Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

KONSEP KONSERVASI KAWASAN PUSAKA LAHAN BASAH UNTUK


MELESTARIKAN RUMAH BUBUNGAN TINGGI TELOK SELONG

The Concept of Conservation on Wetlands Heritage Areas to Conserve Rumah


Bubungan Tinggi Teluk Selong

J.C. Heldiansyah, Naimatul Aufa *, Prima Widia Wastuty


Fakultas Teknik, Universitas Lambung Mangkurat, Jalan A. Yani KM 35, Banjarbaru, Indonesia
*Surel korespondensi: naimatulaufa@unlam.ac.id

Abstract. This research is concerned about the extinction of local wisdom in South Kalimantan. The goal is to conserve
of Banjar local wisdom contained in traditional architecture. It focuses to formulate the concept of conservation on the
wetlands heritage areas in order to preserve the architectural local wisdom of Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong.
This formulation is critical due to an act of vandalism, destruction, trading, claims, natural disasters, and theft that
threatens architecture heritage. Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong stands on wetlands environment, and is
surrounded by wetlands. Research that related to architecture and wetlands has been widely conducted. However, the
formulation of the concept of conservation in architecture and wetlands heritage areas has not been broadly
investigated. Therefore, preserving the wetlands heritage areas of Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong is beneficial to
the development of science, especially in architecture. This is the type of field research, which is directly conducted in
the field to investigate phenomena and problems related to the research. Descriptive-qualitative method is used as this
research describes the state of the research object at the present time based on the facts and actual circumstances. It
begins by determining the delineation of wetlands heritage areas through the image of the city theory followed by the
assessment of wetlands heritage areas using the urban design process theory to formulate the conservation concept for
wetlands area of Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong. The result of this research is guidelines to preserve the
wetlands heritage areas and the architecture of Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong. It may be further formed a
normative policy which has practical benefit to preserve one of the learning resources of Banjar traditional architecture.

Keywords: area, conservation, heritage, wetlands, Rumah Bubungan Tinggi

1. PENDAHULUAN yang tersebar di Indonesia. Namun, upaya terkait


konservasi pusaka nusantara berjalan lambat
Konservasi atau pelestarian merupakan karena sifatnya masih manual-konvensional dan
sebuah fenomena baru pada tataran praktek dan langsung kepada objek pusaka yang ingin
pada tataran pemahaman serta pengakuannya dilestarikan. Beberapa upaya pelestarian yang
dalam lingkungan sosial-budaya ataupun politik langsung kepada objek pelestarian dianggap benar,
(Danisworo, 2004). Isu ini lahir karena banyaknya akan tetapi dibutuhkan kajian dengan cakupan
pusaka nusantara yang rusak, musnah dan diakui kawasan pusaka untuk melindungi bangunan
oleh negara lain. Menurut Marbun (2009) di pusaka dari ancaman kepunahan.
Indonesia telah terjadi pengerusakan, Pengelolaan kawasan pusaka merupakan
penghancuran, jual-beli rumah, klaim budaya oleh upaya pelestarian pusaka kota yang terpadu dengan
bangsa lain, bencana alam dan pencurian pusaka pembangunan kota (Ashworth, 1991). Kebijakan
nusantara. Kompas (2008) juga menyatakan hal pemerintah sebenarnya sudah menyadari
yang senada, bahwa kota pusaka di Indonesia keberadaan kawasan pusaka dengan
tengah mengalami kehancuran secara sistematis melaksanakan Program Penataan dan Pelestarian
akibat ketidakpedulian pengelola kota terhadap Kota Pusaka (P3KP) yang dilaksanakan oleh Ditjen
pelestarian pusaka kota. Penataan Ruang bekerjasama dengan Badan
Regulasi terkait objek genius loci nusantara Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) untuk
dan pelestariannya telah disahkan dalam bentuk mengawal implementasi Undang-undang nomor 26
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan melindungi Kota Pusaka yang tersebar di Indonesia.
Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang Kemudian ditetapkanlah 47 kab/kota sebagai
Penataan Ruang dalam melindungi Kota Pusaka anggota Kota Pusaka. Kalimantan Selatan hanya

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
983
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

diwakili oleh Kota Banjarmasin, tidak termasuk Kota penelitian dengan menggambarkan keadaan objek
Martapura dengan banyak kawasan bersejarahnya, penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-
termasuk Kawasan Pusaka RBT Telok Selong. fakta sebagaimana keadaan sebenarnya. Menurut
Setiap individu dan daerah memiliki tanggung Groat and Wang (2002) terdapat tujuh metode yang
jawab masing-masing dalam hal perlindungan, dapat digunakan sesuai kebutuhan penelitian
pengembangan, dan pelestarian pusaka daerah arsitektur, termasuk metode kualitatif.
dalam rangka melestarikan pengetahuan lokal
masyarakatnya. Berangkat dari kesadaran ini, 2.1 Lokasi Penelitian
peneliti berupaya merumuskan konsep konservasi
untuk beberapa warisan pusaka daerah. Salah Penelitian ini berlokasi di Kawasan sekitar
satunya adalah upaya pelestarian kawasan pusaka Desa Telok Selong Ulu, Kabupaten Banjar.
RBT Telok Selong untuk melindungi genius loci atau Penelitian dimulai dengan menentukan deliniasi
pengetahuan lokal yang terkandung dalam RBT kawasan pusaka RBT Telok Selong, dengan
Telok Selong. pendekatan teori image kawasan kemudian
Terkait upaya pelestarian RBT Telok Selong, dilanjutkan dengan field research, kemudian
sudah pernah dilakukan terutama setelah dilanjutkan dengan proses pengkajian kawasan
ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya. Namun, pusaka dengan menggunakan teori pembentuk
tindakan pelestarian ini hanya sebatas fisik karakter kawasan guna merumuskan konsep
bangunan. Tindakkan pelestarian dengan cakupan pelestarian kawasan pusaka RBT Telok Selong.
kawasan belum pernah dilakukan, sehingga
ancaman kepunahan datang dari lingkungan
terdekat RBT Telok Selong, seperti ketidakpedulian
masyarakat dan alih fungsi lahan. Untuk itu, yang
menjadi permasalahan penelitian ini adalah
bagaimana rumusan konsep konservasi kawasan
pusaka untuk melindungi ilmu pengetahuan lokal
yang terdapat pada RBT Telok Selong?

Gambar 2. Lokasi Penelitian (Sumber: Konstruksi


Peneliti 2016)

2.2 Deliniasi Kawasan Pusaka RBT Telok


Selong
Gambar 1. Perumusan permasalahan penelitian
(Sumber: Konstruksi Peneliti, 2016) Deliniasi dilakukan sebagai upaya untuk
mengidentifikasi batas Kawasan Pusaka RBT Telok
2. METODE Selong. Untuk menentukan deliniasi kawasan
digunakan pendekatan teori image kawasan oleh
Penelitian ini merupakan jenis penelitian Lynch (1982). Variabel penentunya antara lain:
lapangan (field research). Menurut Hadi (1997) field 1) Tetenger (Landmark), adalah upaya
research adalah riset yang dilakukan di medan menentukan deliniasi dengan menganalisis
terjadinya fenomena untuk mencari masalah yang bentuk visual yang menonjol dari kawasan
ada relevansinya dengan penelitian. Metode pusaka RBT Telok Selong.
pendekatan yang digunakan dalam penelitian 2) Jalur (Path), merupakan upaya menentukan
adalah metode deskriftif-kualitatif, yaitu prosedur deliniasi dengan menganalisis alur pergerakan

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
984
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

yang secara umum digunakan oleh masyarakat sebagai variabel analisis deskriftif-kualitatif dalam
sekitar RBT Telok Selong seperti jalan, titian, mengendalikan dan menentukan arah
dan gang-gang utama. pembangunan kawasan pusaka RBT Telok Selong,
3) Kawasan (District), merupakan upaya guna merumuskan konsep pelestarian kawasan
menentukan deliniasi dengan menganalisis pusaka RBT Telok Selong. Variabel penentunya
bentuk, pola dan wujud kawasan di dalam yaitu:
kawasan pusaka RBT Telok Selong, yang khas 1) Tata guna lahan (land use), merupakan upaya
terbentuk karena batasnya. Kawasan di dalam merumuskan aturan penggunaan lahan untuk
kawasan ini mempunyai identitas yang lebih menentukan arah pelestarian kawasan pusaka
baik jika batasnya dibentuk dengan jelas, berdiri RBT Telok Selong, sehingga secara umum
sendiri atau terkait dengan kawasan yang lain. dapat memberikan gambaran bagaimana
4) Simpul (Nodes), adalah upaya menentukan kawasan pusaka sekitar RBT Telok Selong
deliniasi dengan menganalisis simpul atau tersebut seharusnya berfungsi.
lingkaran daerah strategis yang terdapat pada 2) Bentuk dan kelompok bangunan (building
kawasan pusaka RBT Telok Selong. Contohnya form and massing), yaitu upaya merumuskan
persimpangan lalu lintas, dan jembatan. aturan aspek-aspek bentuk fisik yang meliputi
5) Batas atau tepian (Edge), merupakan elemen ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien
linier yang tidak dipakai atau dilihat sebagai dasar bangunan, setback bangunan, style
jalur. Menentukan batas adalah upaya bangunan, skala/proporsi, material, tekstur dan
menentukan deliniasi dengan merumuskan tipe warna agar menghasilkan kawasan pusaka
batas antar kawasan pusaka RBT Telok Selong RBT Telok Selong yang elemennya
dengan kawasan sekiratnya. Hal ini dapat berhubungan secara harmonis dalam sebuah
berupa pemutus linier antar kawasan misalnya kawasan.
petak sawah, garis sungai, tembok, dan 3) Ruang terbuka (open space), merupakan
topografi. Batas juga didefinisikan antara yang upaya merumuskan aturan tentang ruang
memisahkan atau menyatukan. terbuka (open space) sekitar kawasan pusaka
Hasil deliniasi kawasan berpa peta tematik RBT Telok Selong. Utamanya menyangkut
untuk digunakan pada tahap selanjutnya, yaitu lansekap hardscape (lapangan , sempadan
tahap field research. sungai, green belt, taman, jalan, trotoar, dan
sclupture), lansekap softscape (tanaman dan
2.3 Riset Lapangan air), serta street furniture (lampu, tempat
sampah, papan nama, bangku taman dan
Setelah kawasan dideliniasi, selanjutnya sebagainya).
penelitian lapangan dilakukan. Sebelum dilakukan 4) Parkir dan sirkulasi (parking and
field research, data yang sudah dikumpulkan circulation), merupakan upaya merumuskan
seperti: Dokumen (buku-buku, laporan, artikel) aturan tentang sirkulasi di dalam kawasan
terkait kawasan pusaka RBT Telok Selong, peta- pusaka RBT Telok Selong, karena merupakan
peta tematik hasil deliniasi kawasan, serta data salah satu variabel kuat dalam membentuk,
pengamatan data primer awal melalui kunjungan mengarahkan, dan mengendalikan karakter
lapangan, dipelajari sebagai background knowladge pola aktivitas di kawasan pusaka RBT Telok
sebelum melalukan field research. Variabel yang Selong. Selain sirkulasi, tempat parkir juga
diteliti dalam field research ini adalah variabel- dirumuskan aturannya, karena mempunyai
variabel pembentuk karakter kawasan, yaitu: Tata pengaruh (terutama pengaruh visual) langsung
guna lahan (land use), Bentuk dan kelompok pada kawasan ini.
bangunan (building form and massing), Ruang 5) Tanda-tanda (signages), merupakan upaya
terbuka (open space), Parkir dan sirkulasi (parking merumuskan aturan tentang penanda pada
and circulation), Tanda-tanda (signages), Jalur bangunan dan kawasan sebagai elemen
pejalan kaki (pedestrian ways), Pendukung kegiatan dominan pembentuk karakter visual dan
(activity support), dan Preservasi (preservation). sebagai penentu identitas sebagai kawasan
pusaka RBT Telok Selong.
2.4 Analisis deskriftif-kualitatif 6) Jalur pejalan kaki (pedestrian ways),
merupakan upaya merumuskan aturan tentang
Teori tentang elemen pembentuk karakter sistem pedestrian yang baik bagi manusia dan
kawasan oleh Shirvani (1985) akan digunakan lingkungan, yang akan mengurangi keterikatan

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
985
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

kendaraan terhadap kawasan inti dari kawasan 2.5 Merumuskan Konsep Konservasi
pusaka RBT Telok Selong. Kawasan Pusaka RBT Telok Selong
7) Pendukung kegiatan (activity support),
merupakan upaya merumuskan aturan tentang Berdasarkan hasil analisis deskriftif-kualitatif
aktivitas pendukung semua fungsi bangunan terhadap 8 (delapan) pembentuk karakter kawasan
dan aktivitas yang mendukung pelestarian pusaka ini, dilakukan proses perumusan arahan
kawasan pusaka RBT Telok Selong. (guideline) pelestarian RBT Telok Selong.
8) Preservasi (preservation), merupakan upaya Selanjutnya dilakukan sintesa, untuk memperoleh
merumuskan aturan tentang preservasi RBT konsep pelestarian kawasan pusaka RBT Telok
Telok Selong dan arsitektur tradisional lainnya Selong. Berikut adalah diagram alir jalan penelitian.
pada kawasan pusaka ini.

Gambar 3. Bagan alir penelitian


(Sumber: Konstruksi Peneliti, 2016)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN monumental, dapat juga dengan cara memberikan


3.1 Deliniasi Kawasan Pusaka Rumah skala yang berbeda dengan lingkungannya.
Bubungan Tinggi Telok Selong Beberapa landmark dapat mempunyai arti
pada sebuah lingkup kecil kawasan, sedangkan
Untuk menentukan deliniasi kawasan beberapa lainnya dapat mempunyai arti besar
digunakan pendekatan teori image kawasan oleh hingga keseluruhan kota dan bisa di lihat dari
Lynch (1982). Variabel penentu deliniasi kawasan berbagai sudut.
pusaka Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong Dalam kasus ini, landmark kawasan ini adalah
yaitu: Tetenger (Landmark), Jalur (Path), Sungai Martapura, Rumah Bubungan Tinggi dan
Kawasan (District), Simpul (Nodes), Batas atau Rumah Gadjah Baliku yang berada pada satu lahan
tepian (Edge). Gambaran hasil analisis delineasi (tapak) di Desa Telok Selong Ulu. Sungai
kawasannya, bisa dilihat pada gambar 4 berikut ini: Martapura, Rumah Bubungan Tinggi dan Rumah
Gadjah Baliku tidak hanya menonjol dari segi visual
3.1.1 Tetenger (Landmark) saja, tetapi juga menonjol karena sejarah, sosial dan
budaya masyarakat Banjar, sehingga dapat memiliki
Landmark seringkali menjadi simbol sebuah keunikkan yang tidak dimiliki oleh kawasan lain.
kawasan, bahkan ada yang menjadi simbol sebuah Sungai Martapura. Sungai merupakan
kota. Cullen (1961) menyatakan bahwa landmark ekologi/lingkungan masyarakat Banjar (Noor, 2016).
merupakan sebuah simbol yang dibuat menarik Sungai membentuk budaya masyarakat Banjar.
secara visual dengan cara: penempatan yang Budaya ini kemudian membentuk sosial dan
menarik perhatian, desain bentuk yang unik atau menghidupkan ekonomi masyarakat Banjar. Secara
visual, sungai mendominasi pemandangan

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
986
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

dikawasan ini, dan secara visual kita langsung dapat masyarakat sekitar.
melihat hubungan langsung antara sungai dan

Gambar 4. Proses Deliniasi Kawasan 9 (Sumber: Analisis Peneliti, 2016)

Rumah Bubungan Tinggi dan Gadjah 3.1.2 Jalur (Path)


Baliku. Menurut sejarahnya, Rumah Bubungan
Tinggi Desa Teluk Selong Ulu dibangun oleh Path atau alur pergerakan yang secara umum
sepasang suami istri HM Arif dan Hj Fatimah pada digunakan oleh masyarakat adalah Jl. Keramat
tahun 1811 M. Jadi, sekarang rumah itu sudah (Martapura Lama) dan Jl. Kertak Baru. Kedua
berusia 204 tahun. Rumah ini konon pernah koridor jalan ini merupakan jenis koridor jalan
digunakan sebagai markas pada masa perang lingkungan. Jl. Kertak Baru merupakan koridor jalan
kemerdekaan. Masih ditapak yang sama, didepan yang diapit oleh sawah dan permukiman, lebar
Rumah Bubungan Tinggi ini terdapat Rumah Gadjah jalannya hanya 5 meter dan dilalui oleh jenis
Baliku dan Rumah Gadjah Manyusu (Punah). kendaraan berukuran relatif kecil hingga sedang. JL.
Rumah Adat Gajah Baliku dibangun sekitar tahun Keramat (Martapura Lama), merupakan jalan yang
1867 tujuh tahun setelah kerajaan Banjar dihapus sudah ada sejak kawasan ini berdiri, jalan ini pada
oleh Pemerintah Hindia Belanda. Rumah ini dahulu zaman Kerajaan Banjar menjadi satu-satunya
untuk tempat putra raja. Namun sekarang ditempati alternatif dari dan menuju Banjarmasin. Jl. Keramat
oleh ahli waris H. Jalil. Rumah tersebut pernah sekarang diapit oleh permukiman dan Sungai
dipugar sesuai dengan aslinya oleh Pemerintah Martapura. Bentuk Kedua koridor jalan ini secara
pada tahun 1990 s/d 1993.Kedua rumah yang alami menjadi pembatas kawasan sekitar RBT Telok
tersisa, sekarang dilindungi oleh Undang-undang Selong, sehingga menjadi bentuk khas alamiah.
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. 3.1.3 Kawasan (District)
Menurut Seman (2001), Rumah Bubungan
Tinggi, Rumah Gadjah Baliku dan Rumah Gadjah Kawasan perkotaan umumnya dibentuk oleh
Manyusu, dalam hirarki rumah tradisional Banjar pola bangunan yang menyusunnya. Berbeda
menempati tiga tempat tertinggi. Rumah Bubungan dengan hal tersebut, bentuk, pola dan wujud distrik
Tinggi dan Rumah Gadjah Baliku menjadi salah satu di dalam kawasan pusaka RBT Telok Selong, khass
dari sedikit Rumah Tradisional Banjar yang tersisa terbentuk karena batas sungai, jalan, dan petak
di Kalimantan Selatan yang masih dalam kondisi sawah. Distrik ini mempunyai identitas yang jelas,
asli. karena bentuk fisik pembatas kawasannya dapat
dengan mudah dikenali. Setelah dilakukan
pendataan, ternyata, deliniasi distrik sama dengan
batas administrasi daerah setempat. Oleh karena

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
987
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

itu, peneliti memberi nama setiap distrik sesuai elemen yang tidak ditemukan tersebut, sehingga
dengan batas administrasi daerah: Distrik 1: Distrik yang menjadi pokok yang didiskusi selanjutnya
Telok Selong Ulu, Distrik 2: Distrik Telok Selong, hanya 6 (enam) elemen, yaitu:
Distrik 3: Distrik Keramat dan Distrik 4: Distrik
Keramat Baru.

3.1.4 Simpul (Nodes)

Menurut Lynch (1982), simpul (nodes) adalah


upaya menentukan deliniasi dengan menganalisis
simpul atau lingkaran daerah strategis yang terdapat
pada kawasan pusaka RBT Telok Selong,
contohnya persimpangan lalu lintas, dan jembatan.
Simpul atau lingkaran daerah strategis yang
terdapat pada kawasan pusaka RBT Telok Selong
berwujud jembatan, yaitu Jembatan Telok Selong
dan Jembatan Gantung. Jembatan ini
menghubungkan dua kawasan yang dipisah oleh
Sungai Martapura, yaitu Kawasan Telok Selong dan
Kawaaan Kampung Melayu. Sehingga kedua
jembatan ini menjadi akses keluar masuk kawasan
Telok Selong dari Kampung Melayu.

3.1.5 Batas atau tepian (Edge)

Menurut Lynch (1982), edge atau batas tepian


merupakan elemen linier yang tidak dipakai atau
dilihat sebagai jalur. Tipe batas antar kawasan Gambar 5. Kawasan Pusaka RBT Telok Selong
(Sumber: Analisis Peneliti, 2016)
pusaka RBT Telok Selong dengan kawasan
sekitarnya berupa batas tepi jalan yang dibentuk
1). Tata Guna Lahan (Land Use)
oleh tepi jalan Kertak Baru dan batas tepi sungai
yang dibentuk oleh tepi sepanjang Sungai 2). Bentuk dan Kelompok Bangunan (Building
Martapura yang berbatasan dengan Kampung Form and Massing)
Melayu, serta batas tepi jembatan Telok Selong dan 3). Ruang Terbuka (Open Space)
Jembatan Gantung. Batas-batas ini mendefinisikan 4). Sirkulasi (Circulation)
kawasan pusaka RBT Telok Selong, dan 5). Pendukung Kegiatan (Activity Support)
memperkuat zonasinya. Setelah dilakukan deliniasi
6). Zona Konservasi Preservasi Kawasan
terhadap kawasan dengan menggunakan
pendekatan teori image kawasan oleh Lynch (1982), Gambar 6 berikut adalah proses analisis keenam
maka didapat Kawasan Pusaka RBT Telok Selong elemen pembentuk karakter kawasan tersebut.
seperti Gambar 5.
3.2.1 Land Use
3.2 Karakter Kawasan Pusaka Rumah Dapat dilihat pada gambar 6, bahwa fungsi
Bubungan Tinggi Telok Selong kawasan ini didominasi oleh fingsi hunian. Dilihat
dari tata letak dan orientasi bangunannya, kawasan
Teori tentang elemen pembentuk karakter
ini didominasi oleh rumah-rumah vernakular yang
kawasan oleh Shirvani (1985) digunakan sebagai
tumbuh secara alami. Beberapa dari hunian juga
variabel analisis karakter kawasan pusaka RBT
memiliki fungsi komersial. Selain fungsi hunian,
Telok Selong, guna merumuskan konsep
pada kawasan juga terdapat fungsi peribadatan dan
pelestarian kawasan pusaka RBT Telok Selong.
pendidikan.
Namun, setelah dilakukan field reseach beberapa
elemen pembentuk karakter tidak ditemukan pada
kawasan. Sehingga diputuskan untuk mengabaikan

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
988
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

Gambar 6. Analisis elemen-elemen pembentuk karakter kawasan (Sumber: Analisis Peneliti, 2016)

Kawasan Pusaka Rumah Bubungan Tinggi yang mendukung keberadaan pusaka budaya,
Telok Selong termasuk kategori permukiman sungai dan lingkungan rawa pasang surut agar
tradisional. Dilihat dari peruntukkan lahannya, dapat berfungsi secara baik dan berkelanjutan.
hunian menyebar disepanjang tepian Sungai Selanjutnya, dengan terlestarikannya sungai,
Martapura, dan berada pada area lahan yang budaya masyarakat beserta flora dan fauna
pasang surut. Hal ini mengindikasikan bahwa endemik bisa lestari.
masyarakatnya masih terikat dengan keberadaan
Sungai Martapura. Indikasi ini didukung oleh 3.2.2 Tata Bangunan Kawasan
aktivitas sehari-hari masyarakat yang masih
memanfaatkan sungai sebagai sumber Dapat dilihat pada gambar di atas (gambar 6),
berkehidupan, misal: aktivitas MCK, jual beli, bangunan tumbuh secara alami, tumbuh
menangkap ikan, transportasi dan bermain. Menurut berdampingan dan tanpa keteraturan. Peruntukkan
Sasongko (2005) permukiman tradisional lahannya didominasi oleh fungsi bangunan hunian.
direpresentasikan sebagai tempat yang masih Yang menyebabkan perkembangan hunian pada
memegang nilai-nilai adat dan budaya yang kawasan ini adalah pertambahan jumlah penduduk.
berhubungan dengan nilai kepercayaan atau agama Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan,
yang bersifat khusus atau unik pada suatu tata bangunan yang tanpa keteraturan ini
masyarakat tertentu. mengakibatkan bangunan-bangunan pusaka
Sejarah telah mencatat bahwa sungai adalah terkebelakang, tertutup secara visual dan yang
tempat berawalnya peradaban manusia paling berdampak pada pelestarian bangunan
(diantaranya: Sungai Nil, Sungai Eufrat dan Tigris, pusaka adalah terputusnya hubungan fisik antara
dan Sungai Huang Ho). Daerah tepi sungai bangunan pusaka dan sungai.
merupakan salah satu indikasi lokasi permukiman Untuk dapat melestarikan kawasan pusaka,
tradisional. Sejak dahulu sungai telah dimanfaatkan tata bangunan perlu ditata dengan regulasi,
untuk berbagai kepentingan manusia. Sungai juga terutama untuk sekitaran rumah-rumah yang ingin
merupakan pendukung utama kehidupan flora dan dilestarikan, agar terlindungi dari perkembangan
fauna endemik. hunian yang cenderung tidak teratur, agar hubungan
Untuk dapat melestarikan kawasan pusaka, antara bangunan tradisional dengan lingkungan
peruntukkan lahan yang alami dan berkarakter tradisionalnya (sungai dan rawa) tidak terputus
tradisional ini perlu di pertahankan dengan regulasi secara fisik dan visual.

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
989
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

3.2.3 Ruang Terbuka Hijau Kawasan


3.2.5 Activity Support
Ruang terbuka hijau dikawasan ini berupa
lahan pertanian, lahan ini merupakan salah satu Semua jenis aktivitas yang dilakukan di
mata pencaharian unggulan masyarakat sekitar. kawasan ini merupakan aktivitas-aktivitas
Ruang terbuka hijau ini tercipta dari sisa lahan yang masyarakat tradisional banjar. Aktivitas-aktivitasnya
belum terbangun oleh hunian. Gambaran hampir semua erat kaitannya dengan budaya
perkembangan hunian secara alami menunjukkan sungai. Aktivitas yang ditemui dikawasan ini antara
bahwa gerakan pertumbuhan hunian mengarah lain: mewarung (dilakukan setiap subuh hingga
pada ruang terbuka hijau yang tersisa. Dalam menjelang pagi hari), jual beli (dilakukan di area
jangka waktu panjang, perkembangan alami hunian, terbuka, terutama pada bangunan umum), Mandi
akan menghilangkan ruang terbuka hijau secara Cuci Kakus (dilakukan di atas lanting yang
perlahan. Untuk itu, diperlukan regulasi yang dilengkapi dengan jamban-wc umum, yang ditemui
membatasi perkembangan hunian ke arah ruang di sepanjang tepi sungai), memancing ikan
terbuka hijau yang ada. (kegiatan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari),
Ruang terbuka hijau dipertahankan guna dan anak-anak yang bermain di Sungai.
menghidupkan kondisi alami kawasan. Ruang Aktivitas-aktivitas ini dipertahankan untuk
terbuka hijau berfungsi sebagai sabuk barier yang mempertahankan karakter kawasan sebagai
melindungi bagian barat kawasan pusaka. permukiman tradisional. Aktivitas-aktivitas ini akan
menyokong kehidupan kawasan pusaka. Untuk itu,
3.2.4 Sirkulasi wadah/tempat aktivitas ini berlangsung, perlu
ditingkatkan kualitasnya, tanpa mengancam
Kawasan Pusaka diapit oleh dua jalan utama keberlangsungan semua aktivitas budaya ini.
yang berupa pekerasan jenis aspal. Selain jalan
aspal, sirkulasi tradisional masyarakat yang berupa 3.2.6 Zona Konservasi dan Preservasi
titian kayu ulin, masih banyak ditemukan, namun
sudah mulai diganti dengan jenis urukkan tanah Saat ini di kawasan pusaka ini terdapat 10
yang diberi siring pada sisi-sisinya. buah rumah tradisional yang layak dilestarikan.
Titian sebagai kearifan lokal masyarakat mulai Namun dari 10 buah, hanya 2 (dua) bangunan yang
ditinggalkan, dan diganti dengan urukkan tanah diberi status benda cagar budaya.
yang diberi siring batu kali dikedua sisinya, dalam Untuk melestarikan semua bangunan
penelitian ini kami sebut jalan setapak artifisial. Hal tradisional ini, maka masing-masing bangunan akan
ini mengurangi nilai tradisional kawasan, dan diberi ruang gerak agar dapat menjadi fokus utama
mengancam keberadaaan bangunan-bangunan pada kawasan. Metode pemberian ruang gerak ini
pusaka karena semakin ditekan oleh pembangunan menggunakan teknik pelestarian bangunan pada
jalan setapak artifisial dan hunian. umumnya, yaitu dengan membagi kawasan
Degradasi nilai tradisional, selain disebabkan pelingkupnya (sekitar bangunannya) menjadi 3 (tiga)
oleh jalan setapak artifisial, juga disebabkan oleh zona, yaitu zona inti (core), zona penyangga (buffer)
intimidasi oleh perkembangan hunian yang tidak dan zona pengembangan (tranzition). Ketiga zona
teratur. Perkembangan hunian ada yang ini masing-masing memiliki regulasi yang berbeda-
menghilangkan titian, ada yang memutus titian yang beda.
menghubungkan rumah dan sungai, serta ada yang
rusak karena sudah tidak digunakan lagi. Hilangnya 3.3 Konsep Konservasi Kawasan Pusaka
kontak antara hunian dan sungai, mengurangi Rumah Bubungan Tinggi Telok Selong
ketergantuangan masyarakat kepada sungai, hal ini
berdampak pada melemahnya budaya sungai dan Menurut Undang-Undang Republik Indonesia,
kelestarian pusaka kawasan. Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,
Upaya yang bisa dilakukan untuk Kawasan Cagar Budaya harus memperhatikan tata
menghidupkan kembali kawasan pusaka ini adalah ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap
dengan mengembalikan fungsi titian sebagai “budaya asli”. Pentingnya “budaya asli” dalam
sirkulasi utama yang menghubungkan antar hunian penataan kawasan juga tersirat dalam Undang-
dan hunian dengan sungai. Hal ini dikarenakan titian undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan
merupakan bagian dari budaya sungai dan memiliki Ruang, yang menegaskan bahwa penyelenggaraan
karakteristik lingkungan dan budaya Suku Banjar. penataan kawasan harus memperhatikan nilai

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
990
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

budaya yang terkandung dalam kawasan pusaka sebagai “Kawasan Wisata Budaya Adat Banjar,
(cagar budaya). Oleh karena itu konsep konservasi tempat untuk mengkoleksi bangunan tradisional”.
Kawasan Pusaka Rumah Bubungan Tinggi Telok
Selong adalah “menghidupkan karakter kawasan
sebagai kawasan lingkungan dan budaya Suku
Banjar”.

Gambar 7. Konsep melestarikan satu bangunan pusaka Gambar 8. Konsep pelestarian pada zona
pada kawasan (Sumber: Analisis Peneliti, penyangga (Sumber: Analisis Peneliti,
2016) 2016)
Menurut Nuryanti (2008) ruang pada kawasan Buffering Zone. Zona ini langsung
pelestarian disebut dengan zona, dalam zona berbatasan dengan zona inti. Pada zona ini segala
terdapat berbagai jenis bangunan beserta hal terkait pembangunan bangunan baru diatur,
aktivitasnya. Nuryanti (2008) kemudian membagi seperti:
zona pada kawasan pelestarian, terbagi menjadi a) Masing-masing bangunan adat/ tradisional/
tiga, yaitu zona inti (core), zona penyangga (buffer) pusaka yang pada zona ini, diberi ruang gerak
dan zona pengembangan (tranzition). Penggunaan agar dapat menjadi fokus utama. Sama halnya
ketiga zona ini, sudah sangat umum digunakan dengan Rumah Bubungan Tinggi dan Gajah
pada kawasan-kawasan pelestarian, menurut Baliku pada core zone, metode pemberian
Widianto (1996) pelestarian kawasan Sangiran ruang gerak ini menggunakan teknik pelestarian
(kawasan situs manusia purba) menggunakan zona bangunan pada umumnya, yaitu dengan
ini dalam upaya perlindungan situs dan membagi kawasan pelingkupnya (sekitar
kawasannya. Menurut Adinu (2010), pelestarian bangunannya) menjadi 3 (tiga) zona, yaitu zona
Kota Tua Jakarta juga menggunakan zonasi ini inti (core), zona penyangga (buffer) dan zona
dalam upaya pelestarian bangunan dan pengembangan (tranzition).
kawasannya, sehingga pada perancangan Kawasan b) Sirkulasi yang dikembangkan, terutama yang
Cagar Budaya Rumah Adat Telok Selong, menghubungkan bangunan dengan sungai
digunakan zonasi sebagai berikut: harus berupa titian kayu, minimal berupa
Core Zone (Zona Inti). Di dalam kawasan panggung.
pusaka secara keseluruhan, Area sekitar Rumah c) Pada area yang langsung berhubungan dengan
Bubungan Tinggi dan Rumah Gajah Baliku, menjadi sungai, dirancang sebagai openspace.
Area Inti (core). Pada kawasan ini dikonsepkan

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
991
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

d) KLB maksimal 300% agar skyline bangunan Banjar”. Langkah pelestraiannya adalah membagi
baru tidak mengganggu bangunan tradisional. Kawawan menjadi beberapa zona yaitu: zona inti
e) KDB maksimal 40% agar lingkungan lahan (core), zona penyangga (buffer) dan zona
basah terjaga. pengembangan (tranzition).
f) Fungsi pada kawasan yang ditoleransi adalah
fungsi hunian dan komersial kerakyatan. 5. UCAPAN TERIMA KASIH
g) Vegetasi yang disarankan adalah vegetasi
endemik kalimantan, agar ekosistem alaminya Peneliti mengucapkan terima kasih kepada
dapat lestari Fakultas Teknik Univerasitas Lambung Mangkrat
Transition Zone (zona pengembangan), melalui Hibah Penelitian Fakultas Teknik yang telah
Zona terluar yang diizinkan untuk pengembangan mendukung terlaksananya penelitian tentang
dengan konsep yang berbeda, agar terjadi kontras, Konsep Konservasi Kawasan Pusaka Lahan Basah
sehingga ada batas yang jelas antara Kawasan untuk Melestarikan Rumah Bubungan Tinggi Telok
Konservasi dengan area sekitarnya. Selong tahun 2016. Tulisan ini merupakan salah
a) Fungsi pada kawasan yang ditoleransi adalah satu bagian dari hasil penelitian tersebut.
fungsi hunian dan komersial kerakyatan.
b) Vegetasi yang disarankan adalah vegetasi 6. DAFTAR PUSTAKA
endemik kalimantan, agar ekosistem alaminya
dapat lestari. Adisakti, Laretna T. -------. PUSAKA: Keanekaragaman,
keunikan,dan kerangka dasar gerakan pelestarian.
(yahoo search „pusaka‟, download 6 September
2008)
Ashworth, G.J. (1991). Heritage Planning. Groningen:
Geo Pers.
Aufa, N. & Anhar, P. (2012). Studi Tata Ruang Kota
Rancangan Van Der Pijl. Jurnal Tata Loka, 14(2):
74-149.
Aufa, N. & Widiastuty, P. (2010a). Pemanfaatan Sistem
Teknologi Informasi (Website) sebagai Alternative
Metode Pelestarian Bangunan Kuno di Kalimantan
Selatan. Studi Kasus: Masjid Tradisional.
Banjarbaru: Fakultas Teknik.
Aufa, N. & Widiastuty, P. (2010b). Aplikasi Web Sebagai
Media Konservasi Arsitektur Bangunan Cagar
Budaya, Studi Kasus: Arsitektur Kolonial di
Kalimantan Selatan. Jakarta: Proceedings Seminar
Nasional Multidisiplin Ilmu, Universitas Budi Luhur.
Aufa, N., dkk. (2011). Ruang dan Bentuk “Jukung
Baangkut Barang Tipe Hunian”, Juernal Tesa
Arsitektur, 9(2).
Aufa, N. (2009a). Karakteristik Masjid berbasis Budaya
Lokal di Kalimantan Selatan. Tesis (Tidak
Dipublikasikan). Yogyakarta: Universitas Gadjah
Mada.
Aufa, N. (2010c). Tipologi Ruang dan Wujud Masjid
Tradisional Kalimantan Selatan. Malang: UIN
Maulana Malik Ibrahim. Journal of Islamic
Gambar 9. Konsep konservasi kawasan keseluruhan Architecture. 1(2):, 53-59.
(Sumber: Analisis Peneliti, 2016) Aufa, N. (2012a). Pelestarian Arsitektur Tradisional
Kalimantan Selatan Berbasis Website. Jurnal
Ruang, 1(1).
4. SIMPULAN Cullen, G. (1961). The Concise Townscape. London: The
Architectural Press.
Untuk melindungi ilmu pengetahuan lokal yang Danisworo, M. (2004). Gerakan Pelestarian dan Isu
terdapat pada Rumah Bubungan Tinggi Telok Sentralnya. Jakarta: Tempo 26 April 2004:
Selong, maka rumusan konsep konservasi kawasan Groat, L. & Wang, D. (2002). Architectural Research
pusaka adalah “menghidupkan karakter kawasan Methods. New York: John Wiley & Sons, Inc.
sebagai kawasan lingkungan dan budaya Suku

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
992
Prosiding Seminar Nasional Lahan Basah Tahun 2016 Jilid 3: 983-993 ISBN 978-602-6483-40-9

Karmadi, A.D. (2007). Budaya Lokal Sebagai Warisan Marbun, J.. (2010). Catatan Pelestarian Warisan Budaya
Budaya dan Upaya Pelestariannya. Makalah Sepanjang 2009. http://joemarbun.wordpress.com.
disampaikan pada Dialog Budaya Daerah Jawa Download: 10 September 2010.
Tengah yang diselenggarakan oleh Balai Ranjabar, J. (2006). Sistem Sosial Budaya Indonesia.
Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bogor :Ghalia Indonesia.
Yogyakarta bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Shirvani, Hamid, (1985), The Urban Design Process. New
dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah, di York: Van Nostrand Reinhold.
Semarang 8 - 9 Mei 2007. Sutrisno, H. (1997). Metodologi Research I. Yogyakarta:
Kompas. (2008). Kota Pusaka Menuju Kehancuran Yayasan Penerbit Fak. Psikologi UGM..
Sistematis. Jakarta: Koran Kompas.
Lynch, K. (1984). City Good Form, Cambridge: The MIT
Press.
-----

© 2017. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat
993

You might also like