Professional Documents
Culture Documents
Analisis Penerapan Advance Pricing Agree
Analisis Penerapan Advance Pricing Agree
Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
E-mail: yudistirasatyakusuma@yahoo.com
Abstrak
Transfer pricing merupakan praktik yang lazim digunakan oleh multinational enterprises dalam kegiatan usahanya.
Transfer pricing yang dilakukan oleh multinational enterprises memungkinkan terjadinya pengenaan pajak
berganda. Untuk mendapatkan kepastian dalam metode transfer pricing yang dilakukannya maka advance pricing
agreement dapat digunakan. Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran mengenai penerapan advance pricing
agreement di Indonesia dan faktor-faktor yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam penerapan tersebut.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif didapatkan melalui
studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah penerapan advance pricing agreement di
Indonesia masih memiliki banyak kekurangan bila dibandingkan dengan Singapura, faktor-faktor penghambat
penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan saran agar Direktorat Jenderal Pajak sebagai otoritas pajak di
Indonesia memperbaiki peraturan pelaksana advance pricing agreement dan mengatasi faktor-faktor penghambat
penerapan advance pricing agreement di Indonesia.
Abstract
Transfer pricing is a common practices used by multinational enterprises in their business activities. Transfer pricing
used by multinational enterprises leads to possibility of double taxation. To get a certainty on their transfer pricing
method, multinational enterprises can use advance pricing agreement. This study aims to provide an overview of
advance pricing agreement application in Indonesia and obstacles faced by Directorate General of Tax in its
application. The method use was a qualitative study with qualitative data analysis. Qualitative data was obtained
through study of literature and in-depth interviews. The result of this study is advance pricing agreement application
in Indonesia still have many inadequacy compared with Singapore, obstacle on advance pricing agreement
application in Indonesia and suggestion so Directorate General of Tax as Indonesian tax authority can make
improvement on advance pricing agreement regulation and how to overcome obstacles on advance pricing agreement
implementation in Indonesia.
Pendahuluan
Ada beberapa alasan mengapa investor asing dari negara maju melakukan investasi di negara
berkembang. Lal Das menyebutkan bahwa ada tiga alasan utama yang mendorong investor asing
dari negara maju melakukan investasi di negara berkembang. Pertama adalah pemahaman bahwa
keuntungan dari modal yang diperoleh di negaranya kurang memadai, kedua adalah sebagai
upaya untuk mengkombinasikan modal yang dimilikinya dengan tenaga kerja yang murah di
negara tujuan investasi untuk mengurangi biaya produksi, dan ketiga adalah penggunaan bahan
baku di negara berkembang yang dekat dengan sumbernya (Rahayu, 2008, p. 2).
Otoritas pajak suatu negara dalam usahanya untuk melindungi penerimaan negara di bidang
perpajakan umumnya memberlakukan keharusan pelaporan dokumentasi transfer pricing (TP
Doc / Transfer Pricing Documentation) atas transaksi yang dilakukan oleh wajib pajaknya
dengan related parties untuk membuktikan bahwa transaksi yang dilakukan dengan related
parties sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (Arm’s Length Principle) sehingga
transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market Value). Pada dasarnya
arm’s length principle adalah prinsip dimana dalam melakukan transaksi dengan related parties
harus sama dengan transaksi antara pihak yang tidak tergabung dalam related parties. Dalam
Dalam penentuan arm’s length principle oleh wajib pajak, terkadang terjadi dispute antara
otoritas pajak dengan wajib pajak mengenai metode yang digunakan dalam penentuan arm’s
length principle. Untuk mengurangi ketidakpastian bagi wajib pajak yang menunggu disetujui
atau tidaknya arm’s length principle yang telah ditentukannya oleh otoritas pajak melalui
pemeriksaan dan penyidikan pajak yang memakan waktu dan dana yang tidak sedikit, wajib
pajak dapat melakukan negosiasi di muka mengenai metode transfer pricing yang dilakukannya
dengan memanfaatkan kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement / APA). Advance
pricing agreement dikembangkan sebagai suatu alternatif dalam mengatasi masalah penentuan
metode transfer pricing dengan menegosiasikan metode transfer pricing yang digunakan oleh
wajib pajak dengan otoritas pajak dan bila diperlukan dengan mitra otoritas pajak negara lain (tax
treaty partner).
Perbedaan sistem perpajakan antara dua Negara akan menyebabkan terjadinya pengenaan pajak
berganda terhadap penghasilan orang atau badan yang sama (Surahmat, 2005, p. 2) untuk
menghindari hal tersebut advance pricing agreement dapat digunakan karena advance pricing
agreement adalah salah satu bentuk dari advance ruling system yaitu sebuah sistemb dalam
perpajakan yang dapat digunakan oleh wajib pajak untuk mendapatkan suatu kepastian pajak atas
kegiatan bisnisnya. Dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, wajib pajak dapat memperoleh
kepastian perpajakan atas kegiatan bisnisnya untuk menghindari kesalahan dan sanksi yang
mungkin didapatkan karena ketidaktahuannya. Advance pricing agreement juga dapat dilakukan
secara bilateral dan multilateral untuk menghindari terjadinya pajak berganda.
Sebagai salah satu pendekatan yang proaktif dalam menangani permasalahan transfer pricing,
advance pricing agreement dapat meningkatkan baik efektifitas maupun efisiensi perusahaan
dengan memberikan sebuah perkembangan administratif dalam hal penentuan metode transfer
pricing dan mencegah terjadinya dispute di masa yang akan datang dengan otoritas pajak
mengenai metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak dan memberikan suatu
Perkembangan advance pricing agreement di Indonesia yang terbilang lambat sejak pertama kali
diundangkan mulai mencapai titik cerah saat PER-69/PJ/2010 dikeluarkan karena untuk pertama
kali nya sejak diundangkan wajib pajak di Indonesia mendapatkan suatu panduan (guidelines)
untuk memulai proses pengajuan advance pricing agreement. PER-69/PJ/2010 mengatur tentang
tata cara pengajuan advance pricing agreement meskipun belum secara sempurna memberikan
hal-hal yang dirasa penting bagi wajib pajak untuk menggunakan advance pricing agreement
dalam penentuan metode transfer pricing yang dilakukan oleh wajib pajak. Namun sejak
keluarnya PER-69/PJ/2010 hingga tahun 2014 belum ada satu pun perusahaan yang proses
pengajuan advance pricing agreement nya dapat diselesaikan (hasil wawancara dengan Anung
Andang Wiratama), berbeda dengan Singapura yang pada tahun 2012 saja berhasil
merampungkan 11 pengajuan advance pricing agreement secara unilateral dan bilateral.
Dalam proses pematangan yurisdiksi transfer pricing oleh pemerintah Indonesia salah satu yang
harus diperhatikan adalah penting nya peran advance pricing agreement sebagai solusi dalam
pencegahan penyalahgunaan transfer pricing khususnya bagi multinational enterprises yang
banyak berekspansi ke Indonesia. Lambatnya perkembangan advance pricing agreement di
Indonesia bertolak belakang dengan perkembangan advance pricing arrangement di Singapura,
dengan adanya beberapa faktor yang menghambat perkembangan advance pricing agreement di
Indonesia. Pokok permasalahan di atas dapat dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan di Singapura?
2. Apa faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia?
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan bagaimana penerapan advance pricing
agreement di Indonesia dan Singapura serta menjelaskan faktor-faktor yang menghambat
penerapan advance pricing agreement di Indonesia.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif karena dapat
memberikan pemahaman menyeluruh atas penerapan advance pricing agreement di indonesia,dan
memberikan gambaran mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan advance pricing
agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di Singapura.
Salah satu ciri dari penelitian kualitatif adalah digunakannya metode-metode kualitatif. Metode
yang sering digunakan pada penelitian kualitatif adalah pengamatan, wawancara, atau penalahaan
dokumen (Lexy J. Moleong, 2007, p. 9). Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan
dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut:
Agar penelitian menjadi fokus dan terarah peneliti membatasi penelitian ini pada penerapan
advance pricing agreement di Indonesia, faktor–faktor yang menghambat penerapan advance
pricing agreement di Indonesia dan perbandingan penerapan advance pricing agreement di
Singapura. Penelitian tidak dilakukan untuk menentukan metode transfer pricing yang tepat
dalam pengajuan permohonan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura.
Melalui kedua gambar di atas dapat dilihat bahwa proses yang terjadi pada pembahasan
advance pricing agreement secara bilateral di Indonesia sesuai ilustrasi tersebut adalah PT. A
mengajukan permohonan advance pricing agreement kepada Direktur Jenderal Pajak,
Direktur Jenderal Pajak kemudian memanfaatkan Exchange of Information dengan otoritas
pajak asing untuk kemudian mengundang otoritas pajak asing tersebut melalui APA, setelah
Tahapan pembahasan advance pricing agreement adalah tahapan yang paling lama dalam
proses pengajuan advance pricing agreement ditambah lagi jika advance pricing agreement
yang diajukan berupa bilateral dan multilateral karena kesepakatan yang ingin dicapai bukan
hanya antara wajib pajak dan otoritas pajak melainkan memerlukan kesepakatan dengan
otoritas pajak asing yang terkait untuk menghindari terjadinya double taxation. Pembahasan
advance pricing agreement sebaiknya dilakukan oleh tim yang kompeten dan memiliki
pengalaman, khususnya dalam bidang audit untuk mengetahui secara pasti apakah metode
transfer pricing yang diajukan oleh wajib pajak telah sesuai dengan fakta dan negosiator
yang memahami perpajakan internasional untuk melakukan negosiasi dengan otoritas pajak
asing agar melakukan corresponding adjustment. Dalam proses pembahasan secara bilateral
dan multilateral sebaiknya turut melibatkan wajib pajak untuk menyampaikan pandangannya
terhadap metode transfer pricing yang digunakannya agar dapat menjadi pertimbangan para
otoritas pajak yang terlibat.
Pembagian pelaksanaan pembahasan advance pricing agreement seperti yang dilakukan oleh
Singapura juga dapat ditiru di Indonesia karena tidaklah relevan dalam pembahasan advance
Periode yang berlaku dalam advance pricing agreement di Indonesia paling lama adalah 3
tahun pajak yang dihitung sejak tahun pajak saat advance pricing agreement disepakati.
Periode roll-back di Indonesia diperbolehkan selama tahun pajak yang bersangkutan belum
pernah dilakukan pemeriksaan, keberatan, banding, dan tidak terdapat indikasi tindak pidana
di bidang perpajakan, kriteria tersebut berlaku untuk advance pricing agreement secara
unilateral, bilateral, dan multilateral.
Berbeda dengan Indonesia, periode yang dicakup dalam advance pricing arrangement di
Singapura paling lama adalah 5 tahun. Periode roll-back di Singapura diperbolehkan untuk
advance pricing arrangement secara bilateral dan multilateral namun tidak melebihi 2 tahun
sejak periode yang dicakup oleh advance pricing arrangement sepanjang tidak ada
Berdasarkan wawancara dengan Anung Andang Wiratama, Pelaksana Seksi Perjanjian Asia
Pasifik, Direktorat Jenderal Pajak, proses seleksi yang telah dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak hanya menguji kemampuan Bahasa Inggris dan perpajakan internasional
sehingga penulis menganggap peningkatan kompetensi di tim pelaksana advance pricing
agreement belum tepat sasaran. Peningkatan kompetensi dapat dilakukan dengan dua hal
yaitu dengan merekrut ahli-ahli di bidang yang diperlukan, atau dengan melakukan pelatihan
khusus, training, dan program kesempatan pendidikan. Proses rekrutmen dalam tim
pelaksana advance pricing agreement sebaiknya dilakukan dalam beberapa bidang seperti
ahli industri keuangan, manufacturing, jasa, minyak dan gas, pertambangan dan lain-lain, ahli
ekonomi, ahli perpajakan internasional dan auditor transfer pricing.
Peningkatan kompetensi dalam berbagai bidang industri dilakukan agar Direktorat Jenderal
Pajak dapat menggali lebih dalam tentang kegiatan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak
yang mengajukan advance pricing agreement. Sifat advance pricing agreement yang
merupakan sebuah individual ruling berarti dalam pelaksanaan advance pricing agreement
Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat menerapkan prinsip umum suatu usaha karena mungkin
akan bertentangan dengan fakta yang terjadi di lapangan sehingga diperlukan ahli dalam
bidang usaha wajib pajak yang mengajukan advance pricing agreement untuk mengetahui
fakta di lapangan.
Ahli ekonomi dalam tim pelaksana advance pricing agreement diperlukan untuk mengetahui
apakah critical assumptions yang diajukan saat pengajuan advance pricing agreement oleh
wajib pajak telah sesuai dengan proyeksi yang akan datang atau tidak. Critical assumptions
Ahli perpajakan internasional dibutuhkan dalam tim pelaksana advance pricing agreement
untuk melakukan perjanjian perpajakan internasional seperti mutual agreement procedure
dalam hal advance pricing agreement bilateral atau multilateral. Keahlian perpajakan
internasional juga diperlukan untuk menentukan adjustment pada transaksi transfer pricing
yang diajukan dalam rangka penghindaran pengenaan pajak berganda.
Auditor transfer pricing diperlukan dalam tim pelaksana advance pricing agreement untuk
mengetahui apakah metode transfer pricing yang diajukan sudah tepat atau tidak. Auditor
dalam pelaksanaan advance pricing agreement sebaiknya mempunyai peran yang berbeda
dengan auditor lapangan.
Dari kedua definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Civil law menggunakan prinsip yang
berlaku secara umum sedangkan Common law lebih melihat fakta spesifik yang terjadi dalam
suatu situasi.
Berdasarkan data yang penulis kumpulkan dari beberapa sumber tersebut dapat terlihat bahwa
melalui perbandingan singkat sistem hukum di beberapa Negara terhadap advance pricing
agreement yang dihasilkannya Negara dengan sistem hukum common law melakukan
advance pricing agreement yang lebih banyak dibandingkan dengan Negara civil law, rata-
rata perbandingan di atas adalah 380 per Negara common law berbanding dengan 39 per
Negara civil law. Perbandingan juga dapat dilakukan antara Indonesia dengan India, India
yang menggunakan civil law baru mempunyai peraturan advance pricing agreement pada
Agustus 2012, namun pada Maret 2014 India sudah menerbitkan 5 advance pricing
agreement unilateral, berbeda dengan Indonesia yang lebih dulu mempunyai peraturan
pelaksana advance pricing agreement pada tahun 2010 namun hingga sekarang belum ada
satupun permohonan advance pricing agreement yang disepakati.
Faktor penghambat penerapan advance pricing agreement di Indonesia dapat dibagi menjadi
dua yaitu
1. Faktor Internal
a. Peraturan advance pricing agreement yang belum sempurna
Terdapat beberapa kekurangan dalam PER 69/PJ/2010 yaitu belum memuat
tentang jangka waktu minimal pengajuan advance pricing agreement, kurang
mengatur tentang perlindungan hukum bagi wajib pajak atas informasi yang
diberikannya, belum mengatur tentang proses renegosiasi, dan periode roll-back
yang belum jelas.
b. Proses advance pricing agreement yang belum tepat
Proses pengajuan advance pricing agreement di Indonesia berbeda dengan
Singapura yang menggunakan proses MAP APA dalam pengajuan advance
pricing agreement secara bilateral dan multilateral.
c. Sumber daya manusia di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
i. Struktur Organisasi yang kurang memadai
Tidak ada direktorat khusus perpajakan internasional di Direktorat Jenderal
Pajak.
ii. Kurangnya kompetensi tim pelaksana
Tim pelaksana advance pricing agreement hanya terdiri dari auditor,dan
ahli perpajakan internasional dan memiliki kemampuan berbahasa Inggris,
tidak sesuai dengan kebutuhan advance pricing agreement yang paling
tidak terdiri dari ekonom, ahli industri, ahli perpajakan internasional, dan
auditor.
iii. Kurangnya keberanian dalam pengambilan keputusan
Wawancara dengan Gunadi menyebutkan bahwa dalam pengambilan
keputusan diperlukan keberanian moral karena advance pricing agreement
merupakan kesepakatan yang bisa berbeda dengan peraturan yang ada.
d. Kurangnya kerjasama dengan pihak lain yang terkait
Advance pricing agreement merupakan kebijakan pemerintah Indonesia jadi
sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak bekerjasama dengan aparatur penegak hukum
Simpulan
Saran
1. Dalam perbandingan penerapan advance pricing agreement di Indonesia dan Singapura dapat
terlihat bahwa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Negara lain khususnya
dengan Singapura. Untuk menerapkan advance pricing agreement di Indonesia maka
Direktorat Jenderal Pajak dapat meniru beberapa ketentuan advance pricing agreement yang
diatur di Singapura contohnya seperti mengikuti Singapura dalam hal pertemuan awal agar
pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral dapat dipercepat.
2. Dalam menghadapi faktor-faktor yang menghambat penerapan advance pricing agreement
Indonesia, penulis mempunyai beberapa saran yang dapat diterapkan yaitu:
a) Proses pengajuan advance pricing agreement secara bilateral dan multilateral sebaiknya
mendorong wajib pajak untuk berinisiatif melakukan advance pricing agreement dengan
otoritas pajak Negara lain yang terkait melalui related party mereka.
b) Kompetensi tim yang menangani advance pricing agreement dan juga tim audit transfer
pricing sebaiknya ditingkatkan dengan berbagai cara, seperti memasukan ahli industri,
ekonom, dan audit pada tim pelaksana advance pricing agreement dan juga dengan
melakukan pelatihan-pelatihan khusus dan kerjasama dengan institusi pendidikan terkait.
c) Direktorat Jenderal Pajak harus menunjukan konsistensi dalam penerapan aturan
perpajakan yang berlaku untuk meningkatkan kepercayaan wajib pajak. Konsistensi dapat
Daftar Referensi
Buku
Gunadi.2004. Transfer Pricing: Suatu Tujuan Akuntansi, Manajemen dan Pajak. Jakarta: PT
Bina Rena Pariwara
_____. 2007. Pajak internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Rugman, Alan M. 2007. The Regional Multinationals: MNE and ‘Global’ Strategic
Management. United Kingdom: University Press, Cambridge.
Tetley, William Q.C. 1994 International Conflict of Laws, Common, Civil and Maritime.
Montreal: International Shipping Publications
Wallace, Cynthia Day. 2002 The Multinational Enterprise and Legal Control : Host State
Sovereignty in an Era of Economic Globalization. The Netherlands: Kluwer Law
International.
Zain, Mohammad 2007 Manajemen Perpajakan, Salemba empat
Disertasi
Rahayu, Ning. 2008. Praktik penghindaran pajak tax avoidance pada foreign direct invesment
yang berbentuk subsidiary company (PT PMA) di suatu kajian tentang kebijakan anti tax
avoidance. Disertasi Fisip Universitas Indonesia.