BEYOND THE EGO: PSYCHOANALYTIC SELF-THEORY

 
Heinz Kohut found the need to extend psychoanalytic theory beyond the ego concept to be capable of
conceptualizing the reasons for a patient's narcissistic vulnerability. Such narcissistically disturbed
individuals seemed not to be suffering from castration anxiety or from conflicted id strivings in the
classical sense; they seemed to be fixated at a stage in development where fear of the loss of the love-
object prevails (Kohut, 1971, p. 20).
 
In the psychoanalytic relationship, such patients form a unique kind of transference to the analyst. An
idealizing transference develops in some patients, who behave toward their therapists as though they
were the all-good, all-powerful parent who is still part of the self. Such patients are projecting onto their
therapist their idealized images of the good love-object as though they were still searching and yearning
for fusion with it. A possible explanatory hypothesis is that such patients suffered severe trauma in a
stage of early development when the love-object had not yet been entirely distinguished from self:
 
Adolescents and adults who have suffered such traumas are forever attempting to achieve a union with
the idealized object. In view of the insufficient idealization of their superego, their narcissistic
equilibrium is safeguarded only through the interest, the responses, and the approval of present-day
(i.e., currently active) replicas of the traumatically lost self-object (Kohut, 1971, p. 55).
 
Idealizing transferences may occur in a variety of forms, ranging from most archaic and primitive to most
mature, depending on the point in development at which narcissistic injury took place. The key point is
that such a narcissistically injured person was un-able to form internalized capacities for self-control, for
self-judgment, and for the maintenance of self-esteem as an independent entity.
A second kind of narcissistically disturbed patient forms a different kind of mirroring transference
relationship with the analyst. In this form, the patient is regressing to an even earlier stage of
development during which absolute narcissism prevails.
 
The mirror transference ... constitute[s] the therapeutic revival of that aspect of a developmental phase
(roughly corresponding to the condition which Freud referred to as the "purified pleasure ego") in which
the child attempts to save the originally all-embracing narcissism by concentrating perfection and power
upon the self—here called the grandiose self—and by turning away disdainfully from an outside to
which all imperfections have been assigned. (Kohut, 1971, p. 106)
 
In the mirror transference, the roots of pathology go further back in development to the period before
any recognition of the external love-object (mother) was formed. The grandiose self is formed by
internalizing "all good" and externalizing "all bad" experiences. Good (pleasure) is part of me; bad (pain)
belongs out there. This process of assimilating "good" and expelling "bad" is thus a form of splitting in its
most fundamental and autistic form.
 
In the idealizing transference, the experience of the mother's help in satisfying tension needs revolves
around the mechanism: "You are perfect, but I am part of you" (Kohut, 1971, p. 27). By contrast, the
more archaic mirror transference involves the mechanism: "I am perfect" in order to avoid any
experience of "the bad" as part of self. In the idealizing transference, the therapist becomes the
perfected mother-self image; in the mirroring transference, the therapist functions as a reflector of the
archaic self-perfection of the patient. From the patient's viewpoint in a mirroring transference, the
therapist is a looking glass in which can be seen displayed the patient's own grandiose, exhibitionistic
self.
 
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
DI LUAR EGO: TEORI DIRI PSYCHOANALYTIK
 
Heinz Kohut menemukan kebutuhan untuk memperluas teori psikoanalitik melampaui konsep ego agar
mampu mengkonseptualisasikan alasan kerentanan narsisistik pasien. Individu narsisistik yang
terganggu seperti itu sepertinya tidak mengalami kecemasan pengebirian atau dari usaha idaman yang
bertentangan dalam pengertian klasik; Mereka tampaknya terpaku pada tahap perkembangan dimana
takut kehilangan objek cinta yang ada (Kohut, 1971, hal 20).
 
Dalam hubungan psikoanalitik, pasien semacam itu membentuk jenis transferensi yang unik bagi analis.
Transferensi idealisasi berkembang pada beberapa pasien, yang berperilaku terhadap terapis mereka
seolah-olah mereka adalah orang tua yang semua-baik, semua-kuat yang masih menjadi bagian dari diri
sendiri. Pasien semacam itu memproyeksikan ke terapis mereka citra ideal mereka dari objek cinta yang
baik seolah mereka masih mencari dan merindukan perpaduan dengan itu. Sebuah hipotesis penjelasan
yang mungkin adalah bahwa pasien tersebut mengalami trauma berat pada tahap perkembangan awal
ketika objek cinta belum sepenuhnya dibedakan dari diri sendiri:
 
Remaja dan orang dewasa yang telah menderita trauma semacam itu selamanya berusaha mencapai
persatuan dengan objek ideal. Mengingat idealisasi superego yang tidak memadai, keseimbangan
narsisistik mereka hanya dijaga melalui kepentingan, tanggapan, dan persetujuan replika diri yang hilang
saat ini (yaitu sekarang aktif) (Kohut, 1971, p 55).
 
Transferkan idealnya dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari yang paling kuno dan primitif
sampai yang paling dewasa, tergantung pada titik perkembangan di mana terjadi narsistik. Poin
utamanya adalah bahwa orang yang narsisis seperti itu tidak mampu membentuk kapasitas internal
untuk pengendalian diri, untuk penilaian sendiri, dan untuk menjaga harga diri sebagai entitas
independen.
Tipe kedua dari pasien narsisistik yang terganggu membentuk jenis hubungan transferensi yang berbeda
dengan analis. Dalam bentuk ini, pasien mengalami kemunduran pada tahap perkembangan awal
dimana narsisme absolut berlaku.
 
Transferensi cermin ... merupakan kebangkitan terapeutik dari aspek fase perkembangan (kira-kira
sesuai dengan kondisi yang oleh Freud disebut sebagai "ego kesenangan yang dimurnikan") di mana
anak tersebut berusaha untuk menyelamatkan yang semula mencakup semua Narsisisme dengan
memusatkan kesempurnaan dan kekuatan atas diri sendiri-di sini disebut diri mulianya - dan dengan
berbalik menghina dari luar ke mana semua ketidaksempurnaan telah ditetapkan. (Kohut, 1971, hal 106)
 
Dalam transferensi cermin, akar patologi melangkah lebih jauh ke belakang dalam perkembangan
sampai periode sebelum ada pengakuan terhadap objek cinta eksternal (ibu) terbentuk. Diri mulanya
terbentuk dengan menginternalisasi pengalaman "semua yang baik" dan memuaskan "semua yang
buruk". Baik (kesenangan) adalah bagian dari diriku; Yang buruk (sakit) ada di luar sana. Proses
mengasimilasi "baik" dan mengusir "buruk" ini merupakan bentuk pemecahan dalam bentuknya yang
paling mendasar dan autistik.
 
Dalam transferensi yang ideal, pengalaman bantuan ibu dalam memuaskan kebutuhan ketegangan
berkisar pada mekanisme: "Anda sempurna, tapi saya adalah bagian dari diri Anda" (Kohut, 1971, hal
27). Sebaliknya, transferensi cermin yang lebih kuno melibatkan mekanisme: "Saya sempurna" untuk
menghindari pengalaman "yang buruk" sebagai bagian dari diri. Dalam transferensi idealisasi, terapis
menjadi citra ibu-diri yang sempurna; Dalam transferensi cermin, terapis berfungsi sebagai reflektor
kesempurnaan diri para pasien. Dari sudut pandang pasien dalam transferensi cermin, terapis adalah
kaca pandang yang bisa dilihat menunjukkan keistimewaan diri pasien sendiri yang ekshibisionis.
Origins of the Self
 
The idealizing and mirroring transference relationships that emerged in psychoanalysis with
narcissistically wounded patients served as an important clue to the processes of development. Kohut
began to understand that such patients used the therapist as a Self-object rather than seeing the
therapist as an independent human being.
 
Self-objects are objects [people] which we experience as part of our self; the expected control over
them is therefore closer to the concept of the control which a grown-up expects to have over his own
body and mind than to the concept of control which he expects to have over others. (Kohut & Wolff,
1978, p. 414)
 
Like the mirroring and idealizing transferences observed in the treatment of patients with wounded
selves, Kohut envisioned normal development as a process of interaction between the growing infant
and his or her mirroring and idealizing Self-objects. The mother serves as a mirroring Self-object when
she is able to confirm and admire the child's sense of strength, health, greatness, and specialness. The
key ingredient, of course, is the mother's capacity to be attuned emphatically to her child's needs for
such personal confirmation and admiration.
 
Mother also serves as an idealizing Self-object somewhat later in development when she encourages
and permits the child to merge with her own strength and calmness as a powerful and caring adult.
From the child's point of view, the idealizing Self-object is a model of perfection, power, and
soothingness—experienced in part as a component of self.
 
Unlike the classical psychoanalytic model, Kohut's theory of development pictures the mother's
relationship with her child not in terms of drive satisfactions but in terms of emphatic, warm, loving
responsiveness to the whole child. As a consequence, the child will experience self as a joyful,
competent, and valuable person, or as a rejected, depleted, in a loveless relation-empty self. When the
Self-object–child relationship is seriously deficient, as with a latently psychotic mother, the child is as
unable to survive psychologically ship as he or she would be unable physically to s environment Human
warmth, responsiveness, and empathy are the oxygen, the crucial survival elements in the development
of a self that is neither grandiosely isolated from reality nor delusionally idealizing of magical love
objects (Kohut, 1977, pp. 75_76).
 
The essence of the healthy . [parental relationship] for the growing self of the child is a mature, cohesive
parental self that is in tune with the changing needs of the child. It can, with a glow of shared joy, mirror
the child's grandiose display one minute, yet, perhaps a minute later, should the child become anxious
and overstimulated by its exhibitionism, it will curb the display by adopting a realistic attitude vis-a-vis
the child's limitations. Such optimal frustrations of the child's need to be mirrored and to merge into an
idealized self object, hand in hand with optimal gratifications, generate the appropriate growth-
facilitating matrix for the self. (Kohut & Wolff, 1978, p. 417)
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
Asal-Usul Diri
 
Hubungan transferensi ideal dan mencerminkan transferensi yang muncul dalam psikoanalisis dengan
pasien yang menderita narsisis berpotensi menjadi petunjuk penting bagi proses pembangunan. Kohut
mulai mengerti bahwa pasien tersebut menggunakan terapis sebagai Self-object daripada melihat
terapis sebagai manusia mandiri.
 
Objek diri adalah objek [orang] yang kita alami sebagai bagian dari diri kita; Oleh karena itu, kontrol yang
diharapkan atas mereka lebih dekat dengan konsep kontrol yang diharapkan orang dewasa memiliki
tubuh dan pikirannya sendiri daripada konsep kontrol yang ia harapkan ada pada orang lain. (Kohut &
Wolff, 1978, hal 414)
 
Seperti keterpisahan antara pencerminan dan idealisasi yang diamati dalam pengobatan pasien dengan
luka, Kohut membayangkan perkembangan normal sebagai proses interaksi antara bayi yang sedang
tumbuh dan bayangannya dan idealisme Idealnya. Ibu berfungsi sebagai objek Self-mirroring saat dia
mampu mengkonfirmasi dan mengagumi rasa kuat, kesehatan, kebesaran, dan keistimewaan anak
tersebut. Bahan utama, tentu saja, adalah kemampuan ibu untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan
anaknya akan konfirmasi dan kekaguman pribadi semacam itu.
 
Ibu juga berfungsi sebagai Ide Diri yang mengidealkan agak kemudian dalam perkembangan saat dia
mendorong dan mengizinkan anak untuk bergabung dengan kekuatan dan ketenangannya sendiri
sebagai orang dewasa yang kuat dan penuh perhatian. Dari sudut pandang anak, Ide Self-object yang
ideal adalah model kesempurnaan, kekuatan, dan ketenangan - yang dialami sebagian sebagai
komponen diri.
 
Berbeda dengan model psikoanalitik klasik, teori perkembangan Kohut menggambarkan hubungan ibu
dengan anaknya bukan dalam hal kepuasan berkendara namun dalam hal respon yang tegas, hangat,
penuh kasih sayang terhadap keseluruhan anak. Sebagai konsekuensinya, anak akan mengalami diri
sebagai orang yang menyenangkan, kompeten, dan berharga, atau sebagai orang yang ditolak, terkuras,
dalam hubungan tanpa cinta-diri kosong. Ketika hubungan Self-object-child sangat kurang, seperti pada
ibu psikotik yang laten, anak tersebut tidak dapat bertahan secara psikologis karena ia tidak dapat
secara fisik berada dalam lingkungan. Kehangatan, responsivitas, dan empati manusia adalah oksigen,
elemen kelangsungan hidup yang penting dalam pengembangan diri yang tidak terisolasi secara
grandiosely dari kenyataan dan juga tidak mengidealkan ide-ide cinta magis secara ajaib (Kohut, 1977,
hlm. 75-76).
 
Inti dari yang sehat. [hubungan orang tua] untuk menumbuhkan diri anak adalah pribadi orang tua yang
matang dan kohesif yang selaras dengan perubahan kebutuhan anak. Bisa saja, dengan secercah
kebahagiaan bersama, cermati penampilan anak yang mulanya satu menit, namun, mungkin semenit
kemudian, seandainya anak itu menjadi cemas dan terlalu bersemangat dengan eksibisionismenya, ia
akan mengekang tampilan dengan menerapkan sikap realistis terhadap vis- a- vis keterbatasan anak.
Rasa frustrasi optimal terhadap kebutuhan anak untuk dicerminkan dan digabungkan menjadi objek diri
yang ideal, bergandengan tangan dengan kepuasan optimal, menghasilkan matriks pemfaktalan
pertumbuhan yang sesuai untuk diri sendiri. (Kohut & Wolff, 1978, hal 417)
Structure of the Bipolar Nuclear Self
 
Kohut hypothesized that an adequate relationship with a healthy Self-object results in the formation of a
bipolar nuclear self that has three components:
1. Nuclear ambitions, which are the child's learned strivings for power and success mirrored admiringly
by the Self-object;
2. Nuclear ideals, which are the idealized goals and images derived from the child's recognition of the
satisfying and soothing power modeled by the Self-object; and
3. Basic talents and skills, which lie metaphorically between the two poles of ambitions and ideals and
which form a kind of metaphorical "tension arc" of psychological activity as the person is "driven" by
ambitions and "led" by ideals in the pursuit of life goals using what talent and skills he or she possesses
(Kohut, 1977, p. 188).
 
The nuclear ambitions are formed early in life, at or around the second or third year, whereas the
nuclear ideals are incorporated into the self as a second pole around the ages of four or five years
(Kohut, 1977, p. 179). Kohut envisioned the nuclear self as a bipolar entity, with the ambitions and ideals
anchoring opposite poles. The central process in the formation of these two poles, as we have seen, is
the relationship with empathic Self-objects. The nuclear self, however, is not simply a direct copy of the
Self-objects. It is an assimilation of some aspects of their personality characteristics, but the main
features of the Self-object are depersonalized and generalized in a process Kohut calls "transmuting
internalization."
 
Transmuting internalization is a kind of psychological digestion by which the us-able and good features
of the Self-object are incorporated into the child's self in a pattern that is unique to that child. Mild
frustrations and failures in empathy by the Self-objects encourage the child to see them as "only
human." Such occasional failures in empathy on the part of the Self-objects permit the child to build his
or her own self-structures without the need to incorporate the total personality of others.
 
Unlike Freud's emphasis on drive conflict, Kohut's emphasis is clearly on person-to-person interactions.
Kohut suggests that one way to conceptualize the difference between classical psychoanalysis and his
own self-psychology is to contrast the traditions of "Guilty Man" and "Tragic Man."
 
Guilty Man is the concept of persons as always struggling toward the satisfaction of their drives. They
are pictured in classical psychoanalysis as living under the domination of the pleasure principle, striving
endlessly to reconcile inner conflict. They are frequently blocked from their goal of tension reduction by
their own inadequacies or those of the people who raised them.
 
Tragic Man, by contrast, is Kohut's picture of people struggling to fulfill the aims of their nuclear selves.
That is to say, Tragic Man is attempting to express the pattern of his or her very being, the pattern of the
ambitions and ideals that comprise the self-expressive goals of a human life (1977, p. 133). Where Guilty
Man is driven, Tragic Mau yearns.
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
Struktur Bipolar Nuclear Self
 
Kohut menghipotesiskan bahwa hubungan yang cukup dengan hasil Self-Object yang sehat dalam
pembentukan diri nuklir bipolar yang memiliki tiga komponen:
1. Ambisi nuklir, yang merupakan usaha belajar anak untuk meraih kekuasaan dan kesuksesan tercermin
kagum oleh objek-diri;
2. Ideologi Nuklir, yang merupakan cita-cita dan citra ideal berasal dari pengakuan anak terhadap
kekuatan yang memuaskan dan menenangkan yang dimodelkan oleh Self-object; dan
3. Bakat dasar dan keterampilan, yang terletak secara metaforis antara dua kutub ambisi dan cita-cita
dan yang membentuk semacam "ketegangan ketegangan" aktivitas psikologis karena orang tersebut
"didorong" oleh ambisi dan "dipimpin" oleh cita-cita dalam pengejaran. tujuan hidup menggunakan
bakat dan keterampilan apa yang dimilikinya (Kohut, 1977, hal 188).
 
Ambisi nuklir terbentuk di awal kehidupan, pada atau sekitar tahun kedua atau ketiga, sedangkan cita-
cita nuklir dimasukkan ke dalam diri sebagai tiang kedua sekitar usia empat atau lima tahun (Kohut,
1977, hal 179). Kohut membayangkan diri nuklir sebagai entitas bipolar, dengan ambisi dan cita-cita
yang menancapkan kutub yang berlawanan. Proses sentral dalam pembentukan dua kutub ini, seperti
yang telah kita lihat, adalah hubungan dengan objek-objek diri empati. Inti nuklir, bagaimanapun,
bukanlah sekadar salinan langsung dari Objek Diri. Ini adalah asimilasi dari beberapa aspek karakteristik
kepribadian mereka, namun ciri utama Objek Mandiri dikecualikan dan digeneralisasi dalam sebuah
proses yang oleh Kohut disebut "mengubah internalisasi."
 
Transmutasi internalisasi adalah semacam pencernaan psikologis dimana fitur diri dan kemampuan Self-
Object yang kita andalkan dimasukkan ke dalam diri anak dalam pola yang unik bagi anak itu. Rasa
frustrasi ringan dan kegagalan dalam empati oleh Self-objects mendorong anak untuk melihat mereka
sebagai "hanya manusia biasa." Kegagalan sesekali seperti itu pada empati pada bagian dari Self-objects
memungkinkan anak membangun struktur dirinya sendiri tanpa perlu menggabungkan kepribadian total
orang lain.
 
Tidak seperti penekanan Freud pada konflik drive, penekanan Kohut jelas pada interaksi orang-ke-orang.
Kohut mengemukakan bahwa salah satu cara untuk mengkonseptualisasikan perbedaan antara
psikoanalisis klasik dan psikologi dirinya sendiri adalah dengan membandingkan tradisi "Manusia yang
Bersalah" dan "Manusia Tragis."
 
Manusia yang bersalah adalah konsep orang-orang yang selalu berjuang menuju kepuasan dari
dorongan mereka. Mereka digambarkan dalam psikoanalisis klasik karena hidup di bawah dominasi
prinsip kesenangan, berjuang tanpa henti untuk mendamaikan konflik batin. Mereka sering diblokir dari
tujuan mereka untuk mengurangi ketegangan dengan kekurangan mereka sendiri atau orang-orang yang
mengangkatnya.
 
Manusia Tragis, sebaliknya, adalah gambaran Kohut tentang orang-orang yang berjuang untuk
memenuhi tujuan inti nuklir mereka. Artinya, Manusia Tragis mencoba untuk mengekspresikan pola
keberadaannya sendiri, pola ambisi dan cita-cita yang membentuk tujuan ekspresif diri dari kehidupan
manusia (1977, hal 133). Ke mana orang yang bersalah diusir, Tragis Mau merindukan.
An Illustration: Reinterpretation of the Oedipus Complex
 
As an example of the differences between Kohut's self-psychology and classical psycho-analysis,
consider Kohut's interpretation of the child's experiences during the phallic phase of development.
 
In classical theory, this central development-instinctual conflict is the source of a variety of weaknesses
and unresolved guilt in the area of identity. Kohut, on the other hand, prefers to view the Oedipus
conflict as the source of potential strengths. Without a firm sense of self, a cohesive and continuous
realization of "who I am," an Oedipus conflict cannot take place (1977, p. 227). "Unless the child sees
himself as a delimited, abiding, independent center of initiative, he is unable to experience the object-
instinctual desires that lead to the conflicts and secondary adaptations of the Oedipal period" (1977, p.
227).
 
With the focus on the positive aspects of the Oedipal period, Kohut suggested that the typical Oedipal
desires are experienced by the child as assertive-possessive, affectionate-sexual urges to possess the
opposite-sexed parent, combined with assertive, self-confident, competitive feelings toward the same-
sexed parent. Parents will typically react to both sets of feelings with different, contradictory feelings of
their own. On the one hand, they will become counteraggressive toward the child's aggression, and on
the other they will "react with pride and joy to the child's developmental achievement, to his vigor and
assertiveness" (1977, p. 230).
 
When parents are able to respond in both ways to the child's Oedipal feelings—neither overdoing the
aggression nor exaggerating the joy and pride in assertiveness—they promote the child's mental health
and capacity for self-confidence. "If the little boy, for example, feels that his father looks upon him
proudly as a chip off the old block and allows him to merge with him and with his adult greatness, then
his Oedipal phase will be a decisive step in self-consolidation and self-pattern-firming ..." (Kohut, 1977,
p. 234).
 
What, in other words, is the Oedipus complex of the child who has entered the Oedipal phase with a
firmly cohesive self and who is surrounded by parents who themselves have healthy cohesive and
continuous selves? It is my impression ... that the normal child's Oedipal experiences ... contain, from
the beginning and persisting throughout, an admixture of deep joy that, while unrelated to the content
of the Oedipus complex in the traditional sense, is of the utmost developmental significance within the
framework of the psychology of the self. (Kohut, 1977, pp. 235-236)
 
Parents who themselves are cohesive personalities will pass along their joy in living to their child. Kohut,
in essence, asks whether the Oedipus complex is not more joyful, less conflicted, less violent, and less
wounding to self-esteem than classical theory would have it (Kohut, 1977, p. 246). Could it be, he asks,
that the classical version of the Oedipus complex exists only in the case of the child whose parents are
themselves narcissistically wounded ?
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
Ilustrasi: Reinterpretasi Kompleks Oedipus
 
Sebagai contoh perbedaan antara psikologi diri Kohut dan analisis psikoanalisis klasik, pertimbangkan
interpretasi Kohut tentang pengalaman anak selama fase perkembangan phallic.
 
Dalam teori klasik, perkembangan pusat ini - konflik instingtual merupakan sumber berbagai kelemahan
dan rasa bersalah yang tidak terselesaikan di bidang identitas. Kohut, di sisi lain, lebih memilih untuk
melihat konflik Oedipus sebagai sumber kekuatan potensial. Tanpa perasaan diri yang kuat, sebuah
realisasi yang kohesif dan terus menerus tentang "siapa saya," sebuah konflik Oedipus tidak dapat
terjadi (1977, hal 227). "Kecuali jika anak melihat dirinya sebagai pusat inisiatif yang terbatas, taat,
independen, dia tidak dapat mengalami keinginan objek-instingual yang mengarah pada konflik dan
adaptasi sekunder dari periode Oedipal" (1977, hal 227).
 
Dengan fokus pada aspek positif dari periode Oedipal, Kohut menyarankan bahwa keinginan khas
Oedipal dialami oleh anak sebagai dorongan seksual yang tegas dan penuh kasih sayang untuk memiliki
orang tua yang memiliki hubungan seks, dikombinasikan dengan sikap asertif, percaya diri, dan
kompetitif. Perasaan terhadap orang tua bercinta yang sama. Orangtua biasanya akan bereaksi terhadap
kedua rangkaian perasaan itu dengan berbagai perasaan kontradiktif mereka sendiri. Di satu sisi, mereka
akan menjadi counteraggressive terhadap agresi anak, dan di sisi lain mereka akan "bereaksi dengan
bangga dan gembira atas perkembangan perkembangan anak, terhadap semangat dan ketegasannya"
(1977, hal 230).
 
Bila orang tua dapat merespons dengan baik cara untuk perasaan Oedipal anak-anak-anak tersebut -
terlalu berlebihan melakukan agresi atau melebih-lebihkan kegembiraan dan kebanggaan dalam
ketegasan - mereka meningkatkan kesehatan mental anak dan kemampuan untuk percaya diri. "Jika
anak kecil itu, misalnya, merasa bahwa ayahnya memandangnya dengan bangga sebagai sebuah chip
dari blok tua dan memungkinkan dia untuk bergabung dengan dia dan dengan keasyikannya dewasa,
maka fase Oedipalnya akan menjadi langkah yang menentukan dalam konsolidasi diri. dan self-pattern-
firming ... "(Kohut, 1977, hal 234).
 
Dengan kata lain, apakah kompleks Oedipus anak yang telah memasuki fase Oedipal dengan tubuh yang
benar-benar kohesif dan dikelilingi oleh orang tua yang memiliki tubuh kohesif dan terus-menerus yang
sehat? Kesan saya ... bahwa pengalaman Oedipal anak-anak yang normal ... mengandung, sejak awal
dan bertahan di seluruh, campuran kegembiraan yang dalam, yang tidak terkait dengan isi kompleks
Oedipus dalam pengertian tradisional, adalah yang terbaik signifikansi perkembangan dalam kerangka
psikologi diri. (Kohut, 1977, hlm. 235-236)
 
Orangtua yang memiliki kepribadian kohesif akan menyampaikan kegembiraan mereka dalam menjalani
hidup bagi anak mereka. Kohut, pada intinya, bertanya apakah kompleks Oedipus tidak lebih
menyenangkan, kurang berkonflik, kurang keras, dan kurang melukai harga diri daripada teori klasik
akan memilikinya (Kohut, 1977, hal 246). Mungkinkah, dia bertanya, bahwa versi klasik dari kompleks
Oedipus hanya ada dalam kasus anak yang orang tuanya sendiri terluka secara narsis?
When Self-objects Fail: The Injured Self
 
Psychological disorder from the perspective of Kohut's theory is no longer viewed in terms of the ego's
failures to balance reality, id wishes, and superego judgments. Abnormal psychological functioning is
pictured in Kohut's theory as the result of defects in the formation of a cohesive self. Such defects
represent developmental insults to normal narcissism. When the insult or injury is sufficiently intense,
characteristic pathological distortions are introduced into the infant's developing self. Kohut has
described five such distortions that correspond to five different kinds of Self-object failure (Kohut &
Wolff, 1978):
 
1. The understimulated self that develops in the child whose self-object seriously unattuned to his or her
self-needs for mirroring and idealizing. mg. loses vitality, and in later life, the mirrorless and ideal-less
self experiences empty, and numbed. Such people may turn to momentary and risky way of
experiencing "Aliveness" in the abuse of drugs and alcohol, sexual adventurism, or compulsive gambling.
But all such artificial "self-stimulants" can provide only fleeting experiences of an alive self, and even
those flashes of aliveness may be experienced as alien intrusions from the out-side world. The person's
self even has a quality of alien, depersonalized existence.
 
2. The fragmenting self is formed in the child whose Self-objects have inflicted some definite narcissistic
injury on the child at a particularly vulnerable moment. The child's self-esteem is overtaxed in the face
of humiliation that proves permanently damaging. As a result, the person experiences self as
fragmented. uncoordinated, and lacking balance and cohesion. Hypochondriacal complaints of vague
pains and chronic but undefinable illness may characterize the person's daily life. At base, the person
experiences self as sickened, weakened, and at the mercy of life.
 
3. The overstimulated self develops in the child who is exposed to Self-objects who inappropriately
stimulate either the child's ambitions or ideals. If the grandiose ambitions pole of the self is stimulated
intensely, the result is a self that attempts to avoid situations where the person may become the center
of attention. Archaic "greatness fantasies" stimulated by the Self-objects arouse much anxiety in
adulthood and push the person to hide the self from scrutiny. If, on the other hand, the Ideals pole of
the self was inappropriately responded to by the Self-objects, the result is a persistent need to merge
with idealized people and share in their greatness. But such a need to merge with them can also be
experienced as threatening because one loses one's self in a fusion with another.
 
4. The overburdened self is embodied in the child whose Self-objects did not pro-vide opportunities for
the child to merge with their strength and calmness. The overburdened self that develops lacks an
ability to soothe itself, and the person experiences the world as a threatening, dangerous, inimical place.
Any stimulation is overwhelming and fearful, and there is no place to turn for comfort.
 
Kohut moved away from a drive model of psychological functioning toward a more interpersonal and
phenomenological viewpoint. In fact, Kohut argued in his last and posthumously published book that the
curative ingredient in psychoanalytic treatment is the analyst's ability to teach the patient how to look
for and use healthy Self-objects. The essence of the psychoanalytic cure resides in a patient's newly
acquired ability to identify and seek out appropriate Self-objects—both mirroring and idealizable—and
to be sustained by them (Kohut, 1984, p. 77).
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
Saat Self-objects Gagal: Diri Terluka
 
Gangguan psikologis dari perspektif teori Kohut tidak lagi dipandang dalam hal kegagalan ego untuk
menyeimbangkan realitas, keinginan id, dan penilaian superego. Fungsi psikologis abnormal
digambarkan dalam teori Kohut sebagai akibat cacat dalam pembentukan diri yang kohesif. Cacat
semacam itu merupakan penghinaan terhadap narsisme normal. Bila penghinaan atau cedera cukup
kuat, distorsi patologis yang khas diperkenalkan ke dalam diri bayi yang sedang berkembang. Kohut
telah menggambarkan lima distorsi semacam itu yang sesuai dengan lima jenis kegagalan Self-Object
(Kohut & Wolff, 1978):
 
1. Diri yang tidak terdefinisi yang berkembang pada diri anak yang objeknya secara serius tidak sesuai
dengan kebutuhan dirinya sendiri untuk mencerminkan dan mengidealkan. mg. kehilangan vitalitas, dan
di kemudian hari, pengalaman diri yang tanpa cermin dan tidak ideal kosong, dan mati rasa. Orang-
orang seperti itu mungkin beralih ke cara sesaat dan berisiko mengalami "Aliveness" dalam
penyalahgunaan narkoba dan alkohol, petualangan seksual, atau perjudian kompulsif. Tapi semua
"stimulan diri" buatan semacam itu hanya bisa memberi pengalaman sekilas tentang hidup yang hidup,
dan bahkan kilasan daya tarik semacam itu bisa dialami sebagai intrusi asing dari dunia luar. Diri
seseorang bahkan memiliki kualitas eksistensi asing dan depersonal.
 
2. Diri yang terfragmentasi terbentuk pada anak yang objek Self-nya telah menimbulkan beberapa
narsisistik tertentu pada anak pada saat yang sangat rentan. Harga diri anak dilipatgandakan dalam
menghadapi penghinaan yang terbukti merusak secara permanen. Akibatnya, orang tersebut mengalami
dirinya sebagai terfragmentasi. tidak terkoordinasi, dan kurang keseimbangan dan kohesi. Keluhan
hypochondriacal tentang nyeri samar dan penyakit kronis namun tidak dapat dijelaskan dapat menjadi
ciri kehidupan sehari-hari seseorang. Pada dasarnya, orang tersebut mengalami diri sebagai orang yang
sakit, lemah, dan pada belas kasihan hidup.
 
3. Diri yang terlalu tinggi berkembang pada anak yang terpapar obyek diri yang secara tidak tepat
merangsang ambisi atau cita-cita anak. Jika ambisi besar kutub diri dirangsang secara intensif, hasilnya
adalah diri yang berusaha menghindari situasi dimana orang tersebut menjadi pusat perhatian. Fantasi
kebesaran agung "yang dirangsang oleh Diri Sendiri membangkitkan banyak kegelisahan di masa dewasa
dan mendorong orang tersebut menyembunyikan dirinya dari pengamatan. Jika, di sisi lain, kutub Ideal
diri tidak tepat ditanggapi oleh Objek Diri, hasilnya adalah kebutuhan terus-menerus untuk bergabung
dengan orang-orang yang ideal dan berbagi dalam kebesaran mereka. Tapi kebutuhan untuk bergabung
dengan mereka juga bisa dialami sebagai ancaman karena seseorang kehilangan dirinya sendiri dalam
perpaduan dengan yang lain.
 
4. Diri yang terbebani dikandung dalam diri anak yang objek Self-nya tidak memberi kesempatan kepada
anak untuk bergabung dengan kekuatan dan ketenangan mereka. Diri yang terbebani yang berkembang
tidak memiliki kemampuan untuk menenangkan dirinya sendiri, dan orang tersebut mengalami dunia ini
sebagai tempat yang mengancam, berbahaya dan tidak berimajinasi. Setiap rangsangan sangat banyak
dan menakutkan, dan tidak ada tempat untuk menghibur.
 
Kohut menjauh dari model dorongan fungsi psikologis menuju sudut pandang interpersonal dan
fenomenologis. Sebenarnya, Kohut berdebat dalam buku terakhir dan anumerta menerbitkan bahwa
ramuan kuratif dalam perawatan psikoanalitik adalah kemampuan analis untuk mengajarkan kepada
pasien bagaimana mencari dan menggunakan benda hidup yang sehat. Esensi penyembuhan
psikoanalitik berada pada kemampuan pasien yang baru diperoleh untuk mengidentifikasi dan mencari
objek Diri yang sesuai - keduanya mencerminkan dan dapat direalisasikan - dan dipertahankan oleh
mereka (Kohut, 1984, hal 77).
A FINAL WORD ON HEINZ KOHUT
 
Heinz Kohut's self-theory is the attempt to view personality development and the various ways in which
it can go wrong in the light of the person's own evaluation of his or her success or failure in mastering
the obstacles of life. The narcissistically injured patient, with whom Kohut primarily deals, evidences the
kind of deficits and misinterpretations of reality that only make sense if a narcissistically damaged
nuclear-self is postulated be-yond the three agencies of the ego, id, and superego. Kohut perhaps
summarized his own contribution best when he explained the goal of psychoanalytic therapy with the
narcissistically wounded personality:
 
The successful end of the analysis of narcissistic personality disorders has been reached, when, after a
proper termination phase has established itself and has been worked through, the analysand's formed;
enfeebled or fragmented nuclear-self—his nuclear ambitions and ideals in cooperation with certain
groups of talents and skills—has become sufficiently strengthened and consolidated to be able to
function as a more or less self-propelling, self-directed, self-sustaining unit which provides a central
purpose to his personality and gives a sense of meaning to his life. (Kohut, 1977, pp. 138-139)
 
Kohut wished, to preserve the essence of psychoanalysis; but there is little doubt that he also moved
psychoanalysis toward the humanistic position of such theorists as Abraham Maslow and Carl Rogers
(Chapter 13) to whom integration and personal purposiveness are the criteria of personality health.
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
KATA AKHIR DI HEINZ KOHUT
 
Teori diri Heinz Kohut adalah usaha untuk melihat perkembangan kepribadian dan berbagai cara di
mana ia bisa salah dalam mempertimbangkan evaluasi sendiri atas keberhasilan atau kegagalannya
dalam menguasai hambatan hidup. Pasien yang menderita narsisistik, dengan siapa Kohut terutama
berurusan, membuktikan jenis defisit dan salah tafsir terhadap kenyataan yang hanya masuk akal jika
diri nurani narsis rusak didalilkan menjadi tiga lembaga ego, id, dan superego. Kohut mungkin
merangkum kontribusinya sendiri paling baik saat dia menjelaskan tujuan terapi psikoanalitik dengan
kepribadian narsisistik yang terluka:
 
Keberhasilan analisis gangguan kepribadian narsistik telah berhasil dicapai, ketika, setelah fase
penghentian yang tepat telah terbentuk dan telah berhasil, maka analysand terbentuk; ambisi dan cita-
cita nuklirnya yang lemah atau terfragmentasi, bekerja sama dengan kelompok bakat dan keterampilan
tertentu - telah cukup diperkuat dan dikonsolidasikan agar dapat berfungsi sebagai unit yang lebih
mandiri, mandiri, mandiri. yang memberikan tujuan utama kepribadiannya dan memberi arti makna
pada hidupnya. (Kohut, 1977, hlm. 138-139)
 
Kohut berharap, untuk melestarikan esensi psikoanalisis; Namun, ada sedikit keraguan bahwa dia juga
memindahkan psikoanalisis ke posisi humanistik dari para teoretikus seperti Abraham Maslow dan Carl
Rogers (Bab 13) kepada siapa keunggulan integrasi dan pribadi merupakan kriteria kesehatan
kepribadian.
EVALUATING OBJECT RELATIONS THEORY
 
Indebted as they were to classical psychoanalysis, Klein, Winnicott, and Kohut, each in their own way,
advanced psychoanalysis from a drive theory to an interpersonal, transactional, and highly
developmental model of personality. But intellectual debts are still debts. Like the parent theory from
which these object-relations models emerged, each of them shares the strengths and weaknesses of
psychodynamic formulations.
 
Refutability of Object Relations Theory
 
It is ironic that the great strength of object relations theory—a concern with the develop-mental
consequences of intimate relationships—is also its greatest scientific weakness. Because the major focus
of each theorist in this chapter was the unconscious dynamics rather than the observable interpersonal
transactions of relationships, most of Klein's, Winnicott's, and Kohut's hypotheses are untestable. What
presumably transpires in the mind of the baby as it interacts with its mother is largely inferential.
 
Some inferences are more reasonable than others, but reasonableness is not equivalent to refutability.
Klein's formulations appear on close examination to be wanting both in the consistency of their logic
and in the vast distance between her inferences and the observations on which they are presumably
based. Winnicott's proposals, influenced by Klein, lie closer to pragmatic common sense. Unfortunately,
however, with the exception of the concept of the transitional object, Winnicott's hypotheses are also
inferences about unconscious dynamics that are far from the possibility of empirical test. Kohut's
formulations, more philosophical than his colleagues, are nevertheless similarly speculative.
 
What can we conclude? In some respects, object relations theory represents no improvement in
refutability relative to classical psychoanalysis. Indeed in some ways__ including reliance on the death
instinct, emphasis on innate aggression, reliance on paradoxical formulations—object relations theory
represents a regression.
 
Human Agency in Object Relations Theory
 
If we ranked the three theorists from the least-active to the most-active conception of agency, the order
would be: Klein, Kohut, and Winnicott. Klein's formulation preserves substantial elements of the classical
drive theory and its reliance on a reactive model of the nervous system. Kleinian babies are tense infants
who reactively discharge their drives onto available objects. Kohut's model clearly pictures humans as
active constructors of their social reality, but his aim, necessarily, was a clinical one that emphasized the
aberrant functioning of wounded people reacting to significant others who inflict their wound -s
Winnicott, by far, is the theorist who most completely comprehends people from the earliest days of
their lives as collaborative constructors of social reality. Winnicott's concepts of the infant's progress
from omnipotent magical thinking to object relating and on to-ward using the object by constructing it,
destroying it, and happily rediscovering it surviving in reality are active agent concepts. They are even
interactive concepts of human agency.
 
The Idiographic Emphasis of Object Relations Theory
 
Shared with orthodox psychoanalysis is the goal of understanding the individual. Personality
development, and the ways in which it can go wrong, are strictly "one person at a time" phenomena for
object relations theorists. It could hardly be otherwise for any theory with psychodynamic aspirations. A
goal, however, is also to generate clinical data that will eventually lead to nomothetic laws or rules of
predictable behavior.
 
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
----------------
 
MENGEVALUASI TEORI HUBUNGAN OBYEK
 
Karena berhutang pada psikoanalisis klasik, Klein, Winnicott, dan Kohut, masing-masing dengan caranya
sendiri, psikoanalisis lanjutan dari teori penggerak ke model kepribadian interpersonal, transaksional,
dan sangat berkembang. Tapi utang intelektual masih utang. Seperti teori induk dari mana model relasi
objek ini muncul, masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan dari formulasi psikodinamik.
 
Refutability dari Teori Hubungan Obyek
 
Sungguh ironis bahwa teori relasi objek yang hebat - keprihatinan akan konsekuensi mental hubungan
intim - juga merupakan kelemahan ilmiah terbesarnya. Karena fokus utama masing-masing teoretikus
dalam bab ini adalah dinamika yang tidak disadari dan bukan hubungan hubungan interpersonal yang
dapat diamati, sebagian besar hipotesis Klein, Winnicott, dan Kohut tidak dapat diuji. Apa yang mungkin
terjadi dalam pikiran bayi karena berinteraksi dengan ibunya sebagian besar dapat disimpulkan.
 
Beberapa kesimpulan lebih masuk akal daripada yang lain, namun kewajaran tidak setara dengan
penolakan. Formulasi Klein muncul pada pemeriksaan ketat untuk menginginkan keduanya dalam
konsistensi logika mereka dan jarak yang jauh antara kesimpulannya dan pengamatan yang mendasari
mereka. Usulan Winnicott, yang dipengaruhi oleh Klein, lebih dekat dengan akal sehat pragmatis.
Sayangnya, bagaimanapun, kecuali konsep objek transisi, hipotesis Winnicott juga merupakan
kesimpulan tentang dinamika tak sadar yang jauh dari kemungkinan uji empiris. Formulasi Kohut, yang
lebih filosofis daripada rekan-rekannya, bagaimanapun juga spekulatif.
 
Apa yang bisa kita simpulkan? Dalam beberapa hal, teori relasi objek tidak merepresentasikan
peningkatan refutabilitas relatif terhadap psikoanalisis klasik. Memang dalam beberapa hal, termasuk
ketergantungan pada naluri kematian, penekanan pada agresi bawaan, ketergantungan pada formulasi
paradoksal - teori relasi objek merupakan sebuah regresi.
 
Badan Manusia dalam Teori Hubungan Obyek
 
Jika kita memberi peringkat tiga teoretikus dari konsep agen yang paling aktif ke orasi paling aktif,
urutannya adalah: Klein, Kohut, dan Winnicott. Perumusan Klein mempertahankan unsur substansial
dari teori dorongan klasik dan ketergantungannya pada model reaktif sistem saraf. Bayi Kleinian adalah
bayi tegang yang secara reaktif melepaskan drive mereka ke benda yang ada. Model Kohut jelas
menggambarkan manusia sebagai konstruktor aktif dari realitas sosial mereka, namun tujuannya tentu
saja adalah pendekatan klinis yang menekankan fungsi menyimpang dari orang-orang yang terluka yang
bereaksi terhadap orang-orang penting lainnya yang menimbulkan luka mereka -salah Winnicott, adalah
ahli teori yang paling benar-benar memahami orang-orang dari hari-hari awal hidup mereka sebagai
konstruktor kolaborasi realitas sosial. Konsep Winnicott tentang kemajuan bayi dari pemikiran magis
yang mahakuasa untuk objek yang berkaitan dan di lingkungan menggunakan benda tersebut dengan
membangunnya, menghancurkannya, dan dengan senang hati menemukannya kembali dalam
kenyataan adalah konsep agen aktif. Mereka bahkan konsep interaktif tentang agen manusia.
 
Penekanan Idiographic Teori Hubungan Obyek
 
Dibagi-bagi dengan psikoanalisis ortodoks adalah tujuan memahami individu. Pengembangan
kepribadian, dan cara-cara di mana ia bisa salah, secara ketat adalah "satu orang pada satu waktu"
fenomena untuk teori hubungan objek. Hampir tidak mungkin jika ada teori dengan aspirasi
psikodinamik. Sebuah tujuan, bagaimanapun, juga untuk menghasilkan data klinis yang pada akhirnya
akan menghasilkan undang-undang nomothetic atau aturan perilaku yang dapat diprediksi.