Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi

Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp.24 - 35


ISSN 2310-6051 (Print), ISSN 2548-4907 (online)
Journal hompage https://ejournal.undip.ac.id/index.php/interaksi

LITERASI DIGITAL DAN ETIKA MEDIA SOSIAL


DI ERA POST-TRUTH
Puji Rianto
puji.rianto@uii.ac.id
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya,
Universitas Islam Indonesia

Article Info Abstract

Keyword: This research is an attempt to explain the post-truth phenomenon in the WhatsApp
WhatsApp, post-truth, digital group. This research, therefore uses online etnography or netnography, it found that
literacy, and ethics the widespread post-truth in the WhatsApp group marked by the spread of hoax is
not mere caused by a lack of digital literacy, but rather an ethics. The fact that con-
versation groups are able to analyze, and evaluate political messages, but uncritical
when dealing with political messages that support their political choices
(candidates). As a result, they tend to believe on what they might think as thruth,
even with no clarifying wheather it’s true or false. In such case, they even deliberate-
ly and consistently to share any information even though other group providing cor-
rection for many times. This research, therefore suggests that digital literacy must be
integrated with communication ethics. In regard with digital literacy, indeed it’s very
necessary to enhance the critical capabilities of digital media users, while ethics lead
people to always think and consider the good or bad of the communication activities.

Copyright © 2019 Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi. All rights reserved.

PENDAHULUAN yang lebih jelas untuk melihat batas-batas antara dunia


nyata dan media. Jika kita mampu membedakan antara
John Berger (1972; Grossberg et. al, 2006: realitas sosial dan realitas media, maka kita akan lebih
199) mengemukakan bahwa media adalah suatu cara mampu menggunakan media secara lebih kritis dan
melihat (the way of seeing) realitas, menyangkut tidak mudah ‘dimanipulasi’. Inilah yang menjadi latar
bagaimana subjek direpresentasikan dan melalui prak- belakang banyak gerakan literasi media literasi di Indo-
tik-praktik representasi memunculkan suatu sistem ber- nesia (lihat Poerwaningtias dkk, 2009; Kurnia dan San-
fikir mengenai nilai-nilai individu. Media sering ti, 2017; Sarwono, Hendriyani, dan Guntarto, 2011;
menasbihkan orang-orang sukses atau mendefinisikan Mutmainnah, 2011; Guntarto, 2011; Poerwaningtias
mana yang dianggap bernilai dan tidak. Kesemuanya dkk, 2009)). Kebutuhan literasi media itu semakin kuat
mempengaruhi individu dalam memandang realitas di oleh tuntutan media digital yang jauh lebih
sekelilingnya, termasuk dalam memandang dirinya “radikal”dalam memfasilitasi komunikasi manusia.
sendiri. Oleh karena itu, setiap individu harus mempu- Media digital bukan hanya menghilangkan
nyai ‘kesadaran’ kritis dalam mengenali realitas media, “gatekeeper” dalam media konvensional (old media),
dan mampu membedakannya dengan realitas sosial. tapi sekaligus mengaburkan batas-batas antara pem-
Untuk itu, setiap individu harus mampu “mengontrol” rodusen dan penerima pesan. Media baru menawarkan
media. Ini telah menjadi salah satu tujuan penting lit- dunia yang mirip dengan dunia nyata. Media baru me-
erasi media. Sebagaimana dikemukakan Potter (2011: nyediakan ruang chatting, conference, ataupun percaka-
8), “Taking control is what media literacy is all about.” pan dalam dunia politik sehingga pesan, informasi atau-
Dalam pandangan Potter, jika kita mempunyai literasi pun propaganda politik dapat secara viral (Madrah dan
media yang baik maka akan memberikan perspektif Mubarak, 2018: 19). Post-truth berkembang luas di era

Corresponding Author:
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya,
Universitas Islam Indonesia
Jl. Kaliurang Km 14.5, Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Email: puji.rianto@uii.ac.id
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 25

media digital ini (Kapolkas, 2019). Kemampuan media komunikasi di Indonesia. Sebaliknya, etika media sosial
baru dalam memfasilitasi pengguna untuk harus menjadi sandaran lainnya. Ini tidak berarti bahwa
memproduksi, berbagi, dan menyebarkan komunikasi literasi digital tidak diperlukan atau tidak penting, tapi
memungkinkannya untuk digunakan kelompok politik semata literasi digital tidaklah cukup ketika berhadapan
untuk membangun narasi demi tujuan-tujuan poli- dengan orang-orang yang hanya percaya pada apa yang
tiknya. ingin mereka percayai. Studi ini diharapkan mem-
perkaya kajian post-truth di Indonesia yang mulai ban-
Di Indonesia, fenomena post-truth dapat di-
yak dilakukan seperti studi Jatmiko (2019) mengenai
baca dengan jelas selama pemilu 2019, dan banyak
post-truth dan pembelahan politik pilpres, Utami (2018)
orang menggunjingkan hal itu. Polarisasi politik terjadi
mengenai hoax pilkada Jakarta 2017, dan Rianto, et.al,
dan berlangsung masif. Identitas kelompok mudah di-
(2019) mengenai hoax politik pilpres 2019. Dengan
baca terutama dari pilihan-pilihan media dan pesan-
memfokuskan pada etika, studi ini akan melengkapi
pesan media yang dikonsumsi dan dibagi di media so-
sial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dsb. Media kajian-kajian etika media massa lebih dulu menarik

baru memfasilitasi pembelahan itu melalui sifat minat ilmuwan sosial dan komunikasi (lihat, misalnya,
“otonomi” pengguna dalam mengonsumsi, mem- Hanugraheningtias, 2015; Tabroni, 2012) ataupun etika
roduksi, dan menyebarkan pesan media. Akibatnya, media baru (Prajarto, 2011)
para pengguna (user)-untuk membedakannya dengan
khalayak tradisional (lihat Lester dkk, 2006)-mudah
terjebak ke dalam post-truth. KAJIAN PUSTAKA

Studi ini dilakukan untuk menjawab pertan- Metodologi


yaan bagaimana fenomena post-truthberlangsung dalam Penelitian ini menggunakan etnografi atau
kelompok percakapan WhatsApp? Sejauh mana literasi lebih tepatnya online etnografi atau netnografi menurut
digital mampu menjadi sarana penggunaan media yang Kozinets (2015). Sama dengan etnografi konvensional
kritis dan reflektif di era di mana orang-orang hanya di mana fokus penelitiannya adalah budaya dan
ingin mendengar dan melihat apa yang mereka ingin komunitas, online etnography fokus pada komunitas
lihat dan dengar (Kapolkas, 2012; Moravec et.al, 2018; daring. Data diambil melalui observasi partisipasi ter-
Block, 2019)?; dan di mana peran etika dalam situasi hadap kelompok percakapan WhatApps dari suatu kum-
semacam itu? pulan alumni salah satu universitas di Yogyakarta. Ke-
Penelitian ini melanjutkan penelitian saya lompok percakapan tersebut dipilih karena setidaknya
sebelumnya (Rianto, 2016). Penelitian dengan tiga alasan. Pertama, keragaman anggotanya. Anggota
menggunakan studi partisipasi observasi itu menyim- kelompok ini berasal dari latar belakang budaya yang
pulkan bahwa orang-orang cenderung memilih dan berbeda, baik dari sisi suku, agama, dan sosial-
membagikan informasi yang disesuaikan dengan keya- ekonomi. Satu-satunya yang menyatukan merekaadalah
kinan mereka. Ini membuat mereka mudah terjebak ke pengalaman masa lalu sebagai mahasiswa yang pernah
dalam kebenaran tunggal karena peluang mendapatkan hidup dalam satu asrama. Meskipun awalnya sebagian
informasi ‘versi lain’ tertutup (lihat Kelkar, 2019). besar berasal dari kelompok kelas menengah bawah,
Situasi ini semakin diperparah oleh segregasi politik tapi kemudian berhasil melakukan transformasi kelas
yang difasilitasi media sosial. Kelompok ini cenderung dengan beragam pekerjaan atau profesi. Ada yang men-
eksklusif dan mengakses informasi dalam batas-batas jadi politikus, pejabat publik, lawyer, dokter, pengu-
yang disesuaikan oleh minat dan keinginan-keinginan saha, jurnalis, militer, guru dan pengajar di perguruan
mereka (Jatmiko, 2019). tinggi. Kedua, tidak diragukan lagi, mereka adalah
kelompok terdidik karena minimal berpendidikan sarja-
Asumsi dasar penelitian ini adalah fenomena
na atau pascasarjana. Jadi, mereka mampu
post-truth tidak dapat disandarkan semata pada literasi
menggunakan nalar rasional dengan baik. Ketiga,
digital yang selama ini menjadi fokus banyak sarjana
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 26

keragaman sosiologis dan budaya pada akhirnya mem- yang inklusif (Gómeza, Tirado-Morueta, dan Hernan-
belah mereka, dalam konteks pemilu 2019, ke dalam do-Gómez, 2014); dan kecakapan untuk bertahan hidup
dua kelompok yang berbeda secara tajam, yakni ke- (survival skills) (Eshet-Alkalai, 2004; lihat juga Ash-
lompok yang pro pasangan calon presiden 01 dan 02. ley, Maksl, dan Craft, 2017).

Data dikumpulkan dari percakapan dalam Literasi digital juga sangat penting dalam
bentuk teks, gambar, dan grafisyang dipertukarkan kerangka demokrasi karena mendorong keterlibatan
dalam grup. Data dianalisis melalui tiga tahap (Miles warga negara secara lebih bermakna. Paul Mihailidis
dan Huberman, 2005). Pada tahap awal, peneliti berargumen bahwa “media literacy is the path towards
melakukan pengamatan terlibat, dan menyimak setiap more active and robust civic engagement in the 21st
percakapan yang berlangsung dalam kelompok tersebut century” (Ashley, Maksl, dan Craft, 2017: 79). Jika
dengan sesekali memberikan tanggapan atau komentar kualitas demokrasi ditentukan oleh diantaranya infor-
terhadap unggahan yang dilakukan anggota grup. masi yang diterima masyarakat (well-informed)
(McNair, 2003), maka kemampuan warga negara da-
Langkah kedua menyalin seluruh percakapan
lam menganalisis, mengintepretasi, dan menggunakan
dalam grup tersebut ke dalam teks dalam bentuk doku-
media akan memberikannya kapasitas yang lebih baik.
men melalui aplikasi yang disediakan WhatsApp. Ada
kurang lebih 450 halaman percakapan yang disimpan Dibandingkan dengan media konvensional,
dalam rentang Maret-April 2019. Namun, setelah dil- media baru memberikan banyak kemudahan yang
akukan analisis, peneliti memutuskan untuk mem- memungkinkan partisipasi lebih luas dari para
fokuskan pada 16 April 2019 hingga 20 April 2019. pengguna dalam komunikasi publik (Swigger, 2012;
Akhirnya, ada 115 halaman percakapan yang kemudi- Nasrullah, 2017). Hilangnya ‘gatekeeper’ dalam media
an dilakukan analisis. Rentang ini dipilih karena baru memungkinkan pengguna untuk memroduksi dan
percakapan pada waktu itu sangat tinggi. Pengkategori- menyebarkan pesan komunikasi karena sifatnya yang
an dilakukan berdasarkan materi yang diunggah, link tidak one to many seperti pada media konvensional,
atau sumber informasi yang dirujuk, ataupun komentar tapi one to one, one to many, many to many, dan se-
partisipan dalam menanggapi unggahan yang dianggap terusnya (lihat Chaffee dan Metzger, 2001). Dalam
hoaks. Selanjutnya, dilakukan pendeskripsian untuk dunia media baru, bukan hanya profesionalitas menjadi
kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. sangat problematis (lihat Nichols, 2019; Kapolkas,
2019), tapi pusat-pusat kekuasaan menyebar dan etika
Kajian Konseptual
menjadi semakin sulit ditegakkan. Maka, literasi digital
Kerangka pemahaman literasi media diharapkan dapat memberikan kemampuan kepada
yang mulai dikaji seiring kemunculan media konven- pengguna untuk berkomunikasi dengan cara yang lebih
sional mendapatkan tantangan media baru. Sifat media baik, mengambil manfaat yang lebih banyak bagi para
baru yang berbeda dalam banyak hal dengan media pengguna (Rianto, 2016; Juliswara, 2017; Eshet-
lama (old media) seperti media cetak, radio, dan televi- Alkalai, 2004; Potter, 2011; Rahmah, 2015; Galih,
si, telah menuntut suatu bentuk ‘kecakapan’ baru bagi 2017; Turow, 2014).
para pengguna (user). Gagasan literasi media baru di-
Cervi, Paredes, & Tornero (2010; dikutip dari
harapkan akan membuat para pengguna lebih kritis
Lin et. al, 2013: 161) mengemukakan bahwa literasi
dalam mengonsumsi, memroduksi, dan menyebarkan
digital pada dasarnya merupakan perkembangan lebih
pesan-pesan melalui media baru. Ini karena kegagalan
lanjut dan komprehensif dari literasi klasik (misalnya
atau kekeliruan dalam menggunakan media sosial akan
membaca dan menulis), literasi audio visual
menciptakan kondisi ketidakberdayaan
(berhubungan dengan media elektronik), digital literasi
(Vanwynsberghe, Boudry, Verdegem, 2011) sehingga
(berhubungan dengan teknologi digital), dan yang lebih
literasi digital menjadi kompetensi yang dibutuhkan
komprehensif, yakni literasi media baru (berhubungan
untuk menghadapi industri kreatif yang lebih kom-
dengan internet dan web 2.0). Di sini, literasi digital
petitif dan terwujudnya suatu masyarakat pengetahuan
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 27

dibedakan atas literasi media baru, sedangkan di be- consuming diturunkan ke dalam tiga indikator, yakni
berapa literatur lainnya tidak dibedakan antara literasi evaluasi, sintesis, dan analisis.
digital dengan literasi media baru (lihat, misalnya, Kur-
Meluasnya fenomena post-truth dalam dunia
nia dan Astuti, 2017; Neumann, Finger, Neumann,
politik, terutama sejak kampanye politik di Amerika
2017). Literasi media baru sebagai suatu kerangka lit-
Serikat telah menjadi tantangan baru di era digital. Post
erasi media yang lebih komprehensif mencakup semua
-truth muncul karena banyak faktor diantaranya adalah
bentuk literasi, yakni klasik, audio visual, literasi digi-
menurunnya kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan,
tal, dan literasi informasi (Chen, Wu, dan Wang, 2011).
ketimpangan sosial dan ekonomi, menurunnya kapital
Secara sederhana, Cen et. all (Lin et. al, 2012) sosial (lihat Lewandowsky et.al, 2017); dan ketiadaan
mengemukakan literasi digital atau literasi media baru institusi yang memonopoli kebenaran (Kapolkas, 2019:
bersifat multiliterasi, yang mencakup di dalamnya kom- 11). Post-truth dicirikan oleh mengaburnya batas-batas
binasi antara information literacy skill, conventional antara kebohongan dan cerita kebenaran (Keyes, 2004;
literacy skills, and social skills’. Dalam “Unpacking seperti dikutip Kapolkas, 2019: 12).
New Media Literacy,” Cen et. al (2011: 85)
Kehadiran media baru terutama media sosial
mengemukakan bahwa literasi media baru dapat dipa-
mempunyai pengaruh besar dalam menyebarkan post-
hami dalam dua kontinum, yakni dari consuming litera-
truthkarena karakteristiknya. Seperti dikemukakan
cy ke prosuming literacy dan dari functionality ke criti-
Lewandowsky et.al (2017: 359),
cal literacy. Consuming literacy merujuk pada kemam-
“Oneconsequenceofexposuretoideologically slanted
puan mengakses dan menggunakan pesan media dalam
media is the formation of inaccurate beliefs even when
beragam tingkatan. Consuming skill ini dapat diperluas
relevant evidence is understood correctly”. Kapolkas
ke dalam keterampilan kritis dalam memroses informa-
mengemukakan bahwa era Paska-kebenaran dan Era
si seperti sintesis dan kritik. Prosuming skill di sisi lain
Pengalaman (Experience Age) tidak dapat dilepaskan
merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan pesan
oleh lingkungan media. Keberadaan media tidak hanya
media sebagai tambahan consuming skill. Prosuming
mempengaruhi perubahan masyarakat dengan bertindak
skill berarti bahwa prosumer dapat memproduksi isi
sebagai mediator (“pembawa pesan”), tapi juga
media untuk dirinya sendiri, dan mengambil keun-
keberadaan mereka, kemaha-hadiran, dan logika inter-
tungan dari keberadaan teknologi media baru.
nal. Inilah yang kemudian disebut sebagai proses medi-
Dalam pandangan Cen et. al, literasi media atisasi, yakni ketika keberadaan media pada akhirnya
bukan hanya seperangkat kemampuan netral yang di- mempengaruhi secara mendasar praktik-praktik sosial
miliki oleh individu. Sebaliknya, literasi media melibat- dan politik kehidupan manusia. Termasuk dalam hal
kan situasi sosial dan politik. Oleh karena itu, aspek ini, cara orang-orang berbohong dalam memanipulasi
kritis penting dalam literasi media guna melengkapi pikiran orang-orang melalui praktik-praktik disinforma-
aspek fungsional. Aspek fungsional literasi media meli- si.
batkan kemampuan individu untuk memberi makna dan
menggunakan sarana dan isi media, termasuk dalam hal
ini menyangkut akses dan produksi isi media. Aspek TEMUAN DAN DISKUSI
kritis di sisi lain merujuk pada kemampuan “analyzing,
Aplikasi percakapan WhatsApp menjadi salah
evaluating, and critiquing media” (Cen et. al, 2011:
satu aplikasi paling popular bagi masyarakat Indonesia.
86). Literasi pada aspek ini mencakup kemampuan
Saat ini, hampir semua orang yang menggunakan tele-
pengguna untuk memberi makna teks dan sosial isi
pon pintar (smartphone) hampir dipastikan
media, nilai-nilai sosial, tujuan pembuat content, dan
menggunakan aplikasi WhatsApp. Melalui aplikasi ini,
relasi kekuasaan antara pemroduser pesan dengan audi-
seseorang dapat berkomunikasi dengan kata-kata (teks
ens. Lin et. al (2012: 163) mempertajam kerangka lit-
tertulis) ataupun berkomunikasi langsung melalui
erasi media baru Cen et. al ini dengan cara memper-
WhatsApp call. Mereka juga dapat membentuk ke-
tajam masing-masing aspek, misalnya, aspek critical
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 28

lompok-kelompok yang terdiri dari beragam tujuan dan post-truth dalam ruang percakapan “virtual” tersebut.
partisipan. Dalam kelompok itu pula, mereka dapat Pada bagian berikutnya, akan dipaparkan sebab-sebab
berbagi informasi, berita, gambar dan juga video. Kare- munculnya fenomena post-truth dalam kelompok terse-
na kemudahan inilah, banyak orang terlibat dalam lebih but. Narasi mungkin lebih condong pada kelompok
dari satu kelompok, dan banyak diantaranya memiliki tertentu atau pendukung paslon tertentu. Hal itu semata
belasan hingga puluhan kelompok percakapan dilakukan karena keaktifan anggota tersebut, terutama
WhatsApp. dalam membangun narasi politik yang diinginkannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, WhatsApp telah 1. Post-truth di Ruang Kelompok Aplikasi Percakapan:
menjadi ruang komunikasi manusia yang tidak “Kebenaran vs Keyakinan.”
terpisahkan, dan bahkan telah dianggap menstransfor-
Mair (2017; dikutip dari Kapolkas, 2019: 11)
masi realitas sosial manusia ke dalam ruang virtual.
menyebutkan bahwa ciri era post-truth adalah ketid-
Akibatnya, beberapa ilmuwan telah mulai melakukan
akjujuran baru secara kualitatif para politisi, terutama
studi terhadap ruang percakapan ini (Triantoro, 2019;
dalam hal mengarang fakta untuk mendukung apapun
Rianto, 2016).
yang dinarasikan. Dengan kata lain, fakta dihadirkan
Studi ini akan menguji sejauh mana post-truth dan dibuat secara ad hoc sesuai dengan cerita tertentu
terjadi dalam ruang percakapan “virtual” WhatsApp. atau karena sesuai dengan agenda yang lebih luas. Fak-
Meskipun hoaks atau kebohongan sebagai salah satu ta yang hadir dalam realitas media sosial, termasuk
ciri penting post-truth banyak beredar melalui media dalam ruang-ruang percakapan karenanya tidak pernah
sosial seperti Facebook ataupun Twitter (lihat Mastel, netral. Sebaliknya, fakta yang dihadirkan itu menc-
2017), tapi aplikasi percakapan seperti WhatsApp juga erminkan suatu hasrat politik tertentu, terutama dalam
sangat penting (Rianto dkk, 2019) sebagai medium usahanya mempengaruhi persepsi orang-orang
penyebaran hoaks. Bahkan, melalui aplikasi percakapan mengenai politik dan dalam konteks penelitian ini pem-
ini, reaksi seseorang dapat segera diidentifikasi ketika ilihan umum. Ketika pemilu tak lagi dimenangkan,
suatu pesan yang dianggap hoaks diunggah dalam usaha berikutnya adalah melakukan deligitimasi ter-
percakapan. Pesan itu akan segera dikoreksi oleh ang- hadap penyelenggaraan pemilu. Dalam hal ini, tidak
gota lain, tapi kadang kala juga menimbulkan konflik. terlalu peduli apakah data atau fakta yang dihadirkan
Biasanya, konflik terjadi ketika berhubungan dengan benar ataukah tidak, masuk akal ataukah tidak karena
politik atau agama. Tidak jarang, unggahan semacam yang terpenting adalah tingkat dukungan fakta itu untuk
itu membuat anggota kelompok lain keluar dari grup. membenarkan pandangan-pandangannya. Klaim atas
kebenaran menjadi sederhana karena hanya soal orang-
Penulis terlibat dalam banyak grups
orang meyakininya atau karena orang-orang ingin
WhatsApp, tapi grup yang menjadi amatan penelitian
meyakininya (Kapolkas, 2019: 11).
yang paling dinamis. Latar belakang mereka yang san-
gat beragam telah menciptakan sudut pandang yang Pegamatan terlibat menemukan bagaimana
kompleks dalam melihat setiap persoalan, terutama fenomena post-truth berlangsung dalam ruang percaka-
ketika berhubungan dengan agama dan politik. Mes- pan grup selama pemilihan umum 2019. Orang-orang
kipun diantara anggota grup meminta agar grup tidak yang berada dalam garis dukungan pasangan calon
berbicara politik, tapi hal itu tidak pernah terwujud. presiden tertentu (terutama paslon 02) sangat aktif da-
Grup pernah melakukan polling, dan hanya satu orang lam mengunggah data-data dan fakta-fakta yang tam-
yang menginginkan boleh bicara politik berbanding 19 paknya akurat demi membangun narasi yang di-
orang yang menolak berbicara politik. Lainnya yang inginkan. Anggota kelompok itu sebenarnya tidak ban-
jumlahnya paling besar abstain. Kenyataannya, selalu yak, tapi sangat aktif dalam mengunggah pesan-pesan
ada anggota yang menggunggah pesan politik yang politik yang narasinya dapat dibedakan dalam tiga isu
kemudian menyulut anggota lainnya untuk merespon. pokok.

Uraian berikut akan memaparkan fenomena Pertama, pasangan 02 yang paling layak men-
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 29

jadi presiden, sebaliknya pasangan 01 telah gagal. tulisan itu, dikemukakan sebagai berikut.
Narasi ini banyak dilakukan selama menjelang pemilu,
Pak Jokowi Yth, Legowolah, Pemilu
dan anggota yang sama terus-menerus mengunggah
2019 Pak Prabowo Pemenangnya!
artikel dan data-data untuk mendukung narasinya itu.
Bahkan, hal itu dilakukan ketika masa tenang (16 April Saya tidak ikut dalam panitia pemilu
2019) sehingga mengundang protes anggota lain hing- apapun, tapi tetap dengan intensif memantau
ga menciptakan kegaduhan. Pada masa tenang itu, kondisi. Jujur, saya merasa capek, waktu saya
diunggah tulisan hasil istikharoh ulama Madura yang sangat tersita. Saya yakin semua rakyat Indo-
intinya bahwa hasil istikharoh menunjukkannya untuk nesia mengalami hal yang sama. Mari kita
mendukung 02. Ada banyak kutipan ayat untuk men- sudahi dengan dewasa proses pemilu tahun
dukung argumen itu. Jauh di hari-hari sebelumnya, ini, karena sudah jelas nyata bahwa Pak
banyak unggahan artikel terutama terkait dengan imi- Prabowo adalah pemenangnya. (cetak miring
gran China atau ‘penjajahan’China atas Indonesia. dari penulis) (unggahan oleh +62 815-6778-
4xxx, 4/19/19, 21:23)
Kedua, pasangan yang didukungnyalah, dalam
hal ini 02, yang menang. Narasi itu disampaikan dalam Paragraf di atas kemudian diikuti
beragam cerita ‘faktual’atau setidaknya tampak dibuat dengan data-data faktual seperti kampanye
seolah-olah faktual. Untuk mendukung narasi itu, Prabowo yang diikuti oleh massa yang ban-
berbagai fakta dihadirkan seperti hasil hacker terhadap yak, juga C1 yang menurutnya dilaporkan oleh
situs Komisi Pemilihan Umum (KPU), hasil hitung C1 banyak koleganya di tanah air yang memilih
oleh kubu 02, dan seterusnya. Ini sangat jelas terlihat nomor 02. Di sini, secara jelas, penulis mem-
dari penggalan tulisan yang diunggah dari seseorang bangun narasi mengenai kemenangan pasan-
warga Indonesia yang tinggal di Jepang. Penggalan gan yang didukungnya, dan tampak meya-
salah satu paragrafnya adalah sebagai berikut. kinkan karena ditulis oleh warga Indonesia
yang tinggal Jepang. Unggahan semacam ini
Pak Jokowi dan Pak Prabowo Yth,
banyak dilakukan oleh orang yang sama, yang
Saya ingin berbagi info tentang pemi- menandakan bahwa masalah ideologis sangat
lu dan sikap pemimpin di Jepang. Pemilu di mewarnai tindak berkomunikasinya di dunia
Jepang, berlangsung aman dan damai. Tanpa daring.
ada hiruk pikuk kampanye, apalagi bagi- bagi
Ketiga, pemilu dilakukan secara tidak jujur.
sembako, uang, baju kaus dari pemimpinnya.
Lembaga quick count dan media mainstream terlibat
Semua itu tidak pernah ada. Rakyat mereka
juga tidak mau dibohongi oleh pemimpinnya. dalam ‘persekongkolan jahat’agar pemilu me-
Mereka melihat kenyataan dan berfikir menangkan pasangan 01. KPU juga dianggap sebagai
dengan logis, apakah seorang pemimpin ba- pihak yang terlibat dalam persekongkolan itu. Di sini,
gus atau tidak. Mereka semua akan memilih narasi yang coba dibangun adalah membangun
sesuai dengan hati nuraninya. Biasanya, pem-
deligitimasi pemilihan umum. Sama seperti narasi per-
ilihan umum menggunakan lokasi sekolah
tama, narasi kedua juga didukung oleh data-data fak-
milik pemerintah, rakyat disekitar pemukiman
tual meskipun akurasinya banyak dipertanyakan oleh
akan datang dan antrian tertib pada hari H,
anggota grup lain. Di sini, sangat mungkin bahwa ‘post
kemudian memilih calon yang disukai.
-truth’tidak hanya menyasar pendukung 02, tapi juga
(unggahan oleh +62 815-6778-4xxx, 4/19/19,
01. Namun, para anggota grup pendukung 01 lebih
21:23)
sering reaktif. Mereka jarang sekali berusaha secara
Paragraf di atas tampaknya netral dan objektif aktif membangun narasi kemenangan pasangan yang
karena menyasar dua kandidat pemilu. Pesan ditujukan didukungnya, dalam hal ini 01.
untuk Jokowi dan Prabowo. Namun, pada bagian akhir
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 30

2. Bukan Semata Masalah Literasi, tapi Etika sebagai ‘perekat sosial’ suatu masyarakat atau ke-
lompok masyarakat, mampu berperan sebagai daya
Dalam kelompok percakapan yang menjadi
penggerak tindakan (lihat Haryatmoko, 2003), dan
subjek amatan, orang yang dianggap penyebar hoaks
memuat cita-cita (lihat Eagleton, 2000). Dalam konteks
oleh anggota kelompok lainnya sebenarnya cukup lit-
komunikasi, keyakinan (ideologis) itu menuntun tinda-
erate. Mereka mampu melakukan konsumsi dan
kan-tindakan komunikasi dalam memilih pesan yang
produksi teks media digital dengan baik. Mereka juga
diakses, dikonsumsi, dan juga dibagi dalam kelompok
mampu melakukan analisis, evaluasi, dan kritik atas
percakapan. “Kesadaran ideologis” itu menjadi dasar
media (Cen et.al, 2011). Sebagai contoh, mereka mam-
‘penilaian’ bagi setiap pesan/informasi yang datang
pu melacak kecenderungan bias media mainstream
padanya, menentukan kriteria menyangkut pesan mana
dalam meliput pemilu. Namun, sikap kritis menurun
yang sekadar dibaca, dibuang, dan yang akhirnya
begitu berhadapan dengan pesan-pesan media yang
dibagi atau diteruskan. Semuanya didasarkan pada
cenderung positif pada pilihan politiknya. Bahkan, pe-
keyakinan-keyakinan ideologis. Seperti ditunjukkan
san-pesan itu tidak lagi diperiksa ulang ketika dibagi
Grossberg et.al (2006: 199), ïdeologi tidak hanya sis-
dalam kelompok percakapan. Ini dapat dilihat dari si-
tem partikular representasi atau cara melihat (ways of
kap ‘tak patuhnya’ pada teguran anggota grup untuk
seeing), tapi juga mengeluarkan (excluding) dan mem-
mengoreksi caranya dalam berbagi informasi. Salah
batasi (limiting) karena mereka menetapkan batas-batas
seorang anggota grup memberikan komentar sebagai
pada apa yang dapat kita pahami sebaik mungkin. Ide-
berikut.
ologi, dalam kaitan ini, pada akhirnya menstrukturisasi
Sepertinya, bagi sebagian rekan kita, tindakan (Haryatmoko, 2003: 16-17). Setiap kelompok
menyebarkan hoaks bukanlah masalah karena dalam masyarakat akan senantiasa berusaha menunjuk-
dianggap strategi perjuangan (jihad). Mung- kan identitasnya, dan bertindak atas perhitungan akan
kin saat ini, dianggap pada situasi/kondisi reaksi orang lain. Ideologi mengandaikan adanya sis-
perang pemikiran sehingga apapun dianggap tem makna yang dapat diperhitungkan. Ketika sistem
boleh demi mencapai tujuan (respon anggota makna tidak dapat lepas dari sistem penafsiran, maka
grup, +62 822-1680-4xxx, 4/20/19, 21:40). ideologi pada akhirnya menstrukturisasi tindakan sosial
karena tindakan-tindakan itu secara pasti melibatkan
bidang penafsiran. Di sisi lain, menurut Haryatmoko,
tindakan yang bermakna seperti halnya tindakan rasion-
Menurut anggota tersebut, meskipun berkali- al, di mana tujuan pada akhirnya menentukan sarana
kali diingatkan bahwa apa yang telah di-share adalah dan reaksi orang lain.
hoaks, tapi hal itu tidak pernah menyurutkannya untuk
Sekilas, hal itu mirip dengan penganut etika
berbagi informasi. “Mungkin itulah yang menyebab-
utilitarianisme (lihat Day, 2003; Rianto, 2019). Namun,
kan, berapa kalipun diingatkan kalau yang mereka se-
sebenarnya tidaklah demikian. Sebaliknya, sejauh
bar adalah hoax, tetap terus diulang”, lanjutnya.
pengamatan di ruang media percakapan itu, tujuannya
Pemilihan umum adalah kontestasi kandidat bukan semata-mata mencari kebaikan bagi sebagian
untuk memperebutkan suara pemilih demi meraih besar orang seperti etika teleologi, tapi demi kendali
kekuasaan, sedangkan bagi warga negara pemilihan wacana. Dengan kata lain, tujuannya adalah kekuasaan.
umum adalah soal pilihan. Beberapa pemilih Ideologi menjadi titik tolak berpikir dan bertindak
melakukannya karena alasan rasional dengan berorien- (Haryatmoko, 2003: 19), dan menafsir realitas sosial
tasi pada program kerja, sedangkan lainnya sekadar dan media (Grossberg et.al, 2006), tapi karena ambi-
kebutuhan pragmatis jangka pendek seperti mendapat- sinya muncul ciri distorsi, yakni membelokkan maksud
kan uang. Namun, tidak sedikit pula yang pilihannya yang benar agar koheren dengan kenyataan. Pada
digerakkan oleh ideologi. Di sini, ideologi dipahami akhirnya, ideologi menjadi pembenar bagi upaya domi-
dalam pengertiannya yang lebih positif dan luas, yakni nasi (Haryatmoko, 2003: 20).
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 31

Alasan ideologis inilah yang paling tepat un- mun, informasi itu tetap dibagi dalam kelompok karena
tuk menjawab “sikap kepala batu” anggota grup yang secara ideologis menguntungkan posisinya.
selalu menyebarkan pesan politik dari media sosial
Hasrat ideologis untuk mendukung pasangan
ataupun internet meskipun mengandung protes dari
calon tertentu membuatnya sangat aktif, dan secara
anggota grup lainnya. Setiap informasi yang potensial
konsisten membagi informasi dalam kelompok
mengacaukan keyakinannya dengan cepat disingkirkan
percakapan. Ia aktif dalam men-share informasi yang
atau dibantah. Dalam kelompok percakapan yang dia-
mendukung paslon 02, sedangkan pendukung paslon 01
mati dalam penelitian ini, orang-orang ‘kepala batu’ ini
-yang tampaknya lebih banyak-justru lebih sering
tidaklah banyak. Mereka hanya satu atau dua orang
merespon unggahan.
saja, tapi sangat aktif dalam berbagi informasi seperti
artikel, sekadar tulisan seseorang atau link berita yang Dari pengamatan beberapa bulan, dapat disim-
kredibilitas sumbernya seringkali diragukan. Bahkan, pulkan bahwa orang-orang yang aktif ini adalah ang-
tidak jarang mengutip tokoh seperti Presiden BJ gota kelompok dengan literasi digital yang baik. Mere-
Habibie seperti potongan posting berikut. ka mampu memproduksi dan berbagi pesan dalam ke-
lompok percakapan. Mereka aktif berbagi pesan dan
Majelis Cyber Indonesia telah ber-
tampaknya terlibat dalam penyebaran hoaks yang dis-
hasil meretas server KPU dari luar negeri
engaja (intended hoax). Ini telah menjadi suatu ciri
yang menyimpan data C1 yang belum dipub-
penyebaran hoaks politik dalam era post-truth (lihat
likasikan. Dengan gerak cepat, anak-anak
Kapolkas, 2019; Block, 2019; Marshal dan Drieschova,
muda militan ini berhasil menghitung
2018).Studi Schradie (2015) juga menunjukkan bah-
perolehan sebenarnya hasil pilpres 2019 yang
waketerikatan ideologis menentukan keterlibatannya
dimenangkan Prabowo-Sandi. Bapak BJ.
dalam media sosial. Hal ini karena ideologi menen-
Habibie yang mengetahui ini dari koneksinya
tukan pola-pola pengorganisasian. Jadi, semakin kuat
di Jerman, langsung secara khusus mem-
ideologi seseorang akan semakin kuat pula keterli-
berikan ucapan selamat kepada Pak Prabowo.
batannya di media sosial. Hasil studi ini nampaknya
Begitu juga dengan beberapa Dubes Negara-
juga demikian. Alasan ideologis membuatnya lebih
negara Eropa turut memberikan ucapan
aktif dibandingkan kelompok lain dalam memposting
selamat. …... (unggahan oleh +62 815-6778-
pesan-pesan politik pemilu meskipun banyak keberatan
4xxx: Gempar Ternyata Ini Hasil Rekapitulasi
diajukan atas unggahan itu. Dengan demikian, dalam
Suara Pilpres 2019 Berdasarkan C1, 4/20/19,
kasus ini, dapat dikatakan bahwa masalah utama bukan
07:12)
terletak pada literasi digital, tapi pada etika komunikasi
Kutipan di atas merupakan paragraf pembuka di media sosial.
yang diikuti dengan hasil perhitungan C1 di 34 daerah Secara sederhana, etika berhubungan dengan
pemilu, termasuk pemilihan luar negeri. Total suara baik buruk, terkait dengan nilai-nilai dan moralitas
yang masuk sebagaimana dapat dilihat dalam unggahan (lihat Bertens, 2013; Haryatmoko, 2007). Ajaran-ajaran
itu adalah 133. 574.277. Unggahan dilakukan pada 20 etika biasanya bersandar pada deontologi (Kant) dan
April 2017. Menurut hitungan akhir KPU, perolehan teleologi (John Stuart Mill). Kedua ajaran etika ini ber-
paslon 01 adalah 84.646.196 (55.32%), sedangkan tolak belakang, fokusnya pada kebaikan atau ke-
paslon 2 adalah 68. 357.813 (44.68%). Total suara manfaatan. Bagi etika deontologi, tujuan tindakan etis
keduanya 153.004.009. Jika dibandingkan dengan hi- adalah demi mewujudkan kewajiban manusia universal.
tungan akhir KPU ini, maka total suara yang diunggah Oleh karena itu, suatu perbuatan baik akan diukur
dalam waktu 3 hari telah mencapai 87.3%. Dengan apakah perbuatan itu sesuai dengan norma atau
common sense, hal itu tidak mungkin. Indonesia adalah kewajiban universal. Maka, berbohong dalam kondisi
wilayah yang luas dengan banyak kesulitan geografis apapun adalah tidak etis karena keliru menurut moral
(wilayah pegunungan dan pulau-pulau terpencil). Na- universal. Dalam etika deontologi, tujuan tidak boleh
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 32

menghalalkan cara. Di sisi lain, bagi etika teleologis, tal di mana “tujuan menghalalkan cara”. Meskipun
titik beratnya pada tujuan atau konsekuensi. Jika suatu demikian, tidak berarti bahwa literasi digital tidaklah
tindakan mempunyai manfaat yang baik, maka tinda- penting. Sebaliknya, literasi digital haruslah menjadi
kan tersebut etis. Berbohong diperkenankan jika me- bagian penting dalam usaha menanggulangi atau setid-
mang demi tujuan lebih mulia. Meskipun demikian, aknya meminimalkan perluasan fenomena post-
seperti dikemukakan oleh Haryatmoko, “tujuan truth.Namun, ada soal lain yang menyebabkan hoaks
menghalalkan sarana” harus diberi catatan bahwa dan post-truthmenyebar dalam kelompok percakapan,
tujuan-tujuannya baik. Sebaliknya, tujuan demi semata- yakni kurangnya etika.
mata membelokkan kebenaran demi kekuasaan atau
Kontribusi penelitian ini kiranya terletak pada
dominasi wacana tidak dapat dianggap sebagai tinda-
usahanya untuk melihat fenomena hoaks dan post-truth
kan etis. Dengan dasar pijakan demikian, dapat dijelas-
di media sosial atau, dalam kajian ini, kelompok
kan mengapa orang-orang dengan tingkat pendidikan
percakapan WhatsApp, yang tidak semata dilihat dari
tinggi mampu bertindak secara sembarangan dalam
perspektif literasi digital, tapi juga etika. Perhatian
menyebarkan hoaks, dan ketika mendapatkan teguran
secara luas telah diberikan oleh para sarjana dan
anggota lainnya tidak terungkapkan permintaan maaf.
masyarakat sipil di Indonesia terkait dengan literasi
Ideologi yang membawanya pada suatu keyakinan ter-
digital sebagaimana diprakarsai diantaranya oleh
tentu telah menutup diri atas informasi lain, dan bahkan
Japelidi, tapi tidak demikian dengan etika media sosial.
menutupnya dari kesalahan yang dibuatnya. Ideologi,
Oleh karena itu, dua jalur pemberdayaan para pengguna
dalam hal ini, menginterpelasi, memanggil individu-
media sosial melalui literasi digital dan etika adalah
individu sebagai “subjek-subjek konkret” dengan men-
keharusan untuk menciptakan suatu tatanan komunikasi
fungsikannya sebagai kategori subjek (Althusser, 2008:
di media sosial yang jauh lebih positif. Studi-studi etika
51). Ideologi politik telah memanggil subjek tadi untuk
komunikasi di media sosial karenanya harus berjalan
menjadi bagian dari kategori subjek yang dikehendaki
seiring dengan studi-studi dan gerakan literasi digital.
(oleh suatu ideologi politik tertentu) sehingga setiap
Hal itu karena baik literasi digital maupun etika
tindakan komunikasi sedemikian rupa dipengaruhi oleh
mempunyai tujuan yang berbeda. Tujuan literasi demi
posisinya sebagai ‘subjek ideologi’ tadi. Akibatnya,
meningkatkan kapasitas pengguna dalam menggunakan
segala tindakan dianggap sebagai kebenaran karena
media sosial secara kritis, sedangkan etika menuntun
orientasinya pada tujuan yang dirumuskan oleh subjek-
pengguna untuk selalu reflektif dalam berkomunikasi.
subjek ideologis tadi.
Etika memandu para pelaku komunikasi untuk selalu
mempertimbangkan komunikasi apakah sesuai dengan
norma dan memberi manfaat ataukah tidak.
KESIMPULAN
Penelitian ini ingin menjelaskan hoaks politik
dalam ruang media percakapan yang terjadi di antara DAFTAR PUSTAKA
para profesional. Kesimpulannya bahwa post-truth tid-
Aguaded-Gómeza, Ignacio, Tirado-Morueta, & Ramón
ak disebabkan oleh semata rendahnya literasi digital,
Hernando-Gómez, Ángel (2014). Media competence in
tapi lebih pada kurangnya etika. Politik pemilu telah
adult citizens in Andalusia, Spain. Information, Com-
membelah individu-individu ke dalam dua kelompok,
munication & Society, Routledge Taylor and Francis
dan masing-masing menjadi subjek ideologisnya
Grup, pp. 1-21, http://
sendiri-sendiri. Subjek-subjek ideologis inilah yang
dx.doi.org/10.1080/1369118X.2014.985244
kemudian menafikkan tindakan etis komunikasinya
karena ideologi mempengaruhi cara ia menafsir realitas Althusser, Louis (2008). Tentang Ideologi: Marxisme
pesan media dan menampilkannya dalam ruang Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies. Terjema-
percakapan. Akibatnya, muncul rasionalitas instrumen- han Olsy VA. Yogyakarta: Jalasutra
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 33

Ashley, Seth, Maksl, Adam, & Craft, Stephanie (2017). (Analisis Tayangan Pernikahan Raffi Ahmad - Nagita
News Media Literacy and Political Engagement: Slavina. Jurnal Interaksi, vol. 4 No. 1, Januari 2015:
What’s the Connection? Journal of Media Literacy 90-100
Education 9 (1), pp. 79 - 98
Haryatmoko (2007). Etika Komunikasi: Manipulasi
Bertens, K (2013). Etika. edisi revisi. Yogyakarta: Media, Kekerasan dan Pornografi. Yogyakarta: Kanis-
Kanisius ius

Block, David (2019). Post-truth and Political Dis- Haryatmoko, (2003). Etika Politik dan Kekuasaan,
course. Cham: Palgrave Macmillan Jakarta: Kompas

Cen, Der-Thanq “Victor”, WU, Jing & WANG, Yu- Jatmiko, Mochamad Iqbal (2019). Post-Truth, Media
mei (2011). Unpacking New Media Literacy. System- Sosial, dan Misinformasi: Pergolakan Wacana Politik
ics, Cybernetics and Informatics, Volume 9 - Number 2 Pemilihan Presiden Indonesia Tahun 2019, Jurnal
- YEAR 2011, pp. 84-88 Tabligh Volume 20 No 1, Juni 2019 :21 – 39

Chaffee, Stephen H dan J. Metzger, Mirriam (2001). Juliswara, Vibriza (2017). Mengembangkan Model
The End of Mass Communication? Mass Communica- Literasi Media yang Berkebhinnekaan dalam
tion & Society, 2001, 4(4), pp. 365-379 Menganalisis Informasi Palsu (Hoax) di Media Sosial.
Jurnal Pemikiran Sosiologi, Volume 4 No. 2, pp. 142-
Croteau, David & Hoynes,William (2006). The Busi-
164
ness of Media: Corporate Media and the Public Inter-
est. Second edition. Thousand Oaks, London, New Del- Kapolkas, Ignas (2019). A Political Theory of Post-
hi: Pine Forge Press truth. Springer Nature Switzerland AG: McMillan Pal-
grave
Day, Louis Alvin (2003). Ethics in Media Communica-
tions Cases and Controversies. Fourth edition. United Kozinets, Robert V (2015). Netnography: Redefined,
States: Thompson dan Wadswort 2nd edition. Los Angeles, London, New Delhi: Sage
Publications
Eagleton, Terry (2000). Ideology: an Introduction. Sev-
ent impression. London-New York: Verso Kelkar, Shreeharsh (2019). Post-truth and the Search
for Objectivity: Political Polarization and the Remak-
Eshet-Alkalai, Yoram (2004). Digital Literacy: A Con-
ing of Knowledge Production. Engaging Science, Tech-
ceptual Framework for Survival Skills in the Digital
nology, and Society 5 (2019), 86-106, DOI:10.17351/
Era. Journal of Educational Multimedia and Hyperme-
ests2019.268
dia, 13 (1), 93-106
Kurnia, Novi & Astuti, Santi Indra (2017). Peta
Galih, Aulia Puspaning (2017). Jari Selayak Duri. IN-
Gerakan Literasi Digital di Indonesia: Studi Tentang
FORMASI Kajian Ilmu Komunikasi, Volume 47. No-
Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran dan Mi-
mor 2. Desember 2017, pp. 181-195
tra, INFORMASI Kajian Ilmu Komunikasi, Volume 47.
Grossberg, Lawrence; Wartella, Ellen, Whitney, D. Nomor 2. Desember 2017, pp. 149-166
Charles, & Wise, J. Macgregor. (2006). Media Mak-
Lewandowsky, Stephan; Ullrich KH Ecker, dan John
ing: Mass Media in Popular Culture. Second edition.
Cook (2017). Beyond Misinformation: Understanding
Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publication
and Coping With the “Post-truth”Era, Journal of
Guntarto, B (2011). Perkembangan Literasi Media di Aplied Research in Memory and Cognition 9 (2017)
Indonesia. Makalah Konferensi Nasional Literasi Me- 353-369
dia, Yogyakarta, 5-6 Januari 2011, Program Studi UII-
Lin, T.-B., JY., Li, F. Deng, & Lee, L (2013). Under-
Rumah Sinema
standing New Media Literacy: An Explorative Theoret-
Hanugraheningtias, Arvinda Relasi Etika, Bisnis Me- ical Framework. Educational Technology & Society,
dia, dan Masyarakat Tontonan Yang Diciptakannya
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 34

16 (4), 160–170 wanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan


Mudaratnya. Terjemahan oleh Ruth Meigi P. Jakarta:
Lister, Martin, Dovey, John, Giddings, Seth, Grant,
Kompas Pustaka Gramedia
Iain & Kelly, Kieran (2009). New Media: Critical In-
troduction. Second edition. London and New York: Poerwaningtias, Intan, Puji Rianto, Maulin Niam,
Routledge Wisnu Martha Adiputra, dkk (2009). Model-Model
Gerakan Literasi Media & Pemantauan di Indonesia.
Madrah, Muna Yastuti dan Mubarok (2018). Netizen
Yogyakarta: PKMBP-Yayasan Tifa
dalam Kampanye Pilpres RI 2014. Interaksi, Vol. 7,
No. 1, Juni 2018, pp. 16 – 25 Potter, James W (2011). Media Literacy. 5th edition.
Los Angeles, London, New Delhi: Sage Publications
Masyarakat Telekomunikasi Indonesia (Mastel) (2017).
Hasil Survey Mastel Tentang Wabah Hoax Nasional by Rahmah, Amalia (2015). The Third Information Sys-
https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/ tems International Conference Digital Literacy Learn-
Info- ing System for Indonesian Citizen. Procedia Computer
grafis_Hasil_Survey_MASTEL_tentang_Wabah_Hoax Science 72 ( 2015 ) 94 – 101
_Nasional.pdf
Rianto, Puji, Rahayu, Wahyono, Bayu dkk (2019).
McNair, Brian (2003). An Introduction to Political Hoaks Politik: Peta, Isu, dan Persebarannya di Media
Communication. Third edition. London-New York: Sosial (Laporan Penelitian tidak dipublikasikan). Yog-
Routledge yakarta: PR2Media-Kemkominfo

Marshall, Hannah & Alena, Drieschova (2018). Post- Rianto, Puji (2019). Filsafat dan Etika Komunikasi.
truth Politics in the UK’s Brexit Referendum, New Per- Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia
spectives Vol. 26, No.3/2018, pp. 85-105
Rianto, Puji (2016). Media Baru, Visi Khalayak Aktif
Miles, Mathew B & Haberman, A. Michael (2005). dan Urgensi Literasi Media. Jurnal Komunikasi, Vol.
Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode- 01 (02), 2016. 90-96
Metode Baru. Terjemahan Tjetjep Rohendi. Jakarta: UI
Sarwono, Billy, Hendriyani, B. Guntarto (2011). Efek-
Press
tivitas Pendidikan Media dalam Mengubah Konsumsi
Moravec, Patricia, Minas, Randall K. & Dennis, Alan Media Anak: Eksperimen terhadap Siswa SD di Jawa
R. (2018). Fake News on Social Media: People Believe Tengah dan Jawa Timur. Makalah Konferensi Nasional
What They Want to Believe When it Makes No Sense at Literasi Media, Yogyakarta, 5-6 Januari 2011, Pro-
All. SSRN Electronic Journal, January 2018, DOI: gram Studi UII-Rumah Sinema
10.2139/ssrn.3269541
Schradie, Jen (2015). Political Ideology, Social Media,
Mutmainnah, Nia (2011). Kegiatan Literasi Media Ber- and Labor Unions: Using the Internet to Reach the
basis Sekolah: Pengalaman LSM dan Regulator. Maka- Powerful, Not Mobilize the Powerless. International
lah Konferensi Nasional Literasi Media, Yogyakarta, 5 Journal of Communication 9(2015), 1985–2006
-6 Januari 2011, Program Studi UII-Rumah Sinema
Storey, John (1996). Cultural Studies and the Study of
Nasrullah, Rulli (2017). Media Sosial: Perspektif Popular Culture: Theories and Methods. Athen: The
Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi, Bandung: University of Georgia Press
Simbiosa Rekatama Media
Swigger, Nathaniel (2012). The Online Citizen: Is So-
Neumann, Michelle M., Finger, Glenn, & Neumann, cial Media Changing Citizens’ Beliefs About Demo-
David L. (2017). A Conceptual Framework for Emer- cratic Values? Polit Behav. original paper. DOI
gent Digital Literacy. Early Childhood Educ J (2017) 10.1007/s11109-012-9208-y
45:471–479, DOI 10.1007/s10643-016-0792-z
Triantoro, Dony Arung (2019). Konflik Sosial dalam
Nichols, Tom (2019). Matinya Kepakaran: Perla- Komunitas Virtual di Kalangan Remaja. Jurnal komu-
Interaksi: Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 8, No. 2, Desember 2019, pp. 24-35 35

nikasi, Volume 13, Nomor 2, April 2019, Hal 135-150,


DOI: 10.20885/komunikasi.vol13.iss2.art2

Turow, Joseph (2014). Media Today: Mass Communi-


cation in a Converging World. Fifh edition. New York
and London: Routledge

Vanwynsberghe, Hadewijch, Boudry, Elke, & Verde-


gem, Pieter (2011). Mapping Social Media Literacy
Toward Conceptual Framework, Desember 2011.
IBBT- Interdisciplinary Institute for Broadband Tech-
nology & Research group for Media and ICT: Ghent
University by https://biblio.ugent.be/
publication/3047212/file/3047219

------------------(2019). Hasil hitung Suara Pemilu Presi-


den dan Wakil Presiden RI 2019. By https://
pemilu2019.kpu.go.id/#/ppwp/hitung-suara/

You might also like