Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

From Breaker to Follower: Dinamika Proses Domestikasi Norma Anti-Perbudakan

Modern oleh Pemerintah Thailand

Roihanatul Maziyah
Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Diponegoro Jalan Prof. H. Soedarto, SH, Tembalang, Semarang, Kotak Pos 1269
Website http://www.fisip.undip.ac.id Email: fisip.undip.ac.id

ABSTRACT
Modern slavery issues gained momentum in 2013 when Environmental Justice Foundation
(EJF) launched global campaign “Seafood not Slavefood”, aiming to curb modern slavery
practices in Thai fishing industry. Transnational advocacy network, which EJF be part of, put
pressure on Thai government to adopt policy changes in accordance with international norms
on the abolishment of modern slavery. Thailand as targeted actor ratified Protocol Forced
Labor Convention and ILO Work in Fishing Convention, respectively in 2018 and 2019.
Therefore, this article investigates how transnational NGO cooperation can influence Thai
government’s stance in adopting international norms. Drawing on the constructivist approach
to international relations, this article investigates this central question using norm-life cycle by
Finnemore and Sikkink as vehicle for explanation. The said concept is tested by tracing the
historical trajectory of Thailand position in the context of responding modern slavery issue
from 2013 to 2019 and by analysing the roles and the impacts of different actors in different
phases of norm domestication. The results show that international NGO have an influence on
Thailand’s decision in adopting international anti-modern slavery norms.
Keywords: Modern Slavery, Norm-Life Cycle, International Norms, Environmental Justice
Foundation
PENDAHULUAN
Thailand merupakan negara eksportir seafood terbesar ketiga di dunia. Sektor perikanan
menjadi salah satu elemen penting dalam menopang perekonomian Thailand, dibuktikan
dengan kontribusi sektor perikanan yang mencapai 10 persen dari total pendapatan negara
dengan nilai ekspor mencapai 6,6 juta USD pada tahun 2014 (The Guardian, 2015). Negara
tujuan ekspor produk perikanan Thailand adalah Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun sisi
lukratif tersebut ternyata menyimpan aspek destruktif yang dialami oleh pekerja di dalamnya.
Studi yang dilakukan oleh ILO (2013) dan Zimmerman et al (2014) menunjukkan beberapa
bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mengarah pada praktik perbudakan
modern, seperti ketiadaan atau pemeberian upah di bawah standar, adanya ancaman kekerasan,
kekurangan makanan, pengurungan, kondisi kerja yang tidak layak, kekerasan fisik dan
seksual, hingga pembunuhan.
Penelitian akademik pertama tentang praktik perbudakan modern di industri perikanan
Thailand dilakukan oleh Derks (2010) dan Resurrección & Sajor (2010). Tulisan-tulisan
tersebut membahas keterlibatan pekerja migran dari Kamboja dalam kapal-kapal penangkap
ikan Thailand (Derks, Resurrección & Sajor dalam Bush, Marschke, & Belton, 2014).
Kemudian pada tahun 2013, EJF yang bekerja sama dengan NGO lokal yaitu Labour Rights
Protection Network (LPN) mengadakan investigasi untuk melihat fakta di lapangan. Investigasi
dari EJF tersebut seakan menjadi momentum bagi keberlanjutan perlawanan terhadap praktik

1
perbudakan modern. Hal ini dibuktikan dengan serangkaian publikasi media internasional yang
menyoroti praktik perbudakan modern dalam rantai pasokan seafood global. Selain itu,
publikasi EJF juga mendorong negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama produk
perikanan Thailand seperti Inggris, Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk menentukan sikap.
Tabel 1. Peristiwa Penting dalam Kasus Perbudakan Modern di Industri Perikanan
Thailand
Tahun Peristiwa Catatan
2010 Ulasan akademik dari Derks (2010) dan Membahas keterlibatan pekerja
Resurrección & Sajor (2010) migran dari Kamboja dalam industri
perikanan Thailand
2013 EJF secara resmi memulai kampanye “Seafood Kampanye advokasi melalui
not Slavefood” pemublikasian hasil investigasi
praktik perbudakan modern di
industri perikanan Thailand
2014 Pemberitaan The Guardian Mengulas praktik pelanggaran HAM
brutal dalam rantai pasokan seafood
Amerika Serikat dan Uni Eropa
2014 Laporan Trafficking in Persons (TIP) Amerika Peringkat Thailand diturunkan
Serikat menjadi Tier 3
2014 Pemberitaan Associated Press Mengulas praktik perbudakan
modern oleh kapal-kapal penangkap
ikan Thailand di perairan Indonesia
2015 Pemberitaan New York Times Mengulas praktik curang proses
rekrutmen pekerja migran di industri
perikanan Thailand
2015 Laporan Trafficking in Persons (TIP) Amerika Peringkat Thailand masih berada
Serikat pada Tier 3
2015 Uni Eropa mengeluarkan yellow card terhadap Uni Eropa memperingatkan Thailand
industri perikanan Thailand untuk ‘membersihkan’ sektor
perikanannya dari praktik
perbudakan modern
2015 Inggris mengeluarkan Modern Slavery Act Inggris menjadi negara pertama yang
menggunakan istilah perbudakan
modern sebagai stand-alone tindak
pidana.
Sumber: diolah dari Bush, Marschke, & Belton (2018)
Berdasarkan tabel 1 di atas, Thailand mendapatkan tekanan dari negara-negara yang
menjadi tujuan utama ekspor produk-produk perikanan Thailand. Inggris misalnya, yang
mengeluarkan Modern Slavery Act pada tahun 2015 dengan tujuan untuk memutus perbudakan
modern dari segala rantai pasokan global (The Guardian, 2015), Amerika Serikat pada masa
pemerintahan Obama memberlakukan larangan impor terhadap produk yang terindikasi terlibat
dalam perbudakan termasuk produk seafood dari Thailand. Amerika Serikat juga menurunkan
peringkat Thailand menjadi Tier 3 dalam laporan Perdagangan Manusia Departemen Luar
Negeri AS pada tahun 2014 dan 2015. Tier 3 ini menempatkan Thailand dalam kategori yang
sama dengan Iran dan Korea Utara, mencerminkan kurangnya komitmen dalam upaya
pencegahan dan pengentasan kasus perdagangan manusia (US Departement of State, 2015).
Sedangkan Uni Eropa memberikan ‘kartu kuning’ kepada Thailand pada April 2015 karena
dinilai tidak serius dalam menangani Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU
fishing) termasuk didalamnya isu perbudakan (The Guardian, 2015).

2
Akibat adanya tekanan global baik dari aktor negara maupun non-negara, Thailand
sebagai aktor target kemudian bersedia untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan dan
Perikanan serta berkomitmen untuk menghapuskan perbudakan modern dalam industri
perikananannya melalui Royal Ordinance on Fisheries tahun 2017. Thailand juga telah
meratifikasi Protocol amending Forced Labour Convention dan ILO Work in Fishing
Convention 2007, masing-masing pada tahun 2018 dan 2019 (Ministry of Foreign Affairs of the
Kingdom of Thailand, 2018, 2019). Keputusan pemerintah Thailand untuk meratifikasi
instrumen internasional terkait penghapusan praktik perbudakan modern menjadi bukti bahwa
jaringan advokasi transnasional yang terdiri dari NGO internasional dan NGO domestik
berhasil menekan aktor negara untuk mengadopsi norma internasional. Karenanya, penelitian
ini bertujuan untuk mejelaskan proses dibalik kesediaan pemerintah Thailand dalam
mengadopsi norma internasional terkait perbudakan modern.
Penelitian ini menggunakan konsep siklus hidup norma atau norm–life cycle dari
Finnemore dan Sikkink (1998) untuk menjelaskan dinamika perubahan kebijakan Thailand
dalam perlindungan tenaga kerja di sektor perikanan. Asumsi dari penelitian ini adalah
perubahan kebijakan Thailand disebabkan oleh domestikasi norma internasional tentang
pengapusan praktik perbudakan modern. Proses domestikasi ini melibatkan peran jaringan
advokasi transnasional, utamanya NGO internasional yang diwakili oleh EJF, dan NGO
domestik oleh LPN.

Perbudakan sebagai norma internasional


Norma didefinisikan sebagai peraturan yang ditetapkan untuk mengatur bagaimana
seseorang berperilaku (Yuliestiana, 2018, hal. 67). Dalam studi hubungan internasional, norma
merupakan bagian dari rezim. Sedangkan rezim merupakan seperangkat prinsip, norma,
peraturan, dan prosedur yang disepakati oleh aktor negara untuk mencapai tujuan komunal atau
bersama. Perkembangan norma antiperbudakan modern tidak dapat dilepaskan dari proliferasi
rezim internasional yang mengatur tentang hak-hak dasar manusia. Pada 10 Desember 1948,
para pemimpin dunia kala itu sepakat untuk mengesahkan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR). UDHR menetapkan standar
global mengenai HAM dan menjadi landasan bagi lahirnya perjanjian-perjanjian internasional
lainnya terkait HAM, seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan
International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR). Lahirnya UDHR
juga menjadi momentum bagi negara-negara di dunia untuk memberikan perhatian terhadap
HAM bagi seluruh penduduk yang berada dalam wilayah yurisdiksinya maupun penduduk
secara global (Franklin, 2015).
Norma antiperbudakan sendiri masuk dalam kategori norma tertinggi dalam hukum
internasional (jus cogens), artinya tindakan ini dilarang dalam hukum kebiasaan internasional
dan perjanjian internasional. Perjanjian universal pertama yang melarang perbudakan adalah
Konvensi Perbudakan tahun 1926 (The Slavery Convention 1926). Dalam pembukaan konvensi
tersebut, dengan jelas tertulis negara-negara wajib untuk “to prevent and suppress the slave
trade, and to prevent forced labour from developing into conditions analogous to slavery”
(Konvensi Perbudakan, 1926). Kerja paksa (forced labor) kemudian diatur secara terpisah
dalam Konvensi Kerja Paksa 1930 (Forced Labor Convention 1930) yang diperbaharui pada
tahun 2014 melalui penerbitan Protokol (Protocol amending Forced Labor Convention).
Protokol tersebut diadopsi agar dapat menjawab persoalan perbudakan bentuk baru (Wetterö,
2015).
Adanya norma dalam rezim dapat menjadi penentu standar perilaku serta hak dan
kewajiban aktor negara (Krasner dalam Yuliestiana, 2018, hal. 66-67). Lalu bagaimana norma
dapat mempengaruhi aktor negara? Martha Finnermore dan Kathryn Sikkink (1998) telah

3
merumuskan konsep Norm Life-Cycle untuk menjawab pertanyaan tersebut yang tertuang
dalam buku berjudul “International Norm Dynamics and Political Change”. Finnemore dan
Sikkink (1998) menjelaskan setidaknya ada tiga tahapan bagaimana norma dapat
mempengaruhi aktor negara. Fase yang pertama adalah norm emergence. Fase yang kedua
adalah norm cascade dan yang terakhir adalah norm internalization.

Siklus hidup norma dalam hubungan internasional


Konsep norm-life cycle merupakan turunan dari konstruktivisme, paham tersebut
menegaskan pentingnya aspek ideasional (ide, norma, dan budaya) dan aspek nonmaterial
(kepentingan nasional dan identitas negara) dalam memahami dinamika politik global
(Jakobsson, 2018; Merrick, 2014). Finnemore (dalam Keck & Sikkink, 1999) menyatakan
negara mematuhi norma karena ia terlibat dalam jaringan transnasional dan internasional yang
membentuk persepsi atas dunia dan peranannya di dunia. Persepsi ini apabila mengalami
intersubjektivitas akan membentuk norma. Norma terdiri dari seperangkat peraturan yang
menjadi pedoman bagi sebuah negara berperilaku. Salah satu konsep untuk memahami peranan
norma dalam hubungan internasional adalah konsep norm-life cycle dari Finnemore dan
Sikkink (1998).

Norm Norm Norm


emergence cascade internalization

Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3

Tipping point

Gambar 1. Norm-life Cycle


Catatan: telah diolah kembali
Sumber: Finnemore & Sikkink (1998)
Gambar 1 di atas mengilustrasikan konsep norm-life cycle yang merujuk pada tiga
tahapan bagaimana suatu norma dapat mempengaruhi perilaku negara. Tahapan yang pertama
adalah norm emergence, ditandai dengan keberadaan norm entrepreneur dan tersedianya
wadah organisasi. Norm entrepreneur merupakan agen yang menciptakan norma karena
didasari oleh empati, altruisme, dan komitmen ideasional. Sedangkan platform organisasi
berfungsi sebagai norm promotor yang akan menggemakan norma-norma yang diciptakan oleh
norm entrepreneur. Strategi yang digunakan untuk mempromosikan norma dalam tahap ini
adalah persuasi terutama terhadap negara-negara yang memiliki posisi yang lebih kuat
dibandingkan dengan negara target. Hal tersebut kemudian mendorong terjadinya norm tipping,
yaitu ketika negara-negara yang mempunyai pengaruh terhadap negara target mendukung
norma yang digaungkan oleh norm entrepreneur tersebut. Adanya norm tipping menandai
dimulainya fase yang kedua yaitu norm cascade (Finnemore & Sikkink, 1998).
Tahapan yang kedua disebut dengan norm cascade dicirikan dengan meningkatnya
jumlah negara yang menjadi pengikut norma. Mekanisme dominan dalam fase ini adalah
sosialisasi yang dilakukan oleh jaringan norm entrepreneurs. Sosialisasi yang dilakukan oleh
aktor non negara tentunya berbeda dibandingkan dengan aktor negara. Negara dapat
menggunakan kekuatan ekonomi, militer atau pemutusan hubungan diplomatik untuk
memaksan negara lain mematuhi norma internasional. Sedangkan jaringan norm entrepreneurs
dalam proses sosialisasi menggunakan salah satu dari tiga cara, yaitu persaingan (emulation),
pemberian pujian bagi yang taat terhadap norma (praise), dan mempermalukan negara

4
pelanggar norma (ridicule) (Waltz dalam Finnemore & Sikkink, 1998). Setelah sosialisasi
berhasil mempengaruhi negara target untuk mengadopsi norma internasional, hal ini menandai
berlakunya fase yang ketiga yaitu norm internalization.
Tahapan yang terakhir adalah norm internalization, fase internalisasi mengindikasikan
norma telah menjadi bagian dari aktor target yang dijalankan sepenuh hati tanpa ada perdebatan
internal maupun eksternal (Finnemore & Sikkink dalam Merrick, 2014). Internalisasi norma
akan melibatkan mekanisme institusionalisasi dan pembiasaan, karenanya peran para birokrat
atau pengambil kebijakan menjadi dominan, hal ini berkaitan dengan perumusan undang-
undang dalam negeri yang merefleksikan norma tersebut (Finnemore & Sikkink, 1998; Risse,
2017).

Fase kemunculan norma (norm emergence)


Menurut Finnemore dan Sikkink (1998), norm entrepreneur menciptakan norma karena
didasari oleh adanya empati, altruisme, komitmen ideasional. Empati muncul ketika agen
memiliki ketertarikan pada kesejahteraan orang lain, bahkan jika perasaan empati yang timbul
tidak berdampak pada kesejahteraan materi atau keamanan para agen (Keohane dalam
Finnemore dan Sikkink, 1998). Empati ini dapat mengarah pada altruisme, yakni ketika agen
mengambil tindakan yang dirancang untuk menguntungkan orang lain bahkan dengan risiko
bahaya yang signifikan terhadap kesejahteraan agen itu sendiri (Monroe dalam Finnemore dan
Sikkink, 1998). Dalam tahapan altruisme ini, agen menyadari bahwa aksi yang dilakukan oleh
segelitir pihak tidak akan menimbulkan perubahan yang berarti, karenanya agen perlu
mempromosikan norma-norma yang diyakininya untuk menarik agen atau aktor-aktor baru.
Finnemore dan Sikkink (1998) kemudian mengistilahkan upaya promosi norma oleh agen
sebagai komitmen ideasional.
Dalam advokasi kasus perbudakan modern di industri perikanan Thailand, empati
dimulai ketika Patima Tungpuchayakul lulus dari Universitas Mahasarakham pada tahun 1996.
Ketertarikannya pada isu-isu HAM tumbuh ketika ia melihat pabrik-pabrik di sekitar tempat
tinggalnya (Samut Sakhon) mengeksploitasi pekerja migran terutama perempuan dan anak-
anak (Seafood Summit, 2019). Adanya empati kemudian mendorong altruisme atau tindakan
nyata. Altruisme dibuktikan ketika Patima Tungpuchayakul mendirikan organisasi LPN (Labor
Protection Network) bersama dengan Sompong Srakaew dengan tujuan untuk memerangi
pekerja anak, perdagangan manusia, dan praktik perbudakan modern. Seiring berjalannya
waktu, LPN menyadari bahwa altruisme harus dilengkapi dengan komitmen ideasional atau
tindakan untuk mempromosikan norma-norma yang dianutnya secara global untuk
mendapatkan pengikut baru dan memperkuat upaya advokasi. Karenanya dalam fase norm
emergence, kelompok advokasi harus memiliki kesamaan norma (shared norm) dengan aktor
jejaring lainnya. Kesamaan norma ini penting sebagai landasan dan pemerkuat jaringan. Shared
norm yang terbentuk adalah Thailand melanggar instrumen HAM internasional dengan
membiarkan terjadinya praktik perbudakan modern di industri perikanannya. Adanya shared
norm mendorong LPN untuk bermitra dengan organisasi EJF sebagai NGO internasional yang
memiliki fokus yang sama yaitu isu-isu HAM, terutama bagi kelompok-kelompok marjinal.
Dalam tahapan norm emergence ini, EJF sebagai bagian dari norm entrepreneur
mengadakan investigasi secara langsung untuk mendapatkan data primer tentang praktik
perbudakan yang terjadi di sektor perikanan Thailand. Investigasi dilakukan pada akhir tahun
2012 sampai pada 2015. Hasil investigasi kemudian dipublikasikan melalui serangkaian
laporan dan film dokumenter (lihat EJF, 2013b; 2013a; 2014; 2015e; 2015d). Upaya investigasi
dari EJF ini sesuai dengan pemahaman altruisme yang dikembangkan oleh Finnemore dan
Sikkink (1998) yakni ketika agen mengambil tindakan yang dirancang untuk menguntungkan
orang lain bahkan dengan risiko bahaya yang signifikan terhadap kesejahteraan agen itu

5
sendiri. Tidak hanya berhenti sampai di situ, Steve Trent selaku Direktur Eksekutif dari EJF
secara kontinu melakukan presentasi hasil investigasi EJF kepada US Department of State,
European Commission dan European Parliament (Huffingtonpost, 2017). Penyampain hasil
investigasi ke aktor-aktor lainnya yang memiliki posisi yang lebih kuat merupakan bagian dari
komitmen ideasional untuk mempromosikan norma-norma antiperbudakan modern di sektor
perikanan global.
Prasyarat kedua dari tahapan norm emergence adalah tersedianya platform organisasi
sebagai wadah untuk mempromosikan norma-norma yang diusung oleh norm entrepreneur
(Finnemore & Sikkink, 1998). Pada umumnya, NGO memiliki peran yang signifikan dalam
promosi norma, terlebih lagi apabila NGO memutuskan untuk membangun jejaring secara
global (Kinanthi, 2018). Jaringan global yang terbentuk tidak hanya terdiri dari LPN dan EJF,
melainkan terdiri dari berbagai aktor non-negara baik di tingkat lokal maupun global. Hal ini
dicontohkan dari perumusan surat terbuka bersama (joint open letter) yang ditujukkan bagi
pemerintah Thailand. Surat terbuka tersebut ditandatangani oleh 36 NGO internasional maupun
NGO lokal yang berbasis di Thailand, Inggris, dan Amerika Serikat.
Wadah untuk menggemakan norma antiperbudakan modern di industri perikanan
Thailand juga dilakukan dengan membuat konferensi internasional yang dinamakan dengan
“SeaWeb Seafood Summit”. Konferensi ini menyatukan perwakilan global yang memiliki
hubungan dengan industri perikanan, baik dari sektor bisnis, NGO, akademisi, media, maupun
perwakilan resmi dari negara-negara. Tujuannya untuk menyelesaiakan permasalahan yang
terjadi di sektor perikanan dengan mengembangkan dialog dan kemitraan untuk mewujudkan
sektor perikanan yang memenuhi aspek keberlanjutan dari segi ekonomi, sosial, dan
lingkungan (Seafood Summit, tanpa tahun). Pada tahun 2015, saat diselenggarakannya SeaWeb
Seafood Summit di Amerika Serikat, salah satu topik yang dibahas adalah pencegahan
pelanggaran HAM yang terjadi dalam rantai pasokan seafood global. (Seafood Summit, 2015).
Upaya promosi norma antiperbudakan modern di sekor perikanan Thailand juga diperkuat
dengan dibentuknya “Sustainable Supply Chain Task Force” pada tahun 2014. Satuan tugas
tersebut terdiri dari produsen seafood Thailand seperti Thai Union dan CP, unit pemerintah
Thailand, distributor seafood global saperti Cosco, Tesco, dan Nestle, dan tentunya NGO
internasional seperti EJF, Oxfam, Human Rights Watch (HRW), dsb. Salah satu upaya yang
dilakukan oleh satuan tugas ini dalam mempromosikan norma-norma antiperbudakan modern
adalah dengan melalukan lobi-lobi terhadap para pembuat kebijakan di Thailand agar
melakukan perubahan dari sisi legal sehingga perlindungan kepada para pekerja migran yang
diperbudak di kapal-kapal penangkap ikan Thailand dapat menjamin adanya kepastian hukum
(Bush et al., 2018).
Serangkaian upaya yang dilakukan oleh norm promotor akan mencapai fase tipping
point ketika negara-negara yang memiliki pengaruh dan kaitan dengan isu perbudakan modern
di sektor perikanan Thailand mendukung norma yang digaungkan oleh norm promotor tersebut.
Bentuk dukungan ini dapat dilihat dari dikeluarkannya yellow card oleh Uni Eropa dan
dimasukannya Thailand ke dalam Tier 3 Human Trafficking Report oleh Amerika Serikat.
Bahkan pada tahun 2015, pemerintah Inggris mengeluarkan Modern Slavery Act yang
menandakan posisi yang tegas dalam mencegah praktik perbudakan bentuk baru. Hal ini
dikarenakan penggunaan istilah perbudakan modern sebagai nama dari produk legislasi
nasional merupakan yang pertama di dunia dan tidak dicampuradukkan dengan perdagangan
manusia, kondisi kerja yang tidak layak, pekerja anak, maupun istilah lainnya (Broad &
Turnbull, 2019). Adanya norm tipping ini kemudian mendorong naiknya norma antiperbudakan
modern ke fase selanjutnya yaitu norm cascade.
Pada saat norma berada pada posisi norm tipping, menurut Finnemore dan Sikkink
(1998), negara target belum menunjukkan perubahan perilaku yang berarti. Namun setelahnya
dinamika terkait pengadopsian norma mulai muncul. Perubahan mulai terlihat ketika Wakil

6
Perdana Menteri Thailand Prawit Wongsuwan bersama jajaran terkait mengundang Direktur
Eksekutif EJF Steve Trent untuk menghadiri pertemuan tertutup pada bulan September 2015.
Pertemuan semacam itu sebelumnya belum pernah terjadi (EJF, 2015b). Hal ini menjadi unik
karena di tahun yang sama, tepatnya pada bulan Februari 2015, Kementerian Luar Negeri
Thailand merilis nota keberatan terhadap EJF atas laporannya yang berjudul “Thailand’s
Seafood Slaves” dan “Pirates and Slaves” dengan pernyataan “EJF’s allegations overlooked
Thailand’s ongoing intensified anti-human trafficking efforts and real, positive results in many
areas” (Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of Thailand, 2015). Perubahan perilaku
dari yang semula melakukan penyangkalan (denial) menjadi mengindahkan norma
antiperbudakan modern ini merupakan tanda dimulainya fase norm cascade.

Fase pengaliran norma (norm cascade)


Dalam fase norm cascade, norma disebarkan melalui mekanisme sosialisasi dengan
maksud untuk mengubah perilaku aktor norm breaker menjadi norm follower (Barner et al
dalam Finnemore dan Sikkink , 1998). Kenneth Waltz (dalam Finnemore & Sikkink, 1998)
menyatakan bahwa proses sosialisasi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu persaingan
(emulation), pemberian pujian bagi yang taat terhadap norma (praise), dan mempermalukan si
pelanggar norma (ridicule). Cara yang ketiga yaitu ridicule memiliki kesamaan dengan metode
shaming dalam politik simbolik. Pada tahapan ini agen sosialisasi dapat berupa negara dan
jaringan advokasi transnasional. Dalam konteks politik internasional, negara dapat menjadi
agen sosialisasi dengan cara memberikan sanksi bagi negara pelanggar norma dan memberikan
insentif bagi negara yang tunduk terhadap norma. Penjatuhan sanksi material maupun
pemberian insentif dapat dilakukan dalam kerangka unilateral, bilateral, maupun multilateral
(Finnemore & Sikkink, 1998). Berkaitan dengan praktik perbudakan modern di industri
perikanan Thailand, negara-negara yang menjadi agen sosialisasi adalah Amerika Serikat (Tier
3), Uni Eropa (yellow card), dan Inggris (Modern Slavery Act). Amerika Serikat dan Inggris
memberikan peringatan kepada pemerintah Thailand secara unilateral sedangkan Uni Eropa
melakukannya secara multilateral di bawah organisasi regional.
Jaringan advokasi transnasional dapat menjalankan peran sebagai agen sosialisasi
dengan cara menekan aktor target untuk mengadopsi undang-undang baru atau kebijakan baru
serta meratifikasi konvensi internasional tertentu. Selain itu, setelah negara target mengadopsi
kebijakan baru, kelompok jaringan advokasi tetap harus memantau jalannya kebijakan baru
tersebut untuk mencegah aktor target kembali melakukan perilaku yang melanggar norma.
Untuk menekan Thailand agar menaati norma antiperbudakan modern, jaringan advokasi
transnasional memanfaatkan strategi naming and shaming. Pelaksanaan dari strategi tersebut
yang paling menonjol adalah tindakan EJF yang mempublikasikan serangkaian hasil
investigasi yang menguak pelanggaran HAM brutal yang menimpa para pekerja migran di
kapal-kapal penangkap ikan Thailand (lihat EJF, 2013b, 2014, 2015e, 2015d, 2015a). Jaringan
advokasi transnasional juga merambah ranah visual sebagai penyampaian pesan kepada aktor
target dan tentunya masyarakat internasional melalui film “Ghost Fleet” yang mengisahkan
perjuangan Patima tungpuchayakul dalam menyelamatkan para pekerja migran yang
diperbudak di kapal-kapal penangkap ikan Thailand (Human Right Watch, 2019).
Dalam fase norm cascade, sosialisasi menjadi mekanisme dominan dalam membujuk
negara target (norm breaker) untuk mematuhi norma (norm follower). Lantas, apa yang
membuat sosialisasi ini bekerja dan mendapat label sebagai mekanisme dominan dalam fase
norm cascade? Serta apa yang mendorong negara target untuk mengubah perilaku dari yang
semula norm breaker menjadi norm follower? Menurut Martha Finnemore dan K. Sikkink
(1998) terdapat tiga kemungkinan atau motif yang mendorong negara untuk mematuhi norma
melalui mekanisme sosialisasi, yaitu esteem atau harga diri dan legitimasi.

7
Motif esteem berkaitan dengan harga diri sebagai sebuah bangsa dan negara. Pada
umumnya, para pemimpin negara mengikuti norma karena mereka ingin pihak lain berpikir
baik tentang mereka, dan mereka ingin memiliki pikiran yang baik tentang diri mereka sendiri.
Norma ditopang oleh perasaan-perasaan tidak nyaman yang akan melekat pada pelanggarnya,
seperti perasaan malu, cemas, bersalah. Identitas didasarkan pada aspek diri di mana individu
(negara) memiliki kebanggaan khusus atau harga diri dan terbebas dari perasaan-perasaan
negatif akan dirinya. Dengan demikian, keinginan untuk mendapatkan atau mempertahankan
kebanggaan atau harga diri sebagai sebuah negara dan bangsa dapat menjelaskan proses
pengadopsian norma oleh aktor negara (Fearon dalam Finnemore dan Sikkink, 1998). Motif
selanjutnya adalah legitimasi, secara definitif legitimasi diartikan sebagai “the condition of
being in accordance with the norms and values of the people. Legitimate power is accepted
because it is seen as right” (Newton & Van Deth, 2009). Artinya tidak semua negara di dunia
yang mengklaim kedaulatan dan pemerintahan resmi memiliki legitimasi. Contohnya saat ini
adalah Somalia, Syria, dan Yaman. Dari ketiga motif tersebut, Thailand mematuhi norma
antiperbudakan modern dikarenakan oleh motif legitimasi.
Finnemore dan Sikkink (1998) menyatakan pentingnya legitimasi dari aktor-aktor
internasional lainnya bagi sebuah negara, sebab akan ada konsekuensi serius apabila suatu
negara dilabeli sebagai ‘rouge state’ bahkan ‘pariah state’ karena perilakunya yang sering
melanggar norma internasional. Konsekuensi yang didapat oleh ‘negara nakal’ ini dapat berupa
hilangnya reputasi, kepercayaan, dan kredibilitas di mata negara lain, organisasi internasional,
aktor-aktor global lainnya bahkan di mata rakyatnya sendiri. Linz (dalam Finnemore dan
Sikkink, 1998) berpendapat negara peduli dengan legitimasi internasional sebab memiliki
kaitan erat dengan legitimasi domestik yang dipegang oleh rakyatnya sendiri. Legitimasi
domestik adalah kepercayaan bahwa lembaga-lembaga politik yang ada (pemerintahan yang
sedang berkuasa) jauh lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya dan alternatif lainnya,
karenanya pantas untuk ditaati. Rakyat suatu negara membuat penilaian tentang apakah
pemerintah mereka lebih baik daripada pemerintahan sebelumnya atau alternatif lainnya
dengan melihat dinamika politik internasional dan regional serta dengan mempertimbangkan
apa yang dikatakan negara lain (atau aktor global lainnya) tentang negara mereka
Thailand sebagai aktor target sosialisasi merupakan negara yang memiliki jumlah
kudeta terbanyak di dunia. Terhitung dari tahun 1932 sampai dengan 2014, Thailand telah
mengalami 19 kudeta (12 diantaranya berhasil menggulingkan pemerintahan yang berkuasa)
dan 17 kali pergantian Konstitusi negara (Brown, 2014). Saat ini (per Oktober 2019),
pemerintahan Thailand dipimpin oleh junta militer yang dikenal dengan Khana Raksa Khwam
Sangop Haeng Chat atau National Council for Peace and Order (NCPO). Pemerintahan junta
militer behasil berkuasa setelah menurunkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dari kursi
kekuasaan eksekutif pada tahun 2014. Sebagai informasi, Yingluck Shinawatra dikenal sebagai
tokoh demokrasi Thailand dan merupakan PM perempuan pertama di negara tersebut. Dalam
wawancara yang dikutip oleh Reuters (2017), pemimpin kudeta militer yang kemudian
menjabat sebagai PM Thailand Prayut Chan-o-Cha memberikan pernyataan “I’m worried
because people still give importance to her” (Reuters, 2017). Penyataan PM Prayut Chan-o-
Cha mengindikasikan kesangsiannya akan legitimasi masyarakat Thailand terhadap
pemerintahan baru yang dibentuknya pasca pemakzulan PM terdahulu Yingluck Shinawatra.
Secara koinsiden, kasus perbudakan modern di industri perikanan Thailand merebak disaat
pemerintahan junta militer sedang mengalami krisis legitimasi.
Aspek legitimasi dimulai ketika aktor jaringan transnasional seperti NGO internasional
(lihat EJF, 2013b, 2013c, 2013a, 2014, 2015d, 2015e; Human Rights Watch, 2018; Oxfam
International, 2018), media internasional (The Guardian dan Associated Press), dan akademisi
(lihat Bush et al., 2014; Decker Sparks & Hasche, 2019; Errighi et al., 2016; Marschke &
Vandergeest, 2016; Stringer et al., 2018) ‘memborbardir’ pemerintah Thailand atas indikasi

8
pengabaian terhadap perbudakan modern yang terjadi di sektor perikanannya. Selain itu,
laporan resmi dari Parlemen Eropa pada tahun 2016 menemukan adanya penurunan
implementasi elemen-elemen penting demokrasi sejak tampuk pemerintahan Thailand jatuh ke
tangan kelompok militer, seperti pembatasan kebebasan untuk berserikat, berkumpul, dan
berpendapat. Laporan tersebut juga menyoroti pelanggaran HAM ekstrem yang dialami oleh
para pekerja di kapal-kapal penangkap ikan Thailand, yang kemudian mendorong Uni Eropa
untuk menjatuhkan yellow card terhadap pemerintah Thailand pada April 2015 (European
Parliament, 2016). Steve Trent selaku Direktur Eksekutif EJF kemudian menambahkan,
“A top-down government with absolute power ironically lacks mechanisms to solve [modern
slavery] problems at home... The root causes behind these abuses run very deep, culture of
clientelism and extensive corruption, both in the business community and across the statutory
agencies of the state” (The Guardian, 2016)
Berdasarkan dari pernyataan di atas, secara implisit, Steve Trent mengatakan
pemerintahan dengan kekuasaan absolut tidak memiliki kapasitas dan tentunya political will
untuk menyelesaikan permasalahan perbudakan modern di negaranya. Hal ini apabila dibiarkan
akan mendorong jaringan advokasi transnasional untuk meningkatkan intensitasnya dalam
menggemakan kasus perbudakan modern di sektor perikanan Thailand ke ranah global. Adanya
atensi yang masif dan kontinu dari masyarakat internasional akan mempengaruhi legitimasi
domestik di Thailand, sebab rakyat Thailand akan membandingkan pemerintahan junta militer
saat ini dengan pemerintahan demokratis yang dipimpin oleh Yingluck Shinawatra.
Berkurangnya legitimasi domestik akan berbahaya bagi kelangsungan pemerintahan junta
militer, seperti yang diungkapkan oleh Newton & Van Deth (2009) bahwa kekuasaan dan
kedaulatan tidak menjanjikan adanya legitimasi dari rakyat. Istilah lainnya, “ruling by force
alone is almost impossible” (Finnemore & Sikkink, 1998). Pada akhirnya, proses sosialisasi
dalam norm cascade berhasil mendorong Thailand dengan segala motifnya untuk mau
mengadopsi norma antiperbudakan modern. Proses pengadopsian norma internasional ke dalam
sistem legal domestik tergolong ke dalam fase internalisasi norma.

Fase internalisasi norma (norm internalization)


Fase terakhir dalam norm life cycle adalah internalisasi norma. Fase ini terjadi ketika
norma antiperbudakan modern telah diinstitusionalisasikan dan diimplementasikan secara
konsisten dalam level domestik atau dibiasakan. (Cardenas, 2004; Risse, 2017). Dalam strata
ini, Goodmand dan Jinks (dalam Koh, 2005) mengumpakan negara akan berperilaku “more
Catholic than the pope”, artinya, negara yang baru saja mendomestifikasi norma akan
menunjukkan serangkaian upaya yang memperkuat klaim bahwa dirinya telah menaati norma.
Motif di balik fase ini adalah konformitas. Menurut Robert Axelrod, konformitas merujuk pada
‘social proof’, artinya, negara-negara mematuhi norma untuk menunjukkan bahwa mereka
telah beradaptasi dengan lingkungan sosial dan menjadi bagian didalamnya. Dengan
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial, negara akan terhindar dari label ‘the outcast’ atau
‘the black sheep’ (Axelrod dalam Finnemore dan Sikkink, 1998).
Terkait isu perbudakan modern di industri perikanan Thailand, terdapat tiga poin utama
yang menandai diinstitusionalisasikannya norma. Yang pertama, ketika pemerintah Thailand
mengeluarkan Royal Ordinance on Fisheries pada tahun 2017 dengan tujuan mengatur kembali
sektor perikanan Thailand agar sesuai dengan rezim internasional yang berlaku. Royal
Ordinance on Fisheries ini menekankan pada aspek perlindungan tenaga kerja dan
keberlanjutan sektor perikanan Thailand (Errighi et al., 2016; Oxfam International, 2018; Tran,
2017).
Yang kedua, institusionalisasi norma terjadi ketika pembentukan Good Labour Practices
Task Force (Satgas GLP) yang beranggotakan perwakilan dari industri pengolahan seafood

9
(CP dan Thai Union), perwakilan dari pemerintah Thailand, perwakilan pekerja dari sektor
perikanan Thailand dan organisasi ILO. Satgas GLP ini bertugas untuk meningkatkan
kesadaran akan permasalahan perbudakan modern, dan memastikan praktik perburuhan yang
baik dimulai dari perekrutan, penandatangan kontrak, pembayaran upah, kesehatan dan
keselamatan pekerja (Errighi et al., 2016).
Yang ketiga, langkah besar dilakukan pemerintah Thailand dengan meratifikasi Protocol
amending Forced Labor Convention 2014 dan ILO Work in Fishing Convention 2007, masing-
masing pada tahun 2018 dan 2019. Tindakan tersebut menjadikan Thailand sebagai negara Asia
pertama yang meratifikasi instrumen internasional terkait praktik perbudakan modern di sektor
perikanan (Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of Thailand, 2018; 2019). Bahkan pada
pertengahan tahun 2019, Thailand menjadi tuan rumah diselenggarakannya konferensi
internasional SeaWeb Seafood Summit yang mempertemukan seluruh stakeholder seafood
global, temasuk NGO internasional dan para aktivis HAM dan lingkungan. Dalam acara
tersebut, Patima Tungpuchayakul menerima penghargaan Seafood Champion in the area of
Advocacy atas dedikasinya memperjuangkan hak-hak pekerja migran di industri perikanan
Thailand.
Setelah serangkaian upaya institusionalisasi norma dilakukan, agar norma antiperbudakan
modern diimplementasikan secara konsisten (habitualization), pengawasan tentunya
diperlukan. EJF setiap tahunnya (terhitung sejak tahun 2015) memberikan rekomendasi-
rekomendasi kepada pemerintah Thailand yang dilengkapi dengan status implementasi. EJF
mengkategorisasikan status implementasi berdasarkan tiga tahapan yaitu not yet, partially , dan
fully

KESIMPULAN
Kesediaan pemerintah Thailand untuk meratifikasi Protocol amending Forced Labor
Convention dan ILO Work in Fishing Convention menandai adanya proses domestikasi norma
internasional tentang pengapusan praktik perbudakan modern. Proses domestikasi ini
melibatkan peran jaringan advokasi transnasional, utamanya NGO internasional yang diwakili
oleh EJF, dan NGO domestik oleh LPN. Domestikasi norma melibatkan tiga tahapan. Tahapan
yang pertama adalah kemunculan norma, dicirikan dengan keberadaan LPN sebagai norm
entrepreneur dan LPN selaku norm promotor yang aktif menggemakan kasus perbudakan
modern yang terjadi di industri perikanan Thailand ke level global, salah satunya ke negara-
negara yang selama ini menjadi mitra dagang seafood Thailand yaitu Amerika Serikat dan Uni
Eropa. Upaya EJF tersebut berhasil menarik dukungan dari pemangku kebijakan, utamanya
anggota parlemen Amerika Serikat dan Uni Eropa. Adanya dukungan dari aktor yang lebih kuat
untuk menekan Thailand selaku aktor target merupakan bentuk norm tipping yang menandai
dimulainya tahapan kedua yakni pengaliran norma.
Dalam fase pengaliran norma, sosialisasi menjadi mekanisme dominan dalam membujuk
negara target (norm breaker) untuk mematuhi norma (norm follower). Sosialisasi dilakukan
dengan mempermalukan aktor target melalui serangkaian publikasi EJF yang menggambarkan
praktik brutal perbudakan modern di industri perikanan Thailand. Mekanisme sosialisasi ini
berhasil mendorong Thailand mau mengadopsi norma antiperbudakan modern dikarenakan
menyangkut esteem atau harga diri dan legitimasi Thailand sebagai negara yang memiliki
kontestasi politik domestik yang rapuh. Ketika norma antiperbudakan modern telah
diinstitusionalisasikan dan diimplementasikan secara konsisten atau dibiasakan dalam level
domestik, maka menandai dimulainya fase yang terakhir, yaitu internalisasi norma. Hal ini
dibuktikan dengan dikeluarkannya Royal Ordinance on Fisheries dan pembentukan Good
Labour Practices Task Force oleh pemerintah Thailand.

10
REFERENSI
Broad, R., & Turnbull, N. (2019). From Human Trafficking to Modern Slavery: The
Development of Anti-Trafficking Policy in the UK. European Journal on Criminal Policy
and Research, 25(2), 119–133. https://doi.org/10.1007/s10610-018-9375-4
Brown, P. (2014, May 13). Thailand's 19th Coup Underscores Country's Fatal Flaw. Diakses
pada 16 Juli 2019, dari CBC World Analysis: https://www.cbc.ca/news/world/thailand-
s-19th-coup-underscores-country-s-fatal-flaw-1.2658846
Bush, S. R., Marschke, M., & Belton, B. (2018). Labor, Social, Sustainability and the
Underlying Vulnerabilities of Work in Southeast Asia’s Seafood Value Chains. In M.
Andrew, L. Law, & F. Miller (Eds.), Routledge handbook of Southeast Asian history (Vol.
51, pp. 316–329). New York: Taylor & Francis. https://doi.org/10.5860/choice.51-5174
Cardenas, S. (2004). Norm collision: Explaining the effects of international human rights
pressure on state behavior. International Studies Review, 6(2), 213–231.
https://doi.org/10.1111/j.1521-9488.2004.00396.x
Decker Sparks, J. L., & Hasche, L. K. (2019). Complex linkages between forced labor slavery
and environmental decline in marine fisheries. Journal of Human Rights, 18(2), 230–245.
https://doi.org/10.1080/14754835.2019.1602824
EJF. (2013a). Human Trafficking in Thailand ’ s Fishing Industry. EJF: London.
___. (2013b). Sold to the Sea: Human Trafficking in Thailand’s Fishing Industry. EJF: London
___. (2013c). The Hidden Cost: Human Rights Abuses in Thailand’s Shrimp Industry EJF:
London
___. (2014). Slavery at Sea - The Continued Plight of Trafficked Migrants. EJF: London
___. (2015a). Brokern Promises: Why Thailand should stay on Tier 3 in the 2015 US
Trafficking in Persons Report. EJF: London
___. (2015b). Pirates and Slaves: How Overfishing in Thailand Fuels Human Trafficking and
the Plundering of Our Oceans. EJF: London
___. (2015c). Thailand’s Seafood Slaves: Human Trafficking, Slavery and Murder in
Kantang’s Fishing Industry. EJF: London.
___. (2015d). Thailand Seafood Slave. Human Trafficking, Slavery and Murder in Kantang’s
Fishing Industry. EJF: London
___. (2016). Impact Report 2016. EJF: London.
___. (2019). Implementation Status of EJF Recommendations to the Royal Thai Government.
London. Retrieved from https://ejfoundation.org//resources/downloads/RTG-policy-
recommendations-progress-spring-2019.pdf
Errighi, L., Mamic, I., & Krogh-Paulsen, B. (2016). Global supply chains : insights into the
Thai seafood sector (No. 2227- 4405 (web pdf)). Bangkok.
European Parliament. (2016). Thailand in 2016: restoring democracy or reversing it? Brussels:
European Parliament.
Finnemore, M., & Sikkink, K. (1998). International Norm Dynamics and Political Change.

11
International Organization, 4(52), 887–917. https://doi.org/10.1017/S0020818300028460
Franklin, J. C. (2015). Human Rights Naming and Shaming: International and Domestic
Processes. The Politics of Leverage in International Relations, 43–60.
https://doi.org/10.1057/9781137439338_3
Huffingtonpost. (2017). Steve Trent. Diakses pada 05 Oktober 2019, dari
https://www.huffingtonpost.co.uk/author/steve-
trent/?guccounter=1&guce_referrer=aHR0cHM6Ly93d3cuZ29vZ2xlLmNvbS8&guce_ref
errer_sig=AQAAAF2e9NCHIpBP8FENCsNYd-d7hBc6tkS-
TURbMw4MRw09MFiPHvfjT6UFcK4ISWCjpSp5-
KjK3OBaYhrJkmIMUTQAZzq7D6JxFN0QX6hH69zMDjGA3POZWW7ie
Human Rights Watch. (2019, Februari 19). Ghost Fleet. Diakses pada 07 Oktober 2019, dari
https://ff.hrw.org/film/ghost-fleet
_________________. (2018). Hidden Chains: Rights Abuses and Forced Labor in Thailand’s
Fishing Industry. Retrieved from
https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/thailand0118_report_web.pdf%0Ahttps:
//www.hrw.org/report/2018/01/23/hidden-chains/rights-abuses-and-forced-labor-thailands-
fishing-industry
Jakobsson, E. (2018). Norm Acceptance in the International Community: A Study of Disaster
Risk Reduction and Climate-induced Migration. Stockholm University.
Keck, M. E., & Sikkink, K. (1999). Transnational advocacy networks in international and
regional politics. International Social Science Journal, 51(159), 89–101.
https://doi.org/10.1111/1468-2451.00179
Kinanthi, D. K. (2018). 1965 International People's Tribunal: Aksi Rakyat Pemutus Lingkaran
Kebisuan. In A. Soetjipto, Transnasionalisme: Peran Aktor Non Negara dalam
Hubungan Internasional (pp. 115-138). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Koh, H. H. (2005). Internalization through Socialization. Duke Law Journal, 54(4), 975–982.
Marschke, M., & Vandergeest, P. (2016). Slavery scandals: Unpacking labour challenges and
policy responses within the off-shore fisheries sector. Marine Policy, 68, 39–46.
https://doi.org/10.1016/j.marpol.2016.02.009
Merrick, M. (2014). The Micro Processes of International Norm Diffusion: The Case of the
International Campaign to Ban Landmines. University of Waterloo, Canada.
Merrick, M. (2014). The Micro Processes of International Norm Diffusion: The Case of the
International Campaign to Ban Landmines. University of Waterloo, Canada. Retrieved
from https://uwspace.uwaterloo.ca/handle/10012/8771
Ministry of Foreign Affairs of the Kingdom of Thailand. (2015, Februari 19). Press Releases :
Thailand Disappointed with Environmental Justice Foundation’s (EJF) Report. Diakses
pada 09 Oktober 2019, dari http://www.mfa.go.th/main/en/media-center/14/53822-
Thailand-Disappointed-with-Environmental-Justice-F.html
_____________________________________________. (2018, Juni 09). Press Release :
Thailand’s Ratification of Protocol of 2014 to the Forced Labour Convention 1930.
Diakses pada 03 Oktober 2019, dari http://www.mfa.go.th/main/en/news3/6886/90312-
Thailand%E2%80%99s-Ratification-of-Protocol-of-2014-to-the.html

12
_____________________________________________. (2019, Februari 13). Press Release :
Thailand Ratifies ILO’s Work in Fishing Convention No. 188, 2007 (C188). Diakses
pada 06 Oktober 2019, dari http://www.mfa.go.th/main/en/news3/6886/99718-
Thailand-Ratifies-ILO%E2%80%99s-Work-in-Fishing-Convention.html
Newton, K., & Van Deth, J. W. (2009). Foundation of Comparative Politics: Democracies of
the Modern World (Second). New York: Cambridge University Press.
Oxfam International. (2018). Supermarket Responsibilities for Supply Chain Workers’ Rights:
Continuing challenges in seafood supply chains and the case for stronger supermarket
action. https://doi.org/10.21201/2018.2494
Reuters. (2017, Agustus 29). Party of Thai Former PM Says will Work for Democracy and the
People. Diakses pada 19 Oktober 2019, dari https://www.reuters.com/article/us-
thailand-politics-yingluck/party-of-thai-former-pm-says-will-work-for-democracy-
and-the-people-idUSKCN1B90ET
Risse, T. (2017). Domestic Politics and Norm Diffusion in International Relations. Routledge.
Seafood Summit. (2015, Februari 09-11). 2015 Summit Highlights. Diakses pada 18 Oktober
2019, dari https://www.seafoodsummit.org/2015-summit-highlights/
______________. (2019, Juni 10-14). Champion Spotlight: Patima Tungpuchayakul. Diakses
pada 03 Oktober 2019, dari https://www.seafoodsummit.org/champion-spotlight-
patima-tungpuchayakul/
______________. (tanpa tahun). SeaWeb Seafood Summit – The World’s Premier Conference
on Seafood Sustainability. Diakses pada 18 Oktober 2019, dari
https://www.seafoodsummit.org/about/
Stringer, C., Chantavanich, S., Laodumrongchai, S., & Stringer, C. (2018). Under the shadow :
Forced labour among sea fishers in Thailand Under the shadow : Forced labour among sea
fi shers in Thailand. Marine Policy, 68(June 2016), 1–7.
https://doi.org/10.1016/j.marpol.2015.12.015
The Guardian. (2013, Mei 29). Thailand Ignoring Slaves at Sea, says EJF report on Burmese
migrants. Diakses pada 15 Oktober 2019, dari https://www.theguardian.com/global-
development/2013/may/29/thailand-slaves-sea-burmese-migrants
___________. (2015). EU Threatens Thailand with Trade Ban over Illegal Fishing. Diakses
pada 05 September 2018, dari
https://www.theguardian.com/environment/2015/apr/21/eu-threatens-thailand-with-
trade-ban-over-illegal-fishing
___________. (2016, Februari 25). Slavery and Trafficking Continue in Thai Fishing Industry,
Claim Activists. Diakses pada Oktober 19 2019, dari
https://www.theguardian.com/global-development/2016/feb/25/slavery-trafficking-thai-
fishing-industry-environmental-justice-foundation
Tran, O. (2017). Thailand’s Fisheries Reform: An Analysis of Institutional Responses and
Degrees of Social Protection for Migrant Workers. University of Ottawa.
US Departement of State. (2015). Trafficking in Persons Report. Washington D.C: US
Departement of State.

13
Wetterö, T. (2015). An analysis of the Protocol and the Recommendation (2014) to the ILO
Forced Labour Convention. Lund University, Sweden.
Yuliestiana, A. T. (2018). Narasi Tentang Advokasi Transnasional dalam Self-Determination
Timor Timur. Dalam A. Soetjipto, Transnasionalisme: Peran Aktor Non Negara
dalam Hubungan Internasional (hal. 47-76). Jakarta: Yayasan Pusaka Obor Indonesia.
Zimmerman, C. et al (2014) Health and human trafficking in the Greater Mekong Subregion.
Findings from a survey of men, women and children in Cambodia, Thailand and Viet
Nam http://publications.iom.int/system/files/pdf/steam_report_mekong.pdf

14

You might also like