Professional Documents
Culture Documents
2016ian PDF
2016ian PDF
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pemetaan Para Pihak
dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku Jamu Studi Kasus di Jawa
adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi di manapun. Sumber yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
IGNATIUS ADI NUGROHO. Pemetaan Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
sebagai Bahan Baku Jamu: Studi Kasus di Pulau Jawa. Dibimbing oleh Dr. Ir. Dodik Ridho
Nurrochmat, M.ScFor.Trop., Profesor Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS., Profesor Dr.
dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F, DFM, dan Profesor Dr. Ir. Hardjanto, MS.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui metode survei terhadap para
pemangku kepentingan dengan memanfaatkan informan kunci yang terdapat di dalamnya.
Dalam pencarian data, lokasi penelitian dibagi berdasarkan 3 (tiga) klaster di mana masing-
masing klaster tidak memiliki keterkaitan pemanfaatan secara langsung, tetapi masing-
masing klaster memiliki keunikan tersendiri yaitu (a) Klaster produksi berada di Taman
Nasional Meru Betiri Jember Jawa Timur; (b) Klaster layanan kesehatan tradisional berada
di Kota Yogyakarta, dan (c) Klaster industri berada di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.
Kata kunci: akses, jamu, manfaat, pemangku kepentingan, transaksi, tumbuhan obat
PEMETAAN PARA PIHAK DALAM PEMANFAATAN
TUMBUHAN OBAT SEBAGAI BAHAN BAKU JAMU:
STUDI KASUS PULAU DI JAWA
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah (disertasi) ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan
Agustus 2015 ini adalah pemanfaatan tumbuhan obat, dengan judul Pemetaan
Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku Jamu: Studi
Kasus di Pulau Jawa. Semoga hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan mengenai pelaku pemanfaat tumbuhan obat dan dapat digunakan
oleh peneliti berikutnya dalam mengembangkan IPTEK terkait pemanfaatan
sumberdaya hutan yang berkelanjutan.
3. Prof Dr. dr. Agus Poerwadianto, SH, MSi, SpF, DFM selaku anggota
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 3 Maret 1972, anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Fransicus Xaverius Wasito Danudipuro, BA dan
Veronica Suprapti. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)
ditempuh penulis di Jakarta. Tahun 1992, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) dan memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
dan lulus tahun 1998. Tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana dengan
biaya sendiri dan ijin belajar dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Donggala
Sulawesi Tengah di program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Fakultas Kehutanan
IPB dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2011 penulis berkesempatan melanjutkan studi
ke jenjang program Doktor (Strata 3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH),
Sekolah Pascasarjana IPB melalui beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan (saat ini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan). Penulis telah berkeluarga dan menikah dengan Eleonora Fibrina Ira
Prabawani, S.Pi dan dikaruniai tiga orang putera yaitu Paulus Madaharsa Nandanadira,
Yoanes Paulus II Prameshvara Nandanata dan Fransiskus Adyatma Nandanakristha.
Publikasi ilmiah telah penulis sampaikan di dalam jurnal internasional Forest Policy
and Economic (Revisi I) dengan judul Political Ecology on Medicinal Plants Utilization in
Meru Betiri National Park, Indonesia dan jurnal nasional Jurnal Penelitian Sosial dan
iii
Ekonomi dengan judul Perilaku Ekonomi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
di Taman Nasional Meru Betiri serta Jurnal Manajemen Hutan Tropika dengan judul
Commercialization on Medicinal Plants in Java Island.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA i
RIWAYAT HIDUP ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN vi
DAFTAR ISTILAH vii
I. PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Fokus Penelitian 7
3. Masalah Penelitian 8
4. Kerangka Pemikiran 10
5. Kebaruan (Novelty) 16
6. Tujuan Penelitian 17
7. Manfaat Penelitian 17
II. TINJAUAN PUSTAKA 19
1. Ekologi Politik 19
2. Konsep Politik 20
3. Pendekatan Ekologi Politik 23
4. Aktor 28
4.1. Analisis Para Pihak 30
5. Teori Akses 33
6. Analisis Biaya dan Manfaat 38
7. Biaya Transaksi 39
8. Obat Tradisional 43
8.1. Citra Jamu Sebagai Layanan Kesehatan 43
8.2. Peran Industri Jamu 45
8.3. Struktur Kelembagaan Pengembangan Obat Tradisional 47
8.4. Modernisasi Pengobatan Tradisional 50
9. Resiliensi Aktor Marjinal 52
III. METODOLOGI 56
1. Lokasi dan Waktu Penelitian 56
2. Bahan dan Alat Penelitian 59
3. Tahapan Penelitian 60
4. Metode Penelitian 61
4.1. Teknik Pengumpulan Data 62
4.2. Teknik Analisis Data 62
Halaman
4.2.1. Identifikasi Pelaku, Motivasi dan Persepsi 62
4.2.2. Kepentingan dan Pengaruh Pelaku 64
4.2.3. Akses Terhadap Sumberdaya Tumbuhan Obat 67
4.2.4. Analisis Sosial dan Ekonomi Para Pihak 71
4.2.5. Pemetaan Posisi Para Pihak 74
2. Pembahasan 115
2.1. Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Tumbuhan Obat 115
2.2. Posisi Para Pihak 117
2.2.1. Taman Nasional Meru Betiri 118
2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 118
2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak 122
2.2.2. Layanan Kesehatan 123
2.2.2.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 123
2.2.2.2. Konflik Kepentingan antar Pihak 125
2.2.3. Industri Obat Tradisional 127
2.2.4. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 127
Halaman
2.2.5. Konflik Kepentingan antar Pihak 128
2.3. Akses terhadap Sumberdaya 132
2.4. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 135
2.4.1. Taman Nasional Meru Betiri 135
2.4.1.1. Biaya Manfaat 135
2.4.1.2. Biaya Transaksi 137
2.4.1.3. Natural Insurance 140
2.4.2. Layanan Kesehatan Tradisional 141
2.4.2.1. Biaya Manfaat 141
2.4.2.2. Biaya Transaksi 144
2.4.2.3. Natural Insurance 147
2.4.3. Industri Obat Tradisional 148
2.4.3.1. Biaya Manfaat 148
2.4.3.2. Biaya Transaksi 150
2.4.3.3. Natural Insurance 151
2.5. Kelestarian Bahan Baku Tumbuhan Obat 152
2.5.1. Peran Negara dalam Kelestarian 153
2.5.2. Pemanfaatan Ruang Budidaya Tumbuhan Obat 156
3. Sintesis 157
3.1. Aspek Budidaya Tumbuhan Obat 157
3.2. Sumber Daya Manusia (SDM) Profesional 158
3.3. Pembenahan Kelembagaan 159
3.4. Penegakan Hukum 160
V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 162
DAFTAR PUSTAKA 167
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR ISTILAH
I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang besar, salah satu diantaranya
adalah kandungan sumberdaya tumbuhan obat. Badan Litbang Kehutanan Kementerian
Kehutanan telah mendata sekurangnya terdapat 1,200 jenis tumbuhan obat yang berhasil
dikoleksi dan belum dipublikasikan. Jenis-jenis tersebut terdiri atas jenis pohon maupun
herba yang memiliki khasiat dalam penyembuhan penyakit, seperti pereda panas, sakit
perut, penyakit degenaratif, kanker dan lain sebagainya. 1 Menurut Djojoseputro (2012), di
Indonesia terdapat sekitar 30.000 jenis tanaman di mana 2.500 jenis diantaranya
merupakan tanaman obat. Dari berbagai laporan penelitian dan literatur diketahui bahwa
tidak kurang dari 2.039 spesies tumbuhan obat berasal dari hutan Indonesia. Setiap tipe
ekosistem yang terdapat pada hutan tropika di Indonesia merupakan gudang dan pabrik
keanekaragaman hayati tumbuhan obat, berevolusi dengan waktu yang sangat panjang
dan telah berinteraksi dengan faktor sosial-budaya masyarakat lokalnya. Masing-masing
individu dari populasi tumbuhan obat yang tumbuh secara alami di tipe ekosistem hutan
tersebut merupakan unit terkecil dari pabrik alami yang melakukan proses metabolis
sekunder sehingga menghasilkan beranekaragam bahan bioaktif yang khas, yang sebagian
besar tidak mudah dan tidak murah ditiru oleh manusia (Zuhud & Hikmat 2009).
Pemanfaatan tumbuhan obat oleh manusia, misalnya pada masyarakat tradisional dan
suku-suku pedalaman di Indonesia, tumbuhan obat sudah lama digunakan untuk
penyembuhan berbagai macam penyakit. Penyembuhan tersebut menghasilkan
pengetahuan/kearifan tradisional yang penting bagi mereka. Masyarakat adat Siberut,
misalnya, sangat menghormati keberadaan Sikerei (dukun) sebagai penyembuh yang
menggunakan doa dan pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat untuk
menyembuhkan penyakit tertentu (Darmanto & Setyowati 2012). Keraf (2010) mencatat
bahwa kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman
atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan tradisional tersebut bukan hanya
menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan,
pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara
1
Kompilasi data tumbuhan obat pada Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor tahun 2011
2
semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini
dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia
maupun terhadap alam dan Yang Gaib (Keraf 2010).
Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu juga sudah dikenal sejak
jaman kerajaan Hindu Jawa. Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan
meracik dan meminum jamu serta memelihara kesehatan ditemukan pada relief-relief
candi-candi yang ada di Indonesia, salah satunya di Candi Borobudur (Sutarjadi et al.
2012). Sehubungan dengan hal itu, penggambaran penggunaan tanaman obat yang
digunakan sebagai bahan pembuat jamu di Indonesia, seperti nogosari, sumanggen,
cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, kecubung dan lain-lain,
masih ada sampai sekarang. Dari relief tersebut dapat diidentifikasi lebih dari 50 jenis
tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan. Gambaran yang sama juga ditemukan pada
relief-relief di Candi Prambanan, Candi Panataran, Candi Sukuh dan Candi Tegalwangi
(Sutarjadi et al. 2012). Hal ini berarti bahwa manusia sudah lama memanfaatkan
tumbuhan obat untuk kepentingan kesehatannya sendiri.
Perkembangan teknologi modern yang pesat saat ini telah mengubah cara
pemanfaatan tumbuhan obat. Aspek sosial, ekonomi dan kebersihan menjadi masalah
pokok yang diperhatikan oleh manusia. Pada saat ini kaum muda di Indonesia sudah
enggan meramu sendiri pengobatan jamu dengan alasan sudah tidak memiliki waktu lagi
untuk melakukannya. Lingkungan hidup mereka lebih banyak didominasi oleh teknologi
tinggi sebagai gejala masyarakat modern. Hal ini menyebabkan tradisi meracik jamu di
rumah mengalami penurunan, sehingga perlahan-lahan tradisi meminum jamu mulai
memudar pada masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Tetapi terkait hal tersebut, industri
jamu justru meningkat pesat dengan menggunakan standar pengolahan modern yang
aman, bersih dan sehat. Dahulu perkembangannya relatif lambat karena adanya
keengganan dan kerahasiaan membagikan resep pengobatan menggunakan jamu.
Industrialisasi jamu telah mendorong terjadinya perubahan sikap yang sangat cepat
karena terjadinya peningkatan permintaan terhadap pengobatan tradisional (Beers 2001).
Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menerbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kemudian
ditindaklanjuti melalui Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM)
Republik Indonesia Nomor: H.K.00.05.4.1380 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
3
Tradisional yang baik biasa disingkat dengan istilah CPOTB. Kedua produk kebijakan
ini cukup berjalan di lapangan. Melalui informasi yang diperoleh di Pasar Nguter
Sukoharjo, dapat dipastikan bahwa para pedagang pengecer simplisia jamu memahami
keberadaan kedua peraturan tersebut. Pasar Nguter merupakan sentra penjualan produk-
produk jamu dan simplisia tumbuhan obat terbesar di Indonesia.
Pada sektor kehutanan, produk kebijakan yang berhubungan dengan tumbuhan obat
dapat dijumpai pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada tataran pelaksanaan, produk kebijakan berupa
Peraturan Pemerintah (PP) juga sudah dikeluarkan. Misalnya PP Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan PP Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan. Kedua peraturan tersebut mencantumkan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai
produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Bahkan pada Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, pemanfaatan
tumbuhan obat di hutan alam dikenai kuota 20 ton untuk setiap pemegang ijin. Artinya
dari sudut kebijakan, pemerintah selaku pemegang kewenangan atas pemanfaatan
sumberdaya hutan telah memberikan dukungan bagi setiap orang untuk terlibat dalam
kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat dengan memerhatikan berbagai aspek, baik
budidaya maupun pelestariannya.
Kementerian Koordinator Perekonomian RI juga telah menyusun sebuah peta jalan
(road map) Pengembangan Djamoe 2011 – 2025, dimana istilah jamu berasal dari kata
jampi dan usodo yang sudah dikenal oleh masyarakat sejak jaman dahulu sebagai way of
life. Jamu sendiri didefinisikan sebagai obat tradisional, yaitu bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelanik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
(Kemenkes RI 2010).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku industri jamu diketahui bahwa
suplai bahan baku tumbuhan obat banyak yang berasal dari daerah Banyuwangi dan
Saradan, Madiun. Bahan baku tersebut dikirim ke industri jamu dalam bentuk simplisia
dengan kadar kekeringan tertentu. Dalam penentuan persyaratan bahan baku, standar
yang sangat ketat diterapkan oleh industri jamu besar seperti PT. Sido Muncul, Air
Mancur dan Jamu Jago sedangkan bahan baku yang tidak lolos uji biasanya langsung
4
diterima oleh Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT). Bahan baku tersebut kemudian
diolah menggunakan sistem CPOTB dan biasanya diberi tanda kemasan khusus dalam
bentuk kertas untuk membedakan antara jamu yang diproduksi oleh industri besar dan
UKOT (Kemala et al. 2003; Pribadi 2009).
Dari sisi perdagangan internasional, tumbuhan obat sebagai bahan dasar jamu juga
memiliki daya tarik ekonomi yang sangat besar, khususnya bagi Cina, India dan
Indonesia. India sebagai salah satu “pemain” terbesar tumbuhan obat di dunia sering
mengimpor bahan baku tersebut dari Nepal. Bahan baku tumbuhan obat yang diimpor
biasanya dalam bentuk minyak esensial, bel squash, khoto, briket, rempah-rempah dan
jahe. Bahan baku tersebut diproduksi oleh 71 unit usaha berbasis komunitas pedesaan di
Koshi Hills, Nepal (Kunwar et al. 2009). Sedangkan di Congo Basin, bahan baku
tumbuhan obat baik dalam bentuk daun, getah-getahan, resin, buah dan biji dimanfaatkan
sebagai obat-obatan yang diekspor ke Eropa dan Amerika serta digunakan di dalam
negeri (Ingram 2012). Menurut Sill et al. (2011), keragaman tumbuhan obat di alam dan
pasarnya yang spesifik dapat menjadi sumber pendapatan dan pelanjutan tradisi bagi
masyarakat desa di sekitar hutan. Nilai keragaman yang terkandung didalamnya
merupakan perwujudan dari jaminan alam (natural insurance), penyediaan lapangan kerja
dan pendapatan, tersedianya cadangan dan kecukupan bahan baku farmasi alami, sumber
pangan dan gizi bagi anak-anak di pedesaan. Vodouhe et al. (2008) menyebutkan bahwa
pemanenan tumbuhan obat dari hutan dilakukan oleh petani untuk mengganti pendapatan
mereka ketika pendapatan dari pertanian mengalami penurunan.
Terkait dengan ketersediaan bahan baku, industri jamu besar dan UKOT melakukan
persaingan untuk mendapatkan jenis-jenis tertentu, misalnya kedawung (Parkia
timoriana). Kedawung merupakan salah satu bahan baku untuk mengobati penyakit
kembung perut sehingga selalu dibutuhkan pasokannya oleh industri. Menurut salah satu
apoteker yang terdapat di PT Air Mancur, kedawung dibutuhkan untuk bahan baku jamu
karena memiliki rasa yang gurih sehingga memberikan nilai tambah bagi produk jamu.
Rasa tersebut sangat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk obat sakit
perut. Amzu (2007) dan Pribadi (2009) menyatakan, kedawung merupakan satu di antara
30 spesies tumbuhan obat langka di Indonesia dengan status langka dan terancam,
populasinya di Indonesia menurun, bahkan dirasakan mulai jarang dijumpai di habitat
aslinya. Selanjutnya dikatakan bahwa pohon kedawung secara bioekologis dan sosio-
ekonomi masyarakat merupakan spesies penting di TNMB dan spesies ini sedang menuju
kelangkaan. Penanaman pohon kedawung di blok Wonowiri sejak tahun 1989 hingga
5
sekarang pun belum menghasilkan buah (Amzu 2007). Oleh sebab itu, terjadinya
kelangkaan sebuah spesies bagi para penggunanya dari sisi kebijakan tidak dapat
diabaikan oleh pemerintah maupun politisi karena dapat mengganggu pasokan bahan
baku tersebut bagi kepentingan masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun politik
(Sill et al. 2011). Dengan demikian, aspek konservasi dan budidaya jenis tersebut perlu
dilakukan agar menjamin pasokan bahan baku jamu bagi para pelakunya yaitu industri
maupun layanan kesehatan.
Apakah tumbuhan obat sebagai salah satu sumber daya hutan tidak menarik dalam
dunia politik. Pertanyaan ini perlu dijawab. Page (2003) menyebutkan, ketika tumbuhan
obat menjadi faktor “pengungkit” terjadinya perubahan sosial dan lingkungan maka
terjadi hubungan antara politik dan lingkungan. Adanya perubahan pengelolaan suatu
kawasan hutan, misalnya ditetapkan sebagai Taman Nasional atau Kawasan Lindung,
ternyata juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial di dalamnya. Hubungan antara
para pemungut tumbuhan obat, masyarakat lokal dan spesies tumbuhan obat itu sendiri
memberikan pertanyaan tentang siapa yang berhak “memiliki” dan “mengelola”.
Perubahan sosial ini kemudian menciptakan hubungan antara manusia, ekonomi, politik
dan aspek lingkungan yang menjadi ranah dari ekologi politik. Bryant dan Bailey (1997)
mendefinisikan ekologi politik sebagai perwujudan dari kekuatan ekonomi dan politik
kapitalisme yang tumbuh dan menyebar di dunia sejak abad ke 19 yang menyebabkan
terjadinya permasalahan lingkungan di mana permasalahan tersebut tidak dapat dibatasi
hanya pada gagalnya kebijakan atau kegagalan pasar, contohnya tambang, penebangan
hutan, pemanenan ikan atau produksi tanaman semusim. Pendekatan yang digunakan
berorientasi pada aktor yang berperanan pada lokasi terjadinya masalah lingkungan dan
juga mungkin dipengaruhi oleh aktor lain yang jauh dari tempat terjadinya persoalan
tersebut. Oleh sebab itu menurut Page (2003) dan Arifin (2011), dalam konteks ekologi
politik selalu diperlukan adanya “negosiasi” di antara aktor dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat dengan membuka jalur-jalur komunikasi
untuk mencapai kesepakatan bersama.
Salah satu kendala penggunaan jamu untuk memenuhi standar pengobatan
komplementer yaitu adanya kelangkaan dalam penyediaan bahan baku obat tradisional
yang telah memenuhi kriteria fitofarmaka (sudah teruji klinis). Penelitian yang dilakukan
oleh Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT menyebutkan bahwa diperlukan adanya
ekstrak terstandar terhadap bahan baku obat tradisional berdasarkan senyawa penanda dan
senyawa aktifnya. Hal ini diperlukan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan
6
terhadap senyawa obat tradisional yang setara dengan obat kimia. Pada saat ini kategori
obat tradisional yang memenuhi kriteria uji klinis baru ada 6 jenis, 38 jenis baru
memenuhi kriteria terstandar dan ribuan jenis lainnya merupakan kategori jamu yang
belum terstandar. Salah satu jenis tumbuhan obat yang telah diuji menggunakan profil
metabolit adalah sambiloto (Andrographis paniculata) melalui senyawa penanda androga
polin.2 Terkait hal itu, dalam buku Farmakope Herbal Indonesia (FHI) terdapat kurang
lebih 70 jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk memenuhi standar bahan baku
tersebut (Departemen Kesehatan RI 2008). Adanya standar bahan baku tumbuhan obat
merupakan langkah agar produk tumbuhan obat yang dimiliki oleh Indonesia dapat
diterima oleh negara pengguna akhir karena sudah dijamin aspek keamanan dan
efikasinya. Standar tersebut harus memenuhi kriteria Good Agricultural and Collection
Process (GACP) yang telah disepakati oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), sehingga melalui kriteria tersebut diharapkan agar bahan baku tumbuhan
obat yang dihasilkan melalui proses budidaya maupun pemanenan di hutan alam telah
memperhatikan aspek keamanan, efikasi, teknologi, pengetahuan personil (edukasi),
perlindungan dan konservasi spesies tumbuhan obat agar tidak punah (WHO 2003).
Dampak lain dari adanya kelangkaan bahan baku obat tradisional untuk memenuhi
kriteria uji klinis yaitu makin mahalnya harga obat tradisional. Hingga saat ini, industri
besar obat tradisional baru mampu memenuhi kriteria uji obat tradisional pra klinis, itu
pun tidak semua industri obat tradisional memiliki fasilitas uji tersendiri. 3 Salah satu
contoh yang telah memenuhi kriteria tersebut adalah PT. Jamu Air Mancur di Surakarta
Jawa Tengah.
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai
bahan baku jamu ini berpusat pada relasi/hubungan para aktor dengan para pihak sebagai
unit terkecilnya. Setiap pihak memiliki kepentingan tersendiri yang berbeda satu dengan
lainnya sehingga menyebabkan terjadinya informasi asimetris (assymetric information) di
antara para pihak (Bryant & Bailey 1997; Hermans & Thiesen 2008). Adanya informasi
asimetris tersebut memengaruhi persepsi para pihak dalam mengambil keputusan.
Suneetha dan Chandrakanth (2006) mengatakan bahwa keterbukaan persepsi di antara
pihak yang berbeda dapat membantu para pihak untuk menentukan prioritas investasi
pada tumbuhan obat sehingga membantu pemerintah dalam mempromosikan spesies-
spesies tumbuhan obat yang diminta oleh pasar domestik, internasional atau
2
Konfirmasi kepada peneliti Pusat Instrumentasi Farmasi dan Medika BBPT tanggal 26 Juni 2013
3
Informasi dari salah satu apoteker PT. Jamu air Mancur di Surakarta tanggal 11 Juni 2013
7
mengembangkan produk baru berdasarkan pada spesies tumbuhan obat yang sudah
digunakan oleh masyarakat lokal. Menurut Purwandari (2001), beberapa industri obat
tradisional mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku tumbuhan obat di
pasaran. Kelangkaan dan penurunan pasokan tumbuhan obat budidaya di pasaran tidak
berlangsung terus menerus, hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu (musiman). Hal ini
mungkin disebabkan karena (a) terjadinya panen raya terhadap tumbuhan obat sehingga
harga turun dan petani mengalami kerugian; (b) beberapa jenis tumbuhan obat tersebut
merupakan komoditas ekspor sehingga memengaruhi distribusi di dalam negeri; dan (c)
adanya penggunaan ganda baik sebagai tumbuhan obat maupun bahan bumbu masak atau
sayur. Ada 4 (empat) hal yang dapat menjelaskan terjadinya kelangkaan tersebut, yaitu
(a) tumbuhan obat tersebut memang sudah mulai langka keberadaannya di alam sehingga
pasokannya di pasar juga menurun; (b) jalur distribusi pemasarannya yang tidak normal;
(c) bahan baku berupa buah/biji hanya didapat pada musim berbuah saja; dan (d) adanya
alih profesi para pemungut tumbuhan obat (Zuhud et al. 2009).
Salah satu sumber penyedia tumbuhan obat di Pulau Jawa adalah Taman Nasional
Meru Betiri yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa. Tumbuhan obat dan atau tanaman
obat merupakan salah satu bahan baku untuk memproduksi jamu, sehingga keberadaan
TNMB yang terjaga dengan baik mampu menjadi pemasok bahan baku jamu. Menurut
Zuhud et al. (2009), potensi tanaman obat yang terdapat di TNMB mencakup 355 spesies
yang terbagi ke dalam 92 famili dan dari total tumbuhan tersebut, 291 spesies (81.7%)
telah teridentifikasi mempunyai khasiat obat. Selanjutnya dikatakan bahwa TNMB
mengalami tekanan yang sangat besar berupa pengambilan bambu, tumbuhan obat, kayu
jati dan penyerobotan lahan, yang dilakukan oleh penduduk di sekitar kawasan hutan.
Penduduk desa yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah Desa Andongrejo di
Kabupaten Jember dan Desa Sarongan di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten
Banyuwangi, karena memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi terhadap TNMB.
Adanya tekanan terhadap sumber daya hutan di TNMB, khususnya tumbuhan obat,
menunjukkan adanya persoalan ekonomi dan politik pada sumber penyedia bahan baku
obat tradisional.
2. Fokus Penelitian
Aliran pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu sangat luas. Tumbuhan
obat dimanfaatkan oleh berbagai pelaku mulai dari sektor swasta serta sektor layanan
publik, sehingga apabila ketersediaannya mulai langka di hutan alam dapat mengganggu
8
keseluruhan atau sebagian sistem produksinya mulai dari hulu sampai hilir. Kelangkaan
tumbuhan obat, baik disebabkan oleh pencurian kayu maupun pemanenan yang tidak
terkendali tanpa upaya budidaya, dapat meningkatkan laju pengurasan sumber daya
tumbuhan obat sehingga konsumsi yang diperoleh dari tumbuhan obat tidak dapat lestari.
Kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pengguna tumbuhan obat beserta aksesnya
terhadap hutan perlu diatur agar pemanfaatan tumbuhan obat dapat lestari sehingga
menjamin keseluruhan aspek produksi mulai dari hulu hingga hilir. Keberhasilan para
pelaku dalam mengelola kepentingan, pengaruh, kekuasaan dan aksesnya terhadap
konsumsi tumbuhan obat dapat menentukan keberhasilan pengelolaan tumbuhan obat
pada tingkat tapak. Oleh sebab itu, pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan,
pengaruh, kekuasaan dan akses para pelaku terhadap tumbuhan obat perlu diketahui agar
aspek-aspek tersebut dapat dipetakan sehingga membantu pengelolaan sumber daya
tumbuhan obat secara lestari.
Fokus penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat ini
adalah di sektor hulu, yaitu hutan alam sebagai sumber produksi tumbuhan obat yang
mengalami pengurasan sumber daya alam sehingga dikhawatirkan apabila laju konsumsi
para pengguna tumbuhan obat tersebut tidak dikelola akan menyebabkan terjadinya
kelangkaan tumbuhan obat di hutan alam sehingga mengganggu aliran manfaatnya
sampai pengguna akhir yaitu konsumen dan pasien. Lingkup penelitian terdapat pada 3
(tiga) klaster yaitu klaster produksi, industri dan layanan kesehatan, yaitu dengan cara
membandingkan informasi dan pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan obat oleh
para pelakunya, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai posisi para
pelaku dalam ranah ilmu pengelolaan hutan. Pengetahuan mengenai posisi para pelaku
tersebut dapat diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari.
3. Masalah Penelitian
Tingginya pemanfaatan tumbuhan obat dari sisi sosial dan ekonomi mampu
memberikan keuntungan bagi banyak pihak. Pasar obat tradisional dunia diperkirakan
terus tumbuh dan mencapai US$ 150 milyar pada tahun 2020, sedangkan omzet penjualan
obat tradisional Indonesia baru sebesar US$ 100 juta per tahun (0.22%). Pada tahun
2010, omzet penjualan obat tradisional Indonesia sebesar Rp 10 trilyun dan diperkirakan
omzet tersebut akan meningkat hingga sebesar Rp 13 trilyun pada tahun 2013. Kondisi
perkembangan pasar obat tradisional yang demikian besar dan terus tumbuh ini
menimbulkan celah (gap) informasi antara sektor hulu dan hilir sehingga menciptakan
9
terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi. Lemahnya teknologi dan informasi pasar
menjadi kendala sehingga produk tumbuhan obat yang di ambil dari hutan alam selalu
memiliki kualitas yang beragam dan dihargai lebih murah apabila dibandingkan dengan
produk yang sama yang diperdagangkan di pasar.
Permasalahan utama yang diajukan dalam penelitian ini berhubungan dengan ilmu
politik ekologi, yaitu bagaimana memetakan kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para
pelaku serta aksesnya dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat pada tiga klaster,
yaitu klaster produksi, layanan kesehatan dan industri. Pemanfaatan tumbuhan obat
tersebut telah menimbulkan kesenjangan (gap) yang berhubungan dengan aspek
lingkungan dan ekonomi di mana para pelaku yang terdapat pada sektor hilir menikmati
nilai manfaat riil yang lebih tinggi dibandingkan pelaku yang terdapat di sektor hulu.
Kesenjangan tersebut kemudian menimbulkan terjadinya perbedaan persepsi dan motivasi
di antara para pelaku, perbedaan akses dalam pemanfaatan, perbedaan biaya manfaat dan
transaksi serta perbedaan natural insurance para pelaku. Penggambaran sementara
mengenai dinamika relasi para pelaku dengan akses terhadap sumber daya tumbuhan obat
tersebut disajikan pada Tabel 1. Para pelaku mulai dari pemerintah, dokter, penyembuh
tradisional, NGO, petani, asosiasi dan industri memiliki kepentingan dan pengaruh yang
berbeda-beda, mulai dari rendah sampai dengan tinggi, tergantung pada besarnya akses
yang dapat dikuasainya dalam mengendalikan tumbuhan obat. Semakin banyak jumlah
akses yang berhasil dikuasai oleh salah satu aktor, maka potensinya untuk menguasai
sumber daya tumbuhan obat dapat semakin besar. Kegiatan ekstraksi tumbuhan obat dari
hutan alam juga merupakan bagian dari persoalan pemanfaatan tumbuhan obat oleh para
pelakunya yang membentuk kepentingan mereka terhadap sumber daya tumbuhan obat di
hutan alam4. Oleh sebab itu, kegiatan ekstraksi langsung tumbuhan obat berpengaruh
terhadap ketersediaan sumber daya tersebut di lapangan.
Penelitian ini menelusuri bagaimana para pelaku dan jaringannya memanfaatkan
tumbuhan obat pada klaster produksi, industri dan layanan kesehatan. Para pelaku yang
4
Siaran Pers Kementerian Kehutanan dalam International Seminar “Forest and Medicinal Plants for Better
Human Welfare” tanggal 10 - 12 September 2013 menyebutkan bahwa 78% tumbuhan obat di Indonesia
diperoleh dari pemanenan langsung di hutan alam, sedangkan yang dibudidayakan hanya sedikit. Di TNMB
terdapat 239 spesies yang berpotensi sebagai tanaman obat dan sejumlah 85 jenis tanaman obat yang dipanen
langsung dari TNMB sehingga berdampak 8 spesies tanaman obat yang dipanen tersebut sudah mulai langka
di tempat tumbuhnya yaitu pule pandak (Rauwolfia serpentina Benth.), joho (Terminalia belerica Roxb.),
bidara upas (Merremia mimosa), jati belanda (Guazuma ulmifolia), gadung (Dioscorea hispida Denn.),
pulasari (Alyxia reinwardtii Bl.), dan patmosari (Rafflesia zollingeriana Kds.). Pemanenan tumbuhan obat di
TNMB dapat dipastikan tidak memiliki ijin pemanfaatan sehingga dari data diatas dapat dikatakan bahwa
35% pemanenan bersifat ilegal (Kemala et al. 2003; Pribadi 2009).
10
menjadi pusat kajian terletak pada hubungan key players, subject, context setters dan
crowd yang selalu berinteraksi satu sama lain dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Bryant
& Bailey 1997; Hermans & Thiesen 2008; Reed et al. 2009). Kemudian hubungan antara
pelaku tersebut digali lebih dalam lagi dengan melihat aspek sosial dan ekonominya
(Klemperer 1997), aksesnya (Ribot & Peluso 2003), biaya transaksinya (Zhang 2000;
Yustika 2006) dan natural insurance-nya bagi pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan
obat (Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011; Dzerefos et al, 2012). Oleh sebab itu,
beberapa pertanyaan yang hendak diajukan dalam penelitian ini antara lain:
1. Mengapa pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat di lapangan begitu
banyak?
2. Mengapa persepsi, motivasi, kepentingan dan pengaruh para pelaku berpengaruh
dalam pemanfaatan tumbuhan obat?
3. Mengapa akses yang dikuasai oleh pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat juga
digunakan?
4. Mengapa tumbuhan obat memberikan manfaat yang besar bagi para pelaku dan
mengapa terjadi biaya transaksi dalam pemanfaatan tersebut?
5. Mengapa jaminan alami dalam pemanfaatan tersebut berguna bagi para pelaku dalam
pemanfaatan tumbuhan obat?
4. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan pendekatan para pihak analisis di mana kepentingan para
pihak terhadap aspek sosial, ekonomi dan politik mempengaruhi perilakunya dalam
mengambil keputusan. Keputusan-keputusan tersebut ditentukan berdasarkan
kepentingan, pengaruh, kekuasannya terhadap tumbuhan obat yang dimiliki oleh para
pelaku sehingga menentukan besarnya kemampuan dalam mengendalikan sumber daya
tumbuhan obat (Reed et al. 2009). Selain itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori akses dimana hak legal yang dimiliki oleh seseorang bukan berarti bahwa
orang tersebut dapat menguasai sumberdaya yang terdapat di dalamnya apabila akses
yang terdapat di dalam sumber daya yang dikuasainya tidak juga dimiliki. Untuk
menguasai akses seseorang harus melalui delapan mekanisme akses, yaitu menguasai
pasar, teknologi, tenaga kerja, pengetahuan, modal, otoritas publik, relasi sosial dan
identitas sosial mendorong para pelaku untuk tetap mempertahankan kekuasaannya
terhadap sumberdaya tumbuhan obat (Ribot & Peluso 2003). Akses dominan yang
dikuasai oleh para pelaku digunakan untuk mengelola kepentingan, pengaruh dan
11
tumbuhan obat dan stepping stone, yaitu para pihak menggunakan tumbuhan obat untuk
membiayai pendidikan anggota keluarga (Schreckenberg et al. 2006; Sill et al. 2011;
Dzerefos et al. 2012). Kerangka pemikiran penelitian mengenai pemetaan para pihak
dalam pemanfaatan bahan baku tumbuhan obat pada klaster produksi, layanan kesehatan
dan industri disajikan dalam Gambar 1.
13
PELAKU GAP
PEMANFAAT Legal Ilegal
TUMBUHAN PARA PIHAK
OBAT KLASTER KEPENTINGAN
KESEHATAN PEMANFAATAN
EKOLOGI TUMBUHAN
GAP POLITIK OBAT
PENGARUH
BERKELANJUTAN
PARA PIHAK
KLASTER POWER
INDUSTRI
Pemetaan relasi para pelaku terhadap akses atas sumberdaya tumbuhan obat merupakan salah
satu cara untuk memahami dinamika kekuasaan yang ada didalamnya. Pemetaan ini diperlukan
untuk memberikan gambaran sementara bagi peneliti sehingga diperlukan adanya konfirmasi
kebenaran melalui kegiatan penelitian. Pemetaan akses para pihak atas sumberdaya tumbuhan
obat disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Lanjutan
Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara Media
kat Adat
Pengetahuan - Kuat, melalui - Punya, - Sangat kuat, - Kuat, - Kuat, karena - Punya,
jaringan tetapi masih karena tergantung sudah merupakan
peneliti dan bersifat persyaratan program dan menjadi bagian dari
perguruan komplemen utama untuk isu yang tradisi dan isi berita
tinggi ter dari berproduksi diusung pengetahuan - Berita
kedokteran dan tradisional mengenai
umum memenangka jamu
n persaingan merupakan
sumber
informasi
yang dapat
memberikan
profit bagi
media
Pejabat - Lemah, sangat - Kuat, - Sangat kuat, - Lemah, agak - Sangat lemah, - Punya,
pemerintah tergantung karena karena berseberangan tergantung sebagai
pada tupoksi didukung memelihara dan selalu kritis pada relasi narasumber
dan program oleh relasi dapat ketua atas isu-isu
sejumlah melancarkan kelompok yang terkait
perangkat usaha dengan jamu
peraturan
layanan
berbasis
jamu
Tabel 1. Lanjutan
Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara Media
kat Adat
Relasi sosial - Kuat, melalui - Lemah, - Sangat kuat, - Kuat, - Sangat kuat, - Punya,
forum karena karena tergantung organisasi sebagai
kerjasama belum persyaratan program yang petani sumber
internasional menjadi pokok agar sesuai dengan menjamin berita
tingkat kekuatan usaha lancar isu pokok terpenuhinya
ASEAN yang perlu - NGO suplai bahan
- Musyawarah diperhitung internasional baku jamu
Nasional GP kan dalam sebagai - Struktur
Jamu pengobatan pendukung petani-
didukung oleh umum utama pedagang
pemerintah perantara-
agen-pabrik
menciptakan
rantai usaha
yang cukup
panjang tetapi
memberikan
jaminan/kepa
stian
distribusi bagi
petani
Sumber: Bryant and Bailey (1997); Ribot and Peluso (2003); Hermans and Thiesen (2008);
Reed, et al. (2009); Zuhud et al. (2009); Tim Road Map Djamoe (2011); Darmanto dan
Setyowati (2012)
5. Kebaruan (Novelty)
Pemetaan pemanfaatan tumbuhan obat oleh para pelaku pada tiga klaster, yaitu mulai dari
klaster produksi bahan baku di Taman Nasional Meru Betiri, klaster layanan kesehatan di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan klaster industri di Kabupaten Sukoharjo Jawa
Tengah memberikan kebaruan penelitian dalam 5 (lima) aspek, yaitu:
1. Pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat berguna dalam rangka
pembenahan sektor hulu sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan
tumbuhan obat.
2. Pemetaan tersebut memberikan sudut pandang baru mengenai pengaruh, kepentingan,
akses dan aspek sosial ekonomi para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat.
3. Mengembangkan konsep kebijakan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) yang penting di masa depan sehingga pemanfaatannya harus
dilakukan secara bijaksana dengan meningkatkan pengetahuan atas bahan baku tumbuhan
obat, khususnya yang memiliki manfaat ganda.
17
6. Tujuan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) tujuan, yaitu:
1. Mengidentifikasi para pelaku, motivasi dan persepsi yang dimilikinya dalam pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu.
2. Menganalisis peranan, kepentingan, pengaruh dan kekuatan pelaku dalam memanfaatkan
tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu
3. Menganalisis akses yang dimiliki pelaku untuk memanfatkan tumbuhan obat sebagai
bahan baku jamu
4. Menganalisis besarnya manfaat yang diterima dan transaksi yang dilakukan oleh pelaku
dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu
5. Menguraikan fungsi tabungan dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku
jamu pada aspek safety net dan stepping stone.
7. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku
jamu ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan kontribusi untuk memetakan relasi kepentingan, pengaruh, kekuatan dan
akses pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu sehingga
dapat membantu pengambil kebijakan dalam mengelola tumbuhan obat pada tingkat
tapak.
2. Mendorong terwujudnya kelestarian pengelolaan tumbuhan obat mulai dari hulu sampai
hilir dengan mempertimbangkan faktor-faktor kepentingan, pengaruh, kekuatan, akses
dan sosial ekonomi yang mempengaruhi para pelaku dalam mengambil keputusan
memanfaatkan tumbuhan obat.
3. Mendorong penguatan kelembagaan pengelolaan tumbuhan obat melalui kolaborasi para
pihak.
18
4. Mendukung informasi mengenai aspek sosial ekonomi dan politik dalam pemanfaatan
tumbuhan obat sehingga dapat menambah wawasan dalam pengembangan Rencana
Penelitian Integratif (RPI) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
5. Mendukung salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) institusi dalam kegiatan
penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Badan Litbang Kehutanan.
19
1. Ekologi Politik
1.1. Pengertian
Pengertian ekologi politik memiliki kedekatan dengan pengertian politik
ekologi. Menurut Blaikie dan Brookfield (1987), dikutip oleh Bryant dan
Bailey (1997) ekologi politik merupakan kombinasi antara berbagai aspek
yang berhubungan dengan ekologi dan ekonomi politik di mana kepentingan
politik dan tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor yang terlibat telah
menimbulkan konflik yang berhubungan dengan aspek politis dan ekologis.
Oleh sebab itu, pendekatan ini berorientasi pada aktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan. Menurut Forsyth (2004), politik ekologi sendiri
merupakan ilmu yang mempelajari tentang kebijakan lingkungan, sehingga
dalam politik ekologi faktor lingkungan ekologis yang mendorong terjadinya
perubahan. Dalam pendekatan ini ada upaya untuk mendekatkan konsep
ekologi politik dan politik ekologi sebagai ilmu politik lingkungan (Forsyth
2004). Dalam beberapa hal, istilah ekologi politik dan politik ekologi di
Indonesia tidak dibedakan sama sekali, tetapi pengertiannya sama dengan
ekologi politik yang disampaikan oleh Bryant dan Bailey (1997) di mana aktor
merupakan pihak yang terlibat dalam kajian (Hidayat et al. 2011).
Forsyth (2004) menyebutkan bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam
memberi makna terhadap ekologi dalam ekologi politik, yaitu:
1. Upaya untuk menjelaskan masalah-masalah lingkungan sebagai sebuah
interaksi fenomena dari proses biofisik, kebutuhan manusia dan sistem
politik yang lebih luas.
2. Politik ekologi merupakan kegiatan politik praktis dari Deep Green
Environtalisme atau gerakan politik hijau dan kritiknya atas modernitas
dan kapitalisme. Wujudnya berupa gerakan sosial (ecology movement).
3. Ekologi digunakan sebagai metafora hubungan antar relasi politik.
4. Penggunaan analisis marxis untuk memperdebatkan antara
materialisme, keadilan, dan sumber daya alam pada masyarakat
20
2. Konsep Politik
Surbakti (2010) menyebutkan sekurangnya terdapat lima konsep atau
paradigma politik, yaitu:
2.1. Pandangan klasik, politik dilihat sebagai suatu asosiasi warga negara
yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang
menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Tokoh
penganut pandangan klasik ini adalah Aristoteles. Tekanan yang
diberikan pada pandangan klasik berpusat pada aspek filosofis dari
kebaikan bersama berupa “apa yang seharusnya” dicapai demi
kebaikan bersama seluruh warga negara polis dan “dengan cara apa
sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai.
2.2. Kelembagaan, politik dilihat dalam kaitan dengan penyelenggaraan
negara sehingga negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk
menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik
memiliki legitimasi untuk melakukan persaingan dalam membagi
kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian
kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu
negara. Sehingga dengan demikian, negara merupakan struktur
administrasi atau organisasi yang konkret dan negara memiliki
21
secara singkat dapat disebut sebagai nilai spiritual dan nilai material
jasmaniah. Kelemahan dari paradigma ini yaitu menempatkan
pemerintah sebagai sarana dan wasit dalam persaingan berbagai
kekuatan politik untuk memperoleh nilai-nilai terbanyak.
Pemerintah memiliki kepentingan sendiri diabaikan oleh teori ini.
Tokohnya adalah David Easton dan Harold Lasswell.
2.5. Konflik, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan umum merupakan upaya untuk mendapatkan
dan atau mempertahankan nilai-nilai di mana dalam upaya untuk
mempertahankannya terjadi persaingan, perbedaan pendapat, bahkan
pertentangan yang bersifat fisik antara para pihak. Pihak yang
berupaya mendapatkan nilai terbanyak akan berhadapan dengan
pihak yang berupaya mempertahankan nilai yang telah dimilikinya.
Konsensus, kerjasama dan integrasi kurang diperhatikan dalam teori
ini sementara persaingan, perdebatan, perbedaan pendapat maupun
pertentangan seringkali diselesaikan melalui proses dialog diantara
para pihak yang bertikai. Tokohnya adalah Karl Marx.
Marsh dan Stoker (2011) melihat politik dalam dua pendekatan, yaitu
pertama politik menentukan bidang penyelidikan dengan merujuk pada
arena atau himpunan institusi tertentu. Fokus kajian pada pendekatan ini
23
Masalah lingkungan:
Karakteristik sosial
- Erosi tanah (Blaike, 1985)
ekonomi:
- Degradasi lahan (Blaike &
- kelas, (Watts, 1983a)
Brookfield, 1987)
- etnis (Hong, 1987)
- Deforestasi (Hecht &
- gender (Schroeder,
Cockburn, 1989)
1993)
25
Ekonomi politik
Perubahan Lingkungan
di Dunia Ketiga
khususnya dalam posisi politik. Aktor yang memiliki posisi politik lebih
kuat akan mendominasi aktor lain yang posisi politiknya lebih lemah; c)
Mampu memberikan pemahaman mengenai peranan dan interaksi para
aktor terhadap konflik mengenai lingkungan. Konflik-konflik yang terjadi
dalam pemanfaatan tumbuhan obat seringkali menyingkirkan aktor-aktor
yang lebih lemah. Pertarungan tersebut ditujukan untuk menguasai
sumberdaya tumbuhan obat. Hanya saja aktor-aktor yang “kalah” juga
memiliki kekuatan untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri
(Bryant & Bailey 1997).
Para aktor memiliki kepentingan sendiri-sendiri terhadap sumberdaya
tumbuhan obat yang sama sehingga proses negosiasi dan pengambilan
keputusan terhadap penggunaan sumberdaya tersebut merupakan hal yang
penting. Hanya saja “siapa yang memutuskan” merupakan persoalan
tersendiri karena terdapat hak para aktor untuk memanfaatkan sumberdaya
tumbuhan obat tersebut (Stenley et al. 2012; Borrow et al. 2002).
Sebagian besar sumberdaya tumbuhan obat yang terdapat di hutan dimiliki
dan dikuasai oleh Negara sehingga Negara memiliki hak untuk
memutuskan kepada siapa sumberdaya tersebut dikelola. Dengan
demikian, dalam pemanfaatan tumbuhan obat, Negara bersama dengan
agennya adalah aktor dalam kegiatan tersebut. Ketika peran Negara
sangat besar untuk menentukan kepada siapa hak pengelolaan tumbuhan
obat diberikan, biasanya masyarakat di pedesaan dan komunitas pengelola
tumbuhan obat akan tersingkir. Pertentangan kepentingan dalam
perebutan sumberdaya yang sama akan terjadi. Sifat common pool
resources tumbuhan obat berhadapan dengan berbagai kepentingan
sehingga kelestarian pemanfaatannya akan terganggu (Ostrom et al. 1994).
Ostrom (2005) menyebutkan empat tipe produk (goods) sebagai
sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia. Pembagian produk tersebut
berdasarkan pada penggunaan dan potensi manfaat yang diperoleh,
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Empat Tipe Sumberdaya (goods)
Subtractability of Use
Difficulty of High Low
27
4. Aktor
Analisis aktor merupakan metode yang berasal dari pendekatan riset
operasi (operation research) yang digunakan untuk analisis kebijakan.
Tujuan analisis aktor adalah memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai kebijakan publik yang terdefinisi dengan baik (Hermans &
Thiesen 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa analisis aktor dapat
menyediakan sebuah pencerahan bagi para analis kebijakan mengenai
proses multi aktor dalam kebijakan publik (Hermans & Thiesen 2008).
29
I
High
N
Subject Key players
T
E
R
E
S
T
Crowd Context setter
Low
Low High
POWER
5. Teori akses
Kepentingan dan kekuasaan yang terdapat pada para aktor dalam
menggunakan dan mempertahankan sumber daya yang digunakannya
tergantung pada seberapa besar kemampuan para aktor dalam mengakses
sumber daya tersebut. Semakin besar akses yang dimiliki, maka
kemampuan aktor untuk memainkan kekuasaannya akan semakin besar
pula. Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa akses adalah
kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu termasuk di
dalamnya melalui obyek material, orang-orang, kelembagaan dan simbol-
simbol. Perhatian utama teori akses mengenai “siapa” yang melakukan
34
(siapa yang tidak) untuk mendapatkan sesuatu, dengan cara seperti apa,
dan kapan dilakukan. “Menggunakan” dapat dilihat sebagai makna
menikmati beberapa macam keuntungan ataupun mendapatkan aliran
keuntungan (Hunt 1998; Ribot & Peluso 2003).
Pada sumber daya alam, akses berhubungan dengan rentang kekuasaan
yang menempel di dalamnya dan telah diuji melalui berbagai mekanisme,
proses serta relasi sosial yang kemudian mempengaruhi kemampuan
seseorang atau masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dari sumber
daya tersebut. Kekuasaan ini mengatur material, budaya dan aspek
ekonomi politik ke dalam “bundelan kekuasaan” dan “jaringan kekuasaan”
dalam menyusun akses terhadap sumber daya alam.
Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan ada 8 (delapan) jenis
mekanisme untuk mendapatkan akses, yaitu:
Teknologi: Merupakan faktor yang dapat mempertahankan seseorang
tetap mengendalikan sumber daya. Teknologi tersebut melambangkan
atau mengkomunikasikan makna pada akses yang terbatas. Banyak
sumber daya yang tidak dapat diekstraksi melalui penggunaan peralatan
atau teknologi, sedangkan teknologi maju manfaatnya hanya didapatkan
oleh orang-orang yang memiliki akses terhadapnya.
Capital: Merupakan faktor pembentuk yang secara jelas menggambarkan
siapa yang memperoleh manfaat dari sumberdaya melalui pengendalian
dan pengelolaan akses terhadap sumberdaya tersebut (Blaike 1985;
Shipton & Goheen 1992). Akses pada capital umumnya digambarkan
sebagai akses pada kekayaan dalam bentuk uang (finance) dan
perlengkapan (equipment) yang dapat diletakan pada jasa dari ekstraksi,
produksi, konversi, mobilisasi tenaga kerja, dan proses-proses lain yang
berhubungan dengan manfaat turunan dari sesuatu dan orang. Akses pada
capital dapat digunakan untuk mengendalikan (“control”) akses pada
sumber daya melalui pembelian hak. Akses ini juga dapat digunakan
untuk mengelola (“maintain”) akses pada sumber daya ketika harus
digunakan untuk membayar sewa, biaya-biaya pada akses formal, atau
35
(Foucault 1978). Beberapa hal yang terkait dengan akses ini yaitu:
keahlian, pendidikan, derajat, gelar.
Otoritas: Merupakan kemampuan individu untuk memanfaatkan
sumberdaya melalui hukum. Akses khusus yang dimiliki oleh individu
atau organisasi dengan otoritas untuk membuat dan menerapkan hukum
dapat menjadi kekuasaan yang sangat kuat bagi siapa saja untuk
memanfaatkan sumber daya. Mobilisasi akses semacam ini dapat
dilakukan melalui saluran legal, permohonan perijinan atau lobi pada
saluran-saluran resmi. Akses legal dan ilegal pada Negara dan otoritas
lainnya cenderung berhubungan dengan kepentingan ekonomi dan sosial.
(Ribot 1993; Ribot 1995). Misalnya uang dibutuhkan untuk biaya
komunikasi dengan agen dan pejabat Negara.
Identitas sosial: Akses ini mampu mempengaruhi distribusi manfaat dari
sesuatu. Biasanya akses ini dimediasi oleh identitas sosial atau
keanggotaan dari suatu komunitas tertentu termasuk di dalamnya
pengelompokan melalui umur, gender, etnis, agama, status, profesi, tempat
kelahiran, pendidikan yang sama atau atribut-atribut lain yang menegaskan
identitas sosialnya (Shipton & Goheen 1992; Berry 1989; Li 2000; Peluso
& Vandergeest 2001). Otoritas-otoritas yang tidak memiliki hubungan
dengan Negara, seperti pemimpin komunitas, pemimpin agama dan kepala
desa dapat mengendalikan sumberdaya dan mengalokasikan akses secara
selektif berdasarkan identitas yang dimilikinya.
Mekanisme akses berbasis identitas juga mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh mekanisme akses pada pasar dan tenaga kerja (Watts
1983; Ribot 1993). Orang-orang yang memiliki identitas tertentu mungkin
memiliki akses pada pasar yang berbeda bila dibandingkan dengan orang-
orang yang memiliki akses pada hutan.
Negosiasi melalui relasi sosial: pertemanan, kepercayaan, hubungan
relasi, patronase, ketergantungan dan kewajiban membentuk aspek
penting dalam jaringan akses. Seperti juga identitas sosial, relasi yang
terbentuk melalui akses ini merupakan aspek utama dari semua elemen
akses. Ketika akses pada sumber daya memiliki ketergantungan pada
38
7. Biaya Transaksi
Menurut Tita et al. (2011) petani penghasil produk hasil hutan bukan
kayu seringkali mengalami ketidakpuasan terhadap hasil penjualan produk
hasil hutan bukan kayu, baik yang diekstraksi langsung dari hutan maupun
yang dibudidayakan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakmampuan
petani untuk mengakses pasar sebagai bentuk kurangnya informasi yang
dimiliki oleh petani terhadap harga dan teknologi, kurangnya relasi untuk
berhubungan dengan aktor-aktor pasar, distorsi dan tidak adanya input dan
output pasar, terbatasnya kemampuan mengakses kredit perbankan,
tingginya biaya pemasaran dan transaksi yang berhubungan dengan
kegiatan petani serta rendahnya infrastruktur jalan. Untuk meningkatkan
aksesnya, bentuk pemasaran berkelompok produk hasil hutan bukan kayu
menawarkan kemungkinan bagi anggota kelompok untuk mendapatkan
akses pasar yang lebih baik dan mengurangi biaya transaksi melalui a)
40
Atribut transaksi
Aset spesifik
Ketidakpastian
Frekuensi
8. Obat Tradisional
Jamu merupakan obat tradisional yang mengandung bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (gelanik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Kementerian Kesehatan
2010). Sedangkan bahan baku jamu diperoleh dari tumbuhan obat yang
diambil dari daunnya, akar, maupun batangnya dan memiliki khasiat
sebagai obat serta digunakan sebagai bahan baku untuk pengobatan obat
modern atau tradisional (Nurrochmat & Hasan 2010). Nurrochmat dan
Hasan (2010) menyebutkan bahwa tumbuhan obat adalah seluruh spesies
tumbuhan yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat, yang
dikelompokan menjadi:
a. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui
atau dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah
digunakan sebagai bahan baku obat tradisional;
b. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah
telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat
obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis;
c. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan obat yang diduga
mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi
belum dibuktikan secara ilmiah/medis atau penggunaanya sebagai
bahan obat tradisional sulit ditelusuri.
Pedagang Industri RT
Keterangan:
Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3
Pelanggan
Global
Toko ritel
skala besar Ritel skala
kecil
retailers
Toko Ritel
skala besar
retailers
Batas negara
Pembeli dan
agen ekspor
Pabrik
Pelanggan
produksi
lokal
Tabel 4. Lanjutan
1.5. Pengumpulan data jaminan alam aktor Juli – Agustus
pemanfaat tumbuhan obat sebagai natural
insurance (Twigg, 2007 dan Sill. et al.
2011) berupa safety net dan stepping stone
(Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011;
Dzerefos et al, 2012)
3. Analisis Data dan Pembahasan September – Oktober
4. Seminar hasil penelitian Januari 2016
5. Jurnal nasional/internasional Januari-Februari
6. Ujian tertutup Maret - Mei
7. Ujian terbuka Mei - Juli
3. Tahapan Penelitian
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat sebagai bahan baku jamu ini memiliki beberapa tahapan penelitian. Manfaat
tahapan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai alur proses
pengerjaan kegiatan penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam
penelitian hingga selesainya kegiatan penelitian. Tahapan-tahapan penelitian
tersebut disajikan pada Gambar 8.
Mulai
Tumbuhan Jamu
Obat
Regresi
Matriks Interest Akses Pemanfaatan Tubuhan Obat
Berganda
Influenced
Biaya Manfaat
Dibandingkan Kesimpulan &
Saran
Biaya Transaksi
Pada setiap tahapan penelitian, jenis data yang dibutuhkan dan diambil dari lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 5.
61
4. Metode Penelitian
Penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat
sebagai bahan baku jamu ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Menurut Marsh dan Stoker (2011), metode kualitatif merupakan istilah generik
untuk menyebutkan berbagai teknik seperti observasi, observasi partisipan,
wawancara individu intensif, dan wawancara kelompok fokus, yang berusaha
memahami pengalaman dan praktek informan kunci untuk menempatkan mereka
secara tepat menurut konteks. Dalam ilmu politik, metode kualitatif digunakan
untuk mengumpulkan pengalaman subyektif seseorang, opini, keyakinan, nilai
62
dan seterusnya sehingga tidak dapat terlepas dari aspek epistemologisnya, yaitu
untuk memproduksi pengetahuan. Oleh sebab itu, metode kualitatif telah
diidentikkan dengan epistemologi interpretatif yang menekankan sifat dinamis,
terkonstruksi, dan bertumbuhnya realitas sosial. Dengan demikian, menurut
metode kualitatif, tidak ada satu pun ilmu obyektif yang mampu menegakkan
kebenaran universal atau bisa eksis secara independen dari keyakinan, nilai, dan
konsep yang diciptakan untuk memahami dunia. Kelemahan umum metode
kualitatif terletak pada keterwakilan dan keandalan (jumlah dan ukuran sampel),
kurang obyektif dan bias (relasi antara pewawancara dan terwawancara yang
erat), interpretasi, dan generalisabilitas (sulit melakukan generalisasi temuan)
(Nurrochmat et al. 2016; Marsh & Stoker 2011).
Untuk mengurangi kelemahan yang terdapat pada metode kualitatif, maka
pendekatan kuantitatif dalam analisis data penelitian ini juga dilakukan.
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat
sebagai bahan baku jamu ini menggabungkan dua pendekatan kualitatif dan
kuantitatif untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam
penelitian.
tumbuhan obat. Informasi tersebut diperoleh dari informan kunci (key informan)
seperti pejabat pemerintahan, peneliti, dunia usaha, petani, LSM,
konsumen/pasien dan melalui informasi yang tersedia dalam rekaman hasil rapat
atau dokumen-dokumen resmi tentang pemanfaatan tumbuhan obat. Metode yang
digunakan adalah melalui teknik analisis wawancara mendalam (indepth
interview). Menurut Marsh dan Stoker (2011), teknik wawancara mendalam
digunakan untuk mengeksplorasi nilai dan sikap responden sehingga sifatnya
berupa pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dipandu (pedoman wawancara
tertuntun). Pertanyaan terbuka digunakan agar responden dapat berbicara secara
bebas dan panjang lebar mengenai para pihak, motivasi dan persepsinya tentang
pemanfaatan tumbuhan obat. Motivasi dan persepsi diukur berdasarkan aspek
kepentingan manusia berdasarkan pada alasan dan hal yang dipikirkan dalam
pemanfaatan tumbuhan obat (Fibriani 2012; Lai 2011; Guay et al. 2010; Wang
2007). Jumlah responden yang digunakan umumnya sedikit. Data dikumpulkan
dalam bentuk rekaman transkrip data untuk dianalisis. Alat yang digunakan
adalah recorder. Kemudian informasi mengenai para pihak tersebut
dikategorikan berdasarkan kelompok/klaster yang digunakan, yaitu kluster
produksi, industri dan layanan kesehatan yang tertera dalam Tabel 6.
Hasil wawancara mendalam terhadap para pihak pengguna tumbuhan obat dapat
digunakan untuk mengidentifikasi aspek kepentingan dan pengaruh, disajikan
pada Tabel 7.
64
dimana para pihak diklasifikasikan berdasarkan: (1) kepentingan dan (2) pengaruh
mereka dalam memanfaatkan tumbuhan obat/jamu.
Nilai kepentingan para pihak ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Persepsi para pihak mengenai pemanfaatan tumbuhan obat/jamu
2. Kebutuhan para pihak dalam memanfaatkan tumbuhan obat/jamu
3. Motivasi para pihak untuk memanfaatkan tumbuhan obat/jamu
4. Bentuk dukungan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat/jamu
5. Keuntungan yang diharapkan oleh para pihak.
Besarnya nilai pengaruh dari para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat/jamu dinilai berdasarkan:
1. Tingkat partisipasi/keterlibatan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat/jamu
2. Peran dan kontribusi para pihak dalam pembuatan keputusan
3. Hubungan dengan para pihak lain
4. Dukungan SDM
5. Dukungan finansial
Data jawaban responden terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak
kemudian diberikan skor 1 sampai 5 (dengan ketentuan 1 = tidak, 2 = kurang, 3 =
cukup, 4 = baik dan 5 = sangat) yang disesuaikan dengan tipe pertanyaan yang
diajukan kepada responden. Kemudian, nilai rata-rata hasil jawaban tersebut
diterjemahkan ke dalam matrix resultante yang mengidentifikasikan para pihak ke
dalam empat kuadaran dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excell. Para
pihak yang akan dianalisis menggunakan metode ini adalah pihak-pihak yang
terdapat pada tiga klaster di lokasi penelitian, yaitu klaster produksi, klaster
industri dan klaster layanan kesehatan. Para pihak pada klaster produksi terdiri
atas pihak-pihak yang terdapat di TNMB yang melakukan kegiatan pemanfaatan
tumbuhan obat secara aktif serta kelompok petani yang terdapat di dalamnya. Para
pihak pada klaster industri adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan industri
tumbuhan obat baik berupa Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Kecil
Obat Tradisional, Koperasi Jamu, asosiasi jamu maupun lokasi penjualan jamu di
pasar Nguter dan Pasar Gede. Para pihak pada klaster layanan kesehatan terdiri
atas rumah sakit/klinik yang melakukan layanan kesehatan berbasis jamu,
66
TINGGI
RENDAH TINGGI
PENGARUH
Gambar 9. Posisi Para Pihak Berdasarkan Kepentingan dan Pengaruh
Sumber: Reed et al. (2009) dan Fibriani (2012)
(significant). Oleh sebab itu harus dikelola dan dimonitor (managed) dengan
baik.
4. Crowd merupakan kelompok yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang
rendah sehingga tidak perlu dipertimbangkan terlalu detil atau dilibatkan.
Meskipun demikian, kelompok yang masuk dalam kategori ini dapat
membangun aliansi kekuatan sehingga mengganggu hasil-hasil tertentu dalam
pemanfaatan tumbuhan obat. Contoh kasusnya adalah pencampuran jamu
dengan bahan kimia obat oleh industri kecil rumah tangga di Cilacap. Pelaku
yang sama pernah tertangkap dua kali dalam operasi Pangea.
ordinal, semakin tinggi teknologi yang digunakan maka semakin besar akses
para pihak untuk mengekstraksi sumberdaya, yaitu 1 = teknologi sederhana, 2
= teknologi menengah dan 3 = teknologi maju
2. Kapital: merupakan faktor pembentuk yang menggambarkan siapa yang
memperoleh manfaat terhadap sumberdaya melalui kekayaan yang
dimilikinya. Akses ini digunakan untuk mengendalikan sumberdaya melalui
pembelian hak seperti lahan, gedung dan perlengkapan untuk mengekstraksi
tumbuhan obat. Satuan yang digunakan unit.
3. Market: merupakan kemampuan para pihak untuk memperoleh manfaat,
mengendalikan dan mengelola pendapatannya dalam pertukaran relasi. Akses
para pihak terhadap market digambarkan melalui harga yang dinikmati oleh
para pihak atas tumbuhan obat yang dimanfaatkannya. Satuan yang
digunakan adalah Rp/unit.
4. Tenaga kerja: merupakan kemampuan para pihak untuk memanfaatkan
sumber daya tumbuhan obat melalui tenaga kerja yang digunakan. Akses ini
digambarkan melalui jumlah tenaga kerja yang diserap oleh para pihak untuk
bekerja dalam proses ekstraksi tumbuhan obat.
5. Pengetahuan: merupakan kemampuan para pihak dalam memperoleh
informasi terhadap sumber daya tumbuhan obat. Akses terhadap pengetahuan
digambarkan melalui jumlah jenis tumbuhan obat yang dikuasai oleh para
pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat dan digunakan dalam proses
produksinya setiap hari.
6. Otoritas: merupakan kemampuan para pihak untuk memperoleh manfaat dari
sumber daya melalui penggunaan posisi atau jabatan dalam organisasi atau
kelompok. Akses terhadap otoritas digambarkan melalui rasio kedudukan
para pihak yang satu terhadap para pihak yang lain.
7. Identitas sosial: merupakan kemampuan para pihak memperoleh manfaat
melalui pertemanan atau anggota sebuah komunitas. Akses terhadap identitas
sosial digambarkan melalui rasio suku bangsa para pihak yang satu terhadap
para pihak yang lain.
8. Negosiasi melalui relasi sosial: merupakan kemampuan para pihak untuk
memperoleh manfaat terhadap sumberdaya tumbuhan obat melalui negosiasi
69
Y = Xβ + ε
variabel akses yang terdiri atas teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja,
pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial. Akses-
akses tersebut terdiri atas dua variabel akses utama, yaitu variabel ekonomi dan
variabel sosial. Hipotesis terhadap akses yang digunakan para pihak dalam
pemanfaatan tumbuhan obat digambarkan sebagai berikut:
H0 : β1 = β2 = … = β8 = 0
H1 : ada i dimana βi ≠ 0
Keterangan:
H0 = bahwa tidak ada satu pun peubah akses yang mempengaruhi permintaan para
pihak terhadap tumbuhan obat
H1 = bahwa sekurang-kurangnya ada satu peubah akses yang mempengaruhi
permintaan para pihak terhadap tumbuhan obat
Kriteria uji penolakan terhadap hipotesis nol (H0) dilakukan apabila F-hitung >
Fα(p, (n-p-1) atau jika peluang nyata (p) lebih kecil dari nilai taraf nyata (α). Jika
hipotesis nol ditolak berarti dari p peubah bebas yang dilibatkan dalam model
regresi linier berganda tersebut diharapkan terdapat paling sedikit satu peubah
bebas yang berpengaruh langsung terhadap peubah tak bebas. Software yang
digunakan untuk melakukan analisis regresi linier berganda adalah SPSS 2.2
dengan metode regression dimana diharapkan dapat diketahui variabel bebas
mana yang berpengaruh langsung terhadap variabel tak bebasnya.
71
dengan ketentuan, apabila manfaat > 1, maka para pihak memperoleh keuntungan
hingga bersedia terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat, bila manfaat = 1
maka para pihak masih berada pada titik impas tetapi bersedia terlibat serta bila
manfaat < 1, maka para pihak rugi sehingga sama sekali tidak mau terlibat pada
kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat. Faktor diskonto tidak digunakan dalam
penelitian ini dan harga yang digunakan adalah harga riil pada saat penelitian
dilakukan.
Dalam penelitian ini biaya transaksi yang diteliti adalah biaya transaksi
yang sifatnya legal dan ilegal dimana biaya-biaya tersebut merefleksikan dua hal
yaitu biaya transaksi yang bersifat ad valorem dimana biaya transaksi timbul
karena kegiatan perdagangan dan tergantung pada volume barang dan jasa yang
diperdagangkan (Wang 2010; Crozet & Soubeyran 2004). Selain bersifat ad
valorem, biaya transaksi juga bersifat lump sum di mana nilai transaksi tersebut
bersifat tetap dan ditentukan berdasarkan waktu tertentu sehingga cenderung
bernilai tinggi (Barron & Karpoff 2002). Biaya transaksi tersebut dihitung di luar
dari biaya produksi dan biaya transportasi, sehingga rumus biaya transaksi ini
dimodifikasi dari Collins dan Fabozzi (1991), Wang (2010), Crozet dan
Soubeyran (2004) dan Barron dan Karpoff (2002) menjadi:
Biaya transaksi = Transaksi lump sump + Transaksi ad valorem
Transaksi Lump Sum = Transaksi yang terjadi untuk mempertahankan
hak atas aset yang memiliki resiko tinggi
= Biaya legal + biaya ilegal
73
I
NI =
A
QxPxF
I=
K
dimana,
NI = Asuransi Alam bagi pendarung/petani (Rp/KK/Ha)
I = Pendapatan yang diperoleh (Rp/KK)
A = Luas areal yang dicadangkan atau yang dapat dijelajahi selama setahun (ha)
Q = Jumlah jenis tumbuhan obat yang dapat dipanen (Unit)
P = Harga rata-rata jenis tumbuhan obat yang dipanen (Rp/Unit)
F = Frekuensi kunjungan selama satu tahun
K = Jumlah anggota keluarga (Orang)
74
INDUSTRI LESTARI
PIHAK PEMASOK
TN PEMANFAATAN
MERU LESTARI
BETIRI
PENGELOLAAN
HUTAN LESTARI
(PHL) LAYANAN PUBLIK
LESTARI
Gambar 10. Alur Pemetaan Para Pihak Pemanfaatan Tumbuhan Obat Klaster Produksi,
Industri dan Layanan Kesehatan
76
1. Hasil
1.1. Klaster Produksi
1.1.1. Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur
1.1.1.1. Identifikasi Para Pihak
Para pihak merupakan sekelompok orang baik yang tergabung dalam
organisasi atau diri sendiri tetapi memiliki kepentingan dan pengaruh dalam
memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).
Kepentingan dan pengaruh tersebut saling berinteraksi sehingga membentuk
semacam” kekuasaan” yang dapat menyingkirkan pihak lain. Berdasarkan data
penelitian yang diperoleh pada lokasi penelitian, yaitu Desa Andongrejo dan
Curahnongko sebagai klaster produksi di TNMB Jawa Timur, terdapat sepuluh pihak
yang memanfaatkan tumbuhan obat di sekitar taman nasional baik secara langsung
maupun tidak langsung. Para pihak tersebut terdiri atas: Balai Taman Nasional Meru
Betiri, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember, Kelompok Tani Hutan
yang bernama Jaket Resi (Jaringan Kelompok Tani Rehabilitasi), Pendarung,
Pengepul, TOGA Sumber Waras, Perkebunan Bandealit, Blandong, LSM KAIL dan
Borek Kayu.
1.1.1.1.1. Balai Taman Nasional Meru Betiri
Balai Taman Nasional (BTN) Meru Betiri memiliki kandungan spesies
tumbuhan obat terbesar di antara taman nasional di Indonesia yaitu sekitar 291
spesies. Dari jenis tersebut 81.7% telah diketahui berkhasiat obat dan aktif digunakan
oleh masyarakat di sekitar TNMB untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi.
BTN Meru Betiri berperan menjaga ketersediaan spesies tersebut di alam dengan
kegiatan konservasi dan pembangunan kapasitas masyarakat untuk mengurangi
tingkat kemiskinan yang terdapat di sekitar TNMB.
1.1.1.1.2. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember merupakan pihak
tingkat kabupaten yang memiliki kekuasaan sebagai pemangku wilayah hutan di luar
77
TNMB. Pihak ini sangat penting karena TNMB batas wilayah administrasinya
dibagi menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi.
Kegiatan budidaya tanaman obat yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Jember antara lain Jahe dan Kunyit. Kedua jenis tersebut
digunakan oleh pihak ini dalam rangka pemberdayaan ekonomi dan sosial petani di
sekitar kawasan hutan.
1.1.1.1.3. Jaket Resi
Pihak ini merupakan gabungan kelompok tani yang memanfaatkan lahan
rehabilitasi di TNMB. Jumlah petani yang terlibat dalam kelompok tersebut terdiri
atas 5450 KK petani yang terbagi ke dalam 112 kelompok tani dan tersebar di lima
desa yaitu Desa Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo, Wonoasri dan Curahtakir.
Luas lahan rehabilitasi yang dimanfaatkan oleh Jaket Resi sekitar 2250 hektar yang
ditanami dengan berbagai tanaman multi guna. Petani yang tergabung dalam Jaket
Resi sebagian besar merupakan binaan LSM KAIL tetapi di antara anggotanya juga
bebas berinteraksi dengan BTN Meru Betiri, misalkan menjadi mitra TNMB untuk
perlindungan dan pengawasan hutan. Sebagian besar lahan rehabilitasi ditanami
dengan jenis-jenis lokal yang berkhasiat obat, seperti Kedawung (Parkia timoriana),
Kunyit (Curcumae domesticae rhizoma), Temulawak (Curcuma xanthorrhiza),
Kunyit Putih (Curcuma alba) dan Cabe Jawa (Piper retrofractum).
1.1.1.1.4. Pendarung
Pendarung merupakan pihak yang memiliki keahlian khusus mengenali
tumbuh-tumbuhan hutan yang berkhasiat obat. Keahlian tersebut dimiliki sebagai
cara agar pendarung mampu memanfaatkan tumbuhan obat dari hutan. Pengetahuan
pendarung mengenai waktu musim berbuah masing-masing jenis tumbuhan obat
yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta laku dijual kepada pengepul dapat dirinci
untuk jangka waktu satu tahun. Oleh sebab itu, pendarung merupakan pihak yang
memanfaatkan tumbuhan obat secara langsung dari TNMB. Jenis-jenis tumbuhan
obat yang biasa dipanen oleh pendarung antara lain: Cabe Jawa (Piper retrofractum),
Kedawung (Parkia timoriana) Kemukus (Piper cubeba), Kapulaga, Joho Lawe (Vitex
78
1.1.1.1.8. Blandong
Blandong merupakan pihak yang bekerja memungut hasil kayu dari hutan.
Blandong dimasukan ke dalam pihak pemanfaat tumbuhan obat karena kegiatan
pencurian kayu bayur (Pterospermum javanicum) dan suren (Toona sureni)
berpotensi menghasilkan bahan baku obat di masa datang. Pemanfaatan spesies
tersebut saat ini belum sampai pada manfaat obatnya, tetapi baru pada kayunya saja,
karena adanya manfaat ganda pada spesies tersebut.
1.1.1.1.9. LSM KAIL
LSM KAIL merupakan pihak yang berkepentingan melakukan pembinaan
kelompok tani melalui kegiatan pembangunan kapasitas (capacity building). Salah
satu kegiatan utama yang dilakukan oleh LSM KAIL adalah merehabilitasi kawasan
hutan TNMB yang mengalami degradasi melalui penanaman tumbuhan obat hutan,
pengembangan jaringan petani, pelatihan-pelatihan, koperasi, pembangunan industri
jamu berbasis rumah tangga dan pemasaran hasil produksi petani ke luar daerah
seperti Banyuwangi dan Bali. Luas kawasan yang harus direhabilitasi saat ini sebesar
2.733.5 hektar. Peranan LSM KAIL di lapangan sangat besar karena ikut mendirikan
dan membina kelompok Tani Jaket Resi dan TOGA Sumber Waras di Desa
Andongrejo, Curahnongko dan Curahtakir. Keberadaan LSM KAIL di lokasi
penelitian sudah lebih dari 20 tahun.
1.1.1.1.10. Borek Kayu
Borek kayu merupakan pihak yang memanfaatkan peran blandong untuk
memanen spesies tumbuhan yang memiliki manfaat ganda dan berpotensi sebagai
bahan baku obat di masa depan, yaitu bayur dan suren, dari TNMB. Sebagian
masyarakat desa di lokasi penelitian mengetahui bahwa kegiatan seorang Borek kayu
adalah ilegal, tetapi aparat desa bersedia melindungi keberadaan Borek kayu di
desanya. Hal ini terjadi karena Borek kayu dapat berkontribusi meningkatkan
Pendapatan Asli Desa (PAD) melalui retribusi yang dibayarkan Borek kayu.
80
Tabel 9. Motivasi dan Persepsi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
No. Para Pihak Persepsi Motivasi
1. BTN Meru Betiri Kelangsungan keanekaragaman Tugas sesuai UU
hayati
2 Disbunhut Kabupaten Jember Kelangsungan manfaat Tugas sesuai UU
sumberdaya hutan
3 Jaket Resi Pendapatan cadangan jika Pendapatan keluarga
pendapatan utama menurun
4. Pendarung Pendapatan utama Pendapatan keluarga
5. Pengepul Pendapatan cadangan jika Pendapatan keluarga
pendapatan utama menurun
6. TOGA Sumber Waras Keanekaragaman hayati dan Pendapatan keluarga
nilai warisan dan tambahan peluang
ekonomi
7. Blandong Pendapatan dan kesejahteraan Pengikut
8. Perkebunan Bandealit Tingkat perhatian yang rendah Manfaat ekonomi dari
terhadap sumberdaya alam hutan perkebunan
9. LSM KAIL Kelangsungan sumberdaya alam Perlindungan dan
hutan kesejahteraan bagi
orang lain
10. Borek kayu Perdagangan kayu Manfaat ekonomi
Tabel 10. Nilai Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak dalam Pemanfaatan
Tumbuhan Obat
No. Para Pihak Skor Kepentingan Skor Pengaruh
1. BTN Meru Betiri 4.2 4.2
2 Disbunhut Kabupaten 3.0 2.8
Jember
3 Jaket Resi 4.0 3.2
4. Pendarung 4.4 3.0
5. Pengepul 5.0 3.8
6. TOGA Sumber Waras 4.2 3.6
7. Blandong 3.2 1.6
8. Perkebunan Bandealit 3.0 1.4
9. LSM KAIL 4.4 3.8
10. Borek kayu 3.0 1.8
K
6
E LEGENDA:
TINGGI BTN Meru Betiri
P
E 5 Disbunhut Jember
N Jaket Resi
T 4 Subject
Key players Pendarung
I
N 3 Pengepul
G TOGA Sumber Waras
A RENDAH TINGGI
2 Blandong
N
Crowd Context setter Kebun Bandealit
1 LSM Kail
RENDAH
Borek Kayu
0
0 1 2 3 4 5
Analisis kategorisasi; Akses: Teknologi (-), Kapital (-), Pasar (+); Biaya-Manfaat: 1 – 9.19; Biaya
Transaksi: Lump sum (ilegal); Natural insurance: Safety net & Stepping stone (rentan)
PENGARUH
Gambar 11. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak dalam
Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TNMB
Pada Gambar 11 posisi para pihak dibagi menjadi dua yaitu sebagai key players dan
sebagai subject.
Tabel 12. Hasil Analisis Regresi Berganda antara Permintaan Tumbuhan Obat
Terhadap Variabel Akses Ekonomi di TNMB
Model JK db RK F Sig
Regresi 34771441210.513 4 8692860302.628 454.067 0.002
Residual 38288881.432 2 19144440.716
Total 34809730091.945 6
Berdasarkan hasil uji F pada Tabel 13 diketahui bahwa α tabel lebih besar dari
pada α hitung sehingga hipotesis nol (H0) ditolak. Untuk mengetahui varibel akses
mana yang mempengaruhi permintaan terhadap tumbuhan obat di TNMB maka
dilakukan pengujian secara bertahap terhadap variabel tersebut menggunakan uji-t
pada tingkat α sebesar 0.025. Hasil uji bertahap terhadap variabel akses disajian pada
Tabel 14.
85
Tabel 14. Hasil Uji T-Student terhadap Permintaan Tumbuhan Obat di TNMB
Pada Tabel 14 terlihat bahwa akses terhadap teknologi, kapital dan pasar
memiliki tingkat α yang lebih kecil dibandingkan α tabel sehingga hipotesis nol (H0)
ditolak. Persoalan yang muncul kemudian adalah akses teknologi dan kapital
memiliki nilai negatif, hanya akses terhadap pasar yang memiliki nilai positif. Hal ini
berarti bahwa meskipun akses terhadap teknologi dan kapital berbeda nyata, tetapi
penambahan satu satuan akses tersebut justru menurunkan permintaan terhadap
tumbuhan obat di TNMB. Hal ini terjadi karena penggunaan teknologi maupun
kapital di TNMB sesungguhnya masih dipengaruhi oleh variabel yang lain.
Penggunaan alat-alat sederhana seperti pacul, arit, karung bahkan investasi para pihak
pada tumbuhan obat masih berupa pekerjaan sambilan. Pekerjaan utama para pihak
di TNMB terpusat pada pertanian. Variabel akses yang bernilai positif terletak pada
akses terhadap pasar dan tenaga kerja. Berdasarkan analisis regresi linier berganda,
maka model permintaan (Y) tumbuhan obat di TNMB yang dihubungkan dengan
variabel akses teknolgi (X1), kapital (X2), pasar (X3) dan tenaga kerja (X4) menjadi
pasien yang mengalami diagnosis penyakit yang sama belum tentu menggunakan
obat yang jenisnya sama dengan orang tersebut. Upaya penggunaan pengobatan
herbal umumnya menghadapi kendala berupa resistensi diantara pelayan medis yang
menggunakan pendekatan konvensional karena dianggap pendekatan herbal tidak
memberikan keuntungan yang memadai bagi rumah sakit. Tetapi dari sisi kebijakan
yayasan, pengobatan herbal dianggap sebagai inovasi karena juga sudah banyak
digunakan oleh negara-negara maju.
1.2.1.1.4. Yayasan Lakutama
Yayasan Lakutama merupakan sebuah yayasan yang juga melayani
penyembuhan penyakit menggunakan obat-obatan herbal. Teknik penyembuhan
yang digunakan berbasis pada pengalaman dan disesuaikan dengan informasi ilmiah
yang dimiliki oleh terapis. Yayasan ini melakukan kegiatan pelayanan kesehatan
dengan menggunakan biaya yang terjangkau oleh masyarakat sehingga obat-obatan
herbal yang diproduksi harus murah secara ekonomi. Pelayanan kesehatan dilakukan
tanpa membuat brosur dan umumnya lebih banyak diketahui dari mulut ke mulut oleh
pasiennya. Lokasi atau klinik tempat melakukan penyembuhan terletak di rumah
ketua yayasan yang sekaligus berfungsi sebagai pusat aktifitas Pencak Silat Inti
Ombak di Yogyakarta.
1.2.1.1.5. Jamu Gendong Lugu Murni
Jamu gendong merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan tradisional
yang sudah menyebar di seluruh Pulau Jawa. Jamu Gendong Lugu Murni dipilih
sebagai responden karena memiliki relasi yang sangat erat dengan pihak-pihak lain
yang terkait dengan layanan kesehatan berbasis herbal. Selain itu, cara dan teknik
penyajian produknya lebih mirip dengan klinik-klinik pengobatan oleh sinse
dibandingkan dengan penjual jamu gendong. Pihak ini menyebut diri sebagai jamu
gendong karena produk layanan kesehatan yang ditawarkan umumnya berupa
cairan/gelanik yang diproduksi dan disajikan pada hari pelayanan saja. Kegiatan
usaha yang dilakukan oleh pihak ini sudah dilakukan sejak tahun 1969 dan
merupakan usaha turun temurun.
89
tindakan apapun yang dilakukan tidak pernah terlepas dari peran Tuhan YME
termasuk pemberian obat-obatan. Responden yang diambil untuk diwawancarai
merupakan praktisi pengobatan tradisional dan “enggan” disebut sebagai paranormal
karena memiliki konotasi buruk, khususnya pengobatan menggunakan pendekatan
meditatif-intuitif karena dianggap berdekatan dengan gejala schzofrenia. Dalam
dunia metafisika, responden adalah ketua II asosiasi parapsikologi internasional yang
berbasis di Jerman.
1.2.1.1.13. Pelanggan Jamu
Pelanggan jamu merupakan pihak yang penting karena merupakan konsumen
akhir dari rantai pemanfaatan tumbuhan obat bagi layanan kesehatan. Pihak ini
umumnya merupakan kelas rumah tangga yang menggunakan produk jamu gendong
untuk merawat kesehatan. Dalam penelitian ini, responden yang diambil dari kelas
rumah tangga bekerja sebagai supir pribadi sebuah keluarga serta memiliki kebiasaan
menyanyi. Permasalahan yang dihadapi oleh responden ini adalah suara yang parau
dan kelelahan sehabis bekerja. Setelah responden rutin mengkonsumsi jamu gendong
secara rutin, keluhan suara yang parau dan kelelahan dirasakan berkurang sehingga
konsumsi jamu-jamuan terus dilakukan hingga sekarang.
1.2.1.1.14. Pasien Pengobat Tradisional
Pasien pengobat tradisional merupakan pihak yang penting karena
menggambarkan relasi antara terapis dan pasien serta obat-obatan tradisional yang
dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit pasien oleh terapis. Responden yang
diambil untuk diwawancarai sudah berobat selama kurang lebih tiga tahun kepada
seorang penyembuh tradisional terkenal di kota Yogyakarta. Profesi responen adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tinggal di daerah Kabupaten Bantul.
Perjumpaan responden dengan pengobat tradisional diawali dengan penyakit stroke
yang dideritanya, kemudian berobat secara konvensional. Besarnya biaya pengobatan
konvensional menjadi salah satu kendala dan pertimbangan responden untuk
mencoba pengobatan tradisional. Menurut kesan responden, pengobatan tradisional
yang diikutinya cukup membantu dirinya sehingga gejala penyakit darah tinggi yang
dideritanya tidak kambuh lagi.
92
rumah tangga yang meminta bantuan kepada penghayat kejawen terkait relasi asmara
antara puteranya dengan seorang wanita yang usianya lebih tua. Relasi ini tidak
disetujui oleh responden sehingga responden mencari solusi kepada pengobat
spiritual. Kepastian bahwa relasi tersebut tidak dapat berlanjut yang dikatakan
sebagai “bukan jodoh” anak dari pasien pengobat spiritual, ternyata mampu
memberikan rasa tenteram bagi pasien. Profesi pasien selain sebagai ibu rumah
tangga juga berprofesi sebagai penjual roti bakar. Wawancara dengan responden
dilakukan di rumah pengobat spiritual di daerah Klaten Jawa Tengah.
1.2.1.1.17. Community Development (CD) Bethesda
CD Bethesda merupakan salah satu unit Rumah Sakit Bethesda yang didirikan
pada tahun 1974. Tujuan utamanya adalah bekerja di luar rumah sakit dalam rangka
mewujudkan rumah sakit tanpa dinding (hospital without walls) dengan fokus utama
pada layanan kesehatan primer untuk masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Masyarakat tersebut dilatih untuk memahami potensi/gejala penyakitnya sendiri dan
diberi pelatihan untuk menyembuhkannya. Kelompok masyarakat ini kemudian
menjadi masyarakat dampingan CD Bethesda yang disebut sebagai Organisasi
Rakyat. Meskipun CD Bethesda merupakan salah satu unit dari Rumah Sakit
Bethesda, namun dalam prakteknya lebih banyak menggunakan konsepsi Lembaga
Swadaya Masyarakat. Organisasi Rakyat (ORA) merupakan mitra dampingan yang
tersebar mulai dari Yogyakarta (Kulonprogo, Gunungkidul, Bantul, Kota Yogya),
Jawa Tengah (Pati, Grobogan, Demak, Kudus, Jepara, Rembang), NTB (Lombok),
NTT (Sumba Barat, Sumba Timur, Alor, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah
Utara, Sikka), Papua (Jayawijaya, Puncak Jaya), Aceh dan Timor Leste. Salah satu
bentuk pelatihan yang diberikan oleh CD Bethesda kepada ORA adalah pemanfaatan
tumbuhan obat lokal baik digunakan sendiri maupun untuk diperjualbelikan apabila
ada permintaan dari luar ORA (Nodi & Farchan 2006).
1.2.1.1.18. Dinas Kesehatan DIY
Dinas Kesehatan Propinsi DIY merupakan pihak yang memberikan layanan
kesehatan dan bertanggungjawab atas tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan bagi
masyarakat di Propinsi DIY. Berdasarkan profil kesehatan di DIY (2013), jumlah
94
puskesmas yang melayani kesehatan primer di Propinsi DIY terdiri atas 121 unit yang
tersebar hingga di seluruh kecamatan. Puskesmas-puskesmas tersebut juga
dikembangkan menjadi puskesmas pembantu yang melayani hingga desa-desa.
Sebanyak 42 puskesmas di DIY juga sudah dikembangkan menjadi puskesmas yang
menyediakan fasilitas rawat inap. Jumlah total rumah sakit di DIY sebanyak 66 unit
yang terdiri atas rumah sakit umum milik pemerintah sebanyak 8 unit, TNI/Polri
sebanyak 3 unit dan rumah sakit swasta sebanyak 32 unit. Fasilitas lain yang
berhubungan dengan layanan kesehatan antara lain apotik sebanyak 464 unit, toko
obat sebanyak 51 unit dan gudang farmasi sebanyak 6 unit. Berdasarkan informasi
tersebut, terlihat bahwa Dinas Kesehatan DIY memiliki tanggungjawab yang sangat
besar untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat DIY baik pada tingkat
primer, sekunder maupun tersier.
1.2.1.1.19. Klinik Radiastesi Medis Romo Lukman
Klinik Radiastesi Medik Romo Lukman merupakan salah satu pihak yang
bergerak pada layanan kesehatan berbasis herbal tetapi menggunakan alat diagnosa
berupa gelombang magnetik yang terdapat pada diri pasien dan bahan baku obat-
obatan herbal yang sesuai dengan pasienya. Pihak ini memiliki hubungan dekat
dengan pengobatan herbal yang dilakukan oleh Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
Pusat kegiatan pihak ini terdapat di Purworejo dan Tajur Kabupaten Bogor.
Tabel 16. Motivasi dan Persepsi Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan
No. Para Pihak Persepsi Motivasi
1. Pengobat Spiritual Obat herbal penting sebagai warisan Menolong orang lain yang
budaya membutuhkan
2 RSUP Dr. Sardjito Layanan obat herbal sebagai Saintifikasi jamu
pelengkap pada layanan kesehatan
konvensional
3 RS Panti Rapih Peluang pengembangan alternatif Inovasi pelayanan
pengobatan non konvensional kesehatan berbasis herbal
4. Yayasan Lakutama Tumbuhan obat merupakan warisan Menolong sesama yang
leluhur yang perlu dilestarikan membutuhkan layanan
kesehatan murah
5. JG Lugu Murni Memberi manfaat bagi pendapatan Pelestarian warisan
keluarga keluarga
6. PTPJT Dr. Sardjito Peluang usaha dan layanan Pelestarian warisan riset
masyarakat pada bidang kesehatan Dr. Sardjito
7. Pusdok Herbal FK UGM Peluang pengembangan obat baru Riset dan pengembangan
obat herbal
8. GP Jamu Peluang ekonomi Pemanfaatan warisan
nenek moyang
9. SP3T Yogyakarta Layanan kesehatan yang dekat Show window
dengan pasien
10. POM Yogyakarta Perlindungan kepentingan Menjamin tidak adanya
masyarakat bahan kimia obat dalam
obat herbal
11. Pengobat Tradisional Warisan budaya yang bermanfaat Teknologi tepat guna untuk
layanan kesehatan herbal
12. Pelanggan Jamu Jamu bermanfaat untuk menjaga Murah dan aman
kesehatan
13. Pasien Pengobat Tradisional Alternatif pengobatan penyakit Murah dan aman
14. Poliklinik Gondomanan Layanan kesehatan komplementer Salah satu pelaksanaan
pada tingkat primer program layanan kesehatan
masyarakat
15. PB IDI Yogyakarta Belum memiliki evident base yang Advokasi profesi dokter
cukup bagi layanan kesehatan
16. Pasien Pengobat Spiritual Mencari nasehat dari orang yang Mencari
dituakan kesembuhan/pemecahan
permasalahan keluarga
17. CD Bethesda Layanan kesehatan primer pada Rumah sakit tanpa dinding
masyarakat desa
18. Dinas Kesehatan Yogyakarta Pengampu layanan kesehatan herbal Pelaksanaan tupoksi
19. Klinik Radiastesi Medik Romo Layanan kesehatan milik semua Pelayanan sosial Gereja
orang
Lukman
96
Tabel 17. Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak
No. Para Pihak Skor Kepentingan Skor Pengaruh
1. Pengobat Spiritual 2.4 2.4
2 RSUP Dr. Sardjito 3.6 4.2
3 RS Panti Rapih 4 3.4
4. Yayasan Lakutama 3 1.8
5. JG Lugu Murni 3.8 3.8
6. PTPJT Dr. Sardjito 4 3.8
7. Pusdok Herbal FK UGM 4.2 4
8. GP Jamu 2.8 1.2
9. SP3T Yogyakarta 4 4
10. POM Yogyakarta 3.8 4.2
11. Pengobat Tradisional 4.6 4.8
12. Pelanggan Jamu 3.6 3.8
13. Pasien Pengobat Tradisional 4.2 1.4
14. Poliklinik Gondomanan 3.6 4.2
15. PB IDI Wilayah Yogyakarta 3.6 2.2
16. Pasien Pengobat Spiritual 2.2 1
17. CD Bethesda 3.6 3.6
18. Dinas Kesehatan Yogyakarta 2.4 2.8
19. Klinik Radiastesi Medik Romo 4.8 4.8
Lukman
KEPENTINGAN
LEGENDA:
6 Pengobat Spiritual
RSUP Dr. Sardjito
TINGGI RS Panti Rapih
5 PSM Lakutama
Subject Key player JG Lugu Murni
PT PJT Dr Sardjito
4 Pusdok Herbal UGM
GP Jamu Yogyakarta
SP3T Yogyakarta
3 Babes POM Yogyakarta
Pengobat Tradisional
RENDAH TINGGI Pelangan Jamu Gendong
2 Context setter Pasien Pengobat Tradisional
Crowd
Poliklinik Gondomanan
PB IDI Yogyakarta
1 Pasien Pengobat Spiritual
CD Bethesda
RENDAH Dinas Kesehatan DIY
0 Klinik Rm Lukman
0 1 2 3 4 5 6
Analisis kategorisasi; Akses: Pasar (+); Biaya-Manfaat: 1 – 16.67; Biaya Transaksi: Ad valorem &
Lump sum (legal); Natural insurance: Safety net (rentan)
PENGARUH
Gambar 12. Pemetaan Posisi Kepentingan - Pengaruh Para Pihak pada Klaster Layanan
Kesehatan
dominan dikuasai oleh para pihak pada klaster layanan kesehatan. Jumlah para pihak
yang diikutkan dalam analisis ini sebanyak 17 lembaga yang terdiri atas lembaga
pemerintah, asosiasi, rumah sakit, LSM, penyembuh tradisional, rumah tangga,
penjual jamu gendong dan pelanggan dari masing-masing pelayan kesehatan. Pihak
Dinas Kesehatan Propinsi DIY tidak diikutkan dalam analisis karena belum
memberikan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data variabel akses yang
diuji disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18. Data Variabel Akses Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan
No. Para Pihak X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Yi
1. Pengobat 1 50 0,00 1 2 0,60 1,00 1,0 1.980
Spiritual
2. RSUP Dr 3 200 25,50 35 30 0,80 0,06 4,0 51
Sardjito
3. RS Panti 1 12 18,75 1 50 0,30 1,00 10 750
Rapih
4. PSM 1 6 96,00 4 4 0,60 1,00 5,5 1.620
Lakutama
5. Lugu Murni 1 50 314,63 3 20 0,40 0,99 1,0 300
6. PT PJT Dr 3 1.005 6.318,00 38 3 0,80 1,00 3,0 26.000
Sardjito
7. Pusdok Herbal 1 0 0,00 17 13 0,78 1,00 1,0 0
FK UGM
8. GP Jamu 1 400 90,00 18 40 0,75 0,86 6,0 25
Yogya
9. SP3T 3 0 35,00 15 85 0,90 0,92 1,0 7.000
Yogyakarta
10. BPOM 3 1.500 1.600,00 32 7 0,70 1,00 10,0 18
Yogyakarta
11. Pengobat 3 1.200 151.200,00 46 2.000 1,00 1,00 1,0 90.000
Tradisional
12. Pelanggan 1 0 0,00 2 2 0,30 0,40 1,0 2
Jamu
13. Pasien Batra 1 1.000 0,00 1 1 0,30 1,00 1,0 7
14. Poliklinik 1 30 33.756,00 36 27 0,60 1,00 1,0 1.312
Gondomanan
15. IDI 1 200 0,00 23 0 0,60 1,00 2,0 3
Yogyakarta
16. Pasien 1 0 0,00 2 2 0,20 1,00 1,0 1
Pengobat
Spiritual
17. CD Bethesda 1 45 43.272,00 5 22 0,80 1,00 1,0 696
18. Klinik 1 5.000 600,00 18 107 0,50 0,94 1,0 4104
Radiastesi
Klinik Rm.
Lukman
Berdasarkan hasil analisis regresi berganda terhadap variabel akses para pihak
pada klaster Layanan Kesehatan diperoleh hasil bahwa variabel terikat layanan
99
kesehatan memiliki korelasi yang positif pada akses para pihak atas market dan
pengetahuan. Korelasi Pearson menunjukan nilai hubungan antara layanan kesehatan
dengan akses terhadap market dan pengetahuan berturut-turut sebesar 0.969 dan
0.957. Hasil korelasi Pearson disajikan pada Tabel 19.
Tabel 19. Hasil Korelasi Pearson terhadap Akses pada Layanan Kesehatan
Korelasi Layanan Teko K M TK P O I N
Pearson
Pasien
Layanan Pasien 1.000 .510 .171 .969 .567 .957 .462 .138 -.134
Teknologi .510 1.000 .099 .412 .699 .398 .633 -.258 .366
Kapital .171 .099 1.000 .135 .244 .161 .064 .105 .074
Market .969 .412 .135 1.000 .501 .997 .409 .106 -.126
Tenaga Kerja .567 .699 .244 .501 1.000 .487 .717 -.133 .301
Pengetahuan .957 .398 .161 .997 .487 1.000 .413 .098 -.146
Otoritas .462 .633 .064 .409 .717 .413 1.000 -.076 .284
Identitas Sosial .138 -.258 .105 .106 -.133 .098 -.076 1.000 -.095
Negosiasi -.134 .366 .074 -.126 .301 -.146 .284 -.095 1.000
Dari hasil ANOVA terlihat bahwa Uji F menunjukan nilai signifikan sebesar
60.408 sehingga hipotesis H1 diterima, artinya sekurang-kurangnya terdapat satu
variabel akses yang mempengaruhi layanan kesehatan herbal. Untuk mengetahui
variabel akses tertentu yang mempengaruhi layanan kesehatan maka dilakukan uji
secara parsial menggunakan uji t pada tingkat α sebesar 0.05. Hasil uji parsial t-
student disajikan pada Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Uji Parsial Terhadap Variabel Akses di Klaster Layanan Kesehatan
Berdasarkan hasil pada Tabel 21 diperoleh informasi bahwa variabel akses terhadap
pasar merupakan variabel yang mempengaruhi permintaan pasien terhadap obat
herbal pada klaster layanan kesehatan. Tetapi pada variabel akses pengetahuan
menunjukan nilai negatif artinya penambahan pengetahuan terapis terhadap jumlah
jenis tumbuhan obat yang digunakan belum mempengaruhi permintaan pasien
terhadap layanan kesehatan berbasis herbal. Nilai positif pada teknologi dan market
justru dapat meningkatkan kepercayaan pasien terhadap layanan kesehatan karena
semakin aman sehingga meningkatkan permintaan pasien terhadap layanan berbasis
herbal. Tetapi nilai negatif pada negosiasi melalui relasi sosial menunjukan bahwa
layanan kesehatan berbasis herbal masih menemukan beberapa kendala seperti
adanya ketidakpercayaan pada para terapis terhadap metode penyembuhan
komplementer berbasis herbal, dianggap tidak ilmiah dan obyektif dibandingkan
101
penjualan, koperasi dan pemberian pinjaman tanpa bunga bagi karyawan, kader
fasilitator kesehatan, pembuatan jamu untuk hewan, jamkesda, pendapatan dari
pension dan buah tangan dari pasien yang dilayani kesehatannya. Data biaya
manfaat, biaya transaksi dan natural insurance disajian pada Tabel 22.
Tabel 22. Data Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance
Para Pihak Biaya Biaya Transaksi (Rp x 1000) Natural Insurance (Rp x
Manfaat 1000)
(Rp)
Ad valorem Lump Safety net Stepping
sum stone
Pengobat Spiritual 1,00 23.760 - Tidak ada Tidak ada
RSUP Dr. Sardjito 1,00 25.500 - Tidak ada Tidak ada
RS Panti Rapih 1,67 18.750 - Tidak ada Tidak ada
Yayasan Lakutama 3,33 - 200 60 Tidak ada
JG Lugu Murni 2,00 3.000 - 3.000 Tidak ada
PTPJT Dr. Sardjito 2,16 63.180 157.950 132.950 Tidak ada
Pusdok Herbal FK UGM 1,00 - - - 26.000
GP Jamu Yogya 1,36 2.700 - 54.000 Tidak ada
SP3T Yogyakarta 1,00 100.000 - Tidak ada Tidak ada
POM Yogyakarta 1,00 2.800 - Tidak ada 60.000
Pengobat Tradisional 1,11 179.200 - Tidak ada 6.000
Pelanggan Jamu 1,00 960 - Tidak ada Tidak ada
Pasien Pengobat Tradisional 16,67 - - Tidak ada Tidak ada
Poliklinik Gondomanan 1,00 6.560 - 6.560 Tidak ada
PB IDI Yogyakarta 1,00 - 95.000 Tidak ada Tidak ada
Pasien Pengobat Tradisional 1,00 - - Tidak ada Tidak ada
CD Bethesda 1,30 - 2.880 Tidak ada Tidak ada
Dinas Kesehatan Yogya ND ND ND Tidak ada Tidak ada
Klinik Radiastesi Medik 1,70 - 30.000 Tidak ada Tidak ada
rumah tangga, industri menengah maupun industri jamu besar yang menopang
ekonomi lokal serta bersifat padat karya. Selain penting, industri jamu yang terdapat
di Kabupaten Sukoharjo juga memiliki sejumlah kelemahan yaitu persaingan etiket
jamu serta paten merek yang menyebabkan terjadinya persaingan antar produsen
yang sebagian besar menjual produknya di Pasar Nguter Sukoharjo. Permasalahan
lain yang juga menghadang para industriawan/wati jamu di Pasar Nguter adalah
mayoritas produk jamu yang diperjualbelikan belum memiliki ijin, di samping
kendala sumber daya manusia yang umumnya berpendidikan Sekolah Dasar (SD).
Persaingan antara para pelaku industri jamu di Pasar Nguter ditentukan oleh
seberapa besar kepentingan, pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-
masing pelaku terhadap industri yang dimilikinya. Menurut informasi yang diperoleh
dari salah satu pihak di Pasar Nguter disebutkan bahwa peranan Koperasi Jamu
Indonesia (KOJAI) dalam mengendalikan persaingan di antara para pelaku industri
jamu cukup besar. Relasi yang dimiliki oleh KOJAI yang berskala nasional
menentukan kewibawaannya terhadap pihak lain di Pasar Nguter.
Dalam siaran pers Kementerian Perindustrian pada Gelar Pameran Industri
Kosmetik dan Jamu tahun 2014 disebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap
oleh industri jamu sebesar 15 juta orang dimana 3 juta orang terserap di industri jamu
yang berfungsi sebagai obat dan 12 juta orang lainnya terserap ke industri jamu yang
telah berkembang ke arah makanan, minuman, kosmetik, spa dan aroma terapi. Data
tersebut menunjukan bahwa industri jamu di Pulau Jawa memiliki peranan penting
sebagai penyedia lapangan kerja dan bersifat padat karya.
1.3.1.1. Identifikasi Para Pihak
1.3.1.1.1. UD Bisma Sehat
UD Bisma Sehat merupakan salah satu produsen jamu di Kabupaten
Sukoharjo dengan target pasar mulai dari Pasar Nguter, Wonogiri dan Karanganyar.
Secara umum, UD Bisma Sehat mampu menyerap 30 orang karyawan yang terdiri
atas tenaga tetap dan tenaga lepas di mana omzet total yang dihasilkan oleh
perusahaan ini sekitar Rp 250 juta per bulan. Selain itu, perusahaan ini juga
merupakan anggota dari Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) dan merupakan salah satu
104
pioneer yang sedang dibina oleh KOJAI sebagai contoh keberhasilan pembinaan
Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Keberhasilan dalam pembinaan dan
pengembangan UD Bisma Sehat diharapkan dapat mendorong dan mengairahkan
semangat industri jamu kecil lain yang terdapat di sekitar Pasar Nguter untuk
memproduksi jamu tradisional. Produk-produk jamu yang dihasilkan oleh UD Bisma
Sehat umumnya terdiri atas jamu sachet-an dan jamu instan yang digunakan sebagai
minuman kesehatan.
1.3.1.1.2. Kios Jamu Modern
Kios Jamu Modern merupakan usaha pemasaran jamu dengan menggunakan
pendekatan budaya minum jamu dengan sasaran kaum muda. Pendekatan yang
digunakan dalam memperkenalkan jamu berbasis pada bahasa yang dikenal oleh anak
muda jaman sekarang dalam bentuk café jamu. Upaya-upaya untuk memperkenalkan
jamu dikemas sedemikian rupa sehingga jamu dapat disukai oleh konsumen
mancanegara, oleh sebab itu peran media seperti koran Kompas juga amat membantu
menciptakan citra yang baik bagi industri jamu. Secara umum, sebagian besar
produk yang dimiliki oleh pihak ini tidak diproduksi sendiri, melainkan membeli dari
produsen lain yang telah dipastikan faktor keamanan dan kebersihannya dengan baik.
Produk-produk tersebut kemudian dibuat dan ditambahkan bahan-bahan lain yang
sesuai dengan standar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) serta dikemas
secara berbeda.
1.3.1.1.3. Koran Kompas
Koran kompas merupakan salah satu pihak yang aktif meliput kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan industri jamu. Alasan yang dikemukakan oleh
pihak ini bahwa Kompas dapat mendorong bertumbuhnya industri-industri kecil baru
melalui pemberitaan sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan baru di Indonesia.
Selain itu, industri-industri jamu yang terdapat di Indonesia bersifat padat karya dan
mampu menyediakan 15 juta lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya.
Pemberitaan-pemberitaan tentang industri kecil jamu tidak terlepas dari visi Kompas
yang berpihak pada pemerdekaan rakyat kecil baik dari sudut ekonomi, sosial
maupun politik.
105
penting karena sebagian besar industri jamu terdapat di propinsi Jawa Tengah
sehingga melalui keberadaan GP Jamu Jateng penyebaran informasi yang berasal dari
pemerintah seperti kebijakan, pembinaan, lokakarya dan pelatihan-pelatihan dapat
segera diketahui oleh pengusaha jamu yang tergabung dalam GP Jamu Jateng.
GP Jamu Jateng memiliki jumlah anggota sekitar 98 industri dari total 293
perusahaan jamu yang terdiri atas Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha
Mikro Obat Tradisional (UMOT) dan Industri Obat Tradisional (IOT). Dari
keanggotaan GP Jamu Jateng tersebut hanya 50 persennya saja yang aktif dan
bersedia berkontribusi pada kebutuhan operasional organisasi, sehingga karena hal
itu, GP Jamu Jateng memiliki kebijakan untuk memberikan informasi terlebih dahulu
kepada anggota-anggota yang aktif mengenai kebijakan-kebijakan baru dari
pemerintah. Prinsip yang dianut oleh GP Jamu Jateng dalam mengorganisir kegiatan
industri jamu di Jawa Tengah menggunakan pendekatan Akademik, Bisnis dan
Pemerintah (ABP).
Terkait dengan ketersediaan bahan baku tumbuhan obat industri, menurut GP
Jamu Jateng tidak semua bahan baku jamu dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga
dibutuhkan impor dari luar negeri. Selain itu, kebutuhan bahan baku industri jamu
juga dipenuhi dari hutan alam sebesar 20 persen dan merupakan jenis-jenis yang tidak
dibudidayakan oleh petani, misalnya pulosari, pakem dan kedawung. Tetapi menurut
informasi yang diperoleh dari salah satu pedagang di Pasar Nguter, terdapat sekitar 30
persen bahan baku jamu berupa simplisia diambil dari hutan dan bukan produk
budidaya. Misalnya: Pulosari, kedawung, Kayu angin, Pasak bumi, Joho lawe,
Sintok, Sirih dan Kluwek
1.3.1.1.7. Apoteker
Apoteker merupakan tenaga terdidik dalam bidang farmasi yang ditugaskan
untuk mengawasi dan mengembangkan kualitas bahan baku jamu pada sektor industri
jamu. Singkatnya, seorang apoteker pada industri jamu bertugas menetapkan kendali
mutu (quality control) atas produk yang dihasilkan oleh industri jamu mulai dari
bahan baku hingga produk akhir yang siap dilepas kepada konsumen. Bahan baku
jamu yang akan diproses harus dipastikan bebas dari materi mikro, jamur, dan mikro
107
organisme lainnya. Oleh sebab itu, apoteker memiliki peran yang penting bagi
kelangsungan proses produksi industri jamu.
Permasalahan yang dihadapi oleh apoteker adalah resep jamu yang dimiliki
oleh industri merupakan resep turun temurun yang juga dikuasai oleh pemilik industri
tersebut. Akibatnya, apoteker merasa bahwa ilmu farmasi yang dikuasainya belum
mampu mempengaruhi proses pengolahan bahan baku jamu seperti yang diharapkan
oleh pemilik industri jamu. Apoteker hanya menjadi “karyawan” dan bertugas untuk
menyelesaikan proses perijinan produk jamu yang kurang mengedepankan keahlian
akademiknya. Kebutuhan akan lapangan pekerjaan yang memiliki waktu luang
cukup luas juga menjadi salah satu alasan dari para apoteker yang bekerja di pabrik
jamu karena umumnya mereka merangkap juga sebagai ibu rumah tangga. Waktu
luang yang cukup luas juga dimanfaatkan oleh apoteker untuk meningkatkan
kecakapan melalui studi pascasarjana.
1.3.1.1.8. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jawa Tengah
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jawa Tengah berpusat di
kota Semarang dengan jangkauan pengawasan di seluruh propinsi Jawa Tengah.
Seperti diketahui sebelumnya bahwa industri jamu terbesar di Pulau Jawa terletak di
Jawa Tengah, sehingga keberadaan institusi ini untuk melakukan pengawasan
terhadap kinerja industri jamu di Jawa Tengah sangat penting. Salah satu tugas yang
diemban oleh institusi ini adalah mengawasi pencampuran Bahan Kimia Obat (BKO)
ke dalam bahan baku jamu yang marak dilakukan oleh UKM jamu khususnya yang
terdapat di Cilacap Jawa Tengah. Kegiatan kerjasama antar instansi untuk
mengendalikan beredarnya BKO juga sudah dilakukan, yaitu menjalin MoU dengan
Bupati Sukoharjo untuk pengendalian BKO dan membentuk satuan tugas
pemberantasan peredaran jamu ilegal dengan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah.
Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pada industri
jamu juga dilakukan dengan cara mentransfer pengetahuan tentang Good
Manufacturing Processing (GMP) ke dalam industri jamu. Upaya pengenalan GMP
ke dalam industri jam oleh POM Jawa Tengah adalah agar industri jamu dapat
menghasilkan formula jamu atau obat tradisional yang setara dengan obat modern.
108
1.3.1.1.9. Gujati 59
Gujati 59 merupakan salah satu industri kecil jamu terbesar di Kabupaten
Sukoharjo. Semula industri ini berasal dari Jakarta kemudian beralih kepemilikan
lalu dipindahkan ke Kabupaten Sukoharjo agar dekat dengan sumber bahan baku
industri. Gujati 59 juga merupakan salah satu anggota Koperasi Jamu Indonesia,
tetapi fokus utama Gujati 59 terletak pada skala propinsi hingga nasional. Kebutuhan
bahan baku Gujati 59 selain dari produk pertanian lokal juga ada yang dipenuhi dari
sektor impor seperti Ginseng yang berasal dari Korea. Jumlah karyawan yang
bekerja di Gujati 59 hampir sekitar 250 orang. Industri ini terletak di desa Nguter
Kabupaten Sukoharjo dan menjadi salah satu tulang punggung ekonomi di desa
tersebut karena mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar. Produk
utama Gujati 59 adalah produk jamu seduhan yang berbasis pangan dan minuman.
1.3.1.1.10. PT. Javaplant
PT Javaplant merupakan salah satu pihak dari industri jamu besar. Kegiatan
utama PT Javaplant adalah memproduksi bahan baku setengah jadi menggunakan
teknologi pemrosesan dengan standar internasional. Sekitar 90 persen bahan baku
industrinya diekspor ke Amerika Serikat dan Jepang, hanya sekitar 10 persen saja
produknya yang dijual ke pasar dalam negeri. Selain itu, PT Javaplant juga menjadi
salah satu pelaku industri jamu besar yang memulai mengenalkan proses produksi
jamu yang aman dan dapat dilihat oleh semua orang. Kerahasiaan usaha yang kerap
diterapkan oleh industri jamu tradisional sudah ditinggalkan oleh PT Javaplant. PT
Javaplant lebih banyak menerapkan inovasi-inovasi dalam mengembangkan produk-
produknya seperti ekstrak vitamin E sebagai salah satu bahan baku jamu untuk
kosmetika.
1.3.1.1.11. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Sukoharjo
merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas industri
kecil jamu di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan peraturan yang berlaku. Kelompok-
kelompok binaan seperti penjual jamu gendong merupakan fokus perhatian dari pihak
109
ini. Dukungan dari sisi kebijakan kepada penjual jamu gendong berupa fasilitasi
untuk mengikuti pameran-pameran pada tingkat propinsi hingga nasional.
Tabel 24. Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak pada Klaster
Industri
Sesuai dengan data yang terdapat pada Tabel 24, analisis kategorisasi
dilakukan terhadap para pihak untuk mengetahui posisi masing-masing pihak sebagai
key players, subjects, context setter dan crowd. Hasil analisis kategorisasi para pihak
disajikan pada Gambar 13.
6
KEPENTINGAN
LEGENDA:
TINGGI
UD Bisma Sehat
5
Kios Jamu Modern
Harian Kompas
4 Biofarmaka IPB
Subject Key players KOJAI
3 Apoteker I
Apoteker II
RENDAH TINGGI GP Jamu Jateng
2
POM Semarang
Crowd Context setter
Gujati 59
1
PT Javaplant
Disperindag Sukoharjo
0
RENDAH
0 1 2 3 4 5 6
Analisis kategorisasi; Akses: Pasar (+); Biaya-Manfaat: 0.8 – 10.91; Biaya Transaksi: Ad valorem &
Lump sum (legal); Natural insurance: Stepping stone (rentan)
PENGARUH
Gambar 13. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak pada
Klaster Industri
oleh pihak industri, maka pengamatan terhadap akses teknologi, kapital, market,
tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan negosiasi melalui relasi sosial
dilakukan. Akses-akses tersebut dihubungkan dengan jumlah permintaan yang
dimiliki oleh industri jamu atas produk-produk yang dihasilkannya selama satu tahun
(Ribot & Peluso 2003). Data akses klaster industri disajikan pada Tabel 25.
Hasil analisis regresi linier berganda pada variabel akses terhadap permintaan
konsumen atas produk-produk yang dihasilkan oleh para pihak klaster industri yang
ditunjukan oleh korelasi Pearson menghasilkan nilai sebesar 0.930 dan 0.902 untuk
kapital dan market. Hasil analisis korelasi Pearson disajikan pada Tabel 26.
113
Tabel 26. Hasil Korelasi Pearson atas Data Akses Klaster Industri Jamu
D Tekno K M TK P O I N
Korelasi D 1.000 .528 .930 .902 .134 -.124 -.220 -.065 -.207
Pearson Tekno .528 1.000 .607 .530 .194 .513 .073 .027 -.223
K .930 .607 1.000 .985 -.010 .003 -.084 -.177 -.229
M .902 .530 .985 1.000 -.015 -.125 -.087 -.254 -.222
TK .134 .194 -.010 -.015 1.000 .078 .162 .016 -.258
P -.124 .513 .003 -.125 .078 1.000 .450 .171 -.165
O -.220 .073 -.084 -.087 .162 .450 1.000 -.237 -.367
I -.065 .027 -.177 -.254 .016 .171 -.237 1.000 .375
N -.207 -.223 -.229 -.222 -.258 -.165 -.367 .375 1.000
Tabel 27. Anova Pengujian Hipotesis atas Variabel Akses di Klaster Industri Jamu
Model JK db RK F Sig
Regresi 28612204722769668.000 8 3576525590346209.000 14.106 0.026b
Residual 760657581774705.800 3 253552527258235.300
Total 29372862304544380.00 11
Tabel 28. Hasil Uji t student pada Variabel Akses Klaster Industri
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) -7807130.752 33933693.527 -.230 .833
Teknologi 216741.291 11836911.052 .003 .018 .987
Kapital 13027.880 4054.386 3.213 3.213 .049
Market -.001 .000 -2.318 -2.280 .107
Tenaga 109772.356 70683.632 .158 1.553 .218
Pengetahuan -8929.109 4214.424 -.450 -2.119 .124
Otoritas 4357805.163 28142931.721 .021 .155 .887
Identitas -218909.929 17159655.857 -.002 -.013 .991
Negosiasi -797238.474 8291135.723 -.011 -.096 .929
Dari hasil uji t student terhadap variabel akses diketahui bahwa akses para
pihak atas kapital memiliki nilai yang signifikan pada tingkat α = 0.1. Artinya bahwa
dari 8 akses yang dimiliki oleh para pihak di klaster industri, kapital merupakan akses
dominan yang paling dikuasai. Akses tersebut dapat berupa lahan, akses-akses pada
sumber-sumber pembiayaan seperti perbankan dan bangunan pabrik. Penguasaan
atas akses ini juga berhubungan pada penguasaan atas akses terhadap market seperti
yang disajikan pada korelasi Pearson pada Tabel 28 dengan nilai korelasi berturut-
turut sebesar 93 persen dan 90.2 persen untuk kapital dan market. Maka berdasarkan
hasil uji parsial diatas, persamaan regresi linier berganda untuk akses permintaan
pada klaster industri jamu menjadi:
mulai dari kurang dari 1 hingga di atas 1 untuk biaya manfaat (Mamat et al. 2010;
Klemperer 1997). Biaya transaksi umumnya berupa biaya tetap yang diperoleh dari
pajak dan biaya variabel lainnya (Tita et al. 2010; Yustika 2006). Untuk natural
insurance berupa jaminan yang diperoleh dari peluang dikembangkannya produk
baru hingga jaminan asuransi bagi keluarga pengusaha industri jamu (Sill et al.
2011). Data mengenai biaya manfaat, biaya transaksi dan natural insurance disajikan
pada Tabel 29.
Tabel 29. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance Klaster Industri
Para Pihak Biaya Biaya Transaksi (Rp x Natural Insurance (Rp x
manfaat 1000) 1000)
Ad valorem Lump sum Safety net Stepping stone
UD Bisma Sehat 1,16 1.680 106.000 42.000 Tidak ada
Kios Jamu 10,91 ND ND Tidak ada ND
Modern
Harian Kompas 0,80 150.000.000 - ND ND
Biofarmaka IPB 1,25 1.515 - Tidak ada Tidak ada
KOJAI 1,67 6.050 - Tidak ada Tidak ada
Apoteker I 10,00 150 - Tidak ada 800
Apoteker II 3,33 - - Tidak ada Tidak ada
GP Jamu Jateng 2,00 - 18.750 Tidak ada 10.400
POM Semarang 1,00 - - Tidak ada Tidak ada
Gujati 59 1,30 3.450.000 - Tidak ada ND
PT Javaplant 3,00 2.000.000 - Tidak ada 650.000.000
Disperindag 1,00 - 700.000 Tidak ada Tidak ada
Sukoharjo
2. Pembahasan
2.1. Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Tumbuhan Obat
Persepsi dan motivasi para pihak terhadap tumbuhan obat memberikan
gambaran tentang aspek internal dalam diri para pihak dalam memandang lingkungan
yang menjadi kepentingan mereka (Wang 2007), kemudian bertindak berdasarkan
kepentingan tersebut (Guay et al., 2010; Lai, 2011). Tabel 9, 16 dan 23
menggambarkan berbagai persepsi dan motivasi para pihak dalam pemanfaatan obat,
sehingga keragaman tersebut juga menunjukan bahwa tumbuhan obat merupakan
sumberdaya yang amat penting dalam penggunaannya. Terkait dengan masalah
116
Pada Tabel 30 terlihat bahwa persepsi dan motivasi para pihak dalam
pemanfaatan tumbuhan obat di klaster produksi lebih banyak digunakan untuk
kepentingan ekonomi sebesar 60 persen dan 50 persen, sedangkan kepentingan
kelestarian, sosial dan warisan budaya belum menjadi pilihan utama para pihak di
klaster ini. Kesejajaran terhadap kepentingan ekonomi juga terlihat pada klaster
industri di mana persepsi dan motivasi para pihak masing-masing sebesar 83.33
persen dan 75 persen, sedangkan kepentingan lainnya di bawah kepentingan
ekonomi. Meskipun demikian, pada klaster industri aspek kelestarian sudah dilihat
sebagai salah satu bagian yang penting karena keberadaan tumbuhan obat di hutan
alam dapat mempengaruhi kelanjutan industri obat tradisional di Indonesia sehingga
tetap lestari. Pada klaster layanan kesehatan terdapat sedikit perbedaan di mana
persepsi dan motivasi para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat lebih banyak
117
dikendalikan oleh kepentingan layanan sosial dengan nilai sebesar 63.15 persen dan
68.42 persen. Hal ini berarti pada klaster layanan kesehatan tumbuhan obat mulai
diperhitungkan dari aspek manfaatnya kepada orang lain yang berbeda dengan aspek
ekonomi yang kadangkala kurang memperhitungan orang lain yang akan terkena
dampak apabila obat tradisional yang diperdagangkan tidak memiliki khasiat seperti
yang tercantum di dalam etiketnya. Sayangnya pada klaster ini, aspek kelestarian
tumbuhan obat sebagai materi utama obat tradisional kurang diperhitungkan, aspek
ekonomi dan layanan sosial merupakan aspek tertinggi yang digunakan oleh para
pihak dalam melihat sumberdaya tumbuhan obat sebelum aspek kelestarian.
Selanjutnya, untuk mengetahui posisi para pihak terkait pemanfaatan
tumbuhan obat dapat dilakukan melalui analisis terhadap aspek kepentingan, dan
pengaruh para pihak menggunakan teknik analisis kategorisasi. Pendekatan ini
digunakan untuk memahami pergerakan para pihak dalam empat kuadran posisi
sehingga karakteristik para pihak dapat diketahui apakah dalam posisi key players,
subjects, context setter atau crowd.
bahan baku, BTN Meru Betiri memiliki perhatian terhadap terjadinya kegiatan
pencurian kayu jati (Tectona grandis) dan kayu bayur (Pterospermum javanicum)
yang terdapat di TNMB. Kegiatan tersebut mengganggu BTN Meru Betiri sebagai
pihak yang memiliki amanat untuk menjaga dan melestarikan TNMB.
Meskipun LSM KAIL tidak memiliki kepentingan dan pengaruh yang cukup
kuat dalam analisis kategorisasi, tetapi keberadaannya di TNMB tidak dapat
diabaikan. Hampir semua kelompok masyarakat mengenal LSM KAIL dengan baik
dan LSM ini mengendalikan kegiatan masyarakat desa di sekitar TNMB dalam
mengelola lahan rehabilitasi menggunakan tumbuhan obat lokal. Sejak beroperasi
lebih dari 20 tahun yang lalu, LSM KAIL mampu melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat desa melalui pendirian koperasi, unit-unit usaha rumah tangga berbasis
obat tradisional, membangun jaringan kelompok tani dan membuka pasar komoditas
pertanian keluar dari TNMB. Salah satu contohnya adalah kegiatan penjualan buah
pisang untuk meningkatkan pendapatan petani (cash crop) ke pulau Bali disambut
positif karena produk pertanian tersebut segera habis terjual ketika LSM KAIL tiba
di pulau Bali. Hal ini tentu saja meningkatkan pengaruh LSM KAIL dan
kepentingannya terhadap masyarakat sekitar hutan karena mampu mendorong aspek
ekonomi masyarakat desa. Kekuasaan LSM KAIL di TNMB dapat dilihat dari
banyaknya kelompok binaan yang dibangun selama kurang lebih 20 tahun, antara lain
Jaringan Komunikasi Petani Rehabilitasi (JAKET RESI), TOGA Sumber Waras, dan
Pendarung tumbuhan obat dengan jumlah pengikut lebih dari 720 orang.
Kepentingan utama LSM KAIL adalah kelestarian hutan TNMB yang diperoleh
melalui pendekatan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Sumber dana untuk
menyusun kegiatan masyarakat diperoleh LSM KAIL dari dalam maupun luar negeri.
Pada relasi kepentingan dan pengaruh ini, peranan sektor pemerintah seperti
BTN Meru Betiri dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember cukup
mendukung upaya-upaya pengembangan tumbuhan obat bagi masyarakat, hanya saja
jika dibandingkan dengan masalah lingkungan lain seperti pencurian kayu dari hutan
alam, program pengembangan tumbuhan obat kurang popular. Selain karena harga
kayu jati dan bayur cukup tinggi di pasaran, kedua produk tersebut bisa segera
120
Untuk posisi subject peranan blandong, borek kayu dan Perkebunan Bandealit
cukup dominan. Ketiga pihak tersebut diketahui tidak terlibat dalam pemanfaatan
121
tumbuhan obat, tetapi terlibat dalam pemanfaatan kayu dan perkebunan. Terkait
dengan kepentingan dan pengaruhnya, borek kayu, blandong dan Perkebunan
Bandealit memiliki kepentingan yang tinggi terhadap hutan karena kegiatan usaha
yang mereka bangun berada di sekitar kawasan hutan TNMB. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai kepentingan dan pengaruh mereka yang relatif saling berdekatan. Dari
ketiga pihak tersebut, relasi yang perlu diwaspadai adalah hubungan antara blandong
dan borek kayu. Hubungan antara borek kayu dan blandong bersimbiosis terhadap
kepentingan ekonomi dari jati dan bayur. Blandong tidak pernah masuk ke dalam
hutan apabila tidak memiliki perintah untuk menebang kayu bayur dan jati dari borek
kayu. Simbiosis diantara keduanya juga menyebabkan tindakan ilegal yang
dilakukan oleh borek kayu sukar dilawan karena secara ekonomi dan sosial, borek
kayu memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat desa baik di Andongrejo,
Curahnongko maupun Curahtakir. Menurut Winkel (2012), posisi ekonomi seseorang
dapat menentukan kedudukannya di tengah masyarakat. Relasi borek kayu terhadap
aparat desa maupun aparat keamanan juga baik sehingga apabila terjadi penangkapan
terhadap truk pengangkut kayu miliknya, negosiasi antara kedua belah pihak mudah
dilakukan.
Terkait dengan konsep politik ekologi tumbuhan obat, konflik yang terjadi
dalam pemanfaatan tumbuhan obat di TN Meru Betiri adalah adanya pemanfaatan
ganda yaitu materi tumbuhan obat yang berasal dari pohon-pohon berkayu seperti
bayur (Pterospermum javanicum jungh) dan suren (Toona sureni (Bl)) dengan materi
tumbuhan obat lain yang berasal dari semak, akar, batang maupun daun tetapi berasal
dari spesies-spesies yang tidak memiliki nilai ekonomis. Kedua jenis kayu yang
berasal dari pohon-pohon ini aktif dipanen dari kawasan TNMB oleh blandong
berdasarkan permintaan yang diperoleh dari borek kayu. Pemanfaatan bayur dan
suren sebagai bahan baku obat asal hutan masih kurang diperhitungkan karena nilai
ekonomisnya yang jauh lebih kecil apabila dijual sebagai kayu pertukangan. Pada
tahun 2013, terdapat sekitar 12 m3 kayu bayur dan suren yang ditebang dan berasal
dari sekitar kawasan TNMB. Tindakan penegakan hukum terhadap pihak yang
melakukan tindakan pencurian kayu juga dilakukan oleh BTN Meru Betiri, tetapi
122
penegakan hukum tidak membuat mereka jera. Persoalan ekonomi seperti kemiskinan
merupakan persoalan mendasar yang dihadapi pengelola kawasan sehingga tindakan
tegas kurang memiliki dampak untuk mengurangi pencurian kayu. Selain itu,
terjadinya informasi asimetris terhadap pemanfaatan tumbuhan obat juga
menyebabkan para pihak sukar diarahkan untuk mengembangkan tumbuhan obat
sebagai bahan baku obat tradisional. Dalam wawancara diketahui bahwa BTN Meru
Betiri, LSM KAIL dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember juga
tidak paham mengenai informasi pasar tumbuhan obat, padahal Propinsi Jawa Timur
adalah sentra produksi tumbuhan obat. Harga pasar tumbuhan obat yang diketahui
untuk jahe, kencur dan temulawak hanya berkisar Rp 7000/kg sedangkan apabila jahe
sudah diolah menjadi bahan baku setengah jadi harga jualnya bisa mencapai Rp
4.000.000/kg. Informasi harga tersebut diperoleh dari seorang eksportir tumbuhan
obat di Jakarta yang kerap mengirim produknya ke USA dan Jepang.
player dan subject pada posisi ini memiliki kapasitas yang rendah dalam pelayanan
kesehatan menggunakan obat tradisional. Misalnya, bagi pasien pengobat tradisional
kunjungan kepada seorang pengobat tradisional terjadi karena adanya keterpaksaan
setelah sebelumnya berobat ke rumah sakit konvensional untuk menyembuhkan
penyakit stroke-nya. Adanya kendala biaya untuk melanjutkan pengobatan tersebut
membuat pihak tersbeut beralih ke pengobatan tradisional. Bagi PB IDI Wilayah
Yogyakarta, pengobatan tradisional dapat diterima apabila memiliki evidence based
yang kuat bahwa metode tersebut berhasil mengobati penyakit tertentu. Obat
tradisional harus diuji secara ilmiah sehingga kedudukannya setara dengan obat
kimia. Hal ini menguntungkan posisi PB IDI untuk membela profesi dokter yang
menggunakan obat tradisional dalam memberikan layanan kesehatan. Pada posisi
subject, aliansi antara aktor sulit terjadi karena memiliki perbedaan profesi. PB IDI
Yogyakarta hanya dapat membentuk aliansi dengan dokter, sedangkan GP Jamu juga
hanya dapat membentuk aliansi dengan sesama pedagang jamu. Pada Tabel 30
terlihat bahwa motivasi dan persepsi para pihak dalam menggunakan obat tradisional
adalah untuk pelayanan kesehatan. Artinya jika pengobatan tradisional ingin
memperoleh dukungan yang lebih luas, maka peningkatan terhadap status, kualitas
dan kuantitas layanan pengobatan tradisional harus ditingkatkan dengan cara
meningkatkan status obat tradisional menjadi fitofarmaka, meningkatkan peran serta
industri jamu agar mengembangkan penelitian terkait obat tradisional, memberi
insentif berupa keringanan pajak bagi industri yang bersedia bekerja sama dalam
pengembangan obat tradisional, menyatukan para pengobat tradisional dalam layanan
formal di rumah sakit dan puskesmas, memperbanyak profesi dokter herbal dan
menjamin agar dokter herbal juga dapat hidup layak.
Gambar 12 menempatkan Dinas Kesehatan DIY sebagai context setter dalam
analisis kategorisasi. Pada relasi key player dan context setter, pengobatan tradisional
merupakan salah satu program tetapi konsentrasi pihak ini tidak terletak pada obat
tradisional. Dalam penelitian, terjadi resistensi dari pihak ini sehingga informasi
terkait layanan kesehatan menggunakan pengobatan tradisional tidak dapat digali
secara optimal. Daftar pertanyaan yang dikirimkan kepada pihak ini juga tidak
125
peredaran bahan baku obat tradisional baik dari hutan alam maupun budidaya melalui
perdagangan barang dan jasa tumbuhan obat. Pada tingkat konsumen (rumah tangga),
obat tradisional masih diproduksi secara terbatas. Obat tradisional dalam bentuk
racikan paling banyak dijumpai dalam bentuk simplisia dibandingkan dalam bentuk
obat yang terbukti kemanjurannya secara empiris (Brook & Fauver 2014; Raz &
Guindi 2008).
Untuk meredakan konflik pemanfaatan obat tradisional pada klaster ini
dibutuhkan adanya peran serta pemerintah dalam memperbaiki kelembagaannya,
menyediakan fasilitas obat tradisional sesuai standar fitofarmaka sehingga sistem
pelayanan ini tidak didikte oleh pengusaha serta memperbaiki sistem distribusi
tumbuhan obat agar obat tradisional yang saat ini ada dapat dijangkau oleh semua
pihak. Penerapan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN) juga diperlukan untuk
mendorong kemandirian bangsa agar tidak tergantung pada obat farmasi yang
diproduksi oleh perusahaan asing di Indonesia. Salah satu contoh bahan obat
tradisional yang sering dijumpai dalam resep pengobatan tradisional adalah pulosari
(Alyxia reinwardtii Bl.), tempuyung (Sonchus arvensis L.), jahe (Zingiber officinale
Rosc.), kencur (Kaemferia galanga L.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb),
temu giring (Curcuma heyneana Val. Et van Zijp.), seledri (Apium graveolens L.),
kunyit (Curcuma domestica Val). Pada lampiran 6 terlihat bahwa pulosari merupakan
spesies yang banyak ditemukan pada racikan obat tradisional. Jenis ini banyak
dijumpai di TNMB, TN Bromo Tengger dan TN Baluran di Jawa Timur (Zuhud et al.
2009). Dalam wawancara dengan pengusaha jamu di Pasar Nguter Sukoharjo
disebutkan bahwa pulosari sudah jarang dijumpai oleh pengusaha sehingga terpaksa
dilakukan substitusi terhadap bahan obat untuk mengganti pulosari. Maka terkait
dengan ekologi politik, kelangkaan pulosari dapat diduga mengganggu kualitas dan
kuantitas pelayanan kesehatan obat tradisional di masa datang.
127
Tabel 33. Importasi Bahan Baku Tumbuhan Obat dari Mancanegara ke Indonesia
No. Kode HS Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 Jan- Feb 2015
Nilai dalam US$ 000 Ton US$ Ton US$ Ton US$
000 000 000
1. 091010 Jahe 1,820 16,572 16,704 6,308 5,927 2,764 2,465 1,256 1,076
(Ginger)
2. 091099 Rempah 424 623 1,210 796 796 447 788 63 70
3. 091030 Tumeric 66 332 390 475 475 245 324 19 12
(Curcuma)
4. 091091 Campuran 73 408 152 70 70 28 75 1 5
dua atau
lebih
rempah
yang
tersedia
terpisah
dari daftar
ini
5. Saffron 10 13 9 - - 8 21 - -
TOTAL 2,394 17,948 18,465 7,201 7,268 3,493 3,673 1,339 1,164
Sumber: BPS (2015), disiapkan oleh Direktorat Pengembangan Pemasaran dan
Informasi Eksport Kementerian Perdagangan RI (2015)
ketersediaan bahan baku obat tradisional di alam. Hal ini bisa dimengerti karena
pengusaha obat tradisional umumnya menerima bahan baku dari para pengepul dan
tidak pernah datang sendiri ke sumber bahan bakunya. Istilah yang sering digunakan
adalah “terima produk di depan pintu lalu dibayar”. Dalam ekologi politik, pengusaha
memainkan peran sebagai pembeli dan menggerakan permintaan tumbuhan obat dari
pengepul. Pengusaha tidak ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan bahan baku
tumbuhan obat di alam karena tidak bersentuhan secara langsung dengan produk
tersebut. Ciri kapitalisme dalam kegiatan ekonomi pemanfaatan tumbuhan obat
terlihat dari peran pengusaha dan pengepul di mana kedua belah pihak sama-sama
memperoleh keuntungan dari bisnis tumbuhan obat (Tabel 15 & Tabel 29). Pada
Tabel 33 dan Tabel 34 juga menunjukan terjadinya peningkatan ekspor-impor obat
tradisional Indonesia menuju pasar internasional sebesar 3,4 – 4 kali lipat sehingga
menempatkan Indonesia sebagai produsen dengan keuntungan yang menggiurkan
dari obat tradisional. Selain itu, kerusakan tumbuhan obat di alam tidak pernah dapat
terlihat secara kasat mata apabila tidak dilakukan pengujian secara mendalam karena
sebagian besar tumbuhan obat tersebut menempel ada inangnya, berupa semak dan
herba. Oleh sebab itu, kerusakan tumbuhan obat hanya bisa dilihat apabila terjadi
kegiatan penebangan hutan yang masif seperti pada hutan produksi, tetapi pada hutan
lindung, taman nasional, kawasan lindung yang tidak terjadi penebangan pohon,
kerusakan sumber daya tersebut sulit dilihat secara kasat mata. Pada aspek inilah
politik ekologi pemanfaatan tumbuhan obat hendak meneropong permasalahan
lingkungan yang terjadi pada tempat dimana tidak terjadi persoalan lingkungan yang
masif. Perdagangan tumbuhan obat, modernisasi obat tradisional dan modernisasi
pelayanan kesehatan justru terlibat dalam meningkatkan laju kerusakan sumber daya
tumbuhan obat sebab tumbuhan obat bukanlah sumber daya yang dilarang
dimanfatkan di Indonesia. Hingga saat ini, peraturan perundangan untuk mengatur
pengelolaan tumbuhan obat secara khusus belum tersedia sehingga sumberdaya ini
menjadi barang bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Untuk mencegah terjadinya pemanenan yang berlebihan atas tumbuhan obat
sehingga tidak terjadi masalah ekologi politik, semua pihak harus menyadari
132
pentingnya kelestarian sumber daya tersebut di alam. Hal ini penting karena banyak
pihak yang hidupnya amat tergantung pada ketersediaan pasokan bahan baku ini.
Modernisasi terhadap layanan kesehatan tradisional dan obat tradisional telah
menciptakan lapangan kerja yang sifatnya padat karya, sehingga apabila cadangan
bahan bakunya di alam merosot tajam dapat menyebabkan hilangnya sejumlah
lapangan pekerjaan di pusat-pusat industri obat tradisional. Hal ini akan menurunkan
juga pendapatan Negara dari sektor pajak dan kesempatan kerja sehingga menjadi
beban Negara.
Pada Tabel 35 terlihat bahwa akses terbanyak dimiliki oleh klaster produksi
dibandingkan klaster layanan kesehatan dan industri. Tetapi pada klaster produksi
variabel akses yang digunakan terbatas pada empat variabel dibandingkan kedua
klaster yang lain. Penggunaan delapan variabel pada klaster produksi menyebabkan
data tidak dapat dianalisis, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya jumlah
para pihak pada klaster produksi. Untuk mengatasi kendala tersebut, analisis
dilakukan hanya pada empat variabel akses yang berhubungan dengan variabel
ekonomi secara langsung. Analisis lebih lanjut terhadap empat variabel akses lain
yang tersisa pada klaster produksi juga tidak dapat dilakukan karena data yang ada
tidak dapat dianalisis secara statistik, sehingga analisis terhadap data tersebut
dilakukan secara deskriptif.
Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, Tabel 35
menunjukan situasi “tertindas” pada para pihak yang terdapat pada klaster produksi.
Dari ketiga akses yang dimiliki yaitu teknologi, kapital dan pasar hanya akses
terhadap pasar saja yang bernilai positif sedangkan akses yang lain bernilai negatif.
Rebot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa akses terhadap pasar menempatkan
para pihak pada klaster produksi berfungsi sebagai penjual sumberdaya dan
tergantung pada pasar yang sifatnya monopsoni. Tidak adanya akses terhadap
teknologi dan kapital menyebabkan para pihak mengalami hambatan dalam
mengelola sumber daya tumbuhan obat karena tergantung pada alat-alat sederhana,
tidak seperti industri obat tradisional yang sudah melakukan modernisasi. Dampak
lainnya, para pihak juga tergantung pada input kapital dan pemberdayaan padahal
para pihak memiliki akses yang dekat terhadap hutan dan tumbuhan obat.
134
Hilangnya akses terhadap teknologi dan kapital membuat para pihak pada
klaster ini umumnya kurang berdaya dibandingkan pada klaster lainnya, sehingga
sumber daya tumbuhan obat yang dekat dengan kehidupan mereka tidak terkelola
dengan baik. Contoh, pekerjaan sebagai pendarung kalah bergengsi dibandingkan
pekerjaan sebagai borek kayu atau blandong karena pendapatan yang diperoleh
seorang pendarung jauh lebih rendah dibandingkan seorang borek kayu atau
blandong meskipun ilegal. Akses terhadap pasar juga mendorong para pihak menjadi
alat dari pengusaha yang memiliki akses terhadap kapital. Keberadaan akses market
dan kapital secara langsung telah menciptakan mengalirnya sumber daya tumbuhan
obat keluar dari TNMB ke dalam industri yang dimiliki oleh pengusaha. Situasi ini
tercipta karena pemanfaatan tumbuhan obat bersifat kapitalistis sehingga dalam hal
tertentu bersifat tidak adil, misalnya perbedaan pendapatan yang diperoleh pendarung
Rp 5.000 per 1.000 biji kemiri tetapi pada pengepul Rp 22.000 per 1.000 biji kemiri.
Situasi ini sudah berlangsung lama sehingga tanpa sadar telah terjadi simbiosis antara
para pihak pada klaster produksi dengan para pihak pada klaster industri berdasarkan
kepentingan yang sama, yaitu ekonomi (Tabel 30).
Untuk mengurangi dampak kapitalisme pada klaster produksi, tindakan
menghentikan atau melarang ekstraksi terhadap tumbuhan obat tidak dapat dilakukan
seketika karena berdampak pada hilangnya pendapatan sebagian pihak di desa-desa
sekitar TNMB. Apabila pendapatan mereka dari tumbuhan obat berkurang, maka
kegiatan pencurian kayu dari TNMB makin tidak terkendali sementara membuka
aksesnya terhadap teknologi dan kapital tanpa adanya peningkatan kapasitas juga sia-
sia. Hal ini karena sebagian besar pihak memiliki tingkat pendidikan yang rendah
serta berumur setengah baya sehingga dibutuhkan orang-orang yang jauh lebih muda
dan segar untuk mentransfer kedua akses tersebut. Salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah melakukan pendekatan kepada BTN Meru Betiri dan LSM KAIL
untuk menyamakan kepentingan terhadap tumbuhan obat di TNMB. Pada Tabel 31,
kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang sama terhadap kelestarian TNMB
disamping kepentingan ekonomi. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas para pihak
pada klaster produksi untuk membuka aksesnya terhadap teknologi dan kapital dapat
135
dimulai dari negosiasi di antara kedua pihak tersebut (Haryatmoko 2015; Keraf
2010). Hasil dari negosiasi diharapkan mampu melahirkan kader-kader untuk
mengelola tumbuhan obat secara lestari dan berkeadilan sehingga permasalahan
ekologi politik seperti hilangnya jenis-jenis tertentu tumbuhan obat pada rantai
ekonomi dapat dicegah (Forsyth 2005; Bryant & Bailey 2007; Forsyth 2007; Jewitt
2008; Kunwar et al. 2009).
tetapi manfaat ekonomi yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibandingkan kayu.
Harga kayu bayur pada tingkat pengepul berkisar antara Rp 1.200.000 – 1.500.000
per batang sedangkan harga tumbuhan obat di tingkat pengepul rata-rata berkisar Rp
10.000 per kg. Dengan kemampuan angkut seorang pendarung rata-rata 100 kg per
panen, maka pendapatan yang diperolehnya tetap lebih rendah dibandingkan
kemampuan seorang blandong dalam mengekstraksi kayu bayur. Hanya saja bedanya
pendapatan blandong dari kayu bayur bersifat ilegal sedangkan pendarung tidak.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Gambar 14. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Produksi di TNMB
Borek kayu adalah pihak yang paling diuntungkan oleh blandong karena
memiliki kekuasaan membeli produk kayu bayur yang dihasilkannya. Dalam
wawancara, borek kayu menyebutkan bahwa bayur adalah salah satu sumber daya
hutan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Hal ini berarti bagi borek kayu, bayur
adalah sumber daya bebas yang dapat diekstraksi sesuai dengan kepentingannya.
Dalam struktur masyarakat di lokasi penelitian, borek kayu umumnya memiliki
kondisi sosial dan ekonomi yang cukup mapan sehingga dihormati oleh masyarakat
desa. Borek kayu juga menikmati perlindungan dari aparat pemerintahan desa karena
kegiatannya memberikan pendapatan bagi desa melalui retribusi yang dibayarkannya.
Dalam wawancara dengan borek kayu, nilai retribusi yang dibayarkan tidak dapat
diketahui karena kegiatan tersebut sifatnya ilegal.
137
sehingga kelangsungan usaha kedua belah pihak dapat terjamin. Biaya transaksi ini
bersifat lump sum di mana biaya dikeluarkan terlebih dahulu sebelum produk
tumbuhan obat dihasilkan. Biaya transaksi lump sum juga dilakukan oleh BTN Meru
Betiri dalam bentuk program pemberdayaan kelompok tani dan masyarakat agar
ekonomi mereka meningkat sehingga mengurangi terjadinya resiko perambahan
hutan di TNMB, pengepul dan TOGA Sumber Waras bersedia mengeluarkan
sejumlah uang tambahan untuk membeli bahan baku tumbuhan obat tertentu ketika
harganya mulai merangkak naik sebagai persediaan (stock).
Keberadaan dua jenis biaya transaksi lump sum juga berfungsi dalam menjaga
kelestarian hutan TNMB apabila dikelola dengan baik. TNMB sebagai sumber daya
yang dimiliki oleh Negara amat rentan terhadap hadirnya free rider apabila tidak
dikelola (Zhang 2000). Salah satu contoh adalah pencurian kayu jati dan bayur.
Apabila kegiatan pencurian tersebut tidak dikendalikan melalui perbaikan
kelembagaan, maka biaya transaksi yang terjadi justru akan merusak sumberdaya
hutan di TNMB. Perilaku moral hazard yang timbul di mana profesi pencuri kayu jati
dan bayur dihormati kedudukannya dalam struktur masyarakat, bahkan dilindungi,
karena memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibanding masyarakat desa lainnya
sehingga menimbulkan sikap permissive terhadap pencurian sumber daya hutan.
Sebaliknya, biaya transaksi yang timbul dari pemanfaatan tumbuhan obat tidak
merusak hutan dan tidak dilarang. Tidak pernah ada tindakan represif dari aparat
Negara terhadap aktor yang memanfaatkan tumbuhan obat dari TNMB untuk
kepentingan ekonomi. Hanya saja, apabila kelembagaannya tidak dikelola dan
diperbaiki potensi kehilangan plasma nutfah yang penting dari TNMB juga akan
terjadi, contohnya Raflesia zollingeriana. Artinya transaksi lump sum dapat
mendorong terciptanya kelestarian hutan apabila para pihak yang terlibat di dalamnya
menyadari bahwa perbaikan kelembagaan dan penegakan hukum membutuhkan biaya
untuk penerapannya di lapangan (Zhang 2000).
Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya biaya transaksi lump sum di
TNMB adalah dengan mempertemukan kepentingan private dan public atas sumber
daya hutan. Pengelolaan bersama atas hak akses atas sumber daya hutan yang terbuka
140
harus berubah menjadi akses yang diatur bersama (Zhang 2000). Akses yang teratur
ini dapat menjadi hak kelola bersama atas lahan hutan di mana pada lahan tersebut
dapat ditanami berbagai jenis pohon komersial campuran dengan tumbuhan obat
hutan. Rekomendasi dapat diberikan kepada Kepala BTN untuk mengoptimalkan
zona pemanfaatan di TNMB serta merehabilitasi lahan bekas tebangan jati seluas
2.733.5 hektar di TNMB.
tradisional skala rumah tangga. Bagi pihak ini, peranan LSM KAIL dalam mengubah
nasib dari seorang buruh tani menjadi petani-pengusaha telah mengubah
gambarannya atas sumber daya tumbuhan obat. Tumbuhan obat menjadi tumpuan
harapan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Dalam beberapa
hal, kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM KAIL dapat dikatakan sebagai
bentuk jaring pengaman sosial (social safety net) dibandingkan untuk mendukung
keberlangsungan hidup (sustainability livelihood) masyarakat miskin di sekitar hutan.
Program sustainability livelihood dapat dikatakan berhasil apabila terdapat ciri-ciri
sebagai berikut: a. masyarakat miskin di sekitar hutan memiliki kelenturan terhadap
kejutan dan tekanan; b. terbebas dari dukungan pihak luar (external); c. memiliki
kemampuan untuk mengelola produktivitas cadangan sumberdaya alam, termasuk
tumbuhan obat; d. tidak memberikan pengaruh yang merugikan pada pihak lain
(Karki et al. 2003).
layanan pengobatan tradisional yang paling tinggi dengan jumlah pasien antara 4.000
sampai dengan 90.000 orang per tahun (Gambar 12).
Terkait dengan kebijakan, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur kegiatan pengobatan tradisional
sebagai bentuk layanan kesehatan di mana peran serta seorang penyembuh tradisional
diakui keberadaannya. Pemerintah bertanggungjawab dan menjamin kesehatan
maksimal setiap warga negara sehingga keberadaan fasilitas kesehatan seperti vaksin,
obat-obatan, klinik dan rumah sakit, sumber daya manusia, teknologi dan lain-lain
disediakan oleh negara. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/Per/I/2010
tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Layanan Kesehatan, obat
tradisional menjadi salah satu bagian untuk mencapai tujuan dari Undang-Undang
Kesehatan dalam ranah layanan kesehatan komplementer-alternatif. Dari sisi ini,
pengobat tradisional memperoleh manfaat di mana secara politik posisinya diakui
karena memiliki pengetahuan dan teknik-teknik yang berbeda dari pengobatan
konvensional. Dalam politik ekologi, manfaat yang diterima oleh pengobat
tradisional ini menimbulkan sejumlah konflik karena tidak ditemukan adanya evident
based yang cukup untuk melayani pasien. Penyembuhan yang dilakukan oleh
pengobat tradisional lebih pada pengalaman empiris, tetapi hal tersebut justru
menempatkan pengobat tradisional menjadi tokoh yang posisinya amat kuat dalam
layanan pengobatan tradisional (Gambar 12), dimana motivasi dan persepsi layanan
sosial amat tinggi (Tabel 30). Profesi yang terlibat dalam bentuk layanan ini mulai
dari dokter, apoteker, pastor, ibu rumah tangga, paranormal/sinse dan lain sebagainya
di mana pendidikan formal yang dimiliki kerap kali tidak sejalan dengan layanan
kesehatan yang dilakukannya (Beers 2013; Jehani 2008). Hal ini berbeda dengan
persyaratan tenaga kesehatan komplementer yang terdapat dalam Undang-Undang
Kesehatan dimana formalitas pendidikan dibutuhkan untuk mencapai kualitas layanan
kesehatan yang maksimal.
Dari sisi biaya manfaat, layanan kesehatan komplementer yang disediakan
oleh pemerintah di rumah sakit dan klinik lebih besar dibandingkan yang dilayani
oleh pengobat tradisional. Dalam sekali layanan, pasien harus menebus obat
143
tradisional sebesar Rp 500.000 per resep dan tidak dijamin oleh JKN untuk
mengganti resep obat tersebut. Tetapi dari jumlah pasien yang dilayani, hanya sedikit
yang bersedia menerima layanan komplementer alternatif di rumah sakit maupun
puskesmas yaitu berkisar 51 sampai dengan 1312 pasien per tahun. Jumlah ini jauh
lebih kecil dari pasien yang dilayani oleh pengobat tradisional. Dari data ini terlihat
bahwa terdapat sejumlah celah informasi yang asimetris sehingga layanan kesehatan
tradisional belum berjalan maksimal. Terkait dengan pemetaan para pihak,
pertarungan biaya manfaat sesungguhnya terjadi pada ranah evident based terhadap
obat tradisional di mana pelaku yang mendukung pengobatan komplemeter
berhadapan dengan pelaku yang mendukung pengobatan konvensional yang diwakili
oleh Pengurus IDI wilayahYogyakarta. Ciri kapitalistik pada evident based obat
tradisional terlihat pada langkanya produk tersebut dapat diperoleh masyarakat,
sedangkan tugas negara adalah menjamin tersedianya fasilitas tersebut. Sampai saat
ini baru 8 jenis obat tradisional yang memenuhi kategori evident based dan
dimasukan dalam kelas fitofarmaka.
Konflik ekologi politik yang lain dalam layanan pengobatan tradisional terjadi
antara layanan kesehatan yang bersifat sosial dengan layanan kesehatan yang bersifat
bisnis. Pada Gambar 12, GP Jamu Yogyakarta mewakili kepentingan bisnis dan
dalam wawancara terungkap bahwa layanan kesehatan komplementer bagi kelompok
bisnis belum menguntungkan. Artinya bahwa untuk mencapai evident based yang
diinginkan terhadap obat tradisional, penelitian untuk mencapai tahapan tersebut
tidak dapat diserahkan kepada pihak bisnis. Negara harus bersedia mengambil alih
tugas tersebut agar peran sosialnya sebagai bentuk tanggungjawab atas kesehatan
warga negara dapat terwujud (Gramsci 2013). Oleh sebab itu, perbaikan terhadap
tata kelola dan kelembagaan pengobatan tradisional di Indonesia mendesak dilakukan
karena secara politik kedudukan pengobatan tradisional amat strategis. Indonesia
memilik kekayaan melimpah terhadap sumber-sumber bahan bakunya di hutan alam
sehingga hal ini dapat menjadi posisi tawar apabila terjadi embargo terhadap obat
farmasi. Hubungan antara sumber plasma nutfah di hutan alam dengan pusat-pusat
144
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
Gambar 15. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan
rendah dari nilai aset beresiko yang diperdagangkan, tetapi apabila lebih tinggi maka
perdagangan tidak akan terjadi. Apabila perdagangan terjadi biasanya terdapat
kerugian berupa penurunan penerimaan diantara para pedagang dan mereka akan
melakukan pengaturan untuk mengurangi biaya lump sum tersebut (Barron & Karpoff
2002). Apabila dilihat dari proses terjadinya, biaya transaksi juga dikategorikan atas
dua sifat yaitu ex post dimana biaya transaksi didefinisikan sebagai biaya-biaya yang
dikeluarkan setelah terjadinya produksi dan ex ante yaitu biaya transaksi yang
dikeluarkan sebelum terjadinya produksi (Tita et al. 2011).
Pada Tabel 15 terlihat bahwa biaya transaksi yang terjadi pada klaster layanan
kesehatan terdiri atas ad valorem dan lump sum. Biaya transaksi ad valorem berupa
tarif atas jasa pengobatan, pajak yang dibayarkan oleh klinik, asuransi kesehatan bagi
karyawan, asuransi tenaga kerja, pengurusan ijin produk dan perpanjangan paten
merek, sedangkan lump sum terdiri atas komisi bagi distributor obat tradisional yang
diberikan oleh industri obat tradisional dan subsidi bagi pasien tidak mampu yang
dibayarkan setiap bulan kepada klinik pengobatan tradisional radiasthesi. Dalam
wawancara, kedua jenis biaya transaksi tersebut diketahui dan disepakati oleh para
pihak kepada pihak lain sehingga terdapat kepastian di antara para pihak. Pada klaster
layanan kesehatan, biaya transaksi yang paling banyak adalah jenis ad valorem tetapi
untuk transaksi yang paling besar nilainya terdapat pada jenis lump sum yaitu komisi
yang dibayarkan kepada distributor. Kedua jenis biaya transaksi ini dapat dilacak
pada pihak klinik pengobatan tradisional, perusahaan jamu tradisional, kios jamu
gendong dan asosiasi jamu. Biaya transaksi tersebut bersifat resmi. Artinya
keberadaan biaya transaksi, meskipun menimbulkan biaya, dapat memberi kepastian
berusaha kepada para pihak obat tradisional di klaster layanan kesehatan. Adanya
kepastian tersebut membuat biaya transaksi yang dikeluarkan dapat dihitung dan
dikendalikan.
Terkait dengan pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat,
keberadaan biaya transaksi ini tidak menimbulkan konflik karena mengakomodir
kepentingan para pihak untuk berusaha. Keberadaan pajak menunjukan bahwa
kegiatan layanan kesehatan yang dilakukan oleh para pihak bersifat formal sehingga
146
kegiatan budidaya antara lain, (a) bahan baku tumbuhan obat lebih terkelola
dibandingkan mengambil dari hutan alam; (b) peran pengepul yang mengambil
keuntungan jauh lebih besar dari petani dapat dikendalikan karena harga bahan baku
menjadi lebih murah sehingga memaksa pengepul dan petani menyelaraskan
informasi yang dimilikinya agar terjadi perdagangan; (c) mengurangi potensi
pemungutan bahan baku dari hutan alam sehingga dapat mengurangi peran tradisional
pendarung. Oleh sebab itu, pendarung perlu diberdayakan agar pengetahuan
tradisionalnya mengenai bahan baku obat dan musim berbuah tidak musnah.
industri obat tradisional juga menunjukan bahwa pemanfaatan bahan baku tumbuhan
obat pada klaster ini bersifat kapitalistis dimana ke arah hulu industri mengendalikan
permintaan dan ke arah hilir industri juga mengendalikan penawaran. Hal ini terjadi
karena adanya asimetris informasi di antara kedua klaster yang ditunjukan oleh
perbedaan harga yang mencolok, kapital, teknologi dan sumber daya manusia yang
digunakan. Akibat informasi asimetris pihak yang kuat diuntungkan untuk
mengendalikan pasar obat tradisional.
12
10
8
6
4
2
0
dilakukan agar kelestarian ekonomi dan ekologi dapat terjaga (Bartens 2013; Conley
& Moote 2003).
Terkait dengan ekologi politik, kekuasaan industri jamu dan media dalam
mengendalikan permintaan terhadap tumbuhan obat dan informasi, di satu sisi
melestarikan pemanfaatan tumbuhan obat dan berkembangnya industri kecil baru
yang bergerak pada usaha serupa. Tetapi di sisi lain, permintaan dan informasi
tersebut dapat mendorong eksploitasi yang semakin besar pada sumberdaya
tumbuhan obat dengan bertambahnya industri kecil baru. Salah satu contohnya adalah
pulosari. Dalam wawancara dengan pedagang di pasar Nguter dan pengusaha UKOT
menyebutkan bahwa jenis ini sudah langka di pasaran dan diperoleh bukan dari
budidaya melainkan dari ekstraksi di alam. Nilai pajak yang diperoleh pemerintah
melalui pemanfaatan tumbuhan obat secara tidak langsung berpotensi mengurangi
keberadaan tumbuhan obat di alam. Hal ini menunjukan bahwa transaksi ad valorem
belum efisien dalam pengelolaannya, sehingga dibutuhkan adanya intervensi
pemerintah agar banyak pihak bersedia terlibat memperbaiki kelembagaan dan
informasi asimetris yang terjadi pada pemanfaatan tumbuhan obat. Permasalahan
pada harga jual, lokasi budidaya dan sumber daya manusia mendesak diperbaiki agar
kualitas dan kuantitas bahan baku meningkat. Insentif berupa keringanan pajak bagi
para pihak juga diperlukan agar bersedia meningkatkan komitmen terhadap
kelestarian bahan baku di hutan alam (Tabel 30).
diare, kurang nafsu makan, masuk angin, beri-beri, pendarahan dan detoksifikasi
(Delimartha 2009; Hariana 2008).
Dalam ekologi politik tumbuhan obat, kesumba keling merupakan jenis yang
berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis sehingga cocok ditanam di
Indonesia. Tetapi kehadiran jenis ini di Indonesia dapat menambah daftar spesies
eksotik sehingga keberadaannya dapat mengancam spesies tumbuhan obat lokal.
Selain itu, safety net yang dimiliki oleh industri obat tradisional dapat digunakan
untuk mengembangkan obat tradisional secara spesifik di mana tidak setiap orang
dapat memiliki akses yang sama terhadap peluang tersebut. Industri obat tradisional
dapat mengendalikan seluruh aspek produksi sampai pemasarannya dan dapat
menjadi pembeli tunggal atas sumber daya tersebut karena mengendalikan
permintaan pasarnya. Situasi ini disebut sebagai monopsoni (Ribot & Peluso 2003).
Oleh sebab itu, dalam ekologi politik tumbuhan obat, safety net dapat bersifat
kapitalistis apabila pemanfaatan jenis eksotik untuk kebutuhan pasar kurang
mempertimbangkan kelestarian jenis lokal, pengendalian terhadap mating systemnya,
pengelolaan sumber daya manusia dan lain sebagainya. Intinya, pengendalian
terhadap seluruh sistem budidaya untuk menghasilkan keuntungan ekonomi tidak
dapat dilepaskan dari kelestarian jenis lokal di lapangan apalagi jenis-jenis yang
diketahui memiliki fungsi yang kurang lebih sama sehingga menyebabkan terjadinya
kompetisi pemanfaatan.
terjadinya ekspolitasi kota terhadap desa. Relasi kota dan desa tersebut merupakan
bentuk struktural dari pusat (center) dan pinggiran (periphery) di mana pada dimensi
ruang selalu berhubungan dengan aspek politik, ekonomi atau budaya (Zarycki 2007;
Ackerman & Eden 2011; Scharpf 1997).
Dalam implementasi UUD 1945, pemerintah bersama DPR telah menetapkan
berbagai undang-undang yang memungkinkan terkelolanya kawasan hutan seperti
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagi peraturan turunannya, tetapi kondisi
sumber daya hutan tetap mengalami pengurasan. Penelitian tentang pemetaan para
pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat ini juga melihat bahwa kepentingan utama
dari para pihak yang terlibat di dalamnya adalah aspek ekonomi, sedikit sekali aspek
kelestarian menjadi pertimbangan utama para aktor yang terlibat. Para pihak yang
terletak pada klaster produksi dan layanan kesehatan lebih banyak berada pada posisi
menjual sumber daya tumbuhan obat, sedangkan pada klaster industri obat tradisional
adalah pembeli sumber daya tumbuhan obat (lihat lampiran 3). Relasi di antara para
pihak telah menciptakan hubungan penjual dan pembeli sumber daya tumbuhan obat
sehingga perilaku di antara mereka dominan dikendalikan oleh pasar yang bersifat
monopsoni. Situasi ini merupakan gambaran bahwa kapitalisme juga terlibat dalam
pemanfaatan tumbuhan obat meskipun tidak semasif dalam pemanfaatan kayu yang
berasal dari hutan alam. Kapitalisme dalam pemanfaatan tumbuhan obat
menciptakan iklim yang tidak adil, meskipun peraturan perundangan telah
menyusunnya seadil mungkin dalam pemanfaatan di lapangan. Lemahnya
kelembagaan dan informasi asimetris mengenai pemanfaatan antara sektor produksi
dengan industri obat tradisional merupakan masalah yang perlu segera dipecahkan
agar eksploitasi terhadap sumberdaya tumbuhan obat dapat dikurangi. Terkait dengan
permasalahan lingkungan yang terjadi di dunia pada umumnya, Giddens (1998)
mengusulkan agar sosialisme dapat “disuntikan” ke dalam tubuh kapitalisme untuk
mengurangi dampak merugikan kapitalisme terhadap lingkungan. Harapannya,
melalui tindakan tersebut dapat dilahirkan suatu sistem ekonomi politik yang baru
yang disebut demokrasi sosial yang dapat memperbaiki pengelolaan lingkungan.
155
Bentuk demokrasi sosial di Indonesia adalah Pancasila. Hanya saja, ketika sistem
ekonomi berbasis rente merupakan landasan yang dipakai untuk bergerak, maka
sistem kapitalisme ekonomi kembali berperan di dalamnya. Dalam situasi ini, negara
harus mengambil lebih banyak peran agar kelestarian sumber daya tumbuhan obat
tidak mengalami penurunan yang nyata. Hal ini juga sekaligus melaksanakan amanat
pasal 33 UUD 1945 (Soedomo 2012).
Salah satu bentuk hadirnya negara dalam pemanfaatan tumbuhan obat adalah
terjaminnya rasa aman para pihak dalam memanfaatan sumber daya tersebut, tersedia
sepanjang tahun dan memperoleh kepastian harga jual yang layak sehingga tingkat
sosial dan ekonomi para pihak, khususnya yang dekat dengan hutan seperti
pendarung dan petani, dapat meningkat (Stenley et al. 2012; Wondolleck & Yaffee
2000). Terjaminnya rasa aman juga dapat diwujudkan melalui kehadiran aparatur
negara dalam mengawal sumber daya tumbuhan obat yang bebas dari aksi pencurian,
baik yang ditanam pada lahan milik mau pun pada lahan milik negara. Untuk
peningkatan produktifitas bahan baku tumbuhan obat, kegiatan budidaya pada lahan
rehabilitasi hutan TNMB dapat melibatkan tenaga ahli lintas lembaga untuk
mendampingi pendarung mau pun petani sehingga kualitas dan kuantitas bahan baku
tumbuhan obat dapat memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh klaster layanan
kesehatan mau pun klaster industri. Dengan tersedianya rasa aman, akses pendarung
dan petani terhadap sumber daya hutan dan dampingan para ahli, negara telah
menjalankan fungsinya untuk membela kepentingan para pihak yang posisinya paling
lemah. Selain hal tersebut, pendapatan (gaji) para pendamping dan aparat sipil perlu
ditingkatkan agar mereka memiliki komitmen yang tinggi untuk mendampingi
pendarung dan petani untuk mencapai tujuan pemanfataan tumbuhan obat yang
lestari. Biaya transaksi yang timbul akibat pemungutan bahan baku tumbuhan obat
potensial juga dapat ditekan sehingga para pendamping dan aparat sipil enggan
terlibat dalam jaringan pemanfaatan tumbuhan obat ilegal karena sudah memiliki
jaminan pendapatan yang cukup dari negara. Dengan demikian berarti bahwa negara
telah benar-benar menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 untuk mensejahterakan
156
rakyat yang terdapat di desa-desa sekitar hutan dalam memanfaatkan sumber daya
tumbuhan obat.
2.5.2. Pemanfaatan Ruang Budidaya Tumbuhan Obat
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur
penggunaan ruang untuk kegiatan pengelolaan hutan yang melibatkan berbagai
elemen dalam masyarakat, baik pemerintah, LSM, masyarakat adat, maupun
kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat desa. Pengaturan ini memberi
kepastian pada para pihak untuk memanfaatkan hutan baik pada hutan produksi,
konservasi maupun pada kawasan lindung. Keduanya menjadi modal alam dan
modal sosial bagi para penggunanya (Suminar 2013; Balooni et al. 2010; Van De
Valk 2008; Simpson 2005; Feldman & Assaf 1999). Dalam politik politik
pemanfaatan tumbuhan obat, keberadaan ruang budidaya merupakan hal penting
yaitu dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan permintaan tumbuhan obat dari
sektor hilir sehingga mengurangi dampak merugikan terhadap tumbuhan obat yang
dilakukan oleh pihak-pihak penggunanya. Hal ini diperlukan agar proses produksi
pada masing-masing klaster tidak terganggu pada jangka panjang. Artinya rantai
pemanfaatan tumbuhan obat yang pertama yaitu pendarung tidak perlu lagi mencari
bahan baku hingga jauh ke dalam hutan. Pengembangan zona rehabilitasi pada
kawasan TN Meru Betiri sebagai alternatif untuk budidaya tumbuhan obat alam
sangat mungkin dioptimalkan (Nurrochmat & Hasan 2010; Vandebroek et al. 2004;
Hernock 1992). Selain itu, kawasan tradisional yang terdapat pada kawasan hutan
produksi juga dapat difasilitasi agar akses informasi terhadap pasar, teknologi dan
kapital juga dimiliki. Persoalannya, ketika akses-akses tersebut dibuka maka tindakan
budidaya dapat meningkatkan penawaran atas tumbuhan obat sehingga ketika
jumlahnya meningkat justru akan menurunkan harga jualnya. Hal ini dapat diatasi
dengan pengelolaan kelembagaan yang mantap pada sektor hulu sehingga pasokan
dan permintaan dapat disesuaikan agar tidak menjatuhkan harga bahan baku. Oleh
sebab itu, pengembangan sektor layanan kesehatan obat tradisional yang saat ini telah
dimulai oleh pemerintah dapat menjadi cara untuk mengatasi kemungkinan jatuhnya
harga bahan baku tersebut di masa depan. Peningkatan terhadap aspek pelayanannya
157
3. Sintesis
Berdasarkan data penelitian yang dihasilkan pada ketiga klaster, sintesis yang
dihasilkan dari penelitian ini adalah mendorong terjadinya kebijakan pemungkin
(enabling policy) dalam pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari. Kebijakan
pemungkin dapat mendorong terjadinya perbaikan akses pada masyarakat di
pedesaan, misalnya dalam hal memperoleh energi listrik terbarukan melalui sinar
matahari dan angin. Energi tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat pedesaan agar dapat hidup lebih baik dan menggerakan ekonomi lokal.
Sehubungan sintesis penelitian berupa kebijakan pemungkin, sekurangnya terdapat
empat aspek yang dihasilkan, yaitu:
5.1. Aspek Budidaya Tumbuhan Obat
Perbaikan pemanfaatan kawasan produksi di sekitar TNMB untuk menghasilkan
bahan baku tumbuhan obat berkualitas bagi kepentingan pengobatan masyarakat pada
klaster layanan kesehatan amat diperlukan. Hal ini sekaligus berguna agar pasokan
permintaan bahan baku tumbuhan obat oleh sektor layanan kesehatan dapat terjamin
karena dibutuhkan untuk pengobatan pasien di rumah sakit maupun puskesmas.
Selain itu, aspek budidaya juga mendorong meningkatnya penangkaran dari hutan
alam oleh masyarakat sehingga bahan baku tersebut lebih mudah diperoleh baik oleh
klaster industri maupun klaster layanan kesehatan. Dengan demikian, aspek budidaya
ini dapat menarik minat masyarakat untuk berusaha sehingga berguna sebagai motor
penggerak ekonomi lokal. Oleh sebab itu, adanya kepastian pengelololaan kawasan
budidaya oleh masyarakat di sekitar TNMB diharapkan mampu meningkatkan akses
mereka terhadap teknologi, kapital maupun pasar sehingga kesejahteraan masyarakat
dapat meningkat. Peranan para pemangku kepentingan seperti Kepala BTNMB
maupun LSM KAIL untuk menjamin tersedianya kawasan budidaya tumbuhan obat
158
di wilayah kerjanya yang dikelola dengan baik, tertata dan aman juga merupakan
faktor penting agar ketersediaan bahan baku tumbuhan obat bagi klaster layanan
kesehatan maupun industri dapat terjamin.
Dalam pengembangan budidaya tersebut, pemanfaatan jenis-jenis lokal yang
sudah terancam punah seperti pulosari dan kedawung yang dicampurkan bersama
dengan jenis-jenis lain seperti cabe jawa, kemukus, joho lawe, jahe, kencur dan
temulawak serta kesumba keling berpotensi mendorong terjadinya peningkatan
ekonomi para pihak di sekitar TNMB. Pencampuran jenis tanaman obat tersebut
akan semakin baik apabila jenis-jenis pohon berkayu yang mengandung bahan obat
potensial di masa depan seperti bayur, jati dan suren juga ditanam di sekitar kawasan
budidaya tumbuhan obat.
yang berasal dari hutan alam. Untuk meningkatkan kepastian bagi klaster produksi,
perbaikan terhadap kelembagaan sosial seperti membuat lembaga payung yang
menampung semua pihak yang terlibat dalam penelitian tumbuhan obat serta
membangun perjanjian pemanfaatan tumbuhan obat antara ke tiga klaster dapat
menciptakan terjadinya sinergi informasi mengenai tumbuhan obat. Agar
keberpihakan negara terhadap klaster produksi menjadi jelas, pemerintah perlu
mendorong agen-agennya, yaitu Kepala BTNMB dan Kepala BPOM, untuk terlibat
secara serius menangani pemanfaatan tumbuhan obat di hutan alam. Hal ini penting
karena bahan baku tumbuhan obat harus benar-benar berkualitas diterima oleh pasien
mulai dari proses produksi sampai dengan pemanfaatannya. Keberadaan undang-
undang yang berhubungan dengan pemanfaatan tumbuhan obat juga diperlukan agar
kelembagaan ekonomi dan sosial dapat berfungsi dan bahan baku tumbuhan obat
dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh penggunanya.
PRODUKSI
INFORMASI
ASIMETRIS
PEMANFAATAN
TUMBUHAN
OBAT
LAYANAN
KESEHATAN INDUSTRI
ENABLING
Budidaya POLICY Pembenahan
Tumbuhan Obat Kelembagaan
Penegakan
Hukum
SDM Penegakan
Profesional Hukum
KELESTARIAN
PEMANFAATAN
TUMBUHAN OBAT
1. Kesimpulan
2. Implikasi
2.1. Terkait dengan pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat,
keterlibatan pendarung dan kelompok tani dalam pemanfaatan zona
rehabilitasi seluas 2.733.5 hektar untuk pengembangan budidaya tumbuhan
obat hutan sangat diperlukan. Hal ini berguna untuk mendukung kebutuhan
bahan baku obat tradisional pada klaster layanan kesehatan dan klaster
industri secara berkelanjutan.
2.2. Pemanfatan tumbuhan obat pada zona rehabilitasi di TNMB memerlukan
adanya kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) antara BTN
Meru Betiri, BPOM, LSM KAIL, Puskesmas/Rumah Sakit, Koperasi Jamu,
industri jamu, GP Jamu dan klinik pengobatan tradisional yang terdapat pada
klaster produksi, layanan kesehatan dan industri untuk memberikan kepastian
pasokan bahan baku tumbuhan obat, khususnya yang sudah mulai langka
seperti pulasari dan kedawung, secara legal sehingga mengurangi
pengambilan oleh pendarung dari hutan secara langsung.
2.3. Informasi asimetris yang terjadi pada masing-masing klaster harus dipecahkan
dengan mengembangkan sistem informasi pasar yang terkait dengan harga
dan standar keamanan bahan baku tumbuhan obat mulai dari klaster produksi
sampai dengan klaster industri dan layanan kesehatan.
2.4. Sehubungan dengan aspek sosial dan ekonomi diperlukan adanya penelitian
pelengkap yang berhubungan dengan penawaran dan permintaan tumbuhan
obat untuk mengetahui jaminan kelestarian tumbuhan obat.
165
2.5. Diperlukan adanya tindakan konservasi terhadap tumbuhan obat yang aktif
dimanfaatkan oleh para pihak menggunakan teknologi pemuliaan tanaman
yang digunakan untuk produksi tanaman obat agar produksi bibit dapat
dihasilkan secara cepat dengan kualitas yang baik.
3. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu:
3.1. Pembenahan terhadap klaster layanan kesehatan dan produksi harus dilakukan
dengan serius karena berfungsi meningkatkan pendapatan ekonomi dan sosial
masyarakat di sekitar hutan. Pembenahan tersebut dapat dilakukan dengan
cara menerbitkan undang-undang yang berhubungan dengan pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu.
3.2. Dalam membenahi klaster layanan kesehatan dan produksi, pemerintah perlu
membangun industrinya sendiri untuk memproduksi bahan baku obat
tradisional yang aman, murah dan berbasis ilmiah. Tugas tersebut dapat
dibebankan pada BUMD/BUMN agar menjamin pasokan bahan baku obat
tradisional yang berkualitas untuk rumah sakit milik pemerintah. Hal ini
karena industri jamu tradisional milik swasta tidak mampu menyediakan
fasilitas tersebut karena memiliki kepentingan yang berbeda secara ekonomi.
3.3. Perlunya dibentuk satuan tenaga ahli yang memiliki kecakapan untuk
meningkatkan kemampuan para pihak pada sektor produksi yang terdiri atas
lintas keahlian sehingga akses para pihak terhadap teknologi, kapital dan pasar
semakin baik.
3.4. Diperlukan adanya kebijakan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam
dan Ekosistemnya untuk pengamanan Taman Nasional bagi tanaman obat
dalam bentuk kegiatan patroli rutin pada kawasan budidaya tanaman obat
yang terdapat pada zona rehabilitasi karena bahan baku tersebut bernilai
ekonomi tinggi dan rawan terhadap pencurian.
3.5. Kementerian Koordinator Perekonomian perlu mengakomodir pembagian
tugas dan target pengembangan tanaman obat di mana tugas tersebut harus
dilaporkan kepada Presiden secara berkala sehingga Presiden dapat
166
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar MS, Musa AM, Ahmed A, Hussaini IM. 2007. The Perception and
Practice of Traditional Medicine in the Treatment of Cancers and
Inflammations by the Hausa and Fulani Tribes of Northern Nigeria.
Journal of Ethnopharmacology 111:625-629. Elsevier BV.
Ackermann F, Eden C. 2010. Strategic Management of Stakeholders: Theory and
Practices. Long Range Planning 44: 179 – 196.
Adams WM. 1990. Green Development: Environment and Sustainability in the
Third World. Routledge. London.
Adiputera IN. 2007. The Systemic, Holistic, Interdisciplinary and Participatory
(ship) Approach Supports the Conservation Program of Medicinal Plants
in Bali. J. Human Ergol 36: 51-55.
Akbor MM, Sultana R, Ullah A, Azad MAK, Latif AHMM, Hasnat A. 2007. In
vitro - In vivo Correlation (IVIVC) of Immediate Release (IR)
Levofloxacin Tablet. Dhaka Univ J.Pharm.Sci. 6(2): 113-119.
Amzu E. 2007. Sikap Masyarakat Dan Konservasi (Disertasi). Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
Appadurai A. 1986. The Social Life of Things: Commodities in Cultural
Perspective. Cambridge University Press. Cambridge.
Arifin A. 2011. Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi
dan Komunikasi Politik Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Balooni K, Lund JF, Kumar C, Inoue M. 2010. Curse or Blessing? Local Elites in
Joint Forest Management in India’s Shiwaliks. International Journal of the
Commons 4: 707 – 728.
Baron OE, Karpoff JM. 2004. Information Precision, Transaction Costs, and
Trading Volume. Journal of Banking & Finance 28: 1207 – 1223.
Bassett TJ. 1988. The Political Ecology of Peasant-Herder Conflicts in the
NorthernIvory Coast. Annal of the Association of American Geographers
78: 453 – 472.
Beers SJ. 2001. Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing. Periplus
Editions. Singapore.
Beers SJ. 2013. Jamu Sakti: Basmi Penyakit, Awet Muda dan Kecantikan. PT
Ufuk Publishing House. Jakarta.
Bennet WL. 2003. New Media Power: The Internet and Global Activism. In
Couldry N and Curran J, editors. Contesting Media Power. 2003. Rowman
and Littlefield.
Berry S. 1988. Concentration without Privatization? Some Consequences of
Changing Patterns of Rural Land Control in Africa. Pp 53 – 75 in Land
and Society in Contemporary Africa, edited by RE Downs and SP Reyna.
Hanover: University Press of New England
Bertens K. 2013. Pengantar Etika Bisnis (Edisi Revisi). Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Bhattacharjee S. 2012. Multidicplinary Research Can Make The Medicinal Plant
Industry In Tripura Viable-A concept Study Based on Tows Matrix.
International Journal of Multidiciplinary Research Vol 2(5): 146-154
168
Bienebe E, Coronel C, Le Coq JF, Liagre L. 2004. Linking Small Holder Farmers
to Market: Lessons Learned from Literature and Analytical Review of
Selected Project. Study Report. World Bank.
Birner R, Wittmer H. 2000. Converting Social Capital into Political Capital. Haw
do local communities gain political influence? A theoretical approach and
empirical evidence from Thailand and Columbia. Paper submitted to the
8th Biennal Conference of the International Association for the Study of
Common Property (IASCP). Institute of Rural Development, Georg-
August University, Goettingen.
Blaikie P. 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries.
Longman. London.
Blaikie P, Brookfield H. 1987. Land Degradation and Society. Methuen. London.
Blaikie P, Cannon T, Davis I, Wisner B. 1994. At Risk: Natural Hazards, People’s
Vulnerability and Disasters. Routledge. London.
Borrow E, Clarke J, Grundy I, Jones KR, Tessema Y. 2002. Analysis of
Stakeholders Power and Responsibilities in Community Involvement in
Forest Management in Eastern and Southern Africa. International Union
for Conservation of Nature and Natural Resources. Kenya.
Bourdieu P, Waquant LDJ. 1992. An Innovation to Reflexive Sociology.
University of Chicago Press. Chicago and London.
BPS. 2015. Indonesia Dalam Angka 2015. Jakarta.
Brook MG, Fauver R. 2014. A Possible Mechanism of Action for the Placebo
Response: Human Biofield Activation Via Therapeutic Ritual. Internationa
Journal of Transpersonal Studies 33: 131- 147.
Brown O, Crawford A, Hammill A. 2006. Natural Disasters and Resource Rights:
Building Resilience, Rebuilding Lives. International Institute for
Sustainable Development
Bryant RL, Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. Routledge. London
and New York.
Bryant RL, Rigg J, Stott P. 1993. The Political Ecology of Southeast Asia’s
Forest: Trans-disciplinary discourses. Global Ecology and Biogeography
Letters 3: 101 – 296.
Budiardjo M. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Collins RO. 1990. The Water of the Nile: Hydropolitics and the Jonglei Canal
1900 – 1988. Clarendon. Oxford.
Collins BM, Fabozzi FJ. 1991. A Methodology for Measuring Transaction Costs.
Financial Analysts Journal 47: 27 – 36.
Coleman JS. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American
Journal of Sociology 94: 95 – 120.
1990. Foundation of Social Theory. The Belknap Press. Cambridge.
MA.
Conley A, Moote MA. 2003. Evaluating Collaborative Natural Resources
Management. Society and Natural Resources 16: 371 – 386.
Corcoran J, Hughes O, Keegen D, Konsa M, Lewis E, Wilding W. 2012.
Medicinal Plants Conservation Centre, India. Equator Initiative Case
Study Series UNDP. New York.
169
Vasconselos EM. 2010. Association Between Religious Life and Health: A Brief
Review of Quantitative Studies. R.Eletr.de Com.Inf.Inov.Saude.Rio de
Janeiro 4(3): 12-17, doi: 10.3395/reciis.v4i3.381en.
Vodouhe FG, Coulibaly O, Assogbadjo AE, Sinsin B. 2008. Medicinal Plant
Commercialization in Benin: An Analysis of Profit Distribution Equity
Across Supply Chain Actors and Its Effect on The Sustainable Use of
Harvested Species. Journal of Medicinal Plant Research 2(11): 331 – 340
Walker, P.A. 2005. Political Ecology: Where is the Ecology? Progress in Human
Geography 29: 73 – 82
Wang, Z. 2010. Regulating Debit Cards: The Case of Ad Valorem Fees. Federal
Reserve Bank of Kansas City, pp 71 – 99, www. KansasCityFed.org.
Watts M. 1983. Silence Violence: Food, Famine and Peasantry in North Nigeria.
University North Carolina Press Berkeley.
Winkel, G. 2011. Foucault in the Forests – A Review of the use of ‘Foucauldian’
Concept in Forest Policy Analysis. Forest Policy and Economic 16: 81 –
92.
Wondolleck JM, Yaffee SL. 2000. Making Collaboration Work: Lesson from
Innovation in Natural Resources Management. Island Press. Washington
DC.
World Health Organization. 2003. WHO Guidelines on Good Agricultural and
Collection Practices (GACP) for Medicinal Plants. Jeneva. Switzerland.
World Health Organization. 2007. WHO Monographs on Selected Medicinal
Plants Volume 3. Geneva. Switzerland
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.
Bayumedia. Malang.
Zarycki T. 2007. An Interdisciplinary Model of Centre-Periphery Relations: A
Theoretical Proposition. Regional and Local Studies, Special Issue 2007:
110 - 130
Zhang, Y. 2001. Commentary Economics of Transaction Costs Saving Forestry.
Ecological Economics 36: 197 – 204.
Zimmer, A. 2010. Urban Political Ecology: Theoretical Concepts, Challenges, and
Suggested Future Direction. Erdkunde 64: 343 – 354
Zuhud EAM, Hikmat A. 2009. Hutan Tropika Indonesia Sebagai Gudang Obat
Bahan Alam Bagi Kesehatan Mandiri Bangsa. Di dalam: Tinambunan D,
Wibowo A, editor. Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia: Dari
Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Bogor.
Indonesia . Bogor (ID): Pusat Litbang Hutan Tanaman. Badan Litbang
Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Hlm 17-27.
Zuhud EAM, Hikmat A, Siswoyo. 2009. Strategi Pengembangan Tumbuhan Obat
Berbasis Konsep Bioregional (Contoh Kasus Taman Nasional Meru Betiri
Jawa Timur). Di dalam: Tinambunan D, Wibowo A, editor. Bunga
Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia: Dari Tumbuhan Hutan untuk
Keunggulan Bangsa dan Negara. Bogor. Indonesia . Bogor (ID): Pusat
Litbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian
Kehutanan. Hlm 53-64.
Zuhud EAM, Siswoyo, Hikmat A, Sandra E. 2009. Strategi Konservasi dan
Pengelolaan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia.
Di dalam: Tinambunan D, Wibowo A, editor. Bunga Rampai Biofarmaka
177
10. Antidesma bunius Buni Daun dan Saponin, Daun (obat penutup
(Euphorbiaceae) buah flavonoid, luka), buah matang
tanin (menambah ASI)
11. Arthocarpus Sukun Daun dan Saponin, Daun (obat demam),
communis kulit buah polifenol kulit buah
(Moraceae) (memperlancar ASI)
184
Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
12. Azadirachta incica Mimba Daun, Meliacins, Minyak biji
(Meliaceae) bunga, kulit liminoids, (penyakit
kayu, biji zat pahit kulit/psoriasis,eksis
riterpeoid, m, lepra), wasir,
sterol, tanin, kutu kepala,
flavonoid, kontrasepsi, penurun
saponin panas), kulit kayu
(obat malaria, TBC,
kencing manis,
radang sendi, pegal
linu, wasir,
kegemukan, tumor),
ranting
(membersihkan gigi,
radang gusi,
memperkuat gusi,
mencegah bau
mulut)
13. Baccaurea Menteng, Daun Saponin, Obat mencret dan
racemosa kepundung flavonoid, peluruh haid
(Euphorbiacea) tanin,
alkaloida
14. Barringtonia Putat Daun muda Saponin, Obat penambah
spicata flavonoid, nafsu makan
(Lecythidaceae) tanin
15. Caesalpinia sappan Secang Kayu Asam galat, Batuk darah pada
(Leguminosae) brasilein, TBC, pembersih
resin, darah, radang
resorsin, selaput lendir
minyak
atsiri, tanin
16. Calliandra Kaliandra Daun Saponin, Obat luka baru
haematocephala flavonoida,
(Leguminosae) tanin
17. Calophyllum Nyamplung Daun Senyawa Menekan
inophylum costatolidae, pertumbuhan virus
(Guttifereae) saponin dan HIV, bahan
hydrocyanic kosmetik untuk
acid perawatan kulit,
menyembuhkan luka
membandel, luka
bakar, luka potong
18. Canarium Kenari Daun, Saponin, Daun (pelancar
commune minyak biji tanin, haid), minyak biji
(Burseraceae) minyak (kosmetika)
lemak
19. Cassia siamea Johar Daun Alkaloid, Malaria
(Leguminosae) steroid,
interpenoid
185
Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
20. C. surattensis Kembang Akar Alkaloida, Obat kencing nana
(Leguminosae) kuning polifenol
21. Casuarina Cemara Daun Saponin, Obat kejang perut
equisetifolia tanin,
(Casuarinaceae) flavonoida
22. Cerbera manghas Bintaro Daun muda, Saponin, Obat pencahar
(Apocynaceae) akar, kulit polifenol,
batang tanin
23. Chrysophyllum Apel ijo, Kulit batang Tanin, Obat untuk
cainito sawo siyem flavonoida menguatkan tubuh
(Sapotaceae)
24. Cinnamomum Pohon Kulit batang Saponin, Pelega perut dan
camphora kamfer alkaloida, antiseptik
(Lauraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin,
minyak
atsiri
25. C. parthenoxylum Melana Kayu, kulit Atsri, safrol Kayu pewangi, hati
(Lauraceae) minyak yang membesar
26. Cordia obliqua Kendal Kulit Saponin, Obat demam
(Boraginaceae) batang, daun flavonida,
polifenol,
tanin
27. Crescentia cujete Berenuk Daun, Saponin, Daun (obat luka
(Bignoniaceae) daging buah flavonoida, baru), daging buah
polifenol (obat urus-urus)
28. Cryptocarva Masoyi Kulit batang Minyak Asma, batuk darah,
massoy atsiri demam, keputihan,
(Ebenaceae) kejang waktu hamil,
nyeri rematik, sulit
tidur, luka
29. Dialum indum Asam Daging buah Saponin, Obat sariawan, gusi
(Rosales) kranji flavonoida berdarah, obat
mencret
30. Dillenia Dilinia Buah Saponin, Obat sariawan, obat
philippinensis flavonoida, untuk wanita hamil,
(Dilliniaceae) tanin, penyegar badan
polifenol
31. Diospyros ferrea Kitenyek Hati kayu - Peluruh kentut pada
(Ebenaceae) anak-anak
32. D. kaki Kesemek Akar Saponin, Obat demam
(Ebenaceae) flavonoida,
tanin,
polifenol
33. Dracontomelon Sengkuang Kulit batang - Membantu
dao keluarnya ari-ari
(Anacardiaceae) pada wanita bersalin
186
Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
34. Duboisia leichardti Dubosia Daun Saponin, Obat batuk, obat
(Solanaceae) alkaloida, penenang
polifenol
35. Dryobalanops Kapur Kayu Minyak Mengurangi rasa
aromatica atsiri, harsa nyeri
(Dipterocarpaceae)
36. Durio zibethinus Durian Akar, cairan Saponin, Obat demam,
(Bombacaceae) daun, buah, flavonoida, pelancar haid, obat
kulit buah tanin, penggugur, obat
polifenol ruam, obat kurap,
mengobati sembelit,
obat jerawat
37. Elaeocarpus Jenitri Buah Polifenol, Peluruh lemak
granitus saponin badan
(Elaeocarpaceae)
38. E. grandiflora Anyang- Buah, daun Saponin, Buah (pelancar air
(Elaecarpaceae) anyang muda flavonioda, seni), daun muda
tanin, (obat borok dan
polifenol bisul)
39. Erythrina fusca Cangkring Akar Saponin, Obat sakit beri-beri
(Leguminosae) flavonoida,
polifenol
40. E. lithosperma Dadap Daun Saponin, Obat melancarkan
(Leguminosae) serep, flavonoida, nifas dan
dadap alkaloida, melancarkan ASI
minyak polifenol
41. E. microcarpa Dadap Daun Saponin, Obat demam pada
(Leguminosae) daun alus flavonoida, anak-anak
alkaloida,
polifenol
42. Eucalyptus Leda Daun, kulit Minyak Penambah tenaga,
deglupta batang atsiri, menghilangkan
(Myrtaceae) phellandren lemah lesu
e, aldehyde,
keton, fenol
43. E. umbellata Kayu putih Buah, daun Saponin, Obat masuk angin
(Myrtaceae) flavonoida,
tanin,
alkaloida,
minyak
atsiri
44. Eugenia cumini Duwet, Bunga, biji, Zat samak, Biji (obat kencing
(Myrtaceae) jamblang kulit tanin, manins,
minyak mengompol), kulit
terbang, (obat mencret)
damar,
glukoside,
asam galat
187
Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
45. E. microcyma Jambon, ki Daun Flavonoida, Obat diabetes
(Myrtaceae) tembaga tanin,
polifenol
46. E. polycephala Gowok, Kulit batang Saponin, Obat mencret
(Myrtaceae) kupa flavonoida,
tanin,
polifenol
47. Ficus ampelas Rampelas Daun, getah Saponin, Daun (melancarkan
(Moraceae) flavonoida, air seni), Getah
polifenol (obat sakit mencret)
48. F. annulata Bulu, Daun, akar Saponin, Daun (obat sakit
(Moraceae) kiyara flavonoida, demam), akar (obat
koneng, polifenol sakit lepra)
grasak
49. F. benjamina Beringin Daun Saponin, Obat sariawan pada
(Moraceae) flavonoida, anak-anak
polifenol
50. F. callosa Ilat-ilatan Getah Saponin, Obat bisul
(Moraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin
51. F. glabella Iprih Kulit batang Saponin, Obat demam
(Moraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin
52. F. glomerata Elo, loawa Daun, buah Saponin, Obat diare
(Moraceae) flavonoida,
polifenol,
alkaloida
53. F. ribes (Moraceae) Preh, walen Daun, kulit Saponin, Kulit batang (obat
bolok batang, flavonoida, mencret, mual dan
getah polifenol malaria), getah
(pelancar ASI)
54. Gigantochloa apus Bambu Rebung Saponin, Obat demam,
(Graminae) apus flavonoida, peluruh air seni
polifenol
55. Glyricidia sepium Glirisida Daun Saponin, Penyubur rambut,
(Papilionaceae) flavonoida, penghalus kulit
polifenol
56. Guatteria rumphii Kayu itam Kayu, daun Saponin, Obat demam
(Annonaceae) flavonoida,
polifenol
57. Hernandia peltata Kemiren, Biji Saponin, Obat masuk angin
(Hernandiaceae) binong flavonoida,
tanin
188
Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
58. Hibiscus tilaceus Waru Daub, akar, Saponin, Daun (Anti radang,
(Malvaceae) bunga flavonoida, anti toksin, peluruh
tannin, dahak, peluruh
polifenol kencing, TB paru-
paru, batuk, sesak
napas, demam,
muntah darah,
radang usus, bisul
abses), akar
(penurun panas,
peluruh haid), bunga
(radang mata)
59. Intsia bijuga Merbau, Kulit batang Tanin, Menghentikan diare
(Fabaceae) ipil alkaloid
60. Khaya sinegal Kayu Daun Saponin, Obat batuk menahun
(Meliaceae) lanang, flavonoida,
songgo tanin
langit
61. Lagerstroemia Bungur Bunga, akar Decinine, Bunga, kulit kayu
indica (Lythraceae) kecil daun decamine, dan kayu bersifat
legerine, puratif, batuk darah,
largerstroem campak, disentri,
ine, eksim, sakit kuning,
dihyldrovert anti radang,
iciilatine, meluruhkan kemih,
decodine menetralkan racun
62. L. loudonii Bungur Daun Saponin, Obat bisul
(Lythraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin
63. Leucaena glauca Petai cina Biji Mimosin, Biji (obat cacing,
(Mimosaceae) leukanol, diuretik, laksan),
leekaenin, akar (peluruh haid)
protein
64. Lisea cubeba Ki lemo, Daun, buah, Minyak Kulit batang
(Lauraceae) krangean kulit, atsiri, tanin, (penawar bisa), buah
batang, akar elegat, (obat batuk)
saponin,
falvonoida
65. L. odorifera Trawas Daun Minyak Penambah nafsu
(Lauraceae) atsiri, makan, karminatif,
damar, tanin sriawan, pelancar
ASI, obat bisul
66. Manilkara kauki Sawo kecik Bunga, Saponin Obat daya
(Sapotaceae) buah, biji penyembuh yang
tinggi
189
Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
67. Maniltoa Pohon sapu Kulit batang Minyak Obat sakit gangguan
grandiflora tangan atsiri, pencernaan
(Caesalpiniaceae) flavonoida,
polifenol
68. Massoia aromatic Masoyi Kulit batang Minyak Obat pusing,
(Lauraceae) atsiri, keputihan, kejang
flavonoida, perut, urus-urus,
polifenol penurun panas,
pasca persalinan
69. Paraserienthes Sengon Daun Saponin, Obat luka lama
falcataria laut flavonoid,
(Leguminosae) tanin,
polifenol
Sumber: Zuhud dan Haryanto (1994), Jain (2001), Delimartha (2006), Hariana
(2006); Rostiwati (2013).
190
Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
48. 1302193000 Caulis spatholobus suberectus
49. Chinensis
50. Astragallus membranacaeus
51. Bupleurum
52. Salviae miltiorrhizae
53. Fuci aquos extract
54. Fucus viciculosus extract
55. Ganodermae lucidum extract
56. Garcinia cambogia extract
57. Ginko biloba extract
58. Ginseng extract
59. Grapeseed extract
60. Green tea extract
61. Grindeliae camporum extract
62. Hammamelis virginianae extract
63. Harpagophyti procumbens extract
64. Horse chesnut P.E.
65. Humulus lupulus extract
66. Ilex paraguariensis extract
67. Isatis indigoticae extract
68. Laminaria japonica extract
69. Licorice extract (liquiritium extract)
70. Liriosmae ovatae extract/Dulcacia inopiflora
71. Lonicerae Capri extract
72. Lonicerae japonica extract
73. Medicago sativa extract
74. Meliloti officinalis extract
75. Mentha piperita extract
76. Milk thistle powder extract
77. Momordicae charantia dry extract
78. Momordicae grosvenori extract
79. Myroxylon pereirae extract
80. Olea europaea extract
81. Panax ginseng extract
82. Passiflora incarnatae extract
83. Paulinae cupanae extract
84. Pausinystaliae yohimbe extract
85. Pheretima aspergillum/lumbricus extract
86. Phyllanthus niruri extract
87. Pimpinella anisum extract
88. Plantago ovatae semini extract
89. Primulae extract
90. Pruni africanae cortex extract
91. Ptychopetali olacoides extract
92. Rhei radix extract
93. Rusci aculeatus rhizomae extract
94. Salix species cortex extract
95. Sambuci nigrae extract
192
Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
96. 1302193000 Sanguis draconis extract
97. Schizandrae chinensis extract
98. Serenoae repens extract
99. Silybi marianum extract
100. Sophora japonica extract
101. Steviae rebaudianae extract
102. Taraxacum officinale extract
103. Thymi serpyllum extract
104. Thymi vulgaris extract
105. Tribuli terrestis extract
106. Trifolii pretense extract
107. Turnerae diffusae extract
108. Urticae dioicae extract
109. Vaccinii myrtillus extract
110. Valerian extract
111. Vanila extract
112. Vincae minor extract
113. Vitex agnus castus extract
114. Vitis vinifera extract (Leucose lect phytosome)
115. Withaniae somniferae extract
116. Zingiber officinale extract
117. 1508901000 Arachis oil
118. 1510001000 Minyak lain dan fraksinya, diperoleh semata-mata
dari zaitun, berupa minyak mentah (termasuk
campuran dari beberapa minyak atau fraksinya
dengan minyak zaitun atau fraksi minyak zaitun
yang dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak
dimodifikasi secara kimia)
119. 1512191000 Sun flower oil
120. 1514110000 Canola oil
121. 1515902900 Oenotherae biennis oil
122. 1516201800 Flax seed oil
123. 1518001400 Virgin coconut oil
124. Fraksi dari minyak kelapa yang dimurnikan
125. 2906110000 Menthol
126. Borneol
127. 2907120000 Formokresol
128. 2907190000 Thymol
129. 2909300000 Anethol oil
130. Eugenol
131. 2914291000 Camphor
132. 2918230000 Methyl salicylate
133. 2938100000 Myrtol
134. Saponin
135. Terpineol
193
Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
136. 2939300000 Kafein
137. 3301120000 Orange sweet oil
138. 3301240000 Peppermint oil
139. 3301250000 Dementholised mint oil BP/EP
140. Minyak atsiri (mengandung terpena atau tidak dari
peppermint (Mentha piperita))
141. Spearmint oil
142. 3301290010 Citronella oil
143. 3301290090 Cassia oil
144. Cedarleaf oil
145. Clove oil
146. Eucalyptus oil
147. 3301300000 Podophyllum resin
148. Vanila oleoresin
149. 3301301000 Nigella sativa seed oil
150. Pimpinella anisum oil
151. Anise oil
152. Cajuputi oil
153. Myristica oil
154. Black cumin seed oil
155. Borago officinalis oil
156. Cassia oil
157. Chamomile extract
158. Chamomile oil
159. Chlorella extract
160. Clove oil BP/EP
161. Coriander seed oil
162. Cypres French oil
163. Eucalyptus oil
164. Euphrasia extract
165. Evening primrose oil
166. Garlic oil
167. Lavender oil
168. Melissa officinalis oil
169. Minyak atsiri (mengandung terpena atau tidak dari
rumput lemon, serai, pala, kayu manis, jahe,
kapulaga, adas atau palm rose yan mempunyai
mutu farmasi)
170 Oleum juniper
171. Pine needle oil
172. Pumilo pine oil
173. Rosmarinus officinalis oil
174. Star anise oil
175. Syzygii aromaticum oil
176. Triticum aestivum oil
177. Capsaicin
178. Capsicum oil
179. Myrrh oil
194
Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
180. 3301301000 Wintergreen oil
181. 3301909000 Nutmeg oil
182. 3302900000 White camphor oil
183. 3802100000 Activated carbon
184. 3805100000 Cineole
185. Terpentin oil
186. 3807000000 Creosot
Sumber: BPOM (2013)
195
NOTA
Sumber: Nota Pembayaran pada klinik Penyembuhan Romo Loogman Purworejo (2015)
196
Lampiran 5. Daftar Simplisia yang Digunakan sebagai Ramuan untuk Penyembuhan di Klinik Romo H.
Loogman MSC
Lampiran 5. Lanjutan
No. Simplisia
136. D. cincau
137. Angkak
138. Ki urat
139. Keladi tikus
140. Tura ikan hiu
141. Jati belanda
142. Kulit pohon kecapi
198
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 6. lanjutan
Lampiran 7. Lanjutan
Layanan No. Nama Produk Tumbuhan Obat/Jamu Harga di tingkat
Kesehatan Pedagang
(Rp/unit)
16. Asam urat 5,000/gelas
17. Diabetes 5,000/gelas
18. Temulawak 7,000/gelas
19. Kalkusol 810/butir
20. Pegagan 3,125/kg
21. Daun wungu 15,000/kg
22. Daun kemuning 3,750/kg
23. Babakan pule 12,500/kg
24. Daun jati cina 6,000/kg
25. Daun jati belanda 15,000/kg
26. Pulosari 20,000/kg
27. Sambiloto 1,500/kg
28. Meniran 1,500/kg
29. Brotowali 17,500/kg
30. Temulawak 1050/kg
31. Kunyit 2,750/kg
32. Temu ireng 11,500/kg
33. Pala 87,500/kg
34. Kayu secang 2,800/kg
35. Sembung 13,000/kg
36. Tempuyung 2,000/kg
37. Cabe jawa 62,500/kg
38. Daun seledri 8,000/kg
39. Serai 13,750/kg
40. Jintan hitam 8,000/kg
41. Pare 37,500/kg
42. Tymi 125,000/kg
43. Salam 8,000/kg
44. Adas 8,750/kg
45. Jahe 6,250/kg
46. Kumis kucing 1,250/kg
47. Jahe instan 12,500/bungkus
48. Temulawak instan 9,000/bungkus
49. Kencur instan 12,500/bungkus
50. Jahe merah instan 13,000/bungkus
51. Wedang uwuh 1,000/bungkus
209
Lampiran 7. Lanjutan
Industri No. Nama Produk Tumbuhan Obat Harga di tingkat
Pabrik (Rp/unit)
1. Jamu batuk 15,000/sachet
2. Jamu pegal linu 15,000/sachet
3. Jamu sehat perempuan 15,000/sachet
4. Jamu sehat lelaki 15,000/sachet
5. Jamu galian singset 15,000/sachet
6. Jamu sehat segar 15,000/sachet
7. Jamu pabrikan 350/sachet
8. Jamu instan pabrikan 1000/sachet
9. Temulawak 43,000/botol
10. Pegagan 43,000/botol
11. Sambiloto 43,000/botol
12. Jati belanda 43,000/botol
13. Tempuyung 48,000/botol
14. Temu putih 48,000/botol
15. Gano kapsul 60,000/botol
16. Mahkota dewa 43,000/botol
17. Brotowali 43,000/botol
18. Mengkudu 43,000/botol
19. Nuric 48,500/botol
20. Bio langsing 50,000/botol
21. Phylari 45,500/botol
Industri
22. Lumbricaps 70,000/botol
23. Jamu pabrik 575/sachet
24. Bahan baku jamu setengah jadi 4,000,000/kg