari
Penulis mempunyai ide pembaharuan yang trumanya.
lain itu, apabila di ketahui suami mempunyai penyakit Di Malaysia di atur mengenai umat muslim
HIV memaksa istri melakukan hubungan seksual tentang iddah. Di Indonesia juga dapat di atur karena
tanpa memberitahu istri maka, suami di perberat lagi mengingan negara kita mempunyai 6 agama yang di
penjatuhan pidananya karena dapat menular akui, dan mayoritas adalah agama islam. Dapat di
terhadap sang istri dan membahayakan sang istri, letakan di sana pengaturan mengenai iddah. Dalam
terlebih lagi apabila sang istri hamil atau sedang umat muslim iddah adalah masa tunggu setelah
menyusui, anak tersebut akan tertular. Hal ini dapat perceraian dan dalam umat muslim juga apabila
merusak generasi penerus angsa yang masih suami melakukan pemaksaan hubungan seksual
mempunyai masa depan yang panjang. terhadap istri dalam di kategorikan marital rape,
Putusan pidana pengadilan dalam sebagai karena belum adanya putusan dari pengadilan
alasan pengajuan perceraian, dalam kasus ini namun secara muslim mereka telah bercerai.
penulis mempunyai ide apabila penjatuhan pidana Paparan di atas adalalah ide pembaharuan
mengenai marital rape korban ingin melakukan hukum pidana mengenai marital rape hukum selalu
perceraian dengan pelaku atau suami korban hanya berkembang mengikuti perkembangan tingkah laku
perlu mengisi formulir dari pengadilan negeri, lalu masyarakat, maka dari itu pembaharuan hukum
formulis tersebut di transfer terhadap panitera yang sangat perlu di karenakan pola pikir dan masa
menangani perceraian di pengadilan negeri maupun masyarakat selalu berjalan tidak berhenti begitu pula
pengadilan agama, jadi korban tidak perlu melakukan dengan hukum harus berkembang seiring
sidang perceraian ulang dan mengikuti prosedur

125
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

perkembangan kehidupan masyarakat untuk rape tersebut termasuk pkejahatan yang rentan di
mencapai keamanan dan kesejahterahan bersama. lakukan secara berulang-ulang.
C. SIMPULAN Pengaturan marital rape ini di tempatkan
Hubungan seksual dalam suatu ikatan dalam klasifikasi penganiyayaan bukan
perkawinan membuat marital rape termasuk asing di pemerkosaan, penganiyayaan sangat berbeda
kalangan masyarakat. Kitab Undang-undang Hukum perlakuan pelaku terhadap korban. Penjatuhan
Pidana (KUHP) merupakan salah satu dasar hukum sanksi pidana penganiyayaan dan pemerkosaan juga
di Indonesia yang mengatur hukum pidana materiil, lebih ringan, Konsep KUHP bias gender. Pada Juli
sedangkan pengaturan marital rape belum ada di 2018 Rancangan Konsep KUHP mempunyai
dalam KUHP, dalam KUHP hanya mengenal rancangan mengenai kekerasan seksual sama
pemerkosaan di luar ikatan suci yang disebut dengan UUPKDRT , sedangkan Indonesia berlaku
perkawinan hal ini terlihat bias gender dalam KUHP lex spesialis derogate legi generalis yang
pengaturan marital rape karena istri tidak mempunyai menggunakan aturan khusus dan mengesampingkan
hak apabila mendapatkan kekerasan seksual dari aturan umum, apabila sama bunyinya tetap
suami. Dalam UU PKDRT namun dalam perundang- menggunakan aturan khusus yaitu UU PKDRT
undangan ini penjatuhan sanksi tidak ada spesifikasi Penulis membuat perbandingan perundang-
korban, jadi korbannya seseorang yang tinggal dalam undangan mengenai marital rape dengan negara
rumah tangga penjatuhan sanksinya sama kecuali Thailand, Malaysia dan Korea sehingga penulis
anak karena ada pemberatan 1/3 dalam KUHP. mempunyai ide pembaharuan pidana dalam rumusan
Menurut penulis spesifikasi korban menentukan kedua adalah pemberatan pemidanaan terhadap
penjatuhan sanksi pidana. Seperti contoh apabila istri marital rape. Pemberatan pidana apabila pelaku
apabila mendapatkan kekerasan seksual dari suami terjangkit HIV, masa idah atau proses menunggu
karena budaya patriarki menepatkan istri lebih perceraian apabila ada kekerasan seksual dapat di
rendah dan sebagai pelayan suami, maka kekerasan golongkan marital rape dan juga perceraian tanpa
dalam rumah tangga ini rentan di lakukan berulang- melalui proses perceraian seperti ketentuan dalam
ulang. Ini menjelaskan bahwa UUPKDRT bias Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
gender. Putusan Pengadilan Negeri Bangil, Pasuruan Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
dan Pengadilan Negeri Denpasar, Bali engenai Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan apabila
marital rape ini menurut penulis bias gender karena alasan perceraian adanya marital rape.
tidak men-Jucto-kan terhadap Pasal 65 KUHP
Perbuatan berlanjut karena menurut penulis marital

126
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2019 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

DAFTAR PUSTAKA On Malaysia Law And Common Law, Jurnal


Buku Akademik Uitm Cawangan Johor, vol.4,(no.1),
Fanani, Ahmad Z. (2014). Berfilsafat Dalam Putusan p.74.
Hakim (Teori Dan Praktik). Bandung: CV. Wedani, Ni Putu A.M., & Dananjaya, Nyoman S.
Mandar Maju. (2015). Perlindungan Korban Tindak Pidana
Maria, M. (2007). Marital Rape, Kekerasan Suami Perkosaan Selama Proses Peradilan Pidana.
Terhadap Istri. Yogyakarta: Pustaka Jurnal Magister Hukum Udayana Vol 3,( No 2)
Pesantren. ,p.3.
Arief, Barda N. (2011). Bunga Rampai Kebijakan Chilmiati, N., & Sularto, RB. (2014). Kebijakan
Hukum Pidana. Jakarta: Kencana Advokasi Terhadap Perempuan Dan Anak
Arief, Barda N. (2010). Kebijakan Legislatif Aalam Berbasis Perlindungan Korban Kekerasan.
Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Jurnal Law Reform Vol.9, (no.2), p. 111.
Penjara. Yogyakarta: Genta Publishing.
Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
(2014). Mewujudkan Perlindungan Hak-hak
Perempuan Korban dalam Kebijakan:
Himpuan Kertas Posisi dan Kajian diri
Berbagai Kebijakan Tahun 2010-2013.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Rahardjo, S. (2006). Membedah Hukum Progresif.
Jakarta: Kompas
Jurnal
Asmarany, Anugriaty I. (2008). Bias Gender Sebagai
Prediktor Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Jurnal Psikologi Vol 35, (No. 1) ,p. 4.
Kristiani, Ni Made D. (2014). Kejahatan Kekerasan
Seksual (Perkosaan) Ditinjau Dari Perspektif
Kriminologi. Jurnal Magister Udayana,Vol.7
(No.3) , p.376.
Harahap, Z. (2003). Menggugat Hukum yang Bias
Gender. Jurnal Hukum, vol 10, (No.22) ,p. 90
Aziz, Norazlina Bt A. (2004). Marital Rape : A View

127

You might also like