Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 60

ZOONOSIS YANG BARU MUNCUL BERSUMBER

SATWA LIAR DAN TANTANGAN


KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
ABSTRACT

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT. Emerging Zoonoses Originated from Wildlife and


Challenges for Veterinary Public Health. Under direction of DENNY WIDAYA
LUKMAN.

The objective of this scientific writing was to review the emerging infectious
diseases (EIDs) which are zoonotic and originate in wildlife causing great
negative impacts on public health, economy, social, politic, and national security.
Furthermore, factors triggering the emergence and spread of emerging zoonotic
diseases and global efforts in anticipating them were discussed in this review. It
is recognized that EID are a significant burden on global economies and public
health. Their emergence is thought to be driven largely by socio-economic,
environmental and ecological factors. EID events are dominated by zoonoses
(60.3% of EIDs) and the majority of these (71.8%) originate in wildlife, e.g.,
severe acute respiratory virus (SARS virus) and Ebola virus. The importance and
recognition of wildlife as a reservoir of zoonoses are increasing. Emerging
zoonoses (EZs) have been assumed increasing importance in public and animal
health. Cost effective prevention and control of these zoonoses need an
interdisciplinary and holistic approach and international cooperation.
Surveillance, laboratory capability, research, training and education, and
communication are key elements. Globalization has created many new
challenges, particularly with regard to animal, human, and environmental health.
New approaches in prevention, control, and eradication of zoonotic diseases
have been developed and introduced worldwide, i.e., one health and ecohealth.
The one health concept is a worldwide strategy for expanding interdisciplinary
collaboration and communications in all aspects of health care for humans and
animals, while ecohealth approach is to improve human health and well-being
while simultaneously maintaining a healthy ecosystem.
RINGKASAN

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT. Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar
dan Tantangan Kesehatan Masyarakat Veteriner. Dibimbing oleh DENNY
WIDAYA LUKMAN.

Penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan


penyakit menular yang muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID)
menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia karena dapat berkembang
luas secara geografis, berpindah dari satu jenis induk semang ke induk semang
lainnya, meningkatkan dampak dan keganasan penyakit, dan mengalami
perubahan patogenesis. EID dan REID telah menimbulkan dampak besar pada
bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan. Contohnya adalah
wabah SARS telah menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 50 milyar dolar
Amerika Serikat dan 916 jiwa meninggal pada tahun 2003 di Asia. SARS juga
menyebabkan masalah sosial karena menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan
masyarakat terhadap bahaya yang ditimbulkan serta kekisruhan politik dan
gangguan keamanan nasional.
Sekitar 60.3% EID dan REID adalah zoonosis atau yang dikenal sebagai
zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses/EZ) dan zoonosis yang muncul
kembali (re-emerging zoonoses/REZ). Contoh EZ antara lain simian
immunodeficiency virus (SIV) dan acquired immune deficiency syndrome (AIDS),
virus Ebola, hantavirus, virus Hendra, virus Nipah, virus Menangle, virus West
Nile, SARS, influenza A, monkeypox, lyme borreliosis, ehrlichiosis, dan bovine
spongiform encephalopathy (BSE). Contoh REZ antara lain Rift Valley fever,
alveolar echinococcosis, rabies, virus Marburg, bovine tuberculosis, bruselosis,
tularemia, plague, dan leptospirosis. Sekitar 71.8% EZ dan REZ bersumber dari
satwa liar. Kepentingan satwa liar yang bertindak sebagai reservoar zoonosis
semakin meningkat. Contoh satwa penting dalam kemunculan EZ dan REZ
adalah simpanse sebagai sumber HIV/AIDS, burung liar dan burung air sebagai
sumber influenza A, gorila sebagai sumber virus Ebola, serta kelelawar sebagai
sumber virus Nipah dan virus Hendra. Beberapa EID dan REID yang terjadi di
Indonesia, antara lain demam berdarah dengue, tuberkulosis, malaria, polio,
AIDS, SARS, H5N1 influenza, dan rabies.
Kemunculan EID dan REID dipicu oleh empat faktor utama, yakni (1) faktor
genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta (4)
faktor sosial, politik, dan ekonomi. Sebagian besar faktor tersebut erat kaitannya
dengan faktor risiko antropogenik atau berasal dari manusia. Penyebaran EID
dan REID yang bersifat zoonotik (EZ dan REZ) dipengaruhi oleh perubahan
demografi dan perilaku manusia, perubahan lingkungan dan penggunaan lahan,
gangguan kesehatan masyarakat, perubahan teknologi industri, perjalanan
internasional dan perdagangan, serta adaptasi dan perubahan mikroba.
Pencegahan dan pengendalian zoonosis, khususnya EZ dan REZ
bersumber satwa liar, memerlukan pendekatan interdisipliner dan holistik antara
bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan, serta kolaborasi dan
kerjasama masyarakat internasional. Strategi yang dilakukan dengan
mengutamakan prinsip pencegahan dan pengendalian zoonosis pada sumber
penularan; penguatan koordinasi lintas sektor dan evaluasi pelaksanaan
kebijakan strategi dan program perencanaan terpadu melalui surveilans,
pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus penanggulangan wabah
atau kejadian luar biasa (KLB) dan pandemi; penguatan perlindungan wilayah
yang bebas zoonosis baru; peningkatan perlindungan masyarakat; penguatan
kapasitas sumber daya manusia; penguatan penelitian dan pengembangan
zoonosis; serta pemberdayaan masyarakat
Globalisasi telah berpengaruh terhadap kesehatan manusia, hewan, dan
lingkungan. Pendekatan baru dalam pencegahan, pengendalian, dan
pembasmian penyakit zoonotik telah diperkenalkan dan dikembangkan di seluruh
dunia, seperti medik konservasi, one health, dan ecohealth. Medik konservasi
menjadi disiplin ilmu yang menghubungkan kesehatan manusia dan hewan
dengan perubahan ekosistem. Konsep one health merupakan strategi
masyarakat dunia dalam mengembangkan kolaborasi dan komunikasi
interdisipliner pada semua aspek kesehatan bagi manusia dan hewan,
sementara pendekatan ecohealth untuk meningkatkan kesehatan dan
kesejateraan manusia dengan menjaga ekosistem yang sehat.
ZOONOSIS YANG BARU MUNCUL BERSUMBER SATWA
LIAR DAN TANTANGAN KESEHATAN MASYARAKAT
VETERINER

YAYAN TAUFIQ HIDAYAT

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Zoonosis yang
Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan Tantangan Kesehatan Masyarakat
Veteriner adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan
dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar
Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

Yayan Taufiq Hidayat


B04070098
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
Judul Skripsi : Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan
Tantangan Kesehatan Masyarakat Veteriner
Nama : Yayan Taufiq Hidayat
NIM : B04070098

Disetujui

Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi


Ketua

Diketahui

Dr. Nastiti Kusumorini


Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Tanggal lulus:
PRAKATA

Segala puji dan syukur sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Allah


SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang senantiasa dilimpahkan berupa
kekuatan lahir batin sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Judul skripsi ini
adalah Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar dan Tantangan
Kesehatan Masyarakat Veteriner.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. drh. Denny W. Lukman,
M.Si selaku dosen pembimbing yang tanpa lelah dan penuh kesabaran
memberikan waktu, arahan, kritik, dan saran yang mendukung membimbing
penulis untuk menyelesaikan penulisan ini dengan baik. Penulis sangat
berterima kasih kepada Bapak drh. Chusnul Choliq, MS, MM. sebagai
Pembimbing Akademik yang telah memberikan bimbingan dan nasihat, serta
kepada Ibu Dr. drh. Ita Djuwita, MPhil. yang telah memberikan pelajaran
berharga tentang kehidupan. Terima kasih disampaikan kepada Ibu Wakil Dekan
dan staf Administrasi dan Jaminan Mutu Pendidikan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) yang telah banyak membantu kelancaran
penyelesaian tugas akhir. Selanjutnya, kepada Pengelola Bantuan Belajar
Mahasiswa IPB penulis sampaikan terima kasih.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu, dan Adik
tercinta (Aji Prakoso, SP, Siti Qomariah, dan Rizqi Amalia Nur Islami) serta
keluarga besar atas doa, semangat, dan cinta yang telah diberikan. Ucapan
terima kasih disampaikan kepada Sukron Sauri, Eddy Sukma Winata, Rissar
Siringo Ringo, Dian Permana Putra, Wahid Fakhri Husein, dan Achmad Muntaqo
yang telah banyak mendukung selama penulisan. Terima kasih pula kepada
Deni Juniwati, Tita, Arni, Arini, Sandra, Niken, Divo, Andi, Dian, Nisa, dan Dara
yang selalu memberikan dukungan moralnya. Ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada teman-teman Angkatan 44 Gianuzzi FKH IPB yang sama-
sama berjuang dalam menempuh pendidikan di FKH IPB dan keluarga besar
Himpunan Keluarga Rembang di Bogor (HKRB).
Penulis menyadari penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan, untuk
itu penulis sangat berterima kasih atas kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011


Yayan Taufiq Hidayat
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah pada tanggal 5 November


1988 dari ayah Aji Prakoso, SP dan ibu Siti Qomariah. Penulis merupakan putra
pertama dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari SD Negeri 1 Gunem, Rembang
tahun 1996 hingga lulus pada tahun 2001, yang kemudian dilanjutkan ke SMP
Negeri 1 Pamotan, Rembang dan lulus pada tahun 2004. Pendidikan SMA
penulis selesaikan di SMA Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2007,
kemudian melanjutkan ke IPB pada tahun yang sama melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Mayor yang dipilih penulis adalah Kedokteran
Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (FKH IPB).
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di Himpunan Minat Profesi Satwa
Liar (SATLI) FKH IPB (2009-2010) dan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan
Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB (2009-2010) sebagai pengurus.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii

PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

Latar Belakang ...................................................................................... 1

Tujuan ................................................................................................... 2

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................ 3

Emerging Infectious Disease dan Re-emerging Infectious Disease ..... 3

Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar ............................. 7

Faktor Pemicu Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar …. 16

Pengendalian Zoonosis Bersumber pada Satwa Liar …....................... 20

Tantangan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Zoonosis


yang Baru Muncul ................................................................................. 21

METODE PENULISAN ................................................................................ 23

PEMBAHASAN ………................................................................................. 24

SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................ 40

Simpulan ............................................................................................... 40

Saran .................................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 42

x
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kategori EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter


kemunculan penyakit dan epizootiologi …………………………….... 4

2 Patogen baru yang diketahui sejak 1973 …………………………… 6

3 Zoonosis yang bersumber dari satwa liar ……………………………. 9

4 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya EID dan REID ……….. 17

5 Beberapa agen patogen dengan faktor yang mempengaruhi


kemunculannya ………………………………………………………….. 19

6 EID dan REID yang melibatkan hubungan antara manusia, hewan


domestik, dan satwa liar ……………………………………………...... 30

7 Contoh virus yang telah muncul sebagai hasil dari lompatan spesies 33

8 Zoonosis yang bersumber dari kelelawar …………………………….. 35

9 Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian dan pemberantasan


penyakit zoonotik di beberapa negara ……………………………...... 37

xi
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia


dengan faktor-faktor yang mempengaruhi …………………………… 28

xii
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan
penyakit menular yang muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID)
telah menjadi ancaman nyata terhadap kesehatan manusia dalam beberapa
dekade terakhir. EID dan REID akhir-akhir ini dapat berkembang luas secara
geografis, berpindah dari satu jenis induk semang ke induk semang lainnya,
meningkatkan dampak dan keganasan penyakit, serta mengalami perubahan
patogenesis (Daszak et al. 2004). EID dan REID yang bersifat zoonotik atau
yang dikenal sebagai emerging zoonoses (EZ) dan re-emerging zoonoses (REZ)
menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi, sosial, politik,
keamanan, dan budaya (Anonim 2008). Sekitar setengah dari jumlah
keseluruhan penduduk dunia memiliki risiko terhadap penyakit endemik (WHO
1996). Contoh dari EZ adalah wabah severe acute respiratory syndrome (SARS)
yang menyebar hingga 29 negara, terutama Cina, Hong Kong, Taiwan, dan
Singapura, dengan 8422 kasus dan 916 meninggal. Kerugian ekonomi global
akibat SARS tahun 2003 adalah 50 miliar dolar Amerika (Siu dan Wong 2004).
SARS terbukti bersumber pada satwa liar (Bell et al. 2004).
Menurut Daszak et al. (2004), organisme patogen penyebab zoonosis lebih
terkait pada EID dan REID dibandingkan dengan penyakit lama (non-emerging).
EID dan REID didominasi oleh zoonosis (60.3%) yang sebagian besar (71.8%)
diantaranya bersumber dari satwa liar (Jones et al. 2008). Hal tersebut
disebabkan oleh adanya biodiversitas patogen pada satwa liar, kontak antara
manusia dan satwa liar, peningkatan populasi manusia, pemanfaatan lahan,
serta perubahan sosial dan perilaku manusia yang menekan populasi satwa liar
(Wolfe et al. 2005). Satwa liar diketahui berperan sebagai reservoar utama
beberapa penyebaran penyakit zoonotik pada manusia dan hewan domestik
(Kruse et al. 2004). Timbulnya EID dan REID pada manusia dikaitkan dengan
faktor ekologi, biologi, fisik, dan antropogenik yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kontak dengan patogen atau inang alami penyebab penyakit.
Penyebab munculnya EID dan REID adalah perubahan ekologi akibat
peningkatan aktivitas manusia, seperti deforestasi, penggunaan lahan, dan
pertambangan (Morse 1995). Deforestasi di Indonesia telah menyebabkan
kemunculan wabah malaria. Selain itu, malaria juga diakibatkan oleh
2

pertumbuhan kepadatan penduduk, perkembangan pertanian, dan industri


perkayuan (Sunderlin dan Resosudarmo 1997; Butler 2006).
Perlawanan terhadap keberadaan EZ dan REZ penting dilakukan dalam
rangka meningkatkan kesehatan masyarakat secara nasional dan global (Daszak
et al. 2004). Terjadinya peningkatan ancaman EZ dan REZ tidak diiringi dengan
pemahaman mengenai proses terjadinya penyakit dan penyebarannya,
khususnya yang bersumber dari satwa liar (Wolfe et al. 2005). Informasi
mengenai zoonosis bersumber satwa liar dan peran satwa liar dalam
kemunculan EZ dan REZ masih sangat terbatas, terutama di Indonesia.
Kurangnya informasi mengenai hal tersebut menjadi kendala dalam peningkatan
kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, sangat diperlukan informasi mengenai
zoonosis bersumber satwa liar bagi seluruh lapisan masyarakat untuk
mengantisipasi ancaman yang ditimbulkan dan menjadi tantangan yang dihadapi
dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakat.

Tujuan
Skripsi ini ditulis berdasarkan studi pustaka yang bertujuan untuk mengkaji
(1) EID dan REID yang bersifat zoonotik (EZ dan REZ) yang bersumber dari
satwa liar yang menimbulkan dampak besar pada bidang kesehatan, ekonomi,
politik, keamanan, dan budaya; (2) faktor-faktor pemicu kemunculan dan
penyebaran EID dan REID di seluruh dunia; serta (3) usaha-usaha masyarakat
global dalam mengantisipasi kejadian dan penyebaran EZ dan REZ.
TINJAUAN PUSTAKA

Emerging Infectious Disease dan Re-emerging Infectious Disease


Permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit menular (infectious disease)
dalam dua dekade terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan (Daszak et
al. 2004). Penyakit menular dan parasit menjadi penyebab kematian utama pada
manusia di seluruh dunia (WHO 1996) dengan lebih dari setengahnya berusia di
bawah lima tahun (Zowghi et al. 2008). Pada akhir abad ke-20, penyakit menular
yang baru muncul (emerging infectious disease/EID) dan penyakit menular yang
muncul kembali (re-emerging infectious disease/REID) yang terjadi pada
populasi hewan dan manusia telah menyebabkan keterkejutan (shock) pada
kesehatan masyarakat dan komunitas veteriner terhadap bahaya yang
ditimbulkan (Brown 2004; Chomel et al. 2007).
EID didefinisikan sebagai penyakit yang timbul akibat patogen yang telah
diketahui muncul pada suatu area geografis baru, atau patogen yang telah
diketahui dan berkerabat dekat pada spesies yang tidak peka, atau patogen yang
tidak diketahui sebelumnya terdeteksi untuk pertama kali (Bengis 2004; Brown
2004). REID didefinisikan sebagai penyakit yang pernah muncul di masa lampau
yang sudah mengalami penurunan tingkat kejadian akan tetapi akhir-akhir ini
menunjukkan peningkatan insidensi, cakupan geografis, atau cakupan inang
(Morens et al. 2004). EID dan REID lebih mengacu pada penyakit menular pada
manusia dengan tingkat kejadian yang meningkat dalam dua dekade terakhir
atau akan menjadi ancaman terhadap peningkatan kejadian penyakit pada masa
yang akan datang dan cakupan geografis yang meluas (Chomel 1998; Zowghi et
al. 2008).
Ciri-ciri yang mendasari suatu penyakit menular dikategorikan ke dalam
EID dan REID, yakni penyakit menular yang (1) baru diketahui atau dikenal
dalam beberapa dekade terakhir; (2) terjadi perluasan distribusi habitat dan
cakupan geografi; (3) terjadi peningkatan kejadian penyakit yang sedang
mewabah; serta (4) terjadi peningkatan keparahan terhadap resistensi obat
(Wilson 2002). Konsep EID dan REID mencuat pada akhir tahun 1980-an saat
terjadi wabah penyakit menular secara global. Ketika diharapkan dapat
dieliminasi karena menyebabkan permasalahan pada kesehatan masyarakat,
penyakit menular justru berkembang menjadi penyebab utama kematian dan
kecacatan di seluruh dunia (Chomel 1998; Katare dan Kumar 2010). Daszak et
4

al. (2000) mengategorikan EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter


karakteristik spesifik kemunculan penyakit dan epizootiologinya menjadi empat
tipe (Tabel 1). Pada tabel, pengategorian diberi keterangan emerging untuk EID
dan REID, serta recognized untuk penyakit yang sudah dikenal.

Tabel 1 Kategori EID bersumber satwa liar berdasarkan parameter


kemunculan penyakit dan epizootiologi (Daszak et al. 2000)

Agen penyakit Insidensi atau


Tipe EID Spesies inang
menular cakupan geografis

1 Emerging Emerging Emerging

2 Recognized Emerging Emerging

3 Recognized Emerging Recognized

4 Recognized Recognized Emerging

Sebagian besar EID dan REID disebabkan oleh agen patogen yang telah
ada di lingkungan dan hewan lebih sering bertindak sebagai reservoar alami
sumber agen penyakit pada manusia (Chomel 1998). Diperkirakan sekitar 75%
EID dan REID pada awal abad ke-21 bersifat zoonotik yang disebabkan oleh
patogen bersumber hewan atau produk asal hewan, terutama penyakit yang
disebabkan oleh virus dan atau yang ditularkan melalui vektor (Taylor et al. 2001;
WHO/FAO/OIE 2004). Zoonosis terhitung sebagai mayoritas penyakit EID dan
REID (Chomel 2003). Di sebagian besar negara berkembang, zoonosis
menimbulkan permasalahan kesehatan masyarakat yang secara signifikan
berkontribusi terhadap terganggunya sistem kesehatan. Di negara maju,
zoonosis menjadi perhatian khusus bagi kelompok berisiko tinggi terinfeksi, yakni
orang tua, anak-anak, ibu melahirkan, dan individu imunosupresif (Katare dan
Kumar 2010).
Zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses/EZ) dan zoonosis yang
muncul kembali (re-emerging zoonoses/REZ) didefinisikan sebagai penyakit
yang ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya yang disebabkan oleh
patogen baru atau patogen yang baru berevolusi atau patogen yang telah
diketahui muncul pada area geografis dan/atau spesies baru dimana penyakit
tersebut belum pernah terjadi sebelumnya atau pernah terjadi namun
menunjukkan peningkatan insidensi dan cakupan inang dan vektor (Meslin 1992;
5

Bengis et al. 2004; WHO/FAO/OIE 2004). Menurut Wolfe et al. (2007), EZ dan
REZ berpotensi terjadi perubahan penularan dari hewan ke manusia menjadi
manusia ke manusia, misalnya human immunodeficiency virus (HIV). Contoh
dari EZ antara lain simian immunodeficiency virus (SIV) dan acquired immune
deficiency syndrome (AIDS), virus Ebola, hantavirus, virus Hendra, virus Nipah,
virus Menangle, virus West Nile, SARS, influenza A, monkeypox, lyme
borreliosis, ehrlichiosis, dan bovine spongiform encephalopathy (BSE). Contoh
dari REZ antara lain Rift Valley Fever, alveolar echinococcosis, rabies, virus
Marburg, bovine tuberculosis, bruselosis, tularemia, plague, dan leptospirosis
(Bengis et al. 2004; Brown 2004).
Sebanyak 29 dari 96 penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada
manusia dan 25% kematian global berasal dari penyakit menular (WHO 2000).
Zoonosis merupakan mayoritas dari penyakit menular yang menimbulkan
morbiditas dan mortalitas pada manusia (Katare dan Kumar 2010). Menurut
Jones et al. (2008), sebanyak 335 penyakit menular pada manusia muncul
antara tahun 1940 dan 2004 dengan kejadian tertinggi saat terjadi pandemi HIV.
Menurut Taylor et al. (2001), sebanyak 1415 jenis organisme penyebab penyakit
pada manusia yang telah diidentifikasi. Jumlah tersebut terdiri atas 217 virus dan
prion, 538 bakteri dan riketsia, 307 cendawan (fungi), 66 protozoa, serta 287
cacing. Sekitar 868 (61%) dari organisme tersebut bersifat zoonotik dan 175
jenis di antaranya terkait EID dan REID, dengan 132 (75%) adalah patogen
zoonotik. Menurut Woolhouse (2002) dan Zowghi et al. (2008), sejak tahun 1973
telah dilakukan identifikasi patogen yang menjadi penyebab utama penyakit
menular pada manusia (Tabel 2). Woolhouse (2002) menjabarkan bahwa
beberapa patogen penyakit tersebut termasuk dalam patogen yang
menyebabkan EID, seperti HIV, virus Ebola, dan prion new variant Creutzfeldt-
Jakob disease (vCJD).
Beberapa penyakit menular relatif berdampak pada sedikit populasi
manusia, akan tetapi keberadaannya dapat mengancam manusia karena
mortalitas dan morbiditas yang tinggi serta minimnya upaya pencegahan, seperti
vaksinasi dan pengobatan efektif (Daszak et al. 2004). Keberadaan patogen
penyebab penyakit merupakan efek dari sistem yang dinamis dan komplek pada
proses-proses biologis, sosial, ekologi, dan teknologi (Coker et al. 2011).
6

Tabel 2 Patogen baru yang diketahui sejak 1973 (Woolhouse 2002; Zowghi et
al. 2008)

Tahun Patogen Penyakit


1973 Rotavirus Diare pada bayi
1976 Cryptosporidium parvum Diare akut dan kronis
1977 Virus Ebola Ebola hemorrhagic fever
Legionella pneumophilla Legionnaires disease
Hantavirus Haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS)
Campylobacter jejuni Enteric diseases
1980 Human T-lymphotropic virus Limfoma-leukemia sel T
(HLTV)-1
1981 Eksotoksin Staphylococcus Toxic shock syndrome
aureus
1982 Eschericia coli O157:H7 Kolitis hemoragi, haemolytic uraemic syndrome
HLTV-2 Hairy cell leukemia
Borrelia burgdorferi Lyme disease
1983 Human immunodeficiency virus Acquired immune deficiency syndrome (AIDS)
(HIV)-1
Helicobacter pylori Peptic ulcer disease
1985 Enterocytozoon bieneusi Diare kronis
1986 HIV-2 AIDS
Cyclospora cayetanensis Diare kronis
1988 Virus hepatitis E Hepatitis non-A, non-B
Virus herpes 6 manusia Roseola infantum
1990 Virus Guanarito Venezuelan haemorrhagic fever
1991 Encephalitozoon hellem Konjungtivitis
1992 Vibrio cholerae O139 Galur baru dikaitkan dengan epidemi kolera
Bartonella henselae Bacillary angiomatosis, cat-scratch disease
1993 Virus Sin Nombre Hantavirus pulmonary syndrome
Encephalitozoon cuniculi Mikrosporidiosis
1994 Virus Sabia Brazillia haemorragic fever
Virus Hendra (equine morbilivirus) Ensefalitis
1995 Virus hepatitis G Hepatitis non-A, non-B ditularkan secara
parenteral
Virus herpes 8 manusia Dikaitkan dengan sarkoma Kaposi pada penderita
AIDS
1996 Transmissible spongiform Penyakit variant Creutzfeldt-Jakob
encephalopathy
Lyssavirus kelelawar Australia Ensefalitis
(Rhabdovirus)
1997 Virus avian influenza tipe A Influenza
(H5N1)
Virus Menangle (paramyxovirus) Defek kongenital dan kegagalan reproduksi
1999 Virus Nipah (paramyxovirus) Ensefalitis
Virus influenza H9N2 Influenza
2002 Virus SARS (coronavirus) Severe acute respiratory syndrome (SARS)
7

Beberapa EID dan REID yang terjadi di Indonesia, antara lain demam
berdarah dengue, tuberkulosis, malaria, polio, AIDS, SARS, H5N1 influenza, dan
rabies (Kandun 2006). Menurut Jones et al. (2008), kemunculan penyakit
disebabkan oleh (1) galur agen patogen yang baru berevolusi (misalnya
tuberkulosis multi-drug-resistant, dan malaria yang resisten terhadap
chloroquine); (2) agen patogen yang menginfeksi populasi manusia untuk
pertama kali (misalnya HIV-1, coronavirus severe acute respiratory
syndrome/SARS); atau (3) patogen yang kemungkinan telah ada sejak lama
namun menunjukkan peningkatan tingkat kejadian (misalnya lyme diseases).
Sebagian besar EID disebabkan oleh patogen yang telah ada di lingkungan dan
hewan lebih sering bertindak sebagai reservoar alami bagi agen penyakit baru
pada manusia (Chomel 1998).
Dampak yang diakibatkan dari munculnya EZ dan REZ sangat besar (Reilly
2009; Gummow 2010). Contoh dari EZ dan REZ antara lain plague yang
menyebabkan 54 kematian manusia di India dari April hingga Oktober 1994
(Chugh 2008). Dari Agustus hingga Oktober 2007 virus Ebola dari filovirus
menyebabkan sindrom pendarahan dengan 249 kasus dan 183 kematian di
Republik Demokratik Kongo (Shakespeare 2009). Virus Nipah yang termasuk
paramyxovirus muncul kali pertama di Malaysia tahun 1998 menyerang babi
dengan gejala pada respirasi dan syaraf dan menyebabkan kematian beberapa
manusia yang kontak langsung dengan babi dan memakan dagingnya (Wild
2009). SARS menyebabkan kematian 774 manusia pada tahun 2003 di Asia.
SARS juga berdampak sosial karena menyebabkan kekhawatiran, kecemasan,
dan ketakutan masyarakat. Di bidang politik, SARS menyebabkan kekisruhan
politik sebagai akibat dari penerapan sistem peringatan perjalanan (travel
warning) dan boikot perdagangan oleh negara lain yang dapat mengganggu
hubungan internasional. SARS juga menurunkan budaya konsumsi masyarakat
dalam menggunakan karnivora liar sebagai obat dan makanan. Selain itu, spora
bakteri antraks yang disebarkan di Amerika Serikat tahun 2001 menyebabkan
gangguan keamanan yang dikaitkan dengan bioterorisme (Gummow 2010; Coker
et al. 2011).

Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar


Zoonosis merupakan penyakit yang sudah terjadi sejak lama. Contohnya
adalah wabah plague yang terjadi di zaman Mesir kuno, rabies pada masa
8

peradaban Mesopotamia awal tahun 2300 SM yang terjadi akibat perburuan


anjing liar (Kruse et al. 2004), dan kematian 90% populasi kerbau dan satwa liar
di Kenya akibat pemasukan sapi asal India yang terinfeksi rinderpest (Gummow
2010). Kewaspadaan masyarakat dunia terhadap EZ dan REZ terutama yang
bersumber dari satwa liar menunjukkan peningkatan.
Sekitar 60.3% dari 335 EID dan REID selama 60 tahun terakhir disebabkan
oleh agen penyakit zoonotik, yang 71.8% diantaranya bersumber dari satwa liar
(Cunningham 2005; Jones et al. 2008). Satwa liar diketahui berperan dalam
peningkatan frekuensi kejadian penyakit menular pada manusia. Satwa liar
bertindak sebagai reservoar utama berkembangnya penyakit menular dan
zoonosis pada manusia dan hewan domestik (Daszak et al. 2000; Kruse et al.
2004). Zoonosis yang bersumber pada satwa liar diketahui sebagian besar
berasal dari bakteri, virus, dan parasit, sementara cendawan kurang berdampak
serius terhadap manusia (Kruse et al. 2004). Menurut Krauss et al. (2003),
beberapa zoonosis yang bersumber dari satwa liar telah berhasil diidentifikasi di
seluruh dunia (Tabel 3).
Suatu penyakit zoonotik dapat berubah menjadi pandemi setelah melalui
tiga langkah, yakni (1) agen patogen harus berhasil ditularkan dari satwa liar
yang bertindak sebagai reservoar ke manusia, (2) agen patogen ditularkan ke
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, dan (3) agen patogen
mampu bergerak dari area endemik lokal ke populasi global. Terjadinya kontak
antara hewan dan manusia secara signifikan meningkatkan kemungkinan
langkah pertama. Perjalanan internasional, urbanisasi, dan peningkatan populasi
manusia, secara signifikan meningkatkan kemampuan langkah ketiga (Karesh
dan Noble 2009).
Menurut Bengis et al. (2004), zoonosis bersumber satwa liar secara umum
terbagi menjadi dua kategori, yakni (1) penyakit bersumber satwa liar yang
secara nyata penularannya ke manusia jarang terjadi, akan tetapi bila sekali
terjadi maka penularan antara manusia dan manusia dapat berlangsung selama
beberapa periode waktu atau secara permanen, contohnya AIDS oleh HIV,
influenza A, virus Ebola, dan SARS; (2) penyakit bersumber satwa liar yang
penularannya secara langsung dan/atau diperantarai vektor dengan satwa liar
bertindak sebagai reservoar utama patogen. Contohnya adalah rabies, virus
Nipah, virus West Nile, hantavirus, lyme borreliosis, plague, tularemia,
leptospirosis, dan ehrlichiosis.
9
10
11
12

Salah satu EZ bersumber satwa liar adalah HIV/AIDS pada manusia yang
disebabkan oleh dua dari 26 galur simian immunodeficiency virus (SIV) yakni
virus HIV-1 dan HIV-2. Kedua galur virus berevolusi dari simpanse (Pan
troglodytes) dan sooty mangabeys (Cercocebus torquatus) di Afrika.
Penyebaran virus terjadi pertama kali pada tahun 1980-an di daerah ekuator
Afrika akibat perburuan kera untuk bahan pangan. Kedua galur virus bertahan
dan menyebar pada populasi manusia (Hahn et al. 2000; Bengis et al. 2004).
Faktor pemicu kemunculan HIV/AIDS adalah perubahan ekologi, perkembangan
populasi manusia, deforestasi, urbanisasi, perilaku seksual, penggunaan obat
secara parenteral, serta perjalanan lokal dan internasional (Hahn et al. 2000).
Menurut WHO (2010), HIV/AIDS menjadi pandemi zoonosis terbesar dalam
sejarah manusia dengan jumlah 2.6 juta manusia baru terinfeksi pada tahun
2009.
Infeksi virus Ebola pertama kali terjadi di bagian barat daya Sudan dan
Republik Demokratik Kongo tahun 1976 (Shakespeare 2009). Virus Ebola
memiliki tingkat mortalitas tinggi pada manusia karena memiliki subtipe yang
berbeda-beda (Leroy et al. 2004). Kasus yang terjadi pada manusia dikaitkan
dengan penanganan karkas gorila (Gorilla sp.), simpanse, atau duiker
(Sylvicapra grimmia), dan kontak langsung manusia dengan hewan mati (Bengis
et al. 2004). Contoh lainnya adalah hantavirus yang menyebabkan hemorrhagic
fever with renal syndrome (HFRS) di Eropa dan Asia serta hantavirus pulmonary
syndrome (HPS) di Amerika Serikat. Hantavirus menyebar ke lingkungan melalui
aerosol dari ekskreta deer mouse Amerika Utara (Peromyscus maniculatus)
dengan gejala asimtomatik. Di Amerika Serikat, penyebaran hantavirus
dipengaruhi oleh perubahan iklim El Niňo Southern Oscillation (ENSO) dan
peningkatan aktivitas manusia, seperti deforestasi dan perkembangan populasi
manusia (Mills et al. 2010).
Paramyxovirus yang merupakan EZ adalah virus Hendra dan virus Nipah.
Tahun 1994 terjadi wabah yang disebabkan oleh virus Hendra pada kuda dan
manusia di Queensland, Australia. Reservoar alami virus Hendra adalah
kelelawar dari famili Megachiroptera (Pteropus sp.). Penularan ke manusia
terkait dengan kontak langsung dengan kuda yang mati akibat virus Hendra saat
melakukan nekropsi. Cara penularan dari kuda ke manusia belum diketahui,
namun keberadaan virus pada urin kelelawar mengindikasikan penularan dapat
melalui kontaminasi makanan dan air (Westbury 2000). Wabah virus Nipah yang
13

menimbulkan gejala respirasi dan syaraf pada babi terjadi di semenanjung


Malaysia dari tahun 1998 hingga 1999 (Lam dan Chua 2002). Virus menyerang
pekerja di peternakan dan rumah potong babi dan menyebabkan ensefalitis
(Mohd et al. 2000). Kelelawar buah (Pteropus sp.) diketahui sebagai inang alami
dan reservoar virus Nipah. Pada April hingga Mei 2004 di Bangladesh terjadi
penularan antar manusia sebanyak 33 kasus yang disebabkan kontak langsung
dengan pasien penderita virus Nipah (Gurley et al. 2007). Faktor pemicu
kemunculan virus Nipah adalah perubahan kondisi lingkungan oleh akibat
aktivitas manusia, perubahan iklim ENSO yang terjadi pada tahun 1997 hingga
1998, deforestasi secara besar-besaran di Asia Tenggara, dan perluasan
peternakan babi di Malaysia (Lam dan Chua 2002).
Tahun 1999 virus West Nile (WNV) mengancam kesehatan populasi kuda,
manusia, dan burung liar di Amerika Utara. WNV merupakan flavivirus kompleks
dari virus Japanese encephalitis yang tersebar di Eropa, Asia bagian barat, dan
Afrika yang berasal dari spesies burung liar dan burung pemakan nyamuk.
Mamalia, termasuk manusia, bertindak sebagai inang akhir (dead-end) namun
tidak berperan dalam pemeliharaan virus (Bengis et al. 2004). Menurut CDC
(2010), tercatat sebanyak 1021 kasus WNV pada manusia dengan 629 (62%)
diantaranya dilaporkan sebagai penyakit neuroinvasif.
Tahun 2002 dan 2003, muncul severe acute respiratory syndrome (SARS)
pertama kali di Asia. Virus SARS bersifat kontagius dan cepat menyebar
terutama melalui perjalanan internasional. SARS bersumber dari karnivora liar
bangsa viverridae, mustelidae, dan canidae. Penyebab kemunculan coronavirus
SARS adalah eksploitasi satwa secara berlebihan, perusakan habitat alami
satwa, perdagangan satwa liar hidup atau hewan pseudo-domestikasi di Asia
bagian selatan (Bell et al. 2004).
Influenza A adalah penyakit menular kontagius akut pada manusia, burung,
babi, kuda, dan mamalia laut, yang telah menjadi epidemi dan pandemi. Materi
genetik virus influenza A berasal dari burung air dan burung liar (Horimoto dan
Kawaoka 2001). Terjadinya mutasi atau rekombinasi genetik menjadikan galur
virus lebih patogenik dan mampu beradaptasi dengan baik pada unggas, babi,
dan manusia. Babi dan unggas diketahui menjadi tempat re-assortment virus
sehingga berevolusi menjadi galur virus baru yang menyebabkan pandemi pada
manusia (Castrucci et al. 1993). Penularan ke manusia terjadi akibat kontak
dengan unggas, sedangkan penularan antar manusia tidak terjadi. Tahun 1997
14

virus influenza A subtipe H5N1 menyebabkan mortalitas unggas di peternakan


dan pasar serta 33% pada manusia di Hong Kong. Tahun 1999 terjadi tujuh
kasus akibat infeksi influenza A subtipe H9N2 di Hong Kong dan daratan Cina
(Bengis et al. 2004). Tahun 2003 hingga 2004 influenza A subtipe H5N1
menyerang peternakan unggas di Asia Tenggara menginfeksi manusia yang
pertama terjadi di Vietnam dan Thailand. Hingga tahun 2011, Indonesia tercatat
sebagai negara endemik influenza A dengan jumlah 174 kasus dan 144 kematian
manusia atau yang tertinggi di dunia (WHO 2011a). Sebanyak 18 kasus baru
H5N1 dilaporkan pada 26 April 2011 pada perunggasan desa di Gorontalo yang
merupakan kasus pertama di provinsi tersebut sejak Juni 2007 (WHO 2011b).
Contoh EZ bersumber satwa liar yang ditularkan melalui vektor caplak
adalah lyme borreliosis dan ehrlichiosis. Lyme borreliosis terjadi di belahan bumi
utara disebabkan spirochaeta Borrelia burgdorferi oleh vektor caplak Ixodes
ricinus di Eropa dan Ixodes scapularis dan Ixodes pacificus di Amerika Utara.
Siklus silvatik menjadikan inang dan reservoar tetap pada mamalia liar kecil,
rodensia, dan burung pemakan tanah di area endemik. Perubahan ekologi pada
lahan pertanian, deforestasi, dan perkembangan populasi manusia
menyebabkan meningkatkannya populasi reservoar rodensia (Peromyscus spp.
dan Tamias spp.) yang diiringi dengan peningkatan populasi vektor caplak.
Kasus pertama pada manusia terjadi tahun 1970-an di Amerika Utara dan
menyebabkan gangguan kulit, sistem saraf, jantung, dan persendian (Bengis et
al. 2004). Ehrlichiosis adalah penyakit pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh bakteri Ehrlichia chaffeensis, Ehrlichia ewingii, dan Anaplasma
phagocytophilum oleh vektor caplak Amblyomma americanum, Ixodes scapularis,
dan Ixodes pacificus (Rikihisa 2010).
Contoh REZ bersumber satwa liar adalah rabies, Rift Valley Fever, virus
Marburg, bruselosis, bovine tuberculosis, tularemia, plague, dan leptospirosis
(Bengis et al. 2004). Rabies menyerang sebagian besar mamalia dan bersifat
endemik sporadik di beberapa tempat di dunia. Rabies disebabkan oleh infeksi
virus RNA Lyssavirus yang terdiri atas 6 subtipe. Epidemi rabies dikaitkan
dengan iklim atau lingkungan yang meningkatkan jumlah dan kepadatan inang
satwa liar atau anjing domestik. Rabies menyebabkan kematian hingga lebih
dari 55 000 jiwa yang sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia (Rupprecht 2011).
Di Indonesia, hingga Januari 2011, kasus tertinggi rabies terjadi di Bali dengan
perkiraan 151 kasus pada manusia sejak September 2008 (NaTHNaC 2011).
15

Rift Valley Fever (RVF) disebabkan oleh Phlebovirus famili Bunyaviridae


yang ditularkan melalui gigitan nyamuk (mosquito-borne) Aedes spp. yang
menyerang hewan dan manusia. RVF diidentifikasi pertama kali tahun 1931 saat
terjadi wabah di peternakan domba di daerah Rift Valley Kenya. Penularan ke
manusia melalui gigitan nyamuk dan kontak secara langsung dan tidak langsung
melalui darah atau organ hewan terinfeksi, seperti penanganan karkas dan
jaringan hewan di rumah potong dan ingesti susu yang tidak dipasteurisasi.
Kerbau (Syncerus spp.), antelope (Tragelaphus spp.), dan onta (Camelus spp.)
bertindak sebagai inang. Musim hujan lebat dan banjir akibat perubahan iklim
ENSO mempengaruhi kemunculan kembali RFV. Awal tahun 2007, terjadi
wabah RVF di Kenya, Somalia dan Tanzania dengan jumlah 1 000 kasus dan
300 kematian pada manusia (Breiman et al. 2008).
Tahun 1967 terjadi infeksi pertama kali virus Marburg yang menyerang
pekerja laboratorium di Marburg, Jerman dan Belgrade, Yugoslavia setelah
terpapar monyet hijau Afrika (Cercopthecus aethiops) atau suspensi sel kultur
primer monyet. Kasus sporadik terjadi di Zimbabwe tahun 1975 dan Kenya
1987. Pada 1999 terjadi kemunculan virus Marburg di Republik Demokratik
Kongo dan menyebabkan kematian 10 jiwa (Bengis et al. 2004).
Bovine tuberculosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium bovis yang
menyerang ternak, satwa liar, dan manusia. M. bovis berevolusi dari M.
tuberculosis yang menyerang manusia. Di Amerika Utara, TB menginfeksi bison
(Bison bison), wapiti (Cervus elaphus), dan rusa ekor putih. Infeksi pada satwa
liar berasal dari ternak terinfeksi yang saling kontak satu sama lain. Satwa liar
bertindak sebagai reservoar bakteri yang ditularkan ke manusia melalui produk
asal satwa liar. Kemunculan TB pada satwa liar dikaitkan dengan perubahan
ekologi dan penggunaan lahan sehingga menyebabkan kepadatan populasi dan
kerentanan satwa liar (Bengis et al. 2004).
Bruselosis yang menyerang ternak dan satwa liar yang disebabkan oleh
Brucella abortus dan Brucella melitensis. Kejadiannya dikaitkan dengan konflik
antara kepentingan satwa liar dan pertanian. Penularan ke manusia terjadi
karena penanganan hewan atau konsumsi produk hewan terinfeksi yang
menyebabkan penyakit serius pada manusia. Brucella suis juga diketahui
menyerang satwa liar. Bakteri Brucella sp. ada yang diisolasi dari paus dan
seals. Bruselosis menyebabkan aborsi, kelemahan dan kemandulan (Bengis et
al. 2004).
16

Tularemia disebabkan oleh bakteri Francisella tularensis yang ditularkan


oleh rodensia. F. tularensis memiliki dua tipe galur, yakni tipe A dan tipe B,
menyerang 190 spesies mamalia, 23 spesies burung, dan 3 spesies amfibi.
Penularan dapat terjadi melalui gigitan serangga dan caplak penghisap darah,
kontak langsung dengan jaringan dan eksudat terinfeksi, kontaminasi membran
mukosa, inhalasi, dan ingesti. Tularemia merupakan zoonosis yang ditularkan
melalui air (water-borne), terutama galur tipe B. Epidemi pada manusia terjadi
selama musim panas, masa berburu pada musim dingin, atau terkait dengan
penanganan karkas. Pada 2003 terjadi wabah dengan 500 kasus pada manusia
di Swedia (Bengis et al. 2004).
Plague adalah zoonosis yang disebabkan oleh Yersinia pestis. Saat terjadi
endemik pada populasi satwa liar, bakteri Y. pestis berada pada reservoar
rodensia dan ditularkan melalui kutu. Tikus dan kutu menjadi sumber penularan
penting pada manusia di lingkungan urban (Bengis et al. 2004). Leptospirosis
disebabkan oleh Leptospira interrogans yang tiap serovarnya di alam berada
pada inang resisten satwa liar dan mamalia domestik. L. interrogans
menyebabkan penyakit klinis pada mamalia dan berada pada ginjal inang
sehingga penularan bisa terjadi melalui urin. Penularan ke manusia melalui
ingesti air yang terkontaminasi, penanganan dan ingesti susu atau jaringan
terinfeksi, invasi transplasenta, kontak seksual, dan pemandian umum. Wabah
terjadi pada musim hujan, terutama pada habitat yang kurang drainase dan
kepadatan hewan (Bengis et al. 2004).

Faktor Pemicu Zoonosis yang Baru Muncul Bersumber Satwa Liar


Kemunculan EID dan REID disebabkan oleh empat faktor utama, yakni (1)
faktor genetik dan biologik, (2) faktor fisik dan lingkungan, (3) faktor ekologi, serta
(4) faktor sosial, politik, dan ekonomi (Zowghi et al. 2008). WHO/FAO/OIE
(2004) menjabarkan faktor risiko yang memicu timbulnya EZ dan REZ, antara
lain (1) faktor mikroba terkait dengan agen; inang atau reservoar dan manusia
yang terinfeksi dapat menghasilkan varian baru patogen yang dapat menembus
barier spesies lain; (2) faktor perubahan lingkungan yang merupakan hasil dari
degradasi lingkungan, demografi manusia dan hewan, perubahan pola pertanian,
introduksi spesies asing, dan perubahan iklim; (3) faktor perilaku sosial dan
budaya, seperti kebiasaan makanan dan kepercayaan dan agama; serta (4)
faktor ekonomi. Sebagian faktor tersebut erat kaitannya dengan faktor risiko
17

antropogenik atau berasal dari manusia. Lebih lanjut Lashley (2004)


mengategorikan faktor-faktor kemunculan EZ dan REZ menjadi 13 kategori faktor
(Tabel 4).

Tabel 4 Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya EID dan REID (Lashley


2004)

Faktor Penyebab Contoh EID dan REID terkait dengan faktor penyebab
Perubahan dan adaptasi Escherichia coli O157:H7 yang lebih virulen
mikroba
Kerentanan manusia Manusia yang homozygous metionin pada kodon 129 gen
terhadap infeksi prion protein lebih rentan terhadap penyakit Creutzfeldt-
Jakob
Iklim dan cuaca Hujan lebat meningkatkan perkembangbiakan vektor
nyamuk dan penyakit menular oleh nyamuk
Perubahan ekosistem Pembangunan dam menyebabkan perubahan vektor ekologi
dan kemunculan Rift Valley fever di Mesir
Demografi dan perilaku Tindik anggota tubuh dan potensi infeksi hepatitis C
manusia
Perkembangan ekonomi Penebangan hutan di Venezuela meningkatkan populasi
dan pemanfaatan lahan tikus yang menjadi inang reservoar virus Guanarito dan
wabah Venezuelan hemorrhagic fever
Perjalanan internasional Impor raspberi Guatemala dan wabah siklosporiasis di
dan perdagangan Amerika Serikat
Teknologi dan industri Pengobatan massal menggunakan floroquinolon pada infeksi
Escherichia coli ayam menyebabkan resistensi antimikroba
pada manusia dan organisme lainnya
Gangguan kesehatan Gangguan pengendalian vektor meningkatkan distribusi dan
masyarakat kelimpahan Aedes aegyptii penyebab demam berdarah
dengue
Kemiskinan dan Memakan daging hewan yang mati akibat antraks
ketimpangan sosial menyebabkan terjadinya kasus antraks gastrointestinal pada
manusia
Perang dan kelaparan Bencana alam dan kerusuhan merusak sarana kesehatan
masyarakat terutama layanan pencegahan seperti imunisasi
dan pengendalian vektor
Kurangnya kebijakan Tidak dilaporkannya kejadian penyakit karena alasan
politik ekonomi dan politis menyebabkan kemunculan wabah SARS
di Cina
Kedekatan terhadap Penyebaran spora Bacillus anthracis di Amerika Serikat
kuman penyebab tahun 2001
penyakit

Kemunculan dan penyebaran EZ dan REZ bersumber satwa liar dipicu oleh
(1) peningkatan permintaan protein hewani sehingga menyebabkan perubahan
praktik pertanian (misalnya produksi perunggasan di Asia), pasar hewan,
18

konsumsi daging asal satwa liar (bushmeat), perdagangan global, serta


gangguan habitat satwa (misalnya pelanggaran batas hutan); (2) perubahan
perilaku manusia, seperti besarnya kesempatan kepemilikan dan perpindahan
hewan kesayangan, perjalanan melalui udara, ekoturisme, perburuan,
perkemahan (camping), pilihan makanan (misalnya makanan asal satwa liar),
demografi, serta tingkat ketaatan melaksanakan tindakan pencegahan; (3)
kekurangan infrastruktur dan kebijakan pada kesehatan masyarakat akibat
kurangnya integrasi surveilans kesehatan hewan, pendanaan sektor kesehatan
masyarakat, serta kurangnya pendanaan bagi penelitian dan pembangunan
keahlian dalam menjawab permasalahan kesehatan masyarakat; dan (4) faktor
terkait agen penyebab penyakit, seperti adaptasi ke vektor dan inang baru,
mutasi dan rekombinasi di manusia dan hewan setelah terpapar banyak patogen
(misalnya foodborne virus dan virus influenza), serta perkembangan peningkatan
virulensi atau resistensi terhadap obat (WHO/FAO/OIE 2004).
Penyakit ternak dapat berpindah ke satwa liar (spill-over) yang kemudian
berpindah lagi ke hewan ternak (spill-back). Paparan agen patogen pada suatu
populasi bergantung pada interaksi yang melibatkan inang, agen, dan
lingkungan. Populasi hewan yang terpapar faktor kemungkinan resisten
terhadap infeksi atau dapat menjadi inang akhir, inang antara, atau inang alami
(maintenance host). Spesies inang dan agen yang sama belum tentu memiliki
respon yang sama bergantung pada situasi yang berbeda. Menurut Wolfe et al.
(2005), risiko kemunculan agen zoonotik baru bersumber satwa liar bergantung
pada keragaman mikroba satwa liar dalam wilayah, dampak perubahan
lingkungan pada prevalensi patogen pada populasi satwa liar, serta frekuensi
manusia dan hewan domestik yang kontak dengan reservoar satwa liar (Tabel 5).
Pergerakan agen patogen menular yang disebabkan perdagangan satwa
liar tidak hanya berdampak pada manusia melainkan juga hewan domestik dan
satwa liar asli. Contohnya adalah influenza A tipe H5N1 diisolasi pada dua elang
gunung di Belgia yang diimpor secara ilegal dari Thailand. Selama pasar satwa
liar masih menjadi sistem utama perdagangan, eliminasi perdagangan
memerlukan biaya yang tinggi untuk menurunkan risiko penyakit pada manusia,
hewan domestik, satwa liar, dan ekosistem (Karesh et al. 2005). Perburuan
satwa liar untuk produk tambahan makanan berdampak besar pada sumber daya
satwa liar di beberapa area seluruh dunia.
19

Tabel 5 Beberapa agen patogen dengan faktor yang mempengaruhi


kemunculannya (Morse 1995)

Agen patogen Faktor yang berkontribusi terhadap kemunculannya

Virus
Bolivian hemorrhagic fever, Perubahan pertanian yang memicu populasi inang rodensia
Argentina hemorrhagic fever

Bovine spongiform Perubahan pada proses rendering


encephalopathy (BSE)

Demam berdarah dengue Transportasi, perjalanan, migrasi, dan urbanisasi

Ebola, Marburg Tidak diketahui (di Eropa dan Amerika Serikat dari impor
monyet)

Hantavirus Perubahan ekologi atau lingkungan yang meningkatkan kontak


dengan inang rodensia

Hepatitis B, C Transfusi darah, transplantasi organ, peralatan hipodermik


terkontaminasi, penularan seksual, penyebaran vertikal dari
induk terinfeksi ke anak

HIV Migrasi ke kota dan perjalanan, penularan seksual, penularan


vertikal dari induk ke anak, peralatan hipodermik terkontaminasi
(penggunaan obat intravena), transfusi darah, transplantasi
organ

Influenza (pandemi) Kemungkinan peternakan babi dan bebek yang memfasilitasi re-
assortment virus avian dan mamalia

Lassa fever Urbanisasi inang rodensia, peningkatan paparan

Rift Valley fever Pembangunan bendungan, pertanian, irigasi, kemungkinan


perubahan virulensi atau patogenitas virus

Demam kuning (yellow Kondisi yang mempengaruhi vektor nyamuk


fever)

Bakteri
Kolera Epidemi di Amerika Selatan kemungkinan berasal dari kapal
Asia yang menyebar melalui klorinasi air, perjalanan

Haemolitic uremic syndrome Penggunaan teknologi pemrosesan makanan massal yang


(Escherichia coli O157:H7) memungkinkan kontaminasi daging

Legionella Sistem pendinginan (organisme yang tumbuh pada biofilm yang


terbentuk pada penyimpanan tank air)

Lyme borreliosis Reforestrasi sekeliling rumah dan kondisi yang mempengaruhi


vektor caplak pada rusa (inang reservoar sekunder)

Streptococcus grup A Tidak menentu


(nekrotik invasif)

Toxic shock syndrome Ultra-absorbency tampon


(Staphylococcus aureus)

Parasit
Cryptosporidium, patogen Kontaminasi air permukaan, kegagalan pemurnian air
penyakit air lainnya

Malaria Perjalanan atau migrasi

Skistosomiasis Pembangunan bendungan


20

Pengendalian Zoonosis Bersumber pada Satwa Liar


Dalam rangka mencegah dan mengendalikan EZ dan REZ beberapa
langkah perlu diambil yang meliputi, pengenalan (recognition), penyidikan
(investigation), kolaborasi (collaboration), pengembangan struktur percepatan
untuk diagnosis dan surveilans, intervensi internasional dan interdisipliner,
penelitian penerapan epidemiologi dan ekologi, edukasi (pelatihan dan
pemindahan teknologi), serta informasi komunikasi (Chomel 2003).
WHO/FAO/OIE (2004) merekomendasikan deteksi, surveilans, respon dan
pengendalian zoonosis dengan cara (1) sistem pelaporan dan peringatan dini ke
World Organisation of Animal Health (OIE), (2) menjalankan sistem peringatan
dini terhadap EZ dan REZ, (3) sistem pemantauan (monitoring), (4) perkiraan
matematis kejadian penyakit, (5) studi kompleksitas dalam mencari agen di
reservoar satwa liar, (6) strategi pengendalian dengan penerapan standar
keamanan, (7) kemitraan antara kesehatan hewan dan masyarakat dalam
pengendalian zoonosis, serta (8) peningkatan kesiapan (preparedness) dan
respon terhadap EZ dan REZ.
Metode yang dilakukan dalam pencegahan dan pengendalian EZ dan REZ
bersumber satwa liar adalah isolasi dan pembuatan pembatas fisik untuk
mengasingkan satwa liar dari peternakan atau pemukiman penduduk,
pengendalian populasi satwa melalui seleksi, perawatan dan vaksinasi dalam
populasi satwa (misalnya vaksinasi rabies secara oral pada rubah), pembatasan
pergerakan satwa liar, melakukan tindakan tentatif pengujian melalui karantina
pada semua satwa hidup impor dan ekspor, serta peningkatan keterampilan
perawatan dalam mengadopsi dan translokasi satwa liar (WHO/FAO/OIE 2004).
Baru-baru ini di Indonesia, telah dikeluarkan peraturan tentang strategi
pengendalian zoonosis yang juga mencakup zoonosis baru melalui Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendalian
Zoonosis. Strategi tersebut meliputi (1) mengutamakan prinsip pencegahan
penularan kepada manusia dengan meningkatkan upaya pengendalian zoonosis
pada sumber penularan; (2) penguatan koordinasi lintas sektor dalam rangka
membangun sistem pengendalian zoonosis, sinkronisasi, pembinaan,
pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi dan
program; (3) perencanaan terpadu dan percepatan pengendalian melalui
surveilans, pengidentifikasian, pencegahan, tata laksana kasus dan pembatasan
penularan, penanggulangan kejadian luar biasa atau wabah dan pandemi serta
21

pemusnahan sumber zoonosis pada hewan apabila diperlukan; (4) penguatan


perlindungan wilayah yang masih bebas terhadap penularan zoonosis baru; (5)
peningkatan upaya perlindungan masyarakat dari ancaman penularan zoonosis;
(6) penguatan kapasitas sumber daya yang meliputi sumber daya manusia,
logistik, pedoman pelaksanaan, prosedur teknis pengendalian, kelembagaan dan
anggaran pengendalian zoonosis; (7) penguatan penelitian dan pengembangan
zoonosis; (8) pemberdayaan masyarakat dengan melibatkan dunia usaha,
perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi profesi, serta
pihak-pihak lain.

Tantangan Bidang Kesehatan Masyarakat Veteriner dari Zoonosis yang


Baru Muncul
Globalisasi berdampak pada peningkatan permasalahan yang terkait
kesehatan hewan, manusia, dan lingkungan. Banyaknya EID dan REID yang
disebabkan kontak antara manusia, hewan domestik, dan satwa liar memerlukan
pemahaman mengenai strategi efektif dalam upaya pengendalian dan
pencegahan penyakit. Para profesi yang terkait dengan kesehatan hewan,
manusia, dan lingkungan memiliki peran strategis dalam menjawab berbagai
tantangan yang timbul akibat globalisasi. Upaya pendekatan kolaborasi
interdisipliner antara bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan sangat
diperlukan dalam penanggulangan penyakit. Hal tersebut memicu dicetuskannya
konsep one health untuk mencapai kesehatan dan kesejahteraan global
(Sherman 2010).
One health adalah upaya kolaboratif multidisiplin yang bekerja secara lokal,
nasional, dan global untuk mencapai kesehatan optimal bagi manusia, hewan,
dan lingkungan (Leboeuf 2011). Konsep tersebut dicetuskannya oleh para
dokter hewan di Wildlife Conservation Society dengan mendeklarasikan
Manhattan Principles on One World, One Health (Sherman 2010). Penyakit
zoonotik memberikan dampak berupa kerugian besar terhadap perekonomian
dunia. Masyarakat dunia dituntut melakukan kerjasama tingkat regional maupun
internasional dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit zoonotik,
khususnya yang terkait dengan penyakit hewan yang bersifat lintas batas negara
atau yang dikenal sebagai transboundary animal diseases (TAD). TAD adalah
penyakit yang memiliki kepentingan signifikan pada ekonomi, perdagangan,
dan/atau keamanan pangan bagi banyak negara yang dapat dengan mudah
menyebar ke negara lainnya dan mencapai proporsi epidemik sehingga
22

memerlukan pengendalian atau pengaturan melalui kerjasama beberapa negara.


Penyakit-penyakit TAD antara lain penyakit mulut dan kuku (PMK), rinderpest,
contagious bovine pleuropneumonia, BSE, peste des petits ruminants, classical
swine fever, African swine fever, Newcastle disease (ND), dan avian influenza
(AI) (Otte et al. 2004). Sejak Juni 2011, OIE mengeluarkan resolusi 18/2011
yang menyatakan bahwa dunia bebas dari rinderpest dari 198 negara yang
rentan terserang (OIE 2011).
Meningkatnya mobilitas hewan hidup dan produk hewan di seluruh dunia
meningkatkan tingkat risiko penyebaran TAD. World Trade Organization (WTO)
secara aktif mendukung pengembangan regulasi dan kebijakan dalam menjamin
kesehatan hewan dan keamanan pangan dalam perdagangan internasional.
World Organization for Animal Health (OIE) menyediakan pakar dan ilmuwan
bagi WTO dalam meregulasi perdagangan ternak di dunia. Food and Agricultural
Organization of the United Nations (FAO) dan World Health Organization (WHO)
dalam Codex Alimentarius menyediakan panduan untuk regulasi pangan
termasuk pangan asal hewan (Sherman 2010). American Veterinary Medical
Association pada tahun 2007 mengeluarkan One Health Initiative dan membuat
One Health Initiative Task Force untuk mempelajari kemungkinan kolaborasi dan
kerjasama antara profesi ilmu kesehatan, institusi akademik, pemerintah, dan
industri dengan penaksiran, perawatan, dan pencegahan penularan penyakit
lintas spesies dan prevalensi penyakit manusia dan hewan dan kondisi medis
(AVMA 2008). Emergency Prevention Systems for Transboundary Animal and
Plant Pest and Diseases (EMPRES) didirikan oleh FAO tahun 1994 memiliki
fungsi dalam pencegahan dan peringatan dini terhadap seluruh rantai makanan,
melalui sistem (1) EMPRES kesehatan hewan (mencakup penyakit hewan dan
hewan akuatik), (2) EMPRES perlindungan tanaman (mencakup hama dan
penyakit tanaman, termasuk tanaman hutan), dan (3) EMPRES keamanan
pangan. Misi EMPRES adalah mendukung pengendalian efektif hama dan
penyakit endemik dan ancaman keamanan pangan melalui kerjasama
internasional mencakup peringatan dini, reaksi dini, penelitian dan koordinasi
(FAO 2011). Global Early Warning and Response System for Majoring Animal
Diseases, including Zoonoses (GLEWS) dibentuk dari gabungan FAO, OIE, dan
WHO yang bertujuan untuk meningkatkan peringatan dini secara global terhadap
wabah penyakit dan analisis epidemiologi (FAO/OIE/WHO 2006).
METODE PENULISAN

Penulisan skripsi berdasarkan studi pustaka ini bersumber dari jurnal,


buku, artikel, dan informasi lain yang terkait. Pencarian sumber pustaka
dilakukan dengan penelusuran secara online dari lembaga-lembaga sitasi,
seperti Science Direct, ProQuest, EBSCO, dan Infotrac. Selain itu, dilakukan
pula penelusuran pada digital collection di Perpustakaan Institut Pertanian Bogor
dan referensi lainnya.
PEMBAHASAN

Jumlah dan keanekaragaman spesies satwa liar di seluruh dunia sangat


besar dan terdistribusi pada habitat dan ekologi yang berbeda-beda.
Keanekaragaman hayati terus mengalami penyusutan, terutama di hutan tropis
(Anonim 2011a). Menurut Kementerian Lingkungan Hidup RI (2008),
kecenderungan penyusutan keanekaragaman hayati disebabkan oleh
penebangan hutan, pengalihan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan,
penambangan, perburuan, perdagangan satwa liar, dan introduksi spesies asing
invasif (invasive alien species). Kemunculan agen patogen penyebab penyakit
dihubungkan dengan perubahan ekologi dan faktor risiko spesifik yang terkait
dengan tipe patogen, rute penularan, dan cakupan inang (Woolhouse 2002).
Dari 1415 agen patogen penyebab penyakit menular pada manusia yang saat ini
diketahui, sekitar 58-61%-nya bersumber pada hewan. Persentase tersebut
akan meningkat hingga 73-75% bila EID dan REID yang selama 30 hingga 40
tahun terakhir masih diperhitungkan (Roche dan Guégan 2011). Sebanyak 75%
dari jumlah penyakit menular pada manusia bersifat zoonotik (Taylor et al. 2001)
yang lebih dikategorikan sebagai EID dan REID (Woolhouse dan Sequera 2005).
EZ dan REZ merupakan tantangan besar bagi manusia dan dunia veteriner
karena memiliki dampak besar bagi kesehatan masyarakat (Sleeman 2006).
Kejadian EZ dan REZ muncul akibat perubahan lingkungan dan peningkatan
aktivitas manusia (Smolinski et al. 2003). Perubahan lingkungan sering dikaitkan
dengan faktor risiko yang dapat mempengaruhi dinamika infeksi agen patogen
zoonotik, yaitu (1) terjadi peningkatan jumlah inang reservoar; (2) peningkatan
insidensi infeksi pada inang reservoar; atau (3) perubahan pola, laju, dan
frekuensi kontak antara hewan sebagai inang reservoar dan manusia.
Pemahaman terhadap faktor-faktor tersebut digunakan untuk menentukan
keberhasilan upaya pengendalian penyakit zoonotik (Cleaveland et al. 2007).
Patogen yang baru muncul (emerging pathogen) didefinisikan sebagai
agen penyebab penyakit menular yang insidensinya meningkat dalam populasi
induk semang baru atau populasi induk semang yang telah ada namun
mempengaruhi epidemiologi penyakit (Cleaveland et al. 2007). Menurut Jones et
al. (2008), patogen penyebab timbulnya EID berasal dari bakteri atau riketsia
(54.3%), virus dan prion (25.4%), protozoa (10.7%), cendawan (6.3%), dan
cacing (3.3%). Dalam pengklasifikasian tersebut galur individu patogen yang
25

resisten terhadap obat antimikroba dipisahkan sebagai patogen tersendiri karena


galur yang berbeda dapat menyebabkan wabah penyakit yang secara signifikan
berbeda.
Patogen yang menyebabkan penyakit menular pada manusia jarang yang
terbatas hanya menularkan ke manusia saja. Kemampuan agen patogen
menginfeksi cakupan inang yang luas menjadi faktor risiko bagi kemunculan
penyakit baik pada manusia maupun hewan domestik (Cleaveland et al. 2001).
Woolhouse dan Sequera (2005) menunjukkan bahwa lebih dari 40% patogen EID
dan REID memiliki cakupan spesies luas (tiga atau lebih spesies inang).
Sebanyak 77% patogen pada ternak dan 91% patogen pada karnivora domestik
menginfeksi lebih dari satu inang (Haydon et al. 2002). Ruminansia, karnivora,
rodensia, burung, dan primata merupakan lima kategori hewan utama penular
penyakit ke manusia (Roche dan Guégan 2011). Patogen multispesies terdapat
pada beberapa populasi inang dengan membentuk reservoar infeksi. Oleh
karena itu, kunci penting dalam pengendalian patogen multispesies adalah
mengidentifikasi reservoar infeksi (Haydon et al. 2002).
Reservoar didefinisikan sebagai satu atau lebih populasi dan lingkungan
yang secara epidemiologi terhubung dimana patogen dapat secara permanen
dipelihara dan infeksi dapat ditularkan ke target populasi yang terbatas.
Reservoar inang infeksi yakni semua inang yang secara epidemiologi terhubung
atau berkontribusi pada penularan ke inang target (Haydon et al. 2002).
Reservoar infeksi meliputi semua populasi inang, inang antara atau vektor pada
lingkungan yang diperlukan untuk mempertahankan agen tanpa batas. Inang
insidentil atau inang penghubung adalah inang yang dapat terinfeksi patogen
namun tidak ikut berperan dalam pemeliharaan populasi patogen (Ashford 2003).
Satwa liar berperan penting sebagai reservoar zoonosis. Saat ini,
kepentingan dan pengetahuan mengenai satwa liar sebagai reservoar semakin
meningkat karena zoonosis yang bersumber satwa liar menyebabkan
permasalahan utama kesehatan masyarakat di dunia (Kruse et al. 2004).
Daszak et al. (2000) mengategorikan EID bersumber pada satwa liar
berdasarkan epizootiologi menjadi tiga kriteria utama, yakni (1) EID yang terkait
dengan hubungan timbal balik (spill-over) dari hewan domestik ke populasi satwa
liar yang hidup berdampingan, (2) EID yang terkait secara langsung dengan
intervensi manusia melalui translokasi inang atau parasit, serta (3) EID yang
timbul tidak ada keterlibatan antara manusia atau hewan domestik. Hal tersebut
26

berimplikasi pada banyaknya spesies satwa liar merupakan reservoar patogen


yang mengancam hewan domestik dan manusia, serta EID mengancam
konservasi keanekaragaman hayati global. Satwa liar berperan sebagai
pangkalan zoonotik (zoonotic pool) patogen yang sebelumnya tidak diketahui.
Hal tersebut secara klasik dapat terjadi pada virus influenza yang menyebabkan
pandemi pada manusia setelah terjadi perubahan gen antara virus di burung liar
dan domestik, babi, serta manusia.
Pemahaman proses emergence (baru muncul) memerlukan kajian
dinamika mikroorganisme pada populasi reservoar satwa liar, biologi populasi
reservoar, serta perubahan demografi dan perilaku manusia (seperti perburuan,
produksi ternak) terhadap perubahan lingkungan, seperti deforestasi dan
perkembangan pertanian (Wolfe et al. 2005). Risiko kemunculan patogen
zoonotik bergantung pada tiga faktor, yaitu (1) keragaman mikroorganisme pada
satwa liar dalam suatu wilayah, (2) pengaruh perubahan lingkungan pada
prevalensi patogen dalam populasi satwa liar, dan (3) frekuensi kontak manusia
dan hewan domestik dengan satwa liar sebagai reservoar penyakit zoonotik.
Faktor pertama menjadi perhatian utama ahli virologi, khususnya yang mengkaji
kecenderungan evolusi dalam virus-virus yang baru. Faktor kedua dan ketiga
menjadi kajian dokter hewan satwa liar, ahli ekologi penyakit, ahli biologi populasi
satwa liar, ahli antropologi, ahli ekonomi dan ahli geografi (Wolfe et al. 2005).
Menurut Daszak et al. (2000), faktor risiko kemunculan penyakit pada
program konservasi sangat kompleks. EID menyebabkan kepunahan spesies
terancam punah; mengubah rasio predator, mangsa, kompetitor; serta mengubah
habitat melalui fragmentasi dan perubahan iklim global. Agen patogen yang
berinduk semang pada satwa liar memiliki risiko relatif (relative risk) lebih tinggi
dalam kemunculan penyakit baru (emergence) daripada agen patogen yang
memiliki sebaran induk semang yang terbatas (Cleaveland et al. 2007).
Deforestasi hutan tropis menyebabkan peningkatan kontak antara satwa
liar dan pemburu. Penebangan hutan sekaligus (clear-cut logging) kurang
menyebabkan munculnya zoonotik dibandingkan dengan tebang pilih (selective
extraction) karena terjadinya kontak antara manusia dan satwa liar relatif kurang
dibandingkan dengan tebang pilih. Praktik tebang pilih dapat menjaga
kelestarian keragaman hayati satwa liar dibandingkan dengan penebangan hutan
sekaligus, yang berarti juga menjaga keragaman patogen zoonotik potensial bagi
manusia (Wolfe et al. 2005).
27

Faktor risiko lain yang terkait dengan kemunculan penyakit zoonotik


bersumber satwa liar adalah peningkatan konsumsi bushmeat atau daging asal
satwa liar di beberapa belahan dunia, terutama Afrika Tengah dan lembah sungai
Amazon. Virus simian foamy diidentifikasi sebagai retrovirus yang menginfeksi
manusia melalui kontak langsung bushmeat primata non-manusia segar. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa zoonosis menjadi lebih sering, lebih meluas
penyebarannya, dan lebih kontemporer. Retrovirus baru yakni tipe 3 dan 4
penyebab limfotropik-T manusia ditemukan pada pemburu, butcher, dan penjaga
monyet dan/atau kera yang digunakan sebagai hewan kesayangan di Kamerun
bagian selatan. Permintaan bushmeat, akses luas ke habitat primata,
penebangan hutan, dan perburuan di Afrika menyebabkan peningkatan frekuensi
paparan retrovirus dari primata ke manusia. Wabah virus Ebola di Afrika bagian
barat dikaitkan dengan konsumsi bushmeat simpanse yang telah mati (Chomel et
al. 2007). Risiko munculnya zoonosis yang disebabkan oleh perburuan dan
konsumsi satwa liar masih menjadi perhatian global karena terkait dengan
peningkatan populasi manusia, perdagangan global, dan kontak antara manusia
dan hewan. Perburuan satwa liar oleh manusia dapat membawa risiko
perpindahan patogen antar spesies (Wolfe et al. 2005).
Menurut Chomel et al. (2007), pasar tradisional dan makanan lokal di
beberapa negara dikaitkan dengan kemunculan zoonosis baru. Pasar hewan
hidup atau dikenal sebagai pasar basah (wet market) merupakan tempat utama
dalam mengomersialisasikan unggas dan spesies hewan lainnya. Sebagai
contoh adalah epidemi avian influenza di Asia Tenggara pada 2004 dikaitkan
secara langsung dengan penjualan burung hidup terinfeksi di pasar tradisional.
Burung hidup memfasilitasi menyebaran avian influenza H5N1 yang bersumber
dari burung liar. SARS yang disebabkan oleh perdagangan karnivora liar hidup
di Cina. Musang yang banyak diperdagangkan berperan sebagai amplifier dari
siklus alami virus SARS. Trikinelosis dikaitkan dengan konsumsi daging satwa
liar yang dimasak kurang sempuna dari rusa dan babi liar menyebabkan hepatitis
E pada pemburu di Jepang. Makanan dengan rasa eksotik baru dihubungkan
dengan variasi patogen dan parasit, seperti protozoa (Toxoplasma sp.),
trematoda (Fasciola sp., Paragonimus spp.), cestoda (Taenia spp.,
Diphyllobothrium sp.), dan nematoda (Trichinella spp., Parastrongylus spp.,
Anisakis sp.).
28

Peningkatan jumlah EID bersumber satwa liar menimbulkan kewaspadaan


karena terdapat hubungan yang saling terkait faktor penyebab kemunculan
penyakit antara manusia dan satwa liar (Gambar 1). Hubungan paralel antara
manusia dan EID pada satwa liar terjadi sudah terjadi sejak lama yang secara
global menyebabkan terjadinya penyebaran patogen eksotik. Sebagai contoh
adalah introduksi smallpox dan measles oleh bangsa Spanyol ke Amerika melalui
perpindahan hewan domestik selama masa penjajahan. Panzootik rinderpest
Afrika terjadi karena introduksi, penyebaran, dan dampak dari virulensi patogen
eksotik dari Asia pada populasi satwa liar (Daszak et al. 2000).

Gambar 1 Hubungan EID antara satwa liar, hewan domestik, dan manusia
dengan faktor-faktor yang mempengaruhi (Daszak 2000).

Keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat memicu kepunahan populasi


satwa liar lokal. Translokasi dan introduksi satwa liar ke wilayah geografis baru
disamakan dengan peningkatan perjalanan dan perdagangan global yang dapat
29

memicu kemunculan penyakit menular. Sebagian besar penyakit muncul


sebagai akibat dari perubahan ekologi inang, agen patogen, atau keduanya.
Penularan agen patogen menular dari populasi hewan reservoar (hewan
domestik) ke satwa liar diistilahkan dengan spill-over, sebaliknya penularan agen
patogen menular dari satwa liar ke hewan domestik yang rentan disebut spill-
back. Spill-over dan spill-back menjadi ancaman yang membahayakan spesies
karena terjadi proses timbal balik patogen antara hewan domestik, satwa liar,
dan manusia (Tabel 6). Selain itu, keberadaan inang reservoar terinfeksi dapat
menurunkan ambang batas kepadatan patogen dan memicu kepunahan populasi
lokal. Contoh spill-over adalah perkembangan populasi manusia dan anjing
domestik menyebabkan kemunculan rabies pada anjing liar, sedangkan contoh
spill-back adalah bruselosis dapat menular ke elk dan bison akibat hewan ternak
domestik merumput di sekeliling habitat satwa liar (Daszak et al. 2000).
Virus merupakan agen patogen yang paling sering menyebabkan wabah
penyakit pada satwa liar (Tabel 7). Virus RNA lebih banyak menjadi penyebab
EID dan REID pada manusia dan hewan dibandingkan dengan virus DNA
(Cleaveland et al. 2007). EID dan REID muncul diakibatkan oleh gangguan
manusia pada habitat satwa liar, yakni deforestasi, perkembangan pemukiman
penduduk, dan pertambangan. Sebagai contoh adalah kemunculan kembali
rabies pada manusia oleh gigitan kelelawar vampir di lembah sungai Amazon
yang menyebabkan 46 orang meninggal dunia tahun 2004 (Chomel et al. 2007).
Perdagangan satwa liar memungkinkan penularan penyakit yang
mengancam manusia, peternakan, perdagangan internasional, populasi satwa
liar asli, dan kesehatan ekosistem. Perdagangan satwa liar mencakup barter
lokal hingga internasional baik secara ilegal informal maupun formal (Karesh et
al. 2005). Mamalia, burung, dan reptil liar yang ditampung di pusat perdagangan
mengalami kontak dengan manusia dan spesies lainnya sebelum
diperdagangkan kembali ke pasar lain atau dikembalikan ke habitatnya sebagai
bagian dari ritual agama atau dijadikan hewan peliharaan. Tahun 2001,
sebanyak 38 000 mamalia, 365 000 burung, 2 juta reptil, 49 juta amfibi, dan 216
juta ikan diimpor ke Amerika Serikat (Zommers dan Macdonald 2006). Di
30
31
32
33

Tabel 7 Contoh virus yang telah muncul sebagai hasil dari lompatan spesies.
Bagian A menunjukkan waktu lampau (5000 hingga 10000 tahun lalu)
dan bagian B menunjukkan waktu beberapa dekade terakhir
(Cleaveland 2007)

A. Waktu lampau
Penyakit/patogen Inang asal yang Inang baru
diduga

Measles Sapi, anjing Manusia


Smallpox Sapi, onta Manusia
Common cold Sapi Manusia

B. Beberapa dekade terakhir


Tahun pertama
Penyakit/patogen Inang asal Inang baru dilakukannya observasi
pada inang baru

Feline panleukopenia Kucing Anjing 1978


virus/Canine panleukopenia
virus (FPLV/CPV)

Simian immunodeficiency Simpanse Manusia 1983


virus simpanse (SIV cpz) /
HIV-1

Simian immunodeficiency Makaka Manusia 1986


virus makaka (SIV mac) /
HIV-2

Virus distemper Harp seal Harbor seal 1988

Virus Hendra Kelelawar pemakan Manusia, kuda 1994


buah

Lyssavirus kelelawar Kelelawar pemakan Manusia 1996


Australia buah

Virus Menagle Kelelawar pemakan Babi, manusia 1997


buah

Virus Nipah Kelelawar pemakan Manusia, babi 1999


buah

Virus distemper anjing Anjing Singa 1994

Sledge dog Crab-eating seal 1955

Anjing/karnivora liar Lake Baikal seal 1987/1988

Anjing/karnivora liar Caspian sea seal 2000

H5N1 influenza A Ayam Manusia 1997

Virus hepatitis E Rusa Manusia 2003

Coronavirus SARS Musang palm Manusia 2003


34

Afrika, penggunaan satwa liar, seperti cane rat hingga gorila, untuk dijadikan
makanan. Peningkatan perdagangan bushmeat dipicu oleh faktor kebudayaan,
politik, dan ekonomi (Karesh dan Noble 2009). Di Asia Timur dan Tenggara,
puluhan juta satwa liar didatangkan tiap tahun dari regional dan seluruh dunia
untuk makanan atau penggunaan obat tradisional. Diperkirakan lebih dari satu
miliar kilogram bushmeat diperdagangkan di Afrika Tengah baik untuk konsumsi
lokal maupun regional, sedangkan di lembah Sungai Amazon diperdagangkan 67
hingga 164 kilogram bushmeat dengan jumlah mamalia yang dikonsumsi
sebanyak 6.4 juta hingga 15.8 juta individu (Karesh et al. 2005).
Mekanisme yang digunakan dalam menyediakan satwa liar sebagai bahan
pangan, obat, hewan kesayangan, kesenangan baru, dan produk lainnya sangat
kompleks dan bervariasi bergantung pada wilayah, penggunaan, dan spesies
satwa liar. Di hutan Afrika Tengah, bushmeat menjadi sumber utama protein
hewani karena kemampuan keterbasan beternak hewan domestik (Karesh dan
Noble 2009). Pemburu satwa liar, pedagang, dan konsumen merupakan
golongan manusia yang paling sering kontak dan terpapar satwa liar (Karesh et
al. 2005). Bushmeat monyet juga menularkan parasit gastrointestinal, seperti
Trichuris sp., Entamoeba coli, Strongyloides fulleborni, dan Ancylostoma spp. di
Kamerun. Menurut Pourrut et al. (2010), parasit-parasit tersebut ditularkan ke
manusia secara transkutaneus melalui infeksi larva selama penanganan daging
(butchering). Kelelawar juga sering digunakan sebagai bushmeat untuk
dikonsumsi. Kelelawar memiliki peran signifikan bagi kesehatan karena berperan
sebagai inang reservoar beberapa virus (Calisher et al. 2006). Menurut Krauss
et al. (2003), kelelawar menularkan virus ke hewan domestik dan manusia
melalui kontak, gigitan, dan aerosol (Tabel 8).
Translokasi satwa liar dikaitkan dengan penyebaran beberapa zoonosis
(Chomel et al. 2007). Program penangkaran satwa bertujuan menjaga
keberlangsungan genetik dan kesehatan populasi satwa untuk dilepasliarkan ke
alam. Terjadinya translokasi satwa liar untuk kegiatan konservasi, pertanian, dan
berburu berisiko terpaparnya spesies satwa liar dengan agen menular eksotik.
Translokasi dan penangkaran berpotensi pada perpindahan patogen ke dalam
populasi satwa liar yang sebelumnya tidak terpapar (Daszak et al. 2000).
35
36

EZ dan REZ disebabkan pula oleh kerusakan lingkungan melalui introduksi


spesies asing invasif (invasive alien species/IAS) dalam suatu wilayah. IAS
merupakan spesies yang bukan menjadi spesies asli suatu habitat yang
diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja (Sharp et al. 2011). IAS
secara sengaja diintroduksi karena faktor ekonomi, lingkungan, dan sosial. IAS
merusak spesies asli pada ekosistem secara global, menyebabkan degradasi
lingkungan, serta kehilangan habitat bagi spesies yang terancam punah (Stroud
2009). Contoh penyakit yang disebabkan yang terkait dengan IAS adalah H5N1
avian influenza dan SARS yang disebabkan karena introduksi burung liar melalui
migrasi dan introduksi karnivora liar ke Cina yang bukan merupakan habitat
aslinya akibat perdagangan (Crowl et al. 2008).
Aktivitas perubahan ekologi dan penggunaan lahan, antara lain gangguan
pertanian, deforestasi, pembangunan bendungan, irigasi, modifikasi lahan basah,
pertambangan, urbanisasi, pembuatan jalan, degradasi pantai (Patz et al. 2004).
Perburuan spesies dan deforestasi hutan hujan tropis di dunia berdampak
turunnya kemampuan regenerasi hutan dan kehilangan keanekaragaman
spesies. Deforestasi menimbulkan munculnya agen patogen dan vektor baru
yang sebelumnya tidak diketahui. Penyakit oleh vektor nyamuk yang timbul
akibat deforestasi adalah demam berdarah dengue, Rift Valley Fever, malaria,
dan water-borne disease like cholera. Di Indonesia, deforestasi menyebabkan
kemunculan wabah malaria (Butler 2006).
Pencegahan dan pengendalian zoonosis yang bersumber satwa liar
memerlukan biaya tinggi (Tabel 9). Otte et al. (2004) melakukan analisis yang
digunakan untuk membuat keputusan dan manajemen pencegahan dan
pengendaliann hama dan penyakit menular melalui (1) analisis risiko (risk
analysis), mengidentifikasi dan menghitung risiko dan memasukkannya dalam
pertimbangan pengambilan keputusan; (2) cost-benefit analysis, menghitung
harga dan keuntungan terhadap pilihan manajemen; (3) risk acceptability,
mengevaluasi risiko yang diperlukan dalam manajemen. Konsep one health
diperlukan dalam kolaborasi dan kerjasama antara bidang kesehatan manusia,
hewan, dan lingkungan dalam mengendalikan dan mencegah EZ dan REZ.
Kerjasama tersebut melibatkan organisasi dunia, seperti World Organisation of
Animal Health (OIE), World Health Organization (WHO), dan Food and
37

Tabel 9 Biaya yang dikeluarkan dalam pengendalian dan pemberantasan


penyakit zoonotik di beberapa negara

Biaya yang
Penyakit Negara Tahun Pustaka
dikeluarkan

Avian influenza Indonesia 2003 470 juta dolar Foster (2009)


Amerika

Vietnam 2003-2004 630 juta dolar Anonim (2011b)


Amerika

Hong Kong 1997 13 juta dolar Anonim (2008)


Amerika

HIV/AIDS Thailand 2000 7.3 miliar dolar Anonim (2008)


Amerika

Kolera Peru 1991 700 juta-1.5 Anonim (2008)


miliar dolar
Amerika

Pneumonic India 1994 1.3 miliar dolar Anonim (2008)


plague Amerika

E. coli O157:H7 Jepang 1996 1.5 juta dolar Anonim (2008)


Amerika

SARS Cina, Hong Kong, 1999-2003 50 miliar dolar Anonim (2008)


Singapura, Amerika
Kanada

Virus Nipah Malaysia 1999 350-400 miliar Anonim (2008)


dolar Amerika

Lyme disease Amerika Serikat 1997 2.5 miliar dolar Anonim (2008)
Amerika

BSE Inggris 1994-1996 10-13 miliar dolar Anonim (2008)


Amerika

BSE Amerika Serikat 2003 3.5 miliar dolar Anonim (2008)


Amerika

Agricultural Organization (FAO) dengan kesepakatan membentuk World Trade


Organization (WTO), Sanitary and Phytosanitary (SPS), EMPRES, dan GLEWS
(Otte et al. 2004).
Menurut Leboeuf (2011), Prinsip Manhattan yang menjadi dasar one health
terdiri atas 12 butir, yakni (1) mengetahui hubungan antara kesehatan manusia,
hewan domestik, satwa liar dan ancaman pada timbulnya penyakit manusia,
38

suplai makanan, ekonomi, dan biodiversitas; (2) mengetahui penggunaan lahan


dan air yang berimplikasi pada kesehatan; (3) mengetahui ilmu kesehatan satwa
liar yang penting dalam pencegahan, surveilanss, monitoring, pengendalian dan
mitigasi penyakit global; (4) mengenali program kesehatan manusia yang
berkontribusi terhadap usaha-usaha konservasi; (5) menciptakan pendekatan
adaptif, holistik, dan pandangan ke depan terkait pencegahan, surveilanss,
monitoring, pencegahan, dan mitigasi kemunculan penyakit antar spesies; (6)
mengintegrasikan pandangan konservasi biodiversitas dan kebutuhan manusia
terhadap ancaman penyakit menular; (7) mengurangi permintaan perdagangan
satwa liar dan bushmeat untuk melindungi populasi satwa liar, memperkecil risiko
perpindahan penyakit, penularan lintas spesies, dan perkembangan hubungan
inang dan patogen, perkembangan perdagangan yang mengancam keamanan
sosio-ekonomi global; (8) membatasai pergerakan bebas satwa liar dalam
pengendalian penyakit secara luas; (9) meningkatkan investasi pada infrastruktur
kesehatan manusia dan hewan yang sepadan dengan keseriusan dalam
menangani ancaman penyakit; (10) menjalin hubungan kolaboratif antara
pemerintahan, masyarakat lokal, dan kepentingan umum dalam menangani
kesehatan global dan konservasi; (11) menyediakan sumber daya memadai dan
dukungan untuk surveilans kesehatan satwa liar dan sistem peringatan dini
ancaman EID; (12) mengedukasi dan meningkatkan kewaspadaan antar
manusia di dunia
Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan
mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan
perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global. Prinsip utama dari
medik konservasi adalah kesehatan menghubungkan semua spesies sehingga
terjadi hubungan proses ekologik (Aguirre dan Gomez 2009). Pendekatan
ekosistem pada kesehatan (ecohealth) adalah suatu sistem pendekatan dalam
pemahaman dan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan melalui interaksi
sosial dan ekologi (Nguyen 2011). Ecohealth mengkaji perubahan lingkungan
biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan dampaknya terhadap kesehatan manusia.
Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan,
ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain
untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan
ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan
(Naipospos 2011).
39

Pendekatan konsep one health mendorong upaya kolaboratif dari banyak


disiplin ilmu yang bekerja secara lokal, nasional, dan global untuk mencapai
kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan (AVMA 2008). Medik konservasi
dan ecohealth dimasukkan dalam penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran
hewan di seluruh dunia diharapkan mampu mengubah pola berpikir dan
penekanan dari pengobatan (treatment) ke pencegahan (prevention). Para
dokter hewan akan mampu bekerja dalam wujud kerja kelompok transdisiplin.
Para profesional veteriner akan mampu mengembangkan alat baru untuk menilai
dan memantau kesehatan lingkungan dan ekologik serta lebih siap untuk
memenuhi peranannya dalam mempertahankan kesehatan global (Aguirre dan
Gomez 2009).
SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
1. Satwa liar diketahui berperan sebagai reservoar dalam kemunculan
beberapa EID dan REID yang bersifat zoonotik (EZ dan REZ) dan
menimbulkan dampak negatif pada manusia dan hewan di bidang
kesehatan, ekonomi, sosial, politik, dan keamanan.
2. EID dan REID muncul akibat ketidakseimbangan hubungan ekosistem
antara inang dan patogen yang dipicu oleh faktor-faktor sosio-ekonomi,
lingkungan, dan ekologi, seperti perkembangan pemukiman penduduk dan
deforestasi.
3. Pencegahan dan pengendalian zoonosis bersumber satwa liar dilakukan
dengan mengutamakan prinsip pencegahan dan pengendalian pada
sumber penularan melalui penguatan koordinasi lintas sektor, sinkronisasi,
pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan strategi
dan program perencanaan terpadu terhadap wabah, serta penguatan
kapasitas sumber daya masyarakat.
4. Permasalahan yang timbul akibat EZ dan REZ menjadi tantangan bagi
profesi bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan melalui
pendekatan konsep one health dan ecohealth melalui kerjasama antar
organisasi-organisasi dunia, seperti OIE, FAO, dan WHO.

Saran
1. Diharapkan terjadi peningkatan kewaspadaan semua lapisan masyarakat
dunia terhadap bahaya zoonosis yang baru muncul bersumber satwa liar.
2. Perlunya upaya intensif untuk menurunkan faktor risiko EID dan REID yang
bersifat zoonotik bersumber hewan liar.
3. Perlunya penguatan kolaborasi dan kerjasama antar semua pihak yang
terkait antar bidang kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan dalam
mencegah dan mengendalikan zoonosis yang baru muncul bersumber
satwa liar.
4. Diharapkan pemerintah secara intensif mendukung dan mendorong
implementasi konsep one health dan ecohealth pada kesehatan manusia,
hewan, dan ekosistem lingkungan.
41

5. Diharapkan dilakukannya penelitian dan pembuatan database zoononis


yang baru muncul berbasis informatif dan komunikatif mengenai penyebab,
tingkat kejadian, penyebaran, epidemiologi, dan dampak yang ditimbulkan
di negara-negara berkembang, terutama di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Aguirre AA, Gomez A. 2009. Essential veterinary education in conservation


medicine and ecosystem health: a global perspective. Rev sci tech Off int
Epiz 28(2):597-603.

[Anonim]. 2008. The economic and social impact of emerging infectious


disease: mitigation through detection, research, and response. [terhubung
berkala]. http://www.healthcare.philips.com/main/shared/assets/documents/
bioshield/ecoandsocialimpactofemerginginfectiousdisease_111208.pdf. [23
Juli 2011].

[Anonim]. 2011a. Rainforests facts. [terhubung berkala]. http://www.rain-


tree.com/facts.htm. [11 Juli 2011].

[Anonim]. 2011b. Avian influenza in Vietnam: three waves of avian influenza


since late 2003. [terhubung berkala]. http://www.avianinfluenza.org.vn/
index.php?option=com_content&view=category&id=45&Itemid=72&lang=en
[31 Juli 2011].

Ashford RW. 2003. When is a reservoir not a reservoir?. Emerg Infect Dis
9(11):1495-1496.

[AVMA] American Veterinary Medical Association. 2008. One Health: A New


Professional Imperative. Final Report, One Health Initiative Task Force.
Shaumburg: AVMA.

Bell D, Roberton S, Hunter PR. 2004. Animal origins of SARS coronavirus:


possible links with the international trade in small carnivores. Phil Trans R
Soc Lond B 359:1107-1114.

Bengis RG, Leighton FA, Fischer JR, Artois M, Mörner T, Tate CM. 2004. The
role of wildlife in emerging and re-emerging zoonoses. Rev sci tech Off int
Epiz 23(2):497-511.

Breiman RF, Njenga MK, Cleaveland S, Sharif SK, Mbabu M, King L. 2008.
Lesson from the 2006-2007 Rift Valley fever outbreak in East Africa:
implications for prevention of emerging infectious diseases. Future Virol
3(5):411-417.

Brown C. 2004. Emerging zoonoses and pathogens of public health significance


– an overview. Rev sci tech Off int Epiz 23(2):435-442.

Butler RA. 2006. Impact of deforestation: species loss, extinction and disease.
[terhubung berkala]. http://rainforests.mongabay.com/0904.htm. [6 Juli
2011].

Calisher CH, Childs JE, Field HE, Holmes KV, Schountz T. 2006. Bats:
important reservoir hosts of emerging viruses. Clin Microbiol Rev
19(3):531-545.
43

Castrucci MR, Donatelli I, Sidoli L, Barigazzi G, Kawaoka Y, Webster RG. 1993.


Genetic reassortment between avian and human influenza A virus in Italian
pigs. Virology 193(1):503-506.

[CDC] Center for Diseases Control and Prevention. 2010. Final 2010 West Nile
virus human infections in the United States. [terhubung berkala].
http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/westnile/surv&controlCaseCount10_detail
ed.htm. [28 Juni 2011].

Chomel BB. 1998. New emerging zoonoses: a challenge and an opportunity for
the veterinary profession. Comp Immunol Microbiol Infect Dis 21:1-14.

Chomel BB. 2003. Control and prevention of emerging zoonoses. J Vet Med
Educ 30(2):145-147.

Chomel BB, Belotto A, Meslin FX. 2007. Wildlife, exotic pets, and emerging
zoonoses. Emerg Infect Dis 13(1):6-11.

Chugh TD. 2008. Emerging and re-emerging bacterial diseases in India. J


Biosci 33(4):549-555.

Cleaveland SC, Laurenson MK, Taylor LH. 2001. Diseases of humans and their
domestic mammals: pathogen characteristic, host range and the risk of
emergence. Phill Trans R Soc Lond B 356:983-989.

Cleaveland SC, Haydon DT, Taylor L. 2007. Overviews of Pathogen


Emergence: Which Pathogens Emerge, When and Why?. Dalam: Childs
JE, Mackenzie JS, Richt JA, editor, Wildlife and Emerging Zoonotic
Diseases: The Biology, Circumstances and Consequences of Cross-
Species Transmission. Berlin: Springer. Hlm 85-111.

Coker RJ, Hunter BM, Rudge JW, Liverani M, Hanvoravongchai P. 2011.


Emerging infectious diseases in Southeast Asia: regional challenges to
control. Lancet 377:599-609.

Crowl TA, Crist TO, Parmenter RR, Belovsky G, Lugo AE. 2008. The spread of
invasive species and infectious disease as drivers of ecosystem change.
Ecol Soc Am 6(5):234-246.

Cunningham AA. 2005. A walk on the wild side – emerging wildlife diseases.
Brit Med J 331:1214-1215.

Daszak P, Cunningham AA, Hyatt AD. 2000. Emerging infectious diseases of


wildlife – threats to biodiversity and human health. Science 287:443-449.

Daszak P, Tabor GM, Kilpatrick AM, Epstein J, Plowright R. 2004. Conservation


medicine and a new agenda for emerging diseases. Ann NY Acad Sci
1026:1-11.

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2011. Food
chain crisis management framework. Prevention and early warning.
[terhubung berkala]. http://www.fao.org/foodchain/prevention-and-early-
warning/en/ [11 Juli 2011].

[FAO/OIE/WHO] Food and Agriculture Organization of the United Nations/World


Organisation for Animal Health/World Health Organization of the United
44

Nations. 2006. Global Early Warning and Response System for Major
Animal Diseases, including Zoonoses (GLEWS). FAO/OIE/WHO.

Foster P. 2009. The Political Economy of Avian Influenza in Indonesia, STEPS


Working Paper 17. Brighton: STEPS Centre.

Gummow B. 2010. Challenges posed by new and re-emerging infectious


diseases in livestock production, wildlife and humans. Livest Sci 130:41-
46.

Gurley ES, Montgomery JM, Hossain MJ, Bell M, Azad AK, Islam MR, Molla
MAR, Caroll DS, Ksiazek TG, Rota PA, Lowe L, Comer, JA, Rollin P, Czub
A, Grolla A, Feldmann H, Luby SP, Woodward JL, Breiman RB. 2007.
Person-to-person transmission of Nipah virus in a Bangladeshi community.
Emerg Infect Dis 13(7):1031-1037.

Hahn BH, Shaw GM, De Cock KM, Sharp PM. 2000. AIDS as a zoonosis:
scientific and public health implications. Science 287(5453):607-614.

Haydon DT, Cleaveland S, Taylor LH, Laurenson MK. 2002. Identifying


reservoirs of infection: a conceptual and practical challenge. Emerg Infect
Dis 8(12):1468-1473.

Horimoto T, Kawaoka Y. 2001. Pandemic threat posed by avian influenza A


viruses. Clin Microbiol Rev 14(1):129-149.

Jones KE, Patel NG, Levy MA, Storeygard A, Balk D, Gittleman JL. Daszak P.
2008. Global trends in emerging infectious disease. Nature 451:990-993.

Karesh WB, Cook RA, Bennett EL, Newcomb J. 2005. Wildlife trade and global
disease emergence. Emerg Infect Dis 11(7):1000-1002.

Karesh WB, Noble E. 2009. The bushmeat trade: increased opportunities for
transmission of zoonotic disease. Mt Sinai J Med 76:429-434.

Kandun IN. 2006. Emerging diseases in Indonesia: control and challenges.


Trop Med Health 34(4):141-147.

Katare M, Kumar M. 2010. Emerging zoonoses and their determinants. Vet


World 3(10):481-484.

Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2008. Keanekaragaman


hayati. [terhubung berkala]. www.menlh.go.id/slhi/slhi2008/6_
keanekaragaman Hayati.pdf. [6 Juli 2011].

Krauss H, Weber A, Appel M, Enders B, Isenberg HD, Schiefer HG, Slenczka W,


von Graevenitz A, Zahner H. 2003. Zoonoses: Infectious Diseases
Transmissible from Animals to Humans. USA: ASM Pr.

Kruse H, Kirkemo AM, Handeland K. 2004. Wildlife as source of zoonotic


infections. Emerg Infect Dis 10(12):2067-2072.

Lashley FR. 2004. Emerging infectious diseases: vurnerabilities, contributing


factors and approaches. Expert Rev Anti Infect Ther 2(2):299-316.
45

Lam SK, Chua KB. 2002. Nipah virus encephalitis outbreak in Malaysia. Clin
Infect Dis 34(Suppl 2):S48-S51.

Leboeuf A. 2011. Making sense of one health: cooperation at the human-


animal-ecosystem health interface. [terhubung berkala].
www.ifri.org/downloads/ifrihereport7alineleboeuf.pdf. [17 Juli 2011].

Leroy EM, Rouquet P, Formenty P, Souquière S, Kilbourne A, Froment JM,


Bermenjo M, Smit S, Karesh W, Swanepoel R, Zaki SR, Rollin PE. 2004.
Multiple Ebola virus transmission events and rapid decline of Central
African wildlife. Science 303:387-390.

Meslin FX. 1992. Surveillance and control of emerging zoonoses. World Health
Stat Q 45:200-207.

Mills JN, Amman BR, Glass GE. 2010. Ecology of hantavirus and their hosts in
North America. Vector-Borne Zoonot Dis 10(6):563-574.

Morens DM, Folkers GK, Fauci AS. 2004. The challenge of emerging and re-
emerging infectious diseases. Nature 430:242-249.

Morse SS. 1995. Factors in the emergence of infectious diseases. Emerg Infect
Dis 1(1):7-15.

Mohd NM, Gan CH, Ong BL. 2000. Nipah virus infection of pigs in peninsular
Malaysia. Rev sci tech Off int Epiz 19(1):160-165.

Naipospos TSP. 2011. Medik konservasi dan ecohealth sebagai pendekatan


transdisiplin dalam kesehatan hewan. [terhubung berkala].
http://tatavetblog.blogspot.com/2011/01/medik-konservasi-dan-ecohealth-
sebagai.html [13 Juli 2011].

[NaTHNaC] National Travel Healh Network and Centre. 2011. Clinical updates:
rabies in Bali, Indonesia. http://www.nathnac.org/pro/clinical_updates
/rabies_bali2011.htm [30 Juni 2011].

Nguyen V. 2011. The move towards more holistic approaches in public health.
Dalam: Understanding the concept and practice of ecosystem approaches
to health in the context of public health. [tesis]. Guelph: The Faculty of
Graduate Studies of The University of Guelph.

[OIE] World Organisation for Animal Health. 2011. World Animal Health
Information Database (WAHID). [terhubung berkala]. www.oie.int/wahis/
public.php?page=home. [11 Juli 2011].

Otte MJ, Nugent R, McLeod A. 2004. Transboundary animal diseases:


assessment of socio-economic impacts and institutional response.
Livestock Policy Discussion Paper No. 9. [terhubung berkala].
http://www.fao.org/ag/AGAinfo/resources/en/publications/sector_discuss/P
P_Nr9_Final.pdf. [16 Juli 2011].

Patz JA, Daszak P, Tabor GM, Aguirre AA, Pearl M, Epstein J, Wolfe ND,
Kilpatrick AM, Foufopoulos J, Malyneux D, Bradley. 2004. Unhelathy
landscapes: policy recommendations on land use change and infectious
disease emergence. Environ Health Persp 112:1092-1098.
46

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2011 tentang


Pengendalian Zoonosis.

Pourrut X, Diffo JLD, Somo RM, Bilong Bilong CF, Delaporte E, LeBreton M,
Gonzalez JP. 2010. Prevalence of gastrointestinal parasites in primate
bushmeat and pets in Cameroon. Vet Parasitol 175:187-191.

Reilly RT. 2009. Emerging infectious diseases threats: agents, impacts, and
considerations. http://www.nga.org/Files/pdf/0907HSTWORKSHOP
REILLY.PDF. [29 Mei 2011].

Rikihisa Y. 2010. Anaplasma phagocytophilum and Ehrlichia chaffeensis:


subversive manipulators of host cells. Nat Rev Microbiol 8:328-339.

Roche B, Guégan JF. 2011. Ecosystem dynamics, biological diversity and


emerging infectious diseases. CR Biol 334:385-392.

Rupprecht CE. 2011. Rabies: a neglected, re-emerging zoonosis.


http://www.cdc.gov/about/grandrounds/archives/2011/pdfs/PHGRRabies20
Jan201010am.pdf. [30 Juni 2011].

Shakespeare M. 2009. Zoonoses second edition. London: Pharmaceutica Pr.

Sharp RL, Larson LR, Green GT. 2011. Factors influencing public preferences
for the invasive alien species management. Biol Conserv 144:2097-2104.

Sherman DM. 2010. A global veterinary medical prespective on the concept of


One Health: focus on livestock. ILAR J 51(3):281-287.

Siu A, Wong YCR. 2004. Economic impact of SARS: the case of Hong Kong.
Asian Econ Pap 3(1):62-83.

Sleeman J. 2006. Wildlife zoonoses for the veterinary practitioner. J Exot Pet
Med 15(1):25-32.

Smolinski MS, Hamburg MA, Lederberg J. 2003. Microbial Threats to Health:


Emergence, Detection, and Response. Washington: National Academies
Pr.

Stroud D. 2009. Invasive alien species and wildlife diseases. [terhubung


berkala]. http://jncc.defra.gov.uk/pdf/mea_IASWDDStroud200509.pdf. [6
Juli 2011].

Sunderlin WD, Resosudarmo IAP. 1997. Laju dan penyebab deforestasi di


Indonesia: penelaahan kerancuan dan penyelesaiannya. CIFOR Occas
Pap 9(1):1-22.

Taylor LH, Latham SM, Woolhouse MEJ. 2001. Risk factors for human disease
emergence. Phil Trans R Soc Lond B Biol Sci 356:983-989.

[WHO] World Health Organization. 1996. A new global health crisis: emerging
infectious diseases. Di dalam: World Health Report 1996. Geneva: World
Health Organization.

[WHO] World Health Organization. 2000. The World Health Report 2000 Health
Systems: Improving Performace. Geneva: World Health Organization.
47

[WHO] World Health Organization. 2010. UNAIDS report on the global AIDS
epidemic 2010. [terhubung berkala]. http://www.unaids.org/
globalreport/global_report.htm. [27 Juni 2011].

[WHO] World Health Organization. 2011a. Situation update avian influenza.


[terhubung berkala]. http://www.ino.searo.who.int/en/Section4/
Section10_53.htm. [30 Juni 2011].

[WHO] World Health Organization. 2011b. H5N1 avian influenza: timeline of


major events. [terhubung berkala]. http://www.who.int/csr/disease/
avian_influenza/H5N1_avian_influenza_update.pdf. [28 Juni 2011].

[WHO/FAO/OIE] World Health Organization/Food and Agriculture Organization of


the United Nations/World Organisation for Animal Health. 2004. Report of
the WHO/FAO/OIE joint consultation on emerging zoonotic disease.
Geneva: WHO/FAO/OIE.

Westbury HA. 2000. Hendra virus disease in horse. Rev sci tech Off int Epiz
19(1):151-159.

Wild TF. 2009. Henipaviruses: an new family of emerging Paramyxoviruses.


Pathol Biol 57(2):188-196.

Wilson ML. 2002. Emerging and vector-borne diseases: role of high spatial
resolution and hyperspectral in analyses and forecasts. J Geogr Syst 4:31-
42.

Wolfe ND, Daszak P, Kilpatrick AM, Burke DS. 2005. Bushmeat hunting,
deforestation, and prediction of zoonoses emergence. Emerg Infect Dis
11(12):1822-1827.

Wolfe ND, Dunavan CP, Diamond J. 2007. Origins of major human infectious
diseases. Nature 447:279-283.

Woolhouse MEJ. 2002. Population biology of emerging and re-emerging


pathogens. Trends Microbiol 10(10):3-7.

Woolhouse MEJ, Gowtage-Sequeria S. 2005. Host range and emerging and


reemerging pathogens. Emerg Infect Dis 11(12):1842-1847.

Zommers Z, Macdonald D. 2006. The wildlife trade and global disease


emergence. http://www.bis.gov.uk/assets/bispartners/foresight/docs/
infectious- diseases/t12.pdf. [3 Juli 2011].

Zowghi E, Bayat M, Kousha A, Nissiani M. 2008. Emerging and re-emerging


zoonoses. W J Zool 3(2):71-76.

You might also like