Professional Documents
Culture Documents
Artikel Stunting PDF
Artikel Stunting PDF
Abstract: One of the risk factors of stunting is protein intake inadequacy, and can be seen from the
amino acid intake. Objective the research to compare amino acid intake in stunting and non-stunting
children in the area of Puskesmas Kedungkandang Malang. Methods: Observational study with case-
control design with purposive sampling method. Instruments including sociodemographic question-
naire and anthropometric measurements included body weight and height or length of the children.
Children’s dietary history was collected through a semi-quantitative food frequency questionnaire.
Data analysis using independent sample t-test and logistic regression with the SPSS for Windows.
Results: Based on the field measurements, 23 stunted children became case group and 57 non-stunted
became control group. Compared to WHO 2007 standard, 7 of 9 essential amino acids (EAA) intake in
the case group were inadequate (p<0.05). Control group lacked 3 out of 9 EAA, namely leucine, lysine,
and valine (p<0.05). Conclusion: Stunted children may receive less EAA intake compared to non-
stunted children
Abstrak: Salah satu faktor risiko stunting adalah asupan protein yang kurang memadai, yang dapat
dilihat dari jumlah asupan asam amino. Tujuan penelitian ini membandingkan asupan asam amino
pada kelompok balita stunting dan tidak stunting di wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang Malang.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kasus-kontrol dan metode purposive sampling.
Instrumen penelitian termasuk kuesioner sosiodemografi dan pengukuran antropometri meliputi berat
badan dan tinggi atau panjang badan balita. Asupan makan balita dikumpulkan melalui metode semi-
quantitative food frequency questionnaire. Analisis data menggunakan independent sample t-test dan
regresi logistik dengan program SPSS for Windows. Hasil: Berdasarkan pengukuran di lapangan, 23
balita stunting menjadi kelompok kasus dan 57 balita normal menjadi kelompok kontrol. Dibandingkan
dengan kebutuhan WHO 2007, asupan 7 dari 9 asam amino esensial (AAE) pada kelompok kasus tidak
terpenuhi (p<0.05). Sedangkan balita tidak stunting kekurangan 3 dari 9 AAE, yaitu leusin, lisin, dan
valin (p<0.05). Kesimpulan: Balita stunting kurang mendapat asupan AAE dibandingkan dengan
balita tidak stunting.
Tabel 2. Perbandingan Jumlah Asupan Asam Amino Esensial antara Rekomendasi WHO,
Kelompok Kasus (n=23), dan Kelompok Kontrol (n=57)
sangat signifikan (p<0.001). Rerata indeks BB/ bahwa asupan AA leusin, lisin dan valin di
U (-2.21±1.08) dan TB/U (-3.08±1.02) kelompok kontrol juga lebih rendah secara
menunjukkan bahwa balita di kelompok kasus signifikan daripada rekomendasi WHO
berada di kategori underweight (<-2 SD) dan (p=0.002, p=0.048, dan p=0.014, masing-
severe stunted (<-3SD). masing).
Untuk tingkat konsumsi protein, seluruh
responden di kelompok kasus dan sebagian PEMBAHASAN
besar kelompok kontrol memiliki tingkat Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
konsumsi lebih dari rekomendasi Angka perbandingan asupan asam amino esensial pada
Kecukupan Gizi (120% Angka Kecukupan kelompok balita stunting dan tidak stunting di
Protein) (p=0.030) wilayah kerja Puskesmas Kedungkandang
Jumlah asupan AAE di kelompok kasus dan Malang. Hasil dari penelitian ini adalah balita
kontrol juga dibandingkan dengan rekomendasi stunting mengalami kekurangan tujuh asam amino
WHO 2007 (Tabel 2). Diantara sembilan AAE, esensial daripada kebutuhan menurut WHO.
mean asupan asam amino aromatik (AAA) dan Sedangkan balita tidak stunting atau normal
AAE triptofan tidak berbeda secara signifikan kekurangan tiga asam amino esensial dalam
dengan rekomendasi WHO (p=0.135, p=0.057, dietnya.
masing-masing). Sementara tujuh AAE lainnya Definisi operasional dari kecukupan jumlah
berbeda secara signifikan yang ditunjukkan oleh protein dari diet adalah berdasarkan pada
p-value <0.05 dari analisis ANOVA. Dari hasil keseimbangan nitrogen di dalam tubuh, yang
tes post-hoc menggunakan Tukey, diketahui kemudian dijadikan sebagai dasar untuk
bahwa kelompok kasus memiliki asupan tujuh penghitungan angka kebutuhan dan penetapan
AAE yang lebih rendah secara signifikan daripada rekomendasi asupan protein (WHO, 2007).
rekomendasi WHO. Selain itu, ditemukan pula Akan tetapi, protein dan asam amino juga
memiliki peran lain yang berdampak kepada stunting di negara berkembang adalah meskipun
kesehatan. Salah satu contoh dari peran lain pro- tampaknya anak-anak tersebut memiliki asupan
tein adalah sebagai regulator hormon-hormon protein yang adekuat, tetapi terdapat masalah-
pertumbuhan dan sekresi IGF-1 yang masalah di balik itu yang dapat membuat mereka
berpengaruh terhadap proses anabolisme dan jatuh ke dalam resiko kekurangan zat gizi pro-
pertumbuhan linier. Hal ini dapat berpengaruh tein. Pertama, ketidakmampuan tubuh untuk
terhadap estimasi kebutuhan protein yang mencerna, termasuk menyerap dan menyimpan
berbeda dengan ketetapan yang telah dibuat asam amino esensial dari makanan, sehingga
berdasarkan pada keseimbangan nitrogen yang dapat menurunkan keefektivan protein yang
berhubungan dengan pertumbuhan tubuh (WHO, terdapat di dalam tubuh – sehingga menyebabkan
2007). overestimasi angka kebutuhan protein dari
Bukti-bukti yang terdapat saat ini makanan. Kedua, perhitungan kebutuhan anak-
mengindikasikan bahwa kualitas dan kuantitas anak akan protein yang kurang sesuai.
protein diet mempengaruhi produksi hormon Kebutuhan protein dan asam amino saat ini tidak
pertumbuhan, yang selanjutnya berpengaruh memperhitungkan kebutuhan tambahan saat ada
terhadap pertumbuhan linier. Asupan protein yang defisit energi dan infeksi, ditambah lagi dengan
adekuat pada masa kecil / bayi telah terbukti fungsi pencernaan dan penyerapan yang kurang
dapat menstimulasi pertumbuhan awal dan juga optimal (Uauy, 2016).
berhubungan dengan berat dan tinggi badan Penelitian Semba (2016) menyebutkan
nantinya. Saat ini, belum ada perhatian lebih lanjut bahwa anak stunting memiliki kadar serum 9
terhadap peran potensial dari asam amino baik (sembilan) asam amino esensial (triptofan,
esensial maupun non-esensial dalam kaitannya isoleusin, leusin, valine, metionin, threonin, histidin,
dengan respon hormonal yang berhubungan fenilalanin, lisin) yang lebih rendah daripada anak
dengan pertumbuhan linier, maupun terhadap dengan pertumbuhan normal. Selain itu, kadar
organ-organ tubuh yang spesifik membutuhkan asam amino kondisional (arginin, glisin, glutamin)
protein dan asam amino dalam menjalankan dan non esensial (asparagin, glutamat, serin) juga
fungsinya (Suhardjo, 1992). lebih rendah secara signifikan pada anak stunt-
Bahan makanan yang memiliki komposisi ing daripada anak normal.
asam amino yang tepat dan dapat dicerna dengan
baik oleh tubuh dapat dikatakan memiliki kualitas KESIMPULAN
protein yang tinggi. Bahan makanan yang berasal Di area kerja Puskesmas Kedungkandang
dari sumber hewani memiliki nilai total dan utilisasi Malang, menurut standar kebutuhan asam amino
protein yang lebih tinggi dan hampir mirip satu esensial dari WHO, balita dengan tinggi badan
dan yang lainnya, apabila dibandingkan dengan normal kekurangan 3 dari 9 kebutuhan asam
bahan makanan lain yang memiliki komposisi amino esensial, yaitu leusin, lisin, dan valin.
asam amino esensial yang sedikit serta sulit untuk Sedangkan balita stunting kekurangan 7 dari 9
dicerna, seperti biji-bijian (Winarno, 2004). asam amino esensial pada dietnya.
Penelitian tentang penilaian kualitas dan
kuantitas protein untuk pertumbuhan linier telah SARAN
banyak diinvestigasi di negara-negara maju.
Perlu penelitian lanjutan dengan jumlah
Tetapi lain halnya dengan di negara-negara
sampel yang lebih banyak dan wilayah penelitian
berkembang. Alasan mengapa banyak kejadian
yang lebih luas, agar mendapatkan gambaran
yang lebih besar dan sampel yang heterogen. Semba RD, Shardell M, Ashour FA, et al. (2016)
Perlu diadakan refreshing kader tentang cara Child stunting is associated with low circu-
mengukur tinggi badan anak agar tidak terjadi lating essential amino acids. EBio Medi-
kesalahan interpretasi data, terutama status gizi cine.6:246-52.
usia balita Suhardjo C. (1992). Prinsip-prinsip ilmu gizi.
Perlu diadakan penyuluhan kepada Yogyakarta: Kanisius.78-83
masyarakat, terutama ibu balita, tentang Uauy R, Suri DJ, Ghosh S, Kurpad A,
pentingnya konsumsi makanan beraneka ragam Rosenberg IH.(2016). Low circulating
karena kebutuhan zat gizi tidak dapat terpenuhi amino acids and protein quality: an interest-
dari satu jenis bahan makanan saja, demikian ing piece in the puzzle of early childhood
halnya dengan pemenuhan kebutuhan asam amino stunting. EBioMedicine.8:28-9.
esensial dalam diet. UNICEF. (2013).UNICEF/World Health Or-
ganization/World Bank Group. Progress
DAFTAR PUSTAKA for children: a report card on nutrition.
Black RE, Victora CG, Walker SP, et al (2013). UNICEF; 2013.
Maternal and child undernutrition and over- WHO. (1995). World Health Organization.
weight in low-income and middle-income Physical status: The use and Interpreta-
countries. The Lancet. 382(9890):427-51. tion of Anthropometry. Report of a WHO
Dinas Kesehatan Kota Malang. (2017).Profil Expert Committe. WHO Technical Report
Kesehatan Kota Malang. Dinkes Kota Series 854. Geneva:WHO
Malang. WHO.(2014). Global nutrition targets 2025:
de Onis M., et al. (2004). Measurement and Stunting policy brief. World Health Orga-
standardization protocols for anthropometry nization.
used in the construction of a new interna- WHO/FAO/UNU. (2007). Protein and Amino
tional growth reference. Food Nutr Bull. Acid Requirements in Human
25(1 Suppl): p. S27-36. Nutrition.Report of a Joint WHO/FAO/
Nuss ET, Tanumihardjo SA.(2011). Quality pro- UNU Expert Consultation, WHO Techni-
tein maize for Africa: closing the protein in- cal Report Series no. 935. Geneva: WHO
adequacy gap in vulnerable populations. Ad- Winarno FG. (2004). Keamanan Pangan Jilid
vances in Nutrition. 2(3):217-24. 1. M-Brio Press, Bogor.