Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Permasalahan korupsi merupakan permasalahan serius dalam suatu bangsa
dan merupakan kejahatan yang luar biasa serta dapat menggoyahkan sendi-sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak tahun 1998, masalah pemberantasan
dan pencegahan korupsi telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi hasil yang dicapai
belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini berdampak semakin melemahkan
citra Pemerintah dimata masyarakat, yang tercermin dalam bentuk ketidakpercayaan
masyarakat, ketidakpatuhan masyarakat terhadap hukum, dan bertambahnya jumlah
angka kemiskinan absolut. Apabila tidak ada perbaikan yang berarti, maka kondisi
tersebut akan sangat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa.
Cukup banyaknya peraturan perundang-undangan mengenai korupsi yang
dibuat sejak tahun 1957, sebenarnya memperlihatkan besarnya niat bangsa
Indonesia untuk memberantas korupsi hingga saat ini, baik dari sisi hukum pidana
material maupun hukum pidana formal (hukum acara pidana). Namun demikian,
masih ditemui kelemahan yang dapat disalahgunakan oleh pelaku korupsi untuk
melepaskan diri dari jerat hukum.
Terlepas dari kuantitas peraturan perundang-undangan yang dihasilkan,
permasalahan utama pemberantasan korupsi juga berhubungan erat dengan sikap
dan perilaku. Struktur dan sistem politik yang korup telah melahirkan apatisme dan
sikap yang cenderung toleran terhadap perilaku korupsi. Akibatnya sistem sosial
yang terbentuk dalam masyarakat telah melahirkan sikap dan perilaku yang permisif
dan menganggap korupsi sebagai suatu hal yang wajar dan normal.
Akan tetapi, yang tak kalah memprihatinkan adalah dampak korupsi bagi
pembentukan sikap pandang masyarakat sehari-hari. Ditengarai, masyarakat
dewasa ini cenderung tidak berkeberatan atau setidaknya abai tentang perilaku
korupsi. Akibatnya, kondisi yang serba abai ini akan dapat menjelma menjadi serba
mengijinkan (permisif). Lama-kelamaan kondisi sosial ini akan berpotensi memberi
ruang pembenaran bahkan kesempatan bagi pelaksanaan korupsi. Karena,
bukannya menjadi sumber nilai-nilai yang benar, baik dan pantas, kondisi sosial
yang serba mengijinkan ini justru akan dapat menimbulkan kekaburan patokan nilai-
nilai. Akibatnya korupsi pun menjadi hal yang biasa. Termasuk didalam kebiasaan
1
melakukan pungutan tambahan atas proses pengurusan pembayaran pajak,
perijinan, pengurusan pasport dan pengurusan KTP, maupun penerimaan baik
berupa barang atau uang yang diterima oleh penyelenggara negara maupun
pegawai negeri apabila ada kaitan langsung terhadap tugasnya. Maka penerimaan
tersebut dapat dikategorikan penerimaan gratifikasi. Di dalam Undang-
undang No.20 tahun 2001 pasal 12B pemberian gratifikasi tersebut dianggap
perbuatan suap dan masuk kategori korupsi.
Maka dari itu penulis membuah makalah ini dengan judul “Indikator dan Sebab-
Sebab Terjadinya Pelanggaran Korupsi dan Gratifikasi serta Cara Mengatasinya.”

1.2 Rumusan Masalah


1 Apa pengertian dari korupsi dan gratifikasi?
2 Apa penyebab terjadinya pelanggaran korupsi dan gratifikasi?
3 Apa saja indikator dari korupsi dan gratifikasi?
4 Bagaimana cara mengatasi permasalahan korupsi dan gratifikasi?
1.3 Tujuan
1 Mengetahui pengertian dari korupsi dan gratifikasi.
2 Memahami penyebab terjadinya pelanggaran korupsi dan gratifikasi,
3 Memahami indikator dari korupsi dan gratifikasi.
4 Mengetahui cara mengatasi permasalahan korupsi dan gratifikasi.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
2.1.1 Pengertian Korupsi
Korupsi atau rasuah adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun
pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak
wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Kata korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau corruptus yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut para
ahli bahasa, corruptio berasal dari kata kerja corrumpere, suatu kata dari Bahasa
Latin yang lebih tua. Kata tersebut kemudian menurunkan istilah corruption, corrups
(Inggris), corruption (Perancis), corruptie/korruptie (Belanda) dan korupsi
(Indonesia).
Menurut UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengartikan bahwa Korupsi adalah Setiap orang yang dikategorikan melawan
hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Lalu menurut UU No. 20 Tahun 2001 adalah tindakan melawan hukum dengan
maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan
negara atau perekonomian negara. Pengertian Korupsi Menurut UU No.24 Tahun
1960 adalah perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu
kejahatan atau dilakukan dengan menyalah gunakan jabatan atau kedudukan.
Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), korupsi adalah
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain.
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan di seluruh
dunia ini rentan korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi tentu berbeda-beda, dari
yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan.

3
Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Dari pengertian korupsi yang dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan
uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, yang mengakibatkan kerugian keuangan pada negara. Atau tindakan
penyelewengan atau penggelapan uang baik itu uang Negara atau uang lainnya
yang dilakukan untuk keuntungan pribai atau orang lain.
Bisa juga diartikan sebagai tindakan seseorang yang menyalahgunakan
kepercayaan dalam suatu masalah atau organisasi untuk mendapatkan keuntungan.
Atau suatu kegiatan yang merugikan kepentingan publik dan masyarakat luas untuk
kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.

2.1.2 Pengertian Gratifikasi


Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 tahun
1999 jo. Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 memperkenalkan suatu perbuatan
yang dikenal sebagai gratifikasi, sebagaimana diatur di dalam Pasal 12 B.
Di dalam penjelasan Pasal 12 B ayat (1) disebutkan pengertian gratifikasi
adalah adalah pemberian dalam arti luas, meliputi pemberian uang, rabat (diskon),
komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan
wisata, pengobatan cuma – cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi hanya ditujukan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
sebagai penerima suatu pemberian. Pemberian itu akan dianggap sebagai suap
apabila dapat dibuktikan bahwa diberikan berhubung dengan jabatannya yang
berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Sifat pidana gratifikasi akan hapus
dengan dilaporkannya penerimaan gratifikasi itu oleh pegawai negeri atau
penyelenggara negara kepada Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada prinsipnya gratifikasi adalah pemberian biasa dari seseorang kepada
seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara. Dalam praktek, pemberian
seperti ini kerap dijadikan modus untuk ‘membina’ hubungan baik dengan pejabat
sehingga dalam hal seseorang tersangkut suatu masalah yang menjadi kewenangan
pejabat tersebut, kepentingan orang itu sudah terlindungi karena ia sudah
berhubungan baik dengan pejabat tersebut.

4
2.2 Indikator
2.2.1 Indikator Korupsi
Adapun indikator terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
1. Orang yang ingin memperkaya diri sendiri atau korporasi adalah salah satu
indikator terjadinya korupsi. Adapun perbuatan yang dilakukan menurut elemen
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi adalah :
a. Memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan perbuatan melawan hukum
itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya
sendiri.
b. Memperkaya orang lain, artinya akibat perbuatan melawan hukum dari
pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau
bertambahnya harta bendanya. Jadi disini yang diuntungkan bukan pelaku
langsung.
c. Memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu
korporasi, yaitu kumpulan orang atau kumpulan kekayaan yang terorganisasi
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Lemahnya aturan hukum pun dapat menjadi indikator terjadinya korupsi. Karena
dengan aturan hukum yang kurang ditegakkan maka tindakan seorang aparat
pemerintahan akan semakin berani dalam menyalahgunakan kewenangannya,
misalnya saja menerima uang suap dan sebagainya.
3. Rendahnya pendapatan penyelenggara negara. Pedapatan yang diperoleh harus
mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong
penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi
masyarakat. Jika pendapatan rendah dan tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya maka para penyelenggara Negara dapat saja menyalahgunakan
kewenangannya karena ingin memenuhi kebutuhannya seperti menerima suap atau
hadiah dan memanipulasi anggaran di pemerintahan.
4. Adapun indikator terjadinya korupsi di daerah. Salah satu indikator terjadinya
korupsi di suatu daerah yakni Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan APBD tidak
sejalan dengan pembangunan. Tandanya adalah pertama daerah yang PAD nya
besar, APBD nya besar, tapi pembangunannya tidak masif, itu salah satu indikator
terjadinya korupsi.

5
5. Kurangnya transparansi. Kecenderungan negara-negara sedang berkembang
untuk menutupi informasi-informasi yang berkaitan dengan keuangan negara,
menambah subur peluang untuk melakukan korupsi karena tidak ada sorotan publik
dan tidak ada pengawasan dari pers yang bebas.

2.2.2 Indikator Gratifikasi


Gratifikasi saat ini diatur di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Berikut ini adalah beberapa gambaran yang dapat digunakan untuk lebih
memahami mengapa gratifikasi perlu diatur dalam suatu peraturan yaitu:
1. Perkembangan Praktik Pemberian Hadiah
Perkembangan praktik terkini pemberian hadiah di Indonesia diungkapkan oleh
Verhezen (2003), Harkristuti (2006) dan Lukmantoro (2007). Verhezen dalam
studinya mengungkapkan adanya perubahan mekanisme pemberian hadiah pada
masyarakat jawa modern yang menggunakan hal tersebut sebagai alat untuk
mencapai tujuan bagi pegawai-pegawai pemerintah dan elit-elit ekonomi.
Pemberian hadiah (Gratifikasi) dalam hal ini berubah menjadi cenderung ke
arah suap. Dalam konteks budaya Indonesia dimana terdapat praktik umum
pemberian hadiah pada atasan dan adanya penekanan pada pentingnya hubungan
yang sifatnya personal, budaya pemberian hadiah menurut Verhazen lebih mudah
mengarah pada suap.
Penulis lain, Harkristuti (2006) terkait pemberian hadiah mengungkapkan
adanya perkembangan pemberian hadiah yang tidak ada kaitannya dengan
hubungan atasan-bawahan, tapi sebagai tanda kasih dan apresiasi kepada
seseorang yang dianggap telah memberikan jasa atau memberi kesenangan pada
sang pemberi hadiah.
2. Konflik Kepentingan dalam Gratifikasi
Salah satu kajian yang dilakukan oleh Direktorat Penelitian dan
Pengembangan KPK (2009) mengungkapkan bahwa pemberian hadiah atau
gratifikasi yang diterima oleh penyelenggara negara adalah salah satu sumber
penyebab timbulnya konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang tidak ditangani
dengan baik dapat berpotensi mendorong terjadinya tindak pidana korupsi.
Definisi konflik kepentingan adalah situasi dimana seseorang Penyelenggara
Negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan
6
perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap
penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat mempengaruhi kualitas
dan kinerja yang seharusnya.
Situasi yang menyebabkan seseorang penyelenggara Negara menerima
gratifikasi atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan
merupakan salah satu kejadian yang sering dihadapi oleh penyelenggara negara
yang dapat menimbulkan konflik kepentingan. Beberapa bentuk konflik kepentingan
yang dapat timbul dari pemberian gratifikasi ini antara lain adalah:
a. Penerimaan gratifikasi dapat membawa Kepentingan terseamar (vested
interest) dan kewajiban timbal balik atas sebuah pemberian sehingga
independensi penyelenggara negara dapat terganggu;
b. Penerimaan gratifikasi dapat mempengaruhi objektivitas dan penilaian
profesional penyelenggara negara;
c. Penerimaan gratifikasi dapat digunakan sedemikian rupa untuk
mengaburkan terjadinya tindak pidana korupsi; dan lain-lain.

2.3 Penyebab
2.3.1 Penyebab Terjadinya Korupsi
Tindakan korupsi merupakan tindak kejahatan yang terjadi akibat penyelewengan
wewenang atau tanggung jawab. Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang
bersifat kompleks. Faktor –faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku – pelaku
korupsi dan juga bisa berasal dari situasi lingkungan yang kondusif untuk melakukan
korupsi (faktor eksternal). Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: faktor internal dan faktor eksternal.
1. Faktor Internal, merupakan faktor pendorong korupsi yang berasal dari dalam diri
setiap individu. Faktor internal dapat diperinci menjadi:
a. Sifat tamak/rakus manusia
Sifat tamak merupakan sifat yang berasal dari dalam diri setiap individu. Hal itu
terjadi ketika seseorang mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri dan tidak
pernah merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki
b. Gaya hidup konsumtif
Pada era-modern ini, terutama kehidupan dikota- kota besar merupakan hal yang
sering mendorong terjadinya gaya hidup konsumtif. Oleh karena itu, apabila Perilaku
konsumtif tidak di imbangi dengan pendapatan yang memadai,maka hal tersebut
7
akan membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan demi
memenuhi hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
c. Moral yang kurang kuat
Seseorang yang mempunyai moral lemah cenderung mudah tergoda untuk
melakukan tindakan korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat,
bawahan, atau pihak lain yang memberi kesempatan untuk melakukan korupsi.
2. Faktor Eksternal, merupakan faktor pemicu terjadinya tindakan korupsi yang
berasal dari luar diri pelaku. Faktor eksternal dapat dibagi menjadi empat, yaitu:
a. Faktor Politik
Politik merupakan salah satu sarana untuk melakukan korupsi. Hal ini dapat dilihat
ketika terjadi intrabilitas politik atau ketika politisi mempunyai hasrat untuk
mempertahankan kekuasaannya.
b. Faktor Hukum
Hukum bisa menjadi faktor terjadinya korupsi dilihat dari dua sisi, disatu sisi dari
aspek perundang – undangan, dan disisi lain dari lemahnya penegak hukum. Hal
lain yang menjadikan hukum sebagai sarana korupsi adalah tidak baiknya substansi
hukum, mudah ditemukan aturan – aturan yang diskrimatif dan tidak adil, rumusan
yang tidak jelas dan tegas sehingga menumbulkan multi tafsir, serta terjadinya
kontradiksi dan overlapping dengan aturan lain.
c.Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya korupsi. Hal itu
dapat dilihat ketika tingkat pendapat atau gaji yang tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhannya, maka seseorang akan mudah untuk melakukan tindakan korupsi
demi terpenuhinya semua kebutuhan.
d. Faktor Organisasi
Organisasi dalam hal ini adalah organisasi dalam arti yang luas, tidak hanya
organisasi yang ada dalam suatu lembaga, tetapi juga sistem pengorganisasian
yang ada didalam lingkungan masyarakat. Faktor - faktor penyebab terjadinya
korupsi dari sudut pandang organisasi meliputi:
 Kurang adanya teladan dari pemimpin
 Tidak adanya kultur organisasi yang benar
 Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai
 Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

8
 Lemahnya pengawasan.

2.3.2 Penyebab Terjadinya Gratifikasi


Gratifikasi dapat diartikan positif atau negatif. Gratifikasi positif adalah
pemberian hadiah dilakukan dengan niat yang tulus dari seseorang kepada orang
lain tanpa pamrih artinya pemberian dalam bentuk “tanda kasih” tanpa
mengharapkan balasan apapun. Gratifikasi negatif adalah pemberian hadiah
dilakukan dengan tujuan pamrih, pemberian jenis ini yang telah membudaya
dikalangan birokrat maupun pengusaha karena adanya interaksi kepentingan,
misalnya dalam mengurus pajak, seseorang memberikan uang tips pada salah satu
petugas agar pengurusan pajaknya dapat diurus dengan segera. Hal ini juga sangat
merugikan bagi orang lain dan perpektif dan nilai-nilai keadilan dalam hal ini terasa
dikesampingkan hanya karena kepentingan sesorang yang tidak taat pada tata cara
yang telah ditetapkan. Dengan demikian secara perspektif gratifikasi tidak selalu
mempunyai arti jelek, namun harus dilihat dari kepentingan gratifikasi.
Kemauan memilah dan memilih antara gratifikasi yang boleh dengan yang
dilarang inilah menjadi persoalan tersendiri. Memang, yang perlu dipersoalkan di sini
adalah gratifikasi yang dilarang. Gratifikasi ini merusak mental pejabat atau pegawai
negeri. Mereka akan menjadi pengemis bagi masyarakat. Tidak memberi layanan,
kalau tidak diberi sesuatu atau embel-embel di luar gaji resmi yang diterimanya tiap
bulan. Mentalitas ada uang, ada layanan ini telah mengakar kuat di dunia birokrasi,
karena beberapa hal berikut:
Pertama, dilihat dari sisi Pemberi, gratifikasi (yang dilarang) merupakan tanda
ikhlas yang diberikan kepada pegawai negeri atau pejabat setelah mendapatkan
layanan. Berbeda dengan suap, tidak ada tendensi menyogok. Apalagi, gratifikasi
tersebut diberikan setelah mendapatkan layanan. Inilah sesat pikir yang kebanyakan
dialami oleh Pemberi.
Dalam anggapan mereka, memberikan sesuatu setelah selesai urusan itu
wajar-wajar saja karena tidak mempengaruhi apa pun. Akan tetapi yang tak disadari
adalah mentalitas menerima akan berlanjut pada upaya meminta dengan paksa bila
tidak diberi sesuatu.
Kedua, pandangan bahwasanya gratifikasi yang diberikan dilandasi rasa ikhlas
juga menjangkiti Penerima. Mereka tidak meminta atau bahkan memaksa.
Mempersoalkan apakah uang itu halal atau haram saja tidak karena dianggap
9
bentuk rejeki yang datang dari mana saja karena telah baik melayani. Fakta bahwa
gratifikasi itu diberikan di akhir sebagai tanda terima kasih juga menguatkan
pandangan tersebut.
Ketiga, mengenai sistem di tempat kerja. Meskipun semangat pemberantasan
korupsi bergema lebih kuat saat ini, nyatanya hal tersebut tidak merasuk ke relung
sanubari semua pegawai negeri atau pejabat negara. Seolah gaung anti korupsi
tidak pernah menjangkau ruang-ruang gelap di mana korupsi sering terjadi. Banyak
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahkan sistem sehingga
korupsi menjadi praktik keseharian yang diterima. Mereka tak mau mengubah sistem
yang korup itu.

2.4 Cara Mengatasi


2.4.1 Cara Mengatasi Korupsi
Banyak cara yang dapat kita terapkan untuk dapat memberantas korupsi. Mulai
dari hal yang paling kecil yaitu diri sendiri, sampai ke tingkat Negara. Beberapa
langkah untuk memberantas korupsi:
1. Membangun Supremasi Hukum dengan Kuat
Hukum adalah pilar keadilan. Ketika hukum tak sanggup lagi menegakkan sendi-
sendi keadilan, maka runtuhlah kepercayaan publik pada institusi ini. Ketidak jelasan
kinerja para pelaku hukum akan memberi ruang pada tipikor untuk berkembang
dengan leluasa. Untuk itu sangat oerlu dilakukan membangun supremasi hukum
yang kuat. Tidak ada manusia yang kebal hukum, serta penegak hukum tidak
tebang pilih dalam mengadili.
2. Menciptakan Kondisifitas Nyata di Semua Daerah
Salah satu rangsangan tumbuhnya tipikor dengan subur adalah kondisifitas semu
di suatu wilayah otonom. Kondusifitas yang selama ini dielu-elukan adalah
kondusifitas semu belaka. kejahatan korup terus tumbuh dengan subur tanpa ada
yang menghentikannya. bagaimana suatu otonomi daerah semestinya dikatakan
kondusif? yakni daerah yang terbebas dari penyakit tipikor , bersih penyelewengan
serta tidak ada lagi tindak kejahatan yang merugikan bangsa dan negara.
3. Eksistensi Para Aktivis
Para aktifis seperti LSM harus gencar menyerukan suaranya untuk melawan
korupsi. Disini, peran aktif para aktifis sangat diharapkan. (baca : fungsi lembaga
swadaya masyarakat)
10
4. Menciptakan Pendidikan Anti Korupsi
Upaya pemberantasan korupsi melalui jalur pendidikan harus dilaksanakan
karena tidak bisa dipungkiri bahwa pendidikan merupakan wahana yang sangat
startegis untuk membina generasi muda agar menanamkan nilai-nilai kehidupan
termasuk antikorupsi.
5. Membangun Pendidikan Moral Sedini Mungkin
Mengapa banyak pejabat Negara ini yang korupsi? Salah satu jawabannya
karena mereka bermoral miskin, bertabiat penjahat dan tidak bermartabat. Jika
seseorang memiliki moral yang rendah, maka setiap gerak langkahnya akan
merugikan orang. oleh karena itu sangat penting sekali membekali pendidikan moral
pada generasi muda.
6. Pembekalan pendidikan Religi yang Intensif
Semua agama mengajarkan pada kebaikan. Tidak ada satupun agama yang
menyuruh kita berbuat untuk merugikan orang lin, seperti korupsi. Peran orang tua
sangat berpengaruf untuk menumbuhkan kesadaran religi pada anak agar kelak
saat dewasa memiliki moral dan mentalitas yang baik.

2.4.2 Cara Mengatasi Gratifikasi


Ada 2 cara yang dilakukan untuk mencegah terjadinya gratifikasi, tolak dan
laporkan. Sebiasa mungkin kita harus berusaha untuk menolak pemberian yang
tidak seharusnya. Jika kita dalam posisi tidak memungkinkan untuk menolak, kita
dapat menerima namun kemudian harus melaporkan kepada pihak terkait.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Korupsi adalah tindakan melanggar hukum dimana seseorang atau
sekelompok orang menyalahgunakan kekuasaan atau kepercayaan dalam suatu
lembaga atu organisasi untuk keuntungan diri sendiri. Gratifikasi adalah pemberian
biaya tambahan, barang, uang, rabat (diskon), komisi pinjaman tanpa bunga,
fasilitas penginapan, tiket perjalanan, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainya.
Indikator dari korupsi dan gratifikasi adalah keinginan untuk mendapatkan
sesuatu dengan serba instan tanpa perlu bersusah payah. Sehingga banyak oknum
melakukan pelanggaran hukum tersebut walaupun mereka tahu hukuman apa yang
nanti mereka dapatkan. Cara mengatasi kedua permasalahan ini adalah
menegakkan dan menguatkan hukum yang berlaku, membangun mendidikan moral
sejak dini, dan pembekalan pelajaran religi.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah sebagai mahasiswa seharusnya mulai
menerapkan pendidikan anti korupsi dan gratifikasi seperti dengan tidak menitipkan
absen dan ikut berpartisipasi dalam kerja kelompok.
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail didalam menyebutkan perihal makalah di atas bersama
sumber–sumber yang lebih banyak yang tentunya mampu di pertanggung jawabkan.
Untuk wejangan mampu berisi kritik atau saran kepada penulis supaya mampu
untuk menanggapi terhadap analisis berasal dari bahasan makalah yang sudah
dijelaskan.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://www.zonareferensi.com/pengertian-korupsi/
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-gratifikasi/
https://www.kpk.go.id/id/layanan-publik/gratifikasi
https://yuokysurinda.wordpress.com/2016/11/20/definisi-gratifikasi/
http://sistempemerintahandaerahkelasa.blogspot.com/2015/10/pengertian-dan-
indikator-korupsi-bela.html
https://guruppkn.com/penyebab-korupsi-dan-cara-mengatasinya
https://www.kompasiana.com/zurul_98/57ee2a6ab37e61951464bfe4/faktorfaktor-
penyebab-korupsi?page=2
https://ekazai.wordpress.com/makalahartikel-hukum/hukum-pidana/makalah-
gratifikasi/
https://www.kompasiana.com/anjasprasetiyo/5a7956b7ab12ae0aa178c9c4/mengap
a-gratifikasi-yang-dilarang-susah-diberantas-di-negeri-ini?page=all
http://www.unair.ac.id/jangan-sembarangan-terima-gratifikasi!-berita_1510.html

13
LAMPIRAN

Tanda tangan anggota kelompok

Sencho Parameswara A. Alda Oktariani


19230003 19230016

Farrahdilla Pratiwi
19230020

14

You might also like