Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 227

PEMETAAN PARA PIHAK DALAM PEMANFAATAN

TUMBUHAN OBAT SEBAGAI BAHAN BAKU JAMU:


STUDI KASUS DI PULAU JAWA

IGNATIUS ADI NUGROHO

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Pernyataan Mengenai Disertasi dan Sumber Informasi
serta Pelimpahan Hak Cipta

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pemetaan Para Pihak
dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku Jamu Studi Kasus di Jawa
adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi di manapun. Sumber yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016

Ignatius Adi Nugroho


E. 161110081
ABSTRACT

This study is focused on stakeholder relation on medicinal plant of raw materials


utilization, which is in the utilization process, there are also conflicts of interest, influence
and power. Those conflicts occurred because medicinal plants utilization creates social
change and economic among stakeholder’s activities. Purposes of this study are (a)
Identifying stakeholders, their motivation and perception in medicinal plants utilization; (b)
Analyzing role, interest, influence and power among stakeholders; (c) Analyzing
stakeholder’s access to medicinal plants utilization; (d) Analyzing benefit and transaction
cost occurred, and (e) Describing stakeholder’s resilience relates to their safety net and
stepping stone by the medicinal plants utilization. The method used in this study is survey to
stakeholders by interviewing key informants. Data were captured in three clusters: (a)
Production cluster in Meru Betiri National Park, Jember District, East Jawa; (b)
Traditional healthcare cluster in Yogyakarta City, and (c) Industry cluster in Sukoharjo
District, Central Jawa. Results of this study shows that there were totally 41 stakeholders
involved in medicinal plants utilization such as government sectors, private sectors,
Indonesia herbal association, Indonesia Doctors Association, Non Government
Organization (NGO), Hospitals and clinics, households, traditional healers, Middleman
buyers, Harvesters, Farmers, Small-Medium Entrepreneurs, and Pencak Silat Martial Arts
Group. Based on mapping to the stakeholders, it was informed that almost all stakeholders
were still disperse in their each different interest. Furthermore, the stakeholders need an
institutional arrangement to decrease negative excess in those utilization. The stakeholders
also have two access variables: access to market and access to capital. Access to market is
described that stakeholders tend to sell raw materials of medicinal plants from natural
forest. Most stakeholders have benefits in the activities and all transaction cost occurred in
form of ad valorem and lump sum. Based on resilience analysis, the stakeholders who
involved in medicinal plants utilization still has vulnerable. It means the stakeholders need
protection and government should encourage them to develop safety net and stepping
stone. Implication of this study, there is a need in optimally range of rehabilitation zone in
Meru Betiri National Park to develop medicinal plants cultivation and to encourage
institutional arrangement medicinal plants utilization. It is quite important to avoid
asymmetric information among stakeholders in each cluster, to continue research study in
supply-demand of medicinal plants utilization and to encourage enabling policy to secure
the medicinal plants cultivation area by the routine patrol activity, so that the government
policy could be perceived its presence by the stakeholders.

Keyword: access, benefit, herbal, medicinal plant, stakeholders, transaction cost


RINGKASAN

IGNATIUS ADI NUGROHO. Pemetaan Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
sebagai Bahan Baku Jamu: Studi Kasus di Pulau Jawa. Dibimbing oleh Dr. Ir. Dodik Ridho
Nurrochmat, M.ScFor.Trop., Profesor Dr. Ir. Latifah Kosim Darusman, MS., Profesor Dr.
dr. Agus Purwadianto, SH, MSi, Sp.F, DFM, dan Profesor Dr. Ir. Hardjanto, MS.

Penelitian ini membahas relasi para pemangku kepentingan dalam memanfaatkan


bahan baku tumbuhan obat di mana dalam proses pemanfaatan tersebut terjadi konflik
kepentingan, pengaruh dan kekuasaan diantara mereka. Konflik-konflik tersebut terjadi
karena pemanfaatan tumbuhan obat mendorong perubahan sosial dan ekonomi para pelaku
di dalamnya. Tujuan penelitian ini yaitu (a) Melakukan identifikasi terhadap pelaku,
motivasi dan persepsinya dalam pemanfaatan tumbuhan obat; (b) Menganalisis peranan,
kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pelaku dalam pemanfaatan tersebut; (c)
Menganalisis akses yang dimiliki oleh para pelaku; (d) Menganalisis besarnya manfaat
yang diterima dan biaya transaksi yang terjadi dan (e) Menguraikan jaminan alam (natural
insurance) yang dimiliki oleh para pihak di mana tumbuhan obat berperan sebagai safety
net dan stepping stone sebagai kesempatan untuk meningkatkan pendapatan untuk
membiayai kegiatan anggota keluarga melalui tumbuhan obat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui metode survei terhadap para
pemangku kepentingan dengan memanfaatkan informan kunci yang terdapat di dalamnya.
Dalam pencarian data, lokasi penelitian dibagi berdasarkan 3 (tiga) klaster di mana masing-
masing klaster tidak memiliki keterkaitan pemanfaatan secara langsung, tetapi masing-
masing klaster memiliki keunikan tersendiri yaitu (a) Klaster produksi berada di Taman
Nasional Meru Betiri Jember Jawa Timur; (b) Klaster layanan kesehatan tradisional berada
di Kota Yogyakarta, dan (c) Klaster industri berada di Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah.

Penelitian ini mengidentifikasi 41 pemangku kepentingan yang terlibat dalam


pemanfaatan tumbuhan obat mulai dari instansi pemerintah, swasta, asosiasi, rumah sakit
dan klinik, dokter, pengobat tradisional, LSM, rumah tangga, pengecer, pengepul,
pemungut, kelompok tani, industri rumah tangga, dan kelompok pencak silat. Berdasarkan
pemetaan terhadap para pemangku kepentingan diperoleh hasil sebagian besar pelaku
masih tersebar dalam kepentingannya masing-masing sehingga membutuhkan adanya
perbaikan kelembagaan untuk mengurangi terjadinya ekses negatif dalam pemanfaatan
tersebut. Akses utama yang dikuasai oleh para pemangku kepentingan terdiri atas akses
terhadap pasar dan akses terhadap kapital di mana akses terhadap pasar mendorong
terjadinya produksi bahan baku tumbuhan obat keluar dari hutan. Industri sendiri berperan
sebagai pembeli atas bahan baku tumbuhan obat yang ditawarkan oleh pasar. Secara umum,
para pemangku kepentingan memperoleh keuntungan yang cukup memadai dari
pemanfaatan tumbuhan obat di mana transaksi yang banyak terjadi bersifat ad valorem dan
lump sum. Artinya transaksi tersebut bersifat legal pada dua klaster yang lain, kecuali pada
klaster produksi di mana pada kasus pemanfaatan tumbuhan obat potensial di masa datang
terjadi transaksi yang bersifat ilegal. Berdasarkan analisis kelentingan, para pemangku
kepentingan masih dikategorikan memiliki kerentanan sehingga perlu dilindungi
aktifitasnya dan didorong untuk memiliki safety net dan stepping stone agar mampu
menghadapi goncangan sosial dan ekonomi manakala hal tersebut terjadi di masa depan.

Implikasi dari penelitian ini bahwa diperlukan adanya pemanfaatan optimal


terhadap zona rehabilitasi pada Taman Nasional Meru Betiri untuk mengembangkan
budidaya tumbuhan obat hutan, memperbaiki kelembagaan pemanfaatan tumbuhan obat,
mengurangi terjadinya asimetris informasi antar klaster, melakukan penelitian lanjutan
mengeni aspek penawaran dan permintaan serta mendorong terjadinya kebijakan untuk
mengamankan lokasi budidaya tumbuhan obat dengan kegiatan patroli rutin sehingga
kehadiran negara dapat dirasakan oleh para pihak.

Kata kunci: akses, jamu, manfaat, pemangku kepentingan, transaksi, tumbuhan obat
PEMETAAN PARA PIHAK DALAM PEMANFAATAN
TUMBUHAN OBAT SEBAGAI BAHAN BAKU JAMU:
STUDI KASUS PULAU DI JAWA

IGNATIUS ADI NUGROHO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Sidang Tertutup
Tanggal sidang tertutup: 18 Mei 2016
1. Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS
(Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB)

2. Dr. Ir. Bambang Trihartono, M.For.Sc


(Widyaiswara pada Badan Diklat dan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan)

Penguji Luar Komisi pada Sidang Terbuka:


Tanggal sidang terbuka: 28 Juli 2016
1. Prof. Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS
(Guru Besar pada Fakultas Kehutanan IPB)

2. Dr. Ir. Bambang Trihartono, M.For.Sc


(Widyaiswara pada Badan Diklat dan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan)
PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah (disertasi) ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan
Agustus 2015 ini adalah pemanfaatan tumbuhan obat, dengan judul Pemetaan
Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku Jamu: Studi
Kasus di Pulau Jawa. Semoga hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu
pengetahuan mengenai pelaku pemanfaat tumbuhan obat dan dapat digunakan
oleh peneliti berikutnya dalam mengembangkan IPTEK terkait pemanfaatan
sumberdaya hutan yang berkelanjutan.

Terima kasih juga penulis ucapkan kepada komisi pembimbing disertasi


yang telah memberikan banyak masukan dan arahan sehingga penelitian ini dapat
diselesaikan dengan baik, yaitu:

1. Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop. selaku pembimbing utama,

2. Prof Dr. Ir. Latifah Kosim Kadarusman, MS selaku anggota

3. Prof Dr. dr. Agus Poerwadianto, SH, MSi, SpF, DFM selaku anggota

4. Prof Dr. Ir. Hardjanto, MS selaku anggota

Selain itu, penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan


kepada Kepala Pusat Diklat Kehutanan Badan Diklat dan SDM Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang telah memberikan dukungan dan bantuan
beasiswa bagi penulis sehingga membantu kelancaran penyelesaian tugas akhir
ini.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada orang tua penulis bapak
FX Wasito dan ibu Veronica Suprapti, istri E.F. Ira Prabawani, dan anak-anak
Paulus Madaharsa Nandanadira, Yoanes Paulus II Prameshvara Nandanata, dan
mendiang Fransiskus Adyatma Nandanakristha yang telah sabar mendorong dan
mendukung kegiatan penulisan ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016

Ignatius Adi Nugroho


ii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Palu Sulawesi Tengah pada tanggal 3 Maret 1972, anak
pertama dari dua bersaudara dari pasangan Fransicus Xaverius Wasito Danudipuro, BA dan
Veronica Suprapti. Pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)
ditempuh penulis di Jakarta. Tahun 1992, penulis melanjutkan pendidikan sarjana di
Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) dan memilih jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB
dan lulus tahun 1998. Tahun 2003, penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana dengan
biaya sendiri dan ijin belajar dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Donggala
Sulawesi Tengah di program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK), Fakultas Kehutanan
IPB dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun 2011 penulis berkesempatan melanjutkan studi
ke jenjang program Doktor (Strata 3) pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan (IPH),
Sekolah Pascasarjana IPB melalui beasiswa dari Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Kehutanan, Kementerian Kehutanan (saat ini menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan). Penulis telah berkeluarga dan menikah dengan Eleonora Fibrina Ira
Prabawani, S.Pi dan dikaruniai tiga orang putera yaitu Paulus Madaharsa Nandanadira,
Yoanes Paulus II Prameshvara Nandanata dan Fransiskus Adyatma Nandanakristha.

Pada awalnya penulis bekerja di Kantor Wilayah (Kanwil) Kehutanan Propinsi


Sulawesi Tengah dan diperbantukan di Dinas Perhutanan dan Konservasi Tanah (PKT)
Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah tahun 2000 sampai dengan pertengahan tahun 2007.
Kemudian pada tahun 2007, penulis berkesempatan pindah menjadi PNS pada Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan RI dan ditempatkan
sebagai staf Sub Bagian Kerjasama Penelitian di Sekretariat Badan Litbang Kehutanan.
Tahun 2009, penulis dipromosikan menjadi Kepala Sub Bidang Program Penelitian dan
Kerjasama di Pusat Litbang Hutan Tanaman Badan Litbang Kehutanan. Pada tahun 2010
terjadi perubahan organisasi di Badan Litbang Kehutanan dan penulis dipercaya memegang
jabatan Kepala Sub Bidang Program dan Anggaran Penelitian di Pusat Litbang
Produktivitas Hutan Badan Litbang Kehutanan sampai dengan tahun 2011 sebelum
memperoleh tugas belajar di IPB. Setelah Kementerian Kehutanan menjadi Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, penulis saat ini menempati posisi sebagai staf di Sub
Bidang Kerjasama Penelitian di Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan pada Badan
Litbang Kehutanan.

Publikasi ilmiah telah penulis sampaikan di dalam jurnal internasional Forest Policy
and Economic (Revisi I) dengan judul Political Ecology on Medicinal Plants Utilization in
Meru Betiri National Park, Indonesia dan jurnal nasional Jurnal Penelitian Sosial dan
iii

Ekonomi dengan judul Perilaku Ekonomi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
di Taman Nasional Meru Betiri serta Jurnal Manajemen Hutan Tropika dengan judul
Commercialization on Medicinal Plants in Java Island.
DAFTAR ISI

Halaman
PRAKATA i
RIWAYAT HIDUP ii
DAFTAR TABEL iv
DAFTAR GAMBAR v
DAFTAR LAMPIRAN vi
DAFTAR ISTILAH vii
I. PENDAHULUAN 1
1. Latar Belakang 1
2. Fokus Penelitian 7
3. Masalah Penelitian 8
4. Kerangka Pemikiran 10
5. Kebaruan (Novelty) 16
6. Tujuan Penelitian 17
7. Manfaat Penelitian 17
II. TINJAUAN PUSTAKA 19
1. Ekologi Politik 19
2. Konsep Politik 20
3. Pendekatan Ekologi Politik 23
4. Aktor 28
4.1. Analisis Para Pihak 30
5. Teori Akses 33
6. Analisis Biaya dan Manfaat 38
7. Biaya Transaksi 39
8. Obat Tradisional 43
8.1. Citra Jamu Sebagai Layanan Kesehatan 43
8.2. Peran Industri Jamu 45
8.3. Struktur Kelembagaan Pengembangan Obat Tradisional 47
8.4. Modernisasi Pengobatan Tradisional 50
9. Resiliensi Aktor Marjinal 52
III. METODOLOGI 56
1. Lokasi dan Waktu Penelitian 56
2. Bahan dan Alat Penelitian 59
3. Tahapan Penelitian 60
4. Metode Penelitian 61
4.1. Teknik Pengumpulan Data 62
4.2. Teknik Analisis Data 62
Halaman
4.2.1. Identifikasi Pelaku, Motivasi dan Persepsi 62
4.2.2. Kepentingan dan Pengaruh Pelaku 64
4.2.3. Akses Terhadap Sumberdaya Tumbuhan Obat 67
4.2.4. Analisis Sosial dan Ekonomi Para Pihak 71
4.2.5. Pemetaan Posisi Para Pihak 74

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 76


1. Hasil 76
1.1. Klaster Produksi 76
1.1.1. Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur 76
1.1.1.1. Identifikasi Para Pihak 76
1.1.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak 80
1.1.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 80
1.1.1.4. Akses Para Pihak pada Sumberdaya Tumbuhan Obat di 82
Klaster Produksi
1.1.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 85
1.2. Klaster Layanan Kesehatan 86
1.2.1. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 86
1.2.1.1. Identifikasi Para Pihak 87
1.2.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak 94
1.2.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 96
1.2.1.4. Akses Para Pihak terhadap Layanan Kesehatan 97
1.2.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 101
1.3. Klaster Industri 102
1.3.1. Kabupaten Sukoharjo 102
1.3.1.1. Identifikasi Para Pihak 103
1.3.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak 109
1.3.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 110
1.3.1.4. Akses Para Pihak pada Klaster Industri 111
1.3.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 113

2. Pembahasan 115
2.1. Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Tumbuhan Obat 115
2.2. Posisi Para Pihak 117
2.2.1. Taman Nasional Meru Betiri 118
2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 118
2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak 122
2.2.2. Layanan Kesehatan 123
2.2.2.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 123
2.2.2.2. Konflik Kepentingan antar Pihak 125
2.2.3. Industri Obat Tradisional 127
2.2.4. Relasi Kepentingan dan Pengaruh 127
Halaman
2.2.5. Konflik Kepentingan antar Pihak 128
2.3. Akses terhadap Sumberdaya 132
2.4. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 135
2.4.1. Taman Nasional Meru Betiri 135
2.4.1.1. Biaya Manfaat 135
2.4.1.2. Biaya Transaksi 137
2.4.1.3. Natural Insurance 140
2.4.2. Layanan Kesehatan Tradisional 141
2.4.2.1. Biaya Manfaat 141
2.4.2.2. Biaya Transaksi 144
2.4.2.3. Natural Insurance 147
2.4.3. Industri Obat Tradisional 148
2.4.3.1. Biaya Manfaat 148
2.4.3.2. Biaya Transaksi 150
2.4.3.3. Natural Insurance 151
2.5. Kelestarian Bahan Baku Tumbuhan Obat 152
2.5.1. Peran Negara dalam Kelestarian 153
2.5.2. Pemanfaatan Ruang Budidaya Tumbuhan Obat 156
3. Sintesis 157
3.1. Aspek Budidaya Tumbuhan Obat 157
3.2. Sumber Daya Manusia (SDM) Profesional 158
3.3. Pembenahan Kelembagaan 159
3.4. Penegakan Hukum 160
V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI 162
DAFTAR PUSTAKA 167
LAMPIRAN
iv

DAFTAR TABEL

No. Uraian Halaman


1. Hubungan Akses Para Pihak atas Sumber daya Tumbuhan 14
Obat
2. Empat Tipe Sumberdaya (Goods) 27
3. Jenis Sumberdaya Alokatif dan Otoritatif 27
4. Tahapan Waktu Pelaksanaan Penelitian 58
5. Jenis Data, Metode dan Sumber Data yang Dibutuhkan 61
6. Identifikasi Para Pihak pada Lokasi Penelitian 63
7. Identifikasi Para Pihak terhadap Kepentingan dan Pengaruh 64
8. Analisis Ragam untuk Regresi Linier Berganda 70
9. Motivasi dan Persepsi Para Pihak dalam Pemanfaatan 80
Tumbuhan Obat di Klaster Produksi
10. Nilai Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak dalam 81
Pemanfaatan Tumbuhan Obat di Klaster Produksi
11. Variabel Akses Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TN Meru 83
Betiri
12. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda antara Permintaan 84
Tumbuhan Obat terhadap Variabel Akses Ekonomi di TN
Meru Betiri
13. Hasil Uji F terhadap Variabel Akses Permintaan Tumbuhan 84
Obat di TN Meru Betiri
14. Hasil Uji t-Student terhadap Permintaan Tumbuhan Obat di 85
TN Meru Betiri
15. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance di 86
TN Meru Betiri
16. Motivasi dan Persepsi Para Pihak pada Klaster Layanan 95
Kesehatan
17. Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak 96
pada Klaster Layanan Kesehatan
18. Data Variabel Akses Para Pihak Pada Klaster Layanan 98
Kesehatan
19. Hasil Korelasi Pearson terhadap Akses pada Layanan 99
Kesehatan
20. Anova Variabel Akses pada Klaster Layanan Kesehatan 99
21. Hasil Uji Parsial Terhadap Variabel Akses di Klaster 100
Layanan Kesehatan
22. Data Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural 102
Insurance
23. Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Klaster Industri 109
24. Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh pada 110
Klaster Industri
25. Data Akses Klaster Industri Jamu 112
v

No. Uraian Halaman


26. Hasil Korelasi Pearson atas Data Akses Klaster Industri 113
Jamu
27. Anova Pengujian Hipotesis atas Variabel Akses di Klaster 113
Industri Jamu
28. Hasil Uji t student pada Variabel Akses Klaster Industri 114
29. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance 115
30. Empat Aspek Motivasi dan Persepsi Para Pihak 116
31. Posisi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat 118
32. Musim Panen Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri 120
33. Importasi Bahan Baku Tumbuhan Obat dari Mancanegara 129
ke Indonesia
34. Eksportasi Bahan Baku Tumbuhan Obat Indonesia ke 129
Mancanegara
35. Akses pada Masing-Masing Klaster 133

DAFTAR GAMBAR

No. Uraian Halaman


1. Kerangka Pemikiran Penelitian 13
2. Mekanisme Pendekatan Ekologi Politik di Negara 25
Berkembang
3. Matriks Interest Influence 33
4. Faktor Determinan Biaya Transaksi 42
5. Rantai Pemasaran Biofarmaka di Jawa Tengah 46
6. Struktur Industri Obat Tradisional Terkait Klaster 49
7. Tahapan Modernisasi Obat Tradisional Indonesia 51
8. Tahapan Penelitian 60
9. Posisi Para Pihak Berdasarkan Kepentingan dan Pengaruh 66
10. Alur Pemetaan Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan 75
Obat di Klaster Produksi, Industri dan Layanan Kesehatan
11. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak dalam 82
Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri
12. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak pada 97
Klaster Layanan Kesehatan
13. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh pada Klaster 111
Industri
14. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Produksi di TN 136
Meru Betiri
15. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan 144
16. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Industri 149
17. Sintesis Hasil Pemetaan Stakeholder 161
vi

DAFTAR LAMPIRAN

No. Uraian Halaman


1. Daftar Bahan Baku Obat Herbal Indonesia 178
2. Daftar Tanaman Obat Berkhasiat dari Hutan Tanaman 183
3. Importasi Bahan Obat ke dalam Wilayah Indonesia 190
4. Data Nota Pengobatan Romo H. Loogman MSC 195
5. Daftar Simplisia yang Digunakan sebagai Ramuan untuk 196
Penyembuhan di Klinik Romo H. Loogman MSC
6. Formula Ramuan Tradisional Rm. H. Loogman MSC 198
7. Data Harga Beberapa Tanaman Obat pada Masing-Masing 207
Klaster
vii

DAFTAR ISTILAH

BALITRO : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik


BLANDONG : Penebang kayu di dalam hutan di Jawa
BOREK KAYU : Orang yang membeli hasil tebangan kayu dari dalam hutan
BPOM : Balai Pengawas Obat dan Makanan
BPPT : Badan Penelitian dan Penerapan Teknologi
BTN : Balai Taman Nasional
CONTEXT SETTER : Pelaku yang memiliki kepentingan rendah tetapi
pengaruhnya kuat
CPOTB : Cara Pembuatan Obat yang Baik
CROWD : Pelaku yang memiliki kepentingan dan pengaruh rendah
DISBUNHUT : Dinas Perkebunan dan Kehutanan
FHI : Farmakope Herbal Indonesia
GACP : Good Agricultural and Collection Process
HGU : Hak Guna Usaha
HHBK : Hasil Hutan Bukan Kayu
IDI : Ikatan Dokter Indonesia
IKOT : Industri Kecil Obat Tradisional
JAKETRESI : Jaringan Kerja Petani Rehabilitasi
KEY PLAYER : Pelaku yang memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi
KOJAI : Koperasi Jamu Indonesia
LDO : Ledok Ombo Group
LIPI : Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
NGO : Non Government Organization
PAD : Pendapatan Asli Desa
PERHIBA : Perhimpunan Peneliti Tumbuhan Bahan Alam
PASIEN : Orang yang membutuhkan layanan kesehatan
PENDARUNG : Pemungut tumbuhan obat dari dalam hutan
PENGEPUL : Orang yang membeli hasil pungutan tumbuhan obat dari hutan
PENGOBAT SPRITUAL : Orang yang melakukan pelayanan penyembuhan penyakit secara
kejiwaan
PERMENHUT : Peraturan Menteri Kehutanan
PIRT : Perusahaan Industri Rumah Tangga
POKJANAS-TOI : Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat Indonesia
PP : Peraturan Pemerintah
SAKO : Surat Angkutan Kayu Olahan
STAKEHOLDER : Para Pihak
SUBJECT : Pelaku yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruh rendah
TOGA : Tanaman Obat Keluarga
TNMB : Taman Nasional Meru Betiri
UKM : Usaha Kecil Menengah
UKOT : Usaha Kecil Obat Tradisional
WHO : World Health Organization
1

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang besar, salah satu diantaranya
adalah kandungan sumberdaya tumbuhan obat. Badan Litbang Kehutanan Kementerian
Kehutanan telah mendata sekurangnya terdapat 1,200 jenis tumbuhan obat yang berhasil
dikoleksi dan belum dipublikasikan. Jenis-jenis tersebut terdiri atas jenis pohon maupun
herba yang memiliki khasiat dalam penyembuhan penyakit, seperti pereda panas, sakit
perut, penyakit degenaratif, kanker dan lain sebagainya. 1 Menurut Djojoseputro (2012), di
Indonesia terdapat sekitar 30.000 jenis tanaman di mana 2.500 jenis diantaranya
merupakan tanaman obat. Dari berbagai laporan penelitian dan literatur diketahui bahwa
tidak kurang dari 2.039 spesies tumbuhan obat berasal dari hutan Indonesia. Setiap tipe
ekosistem yang terdapat pada hutan tropika di Indonesia merupakan gudang dan pabrik
keanekaragaman hayati tumbuhan obat, berevolusi dengan waktu yang sangat panjang
dan telah berinteraksi dengan faktor sosial-budaya masyarakat lokalnya. Masing-masing
individu dari populasi tumbuhan obat yang tumbuh secara alami di tipe ekosistem hutan
tersebut merupakan unit terkecil dari pabrik alami yang melakukan proses metabolis
sekunder sehingga menghasilkan beranekaragam bahan bioaktif yang khas, yang sebagian
besar tidak mudah dan tidak murah ditiru oleh manusia (Zuhud & Hikmat 2009).
Pemanfaatan tumbuhan obat oleh manusia, misalnya pada masyarakat tradisional dan
suku-suku pedalaman di Indonesia, tumbuhan obat sudah lama digunakan untuk
penyembuhan berbagai macam penyakit. Penyembuhan tersebut menghasilkan
pengetahuan/kearifan tradisional yang penting bagi mereka. Masyarakat adat Siberut,
misalnya, sangat menghormati keberadaan Sikerei (dukun) sebagai penyembuh yang
menggunakan doa dan pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat untuk
menyembuhkan penyakit tertentu (Darmanto & Setyowati 2012). Keraf (2010) mencatat
bahwa kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman
atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan tradisional tersebut bukan hanya
menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan
bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan,
pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara

1
Kompilasi data tumbuhan obat pada Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan Bogor tahun 2011
2

semua penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini
dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama manusia
maupun terhadap alam dan Yang Gaib (Keraf 2010).
Pengetahuan tentang pengobatan tradisional dengan jamu juga sudah dikenal sejak
jaman kerajaan Hindu Jawa. Bukti sejarah tertua yang menggambarkan kebiasaan
meracik dan meminum jamu serta memelihara kesehatan ditemukan pada relief-relief
candi-candi yang ada di Indonesia, salah satunya di Candi Borobudur (Sutarjadi et al.
2012). Sehubungan dengan hal itu, penggambaran penggunaan tanaman obat yang
digunakan sebagai bahan pembuat jamu di Indonesia, seperti nogosari, sumanggen,
cendana merah, jamblang, pinang, pandan, maja, cendana wangi, kecubung dan lain-lain,
masih ada sampai sekarang. Dari relief tersebut dapat diidentifikasi lebih dari 50 jenis
tumbuhan berkhasiat obat yang digunakan. Gambaran yang sama juga ditemukan pada
relief-relief di Candi Prambanan, Candi Panataran, Candi Sukuh dan Candi Tegalwangi
(Sutarjadi et al. 2012). Hal ini berarti bahwa manusia sudah lama memanfaatkan
tumbuhan obat untuk kepentingan kesehatannya sendiri.
Perkembangan teknologi modern yang pesat saat ini telah mengubah cara
pemanfaatan tumbuhan obat. Aspek sosial, ekonomi dan kebersihan menjadi masalah
pokok yang diperhatikan oleh manusia. Pada saat ini kaum muda di Indonesia sudah
enggan meramu sendiri pengobatan jamu dengan alasan sudah tidak memiliki waktu lagi
untuk melakukannya. Lingkungan hidup mereka lebih banyak didominasi oleh teknologi
tinggi sebagai gejala masyarakat modern. Hal ini menyebabkan tradisi meracik jamu di
rumah mengalami penurunan, sehingga perlahan-lahan tradisi meminum jamu mulai
memudar pada masyarakat yang tinggal di Pulau Jawa. Tetapi terkait hal tersebut, industri
jamu justru meningkat pesat dengan menggunakan standar pengolahan modern yang
aman, bersih dan sehat. Dahulu perkembangannya relatif lambat karena adanya
keengganan dan kerahasiaan membagikan resep pengobatan menggunakan jamu.
Industrialisasi jamu telah mendorong terjadinya perubahan sikap yang sangat cepat
karena terjadinya peningkatan permintaan terhadap pengobatan tradisional (Beers 2001).
Menanggapi situasi tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menerbitkan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 003/Menkes/Per/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kemudian
ditindaklanjuti melalui Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM)
Republik Indonesia Nomor: H.K.00.05.4.1380 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat
3

Tradisional yang baik biasa disingkat dengan istilah CPOTB. Kedua produk kebijakan
ini cukup berjalan di lapangan. Melalui informasi yang diperoleh di Pasar Nguter
Sukoharjo, dapat dipastikan bahwa para pedagang pengecer simplisia jamu memahami
keberadaan kedua peraturan tersebut. Pasar Nguter merupakan sentra penjualan produk-
produk jamu dan simplisia tumbuhan obat terbesar di Indonesia.
Pada sektor kehutanan, produk kebijakan yang berhubungan dengan tumbuhan obat
dapat dijumpai pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada tataran pelaksanaan, produk kebijakan berupa
Peraturan Pemerintah (PP) juga sudah dikeluarkan. Misalnya PP Nomor 8 Tahun 1999
tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan PP Nomor 6 Tahun 2007
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan
Hutan. Kedua peraturan tersebut mencantumkan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai
produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Bahkan pada Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, pemanfaatan
tumbuhan obat di hutan alam dikenai kuota 20 ton untuk setiap pemegang ijin. Artinya
dari sudut kebijakan, pemerintah selaku pemegang kewenangan atas pemanfaatan
sumberdaya hutan telah memberikan dukungan bagi setiap orang untuk terlibat dalam
kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat dengan memerhatikan berbagai aspek, baik
budidaya maupun pelestariannya.
Kementerian Koordinator Perekonomian RI juga telah menyusun sebuah peta jalan
(road map) Pengembangan Djamoe 2011 – 2025, dimana istilah jamu berasal dari kata
jampi dan usodo yang sudah dikenal oleh masyarakat sejak jaman dahulu sebagai way of
life. Jamu sendiri didefinisikan sebagai obat tradisional, yaitu bahan atau ramuan bahan
yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (gelanik) atau
campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat
(Kemenkes RI 2010).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pelaku industri jamu diketahui bahwa
suplai bahan baku tumbuhan obat banyak yang berasal dari daerah Banyuwangi dan
Saradan, Madiun. Bahan baku tersebut dikirim ke industri jamu dalam bentuk simplisia
dengan kadar kekeringan tertentu. Dalam penentuan persyaratan bahan baku, standar
yang sangat ketat diterapkan oleh industri jamu besar seperti PT. Sido Muncul, Air
Mancur dan Jamu Jago sedangkan bahan baku yang tidak lolos uji biasanya langsung
4

diterima oleh Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT). Bahan baku tersebut kemudian
diolah menggunakan sistem CPOTB dan biasanya diberi tanda kemasan khusus dalam
bentuk kertas untuk membedakan antara jamu yang diproduksi oleh industri besar dan
UKOT (Kemala et al. 2003; Pribadi 2009).
Dari sisi perdagangan internasional, tumbuhan obat sebagai bahan dasar jamu juga
memiliki daya tarik ekonomi yang sangat besar, khususnya bagi Cina, India dan
Indonesia. India sebagai salah satu “pemain” terbesar tumbuhan obat di dunia sering
mengimpor bahan baku tersebut dari Nepal. Bahan baku tumbuhan obat yang diimpor
biasanya dalam bentuk minyak esensial, bel squash, khoto, briket, rempah-rempah dan
jahe. Bahan baku tersebut diproduksi oleh 71 unit usaha berbasis komunitas pedesaan di
Koshi Hills, Nepal (Kunwar et al. 2009). Sedangkan di Congo Basin, bahan baku
tumbuhan obat baik dalam bentuk daun, getah-getahan, resin, buah dan biji dimanfaatkan
sebagai obat-obatan yang diekspor ke Eropa dan Amerika serta digunakan di dalam
negeri (Ingram 2012). Menurut Sill et al. (2011), keragaman tumbuhan obat di alam dan
pasarnya yang spesifik dapat menjadi sumber pendapatan dan pelanjutan tradisi bagi
masyarakat desa di sekitar hutan. Nilai keragaman yang terkandung didalamnya
merupakan perwujudan dari jaminan alam (natural insurance), penyediaan lapangan kerja
dan pendapatan, tersedianya cadangan dan kecukupan bahan baku farmasi alami, sumber
pangan dan gizi bagi anak-anak di pedesaan. Vodouhe et al. (2008) menyebutkan bahwa
pemanenan tumbuhan obat dari hutan dilakukan oleh petani untuk mengganti pendapatan
mereka ketika pendapatan dari pertanian mengalami penurunan.
Terkait dengan ketersediaan bahan baku, industri jamu besar dan UKOT melakukan
persaingan untuk mendapatkan jenis-jenis tertentu, misalnya kedawung (Parkia
timoriana). Kedawung merupakan salah satu bahan baku untuk mengobati penyakit
kembung perut sehingga selalu dibutuhkan pasokannya oleh industri. Menurut salah satu
apoteker yang terdapat di PT Air Mancur, kedawung dibutuhkan untuk bahan baku jamu
karena memiliki rasa yang gurih sehingga memberikan nilai tambah bagi produk jamu.
Rasa tersebut sangat mempengaruhi penerimaan konsumen terhadap produk obat sakit
perut. Amzu (2007) dan Pribadi (2009) menyatakan, kedawung merupakan satu di antara
30 spesies tumbuhan obat langka di Indonesia dengan status langka dan terancam,
populasinya di Indonesia menurun, bahkan dirasakan mulai jarang dijumpai di habitat
aslinya. Selanjutnya dikatakan bahwa pohon kedawung secara bioekologis dan sosio-
ekonomi masyarakat merupakan spesies penting di TNMB dan spesies ini sedang menuju
kelangkaan. Penanaman pohon kedawung di blok Wonowiri sejak tahun 1989 hingga
5

sekarang pun belum menghasilkan buah (Amzu 2007). Oleh sebab itu, terjadinya
kelangkaan sebuah spesies bagi para penggunanya dari sisi kebijakan tidak dapat
diabaikan oleh pemerintah maupun politisi karena dapat mengganggu pasokan bahan
baku tersebut bagi kepentingan masyarakat baik secara sosial, ekonomi maupun politik
(Sill et al. 2011). Dengan demikian, aspek konservasi dan budidaya jenis tersebut perlu
dilakukan agar menjamin pasokan bahan baku jamu bagi para pelakunya yaitu industri
maupun layanan kesehatan.
Apakah tumbuhan obat sebagai salah satu sumber daya hutan tidak menarik dalam
dunia politik. Pertanyaan ini perlu dijawab. Page (2003) menyebutkan, ketika tumbuhan
obat menjadi faktor “pengungkit” terjadinya perubahan sosial dan lingkungan maka
terjadi hubungan antara politik dan lingkungan. Adanya perubahan pengelolaan suatu
kawasan hutan, misalnya ditetapkan sebagai Taman Nasional atau Kawasan Lindung,
ternyata juga menyebabkan terjadinya perubahan sosial di dalamnya. Hubungan antara
para pemungut tumbuhan obat, masyarakat lokal dan spesies tumbuhan obat itu sendiri
memberikan pertanyaan tentang siapa yang berhak “memiliki” dan “mengelola”.
Perubahan sosial ini kemudian menciptakan hubungan antara manusia, ekonomi, politik
dan aspek lingkungan yang menjadi ranah dari ekologi politik. Bryant dan Bailey (1997)
mendefinisikan ekologi politik sebagai perwujudan dari kekuatan ekonomi dan politik
kapitalisme yang tumbuh dan menyebar di dunia sejak abad ke 19 yang menyebabkan
terjadinya permasalahan lingkungan di mana permasalahan tersebut tidak dapat dibatasi
hanya pada gagalnya kebijakan atau kegagalan pasar, contohnya tambang, penebangan
hutan, pemanenan ikan atau produksi tanaman semusim. Pendekatan yang digunakan
berorientasi pada aktor yang berperanan pada lokasi terjadinya masalah lingkungan dan
juga mungkin dipengaruhi oleh aktor lain yang jauh dari tempat terjadinya persoalan
tersebut. Oleh sebab itu menurut Page (2003) dan Arifin (2011), dalam konteks ekologi
politik selalu diperlukan adanya “negosiasi” di antara aktor dalam mengelola dan
memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat dengan membuka jalur-jalur komunikasi
untuk mencapai kesepakatan bersama.
Salah satu kendala penggunaan jamu untuk memenuhi standar pengobatan
komplementer yaitu adanya kelangkaan dalam penyediaan bahan baku obat tradisional
yang telah memenuhi kriteria fitofarmaka (sudah teruji klinis). Penelitian yang dilakukan
oleh Pusat Teknologi Farmasi dan Medika BPPT menyebutkan bahwa diperlukan adanya
ekstrak terstandar terhadap bahan baku obat tradisional berdasarkan senyawa penanda dan
senyawa aktifnya. Hal ini diperlukan untuk mempercepat pemenuhan kebutuhan
6

terhadap senyawa obat tradisional yang setara dengan obat kimia. Pada saat ini kategori
obat tradisional yang memenuhi kriteria uji klinis baru ada 6 jenis, 38 jenis baru
memenuhi kriteria terstandar dan ribuan jenis lainnya merupakan kategori jamu yang
belum terstandar. Salah satu jenis tumbuhan obat yang telah diuji menggunakan profil
metabolit adalah sambiloto (Andrographis paniculata) melalui senyawa penanda androga
polin.2 Terkait hal itu, dalam buku Farmakope Herbal Indonesia (FHI) terdapat kurang
lebih 70 jenis tumbuhan obat yang dapat digunakan untuk memenuhi standar bahan baku
tersebut (Departemen Kesehatan RI 2008). Adanya standar bahan baku tumbuhan obat
merupakan langkah agar produk tumbuhan obat yang dimiliki oleh Indonesia dapat
diterima oleh negara pengguna akhir karena sudah dijamin aspek keamanan dan
efikasinya. Standar tersebut harus memenuhi kriteria Good Agricultural and Collection
Process (GACP) yang telah disepakati oleh negara-negara anggota Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), sehingga melalui kriteria tersebut diharapkan agar bahan baku tumbuhan
obat yang dihasilkan melalui proses budidaya maupun pemanenan di hutan alam telah
memperhatikan aspek keamanan, efikasi, teknologi, pengetahuan personil (edukasi),
perlindungan dan konservasi spesies tumbuhan obat agar tidak punah (WHO 2003).
Dampak lain dari adanya kelangkaan bahan baku obat tradisional untuk memenuhi
kriteria uji klinis yaitu makin mahalnya harga obat tradisional. Hingga saat ini, industri
besar obat tradisional baru mampu memenuhi kriteria uji obat tradisional pra klinis, itu
pun tidak semua industri obat tradisional memiliki fasilitas uji tersendiri. 3 Salah satu
contoh yang telah memenuhi kriteria tersebut adalah PT. Jamu Air Mancur di Surakarta
Jawa Tengah.
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai
bahan baku jamu ini berpusat pada relasi/hubungan para aktor dengan para pihak sebagai
unit terkecilnya. Setiap pihak memiliki kepentingan tersendiri yang berbeda satu dengan
lainnya sehingga menyebabkan terjadinya informasi asimetris (assymetric information) di
antara para pihak (Bryant & Bailey 1997; Hermans & Thiesen 2008). Adanya informasi
asimetris tersebut memengaruhi persepsi para pihak dalam mengambil keputusan.
Suneetha dan Chandrakanth (2006) mengatakan bahwa keterbukaan persepsi di antara
pihak yang berbeda dapat membantu para pihak untuk menentukan prioritas investasi
pada tumbuhan obat sehingga membantu pemerintah dalam mempromosikan spesies-
spesies tumbuhan obat yang diminta oleh pasar domestik, internasional atau

2
Konfirmasi kepada peneliti Pusat Instrumentasi Farmasi dan Medika BBPT tanggal 26 Juni 2013
3
Informasi dari salah satu apoteker PT. Jamu air Mancur di Surakarta tanggal 11 Juni 2013
7

mengembangkan produk baru berdasarkan pada spesies tumbuhan obat yang sudah
digunakan oleh masyarakat lokal. Menurut Purwandari (2001), beberapa industri obat
tradisional mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku tumbuhan obat di
pasaran. Kelangkaan dan penurunan pasokan tumbuhan obat budidaya di pasaran tidak
berlangsung terus menerus, hanya terjadi pada waktu-waktu tertentu (musiman). Hal ini
mungkin disebabkan karena (a) terjadinya panen raya terhadap tumbuhan obat sehingga
harga turun dan petani mengalami kerugian; (b) beberapa jenis tumbuhan obat tersebut
merupakan komoditas ekspor sehingga memengaruhi distribusi di dalam negeri; dan (c)
adanya penggunaan ganda baik sebagai tumbuhan obat maupun bahan bumbu masak atau
sayur. Ada 4 (empat) hal yang dapat menjelaskan terjadinya kelangkaan tersebut, yaitu
(a) tumbuhan obat tersebut memang sudah mulai langka keberadaannya di alam sehingga
pasokannya di pasar juga menurun; (b) jalur distribusi pemasarannya yang tidak normal;
(c) bahan baku berupa buah/biji hanya didapat pada musim berbuah saja; dan (d) adanya
alih profesi para pemungut tumbuhan obat (Zuhud et al. 2009).
Salah satu sumber penyedia tumbuhan obat di Pulau Jawa adalah Taman Nasional
Meru Betiri yang terletak di ujung Timur Pulau Jawa. Tumbuhan obat dan atau tanaman
obat merupakan salah satu bahan baku untuk memproduksi jamu, sehingga keberadaan
TNMB yang terjaga dengan baik mampu menjadi pemasok bahan baku jamu. Menurut
Zuhud et al. (2009), potensi tanaman obat yang terdapat di TNMB mencakup 355 spesies
yang terbagi ke dalam 92 famili dan dari total tumbuhan tersebut, 291 spesies (81.7%)
telah teridentifikasi mempunyai khasiat obat. Selanjutnya dikatakan bahwa TNMB
mengalami tekanan yang sangat besar berupa pengambilan bambu, tumbuhan obat, kayu
jati dan penyerobotan lahan, yang dilakukan oleh penduduk di sekitar kawasan hutan.
Penduduk desa yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah Desa Andongrejo di
Kabupaten Jember dan Desa Sarongan di Kecamatan Pesanggaran Kabupaten
Banyuwangi, karena memiliki tingkat aksesibilitas yang sangat tinggi terhadap TNMB.
Adanya tekanan terhadap sumber daya hutan di TNMB, khususnya tumbuhan obat,
menunjukkan adanya persoalan ekonomi dan politik pada sumber penyedia bahan baku
obat tradisional.

2. Fokus Penelitian
Aliran pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu sangat luas. Tumbuhan
obat dimanfaatkan oleh berbagai pelaku mulai dari sektor swasta serta sektor layanan
publik, sehingga apabila ketersediaannya mulai langka di hutan alam dapat mengganggu
8

keseluruhan atau sebagian sistem produksinya mulai dari hulu sampai hilir. Kelangkaan
tumbuhan obat, baik disebabkan oleh pencurian kayu maupun pemanenan yang tidak
terkendali tanpa upaya budidaya, dapat meningkatkan laju pengurasan sumber daya
tumbuhan obat sehingga konsumsi yang diperoleh dari tumbuhan obat tidak dapat lestari.
Kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pengguna tumbuhan obat beserta aksesnya
terhadap hutan perlu diatur agar pemanfaatan tumbuhan obat dapat lestari sehingga
menjamin keseluruhan aspek produksi mulai dari hulu hingga hilir. Keberhasilan para
pelaku dalam mengelola kepentingan, pengaruh, kekuasaan dan aksesnya terhadap
konsumsi tumbuhan obat dapat menentukan keberhasilan pengelolaan tumbuhan obat
pada tingkat tapak. Oleh sebab itu, pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan,
pengaruh, kekuasaan dan akses para pelaku terhadap tumbuhan obat perlu diketahui agar
aspek-aspek tersebut dapat dipetakan sehingga membantu pengelolaan sumber daya
tumbuhan obat secara lestari.
Fokus penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat ini
adalah di sektor hulu, yaitu hutan alam sebagai sumber produksi tumbuhan obat yang
mengalami pengurasan sumber daya alam sehingga dikhawatirkan apabila laju konsumsi
para pengguna tumbuhan obat tersebut tidak dikelola akan menyebabkan terjadinya
kelangkaan tumbuhan obat di hutan alam sehingga mengganggu aliran manfaatnya
sampai pengguna akhir yaitu konsumen dan pasien. Lingkup penelitian terdapat pada 3
(tiga) klaster yaitu klaster produksi, industri dan layanan kesehatan, yaitu dengan cara
membandingkan informasi dan pengetahuan mengenai pemanfaatan tumbuhan obat oleh
para pelakunya, sehingga diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai posisi para
pelaku dalam ranah ilmu pengelolaan hutan. Pengetahuan mengenai posisi para pelaku
tersebut dapat diarahkan untuk meningkatkan pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari.

3. Masalah Penelitian
Tingginya pemanfaatan tumbuhan obat dari sisi sosial dan ekonomi mampu
memberikan keuntungan bagi banyak pihak. Pasar obat tradisional dunia diperkirakan
terus tumbuh dan mencapai US$ 150 milyar pada tahun 2020, sedangkan omzet penjualan
obat tradisional Indonesia baru sebesar US$ 100 juta per tahun (0.22%). Pada tahun
2010, omzet penjualan obat tradisional Indonesia sebesar Rp 10 trilyun dan diperkirakan
omzet tersebut akan meningkat hingga sebesar Rp 13 trilyun pada tahun 2013. Kondisi
perkembangan pasar obat tradisional yang demikian besar dan terus tumbuh ini
menimbulkan celah (gap) informasi antara sektor hulu dan hilir sehingga menciptakan
9

terjadinya kesenjangan sosial dan ekonomi. Lemahnya teknologi dan informasi pasar
menjadi kendala sehingga produk tumbuhan obat yang di ambil dari hutan alam selalu
memiliki kualitas yang beragam dan dihargai lebih murah apabila dibandingkan dengan
produk yang sama yang diperdagangkan di pasar.
Permasalahan utama yang diajukan dalam penelitian ini berhubungan dengan ilmu
politik ekologi, yaitu bagaimana memetakan kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para
pelaku serta aksesnya dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat pada tiga klaster,
yaitu klaster produksi, layanan kesehatan dan industri. Pemanfaatan tumbuhan obat
tersebut telah menimbulkan kesenjangan (gap) yang berhubungan dengan aspek
lingkungan dan ekonomi di mana para pelaku yang terdapat pada sektor hilir menikmati
nilai manfaat riil yang lebih tinggi dibandingkan pelaku yang terdapat di sektor hulu.
Kesenjangan tersebut kemudian menimbulkan terjadinya perbedaan persepsi dan motivasi
di antara para pelaku, perbedaan akses dalam pemanfaatan, perbedaan biaya manfaat dan
transaksi serta perbedaan natural insurance para pelaku. Penggambaran sementara
mengenai dinamika relasi para pelaku dengan akses terhadap sumber daya tumbuhan obat
tersebut disajikan pada Tabel 1. Para pelaku mulai dari pemerintah, dokter, penyembuh
tradisional, NGO, petani, asosiasi dan industri memiliki kepentingan dan pengaruh yang
berbeda-beda, mulai dari rendah sampai dengan tinggi, tergantung pada besarnya akses
yang dapat dikuasainya dalam mengendalikan tumbuhan obat. Semakin banyak jumlah
akses yang berhasil dikuasai oleh salah satu aktor, maka potensinya untuk menguasai
sumber daya tumbuhan obat dapat semakin besar. Kegiatan ekstraksi tumbuhan obat dari
hutan alam juga merupakan bagian dari persoalan pemanfaatan tumbuhan obat oleh para
pelakunya yang membentuk kepentingan mereka terhadap sumber daya tumbuhan obat di
hutan alam4. Oleh sebab itu, kegiatan ekstraksi langsung tumbuhan obat berpengaruh
terhadap ketersediaan sumber daya tersebut di lapangan.
Penelitian ini menelusuri bagaimana para pelaku dan jaringannya memanfaatkan
tumbuhan obat pada klaster produksi, industri dan layanan kesehatan. Para pelaku yang

4
Siaran Pers Kementerian Kehutanan dalam International Seminar “Forest and Medicinal Plants for Better
Human Welfare” tanggal 10 - 12 September 2013 menyebutkan bahwa 78% tumbuhan obat di Indonesia
diperoleh dari pemanenan langsung di hutan alam, sedangkan yang dibudidayakan hanya sedikit. Di TNMB
terdapat 239 spesies yang berpotensi sebagai tanaman obat dan sejumlah 85 jenis tanaman obat yang dipanen
langsung dari TNMB sehingga berdampak 8 spesies tanaman obat yang dipanen tersebut sudah mulai langka
di tempat tumbuhnya yaitu pule pandak (Rauwolfia serpentina Benth.), joho (Terminalia belerica Roxb.),
bidara upas (Merremia mimosa), jati belanda (Guazuma ulmifolia), gadung (Dioscorea hispida Denn.),
pulasari (Alyxia reinwardtii Bl.), dan patmosari (Rafflesia zollingeriana Kds.). Pemanenan tumbuhan obat di
TNMB dapat dipastikan tidak memiliki ijin pemanfaatan sehingga dari data diatas dapat dikatakan bahwa
35% pemanenan bersifat ilegal (Kemala et al. 2003; Pribadi 2009).
10

menjadi pusat kajian terletak pada hubungan key players, subject, context setters dan
crowd yang selalu berinteraksi satu sama lain dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Bryant
& Bailey 1997; Hermans & Thiesen 2008; Reed et al. 2009). Kemudian hubungan antara
pelaku tersebut digali lebih dalam lagi dengan melihat aspek sosial dan ekonominya
(Klemperer 1997), aksesnya (Ribot & Peluso 2003), biaya transaksinya (Zhang 2000;
Yustika 2006) dan natural insurance-nya bagi pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan
obat (Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011; Dzerefos et al, 2012). Oleh sebab itu,
beberapa pertanyaan yang hendak diajukan dalam penelitian ini antara lain:
1. Mengapa pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat di lapangan begitu
banyak?
2. Mengapa persepsi, motivasi, kepentingan dan pengaruh para pelaku berpengaruh
dalam pemanfaatan tumbuhan obat?
3. Mengapa akses yang dikuasai oleh pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat juga
digunakan?
4. Mengapa tumbuhan obat memberikan manfaat yang besar bagi para pelaku dan
mengapa terjadi biaya transaksi dalam pemanfaatan tersebut?
5. Mengapa jaminan alami dalam pemanfaatan tersebut berguna bagi para pelaku dalam
pemanfaatan tumbuhan obat?

4. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan pendekatan para pihak analisis di mana kepentingan para
pihak terhadap aspek sosial, ekonomi dan politik mempengaruhi perilakunya dalam
mengambil keputusan. Keputusan-keputusan tersebut ditentukan berdasarkan
kepentingan, pengaruh, kekuasannya terhadap tumbuhan obat yang dimiliki oleh para
pelaku sehingga menentukan besarnya kemampuan dalam mengendalikan sumber daya
tumbuhan obat (Reed et al. 2009). Selain itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teori akses dimana hak legal yang dimiliki oleh seseorang bukan berarti bahwa
orang tersebut dapat menguasai sumberdaya yang terdapat di dalamnya apabila akses
yang terdapat di dalam sumber daya yang dikuasainya tidak juga dimiliki. Untuk
menguasai akses seseorang harus melalui delapan mekanisme akses, yaitu menguasai
pasar, teknologi, tenaga kerja, pengetahuan, modal, otoritas publik, relasi sosial dan
identitas sosial mendorong para pelaku untuk tetap mempertahankan kekuasaannya
terhadap sumberdaya tumbuhan obat (Ribot & Peluso 2003). Akses dominan yang
dikuasai oleh para pelaku digunakan untuk mengelola kepentingan, pengaruh dan
11

kekuasaannya terhadap tumbuhan obat yang dikuasainya. Pengelolaan terhadap


kepentingan pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat dapat dilihat dari besarnya
manfaat yang diperoleh (Klemperer 1996; Olurinde 2010) dan biaya transaksi yang
mampu dikelolanya (Collins & Fabozzi 1996; Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu
2004; Crozet & Soubeyran 2004; Yustika 2006; Wang 2010; Tita et al. 2011). Agar
mampu bertahan dari tekanan-tekanan yang di alami akibat biaya transaksi yang
dikeluarkan, para pelaku mengembangkan sebuah langkah agar dapat memantul keluar
dari persoalan sosial, ekonomi dan politik melalui natural insurance yang dimilikinya
(Sill et al. 2011; Schreckenberg et al. 2006; Sill et al. 2011; Dzerefos et al. 20121).
Hasil yang diharapkan melalui penggunakan kerangka teoritik di atas dalam penelitian ini
adalah untuk memetakan para pihak yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya
tumbuhan obat. Dengan dihasilkannya pemetaan terhadap para pihak, maka diharapkan
pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari dapat dilakukan.
Untuk memperkuat analisis terhadap permasalahan yang diajukan, digunakan juga
pendekatan ekologi politik sumber daya alam yang terjadi di dunia ketiga (Bryant &
Bailey 1997). Pendekatan ini bermanfaat untuk menganalisis tindakan berbagai pelaku
yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya alam di dunia ketiga dan mendefinisikan
tindakan pelaku yang mana yang menyebabkan terjadinya kerusakan atas sumber daya
alam. Bryant dan Bailey (1997), menjelaskan bahwa beroperasinya sistem kapitalisme
secara masif dalam pemanfaatan sumber daya alam menjadi sebab kelompok bisnis yang
lebih kuat mendominasi panggung tersebut sehingga menyingkirkan sebagian aktor yang
terlibat didalamnya. Untuk mempertajam tindakan dan memetakan posisi aktor dalam
pemanfaatan tersebut, digunakan analisis kategorisasi para pihak yang merupakan bagian
dari pendekatan aktor (Herman & Thiesen 2008; Reed et al. 2009). Para pihak yang
memperoleh manfaat dalam penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan ekonomi
menggunakan biaya-biaya sesungguhnya yang terjadi selama penelitian di lapangan
sehingga aspek diskonto tidak diikutkan dalam perhitungannya (Klemperer 1996;
Olurinde 2010), sedangkan kemungkinan terjadinya biaya transaksi dalam pemanfaatan
tersebut dianalisis menggunakan pendekatan biaya transaksi (Collins & Fabozzi 1996;
Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu 2004; Crozet & Soubeyran 2004; Yustika
2006; Wang 2010; Tita et al. 2011). Untuk melihat kemampuan para pihak dalam
menghadapi tekanan yang disebabkan oleh dominansi pihak-pihak tertentu digunakan
pendekatan natural insurance (Sill et al. 2011) yang mencerminkan dua hal yaitu berupa
safety net, artinya para pihak memperoleh tambahan pendapatan dari pemanfaatan
12

tumbuhan obat dan stepping stone, yaitu para pihak menggunakan tumbuhan obat untuk
membiayai pendidikan anggota keluarga (Schreckenberg et al. 2006; Sill et al. 2011;
Dzerefos et al. 2012). Kerangka pemikiran penelitian mengenai pemetaan para pihak
dalam pemanfaatan bahan baku tumbuhan obat pada klaster produksi, layanan kesehatan
dan industri disajikan dalam Gambar 1.
13

ANALISIS ANALISIS ANALISIS ANALISIS ANALISIS NATURAL SINTESIS


KATEGORISASI AKSES MANFAAT TRANSAKSI INSURANCE

PARA PIHAK 8 MEKANISME BIAYA ADVALOREM SAFETY NET & PEMETAAN


KLASTER AKSES MANFAAT LUMPSUM STEPPING PARA PIHAK
PRODUKSI STONE

PELAKU GAP
PEMANFAAT Legal Ilegal
TUMBUHAN PARA PIHAK
OBAT KLASTER KEPENTINGAN
KESEHATAN PEMANFAATAN
EKOLOGI TUMBUHAN
GAP POLITIK OBAT
PENGARUH
BERKELANJUTAN
PARA PIHAK
KLASTER POWER
INDUSTRI

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian


14

Pemetaan relasi para pelaku terhadap akses atas sumberdaya tumbuhan obat merupakan salah
satu cara untuk memahami dinamika kekuasaan yang ada didalamnya. Pemetaan ini diperlukan
untuk memberikan gambaran sementara bagi peneliti sehingga diperlukan adanya konfirmasi
kebenaran melalui kegiatan penelitian. Pemetaan akses para pihak atas sumberdaya tumbuhan
obat disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hubungan Akses Para Pihak dengan Sumberdaya Tumbuhan Obat


Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara Media
kat Adat
Teknologi - Kuat, tetapi - Punya, - Sangat kuat - Kuat pada - Tidak kuat, - Punya,
sering tetapi belum karena teknologi tepat tergantung digunakan
tertinggal oleh tentu sesuai teknologi guna dan elemen untuk
Negara yang dengan dibutuhkan sederhana pendamping mencetak
lebih maju layanan untuk (hibah) berita
- Berupa demplot berbasis berproduksi
dan jamu
percontohan
Modal - Kuat apabila - Punya, - Sangat kuat - Tidak kuat, - Tidak kuat, - Punya,
diprogramkan melalui karena tergantung umumnya digunakan
tetapi harus pendidikan merupakan pada isu yang subsisten dan untuk
mengikuti kedokteran persyaratan sesuai dengan tergantung memproduks
kebijakan dan jamu/herbal utama donor pada program i berita
aturan pemerintah
pendanaan atau donor
Negara yang melalui NGO
resmi
- Skema kredit,
tetapi banyak
yang belum
dimanfaatkan
khususnya oleh
petani
Pasar - Lemah, karena - punya, - Sangat kuat - Tidak kuat, - Tidak kuat, - Punya, para
bukan core tetapi masih karena tergantung tergantung pelanggan
bisnisnya kecil dan persyaratan pada program informasi dari berita
rata-rata utama untuk yang sedang tengkulak
masyarakat berproduksi diusung atau supplier
miskin
Tenaga - Kuat dan - Punya, - Sangat kuat, - Kuat pada - Lemah, - Punya,
Kerja berkepentingan tetapi masih jumlah tenaga kerja di karena bertugas
dengan jumlah terbatas industry pedesaan banyak tenaga melakukan
angkatan kerja jamu yang kerja di proses
di DN terus tumbuh pedesaan produksi dan
diiringi lebih senang sirkulasi
dengan ikut berita
pembukaan urbanisasi
pabrik baru dari pada
bertani
15

Tabel 1. Lanjutan
Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara Media
kat Adat
Pengetahuan - Kuat, melalui - Punya, - Sangat kuat, - Kuat, - Kuat, karena - Punya,
jaringan tetapi masih karena tergantung sudah merupakan
peneliti dan bersifat persyaratan program dan menjadi bagian dari
perguruan komplemen utama untuk isu yang tradisi dan isi berita
tinggi ter dari berproduksi diusung pengetahuan - Berita
kedokteran dan tradisional mengenai
umum memenangka jamu
n persaingan merupakan
sumber
informasi
yang dapat
memberikan
profit bagi
media

Pejabat - Lemah, sangat - Kuat, - Sangat kuat, - Lemah, agak - Sangat lemah, - Punya,
pemerintah tergantung karena karena berseberangan tergantung sebagai
pada tupoksi didukung memelihara dan selalu kritis pada relasi narasumber
dan program oleh relasi dapat ketua atas isu-isu
sejumlah melancarkan kelompok yang terkait
perangkat usaha dengan jamu
peraturan
layanan
berbasis
jamu

Identitas - Kuat, - Tidak - Sangat kuat, - Kuat, - Kuat, - Tidak


sosial khususnya punya, didominasi mendukung dan dilakukan punya,
pada karena pengusaha terlibat dengan oleh petani umumnya
organisasi masih keturunan kelompok tani keturunan tidak
profesi bersifat cina dan yang Jawa, Madura mendukung
bentukan komplemen jawa mengerjakan dan Sunda identitas
pemerintah ter dari - Anggota program jamu melalui atau etnis
kedokteran asosiasi GP budidaya dan tertentu
umum Jamu, pemanenan di - Kepentingan
Gapindo hutan alam hanya
- Masyarakat diletakan
adat, pada berita
khususnya yang dapat
yang jauh menarik
aksesnya dari minat
layanan pembaca
kesehatan
(Suku anak
dalam, dayak,
dll)
16

Tabel 1. Lanjutan
Akses Pemerintah Dokter Pengusaha NGO Petani/Masyara Media
kat Adat
Relasi sosial - Kuat, melalui - Lemah, - Sangat kuat, - Kuat, - Sangat kuat, - Punya,
forum karena karena tergantung organisasi sebagai
kerjasama belum persyaratan program yang petani sumber
internasional menjadi pokok agar sesuai dengan menjamin berita
tingkat kekuatan usaha lancar isu pokok terpenuhinya
ASEAN yang perlu - NGO suplai bahan
- Musyawarah diperhitung internasional baku jamu
Nasional GP kan dalam sebagai - Struktur
Jamu pengobatan pendukung petani-
didukung oleh umum utama pedagang
pemerintah perantara-
agen-pabrik
menciptakan
rantai usaha
yang cukup
panjang tetapi
memberikan
jaminan/kepa
stian
distribusi bagi
petani

Sumber: Bryant and Bailey (1997); Ribot and Peluso (2003); Hermans and Thiesen (2008);
Reed, et al. (2009); Zuhud et al. (2009); Tim Road Map Djamoe (2011); Darmanto dan
Setyowati (2012)

5. Kebaruan (Novelty)
Pemetaan pemanfaatan tumbuhan obat oleh para pelaku pada tiga klaster, yaitu mulai dari
klaster produksi bahan baku di Taman Nasional Meru Betiri, klaster layanan kesehatan di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan klaster industri di Kabupaten Sukoharjo Jawa
Tengah memberikan kebaruan penelitian dalam 5 (lima) aspek, yaitu:
1. Pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat berguna dalam rangka
pembenahan sektor hulu sehingga dapat memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan
tumbuhan obat.
2. Pemetaan tersebut memberikan sudut pandang baru mengenai pengaruh, kepentingan,
akses dan aspek sosial ekonomi para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat.
3. Mengembangkan konsep kebijakan pemanfaatan tumbuhan obat sebagai Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) yang penting di masa depan sehingga pemanfaatannya harus
dilakukan secara bijaksana dengan meningkatkan pengetahuan atas bahan baku tumbuhan
obat, khususnya yang memiliki manfaat ganda.
17

4. Penguatan kelembagaan elaboratif di mana kelembagaan pada sektor hulu dapat


memperkuat kelembagaan pada sektor hilir dalam pemanfaatan tumbuhan obat secara
lestari.
5. Menyediakan informasi mengenai obat bahan alam di sektor hulu.

6. Tujuan Penelitian
Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) tujuan, yaitu:
1. Mengidentifikasi para pelaku, motivasi dan persepsi yang dimilikinya dalam pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu.
2. Menganalisis peranan, kepentingan, pengaruh dan kekuatan pelaku dalam memanfaatkan
tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu
3. Menganalisis akses yang dimiliki pelaku untuk memanfatkan tumbuhan obat sebagai
bahan baku jamu
4. Menganalisis besarnya manfaat yang diterima dan transaksi yang dilakukan oleh pelaku
dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu
5. Menguraikan fungsi tabungan dalam pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku
jamu pada aspek safety net dan stepping stone.

7. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku
jamu ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan kontribusi untuk memetakan relasi kepentingan, pengaruh, kekuatan dan
akses pelaku dalam memanfaatkan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu sehingga
dapat membantu pengambil kebijakan dalam mengelola tumbuhan obat pada tingkat
tapak.
2. Mendorong terwujudnya kelestarian pengelolaan tumbuhan obat mulai dari hulu sampai
hilir dengan mempertimbangkan faktor-faktor kepentingan, pengaruh, kekuatan, akses
dan sosial ekonomi yang mempengaruhi para pelaku dalam mengambil keputusan
memanfaatkan tumbuhan obat.
3. Mendorong penguatan kelembagaan pengelolaan tumbuhan obat melalui kolaborasi para
pihak.
18

4. Mendukung informasi mengenai aspek sosial ekonomi dan politik dalam pemanfaatan
tumbuhan obat sehingga dapat menambah wawasan dalam pengembangan Rencana
Penelitian Integratif (RPI) Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
5. Mendukung salah satu tugas pokok dan fungsi (tupoksi) institusi dalam kegiatan
penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) Badan Litbang Kehutanan.
19

II. TINJAUAN PUSTAKA

1. Ekologi Politik
1.1. Pengertian
Pengertian ekologi politik memiliki kedekatan dengan pengertian politik
ekologi. Menurut Blaikie dan Brookfield (1987), dikutip oleh Bryant dan
Bailey (1997) ekologi politik merupakan kombinasi antara berbagai aspek
yang berhubungan dengan ekologi dan ekonomi politik di mana kepentingan
politik dan tindakan yang dilakukan oleh berbagai aktor yang terlibat telah
menimbulkan konflik yang berhubungan dengan aspek politis dan ekologis.
Oleh sebab itu, pendekatan ini berorientasi pada aktor yang menyebabkan
terjadinya perubahan. Menurut Forsyth (2004), politik ekologi sendiri
merupakan ilmu yang mempelajari tentang kebijakan lingkungan, sehingga
dalam politik ekologi faktor lingkungan ekologis yang mendorong terjadinya
perubahan. Dalam pendekatan ini ada upaya untuk mendekatkan konsep
ekologi politik dan politik ekologi sebagai ilmu politik lingkungan (Forsyth
2004). Dalam beberapa hal, istilah ekologi politik dan politik ekologi di
Indonesia tidak dibedakan sama sekali, tetapi pengertiannya sama dengan
ekologi politik yang disampaikan oleh Bryant dan Bailey (1997) di mana aktor
merupakan pihak yang terlibat dalam kajian (Hidayat et al. 2011).
Forsyth (2004) menyebutkan bahwa terdapat beberapa perbedaan dalam
memberi makna terhadap ekologi dalam ekologi politik, yaitu:
1. Upaya untuk menjelaskan masalah-masalah lingkungan sebagai sebuah
interaksi fenomena dari proses biofisik, kebutuhan manusia dan sistem
politik yang lebih luas.
2. Politik ekologi merupakan kegiatan politik praktis dari Deep Green
Environtalisme atau gerakan politik hijau dan kritiknya atas modernitas
dan kapitalisme. Wujudnya berupa gerakan sosial (ecology movement).
3. Ekologi digunakan sebagai metafora hubungan antar relasi politik.
4. Penggunaan analisis marxis untuk memperdebatkan antara
materialisme, keadilan, dan sumber daya alam pada masyarakat
20

kapitalis, dengan maksud untuk mencapai keadilan distribusi terhadap


hak dan sumberdaya.
5. Istilah umum pada politik masalah-masalah lingkungan tanpa
pembahasan tertentu mengenai ekologi.
Penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat
sebagai bahan baku jamu ini lebih dekat pada pengertian tentang ekologi
politik karena aktor yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat
mempengaruhi terjadinya perubahan lingkungan baik yang terletak di sektor
hulu maupun hilir (Bryant & Bailey 1997). Oleh sebab itu, ekologi politik dan
politik ekologi memiliki irisan dalam penelitian ini di mana pemanfaatan
sumber daya lingkungan (tumbuhan obat) berhubungan dengan manusia dan
politik yang terlibat di dalamnya sehingga terjadi ketidakseimbangan
pemanfaatan (Forsyth 2004).

2. Konsep Politik
Surbakti (2010) menyebutkan sekurangnya terdapat lima konsep atau
paradigma politik, yaitu:
2.1. Pandangan klasik, politik dilihat sebagai suatu asosiasi warga negara
yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang
menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Tokoh
penganut pandangan klasik ini adalah Aristoteles. Tekanan yang
diberikan pada pandangan klasik berpusat pada aspek filosofis dari
kebaikan bersama berupa “apa yang seharusnya” dicapai demi
kebaikan bersama seluruh warga negara polis dan “dengan cara apa
sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai.
2.2. Kelembagaan, politik dilihat dalam kaitan dengan penyelenggaraan
negara sehingga negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk
menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik
memiliki legitimasi untuk melakukan persaingan dalam membagi
kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian
kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu
negara. Sehingga dengan demikian, negara merupakan struktur
administrasi atau organisasi yang konkret dan negara memiliki
21

kekuasaan untuk melakukan paksaan fisik dengan memaksakan


ketaatan. Tokohnya Max Weber.
2.3. Kekuasaan, politik dirumuskan sebagai kegiatan mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat sehingga pencarian
kekuasaan dengan cara memperjuangkannya, mempertahankan,
melaksanakan, mempengaruhi pihak lain atau pun menentang
pelaksanaan kekuasaan memperoleh legitimasi dalam pandangan ini.
Kekuasaan didefinisikan sebagai kemampuan memengaruhi pihak
lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang
memengaruhi. Ada hubungan pengaruh dan kepatuhan dalam relasi
dua belah pihak, entah orang, masyarakat, lembaga atau pun Negara.
Tokohnya adalah Robson.
2.4. Fungsionalisme, politik dipandang sebagai kegiatan merumuskan
dan melaksanakan kebijakan umum sehingga peran elite dalam
politik lebih ditekankan. Alokasi nilai-nilai secara otoritatif,
berdasarkan kewenangan, sehingga mengikat untuk suatu kelompok
masyarakat. Oleh sebab itu, perilaku politik berupa setiap kegiatan
yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses
pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Who gets
what, when, how sehingga perumusan politik dalam pengertian
fungsional menjadi “siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana”.
Artinya nilai-nilai apa yang hendak dicapai, ukuran yang digunakan
untuk menentukan siapa yang akan memperoleh nilai terbanyak dan
cara yang digunakan seseorang untuk mendapatkan nilai-nilai
tersebut. Nilai didefinisikan sebagai hal-hal yang diinginkan, hal-hal
yang dikejar oleh manusia, dengan derajad kedalaman upaya yang
berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai tersebut dapat bersifat
abstrak, misalnya keadilan, keamanan, kebebasan, persamaan,
demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan YME, kemanusiaan,
kehormatan dan nasionalisme. Sedangkan bentuk konkretnya dapat
berupa sandang, pangan, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas
pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Atau
22

secara singkat dapat disebut sebagai nilai spiritual dan nilai material
jasmaniah. Kelemahan dari paradigma ini yaitu menempatkan
pemerintah sebagai sarana dan wasit dalam persaingan berbagai
kekuatan politik untuk memperoleh nilai-nilai terbanyak.
Pemerintah memiliki kepentingan sendiri diabaikan oleh teori ini.
Tokohnya adalah David Easton dan Harold Lasswell.
2.5. Konflik, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan
pelaksanaan kebijakan umum merupakan upaya untuk mendapatkan
dan atau mempertahankan nilai-nilai di mana dalam upaya untuk
mempertahankannya terjadi persaingan, perbedaan pendapat, bahkan
pertentangan yang bersifat fisik antara para pihak. Pihak yang
berupaya mendapatkan nilai terbanyak akan berhadapan dengan
pihak yang berupaya mempertahankan nilai yang telah dimilikinya.
Konsensus, kerjasama dan integrasi kurang diperhatikan dalam teori
ini sementara persaingan, perdebatan, perbedaan pendapat maupun
pertentangan seringkali diselesaikan melalui proses dialog diantara
para pihak yang bertikai. Tokohnya adalah Karl Marx.

Budiardjo (2010) menyebutkan bahwa teori politik adalah


bahasan dan generalisasi dari fenomena yang bersifat politik. Dengan
pernyataan lain, teori politik (Gaus & Kukathas 2012) merupakan bahasan
dan renungan atas: a) tujuan dan kegiatan politik; b) cara-cara mencapai
tujuan itu; c) kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan-kebutuhan yang
ditimbulkan oleh situasi politik tertentu; d) Kewajiban-kewajiban
(obligation) yang diakibatkan oleh tujuan politik tersebut. Konsep-konsep
yang dibahas dalam teori politik mencakup masyarakat, kelas sosial,
Negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan,
lembaga-lembaga Negara, perubahan sosial, pembangunan politik,
modernisasi.

Marsh dan Stoker (2011) melihat politik dalam dua pendekatan, yaitu
pertama politik menentukan bidang penyelidikan dengan merujuk pada
arena atau himpunan institusi tertentu. Fokus kajian pada pendekatan ini
23

adalah politik behavioralis, teori pilihan rasional dan analisis identifikasi


yang banyak digunakan untuk analisis politik yang berkaitan dengan
kegiatan pemerintahan dan kekuasaan yang terdapat di dalamnya. Kedua,
politik dipandang sebagai suatu proses sosial yang dapat diobservasi
dalam berbagai setting, yaitu membahas tentang pembagian kekuasaan
yang tidak seimbang dalam masyarakat, bagaimana perjuangan untuk
mendapatkan kekuasaan dilakukan dan dampaknya terhadap penciptaan
dan pembagian modal sosial, kesempatan hidup, dan kesejahteraan.
Modal sosial adalah kekuatan yang dimiliki oleh suatu masyarakat
karena adanya saling kepercayaan, jejaring, komunikasi, hirarki
kepemimpinan dan norma tertentu yang diakui bersama (Putnam et al.
1993). Sedangkan menurut Bourdieu dan Wacquant (1992) yang disitir
oleh Gauntlett (2011) dan Suminar (2013) menyebutkan bahwa modal
sosial adalah kumpulan sumberdaya, baik aktual atau virtual, yang
terdapat pada seorang individu atau kelompok melalui kepemilikan aset
yang ada pada suatu jaringan dan relasi pertemanan. Selain itu, modal
sosial merupakan sebuah sumberdaya yang dibangun berdasarkan
kepercayaan (trust) dan pemberian nilai (shared value) serta terbangun
dari rajutan kebersamaan dari orang-orang yang ada dalam komunitas
(Coleman 1988; Gauntlett 2011). Dalam situasi tertentu, modal sosial
dapat bertransformasi menjadi modal politik dimana kekuatan-kekuatan
sosial yang melekat pada diri individu dan atau komunitas secara nyata
dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam suatu proses politik
(Birner & Wittmer 2000).

3. Pendekatan Ekologi Politik


Bryant dan Bailey (1997) menyebutkan ada lima pendekatan yang
digunakan dalam penelitian terkait dengan ekologi politik, khususnya
kasus-kasus yang terjadi di negara berkembang, yaitu:
3.1. Penjelasan mengenai masalah lingkungan seperti banjir, erosi tanah,
degradasi lahan dan polusi udara, deforestasi hutan tropis.
Pendekatan ini menggunakan basis geografis untuk memahami
dampak aktivitas manusia terhadap lingkungan fisik.
24

3.2. Konsepsi yang berhubungan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai


ekologi politik. Pemikiran-pemikiran yang dibangun dan dipahami
oleh aktor-aktor yang berbeda, diskursus yang menyertainya
dikembangkan untuk memfasilitasi atau mengendalikan kepentingan
aktor-aktor tertentu (Escobar 1996; Bryant & Bailey 1997).
3.3. Menguji hubungan antara masalah-masalah ekologi dan politik dalam
konteks wilayah geografis tertentu. Ekologi politik berdasarkan
wilayah geografis ini mencerminkan perhatian pada perbedaan
lingkungan dan variasi spasial pada resiliensi dan sensitivitas lahan
(Blaike & Brookfield 1987; Bryant & Bailey 1997).
3.4. Menggali pertanyaan-pertanyaan mengenai ekologi politik yang
berhubungan dengan karakteristik sosial ekonomi seperti kelas, etnis
atau gender.
3.5. Menekankan pada kepentingan, karakteristik dan tindakan dari aktor
yang berbeda dalam memahami konflik-konflik ekologi politik.
Pendekatan berorientasi aktor ini mencari pemahaman pada sejumlah
konflik (termasuk kerjasama juga) sebagai hasil dari interaksi aktor-
aktor yang berbeda terkait dengan tujuan dan kepentingan tertentu
(Long & Long 1992; Bryant & Bailey 1997).
Mekanisme pendekatan ekologi politik menurut Bryant dan Bailey
dapat dilihat pada Gambar 2.

Masalah lingkungan:
Karakteristik sosial
- Erosi tanah (Blaike, 1985)
ekonomi:
- Degradasi lahan (Blaike &
- kelas, (Watts, 1983a)
Brookfield, 1987)
- etnis (Hong, 1987)
- Deforestasi (Hecht &
- gender (Schroeder,
Cockburn, 1989)
1993)
25

Ekonomi politik
Perubahan Lingkungan
di Dunia Ketiga

Konsep: Ekologi politik regional:


Aktor: - Afrika Barat (Franke &
- Sustainable/green
- bisnis (Pearson, 1987) Chasin, 1980)
development (Redcliff,
- pastoralist (Bessett, - Asia Tenggara (Bryant
1987; Adams, 1990)
1988) et al, 1993)
- Hazard, disaster,
- negara (Guha, 1989; - Afrika Utara (Nile)
vulnerability (Blaike et
Peluso, 1992) (Collins, 1990)
al, 1994)
- Forestry discourse
(Jewitt, 1995)

Gambar 2. Mekanisme Pendekatan Ekologi Politik di Negara Berkembang

Menunjukkan interaksi yang kuat


Menunjukkan sumber dengan kombinasi pendekatan lebih dari satu
Sumber: Bryant dan Bailey (1997)

Pendekatan ekologi politik menggunakan pendekatan aktor sebagai


unit analisisnya, yaitu bagaimana interaksi para aktor dapat memengaruhi
terjadinya perubahan lingkungan. Ada beberapa manfaat yang diperoleh
melalui pendekatan aktor untuk analisis pemanfaatan tumbuhan obat,
yaitu: a) Mampu memberikan informasi mengenai banyaknya para aktor
pada tingkat lokal yang terlibat dalam perubahan kinerja tumbuhan obat.
Pengurasan sumberdaya tumbuhan obat, langkanya jenis-jenis tertentu dan
degradasi lingkungan menjadi gambaran situasi terjadinya perubahan
lingkungan; b) Mampu memberikan alasan mengenai motivasi,
kepentingan dan tindakan yang dilakukan para aktor hingga menyebabkan
terjadinya perubahan lingkungan tumbuhan obat. Kompleksitas yang
terjadi diantara para aktor mempengaruhi relasinya terhadap aktor lain
26

khususnya dalam posisi politik. Aktor yang memiliki posisi politik lebih
kuat akan mendominasi aktor lain yang posisi politiknya lebih lemah; c)
Mampu memberikan pemahaman mengenai peranan dan interaksi para
aktor terhadap konflik mengenai lingkungan. Konflik-konflik yang terjadi
dalam pemanfaatan tumbuhan obat seringkali menyingkirkan aktor-aktor
yang lebih lemah. Pertarungan tersebut ditujukan untuk menguasai
sumberdaya tumbuhan obat. Hanya saja aktor-aktor yang “kalah” juga
memiliki kekuatan untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya sendiri
(Bryant & Bailey 1997).
Para aktor memiliki kepentingan sendiri-sendiri terhadap sumberdaya
tumbuhan obat yang sama sehingga proses negosiasi dan pengambilan
keputusan terhadap penggunaan sumberdaya tersebut merupakan hal yang
penting. Hanya saja “siapa yang memutuskan” merupakan persoalan
tersendiri karena terdapat hak para aktor untuk memanfaatkan sumberdaya
tumbuhan obat tersebut (Stenley et al. 2012; Borrow et al. 2002).
Sebagian besar sumberdaya tumbuhan obat yang terdapat di hutan dimiliki
dan dikuasai oleh Negara sehingga Negara memiliki hak untuk
memutuskan kepada siapa sumberdaya tersebut dikelola. Dengan
demikian, dalam pemanfaatan tumbuhan obat, Negara bersama dengan
agennya adalah aktor dalam kegiatan tersebut. Ketika peran Negara
sangat besar untuk menentukan kepada siapa hak pengelolaan tumbuhan
obat diberikan, biasanya masyarakat di pedesaan dan komunitas pengelola
tumbuhan obat akan tersingkir. Pertentangan kepentingan dalam
perebutan sumberdaya yang sama akan terjadi. Sifat common pool
resources tumbuhan obat berhadapan dengan berbagai kepentingan
sehingga kelestarian pemanfaatannya akan terganggu (Ostrom et al. 1994).
Ostrom (2005) menyebutkan empat tipe produk (goods) sebagai
sumberdaya yang dimanfaatkan oleh manusia. Pembagian produk tersebut
berdasarkan pada penggunaan dan potensi manfaat yang diperoleh,
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Empat Tipe Sumberdaya (goods)
Subtractability of Use
Difficulty of High Low
27

excluding High Common pool Public goods: peace


potential resources: and security of a
beneficiaries groundwater basin, community, national
irrigation system, defense, knowledge, fire
lakes, fisheries, protection, weather
forest, etc forecast, etc
Low Private goods: food, Toll goods: theaters,
clothing, private clubs, daycare
automobiles, etc centers

Sumber: Ostrom (2005)

Menurut Giddens (2011), kekuasaan dihasilkan dalam dan melalui


reproduksi struktur-struktur dominasi. Sumber daya yang menyusun
struktur dominasi terdiri atas dua jenis, yaitu sumberdaya alokatif dan
sumberdaya otoritatif. Koordinasi apapun sistem sosial lintas ruang dan
waktu pasti melibatkan gabungan dua jenis sumberdaya ini. Jenis
sumberdaya alokatif dan sumberdaya otoritatif disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Jenis Sumberdaya Alokatif dan Otoritatif


Sumberdaya alokatif Sumberdaya Otoritatif
1. Ciri lingkungan material (bahan Organisasi ruang-waktu sosial
mentah, sumber kekuasaan materi) (penyusunan jalur dan kawasan
secara temporal-spasial)
2. Alat produksi/reproduksi material Produksi dan reproduksi tubuh
(piranti produksi, teknologi) (organisasi dan hubungan
kemanusiaan secara timbal
balik)
3. Barang hasil produksi (artefak Organisasi perubahan hidup
yang diciptakan oleh interaksi 1 (penyusunan kesempatan untuk
dan 2) pengembangan dan
pengungkapan diri)

Sumberdaya alokatif merupakan penyusun “adaptasi” dengan


lingkungan yang dilakukan oleh para aktor dalam memperoleh kekuasaan
dan memiliki sifat evolutif dan materi. Sedangkan sumberdaya otoritatif
merupakan “infrastruktur” penyusun kekuasaan dalam masyarakat yang
bersifat sosial. Penambahan sumberdaya alokatif yang bersifat material
memiliki dasar yang kokoh untuk ekspansi kekuasaan, tetapi sumberdaya
alokatif tidak dapat dikembangkan tanpa adanya transmutasi sumberdaya
28

otoritatif. Sumberdaya otoritatif merupakan “pengungkit” dalam


perubahan sosial sama seperti sumberdaya alokatif (Giddens 2011).
Organisasi ruang waktu mengacu pada bentuk-bentuk regionalisasi
dalam (dan lintas) masyarakat berdasarkan penyusunan jalur ruang-waktu
kehidupan sehari-hari. Contoh yang dapat diberikan disini adalah
masyarakat pemburu dan pengumpul memiliki kekhasan dalam organisasi
ruang-waktu. Kepastian spasial-penekanan lokal-lokal pada “lingkungan
yang dibangun” secara permanen, misalkan zona/kawasan produksi
tumbuhan/tanaman obat (Giddens 2011).
Kategori produksi/reproduksi pada sumberdaya otoritatif tidak sama
dengan yang dimaksudkan pada kategori kedua dari sumberdaya alokatif.
Kategori ini mengacu pada adanya koordinasi terhadap sejumlah orang
bersama-sama di suatu masyarakat dan reproduksinya disepanjang waktu
merupakan jenis sumberdaya otoritatif yang sangat mendasar. Ukuran
organisasi sistem benar-benar memberikan kontribusi yang sangat
signifikan pada penciptaan kekuasaan (Giddens 2011).
Kategori terakhir adalah kesempatan dalam kehidupan sebagai
fenomena yang sangat tergantung pada produktivitas material suatu
masyarakat. Di sini “kesempatan hidup” berarti peluang untuk
melangsungkan kehidupan bagi manusia dalam berbagai bentuk dan
kawasan masyarakat. Misalkan Weber menyebutkan “keaksaraan masal”
dapat memobilisasi masyarakat dibandingkan mereka yang diam dalam
tradisi lisan.

4. Aktor
Analisis aktor merupakan metode yang berasal dari pendekatan riset
operasi (operation research) yang digunakan untuk analisis kebijakan.
Tujuan analisis aktor adalah memberikan gambaran yang lebih jelas
mengenai kebijakan publik yang terdefinisi dengan baik (Hermans &
Thiesen 2008). Selanjutnya dikatakan bahwa analisis aktor dapat
menyediakan sebuah pencerahan bagi para analis kebijakan mengenai
proses multi aktor dalam kebijakan publik (Hermans & Thiesen 2008).
29

Menurut Hermans dan Thiesen (2008), ada empat dimensi untuk


analisis aktor, yaitu:
1. Jaringan: Banyak atau sedikitnya bentuk-bentuk tetap dari relasi
sosial antara aktor-aktor yang saling tergantung, kemudian
membentuk permasalahan kebijakan dan atau program kebijakan
(Hermans & Thiesen 2008). Konteks kelembagaan, terbatasnya
aturan main dan struktur memungkinkan terjadinya jarak dari
kegiatan-kegiatan tersebut (Ostrom et al. 1994);
2. Persepsi: Gambaran bahwa para aktor memiliki dunia mereka
sendiri, baik diantara para aktor dan jaringannya serta karakter
substantif dari masalah kebijakan (Scharpf 1997). Persepsi juga
berarti label yang menjadi sebab kepercayaan, pemikiran, dan
kerangka referensi. Persepsi di sini hanya mengacu pada teori
“netral” mengenai bagaimana dunia berlangsung dan bukan pada
kepercayaan normatif pada apa yang baik atau pada apa yang
diinginkan;
3. Nilai: Memberikan arahan ke mana aktor akan bergerak,
menggambarkan motivasi internal para aktor. Konsep-konsep yang
berhubungan seperti norma, kepentingan, tujuan merupakan fungsi
pada tingkat yang lebih abstrak di mana sasaran, tujuan dan target
mencerminkan nilai dalam istilah yang lebih spesifik. Preferensi
dan posisi menterjemahkan nilai pada sebuah preferensi (relatif)
pada solusi-solusi tertentu dan hasil-hasil kebijakan. Variabel-
variabel pada dimensi ini memiliki hubungan yang dekat dengan
persepsi para aktor.
4. Sumberdaya: Makna praktis atau instrumen yang aktor miliki untuk
mewujudkan tujuan mereka. Sumber daya merupakan sesuatu yang
mampu dikendalikan oleh para aktor dan di mana mereka memiliki
kepentingan terhadapnya (Coleman 1990). Sumber daya
memungkinkan aktor mengendalikan dunia di sekeliling mereka
termasuk menguasai aktor lain, relasi-relasi dan aturan-aturan di
30

dalam jaringan. Misalnya, sumber daya memiliki hubungan yang


dekat dengan kekuasaan dan pengendalian (Thomson et al. 2003).

Hermans dan Thiesen (2008) menyebutkan bahwa metode analisis


aktor memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. Menyediakan perbandingan pandangan dalam karakteristik para
aktor yang terlibat di dalamnya;
2. Fokus pada satu atau lebih dimensi dari proses analisis kebijakan
multi aktor (jaringan, nilai, persepsi, sumberdaya);
3. Mendeskripsikan analisis tindakan tertentu, dengan maksud bahwa
metode atau penerapannya digambarkan cukup lengkap agar orang
lain dapat merekonstruksi penggunannya;
4. Telah dibuktikan penggunaannya bagi analisis peranan aktor pada
pembuatan kebijakan di dunia nyata;
5. Sudah diuji secara ilmiah melalui masukan-masukan para ahli dan
dipublikasikan.

4.1. Analisis Para Pihak


Salah satu metode untuk analisis aktor yang terkenal adalah analisis
para pihak (Hermans & Thiesen 2008). Menurut Reed et al. (2009),
analisis para pihak merupakan sebuah proses yang mendefinisikan aspek-
aspek dari sebuah fenomena sosial dan alam yang dipengaruhi oleh suatu
keputusan dan tindakan, dilakukan oleh individu, kelompok dan organisasi
yang dipengaruhi oleh atau dapat mempengaruhi sebagian dari fenomena
tersebut (termasuk entitas bukan manusia, bukan benda hidup dan generasi
mendatang) serta mendahulukan individu dan kelompok untuk terlibat
dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Hidayat et al. (2011),
analisis para pihak ada yang memfokuskan pada pergerakan pelaku (actors
movement), baik yang bersifat langsung misalnya Pemerintah Pusat
(Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Propinsi
(Dinas Kehutanan Propinsi) dan Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan
Kabupaten) dan yang bersifat tidak langsung, misalnya aktifitas LSM baik
lokal, nasional maupun internasional.
31

Menurut Reed et al. (2009) bahwa analisis para pihak memiliki


beberapa pendekatan, yaitu deskriptif, normatif dan instrumental.
Pendekatan normatif dan instrumental merupakan pendekatan yang paling
sering digunakan untuk melihat relasi antar pihak dan fenomena tertentu.
Secara khusus dikatakan bahwa pendekatan normatif sudah digunakan
pada kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumber daya alam dengan
penekanan pada legitimasi pelibatan dan pemberdayaan para pihak dalam
proses pengambilan keputusan. Pendekatan normatif ini dikembangkan
menggunakan teori Habermas tentang tindakan komunikasi
(communicative action) di mana orang atau sekelompok orang berusaha
mencapai pembagian pemahaman dan bekerja sama untuk memecahkan
permasalahan bersama berdasarkan pembahasan dan konsensus. Hal ini
berbeda dengan pendekatan instrumental yang bertujuan ‘pengendalian
(control)’ dengan mengubah realitas.
Dalam pengelolaan sumberdaya alam biasanya berhubungan dengan
pertarungan kepentingan dari berbagai pihak yaitu ketika mereka
menggunakan sumber daya yang sama dengan tujuan yang berbeda.
Berdasarkan hal tersebut, pemahaman terhadap perspektif yang berbeda
dari para aktor yang terlibat sangat penting. Analisis para pihak
merupakan sebuah alat yang dapat digunakan atau berkonstribusi terhadap
proses negosiasi atau pembelajaran di antara para pihak dalam
memecahkan masalah bersama, tetapi bukan alat yang dapat menciptakan
platform negosiasi. Analisis para pihak dapat memfasilitasi sebuah
pendekatan konstruktivis pada partisipasi para pihak yang memerlukan
berbagai perspektif mengenai ‘kebenaran’ di mana realitas dikonstruksi
secara sosial. Justifikasi normatif dari analisis para pihak akan menuju
pada hasil-hasil instrumental di mana para pihak harus terlibat dalam
proses pengambilan keputusan dan merasa memiliki tingkat kepemilikan
yang sama dari proses tersebut. Hasil akhir yang diharapkan adalah
timbulnya transformasi relasi, pengembangan rasa saling percaya dan
pemahaman di antara para peserta (Reed et al. 2009).
32

Menurut Reed et al. (2009), pendekatan normatif dapat digunakan


untuk a) mengidentifikasi para pihak; b) pembedaan di antara dan
mengkategorisasi para pihak; dan c) menginvestigasi hubungan di antara
para pihak. Dalam penelitian ini, topologi yang digunakan melalui
pendekatan pembedaan di antara dan kategorisasi para pihak. Ada dua
jenis metode ini yaitu: a) top-down “kategorisasi analitis”; b) bottom-up
“metode rekonstruktif” (Dryzek & Berejikian 1993; Reed et al. 2009).
Metode kategorisasi analitis (top-down) membagi stakeholder ke dalam
matriks interest-influence. Pendekatan ini mengelompokan stakeholder ke
dalam 4 (empat) kategori, yaitu “Key players”, “Context setters”,
“Subjects”, dan “Crowd”.
Key players. Merupakan pihak-pihak yang harus terlibat secara aktif
karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap fenomena
tertentu.
Context setter. Merupakan pihak-pihak yang memiliki pengaruh yang
tinggi tetapi memiliki kepentingan yang sedikit karena memiliki resiko
yang nyata sehingga harus dimonitor dan dikelola.
Subject. Merupakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang tinggi
tetapi pengaruhnya rendah, selalu mendukung, kurang memiliki kapasitas
terhadap dampak, tetapi dapat menjadi berkuasa dengan membentuk
persekutuan di antara para pihak. Mereka seringkali merupakan pihak
marginal di mana pengembangan proyek digunakan untuk pemberdayaan
kategori ini.
Crowd. Merupakan pihak-pihak yang memiliki kepentingan atau pengaruh
yang kecil terhadap hasil-hasil yang diinginkan dan sedikit perlu
dipertimbangkan tentang keberadaan mereka atau perlu bertemu dengan
mereka. Kepentingan dan pengaruhnya selalu berubah setiap saat
sehingga dampak perubahan tersebut perlu dipertimbangkan dengan baik.
Misalnya: para pihak dapat membentuk persekutuan untuk mendukung
atau mengalahkan hasil-hasil tertentu.
Pendekatan kategorisasi para pihak ini dapat dikembangkan melalui
penambahan atribut lain pada para pihak. Misalnya pihak-pihak yang
33

terletak pada matrik interest dan influence dapat diubah menggunakan


kategori “mendukung” (supportive) atau “tidak mendukung”
(unsupportive). Bentuk matriks interest-influence disajikan pada Gambar
3.

I
High
N
Subject Key players
T
E
R
E
S
T
Crowd Context setter

Low

Low High

POWER

Gambar 3. Matriks Interest-Influnce (Reed et al. 2009)

5. Teori akses
Kepentingan dan kekuasaan yang terdapat pada para aktor dalam
menggunakan dan mempertahankan sumber daya yang digunakannya
tergantung pada seberapa besar kemampuan para aktor dalam mengakses
sumber daya tersebut. Semakin besar akses yang dimiliki, maka
kemampuan aktor untuk memainkan kekuasaannya akan semakin besar
pula. Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa akses adalah
kemampuan untuk memperoleh keuntungan dari sesuatu termasuk di
dalamnya melalui obyek material, orang-orang, kelembagaan dan simbol-
simbol. Perhatian utama teori akses mengenai “siapa” yang melakukan
34

(siapa yang tidak) untuk mendapatkan sesuatu, dengan cara seperti apa,
dan kapan dilakukan. “Menggunakan” dapat dilihat sebagai makna
menikmati beberapa macam keuntungan ataupun mendapatkan aliran
keuntungan (Hunt 1998; Ribot & Peluso 2003).
Pada sumber daya alam, akses berhubungan dengan rentang kekuasaan
yang menempel di dalamnya dan telah diuji melalui berbagai mekanisme,
proses serta relasi sosial yang kemudian mempengaruhi kemampuan
seseorang atau masyarakat untuk mendapatkan keuntungan dari sumber
daya tersebut. Kekuasaan ini mengatur material, budaya dan aspek
ekonomi politik ke dalam “bundelan kekuasaan” dan “jaringan kekuasaan”
dalam menyusun akses terhadap sumber daya alam.
Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan ada 8 (delapan) jenis
mekanisme untuk mendapatkan akses, yaitu:
Teknologi: Merupakan faktor yang dapat mempertahankan seseorang
tetap mengendalikan sumber daya. Teknologi tersebut melambangkan
atau mengkomunikasikan makna pada akses yang terbatas. Banyak
sumber daya yang tidak dapat diekstraksi melalui penggunaan peralatan
atau teknologi, sedangkan teknologi maju manfaatnya hanya didapatkan
oleh orang-orang yang memiliki akses terhadapnya.
Capital: Merupakan faktor pembentuk yang secara jelas menggambarkan
siapa yang memperoleh manfaat dari sumberdaya melalui pengendalian
dan pengelolaan akses terhadap sumberdaya tersebut (Blaike 1985;
Shipton & Goheen 1992). Akses pada capital umumnya digambarkan
sebagai akses pada kekayaan dalam bentuk uang (finance) dan
perlengkapan (equipment) yang dapat diletakan pada jasa dari ekstraksi,
produksi, konversi, mobilisasi tenaga kerja, dan proses-proses lain yang
berhubungan dengan manfaat turunan dari sesuatu dan orang. Akses pada
capital dapat digunakan untuk mengendalikan (“control”) akses pada
sumber daya melalui pembelian hak. Akses ini juga dapat digunakan
untuk mengelola (“maintain”) akses pada sumber daya ketika harus
digunakan untuk membayar sewa, biaya-biaya pada akses formal, atau
35

untuk membeli kekuasaan pada orang-orang yang mengendalikan sumber


daya.
Market: Merupakan kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sumber
daya dengan berbagai macam cara. Kemampuan memperoleh manfaat
secara komersial dari sebuah sumber daya tergantung pada apakah
pemiliknya memiliki akses yang lebih besar terhadap pasar dibandingkan
orang lain (Ribot 1998-2000). Akses terhadap market dikendalikan
melalui sejumlah besar struktur dan proses (Harriss 1984; Ribot 1998).
Akses ini juga termasuk akses pada capital (equipment dan credit),
struktur monopsoni, praktek-praktek eksklusif dan bentuk-bentuk kolusi di
antara para pelaku pasar (market actors) atau dukungan melalui kebijakan
Negara mengenai pembatasan akuisisi lisensi profesional dan biaya akses
(Hecht & Cockburn 1989; Shipton and Goheen 1992).
Akses pada market merupakan kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk memperoleh manfaat, mengendalikan atau
mengelola tambahan akses ke dalam pertukaran relasi. Market juga
membentuk akses untuk memanfaatkan sesuatu pada skala yang berbeda
dan pada berbagai cara yang cerdas serta melalui cara-cara yang tidak
langsung. Nilai sumberdaya akan menjadi beragam ketika diperdagangkan
atau ketika pengusaha-pengusaha nasional dan internasional atau agen-
agen Negara mulai menambang sumber daya, sehingga akan
mempengaruhi hak kepemilikan atas sumber daya tersebut (Appadurai
1986; Watts 1983; Runge et al. 2000).
Labor and labor opportunities: Seseorang atau sekelompok orang yang
memiliki akses pada tenaga kerja dapat memperoleh manfaat dari sebuah
sumber daya dalam berbagai tahapan di mana tenaga kerja selalu
dibutuhkan selama komoditas yang dihasilkan dari sumber daya tersebut
tetap ada. Pengendalian terhadap kesempatan kerja (misalnya: pekerjaan)
dapat juga digunakan untuk memperoleh manfaat dari sumber daya
tertentu. Siapa pun yang mampu mengendalikan kesempatan kerja dapat
menempatkan mereka sebagai bagian dari hubungan patronase (Hart
1986; Peluso 1992). Mereka dapat mengendalikan posisi tawar yang
36

rendah ketika kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi langka


(Shiva et al. 1982). Kelangkaan dan surplus tenaga kerja dapat
mempengaruhi porsi relatif dari manfaat sumber daya yang dinikmati oleh
mereka yang mampu mengendalikan tenaga kerja, mengendalikan akses
pada kesempatan kerja dan keinginan untuk mengelola akses mereka
terhadap kesempatan tersebut.
Akses pada kesempatan kerja mengikutkan kemampuan pada tenaga
kerja itu sendiri dan mengelola akses pada tenaga kerja lainnya. Meskipun
seseorang mungkin tidak memiliki akses pada sumber daya melalui hak
kepemilikan dan juga modal untuk membeli teknologi dan pertukaran
perdagangan, tetapi transaksi-transaksi memberinya hak pada sumber
daya. Orang tersebut mungkin memperoleh akses pada sumber daya
dengan masuk dalam hubungan pekerjaan bersama pengendali akses atas
sumber daya, pemegang ijin atau mekanisme akses berbasis pasar lainnya.
Para pekerja telah melakukan investasi dalam relasi sosial dengan pemilik
atau pengelola sumber daya untuk mengelola akses pada kesempatan kerja
dan sumber daya mereka sendiri (Berry 1993).
Pengetahuan: Merupakan komponen penting yang dapat membentuk
siapa yang dapat memperoleh manfaat dari sumberdaya. Kepercayaan,
kendali ideologi dan wacana yang dinegosiasikan sebagai sistem makna
akan membentuk semua akses formal. Bagi beberapa sumber daya, akses
mungkin dapat bertujuan lebih dari sekedar kepentingan ekonomi atau
klaim moral pada substansi hak, yaitu dengan melayani kepentingan
sosial, politik dan ritual sebagai perwujudan hadirnya empati, relasi
kekuasaan dan harmoni ritual (Peluso 1996).
Wacana dan kemampuan membentuk istilah yang terkait dengan
wacana merupakan kerangka kekuasaan yang sangat dalam dari akses
terhadap sumber daya. Misalnya istilah “global commons”, LSM
internasional yang dominan dan aktor lain menciptakan kategori dan
naturalisasi universal mengenai intervensi mereka di seluruh dunia atas
nama perlindungan lingkungan. Akses terhadap sumber daya dengan cara
ini dibentuk oleh kekuasaan untuk menghasilkan kategori pengetahuan
37

(Foucault 1978). Beberapa hal yang terkait dengan akses ini yaitu:
keahlian, pendidikan, derajat, gelar.
Otoritas: Merupakan kemampuan individu untuk memanfaatkan
sumberdaya melalui hukum. Akses khusus yang dimiliki oleh individu
atau organisasi dengan otoritas untuk membuat dan menerapkan hukum
dapat menjadi kekuasaan yang sangat kuat bagi siapa saja untuk
memanfaatkan sumber daya. Mobilisasi akses semacam ini dapat
dilakukan melalui saluran legal, permohonan perijinan atau lobi pada
saluran-saluran resmi. Akses legal dan ilegal pada Negara dan otoritas
lainnya cenderung berhubungan dengan kepentingan ekonomi dan sosial.
(Ribot 1993; Ribot 1995). Misalnya uang dibutuhkan untuk biaya
komunikasi dengan agen dan pejabat Negara.
Identitas sosial: Akses ini mampu mempengaruhi distribusi manfaat dari
sesuatu. Biasanya akses ini dimediasi oleh identitas sosial atau
keanggotaan dari suatu komunitas tertentu termasuk di dalamnya
pengelompokan melalui umur, gender, etnis, agama, status, profesi, tempat
kelahiran, pendidikan yang sama atau atribut-atribut lain yang menegaskan
identitas sosialnya (Shipton & Goheen 1992; Berry 1989; Li 2000; Peluso
& Vandergeest 2001). Otoritas-otoritas yang tidak memiliki hubungan
dengan Negara, seperti pemimpin komunitas, pemimpin agama dan kepala
desa dapat mengendalikan sumberdaya dan mengalokasikan akses secara
selektif berdasarkan identitas yang dimilikinya.
Mekanisme akses berbasis identitas juga mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh mekanisme akses pada pasar dan tenaga kerja (Watts
1983; Ribot 1993). Orang-orang yang memiliki identitas tertentu mungkin
memiliki akses pada pasar yang berbeda bila dibandingkan dengan orang-
orang yang memiliki akses pada hutan.
Negosiasi melalui relasi sosial: pertemanan, kepercayaan, hubungan
relasi, patronase, ketergantungan dan kewajiban membentuk aspek
penting dalam jaringan akses. Seperti juga identitas sosial, relasi yang
terbentuk melalui akses ini merupakan aspek utama dari semua elemen
akses. Ketika akses pada sumber daya memiliki ketergantungan pada
38

sesuatu, maka kemampuan untuk menegosiasikannya akan berhasil.


Orang-orang akan menginvestasikan makna negosiasi sebagai makna
produksi itu sendiri. Pengembangan ekonomi berbasis identitas-relasi
merupakan hal yang sangat penting karena memiliki kemampuan untuk
memasukan atau mengeluarkan seseorang dari pemanfaatan sumber daya
tertentu (Berry 1993).

6. Analisis Biaya dan Manfaat


Mekanisme untuk mendapatkan akses selalu berhubungan dengan
kemampuan seseorang, sekelompok orang atau organisasi untuk
memperoleh manfaat dari sebuah sumber daya. Perilaku tersebut
dipengaruhi secara ekonomi melalui komponen input yang terlibat dalam
proses pengambilan keputusan yaitu kapital dan waktu. Tenaga kerja
jarang digunakan karena dianggap merupakan faktor yang relatif kecil
mempengaruhi keputusan para aktor (Klemperer 1996).
Menurut Klemperer (1996) ada empat kriteria yang digunakan oleh
para aktor untuk menerima atau menolak melakukan investasi, yaitu
menggunakan net present value, internal rate of return, benefit/cost ratio
dan payback period. Kriteria-kriteria tersebut dapat diurutkan mulai dari
yang terbaik hingga yang terburuk berdasarkan penggunaan informasi
yang sama. Rasio manfaat dan biaya merupakan nilai manfaat sekarang
(penerimaan) dibagi dengan nilai biaya sekarang. Rasio ini disebut juga
sebagai indeks keuntungan (profitability index) dimana seorang investor
memiliki kesediaan minimum untuk menerima pengembalian modal yang
sudah diinvestasikannya (investor’s minimum acceptable rate of
return/MAR). Apabila rasio antara manfaat terhadap biaya lebih besar
sama dengan 1, maka seorang investor akan menerima proyek dan akan
menolak apabila berada pada kondisi sebaliknya. Analisis biaya dan
manfaat dapat juga digunakan untuk menduga marketing efisiensi dari
perdagangan tumbuhan obat. Teknik ini sudah digunakan di Nigeria untuk
menduga struktur dan efisiensi penggunaan tumbuhan obat sebagai anti
malaria. Marketing efisiensi merupakan persentase rasio antara market
margin pada marketing cost (Olurinde et al. 2010).
39

Pendekatan manfaat dan biaya merupakan sebuah pendekatan yang


memberikan alasan logis bagi para aktor untuk menimbang manfaat yang
diperolehnya apabila terlibat dalam sebuah proyek. Apabila seseorang
memperoleh manfaat yang lebih besar atau minimal sama dengan biaya
yang dikeluarkannya, maka keputusan yang diambil adalah ikut serta
dalam proyek tersebut. Selain pendekatan manfaat dan biaya berdasarkan
sebuah proyek, terdapat pula pendekatan lain yang berdasarkan harga
nyata (riil). Pendekatan ini disebut dengan pendekatan manfaat dan biaya
tanpa diskonto karena harga dan jumlah produk yang hendak dihitung
sudah diketahui dan berlaku pada saat tersebut (Klemperer 1996). Selain
itu, pendekatan ini merupakan pendekatan yang lebih sederhana
dibandingkan pendekatan berdasarkan diskonto yang lebih rumit dan
memiliki jangka waktu tertentu (Klemperer 1996). Salah satu contoh
perhitungan manfaat dan biaya tanpa diskonto adalah pemanfaatan
Ecosternum delegorguei sebagai makanan dan pendapatan masyarakat di
Afrika Selatan (Dzerefos et al. 2014), pemanfaatan obat anti malaria di
Nigeria (Olirinde et al. 2010) dan pemanfaatan kulit kayu Prunus Africana
di Burundi, Kenya dan Madagaskar (Cunningham et al. 2015).

7. Biaya Transaksi
Menurut Tita et al. (2011) petani penghasil produk hasil hutan bukan
kayu seringkali mengalami ketidakpuasan terhadap hasil penjualan produk
hasil hutan bukan kayu, baik yang diekstraksi langsung dari hutan maupun
yang dibudidayakan. Hal ini terjadi karena adanya ketidakmampuan
petani untuk mengakses pasar sebagai bentuk kurangnya informasi yang
dimiliki oleh petani terhadap harga dan teknologi, kurangnya relasi untuk
berhubungan dengan aktor-aktor pasar, distorsi dan tidak adanya input dan
output pasar, terbatasnya kemampuan mengakses kredit perbankan,
tingginya biaya pemasaran dan transaksi yang berhubungan dengan
kegiatan petani serta rendahnya infrastruktur jalan. Untuk meningkatkan
aksesnya, bentuk pemasaran berkelompok produk hasil hutan bukan kayu
menawarkan kemungkinan bagi anggota kelompok untuk mendapatkan
akses pasar yang lebih baik dan mengurangi biaya transaksi melalui a)
40

negosiasi/tawar menawar untuk memperoleh harga yang lebih tinggi


ketika kelompok memiliki kemampuan mengendalikan yang lebih baik
terhadap produk anggota jika menjual produknya melalui kelompok; b)
memiliki akses yang lebih baik terhadap program pembangunan
kapasitas/bantuan finansial yang dapat memungkinkan kelompok
mencapai tujuan-tujuannya; c) meningkatkan pembagian informasi di
antara anggota mengenai pasar dan permasalahan produksi; d) mengurangi
biaya transaksi melalui pencarian informasi, negosiasi dan monitoring
transaksi (Bienabe et al. 2004; Russel & Franzel 2004; Tita et al. 2011).
Biaya transaksi merupakan waktu yang dicurahkan oleh para aktor
untuk mencari dan menemukan mitra dan harga produk yang sesuai serta
waktu yang dicurahkan untuk menemukan kualitas produk spesifik (biaya
informasi atau biaya negosiasi). Kondisi biaya transaksi dalam bentuk
munculnya biaya informasi atau biaya negosiasi disebut biaya transaksi ex
ante dimana sejumlah biaya dikeluarkan oleh produsen untuk memperoleh
informasi yang akan mempengaruhi biaya produksi dimana produk yang
diinginkan belum dihasilkan oleh produsen. Sedangkan biaya transaksi ex
post merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh produsen setelah
produksi dihasilkan dalam bentuk biaya monitoring dan perbaikan
(monitoring and enforcement cost) (Tita et al. 2011).
Atribut-atribut yang berhubungan dengan biaya transaksi terdiri atas
aset-aset spesifik, ketidakpastian (uncertainity) dan frekuensi yang
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam pengaturan pasar pada produk–
produk tumbuhan obat/jamu. Biaya transaksi yang timbul dari aset
spesifik dapat dicirikan dalam bentuk aset fisik (bentuk dan kualitas
produk tumbuhan obat), aset manusia, lokasi, nama brand dan waktu,
sedangkan ketidakpastian dan kompleksitas merupakan masalah utama
terjadinya biaya transaksi. Ketidakpastian merupakan variabel eksogen
yang disebabkan oleh perubahan kondisi pasar, misalnya adanya
perubahan permintaan dan modifikasi lingkungan kelembagaan. Variabel
endogen dari ketidakpastian berhubungan dengan perilaku opportunistic
dari pihak-pihak yang bertransaksi dan sulitnya memprediksi perilaku para
41

agen yang melakukan kontrak. Ketika ketidakpastian dan kompleksitas


berada pada posisi yang rendah, maka transaksi dapat diabaikan dari pasar.
Tetapi apabila tinggi, maka bentuk tata kelola pasar tumbuhan obat seperti
kontrak jangka panjang, aliansi strategis atau integrasi vertikal penuh
sangat direkomendasikan. Sedangkan apabila terjadi situasi dimana
ketidakpastian transaksinya menjadi tinggi, maka pihak-pihak yang
melakukan kontrak akan meningkatkan upaya-upaya monitoring dan
koordinasi (Tita et al. 2011; Collins & Fabozzi 1991).
Yustika (2006) menyebutkan faktor-faktor penentu (determinan) biaya
transaksi, yaitu atribut perilaku aktor, struktur tata kelola, kelembagaan
lingkungan dan atribut transaksi. (i) Atribut perilaku aktor terdiri atas
rasionalitas terbatas yaitu kemampuan individu untuk menerima,
menyimpan dan mencari informasi tanpa kesalahan. Dan, opportunism
yaitu perilaku aktor yang berhubungan dengan moral hazard, seperti
tindakan curang, melalaikan kewajiban, menipu; (ii) Struktur tata kelola
berhubungan dengan pasar, hirarki, regulasi, birokrasi dan pengadilan;
(iii) Kelembagaan lingkungan terkait dengan hak milik (property rights),
kontrak dan budaya; (iv) Atribut transaksi berhubungan dengan variabel
aset spesifik, yaitu aset yang harus ada dalam kegiatan produksi, apabila
aset tersebut tidak ada maka produksi akan terhenti, ketidakpastian dan
frekuensi. Faktor determinan biaya transaksi disajikan pada Gambar 4.

Atribut Perilaku dan Pelaku


 Rasionalitas terbatas
 Opportunisme
42

Struktur tata kelola Kelembagaan lingkungan


 Pasar, hybrid, hierarki Biaya  Hak milik dan kontrak
 Pengadilan, regulasi,  Budaya
Transaksi
birokrasi

Atribut transaksi
 Aset spesifik
 Ketidakpastian
 Frekuensi

Gambar 4. Faktor Determinan Biaya Transaksi


Sumber: Yustika (2006)

Definisi mengenai biaya transaksi dalam penelitian ini mengikuti


Yustika (2006) yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk
melakukan negosiasi, mengukur dan memaksakan pertukaran (exchange).
Dalam memperhitungkan biaya transaksi tersebut terdiri atas pajak, komisi
dan biaya transfer (Collins & Fabozzi 1991). Biaya transaksi berupa pajak
dan pungutan-pungutan resmi disebut juga biaya perdagangan (trade
costs), yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari
produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan,
hambatan kebijakan (tarif dan non tarif), biaya informasi, biaya kontrak,
biaya karena penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya
distribusi lokal (wholesale dan retail). Biaya perdagangan bersifat ad-
valorem yaitu biaya yang dikeluarkan berdasarkan nilai transaksi (Wang
2010; Crozet & Soubeyran 2004). Selain biaya ad valorem, terdapat biaya
transaksi lain yang bersifat lump sum, yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan
oleh seseorang untuk mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang
memiliki tingkat resiko tinggi (Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu
2004). Biaya transaksi yang bersifat lump sum tetap mendorong terjadinya
perdagangan apabila biaya transaksi tersebut lebih rendah dari nilai aset
beresiko yang diperdagangkan, tetapi apabila lebih tinggi maka
perdagangan tidak akan terjadi. Apabila perdagangan terjadi biasanya
terdapat kerugian berupa penurunan penerimaan di antara para pedagang
43

dan mereka akan melakukan pengaturan untuk mengurangi biaya lump


sum tersebut (Barron & Karpoff 2002).

8. Obat Tradisional
Jamu merupakan obat tradisional yang mengandung bahan atau
ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (gelanik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara
turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat (Kementerian Kesehatan
2010). Sedangkan bahan baku jamu diperoleh dari tumbuhan obat yang
diambil dari daunnya, akar, maupun batangnya dan memiliki khasiat
sebagai obat serta digunakan sebagai bahan baku untuk pengobatan obat
modern atau tradisional (Nurrochmat & Hasan 2010). Nurrochmat dan
Hasan (2010) menyebutkan bahwa tumbuhan obat adalah seluruh spesies
tumbuhan yang diketahui dan dipercaya mempunyai khasiat obat, yang
dikelompokan menjadi:
a. Tumbuhan obat tradisional, yaitu spesies tumbuhan yang diketahui
atau dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah
digunakan sebagai bahan baku obat tradisional;
b. Tumbuhan obat modern, yaitu spesies tumbuhan yang secara ilmiah
telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat
obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis;
c. Tumbuhan obat potensial, yaitu spesies tumbuhan obat yang diduga
mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi
belum dibuktikan secara ilmiah/medis atau penggunaanya sebagai
bahan obat tradisional sulit ditelusuri.

9.1. Citra Jamu sebagai Layanan Kesehatan


Citra (brand) merupakan gambaran seseorang terhadap sesuatu atau
pada produk tertentu. Bangkitnya kesadaran kelas menengah untuk
mengkonsumsi produk yang aman dan tidak memiliki efek samping
mendorong makin meningkatnya penggunaan produk-produk berbasis
herbal seperti tabir surya, sabun, krim pemutih, dan sampo. Kelas
44

menengah bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk produk-


produk tersebut. Di India misalnya, brand seperti Himalaya, Ayush,
Shenaz dan Lotus telah memanfaatkan nilai brand mereka dengan
memproduksi barang-barang berbasis herbal. Hal ini mendorong brand-
brand dunia seperti Hindustan Unilever dan Procter & Gamble ikut
mengusung brand berbasis herbal juga dengan “Go Herbal” nya
(Bhattacharjee 2012). Menurut Kartajaya (1995), sebuah citra yang
berhasil adalah citra yang tidak hanya diterima di otak konsumen tapi
lebih lagi sudah disimpan di hati konsumen. Jika hal itu sudah terjadi,
berarti citra tersebut sudah berhasil “menembus” tingkat emosional
konsumen.
Citra merupakan value dari sebuah produk, sehingga value dapat
memberikan arahan ke mana aktor akan bergerak yang dapat digambarkan
melalui motivasi internal dari aktor tersebut. Konsep-konsep seperti
“norma”. “kepentingan” dan “tujuan” berfungsi pada tingkatan yang lebih
abstrak dimana “objectives”, “goals” dan “positions” menggambarkan
nilai yang lebih spesifik. Sedangkan “preferensi” dan “posisi”
menterjemahkan value ke dalam preferensi relatif terhadap solusi-solusi
tertentu atau hasil-hasil kebijakan (Hermans & Thissen 2008).
Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian
Berbasis Pelayanan Kesehatan, jamu harus memiliki kriteria aman,
berkhasiat, bermutu dan murah secara ekonomi. Kriteria tersebut adalah
value dari jamu. Value tersebut dapat dilihat melalui preferensi individu
dimana konsumen atau pasien akan memberikan value yang tinggi apabila
memperoleh manfaat yang tinggi atas layanan kesehatan dari produk jamu
yang dikonsumsinya. Adanya keterbatasan kriteria jamu yang telah
memenuhi standar fitofarmaka (8 jenis), obat herbal terstandar (38 jenis)
dibandingkan dengan obat herbal tidak terstandar (ribuan jenis)
menyebabkan layanan kesehatan berbasis jamu masih sulit dilakukan.
Keterbatasan ini menyebabkan terjadinya kelangkaan dan ketidakpastian
45

layanan kesehatan berbasis jamu sehingga mempengaruhi citra jamu


sebagai bagian dalam layanan kesehatan.

9.2. Peranan Industri Jamu


Industri jamu di Indonesia memiliki peranan yang signifikan dalam
pengembangan permintaan bahan baku tumbuhan obat, baik yang berasal
dari hutan alam maupun dari sektor budidaya. Beers (2001) menyebutkan
bahwa seiring dengan makin hilangnya tradisi meracik jamu sendiri di
rumah pada kalangan kaum muda Jawa, telah mendorong terjadinya
perubahan pola produksi industri jamu. Penggunaan teknologi tinggi yang
aman, bersih, aman dan sehat telah meningkatkan jumlah industri jamu di
Pulau Jawa. Hal ini terjadi karena adanya industrialisasi pada sektor
tumbuhan obat sehingga dituntut adanya perubahan sikap karena
meningkatnya permintaan atas pengobatan tradisional. Kondisi ini
kemudian telah menciptakan arus permintaan atas tumbuhan obat dan
mendorong terciptanya lapangan kerja baru pada sektor biofarmaka.
Effendi dan Rostiwati (2011) menyebutkan bahwa di Jawa Tengah
terdapat 7 (tujuh) aktor yang terlibat dalam rantai perdagangan
biofarmaka, yaitu: petani pengumpul, pengumpul, pedagang, pemasok,
industri rumahan, industri herbal dan konsumen akhir. Rantai
perdagangan tersebut dipisahkan ke dalam tiga saluran utama, yaitu
saluran 1 (petani pengumpul, pemasok, industri herbal dan konsumen
akhir), saluran 2 (petani pengumpul, pedagang, industri rumahan dan
konsumen akhir), dan saluran 3 (petani pengumpul, pengumpul, industri
herbal dan konsumen akhir). Model saluran tersebut disajikan pada
Gambar 5.

Petani Pedagang Pemasok Industri Konsumen


pengumpul pengumpul herbal akhir
46

Pedagang Industri RT

Gambar 5. Rantai Pemasaran Biofarmaka di Jawa Tengah


Sumber: Effendi dan Rostiwati (2011)

Keterangan:
Saluran 1
Saluran 2
Saluran 3

Menurut tim Road Map Jamoe (2011) disebutkan bahwa terdapat


kurang lebih 1908 industri obat tradisional di Indonesia hingga tahun 2010
yang terbagi atas 79 buah Industri Obat Tradisional (IOT), 1413 Industri
Kecil Obat Tradisional (IKOT) dan 416 Perusahaan Industri Rumah
Tangga (PIRT). Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa potensi
pengembangan jamu di Indonesia sangat tinggi sehingga kebutuhannya
terhadap tumbuhan obat sebagai komponen bahan bakunya juga sangat
besar. Peluang ekonomi dan bisnis yang tercipta melalui industri jamu
dapat dikembangkan hingga pasar global.
Perusahaan obat tradisional membutuhkan jenis bahan baku obat
tradisional yang berbeda seperti jahe (Zingiber officinale Roxb.) dan
kencur (Curcuma aeroginoso Roxb.). Beberapa perusahaan tersebut
antara lain PT Sidomuncul, PT Air Mancur, PT Indo Farma, PT Nyonya
Meneer, Dayang Sumbi, CV Kencono Temu, Indotraco, Herba Agronusa
dan Jamu Jenggot, yang merupakan bagian dari 10 perusahaan obat
tradisional utama dan 12 perusahaan obat tradisional menengah (Effendi &
Rostiwati 2011). Effendi dan Rostiwati (2011) menyebutkan bahwa
terdapat kesenjangan informasi permintaan antara industri obat tradisional
dengan pemasoknya. Industri obat tradisional selalu mengalami
kekurangan pasokan bahan baku obat tradisional sehingga tidak dapat
mencapai kapasitas terpasang industrinya untuk memenuhi kebutuhan
47

pasar ekspor, sedangkan pemasok kurang memperhatikan kebutuhan


industri obat tradisional karena permintaan industri terhadap bahan
bakunya sangat sedikit tidak seperti produk buah atau sayur. Akibatnya,
untuk menutupi kesenjangan informasi permintaan, industri obat
tradisional melakukan terobosan dengan cara mencari bahan baku
tumbuhan obat yang tumbuh liar dan yang telah dibudidayakan. Misalnya
gotu cola (Centella asiatica), patmosari (Rafflesia zolingeriana),
kedawung (Parkia timoriana), dan cabe jawa (Piper retrofractum) yang
tumbuh liar di halaman, kebun atau di bawah tegakan hutan.

9.3. Struktur Kelembagaan Pengembangan Obat Tradisional


Kegiatan pengembangan obat tradisional di Indonesia melibatkan
berbagai macam pihak mulai dari sektor swasta, lembaga penelitian dan
sektor layanan publik. Zuraida et al. (2010) menyebutkan bahwa terdapat
beberapa lembaga yang aktif terlibat dalam pengembangan obat
tradisional, yaitu Badan Litbang Kementerian Kehutanan, Badan
Penelitian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Litbang Kementerian
Kesehatan, BALITTRO (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik),
Kementerian Pertanian, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia),
Pusat Studi Biofarmaka-IPB, Perguruan Tinggi di Indonesia (Fakultas
Farmasi), POKJANAS TOI (Kelompok Kerja Nasional Tumbuhan Obat
Indonesia) dan PERHIBA (Perhimpunan Peneliti Tumbuhan Bahan
Alam). Lembaga-lembaga tersebut melakukan kegiatan penelitian
pengembangan obat tradisional menggunakan sumber dayanya masing-
masing sehingga terdapat peluang terjadinya tumpang tindih terhadap hasil
penelitian, sehingga diperlukan adanya kordinasi dan sinkronisasi terhadap
pengembangan obat tradisional antar lembaga.
Dari sudut aturan main, pemerintah telah mengeluarkan berbagai
kebijakan yang cukup untuk pengembangan obat tradisional secara
berkelanjutan yang melibatkan berbagai komponen mulai dari petani,
pemasok, pengusaha, lembaga penelitian dan asosiasi. Pada sektor
kehutanan, produk kebijakan yang berhubungan dengan tumbuhan obat
dapat dijumpai pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
48

1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya


serta Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada
tataran implementatif, produk kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP)
juga sudah dikeluarkan. Misalnya PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar dan PP Nomor 6 Tahun
2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan
serta Pemanfaatan Hutan. Kedua peraturan tersebut mencantumkan
pemanfaatan tumbuhan obat sebagai produk Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK). Bahkan pada Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut)
Nomor: P.37/Menhut-II/2007 tentang Hutan Kemasyarakatan,
pemanfaatan tumbuhan obat di hutan alam dikenai kuota 20 ton untuk
setiap pemegang ijin. Artinya dari sudut kebijakan, pemerintah selaku
pemegang kekuasaan atas pemanfaatan sumber daya hutan telah
memberikan dukungan bagi setiap orang untuk terlibat dalam kegiatan
pemanfaatan tumbuhan obat terlepas dari tepat atau tidaknya produk
kebijakan tersebut. Effendi dan Rostiwati (2011) menyebutkan bahwa
arah kebijakan pengembangan tumbuhan obat di Indonesia adalah untuk
(a) Mewujudkan daya saing produk obat tradisional yang tinggi dan
berkelanjutan; (b) Mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu; (c)
Meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar hutan serta pengelolannya
pada kawasan hutan; (d) Meningkatkan nilai tukar (ekspor) dari hasil
hutan non kayu; (e) Menciptakan lapangan kerja baru pada sector hasil
hutan bukan kayu, khususnya melalui tumbuhan obat; (f) Meningkatkan
kerjasama lintas sektoral; dan (g) Pada jangka menengah memenuhi
kecukupan permintaan industri dan konsumen dalam hal kuantutas,
kualitas dan keberlanjutannya.
Untuk mencapai arah kebijakan tersebut, pengembangan obat
tradisional berbasis klaster untuk peningkatan ekonomi masyarakat
menjadi pilihannya. Klaster tersebut memuat hubungan antara kekuatan
internal dan kekuatan eksternal yang saling mempengaruhi. Kekuatan
internal berhubungan dengan lokasi produksi tumbuhan obat baik yang
diekstraksi dari alam maupun dari budidaya. Kekuatan eksternal
49

berhubungan dengan situasi pasar, kebijakan nasional, dan kondisi makro


ekonomi. Hal ini berarti bahwa pendekatan klaster telah menjadi kekuatan
internal termasuk bagi para pemimpin lokal, lembaga lokal, kebijakan
pemerintah lokal ke dalam arena bisnis serta ekonomi global (Effendi &
Rostiwati 2011). Struktur industri obat tradisional yang terkait dengan
cluster disajikan pada Gambar 6.

Pelanggan
Global

Toko ritel
skala besar Ritel skala
kecil
retailers

Toko Ritel
skala besar
retailers

Batas negara

Pembeli dan
agen ekspor

Pabrik
Pelanggan
produksi
lokal

Pabrik skala Pemasok


kecil skala kecil
Klaster Lokal
cluster

Gambar 6. Struktur Industri Obat Tradisional Terkait Klaster


Sumber: Effendi dan Rostiwati (2011)

Pengembangan sistem berbasis klaster pada obat tradisional


membutuhkan penguatan kelembagaan baik pada tingkat lokal (internal)
maupun eksternal (nasional). Hal ini mutlak diperlukan karena produk
obat tradisional yang dikonsumsi bukan hanya harus bermanfaat,
melainkan juga harus bersih, aman dan berkualitas. Oleh sebab itu
50

negosiasi antara masyarakat lokal dan pemerintah untuk membangun arus


pemikiran yang sama juga diperlukan. Sinkronisasi pemikiran tersebut
akan mendorong terciptanya tata kelola obat tradisional yang baik mulai
dari hulu hingga hilir (Reyer 2009). Hal ini juga akan meningkatkan
penerimaan (trust) masyarakat lokal terhadap program-program terkait
tumbuhan obat yang ditawarkan oleh pemerintah melalui pengembangan
dan modernisasi budaya pengobatan tradisional pada masyarakat lokal
(Mulliken & Crofton 2008; Giovannini et al. 2011). Dengan kata lain,
pemanfaatan obat tradisional pada sektor kehutanan justru akan
melestarikan sumber daya tumbuhan obat di hutan alam karena ikut
mengembangkan budaya dan tradisi masyarakat lokal sehingga
mengembangkan pula kepentingan mereka terhadap aspek sosial, ekonomi
dan politik (Abubakar et al. 2007; Vasconcelos 2010; Gold & Clapp 2011;
Mazid et al. 2012).

9.4. Modernisasi Pengobatan Tradisional


Pengobatan tradisional menggunakan jamu merupakan warisan luhur
bangsa Indonesia. Teknik pengobatan ini sudah ada lebih dahulu
dibandingkan teknik pengobatan modern yang dipasarkan saat ini dengan
bukti tertua dapat dilihat pada relief candi Borobudur dan tulisan pada
daun lontar di Bali antara tahun 991 sampai dengan 1016 (Dewoto 2007).
Langkah modernisasi terhadap pengobatan tradisional Indonesia diambil
mengingat kandungan spesies tanaman obat yang terdapat di hutan-hutan
Indonesia sangat melimpah di samping budaya pengobatan tradisional juga
terdapat pada suku-suku asli di Indonesia (Darmanto & Setyowati 2012).
Zuhud dan Hikmat (2009) telah mendata dari berbagai laporan penelitian
dan literatur tidak kurang dari 2.039 spesies tumbuhan obat yang berasal
dari hutan Indonesia. Setiap tipe ekosistem hutan tropika di Indonesia
merupakan gudang dan pabrik keanekaragaman hayati tumbuhan obat,
terbentuk secara evolusi dengan waktu yang sangat panjang, termasuk
telah berinteraksi dengan sosio budaya masyarakat lokalnya. Setiap
individu dari populasi tumbuhan obat yang tumbuh secara alami di
masing-masing tipe ekosistem hutan merupakan unit terkecil dari pabrik
51

alami yang melakukan proses metabolis sekunder sehingga menghasilkan


beranekaragam bahan bioaktif yang khas, yang sebagian besar tidak
mudah dan tidak murah ditiru oleh manusia.
Kebijakan modernisasi terhadap pengobatan tradisional di Indonesia
dimulai dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian
Berbasis Pelayanan Kesehatan bahwa jamu harus memiliki kriteria aman,
berkhasiat, bermutu dan murah secara ekonomi. Konsepsi tersebut
mensyaratkan bahwa jamu sebagai pengobatan tradisional asli bangsa
Indonesia harus memenuhi kriteria fitofarmaka agar aman, bermutu dan
dijamin khasiatnya bagi penggunanya, yaitu pasien. Dewoto (2007)
menyebutkan bahwa langkah-langkah untuk menghasilkan bahan baku
obat tradisional menjadi fitofarmaka sebagai berikut:
Tahap I
- Penggunaannya secara turun
Jamu temurun, empiris
- Bahan baku tidak distandarisasi
- Untuk pengobatan sendiri
Tahap II
- Pembuktian khasiat dan
Obat herbal keamanan berdasarkan uji pra
terstandar klinik
- Bahan baku distandarisasi
- Untuk pengobatan sendiri
Tahap III

- Pembuktian khasiat dan keamanan


Obat herbal berdasarkan uji pra klinik dan klinik
terstandar - Bahan baku, produk jadi
distandarisasi
- Untuk pelayanan pengobatan
formal

Gambar 7. Tahapan Modernisasi Obat Tradisional Indonesia


Sumber: Dewoto (2007)

Berdasarkan gambar 7, tahap I merupakan tahap paling awal dari


pengembangan obat tradisional dengan menggunakan pendekatan budaya
dimana pengalaman menyembuhkan diri sendiri diperoleh melalui studi
52

empiris. Tahap II merupakan perkembangan berikutnya dimana


penggunaan teknologi maju melalui mesin-mesin produksi dipakai agar
obat tradisional dapat diproduksi masal dan murah. Aspek ekonomi dari
pengembangan obat tradisional pada tahapan ini adalah titik beratnya.
Penggunaan teknologi laboratorium untuk menguji keamanan dan manfaat
obat tradisional masih terbatas digunakan pada Industri Obat Tradisional
skala besar dengan sistem fabrikasi yang teratur. Hewan uji sudah
digunakan untuk mengetahui dampak obat tradisional yang akan
digunakan oleh makhluk hidup. Tahap III merupakan tahap yang paling
maju karena obat tradisional digunakan untuk layanan kesehatan formal
sehingga aspek khasiat dan keamanannya dijaga sangat ketat. Meskipun
masih digunakan sebagai alternatif tetapi posisi obat tradisional sudah
diarahkan sama dengan obat modern/sintetis dalam hal tahap uji manfaat
dan keamanannya. Teknik invitro pada skala laboratorium untuk
menyusun komposisi obat tradisional sudah digunakan, kemudian
dikembangkan melalui teknik invivo baik melalui penggunaan hewan uji
maupun uji khasiat jangka panjang pada manusia (Dewoto 2007; Akbor et
al. 2007; Taware et al. 2010; Rasool et al. 2011; Huang 2013).

9. Resiliensi Aktor Marjinal


Resiliensi seringkali diterjemahkan dengan daya lenting, yaitu suatu
kondisi di mana masyarakat atau aktor yang terkena dampak bencana yang
disebabkan oleh alam mau pun manusia mampu bertahan dan mengatasi
persoalan tersebut. Twigg (2007) menyebutkan bahwa resiliensi dapat
dipahami sebagai (a) kemampuan untuk menyerap tekanan atau kekuatan-
kekuatan yang menghancurkan melalui resistensi atau adaptasi; (b)
kemampuan mengelola atau merawat fungsi-fungsi dan struktur dasar
tertentu selama terjadinya peristiwa bencana; (c) kemampuan untuk
memperbaiki atau memantul kembali setelah peristiwa bencana tersebut
terjadi. Dalam konsep ini, resiliensi memiliki makna waktu yaitu sebelum
terjadinya, pada saat terjadi dan setelah terjadinya bencana. Resiliensi
umumnya dilihat sebagai konsep yang lebih luas dibandingkan “kapasitas”
karena melampaui perilaku, strategi dan ukuran tertentu untuk mengurangi
53

dan mengelola bencana yang umumnya dipahami sebagai kapasitas. Oleh


sebab itu, sulit memisahkan istilah antara kapasitas (capacity) dan
mengelola kapasitas (coping capacity) sehingga akhirnya maknanya
disamakan dengan resiliensi (Twigg 2007).
Twigg (2007) menggambarkan komunitas sebagai sekelompok orang
yang tinggal atau hidup pada kawasan yang sama dan dekat dengan resiko
bencana yang sama. Dalam istilah ini komunitas dilihat dalam kerangka
spasial di mana tindakannya dapat memiliki kepentingan, nilai, kegiatan
dan struktur yang sama.
Komunitas merupakan sesuatu yang kompleks dan seringkali tidak
bersatu. Adanya perbedaan kesejahteraan, status sosial dan pekerjaan di
antara orang-orang yang tinggal pada wilayah yang sama serta pembagian
divisi dalam komunitas menunjukan kompleksitas yang ada di dalamnya.
Seorang individu dapat menjadi anggota komunitas lain pada saat yang
sama dan dihubungkan dengan faktor-faktor yang berbeda seperti lokasi,
okupasi, status ekonomi, gender, agama atau kepentingan yang bersifat
rekreatif. Komunitas juga merupakan sesuatu yang dinamis di mana
orang-orang dapat bergabung bersama untuk tujuan yang sama dan
berpisah lagi ketika tujuan tersebut sudah dicapai (Twigg 2007). Oleh
sebab itu dalam perspektif bencana, komunitas harus dipahami pada
dimensi spasialnya serta hubungan-hubungannya dengan perbedaan faktor
sosial ekonomi, kaitan dan dinamika yang terdapat pada wilayah resiko.
Identifikasi bukan hanya dilakukan pada kelompok yang rentan tetapi
juga perlu memahami faktor-faktor yang menyumbang pada terjadinya
kerentanan tersebut. Urusan-urusan terkait ekonomi, jasa dan infrastruktur
yang terdapat pada komunitas juga harus diperhitungkan (Twigg 2007).
Kelangkaan tumbuhan obat, kelangkan bahan baku jamu yang sudah
melalui proses uji klinis dan adanya aktor-aktor dominan dapat menjadi
tekanan bagi aktor-aktor marjinal. Aktor marjinal merupakan aktor yang
terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat tetapi berada dalam posisi
subject yaitu memiliki kepentingan yang tinggi tetapi memiliki pengaruh
yang rendah dalam kegiatanan pemanfaatan tumbuhan obat (Reed et al.
54

2009). Ketidakseimbangan posisi tersebut dapat dilihat sebagai “bencana”


juga dalam relasi sosial. Kelangkaan dan dominansi akan mempengaruhi
resiliensi para aktor marjinal dalam menyerap tekanan-tekanan yang
terkait dengan aspek sosial dan ekonomi. Corcoran et al. (2012)
menyebutkan bahwa obat-obatan farmasi modern yang dihasilkan dari
tumbuhan obat memiliki jumlah yang sangat signifikan dan sebagian besar
diperoleh dari tumbuhan obat yang tumbuh liar. Adanya gangguan
terhadap habitat alaminya di seluruh dunia, baik oleh degradasi hutan,
pemanenan berlebihan dan kerusakan menyebabkan banyaknya spesies
tumbuhan obat menghadapi ancaman bagi kelangsungan hidupnya. Oleh
sebab itu, peranan masyarakat lokal untuk mengkonservasi spesies-spesies
tersebut dan menyelamatkan pengetahuan tradisional terhadap
penggunaannya merupakan hal yang sangat penting.
Tindakan penyelamatan pengetahuan tradisional dan pengkonservasian
tumbuhan obat hanya terjadi pada masyarakat lokal yang memiliki akses
atau interaksi kuat terhadap spesies tumbuhan tersebut. Biasanya terkait
dengan kepentingan sosial dan ekonomi. Menurut Amzu (2006), spesies
kedawung (Parkia timoriana) merupakan jenis yang sudah langka di
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB). Jumlah jenis tersebut cenderung
dijumpai dalam kelompok yang berdekatan dengan desa-desa yang dihuni
oleh masyarakat pendarung yang ada di bagian Barat TNMB. Hal ini
terjadi karena masyarakat pendarung adalah pengguna spesies tersebut dan
merasakan manfaat langsungnya dari keberadaan kedawung. Tetapi hal
ini tidak terjadi pada masyarakat pendarung yang terdapat di sebelah
Timur TNMB.
Menurut Krishnaswamy et al. (2012) bahwa resiliensi memiliki dua
dimensi, yaitu:
a. Resiliensi agen atau aktor (orang-orang atau organisasi sosial:
individu, rumah tangga, organisasi komunitas, organisasi
pemerintahan)
b. Resiliensi sistem yang mendukung komunitas manusia (ekosistem,
infrastruktur, kelembagaan, dan pengetahuan)
55

Dengan demikian, resiliensi dapat dipandang sebagai salah satu modal


sosial yang berhubungan dengan pemanfaatan sumberdaya tumbuhan obat.
Terkait dengan resiliensi dan modal sosial, keberadaan tumbuhan obat
bagi masyarakat di sekitar hutan sebagai jaminan alam (natural
insurance), penyedia lapangan pekerjaan dan pendapatan tersedianya
cadangan dan kecukupan bahan baku farmasi alami, sumber pangan dan
gizi bagi anak-anak di pedesaan perlu dilihat dalam kerangka tersebut (Sill
et al. 2011). Natural insurance sebagai bagian dari konsep resiliensi,
terdapat dua jenis, yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk menambah
pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami
penurunan. Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman (safety net)
bagi keluarga. Hal yang lain adalah batu tangga (stepping stone) yaitu
pendapatan yang digunakan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan
membayar pendidikan bagi anggota keluarga (Schreckenberg et al. 2006;
Sill et al. 2011; Dzerefos et al. 2012). Dalam penelitian ini tumbuhan obat
dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
56

III. METODOLOGI PENELITIAN

1. Lokasi dan Waktu Penelitian


1.1. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat sebagai bahan baku jamu ini dilakukan pada 3 lokasi, yaitu di Taman
Nasional Meru Betiri (TNMB), Yogyakarta dan Sukoharjo. Lokasi penelitian
yang dipilih tidak memiliki keterkaitan secara langsung satu sama lain tetapi
memiliki informasi spesifik masing-masing mengenai pemanfaatan tumbuhan
obat mulai dari sumber alaminya di hutan alam, jaringan para pelakunya mulai
dari petani, industri, dokter, apoteker, rumah sakit/klinik penyedia racikan bahan
baku hingga pengguna akhir (end user) jamu sebagai bagian dari layanan
kesehatan.
1.1.1. Taman Nasional Meru Betiri (TNMB)
Taman Nasional Meru Betiri terletak di Kabupaten Jember Jawa Timur
dan disetujui menjadi calon taman nasional berdasarkan SP Menteri Pertanian No.
756/Mentan/X//1982 yang dikeluarkan bersamaan dengan Kongres Taman
Nasional sedunia yang ke-3 di Denpasar Bali. Kemudian Meru Betiri ditunjuk
menjadi Taman Nasional melalui SK Menteri Kehutanan No. 277/kpts-IV/1997
dengan luas kawasan sebesar 58.000 hektar. Ada sekitar 239 jenis tumbuhan yang
digunakan sebagai bahan baku obat tradisional di TNMB yang dibagi ke dalam
tujuh habitus, yaitu bambu, memanjat, herba, liana, perdu, semak dan pohon.
Salah satu jenis yang banyak dipanen oleh masyarakat di sekitar TNMB adalah
kedawung (Parkia timoriana). Pemanenan tersebut sudah lama dilakukan oleh
masyarakat yang disebut pendarung, baik untuk dimanfaatkan sendiri maupun
dijual kepada pengumpul. Keberadaan jenis kedawung yang lebih tinggi di
sebelah Barat di bandingkan di sebelah Timur TNMB berhubungan dengan sikap
para pendarung (Amzu 2007). Sedangkan sikap merupakan salah satu bentuk
perilaku pendarung dalam memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat. Perilaku
tersebut ditentukan oleh besarnya kepentingan dan akses yang dimiliki seorang
pendarung terhadap tumbuhan obat.
Adanya perbedaan kepentingan dan akses dapat mempengaruhi
pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB. Kepentingan dan akses dalam
57

pemanfaatan tersebut berhubungan dengan relasi kekuasaan yang terbentuk di


antara para pendarung dalam memanfaatkan tumbuhan obat. Semakin besar
kepentingan dan akses seorang pendarung terhadap tumbuhan obat maka semakin
besar peluangnya untuk memperoleh kekuasaan di dalam kelompok pendarung.
Informasi seperti pasar, teknologi, relasi sosial, kedekatan dengan pihak-pihak
tertentu dapat mencerminkan posisi seorang pendarung terhadap pendarung
lainnya.
1.1.2. Yogyakarta
Yogyakarta merupakan kota budaya dimana usaha jamu tradisional sudah
dilakukan secara turun temurun. Usaha jamu tersebut membentuk semacam
komunitas yang dibina oleh pemerintah dan sebagian besar berbentuk Usaha Kecil
Menengah (UKM). Produk-produk jamu yang dijual seperti beras kencur, kunyit
asem (gelanik) dan simplisia kering. Para penjual jamu tradisional tersebut juga
mengklaim produknya mampu menyembuhkan penyakit-penyakit seperti diabetes
miletus, tekanan darah tinggi, vitalitas, kurang nafsu makan dan lain sebagainya.
Keberadaan layanan pengobatan tradisional pada rumah sakit, puskesmas,
klinik pengobatan tradisional non formal, Pusat Kedokteran Herbal yang
merupakan satu-satunya terdapat di Indonesia, LSM, perguruan Pencak Silat yang
menjamur di Yogyakarta merupakan salah satu alasan pemilihan lokasi penelitian.
Para penyembuh tradisional yang berhubungan dengan perguruan pencak silat
tertentu juga memanfaatkan bahan baku tumbuhan obat baik dalam bentuk basah
atau kering untuk melakukan pengobatan seperti terkilir atau patah tulang. Salah
satu contohnya adalah PSM Lakutama. Lembaga ini ini berhubungan dengan
Perguruan Pencak Silat Inti Ombak yang berpusat di Colorado Amerika Serikat.
Selain itu, di Yogyakarta terdapat Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito dan
Rumah Sakit Bethesda yang sudah memanfaatkan klinik layanan kesehatan
berbasis jamu. Rumah Sakit Dr Sardjito dan Bethesda merupakan dua dari enam
rumah sakit yang memberikan layanan serupa di Pulau Jawa.
1.1.3. Sukoharjo
Di Sukoharjo terdapat industri pengolahan jamu yang dibina oleh Koperasi
Jamu Indonesia (KOJAI). Industri tersebut menjual produk-produk jamu kering
yang dibungkus dalam kemasan di mana proses produksi mulai dari pasca panen,
58

pengolahan hingga produk siap edar dikelola secara profesional. Berdasarkan


informasi yang diperoleh, industri tersebut menampung bahan baku tumbuhan
obat dari berbagai pemasok dan tidak satu pun bahan baku tersebut berasal dari
sekitar Sukoharjo melainkan berasal dari Jawa Timur. Hubungan antara industri
dan pemasok bahan baku jamu tersebut membentuk relasi perdagangan dalam
pemanfaatan tumbuhan obat yaitu berupa relasi produsen bahan baku dan
pengolah bahan baku. Selain itu, penetapan Kabupaten Sukoharjo sebagai lokasi
penelitian karena pada tahun 2014 kabupaten tersebut telah ditetapkan oleh
Pemerintah sebagai Kabupaten Jamu. Hal ini terjadi karena kegiatan ekonomi di
Kabupaten Sukoharjo salah satunya didukung oleh industri jamu dan memiliki
pusat pemasaran produk jamu skala kecil terbesar di Indonesia.

1.2. Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun mulai dari bulan November
2014 sampai dengan bulan September 2015. Lama waktu penelitian ini
mempertimbangkan ketersediaan dana dan sumberdaya lain sebagai pembatas
untuk menghasilkan kesempurnaan dalam penelitian. Tahapan waktu pelaksanaan
penelitian disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Tahapan Waktu Pelaksanaan Penelitian
No. Kegiatan Waktu Tahun
1. Penelitian 2014
1.1. Identifikasi aktor, motivasi dan persepsinya September – Oktober
dalam pemanfaatan tumbuhan obat/jamu
(Hermans & Thiesen, 2008; Reed et al,
2009)
1.2. Pengambilan data peranan dan kepentingan November – Desember
aktor pemanfaat tumbuhan obat/jamu (Reed,
2009)
1.3. Pengambilan data akses para aktor dalam Januari – Februari 2015
memanfaatkan tumbuhan obat/jamu (Ribot
& Peluso, 2003)
1.4. Pengambilan data biaya manfaat dan Maret – April
transaksi pemanfaatan tumbuhan obat oleh
aktor marginal (Klamperer, 1996; Tita et al.,
2012)
59

Tabel 4. Lanjutan
1.5. Pengumpulan data jaminan alam aktor Juli – Agustus
pemanfaat tumbuhan obat sebagai natural
insurance (Twigg, 2007 dan Sill. et al.
2011) berupa safety net dan stepping stone
(Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011;
Dzerefos et al, 2012)
3. Analisis Data dan Pembahasan September – Oktober
4. Seminar hasil penelitian Januari 2016
5. Jurnal nasional/internasional Januari-Februari
6. Ujian tertutup Maret - Mei
7. Ujian terbuka Mei - Juli

2. Bahan dan Alat Penelitian


2.1. Bahan Penelitian
Bahan-bahan penelitian yang dikumpulkan berupa dokumen-dokumen
resmi seperti peraturan perundang-undangan, rencana strategis dan rencana kerja
organisasi terkait dengan perencanaan program mengenai tumbuhan obat dan atau
jamu serta laporan-laporan kegiatan. Rekaman-rekaman hasil rapat seperti
notulensi atau nota dinas pimpinan mengenai isu tumbuhan obat dan atau jamu
dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui isu-isu yang sedang dibahas.
Dalam rekaman hasil rapat biasanya mencantumkan juga nama-nama instansi
yang terlibat sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi para pelaku yang
terlibat dalam kegiatan yang berhubungan dengan pemanfaatan jamu dan atau
tumbuhan obat. Bahan-bahan lain seperti kliping koran mengenai topik yang
sesuai juga digunakan untuk memberikan wawasan mengenai isu pemanfaatan
tumbuhan obat dan peta-peta untuk mengetahui lokasi pengambilan tumbuhan
obat untuk bahan baku jamu, khususnya peta-peta yang terkait dengan Taman
Nasional Meru Betiri.

2.2. Alat Penelitian


Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan terdiri atas pedoman
wawancara untuk memperoleh data lapangan dari para pelaku yang terlibat dan
perekam pembicaraan (recorder) dan panduan wawancara. Pengolahan data
wawancara dilakukan menggunakan software excel worksheet dan Sofware SPSS
2.2 untuk analisis statistika.
60

3. Tahapan Penelitian
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat sebagai bahan baku jamu ini memiliki beberapa tahapan penelitian. Manfaat
tahapan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai alur proses
pengerjaan kegiatan penelitian sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan dalam
penelitian hingga selesainya kegiatan penelitian. Tahapan-tahapan penelitian
tersebut disajikan pada Gambar 8.

Mulai

Tumbuhan Jamu
Obat

Wawancara Identifikasi Para Pihak, Motivasi


Mendalam & Persepsi

Analisis Kepentingan & Pengaruh


Kategorisasi Para Pihak

Regresi
Matriks Interest Akses Pemanfaatan Tubuhan Obat
Berganda
Influenced

Pemain Marginal (Subject) Pemain Utama (Key players)

Biaya Manfaat
Dibandingkan Kesimpulan &
Saran
Biaya Transaksi

Daya Tahan Thd Tekanan Selesai


Peta Posisi
Para Pihak
Pendapatan
Jaminan Alam Cadangan

Gambar 8. Tahapan Penelitian

Pada setiap tahapan penelitian, jenis data yang dibutuhkan dan diambil dari lokasi
penelitian disajikan pada Tabel 5.
61

Tabel 5. Jenis Data, Metode dan Sumber Data yang Dibutuhkan


No. Jenis Data Metode Sumber Populasi Unit
Data contoh
1. Identifikasi Para Pihak, Survey Primer Klaster Informan
motivasi, dan persepsi produksi, kunci
industri
dan
layanan
kesehatan
2. Kepentingan dan Survey Primer Klaster Informan
pengaruh produksi, kunci
industri
dan
layanan
kesehatan
3. Akses para pihak dalam Survey Primer Klaster Informan
pemanfaatan tumbuhan produksi, kunci
obat (konsumsi): industri
a. Teknologi dan
b. Kapital layanan
c. Pasar kesehatan
d. Tenaga kerja
e. Pengetahuan
f. Otoritas
g. Identitas sosial
h. Negosiasi melalui
relasi sosial
4. Perilaku ekonomi para Survey Primer Klaster Informan
pihak: produksi, kunci
a. Biaya manfaat industri
b. Biaya transaksi dan
c. Income cadangan layanan
kesehatan

4. Metode Penelitian
Penelitian tentang pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat
sebagai bahan baku jamu ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Menurut Marsh dan Stoker (2011), metode kualitatif merupakan istilah generik
untuk menyebutkan berbagai teknik seperti observasi, observasi partisipan,
wawancara individu intensif, dan wawancara kelompok fokus, yang berusaha
memahami pengalaman dan praktek informan kunci untuk menempatkan mereka
secara tepat menurut konteks. Dalam ilmu politik, metode kualitatif digunakan
untuk mengumpulkan pengalaman subyektif seseorang, opini, keyakinan, nilai
62

dan seterusnya sehingga tidak dapat terlepas dari aspek epistemologisnya, yaitu
untuk memproduksi pengetahuan. Oleh sebab itu, metode kualitatif telah
diidentikkan dengan epistemologi interpretatif yang menekankan sifat dinamis,
terkonstruksi, dan bertumbuhnya realitas sosial. Dengan demikian, menurut
metode kualitatif, tidak ada satu pun ilmu obyektif yang mampu menegakkan
kebenaran universal atau bisa eksis secara independen dari keyakinan, nilai, dan
konsep yang diciptakan untuk memahami dunia. Kelemahan umum metode
kualitatif terletak pada keterwakilan dan keandalan (jumlah dan ukuran sampel),
kurang obyektif dan bias (relasi antara pewawancara dan terwawancara yang
erat), interpretasi, dan generalisabilitas (sulit melakukan generalisasi temuan)
(Nurrochmat et al. 2016; Marsh & Stoker 2011).
Untuk mengurangi kelemahan yang terdapat pada metode kualitatif, maka
pendekatan kuantitatif dalam analisis data penelitian ini juga dilakukan.
Penelitian mengenai pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat
sebagai bahan baku jamu ini menggabungkan dua pendekatan kualitatif dan
kuantitatif untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam
penelitian.

4.1. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan secara purposive sampling di mana
responden yang dipilih merupakan informan kunci (key informan) dan dipilih
secara sengaja karena memiliki informasi yang spesifik (Irawan 2007). Kemudian
wawancara dilakukan untuk memperoleh data mengenai aktor yang terlibat dalam
pemanfaatan tumbuhan obat. Setelah itu dilakukan pengambilan sampel
berikutnya secara snowball di mana terwawancara diminta untuk memberikan
nominasi informan potensial, dan permintaan dilakukan pada wawancara
selanjutnya hingga diperoleh jumlah informan yang diinginkan (Nurrochmat et al.
2016; Marsh & Stoker 2011).

4.2. Teknik Analisis Data


4.2.1. Identifikasi Pelaku, Motivasi dan Persepsi
Identifikasi pelaku, motivasi dan persepsi yang dimilikinya dilakukan
melalui pengenalan terhadap para pihak yang terlibat dalam pemanfaatan
63

tumbuhan obat. Informasi tersebut diperoleh dari informan kunci (key informan)
seperti pejabat pemerintahan, peneliti, dunia usaha, petani, LSM,
konsumen/pasien dan melalui informasi yang tersedia dalam rekaman hasil rapat
atau dokumen-dokumen resmi tentang pemanfaatan tumbuhan obat. Metode yang
digunakan adalah melalui teknik analisis wawancara mendalam (indepth
interview). Menurut Marsh dan Stoker (2011), teknik wawancara mendalam
digunakan untuk mengeksplorasi nilai dan sikap responden sehingga sifatnya
berupa pertanyaan-pertanyaan terbuka yang dipandu (pedoman wawancara
tertuntun). Pertanyaan terbuka digunakan agar responden dapat berbicara secara
bebas dan panjang lebar mengenai para pihak, motivasi dan persepsinya tentang
pemanfaatan tumbuhan obat. Motivasi dan persepsi diukur berdasarkan aspek
kepentingan manusia berdasarkan pada alasan dan hal yang dipikirkan dalam
pemanfaatan tumbuhan obat (Fibriani 2012; Lai 2011; Guay et al. 2010; Wang
2007). Jumlah responden yang digunakan umumnya sedikit. Data dikumpulkan
dalam bentuk rekaman transkrip data untuk dianalisis. Alat yang digunakan
adalah recorder. Kemudian informasi mengenai para pihak tersebut
dikategorikan berdasarkan kelompok/klaster yang digunakan, yaitu kluster
produksi, industri dan layanan kesehatan yang tertera dalam Tabel 6.

Tabel 6. Identifikasi Para Pihak pada Lokasi Penelitian


Para Pihak Kelompok/Cluster Motivasi Persepsi
Produksi Industri Layanan Kesehatan
Alami Budidaya Besar Kecil Modern Tradisional

Hasil wawancara mendalam terhadap para pihak pengguna tumbuhan obat dapat
digunakan untuk mengidentifikasi aspek kepentingan dan pengaruh, disajikan
pada Tabel 7.
64

Tabel 7. Identifikasi Para Pihak terhadap Kepentingan dan Pengaruh


Aspek Para Pihak Kepentingan Pengaruh
Produksi BTN Meru
Betiri, Dinas
Perkebunan dan
Kehutanan
Kabupaten,
Kelompok Tani,
Perkebunan,
Pendarung,
LSM, Pengepul,
Borek kayu,
Rumah Tangga,
Industri jamu
rumah tangga,
Blandong

Industri IOT, IKOT,


Asosiasi, Dinas
Perindustrian,
Pedagang jamu
eceran, koperasi
jamu, pemasok,
pengunjung
kios jamu
Layanan Klinik Hortus
Kesehatan medicus, BPTO
Tawangmangu,
Rumah sakit,
dokter,
apoteker,
penyembuh
tradisional,
perguruan
pencak silat,
asosiasi
penyembuh
tradisional,
Dinas
kesehatan,
pasien

4.2.2. Kepentingan dan Pengaruh Pelaku


Kepentingan dan pengaruh pelaku dalam pemanfaatan tumbuhan obat
dianalisis menggunakan analisis para pihak (Reed et al. 2009; Fibriani 2012).
Para pihak yang sudah dikategorikan pada masing-masing lokasi kemudian
dianalisis menggunakan metode analisis kategori (analytical categorisation)
65

dimana para pihak diklasifikasikan berdasarkan: (1) kepentingan dan (2) pengaruh
mereka dalam memanfaatkan tumbuhan obat/jamu.
Nilai kepentingan para pihak ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Persepsi para pihak mengenai pemanfaatan tumbuhan obat/jamu
2. Kebutuhan para pihak dalam memanfaatkan tumbuhan obat/jamu
3. Motivasi para pihak untuk memanfaatkan tumbuhan obat/jamu
4. Bentuk dukungan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat/jamu
5. Keuntungan yang diharapkan oleh para pihak.
Besarnya nilai pengaruh dari para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat/jamu dinilai berdasarkan:
1. Tingkat partisipasi/keterlibatan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan
obat/jamu
2. Peran dan kontribusi para pihak dalam pembuatan keputusan
3. Hubungan dengan para pihak lain
4. Dukungan SDM
5. Dukungan finansial
Data jawaban responden terhadap kepentingan dan pengaruh para pihak
kemudian diberikan skor 1 sampai 5 (dengan ketentuan 1 = tidak, 2 = kurang, 3 =
cukup, 4 = baik dan 5 = sangat) yang disesuaikan dengan tipe pertanyaan yang
diajukan kepada responden. Kemudian, nilai rata-rata hasil jawaban tersebut
diterjemahkan ke dalam matrix resultante yang mengidentifikasikan para pihak ke
dalam empat kuadaran dengan bantuan perangkat lunak Microsoft Excell. Para
pihak yang akan dianalisis menggunakan metode ini adalah pihak-pihak yang
terdapat pada tiga klaster di lokasi penelitian, yaitu klaster produksi, klaster
industri dan klaster layanan kesehatan. Para pihak pada klaster produksi terdiri
atas pihak-pihak yang terdapat di TNMB yang melakukan kegiatan pemanfaatan
tumbuhan obat secara aktif serta kelompok petani yang terdapat di dalamnya. Para
pihak pada klaster industri adalah pihak-pihak yang berhubungan dengan industri
tumbuhan obat baik berupa Industri Obat Tradisional (IOT) dan Industri Kecil
Obat Tradisional, Koperasi Jamu, asosiasi jamu maupun lokasi penjualan jamu di
pasar Nguter dan Pasar Gede. Para pihak pada klaster layanan kesehatan terdiri
atas rumah sakit/klinik yang melakukan layanan kesehatan berbasis jamu,
66

perguruan tinggi (fakultas kedokteran/farmasi), asosiasi pengobat tradisional,


perguruan pencak silat yang aktif menggunakan pengobatan tradisional. Pada
klaster ini kegiatan penelitian dilaksanakan di Yogyakarta karena memiliki
jaringan para pihak yang cukup lengkap. Klasifikasi para pihak berdasarkan
kepentingan dan pengaruhnya disajikan pada Gambar 9.

TINGGI

Subject Key players


KEPENTINGAN

(kuadaran II) (kuadaran I)

Crowd Context Setter


(kuadaran IV) (kuadaran III)

RENDAH TINGGI

PENGARUH
Gambar 9. Posisi Para Pihak Berdasarkan Kepentingan dan Pengaruh
Sumber: Reed et al. (2009) dan Fibriani (2012)

Posisi dalam kuadran I sampai dengan IV menggambarkan posisi dan


peranan yang dimainkan oleh masing-masing stakeholder berdasarkan tingkat
kepentingan dan pengaruh yang mereka miliki, yaitu:
1. Key players merupakan kelompok yang memiliki kepentingan dan pengaruh
yang tinggi sehingga mereka terlibat aktif dalam kegiatan tersebut.
2. Subject merupakan kelompok yang memiliki kepentingan yang tinggi tetapi
pengaruhnya rendah sehingga tidak memiliki kapasitas untuk mempengaruhi
pihak lain, tetapi memiliki kemampuan untuk membentuk aliansi dengan
stakeholder lain. Umumnya berupa kelompok marginal yang ingin
diberdayakan oleh kegiatan (project).
3. Context setter merupakan kelompok yang memiliki kepentingan rendah tetapi
pengaruhnya tinggi sehingga dapat menimbulkan resiko yang nyata
67

(significant). Oleh sebab itu harus dikelola dan dimonitor (managed) dengan
baik.
4. Crowd merupakan kelompok yang memiliki kepentingan dan pengaruh yang
rendah sehingga tidak perlu dipertimbangkan terlalu detil atau dilibatkan.
Meskipun demikian, kelompok yang masuk dalam kategori ini dapat
membangun aliansi kekuatan sehingga mengganggu hasil-hasil tertentu dalam
pemanfaatan tumbuhan obat. Contoh kasusnya adalah pencampuran jamu
dengan bahan kimia obat oleh industri kecil rumah tangga di Cilacap. Pelaku
yang sama pernah tertangkap dua kali dalam operasi Pangea.

4.2.3. Akses Terhadap Sumberdaya Tumbuhan Obat


Setelah posisi masing-masing pihak dipetakan kemudian dilakukan
analisis untuk mengetahui akses terhadap sumber daya yang dimilikinya. Posisi
para pihak yang dianalisis adalah yang terletak pada posisi sebagai Key Player
dan Subject dari matriks interest-influenced yang disampaikan oleh Reed et al.
(2009). Kedua posisi tersebut dapat menggambarkan adanya ketidak seimbangan
akses dimana Subject merupakan pihak marginal yang selalu membutuhkan
project dan mengharapkan pembinaan dari posisi pihak yang lebih kuat (Key
Player). Menurut Rebot dan Peluso (2003), akses merupakan kemampuan untuk
memperoleh manfaat dari sesuatu termasuk di dalamnya obyek-obyek material,
orang-orang, lembaga-lembaga dan simbol-simbol. Mekanisme yang digunakan
untuk mendapatkan akses terdiri atas variabel teknologi, kapital, market, tenaga
kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan negosiasi melalui relasi sosial.
Dalam penelitian ini, besarnya akses yang dimiliki oleh para pihak digambarkan
melalui besarnya permintaan para pihak terhadap bahan baku tumbuhan obat.
Permintaan tersebut dipengaruhi oleh peubah-peubah bebas berupa teknologi yang
digunakan, kapital, market (harga), tenaga kerja, pengetahuan/informasi yang
dikuasai/tingkat pendidikan, otoritas/posisi dalam organisasi, identitas sosial dan
negosiasi melalui relasi sosial.
Kriteria yang digunakan untuk masing-masing peubah bebas yang
dianalisis adalah sebagai berikut (Ribot & Peluso 2003):
1. Teknologi: merupakan alat yang digunakan para pihak untuk mengektraksi
sumberdaya. Jenis teknologi yang digunakan dibedakan mengikuti skala
68

ordinal, semakin tinggi teknologi yang digunakan maka semakin besar akses
para pihak untuk mengekstraksi sumberdaya, yaitu 1 = teknologi sederhana, 2
= teknologi menengah dan 3 = teknologi maju
2. Kapital: merupakan faktor pembentuk yang menggambarkan siapa yang
memperoleh manfaat terhadap sumberdaya melalui kekayaan yang
dimilikinya. Akses ini digunakan untuk mengendalikan sumberdaya melalui
pembelian hak seperti lahan, gedung dan perlengkapan untuk mengekstraksi
tumbuhan obat. Satuan yang digunakan unit.
3. Market: merupakan kemampuan para pihak untuk memperoleh manfaat,
mengendalikan dan mengelola pendapatannya dalam pertukaran relasi. Akses
para pihak terhadap market digambarkan melalui harga yang dinikmati oleh
para pihak atas tumbuhan obat yang dimanfaatkannya. Satuan yang
digunakan adalah Rp/unit.
4. Tenaga kerja: merupakan kemampuan para pihak untuk memanfaatkan
sumber daya tumbuhan obat melalui tenaga kerja yang digunakan. Akses ini
digambarkan melalui jumlah tenaga kerja yang diserap oleh para pihak untuk
bekerja dalam proses ekstraksi tumbuhan obat.
5. Pengetahuan: merupakan kemampuan para pihak dalam memperoleh
informasi terhadap sumber daya tumbuhan obat. Akses terhadap pengetahuan
digambarkan melalui jumlah jenis tumbuhan obat yang dikuasai oleh para
pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat dan digunakan dalam proses
produksinya setiap hari.
6. Otoritas: merupakan kemampuan para pihak untuk memperoleh manfaat dari
sumber daya melalui penggunaan posisi atau jabatan dalam organisasi atau
kelompok. Akses terhadap otoritas digambarkan melalui rasio kedudukan
para pihak yang satu terhadap para pihak yang lain.
7. Identitas sosial: merupakan kemampuan para pihak memperoleh manfaat
melalui pertemanan atau anggota sebuah komunitas. Akses terhadap identitas
sosial digambarkan melalui rasio suku bangsa para pihak yang satu terhadap
para pihak yang lain.
8. Negosiasi melalui relasi sosial: merupakan kemampuan para pihak untuk
memperoleh manfaat terhadap sumberdaya tumbuhan obat melalui negosiasi
69

dan kepercayaan pada pihak lain. Akses terhadap negosiasi digambarkan


melalui jumlah negosiasi yang dilakukan oleh para pihak untuk mencapai
tujuannya dalam memanfaatkan tumbuhan obat. Semakin sedikit jumlah
negosiasi yang dilakukan maka tingkat kepercayaan antar para pihak semakin
tinggi, sedangkan jika semakin banyak maka berlaku sebaliknya.

4.2.3.1. Analisis Regresi


Setelah peubah-peubah bebas tersebut ditentukan, langkah berikutnya
adalah membuat fungsi regresi linier berganda dengan metode jumlah kuadrat
terkecil (Mattjik dan Sumertajaya 2002; Siregar 2013), yaitu:

Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + … + β8X8i


dimana
Yi = permintaan atau konsumsi tumbuhan obat (unit/tahun)
X1i,8i = peubah bebas/faktor sosial ekonomi
β0 = intersep
β1,2, 8 = koefisien regresi

bila dibuat dalam bentuk matriks maka akan menjadi:

Y = Xβ + ε

dengan asumsi sebagai berikut:


(a) εi menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal (0,σ 2)
(b) εi memiliki ragam homogen atau disebut juga tidakadanya masalah
heteroskedasitas
(c) Tidak ada hubungan antar peubah X (E(Xi,Xj) = 0 untuk semua i ≠ j atau
disebut juga tidak ada masalah kolinier
(d) εi bebas terhadap peubah X

4.2.3.2. Hipotesis Uji


Hipotesis uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahwa
permintaan/konsumsi tumbuhan obat oleh para pihak dipengaruhi sejumlah
70

variabel akses yang terdiri atas teknologi, kapital, pasar, tenaga kerja,
pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial. Akses-
akses tersebut terdiri atas dua variabel akses utama, yaitu variabel ekonomi dan
variabel sosial. Hipotesis terhadap akses yang digunakan para pihak dalam
pemanfaatan tumbuhan obat digambarkan sebagai berikut:
H0 : β1 = β2 = … = β8 = 0
H1 : ada i dimana βi ≠ 0
Keterangan:
H0 = bahwa tidak ada satu pun peubah akses yang mempengaruhi permintaan para
pihak terhadap tumbuhan obat
H1 = bahwa sekurang-kurangnya ada satu peubah akses yang mempengaruhi
permintaan para pihak terhadap tumbuhan obat

4.2.3.3. Analisis Ragam


Untuk menguji pengaruh peubah bebas terhadap peubah tak bebas secara
simultan dapat diuji menggunakan uji F yang disebut juga dengan analisis ragam
(Mattjik & Sumertadjaya 2002). Struktur analisis ragam disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisis Ragam untuk Regresi Linier Berganda


Sumber Derajat Jumlah Kuadrat Tengah F-hitung
Keragaman Bebas Kuadrat (JK) (KT)
Regresi p β’XY’- ny-2 KTR=JKR/p KTR/KTG
Galat n-p-1 YY’- β’XY2 KTG=JKG/(n-p-1)
’ -2
Total n-1 Y Y – ny Sy2=JKT/(n – 1)

Kriteria uji penolakan terhadap hipotesis nol (H0) dilakukan apabila F-hitung >
Fα(p, (n-p-1) atau jika peluang nyata (p) lebih kecil dari nilai taraf nyata (α). Jika
hipotesis nol ditolak berarti dari p peubah bebas yang dilibatkan dalam model
regresi linier berganda tersebut diharapkan terdapat paling sedikit satu peubah
bebas yang berpengaruh langsung terhadap peubah tak bebas. Software yang
digunakan untuk melakukan analisis regresi linier berganda adalah SPSS 2.2
dengan metode regression dimana diharapkan dapat diketahui variabel bebas
mana yang berpengaruh langsung terhadap variabel tak bebasnya.
71

4.2.4. Analisis Sosial dan Ekonomi Para Pihak


4.2.4.1. Analisis Biaya Manfaat
Analisis biaya manfaat digunakan untuk mengetahui besarnya aliran
manfaat yang diterima oleh ara pihak. Aliran manfaat tersebut dapat
menggambarkan besarnya surplus yang diterima ketika para pihak memanfaatkan
tumbuhan obat. Metode analisis yang digunakan untuk melihat besarnya manfaat
yang diterima oleh para pihak melalui ratio antara penerimaan yang diperoleh
dibandingkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memanfaatkan
tumbuhan obat (Klemperer 1996), yaitu:

Manfaat yang diterima


Biaya Manfaat =
Biaya yang dikeluarkan

dengan ketentuan, apabila manfaat > 1, maka para pihak memperoleh keuntungan
hingga bersedia terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat, bila manfaat = 1
maka para pihak masih berada pada titik impas tetapi bersedia terlibat serta bila
manfaat < 1, maka para pihak rugi sehingga sama sekali tidak mau terlibat pada
kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat. Faktor diskonto tidak digunakan dalam
penelitian ini dan harga yang digunakan adalah harga riil pada saat penelitian
dilakukan.

4.2.4.2. Analisis Biaya transaksi


Biaya transaksi merupakan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk
melakukan proses negosiasi, pengukuran dan pemaksaan pertukaran (Yustika
2006). Untuk mengukur besarnya biaya transaksi yang dilakukan oleh para pihak
digunakan pendekatan yang dilakukan oleh Collins dan Fabozzi (1991), Wang
(2003) dan Yustika (2006), yaitu:
Biaya Transaksi = biaya tetap + biaya variabel
Biaya tetap = komisi + transfer fee + pajak
Biaya variabel = biaya eksekusi + biaya opportunitas
Biaya eksekusi = price impact + market timing cost
72

Biaya opportunitas = hasil yang diinginkan – pendapatan aktual – biaya eksekusi


– biaya tetap
Keterangan:
1. Biaya opportunitas adalah perbedaan antara kinerja investasi aktual (actual
investment) dan kinerja investasi yang diharapkan (desired investment),
disesuaikan (adjusted) dengan biaya tetap dan biaya eksekusi.
2. Biaya eksekusi adalah ongkos yang muncul akibat permintaan eksekusi yang
cepat (immediate execution), yang sebetulnya merefleksikan dua hal penting,
yaitu:
a. kebutuhan adanya likuiditas
b. kegiatan perdagangan
3. Dampak harga (price impact) adalah biaya untuk menangkap pergerakan
harga aset (price of an asset) yang merupakan hasil dari perdagangan
ditambah selisih harga pasar (market-maker’s spread)
4. Biaya waktu pasar (market timing cost) adalah pergerakan harga aset (price
of an asset) pada waktu dilakukan transaksi yang selanjutnya dapat
dilekatkan pada pelaku pasar yang lain (other market participants).

Dalam penelitian ini biaya transaksi yang diteliti adalah biaya transaksi
yang sifatnya legal dan ilegal dimana biaya-biaya tersebut merefleksikan dua hal
yaitu biaya transaksi yang bersifat ad valorem dimana biaya transaksi timbul
karena kegiatan perdagangan dan tergantung pada volume barang dan jasa yang
diperdagangkan (Wang 2010; Crozet & Soubeyran 2004). Selain bersifat ad
valorem, biaya transaksi juga bersifat lump sum di mana nilai transaksi tersebut
bersifat tetap dan ditentukan berdasarkan waktu tertentu sehingga cenderung
bernilai tinggi (Barron & Karpoff 2002). Biaya transaksi tersebut dihitung di luar
dari biaya produksi dan biaya transportasi, sehingga rumus biaya transaksi ini
dimodifikasi dari Collins dan Fabozzi (1991), Wang (2010), Crozet dan
Soubeyran (2004) dan Barron dan Karpoff (2002) menjadi:
Biaya transaksi = Transaksi lump sump + Transaksi ad valorem
Transaksi Lump Sum = Transaksi yang terjadi untuk mempertahankan
hak atas aset yang memiliki resiko tinggi
= Biaya legal + biaya ilegal
73

Transaksi Ad Valorem = Transaksi yang terjadi karena kegiatan


perdagangan dan tergantung dari volume
barang yang diperdagangkan
= biaya legal + biaya ilegal

4.2.4.3. Daya Tahan Terhadap Tekanan


Daya tahan terhadap tekanan digambarkan sebagai kemampuan para pihak
marginal dalam menghadapi “bencana” yang disebabkan oleh faktor-faktor luar
sebagai dampak dari adanya ketidakseimbangan posisi dengan para pihak utama
sehingga posisi aktor marginal kurang “beruntung” dalam pemanfaatan tumbuhan
obat. Komponen yang hendak dianalisis, yaitu posisi tumbuhan obat sebagai
asuransi alam (natural insurance) bagi para pihak.
4.2.4.3.a. Asuransi Alam (Natural Insurance)
Tumbuhan obat sebagai asuransi alam bagi para pendarung merupakan
pendapatan yang diperoleh melalui pemanfaatan tumbuhan obat yang
dicadangkan sebagai simpanan (sewaktu-waktu diambil) selama satu tahun
(Vodouhe et al. 2008). Formula yang digunakan untuk menghitung pendapatan
tersebut adalah sebagai berikut:

I
NI =
A

QxPxF
I=
K

dimana,
NI = Asuransi Alam bagi pendarung/petani (Rp/KK/Ha)
I = Pendapatan yang diperoleh (Rp/KK)
A = Luas areal yang dicadangkan atau yang dapat dijelajahi selama setahun (ha)
Q = Jumlah jenis tumbuhan obat yang dapat dipanen (Unit)
P = Harga rata-rata jenis tumbuhan obat yang dipanen (Rp/Unit)
F = Frekuensi kunjungan selama satu tahun
K = Jumlah anggota keluarga (Orang)
74

Terkait dengan natural insurance sebagai bagian dari konsep resiliensi,


terdapat dua jenis natural insurance yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk
menambah pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami
penurunan. Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman (safety net) bagi
keluarga. Jenis yang lain adalah batu tangga (stepping stone) yaitu pendapatan
yang digunakan oleh keluarga untuk memenuhi kebutuhan membayar pendidikan
bagi anggota keluarga (Schreckenberg et al. 2006; Sill et al. 2011; Dzerefos et al.
2012). Dalam penelitian ini tumbuhan obat dapat dipakai untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.

4.2.5. Pemetaan Posisi Para Pihak


Setelah semua informasi yang dibutuhkan mengenai para pihak diperoleh,
kemudian data primer dan sekunder yang terkait dengan para pihak dibandingkan.
Pembandingan tersebut dibuat untuk menghubungkan antara akses yang dimiliki
masing-masing para pihak terhadap posisi secara sosial, ekonomi dan politik.
Perbedaan posisi antar para pihak dapat menggambarkan adanya celah (gap)
secara sosial dan ekonomi sehingga dapat dibahas posisi yang lebih adil bagi para
pihak marginal dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Alur pemetaan para pihak
pemanfaatan tumbuhan obat mulai dari klaster produksi, industri hingga layanan
kesehatan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 10.
75

INDUSTRI LESTARI

SEKTOR INDUSTRI KONSUMEN


SWASTA (IOT/IKOT) AKHIR

PIHAK PEMASOK
TN PEMANFAATAN
MERU LESTARI
BETIRI

SEKTOR RUMAH PASIEN


LAYANAN SAKIT/KLINIK RUMAH
PUBLIK JAMU SAKIT/KLINIK

PENGELOLAAN
HUTAN LESTARI
(PHL) LAYANAN PUBLIK
LESTARI

Gambar 10. Alur Pemetaan Para Pihak Pemanfaatan Tumbuhan Obat Klaster Produksi,
Industri dan Layanan Kesehatan
76

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil
1.1. Klaster Produksi
1.1.1. Taman Nasional Meru Betiri Jawa Timur
1.1.1.1. Identifikasi Para Pihak
Para pihak merupakan sekelompok orang baik yang tergabung dalam
organisasi atau diri sendiri tetapi memiliki kepentingan dan pengaruh dalam
memanfaatkan sumber daya tumbuhan obat di Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).
Kepentingan dan pengaruh tersebut saling berinteraksi sehingga membentuk
semacam” kekuasaan” yang dapat menyingkirkan pihak lain. Berdasarkan data
penelitian yang diperoleh pada lokasi penelitian, yaitu Desa Andongrejo dan
Curahnongko sebagai klaster produksi di TNMB Jawa Timur, terdapat sepuluh pihak
yang memanfaatkan tumbuhan obat di sekitar taman nasional baik secara langsung
maupun tidak langsung. Para pihak tersebut terdiri atas: Balai Taman Nasional Meru
Betiri, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember, Kelompok Tani Hutan
yang bernama Jaket Resi (Jaringan Kelompok Tani Rehabilitasi), Pendarung,
Pengepul, TOGA Sumber Waras, Perkebunan Bandealit, Blandong, LSM KAIL dan
Borek Kayu.
1.1.1.1.1. Balai Taman Nasional Meru Betiri
Balai Taman Nasional (BTN) Meru Betiri memiliki kandungan spesies
tumbuhan obat terbesar di antara taman nasional di Indonesia yaitu sekitar 291
spesies. Dari jenis tersebut 81.7% telah diketahui berkhasiat obat dan aktif digunakan
oleh masyarakat di sekitar TNMB untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi.
BTN Meru Betiri berperan menjaga ketersediaan spesies tersebut di alam dengan
kegiatan konservasi dan pembangunan kapasitas masyarakat untuk mengurangi
tingkat kemiskinan yang terdapat di sekitar TNMB.
1.1.1.1.2. Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember
Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember merupakan pihak
tingkat kabupaten yang memiliki kekuasaan sebagai pemangku wilayah hutan di luar
77

TNMB. Pihak ini sangat penting karena TNMB batas wilayah administrasinya
dibagi menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Jember dan Kabupaten Banyuwangi.
Kegiatan budidaya tanaman obat yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan
Kehutanan Kabupaten Jember antara lain Jahe dan Kunyit. Kedua jenis tersebut
digunakan oleh pihak ini dalam rangka pemberdayaan ekonomi dan sosial petani di
sekitar kawasan hutan.
1.1.1.1.3. Jaket Resi
Pihak ini merupakan gabungan kelompok tani yang memanfaatkan lahan
rehabilitasi di TNMB. Jumlah petani yang terlibat dalam kelompok tersebut terdiri
atas 5450 KK petani yang terbagi ke dalam 112 kelompok tani dan tersebar di lima
desa yaitu Desa Andongrejo, Curahnongko, Sanenrejo, Wonoasri dan Curahtakir.
Luas lahan rehabilitasi yang dimanfaatkan oleh Jaket Resi sekitar 2250 hektar yang
ditanami dengan berbagai tanaman multi guna. Petani yang tergabung dalam Jaket
Resi sebagian besar merupakan binaan LSM KAIL tetapi di antara anggotanya juga
bebas berinteraksi dengan BTN Meru Betiri, misalkan menjadi mitra TNMB untuk
perlindungan dan pengawasan hutan. Sebagian besar lahan rehabilitasi ditanami
dengan jenis-jenis lokal yang berkhasiat obat, seperti Kedawung (Parkia timoriana),
Kunyit (Curcumae domesticae rhizoma), Temulawak (Curcuma xanthorrhiza),
Kunyit Putih (Curcuma alba) dan Cabe Jawa (Piper retrofractum).
1.1.1.1.4. Pendarung
Pendarung merupakan pihak yang memiliki keahlian khusus mengenali
tumbuh-tumbuhan hutan yang berkhasiat obat. Keahlian tersebut dimiliki sebagai
cara agar pendarung mampu memanfaatkan tumbuhan obat dari hutan. Pengetahuan
pendarung mengenai waktu musim berbuah masing-masing jenis tumbuhan obat
yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta laku dijual kepada pengepul dapat dirinci
untuk jangka waktu satu tahun. Oleh sebab itu, pendarung merupakan pihak yang
memanfaatkan tumbuhan obat secara langsung dari TNMB. Jenis-jenis tumbuhan
obat yang biasa dipanen oleh pendarung antara lain: Cabe Jawa (Piper retrofractum),
Kedawung (Parkia timoriana) Kemukus (Piper cubeba), Kapulaga, Joho Lawe (Vitex
78

quinata), Joho Keling (Terminalia bellerica), Kemiri (Aleurites molluccana), Pakem


(Pangium edule), Kalongan, Njalin Pinang, Arjasa dan Rotan Selatung.
1.1.1.1.5. Pengepul
Pengepul merupakan pihak yang membeli hasil panen tumbuhan obat yang
dilakukan oleh pendarung. Permintaan atau informasi mengenai tumbuhan obat yang
dibutuhkan oleh pasar umumnya diperoleh dari pengepul. Setelah tumbuhan obat
terkumpul di pengepul kemudian langsung dijual ke pasar di Ambulu di mana produk
tumbuhan obat akan dibeli oleh pengepul yang lebih besar lagi. Jenis-jenis tumbuhan
obat yang biasa digunakan oleh pengepul antara lain kemiri (Aleurites molluccana)
dan pakem (Pangium edule). Kedua jenis ini biasa digunakan sebagai bahan bumbu
dapur.
1.1.1.1.6. TOGA Sumber Waras
Toga Sumber Waras merupakan pihak yang memanfaatkan bahan baku
tumbuhan obat menjadi ramuan jamu melalui simplisia yang dihasilkan dari TNMB
sebagai unit usaha rumah tangga (home industry). Pihak ini terdiri atas kelompok
ibu-ibu petani yang dikelola oleh LSM KAIL. Para suami mereka umumnya anggota
kelompok yang mengelola lahan rehabilitasi yang ditanami dengan tumbuhan obat.
Jenis produk jamu yang dihasilkan pihak ini terdiri atas jamu asam urat, jamu kencing
manis, jamu lambung/maag, jamu darah tinggi, jamu ambeien, jamu osteoporosis,
jamu penyubur, jamu rapet wangi, jamu rematik, jamu kencing batu dan jamu sehat
lelaki.
1.1.1.1.7. Perkebunan Bandealit
Perkebunan Bandealit merupakan pihak yang bergerak memproduksi
komoditas perkebunan di dalam kawasan TNMB berupa karet dan kopi. Dalam
penelitian ini, Perkebunan Bandealit dimasukan sebagai salah satu pihak karena
perusahaan mengeluarkan kebijakan yang mengijinkan karyawan menggunakan lahan
perusahaan untuk mengembangkan tanaman obat, seperti jahe, kunyit, temulawak dan
kencur di sela-sela tanaman pokok.
79

1.1.1.1.8. Blandong
Blandong merupakan pihak yang bekerja memungut hasil kayu dari hutan.
Blandong dimasukan ke dalam pihak pemanfaat tumbuhan obat karena kegiatan
pencurian kayu bayur (Pterospermum javanicum) dan suren (Toona sureni)
berpotensi menghasilkan bahan baku obat di masa datang. Pemanfaatan spesies
tersebut saat ini belum sampai pada manfaat obatnya, tetapi baru pada kayunya saja,
karena adanya manfaat ganda pada spesies tersebut.
1.1.1.1.9. LSM KAIL
LSM KAIL merupakan pihak yang berkepentingan melakukan pembinaan
kelompok tani melalui kegiatan pembangunan kapasitas (capacity building). Salah
satu kegiatan utama yang dilakukan oleh LSM KAIL adalah merehabilitasi kawasan
hutan TNMB yang mengalami degradasi melalui penanaman tumbuhan obat hutan,
pengembangan jaringan petani, pelatihan-pelatihan, koperasi, pembangunan industri
jamu berbasis rumah tangga dan pemasaran hasil produksi petani ke luar daerah
seperti Banyuwangi dan Bali. Luas kawasan yang harus direhabilitasi saat ini sebesar
2.733.5 hektar. Peranan LSM KAIL di lapangan sangat besar karena ikut mendirikan
dan membina kelompok Tani Jaket Resi dan TOGA Sumber Waras di Desa
Andongrejo, Curahnongko dan Curahtakir. Keberadaan LSM KAIL di lokasi
penelitian sudah lebih dari 20 tahun.
1.1.1.1.10. Borek Kayu
Borek kayu merupakan pihak yang memanfaatkan peran blandong untuk
memanen spesies tumbuhan yang memiliki manfaat ganda dan berpotensi sebagai
bahan baku obat di masa depan, yaitu bayur dan suren, dari TNMB. Sebagian
masyarakat desa di lokasi penelitian mengetahui bahwa kegiatan seorang Borek kayu
adalah ilegal, tetapi aparat desa bersedia melindungi keberadaan Borek kayu di
desanya. Hal ini terjadi karena Borek kayu dapat berkontribusi meningkatkan
Pendapatan Asli Desa (PAD) melalui retribusi yang dibayarkan Borek kayu.
80

1.1.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak


Motivasi dan persepsi para pihak dalam memanfaatkan tumbuhan obat dari
TNMB dapat menggambarkan nilai kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing
pihak terhadap sumber daya tersebut. Semakin tinggi motivasi dan persepsinya maka
tingkat kepentingan para pihak terhadap pemanfaatan tumbuhan obat juga semakin
tinggi. Berdasarkan wawancara dengan para pihak, diperoleh hasil motivasi dan
persepsi seperti yang ditampilkan ada Tabel 9.

Tabel 9. Motivasi dan Persepsi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat
No. Para Pihak Persepsi Motivasi
1. BTN Meru Betiri Kelangsungan keanekaragaman Tugas sesuai UU
hayati
2 Disbunhut Kabupaten Jember Kelangsungan manfaat Tugas sesuai UU
sumberdaya hutan
3 Jaket Resi Pendapatan cadangan jika Pendapatan keluarga
pendapatan utama menurun
4. Pendarung Pendapatan utama Pendapatan keluarga
5. Pengepul Pendapatan cadangan jika Pendapatan keluarga
pendapatan utama menurun
6. TOGA Sumber Waras Keanekaragaman hayati dan Pendapatan keluarga
nilai warisan dan tambahan peluang
ekonomi
7. Blandong Pendapatan dan kesejahteraan Pengikut
8. Perkebunan Bandealit Tingkat perhatian yang rendah Manfaat ekonomi dari
terhadap sumberdaya alam hutan perkebunan
9. LSM KAIL Kelangsungan sumberdaya alam Perlindungan dan
hutan kesejahteraan bagi
orang lain
10. Borek kayu Perdagangan kayu Manfaat ekonomi

1.1.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak


Nilai kepentingan, pengaruh dan kekuasan para pihak dalam pemanfaatan
tumbuhan obat di TNMB dapat menunjukan posisi para pihak terhadap pihak yang
lain. Analisis kategorisasi terhadap para pihak dilakukan menggunakan variabel
kepentingan, pengaruh dan kekuasaan dengan mengambil nilai rata-ratanya kemudian
dianalisis posisi masing-masing pihak pada kuadran analisis kategorisasi (Reed et al.
81

2009). Nilai masing-masing pihak berdasarkan variabel kepentingan, pengaruh dan


kekuasaan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Nilai Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak dalam Pemanfaatan
Tumbuhan Obat
No. Para Pihak Skor Kepentingan Skor Pengaruh
1. BTN Meru Betiri 4.2 4.2
2 Disbunhut Kabupaten 3.0 2.8
Jember
3 Jaket Resi 4.0 3.2
4. Pendarung 4.4 3.0
5. Pengepul 5.0 3.8
6. TOGA Sumber Waras 4.2 3.6
7. Blandong 3.2 1.6
8. Perkebunan Bandealit 3.0 1.4
9. LSM KAIL 4.4 3.8
10. Borek kayu 3.0 1.8

Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 10 kemudian dibuat pemetaan


kepentingan, pengaruh dan kekuasaan para pihak menggunakan analisis kategorisasi
(Reed et al. 2009; Ackermann & Eden 2010; Nurrochmat et al. 2015). Pemetaan
posisi para pihak berdasarkan variabel kepentingan, pengaruh dan kekuasaan akan
terbagi dalam empat kuadran, yaitu sebagai key players, subjects, context setters dan
crowd (Reed et al. 2009). Pemetaan posisi kepentingan-pengaruh pada para pihak
dalam pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB disajikan pada Gambar 11.
82

K
6
E LEGENDA:
TINGGI BTN Meru Betiri
P
E 5 Disbunhut Jember
N Jaket Resi
T 4 Subject
Key players Pendarung
I
N 3 Pengepul
G TOGA Sumber Waras
A RENDAH TINGGI
2 Blandong
N
Crowd Context setter Kebun Bandealit
1 LSM Kail
RENDAH
Borek Kayu
0
0 1 2 3 4 5
Analisis kategorisasi; Akses: Teknologi (-), Kapital (-), Pasar (+); Biaya-Manfaat: 1 – 9.19; Biaya
Transaksi: Lump sum (ilegal); Natural insurance: Safety net & Stepping stone (rentan)

PENGARUH
Gambar 11. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak dalam
Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TNMB

Pada Gambar 11 posisi para pihak dibagi menjadi dua yaitu sebagai key players dan
sebagai subject.

1.1.1.4. Akses Para Pihak pada Tumbuhan Obat di Klaster Produksi


Menurut Ribot dan Peluso (2003), akses dapat mencerminkan hak kelola atas
sumber daya alam di mana para pihak yang memiliki akses yang paling banyak
biasanya akan memiliki kekuasaan yang paling besar untuk menentukan jenis
pengelolaan sumber daya alam yang dikuasainya. Dalam kaitan dengan pemanfaatan
tumbuhan obat di TNMB, terdapat 8 variabel akses yang diamati yaitu teknologi,
kapital, market, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi
melalui relasi sosial. Variabel-variabel akses tersebut dihubungkan dengan
permintaan para pihak terhadap tumbuhan obat sehingga permintaan tumbuhan obat
dari TNMB digambarkan melalui fungsi aksesnya terhadap tumbuhan obat tersebut.
Analisis terhadap permintaan tumbuhan obat hanya dilakukan pada pihak-pihak yang
memiliki hubungan langsung dengan pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB. Para
83

pihak yang kurang memiliki hubungan langsung dianalisis secara deskriptif.


Variabel-variabel tersebut akses pemanfaatan tumbuhan obat oleh para pihak di
TNMB dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Variabel Akses Pemanfaatan Tumbuhan Obat di TNMB


Para pihak X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Yi
BTNMB 1 285,30 0 16 291 0,50 0,62 4 0,00
DISBUNHUT 1 4000 413.831 4 10 0,50 0,50 3 202.460,00
JAKET RESI 1 1 3.300 5 9 0,15 0,70 23 1.650,00
PENDARUNG 1 40 0.624 5 11 0,15 0,90 1 336,25
PENGEPUL 1 0,1 12.3 2 2 0,05 0,30 1 3.500,00
TOGA 2 0,25 38.88 2 29 0,20 0,82 1 304,80
BLANDONG 1 0,06 46.295 5 1 0,10 0,50 1 241.481.481,24
BANDEALIT 2 1050 3.143.659 300 7 0,50 0,03 1 304.100,76
LSM KAIL 1 2733,50 200.000 11 10 0,50 0,60 5 0,00
BOREK 2 0,20 31.384 1 1 0,1 0,5 1 6.360,00

Analisis regresi yang digunakan terhadap 8 variabel akses pada klaster


produksi di TNMB tidak dapat digunakan seluruhnya secara bersamaan. Hal ini
terjadi karena jumlah variabel akses dibandingkan dengan jumlah para pihak yang
terdapat di TNMB lebih besar. Oleh sebab itu, untuk melakukan analisis terhadap
variabel akses dilakukan dengan cara memecah antara variabel akses yang
berhubungan dengan akses terhadap kegiatan ekonomi, yaitu teknologi, kapital,
market dan tenaga kerja serta variabel yang berhubungan kegiatan sosial seperti
pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial dianalisis
secara deskriptif.
Software analisis regresi linier berganda yang digunakan dalam penelitian ini
adalah SPSS 2.2. Hasil yang diperoleh untuk variabel akses teknologi, kapital, market
dan tenaga kerja yang dihubungkan dengan permintaan para pihak terhadap
tumbuhan obat di TNMB disajikan pada Tabel 12.
84

Tabel 12. Hasil Analisis Regresi Berganda antara Permintaan Tumbuhan Obat
Terhadap Variabel Akses Ekonomi di TNMB

Korelasi Pearson Permintaan Teknologi Kapital Pasar Tenaga


(D) Kerja
Permintaan (D) 1.000 -.265 .793 .888 -.216
Teknologi -.265 1.000 .148 .104 .009
Kapital .793 .148 1.000 .976 .106
Pasar .888 .104 .976 1.000 -.066
Tenaga Kerja -.216 .009 .106 -.066 1.000

Untuk mengetahui variabel akses yang mempengaruhi permintaan tumbuhan


obat di TNMB maka dilakukan pengujian hipotesis pada tingkat tingkat α sebesar
0.05. Hasil uji F terhadap variabel akses disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Uji F Terhadap Variabel Akses Permintaan Tumbuhan Obat di
TNMB

Model JK db RK F Sig
Regresi 34771441210.513 4 8692860302.628 454.067 0.002
Residual 38288881.432 2 19144440.716
Total 34809730091.945 6

Berdasarkan hasil uji F pada Tabel 13 diketahui bahwa α tabel lebih besar dari
pada α hitung sehingga hipotesis nol (H0) ditolak. Untuk mengetahui varibel akses
mana yang mempengaruhi permintaan terhadap tumbuhan obat di TNMB maka
dilakukan pengujian secara bertahap terhadap variabel tersebut menggunakan uji-t
pada tingkat α sebesar 0.025. Hasil uji bertahap terhadap variabel akses disajian pada
Tabel 14.
85

Tabel 14. Hasil Uji T-Student terhadap Permintaan Tumbuhan Obat di TNMB

Model Unstandardized Coefficient Standardized


Coefficient
B Standard B t Sig
Error
Konstanta 28496.102 7031.787 4.052 0.056
Teknologi -42828.360 3896.112 -274 -10.93 0.008
Kapital -87.096 8.443 -1.892 -10.316 0.009
Pasar 0.001 0.000 2.775 16.261 0.004
Tenaga Kerja 2490.575 572.966 0.170 4.347 0.049

Pada Tabel 14 terlihat bahwa akses terhadap teknologi, kapital dan pasar
memiliki tingkat α yang lebih kecil dibandingkan α tabel sehingga hipotesis nol (H0)
ditolak. Persoalan yang muncul kemudian adalah akses teknologi dan kapital
memiliki nilai negatif, hanya akses terhadap pasar yang memiliki nilai positif. Hal ini
berarti bahwa meskipun akses terhadap teknologi dan kapital berbeda nyata, tetapi
penambahan satu satuan akses tersebut justru menurunkan permintaan terhadap
tumbuhan obat di TNMB. Hal ini terjadi karena penggunaan teknologi maupun
kapital di TNMB sesungguhnya masih dipengaruhi oleh variabel yang lain.
Penggunaan alat-alat sederhana seperti pacul, arit, karung bahkan investasi para pihak
pada tumbuhan obat masih berupa pekerjaan sambilan. Pekerjaan utama para pihak
di TNMB terpusat pada pertanian. Variabel akses yang bernilai positif terletak pada
akses terhadap pasar dan tenaga kerja. Berdasarkan analisis regresi linier berganda,
maka model permintaan (Y) tumbuhan obat di TNMB yang dihubungkan dengan
variabel akses teknolgi (X1), kapital (X2), pasar (X3) dan tenaga kerja (X4) menjadi

Y = 28496.102 – 42828.360X1 -87.096X2 + 0.001X3 + 2490.575X4

1.1.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance


Kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat akan berlangsung dengan lancar apabila
para pihak merasa mendapatkan nilai manfaat baik secara ekonomi maupun sosial.
Dalam pemanfaatan tersebut juga terjadi sejumlah transaksi baik berupa pencarian
informasi, perlindungan maupun biaya-biaya untuk mengelola kegiatan pemanfaatan
86

tumbuhan obat itu sendiri dalam bentuk program-program kesejahteraan sosial.


Natural insurance (jaminan alam) merupakan gambaran mengenai kemampuan
stakeholder untuk meningkatkan pendapatannya melalui pendapatan cadangan yang
akan digunakan apabila dibutuhkan, misalnya untuk sekolah anak. Data mengenai
biaya manfaat, biaya transaksi dan natural insurance disajikan pada Tabel 15.
Tabel 15. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance
No. Para Pihak Biaya Biaya Transaksi Jaminan Alam
Manfaat (Rp) (Rp/Tahun)

Ad Lump sum Safety net Stepping stone


valorem
1. BTN Meru Betiri 1,00 - 28.562.500 Tidak ada Tidak ada
2. DISBUNHUT ND ND ND Tidak ada Tidak ada
Jember
3. Jaket Resi 9,19 - 4.775.000 750.000 Tidak ada
4. Pendarung 7,09 - 211.783,33 Tidak ada 131.250
5. Pengepul 1,47 - 3.075.000 Tidak ada Tidak ada
6. Toga Sumber 1,37 - 10.000.000 Tidak ada 7.066.666,67
Waras
7. Blandong 6,45 - 45.720.000 8.137.500 Tidak ada
8. Kebun Bandealit 2,58 - 15.000.000 1.120.000.000 Tidak ada
9. LSM KAIL 1,40 - 1.400.000 32.000.000 Tidak ada
10. Borek Kayu 1,77 - 1.500.000 Tidak ada Tidak ada

1.2. Klaster Layanan Kesehatan


1.2.1. Daerah Istimewa Yogyakarta
Propinsi Yogyakarta sudah sejak lama dikenal sebagai kota budaya.
Pemanfaatan tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu juga sudah lama digunakan
oleh masyarakat di sekitarnya melalui budaya minum jamu untuk memelihara
kesehatan. Terkait hal tersebut, terdapat sekitar 19 pihak yang berhasil diwawancarai
sehubungan dengan pemanfaatan tumbuhan obat untuk layanan kesehatan, yaitu:
Pengobat Spiritual, RSUP Dr. Sardjito, RSU Panti Rapih, Yayasan Lakutama, Jamu
Gendong Lugu Murni, PT PJT Dr. Sardjito, Pusat Kedokteran Herbal Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), Gabungan Pengusaha (GP) Jamu
Wilayah Yogyakarta, Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional
(SP3T) Yogyakarta, Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Yogyakarta,
Pengobat Tradisional, Pelanggan Jamu Gendong, Pasien Pengobat Tradisional,
87

Poliklinik Gondomanan, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah


Yogyakarta, Pasien Pengobat Spiritual, Community Development (CD) Bethesda,
Dinas Kesehatan Propinsi Yogyakarta dan Klinik Radiastesi Medik Romo Lukman.
1.2.1.1. Identifikasi Para Pihak
1.2.1.1.1. Pengobat Spiritual
Pengobat spiritual merupakan wujud dari sekelompok orang atau pribadi
yang menghayati kebudayaan Jawa sebagai bentuk kepercayaan menyatunya manusia
dengan Tuhan (manunggaling kawulo gusti). Praktek pengobatan ini kerap kali
berhubungan dengan aspek-aspek “Yang Gaib” dan penyembuhan-penyembuhan baik
secara spiritual maupun fisik. Penyebutan praktisi pengobat spiritual sebagai dukun
umumnya ditolak oleh kelompok ini. Praktisi pengobat spiritual kerap kali diminta
untuk memberikan “restu’ bagi para calon kepala desa, calon legislatif, karir
profesional, nasehat spiritual bahkan ilmu kedigjayaan dari para pasiennya serta
ritual-ritual. Terkait dengan layanan kesehatan, praktisi pengobat spiritual juga
menggunakan simplisia dan air putih yang didoakan.
1.2.1.1.2. RSUP Dr. Sardjito
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Sardjito merupakan rumah sakit yang dikelola
oleh Kementerian Kesehatan pada tingkat layanan kesehatan tersier. Rumah sakit ini
melayani pengobatan komplementer berbasis herbal dalam layanan kesehatan bagi
masyarakat. Dalam pelayanannya, pengobatan komplementer yang digunakan adalah
yang sudah terstandar fitofarmaka dan akupunktur medis. Tenaga dokter, apoteker
dan paramedisnya telah dilatih secara khusus untuk menangani pengobatan berbasis
herbal melalui kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
(UGM).
1.2.1.1.3. RS Panti Rapih
RS Panti Rapih merupakan rumah sakit yang dikelola oleh yayasan swasta
pada tingkat layanan kesehatan sekunder. Rumah sakit ini juga melayani pengobatan
komplementer berbasis herbal sebagai sebuah inovasi dalam layanan kesehatan bagi
masyarakat. Penggunaan obat-obatan berbasis herbal baik berupa serbuk, simplisia
dan racikan-racikannya dipilih menggunakan teknik radiastesi sehingga untuk tiap
88

pasien yang mengalami diagnosis penyakit yang sama belum tentu menggunakan
obat yang jenisnya sama dengan orang tersebut. Upaya penggunaan pengobatan
herbal umumnya menghadapi kendala berupa resistensi diantara pelayan medis yang
menggunakan pendekatan konvensional karena dianggap pendekatan herbal tidak
memberikan keuntungan yang memadai bagi rumah sakit. Tetapi dari sisi kebijakan
yayasan, pengobatan herbal dianggap sebagai inovasi karena juga sudah banyak
digunakan oleh negara-negara maju.
1.2.1.1.4. Yayasan Lakutama
Yayasan Lakutama merupakan sebuah yayasan yang juga melayani
penyembuhan penyakit menggunakan obat-obatan herbal. Teknik penyembuhan
yang digunakan berbasis pada pengalaman dan disesuaikan dengan informasi ilmiah
yang dimiliki oleh terapis. Yayasan ini melakukan kegiatan pelayanan kesehatan
dengan menggunakan biaya yang terjangkau oleh masyarakat sehingga obat-obatan
herbal yang diproduksi harus murah secara ekonomi. Pelayanan kesehatan dilakukan
tanpa membuat brosur dan umumnya lebih banyak diketahui dari mulut ke mulut oleh
pasiennya. Lokasi atau klinik tempat melakukan penyembuhan terletak di rumah
ketua yayasan yang sekaligus berfungsi sebagai pusat aktifitas Pencak Silat Inti
Ombak di Yogyakarta.
1.2.1.1.5. Jamu Gendong Lugu Murni
Jamu gendong merupakan salah satu unit pelayanan kesehatan tradisional
yang sudah menyebar di seluruh Pulau Jawa. Jamu Gendong Lugu Murni dipilih
sebagai responden karena memiliki relasi yang sangat erat dengan pihak-pihak lain
yang terkait dengan layanan kesehatan berbasis herbal. Selain itu, cara dan teknik
penyajian produknya lebih mirip dengan klinik-klinik pengobatan oleh sinse
dibandingkan dengan penjual jamu gendong. Pihak ini menyebut diri sebagai jamu
gendong karena produk layanan kesehatan yang ditawarkan umumnya berupa
cairan/gelanik yang diproduksi dan disajikan pada hari pelayanan saja. Kegiatan
usaha yang dilakukan oleh pihak ini sudah dilakukan sejak tahun 1969 dan
merupakan usaha turun temurun.
89

1.2.1.1.6. PT PJT Dr. Sardjito


PT PJT (Perusahaan Jamu Tradisional) Dr. Sardjito merupakan sebuah unit
usaha swasta yang dikembangkan oleh Dr. Sardjito dengan bahan dasar tempuyung
(Sonchus arvensis L.) sebagai obat untuk peluruh batu ginjal. Tumbuhan ini tumbuh
liar di sekitar pekarangan rumah dan mudah ditemukan juga di sekitar persawahan
sehingga kurang dilihat sebagai tumbuhan bernilai ekonomis tinggi. Produk utama
dari PT PJT Dr. Sardjito adalah calcusol yang berfungsi untuk meluruhkan batu ginjal
dan sudah dijual ke seluruh Indonesia. Pihak ini juga memiliki relasi yang baik
dengan Jamu Gendong Lugu Murni karena berada dalam satu asosiasi GP Jamu tetapi
memiliki kepentingan yang berbeda.
1.2.1.1.7. Pusat Kedokteran Herbal Fakultas Kedokteran UGM
Pusat Kedokteran Herbal (PKH) Fakultas Kedokteran (FK) UGM merupakan
satu-satunya pusat ilmu kedokteran herbal di Indonesia. Tenaga terdidik dan terampil
dalam bidang pengobatan berbasis herbal sudah banyak yang dihasilkan oleh pihak
ini. Fokus kegiatan PKH FK UGM ini pada penelitian dan pengembangan obat-
obatan herbal untuk mengatasi kendala pengobatan herbal yang tersaintifikasi dan
belum berkembang luas di Indonesia. Produksi obat herbal yang dihasilkan oleh PKH
FK UGM umumnya berbentuk ekstrak.
1.2.1.1.8. Gabungan Pengusaha (GP) Jamu Wilayah Yogyakarta
GP Jamu Wilayah Yogyakarta merupakan asosiasi pengusaha jamu yang
memiliki jumlah anggota sekitar 54 perusahaan jamu. Susunan kepengurusan dalam
asosiasi ini diakui keberadaanya oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 643/Men.Kes./VII/1993 tertanggal 28 Juli
1993. Asosiasi ini bertugas mewadahi produsen jamu yaitu industri obat tradisional,
industri kecil obat tradisional, usaha jamu racikan, dan usaha jamu gendong, penyalur
dan pengecer termasuk usaha di bidang simplisia. Sebagai tambahan, salah satu
anggota dari GP Jamu wilayah Yogyakarta juga bertugas menyalurkan simplisia
tumbuhan obat ke Puskesmas Gondomanan Kota Yogyakarta.
90

1.2.1.1.10. Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional (SP3T)


SP3T merupakan sebuah lembaga yang dibangun untuk melayani pengobatan
tradisional herbal. Anggotanya terdiri atas berbagai macam terapis yang memilik
keahlian pengobatan berbasis herbal seperti akupunktur, pijat, jamu gendong dan
produsen jamu. Selain digunakan untuk melayani kebutuhan masyarakat akan
pengobatan herbal, SP3T juga digunakan sebagai model pengobatan komplemeter
sehingga dapat lebih dikenal oleh masyarakat. Untuk propinsi Yogyakarta, SP3T
bekerjasama dengan pihak keraton hanya saja pada saat ini SP3T Yogyakarta sedang
tidak ada kegiatan karena lokasi kegiatan yang diberikan oleh kraton Yogyakarta
dikembalikan fungsinya menjadi cagar budaya.
1.2.1.1.11. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Yogyakarta
Balai Besar POM Yogyakarta merupakan institusi pusat yang berada di bawah
Kementerian Kesehatan. Tugas utama pihak ini adalah melakukan pengawasan dan
perijinan peredaran makanan dan obat-obatan yang dilakukan oleh produsen sehingga
aspek keamanan pangan bagi konsumen dapat terjamin. Pemeriksaan dan
pengawasan suatu industri obat tradisional dilakukan oleh Babes POM Yogyakarta
hingga tingkat tapak yang meliputi aspek tata letak dan kebersihan produksi. Suatu
hal yang menjadi perhatian Babes POM Yogyakarta terkait obat tradisional adalah
kandungan bahan kimia obat dalam produk obat tradisional.
1.2.1.1.12. Pengobat Tradisional
Pengobat tradisional merupakan komponen yang selalu ada dalam setiap
kehidupan masyarakat, umumnya mereka dikenal sebagai paranormal serta dianggap
memiliki kelebihan dibandingkan manusia pada umumnya. Pihak ini umumnya
memiliki jiwa sosial yang tinggi serta bersedia menolong pasien tanpa bayaran dan
tidak menerapkan tarif tertentu yang tidak mampu dijangkau oleh pasien. Beberapa
pengobat tradisional mengaku memiliki kemampuan tersebut dengan melakukan
“mati raga” dan tidak dapat mewariskan kemampuan yang dimilikinya kepada
keturunannya. Pihak ini memiliki ketergantungan yang amat tinggi kepada peran
Tuhan Yang Maha Esa dalam melakukan proses penyembuhan pasien sehingga
91

tindakan apapun yang dilakukan tidak pernah terlepas dari peran Tuhan YME
termasuk pemberian obat-obatan. Responden yang diambil untuk diwawancarai
merupakan praktisi pengobatan tradisional dan “enggan” disebut sebagai paranormal
karena memiliki konotasi buruk, khususnya pengobatan menggunakan pendekatan
meditatif-intuitif karena dianggap berdekatan dengan gejala schzofrenia. Dalam
dunia metafisika, responden adalah ketua II asosiasi parapsikologi internasional yang
berbasis di Jerman.
1.2.1.1.13. Pelanggan Jamu
Pelanggan jamu merupakan pihak yang penting karena merupakan konsumen
akhir dari rantai pemanfaatan tumbuhan obat bagi layanan kesehatan. Pihak ini
umumnya merupakan kelas rumah tangga yang menggunakan produk jamu gendong
untuk merawat kesehatan. Dalam penelitian ini, responden yang diambil dari kelas
rumah tangga bekerja sebagai supir pribadi sebuah keluarga serta memiliki kebiasaan
menyanyi. Permasalahan yang dihadapi oleh responden ini adalah suara yang parau
dan kelelahan sehabis bekerja. Setelah responden rutin mengkonsumsi jamu gendong
secara rutin, keluhan suara yang parau dan kelelahan dirasakan berkurang sehingga
konsumsi jamu-jamuan terus dilakukan hingga sekarang.
1.2.1.1.14. Pasien Pengobat Tradisional
Pasien pengobat tradisional merupakan pihak yang penting karena
menggambarkan relasi antara terapis dan pasien serta obat-obatan tradisional yang
dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit pasien oleh terapis. Responden yang
diambil untuk diwawancarai sudah berobat selama kurang lebih tiga tahun kepada
seorang penyembuh tradisional terkenal di kota Yogyakarta. Profesi responen adalah
seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan tinggal di daerah Kabupaten Bantul.
Perjumpaan responden dengan pengobat tradisional diawali dengan penyakit stroke
yang dideritanya, kemudian berobat secara konvensional. Besarnya biaya pengobatan
konvensional menjadi salah satu kendala dan pertimbangan responden untuk
mencoba pengobatan tradisional. Menurut kesan responden, pengobatan tradisional
yang diikutinya cukup membantu dirinya sehingga gejala penyakit darah tinggi yang
dideritanya tidak kambuh lagi.
92

1.2.1.1.15. Poliklinik Gondomanan


Poliklinik Gondomanan merupakan salah satu pihak yang penting karena
menjadi loka percontohan pengobatan herbal pada layanan kesehatan primer.
Pengobatan menggunakan sarana herbal merupakan salah satu dari program
kesehatan yang dicanangkan oleh Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Untuk
memenuhi kebutuhan layanan kesehatan berbasis herbal, poliklinik Gondomanan
menyediakan tenaga dokter dan apoteker serta paramedis yang sudah dilatih untuk
melayani pengobatan herbal. Bahan baku untuk pengobatannya seperti simplisia
disediakan oleh salah satu anggota dari GP Jamu wilayah Yogyakarta. Jumlah
kunjungan pasien yang menggunakan jasa herbal dapat mencapai 1312 pasien setiap
tahunnya.
1.2.1.1.16. Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Yogyakarta
IDI Wilayah Yogyakarta merupakan asosiasi dokter yang bertugas
mengadvokasi kepentingan dokter dalam melakukan tindakan-tindakan yang
berhubungan dengan layanan kesehatan baik pada tingkat primer, sekunder maupun
tersier. Layanan kesehatan yang umumnya dapat diadvokasi oleh Pengurus IDI masih
pada tingkatan layanan pengobatan konvensional. Layanan berbasis herbal masih
belum dapat dicakup oleh IDI karena terkait dengan “evident base” yang terdapat
pada layanan herbal masih belum mencukupi. Tetapi dari sisi Pengurus IDI sendiri
cukup terbuka untuk melakukan advokasi terhadap dokter-dokter yang melakukan
layanan kesehatan apabila aspek evident base-nya tercukupi. IDI merupakan salah
satu pihak penting karena berperanan dalam pengurusan administrasi ijin praktek
dokter. Rekomendasi yang diberikan oleh IDI menentukan apakah seorang dokter
dapat meneruskan ijin prakteknya atau tidak.
1.2.1.1.16. Pasien Pengobat Spiritual
Pasien pengobat spiritual merupakan pihak yang menentukan apakah seorang
pengobat spiritual dapat meneruskan praktek penyembuhannya atau tidak.
Keberadaan pasien yang mendatangi seorang penghayat kejawen dapat menjadi tanda
diakuinya status kemampuan seorang pengobat spiritual memberikan solusi
penyembuhan bagi pasien. Responden yang diwawancarai merupakan seorang ibu
93

rumah tangga yang meminta bantuan kepada penghayat kejawen terkait relasi asmara
antara puteranya dengan seorang wanita yang usianya lebih tua. Relasi ini tidak
disetujui oleh responden sehingga responden mencari solusi kepada pengobat
spiritual. Kepastian bahwa relasi tersebut tidak dapat berlanjut yang dikatakan
sebagai “bukan jodoh” anak dari pasien pengobat spiritual, ternyata mampu
memberikan rasa tenteram bagi pasien. Profesi pasien selain sebagai ibu rumah
tangga juga berprofesi sebagai penjual roti bakar. Wawancara dengan responden
dilakukan di rumah pengobat spiritual di daerah Klaten Jawa Tengah.
1.2.1.1.17. Community Development (CD) Bethesda
CD Bethesda merupakan salah satu unit Rumah Sakit Bethesda yang didirikan
pada tahun 1974. Tujuan utamanya adalah bekerja di luar rumah sakit dalam rangka
mewujudkan rumah sakit tanpa dinding (hospital without walls) dengan fokus utama
pada layanan kesehatan primer untuk masyarakat di daerah-daerah terpencil.
Masyarakat tersebut dilatih untuk memahami potensi/gejala penyakitnya sendiri dan
diberi pelatihan untuk menyembuhkannya. Kelompok masyarakat ini kemudian
menjadi masyarakat dampingan CD Bethesda yang disebut sebagai Organisasi
Rakyat. Meskipun CD Bethesda merupakan salah satu unit dari Rumah Sakit
Bethesda, namun dalam prakteknya lebih banyak menggunakan konsepsi Lembaga
Swadaya Masyarakat. Organisasi Rakyat (ORA) merupakan mitra dampingan yang
tersebar mulai dari Yogyakarta (Kulonprogo, Gunungkidul, Bantul, Kota Yogya),
Jawa Tengah (Pati, Grobogan, Demak, Kudus, Jepara, Rembang), NTB (Lombok),
NTT (Sumba Barat, Sumba Timur, Alor, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah
Utara, Sikka), Papua (Jayawijaya, Puncak Jaya), Aceh dan Timor Leste. Salah satu
bentuk pelatihan yang diberikan oleh CD Bethesda kepada ORA adalah pemanfaatan
tumbuhan obat lokal baik digunakan sendiri maupun untuk diperjualbelikan apabila
ada permintaan dari luar ORA (Nodi & Farchan 2006).
1.2.1.1.18. Dinas Kesehatan DIY
Dinas Kesehatan Propinsi DIY merupakan pihak yang memberikan layanan
kesehatan dan bertanggungjawab atas tersedianya fasilitas-fasilitas kesehatan bagi
masyarakat di Propinsi DIY. Berdasarkan profil kesehatan di DIY (2013), jumlah
94

puskesmas yang melayani kesehatan primer di Propinsi DIY terdiri atas 121 unit yang
tersebar hingga di seluruh kecamatan. Puskesmas-puskesmas tersebut juga
dikembangkan menjadi puskesmas pembantu yang melayani hingga desa-desa.
Sebanyak 42 puskesmas di DIY juga sudah dikembangkan menjadi puskesmas yang
menyediakan fasilitas rawat inap. Jumlah total rumah sakit di DIY sebanyak 66 unit
yang terdiri atas rumah sakit umum milik pemerintah sebanyak 8 unit, TNI/Polri
sebanyak 3 unit dan rumah sakit swasta sebanyak 32 unit. Fasilitas lain yang
berhubungan dengan layanan kesehatan antara lain apotik sebanyak 464 unit, toko
obat sebanyak 51 unit dan gudang farmasi sebanyak 6 unit. Berdasarkan informasi
tersebut, terlihat bahwa Dinas Kesehatan DIY memiliki tanggungjawab yang sangat
besar untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat DIY baik pada tingkat
primer, sekunder maupun tersier.
1.2.1.1.19. Klinik Radiastesi Medis Romo Lukman
Klinik Radiastesi Medik Romo Lukman merupakan salah satu pihak yang
bergerak pada layanan kesehatan berbasis herbal tetapi menggunakan alat diagnosa
berupa gelombang magnetik yang terdapat pada diri pasien dan bahan baku obat-
obatan herbal yang sesuai dengan pasienya. Pihak ini memiliki hubungan dekat
dengan pengobatan herbal yang dilakukan oleh Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.
Pusat kegiatan pihak ini terdapat di Purworejo dan Tajur Kabupaten Bogor.

1.2.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak


Motivasi dan persepsi para pihak menunjukan adanya perbedaan pada klaster
layanan kesehatan. Perbedaan motivasi dan persepsi dari para pihak tersebut
menunjukan bahwa layanan kesehatan berbasis jamu dipengaruhi oleh berbagai
kepentingan yang berbeda. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada para pihak
di klaster layanan kesehatan yang terdapat di Yogyakarta, diperoleh informasi sebagai
berikut yang disajikan pada Tabel 16.
95

Tabel 16. Motivasi dan Persepsi Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan
No. Para Pihak Persepsi Motivasi
1. Pengobat Spiritual Obat herbal penting sebagai warisan Menolong orang lain yang
budaya membutuhkan
2 RSUP Dr. Sardjito Layanan obat herbal sebagai Saintifikasi jamu
pelengkap pada layanan kesehatan
konvensional
3 RS Panti Rapih Peluang pengembangan alternatif Inovasi pelayanan
pengobatan non konvensional kesehatan berbasis herbal
4. Yayasan Lakutama Tumbuhan obat merupakan warisan Menolong sesama yang
leluhur yang perlu dilestarikan membutuhkan layanan
kesehatan murah
5. JG Lugu Murni Memberi manfaat bagi pendapatan Pelestarian warisan
keluarga keluarga
6. PTPJT Dr. Sardjito Peluang usaha dan layanan Pelestarian warisan riset
masyarakat pada bidang kesehatan Dr. Sardjito
7. Pusdok Herbal FK UGM Peluang pengembangan obat baru Riset dan pengembangan
obat herbal
8. GP Jamu Peluang ekonomi Pemanfaatan warisan
nenek moyang
9. SP3T Yogyakarta Layanan kesehatan yang dekat Show window
dengan pasien
10. POM Yogyakarta Perlindungan kepentingan Menjamin tidak adanya
masyarakat bahan kimia obat dalam
obat herbal
11. Pengobat Tradisional Warisan budaya yang bermanfaat Teknologi tepat guna untuk
layanan kesehatan herbal
12. Pelanggan Jamu Jamu bermanfaat untuk menjaga Murah dan aman
kesehatan
13. Pasien Pengobat Tradisional Alternatif pengobatan penyakit Murah dan aman
14. Poliklinik Gondomanan Layanan kesehatan komplementer Salah satu pelaksanaan
pada tingkat primer program layanan kesehatan
masyarakat
15. PB IDI Yogyakarta Belum memiliki evident base yang Advokasi profesi dokter
cukup bagi layanan kesehatan
16. Pasien Pengobat Spiritual Mencari nasehat dari orang yang Mencari
dituakan kesembuhan/pemecahan
permasalahan keluarga
17. CD Bethesda Layanan kesehatan primer pada Rumah sakit tanpa dinding
masyarakat desa
18. Dinas Kesehatan Yogyakarta Pengampu layanan kesehatan herbal Pelaksanaan tupoksi
19. Klinik Radiastesi Medik Romo Layanan kesehatan milik semua Pelayanan sosial Gereja
orang
Lukman
96

1.2.1.3. Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak


Nilai kepentingan dan pengaruh para pihak dalam klaster layanan kesehatan
ditentukan menggunakan nilai total skor terhadap masing-masing variabel yang
digunakan. Nilai-nilai tersebut kemudian dirata-ratakan lalu dianalisis menggunakan
analisis kategorisasi. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para pihak pada klaster
layanan kesehatan diperoleh nilai skor untuk masing-masing para pihak seperti
tercantum dalam Tabel 17.

Tabel 17. Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak
No. Para Pihak Skor Kepentingan Skor Pengaruh
1. Pengobat Spiritual 2.4 2.4
2 RSUP Dr. Sardjito 3.6 4.2
3 RS Panti Rapih 4 3.4
4. Yayasan Lakutama 3 1.8
5. JG Lugu Murni 3.8 3.8
6. PTPJT Dr. Sardjito 4 3.8
7. Pusdok Herbal FK UGM 4.2 4
8. GP Jamu 2.8 1.2
9. SP3T Yogyakarta 4 4
10. POM Yogyakarta 3.8 4.2
11. Pengobat Tradisional 4.6 4.8
12. Pelanggan Jamu 3.6 3.8
13. Pasien Pengobat Tradisional 4.2 1.4
14. Poliklinik Gondomanan 3.6 4.2
15. PB IDI Wilayah Yogyakarta 3.6 2.2
16. Pasien Pengobat Spiritual 2.2 1
17. CD Bethesda 3.6 3.6
18. Dinas Kesehatan Yogyakarta 2.4 2.8
19. Klinik Radiastesi Medik Romo 4.8 4.8
Lukman

Berdasarkan data pada Tabel 17 diatas, analisis kategorisasi terhadap para


pihak pada klaster layanan kesehatan sebagai komponen pengguna tumbuhan obat
kemudian dilakukan. Analisis kategorisasi dibuat dengan menghubungkan antara
variabel kepentingan dengan pengaruh. Hasil analisis kategorisasi pada para pihak di
klaster layanan kesehatan disajikan pada Gambar 12.
97

KEPENTINGAN
LEGENDA:
6 Pengobat Spiritual
RSUP Dr. Sardjito
TINGGI RS Panti Rapih
5 PSM Lakutama
Subject Key player JG Lugu Murni
PT PJT Dr Sardjito
4 Pusdok Herbal UGM
GP Jamu Yogyakarta
SP3T Yogyakarta
3 Babes POM Yogyakarta
Pengobat Tradisional
RENDAH TINGGI Pelangan Jamu Gendong
2 Context setter Pasien Pengobat Tradisional
Crowd
Poliklinik Gondomanan
PB IDI Yogyakarta
1 Pasien Pengobat Spiritual
CD Bethesda
RENDAH Dinas Kesehatan DIY
0 Klinik Rm Lukman
0 1 2 3 4 5 6
Analisis kategorisasi; Akses: Pasar (+); Biaya-Manfaat: 1 – 16.67; Biaya Transaksi: Ad valorem &
Lump sum (legal); Natural insurance: Safety net (rentan)

PENGARUH

Gambar 12. Pemetaan Posisi Kepentingan - Pengaruh Para Pihak pada Klaster Layanan
Kesehatan

1.2.1.4. Akses Para Pihak Terhadap Layanan Kesehatan


Akses pasien/konsumen terhadap layanan kesehatan herbal merupakan hal
yang perlu dipertimbangkan agar para pihak mampu memberikan layanan maksimal
pada pengobatan komplementer. Dalam penelitian ini, ada delapan variabel akses
yang akan dinilai yaitu teknologi, kapital, market, tenaga kerja, pengetahuan, otoritas,
identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial (Ribot & Peluso 2003). Dari ke
delapan akses tersebut penilaian dilakukan menggunakan analisis regresi berganda
melalui software SPSS 2.2 sehingga diperoleh variabel akses mana yang paling
98

dominan dikuasai oleh para pihak pada klaster layanan kesehatan. Jumlah para pihak
yang diikutkan dalam analisis ini sebanyak 17 lembaga yang terdiri atas lembaga
pemerintah, asosiasi, rumah sakit, LSM, penyembuh tradisional, rumah tangga,
penjual jamu gendong dan pelanggan dari masing-masing pelayan kesehatan. Pihak
Dinas Kesehatan Propinsi DIY tidak diikutkan dalam analisis karena belum
memberikan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Data variabel akses yang
diuji disajikan pada Tabel 18.

Tabel 18. Data Variabel Akses Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan
No. Para Pihak X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Yi
1. Pengobat 1 50 0,00 1 2 0,60 1,00 1,0 1.980
Spiritual
2. RSUP Dr 3 200 25,50 35 30 0,80 0,06 4,0 51
Sardjito
3. RS Panti 1 12 18,75 1 50 0,30 1,00 10 750
Rapih
4. PSM 1 6 96,00 4 4 0,60 1,00 5,5 1.620
Lakutama
5. Lugu Murni 1 50 314,63 3 20 0,40 0,99 1,0 300
6. PT PJT Dr 3 1.005 6.318,00 38 3 0,80 1,00 3,0 26.000
Sardjito
7. Pusdok Herbal 1 0 0,00 17 13 0,78 1,00 1,0 0
FK UGM
8. GP Jamu 1 400 90,00 18 40 0,75 0,86 6,0 25
Yogya
9. SP3T 3 0 35,00 15 85 0,90 0,92 1,0 7.000
Yogyakarta
10. BPOM 3 1.500 1.600,00 32 7 0,70 1,00 10,0 18
Yogyakarta
11. Pengobat 3 1.200 151.200,00 46 2.000 1,00 1,00 1,0 90.000
Tradisional
12. Pelanggan 1 0 0,00 2 2 0,30 0,40 1,0 2
Jamu
13. Pasien Batra 1 1.000 0,00 1 1 0,30 1,00 1,0 7
14. Poliklinik 1 30 33.756,00 36 27 0,60 1,00 1,0 1.312
Gondomanan
15. IDI 1 200 0,00 23 0 0,60 1,00 2,0 3
Yogyakarta
16. Pasien 1 0 0,00 2 2 0,20 1,00 1,0 1
Pengobat
Spiritual
17. CD Bethesda 1 45 43.272,00 5 22 0,80 1,00 1,0 696
18. Klinik 1 5.000 600,00 18 107 0,50 0,94 1,0 4104
Radiastesi
Klinik Rm.
Lukman

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda terhadap variabel akses para pihak
pada klaster Layanan Kesehatan diperoleh hasil bahwa variabel terikat layanan
99

kesehatan memiliki korelasi yang positif pada akses para pihak atas market dan
pengetahuan. Korelasi Pearson menunjukan nilai hubungan antara layanan kesehatan
dengan akses terhadap market dan pengetahuan berturut-turut sebesar 0.969 dan
0.957. Hasil korelasi Pearson disajikan pada Tabel 19.

Tabel 19. Hasil Korelasi Pearson terhadap Akses pada Layanan Kesehatan
Korelasi Layanan Teko K M TK P O I N
Pearson
Pasien

Layanan Pasien 1.000 .510 .171 .969 .567 .957 .462 .138 -.134
Teknologi .510 1.000 .099 .412 .699 .398 .633 -.258 .366
Kapital .171 .099 1.000 .135 .244 .161 .064 .105 .074
Market .969 .412 .135 1.000 .501 .997 .409 .106 -.126
Tenaga Kerja .567 .699 .244 .501 1.000 .487 .717 -.133 .301
Pengetahuan .957 .398 .161 .997 .487 1.000 .413 .098 -.146
Otoritas .462 .633 .064 .409 .717 .413 1.000 -.076 .284
Identitas Sosial .138 -.258 .105 .106 -.133 .098 -.076 1.000 -.095
Negosiasi -.134 .366 .074 -.126 .301 -.146 .284 -.095 1.000

Pengujian hipotesis terhadap variabel akses dan variabel terikat layanan


kesehatan dilakukan menggunakan uji F sehingga dapat diketahui variabel akses yang
mempengaruhi layanan kesehatan. Pengujian hipotesis dilakukan pada tingkat α
sebesar 0.05. Hasil ANOVA uji F terhadap variabel akses dan layanan kesehatan
disajikan pada Tabel 20.

Tabel 20. ANOVA Variabel Akses pada Klaster Layanan Kesehatan


Model JK db RK F Sig
Regresi 7712018793 8 964002349.2 60.408 .000b
Residual 143624631.2 9 15958292.35
Total 7855643425 17
100

Dari hasil ANOVA terlihat bahwa Uji F menunjukan nilai signifikan sebesar
60.408 sehingga hipotesis H1 diterima, artinya sekurang-kurangnya terdapat satu
variabel akses yang mempengaruhi layanan kesehatan herbal. Untuk mengetahui
variabel akses tertentu yang mempengaruhi layanan kesehatan maka dilakukan uji
secara parsial menggunakan uji t pada tingkat α sebesar 0.05. Hasil uji parsial t-
student disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Hasil Uji Parsial Terhadap Variabel Akses di Klaster Layanan Kesehatan

Model Unstandardized Standardized t Sig.


Coefficients Coefficients
B Std. Error Beta
(Constant) -7216.008 5004.453 -1.442 .183
Teknologi 3806.689 1665.592 .163 2.285 .048
Kapital 1.650 0.985 .092 1.675 .128
Market 1.558 .426 2.576 3.656 .005
Tenaga Kerja -22.322 118.991 -.016 -.188 .855
Pengetahuan -80.127 32.368 -1.739 -2.476 .035
Otoritas 5981.098 6129.746 .074 .976 .355
Identitas Sosial 4904.334 4317.216 .058 1.136 .285
Negosiasi -1215.554 467.377 -.142 -2.601 .029

Berdasarkan hasil pada Tabel 21 diperoleh informasi bahwa variabel akses terhadap
pasar merupakan variabel yang mempengaruhi permintaan pasien terhadap obat
herbal pada klaster layanan kesehatan. Tetapi pada variabel akses pengetahuan
menunjukan nilai negatif artinya penambahan pengetahuan terapis terhadap jumlah
jenis tumbuhan obat yang digunakan belum mempengaruhi permintaan pasien
terhadap layanan kesehatan berbasis herbal. Nilai positif pada teknologi dan market
justru dapat meningkatkan kepercayaan pasien terhadap layanan kesehatan karena
semakin aman sehingga meningkatkan permintaan pasien terhadap layanan berbasis
herbal. Tetapi nilai negatif pada negosiasi melalui relasi sosial menunjukan bahwa
layanan kesehatan berbasis herbal masih menemukan beberapa kendala seperti
adanya ketidakpercayaan pada para terapis terhadap metode penyembuhan
komplementer berbasis herbal, dianggap tidak ilmiah dan obyektif dibandingkan
101

menggunakan pendekatan farmasi. Berdasarkan informasi diatas maka persamaan


regresi linier berganda untuk akses pada layanan kesehatan berbasis herbal menjadi:

Y = - 7216.008 + 3806.689X1 + 1.650X2 + 1.558X3 - 22.322X4 - 80.127X5 + 5981.098X6


+ 4904.334X7 - 1215.554X8

1.2.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance


Kegiatan layanan kesehatan berbasis herbal akan terus dilakukan oleh para
pihak apabila layanan tersebut memberikan manfaat yang cukup. Hal ini ditandai
oleh tersedianya jumlah pasien yang memadai untuk dilayani melalui pengobatan
herbal. Ketersediaan pasien tersebut juga sangat tergantung pada kebijakan
pemerintah dalam mengembangkan layanan kesehatan berbasis herbal. Oleh sebab
itu, kesungguhan dalam pengembangan kebijakan tersebut dapat memberikan
gambaran sejauh mana layanan kesehatan berbasis herbal memberikan manfaat bagi
para pihak yang dilayani khususnya sektor rumah tangga. Bentuk manfaat ini dapat
digambarkan melalui nilai biaya manfaat yang tersebar di antara pihak yang
memberikan layanan kesehatan berbasis herbal.
Dalam mengembangkan layanan kesehatan berbasis herbal, biaya-biaya
transaksi di antara para pihak juga dapat ditimbulkan. Bentuk-bentuk biaya transaksi
yang terjadi umumnya berupa pajak, komisi penjualan, konsultasi jasa medik, sewa
tempat, asuransi tenaga kerja dan kesehatan, beasiswa, biaya berlangganan, perijinan,
perpanjangan paten merek usaha hingga penyediaan layanan kesehatan berbasis
herbal dan akupunctur. Biaya-biaya transaksi tersebut timbul karena adanya peluang
untuk memperoleh informasi maupun peluang untuk mengembangkan jaringan
(network).
Selain biaya manfaat dan biaya transaksi yang timbul dalam layanan
kesehatan berbasis herbal, jaminan alami (natural insurance) dalam layanan
kesehatan juga diperlukan untuk memberikan perlindungan bagi para pihak dalam
memberikan layanan kesehatan berbasis herbal. Salah satu bentuk nyata keberadaan
jaminan alami berupa potensi pendapatan dari iklan ketika terjadi penurunan omzet
102

penjualan, koperasi dan pemberian pinjaman tanpa bunga bagi karyawan, kader
fasilitator kesehatan, pembuatan jamu untuk hewan, jamkesda, pendapatan dari
pension dan buah tangan dari pasien yang dilayani kesehatannya. Data biaya
manfaat, biaya transaksi dan natural insurance disajian pada Tabel 22.

Tabel 22. Data Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance
Para Pihak Biaya Biaya Transaksi (Rp x 1000) Natural Insurance (Rp x
Manfaat 1000)
(Rp)
Ad valorem Lump Safety net Stepping
sum stone
Pengobat Spiritual 1,00 23.760 - Tidak ada Tidak ada
RSUP Dr. Sardjito 1,00 25.500 - Tidak ada Tidak ada
RS Panti Rapih 1,67 18.750 - Tidak ada Tidak ada
Yayasan Lakutama 3,33 - 200 60 Tidak ada
JG Lugu Murni 2,00 3.000 - 3.000 Tidak ada
PTPJT Dr. Sardjito 2,16 63.180 157.950 132.950 Tidak ada
Pusdok Herbal FK UGM 1,00 - - - 26.000
GP Jamu Yogya 1,36 2.700 - 54.000 Tidak ada
SP3T Yogyakarta 1,00 100.000 - Tidak ada Tidak ada
POM Yogyakarta 1,00 2.800 - Tidak ada 60.000
Pengobat Tradisional 1,11 179.200 - Tidak ada 6.000
Pelanggan Jamu 1,00 960 - Tidak ada Tidak ada
Pasien Pengobat Tradisional 16,67 - - Tidak ada Tidak ada
Poliklinik Gondomanan 1,00 6.560 - 6.560 Tidak ada
PB IDI Yogyakarta 1,00 - 95.000 Tidak ada Tidak ada
Pasien Pengobat Tradisional 1,00 - - Tidak ada Tidak ada
CD Bethesda 1,30 - 2.880 Tidak ada Tidak ada
Dinas Kesehatan Yogya ND ND ND Tidak ada Tidak ada
Klinik Radiastesi Medik 1,70 - 30.000 Tidak ada Tidak ada

1.3. Klaster Industri


1.3.1. Kabupaten Sukoharjo
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah pada tanggal 1 April 2015 ditetapkan
sebagai Kabupaten Jamu. Penetapan tersebut dihadiri oleh 4 (empat) orang Menteri,
yaitu Menteri Koordinator Bidang Pembangunan dan Kebudayaan, Menteri Koperasi
dan UKM, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Bupati Sukoharjo serta pejabat-pejabat
terkait (Humas Kabupaten Sukoharjo.go.id tanggal 2 April 2015). Kehadiran para
menteri ini menunjukan bahwa industri jamu di Kabupaten Sukoharjo sangat penting,
mengingat terdapat puluhan hingga ratusan industri jamu baik pada skala industri
103

rumah tangga, industri menengah maupun industri jamu besar yang menopang
ekonomi lokal serta bersifat padat karya. Selain penting, industri jamu yang terdapat
di Kabupaten Sukoharjo juga memiliki sejumlah kelemahan yaitu persaingan etiket
jamu serta paten merek yang menyebabkan terjadinya persaingan antar produsen
yang sebagian besar menjual produknya di Pasar Nguter Sukoharjo. Permasalahan
lain yang juga menghadang para industriawan/wati jamu di Pasar Nguter adalah
mayoritas produk jamu yang diperjualbelikan belum memiliki ijin, di samping
kendala sumber daya manusia yang umumnya berpendidikan Sekolah Dasar (SD).
Persaingan antara para pelaku industri jamu di Pasar Nguter ditentukan oleh
seberapa besar kepentingan, pengaruh dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-
masing pelaku terhadap industri yang dimilikinya. Menurut informasi yang diperoleh
dari salah satu pihak di Pasar Nguter disebutkan bahwa peranan Koperasi Jamu
Indonesia (KOJAI) dalam mengendalikan persaingan di antara para pelaku industri
jamu cukup besar. Relasi yang dimiliki oleh KOJAI yang berskala nasional
menentukan kewibawaannya terhadap pihak lain di Pasar Nguter.
Dalam siaran pers Kementerian Perindustrian pada Gelar Pameran Industri
Kosmetik dan Jamu tahun 2014 disebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap
oleh industri jamu sebesar 15 juta orang dimana 3 juta orang terserap di industri jamu
yang berfungsi sebagai obat dan 12 juta orang lainnya terserap ke industri jamu yang
telah berkembang ke arah makanan, minuman, kosmetik, spa dan aroma terapi. Data
tersebut menunjukan bahwa industri jamu di Pulau Jawa memiliki peranan penting
sebagai penyedia lapangan kerja dan bersifat padat karya.
1.3.1.1. Identifikasi Para Pihak
1.3.1.1.1. UD Bisma Sehat
UD Bisma Sehat merupakan salah satu produsen jamu di Kabupaten
Sukoharjo dengan target pasar mulai dari Pasar Nguter, Wonogiri dan Karanganyar.
Secara umum, UD Bisma Sehat mampu menyerap 30 orang karyawan yang terdiri
atas tenaga tetap dan tenaga lepas di mana omzet total yang dihasilkan oleh
perusahaan ini sekitar Rp 250 juta per bulan. Selain itu, perusahaan ini juga
merupakan anggota dari Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) dan merupakan salah satu
104

pioneer yang sedang dibina oleh KOJAI sebagai contoh keberhasilan pembinaan
Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Keberhasilan dalam pembinaan dan
pengembangan UD Bisma Sehat diharapkan dapat mendorong dan mengairahkan
semangat industri jamu kecil lain yang terdapat di sekitar Pasar Nguter untuk
memproduksi jamu tradisional. Produk-produk jamu yang dihasilkan oleh UD Bisma
Sehat umumnya terdiri atas jamu sachet-an dan jamu instan yang digunakan sebagai
minuman kesehatan.
1.3.1.1.2. Kios Jamu Modern
Kios Jamu Modern merupakan usaha pemasaran jamu dengan menggunakan
pendekatan budaya minum jamu dengan sasaran kaum muda. Pendekatan yang
digunakan dalam memperkenalkan jamu berbasis pada bahasa yang dikenal oleh anak
muda jaman sekarang dalam bentuk café jamu. Upaya-upaya untuk memperkenalkan
jamu dikemas sedemikian rupa sehingga jamu dapat disukai oleh konsumen
mancanegara, oleh sebab itu peran media seperti koran Kompas juga amat membantu
menciptakan citra yang baik bagi industri jamu. Secara umum, sebagian besar
produk yang dimiliki oleh pihak ini tidak diproduksi sendiri, melainkan membeli dari
produsen lain yang telah dipastikan faktor keamanan dan kebersihannya dengan baik.
Produk-produk tersebut kemudian dibuat dan ditambahkan bahan-bahan lain yang
sesuai dengan standar Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) serta dikemas
secara berbeda.
1.3.1.1.3. Koran Kompas
Koran kompas merupakan salah satu pihak yang aktif meliput kegiatan-
kegiatan yang berhubungan dengan industri jamu. Alasan yang dikemukakan oleh
pihak ini bahwa Kompas dapat mendorong bertumbuhnya industri-industri kecil baru
melalui pemberitaan sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan baru di Indonesia.
Selain itu, industri-industri jamu yang terdapat di Indonesia bersifat padat karya dan
mampu menyediakan 15 juta lapangan kerja bagi masyarakat di sekitarnya.
Pemberitaan-pemberitaan tentang industri kecil jamu tidak terlepas dari visi Kompas
yang berpihak pada pemerdekaan rakyat kecil baik dari sudut ekonomi, sosial
maupun politik.
105

1.3.1.1.4. Pusat Studi Biofarmaka IPB


Pusat Studi Biofarmaka IPB merupakan sebuah lembaga penelitian yang
terlibat sejak lama untuk membuat prototipe obat-obat tradisional. Tujuan penelitian
tersebut agar jamu/obat-obat tradisional tersebut memiliki landasan ilmiah yang
lengkap dan teruji khasiatnya sehingga dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak dengan
tingkat keamanan yang tinggi. Sesuai dengan tujuannya, Pusat Studi Biofarmaka IPB
melakukan serangkaian penelitian dan pembinaan atas bahan baku yang digunakan
oleh industri kecil jamu yang terletak di Sukoharjo. Kegiatan tersebut dilakukan
melalui kerjasama dengan Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI) Sukoharjo.
1.3.1.1.5. Koperasi Jamu Indonesia (KOJAI)
KOJAI merupakan pihak yang bertugas mengelola para pengusaha kecil
jamu yang terdiri atas pemilik pabrik jamu, pengecer mau pun pedagang jamu yang
terletak di Pasar Nguter. Upaya ini dimaksudkan agar melalui koperasi, kepentingan
para pelaku industri jamu di Kabupaten Sukoharjo dapat difasilitasi oleh pemerintah,
baik berupa bantuan permodalan, jaringan pemasaran mau pun permesinan untuk
memproduksi jamu. Sebagai pusat informasi bagi pelaku industri jamu, KOJAI
berperan pula menjembatani kepentingan pemerintah dalam hal sosialisasi kebijakan-
kebijakan yang berhubungan dengan jamu. Salah satu contoh yang selalu
disampaikan oleh pemerintah adalah masalah terdapatnya kandungan bahan kimia
obat dalam ramuan jamu yang berbahaya bagi konsumen. Kepentingan KOJAI
terhadap anggotanya yang terdiri atas 78 industri kecil jamu adalah agar perijinan
produk jamu dan etiketnya dapat difasilitasi oleh pemerintah sehingga membantu
perkembangan industri kecil jamu di Sukoharjo. Penyelesaian masalah mengenai
etiket jamu merupakan permasalahan yang sensitif di Pasar Nguter karena para
pedagang kerap kali melakukan “penipuan” menggunakan etiket milik industri lain
untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari usaha jamu.
1.3.1.1.6. Gabungan Pengusaha Jamu Jawa Tengah
Gabungan Pengusaha Jamu Jawa Tengah (GP Jamu Jateng) merupakan
lembaga yang dibentuk oleh pemerintah untuk mewadahi para pengusaha jamu agar
mudah melakukan komunikasi dan koordinasi. GP Jamu Jateng memiliki posisi yang
106

penting karena sebagian besar industri jamu terdapat di propinsi Jawa Tengah
sehingga melalui keberadaan GP Jamu Jateng penyebaran informasi yang berasal dari
pemerintah seperti kebijakan, pembinaan, lokakarya dan pelatihan-pelatihan dapat
segera diketahui oleh pengusaha jamu yang tergabung dalam GP Jamu Jateng.
GP Jamu Jateng memiliki jumlah anggota sekitar 98 industri dari total 293
perusahaan jamu yang terdiri atas Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT), Usaha
Mikro Obat Tradisional (UMOT) dan Industri Obat Tradisional (IOT). Dari
keanggotaan GP Jamu Jateng tersebut hanya 50 persennya saja yang aktif dan
bersedia berkontribusi pada kebutuhan operasional organisasi, sehingga karena hal
itu, GP Jamu Jateng memiliki kebijakan untuk memberikan informasi terlebih dahulu
kepada anggota-anggota yang aktif mengenai kebijakan-kebijakan baru dari
pemerintah. Prinsip yang dianut oleh GP Jamu Jateng dalam mengorganisir kegiatan
industri jamu di Jawa Tengah menggunakan pendekatan Akademik, Bisnis dan
Pemerintah (ABP).
Terkait dengan ketersediaan bahan baku tumbuhan obat industri, menurut GP
Jamu Jateng tidak semua bahan baku jamu dapat dipenuhi dari dalam negeri sehingga
dibutuhkan impor dari luar negeri. Selain itu, kebutuhan bahan baku industri jamu
juga dipenuhi dari hutan alam sebesar 20 persen dan merupakan jenis-jenis yang tidak
dibudidayakan oleh petani, misalnya pulosari, pakem dan kedawung. Tetapi menurut
informasi yang diperoleh dari salah satu pedagang di Pasar Nguter, terdapat sekitar 30
persen bahan baku jamu berupa simplisia diambil dari hutan dan bukan produk
budidaya. Misalnya: Pulosari, kedawung, Kayu angin, Pasak bumi, Joho lawe,
Sintok, Sirih dan Kluwek
1.3.1.1.7. Apoteker
Apoteker merupakan tenaga terdidik dalam bidang farmasi yang ditugaskan
untuk mengawasi dan mengembangkan kualitas bahan baku jamu pada sektor industri
jamu. Singkatnya, seorang apoteker pada industri jamu bertugas menetapkan kendali
mutu (quality control) atas produk yang dihasilkan oleh industri jamu mulai dari
bahan baku hingga produk akhir yang siap dilepas kepada konsumen. Bahan baku
jamu yang akan diproses harus dipastikan bebas dari materi mikro, jamur, dan mikro
107

organisme lainnya. Oleh sebab itu, apoteker memiliki peran yang penting bagi
kelangsungan proses produksi industri jamu.
Permasalahan yang dihadapi oleh apoteker adalah resep jamu yang dimiliki
oleh industri merupakan resep turun temurun yang juga dikuasai oleh pemilik industri
tersebut. Akibatnya, apoteker merasa bahwa ilmu farmasi yang dikuasainya belum
mampu mempengaruhi proses pengolahan bahan baku jamu seperti yang diharapkan
oleh pemilik industri jamu. Apoteker hanya menjadi “karyawan” dan bertugas untuk
menyelesaikan proses perijinan produk jamu yang kurang mengedepankan keahlian
akademiknya. Kebutuhan akan lapangan pekerjaan yang memiliki waktu luang
cukup luas juga menjadi salah satu alasan dari para apoteker yang bekerja di pabrik
jamu karena umumnya mereka merangkap juga sebagai ibu rumah tangga. Waktu
luang yang cukup luas juga dimanfaatkan oleh apoteker untuk meningkatkan
kecakapan melalui studi pascasarjana.
1.3.1.1.8. Balai Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jawa Tengah
Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Jawa Tengah berpusat di
kota Semarang dengan jangkauan pengawasan di seluruh propinsi Jawa Tengah.
Seperti diketahui sebelumnya bahwa industri jamu terbesar di Pulau Jawa terletak di
Jawa Tengah, sehingga keberadaan institusi ini untuk melakukan pengawasan
terhadap kinerja industri jamu di Jawa Tengah sangat penting. Salah satu tugas yang
diemban oleh institusi ini adalah mengawasi pencampuran Bahan Kimia Obat (BKO)
ke dalam bahan baku jamu yang marak dilakukan oleh UKM jamu khususnya yang
terdapat di Cilacap Jawa Tengah. Kegiatan kerjasama antar instansi untuk
mengendalikan beredarnya BKO juga sudah dilakukan, yaitu menjalin MoU dengan
Bupati Sukoharjo untuk pengendalian BKO dan membentuk satuan tugas
pemberantasan peredaran jamu ilegal dengan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah.
Pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pada industri
jamu juga dilakukan dengan cara mentransfer pengetahuan tentang Good
Manufacturing Processing (GMP) ke dalam industri jamu. Upaya pengenalan GMP
ke dalam industri jam oleh POM Jawa Tengah adalah agar industri jamu dapat
menghasilkan formula jamu atau obat tradisional yang setara dengan obat modern.
108

1.3.1.1.9. Gujati 59
Gujati 59 merupakan salah satu industri kecil jamu terbesar di Kabupaten
Sukoharjo. Semula industri ini berasal dari Jakarta kemudian beralih kepemilikan
lalu dipindahkan ke Kabupaten Sukoharjo agar dekat dengan sumber bahan baku
industri. Gujati 59 juga merupakan salah satu anggota Koperasi Jamu Indonesia,
tetapi fokus utama Gujati 59 terletak pada skala propinsi hingga nasional. Kebutuhan
bahan baku Gujati 59 selain dari produk pertanian lokal juga ada yang dipenuhi dari
sektor impor seperti Ginseng yang berasal dari Korea. Jumlah karyawan yang
bekerja di Gujati 59 hampir sekitar 250 orang. Industri ini terletak di desa Nguter
Kabupaten Sukoharjo dan menjadi salah satu tulang punggung ekonomi di desa
tersebut karena mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang cukup besar. Produk
utama Gujati 59 adalah produk jamu seduhan yang berbasis pangan dan minuman.
1.3.1.1.10. PT. Javaplant
PT Javaplant merupakan salah satu pihak dari industri jamu besar. Kegiatan
utama PT Javaplant adalah memproduksi bahan baku setengah jadi menggunakan
teknologi pemrosesan dengan standar internasional. Sekitar 90 persen bahan baku
industrinya diekspor ke Amerika Serikat dan Jepang, hanya sekitar 10 persen saja
produknya yang dijual ke pasar dalam negeri. Selain itu, PT Javaplant juga menjadi
salah satu pelaku industri jamu besar yang memulai mengenalkan proses produksi
jamu yang aman dan dapat dilihat oleh semua orang. Kerahasiaan usaha yang kerap
diterapkan oleh industri jamu tradisional sudah ditinggalkan oleh PT Javaplant. PT
Javaplant lebih banyak menerapkan inovasi-inovasi dalam mengembangkan produk-
produknya seperti ekstrak vitamin E sebagai salah satu bahan baku jamu untuk
kosmetika.
1.3.1.1.11. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sukoharjo
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Kabupaten Sukoharjo
merupakan pihak yang bertanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas industri
kecil jamu di Kabupaten Sukoharjo berdasarkan peraturan yang berlaku. Kelompok-
kelompok binaan seperti penjual jamu gendong merupakan fokus perhatian dari pihak
109

ini. Dukungan dari sisi kebijakan kepada penjual jamu gendong berupa fasilitasi
untuk mengikuti pameran-pameran pada tingkat propinsi hingga nasional.

1.3.1.2. Motivasi dan Persepsi Para Pihak


Motivasi dan persepsi para pihak pada sektor industri jamu berhubungan
dengan kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing pihak pada sumber daya yang
dikuasainya. Akses terhadap bahan baku, jaringan pemasaran dan infrastuktur
menentukan tingkat kepentingan masing-masing pihak terhadap industri jamu. Untuk
mengetahui perbedaan motivasi dan persepsi masing-masing pihak pada klaster
industri jamu disajikan pada Tabel 23.

Tabel 23. Persepsi dan Motivasi Para Pihak Industri Jamu


No. Para Pihak Persepsi Motivasi
1. UD Bisma Sehat Berdagang/sumber pendapatan Meneruskan warisan usaha
keluarga orang tua
2 Kios Jamu Modern Peluang usaha jamu untuk pasar kaum Warisan budaya bagi
muda dan ekspatriat generasi muda
3 Koran Kompas Industri jamu bersifat padat karya dan Mendorong tumbuhnya usaha
mampu menggerakan ekonomi lokal kecil baru yang aman dari
sudut kesehatan
4. PS Biofarmaka IPB Produk jamu yang aman dan Menghasilkan prototipe
terstandar secara ilmiah produk jamu berbasis riset
5. KOJAI Pusat informasi dan pemasaran produk Membantu industri jamu
jamu sebagai “jembatan ibadah”
6. GP Jamu Jateng Komunikasi antara pemerintah, Industri jamu maju di negara
pengusaha dan akademisi dalam hal sendiri
kebijakan yang dapat memajukan
industri jamu
7. Apoteker I Memberi tambahan pengetahuan baru Lapangan pekerjaan dan
bahwa industri jamu sangat waktu luang yang cukup
menguntungkan
8. Apoteker II Industri jamu masih banyak yang Lapangan pekerjaan dan
belum berijin waktu luang
110

Tabel 23. Lanjutan


No. Para Pihak Persepsi Motivasi
9. BPOM Jateng Hutan sebagai sumber pangan dan Obat dan makanan aman
obat-obatan yang dapat digunakan dikonsumsi masyarakat serta
sebagai potensi nasional untuk berkualitas
menggerakan ekonomi kerakyatan
10. Gujati 59 Beralih profesi dari pekerja kantoran Peluang berusaha di industri
menjadi pengusaha jamu
11. PT Javaplant Pengusaha yang menekankan Kebanggaan bekerja di
keterbukanaan informasi dan inovasi sektor industri jamu
12. Disperindag Sukoharjo Memihak usaha Jamu Gendong Tupoksi pemerintah

1.3.1.3. Kepentingan, dan Pengaruh Para Pihak


Kepentingan dan pengaruh merupakan variabel-variabel yang dapat
mempengaruhi perilaku para pihak pada sektor industri jamu. Perilaku tersebut akan
membentuk posisinya terhadap para pihak yang lain sehingga menempatkan ihak
tersebut pada posisi yang dikuasai. Posisi sebagai key players, subjects, context
setters atau pun crowd dapat diketahui dengan memetakan posisi pihak tersebut
melalui nilai skor yang dimilikinya. Nilai skor stakeholder di sektor industri
disajikan pada Tabel 24.

Tabel 24. Nilai Skor Variabel Kepentingan dan Pengaruh Para Pihak pada Klaster
Industri

No. Para Pihak Kepentingan Pengaruh

1. UD Bisma Sehat 4.4. 4.2


2. Kios Jamu Modern 3.2 3
3. Koran Kompas 3.4 3.2
4. PS Biofarmaka 3.7 3.9
5. KOJAI 4.6 4.5
6. GP Jamu Jateng 3.9 3.4
7. Apoteker I 3.8 3.8
8. Apoteker II 3.4 3.8
9. POM Semarang 4.9 5
10. Gujati 59 3.4 3.7
11. PT Javaplant 4.4 3.4
12. Disperindag Sukoharjo 3.4 2.8
111

Sesuai dengan data yang terdapat pada Tabel 24, analisis kategorisasi
dilakukan terhadap para pihak untuk mengetahui posisi masing-masing pihak sebagai
key players, subjects, context setter dan crowd. Hasil analisis kategorisasi para pihak
disajikan pada Gambar 13.

6
KEPENTINGAN

LEGENDA:
TINGGI
UD Bisma Sehat
5
Kios Jamu Modern
Harian Kompas
4 Biofarmaka IPB
Subject Key players KOJAI
3 Apoteker I
Apoteker II
RENDAH TINGGI GP Jamu Jateng
2
POM Semarang
Crowd Context setter
Gujati 59
1
PT Javaplant
Disperindag Sukoharjo
0
RENDAH
0 1 2 3 4 5 6

Analisis kategorisasi; Akses: Pasar (+); Biaya-Manfaat: 0.8 – 10.91; Biaya Transaksi: Ad valorem &
Lump sum (legal); Natural insurance: Stepping stone (rentan)

PENGARUH
Gambar 13. Pemetaan Posisi Kepentingan-Pengaruh Para Pihak pada
Klaster Industri

1.3.1.4. Akses Para Pihak pada Klaster Industri


Industri jamu sebagai salah satu tulang punggung perekonomian di Jawa
Tengah memiliki akses yang sangat besar pada permintaan bahan baku jamu maupun
permintaan pasarnya. Bahan baku jamu untuk industri umumnya diperoleh dari Jawa
Timur sebagai sentra penanaman dan pengambilan dari hutan alam, sedangkan
pengolahannya dilakukan di sekitar Semarang untuk industri besar dan di sekitar
Sukoharjo untuk indutri kecilnya. Untuk mengetahui jenis akses yang paling dikuasai
112

oleh pihak industri, maka pengamatan terhadap akses teknologi, kapital, market,
tenaga kerja, pengetahuan, otoritas, identitas sosial, dan negosiasi melalui relasi sosial
dilakukan. Akses-akses tersebut dihubungkan dengan jumlah permintaan yang
dimiliki oleh industri jamu atas produk-produk yang dihasilkannya selama satu tahun
(Ribot & Peluso 2003). Data akses klaster industri disajikan pada Tabel 25.

Tabel 25. Data Akses Klaster Industri Jamu


No. Para Pihak X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 Yi
1. UD Bisma 2 2700 2.844,8 30 70 0,3 1,00 2,0 7.478.000
Sehat
2. Kios Jamu 1 200 7,5 2 13 0,5 1,00 3,0 500
Modern
3. Harian 3 45000 700.000,0 3 5 0,5 0,60 1,0 175.000.000
Kompas
4. Biofarmaka 1 100 378.808,0 22 25 0,9 0,01 1,0 8218
IPB
5. KOJAI 1 750 357,1 3 14 1,0 1,00 1,0 2
6. Apoteker I 2 12 18,0 2 21 0,6 1,00 2,5 1
7. Apoteker II 2 15 19,5 2 6 0,7 1,00 1,0 1
8. GP Jamu 2 12 40,8 2 50 0,5 0,30 1,0 2
Jateng
9. POM 3 6000 197,7 59 90 1,0 0,96 1,0 684
Semarang 47
10. Gujati 59 2 4000 34.500,0 250 65 0,6 0,99 1,0 60.000.000
11. PT Javaplant 2 10000 221.000,0 120 7 0,9 0,30 1,0 200.000
12. Disperindag 1 400 30,0 4 5 0,3 1,00 1,0 2
Sukoharjo

Hasil analisis regresi linier berganda pada variabel akses terhadap permintaan
konsumen atas produk-produk yang dihasilkan oleh para pihak klaster industri yang
ditunjukan oleh korelasi Pearson menghasilkan nilai sebesar 0.930 dan 0.902 untuk
kapital dan market. Hasil analisis korelasi Pearson disajikan pada Tabel 26.
113

Tabel 26. Hasil Korelasi Pearson atas Data Akses Klaster Industri Jamu
D Tekno K M TK P O I N
Korelasi D 1.000 .528 .930 .902 .134 -.124 -.220 -.065 -.207
Pearson Tekno .528 1.000 .607 .530 .194 .513 .073 .027 -.223
K .930 .607 1.000 .985 -.010 .003 -.084 -.177 -.229
M .902 .530 .985 1.000 -.015 -.125 -.087 -.254 -.222
TK .134 .194 -.010 -.015 1.000 .078 .162 .016 -.258
P -.124 .513 .003 -.125 .078 1.000 .450 .171 -.165
O -.220 .073 -.084 -.087 .162 .450 1.000 -.237 -.367
I -.065 .027 -.177 -.254 .016 .171 -.237 1.000 .375
N -.207 -.223 -.229 -.222 -.258 -.165 -.367 .375 1.000

Pengujian hipotesis terhadap variabel akses menunjukan nilai yang signifikan


terhadap permintaan atas bahan baku yang diproduksi oleh para pihak pada sektor
industri jamu. Pengujian hipotesis dilakukan menggunakan uji F pada tingkat α = 5%
dimana minimal ada satu variabel akses yang mempengaruhi permintaan industri
jamu. Tabel ANOVA pengujian hipotesis atas variabel akses disajikan pada Tabel 27.

Tabel 27. Anova Pengujian Hipotesis atas Variabel Akses di Klaster Industri Jamu
Model JK db RK F Sig
Regresi 28612204722769668.000 8 3576525590346209.000 14.106 0.026b
Residual 760657581774705.800 3 253552527258235.300
Total 29372862304544380.00 11

Untuk mengetahui variabel akses mana yang berpengaruh terhadap


permintaan para pihak klaster industri, maka dilakukan pengujian secara parsial
menggunakan uji t student. Hasil uji t student terhadap variabel akses yang dimiliki
oleh para pihak klaster industri disajikan pada Tabel 28.
114

Tabel 28. Hasil Uji t student pada Variabel Akses Klaster Industri
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
(Constant) -7807130.752 33933693.527 -.230 .833
Teknologi 216741.291 11836911.052 .003 .018 .987
Kapital 13027.880 4054.386 3.213 3.213 .049
Market -.001 .000 -2.318 -2.280 .107
Tenaga 109772.356 70683.632 .158 1.553 .218
Pengetahuan -8929.109 4214.424 -.450 -2.119 .124
Otoritas 4357805.163 28142931.721 .021 .155 .887
Identitas -218909.929 17159655.857 -.002 -.013 .991
Negosiasi -797238.474 8291135.723 -.011 -.096 .929

Dari hasil uji t student terhadap variabel akses diketahui bahwa akses para
pihak atas kapital memiliki nilai yang signifikan pada tingkat α = 0.1. Artinya bahwa
dari 8 akses yang dimiliki oleh para pihak di klaster industri, kapital merupakan akses
dominan yang paling dikuasai. Akses tersebut dapat berupa lahan, akses-akses pada
sumber-sumber pembiayaan seperti perbankan dan bangunan pabrik. Penguasaan
atas akses ini juga berhubungan pada penguasaan atas akses terhadap market seperti
yang disajikan pada korelasi Pearson pada Tabel 28 dengan nilai korelasi berturut-
turut sebesar 93 persen dan 90.2 persen untuk kapital dan market. Maka berdasarkan
hasil uji parsial diatas, persamaan regresi linier berganda untuk akses permintaan
pada klaster industri jamu menjadi:

Y = -7807130.752 + 216741.291X1 + 13027.880X2 - 0.001X3 + 109772.356X4


-8929.109X5 + 4357805.163X6 - 218909.929X7 - 797238.474X8

1.3.1.5. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance


Analisis mengenai biaya manfaat, biaya transaksi dan natural insurance bagi
klaster industri jamu merupakan variabel umum yang harus dikuasai karena
umumnya para pihak yang terdapat pada klaster ini adalah golongan pengusaha. Oleh
sebab itu pembicaraan mengenai keuntungan yang diperoleh dan transaksi-transaksi
yang berlangsung dapat dikuasai dengan baik. Sebaran mengenai biaya manfaat,
biaya transaksi hingga natural insurance bagi para pihak ini umumnya bervariasi
115

mulai dari kurang dari 1 hingga di atas 1 untuk biaya manfaat (Mamat et al. 2010;
Klemperer 1997). Biaya transaksi umumnya berupa biaya tetap yang diperoleh dari
pajak dan biaya variabel lainnya (Tita et al. 2010; Yustika 2006). Untuk natural
insurance berupa jaminan yang diperoleh dari peluang dikembangkannya produk
baru hingga jaminan asuransi bagi keluarga pengusaha industri jamu (Sill et al.
2011). Data mengenai biaya manfaat, biaya transaksi dan natural insurance disajikan
pada Tabel 29.

Tabel 29. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance Klaster Industri
Para Pihak Biaya Biaya Transaksi (Rp x Natural Insurance (Rp x
manfaat 1000) 1000)
Ad valorem Lump sum Safety net Stepping stone
UD Bisma Sehat 1,16 1.680 106.000 42.000 Tidak ada
Kios Jamu 10,91 ND ND Tidak ada ND
Modern
Harian Kompas 0,80 150.000.000 - ND ND
Biofarmaka IPB 1,25 1.515 - Tidak ada Tidak ada
KOJAI 1,67 6.050 - Tidak ada Tidak ada
Apoteker I 10,00 150 - Tidak ada 800
Apoteker II 3,33 - - Tidak ada Tidak ada
GP Jamu Jateng 2,00 - 18.750 Tidak ada 10.400
POM Semarang 1,00 - - Tidak ada Tidak ada
Gujati 59 1,30 3.450.000 - Tidak ada ND
PT Javaplant 3,00 2.000.000 - Tidak ada 650.000.000
Disperindag 1,00 - 700.000 Tidak ada Tidak ada
Sukoharjo

2. Pembahasan
2.1. Persepsi dan Motivasi Para Pihak pada Tumbuhan Obat
Persepsi dan motivasi para pihak terhadap tumbuhan obat memberikan
gambaran tentang aspek internal dalam diri para pihak dalam memandang lingkungan
yang menjadi kepentingan mereka (Wang 2007), kemudian bertindak berdasarkan
kepentingan tersebut (Guay et al., 2010; Lai, 2011). Tabel 9, 16 dan 23
menggambarkan berbagai persepsi dan motivasi para pihak dalam pemanfaatan obat,
sehingga keragaman tersebut juga menunjukan bahwa tumbuhan obat merupakan
sumberdaya yang amat penting dalam penggunaannya. Terkait dengan masalah
116

pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat, setidaknya terdapat 4


(empat) aspek yang berhubungan dengan persepsi dan motivasi para pihak, yang
diturunkan dari Tabel 9, 16 dan 23 yaitu kelestarian sumber daya tumbuhan obat,
ekonomi, sosial dan warisan budaya. Untuk memperjelasnya, ke-empat aspek
tersebut dapat disajikan pada Tabel 30.

Tebel 30. Empat Aspek Persepsi dan Motivasi Para Pihak


Klaster Aspek Persepsi (%) Motivasi (%)
Produksi 1. Kelestarian 40 30
2. Sosial - -
3. Ekonomi 50 60
4. Warisan Budaya - -
5. Lain-lain 10 10
Layanan 1. Kelestarian - -
Kesehatan
2. Sosial 63.15 68.42
3. Ekonomi 15.79 10.52
4. Warisan Budaya 15.79 15.79
5. Lain-lain 5.26 5.26
Industri 1. Kelestarian 8.33 -
2. Sosial 8.33 16.67
3. Ekonomi 83.33 75
4. Warisan Budaya - 8.33
5. Lain-lain - -

Pada Tabel 30 terlihat bahwa persepsi dan motivasi para pihak dalam
pemanfaatan tumbuhan obat di klaster produksi lebih banyak digunakan untuk
kepentingan ekonomi sebesar 60 persen dan 50 persen, sedangkan kepentingan
kelestarian, sosial dan warisan budaya belum menjadi pilihan utama para pihak di
klaster ini. Kesejajaran terhadap kepentingan ekonomi juga terlihat pada klaster
industri di mana persepsi dan motivasi para pihak masing-masing sebesar 83.33
persen dan 75 persen, sedangkan kepentingan lainnya di bawah kepentingan
ekonomi. Meskipun demikian, pada klaster industri aspek kelestarian sudah dilihat
sebagai salah satu bagian yang penting karena keberadaan tumbuhan obat di hutan
alam dapat mempengaruhi kelanjutan industri obat tradisional di Indonesia sehingga
tetap lestari. Pada klaster layanan kesehatan terdapat sedikit perbedaan di mana
persepsi dan motivasi para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat lebih banyak
117

dikendalikan oleh kepentingan layanan sosial dengan nilai sebesar 63.15 persen dan
68.42 persen. Hal ini berarti pada klaster layanan kesehatan tumbuhan obat mulai
diperhitungkan dari aspek manfaatnya kepada orang lain yang berbeda dengan aspek
ekonomi yang kadangkala kurang memperhitungan orang lain yang akan terkena
dampak apabila obat tradisional yang diperdagangkan tidak memiliki khasiat seperti
yang tercantum di dalam etiketnya. Sayangnya pada klaster ini, aspek kelestarian
tumbuhan obat sebagai materi utama obat tradisional kurang diperhitungkan, aspek
ekonomi dan layanan sosial merupakan aspek tertinggi yang digunakan oleh para
pihak dalam melihat sumberdaya tumbuhan obat sebelum aspek kelestarian.
Selanjutnya, untuk mengetahui posisi para pihak terkait pemanfaatan
tumbuhan obat dapat dilakukan melalui analisis terhadap aspek kepentingan, dan
pengaruh para pihak menggunakan teknik analisis kategorisasi. Pendekatan ini
digunakan untuk memahami pergerakan para pihak dalam empat kuadran posisi
sehingga karakteristik para pihak dapat diketahui apakah dalam posisi key players,
subjects, context setter atau crowd.

2.2. Posisi Para Pihak


Analisis para pihak merupakan salah satu bagian dari konsep pendekatan
aktor sehingga teknik ini dapat digunakan untuk menganalisis pendekatan pemetaan
para pihak yang sama-sama berorientasi pada aktor (Zimmer 2010; Reed et al. 2009;
Forsyth 2007; Walker 2005; Forsyth 2005; Bryant & Bailey 1997). Pembagian para
pihak ke dalam empat kuadran menggunakan pendekatan kategorisasi memudahkan
bagi peneliti untuk mengenali struktur para pihak dalam kaitannya dengan
pemanfaatan tumbuhan obat pada masing-masing klasternya. Dalam analisis
kategorisasi, para pihak dibagi menjadi empat karakter, yaitu pemain utama (key
players), subject, context setter atau sebagai crowd (Nurrochmat et al. 2015).
Pembagian empat karakter para pihak tersebut ditentukan melalui hubungan dua
variabel kepentingan-pengaruh sebagai relasi absis dan ordinatnya. Gambaran umum
mengenai posisi para pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat pada tiga
klaster yang diteliti disajikan pada Tabel 31.
118

Tabel 31. Posisi Para Pihak dalam Pemanfaatan Tumbuhan Obat


Klaster Para Pihak Posisi Tertinggi
Produksi BTN Meru Betiri, Dinas Perkebunan BTN Meru Betiri, Pengepul
dan Kehutanan Kabupaten Jember,
Pendarung, Pengepul, LSM Kail,
TOGA Sumber Waras dan Jaket Resi
Layanan Klinik Radiastesi Medis Romo Pengobat Tradisional dan Klinik
Lukman, RSUP Dr. Sardjito, RS Panti
Kesehatan Radiastesi Medis Romo Lukman
Rapih, CD Bethesda, Jamu Gendong
Lugu Murni, PT PJT Dr. Sardjito,
Pusat Kedokteran Herbal UGM,
Pengobat Tradisional, Pasien Pengobat
Tradisional, SP3T Yogyakarta,
Pelanggan Jamu Gendong dan
Puskesmas Gondomanan
Industri UD Bisma Sehat, Kios Jamu Modern, POM Semarang
Harian Kompas, PS Biofarmaka IPB,
Koperasi Jamu Indonesia, Apoteker I,
Apoteker II, GP Jamu Jawa Tengah,
Balai POM Semarang, Gujati 59, PT
Javaplant dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kabupaten Sukoharjo

2.2.1. TN Meru Betiri


2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh
Relasi antara kepentingan dan pengaruh diantara stakeholder dapat dilihat
melalui perannya sebagai Key players – Subject. Pada Gambar 11 dan Tabel 31
terlihat bahwa dari sepuluh pihak yang terlibat pada klaster produksi, tujuh pihak
merupakan key players. Dari ketujuh key players tersebut, BTN Meru Betiri memiliki
kepentingan dan pengaruh yang kuat sebagai key players, kemudian disusul dengan
pengepul tumbuhan obat yang memiliki kepentingan tertinggi terhadap bahan baku
tumbuhan obat dari TNMB. Hal ini terjadi karena kepentingan ekonomi yang
melandasi kebutuhan pengepul terhadap TNMB menunjukkan bahwa tumbuhan obat
merupakan mata pencarian utama yang digunakan oleh pengepul untuk menghidupi
keluarganya, sedangkan dari sisi BTN Meru Betiri, tumbuhan obat bukanlah produk
yang dilarang untuk dipanen dari dalam kawasan hutan sehingga bagi BTN Meru
Betiri tumbuhan obat baik dimanfaatkan apabila mampu memenuhi kepentingan
masyarakat di sekitar hutan agar pendapatannya meningkat. Dari sisi ketersediaan
119

bahan baku, BTN Meru Betiri memiliki perhatian terhadap terjadinya kegiatan
pencurian kayu jati (Tectona grandis) dan kayu bayur (Pterospermum javanicum)
yang terdapat di TNMB. Kegiatan tersebut mengganggu BTN Meru Betiri sebagai
pihak yang memiliki amanat untuk menjaga dan melestarikan TNMB.
Meskipun LSM KAIL tidak memiliki kepentingan dan pengaruh yang cukup
kuat dalam analisis kategorisasi, tetapi keberadaannya di TNMB tidak dapat
diabaikan. Hampir semua kelompok masyarakat mengenal LSM KAIL dengan baik
dan LSM ini mengendalikan kegiatan masyarakat desa di sekitar TNMB dalam
mengelola lahan rehabilitasi menggunakan tumbuhan obat lokal. Sejak beroperasi
lebih dari 20 tahun yang lalu, LSM KAIL mampu melakukan pemberdayaan terhadap
masyarakat desa melalui pendirian koperasi, unit-unit usaha rumah tangga berbasis
obat tradisional, membangun jaringan kelompok tani dan membuka pasar komoditas
pertanian keluar dari TNMB. Salah satu contohnya adalah kegiatan penjualan buah
pisang untuk meningkatkan pendapatan petani (cash crop) ke pulau Bali disambut
positif karena produk pertanian tersebut segera habis terjual ketika LSM KAIL tiba
di pulau Bali. Hal ini tentu saja meningkatkan pengaruh LSM KAIL dan
kepentingannya terhadap masyarakat sekitar hutan karena mampu mendorong aspek
ekonomi masyarakat desa. Kekuasaan LSM KAIL di TNMB dapat dilihat dari
banyaknya kelompok binaan yang dibangun selama kurang lebih 20 tahun, antara lain
Jaringan Komunikasi Petani Rehabilitasi (JAKET RESI), TOGA Sumber Waras, dan
Pendarung tumbuhan obat dengan jumlah pengikut lebih dari 720 orang.
Kepentingan utama LSM KAIL adalah kelestarian hutan TNMB yang diperoleh
melalui pendekatan ekonomi dan sosial masyarakat desa. Sumber dana untuk
menyusun kegiatan masyarakat diperoleh LSM KAIL dari dalam maupun luar negeri.
Pada relasi kepentingan dan pengaruh ini, peranan sektor pemerintah seperti
BTN Meru Betiri dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember cukup
mendukung upaya-upaya pengembangan tumbuhan obat bagi masyarakat, hanya saja
jika dibandingkan dengan masalah lingkungan lain seperti pencurian kayu dari hutan
alam, program pengembangan tumbuhan obat kurang popular. Selain karena harga
kayu jati dan bayur cukup tinggi di pasaran, kedua produk tersebut bisa segera
120

menghasilkan pendapatan apabila dijual. Banyak calon pembeli di dalam maupun di


luar kawasan desa yang siap membayar kayu jati dan bayur. Kedua jenis pohon ini
berpotensi menghasilkan bahan obat tradisional karena secara tradisi sudah dikenal
bahwa bayur getahnya digunakan untuk penyembuhan luka, sedangkan jati daunnya
digunakan untuk mengawetkan makanan.
Salah satu pihak yang jarang diperhitungkan peranannya adalah kelompok
pendarung. Relasi kepentingan dan pengaruh antara pendarung dan pengepul
tumbuhan obat juga menciptakan simbiosis ekonomi. Pengetahuan pendarung akan
musim berbuah tumbuhan obat menentukan masa panen atas tumbuhan obat tersebut.
Dapat dikatakan bahwa pendarung dan pengepul merupakan penggerak berputarnya
ekonomi pemanfaatan tumbuhan obat pada TNMB di mana tugas untuk memanen
tumbuhan obat diperoleh dari pengepul dan pendarung bertugas memungutnya dari
hutan. Produk-produk utama tumbuhan obat yang dibeli oleh pengepul umumnya
berupa hasil hutan yang dapat digunakan sebagai bumbu masak seperti kemiri, joho
lawe, kemukus, pakem, kedawung dan lain-lain. Pendarung dan pengepul sudah
mengetahui produk-produk tumbuhan obat seperti apa yang sedang laku di pasaran
sehingga keduanya kerap kali saling memberikan informasi. Pendarung sendiri
sudah mengetahui musim panen bahan baku tumbuhan obat yang berasal dari TN
Meru Betiri selama satu tahun. Data musim panen tumbuhan obat dari TN Meru
Betiri disajikan pada Tabel 32.

Tabel 32. Musim Panen Tumbuhan Obat di TN Meru Betiri


No. Jenis Musim
1. Terminalia bellerica Roxb Februari – Maret
2. Aleurites moluccana (L.)Willd. Maret – Mei, September - November
3. Pangium edule Reinw Maret – Mei
4. Piper cubeba L. Juni – Juli
5. Madu Hutan Juni – Juli
6. Parkia roxburghi G.Don September – Oktober

Untuk posisi subject peranan blandong, borek kayu dan Perkebunan Bandealit
cukup dominan. Ketiga pihak tersebut diketahui tidak terlibat dalam pemanfaatan
121

tumbuhan obat, tetapi terlibat dalam pemanfaatan kayu dan perkebunan. Terkait
dengan kepentingan dan pengaruhnya, borek kayu, blandong dan Perkebunan
Bandealit memiliki kepentingan yang tinggi terhadap hutan karena kegiatan usaha
yang mereka bangun berada di sekitar kawasan hutan TNMB. Hal ini ditunjukkan
oleh nilai kepentingan dan pengaruh mereka yang relatif saling berdekatan. Dari
ketiga pihak tersebut, relasi yang perlu diwaspadai adalah hubungan antara blandong
dan borek kayu. Hubungan antara borek kayu dan blandong bersimbiosis terhadap
kepentingan ekonomi dari jati dan bayur. Blandong tidak pernah masuk ke dalam
hutan apabila tidak memiliki perintah untuk menebang kayu bayur dan jati dari borek
kayu. Simbiosis diantara keduanya juga menyebabkan tindakan ilegal yang
dilakukan oleh borek kayu sukar dilawan karena secara ekonomi dan sosial, borek
kayu memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat desa baik di Andongrejo,
Curahnongko maupun Curahtakir. Menurut Winkel (2012), posisi ekonomi seseorang
dapat menentukan kedudukannya di tengah masyarakat. Relasi borek kayu terhadap
aparat desa maupun aparat keamanan juga baik sehingga apabila terjadi penangkapan
terhadap truk pengangkut kayu miliknya, negosiasi antara kedua belah pihak mudah
dilakukan.
Terkait dengan konsep politik ekologi tumbuhan obat, konflik yang terjadi
dalam pemanfaatan tumbuhan obat di TN Meru Betiri adalah adanya pemanfaatan
ganda yaitu materi tumbuhan obat yang berasal dari pohon-pohon berkayu seperti
bayur (Pterospermum javanicum jungh) dan suren (Toona sureni (Bl)) dengan materi
tumbuhan obat lain yang berasal dari semak, akar, batang maupun daun tetapi berasal
dari spesies-spesies yang tidak memiliki nilai ekonomis. Kedua jenis kayu yang
berasal dari pohon-pohon ini aktif dipanen dari kawasan TNMB oleh blandong
berdasarkan permintaan yang diperoleh dari borek kayu. Pemanfaatan bayur dan
suren sebagai bahan baku obat asal hutan masih kurang diperhitungkan karena nilai
ekonomisnya yang jauh lebih kecil apabila dijual sebagai kayu pertukangan. Pada
tahun 2013, terdapat sekitar 12 m3 kayu bayur dan suren yang ditebang dan berasal
dari sekitar kawasan TNMB. Tindakan penegakan hukum terhadap pihak yang
melakukan tindakan pencurian kayu juga dilakukan oleh BTN Meru Betiri, tetapi
122

penegakan hukum tidak membuat mereka jera. Persoalan ekonomi seperti kemiskinan
merupakan persoalan mendasar yang dihadapi pengelola kawasan sehingga tindakan
tegas kurang memiliki dampak untuk mengurangi pencurian kayu. Selain itu,
terjadinya informasi asimetris terhadap pemanfaatan tumbuhan obat juga
menyebabkan para pihak sukar diarahkan untuk mengembangkan tumbuhan obat
sebagai bahan baku obat tradisional. Dalam wawancara diketahui bahwa BTN Meru
Betiri, LSM KAIL dan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Jember juga
tidak paham mengenai informasi pasar tumbuhan obat, padahal Propinsi Jawa Timur
adalah sentra produksi tumbuhan obat. Harga pasar tumbuhan obat yang diketahui
untuk jahe, kencur dan temulawak hanya berkisar Rp 7000/kg sedangkan apabila jahe
sudah diolah menjadi bahan baku setengah jadi harga jualnya bisa mencapai Rp
4.000.000/kg. Informasi harga tersebut diperoleh dari seorang eksportir tumbuhan
obat di Jakarta yang kerap mengirim produknya ke USA dan Jepang.

2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak


Perseteruan antara LSM KAIL dengan BTN Meru Betiri juga pernah terjadi
ketika kedua pihak berusaha memperoleh pengaruh di antara masyarakat desa di
sekitar TNMB. Dampaknya, program-program kegiatan LSM KAIL terhambat
selama lima tahun sehingga mengganggu program-program pemberdayaan yang
sudah dibuat. Pembentukan LSM tandingan oleh oknum di sekitar TNMB selain
tidak “elegan”, juga menyebabkan kegiatan pemberdayaan petani sekitar hutan antara
BTN Meru Betiri dan LSM KAIL tidak searah. Kedua pihak memiliki kepentingan
yang sama untuk menjaga kelestarian TNMB sehingga upaya mendelegitimasi LSM
KAIL hanya akan berdampak negatif terhadap kedua belah pihak dan masyarakat
desa. Oleh sebab itu untuk kepentingan kelestarian, kedua belah pihak harus bersedia
duduk bersama. Permasalahan-permasalahan yang terkait dengan kelembagaan
pemanfaatan tumbuhan obat, informasi asimetris, pencurian kayu dan peluang
pengembangannya dapat dipecahkan apabila kedua pihak bersedia menjalin
komunikasi.
123

2.2.2. Layanan Kesehatan


2.2.1.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh
Untuk melihat relasi kepentingan dan pengaruh pada klaster layanan
kesehatan dapat dianalisis melalui posisi para pihak sebagai key player, subject,
context setter dan crowd (Gambar 12). Analisis kategorisasi yang dilakukan
menunjukan bahwa para pihak tersebar pada empat kuadran kepentingan dan
pengaruh. Pada posisi key player pihak utama yang memiliki kepentingan dan
pengaruh tertinggi adalah pengobat tradisional dan klinik radiastesi medik. Kedua
pihak ini bersifat non medis dan memiliki metode penyembuhan yang dikategorikan
sebagai “paranormal”. Terkait dengan kebijakan, metode paranormal sebagai sarana
penyembuhan keberadaannya sudah diakui oleh pemerintah sebagai pelengkap dari
penyembuhan konvensional. Langkah nyata yang dibangun oleh pemerintah dalam
mendukung kebijakan tersebut adalah membangun fasilitas penyembuhan tradisional
di rumah sakit dan puskesmas, hanya saja dari sisi penggunanya masih sangat terbatas
dibandingkan pasien yang dilayani oleh pengobat tradisional. Dalam satu tahun
pengobat tradisional mampu melayani pasien sekitar 4.000 sampai dengan 90.000
orang sedangkan puskesmas dan rumah sakit hanya mampu melayani 700 sampai
dengan 2.000 pasien per tahun. Artinya masih terjadi kesenjangan pelayanan
kesehatan secara tradisional pada fasilitas formal dengan fasilitas non formal yang
disediakan oleh pemerintah kepada masyarakat. Fasilitas layanan kesehatan yang
disediakan oleh pemerintah umumnya mudah dijangkau dan dikenal oleh setiap
elemen masyarakat, sedangkan fasilitas klinik pengobat tradisional umumnya dikenal
melalui informasi mulut ke mulut. Pada posisi key player, industri obat tradisional
juga terlibat sebagai aktor. Tetapi industri ini sudah memiliki hak paten atas obat
tradisional yang diproduksinya sehingga aspek keamanan obat terhadap konsumen
dapat terjamin.
Pada Gambar 12, para pihak yang memiliki posisi subject dalam layanan
kesehatan menggunakan obat tradisional terdiri atas pasien pengobat tradisional, PB
IDI, PSM Lakutama dan GP Jamu Yogyakarta. Pasien pengobat tradisional memiliki
kepentingan tertinggi tetapi pengaruhnya paling rendah. Secara umum relasi key
124

player dan subject pada posisi ini memiliki kapasitas yang rendah dalam pelayanan
kesehatan menggunakan obat tradisional. Misalnya, bagi pasien pengobat tradisional
kunjungan kepada seorang pengobat tradisional terjadi karena adanya keterpaksaan
setelah sebelumnya berobat ke rumah sakit konvensional untuk menyembuhkan
penyakit stroke-nya. Adanya kendala biaya untuk melanjutkan pengobatan tersebut
membuat pihak tersbeut beralih ke pengobatan tradisional. Bagi PB IDI Wilayah
Yogyakarta, pengobatan tradisional dapat diterima apabila memiliki evidence based
yang kuat bahwa metode tersebut berhasil mengobati penyakit tertentu. Obat
tradisional harus diuji secara ilmiah sehingga kedudukannya setara dengan obat
kimia. Hal ini menguntungkan posisi PB IDI untuk membela profesi dokter yang
menggunakan obat tradisional dalam memberikan layanan kesehatan. Pada posisi
subject, aliansi antara aktor sulit terjadi karena memiliki perbedaan profesi. PB IDI
Yogyakarta hanya dapat membentuk aliansi dengan dokter, sedangkan GP Jamu juga
hanya dapat membentuk aliansi dengan sesama pedagang jamu. Pada Tabel 30
terlihat bahwa motivasi dan persepsi para pihak dalam menggunakan obat tradisional
adalah untuk pelayanan kesehatan. Artinya jika pengobatan tradisional ingin
memperoleh dukungan yang lebih luas, maka peningkatan terhadap status, kualitas
dan kuantitas layanan pengobatan tradisional harus ditingkatkan dengan cara
meningkatkan status obat tradisional menjadi fitofarmaka, meningkatkan peran serta
industri jamu agar mengembangkan penelitian terkait obat tradisional, memberi
insentif berupa keringanan pajak bagi industri yang bersedia bekerja sama dalam
pengembangan obat tradisional, menyatukan para pengobat tradisional dalam layanan
formal di rumah sakit dan puskesmas, memperbanyak profesi dokter herbal dan
menjamin agar dokter herbal juga dapat hidup layak.
Gambar 12 menempatkan Dinas Kesehatan DIY sebagai context setter dalam
analisis kategorisasi. Pada relasi key player dan context setter, pengobatan tradisional
merupakan salah satu program tetapi konsentrasi pihak ini tidak terletak pada obat
tradisional. Dalam penelitian, terjadi resistensi dari pihak ini sehingga informasi
terkait layanan kesehatan menggunakan pengobatan tradisional tidak dapat digali
secara optimal. Daftar pertanyaan yang dikirimkan kepada pihak ini juga tidak
125

dikembalikan sehingga analisis berdasarkan posisi ini amat minim. Berdasarkan


wawancara yang sempat digali dari pihak ini terlihat kesan kehati-hatian dalam
membicarakan tentang pengobatan tradisional. Hal ini dapat diterima mengingat
perhatian utama Dinas Kesehatan DIY dalam memberikan layanan kesehatan terletak
pada pengobatan konvensional yang sudah terbukti manfaatnya dan memiliki evident
based yang kuat.
Untuk hubungan key player dan crowd, pihak pasien pengobat spiritual dan
pengobat spiritual dapat dikeluarkan dalam analisis karena penggunaan obat
tradisional dalam layanannya relatif sedikit dan lebih banyak mengambil posisi
sebagai penasehat spiritual dibandingkan sebagai penyembuh menggunakan obat
tradisional.

2.2.1.2. Konflik Kepentingan antar Pihak


Pemanfaatan obat tradisional pada layanan kesehatan komplementer semakin
berkembang sehingga meningkatkan potensi pasar penyerapan tumbuhan obat
sebagai bahan baku obat tradisional. Terkait dengan politik ekologi pemanfaatan
tumbuhan obat, terdapat sejumlah konflik yang muncul, antara lain pertarungan
prinsip evident based antara obat tradisional dengan obat farmasi yang telah terbukti
manjur dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Konflik tersebut merupakan dampak dari
modernisasi atas layanan kesehatan di mana para pihak mulai meninggalkan layanan
kesehatan berbasis budaya yang hidup di dalam masyarakat. Modernisasi tersebut
justru melahirkan kapitalisme dalam layanan kesehatan tradisional di mana aspek
ekonomi mengikuti jasa layanan yang diberikan oleh penyembuh. Pada Tabel 30
terlihat bahwa motivasi dan persepsi utama para pihak mendahulukan aspek sosial,
tetapi aspek ini sesungguhnya berhubungan dengan jasa yang berdampak pada biaya
pengobatan. Rata-rata beban pasien membayar fasilitas pengobatan tradisional
berkisar Rp 300.000 – Rp 500.000 per resep per orang, sehingga untuk beban biaya
sebesar itu hanya mampu dibayar oleh pasien yang cukup mampu, apalagi fasilitas
tersebut tidak dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) (Lihat lampiran 4).
Kapitalisme pada layanan kesehatan ini juga ikut mendorong meningkatkan
126

peredaran bahan baku obat tradisional baik dari hutan alam maupun budidaya melalui
perdagangan barang dan jasa tumbuhan obat. Pada tingkat konsumen (rumah tangga),
obat tradisional masih diproduksi secara terbatas. Obat tradisional dalam bentuk
racikan paling banyak dijumpai dalam bentuk simplisia dibandingkan dalam bentuk
obat yang terbukti kemanjurannya secara empiris (Brook & Fauver 2014; Raz &
Guindi 2008).
Untuk meredakan konflik pemanfaatan obat tradisional pada klaster ini
dibutuhkan adanya peran serta pemerintah dalam memperbaiki kelembagaannya,
menyediakan fasilitas obat tradisional sesuai standar fitofarmaka sehingga sistem
pelayanan ini tidak didikte oleh pengusaha serta memperbaiki sistem distribusi
tumbuhan obat agar obat tradisional yang saat ini ada dapat dijangkau oleh semua
pihak. Penerapan Jaminan Kesehatan Masyarakat (JKN) juga diperlukan untuk
mendorong kemandirian bangsa agar tidak tergantung pada obat farmasi yang
diproduksi oleh perusahaan asing di Indonesia. Salah satu contoh bahan obat
tradisional yang sering dijumpai dalam resep pengobatan tradisional adalah pulosari
(Alyxia reinwardtii Bl.), tempuyung (Sonchus arvensis L.), jahe (Zingiber officinale
Rosc.), kencur (Kaemferia galanga L.), temulawak (Curcuma xanthorrhiza roxb),
temu giring (Curcuma heyneana Val. Et van Zijp.), seledri (Apium graveolens L.),
kunyit (Curcuma domestica Val). Pada lampiran 6 terlihat bahwa pulosari merupakan
spesies yang banyak ditemukan pada racikan obat tradisional. Jenis ini banyak
dijumpai di TNMB, TN Bromo Tengger dan TN Baluran di Jawa Timur (Zuhud et al.
2009). Dalam wawancara dengan pengusaha jamu di Pasar Nguter Sukoharjo
disebutkan bahwa pulosari sudah jarang dijumpai oleh pengusaha sehingga terpaksa
dilakukan substitusi terhadap bahan obat untuk mengganti pulosari. Maka terkait
dengan ekologi politik, kelangkaan pulosari dapat diduga mengganggu kualitas dan
kuantitas pelayanan kesehatan obat tradisional di masa datang.
127

2.2.2. Industri Obat Tradisional


2.2.2.1. Relasi Kepentingan dan Pengaruh
Relasi kepentingan dan pengaruh pada industri obat tradisional dapat dilihat
melalui relasi key player (Gambar 13). Artinya bahwa para pihak memiliki
kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam industri tersebut. Tabel 31
memperlihatkan bahwa pada klaster industri, motivasi dan persepsi para pihak dalam
pemanfaatan tumbuhan obat dikendalikan oleh aspek ekonomi dengan nilai masing-
masing sebesar 83.33 persen dan 75 persen. Aspek ekonomi juga dominan dimiliki
oleh para pihak yang terdapat pada klaster produksi, sehingga dapat disimpulkan
bahwa aliran pemanfaatan tumbuhan obat menjadi obat tradisional dari TNMB
berjalan menuju ke sektor industri karena terdapat kesejajaran kepentingan di antara
keduanya. Hal ini dapat dimengerti karena para pihak pada kedua sektor tersebut
mendapatkan pendapatan (income) dari proses jual beli bahan bakunya. Sektor
produksi berperan sebagai penjual bahan baku dari hutan alam maupun budidaya dan
sektor industri berperan membelinya dari sektor produksi. Proses jual beli bahan baku
ini melibatkan jaringan para pihak pendarung-petani, pengepul dan pengusaha.
Pada Gambar 13, pihak utama adalah BPOM Semarang. Peranan BPOM
dalam mengendalikan produk obat tradisional pada klaster industri sangat penting
karena pada klaster tersebut belum terbebas dari penggunaan Bahan Kimia Obat
(BKO) yang dicampurkan pengusaha ke dalam obat tradisional. Selain itu, BPOM
juga mengendalikan ijin edar obat tradisional agar terbebas dari obat tradisional
ilegal. Selain BPOM, pihak penting lainnya adalah Koperasi Jamu Indonesia
(KOJAI). Pihak ini mengelola dan membantu pengusaha kecil obat tradisional
(UKOT) di Kabupaten Sukoharjo, bekerjasama dengan instansi pemerintah dan
menjadi tempat percontohan industri skala kecil obat tradisional di Indonesia karena
bersifat padat karya dan mampu menggerakan ekonomi lokal. Keberadaan KOJAI
sangat membantu tugas pemerintah untuk mengendalikan peredaran BKO dalam obat
tradisional karena melalui KOJAI kegiatan lokakarya, bimbingan dan pembinaan
terhadap UKOT dapat dilakukan. Persaingan antar pengusaha yang terdapat di
dalamnya juga dapat dikendalikan melalui pertemuan bulanan UKOT yang
128

diselenggarakan oleh KOJAI. Dalam pertemuan tersebut, pengusaha diingatkan agar


tidak mencampurkan BKO ke dalam produknya serta tidak melakukan pelanggaran
etiket produk obat tradisional di antara sesama pengusaha. Apabila terjadi
pelanggaran, KOJAI dapat menindak tegas anggotanya dengan tidak membantu
pengurusan ijin produk pada instansi pemerintah. Ketegasan KOJAI cukup efektif
karena pengusaha tunduk pada kesepakatan tersebut.

2.2.2.2. Konflik Kepentingan antar Pihak


Modernisasi atas obat tradisional yang kerap disebut sebagai jamu telah
melahirkan sejumlah besar industri obat tradisional. Bahan baku yang diperoleh dari
hutan alam maupun budidaya telah melahirkan tokoh-tokoh besar dalam industri
tersebut, menjadikan mereka secara ekonomi berada di kelas atas, memiliki akses
pada bidang politik dan mampu mempengaruhi gaya hidup kelas tertentu di
Indonesia. Berdasarkan wawancara, sekitar 70 persen pengusaha besar obat
tradisional berasal dari etnis Tionghoa dan sisanya adalah pribumi. Mayoritas
pengusaha pribumi berada dalam kelas UKOT yang selalu membutuhkan dampingan,
dorongan dan perhatian dari pihak pemerintah. Berbeda dengan pengusaha Tionghoa,
aksesnya kepada pasar internasional sangat besar sehingga orientasi penjualan
produknya adalah ke luar negeri (ekspor), sedangkan pengusaha pribumi lebih banyak
mengandalkan pasar dalam negeri. Pada Tabel 33 dan 34 dapat dilihat perkembangan
neraca perdagangan obat tradisional dari Indonesia dimana laju ekspor semakin
meningkat tiap tahunnya dibandingkan impornya.
129

Tabel 33. Importasi Bahan Baku Tumbuhan Obat dari Mancanegara ke Indonesia
No. Kode HS Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 Jan- Feb 2015
Nilai dalam US$ 000 Ton US$ Ton US$ Ton US$
000 000 000
1. 091010 Jahe 1,820 16,572 16,704 6,308 5,927 2,764 2,465 1,256 1,076
(Ginger)
2. 091099 Rempah 424 623 1,210 796 796 447 788 63 70
3. 091030 Tumeric 66 332 390 475 475 245 324 19 12
(Curcuma)
4. 091091 Campuran 73 408 152 70 70 28 75 1 5
dua atau
lebih
rempah
yang
tersedia
terpisah
dari daftar
ini
5. Saffron 10 13 9 - - 8 21 - -
TOTAL 2,394 17,948 18,465 7,201 7,268 3,493 3,673 1,339 1,164
Sumber: BPS (2015), disiapkan oleh Direktorat Pengembangan Pemasaran dan
Informasi Eksport Kementerian Perdagangan RI (2015)

Tabel 34. Eksportasi Bahan Baku Tumbuhan Obat Indonesia ke Mancanegara


No. Kode Komoditas 2010 2011 2012 2013 2014 Jan- Feb 2015
HS
Nilai dalam US$ 000 Ton US$ Ton US$ Ton US$
000 000 000
1. 091010 Tumeric 7,545 4,502 2,125 1,947 2,101 3,808 4,515 658 764
(Curcuma)
2. 091099 Rempah 6,865 6,717 2,974 1,188 4,343 1,777 3,317 202 432
3. 091030 Jahe 3,467 1,209 1,358 22,472 14,909 61,191 49,127 375 326
(Ginger)
4. 091091 Campuran 754 1,534 2,259 729 1,603 750 1,237 69 114
dua atau
lebih
rempah
yang
tersedia
terpisah
dari daftar
ini
5. Saffron 236 35 231 794 490 900 547 52 31
TOTAL 18,867 13,998 8,947 27,129 23,446 68,427 58,742 1,356 1,668
Sumber: BPS (2015), disiapkan oleh Direktorat Pengembangan Pemasaran dan
Informasi Eksport Kementerian Perdagangan RI (2015).

Terkait dengan ekologi politik, perdagangan obat tradisional dan tumbuhan


obat menimbulkan ketidakadilan kepada sebagian aktor yang terlibat pada arena yang
sama. Akses perdagangan tumbuhan obat yang cenderung tertutup, rendahnya
130

informasi terhadap penggunaan obat tradisional dan rendahnya teknologi serta


permodalan menciptakan iklim kapitalisme pada perdagangan ini. Pada sektor
produksi, para pihak yang memiliki akses langsung kepada sumberdaya tumbuhan
obat tetap hidup miskin bahkan harus berhadapan dengan konflik kepentingan
pemanfaatan ganda dari produk yang berpotensi menjadi obat tradisional. Sementara
itu, para pihak yang memiliki akses yang kuat kepada permodalan (perbankan) dan
pemerintah justru menikmati sejumlah manfaat yang meningkatkan aksesnya kepada
sumber-sumber ekonomi dan politik. Penggunaan simbol-simbol yang berlatar
belakang budaya jawa pada produk obat tradisional lebih banyak untuk mendorong
gambaran konsumen bahwa produk tersebut digali dari budaya jawa. Padahal
sebagaian besar produsennya bukanlah keturunan atau secara turun temurun bergaul
dengan budaya jawa. Pada tahap ini, budaya jawa hanyalah pelengkap dari produk
obat tradisional yang dijual oleh produsen. Kenyataan ini juga berlaku pada
pengusaha UKOT yang mayoritas keturunan jawa. Budaya jawa seperti gambar-
gambar wayang, digunakan hanya untuk memperkuat produk obat tradisional.
Tujuan penggunaan produk budaya tersebut tidak lebih hanya untuk memperoleh
manfaat ekonomi. Pada Tabel 30 terlihat kepentingan tersebut dimana nilai warisan
budaya dicantumkan dalam aspek motivasi dan persepsi para pengusaha.
Perdagangan obat tradisional yang bersifat kapitalistik tersebut mendorong
terjadinya persaingan ekonomi di antara para pihak. Persaingan tersebut muncul
mulai dari pencurian etiket obat tradisional hingga pencampuran BKO ke dalam obat
tradisional. Hal ini merugikan sisi konsumen sebagai penerima akhir dari produk
obat tradisional serta merugikan aspek tumbuhan obat di alam karena ekstraksi yang
terus menerus terhadap tumbuhan obat ternyata tidak digunakan secara tepat sasaran
sesuai dengan manfaat yang terkandung di dalamnya. Dalam wawancara terungkap
bahwa sekitar 20 persen sampai dengan 30 persen, pengusaha obat tradisional
mengambil bahan baku dari hutan alam, tetapi berdasarkan data dari Kementerian
Kehutanan RI sekitar 78 persen bahan baku obat tradisional diambil dari hutan alam.
Adanya perbedaan data ini menunjukan bahwa pemanfaatan tumbuhan obat oleh
pengusaha cenderung tidak terbuka, diam-diam dan kurang peduli dengan
131

ketersediaan bahan baku obat tradisional di alam. Hal ini bisa dimengerti karena
pengusaha obat tradisional umumnya menerima bahan baku dari para pengepul dan
tidak pernah datang sendiri ke sumber bahan bakunya. Istilah yang sering digunakan
adalah “terima produk di depan pintu lalu dibayar”. Dalam ekologi politik, pengusaha
memainkan peran sebagai pembeli dan menggerakan permintaan tumbuhan obat dari
pengepul. Pengusaha tidak ikut bertanggungjawab terhadap kerusakan bahan baku
tumbuhan obat di alam karena tidak bersentuhan secara langsung dengan produk
tersebut. Ciri kapitalisme dalam kegiatan ekonomi pemanfaatan tumbuhan obat
terlihat dari peran pengusaha dan pengepul di mana kedua belah pihak sama-sama
memperoleh keuntungan dari bisnis tumbuhan obat (Tabel 15 & Tabel 29). Pada
Tabel 33 dan Tabel 34 juga menunjukan terjadinya peningkatan ekspor-impor obat
tradisional Indonesia menuju pasar internasional sebesar 3,4 – 4 kali lipat sehingga
menempatkan Indonesia sebagai produsen dengan keuntungan yang menggiurkan
dari obat tradisional. Selain itu, kerusakan tumbuhan obat di alam tidak pernah dapat
terlihat secara kasat mata apabila tidak dilakukan pengujian secara mendalam karena
sebagian besar tumbuhan obat tersebut menempel ada inangnya, berupa semak dan
herba. Oleh sebab itu, kerusakan tumbuhan obat hanya bisa dilihat apabila terjadi
kegiatan penebangan hutan yang masif seperti pada hutan produksi, tetapi pada hutan
lindung, taman nasional, kawasan lindung yang tidak terjadi penebangan pohon,
kerusakan sumber daya tersebut sulit dilihat secara kasat mata. Pada aspek inilah
politik ekologi pemanfaatan tumbuhan obat hendak meneropong permasalahan
lingkungan yang terjadi pada tempat dimana tidak terjadi persoalan lingkungan yang
masif. Perdagangan tumbuhan obat, modernisasi obat tradisional dan modernisasi
pelayanan kesehatan justru terlibat dalam meningkatkan laju kerusakan sumber daya
tumbuhan obat sebab tumbuhan obat bukanlah sumber daya yang dilarang
dimanfatkan di Indonesia. Hingga saat ini, peraturan perundangan untuk mengatur
pengelolaan tumbuhan obat secara khusus belum tersedia sehingga sumberdaya ini
menjadi barang bebas yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja.
Untuk mencegah terjadinya pemanenan yang berlebihan atas tumbuhan obat
sehingga tidak terjadi masalah ekologi politik, semua pihak harus menyadari
132

pentingnya kelestarian sumber daya tersebut di alam. Hal ini penting karena banyak
pihak yang hidupnya amat tergantung pada ketersediaan pasokan bahan baku ini.
Modernisasi terhadap layanan kesehatan tradisional dan obat tradisional telah
menciptakan lapangan kerja yang sifatnya padat karya, sehingga apabila cadangan
bahan bakunya di alam merosot tajam dapat menyebabkan hilangnya sejumlah
lapangan pekerjaan di pusat-pusat industri obat tradisional. Hal ini akan menurunkan
juga pendapatan Negara dari sektor pajak dan kesempatan kerja sehingga menjadi
beban Negara.

2.3. Akses Terhadap Sumberdaya


Ribot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa memiliki hak legal bukan
berarti mampu mengendalikan sumberdaya yang terdapat di dalamnya. Hak akses
yang dimiliki oleh individu atau kelompok justru kerap kali mampu mengendalikan
sumber daya yang ada di dalamnya. Untuk mendapatkan hak akses sedikitnya dapat
ditempuh melalui delapan mekanisme, yaitu teknologi, kapital, market, tenaga kerja,
pengetahuan, otoritas, identitas sosial dan negosiasi melalui relasi sosial. Dalam
penelitian ini hak akses yang ingin dilihat adalah permintaan terhadap bahan baku
tumbuhan obat yang berasal dari hutan untuk klaster produksi. Permintaan terhadap
bahan baku menjadi variabel terikat dan delapan variabel akses menjadi variabel
bebas. Pada klaster layanan kesehatan variabel terikatnya adalah jumlah pasien yang
dapat dilayani melalui pengobatan tradisional selama satu tahun, sedangkan pada
klaster industri variabel terikatnya adalah jumlah produksi obat tradisional selama
satu tahun. Pada klaster ini sebagian besar obat tradisional yang diproduksi adalah
jamu baik berbentuk serbuk, kapsul, tablet ataupun ekstrak. Sebagian besar jamu
dapat dimasukan ke dalam kategori makanan dan minuman, bukan sebagai obat
tradisional yang telah memenuhi standar saintifikasi jamu. Berdasarkan Tabel 11, 18
dan 25, diketahui akses yang dimiliki oleh masing-masing klaster yang disajikan pada
Tabel 35.
133

Tabel 35. Akses pada Masing-Masing Klaster


Klaster Stakeholder Variabel Akses α= 1% Akses α= 5%
Produksi 10 4 Teknologi, Teknologi (-),
kapital, kapital (-),
market market (+)
Layanan 18 8 Market Market (+)
Kesehatan
Industri 12 8 Kapital (+)

Pada Tabel 35 terlihat bahwa akses terbanyak dimiliki oleh klaster produksi
dibandingkan klaster layanan kesehatan dan industri. Tetapi pada klaster produksi
variabel akses yang digunakan terbatas pada empat variabel dibandingkan kedua
klaster yang lain. Penggunaan delapan variabel pada klaster produksi menyebabkan
data tidak dapat dianalisis, hal ini kemungkinan disebabkan oleh terbatasnya jumlah
para pihak pada klaster produksi. Untuk mengatasi kendala tersebut, analisis
dilakukan hanya pada empat variabel akses yang berhubungan dengan variabel
ekonomi secara langsung. Analisis lebih lanjut terhadap empat variabel akses lain
yang tersisa pada klaster produksi juga tidak dapat dilakukan karena data yang ada
tidak dapat dianalisis secara statistik, sehingga analisis terhadap data tersebut
dilakukan secara deskriptif.
Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, Tabel 35
menunjukan situasi “tertindas” pada para pihak yang terdapat pada klaster produksi.
Dari ketiga akses yang dimiliki yaitu teknologi, kapital dan pasar hanya akses
terhadap pasar saja yang bernilai positif sedangkan akses yang lain bernilai negatif.
Rebot dan Peluso (2003) menyebutkan bahwa akses terhadap pasar menempatkan
para pihak pada klaster produksi berfungsi sebagai penjual sumberdaya dan
tergantung pada pasar yang sifatnya monopsoni. Tidak adanya akses terhadap
teknologi dan kapital menyebabkan para pihak mengalami hambatan dalam
mengelola sumber daya tumbuhan obat karena tergantung pada alat-alat sederhana,
tidak seperti industri obat tradisional yang sudah melakukan modernisasi. Dampak
lainnya, para pihak juga tergantung pada input kapital dan pemberdayaan padahal
para pihak memiliki akses yang dekat terhadap hutan dan tumbuhan obat.
134

Hilangnya akses terhadap teknologi dan kapital membuat para pihak pada
klaster ini umumnya kurang berdaya dibandingkan pada klaster lainnya, sehingga
sumber daya tumbuhan obat yang dekat dengan kehidupan mereka tidak terkelola
dengan baik. Contoh, pekerjaan sebagai pendarung kalah bergengsi dibandingkan
pekerjaan sebagai borek kayu atau blandong karena pendapatan yang diperoleh
seorang pendarung jauh lebih rendah dibandingkan seorang borek kayu atau
blandong meskipun ilegal. Akses terhadap pasar juga mendorong para pihak menjadi
alat dari pengusaha yang memiliki akses terhadap kapital. Keberadaan akses market
dan kapital secara langsung telah menciptakan mengalirnya sumber daya tumbuhan
obat keluar dari TNMB ke dalam industri yang dimiliki oleh pengusaha. Situasi ini
tercipta karena pemanfaatan tumbuhan obat bersifat kapitalistis sehingga dalam hal
tertentu bersifat tidak adil, misalnya perbedaan pendapatan yang diperoleh pendarung
Rp 5.000 per 1.000 biji kemiri tetapi pada pengepul Rp 22.000 per 1.000 biji kemiri.
Situasi ini sudah berlangsung lama sehingga tanpa sadar telah terjadi simbiosis antara
para pihak pada klaster produksi dengan para pihak pada klaster industri berdasarkan
kepentingan yang sama, yaitu ekonomi (Tabel 30).
Untuk mengurangi dampak kapitalisme pada klaster produksi, tindakan
menghentikan atau melarang ekstraksi terhadap tumbuhan obat tidak dapat dilakukan
seketika karena berdampak pada hilangnya pendapatan sebagian pihak di desa-desa
sekitar TNMB. Apabila pendapatan mereka dari tumbuhan obat berkurang, maka
kegiatan pencurian kayu dari TNMB makin tidak terkendali sementara membuka
aksesnya terhadap teknologi dan kapital tanpa adanya peningkatan kapasitas juga sia-
sia. Hal ini karena sebagian besar pihak memiliki tingkat pendidikan yang rendah
serta berumur setengah baya sehingga dibutuhkan orang-orang yang jauh lebih muda
dan segar untuk mentransfer kedua akses tersebut. Salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah melakukan pendekatan kepada BTN Meru Betiri dan LSM KAIL
untuk menyamakan kepentingan terhadap tumbuhan obat di TNMB. Pada Tabel 31,
kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang sama terhadap kelestarian TNMB
disamping kepentingan ekonomi. Oleh sebab itu, peningkatan kapasitas para pihak
pada klaster produksi untuk membuka aksesnya terhadap teknologi dan kapital dapat
135

dimulai dari negosiasi di antara kedua pihak tersebut (Haryatmoko 2015; Keraf
2010). Hasil dari negosiasi diharapkan mampu melahirkan kader-kader untuk
mengelola tumbuhan obat secara lestari dan berkeadilan sehingga permasalahan
ekologi politik seperti hilangnya jenis-jenis tertentu tumbuhan obat pada rantai
ekonomi dapat dicegah (Forsyth 2005; Bryant & Bailey 2007; Forsyth 2007; Jewitt
2008; Kunwar et al. 2009).

2.4. Biaya Manfaat, Biaya Transaksi dan Natural Insurance


2.4.1. TN Meru Betiri
2.4.1.1. Biaya Manfaat
Tabel 16 menggambarkan nilai biaya manfaat, biaya transaksi dan natural
insurance pada para pihak yang terdapat di TNMB. Dalam ekologi politik
pemanfaatan tumbuhan obat, nilai manfaat yang diperoleh para pihak dapat
digambarkan melalui keuntungan yang diterimanya. Nilai ini mencerminkan kegiatan
ekonomi yang diperoleh para pihak dari hutan TNMB ketika memanfaatkan
tumbuhan obat. Dari Tabel 15 dan Gambar 14 diketahui bahwa petani JAKET RESI,
pendarung dan blandong memperoleh nilai manfaat ekonomi yang paling besar dari
kegiatan tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan, kegiatan ekstraksi
terhadap sumber daya hutan secara langsung dilakukan oleh pendarung dan
blandong. Petani JAKET RESI tidak pernah melakukan ekstraksi masuk ke dalam
hutan, melainkan melakukan kegiatan budidaya terhadap tumbuhan obat.
Menurut Bryant dan Bailey (1997), ektraksi terhadap sumber daya alam yang
diakibatkan oleh berjalannya sistem kapitalisme merupakan sebab terjadinya masalah
lingkungan. Hal ini kemudian melahirkan pertarungan ekonomi dan politik di antara
para aktor. Pertarungan ekonomi politik di TNMB dapat dilihat dari pemanfaatan
tumbuhan obat potensial yang memiliki manfaat ganda. Jenis-jenis seperti bayur dan
jati merupakan tumbuhan obat potensial yang dapat dikembangkan di masa datang.
Tetapi karena kayunya juga memiliki nilai ekonomi yang sangat besar, bayur dan jati
juga dimanfaatkan sebagai kayu pertukangan pada masa kini. Sementara itu, jenis-
jenis tumbuhan obat lain seperti liana dan herba bebas diambil oleh penggunanya
136

tetapi manfaat ekonomi yang dihasilkannya jauh lebih rendah dibandingkan kayu.
Harga kayu bayur pada tingkat pengepul berkisar antara Rp 1.200.000 – 1.500.000
per batang sedangkan harga tumbuhan obat di tingkat pengepul rata-rata berkisar Rp
10.000 per kg. Dengan kemampuan angkut seorang pendarung rata-rata 100 kg per
panen, maka pendapatan yang diperolehnya tetap lebih rendah dibandingkan
kemampuan seorang blandong dalam mengekstraksi kayu bayur. Hanya saja bedanya
pendapatan blandong dari kayu bayur bersifat ilegal sedangkan pendarung tidak.

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0

Gambar 14. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Produksi di TNMB
Borek kayu adalah pihak yang paling diuntungkan oleh blandong karena
memiliki kekuasaan membeli produk kayu bayur yang dihasilkannya. Dalam
wawancara, borek kayu menyebutkan bahwa bayur adalah salah satu sumber daya
hutan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Hal ini berarti bagi borek kayu, bayur
adalah sumber daya bebas yang dapat diekstraksi sesuai dengan kepentingannya.
Dalam struktur masyarakat di lokasi penelitian, borek kayu umumnya memiliki
kondisi sosial dan ekonomi yang cukup mapan sehingga dihormati oleh masyarakat
desa. Borek kayu juga menikmati perlindungan dari aparat pemerintahan desa karena
kegiatannya memberikan pendapatan bagi desa melalui retribusi yang dibayarkannya.
Dalam wawancara dengan borek kayu, nilai retribusi yang dibayarkan tidak dapat
diketahui karena kegiatan tersebut sifatnya ilegal.
137

Dalam pemanfaatan tumbuhan obat, nilai manfaat tertinggi diperoleh melalui


kegiatan budidaya dibandingkan pemanenan dari hutan (Tabel 16). Hal ini juga
senada dengan kegiatan pemanfaatan tumbuhan obat di Etiophia bahwa nilai benefit
cost ratio terbesar berasal dari budidaya yaitu 2.05 (Nurhussen & Philipos 2014).
Terkait politik ekologi, sektor budidaya tumbuhan obat dapat dikembangkan untuk
mengurangi terjadinya pemanenan tumbuhan obat secara berlebihan. Selain lebih
mudah dikelola, pengembangan budidaya tumbuhan obat dapat meningkatkan akses
petani terhadap hutan. Lahan hutan TNMB pada zona pemanfatan dapat digunakan
untuk penanaman tumbuhan obat asal hutan alam sehingga kegiatan tersebut ikut
melestarikan spesies tumbuhan obat tertentu yang sudah mulai langka. Dengan cara
ini diharapkan tekanan terhadap TNMB oleh masyarakat dapat dikurangi.

2.4.1.2. Biaya Transaksi


Yustika (2006) menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi, memaksakan pertukaran dan
melakukan pengukuran. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pajak, komisi dan biaya
transfer (Collins & Fabozzi 1991). Dalam kegiatan perdagangan biaya transaksi
memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu ad valorem dimana biaya transaksi
didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari
produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan, hambatan
kebijakan (tarif dan non tarif), biaya informasi, biaya kontrak, biaya karena
penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya distribusi lokal
(wholesale dan retail). Biaya ini biasanya berupa pajak dan pungutan-pungutan resmi,
misalnya biaya administrasi karena menggunakan kartu debit pada bank (Wang 2010;
Crozet & Soubeyran 2004). Selain bersifat ad valorem, biaya transaksi juga ada yang
bersifat lump sum yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk
mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang memiliki tingkat resiko tinggi
(Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu 2004). Biaya transaksi yang bersifat lump
sum tetap mendorong terjadinya perdagangan apabila biaya transaksi tersebut lebih
rendah dari nilai aset beresiko yang diperdagangkan, tetapi apabila lebih tinggi maka
138

perdagangan tidak akan terjadi. Apabila perdagangan terjadi biasanya terdapat


kerugian berupa penurunan penerimaan di antara para pedagang dan mereka akan
melakukan pengaturan untuk mengurangi biaya lump sum tersebut (Barron & Karpoff
2002).
Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB,
sebagian besar biaya transaksi yang terjadi bersifat lump sum (Tabel 15). Biaya
transaksi lump sum terjadi pada kegiatan legal dan ilegal. Untuk yang ilegal, biaya
ini terjadi pada kegiatan pencurian kayu jati dan bayur. Aktor-aktor yang menikmati
biaya transaksi ini terdiri atas penjaga pos, polisi dan supir truk. Modus operandi
yang digunakan blandong akan bertemu kepada penjaga pos untuk menebang kayu
jati dan bayur, lalu ijin diberikan dengan sebuah syarat tertentu. Setelah kayu
ditebang dalam perjalanan polisi juga mendapat bagian pembayaran, lalu setelah kayu
berhasil dijual, penjaga pos akan datang ke rumah blandong untuk memperoleh
bagiannya. Besarnya biaya transaksi dengan modus operandi demikian kurang lebih
Rp 127.500 per sekali angkut sehingga apabila dibandingkan dengan harga kayu yang
dijual berkisar 10 persen dari nilai transaksi. Biasanya kayu jati atau bayur yang
ditebang berupa lonjoran-lonjoran dan diletakan di bagian bawah bak truk, lalu
ditumpuk dengan hasil-hasil pertanian lain seperti kelapa (Cocos nucifera). Selain
modus operandi tersebut, terdapat modus lain yang digunakan yaitu membayar “jasa
keamanan” pada preman. Modus ini dilakukan oleh Perkebunan Bandealit untuk
mengamankan produksinya yaitu berupa getah karet dan kopi. Biaya transaksi ini
diberikan satu kali pada saat hari raya sebagai sebuah tunjangan dengan besar Rp
15.000.000 untuk sepuluh orang. Biaya-biaya transaksi ini selain bersifat lump sum
karena terjadi setelah penebangan kayu bayur dan jati serta produk getah karet dan
kopi. Pada Gambar 12, para pihak yang melakukan biaya transaksi ini berada pada
posisi subject dalam pemanfaatan tumbuhan obat.
Selain modus operandi diatas, dalam pemanenan tumbuhan obat di hutan
TNMB tidak jarang pendarung meminjam modal awal terlebih dahulu kepada
pengepul ketika musim berbuah tiba. Bagi pengepul dan pendarung cara ini
menciptakan kepastian untuk memperoleh bahan baku tumbuhan obat dari hutan
139

sehingga kelangsungan usaha kedua belah pihak dapat terjamin. Biaya transaksi ini
bersifat lump sum di mana biaya dikeluarkan terlebih dahulu sebelum produk
tumbuhan obat dihasilkan. Biaya transaksi lump sum juga dilakukan oleh BTN Meru
Betiri dalam bentuk program pemberdayaan kelompok tani dan masyarakat agar
ekonomi mereka meningkat sehingga mengurangi terjadinya resiko perambahan
hutan di TNMB, pengepul dan TOGA Sumber Waras bersedia mengeluarkan
sejumlah uang tambahan untuk membeli bahan baku tumbuhan obat tertentu ketika
harganya mulai merangkak naik sebagai persediaan (stock).
Keberadaan dua jenis biaya transaksi lump sum juga berfungsi dalam menjaga
kelestarian hutan TNMB apabila dikelola dengan baik. TNMB sebagai sumber daya
yang dimiliki oleh Negara amat rentan terhadap hadirnya free rider apabila tidak
dikelola (Zhang 2000). Salah satu contoh adalah pencurian kayu jati dan bayur.
Apabila kegiatan pencurian tersebut tidak dikendalikan melalui perbaikan
kelembagaan, maka biaya transaksi yang terjadi justru akan merusak sumberdaya
hutan di TNMB. Perilaku moral hazard yang timbul di mana profesi pencuri kayu jati
dan bayur dihormati kedudukannya dalam struktur masyarakat, bahkan dilindungi,
karena memiliki kesejahteraan yang lebih tinggi dibanding masyarakat desa lainnya
sehingga menimbulkan sikap permissive terhadap pencurian sumber daya hutan.
Sebaliknya, biaya transaksi yang timbul dari pemanfaatan tumbuhan obat tidak
merusak hutan dan tidak dilarang. Tidak pernah ada tindakan represif dari aparat
Negara terhadap aktor yang memanfaatkan tumbuhan obat dari TNMB untuk
kepentingan ekonomi. Hanya saja, apabila kelembagaannya tidak dikelola dan
diperbaiki potensi kehilangan plasma nutfah yang penting dari TNMB juga akan
terjadi, contohnya Raflesia zollingeriana. Artinya transaksi lump sum dapat
mendorong terciptanya kelestarian hutan apabila para pihak yang terlibat di dalamnya
menyadari bahwa perbaikan kelembagaan dan penegakan hukum membutuhkan biaya
untuk penerapannya di lapangan (Zhang 2000).
Salah satu cara untuk mengurangi terjadinya biaya transaksi lump sum di
TNMB adalah dengan mempertemukan kepentingan private dan public atas sumber
daya hutan. Pengelolaan bersama atas hak akses atas sumber daya hutan yang terbuka
140

harus berubah menjadi akses yang diatur bersama (Zhang 2000). Akses yang teratur
ini dapat menjadi hak kelola bersama atas lahan hutan di mana pada lahan tersebut
dapat ditanami berbagai jenis pohon komersial campuran dengan tumbuhan obat
hutan. Rekomendasi dapat diberikan kepada Kepala BTN untuk mengoptimalkan
zona pemanfaatan di TNMB serta merehabilitasi lahan bekas tebangan jati seluas
2.733.5 hektar di TNMB.

2.4.1.3. Natural insurance


Natural insurance yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk menambah
pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami penurunan.
Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman (safety net) bagi keluarga dan batu
tangga (stepping stone) yaitu pendapatan yang digunakan oleh keluarga untuk
memenuhi kebutuhan membayar pendidikan bagi anggota keluarga (Schreckenberg et
al. 2006; Sill et al. 2011; Dzerefos et al. 2012). Dalam beberapa kasus, natural
insurance dapat dimengerti sebagai daya lentur para pihak terhadap gangguan yang
berdampak terhadap kondisi sosial dan ekonomi individu atau masyarakat (Twigg
2007; Oft & Tsuma 2006; Brown et al. 2006; Tompkins & Adger 2004). Pada Tabel
16 terlihat bahwa natural insurance sebagai jaring pengaman dan fungsi untuk
pendidikan dilakukan oleh para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat di TNMB.
Safety net dan stepping stone pada pemetaan para pihak dalam pemanfaatan
tumbuhan obat memberikan kemampuan bertahan terhadap konflik pemanfaatan
tumbuhan obat. Keberadaan safety net juga telah “memaksa” seorang blandong
keluar dari jaringan pencurian kayu jati di TNMB dan memilih bergabung menjadi
pendukung kelestarian sumber daya hutan. Keberhasilan ini tidak lepas dari
dorongan dan dukungan LSM KAIL agar pihak tersebut bersedia menghentikan segala
aktifitas ilegal dan beralih profesi untuk memperoleh pendapatan yang halal. Selain
itu, TOGA Sumber Waras merupakan pihak yang memperoleh keuntungan dari
adanya natural insurance ini. Pihak ini dapat meningkatkan pendidikan anak-anaknya
hingga sarjana dan keluar dari desa ketika memperoleh akses untuk ikut mengelola
lahan rehabilitasi di TNMB serta dibantu mendirikan usaha pengolahan obat
141

tradisional skala rumah tangga. Bagi pihak ini, peranan LSM KAIL dalam mengubah
nasib dari seorang buruh tani menjadi petani-pengusaha telah mengubah
gambarannya atas sumber daya tumbuhan obat. Tumbuhan obat menjadi tumpuan
harapan untuk mendapatkan kehidupan ekonomi yang lebih baik. Dalam beberapa
hal, kegiatan pemberdayaan yang dilakukan oleh LSM KAIL dapat dikatakan sebagai
bentuk jaring pengaman sosial (social safety net) dibandingkan untuk mendukung
keberlangsungan hidup (sustainability livelihood) masyarakat miskin di sekitar hutan.
Program sustainability livelihood dapat dikatakan berhasil apabila terdapat ciri-ciri
sebagai berikut: a. masyarakat miskin di sekitar hutan memiliki kelenturan terhadap
kejutan dan tekanan; b. terbebas dari dukungan pihak luar (external); c. memiliki
kemampuan untuk mengelola produktivitas cadangan sumberdaya alam, termasuk
tumbuhan obat; d. tidak memberikan pengaruh yang merugikan pada pihak lain
(Karki et al. 2003).

2.4.2. Layanan Kesehatan Tradisional


2.4.2.1. Biaya Manfaat
Pada Tabel 22 dan Gambar 15 terlihat bahwa pasien pengobat tradisional
mendapatkan biaya manfaat tertinggi yaitu sebesar 16.67 sehingga dengan nilai
manfaat sebesar itu pihak ini bersedia berpartisipasi dalam pelayanan obat tradisional
(Klemperer 1997). Tetapi pada Gambar 12 terlihat bahwa posisi pihak ini berada
pada subject dan bukan pada key player. Artinya kesediaan pihak ini pada layanan
kesehatan tergantung pada seberapa besar kepentingannya terhadap layanan obat
tradisional. Tabel 30 juga memperlihatkan bahwa motivasi dan persepsi para pihak
untuk terlibat dalam pelayanan obat tradisional dikendalikan oleh aspek sosial. Aspek
sosial yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan di mana jasa yang diberikan oleh
penyembuh kepada pasiennya berupa obat tradisional. Secara finansial, para pihak
yang terdapat pada key players memiliki kesempatan untuk memperoleh manfaat
lebih besar karena mengendalikan permintaan pasien atas obat tradisional. Pengobat
tradisional dan klinik radiastesi adalah pihak-pihak yang memiliki permintaan
142

layanan pengobatan tradisional yang paling tinggi dengan jumlah pasien antara 4.000
sampai dengan 90.000 orang per tahun (Gambar 12).
Terkait dengan kebijakan, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengatur kegiatan pengobatan tradisional
sebagai bentuk layanan kesehatan di mana peran serta seorang penyembuh tradisional
diakui keberadaannya. Pemerintah bertanggungjawab dan menjamin kesehatan
maksimal setiap warga negara sehingga keberadaan fasilitas kesehatan seperti vaksin,
obat-obatan, klinik dan rumah sakit, sumber daya manusia, teknologi dan lain-lain
disediakan oleh negara. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 003/Menkes/Per/I/2010
tentang Saintifikasi Jamu dalam Penelitian Berbasis Layanan Kesehatan, obat
tradisional menjadi salah satu bagian untuk mencapai tujuan dari Undang-Undang
Kesehatan dalam ranah layanan kesehatan komplementer-alternatif. Dari sisi ini,
pengobat tradisional memperoleh manfaat di mana secara politik posisinya diakui
karena memiliki pengetahuan dan teknik-teknik yang berbeda dari pengobatan
konvensional. Dalam politik ekologi, manfaat yang diterima oleh pengobat
tradisional ini menimbulkan sejumlah konflik karena tidak ditemukan adanya evident
based yang cukup untuk melayani pasien. Penyembuhan yang dilakukan oleh
pengobat tradisional lebih pada pengalaman empiris, tetapi hal tersebut justru
menempatkan pengobat tradisional menjadi tokoh yang posisinya amat kuat dalam
layanan pengobatan tradisional (Gambar 12), dimana motivasi dan persepsi layanan
sosial amat tinggi (Tabel 30). Profesi yang terlibat dalam bentuk layanan ini mulai
dari dokter, apoteker, pastor, ibu rumah tangga, paranormal/sinse dan lain sebagainya
di mana pendidikan formal yang dimiliki kerap kali tidak sejalan dengan layanan
kesehatan yang dilakukannya (Beers 2013; Jehani 2008). Hal ini berbeda dengan
persyaratan tenaga kesehatan komplementer yang terdapat dalam Undang-Undang
Kesehatan dimana formalitas pendidikan dibutuhkan untuk mencapai kualitas layanan
kesehatan yang maksimal.
Dari sisi biaya manfaat, layanan kesehatan komplementer yang disediakan
oleh pemerintah di rumah sakit dan klinik lebih besar dibandingkan yang dilayani
oleh pengobat tradisional. Dalam sekali layanan, pasien harus menebus obat
143

tradisional sebesar Rp 500.000 per resep dan tidak dijamin oleh JKN untuk
mengganti resep obat tersebut. Tetapi dari jumlah pasien yang dilayani, hanya sedikit
yang bersedia menerima layanan komplementer alternatif di rumah sakit maupun
puskesmas yaitu berkisar 51 sampai dengan 1312 pasien per tahun. Jumlah ini jauh
lebih kecil dari pasien yang dilayani oleh pengobat tradisional. Dari data ini terlihat
bahwa terdapat sejumlah celah informasi yang asimetris sehingga layanan kesehatan
tradisional belum berjalan maksimal. Terkait dengan pemetaan para pihak,
pertarungan biaya manfaat sesungguhnya terjadi pada ranah evident based terhadap
obat tradisional di mana pelaku yang mendukung pengobatan komplemeter
berhadapan dengan pelaku yang mendukung pengobatan konvensional yang diwakili
oleh Pengurus IDI wilayahYogyakarta. Ciri kapitalistik pada evident based obat
tradisional terlihat pada langkanya produk tersebut dapat diperoleh masyarakat,
sedangkan tugas negara adalah menjamin tersedianya fasilitas tersebut. Sampai saat
ini baru 8 jenis obat tradisional yang memenuhi kategori evident based dan
dimasukan dalam kelas fitofarmaka.
Konflik ekologi politik yang lain dalam layanan pengobatan tradisional terjadi
antara layanan kesehatan yang bersifat sosial dengan layanan kesehatan yang bersifat
bisnis. Pada Gambar 12, GP Jamu Yogyakarta mewakili kepentingan bisnis dan
dalam wawancara terungkap bahwa layanan kesehatan komplementer bagi kelompok
bisnis belum menguntungkan. Artinya bahwa untuk mencapai evident based yang
diinginkan terhadap obat tradisional, penelitian untuk mencapai tahapan tersebut
tidak dapat diserahkan kepada pihak bisnis. Negara harus bersedia mengambil alih
tugas tersebut agar peran sosialnya sebagai bentuk tanggungjawab atas kesehatan
warga negara dapat terwujud (Gramsci 2013). Oleh sebab itu, perbaikan terhadap
tata kelola dan kelembagaan pengobatan tradisional di Indonesia mendesak dilakukan
karena secara politik kedudukan pengobatan tradisional amat strategis. Indonesia
memilik kekayaan melimpah terhadap sumber-sumber bahan bakunya di hutan alam
sehingga hal ini dapat menjadi posisi tawar apabila terjadi embargo terhadap obat
farmasi. Hubungan antara sumber plasma nutfah di hutan alam dengan pusat-pusat
144

pengobatan tradisional di kota harus sinergis dan memberikan manfaat yang


berimbang di antara keduanya (Gramsci 2013).

18
16
14
12
10
8
6
4
2
0

Gambar 15. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Layanan Kesehatan

2.4.2.2. Biaya Transaksi


Yustika (2006) menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi, memaksakan pertukaran dan
melakukan pengukuran. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pajak, komisi dan biaya
transfer (Collins & Fabozzi 1991). Dalam kegiatan perdagangan biaya transaksi
memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu ad valorem di mana biaya transaksi
didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari
produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan, hambatan
kebijakan (tarif dan non tarif), biaya informasi, biaya kontrak, biaya karena
penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya distribusi lokal
(wholesale dan retail). Biaya ini biasanya berupa pajak dan pungutan-pungutan resmi,
misalnya biaya administrasi karena menggunakan kartu debit pada bank (Wang 2010;
Crozet & Soubeyran 2004). Selain bersifat ad valorem, biaya transaksi juga ada yang
bersifat lump sum yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk
mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang memiliki tingkat resiko tinggi
(Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu 2004). Biaya transaksi yang bersifat lump
sum tetap mendorong terjadinya perdagangan apabila biaya transaksi tersebut lebih
145

rendah dari nilai aset beresiko yang diperdagangkan, tetapi apabila lebih tinggi maka
perdagangan tidak akan terjadi. Apabila perdagangan terjadi biasanya terdapat
kerugian berupa penurunan penerimaan diantara para pedagang dan mereka akan
melakukan pengaturan untuk mengurangi biaya lump sum tersebut (Barron & Karpoff
2002). Apabila dilihat dari proses terjadinya, biaya transaksi juga dikategorikan atas
dua sifat yaitu ex post dimana biaya transaksi didefinisikan sebagai biaya-biaya yang
dikeluarkan setelah terjadinya produksi dan ex ante yaitu biaya transaksi yang
dikeluarkan sebelum terjadinya produksi (Tita et al. 2011).
Pada Tabel 15 terlihat bahwa biaya transaksi yang terjadi pada klaster layanan
kesehatan terdiri atas ad valorem dan lump sum. Biaya transaksi ad valorem berupa
tarif atas jasa pengobatan, pajak yang dibayarkan oleh klinik, asuransi kesehatan bagi
karyawan, asuransi tenaga kerja, pengurusan ijin produk dan perpanjangan paten
merek, sedangkan lump sum terdiri atas komisi bagi distributor obat tradisional yang
diberikan oleh industri obat tradisional dan subsidi bagi pasien tidak mampu yang
dibayarkan setiap bulan kepada klinik pengobatan tradisional radiasthesi. Dalam
wawancara, kedua jenis biaya transaksi tersebut diketahui dan disepakati oleh para
pihak kepada pihak lain sehingga terdapat kepastian di antara para pihak. Pada klaster
layanan kesehatan, biaya transaksi yang paling banyak adalah jenis ad valorem tetapi
untuk transaksi yang paling besar nilainya terdapat pada jenis lump sum yaitu komisi
yang dibayarkan kepada distributor. Kedua jenis biaya transaksi ini dapat dilacak
pada pihak klinik pengobatan tradisional, perusahaan jamu tradisional, kios jamu
gendong dan asosiasi jamu. Biaya transaksi tersebut bersifat resmi. Artinya
keberadaan biaya transaksi, meskipun menimbulkan biaya, dapat memberi kepastian
berusaha kepada para pihak obat tradisional di klaster layanan kesehatan. Adanya
kepastian tersebut membuat biaya transaksi yang dikeluarkan dapat dihitung dan
dikendalikan.
Terkait dengan pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat,
keberadaan biaya transaksi ini tidak menimbulkan konflik karena mengakomodir
kepentingan para pihak untuk berusaha. Keberadaan pajak menunjukan bahwa
kegiatan layanan kesehatan yang dilakukan oleh para pihak bersifat formal sehingga
146

dalam melaksanakan aktifitasnya dapat dilakukan secara terbuka. Kepastian berusaha


juga menggambarkan bahwa para pihak mengikuti aturan bersama yang berhubungan
dengan jasa layanan kesehatan yang diberikan kepada pasien atau pelanggannya.
Modernitas dalam layanan kesehatan juga telah mengubah arah pelayanan
kesehatan yang semula bersifat tradisional konvensional menjadi tradisional modern.
Perubahan ini menyebabkan permintaan atas layanan obat tradisional meningkat
karena adanya kepercayaan (trust) terhadap layanan sehingga meningkatkan
penawaran terhadap tumbuhan obat. Selain itu, biaya transaksi yang terjadi juga
memberikan pendapatan berupa pajak bagi negara melalui industri jasa pelayanan
obat tradisional sehingga pemerintah berkewajiban menjaga kelangsungan hidup
industri ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa biaya transaksi selain
meningkatkan biaya, juga dapat memberi kepastian berusaha bagi para pihak dan
mengubah wajah pelayanan obat tradisional menjadi ramah terhadap konsumen,
sehingga pasien memiliki pilihan yang lebih banyak terhadap layanan kesehatan
selain pengobatan konvensional.
Modernitas yang ditawarkan oleh layanan kesehatan obat tradisional
menunjukan wajah kapitalisme tetapi dapat dikatakan bahwa kapitalisme yang
digunakan bersifat moderat karena pengobat tradisional tidak menerapkan harga yang
mahal terhadap layanan yang diberikan. Hal ini karena modernitas yang ditawarkan
dikendalikan oleh jiwa sosial yang dimiliki pengobat tradisional. Hal yang perlu
diperhatikan dalam klaster ini sehubungan dengan biaya transaksi adalah adanya
monopoli terhadap bahan obat tradisional di mana pengobat tradisional tergantung
pada pihak lain sebagai pembuat obat tradisional. Hak paten atas obat tradisional
yang dimilikinya dapat “menyingkirkan” pengobat tradisional apabila penawaran atas
kebutuhan obat tersebut dihentikan sehingga merugikan pasien atau konsumen (lihat
Lampiran 6). Hal ini mungkin terjadi jika pengobat tradisional tidak memiliki hak
untuk membuat obat tradisional secara mandiri karena sudah dipatenkan oleh pihak
lain. Oleh sebab itu dibutuhkan pengaturan di antara keduanya agar pasien tidak
dirugikan, contohnya pulosari. Ramuan obat tradisional yang terdiri atas campuran
pulosari sudah dipatenkan oleh pembuatnya.
147

2.4.2.3. Natural Insurance


Terkait dengan fungsi pendapatan cadangan bagi para pihak, terdapat dua
jenis natural insurance yaitu pemanfaatan tumbuhan obat untuk menambah
pendapatan keluarga ketika pendapatan dari sumber utama mengalami penurunan.
Pendapatan ini disebut sebagai jaring pengaman (safety net) bagi keluarga. Hal yang
lain adalah batu tangga (stepping stone) yaitu pendapatan yang digunakan oleh
keluarga untuk memenuhi kebutuhan membayar pendidikan bagi anggota keluarga
(Schreckenberg et al, 2006; Sill et al 2011; Dzerefos et al, 2012).
Pada Tabel 15 terlihat bahwa nilai natural insurance tertinggi terdapat pada
safety net yaitu melalui kegiatan promosi yang dilakukan oleh perusahaan jamu
tradisional. Pada bulan Agustus - September, penjualan obat tradisional dari
perusahaan ini cenderung menurun 50 persen sehingga mengganggu cash flow
perusahaan. Promosi diharapkan dapat meningkatkan pendapatan meskipun tidak
sebesar di luar bulan Agustus - September. Tabel 15 juga memberi informasi tentang
adanya stepping stone dalam natural insurance yaitu berupa kegiatan penelitian
terhadap obat tradisional sehingga diharapkan hasilnya dapat memberikan manfaat
bagi masyarakat di masa depan. Meskipun demikian, secara keseluruhan para pihak
yang terdapat pada klaster layanan kesehatan mayoritas tidak mengakui memiliki
natural insurance. Artinya bahwa para pihak yang terdapat pada klaster layanan
kesehatan berada pada posisi yang cukup rentan karena tidak memiliki cadangan
pendapatan.
Terkait dengan ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, keberadaan
promosi dan penelitian dapat mengurangi tekanan terhadap tumbuhan obat di alam
karena keduanya dapat mendorong terwujudnya kegiatan budidaya atas tumbuhan
obat potensial yang memiliki manfaat paling baik. Adanya kegiatan budidaya dapat
menjamin tersedianya bahan baku tumbuhan obat yang dibutuhkan oleh klaster
layanan kesehatan sehingga dapat mengurangi biaya transaksi akibat adanya
kelangkaan. Meskipun budidaya tumbuhan obat membutuhkan investasi yang besar
pada awalnya, tetapi biaya tersebut perlahan-lahan akan menurun seiring dengan
pendapatan yang diperolehnya. Beberapa keuntungan yang diperoleh melalui
148

kegiatan budidaya antara lain, (a) bahan baku tumbuhan obat lebih terkelola
dibandingkan mengambil dari hutan alam; (b) peran pengepul yang mengambil
keuntungan jauh lebih besar dari petani dapat dikendalikan karena harga bahan baku
menjadi lebih murah sehingga memaksa pengepul dan petani menyelaraskan
informasi yang dimilikinya agar terjadi perdagangan; (c) mengurangi potensi
pemungutan bahan baku dari hutan alam sehingga dapat mengurangi peran tradisional
pendarung. Oleh sebab itu, pendarung perlu diberdayakan agar pengetahuan
tradisionalnya mengenai bahan baku obat dan musim berbuah tidak musnah.

2.4.3. Industri Obat Tradisional


2.4.3.1. Biaya Manfaat
Pada Tabel 29 dan Gambar 16 biaya manfaat tertinggi diperoleh kios jamu
modern dan apoteker dengan nilai sebesar 10.91 dan 10. Tetapi apabila dibandingkan
dengan nilai finansial yang diperoleh, industri jamu dan media memiliki pendapatan
finansial yang jauh lebih tinggi dibandingkan kios jamu modern dan apoteker.
Penyebab tingginya pendapatan yang diperoleh industri jamu dan media karena
volume obat tradisional dan informasi yang dijualnya melampaui pendapatan yang
diperoleh kios jamu modern dan apoteker. Kapital yang dimilikinya juga digunakan
untuk membeli bahan baku obat tradisional dan informasi untuk diolah menjadi bahan
setengah jadi atau bahan jadi. Proses ini melibatkan teknologi, sumberdaya manusia,
jaringan pasar dan lain sebagainya. Gambar 13 menunjukan bahwa posisi para pihak
merupakan key players yang dikendalikan oleh faktor kepentingan dan pengaruh yang
sangat tinggi terhadap bahan baku tumbuhan obat. Kepentingan ekonomi para pihak
yang dicerminkan oleh Tabel 30 juga menunjukkan posisi yang amat tinggi yaitu
sebesar 83.33 persen untuk persepsi dan 75 persen untuk motivasi. Terkait dengan
ekologi politik pemanfaatan tumbuhan obat, tabel dan gambar tersebut menunjukan
bahwa industri tumbuhan obat merupakan lokomotif ekonomi yang menggerakan
permintaan terhadap tumbuhan obat. Kapital digunakan untuk membeli dan
mengendalikan permintaan sehingga arus bahan baku tumbuhan obat dari klaster
produksi bergerak menuju klaster industri. Penumpukan kapital yang dimiliki oleh
149

industri obat tradisional juga menunjukan bahwa pemanfaatan bahan baku tumbuhan
obat pada klaster ini bersifat kapitalistis dimana ke arah hulu industri mengendalikan
permintaan dan ke arah hilir industri juga mengendalikan penawaran. Hal ini terjadi
karena adanya asimetris informasi di antara kedua klaster yang ditunjukan oleh
perbedaan harga yang mencolok, kapital, teknologi dan sumber daya manusia yang
digunakan. Akibat informasi asimetris pihak yang kuat diuntungkan untuk
mengendalikan pasar obat tradisional.

12
10
8
6
4
2
0

Gambar 16. Biaya Manfaat Para Pihak pada Klaster Industri

Manfaat yang diperoleh industri obat tradisional semakin besar ketika


aktifitasnya didorong oleh media (Bennet 2003). Media berperanan penting karena
dapat mendorong bertumbuhnya industri kecil baru yang bergerak pada sektor
tersebut sehingga menciptakan terjadinya multiplier effect ekonomi pada pemanfaatan
tumbuhan obat (Bhattacharjee 2012; Kitzberger 2012; Sill et al. 2011). Dampaknya,
permintaan tumbuhan obat meningkat sehingga mendorong meningkatnya
pemungutan terhadap tumbuhan obat di sekitar kawasan hutan. Harapannya melalui
kegiatan ini pendapatan masyarakat sekitar hutan juga meningkat (Kunwar et al.
2009). Peningkatan permintaan terhadap bahan baku ini apabila tidak dikendalikan
dapat mendorong terjadinya kelangkaan tumbuhan obat di alam (Panwar & Sharma
2011; Adiputera 2007; Pilgrim et al. 2007). Oleh sebab itu, perbaikan terhadap
kelembagaan tumbuhan obat mulai dari tingkat produksi hingga industri perlu
150

dilakukan agar kelestarian ekonomi dan ekologi dapat terjaga (Bartens 2013; Conley
& Moote 2003).

2.4.3.2. Biaya Transaksi


Yustika (2006) menyebutkan bahwa biaya transaksi merupakan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk melakukan negosiasi, memaksakan pertukaran dan
melakukan pengukuran. Biaya-biaya tersebut dapat berupa pajak, komisi dan biaya
transfer (Collins & Fabozzi 1991). Dalam kegiatan perdagangan biaya transaksi
memiliki dua sifat yang berbeda, yaitu ad valorem di mana biaya transaksi
didefinisikan sebagai biaya-biaya yang dikeluarkan melalui perdagangan mulai dari
produsen hingga pengguna akhirnya, biaya transportasi di pelabuhan, hambatan
kebijakan (tarif dan non tarif), biaya informasi, biaya kontrak, biaya karena
penggunaan mata uang yang berbeda, biaya resmi, dan biaya distribusi lokal
(wholesale dan retail). Biaya ini biasanya berupa pajak dan pungutan-pungutan resmi,
misalnya biaya administrasi karena menggunakan kartu debit pada bank (Wang 2010;
Crozet & Soubeyran 2004). Selain bersifat ad valorem, biaya transaksi juga ada yang
bersifat lump sum yaitu biaya-biaya yang dikeluarkan oleh seseorang untuk
mengendalikan hak kepemilikan atas aset-aset yang memiliki tingkat resiko tinggi
(Zhang 2000; Barron & Karpoff 2002; Liu 2004). Pada Tabel 30 terlihat bahwa
sebagian besar biaya transaksi yang dimiliki oleh industri obat tradisional bersifat ad
valorem, artinya bahwa biaya transaksi tersebut dikeluarkan setelah terjadinya
produksi dalam bentuk pajak dan subsidi iklan. Bagi para pihak keberadaan biaya
transaksi ini memberi kepastian berusaha dan menunjukan kekuasaannya untuk
mengendalikan permintaan atas sumber daya. Biaya transaksi ad valorem paling
besar ditemukan pada industri obat tradisional skala menengah hingga besar dan pada
industri media. Bagi pemerintah, biaya transaksi tersebut memberikan kepastian
penerimaan pajak dan tetap beroperasinya media nasional sehingga informasi terkait
pemberitaan politik, ekonomi, sosial, perdagangan dan lain-lain tetap terjamin
keberadaannya. Hal ini membantu pemerintah dalam mensosialisasikan informasi
terkini kepada masyarakat luas.
151

Terkait dengan ekologi politik, kekuasaan industri jamu dan media dalam
mengendalikan permintaan terhadap tumbuhan obat dan informasi, di satu sisi
melestarikan pemanfaatan tumbuhan obat dan berkembangnya industri kecil baru
yang bergerak pada usaha serupa. Tetapi di sisi lain, permintaan dan informasi
tersebut dapat mendorong eksploitasi yang semakin besar pada sumberdaya
tumbuhan obat dengan bertambahnya industri kecil baru. Salah satu contohnya adalah
pulosari. Dalam wawancara dengan pedagang di pasar Nguter dan pengusaha UKOT
menyebutkan bahwa jenis ini sudah langka di pasaran dan diperoleh bukan dari
budidaya melainkan dari ekstraksi di alam. Nilai pajak yang diperoleh pemerintah
melalui pemanfaatan tumbuhan obat secara tidak langsung berpotensi mengurangi
keberadaan tumbuhan obat di alam. Hal ini menunjukan bahwa transaksi ad valorem
belum efisien dalam pengelolaannya, sehingga dibutuhkan adanya intervensi
pemerintah agar banyak pihak bersedia terlibat memperbaiki kelembagaan dan
informasi asimetris yang terjadi pada pemanfaatan tumbuhan obat. Permasalahan
pada harga jual, lokasi budidaya dan sumber daya manusia mendesak diperbaiki agar
kualitas dan kuantitas bahan baku meningkat. Insentif berupa keringanan pajak bagi
para pihak juga diperlukan agar bersedia meningkatkan komitmen terhadap
kelestarian bahan baku di hutan alam (Tabel 30).

2.4.3.3. Natural insurance


Pada Tabel 31 terlihat bahwa hampir semua pihak tidak memiliki natural
insurance baik berupa safety net maupun stepping stone, kecuali UD Bisma, PT
Javaplant dan GP Jamu Jateng. Safety net yang dimiliki oleh UD Bisma dan PT
Javaplant berupa peluang pengembangan produk bahan obat tradisional baru sebagai
langkah apabila produk obat tradisional yang dimilikinya saat ini mengalami
kejenuhan pasar. Salah satu bahan baku yang memiliki nilai pasar sangat tinggi
adalah kesumba keling (Bixa orellana L.) sebagai bahan pewarna. Tanaman ini
menyenangi iklim tropis dan memiliki zat warna merah/kuning yang dihasilkan dari
kulit biji serta digunakan mewarnai mentega keju, bahan anyaman, pengecat kuku
dan lipstik. Selain itu, kesumba keling dapat digunakan untuk mengobati demam,
152

diare, kurang nafsu makan, masuk angin, beri-beri, pendarahan dan detoksifikasi
(Delimartha 2009; Hariana 2008).
Dalam ekologi politik tumbuhan obat, kesumba keling merupakan jenis yang
berasal dari benua Amerika yang beriklim tropis sehingga cocok ditanam di
Indonesia. Tetapi kehadiran jenis ini di Indonesia dapat menambah daftar spesies
eksotik sehingga keberadaannya dapat mengancam spesies tumbuhan obat lokal.
Selain itu, safety net yang dimiliki oleh industri obat tradisional dapat digunakan
untuk mengembangkan obat tradisional secara spesifik di mana tidak setiap orang
dapat memiliki akses yang sama terhadap peluang tersebut. Industri obat tradisional
dapat mengendalikan seluruh aspek produksi sampai pemasarannya dan dapat
menjadi pembeli tunggal atas sumber daya tersebut karena mengendalikan
permintaan pasarnya. Situasi ini disebut sebagai monopsoni (Ribot & Peluso 2003).
Oleh sebab itu, dalam ekologi politik tumbuhan obat, safety net dapat bersifat
kapitalistis apabila pemanfaatan jenis eksotik untuk kebutuhan pasar kurang
mempertimbangkan kelestarian jenis lokal, pengendalian terhadap mating systemnya,
pengelolaan sumber daya manusia dan lain sebagainya. Intinya, pengendalian
terhadap seluruh sistem budidaya untuk menghasilkan keuntungan ekonomi tidak
dapat dilepaskan dari kelestarian jenis lokal di lapangan apalagi jenis-jenis yang
diketahui memiliki fungsi yang kurang lebih sama sehingga menyebabkan terjadinya
kompetisi pemanfaatan.

2.5. Kelestarian Bahan Baku Tumbuhan Obat


Bahan baku tumbuhan obat yang digunakan oleh para pihak yang terdapat
pada masing-masing klaster merupakan komoditas utama yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki manfaat yang besar (Lampiran 1 & 2). TN Meru
Betiri sebagai gudang bahan baku tumbuhan obat bersama dengan taman nasional
lainnya di Indonesia menyimpan berbagai kekayaan sumberdaya tersebut (Zuhud et
al. 2009). Berdasarkan data penelitian (Tabel 9, 16 dan 23) dapat diketahui bahwa
pelaku pemanfaat tumbuhan obat mulai dari sektor hulu sampai dengan hilir terdiri
dari bermacam-macam pihak. Keterlibatan pemerintah, perguruan tinggi, industri
153

swasta, industri rumah tangga, asosiasi, koperasi, LSM, pengobat


tradisional/paranormal, rumah tangga hingga kelompok religius dalam pemanfaatan
tumbuhan obat telah membentuk jejaring informasi yang kuat terhadap keberadaan
tumbuhan obat. Jejaring tersebut terbentuk karena adanya permintaan terhadap bahan
baku tumbuhan obat sebagai sebuah kebutuhan dari manusia, sehingga bersifat
antroposentrisme (Keraf 2010). Jejaring yang dibangun mulai dari hilir ke hulu
menyebabkan ekstraksi terhadap bahan baku tumbuhan obat mengalir keluar dari TN
Meru Betiri untuk melayani kebutuhan industri dan layanan kesehatan serta berakhir
pada sektor rumah tangga sebagai pengguna akhirnya. Jejaring pemanfaatan
tumbuhan obat ini masih belum efisien karena masih dijumpai sejumlah biaya
transaksi yang cukup besar pada masing-masing klaster (Kartodohardjo 2008).

2.5.1. Peran Negara dalam Kelestarian


Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila tercantum
bahwa negara menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai
bidang. Pasal 33 UUD 1945 juga menjamin bahwa sumber daya alam yang ada di
Indonesia digunakan untuk kemakmuran rakyat, artinya selama NKRI masih berdiri
maka selama itu pula sumber daya alam yang ada digunakan untuk kepentingan
rakyat. Oleh sebab itu, kelestarian terhadap sumber daya alam tersebut merupakan
kata kunci dalam pemanfaatannya.
Pada kenyataannya, pemanfaatan sumber daya alam selalu mengalami
ketimpangan, tidak terkecuali tumbuhan obat. Gramsci (2013) menggambarkan
ketimpangan tersebut dalam hubungan desa dan kota di mana, kota selalu lebih maju
dan menggunakan sumber daya alamnya untuk mengendalikan desa. Pernyataan
Gramsci ini dituliskan dalam buku Prison Notebooks untuk menggambarkan
pertarungan politik di antara aktor pada kedua kubu tersebut di mana sumber daya
masing-masing kubu seperti lahan pertanian, akses ekonomi dan lain sebagainya
dipertaruhkan untuk memperoleh kendali atas kekuasaan di Italia. Simon (2011)
menggambarkan relasi ekonomi antara kota dan desa sebagai relasi antara negara
dunia pertama dan negara dunia ke tiga di mana imperialisme merupakan sumber
154

terjadinya ekspolitasi kota terhadap desa. Relasi kota dan desa tersebut merupakan
bentuk struktural dari pusat (center) dan pinggiran (periphery) di mana pada dimensi
ruang selalu berhubungan dengan aspek politik, ekonomi atau budaya (Zarycki 2007;
Ackerman & Eden 2011; Scharpf 1997).
Dalam implementasi UUD 1945, pemerintah bersama DPR telah menetapkan
berbagai undang-undang yang memungkinkan terkelolanya kawasan hutan seperti
UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, UU No 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dan berbagi peraturan turunannya, tetapi kondisi
sumber daya hutan tetap mengalami pengurasan. Penelitian tentang pemetaan para
pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat ini juga melihat bahwa kepentingan utama
dari para pihak yang terlibat di dalamnya adalah aspek ekonomi, sedikit sekali aspek
kelestarian menjadi pertimbangan utama para aktor yang terlibat. Para pihak yang
terletak pada klaster produksi dan layanan kesehatan lebih banyak berada pada posisi
menjual sumber daya tumbuhan obat, sedangkan pada klaster industri obat tradisional
adalah pembeli sumber daya tumbuhan obat (lihat lampiran 3). Relasi di antara para
pihak telah menciptakan hubungan penjual dan pembeli sumber daya tumbuhan obat
sehingga perilaku di antara mereka dominan dikendalikan oleh pasar yang bersifat
monopsoni. Situasi ini merupakan gambaran bahwa kapitalisme juga terlibat dalam
pemanfaatan tumbuhan obat meskipun tidak semasif dalam pemanfaatan kayu yang
berasal dari hutan alam. Kapitalisme dalam pemanfaatan tumbuhan obat
menciptakan iklim yang tidak adil, meskipun peraturan perundangan telah
menyusunnya seadil mungkin dalam pemanfaatan di lapangan. Lemahnya
kelembagaan dan informasi asimetris mengenai pemanfaatan antara sektor produksi
dengan industri obat tradisional merupakan masalah yang perlu segera dipecahkan
agar eksploitasi terhadap sumberdaya tumbuhan obat dapat dikurangi. Terkait dengan
permasalahan lingkungan yang terjadi di dunia pada umumnya, Giddens (1998)
mengusulkan agar sosialisme dapat “disuntikan” ke dalam tubuh kapitalisme untuk
mengurangi dampak merugikan kapitalisme terhadap lingkungan. Harapannya,
melalui tindakan tersebut dapat dilahirkan suatu sistem ekonomi politik yang baru
yang disebut demokrasi sosial yang dapat memperbaiki pengelolaan lingkungan.
155

Bentuk demokrasi sosial di Indonesia adalah Pancasila. Hanya saja, ketika sistem
ekonomi berbasis rente merupakan landasan yang dipakai untuk bergerak, maka
sistem kapitalisme ekonomi kembali berperan di dalamnya. Dalam situasi ini, negara
harus mengambil lebih banyak peran agar kelestarian sumber daya tumbuhan obat
tidak mengalami penurunan yang nyata. Hal ini juga sekaligus melaksanakan amanat
pasal 33 UUD 1945 (Soedomo 2012).
Salah satu bentuk hadirnya negara dalam pemanfaatan tumbuhan obat adalah
terjaminnya rasa aman para pihak dalam memanfaatan sumber daya tersebut, tersedia
sepanjang tahun dan memperoleh kepastian harga jual yang layak sehingga tingkat
sosial dan ekonomi para pihak, khususnya yang dekat dengan hutan seperti
pendarung dan petani, dapat meningkat (Stenley et al. 2012; Wondolleck & Yaffee
2000). Terjaminnya rasa aman juga dapat diwujudkan melalui kehadiran aparatur
negara dalam mengawal sumber daya tumbuhan obat yang bebas dari aksi pencurian,
baik yang ditanam pada lahan milik mau pun pada lahan milik negara. Untuk
peningkatan produktifitas bahan baku tumbuhan obat, kegiatan budidaya pada lahan
rehabilitasi hutan TNMB dapat melibatkan tenaga ahli lintas lembaga untuk
mendampingi pendarung mau pun petani sehingga kualitas dan kuantitas bahan baku
tumbuhan obat dapat memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh klaster layanan
kesehatan mau pun klaster industri. Dengan tersedianya rasa aman, akses pendarung
dan petani terhadap sumber daya hutan dan dampingan para ahli, negara telah
menjalankan fungsinya untuk membela kepentingan para pihak yang posisinya paling
lemah. Selain hal tersebut, pendapatan (gaji) para pendamping dan aparat sipil perlu
ditingkatkan agar mereka memiliki komitmen yang tinggi untuk mendampingi
pendarung dan petani untuk mencapai tujuan pemanfataan tumbuhan obat yang
lestari. Biaya transaksi yang timbul akibat pemungutan bahan baku tumbuhan obat
potensial juga dapat ditekan sehingga para pendamping dan aparat sipil enggan
terlibat dalam jaringan pemanfaatan tumbuhan obat ilegal karena sudah memiliki
jaminan pendapatan yang cukup dari negara. Dengan demikian berarti bahwa negara
telah benar-benar menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 untuk mensejahterakan
156

rakyat yang terdapat di desa-desa sekitar hutan dalam memanfaatkan sumber daya
tumbuhan obat.
2.5.2. Pemanfaatan Ruang Budidaya Tumbuhan Obat
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan telah mengatur
penggunaan ruang untuk kegiatan pengelolaan hutan yang melibatkan berbagai
elemen dalam masyarakat, baik pemerintah, LSM, masyarakat adat, maupun
kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat desa. Pengaturan ini memberi
kepastian pada para pihak untuk memanfaatkan hutan baik pada hutan produksi,
konservasi maupun pada kawasan lindung. Keduanya menjadi modal alam dan
modal sosial bagi para penggunanya (Suminar 2013; Balooni et al. 2010; Van De
Valk 2008; Simpson 2005; Feldman & Assaf 1999). Dalam politik politik
pemanfaatan tumbuhan obat, keberadaan ruang budidaya merupakan hal penting
yaitu dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan permintaan tumbuhan obat dari
sektor hilir sehingga mengurangi dampak merugikan terhadap tumbuhan obat yang
dilakukan oleh pihak-pihak penggunanya. Hal ini diperlukan agar proses produksi
pada masing-masing klaster tidak terganggu pada jangka panjang. Artinya rantai
pemanfaatan tumbuhan obat yang pertama yaitu pendarung tidak perlu lagi mencari
bahan baku hingga jauh ke dalam hutan. Pengembangan zona rehabilitasi pada
kawasan TN Meru Betiri sebagai alternatif untuk budidaya tumbuhan obat alam
sangat mungkin dioptimalkan (Nurrochmat & Hasan 2010; Vandebroek et al. 2004;
Hernock 1992). Selain itu, kawasan tradisional yang terdapat pada kawasan hutan
produksi juga dapat difasilitasi agar akses informasi terhadap pasar, teknologi dan
kapital juga dimiliki. Persoalannya, ketika akses-akses tersebut dibuka maka tindakan
budidaya dapat meningkatkan penawaran atas tumbuhan obat sehingga ketika
jumlahnya meningkat justru akan menurunkan harga jualnya. Hal ini dapat diatasi
dengan pengelolaan kelembagaan yang mantap pada sektor hulu sehingga pasokan
dan permintaan dapat disesuaikan agar tidak menjatuhkan harga bahan baku. Oleh
sebab itu, pengembangan sektor layanan kesehatan obat tradisional yang saat ini telah
dimulai oleh pemerintah dapat menjadi cara untuk mengatasi kemungkinan jatuhnya
harga bahan baku tersebut di masa depan. Peningkatan terhadap aspek pelayanannya
157

dapat mendorong terjadinya perbaikan terhadap kualitas layanan pengobatan


tradisional di rumah sakit maupun di klinik atau puskesmas. Peningkatan kapasitas
para pelaku, khususnya klinik pengobatan tradisional swasta, juga diperlukan untuk
menselaraskan kepentingan di antara para pihak.

3. Sintesis
Berdasarkan data penelitian yang dihasilkan pada ketiga klaster, sintesis yang
dihasilkan dari penelitian ini adalah mendorong terjadinya kebijakan pemungkin
(enabling policy) dalam pemanfaatan tumbuhan obat secara lestari. Kebijakan
pemungkin dapat mendorong terjadinya perbaikan akses pada masyarakat di
pedesaan, misalnya dalam hal memperoleh energi listrik terbarukan melalui sinar
matahari dan angin. Energi tersebut dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar
masyarakat pedesaan agar dapat hidup lebih baik dan menggerakan ekonomi lokal.
Sehubungan sintesis penelitian berupa kebijakan pemungkin, sekurangnya terdapat
empat aspek yang dihasilkan, yaitu:
5.1. Aspek Budidaya Tumbuhan Obat
Perbaikan pemanfaatan kawasan produksi di sekitar TNMB untuk menghasilkan
bahan baku tumbuhan obat berkualitas bagi kepentingan pengobatan masyarakat pada
klaster layanan kesehatan amat diperlukan. Hal ini sekaligus berguna agar pasokan
permintaan bahan baku tumbuhan obat oleh sektor layanan kesehatan dapat terjamin
karena dibutuhkan untuk pengobatan pasien di rumah sakit maupun puskesmas.
Selain itu, aspek budidaya juga mendorong meningkatnya penangkaran dari hutan
alam oleh masyarakat sehingga bahan baku tersebut lebih mudah diperoleh baik oleh
klaster industri maupun klaster layanan kesehatan. Dengan demikian, aspek budidaya
ini dapat menarik minat masyarakat untuk berusaha sehingga berguna sebagai motor
penggerak ekonomi lokal. Oleh sebab itu, adanya kepastian pengelololaan kawasan
budidaya oleh masyarakat di sekitar TNMB diharapkan mampu meningkatkan akses
mereka terhadap teknologi, kapital maupun pasar sehingga kesejahteraan masyarakat
dapat meningkat. Peranan para pemangku kepentingan seperti Kepala BTNMB
maupun LSM KAIL untuk menjamin tersedianya kawasan budidaya tumbuhan obat
158

di wilayah kerjanya yang dikelola dengan baik, tertata dan aman juga merupakan
faktor penting agar ketersediaan bahan baku tumbuhan obat bagi klaster layanan
kesehatan maupun industri dapat terjamin.
Dalam pengembangan budidaya tersebut, pemanfaatan jenis-jenis lokal yang
sudah terancam punah seperti pulosari dan kedawung yang dicampurkan bersama
dengan jenis-jenis lain seperti cabe jawa, kemukus, joho lawe, jahe, kencur dan
temulawak serta kesumba keling berpotensi mendorong terjadinya peningkatan
ekonomi para pihak di sekitar TNMB. Pencampuran jenis tanaman obat tersebut
akan semakin baik apabila jenis-jenis pohon berkayu yang mengandung bahan obat
potensial di masa depan seperti bayur, jati dan suren juga ditanam di sekitar kawasan
budidaya tumbuhan obat.

5.2. Sumberdaya Manusia (SDM) Profesional


Keberadaan kebijakan pemungkin juga mendorong terjadinya perpindahan
sumber daya manusia profesional. Pengelolaan kawasan budidaya tumbuhan obat
yang terdapat di sekitar TNMB atau pun di kawasan hutan negara lainnya tidak dapat
dilakukan apabila sumber daya manusia pengelolanya tidak ada. Tenaga-tenaga
profesional seperti dokter, apoteker, peneliti, perguruan tinggi, BPOM dan penggiat
LSM dapat bekerja sama untuk menutupi kelemahan yang terjadi pada klaster
produksi. Perpindahan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada petani, pendarung,
pengepul dan para pihak yang terdapat pada klaster produksi dapat mengubah cara
pandangnya mengenai tumbuhan obat, yaitu bahwa tumbuhan obat bukan semata-
mata produk ekonomi, melainkan juga produk untuk menjaga, merawat dan
menyembuhkan penyakit yang tersusun dalam sistem pengobatan komplementer
berkelanjutan. Peluang pengembangan klaster produksi bersama dengan klaster
layanan kesehatan semakin besar apabila sumber daya manusia profesional yang
terdapat di dalamnya ikut serta mengawal keberadaan bahan baku tumbuhan obat
yang amat dibutuhkan oleh rumah sakit mulai dari hutan sampai dengan pasien yang
membutuhkannya. Hal ini dimaksudkan agar kualitas dan kuantitas bahan baku obat
159

tradisional terjaga tersebut sesuai dengan harapan pasien untuk menyembuhkan


penyakitnya.
Secara struktural, keberadaan hirarki pelaku pemanfaat tumbuhan obat mulai
dari pelaku utama dan marjinal menunjukan bahwa masih terdapat sejumlah
hambatan yang harus dipecahkan agar pemanfaatan tumbuhan obat memberikan
dampak yang positif bagi penggunanya. Hambatan tersebut berupa belum bersatunya
kelas menengah sebagai motor penggerak untuk melayani kepentingan pasien dalam
hal pemenuhan hak atas kesehatan. Para pihak yang terdapat pada tingkat menengah,
seperti Puskesmas, BPOM, BTN Meru Betiri, LSM KAIL, CD Bethesda, Koperasi,
Pengobat tradisional memiliki potensi untuk mendobrak kebijakan yang menghambat
pelayanan menggunakan obat tradisional melalui sistem layanan komplementer.
Pendekatan metode layanan kesehatan tanpa sekat yang dilakukan oleh CD Bethesda
dapat diujicobakan pada klaster produksi dan layanan kesehatan dengan pengawasan
yang terintegrasi, baik mutu, jumlah, harga maupun tenaga ahli yang menanganinya.
Harapannya, dengan diterapkannya sistem tersebut, pemerintah pusat dapat
mengeluarkan kebijakan yang mampu mensinergikan para pihak di tingkat menengah
menjadi motor untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan dengan mendorong (a)
terciptanya basis-basis budidaya tumbuhan obat di sekitar hutan yang dikerjakan oleh
para pendarung maupun petani, dan (b) menciptakan alur pemasaran hasil budidaya
tersebut dengan harga yang layak dan berkualitas di pusat-pusat layanan kesehatan
pengobatan tradisional seperti puskesmas mau pun rumah sakit.

5.3. Pembenahan Kelembagaan


Pembenahan kelembagaan merupakan salah satu pra syarat agar kebijakan
pemungkin tersebut dapat berjalan dengan baik. Hal ini karena informasi asimetris
yang terjadi pada masing-masing klaster cenderung memihak pada sektor industri
yang tidak terbuka terhadap informasi-informasi yang berhubungan dengan bahan
baku tumbuhan obat. Perbaikan terhadap kelembagaan ekonomi pada klaster
produksi diharapkan dapat mendorong perbaikan terhadap harga sehingga mendorong
petani dan pendarung ikut serta melakukan penangkaran terhadap tumbuhan obat
160

yang berasal dari hutan alam. Untuk meningkatkan kepastian bagi klaster produksi,
perbaikan terhadap kelembagaan sosial seperti membuat lembaga payung yang
menampung semua pihak yang terlibat dalam penelitian tumbuhan obat serta
membangun perjanjian pemanfaatan tumbuhan obat antara ke tiga klaster dapat
menciptakan terjadinya sinergi informasi mengenai tumbuhan obat. Agar
keberpihakan negara terhadap klaster produksi menjadi jelas, pemerintah perlu
mendorong agen-agennya, yaitu Kepala BTNMB dan Kepala BPOM, untuk terlibat
secara serius menangani pemanfaatan tumbuhan obat di hutan alam. Hal ini penting
karena bahan baku tumbuhan obat harus benar-benar berkualitas diterima oleh pasien
mulai dari proses produksi sampai dengan pemanfaatannya. Keberadaan undang-
undang yang berhubungan dengan pemanfaatan tumbuhan obat juga diperlukan agar
kelembagaan ekonomi dan sosial dapat berfungsi dan bahan baku tumbuhan obat
dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh penggunanya.

5.4. Penegakan Hukum


Penegakan hukum amat diperlukan dalam pemanfaatan tumbuhan obat karena
transaksi yang terjadi pada klaster produksi bersifat illegal. Tersedianya penegakan
hukum dapat memberi kepastian berusaha bagi para pihak terhadap keamanan bahan
baku yang ditanam khususnya pada bahan baku yang memiliki manfaat ganda dan
berpotensi sebagai obat tradisional di masa depan seperti bayur, suren dan joho lawe.
Penegakan hukum ini amat penting karena sering terjadinya pencurian atas bahan
baku tersebut di mana yang utama dimanfaatkan oleh pelakunya adalah kayu yang
bernilai jual tinggi. Penegakan hukum memberikan rasa aman bagi para petani mau
pun pihak-pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tersebut. Kegiatan patroli yang
dilakukan secara rutin pada kawasan budidaya tumbuhan obat, selain memberi rasa
aman terhadap bahan baku, juga dapat menekan terjadi pencurian sehingga meredam
gejolak sosial yang mungkin terjadi karena kayu yang mengandung bahan baku
tumbuhan obat juga bernilai ekonomi tinggi. Sintesis penelitian disajikan pada
Gambar 26
161

PRODUKSI

INFORMASI
ASIMETRIS
PEMANFAATAN
TUMBUHAN
OBAT

LAYANAN
KESEHATAN INDUSTRI

ENABLING
Budidaya POLICY Pembenahan
Tumbuhan Obat Kelembagaan
Penegakan
Hukum
SDM Penegakan
Profesional Hukum
KELESTARIAN
PEMANFAATAN
TUMBUHAN OBAT

Gambar 26. Sintesis Hasil Penelitian Pemetaan Stakeholder


162

V. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN REKOMENDASI

1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang dilakukan terhadap pemanfaatan tumbuhan


obat di klaster produksi, klaster layanan kesehatan dan klaster industri dapat
disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1.1. Para pihak yang terlibat dalam pemanfaatan tumbuhan obat terdiri atas
bermacam-macam profesi baik yang berada di pemerintahan, swasta, asosiasi,
rumah tangga, petani dan lain-lain. Para pihak tersebut bersifat sangat dinamis
sehingga dapat berpindah-pindah posisi tergantung pada kepentingan mereka
dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Terkait dengan kelestarian pemanfaatan
tumbuhan obat, para pihak yang terdapat pada posisi key player lebih mudah
diajak terlibat dibandingkan para pihak yang terdapat pada posisi subject,
context setter maupun crowd. Hal ini karena para pihak yang terdapat pada
posisi subject cenderung mengambil posisi menentang dibandingkan bekerja
sama, sedangkan yang terletak pada posisi context setter cenderung mengikuti
kepentingannya sendiri dan tergantung dengan situasi yang ada. Untuk para
pihak yang terletak pada posisi crowd dapat diabaikan dan dikeluarkan dalam
kegiatan yang berhubungan dengan kelestarian pemanfaatan tumbuhan obat
secara berkelanjutan karena tidak memiliki komitmen pada pemanfaatan
tumbuhan obat.
1.2. Dalam pemetaan aspek kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh para
pihak terlihat bahwa para pihak masih tersebar pada posisi key players,
subject, context setter dan crowd kecuali para pihak yang terdapat pada klaster
industri karena memiliki kepentingan dan pengaruh yang amat kuat terhadap
pemanfaatan tumbuhan obat. Peranan masing-masing pihak dapat dilihat
melalui pemetaan tersebut dimana BTN Meru Betiri dan LSM KAIL
merupakan pihak dominan karena dapat mempengaruhi situasi pengelolaan
bahan baku tumbuhan obat di hutan alam. Tetapi, keberadaan Borek Kayu di
TN Meru Betiri justru akan mendorong keluarnya sumber daya tumbuhan
163

obat potensial di masa depan yang terdapat pada kayu-kayu komersial,


sehingga keberadaannya harus dikelola secara serius karena dapat merusak
hutan. Pada klaster layanan kesehatan, peranan pengobat tradisional
merupakan pihak dominan karena memiliki kemampuan untuk melayani
pasien lebih banyak dibandingkan layanan komplementer di rumah sakit atau
puskesmas. Pada klaster industri, peranan Balai POM sangat penting karena
berfungsi mengendalikan tindakan ilegal pada bahan makanan dan obat-
obatan yang beredar di masyarakat sehingga perlu diperkuat peranannya.
1.3. Sehubungan dengan teori akses, para pihak yang terdapat pada klaster industri
memiliki peluang lebih banyak mengendalikan permintaan terhadap
pemanfaatan tumbuhan obat dibandingkan para pihak yang terdapat pada
klaster yang lain. Hal ini terjadi karena para pihak yang terdapat pada klaster
industri menguasai akses terhadap kapital yang berhubungan dengan tingkat
kesejahteraan dan kemampuan untuk membeli produk tumbuhan obat yang
ditawarkan oleh pihak lain.
1.4. Jenis biaya transaksi yang terdapat pada masing-masing klaster bersifat lump
sum dan ad valorem dimana pada klaster produksi sifat ad valorem dan biaya
transaksi tersebut digunakan untuk pembiayaan ilegal dibandingkan legal.
Pada kedua klaster yang lain, transaksi lump sum dan ad valorem bersifat
legal. Hal ini berarti, pada klaster produksi masih dijumpai adanya inefisiensi
dalam pemanfaatan bahan baku tumbuhan obat sehingga diperlukan adanya
penataan yang lebih baik pada aspek kelembagaan dan tata niaganya. Dengan
adanya penataan terhadap kelembagan dan tata niaganya diharapkan harga
tumbuhan obat yang diterima oleh pendarung dan petani menjadi lebih baik
sehingga kualitas terhadap bahan bakunya juga dapat ditingkatkan.
1.5. Sehubungan dengan fungsi tabungan, keberadaan jaring pengaman (safety net)
dan batu tangga (stepping stone) dapat membantu terjadinya perubahan arah
motivasi para pihak dari penghambat kelestarian tumbuhan obat menjadi
pendukung kelestarian tumbuhan obat. Tetapi keberadaan fungsi tabungan
yang bersifat jaring pengaman dan bernilai sangat besar apabila tidak
164

dikendalikan cenderung mendorong terjadinya monopoli atas sumberdaya


tumbuhan obat karena informasi pasar yang dikuasainya cenderung tidak
dibuka kepada semua pihak yang berkepentingan. Selain itu, para pihak yang
terdapat pada masing-masing klaster pada umumnya belum memiliki fungsi
tabungan sehingga meningkatkan kerentanan para pihak dalam pemanfaatan
tumbuhan obat.

2. Implikasi
2.1. Terkait dengan pemetaan para pihak dalam pemanfaatan tumbuhan obat,
keterlibatan pendarung dan kelompok tani dalam pemanfaatan zona
rehabilitasi seluas 2.733.5 hektar untuk pengembangan budidaya tumbuhan
obat hutan sangat diperlukan. Hal ini berguna untuk mendukung kebutuhan
bahan baku obat tradisional pada klaster layanan kesehatan dan klaster
industri secara berkelanjutan.
2.2. Pemanfatan tumbuhan obat pada zona rehabilitasi di TNMB memerlukan
adanya kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) antara BTN
Meru Betiri, BPOM, LSM KAIL, Puskesmas/Rumah Sakit, Koperasi Jamu,
industri jamu, GP Jamu dan klinik pengobatan tradisional yang terdapat pada
klaster produksi, layanan kesehatan dan industri untuk memberikan kepastian
pasokan bahan baku tumbuhan obat, khususnya yang sudah mulai langka
seperti pulasari dan kedawung, secara legal sehingga mengurangi
pengambilan oleh pendarung dari hutan secara langsung.
2.3. Informasi asimetris yang terjadi pada masing-masing klaster harus dipecahkan
dengan mengembangkan sistem informasi pasar yang terkait dengan harga
dan standar keamanan bahan baku tumbuhan obat mulai dari klaster produksi
sampai dengan klaster industri dan layanan kesehatan.
2.4. Sehubungan dengan aspek sosial dan ekonomi diperlukan adanya penelitian
pelengkap yang berhubungan dengan penawaran dan permintaan tumbuhan
obat untuk mengetahui jaminan kelestarian tumbuhan obat.
165

2.5. Diperlukan adanya tindakan konservasi terhadap tumbuhan obat yang aktif
dimanfaatkan oleh para pihak menggunakan teknologi pemuliaan tanaman
yang digunakan untuk produksi tanaman obat agar produksi bibit dapat
dihasilkan secara cepat dengan kualitas yang baik.
3. Rekomendasi
Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan dalam penelitian ini yaitu:
3.1. Pembenahan terhadap klaster layanan kesehatan dan produksi harus dilakukan
dengan serius karena berfungsi meningkatkan pendapatan ekonomi dan sosial
masyarakat di sekitar hutan. Pembenahan tersebut dapat dilakukan dengan
cara menerbitkan undang-undang yang berhubungan dengan pemanfaatan
tumbuhan obat sebagai bahan baku jamu.
3.2. Dalam membenahi klaster layanan kesehatan dan produksi, pemerintah perlu
membangun industrinya sendiri untuk memproduksi bahan baku obat
tradisional yang aman, murah dan berbasis ilmiah. Tugas tersebut dapat
dibebankan pada BUMD/BUMN agar menjamin pasokan bahan baku obat
tradisional yang berkualitas untuk rumah sakit milik pemerintah. Hal ini
karena industri jamu tradisional milik swasta tidak mampu menyediakan
fasilitas tersebut karena memiliki kepentingan yang berbeda secara ekonomi.
3.3. Perlunya dibentuk satuan tenaga ahli yang memiliki kecakapan untuk
meningkatkan kemampuan para pihak pada sektor produksi yang terdiri atas
lintas keahlian sehingga akses para pihak terhadap teknologi, kapital dan pasar
semakin baik.
3.4. Diperlukan adanya kebijakan Direktur Jenderal Konservasi Sumberdaya Alam
dan Ekosistemnya untuk pengamanan Taman Nasional bagi tanaman obat
dalam bentuk kegiatan patroli rutin pada kawasan budidaya tanaman obat
yang terdapat pada zona rehabilitasi karena bahan baku tersebut bernilai
ekonomi tinggi dan rawan terhadap pencurian.
3.5. Kementerian Koordinator Perekonomian perlu mengakomodir pembagian
tugas dan target pengembangan tanaman obat di mana tugas tersebut harus
dilaporkan kepada Presiden secara berkala sehingga Presiden dapat
166

mengeluarkan kebijakan untuk menyatukan berbagai kegiatan penelitian yang


berhubungan dengan pemanfaatan tumbuhan obat ke dalam satu lembaga
yang menaungi kegiatan tersebut.
3.6. Diperlukan adanya penelitian yang lebih lanjut mengenai kondisi sebenarnya
dari permintaan dan penawaran tumbuhan obat di Indonesia, mengetahui
klaster mana yang memiliki permintaan yang besar terhadap tumbuhan obat
dan siapa yang seharusnya mengkoordinir pemanfaatan tumbuhan obat
tersebut
3.7. Jenis tumbuhan obat yang dapat dikembangkan sebagai rekomendasi dari
penelitian ini sesuai dengan hasil analisis para pihak terdiri atas campuran
jenis jahe, kencur dan temulawak serta jenis-jenis yang sudah langka seperti
kedawung dan pulasari. Kesumba keling dapat digunakan menarik minat para
pihak untuk menanam sebagai cadangan pendapatan mengingat pasarnya
terbuka lebar.
167

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar MS, Musa AM, Ahmed A, Hussaini IM. 2007. The Perception and
Practice of Traditional Medicine in the Treatment of Cancers and
Inflammations by the Hausa and Fulani Tribes of Northern Nigeria.
Journal of Ethnopharmacology 111:625-629. Elsevier BV.
Ackermann F, Eden C. 2010. Strategic Management of Stakeholders: Theory and
Practices. Long Range Planning 44: 179 – 196.
Adams WM. 1990. Green Development: Environment and Sustainability in the
Third World. Routledge. London.
Adiputera IN. 2007. The Systemic, Holistic, Interdisciplinary and Participatory
(ship) Approach Supports the Conservation Program of Medicinal Plants
in Bali. J. Human Ergol 36: 51-55.
Akbor MM, Sultana R, Ullah A, Azad MAK, Latif AHMM, Hasnat A. 2007. In
vitro - In vivo Correlation (IVIVC) of Immediate Release (IR)
Levofloxacin Tablet. Dhaka Univ J.Pharm.Sci. 6(2): 113-119.
Amzu E. 2007. Sikap Masyarakat Dan Konservasi (Disertasi). Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
Appadurai A. 1986. The Social Life of Things: Commodities in Cultural
Perspective. Cambridge University Press. Cambridge.
Arifin A. 2011. Komunikasi Politik: Filsafat-Paradigma-Teori-Tujuan-Strategi
dan Komunikasi Politik Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Balooni K, Lund JF, Kumar C, Inoue M. 2010. Curse or Blessing? Local Elites in
Joint Forest Management in India’s Shiwaliks. International Journal of the
Commons 4: 707 – 728.
Baron OE, Karpoff JM. 2004. Information Precision, Transaction Costs, and
Trading Volume. Journal of Banking & Finance 28: 1207 – 1223.
Bassett TJ. 1988. The Political Ecology of Peasant-Herder Conflicts in the
NorthernIvory Coast. Annal of the Association of American Geographers
78: 453 – 472.
Beers SJ. 2001. Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing. Periplus
Editions. Singapore.
Beers SJ. 2013. Jamu Sakti: Basmi Penyakit, Awet Muda dan Kecantikan. PT
Ufuk Publishing House. Jakarta.
Bennet WL. 2003. New Media Power: The Internet and Global Activism. In
Couldry N and Curran J, editors. Contesting Media Power. 2003. Rowman
and Littlefield.
Berry S. 1988. Concentration without Privatization? Some Consequences of
Changing Patterns of Rural Land Control in Africa. Pp 53 – 75 in Land
and Society in Contemporary Africa, edited by RE Downs and SP Reyna.
Hanover: University Press of New England
Bertens K. 2013. Pengantar Etika Bisnis (Edisi Revisi). Penerbit Kanisius.
Yogyakarta
Bhattacharjee S. 2012. Multidicplinary Research Can Make The Medicinal Plant
Industry In Tripura Viable-A concept Study Based on Tows Matrix.
International Journal of Multidiciplinary Research Vol 2(5): 146-154
168

Bienebe E, Coronel C, Le Coq JF, Liagre L. 2004. Linking Small Holder Farmers
to Market: Lessons Learned from Literature and Analytical Review of
Selected Project. Study Report. World Bank.
Birner R, Wittmer H. 2000. Converting Social Capital into Political Capital. Haw
do local communities gain political influence? A theoretical approach and
empirical evidence from Thailand and Columbia. Paper submitted to the
8th Biennal Conference of the International Association for the Study of
Common Property (IASCP). Institute of Rural Development, Georg-
August University, Goettingen.
Blaikie P. 1985. The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries.
Longman. London.
Blaikie P, Brookfield H. 1987. Land Degradation and Society. Methuen. London.
Blaikie P, Cannon T, Davis I, Wisner B. 1994. At Risk: Natural Hazards, People’s
Vulnerability and Disasters. Routledge. London.
Borrow E, Clarke J, Grundy I, Jones KR, Tessema Y. 2002. Analysis of
Stakeholders Power and Responsibilities in Community Involvement in
Forest Management in Eastern and Southern Africa. International Union
for Conservation of Nature and Natural Resources. Kenya.
Bourdieu P, Waquant LDJ. 1992. An Innovation to Reflexive Sociology.
University of Chicago Press. Chicago and London.
BPS. 2015. Indonesia Dalam Angka 2015. Jakarta.
Brook MG, Fauver R. 2014. A Possible Mechanism of Action for the Placebo
Response: Human Biofield Activation Via Therapeutic Ritual. Internationa
Journal of Transpersonal Studies 33: 131- 147.
Brown O, Crawford A, Hammill A. 2006. Natural Disasters and Resource Rights:
Building Resilience, Rebuilding Lives. International Institute for
Sustainable Development
Bryant RL, Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. Routledge. London
and New York.
Bryant RL, Rigg J, Stott P. 1993. The Political Ecology of Southeast Asia’s
Forest: Trans-disciplinary discourses. Global Ecology and Biogeography
Letters 3: 101 – 296.
Budiardjo M. 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi). PT. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.
Collins RO. 1990. The Water of the Nile: Hydropolitics and the Jonglei Canal
1900 – 1988. Clarendon. Oxford.
Collins BM, Fabozzi FJ. 1991. A Methodology for Measuring Transaction Costs.
Financial Analysts Journal 47: 27 – 36.
Coleman JS. 1988. Social Capital in the Creation of Human Capital. American
Journal of Sociology 94: 95 – 120.
1990. Foundation of Social Theory. The Belknap Press. Cambridge.
MA.
Conley A, Moote MA. 2003. Evaluating Collaborative Natural Resources
Management. Society and Natural Resources 16: 371 – 386.
Corcoran J, Hughes O, Keegen D, Konsa M, Lewis E, Wilding W. 2012.
Medicinal Plants Conservation Centre, India. Equator Initiative Case
Study Series UNDP. New York.
169

Crozet M, Soubeyran PK. 2004. EU Enlargement and the Internal Geography of


Countries. Journal of Comparative Economics 32: 265 – 279
Cunningham A, Anoncho VF, Sunderland T. 2015. Power, Policy and the Prunus
africana bark trade, 1972 – 2015. Journal of Ethnopharmacology 178: 323
- 333
Darmanto, Setyowati AB. 2012 Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,
Kekuasaan dan Politik Ekologi. Kepustakaan Populer Gramedia bekerja
sama dengan UNESCO. Jakarta.
Delimartha S. 2009. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Puspa Swara. Jakarta
Dewoto HR. 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Menjadi
Fitofarmaka. Majalah Kedokteran Indonesia 57(7): 205-211.
Djojoseputro S. 2012. Resep dan Khasiat Jamu Tradisional Nusantara. Penerbit
Liris. Surabaya.
Dryzeck JS, Berejikian J. 1993. Reconstuctive Democratic Theory. The American
Political Science Review 87: 48 – 60.
Dzerefos CM, Witkowski ETF. 2014. Use of the Stinkbug, Encosternum
delegorguei (Hemiptera, Tesaratomidae), for Food and Income in South
Africa. Society and Natural Resources 27:882 – 897.
Effendi R, Rostiwati T. 2011. The Economic and Policy Studies of Indonesian
Medicinal Plant. Di dalam: Gintings AN, Wijayanto N, editor. Proceeding
International Seminar: Strategies and Challenges on Bamboo and Potential
Non Timber Forest Products (NTFPs) Management and Utilization, 2011,
November, 23-24. Bogor. Indonesia. Bogor (ID): Centre for Forest
Productivity Improvement Research and Development. hlm 199-206.
Escobar A. 2006. Difference and Conflict in the Struggle over Natural Resources:
A Political Ecology Framework. Development 49: 6 - 13
Feldman TR, Assaf S. 1999. Social Capital: Conceptual Frameworks and
Empirical Evidence. The World Bank, Washingon. USA.
Fibriani D. 2012. Evaluasi Proses Implementasi Kebijakan Hutan Rakyat di
Kabupaten Sarolangun, Jambi (Disertasi). Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Bogor.
Forsyth, T. 2007. Political Ecology and Epistemology of Social Justice. Geoforum
39: 756 – 764
Forsyth, T. 2005. The Political Ecology of the Ecosystem Approach for Forest. In:
Sayer, J., and Maginnis, S. (editors). Forest in Landscape: Ecosystem
Approaches for Sustainability. London. England. London (Eng):
Earthscan. pp 165 – 176.
Forsyth T. 2004. Critical Political Ecology: The Politics of Environmental
Science. Routledge Taylor and Francis Group. London and New York.
Foucault M. 1978. Right of Death and Power over Life. From the History of
Sexuality Vol. 1: An Introduction, translated by Robert Hurley and
excerpted in Foucault Reader, edited by P. Rabinow (New York: Pantheon
1984).
Franke RW, Chasin BH. 1980. Seeds of Famine: Ecological Destruction and the
Development Dilemma in the West African Sabel. Allanheld Osmun.
Montclair. New Jersey.
170

Gauntlett D. 2011. Making is Connecting: The Social Meaning of Creativity,


from DIY and Knitting to YouTube and Web 2.0.
http://creativecommons.org/licenses/by-nc-sa/3.0/
Giddens A. 1998. The Third Way: The Renewal of Social Democracy. Blackwell
Publisher Ltd. Malden, MA. USA.
Giddens A. 2011. The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis
Sosial. Pedati. Yogyakarta.
Giovannini P, Garcia VR, Waldstein A, Heinrich M. 2011. Do Pharmaceuticals
Displace Local Knowledge and Use of Medicinal Plants? Estimates from a
Cross-Sectional Study in a Rural Indigenous Community, Mexico. Social
Science & Medicine 30: 1- 9. Elsevier Ltd.
Gaus GF, Kukathas C. 2012. Handbook Teori Politik. Nusamedia. Bandung.
Gold CL, Clapp RA. 2011. Negotiating Health and Identity: Lay Healing,
Medicinal Plants, and Indigenous Healthscapes in Highland Peru. Latin
American Research Review 46(3): 93-111.
Gramsci A. 2013. Prison Notebooks. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Guay F, Chanal J, Ratelle CF, Marsh HW, Larose S, Boivin M. 2010. Intrinsic,
Identified, and Controlled Types of Motivation for School Subjects in
Young Elementary School Children. British Journal of Educational
Psychology 80: 711 - 735
Guha R. 1989. The Unquiet Woods: Ecological Change and Peasant Resistance in
the Himalaya. Oxford University Press. Delhi.
Hariana H.A. 2008. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Penebar Swadaya. Jakarta
Harriss B. 1984. State and Market: State Intervension in Agricultural Exchange in
a Dry Region of Tamil Nadu, South India. Concept Publishing Company.
New Delhi.
Hart G. 1986. Power, Labor and Livelihood. University of California. Berkeley.
Haryatmoko. 2015. Etika Publik: Untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Hecht SB, Cockburn A. 1989. The Fate of the Forest: Developers, Destroyers and
Defenders of the Amazon. Verso. London.
Hermans LM, Thiessen WAH. 2008. Actor Analysis Methods and Their Use for
Public Policy Analysis. European Journal of Operation Research 196:
808-818. Elsevier B.V.
Hidayat H, Haba J, Siburian R. 2011. Politik Ekologi Pengelolan Taman Nasional
Era Otda. LIPI Press dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta.
Hong E. 1987. Natives of Serawak: Survival in Borneo’s Vanishing Forests.
Institut Masyarakat. Penang.
Hornock L. 1992. Cultivation and Processing of Medicinal Plants. John Wiley
and Sons. United Kingdom.
Huang W. 2013. Anti Cancer Effect of Plant-Derived Polysaccharides on Mice.
Journal of Cancer Therapy 4:500-503, doi: 10.4236/jct.2013.42061.
Hunt RC. 1998. Concept of Property: Introduction of Tradition. In: Robert C.
Hunt and Antonio Gilman (Editors). Property in Economic Context.
Lanham: University Press of America.
Ingram V. 2012. Governance of Non Timber Forest Product In The Congo
Basin. ETFRN News 53: 36-45.
171

Irawan P. 2007. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial.


Departemen Ilmu Adminstrasi Faklutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia. Depok.
Jehani P. 2008. Romo H. Loogman, MSC: Dialog Penyembuhan dan Cuplikan
Pengalaman Pengobatan Alternatif dengan Metode Radiathesi Medik
(Edisi Revisi). Putra Siaga Pratama. Jakarta.
Jewitt S. 1995. Europe’s ‘Others’? Forestry Policy and Practice in Colonial and
Postcolonial India. Environment and Planning D: Society and Space 13:
67 – 90.
Karki M, Tiwari B, Badoni A, Bhatarrai N. 2003. Creating Livelihoods Enancing
Medicinal and Aromatic Plants Based Biodiversity-Rich Production
Systems: Preliminary Lessons from South Asia. The 3rd World Congress
on Medicinal and Aromatic Plants for Human Welfare (WOCMAP III).
Chiang Mai. Thailand.
Kartajaya H. 1995. Marketing Plus 4. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Kartodihardjo H. 2008. Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah
Transformasi Kebijakan Kehutanan. Wana Aksara. Serpong, Tangerang.
Kemala S, Sudiarto, Pribadi ER, Yuhono JT, Yusron M, Mauludi L, Raharjo M,
Waskito B, Nurhayati H. 2003. Studi Serapan, Pasokan dan Pemanfaatan
Tanaman Obat di Indonesia. Balitro. Bogor.
Kepala Badan POM. 2004. Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor; HK. 00.05.4.2411.tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok
Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia. Departemen
Kesehatan RI. Jakarta.
Kepala Badan POM. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pengawasan
Pemsukan Bahan Obat, Bahan Obat Tradisional, Bahan Suplemen
Kesehatan, dan Bahan Pangan ke Dalam Wilayah Indonesia. Kemeterian
Kesehatan RI. Jakarta.
Keraf AS. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Kompas. Jakarta
Keraf AS. 2010. Krisis dan Bencana Lingkungan Hidup Global. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta.
Kitzberger P. 2012. The Media Politics of Latin America’s Leftist Governments.
Journal of Politics in Latin America 4: 123 – 139
Klemperer WD. 1996. Forest Resource Economics and Finance. McGraw-Hill,
Inc. Singapore.
Krishnaswamy AE, Simmons, Joseph L. 2012. Increasing the Resilience of British
Columbia’s Rural Communities to Natural Disturbances and Climate
Change. Journal of Ecosystem and Management (JEM) 13(1):1-15
Kunwar SC, Ansari AS, Luintel H. 2009. Non Timber Forest Products Enterprise
Development: Regulatory Challenges in Koshi Hills of Nepal. Journal of
Forest and Livelihood 8(2): 39-50
Lai ER. 2011. Motivation: A Literature Review. Perason Research Report.
http://pearsonassessments.com./research.
Li T. 2000. Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and
the Tribal Slot. Comparative Studies in Society and History 42: 149 – 179.
Liu H. 2004. Optimal Consuption and Investment with Transaction Costs and
Multiple Risky Assets. The Journal of Finance 59: 289 – 338
172

Long N, Long A. 1992. Battlefields of Knowledge: The Interlocking of Theory


and Practice in Social Research and Development. Routledge. London.
Mamat, MF, Yacob MR, Lim HF and Rdam A. 2010. Costs and Benefits Analysis
of Aquilaria Species on Plantation for Agarwood Production in Malaysia.
International Journal of Business and Social Science 1: 162 – 174
Marsh D, Stoker G. 2011. Teori dan Metode dalam Ilmu Politik. Nusa Media.
Bandung.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan Dengan Aplikasi
SAS dan Minitab (Jilid I Edisi Kedua). IPB Press. Bogor.
Mazid M, Khan TA, Mohammad F. 2012. Medicinal Plants of Rural India: A
Review of Use by Indian Folks. Indo global Journal of Pharmaceutical
Sciences 2(3): 286-304
Menteri Kesehatan. 2008. Farmakope Herbal Indonesia Jilid I. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Menteri Kehutanan. 1999. Undang-Undang RI Nomor 41 tentang Kehutanan.
Departemen Kehutanan RI. Jakarta.
Menteri Kehutanan. 2010. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010 –
2014. Biro Perencanaan Sekretariat Jenderal Kementerian Kehutanan RI.
Jakarta
Menteri Kesehatan. 2010. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor; 003/Menkes/Per/I/2010 tentang Saintifikasi Jamu Dalam
Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan. Kementerian Kesehatan RI.
Jakarta
Ministry of Forestry. 2013. Press Release International Seminar “Forest and
Medicinal Plants for Better Human Welfare”, Bogor 10 – 12 September
2013. Centre for Forest Productivity Improvement Research and
Development Campus of FORDA. Bogor. Indonesia.
Nodi O, Farchan H. 2006. Profil Organisasi Rakyat Mitra CD Bethesda.
UPKM/CD Bethesda. Yogyakarta.
Mulliken T, Crofton P. 2008. Review of The Status, Harvest, Trade and
Management of Seven Asian CITES-Listed Medicinal and Aromatic Plant
Species. Federal Agency for Nature Conservation. Germany.
Nurhussen H, Philipos M. 2014. Cost-Benefit Analysis of Spear Mint Cultivation
for Herbal Production. International Journal of Recent Research in
Commerce Economics and Management (URRCEM) 1: 83 – 88.
Nurrochmat DR, Darusman D, Ekayani M. 2016. Kebijakan Pembangunan
Kehutanan dan Lingkungan: Teori dan Implementasi. PT Penerbit IPB
Press. Bogor.
Nurrochmat DR, Yovi EY, Hadiyati O, Siddiq M, Erbaugh JT. 2015. Changing
Policies over Timber Supply and Its Potential Impacts to the Furniture
Industries of Jepara, Indonesia. JMHT 31: 36 – 44.
Nurrochmat DR, Dharmawan AH, Obidzinski K, Dermawan A, Erbaugh JT.
2014. Contesting National and International Forest Regimes: Case of
Timber Legality Certification for Community Forest in Central Java,
Indonesia Forest Policy and Economics.
http://dx.doi.org/10.1016/j.forpol.2014.09.008.
Nurrochmat DR, Hasan MF. 2010. Ekonomi Politik Kehutanan: Mengurai Mitos
dan Fakta Pengelolaan Hutan. INDEF. Jakarta.
173

Oft P, Zhuma W. 2006. ‘Mobilizing Resilience from below’ Linking Institution to


Actors and Knowledge to Decisions: A Case of the Netherlands. Zentrum
fur Entwicklungsforchung. Center for Development Research. Universitat
Bonn.
Olurinde KO, Adewumi MO, Omotesho OA, Falola A, Olatunji GB. 2010.
Structure and Efficiency of Anti Malaria Medicinal Plants Market of
Kwara State Nigeria. Di dalam: Proceedings of the 44th Annual
Conference of Agricultural Society of Nigeria. Nigeria (NG): University
of Ilorin. pp 589-582.
Ostrom E. 2005. Understanding Institutional Diversity. Princeton University
Press. USA.
Ostrom E, Gardner R, Walker J. 1994. Rules, Games, and Common-Pool
Resources. The University of Michigan Press. Ann Arbor.
Page B. 2003. The Political Ecology of Prunus africana in Cameroon. Royal
Geographical Society (with The Institute of British Geographers) London
35(4): 357–370
Panwar MS, Sharma SK. 2011. Medicinal Plants:A Potential Resource for
Enhancement of Livlihood in Uttarakhand Hill State. International Journal
of Operation and Supply Chain Management 1: 57 – 73.
Peluso NL. 1992. Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in
Java. University of California Press. Berkeley.
1996. Fruit Trees and Family Trees in an Anthropogenic Forest: Ethic
of Access, Property Zones and Environmental Changes in Indonesia.
Comparative Studies in Society and History: An International Quarterly
38: 510 -548
Peluso NL, Vandergeest P. 2001. Genealogies of Forest Law and Costumary
Rights in Indonesia, Malaysia and Thailand. Journal of Asean Studies 60:
761 – 812.
Pilgrim S, Cullen L, Smith D, Pretty J. 2007. Hidden harvest or hidden revenue-A
local resource use in a remote region of South East Sulawesi, Indonesia.
Indian Journal of Traditional Knowledge 6(1): 150-159.
Pribadi ER. 2009. Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia serta Arah
Penelitian dan Pengembangannya. Perspektif 8: 52 – 64.
Purwandari SS. 2001. Studi Serapan Tumbuhan Obat sebagai Bahan Baku pada
Berbagai Industri Obat di Indonesia. Thesis Program Pascasarjana IPB.
Bogor. Tidak Dipublikasikan.
Putnam R, Leonardi R, Nanetti RY. 1993. Making Democracy Work: Civic
Transition in Modern Italy. Princeton University Press. New Jersey.
Rasool SN, Jaheerunnisa S, Jayaveera KN, Suresh KC. 2011. In vitro callus
induction and in vivo antioxidant activity of Passiflora foetida L.leaves.
International Journal of Applied Research in Natural Products 4(1): 1-10.
Raz A, Guindi D. 2008. Placebos and Medical Education. McGill Journal of
Medicine 11: 223 – 226.
Pearson CS. 1987. Multinational Corporation, Environment and the Third World:
Business Matters. Duke University Press. Durham. North Carolina.
Redcliff M. 1987. Sustainable Development: Exploring the Contradictions.
Methuen. London.
174

Reed MS, Grave A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C, Quinn


CH, Stringer LC. 2009. Who’s in and Why? A Typology of Stakeholder
Analysis Methods for Natural Resources Management. Journal of
Environmental Management 90: 1933-1949. Elsevier.
Reyer C. 2009. Sustainable Development of the Amazon forest: a fine line
between conservation and exploitation? Sustainability: Science, Practice
and Policy 5(2): 38-44. http://ejournal.nbii.org.
Ribot JC. 1993. Forestry Policy and Charcoal Production in Senegal. Energy
Policy 21: 559 – 585.
1995. From Exclusion to Participation: Turning Senegal’s Forestry
Policy Around? World Development 23: 1587 - 1599
1998. Theorizing Access: Forest Profit along Senegals Charcoal
Commodity Chain. Development and Change 29: 307 – 341.
1999. Decentralization and Participation in Sahelian Forestry: Legal
Instruments of Central Political-Administrative Control. Africa 69: 24 –
64.
2000. Forest Rebellion and Local Authority in Makacoulibantang,
Eastern Senegal. Pp. 134 -158 in People, Plants and Justice, edited by
Charles Zerner. New York: Columbia University Press.
Ribot JC, Peluso NL. 2003. Theory of Access. The Rural Sociology 68(2): 153-
181.
Rostiwati T. 2010. Rencana Penelitian Integratif (RPI) Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK). Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang
Kehutanan. Kementerian Kehutanan RI. Bogor.
Rostiwati T. 2013. Tanaman Berkhasiat Obat dari Hutan Tanaman. Pusat
Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan.
Kementerian Kehutanan RI. Bogor.
Runge FC, Duclos MT, Adams JS, Goodwin B, Martin JA, Squires RD, Ingerson
AE. 2000. Public Sector Contributions to Private Land Value: Looking at
the Ledger. Pp 41 – 62 in Property and Values: Alternatives to Public and
Private Ownership, edited by Charles Geisler and Gail Deneker.
Wahington: Island Press.
Russell D, Franzel S. 2004. Trees of Prosperity. Agroforestry Markets and the
African Smallholder Agroforestry Systems 61: 345 – 355.
Scharpf FW. 1997. Games Real Actor Play. Actor-Centered Institutionalism in
Policy Research. Westview Press. Boulder. Colorado.
Schreckenberg K, Marshall E, Newton A, te Velde DW, Rushton J, Edouard F.
2006. Commercialisation of Non-Timber Forest Products: What
Determines Success? Forestry Briefing Number 10, March 2006, pp 1 - 6
Schroeder RA. 1993. Shady practice: gender and the political ecology of
resources stabilization in Gambian gardens. Antipode 27: 325 - 342
Shipton P, Goheen M. 1992. Understanding African Landholding: Power, Wealth
and Meaning. Africa 62: 307 – 327.
Shiva V, Sharatchandra HC, Bandyopandhyay J. 1982. Social Forestry: No
Solution in the Market. The Ecologist 2: 158 – 168.
Sills, E. Shenley P, Paumgarten F, De Beer J, Pierce A. 2011. Evolving
Perspectives on Non Timber Forest Products. Spinger-Verlag Berlin
Heidelberg. Germany.
175

Simon WO. 2011. Centre-Periphery Relationship in the Understanding of


Development of Internal Colonies. International Journal of Economics
Development Research and Investment 2: 147 – 156.
Simpson L. 2005. Community Informatics and Sustainability:Why Social Capital
Matters. The Journal of Community Informatics 1: 102 – 119.
Siregar S. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta
Soedomo S. 2012. “Obrolan Nusantara”: Menyambut Indonesia Baru. Penerbit
Firdaus. Jakarta.
Stenley D, Voeks R, Short Leaa. 2012. Is Non-Timber Forest Product Harvest
Sustainable in the Less Developed World? A Systematic Review of the
Recent Economic and Ecological Literature. Ethnobiology and
Conservation 1: 1 – 39
Suminar P. 2013. Bringing in Bourdieu’s Theory of Practice:Understanding
Community –Based Damar Agroforest Management in Pesisir Krui, West
Lampung District, Indonesia. International Journal of Humanities and
Social Science 3: 201 – 213.
Suneetha MS, Chandrakanth MG. 2006. Establishing a Multi-Stakeholder Value
Index In Medicinal Plants: an Economic Study on Selected Plants in
Kerala and Tamilnadu States of India. Ecological Economics Journal 60:
36–48. Elsevier B.V.
Surbakti R. 2010. Memahami Ilmu Politik. Grasindo. Jakarta.
Sutarjadi H, Rahman A, Indrawati NL. 2012. Jamu Obat Asli Indonesia Pusaka
Leluhur Warisan Nasional Bangsa: Sejarah, Perkembangan dan Usaha
Pemanfaatannya. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Taware AS, Mukadam DS, Chavan AM, Taware SD. 2010. Comparative studies
of in vitro and in vivo grown plants and callus of Stevia rebaudiana
(Bertoni). International Journal of Integrative Biology 9(1): 10-15
Thomson R, Stokman F, Torenvliet R. 2003. Models of Collective Decision
Making: Introduction. Rationality and Society 15: 5 – 14.
Tim Road Map Djamoe. 2011. Road Map Pengembangan Djamoe 2011 – 2025.
Kemenko Perekonomian dan Kemenko Kesra. Jakarta.
Tita DF, D’Haese M, Degrande E, Tchoundjeu Z, Van Damme P. 2011. Farmer’s
Satisfaction with Group Market Arrangements as a Measure of Group
Market Performance: A Transaction Cost Analysis of Non Timber Forest
Product’s Producers Groups In Cameroon. Forest Policy and Economics
13: 545-553. Elsevier B.V.
Tompkins EL, Adger WN. 2004. Does Adaptive Management of Natural
Resources Enhance Resilience to Climate Change? Ecology and Society 9.
Online URL: http://www. ecologyandsociety.org/vol9/iss2/art10
Twig J. 2007. Characteristics of a Disaster-resilient Community: A Guidance
Note. DFID Disaster Risk Reduction Interagency Coordination Group.
Bangladesh.
Vandebroek I, Van Damme P, Van Puyvelde L, Arrazola S, De Kimmpe N. 2004.
A Comparison of Traditional Healers’ Medicinal Plant Knowledge in the
Bolivian Andes and Amazon. Social Science and Medicine 59: 837 – 849.
Van De Valk LJ. 2008. Leadership Development and Social Capital: Is There a
Relationship? Journal of Leadership Education 7: 47 – 64.
176

Vasconselos EM. 2010. Association Between Religious Life and Health: A Brief
Review of Quantitative Studies. R.Eletr.de Com.Inf.Inov.Saude.Rio de
Janeiro 4(3): 12-17, doi: 10.3395/reciis.v4i3.381en.
Vodouhe FG, Coulibaly O, Assogbadjo AE, Sinsin B. 2008. Medicinal Plant
Commercialization in Benin: An Analysis of Profit Distribution Equity
Across Supply Chain Actors and Its Effect on The Sustainable Use of
Harvested Species. Journal of Medicinal Plant Research 2(11): 331 – 340
Walker, P.A. 2005. Political Ecology: Where is the Ecology? Progress in Human
Geography 29: 73 – 82
Wang, Z. 2010. Regulating Debit Cards: The Case of Ad Valorem Fees. Federal
Reserve Bank of Kansas City, pp 71 – 99, www. KansasCityFed.org.
Watts M. 1983. Silence Violence: Food, Famine and Peasantry in North Nigeria.
University North Carolina Press Berkeley.
Winkel, G. 2011. Foucault in the Forests – A Review of the use of ‘Foucauldian’
Concept in Forest Policy Analysis. Forest Policy and Economic 16: 81 –
92.
Wondolleck JM, Yaffee SL. 2000. Making Collaboration Work: Lesson from
Innovation in Natural Resources Management. Island Press. Washington
DC.
World Health Organization. 2003. WHO Guidelines on Good Agricultural and
Collection Practices (GACP) for Medicinal Plants. Jeneva. Switzerland.
World Health Organization. 2007. WHO Monographs on Selected Medicinal
Plants Volume 3. Geneva. Switzerland
Yustika AE. 2006. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.
Bayumedia. Malang.
Zarycki T. 2007. An Interdisciplinary Model of Centre-Periphery Relations: A
Theoretical Proposition. Regional and Local Studies, Special Issue 2007:
110 - 130
Zhang, Y. 2001. Commentary Economics of Transaction Costs Saving Forestry.
Ecological Economics 36: 197 – 204.
Zimmer, A. 2010. Urban Political Ecology: Theoretical Concepts, Challenges, and
Suggested Future Direction. Erdkunde 64: 343 – 354
Zuhud EAM, Hikmat A. 2009. Hutan Tropika Indonesia Sebagai Gudang Obat
Bahan Alam Bagi Kesehatan Mandiri Bangsa. Di dalam: Tinambunan D,
Wibowo A, editor. Bunga Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia: Dari
Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa dan Negara. Bogor.
Indonesia . Bogor (ID): Pusat Litbang Hutan Tanaman. Badan Litbang
Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Hlm 17-27.
Zuhud EAM, Hikmat A, Siswoyo. 2009. Strategi Pengembangan Tumbuhan Obat
Berbasis Konsep Bioregional (Contoh Kasus Taman Nasional Meru Betiri
Jawa Timur). Di dalam: Tinambunan D, Wibowo A, editor. Bunga
Rampai Biofarmaka Kehutanan Indonesia: Dari Tumbuhan Hutan untuk
Keunggulan Bangsa dan Negara. Bogor. Indonesia . Bogor (ID): Pusat
Litbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian
Kehutanan. Hlm 53-64.
Zuhud EAM, Siswoyo, Hikmat A, Sandra E. 2009. Strategi Konservasi dan
Pengelolaan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika Indonesia.
Di dalam: Tinambunan D, Wibowo A, editor. Bunga Rampai Biofarmaka
177

Kehutanan Indonesia: Dari Tumbuhan Hutan untuk Keunggulan Bangsa


dan Negara. Bogor. Indonesia . Bogor (ID): Pusat Litbang Hutan
Tanaman. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Hlm 65-
88.
Zuraida, Saptadi, Sukito A, Wahyuni N. 2010. Sintesa Hasil Penelitian
Biofarmaka di Propinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Pusat Litbang
Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Litbang Kehutanan. Kementerian
Kehutanan. Bogor.
178

Lampiran 1. Daftar Bahan Baku Obat Herbal Indonesia


No. Nama Lokal Kandungan Kimia (% v/b)
Simplisia
1. Buah Adas (Foeniculi vulgaris Minyak atsiri (trans- 1,40
fructus) anetol)
2. Ekstrak kental buah adas Minyak atsiri (trans- 7,80
(Foeniculi vulgaris fructus anetol)
extractum spissum)
3. Umbi lapis bawang putih (Alii Minyak atsiri (alisin) 0,50
rhizom bulbus)
4. Rimpang bengle (Zingeberis Minyak atsiri 2,20
purpurei rhizoma) (terpinen-4-ol)
5. Ekstrak kental rimpang bengle Minyak atsiri 1,50
(Zingeberis purpurei rhizoma (terpinen-4-ol)
extractum spissum)
6. Buah cabe jawa (Piper retrofracti Minyak atsiri 0,40
fructus)
Piperin 1,10
7. Ekstrak kental buah cabe jawa Minyak atsiri 4,80
(Piper retrofracti fructus
extractum spissum)
Piperin 14,0
8. Gambir (Uncariae gambiris folii Katekin 90,0
extractum spissum)
9. Rimpang jahe merah (Zingiberis Minyak atsiri 1,70
officinalis var. Rubrum rhizoma) (shogaol)
10. Ekstrak kental rimpang jahe merah Minyak atsiri 2,81
(Zingiberis officinalis var. Rubrum (shogaol)
rhizoma extractum spissum)
11. Rimpang jahe (Zingiberis Minyak atsiri 0,80
officinalis rhizoma) (shogaol)
12. Ekstrak kental rimpang jahe Minyak atsiri 1,60
(Zingiberis officinalis rhizome (shogaol)
extractum spissum)
13. Daun jambu biji (Psidii guajavae Flavonoid (kuarsetin) 0,20
folium)
14. Daun jambu mete (Anacardii Flavonoid (kuarsetin) 0,20
occidentalis folium)
15. Ekstrak kental daun jambu mete Flavonoid (kuarsetin) 2,30
(Anacardii occidentalis folium
extractum spissum)
16. Daun jati belanda (Guazumae Flavonoid (kuarsetin) 0,30
ulmifoliae folium)
17. Ekstrak kental daun jati belanda Flavonoid (kuarsetin) 3,20
(Guazumae ulmifoliae folium
extractum spissum)
179

No. Nama Lokal Kandungan Kimia (% v/b)


Simplisia
18. Kulit kayu manis (Cinnamomi Minyak atsiri 1,50
burmannii cortex)
Sinamaldehid 0,50
19. Buah kayu putih (Melaleucae Minyak atsiri (sineol) 0,20
leucadendrae fructus)
Flavonoid (kuarsetin) 2,0
20. Ekstrak kental buah kayu putih Minyak atsiri (sineol) 2,10
(Melaleucae leucadendrae fructus
extractum spissum)
Flavonoid (kuersetin) 5,60
21. Buah kemukus (Piperis cubebae Minyak atsiri 7,0
fructus) (kubebin)
22. Ekstrak kental buah kemukus Minyak atsiri 5,0
(Piperis cubebae fructus (kubebin)
extractum spissum)
23. Rimpang kencur (Kaemferiae Minyak atsiri 2,40
galangae rhizoma)
etil p-metoksisinamat 1,80
24. Ekstrak kental rimpang kencur Minyak atsiri 7,93
(Kaemferiae galangae rhizome
extractum spissum)
etil p-metoksisinamat 4,30
25. Daun kenikir (Cosmosis caudati Minyak atsiri 0,60
folium) (isokuersitrin)
26. Ekstrak kental daun kenikir Minyak atsiri 1,14
(Cosmosis caudati folium (isokuersitrin)
extractum spissum)
27. Kulit batang krangean (Litsea Minyak atsiri (sineol) 0,6
cubeba cortex)
28. Ekstrak kental kulit batang Minyak atsiri (sineol) 0,09
krangean (Litsea cubeba cortex
extractum spissum)
29. Daun kumis kucing Flavonoid sinensetin 0,1
(Orthosiphonis staminei folium)
30. Ekstrak kental daun kumis kucing Flavonoid sinensetin 1,10
(Orthosiphonis staminei folium
extractum spissum)
31. Rimpang kunyit (Curcumae Minyak atsiri 3,02
domesticae rhizoma)
kurkumoid 6,60
32. Ekstrak kental rimpang kunyit Minyak atsiri 3,20
(Curcumae domesticae rhizome
extractum spissum)
Kurkumoid 33,90
180

No. Nama Lokal Kandungan Kimia (% v/b)


Simplisia
33. Daun legundi (Viticis trifoliae Minyak atsiri 0,05
folium)
Flavonoid 0,23
viteksikarpin
34. Rimpang lengkuas (Alpiniae Minyak atsiri 0,50
galangae rhizoma) (galangin)
35. Ekstrak kental rimpang lengkuas Minyak atsiri 0,20
(Alpiniae galangae rhizoma (galangin)
extractum spissum)
36. Daun lidah buaya (Aloe verae Antrakinon (Aloin A) 0,20
folium)
37. Daging buah mahkota dewa Falerin 3,0
(Phaleriae macrocarpae
pericarpium)
38. Ekstrak kental daging buah Falerin 8,60
mahkota dewa (Phaleriae
macrocarpae pericarpium
ectractum spissum)
39. Buah mengkudu (Morindae Skopoletin 0,02
citrifoliae fructus)
40. Ekstrak kental buah mengkudu Skopoletin 0,40
(Morindae citrifoliae fructus
extractum spissum)
41. Herba meniran (Phyllanthi niruri Flavonoid (filantin) 0.90
herba)
42. Ekstrak kental herba meniran Flavonoid (filantin) 3,20
(Phyllanthi niruri herba extractum
spissum)
43. Biji pala (Myristicae fragransis Minyak atsiri 8,0
semen) (miristisin)
44. Ekstrak kental biji pala Minyak atsiri 4,0
(Myristicae fragransis semen (miristisin)
extractum spissum)
45. Herba patikan cina (Euphorbiae Flavonoid (kuersetin) 0,20
prostatae herba)
46. Ekstrak kental herba patikan cina Flavonoid (kuersetin) 3,10
(Euphorbiae prostatae herba
extractum spissum)
47. Herba pegagan (Centellae Asiatikosida 0,07
asiaticae herba)
48. Ekstrak kental herba pegagan Asiatikosida 0,90
(Centellae asiaticae herba
extractum spissum)
49. Kulit pule (Alstoniae scholaridis Alkaloid 0,09
cortex) (tetrahidroalstonin)
181

No. Nama Lokal Kandungan Kimia (% v/b)


Simplisia
50. Ekstrak kental kulit pule Alkaloid 0,30
(Alstoniae scholaridis cortex (tetrahidroalstonin)
extractum spissum)
51. Daun salam (Syzygii polyanthi Flavonoid (kuersitrin) 0,40
folium)
52. Herba sambiloto (Andrographidis Andrografolid 0,64
paniculatae herba)
53. Ekstrak kental herba sambiloto Andrografolid 15,0
(Andrographidis paniculatae
herba extractum spissum)
54. Daun sembung (Blumae Flavonoid (kuersetin) 1,20
balsamiferae folium)
55. Ekstrak kental daun sembung Flavonoid (kuersetin) 2,40
(Blumae balsamiferae folium
extractum spissum)
56. Daun tapak liman (Elaphantopi Flavonoid 0,20
scaberi folium) (isodeoksielefantopin)
57. Ekstrak kental daun tapak liman Flavonoid 6,20
(Elaphantopi scaberi folium (isodeoksielefantopin)
extractum spissum)
58. Rimpang teki (Cyperi rotundi Minyak atsiri (sineol) 0,20
rhizoma)
59. Ekstrak kental rimpang teki Minyak atsiri (sineol) 0,70
(Cyperi rotundi rhizoma extractum
spissum)
60. Daun tempuyung (Sonchi Flavonoid (luteolin) 0,06
arvensidis folium)
61. Ekstrak kental daun tempuyung Flavonoid (luteolin) 1,10
(Sonchi arvensidis folium
extractum spissum)
62. Rimpang temu giring (Curcumae Minyak atsiri 1,45
heyneanae rhizoma) (kurkumin)
63. Ekstrak kental rimpang temu Minyak atsiri 0,6
giring (Curcumae heyneanae (kurkumin)
rhizoma extractum spissum)
64. Rimpang temu kunci Minyak atsiri 0,32
(Boesenbergiae rhizoma) (pinostrobin)
65. Ekstrak kental rimpang temu Minyak atsiri 2,0
kunci (Boesenbergiae rhizoma (pinostrobin)
extractum spissum)
66. Rimpang temulawak (Curcumae Minyak atsiri 5,8
xanthorrhizae rhizoma) (xantorizol)
Kurkuminoid 4,0
(kurkumin)
182

No. Nama Lokal Kandungan Kimia (% v/b)


Simplisia
67. Ekstrak kental rimpang temulawak Minyak atsiri 4,60
(Curcumae xanthorrhizae rhizoma (xantorizol)
extractum spissum)
Kurkuminoid 14,20
(kurkumin)
68. Ekstrak kental rimpang temu Minyak atsiri 0,20
mangga (Curcumae manggae (kurkumangosida)
rhizomae extractum spissum)

Sumber: Farmakope Herbal Indonesia Edisi I, Kementerian Kesehatan (2008)


183

Lampiran 2. Daftar Tanaman Obat Berkhasiat dari Hutan Tanaman


No. Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
1. Acacia siberiana Akasia Akar Saponin, Obat demam dan
(Leguminosae) falvonoid, obat mulas
polifenol
2. Adenanthera Segawe Kulit batang Saponin, Pencuci luka yg
pavonina sabrang, flavonoid, sudah lama
(Leguminosae) saga hutan tanin,
polifenol
3. Aegle marmelos Mojo legi, Daun, akar, Saponin, Daun (obat kudis),
(Rutaceae) maja kulit akar, flavonoid, akar dan kulit (obat
daging buah tanin, sakit usus), daging
polifenol buah (obat disentri)
4. Acacia procera Weru Kulit batang Saponin, Obat sakit perut
(leguminosae) flavonoid,
polifenol
5. Aleurites Kemiri, Biji, akar Minyak Biji (pencahar,
moluccana muncang lemak, perawatan kulit),
(Euphorbiaceae) saponin, akar (obat batuk,
flavonoid, sariawan, peluruh
polifenol seni, obat luka)
6. Alstonia Pule Kulit batang Alkaloida, Obat demam dan
macrophylla saponin beri-beri
(apocynaceae)
7. A. scholaris Pulai, pule Kulit Ethitamine, Memperkuat
(Apocynaceae) batang, alstonidine, lambung,
daun, akar, alstonine, mengempiskan
getah, akuamicine, limpa yg
akuamidine, membengkak,
tubotaiwine, pembersih darah
picrinine, wanita, obat cacing,
ditamine kencing manis,
malaria, wasir, beri-
beri, diare, kencing
batu, hipertensi,
rematik
8. Agathis alba Damar Getah Resin Obat gosok
(Araucariaceae)
9. A. dmmara Damar Daun dan Saponin, Obat luka baru
(Araucariaceae) minyak, ki akar flavonoid,
damar tanin,
polifenol

10. Antidesma bunius Buni Daun dan Saponin, Daun (obat penutup
(Euphorbiaceae) buah flavonoid, luka), buah matang
tanin (menambah ASI)
11. Arthocarpus Sukun Daun dan Saponin, Daun (obat demam),
communis kulit buah polifenol kulit buah
(Moraceae) (memperlancar ASI)
184

Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
12. Azadirachta incica Mimba Daun, Meliacins, Minyak biji
(Meliaceae) bunga, kulit liminoids, (penyakit
kayu, biji zat pahit kulit/psoriasis,eksis
riterpeoid, m, lepra), wasir,
sterol, tanin, kutu kepala,
flavonoid, kontrasepsi, penurun
saponin panas), kulit kayu
(obat malaria, TBC,
kencing manis,
radang sendi, pegal
linu, wasir,
kegemukan, tumor),
ranting
(membersihkan gigi,
radang gusi,
memperkuat gusi,
mencegah bau
mulut)
13. Baccaurea Menteng, Daun Saponin, Obat mencret dan
racemosa kepundung flavonoid, peluruh haid
(Euphorbiacea) tanin,
alkaloida
14. Barringtonia Putat Daun muda Saponin, Obat penambah
spicata flavonoid, nafsu makan
(Lecythidaceae) tanin
15. Caesalpinia sappan Secang Kayu Asam galat, Batuk darah pada
(Leguminosae) brasilein, TBC, pembersih
resin, darah, radang
resorsin, selaput lendir
minyak
atsiri, tanin
16. Calliandra Kaliandra Daun Saponin, Obat luka baru
haematocephala flavonoida,
(Leguminosae) tanin
17. Calophyllum Nyamplung Daun Senyawa Menekan
inophylum costatolidae, pertumbuhan virus
(Guttifereae) saponin dan HIV, bahan
hydrocyanic kosmetik untuk
acid perawatan kulit,
menyembuhkan luka
membandel, luka
bakar, luka potong
18. Canarium Kenari Daun, Saponin, Daun (pelancar
commune minyak biji tanin, haid), minyak biji
(Burseraceae) minyak (kosmetika)
lemak
19. Cassia siamea Johar Daun Alkaloid, Malaria
(Leguminosae) steroid,
interpenoid
185

Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
20. C. surattensis Kembang Akar Alkaloida, Obat kencing nana
(Leguminosae) kuning polifenol
21. Casuarina Cemara Daun Saponin, Obat kejang perut
equisetifolia tanin,
(Casuarinaceae) flavonoida
22. Cerbera manghas Bintaro Daun muda, Saponin, Obat pencahar
(Apocynaceae) akar, kulit polifenol,
batang tanin
23. Chrysophyllum Apel ijo, Kulit batang Tanin, Obat untuk
cainito sawo siyem flavonoida menguatkan tubuh
(Sapotaceae)
24. Cinnamomum Pohon Kulit batang Saponin, Pelega perut dan
camphora kamfer alkaloida, antiseptik
(Lauraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin,
minyak
atsiri
25. C. parthenoxylum Melana Kayu, kulit Atsri, safrol Kayu pewangi, hati
(Lauraceae) minyak yang membesar
26. Cordia obliqua Kendal Kulit Saponin, Obat demam
(Boraginaceae) batang, daun flavonida,
polifenol,
tanin
27. Crescentia cujete Berenuk Daun, Saponin, Daun (obat luka
(Bignoniaceae) daging buah flavonoida, baru), daging buah
polifenol (obat urus-urus)
28. Cryptocarva Masoyi Kulit batang Minyak Asma, batuk darah,
massoy atsiri demam, keputihan,
(Ebenaceae) kejang waktu hamil,
nyeri rematik, sulit
tidur, luka
29. Dialum indum Asam Daging buah Saponin, Obat sariawan, gusi
(Rosales) kranji flavonoida berdarah, obat
mencret
30. Dillenia Dilinia Buah Saponin, Obat sariawan, obat
philippinensis flavonoida, untuk wanita hamil,
(Dilliniaceae) tanin, penyegar badan
polifenol
31. Diospyros ferrea Kitenyek Hati kayu - Peluruh kentut pada
(Ebenaceae) anak-anak
32. D. kaki Kesemek Akar Saponin, Obat demam
(Ebenaceae) flavonoida,
tanin,
polifenol
33. Dracontomelon Sengkuang Kulit batang - Membantu
dao keluarnya ari-ari
(Anacardiaceae) pada wanita bersalin
186

Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
34. Duboisia leichardti Dubosia Daun Saponin, Obat batuk, obat
(Solanaceae) alkaloida, penenang
polifenol
35. Dryobalanops Kapur Kayu Minyak Mengurangi rasa
aromatica atsiri, harsa nyeri
(Dipterocarpaceae)
36. Durio zibethinus Durian Akar, cairan Saponin, Obat demam,
(Bombacaceae) daun, buah, flavonoida, pelancar haid, obat
kulit buah tanin, penggugur, obat
polifenol ruam, obat kurap,
mengobati sembelit,
obat jerawat
37. Elaeocarpus Jenitri Buah Polifenol, Peluruh lemak
granitus saponin badan
(Elaeocarpaceae)
38. E. grandiflora Anyang- Buah, daun Saponin, Buah (pelancar air
(Elaecarpaceae) anyang muda flavonioda, seni), daun muda
tanin, (obat borok dan
polifenol bisul)
39. Erythrina fusca Cangkring Akar Saponin, Obat sakit beri-beri
(Leguminosae) flavonoida,
polifenol
40. E. lithosperma Dadap Daun Saponin, Obat melancarkan
(Leguminosae) serep, flavonoida, nifas dan
dadap alkaloida, melancarkan ASI
minyak polifenol
41. E. microcarpa Dadap Daun Saponin, Obat demam pada
(Leguminosae) daun alus flavonoida, anak-anak
alkaloida,
polifenol
42. Eucalyptus Leda Daun, kulit Minyak Penambah tenaga,
deglupta batang atsiri, menghilangkan
(Myrtaceae) phellandren lemah lesu
e, aldehyde,
keton, fenol
43. E. umbellata Kayu putih Buah, daun Saponin, Obat masuk angin
(Myrtaceae) flavonoida,
tanin,
alkaloida,
minyak
atsiri
44. Eugenia cumini Duwet, Bunga, biji, Zat samak, Biji (obat kencing
(Myrtaceae) jamblang kulit tanin, manins,
minyak mengompol), kulit
terbang, (obat mencret)
damar,
glukoside,
asam galat
187

Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
45. E. microcyma Jambon, ki Daun Flavonoida, Obat diabetes
(Myrtaceae) tembaga tanin,
polifenol
46. E. polycephala Gowok, Kulit batang Saponin, Obat mencret
(Myrtaceae) kupa flavonoida,
tanin,
polifenol
47. Ficus ampelas Rampelas Daun, getah Saponin, Daun (melancarkan
(Moraceae) flavonoida, air seni), Getah
polifenol (obat sakit mencret)
48. F. annulata Bulu, Daun, akar Saponin, Daun (obat sakit
(Moraceae) kiyara flavonoida, demam), akar (obat
koneng, polifenol sakit lepra)
grasak
49. F. benjamina Beringin Daun Saponin, Obat sariawan pada
(Moraceae) flavonoida, anak-anak
polifenol
50. F. callosa Ilat-ilatan Getah Saponin, Obat bisul
(Moraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin
51. F. glabella Iprih Kulit batang Saponin, Obat demam
(Moraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin
52. F. glomerata Elo, loawa Daun, buah Saponin, Obat diare
(Moraceae) flavonoida,
polifenol,
alkaloida
53. F. ribes (Moraceae) Preh, walen Daun, kulit Saponin, Kulit batang (obat
bolok batang, flavonoida, mencret, mual dan
getah polifenol malaria), getah
(pelancar ASI)
54. Gigantochloa apus Bambu Rebung Saponin, Obat demam,
(Graminae) apus flavonoida, peluruh air seni
polifenol
55. Glyricidia sepium Glirisida Daun Saponin, Penyubur rambut,
(Papilionaceae) flavonoida, penghalus kulit
polifenol
56. Guatteria rumphii Kayu itam Kayu, daun Saponin, Obat demam
(Annonaceae) flavonoida,
polifenol
57. Hernandia peltata Kemiren, Biji Saponin, Obat masuk angin
(Hernandiaceae) binong flavonoida,
tanin
188

Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia
58. Hibiscus tilaceus Waru Daub, akar, Saponin, Daun (Anti radang,
(Malvaceae) bunga flavonoida, anti toksin, peluruh
tannin, dahak, peluruh
polifenol kencing, TB paru-
paru, batuk, sesak
napas, demam,
muntah darah,
radang usus, bisul
abses), akar
(penurun panas,
peluruh haid), bunga
(radang mata)
59. Intsia bijuga Merbau, Kulit batang Tanin, Menghentikan diare
(Fabaceae) ipil alkaloid
60. Khaya sinegal Kayu Daun Saponin, Obat batuk menahun
(Meliaceae) lanang, flavonoida,
songgo tanin
langit
61. Lagerstroemia Bungur Bunga, akar Decinine, Bunga, kulit kayu
indica (Lythraceae) kecil daun decamine, dan kayu bersifat
legerine, puratif, batuk darah,
largerstroem campak, disentri,
ine, eksim, sakit kuning,
dihyldrovert anti radang,
iciilatine, meluruhkan kemih,
decodine menetralkan racun
62. L. loudonii Bungur Daun Saponin, Obat bisul
(Lythraceae) flavonoida,
polifenol,
tanin
63. Leucaena glauca Petai cina Biji Mimosin, Biji (obat cacing,
(Mimosaceae) leukanol, diuretik, laksan),
leekaenin, akar (peluruh haid)
protein
64. Lisea cubeba Ki lemo, Daun, buah, Minyak Kulit batang
(Lauraceae) krangean kulit, atsiri, tanin, (penawar bisa), buah
batang, akar elegat, (obat batuk)
saponin,
falvonoida
65. L. odorifera Trawas Daun Minyak Penambah nafsu
(Lauraceae) atsiri, makan, karminatif,
damar, tanin sriawan, pelancar
ASI, obat bisul
66. Manilkara kauki Sawo kecik Bunga, Saponin Obat daya
(Sapotaceae) buah, biji penyembuh yang
tinggi
189

Lampiran 2. Lanjutan
No Nama Ilmiah Nama Bagian yang Bahan Khasiat
(suku) Lokal digunakan Kimia

67. Maniltoa Pohon sapu Kulit batang Minyak Obat sakit gangguan
grandiflora tangan atsiri, pencernaan
(Caesalpiniaceae) flavonoida,
polifenol
68. Massoia aromatic Masoyi Kulit batang Minyak Obat pusing,
(Lauraceae) atsiri, keputihan, kejang
flavonoida, perut, urus-urus,
polifenol penurun panas,
pasca persalinan
69. Paraserienthes Sengon Daun Saponin, Obat luka lama
falcataria laut flavonoid,
(Leguminosae) tanin,
polifenol

Sumber: Zuhud dan Haryanto (1994), Jain (2001), Delimartha (2006), Hariana
(2006); Rostiwati (2013).
190

Lampiran 3. Importasi Bahan Obat Tradisional Ke Dalam Wilayah Indonesia


No. Kode HS Jenis Barang
1. 0409000000 Royal jelly
2. Honey (madu)
3. 1207300000 Castor oil
4. 1211201000 Black cohosh extract
5. 1214100000 Alfalfa powder
6. 1302193000 Blueberry extract
7. Glycyrrhiza extract
8. Thyme extract
9. Adhatoda vasica extract
10. Aesculi hippocastanum extract
11. Agni casti extract
12. Alli extract
13. Aloe verae extract
14. Althaea officinalis extract
15. Angelicae dahuricae extract
16. Areca catehu extract
17. Arnicae montanae tincture
18. Astragali membranaceus extract
19. Avena sativa extract
20. Bilberry extract
21. Bitter orange peel extract
22. Black elderberry extract
23. Brown seaweed extract
24. Bupleuri Chinense extract
25. Camomile extract
26. Cassiae sennae extract
27. Centellae asiaticae extract
28. Cephaelis ipecacuanha extract
29. Chelidonii majus extract
30. Chicorii intybus extract
31. Cimicifugae racemosae extract
32. Cinnamomum zeylanicum extract
33. Codonopsis extract
34. Coffee extract
35. Colei forskohlii (Placenthus barbatus ) extract
36. Commiphorae mukul extract
37. Corynanthe yohimbe extract
38. Crataegus oxyacanthae extract
39. Crataegus pinnatifidae extract
40. Curcumin extract
41. Damiana extract
42. Dioscoreae oppositae rhizomae extract
43. Droserae ramentaceae extract
44. Echinaceae agustifoliae extract
45. Echinaceae purpurea extract
46. Eleutherococcus senticoccus extract
47. Extract obat lainnya
191

Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
48. 1302193000 Caulis spatholobus suberectus
49. Chinensis
50. Astragallus membranacaeus
51. Bupleurum
52. Salviae miltiorrhizae
53. Fuci aquos extract
54. Fucus viciculosus extract
55. Ganodermae lucidum extract
56. Garcinia cambogia extract
57. Ginko biloba extract
58. Ginseng extract
59. Grapeseed extract
60. Green tea extract
61. Grindeliae camporum extract
62. Hammamelis virginianae extract
63. Harpagophyti procumbens extract
64. Horse chesnut P.E.
65. Humulus lupulus extract
66. Ilex paraguariensis extract
67. Isatis indigoticae extract
68. Laminaria japonica extract
69. Licorice extract (liquiritium extract)
70. Liriosmae ovatae extract/Dulcacia inopiflora
71. Lonicerae Capri extract
72. Lonicerae japonica extract
73. Medicago sativa extract
74. Meliloti officinalis extract
75. Mentha piperita extract
76. Milk thistle powder extract
77. Momordicae charantia dry extract
78. Momordicae grosvenori extract
79. Myroxylon pereirae extract
80. Olea europaea extract
81. Panax ginseng extract
82. Passiflora incarnatae extract
83. Paulinae cupanae extract
84. Pausinystaliae yohimbe extract
85. Pheretima aspergillum/lumbricus extract
86. Phyllanthus niruri extract
87. Pimpinella anisum extract
88. Plantago ovatae semini extract
89. Primulae extract
90. Pruni africanae cortex extract
91. Ptychopetali olacoides extract
92. Rhei radix extract
93. Rusci aculeatus rhizomae extract
94. Salix species cortex extract
95. Sambuci nigrae extract
192

Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
96. 1302193000 Sanguis draconis extract
97. Schizandrae chinensis extract
98. Serenoae repens extract
99. Silybi marianum extract
100. Sophora japonica extract
101. Steviae rebaudianae extract
102. Taraxacum officinale extract
103. Thymi serpyllum extract
104. Thymi vulgaris extract
105. Tribuli terrestis extract
106. Trifolii pretense extract
107. Turnerae diffusae extract
108. Urticae dioicae extract
109. Vaccinii myrtillus extract
110. Valerian extract
111. Vanila extract
112. Vincae minor extract
113. Vitex agnus castus extract
114. Vitis vinifera extract (Leucose lect phytosome)
115. Withaniae somniferae extract
116. Zingiber officinale extract
117. 1508901000 Arachis oil
118. 1510001000 Minyak lain dan fraksinya, diperoleh semata-mata
dari zaitun, berupa minyak mentah (termasuk
campuran dari beberapa minyak atau fraksinya
dengan minyak zaitun atau fraksi minyak zaitun
yang dimurnikan maupun tidak, tetapi tidak
dimodifikasi secara kimia)
119. 1512191000 Sun flower oil
120. 1514110000 Canola oil
121. 1515902900 Oenotherae biennis oil
122. 1516201800 Flax seed oil
123. 1518001400 Virgin coconut oil
124. Fraksi dari minyak kelapa yang dimurnikan
125. 2906110000 Menthol
126. Borneol
127. 2907120000 Formokresol
128. 2907190000 Thymol
129. 2909300000 Anethol oil
130. Eugenol
131. 2914291000 Camphor
132. 2918230000 Methyl salicylate
133. 2938100000 Myrtol
134. Saponin
135. Terpineol
193

Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
136. 2939300000 Kafein
137. 3301120000 Orange sweet oil
138. 3301240000 Peppermint oil
139. 3301250000 Dementholised mint oil BP/EP
140. Minyak atsiri (mengandung terpena atau tidak dari
peppermint (Mentha piperita))
141. Spearmint oil
142. 3301290010 Citronella oil
143. 3301290090 Cassia oil
144. Cedarleaf oil
145. Clove oil
146. Eucalyptus oil
147. 3301300000 Podophyllum resin
148. Vanila oleoresin
149. 3301301000 Nigella sativa seed oil
150. Pimpinella anisum oil
151. Anise oil
152. Cajuputi oil
153. Myristica oil
154. Black cumin seed oil
155. Borago officinalis oil
156. Cassia oil
157. Chamomile extract
158. Chamomile oil
159. Chlorella extract
160. Clove oil BP/EP
161. Coriander seed oil
162. Cypres French oil
163. Eucalyptus oil
164. Euphrasia extract
165. Evening primrose oil
166. Garlic oil
167. Lavender oil
168. Melissa officinalis oil
169. Minyak atsiri (mengandung terpena atau tidak dari
rumput lemon, serai, pala, kayu manis, jahe,
kapulaga, adas atau palm rose yan mempunyai
mutu farmasi)
170 Oleum juniper
171. Pine needle oil
172. Pumilo pine oil
173. Rosmarinus officinalis oil
174. Star anise oil
175. Syzygii aromaticum oil
176. Triticum aestivum oil
177. Capsaicin
178. Capsicum oil
179. Myrrh oil
194

Lampiran 3. Lanjutan
No. Kode HS Jenis Barang
180. 3301301000 Wintergreen oil
181. 3301909000 Nutmeg oil
182. 3302900000 White camphor oil
183. 3802100000 Activated carbon
184. 3805100000 Cineole
185. Terpentin oil
186. 3807000000 Creosot
Sumber: BPOM (2013)
195

Lampiran 4. Data Nota Pengobatan Romo H. Loogman MSC

PENGOBATAN ROMO H. LOOGMAN MSC RAMUAN TRADISIONAL JAWA


Jl. Jenderal Sudirman No 9 PURWOREJO – Terdaftar dengan nomor: 448/01/1983
KEDU 54114 Purworejo, 17-1-1983
Email: (sumartono@gmail.com), (swibaktata@yahoo.com.au), Fax: (0275 325210)
Hari Praktek: Waktu Hari Pengambilan Obat
3. Senin, Selasa Pk 07.30 – Selesai 1. Rabu Pk 08.00 – 12.00
4. Jumat Pk 13.30 – Selesai 2. Sabtu Pk 08.00 – 12.00
a/n. TS WIGNYOSOEMARTO Rek BCA-Purworejo Pengambilan obat via surat,
2350269919 uang dapat dikirim via: Wesel
Pos, Paket, Bank (copyright
by: Eric Digna

NOTA

Nama pasien : DWI ASTUTI.141/15


Alamat : WONOSARI/R
Status pengambilan : SEMUA/R
Tanggal Nota : 13-01-2015 Nomor Nota: 96419

No. Nama obat/Alat-Alat Terapi Jumlah Harga Harga Total


1. CM 10 1400 14000
2. RIA 10 3500 35000
3. BC 10 1400 14000
4. BA 10 1400 14000
5. AL 10 1400 14000
6. B 20 1400 28000
7. Relexin pil 1 17000 17000
8. ACI 10 1400 14000
9. Cengkeh 1 10000 10000
10. T 10 1400 14000
11. Pee Pawan 1 40000 40000
12. Kunir Suami 60 1400 84000
13. Gemilang BR 2 12500 25000
14. T 15 1400 21000
15. AU 15 1400 21000
16. KRT 14 1400 21000
Administrasi 30000
TOTAL 416000

Sumber: Nota Pembayaran pada klinik Penyembuhan Romo Loogman Purworejo (2015)
196

Lampiran 5. Daftar Simplisia yang Digunakan sebagai Ramuan untuk Penyembuhan di Klinik Romo H.
Loogman MSC

No. Simplisia No. Simplisia No. Simplisia


1. Adas 46. Kembang bintang 91. Eceng gondok
2. Pulosari 47. Cengkeh 92. Sesabunan
3. Sirih 48. Kangkung-kangungan 93. Batang kelor
4. Meniran 49. Tali puteri 94. Lidah rances
5. Daun Cuplik Sari 50. Kayu legi 95. Masoyi
6. Daun Benalu Alpokat 51. Kayu manis 96. Sereh
7. Daun Asam 52. Kayu benalu alpokat 97. Mengkudu
8. Daun Beluntas 53. Kayu angin 98. SUN beras merah
9. Daun Seledri 54. Batang benalu mangga 99. SUN sayur mayur
10. D. Kecubung 55. Brotowali 100. Palm sugar
11. D. Kumis Kucing 56. Cendana 101. D. papaya
12. D. Kaji Beling 57. Ulir 102. Bawang merah
13. D. Kaliandra 58. Ganti 103. Cabe rawit
14. D. Sambiloto 59. Bidara laut 104. Biji papaya
15. D. Tapak Dara 60. Gadung cina 105. Kulit pete
16. D. Bayam 61. Sariawan 106. Jung rahab
17. D. Lengkeng 62. Batang padi 107. Akar jagung
18. D. Jeruk 63. Akar padi 108. Rambut jagung
19. D. Melati 64. Kulit gori 109. Akar pisang
20. D. Hia 65. Kulit kentang 110. Jamur impes
21. Daun Kacang-Kacangan 66. Sabut kelapa tua 111. Lengkuas/laos
22. D. Ganggang 67. Pala dan biji pala 112. Kedelai
23. D. Puteri Malu 68. Temu ireng 113. A. beringin
24. D. Benalu Mangga 69. Varen 114. Sanagori
25. Witte Rances 70. Beras merah 115. Sidagori
26. D. Tapak Liman 71. Alang-alang 116. Ciplukan
27. Akar Legetan 72. Temu kunci 117. Pucuk jati
28. D. Inceng-incengan 73. SPP 118. Kina
29. D. Antanan 74. Sakacau 119. Korejat
30. Bunga Melati 75. Ketan hitam 120. Kunir putih
31. Bunga Kaliandra 76. D. Saga 121. Temu mangga
32. Bunga Sukma Diluwih 77. Kunir putih 122. Werdu
33. Buah Cangkok 78. Rumput laut 123. Sigar polo
34. Biji Bayam 79. D. singkong 124. Cemara
35. Jinten item 80. Gempor batu 125. Patikan kebo
36. Teki 81. Karang merah 126. Widoro upas
37. Buah Pala Daging 82. D dan Bunga mengkudu 127. Krokot
38. Kunir 83. Anak kunir 128. Jamur LC
39. Temulawak 84. Kepala kunir 129. Pollen
40. Bengle 85. Ay Yap (BC II) 130. Ginseng
41. Kacang ijo 86. Akar kacang 131. Mahkota dewa
42. Jagung kuning 87. Kembang cuplik sari 132. Salam
43. Jagung putih 88. Kencur 133. Pare
44. Lempuyang 89. Bekatul 134. Kluwih
45. Kapulogo 90. Telur kodok 135. Jali
197

Lampiran 5. Lanjutan

No. Simplisia
136. D. cincau
137. Angkak
138. Ki urat
139. Keladi tikus
140. Tura ikan hiu
141. Jati belanda
142. Kulit pohon kecapi
198

Lampiran 6. Formula Ramuan Tradisional Rm. H. Loogman MSC

FORMULA RAMUAN TRADISIONAL RM. H. LOOGMAN MSC

Kode Ramuan Kode Ramuan Keterangan


A: Daun benalu alpokat F: Sirih - Tumbuhan obat pulosari
Sirih Beluntas digunakan pada 28 unit
Kayu Legi Tapak dara resep dari 109 resep di
Saga Adas klinik ini, yaitu sebesar
Kunir Daun asam 25.68%
Kayu angin Harendongan - Resep-resep pengobatan
Temu lawak tradisional ini mulanya
B: Pala G: Kapulogo dikembangkan oleh
Kunir Kumis kucing seorang misionaris
Tapak dara Keji beling katolik di Purworejo
Kumis kucing Alang-alang sebagai bagian dari
Temu ireng Bidara laut konsep pelayanan
Antanan Adas Gereja bagi
Gadung cina Pulosari kepentingan umum.
Kunir Kemudian setelah
C: Batang benalu mangga H: Adas meninggal, resep
Adas Pulosari tersebut dipatenkan oleh
Temulawak Beluntas salah seorang muridnya
Meniran Meniran sehingga klinik awal
Kayu manis Temulawak “pernah” kesulitan
Rumput laut Daun saga untuk membuat sendiri
Kumis kucing Melati resep-resep tersebut.
D: Biji bayam I: Daun benalu alpokat Sampai saat ini klinik
Cengkeh Gadung serut awal amat tergantung
Kayu angin Alang-alang dari murid tersebut
Kunir Daun lengkeng untuk memproduksi
Beluntas Daun singkong formula resep. Hal ini
Temu ireng Temulawak berarti, apabila resep
E: Adas J: Adas obat tradisional yang
Pulosari Pulosari secara empiris terbukti
Gadung serut Daun asam menyembuhkan dapat
Sariawan Temulawak menjadi sumber konflik
Kayu manis Kembang melati apabila tak dikelola
Daun saga Beluntas dengan baik.
Brotowali
199

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


K: Temulawak R: Tapak dara
Ulir Ganti
Sirih Pala
Kayu manis Adas
Daun papaya Pulosari
Lengkuas
L: Temulawak S: Sukmo
Brotowali Kaliandra
Kaliandra Temu ireng
Pala daging Adas
Jinten item Pulosari
Daun singkong Temulawak
Antanan
M: Garam kh T: Alang-alang
Melati Daun hia
Kunir Batang padi
Bawang merah Sasabunan
Batang kelor
N: Masoyi U: Daun benalu mangga
Kumis kucing Sirih
Kunir Temulawak
Gadung Adas
Pulosari
Kayu legi
O: Antanan V: Kayu manis
Saga Meniran
Anak kunir Batang benalu mangga
Mengkudu Adas
Rumput laut Pulosari
Kunir
P: Bangle W: Beluntas
Kunir Adas
Kayu angin Pulosari
Kapulaga Melati
Kaliandra Kunir
Kecubung
Q: Harendongan X: Kumis kucing
Masoyi Kaji beling
Bawang merah Masoyi
Batang padi
Bidara laut
Eceng gondok
200

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


Y Temu ireng BE Sabut kelapa
Meniran Meniran
Akar pisang Lempuyang
Cengkeh Kayu legi
BC III Kapulaga
Kaliandra Kacang-kacangan
SPP
AL Daun tapak liman BR Pala
Inceng-incengan Sledri
Pala daging Ganti
Antanan Sereh
SPP Adas
Lempuyang
AW Temulawak BX Daun benalu alpokat
Adas Alang-alang
Pulosari Adas
Kayu manis Pulosari
Putri malu
Sariawan
Handeleum
Sirih
BA Meniran BZ Temulawak
Kencur Daun benalu mangga
Sesabunan Sukmo
Beluntas Beluntas
Rambut jagung Adas
Cabe rawit Pulosari
Akar jagung Eceng gondok
Ay yap
BC Temulawak CL Cendana
BC III/Ay yap Cangkok
Gadung serut Daun singkong
Kacang-kacangan Brotowali
Lempuyang Kencur
Daun benalu mangga Cengkeh
BD Temlawak CP Masoyi
Varen Ulir
Ay yap Adas
Batang benalu mangga
Rumput laut
Beluntas
201

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


CR: Pala daging GR: Seledri
Meniran Kencur
Lidah rances Alang-alang
Kayu manis Daun benalu mangga
Kencur Masoyi
Temulawak Daun pepaya

CY: Lempuyang GS: Seledri


Pala Masoyi
Lidah panjang Ganggang
Kayu mahoni Rumput laut
Sirih
Lempuyang
DH: Harendongan Gama: Ling Zhi
Adas
Pulosari
Beluntas
Ganggang
Jung rahab
Lempuyang
Diaman: Sambung nyawa HK: Ramuan china
Pala Temulawak
Imbau Rumput laut
Cincau Adas
Pulosari
ER: Meniran HL: Kunir
Akar padi Pala
Kunir Eceng gondok
Daun singkong Legetan
Kencur Temu ireng
Sabut kelapa Akar kacang
Daun pepaya
HS: Saga
Temulawak
Brotowali
Cabe rawit
Temu ireng
202

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


HV: Kacang-kacangan TG: Beras merah
Cangkok Bayam
Brotowali Kayu legi
Temulawak Adas
Kayu angin Pulosari
Jamur impes Campuran harmonis beberapa jenis makanan
bayi paten umum
IA: Lidah ayam KT: Kunir pokok
Kunir Kunir cabang
Mahkota dewa Kayu manis
Tapak dara
KM: Pulosari PL: Sanagori
Melati Cengkeh
Varen Alang-alang
Temulawak
Saga
Adas
LM: Kedelai RL: Sirih
Akar beringin Biji bayam
Kunir Seledri
Meniran Adas
Kayu manis Pulosari
Seledri
Cendana
MS: Biji pepaya RM: Kembang bintang
Jamur impes SPP
Beluntas Cabe rawit
Kembang bintang Pala
Mengkudu Cendana
Sirih Tapak liman
Akar padi Kapulaga
SH: Cupik sari RZ: Antanan
Sereh Ketan item
Antanan Kunir
Sariawan Brotowali
Sesabunan Cangkok
Kunci Cengkeh
203

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


WK: Kulit pete Kapsul
Kunir
Kayu manis
Meniran
Lempuyang
WL: Sakacau ANAS: Kepala kunir
Kembang bintang Bidara laut
Cengkeh Kunir cabang
Kunir Legetan
Adas
Pulosari
XN: Gempor batu ANDI: Putri malu
Ganti Biji bayam
Putri malu Pala
Mengkudu Kayu angin
Batang padi Rumput laut
ASIH: Putri malu
Pala
Lidah rences
Adas
Pulosari
CELI: SPP
Kayu manis
Pala
Ay yip
Adas
Pulosari
CERIA: Cengkeh
Puteri malu
Adas
Pulosari
CITRA Kembang cuplik sari
Adas
Pulosari
Kacang-kacangan
Valerian
Saga
204

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


Kapsul
DARIN: Biji bayam HERO: Karang merah
Lempuyang Kayu legi
Jung rahab Pala daging
Daun hia
Daun pepaya
DIAMEL: Pare INFA: Kunir pokok
Kluwih Adas
Adas Pulosari
Kayu angin
EMILE: Adas INTI: Kayu legi
Pulosari Adas
Harendongan Pulosari
Kunir Ganggang
Temulawak
Bunga kaliandra
ENDE: Inceng-incengan KARIN: SPP
Ganggang Adas
Pala Pulosari
Batang benalu mangga Kunir
EPI: Rumput laut KENI: Alang-alang
Cuplik Ulir
Keji beling Teki
Cangkok Sasabunan
Kaliandra Sirih
Ganti Meniran
FIBRI: Ulir KORA: Sasabunan
Sirih Melati
Bengle Gadung serut
Ganti Sukmo
Akar beringin Pulosari
Sukmo
GOMEN: Ganggang LAKSMI: Temulawak
Melati Sariawan
Kayu legi Biji bayam
Legetan Legetan
Sirih
HELI: Pala LEKA: Inceng-incengan
SirihAsam Brotowali
Kunir Kunir
Cuplik sari
205

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


LEVIK: Cengkeh RENE: Ganti
Temulawak Temulawak
Kunir Kencur
Bidara laut Kapulaga
LIGO: Sedap malam SARAH: Antanan
Kembang cuplik sari Temulawak
Daun benalu mangga Pala
Kedelai Sambiloto
LISI: Ganti SARI: Kaliandra
Kayu legi Melati
Batang kangkung Rumput laut
Alang-alang Adas
Pulosari
Valerian
Akar jagung
MEKAR: Valerian SINAS: Alang-alang
SPP Kulit pete
Daun hia Kembang bintang
Bunga cangkok Kaliandra
Gadung serut
SPP
MIXTA: Kunir SITA: Rumput laut
Tapak liman Pala daging
Temulawak Beluntas
Kacang merah
MONA: Lempuyang ST: Bekatul
Kulit gori Kacang-kacangan
Masoyi Kayu legi
Akar jagung Teki
NAPSIN: Pala STOPAN: Kunir putih
Sirih Rumput laut
Asam Sukmo
Kunir Saga
Merang gosong
ORIGIN: Pasak bumi SUPER: Sirih
Meniran Kacang merah
Bidara laut Biji bayam
Sambiloto Gempor batu
Lidah panjang Cendana
Daun benalu mangga
206

Lampiran 6. lanjutan

Kode Ramuan Kode Ramuan


TOP Adas FIT Ginseng
Biji bayam
Teki
Kunci
Cengkeh
Sirih
WINA Beluntas CORRY Ginseng gunung china ++
Melati
Jinten
Kapulaga
Karang merah
SPP
Lempuyang
ZEBRA Kunir cabang CHOLESE Ginseng gunung china
Sirih
Melati
BAMBO Bambu dari jepang POLI Bee polen
REMI Bambu dari jepang
207

Lampiran 7. Data Harga Beberapa Tanaman Obat pada Masing-Masing Klaster

Klaster No. Nama Produk Tumbuhan Obat Harga di tingkat


petani (Rp/Kg)
Produksi 1. Jahe 8,500
2. Kunyit 2,500 – 4,000
3. Kunyit putih 5,000
4. Temulawak 3,000
5. Cabe jawa 4,000
6. Kemukus 4,000
7. Kapolaga 12,000
8. Joho keling 2,200
9. Joho lawe 1,500
10. Kemiri 5,000/1000 biji
11. Pakem 4,500/1000 biji
12. Kalongan 8,000
13. Njalin pinang 12,000
14. Arjasa 15,000
15. Rotan selatung 10,000
16. Jati 1,000,000
17. Bayur 3,500,000
No. Nama Produk Jamu Harga (Rp/unit)
1. Asam urat 50,000/kemasan
2. Kencing manis 50,000/kemasan
3. Maag/lambung 50,000/kemasan
4. Darah tinggi 50,000/kemasan
5. Ambein 50,000/kemasan
6. Osteoporosis 60,000/kemasan
7. Penyubur 50,000/kemasan
8. Rapet wangi 50,000/kemasan
9. Rematik 50,000/kemasan
10. Kencing batu 50,000/kemasan
11. Sehat lelaki 70,000/kemasan
Layanan No. Nama Produk Tumbuhan Jamu Harga di tingkat
Kesehatan Pedagang
(Rp/unit)
10. Jerawat 7,000/gelas
11. Sawan tahun 7,000/gelas
12. Galian singset super 8,000/gelas
13. Peluntur lemak 7,000/gelas
14. Darah tinggi 5,000/gelas
15. Kolesterol 5,000/gelas
208

Lampiran 7. Lanjutan
Layanan No. Nama Produk Tumbuhan Obat/Jamu Harga di tingkat
Kesehatan Pedagang
(Rp/unit)
16. Asam urat 5,000/gelas
17. Diabetes 5,000/gelas
18. Temulawak 7,000/gelas
19. Kalkusol 810/butir
20. Pegagan 3,125/kg
21. Daun wungu 15,000/kg
22. Daun kemuning 3,750/kg
23. Babakan pule 12,500/kg
24. Daun jati cina 6,000/kg
25. Daun jati belanda 15,000/kg
26. Pulosari 20,000/kg
27. Sambiloto 1,500/kg
28. Meniran 1,500/kg
29. Brotowali 17,500/kg
30. Temulawak 1050/kg
31. Kunyit 2,750/kg
32. Temu ireng 11,500/kg
33. Pala 87,500/kg
34. Kayu secang 2,800/kg
35. Sembung 13,000/kg
36. Tempuyung 2,000/kg
37. Cabe jawa 62,500/kg
38. Daun seledri 8,000/kg
39. Serai 13,750/kg
40. Jintan hitam 8,000/kg
41. Pare 37,500/kg
42. Tymi 125,000/kg
43. Salam 8,000/kg
44. Adas 8,750/kg
45. Jahe 6,250/kg
46. Kumis kucing 1,250/kg
47. Jahe instan 12,500/bungkus
48. Temulawak instan 9,000/bungkus
49. Kencur instan 12,500/bungkus
50. Jahe merah instan 13,000/bungkus
51. Wedang uwuh 1,000/bungkus
209

Lampiran 7. Lanjutan
Industri No. Nama Produk Tumbuhan Obat Harga di tingkat
Pabrik (Rp/unit)
1. Jamu batuk 15,000/sachet
2. Jamu pegal linu 15,000/sachet
3. Jamu sehat perempuan 15,000/sachet
4. Jamu sehat lelaki 15,000/sachet
5. Jamu galian singset 15,000/sachet
6. Jamu sehat segar 15,000/sachet
7. Jamu pabrikan 350/sachet
8. Jamu instan pabrikan 1000/sachet
9. Temulawak 43,000/botol
10. Pegagan 43,000/botol
11. Sambiloto 43,000/botol
12. Jati belanda 43,000/botol
13. Tempuyung 48,000/botol
14. Temu putih 48,000/botol
15. Gano kapsul 60,000/botol
16. Mahkota dewa 43,000/botol
17. Brotowali 43,000/botol
18. Mengkudu 43,000/botol
19. Nuric 48,500/botol
20. Bio langsing 50,000/botol
21. Phylari 45,500/botol

Industri
22. Lumbricaps 70,000/botol
23. Jamu pabrik 575/sachet
24. Bahan baku jamu setengah jadi 4,000,000/kg

You might also like