Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL UNTUK MENGATASI


MASALAH KETAHANAN PANGAN

Agricultural Products Processing Technology for Coping with


Food Security)

Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian


Jl. A. Yani No. 70 Bogor 1616

ABSTRACT

One of important subsectors to develop is agricultural product (food) processing


industry. Development of this industry requires more agricultural crops and increases value
added, employment, processors’ income, and diverse food products. Adoption of
technological processing innovations should get priority because in turn it will improve rural
people’s income. There are some obstacles in adopting agro-processing technologies,
namely lack of supervision after technology introduction; the technology users have no
entrepreneurial character, lack of capital, limited raw materials, and labor shortage. In
addition, adoption of innovated technology is affected, among others, by development and
efforts to generate technologies fitting to local conditions, and excellent collaboration
between actors in the private and government sectors. This study aims to look at the role,
adoption, and constraints of processing technology development and to determine the
influencing factors. The research results indicated that the factors influencing adoption of
technology, among others, are availability of raw materials, capital, labor, and market for the
processed products. Home-industry processing agricultural products is relatively less
profitable, but its small and medium scale business offers value-added beneficial to the
processors.

Key words: technology, processing, Lampung, Central Java, and East Java,

ABSTRAK

Salah satu subsektor yang sangat penting dikembangkan untuk mendukung


pembangunan pertanian adalah industri pengolahan hasil pertanian (makanan).
Pengembangan industri makanan diharapkan akan mampu menyerap hasil pertanian yang
diusahakan petani, memberikan nilai tambah terhadap produk pertanian, membuka
kesempatan kerja, sumber devisa sekaligus menyediakan produk pangan yang semakin
beragam. Oleh karena itu, adopsi inovasi teknologi pengolahan hasil merupakan salah satu
strategi yang patut selalu diprioritaskan mengingat peningkatan nilai tambah produk
pertanian melalui pengolahan akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun
demikian masih banyak kendala dalam adopsi teknologi pengolahan hasil pertanian, antara
lain tidak adanya pendampingan dalam proses adopsi teknologi setelah introduksi,
penerima teknologi tidak memiliki jiwa wiraswasta, kekurang modal, keterbatasan bahan
baku, dan tenaga kerja. Selain itu, adopsi inovasi teknologi pengolahan hasil pertanian
dipengaruhi, antara lain, oleh perkembangan dan upaya untuk menghasilkan teknologi yang
sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dan didukung oleh kerja sama yang baik antar

111
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

pelaku di sektor swasta dan pemerintahan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran,
adopsi dan kendala pengembangan teknologi pengolahan hasil, serta mengetahui faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Berdasarkan penelitian ini diketahui faktor-faktor yang
mempengaruh adopsi teknologi antara lain ketersediaan bahan baku, modal, tenaga kerja
dan pemasaran hasil. Industri pengolahan pangan di tingkat rumah tangga relatif kurang
menguntungkan, namun di tingkat skala usaha kecil dan menengah memberikan nilai
tambah yang relatif memadai bagi para pelakunya.

Kata kunci: tekonologi, pengolahan, Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Timur

PENDAHULUAN

Salah satu subsektor yang sangat penting dikembangkan untuk


mendukung pembangunan pertanian adalah industri pengolahan hasil pertanian
(makanan). Pengembangan industri makanan diharapkan akan mampu menyerap
hasil pertanian yang diusahakan petani, memberikan nilai tambah terhadap produk
pertanian, membuka kesempatan kerja, sumber devisa sekaligus menyediakan
produk pangan yang semakin beragam. Pengolahan bahan makanan agar lebih
bergizi dan awet memiliki interelasi terhadap pemenuhan gizi masyarakat, maka
pemerintah hendaknya selalu berusaha untuk menyediakan suplai pangan yang
cukup, aman dan bergizi. Salah satunya dengan melakukan berbagai cara
pengolahan dan pengawetan pangan yang dapat memberikan nilai tambah bagi
produsen dan perlindungan terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi.
Pangan secara umum bersifat mudah rusak (perishable), karena kadar air yang
terkandung di dalamnya sebagai faktor utama penyebab kerusakan pangan itu
sendiri. Semakin tinggi kadar air suatu pangan, akan semakin besar kemungkinan
kerusakannya baik sebagai akibat aktivitas biologis internal (metabolisme) maupun
masuknya mikroba perusak.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran, adopsi, dan kendala
pengembangan teknologi pengolahan hasil serta mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan teknologi pengolahan. Disamping itu, pengembangan
yang merupakan sektor hilir dari sistem agribisnis pangan seringkali dianggap
merupakan jawaban terhadap berbagai permasalahan produksi pertanian yang
merupakan sektor hulunya, seperti masalah fluktuasi harga, sifat fisik produk
pertanian yang mudah busuk, kualitasnya kurang seragam, serta menyulitkan
untuk menembus pasar internasional. Hal ini terkait erat dengan sifat investasi di
sektor pertanian (investasi publik di bidang R&D), walaupun demikian investasi
pertanian dalam jangka pangjang sesungguhnya masih sangat menarik apabila
hasil-hasil pertanian diubah menjadi produk olahan pertanian.
Permintaan produk olahan pertanian juga menunjukkan kecenderungan
semakin meningkat baik pada pasar domestik maupun internasional (terutama
olahan tapioka). Hal ini bukan saja disebabkan oleh meningkatnya jumlah
penduduk dunia secara kuantitatif tetapi juga secara kualitatif kesejahteraan

112
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

penduduk tersebut semakin baik yang menyebabkan semakin meningkatnya


kebutuhan akan pangan yang bergizi dan beragam.
Sejalan dengan hal tersebut, maka pengembangan teknologi pengolahan
pertanian terutama industri makanan sangat dibutuhkan. Untuk itu pengembangan
teknologi pascapanen semakin diperlukan. Upaya untuk mengembangkan
teknologi tersebut sangat mungkin dilakukan mengingat masih tersedianya lahan
dan teknologi on farm. Ketersediaan sumber daya alam, sumber daya manusia,
besarnya hasil pertanian yang dimiliki, serta pasar terbuka akan memberikan daya
tarik tersendiri bagi pelaku pada industri pengolahan hasil. Namun disisi lain,
kendala pengembangan R&D juga masih ada dan akan menghambat peningkatan
teknologi pengolahan hasil. Untuk itu maka sangat penting untuk meneliti berbagai
faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi teknologi pengolahan hasil.
Sebagai salah satu subsektor yang sangat strategis untuk dikembangkan
maka teknologi pengolahan hasil harus didorong secara sistematis dan signifikan.
Meningkatnya adopsi teknologi tersebut akan tercermin dari meningkatnya
akselerasi sistem inovasi teknologi pengolahan hasil. Hal ini tidak terlepas dari
berbagai faktor yang mempengaruhi sistem inovasi, baik yang positif maupun yang
negatif. Permasalahan utama dalam inovasi teknologi hasil pertanian adalah
adanya teknolog yang relatif mahal, alat dan mesin yang tidak sesuai dengan
kondisi lokasi, tingkat keuntungan yang rendah sehingga tingkat adopsi teknologi
menjadi rendah.
Pemerintah sebagai fasilitator dan regulator diharapkan semakin
memberikan dukungan terhadap penciptaan iklim yang semakin kondusif bagi
berkembangnya industri makanan. Perumusan kebijakan yang tepat, pelayanan
perijinan investasi industri makanan dan pengembangan infrastruktur di daerah
diharapkan akan semakin mendorong berkembangnya investasi pada industri
makanan sehingga pada akhirnya akan mendorong berkembangnya teknologi
pengolahan hasil
Strategi akselerasi sistem inovasi teknologi pengolahan hasil pertanian
dipengaruhi, antara lain, oleh perkembangan dan upaya untuk menghasilkan
teknologi yang sesuai dengan kondisi lingkungan setempat dan didukung oleh
kerja sama yang baik antarpelaku di sektor swasta dan pemerintahan. Dalam hal
ini dukungan investasi dari pemerintah, swasta maupun masyarakat merupakan
suatu keharusan. Investasi akselerasi sistem inovasi teknologi pengolahan hasil
meliputi aspek: (1) pelayanan teknologi, (2) dukungan penyediaan input untuk
teknologi pengolahan hasil dan alsintan, (3) penelitian terkait dengan aspek
penerapan teknologi, (4) pengembangan kelembagaan untuk mempercepat arus
informasi teknologi pengolahan hasil dan alsintan, (5) penyediaan infrastruktur
untuk memudahkan arus input-output serta pemasaran produk olahan, dan (6)
ketersediaan lahan usahatani agar pengembangan pengolahan hasil tidak
terganggu oleh masalah ketersediaan bahan baku.
Pengolahan hasil pertanian membutuhkan pasokan bahan baku yang
kontinyu dengan kualitas sesuai bentuk olahan yang akan dihasilkan. Berbagai
sumber pangan lokal sebagai bahan baku industri pengolahan sebenarnya cukup
tersedia di setiap daerah. Namun karena kurangnya pengetahuan, ketersediaan

113
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

dan akses terhadap inovasi teknologi pengolahan pangan menyebabkan banyak


sumber pangan tersebut tidak termanfaatkan secara baik. Banyak faktor yang
mempengaruhi kondisi tersebut antara lain tingkat pengetahuan tentang
pengolahan, kemampuan peralatan pengolahan, pasar, permodalan, dan
pergeseran pola konsumsi pangan ke arah yang lebih instan.
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
permasalahan dan prospek akselerasi adopsi sistem inovasi teknologi pengolahan
hasil mendukung ketahanan pangan. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah:
(i) mengidentifikasi ketersediaan inovasi teknologi pengolahan hasil dan alsintan
komoditas pangan; (ii) mengkaji efektivitas sistem diseminasi teknologi pengolahan
hasil dan alsintan komoditas pangan; dan (iii) mengkaji potensi pengembangan
dan prospek pengolahan hasil pertanian.

METODOLOGI

Kerangka Pikir
Secara diagram, kerangka pikir akselerasi sistem inovasi teknologi
pengolahan hasil pertanian dapat dilihat pada Gambar 1. Sistem inovasi dan
sistem agroindustri saling mempengaruhi atau tergantung satu sama lain (Irawan,
2004). Proses inovasi dirumuskan dalam tiga tahap. Tahap pertama pada
dasarnya adalah tahap dimana inovasi tersebut dirumuskan. Tahap kedua umunya
dilaksanakan oleh individual atau dalam kelompok kecil. Berikutnya merupakan
tahap evaluasi di mana konsep dasar inovasi tersebut dievaluasi dalam bentuk
percobaan dalam skala lebih besar. Tahap ketiga adalah tahap pengembangan, di
mana inovasi yang lolos evaluasi tahap kedua siap untuk diaplikasikan.
Pengembangan industri berbasis pertanian sangat terkait dengan
keberhasilan produksi pertanian, keragaman, dan tingkat permintaan pasar.
Dengan demikian, permasalahan utama dalam sistem inovasi teknologi hasil
pertanian ini adalah menentukan strategi mempercepat adopsi teknologi
pengolahan hasil. Setiap inovasi yang diperkenalkan telah memiliki informasi
tentang urgensi secara ekonomi/lingkungan dan sosial/budaya. Urgensi secara
ekonomi/lingkungan berhubungan dengan keuntungan finansial dan keuntungan
komparatif ekonomi lainnya jika menggunakan teknologi yang bersangkutan,
sementara secara sosial/budaya, bahwa teknologi tersebut dapat diterima dan
dimanfaatkan oleh masyarakat pengguna. Dengan demikian, inovasi teknologi
yang bersangkutan dapat dikatakan telah diadopsi para sasaran pengguna dan
dampak yang ditimbulkannya dapat dievaluasi untuk pengembangan lebih lanjut.
Penelitian ini mempelajari empat aspek sistem inovasi teknologi yang
bermuara pada tujuan yang ingin dicapai. Keempat aspek tersebut adalah (1)
identifikasi tentang kualitas teknologi yang telah diperkenalkan kepada
masyarakat; (2) mekanisme diseminasi (delivery system) teknologi agar dapat
diadopasi masyarakat pengguna; (3) proses adopsi teknologi yang bersangkutan;
dan (4) Dampak yang ditimbulkan oleh pemanfaatan teknologi tersebut di

114
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

lapangan. Yang terakhir ini sangat erat kaitannya dengan aspek sosial budaya
masyarakat setempat. Tradisi dan kelembagaan sosial yang terkait langsung
dengan proses adopsi dapat menjadi faktor penghambat atau faktor pelancar
dalam rangkaian introduksi inovasi teknologi pada tingkat pengguna/petani.

Gambar 1. Kerangka Pikir Akselerasi Adopsi Sistem Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil

Penelitian dilakukan di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Lampung dengan


responden meliputi rumah tangga petani dan industri kecil dan menengah yang
mengolah hasil pertanian, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Dinas
Perindustrian. Komoditas hasil pertanian yang diolah lebih lanjut adalah jagung
dan ubi jalar (Jawa Timur), ubi kayu (Jawa Tengah), dan pisang (Lampung).

115
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Metode Analisis
Metode analisis yang diterapkan dalam penelitian didasarkan pada tujuan
penelitian. Untuk menjawab tujuan pertama, yaitu mengidentifikasi inovasi
teknologi yang tersedia dilakukan dengan mendeskripsikan teknologi yang
dihasilkan oleh instansi pemerintah (Balai Besar Pascapanen, BPTP) dan
masyarakat serta jenis diseminasi yang telah dilakukan. Untuk mengidentifikasi
tantangan dan masalah adopsi teknologi pengolahan hasil pertanian dilakukan
dengan analisis usahatani dan analisis pemasaran untuk produk primer dan
produk olahan. Pendekatan yang digunakan untuk menghitung analisis usahatani
adalah berdasarkan kajian ekonomi yaitu melalui analisis finansial. Hal ini untuk
mengetahui apakah usahatani komoditas terkait secara ekonomis layak atau tidak
layak.
Data yang digunakan merupakan data input dan output produksi
komoditas yang dianalisis hasil wawancara dengan petani yang mengusahakan
komoditas tersebut. Data yang didapatkan digunakan untuk menghitung kelayakan
finansial usahatani dan pengolahan hasil yang meliputi instrumen Revenue/Cost
(R/C) Ratio, Benefit/Cost (B/C) Ratio dan Break Event Point (BEP).
R/C = Total Penerimaan (R)_
Total Biaya Produksi (C)

B/C = Total Keuntungan (B)_


Total Biaya Produksi (C)

BEP (Harga) = _Total Biaya Produksi (dalam Rp)_


Total Produksi (dalam Kg)

BEP (Volume Produksi) = _Total Biaya Produksi (dalam Rp)_


Harga di Tingkat Petani (Rp per Kg)
Pengembangan agribisnis komoditas terkait diharapkan dapat
meningkatkan daya beli masyarakat sehingga dapat mendukung perkembangan
ekonomi lokal. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan kriteria layak
atau tidaknya usaha untuk dijalankan adalah dengan menghitung R/C Ratio dan
B/C Ratio. Bila nilai R/C Ratio dan B/C Ratio >1 maka usaha tersebut layak secara
finansial untuk dilakukan, sedangkan bila R/C Ratio dan B/C Ratio <1 maka usaha
tersebut dianggap tidak layak dilaksanakan. Selain itu dihitung nilai Break Event
Point (BEP). Asumsi yang ditetapkan untuk analisis finansial dalam penelitian ini
adalah (1) suku bunga yang menjadi acuan adalah suku bunga komersial saat
penelitian ini dilakukan yaitu sebesar 17 persen; (2) perhitungan analisis finansial
dilakukan pada skala usaha 1 hektar.
Selain itu dilakukan juga analisis marjin tata niaga untuk mengetahui siapa
yang menikmati keuntungan terbesar dari rantai pemasaran yang ada. Semakin
besar nilai proporsi margin keuntungan yang diterima petani berarti posisi tawar
petani menguntungkan, demikian juga sebaliknya. Dari rantai pemasaran yang
sudah terbentuk secara melembaga di masyarakat, dengan analisis margin
pemasaran maka dapat dianalisis margin mana yang paling efisien. Hasil analisis

116
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

ini merupakan masukan yang penting bagi sistem tata niaga dalam
pengembangan agroindustri. Selain itu, dapat dilihat efektifitas dan efisiensi
pemasaran produk diantara para pelaku pemasaran seperti petani sebagai
produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, dan industri.
Margin tata niaga diketahui dengan menghitung perbedaan harga di
tingkat petani (harga jual) dengan harga di tingkat pengolahan (harga jual), secara
persamaan margin tata niaga adalah sebagai berikut :
n n m m

M   Mi   Cij  P j
i 1 i 1 j 1 j 1

Keterangan :
M = Margin tata niaga (Rp/kg).
Mi = Margin tata niaga (Rp/kg) lembaga tata niaga ke–j (1,2,3,...., m) dan m
adalah jumlah tata niaga yang terlibat.
Cjj = Biaya tata niaga ke–i (Rp/kg) pada lembaga tataniaga ke–j (i = 1,2,3,......, m)
dan n = jumlah jenis pembiayaan.
Pj = Margin keuntungan lembaga tataniaga ke–j (Rp/kg).
Sedangkan untuk menjawab tujuan ke-tiga, yaitu mengetahui prospek
pengolahan hasil dilakukan dengan analisis pohon industri, produk-produk turunan
(derivatif) yang berbahan baku komoditas pertanian terkait dianalisis produk akhir
yang memiliki nilai ekonomi.

Identifikasi Inovasi Teknologi Pengolahan Hasil


Berbagai inovasi teknologi pengolahan hasil panen telah dihasilkan Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian melalui Balai Besar Pascapanen, Balai
Besar Alat dan Mesin Pertanian, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP). Sebagian besar teknologi yang dihasilkan masih dalam uji coba skala
laboratorium, belum dilakukan scaling up.
Selain BB Pascapanen dan BPTP, institusi di lingkup Badan Litbang
Pertanian yang juga menghasilkan teknologi pengolahan hasil adalah Balai
Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi). Teknologi pengolahan
hasil yang dilakukan oleh Balitkabi hanya terbatas untuk komoditas yang
dihasilkan, dengan perkataan lain teknologi pengolahan komoditas yang dihasilkan
didesiminasikan bersamaan dengan varietas-varietas yang dikeluarkan oleh
Balitkabi. Tugas utama Balitkabi adalah karakterisasi dan diskripsi varietas, dan
kesesuaian produksi. Dalam menjalankan tugas-tugas tersebut Balitkabi
melakukan kerja sama dengan Dinas Pertanian, KIPP (Kantor Informasi
Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan, BPTP (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian) dan SPAT (Sentra Produksi Agribisnis Terpadu). Kerja sama dengan
BPTP biasanya sebagai pembantu dalam melakukan diseminasi teknologi yang
dihasilkan oleh Balitkabi.

117
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Teknologi yang telah dihasilkan oleh Balai Pengkajian Teknologi Pertanian


(BPTP) selama periode 1995-2009 adalah sebanyak 731 buah teknologi unggulan
spesifik lokasi. Sebagian besar teknologi yang diintroduksi oleh BPTP adalah
teknologi on-farm. Teknologi on-farm sangat diperlukan mengingat produktivitas
komoditas pertanian Indonesia pada umumnya masih relatif rendah. Teknologi on-
farm pada gilirannya akan memperbaiki kinerja penyediaan penawaran bahan
baku industri yang menjadi kunci keberhasilan industri pengolahan hasil (BPTP,
2010).
BPTP juga telah merekomendasikan sekitar 257 teknologi yang terkait
dengan komoditas tanaman pangan. Namun dari 257 teknologi tersebut hanya
sekitar 8 teknologi pengolahan pangan yang telah dihasilkan atau sekitar 3.1%.
Teknologi yang terkait dengan komoditas hortikultura berjumlah sekitar 145 buah,
dan hanya 14 teknologi atau 9,6 persen diantaranya yang merupakan teknologi
pengolahan hasil. Sementara untuk teknologi yang terkait dengan komoditas
perkebunan dan peternakan terdapat sekitar 329 teknologi yang telah dihasilkan
oleh BPTP, 17 teknologi atau sekitar 5,2 persen diantaranya adalah teknologi
pengolahan hasil.
Dalam rangka mengembangkan agroindustri berbasis pengolahan hasil
umbi-umbian dan serealia tanaman pangan, sejak tahun 2007 Kementerian
Pertanian telah melakukan stimulus berupa bantuan sarana peralatan, bantuan
dan pembinaan di sentra-sentra produksi melalui Direktorat Jenderal Pengolahan
dan Pemasaran Hasil Pertanian (P2HP). Stimulus ini melalui penyediaan
pembiayaan anggaran dana Tugas Pembantuan untuk memfasillitasi 46 Unit
Pengolahan Hasil Tepung lokal yang dikelola oleh Gapoktan yang tersebar di
berbagai kabupaten/kota (Departemen Pertanian, 2008).

Efektivitas Sistem Diseminasi Teknologi Pengolahan Hasil Komoditas


Pangan
Ada tiga faktor utama yang terlibat langsung dalam proses aliran teknologi,
yaitu (1) pengembang teknologi; (2) pengguna teknologi, sebagai pelaku produksi
pangan segar dan olahan; (3) pemerintah, yang melakukan fasilitasi dan membuat
regulasi agar hubungan pengembang – pengguna teknologi dapat lebih intensif
dan bersifat mutualistik. Dinamika interaksi dan ko-evolusi antara tiga aktor utama
ini merupakan dasar dari keberhasilan akselerasi inovasi teknologi pengolahan
hasil.
Alih atau diseminasi teknologi pengolahan hasil pertanian yang telah
sering dilakukan oleh institusi pusat dan lokal, namun masih sebatas pada
sosialisasi dan apresiasi teknologi pengolahan hasil pertanian. Demikian pula
bimbingan teknis penerapan teknologi pengolahan hasil pertanian masih sebatas
pada pelatihan-pelatihan teknologi pengolahan.
Beberapa kendala alih teknologi antara lain: a) rekomendasi teknologi
yang telah direkomendasikan BPTP belum sesuai dengan kebutuhan dan atau
kondisi finansial; b) rekomendasi teknologi yang telah dikeluarkan oleh BPTP
jumlahnya masih terbatas: c) masukan produk/teknologi introduksi belum tersedia
di tingkat lokal.

118
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

Kegiatan diseminasi hasil litkaji merupakan proses mengkomunikasikan


informasi teknologi pertanian kepada pengguna. Metode komunikasi yang sering
digunakan BPTP untuk mendiseminasikan paket-paket teknologi dilakukan dalam
bentuk seminar, gelar teknologi, temu aplikasi paket teknologi, temu kiprah, temu
informasi, petunjuk teknis (dalam bentuk brosur, liptan, folder), siaran perdesaan,
film/video, pameran dan foto seri, kegiatan diseminasi nonbudgeter seperti dialog
interaktif.
Teknik diseminasi yang dilakukan oleh BB-Pascapanen terutama melalui
media elektronik (internet), sedangkan pembinaannya menggunakan model
agroindustri, penerapan dan pemanfaatan teknologi pengolahan. Kegiatan tersebut
mencakup kegiatan sebagai berikut: (i) pengembangan sarana produksi dengan
tujuan meningkatkan produksi; (ii) uji coba produksi dengan tujuan mengetahui
konsistensi kuantitas dan kualitas produksi; (iii) supervisi/pendampingan teknologi
pengolahan hasil; (iv) pengembangan/peningkatan mutu produk, melalui
bimbingan pelaksanaan pengawasan mutu; (v) penataan manajemen usaha dan
kemitraan (pengaturan kepemilikan, pembagian risiko dan keuntungan, jaminan
keberlanjutan usaha); (vi) pengembangan desain kemasan dan merek/logo
produk; (vii) promosi dan uji coba pemasaran dalam rangka mempercepat adopsi
oleh semua stake holder (kelompok wanita tani, LSM, dinas-dinas terkait pemda,
darma wanita, swasta lainnya); (viii) pembinaan dan promosi dilakukan dalam
bentuk peragaan, operasional pengolahan dan diskusi kelompok; (ix) evaluasi
kinerja alat dan modifikasi/penyempurnaan alat produksi; (x) pembinaan
pengolahan dan koperasi sebagai model percontohan; (xi) pembinaan sistem
manajemen mutu pada proses panen dan pengolahan; (xii) pembinaan aspek
manajerial dalam pengembangan usaha (manajemen usaha tani, pengolahan,
promosi, pemasaran); dan (xiii) pengadaan sarana pengolahan.

Potensi Pengembangan dan Prospek Pengolahan Hasil Pertanian


Bahan pangan pokok lokal mempunyai produk turunan yang cukup
beragam. Produk turunan tersebut dapat berupa bahan setengah jadi seperti
tepung, sedangkan produk jadinya dapat berupa pangan yang sudah siap santap.
Berbagai hasil olahan ubi kayu seperti gaplek, tepung tapioka, dan tape telah
banyak dikenal di masyarakat.
Perubahan kebiasaan makan pada suatu kelompok masyarakat bisa
terjadi akibat perubahan keadaan sosial, ekonomi, maupun budaya. Faktor penting
yang menjadi penyebab dinamisnya kebiasaan makan adalah daya terima
masyarakat terhadap bahan pangan yang ada. Situasi perdagangan global juga
dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap proses pengenalan makanan
baru. Oleh karena itu, kebiasaan makan masyarakat dapat mengalami perubahan
dari waktu ke waktu.
Jagung, ubi kayu dan ubi jalar memiliki kandungan gizi yang cukup baik.
Kandungan karbohidrat pada jagung tidak jauh berbeda dengan padi, demikian
pula dengan kandungan proteinnya (Tabel 1). Kandungan karbohidrat yang tinggi

119
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

merupakan syarat utama pemanfaatan suatu bahan sebagai bahan pangan


alternatif.

Tabel 1. Kandungan Gizi Dari 100 g Berat Basah Bahan Pangan Alternatif
Dibandingkan dengan Padi

No Komoditi Karbohidrat (g) Protein (g) Lemak (g)

1 Padi 77.40 6.70 0.40


2 Jagung 70.00 3.22 1.18
3 Ubi kayu 36.80 1.00 0.30
4 Ubi jalar 27.90 1.43 0.17
Sumber: Damardjati (1995).

Produk pertanian masih dapat ditingkatkan produksinya untuk diolah lebih


lanjut melalui proses pascapanen dan diupayakan agar dapat tersedia sepanjang
tahun. Pisang merupakan salah satu komoditas pertanian yang dibudidayakan
secara tumpangsari dan tidak intensif. Komoditas lainnya, yaitu ubi kayu, jagung,
dan ubi jalar umumnya dibudidayakan secara monokultur dan intensif. Sebagian
besar hasil panen komoditas tersebut dijual secara segar.
Di Jawa Tengah, ubi kayu diolah menjadi tepung tapioka (di Kabupaten
Pati) dan makanan ringan, seperti slondok di Magelang. Bahan baku ubi kayu
segar untuk industri tapioka tidak hanya dipenuhi dari produksi setempat, tetapi
juga dipasok dari kabupaten lain. Pemasaran tepung tapioka cukup mudah
terutama untuk industri makanan yang menggunakan tepung tapioka sebagai
bahan baku. Industri pengolahan tapioka menghasilkan juga tepung basah, tetapi
permintaannnya relatif sedikit. Pengolahan ubi kayu (Lampiran 1) di Magelang
menggunakan bahan baku setempat dan pemasarannya masih untuk pasar lokal.
Di Bojonegoro, jagung diolah, antara lain, menjadi tortilla (Lampiran 2),
nasi jagung, dan juga nasi goreng jagung. Bahan baku untuk tortilla, yang diolah
oleh industri kecil, tidak hanya dibeli dari produksi jagung setempat tetapi juga dari
kabupaten lain, jika sedang tidak musim panen. Pemasaran tortilla meliputi seluruh
wilayah Kabupaten Bojonegoro dan ke Pulau Kalimantan untuk tortilla yang masih
mentah dan siap digoreng. Nasi jagung diproduksi oleh beberapa rumah tangga
dan dipasarkan secara lokal. Masih sedikit jumlah penduduk yang makan nasi
jagung, biasanya untuk makan pagi. Sedangkan nasi goreng jagung, berbahan
baku nasi jagung, baru dijual oleh satu rumah makan saja dengan skala kecil.
Jagung di Kabupaten Lamongan juga diolah menjadi marning (Lampiran 3) oleh
beberapa industri kecil dan dipasarkan dengan skala kecil.
Di Lampung, pengolahan kripik pisang varietas Kepok Manado dan
varietas Raja dilakukan oleh industri kecil (Lampiran 4), terutama untuk memenuhi
pasar lokal. Bahan baku diperoleh dari hasil panen kebun pisang yang dikelola

120
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

penduduk setempat. Di Lampung juga terdapat pengolahan kripik pisang oleh


industri skala besar, yang umumnya menggunakan pisang varietas Ambon, yang
mempunyai pangsa pasar berbeda dengan industri kecil terutama karena
perbedaan kemasan dan tempat pemasaran.
Pengembangan pengolahan hasil pertanian bisa dilakukan melalui
kemitraan, antara lain dengan model inti-plasma dimana perusahaan besar
berperan sebagai penghela dan pengusaha-pengusaha kecil sebagai plasma. Bisa
juga dikembangkan kemitraan melalui subkontrak dimana pengusaha kecil
mendapatkan pesanan perusahaan besar mengolah produk sesuai standar yang
disepakati, misalnya PT Garuda Food dengan pengusaha agroindustri di Pati
untuk pengolahan beberapa produk.

Faktor-faktor dan Kendala Adopsi Teknologi Pengolahan Hasil Komoditas


Pangan
Introduksi teknologi pengolahan hasil dan peralatan pertanian perlu
dilakukan oleh pemerintah. Hal ini untuk memperkenalkan bahwa produk pertanian
bisa diolah dengan teknologi yang dibuat oleh pemerintah agar rumah tangga atau
industri pengolah produk pertanian mendapat nilai tambah. Pendampingan
penggunaan teknologi dan peralatan perlu dilakukan hingga pengusaha
agroindustri bisa memanfaatkan secara optimal. Selanjutnya introduksi teknologi
dan peralatan bisa memicu masyarakat untuk menciptakan atau memodifikasi
teknologi dan peralatan sejenis yang lebih sesuai dengan kondisi setempat dan
skala usaha yang ada (Kiswanto dan Wijayanto, 2009).
Bantuan permodalan untuk pengembangan usaha bisa menunjang
agroindustri yang dikembangkan oleh masyarakat. Umumnya industri skala mikro,
kecil dan menengah sangat memerlukan modal pinjaman namun belum terbiasa
berhubungan dengan bank. Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang berbunga rendah
dengan agunan relatif sedikit atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan
(PKBL) yang meminjamkan modal dengan bunga rendah bisa menjadi alternatif
sumber modal bagi pengusaha industri tersebut.
Pelaku agribisnis yang diintroduksi dengan teknologi pengolahan dan
peralatan pertanian hendaknya dipilih yang memiliki jiwa wiraswasta. Semangat
untuk mengolah produk pertanian dan memberikan keuntungan yang layak perlu
kegigihan dan ketekunan sehingga tidak bisa dilakukan setiap orang jika tidak
berjiwa wiraswasta.
Ketersediaan bahan baku sepanjang tahun merupakan prasyarat agar
industri pengolahan pertanian yang ada bisa berproduksi secara kontinyu. Bahan
baku tidak harus berasal dari sekitar lokasi agroindustri tetapi bisa berasal dari
daerah lain asalkan terjangkau dari segi harga maupun transportasi.
Tenaga kerja yang terampil sesuai dengan sifat dan ciri teknologi dan
pengolahan pertanian sangat menunjang aktivitas usaha. Pada taraf tertentu
pengusaha agroindustri bisa mencari dan melatih tenaga kerja sesuai keperluan.

121
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Kontribusi Inovasi Teknologi terhadap Ketahanan Pangan


Produk olahan pangan pokok lokal yang konvensional seperti jagung, ubi
kayu, dan ubi, dianggap sebagai pangan yang kurang bergengsi. Indonesia
mempunyai potensi sumber daya pangan lokal yang sangat beragam. Namun
yang menjadi masalah sejauh mana potensi tersebut dapat dimanfaatkan, yaitu
saat permintaan terhadap produk tersebut meningkat. Hal ini ditunjukkan oleh
sejauh mana masyarakat menerima dan menempatkan komoditas tersebut dalam
susunan menu yang setara dengan beras.
Secara teknis, pangan pokok lokal tersebut dapat dikembangkan menjadi
produk pangan alternatif. Dengan rekayasa teknologi proses pangan dapat
dilakukan perbaikan mutu produk pangan. Dengan teknologi pangan telah banyak
dihasilkan produk pangan yang lebih praktis, sesuai cita rasa, bergizi, dan
bergengsi. Untuk itu, maka salah satu strategi pengembangan diversifikasi pangan
pokok adalah melalui peningkatan keragaman produk olahannya dengan sentuhan
teknologi atau disebut dengan diversifikasi vertikal.
Teknologi juga memungkinkan modifikasi produk melalui perbaikan cita
rasa pangan. Dalam proses pengolahan dengan menambahkan bahan tambahan
pangan akan dapat meningkatkan daya terima masyarakat. Bahan baku pangan
yang rendah kandungan zat gizinya dapat diperkaya dengan menambahkan zat
gizi yang defisit. Pengembangan teknologi pangan dapat dilakukan baik di tingkat
rumah tangga maupun di tingkat industri sedang dan besar. Teknologi di tingkat
rumah tangga akan menghasilkan produksi pangan olahan siap makan, dan siap
untuk diadopsi oleh masyarakat. Untuk pangan pokok, perlu dikembangkan
pangan alternatif yang berbasis tepung, yang dapat tahan lama, dapat diperkaya
dengan zat gizi, fleksibel dalam pengolahannya, dan dapat dilakukan oleh industri
kecil maupun besar.
Strategi yang dapat dilakukan untuk pengembangan pangan pokok melalui
diversifikasi vertikal antara lain:

1. Pengembangan Penyediaan Bahan Baku Pangan Alternatif


Indonesia mempunyai sumber daya alam yang cukup, namun
pemanfaatannya masih rendah atau bahkan terabaikan. Jenis komoditas yang
belum banyak dikembangkan misalnya garut, uwi, suweg, ganyong, gembili,
sorgum, juwawut, jali dan iles-iles.

2. Pengembangan Pascapanen dan Pengolahan Pangan


Dengan teknologi pascapanen dan pengolahan pangan dapat mengubah
dari pangan inferior menjadi superior. Misalnya, ubi kayu dan keju, talas dan keju
merupakan produk industri pangan yang dapat mendukung program ketahanan
pangan. Pengembangan teknologi tersebut mencakup teknologi pascapanen,
termasuk penanganan bahan baku, pengolahan produk setengah jadi, dan
pengolahan produk jadi.

122
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

3. Sosialisasi Produk Pangan Pokok Alternatif


Dengan penyebarluasan informasi manfaat produk pangan alternatif
diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi
produk pangan alternatif. Pemanfaatan tepung jagung komposit pada berbagai
bahan dasar pangan dapat memsubstitusi terigu hingga 60-70 persen pada kue
dan 10-15 persen pada roti dan mi, karena kandungan karbohidrat pada tepung
jagung dapat mencapai 79,9 persen (Tabel 2) (Antarlina, 1993; Azman, 2000).
Pada pembuatan grit jagung terdapat hasil sampingan yaitu bekatul jagung yang
dapat dimanfaatkan sebagai bahan sumber serat kasar yang sangat berguna bagi
tubuh (Richana dan Santosa, 2008).
Kandungan nutrisi bahan setengah jadi jagung sangat memadai sebagai
bahan pangan. Pengembangan agroindustri jagung dan aneka olahan produk
pangan dari jagung merupakan pendekatan yang prospektif untuk meningkatkan
nilai tambah jagung, dan dapat mencukupi kebutuhan bahan berkarbohidrat
nasional, sehingga pada gilirannya dapat mengurangi impor terigu.

Tabel 2. Kandungan Nutrisi Biji, Grit, dan Tepung Jagung

Grit Tepung metode tepung metode


Biji
Jagung basah kering
Air (%) 10,72 10,55 10,15 9,45
Abu (%bb) 1,89 1,72 0,98 1,05
Lemak (%bb) 5,56 3,12 1,99 2,05
Protein (%bb) 9,91 8,24 6,70 7,89
Serat Kasar 2,05 1,88 1,05 1,31
(%bb)
Karbohidrat 71,98 76,31 79,98 70,51
(%bb) Husodo dan Muchtadi (2004).
Sumber:

Ubi kayu merupakan salah satu sumber karbohidrat dan menduduki urutan
ketiga terbesar setelah beras dan jagung. Namun ubi kayu mempunyai kelemahan
antara lain: (1) kadar air ubi kayu segar cukup tinggi, yaitu sekitar 60 persen (Tabel
3) sehingga cepat rusak; (2) mengandung HCN yang dapat menjadi toksin bila
dikonsumsi; (3) mengandung enzim phenolase yang dapat menyebabkan warna
coklat; (4) karakteristik pati ubi kayu tidak mengandung gluten sehingga tidak
mudah mengembang dan tekstur produknya lebih keras dibandingkan dengan
tepung terigu; (5) aroma khas ubi kayu masih terasa sampai menjadi produk
olahan pangan.
Teknologi ubi kayu pada umumnya masih sederhana (bersifat tradisional).
Teknologi untuk merubah karakteristik tepung dan pati ubi kayu dapat dilakukan
dengan memodifikasi sifat pati baik secara kimiawi, secara fisik, maupun secara
biologi. Tepung dan pati ubi kayu mempunyai potensi untuk dikembangkan
sebagai komoditas komersial.

123
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Tabel 3. Sifat Kimiawi Ubi Kayu Segar dan Tepung Kasava

Karakteristik mutu Ubi kayu segar Tepung kasava


Kadar air (%) 60.0-62.5 12.0
Protein (%) 0.8 – 1.2 1.025
Lemak (%) 0.3 0.32
Karbo hidrat (%) 34.7 – 37.9 81.75
Serat Kasar (%) 0.8 3.34
Abu (%) 0.3 – 0.5 0.75
Gula reduksi (%) - 0.386
Sumber: Husodo dan Muchtadi (2004).

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Jumlah inovasi teknologi pengolahan hasil yang diintroduksi oleh


pemerintah melalui, Kementrian Pertanian (sepert BPTP), Kementrian
Perindustrian dan Kementrian lainnya relatif masih minimal. Teknologi pengolahan
hasil pertanian di tingkat rumah tangga/ usaha skala kecil sangat dipengaruhi oleh
manfaat dan efisiensi teknologi tersebut. Pada umumnya teknologi yang digunakan
adalah teknologi yang masih tradisional yang pada umumnya diintroduksi oleh
warga setempat. Hal ini terjadi karena teknologi dan peralatan pengolahan hasil
yang diintroduksi oleh pemerintah pada umumnya kurang dapat diaplikasikan oleh
skala usaha kecil yang mempunyai keterbatasan modal dan sumber daya.
Pengolahan hasil pertanian di tingkat prosesor UKM relatif lebih modern
dan sudah memanfaatkan teknologi yang diitroduksi oleh Kementerian Pertanian.
Selain itu, UKM mengadopsi juga teknologi yang diintroduksi oleh perusahaan
swasta nasional dan swasta asing. Adopsi teknologi dan peralatan hasil pertanian
yang diintroduksi hendaknya memperhatikan berbagai aspek ekonomi, sosial dan
budaya masyarakat setempat agar adopsi optimal.
Pengembangan industri pengolahan hasil masih sering terkendala oleh
keterbatasan bahan baku, keterbatasan teknologi dan alsintan yang dapat
digunakan, keterbatasan modal usaha dan keterbatasan pemasaran hasil olahan.
Oleh karena itu, kontribusi yang perlu dilakukan oleh pemerintah, dalam hal ini
Badan Litbang Pertanian, adalah kontribusi teknolgi pertanian dan kontribusi
teknologi pengolahan hasil berdasarkan potensi sumber daya pertanian yang ada.
Dalam konteks adopsi teknologi dan prospek industri pengolahan di tingkat
rumah tangga, peran pemerintah harus menonjol dan instansi yang mengurus
kepentingan petani-pengolah-penjual harus mampu mendorong tiga unsur, yaitu
(a) mendorong penciptaan teknologi tepat guna untuk menghasilkan produk
tertentu yang dapat memberikan nilai tambah (added value) bagi setiap mata
rantai usaha; (b) menerapkan teknik diseminasi teknologi tepat guna yang efektif
untuk keberhasilan dan keberlanjutan pemanfaatan teknologi yang bersangkutan;
dan (c) membantu permodalan, desain pengemasan dan pemasaran hasil melalui

124
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

dukungan kredit berbunga rendah, pelatihan teknik produksi yang


bertanggungjawab, dan pameran secara lokal dan nasional.
Salah satu faktor penyebab sulitnya pencapaian ketahanan pangan di
tingkat rumah tangga adalah karena teknologi belum berkontribusi secara efektif
dalam proses produksi, terutama di off-farm. Untuk program peningkatan
ketahanan pangan dilaksanakan berbasis pada sumber daya pangan,
kelembagaan dan budaya lokal dengan memperhatikan pendapatan pelaku usaha
skala kecil.
Pengolahan ubi jalar, ubi kayu, jagung, dan pisang sangat potensial untuk
dikembangkan di Indonesia karena lahan yang sesuai untuk tanaman pangan
tersebut masih cukup luas dan belum dimanfaatkan maksimal. Strategi yang dapat
dilakukan untuk pengembangan pangan pokok tersebut antara lain melalui
diversifikasi vertikal yaitu (i) pengembangan penyediaan bahan baku pangan
alternatif; (ii) pengembangan pascapanen dan pengolahan pangan; (iii) sosialisasi
produk pangan pokok alternatif dalam upaya penyadaran dan penyebarluasan
produk olahan non-beras.

DAFTAR PUSTAKA

Antarlina, S. dan J. S. Utomo. 1993. Kue Kering dari Bahan Tepung Campuran Jagung,
Gude, dan Kedelai. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balittan
Malang.
Badan Bimas Ketahanan Pangan. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor
68 Tahun 2002 Tentang Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.
Damardjati, D.S. 1995. Food Processing in Indonesia: the Development of Small-Scale
Industries. FFTC. Taiwan.
Departemen Pertanian. Kinerja Pembangunan Sektor Pertanian 2008. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Husodo, S.Y dan T.R. Muchtadi. 2004. Alternatif Solusi Permasalahan dalam Ketahanan
Pangan. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19
Mei. LIPI.
Irawan, B. 2004. Kelembagaan Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi
Teknologi Pertanian (PRIMATANI). Makalah pada Workshop PRIMATANI. Badan
Litbang Pertanian
Kiswanto dan B. Wijayanto. 2009. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Teknologi
Budidaya Padi Sistem Tanam Jajar Legowo. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Lampung. Bandar Lampung
Richana N. dan B.A.S. Santosa. 2008. Teknologi Pengolahan Pangan Lokal dari Jagung
Dalam Teknologi Pengolahan Untuk Penganeka Ragaman Konsumsi Pangan.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

125
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Lampiran 1. Biaya dan Pendapatan Pengolahan Ubi Kayu menjadi Tapioka di Pati, 2010

No. Biaya Volume Satuan Harga (Rp) Nilai (Rp)

1 Ubi kayu 75.000 kg 1.300 97.500.000

2 BBM 375 liter 4.500 1.687.500

3 Tenaga kerja 28 orang 60.000 1.680.000

4 Mengupas 75 ton 25.000 1.875.000

5 Karung 550 lembar 6.500 3.575.000

6 Perbaikan 1 minggu 125.000 125.000

7 Transpor 75 ton 30.000 2.250.000

8 Telpon 1 minggu 38.000 38.000

9 Biaya produksi 108.730.500

10 Bunga bank 453.044

11 Total biaya 109.183.544

Pendapatan

12 Tepung*) 26.250 4.300 112.875.000

13 Ampas**) 50.000 3.750.000

14 Total pendapatan 116.625.000

15 Keuntungan 7441456

126
Teknologi Pengolahan Hasil untuk Mengatasi Masalah Ketahanan Pangan

Lampiran 2. Biaya dan Pendapatan Pengolahan Jagung menjadi Tortila di Bojonegoro, 2010

No Deskripsi Biaya ( Rp )

1 Jagung 50 kg 140.000

2 Bawang putih 2 kg 40.000

3 Bumbu lain 35.000

4 Minyak goreng 13 kg 117.000

5 Plastik bungkus 80.000


6 Kayu bakar 15.000

7 Gas elpiji 14.000

8 Tenaga kerja 140.000


9 Lain lain 40.000
Jumlah biaya produksi 593.000

Nilai Penjualan 230 x 3.700 851.000

Keuntungan Bersih 258.000

Lampiran 3. Biaya dan Pendapatan Pengolahan Jagung menjadi Emping di Lamongan,


2010

No Komponen Biaya ( Rp )

1 Jagung 42.000
2 Bawang putih 5.000
3 Bumbu lain 5.000
4 Minyak goreng 1,5Kg 12.000
5 Plastik kemasan 6.000
6 Kayu bakar 10.000
8 Ongkos giling 10.000
9 Lain-lain 11.000
Jumlah biaya produksi 101.000
Nilai emping: (10 x 1200) 120.000
Nilai tumpi (3 x 700) 2.100
Keuntungan bersih 21.100

127
Reni Kustiari, Bambang Sayaka, dan Sahat Pasaribu

Lampiran 4. Biaya dan Pendapatan Pengolahan Pisang menjadi Kripik di Pringsewu, 2010

No. Komponen Jumlah Harga/unit Nilai

1 Pisang Nangka 80 1.000 80.000


2 Minyak Goreng 5 7.000 35.000

3 Bawang Putih 1 2.000 2.000

4 Garam 1 500 500

5 Ketumbar 1 750 750

6 Kayu Bakar 1 15.000 15.000

7 Kemasan 1 5.500 5.500

8 Transportasi 1 5.000 5.000

9 Penyusutan Alat 1 10.000 10.000

10 Tenaga Kerja 1 10.000 10.000

Jumlah biaya produksi 163.750

Nilai Penjualan 24 11.000 264.000

Keuntungan Bersih 100.250

128

You might also like