Professional Documents
Culture Documents
9 Tematik SCM Kopi
9 Tematik SCM Kopi
9 Tematik SCM Kopi
Reni Kustiari
ABSTRACT
In general, supply chain of coffee beans is controlled by the domestic roasters as the
branches of roasters abroad operating also as the exporters with foreign capital facility. In the
coffee export market, exporters with foreign capital facility dominate the coffee bean market for
their ability to control distribution supply lines, working with capital support from the company
abroad and soft loans from the banks of the countries of origin (6% per year), and
comprehensive market information. There are eight coffee marketing channels, namely: (1)
farmers-village traders-middlemen-wholesalers-exporters-domestic roaster; (2) farmers-farmers’
groups- middlemen - exporters-domestic roasters; (3) farmers – farmers’ groups - domestic
roaster; (4) farmers – farmers’ groups - domestic roaster (partnership); (5) farmers- village
traders- processors of coffee powder; (6) farmers – processor of coffee powder; (7) farmers –
traders at district level - processors of coffee powder; (8) farmers - traders at district level -
middlemen -exporters. The marketing pattern beneficial to the farmers is the direct marketing
pattern from farmers to processors of coffee powder. This pattern is the most favorable pattern
for farmers because, although the farmers have to pay transport cost but income shares of the
farmers were Rp 3,250/kg or the largest farmers’ share compared to other patterns. To revitalize
coffee farming in dealing with trade liberalization and globalization, the government should focus
on production and post-harvest technologies development such as recommended technology
application and harvesting the red beans to produce high quality coffee and possible of wet
processing to get higher price.
Key words: coffee bean, farmers, coffee roasters, foreign capital, post harvest
ABSTRAK
Secara umum, rantai pasokan biji kopi dikuasai oleh perusahaan roasters domestik yang
merupakan cabang roaster di luar negeri dan pengekspor dengan fasilitas PMA di dalam negeri.
Khusus untuk pasar kopi ekspor, pengekspor dengan fasilitas PMA mendominasi pasar biji kopi
karena kemampuannya dalam menguasai jalur distribusi pasokan, dukungan modal kerja dari
induk perusahaan di luar negeri dan bunga pinjaman bank dari negara asal yang murah (6% per
tahun) dan penguasaan informasi pasar. Ada delapan jalur pemasaran kopi yaitu: (1) petani-
pedagang pengumpul-pedagang besar- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (2)
petani- kelompok tani- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (3) petani - kelompok tani
- domestik roaster; (4) petani - kelompok tani - domestik roaster (dengan pola kemitraan); (5)
petani- pedagang pengumpul- pengolah kopi bubuk; (6) petani - pengolah kopi bubuk; (7) petani
- pedagang besar- pengolah kopi bubuk; (8) petani - pedagang besar-pedagang perantara-
eksportir. Pola tata niaga yang menguntungkan petani yaitu pola pemasaran dari petani
langsung ke pengolah kopi bubuk. Pola pemasaran ini merupakan pola yang paling
menguntungkan bagi petani, karena walaupun petani harus mengeluarkan biaya transport
namun kontribusi yang diterima petani dari pola tersebut mencapai Rp 3.250/kg, terbesar
dibandingkan dengan pola tata niaga yang lainnya. Dalam rangka revitalisasi usahatani kopi
menghadapi liberalisasi dan globalisasi perdagangan, maka perhatian yang lebih serius perlu
diarahkan kepada upaya pengembangan teknologi produksi dan pasca panen seperti penerapan
teknologi yang sesuai anjuran dan panen petik merah agar dihasil produk biji kopi yang
berkualitas tinggi dan dapat diproses secara basah yang akan mendapat harga relatif tinggi di
pasar biji kopi.
Kata kunci: biji kopi, petani, pengolah kopi, modal asing, pasca panen
100
PENDAHULUAN
Peran komoditas kopi bagi perekonomian Indonesia masih cukup penting, baik
sebagai sumber pendapatan bagi petani kopi, sumber devisa maupun penyedia
lapangan tenaga kerja melalui kegiatan pengolahan, pemasaran dan perdagangan
(ekspor dan impor). Pada tahun 1994, komoditas kopi merupakan primadona di sub
sektor perkebunan karena nilai ekspornya paling tinggi di antara komoditas tanaman
perkebunan lainnya, yaitu sebesar US$ 723 juta atau 25,6 persen dari nilai ekspor
sektor pertanian. Namun, setelah harga kopi terus menurun karena terjadi kelebihan
suplai kopi di pasar dunia, pada tahun 2009 perolehan devisa dari komoditas kopi
menurun tajam dan hanya menghasilkan nilai ekspor sebesar US$ 824.015 ribu atau
3,60 persen dari nilai ekspor seluruh komoditas pertanian, 0,85 persen dari nilai ekspor
non-migas dan 0,71 persen dari nilai total ekspor (Statistik Pertanian, 2010). Walaupun
sumbangan ekspor kopi terhadap penerimaan devisa negara relatif kecil dan cenderung
terus menurun namun kopi telah memberikan manfaat tersendiri bagi kelangsungan
hidup sebagian masyarakat Indonesia karena mampu memberi penghidupan pada
sekitar 2,06 juta jiwa (Statistik Perkebunan, 2011), jumlah tersebut hanya dari
lingkungan perkebunan, belum termasuk industri kopi (roasters) yang melibatkan cukup
banyak tenaga kerja.
Pada tahun 1984 pangsa ekspor kopi Indonesia menduduki nomor tiga tertinggi
setelah Brasilia dan Kolombia. Bahkan, untuk kopi robusta ekspor Indonesia menduduki
peringkat pertama di dunia. Sebagian besar ekspor kopi Indonesia adalah jenis kopi
robusta (93%), sisanya adalah jenis kopi arabika. Namun, sejak tahun 1997 posisi
Indonesia tergeser oleh Vietnam, dengan menjadi negara pengekspor kopi terbesar ke-
empat sesudah Brasilia, Vietnam dan Kolombia.
Pesatnya perkembangan produksi kopi dunia telah menyebabkan kelebihan
pasokan dan mengakibatkan persaingan antar negara produsen menjadi semakin ketat.
Dalam periode 2000-2010, rata-rata produksi kopi dunia mencapai 7,15 juta ton (ICO,
2011). Brasilia memproduksi 2,31 juta ton yang 24 persen di antaranya jenis robusta.
Diikuti Vietnam 949,44 ribu ton, 95 persen dari jumlah itu berupa robusta, Kolombia
657,11 ribu ton (robusta 2 persen), Indonesia 482,19 ribu ton (robusta 90 persen),
Ethiopia 308,11 (arabika 100 persen). Laju pertumbuhan tertinggi terjadi di Ethiopia
yaitu sebesar 6,95 persen per tahun, diikuti oleh Indonesia, Vietnam dan Brasilia
masing-masing sebesar 4,1 persen, 3,8 persen, dan 2,9 persen per tahun. Sebaliknya
produksi kopi di Kolumbia menurun sekitar 2,3 persen per tahun.
Sementara rata-rata jumlah permintaan impor pada periode yang sama hanya
5,69 juta ton. Perinciannya adalah Amerika 1,39 juta ton, Eropa 3,67 juta ton, Jepang
430 ribu ton dan ROW 180 ribu ton (ICO, 2011). Laju peningkatan produksi kopi dunia
yang drastis sejak tahun 1999 tersebut telah menyebabkan harga kopi berfluktuasi
dengan kecenderungan menurun. Tanaman kopi sangat peka terhadap bencana embun
upas dan kekeringan karena dapat meningkatkan serangan penyakit pada tanaman dan
menggagalkan sebagian besar pertanaman kopi. Karena tanaman baru akan
menghasilkan sesudah 3-5 tahun, maka produksi kopi sangat tergantung pada
guncangan penawaran, akibatnya harga kopi dunia sangat berfluktuatif.
Selain kelebihan pasokan, yang menyebabkan harga jatuh adalah siklus
produksi dan harga, yang biasanya terjadi pada komoditas primer. Untuk kopi siklusnya
35 tahun, sekali dalam 35 tahun harga turun ke titik terendah, kemudian naik lagi
sejalan dengan berkurangnya pasokan (Kopi Indonesia, 2001b). Gambar 1
menunjukkan bahwa harga kopi di pasar dunia cenderung fluktuatif, baik pada jangka
pendek maupun jangka panjang. Hal ini pada akhirnya akan berpengaruh pada
perkembangan harga kopi di pasar domestik. Penurunan harga kopi arabika dunia tidak
101
terlalu mempengaruhi harga kopi arabika domestik. Hal ini terjadi diduga karena
kualitas kopi arabika dari Indonesia lebih baik dibandingkan dengan kopi sejenis dari
negara lainnya sehingga pengaruhnya tidak begitu besar. Namun karena produksi kopi
arabika relatif kecil, yakni sekitar 10 persen dari total produksi nasional maka kondisi
keseluruhan perkopian nasional tetap stagnan.
Fluktuasi harga kopi yang terjadi tidak terlepas dari perkembangan produksi kopi
dunia, terutama produksi kopi Brasilia sebagai produsen utama. Peningkatan harga kopi
tahun 1994 karena penurunan ekspor dari Brasilia sebagai akibat dari satu kali bencana
kekeringan dan dua kali embun upas yang terjadi dalam satu tahun (ITC, 2002).
Tingginya harga kopi arabika pada tahun 1997 karena terjadi penurunan volume ekspor
dari beberapa negara pengekspor yang mengalami penurunan produksi sebagai akibat
bencana El Nino dan karena perkebunan kopi di Brasilia terkena embun upas, terakhir
melanda Brasilia pada tahun 2000. Harga kopi arabika dan kopi robusta yang menurun
dan mencapai harga terendah pada tahun 2001 disebabkan oleh produksi kopi di
Brasilia (kopi arabika) dan Vietnam (kopi robusta) mengalami peningkatan yang drastis
sebagai dampak dari keberhasilan program-program peningkatan produktivitas di kedua
negara tersebut. Selain itu, harga yang turun drastis ini diduga sebagai akibat dari
permainan pembeli-pembeli kelas dunia (roasters dan pengimpor) atau perusahaan
multinasional yang melakukan pembelian melalui perwakilan yang tersebar di sentra-
sentra kopi negara produsen, seperti Nestlé di Lampung.
Sejak tahun 2001 harga kopi robusta dan arabika di pasar dunia cenderung
meningkat, namun harga kopi di pasar domestik masih rendah sampai dengan tahun
2005. Harga kopi di pasar domestic cenderung bergerak naik bersama dengan
peningkatan harga di pasar dunia (Gambar 1). Oleh karena itu, agar dapat
meningkatkan daya saing di pasar global perlu dilakukan kajian rantai pasok untuk
komoditas kopi yang merupakan salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia.
Gambar 1. Harga Kopi Robusta dan Kopi Arabika di Pasar Domestik dan Pasar Internasional,
1990-2009
103
Sistem pemasaran kopi di Indonesia berubah-ubah dan berbeda-beda antar
daerah. Perubahan ini bukan hanya disebabkan oleh pola pemasaran tradisional tetapi
juga oleh penyesuaian pada perubahan dalam sistem produksi, metode pengolahan
dan hubungan antara petani kopi dan pedagang perantara. Hampir seluruh rantai
pemasaran kopi dikuasai oleh pedagang swasta dan pengekspor. Kontribusi
perkebunan negara dalam produksi dan pemasaran hanya sekitar 3 persen dari total
pasokan nasional (Jong, 1997).
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk meliberalisasi perdagangan domestik,
dalam hal ini termasuk pasar biji kopi berlangsung sejak tahun 1996. Kegiatan
perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) melalui penanaman modal asing langsung
(FDI) di bidang ekspor dan impor diatur SK Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.
11/MPP/SK/I/1996 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari PP No. 2 Tahun 1996
sebagaimana telah diubah dengan PP No. 46 tahun 1997 dan diubah lagi dengan PP
No. 16 Tahun 1998. Khusus untuk perdagangan biji kopi SK Menteri Perindustrian dan
Perdagangan di atas memberi kebebasan perusahaan asing (multinasional) untuk
membeli biji kopi langsung dari petani.
Perusahaan asing (MNC) pada perdagangan kopi dimulai sejak 1996 (Warta
Ekonomi pada tanggal 18 Mei 1998 1). Pada waktu itu, banyak perusahaan pengekspor
kopi mengalami masalah likuiditas karena harga kopi yang rendah telah menekan para
pengekspor kopi. Selain itu, harga rendah yang berkepanjangan berdampak negatif
bagi petani sehingga produksi turun. Namun produksi kopi yang menurun secara tajam
menyebabkan harga kopi meningkat drastis. Sebagai akibat dari harga tinggi banyak
perusahaan pengekspor nasional tidak mampu membeli kopi petani.
Perusahaan-perusahaan pengekspor kopi nasional yang mengalami masalah
likuiditas tersebut kemudian diambil alih oleh MNC dari Amerika Serikat dan Jepang
yang jumlahnya sekitar 10 buah. MNC ini kemudian beroperasi dan mampu membeli
kopi petani pada tingkat harga yang tinggi, yaitu harga kopi arabika bisa mencapai Rp.
25.000/kg dan kopi robusta Rp. 16.000/kg pada tahun 2007. Sejak tahun 1998, seiring
dengan merosotnya harga kopi dunia, MNC sudah mampu mengendalikan harga
melalui kekuatan likuiditasnya.
Hal ini menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan pada pasar biji kopi
mengakibatkan adanya perubahan kekuatan pasar dan menempatkan perusahaan
PMA/MNC dalam posisi dominan. Dampak selanjutnya adalah rantai pasokan kopi
dikuasai perusahaan multinasional, menimbulkan ketergantungan harga bagi produsen
(petani), dan tertekannya peluang peningkatan nilai tambah domestik dari pengolahan
biji kopi.
Perusahaan nasional yang menghasilkan barang untuk ekspor, meskipun telah
mampu memproduksi barang dengan kualitas memenuhi syarat, belum sepenuhnya
berhasil menembus pasar luar negeri karena kelemahan di bidang pemasaran. Dampak
negatif beroperasinya perusahaan eksportir PMA terhadap pabrik pengolahan mungkin
juga melanda industri pengolahan kopi, yaitu tertekannya nilai tambah domestik yang
diperoleh dari industri pengolahan kopi nasional.
Areal
Luas areal kopi di Indonesia meningkat dengan lambat yaitu dari sekitar 1,06
juta ha pada tahun 1990 menjadi sekitar 1,3 juta ha pada tahun 2010 atau meningkat
1 Warta Ekonomi No. 52/Th IX/18 Mei 1998. Anggota AEKI gulung tikar.
104
rata-rata 0,85 persen per tahun selama periode 20 tahun. Selama periode 1997-1999,
luas areal menurun sebesar 0,7 persen per tahun. Menurunnya luas areal tersebut
terutama karena adanya gangguan iklim berupa kekeringan yang relatif panjang.
Selanjutnya areal cenderung meningkat karena harga kopi di pasar dunia dan pasar
domestik cenderung meningkat.
Di Lampung, provinsi sentra produksi kopi terbesar kedua sesudah Sumatera
Selatan, luas areal kopi cenderung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan
pertumbuhan luas areal kopi di Indonesia, yaitu dari sekitar 121 ribu ha pada tahun
1990 menjadi sekitar 163,4 ribu ha pada tahun 2010 atau meningkat dengan laju
pertumbuhan rata-rata 1,78 persen per tahun selama periode yang sama. Dengan
demikian kontribusi luas areal kopi Lampung meningkat sekitar 0,91 persen per tahun
dari sekitar 11,3 persen pada tahun 1990 menjadi 12,6 persen pada tahun 2010.
Tabel 1. Perkembangan Luas Areal Kopi Indonesia dan Lampung, 1990-2010 (ha)
Produksi
Lebih dari 85 persen perkebunan kopi di Indonesia terletak di sebelah selatan
khatulistiwa, dimana periode curah hujan dan sinar matahari menyebabkan masa panen
kopi terjadi dalam periode bulan April sampai September. Sementara di wilayah bagian
utara khatulistiwa, seperti Aceh dan Sumatera Utara, masa panen kopi terjadi dalam
periode Oktober sampai Februari.
Komoditas kopi diproduksi hampir di seluruh provinsi di Indonesia, namun sentra
produksi kopi terbesar adalah Sumatera Selatan dan Lampung. Rata-rata total produksi
kopi nasional pada periode 1990-2010 mencapai 557,09 ribu ton. Produksi kopi di
Indonesia meningkat relatif cepat, yaitu dari sekitar 412 ribu ton pada tahun 1990
menjadi sekitar 712,7 ribu ton pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata 3,25 persen
per tahun. Penurunan luas areal karena terjadi kekeringan yang relatif panjang selama
105
periode 1997-1999 tampaknya tidak menyebabkan penurunan produksi kopi, ini terjadi
karena produktivitas kopi yang cenderung meningkat.
Produksi kopi di Lampung meningkat lebih cepat dibandingkan dengan
peningkatan produksi kopi di Indonesia, yaitu dari sekitar 85,7 ribu ton pada tahun 1990
menjadi sekitar 142,18 ribu ton pada tahun 2010 atau meningkat rata-rata 3,89 persen
per tahun. Kontribusi produksi kopi dari Lampung terhadap total produksi kopi di
Indonesia cenderung menurun, dari sekitar 20,7 persen pada tahun 1990 menjadi 19,95
persen pada tahun 2010 (Tabel 2).
Ekspor
Dalam perekonomian Indonesia kopi berstatus sebagai komoditas (promosi)
ekspor. Masalah pengembangan ekspor kopi yang dihadapi Indonesia antara lain
adalah produk kopi ekspor utama Indonesia, kopi robusta, sering dijustifikasi bermutu
rendah. Harga kopi sangat ditentukan oleh kualitas, yang dipengaruhi oleh negara asal,
varietas dan penanganan pasca panen. Untuk meningkatkan kualitas kopi ekspor
Indonesia, pemerintah Indonesia menerapkan sistem nilai cacat (defect system) sejak
tahun 1983. Penerapan standar mutu sistem cacat ini mampu meningkatkan citra mutu
kopi Indonesia, sehingga tidak lagi dikenai price discount dan peluang di pasar–pasar
tradisional dan non-tradisional semakin terbuka. Berdasarkan surat edaran dari Coffee
Terminal Market Association of London tanggal 31 Mei 1984, kopi Indonesia dinyatakan
layak ditenderkan, tanpa dikenai potongan harga sebesar ₤10/ton dari harga basis,
sebagaimana berlaku sebelumnya (Yahmadi, 1999).
Volume ekspor kopi Indonesia tampak fluktuatif dengan kecenderungan
menurun dari 421,2 ribu ton menjadi hanya 468,7 ribu ton, atau meningkatkan dengan
106
laju sekitar 1,58 persen per tahun (Tabel 3). Rendahnya laju peningkatan ini karena
Indonesia mengalami kesulitan bersaing di pasar kopi internasional yang sudah
mengalami kelebihan penawaran. Pada tahun 2009, negara pengekspor utama kopi
adalah Brasilia diikuti berturut-turut oleh Vietnam, Kolombia dan Indonesia. Keempat
negara ini mengekspor sebesar 57,3 persen dari total ekspor kopi dunia, naik dari 36,4
persen pada tahun 1986. Pangsa ekspor kopi dari Brasilia dan Vietnam meningkat
drastis sehingga pangsa negara pengekspor lainnya menurun.
Tabel 3. Perkembangan Volume dan Nilai Ekspor Kopi Indonesia, 1990-2009 (Ton)
Harga
Harga ekspor kopi robusta (FOB) ditentukan oleh penawaran dan permintaan di
pasar dunia, posisi antara pengekspor dan pengimpor serta posisi pengekspor dan
petani produsen. Perkembangan harga kopi robusta di pasar spot London seringkali
tidak tercermin pada harga ekspor, sehingga dapat disimpulkan bahwa harga FOB lebih
banyak diakibatkan oleh kekuatan negosiasi pengekspor dan pengimpor.
Hasil sementara menunjukkan bahwa sejak bulan Mei 1994 harga kopi mulai
meningkat tajam, ini terjadi karena muncul isu bahwa di Brasilia akan terjadi bencana
embun upas (frost). Isu tersebut memancing spekulan untuk memborong kopi. Harga
kopi (komposit) pada saat terjadi frost pada bulan Juli 1994 mencapai USCents
218,9/lb. Hal ini merupakan implikasi dari harga robusta yang meningkat drastis dari
rata-rata USCents 47,2/lb menjadi USCents 113,1/lb (Tabel 4).
Tabel 4. Perkembangan Harga Kopi Robusta di Tingkat Produsen, Pengekspor, dan di Pasar
Internasional, 1990-2008
(UScents/lb)
Pasar
Tahun Harga Produsen1) Pengekspor (FOB) 2)
Internasional1)
1990 29,70 42,00 50,00
1991 29,90 44,10 45,20
1992 24,90 38,10 38,30
1993 28,50 43,80 47,20
1994 91,40 132,10 113,10
1995 95,70 135,00 118,30
1996 58,40 79,50 74,50
1997 58,40 73,80 75,00
1998 59,40 81,00 76,40
1999 46,60 63,80 64,10
2000 22,40 44,00 40,10
2001 13,60 28,10 53,90
2002 14,60 24,30 56,40
2003 16,60 32,60 60,60
2004 24,20 44,30 75,40
2005 42,90 46,10 111,50
2006 60,20 73,60 142,60
2007 85,80 101,00 191,20
2008 92,50 107,90 232,10
Pertumbuhan (%/th) 1,62 0,45 6,74
Sumber: ICO (2011)
Peningkatan harga kopi robusta ini sejalan dengan kenaikan harga kopi arabika.
Namun kemudian harga kopi cenderung turun dari waktu ke waktu. Penurunan harga
kopi robusta lebih besar dibandingkan dengan penurunan harga kopi arabika. Kondisi
108
ini disebabkan oleh produksi kopi robusta dunia meningkat drastis, sedangkan
permintaannya cenderung stabil. Harga terendah sejak kuota dibekukan adalah
USCents 53,9/lb, yang terjadi pada tahun 2001. Kemudian harga cenderung terus
meningkat mencapai USCents 232,1/lb pada tahun 2008.
Usahatani Kopi
Usahatani kopi adalah bentuk penggunaan lahan yang paling banyak ditemukan
di daerah-daerah dengan kemiringan lereng curam. Kopi memang tanaman utama yang
menjadi andalan masyarakat Provinsi Lampung, terutama di Kabupaten Tanggamus
dan Lampung Barart. Usahatani kopi merupakan sumber pendapatan utama.
Masyarakat di wilayah ini telah lama membudidayakan kopi. Kondisi iklim dan tanah
sangat baik bagi pertumbuhan dan produksi tanaman kopi. Selain kesesuaian iklim dan
kondisi tanah, harga jual kopi yang relatif tinggi sejak tahun 2007, kemudahan
pemasaran juga merupakan insentif yang baik bagi masyarakat untuk terus
memperluas kebun kopinya.
Jenis pupuk yang umun digunakan adalah NPK, pupuk cair dan pupuk kandang,
tetapi yang paling banyak digunakan responden adalah NPK. Dari seluruh responden,
35 persen yang menggunakan ketiga pupuk ini. Akan tetapi yang paling banyak (53%)
hanya menggunakan dua jenis pupuk, yaitu NPK dan pupuk kandang. Bagi responden
yang hanya menggunakan pupuk sedikit sekali alasan yang dikemukakan umumnya
karena kekurangan dana untuk membeli pupuk. Harga pupuk dari hari ke hari dirasa
makin berat bagi petani untuk membelinya.
Sumber bibit yang paling banyak adalah dari kebun sendiri. Selain murah, petani
juga merasa yakin dengan tanaman yang telah diusahakannya sendiri. Benih kopi yang
akan ditanam dibuat anakan sendiri dan setelah cukup umur baru dipindahkan. Kalau
membeli, petani membeli dalam bentuk bibit, jadi bisa langsung ditanam. Untuk bibit
yang dibeli biasanya petani membeli dari tempat-tempat yang dianggap mempunyai
bibit yang bagus, seperti dari PPL, petani berhasil, atau dari balai penelitian.
Adapun varietas kopi yang diusahakan umumnya Robusta (91 persen) hanya
sedikit yang mengusahakan Arabica (4 persen) dan ada juga yang mengusahakan
keduanya (5 persen). Kalau dilihat syarat tumbuh dari kedua varietas kopi ini, kopi
arabica akan lebih baik tumbuhnya pada lahan dengan ketinggian di atas 700 m dari
permukaan laut, robusta sebaliknya. Dengan demikian pada kebun yang dibangun di
lahan yang tinggi sudah banyak yang ditanam arabica. Hal ini ditunjang dengan makin
luasnya pertanaman kopi arabica di Kecamatan Sumberjaya sejak tahun 95/96 yaitu
seluas 191 ha (Masjud, 2000). Dalam menanam kopi, petani tidak mempunyai jarak
tanam yang baku. Umumnya jarak tanam yang digunakan adalah (2x3) m atau (1x1) m.
Jenis obat-obatan pemberantas hama dan penyakit yang digunakan petani
sangat beragam, tapi ada juga petani yang tidak menggunakan obat-obatan sama
sekali. Harga pestisida yang semakin mahal membuat petani tidak membeli obat
walaupun tanamannya membutuhkan obat-obatan tersebut. Pestisida yang paling
banyak digunakan petani adalah furadan, fastac, spark dan roundup. Pemberantasan
hama dan penyakit pohon kopi hanya dilakukan bila serangan dianggap sudah sangat
membahayakan. Kalau kondisi serangan belum terlalu merusak tidak dilakukan
penyemprotan, tapi dilakukan pembuangan bagian pohon yang sakit. Selain
menghemat pestisida, cara ini dilihat cukup efektif dalam memberantas hama dan
penyakit dan menghindari pencemaran pestisida pada biji kopi yang siap panen.
109
Rata-rata luas kebun yang dkuasai dan dimiliki petani kopi antara 1 - 2 ha.
Secara rata-rata luas kebun kopi yang dikuasai adalah 1,45 ha. Pengusahaan kebun
kopi melalui sewa atau sakap (bagi hasil) merupakan alternatif yang banyak dilakukan
pilih. Usahatani kopi membutuhkan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu masalah
kekurangan modal merupakan kendala dalam budidaya tanaman kopi ini. Produksi kopi
sangat dipengaruhi oleh umur tanaman kopi itu senidiri. Kopi yang berumur kira-kira
dua tahun baru mulai berbuah produksinya akan meningkat terus sampai sekitar umur
lima tahun. Kemudian produksinya akan menurun kembali pada sekitar umur 30 tahun,
berbeda-beda tergantung pemeliharaan kebun kopinya.
Pendapatan yang diterima masyarakat sangat ditentukan oleh harga jual kopi
yang sangat berfluktuatif. Sebagai contoh harga jual kopi Lampung rata-rata pada tahun
2007 adalah Rp. 18.500,- per kg, sedangkan pada tahun 2009 hanya mencapai Rp.
16.791,- per kg (Lampung Dalam Angka, 2009). Pada saat harga jual kopi rendah,
petani seringkali mengganti kebun dengan tanaman lain atau kurang memelihara kebun
dengan baik sehingga produksinya menurun.
Rata-rata penerimaan dan biaya produksi usahatani kopi di Kabupaten
Tanggamus dan Lampung Barat pada tahun 2010 dapat dilihat pada Table 5. Tampak
bahwa dengan produksi sebesar 700 kg per ha, maka petani dapat memperoleh
keuntungan bersih sekitar Rp 2.033.000. Adapun biaya yang harus dikeluarkan antara
lain biaya tenaga kerja sebesar Rp. 3.375.000, biaya pupuk dan pestisida sekitar Rp.
3.022.000 dan biaya pascapanen Rp. 320.000 per ha. Secara umum, usahatani kopi
masih dalam kondisi yang menguntungkan. Biaya untuk menghasilkan satu kg biji kopi
sekitar Rp 9.500, sedangkan rata-rata harga biji kopi di tingkat petani sekitar Rp 12.000
– Rp 13.000 per kg.
Rantai Pasok
Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian, diketahui ada beberapa pola
tata niaga. Secara umum pemasaran kopi di tingkat petani adalah biji kopi. Seperti
110
komoditas pertanian lainnya, rantai pasok kopi Lampung melibatkan beberapa lembaga
tata niaga. Rantai pasok kopi dari hulu hingga hilir melibatkan produsen (petani dan
perusahaan perkebunan), pedagang (pengumpul, besar, dan perantara), pengekspor,
perusahaan multinasional converters/grindersl, perusahaan kopi domestik dan
supermarket/pengecer kopi domestik. Secara ringkas rantai pasok kopi di Lampung
disajikan pada Gambar 2. Pola pemasaran yang pendek tersebut sangat
menguntungkan petani karena semakin pendek rantai tata niaga, maka marjin yang
diterima petani semakin besar.
Untuk rantai pasok kopi dari tingkat produsen sampai pada tingkat konsumen
diantaranya adalah :
I. Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Besar – Pedagang Perantara –
Eksportir – Domestik Roaster/PMA – Konsumen
II. Petani – Pedagang Pengumpul – Pedagang Perantara – Eksportir – Domestik
Roaster/PMA – Konsumen
III. Petani – Pedagang Pengumpul/Kelompok Tani – Domestik Roaster/PMA –
Konsumen
IV. Petani – Pedagang Pengumpul – Pengolah Kopi Bubuk – Konsumen
V. Petani – Pengolah Kopi Bubuk – Konsumen
VI. Petani – Pedagang Besar – Pengolah Kopi Bubuk – Konsumen
VII. Petani – Pedagang Besar – Pedagang perantara – Eksportir – Domestik Roaster
– Konsumen
Pada umumnya konsumen tidak membeli biji kopi, dengan kata lain kopi bukan
final produk yang dapat langsung dikonsumsi melainkan harus diolah terlebih dahulu
menjadi kopi bubuk atau produk kopi lainnya. Dalam memasarkan komoditas kopi,
petani bebas memilih jalur tata niaga yang diinginkan. Setelah panen sebagian petani
membawa hasil panennya untuk dijual kepada pedagang pengumpul desa, dijual
langsung ke pedagang besar, atau ke pengolahan kopi bubuk.
Dalam menentukan harga penjualan, petani biasanya mencari informasi melalui
media masa, sesama petani, pedagang dan juga pengekspor. Namun dalam penentuan
harga penjualan pembeli masih lebih dominan walaupun masih dapat terjadi tawar-
menawar kalau memang mutu/kualitas biji kopi petani dalam keadaan baik. Petani di
beberapa lokasi telah mempunyai sekretariat kelompok yang dilengkapi dengan alat
ukur kadar air dan penentuan mutu kopi sehingga petani lebih berani untuk meminta
harga layak kepada pembeli.
111
Petani Domestic
Roasters
Internasional
Roasters
Supermarket/
Pedagang
Pedagang Pedagang Pengekspor Pengecer
Besar Perantara
112
modal pengekspor lokal sebagian (50%) berasal dari lembaga keuangan (bank) dan 50
persen sisanya dari modal sendiri.
Volume pembelian oleh eksportir sudah ditentukan sebelumnya sekaligus untuk
stok dan disesuaikan dengan jumlah pasokan. Harga pembelian mengikuti harga di
pasar terminal London. Dalam pembelian kopi tidak ada penetapan wilayah, segmentasi
pasar dan syarat-syarat perdagangan bagi pemasok. Jumlah perusahaan pengekspor
kopi yang aktif saat ini hanya tinggal sekitar 60 buah. Namun tidak ada kerjasama
dengan pengekspor lain. Selain itu tidak ada perlakuan pembedaan transaksi
pembelian terhadap pemasok. Permasalahan dalam pembelian barang adalah
persaingan dengan sesama pengekspor terutama pengekspor asing. Oleh karena itu,
eksportir harus melakukan pendekatan kepada pemasok/pedagang perantara dan
memberikan pinjaman/bantuan modal.
Volume penjualan tidak dibatasi melainkan ditentukan oleh permintaan impor.
Harga penjualan mengacu pada harga di pasar internasional/London. Penjualan/ekspor
masih dilakukan ke pasar-pasar tradisional karena pasar-pasar yang baru belum lancar
pembayarannya (sering tertunda). Ada segmentasi pasar dalam ekspor kopi dan
syarat-syarat perdagangan yang jelas yang harus dipenuhi oleh pengekspor. Namun
tidak ada hubungan kerjasama yang formal antar pengekspor maupun dengan
pembeli/pengimpor. Tidak ada pembedaan perlakuan transaksi penjualan terhadap
semua pengimpor di negara-negara mitra dagang.
Biasanya pengimpor adalah roaster internasional. Menurut AEKI seharusnya
PMA tidak dapat langsung ke petani dan syarat bagi PMA terlalu ringan. PMA tidak
harus punya gudang sendiri, jadi hanya cukup menyewa saja sudah dapat melakukan
ekspor. Oleh karena itu, AEKI berharap kebijakan mengenai PMA dapat direvisi oleh
pemerintah. Menciptakan regulasi yang dapat menguntungkan semua pihak, misalnya
pembentukan DOLOG kopi seperti yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam. PMA yang
dominan antara lain adalah Ned Coffee dan Indocafco (kapasitas 45000 ton). Walaupun
sudah ada cluster pembinaan kopi tetapi perusahaan tidak mau melakukan kemitraan.
Pengekspor Indo Cafco mencari pasokan sampai ke provinsi lain seperti Bengkulu dan
Sumatera Selatan, walaupun kualitasnya lebih rendah dan harganya dapat ditekan
menjadi lebih rendah. Kopi biji dengan kualitas rendah ini akan diolah lebih lanjut,
sehingga dapat menghasilkan kopi sesuai dengan kualitas yang diinginkan. Sekitar 40
persen dari total kopi yang dibutuhkan oleh Indo Cafco dibeli dari petani yang tergabung
dalam tujuh KUB di Lampung.
Sejak 2008, pembelian kopi oleh Indo Cafco adalah sekitar 45 ribu ton per
musim, dimana 2 ton diantaranya adalah kopi yang sudah disertifikasi. Petani di
Lampung sudah dibantu oleh internal control system untuk meningkatkan kualitas kopi
dan kemitraan yang berupa KUB kopi sertifikasi. Ada sekitar lima PMA yang sudah
mengikuti program sertifikasi. Di Lampung, total produksi kopi yang sudah bersertifikasi
mencapai sekitar 5000 ton. Kopi ini mempunyai kualitas baik karena diharuskan untuk
melakukan petik merah agar dapat dilakukan proses pengolahan basah (wet process).
Ekspor dari Indo Cafco terutama ditujukan ke pasar Uni Eropa (75%), pasar Jepang
(10%) dan pasar lainnya (15%).
Dari sekitar lebih dari 200 perusahaan pengekspor yang menguasai pangsa
pasar ekspor sekitar 50 persen tahun 2007 berjumlah 21 perusahaan pengekspor
kemudian turun menjadi hanya 10 perusahaan pada tahun 2008 dan 2009 (Tabel 6).
Perusahaan-perusahaan tersebut pada umumnya perusahaan PMA dan mendominasi
penguasaan pasar karena menguasai jalur distribusi pasokan, dukungan modal kerja
dari induk perusahaan di luar negeri dan bunga pinjaman bank dari negara asal yang
murah (6% per tahun) serta penguasaan informasi pasar.
113
Tabel 6. Perusahaan Pengekspor Kopi pada Pangsa Pasar 50%
Pangsa pasar
No Nama Perusahaan Pengekspor
2007 2008 2009
1 Sarimakmur Tunggalmandiri 9,08 5,55 6,89
2 Olam Indonesia PT 3,39 7,94 6,74
3 Indra Brothers PT 3,13 5,91 6,51
4 Asal Jaya PT 5,10 5,84 6,40
5 Sarimakmur Tunggal Mandiri PT 2,55 4,12 4,50
6 Nedcoffee Indonesia Makmur Jaya PT 4,55 4,61 4,09
7 Indokom Citra Persada PT 1,45 3,36
8 Asia Makmur PT 5,50 3,21
9 Alam Jaya CV 2,36 3,55 2,72
10 Antara Saudara CV 3,03 3,76 2,71
11 Aman Jaya Perdana PT 0,32 2,61
12 Indo Cafco PT 1,85 3,12
13 Andira Indonesia PT 1,93
14 Sidikalang PT 0,99
15 Taman Delta Indonesia PT 1,68
16 Perkebunan Nusantara XII (Persero) PT 1,06
17 Laju Sinar Abadi PT 1,85
18 Indokom Citrapersada Pt 1,46
19 Gemilang Jaya Makmur Abadi PT 1,58
20 Sam Karya Abadi PT 0,83
21 Samson Jaya PT 0,51
22 Menacom PT 1,87
Jumlah 50,55 49,91 49,74
Sumber: Badan Pusat Statistik (2010), diolah.
115
Peran penyuluh pertanian Kelembagaan penyuluh hampir Melalui program revitalisasi
masih belum maksimal di tergantikan oleh pihak lain perkebunan peran penyuluh dapat
dalam membantu petani seperti LSM, dan pedagang luar diintegrasikan dengan beragam
berusahatani Kopi negeri. program pendampingan teknologi,
sehingga terdapat sinergi program
dan pelaksanannya.
Pengadaan
Akses petani terhadap Tenaga kerja lebih banyak Sosialisasi untuk melaksanakan
tenaga kerja sangat berasal dari dalam keluarga sanitasi kebun secara regular,
terkendala oleh minimnya sehingga kelangkaan tenaga kerja
modal. dapat di atasi.
Petani memiliki informasi Harga biji Kopi sangat fluktuatif Pemerintah harus memonitor
yang sempurna tentang perubahan harga dapat terjadi harga biji Kopi.
pasar komoditas Kopi di dengan cepat. Baik di pasar domestik maupun di
tingkat lokal dan nasional. pasar internasional
Petani mengumpulkan biji Sarana transportasi yang kurang Peningkatan kualitas transportasi
Kopi ke pedagang memadai menjadi kendala untuk menjadi tanggungjawab
pengumpul atau ke mempercepat transportasi produk pemerintah, guna memperlancar
kelompok tani. perdagangan Kopi
Pengembangan Teknologi
Petani menggunakan karung Teknologi di bidang kemasan Program revitalisasi perkebunan
plastik sebagai tempat biji belum banyak disosialisasikan di hendaknya menyentuh seluruh
Kopi yang akan tingkat petani tahap dalam rantai tataniaga
diperdagangkan termasuk teknologi pasca panen.
Pengadaan
Proses pemetikan Petani menghadapi keterbatasan Diperlukan teknologi pemetikan
merupakan tahapan produksi tenaga kerja saat proses dan pemberdayaan angkatan kerja
yang sangat intensif tenaga pemetikan di pedesaan untuk berperan di
kerja. Pola yang ada saat ini industri Kopi.
dikerjakan oleh tenaga kerja
keluarga dan tenaga kerja
upah.
Petani saat ini berada pada Proses negosiasi harga mengikuti Pengarahan petani pada proses
posisi tawar yang relatif baik. kualitas biji kopi. negosiasi harga agar lebih efektif.
Pemasaran dan Penjualan Produk
Petani memahami Petani sulit memenuhi kualitas yang Perbaikan kualitas biji Kopi sesuai
sepenuhnya kriteria disyaratkan oleh pembeli dengan permintaan pasar menjadi
kualitas yang diminta (pedagang) karena terdesak prasyarat utama yang harus dilakukan
oleh pembeli (petik kebutuhan keluarga. petani. Pemerintah hendaknya
merah). memberikan bantuan fasilitas
permodalan
Pengembangan Teknologi
Petani memanfaatkan Pola yang berlangsung saat ini Pemerintah dapat mendukung dengan
sepenuhnya jasa sudah cukup efektif. lebih memfasilitasi kelembagaan
teknologi informasi kemitraan yang sudah ada dengan
didalam menjalin “Nestle” dan “Indocafco”
komunikasi dengan
para pedagang.
Pengadaan
Petani memiliki akses Petani Kopi saat ini sangat mudah Pemerintah mendorong pihak swasta
yang cukup baik memperoleh informasi terkait (pedagang, pabrik pengolahan)
terhadap pasar dan dengan pasar dan harga menyediakan informasi pasar secara
informasi. gratis.
116
Fasilitas pengolahan Petani pada umumnya menjual Pabrik pengolahan terkendala dengan
pada umumnya dalam bentuk biji kopi. Saat ini harga biji kopi yang fluktuatif dan lebih
dimiliki oleh “Roaster” sebagian besar roaster tinggi dari harga dunia
asing, jumlah pelaku domestic/PMA membuka kantor
lokal sangat terbatas. cabang di sentra produksi guna
mempermudah proses pembelian
biji Kopi.
Jasa Industri Terhadap Petani
Manajemen Sumberdaya Manusia
Perusahaan pengolahan/ Pola kemitraan yang dilakukan Pemerintah hendaknya menjadi
roaster domestik maupun oleh industri pengolahan dapat mediator agar petani tidak dirugikan
eksportir memberikan membantu petani dalam kemitraan yang terjadi antara
pelatihan kepada petani dan petani dan pihak swasta.
memfasilitasi petani dengan
teknologi terkini di bidang
produksi dan pasca panen
Pihak industri pengolah dan Keterlibatan yang sudah Tugas pemerintah mensinergikan
pedagang memahami apa berlangsung lama membuat dan mendukung peran serta pihak
yang dibutuhkan oleh petani pihak pembeli mengetahui swasta (roaster dan eksportir)dalam
dengan baik kebutuhan petani. membantu petani.
118
kelompok tani mendapatkan keuntungan dengan membeli kopi yang lebih murah dari
kabupaten lain.
Sebagian besar penjualan kopi dari KUB (7 KUB) ditujukan ke Nestle yaitu
sekitar 75 persen dari total pembelian, sebagian kecil 10 persen dijual ke pengekspor
dan 15 persen sisanya dijual ke sesama pedagang. Volume penjualan oleh pedagang
tidak dibatasi tetapi disesuaikan dengan jumlah permintaan. Informasi harga penjualan
diperoleh dari media masa dan pengekspor. Dalam penentuan harga penjualan jarang
sekali terjadi tawar-menawar karena sudah berdasarkan harga kopi di pasar dunia. Kopi
dari kelompok tani dapat juga dijual langsung ke pengekspor bebas tanpa ikatan
kemitraan seperti Olam dan Ned coffee. Perbedaan harga penjualan dari kelompok tani
ke pengekspor yang bermitra dan pengekspor bebas mencapai sekitar Rp 1.000-2.000
per kg.
Pedagang besar dapat juga merupakan mitra dari PT. Nestle. Sekitar 30 persen
dari total pembelian pedagang besar berasal dari kelompok tani dan 70 persen lainnya
dari pedagang pengumpul desa. Harga basis di tingkat petani berkisar antara Rp
12.000 – Rp 13.300/kg. Selanjutnya pedagang besar dan pedagang perantara menjual
ke roaster domestik atau ke pedagang lainnya/sesama pedagang. Hal ini dilakukan
karena jika dijual ke Nestle, pembayaran baru diterima petani paling cepat dua hari
kemudian karena kopi harus melalui tahapan tes kadar air, defect dan uji citarasa (cup
test) dan pembayaran hanya dapat dilakukan pada hari selasa dan jumat. Hal ini terjadi
karena harga patokan mengikuti harga di pasar London yang berubah setiap hari selasa
dan jumat. Penjualan ke sesama pedagang ini dilakukan untuk mendapat uang cash
dengan cepat karena pembayaran dilakukan secara langsung. Selain itu penjualan ke
sesama pedagang dapat dilakukan untuk grade biji kopi yang rendah. Perbedaan harga
penjualan ke pedagang/pengekspor dan ke Nestle adalah sekitar Rp 300/kg.
Menurut pedagang dan petani, keberadaan PMA di Lampung memberi manfaat
dan keuntungan tersendiri karena dengan adanya PMA harga yang diterima petani
menjadi maksimal. Marjin keuntungan dapat mencapai Rp 300/kg, diluar biaya
tataniaga. Bahkan sering terjadi harga di pasar domestik lebih mahal dibandingkan
dengan harga di London, ini disebabkan oleh stock kopi di dalam negeri rendah
sehingga pengekspor menjual ke pasar domestik.
Tidak ada penetapan wilayah penjualan kopi selama pembeli mengambil
langsung ke lokasi pedagang. Dalam penjualan kopi tidak ada segmentasi penjualan
ataupun syarat-syarat perdagangan yang harus dipenuhi. Pada umumnya, hubungan
kerjasama penjualan dengan pedagang lain maupun kerjasama dengan pembeli tidak
dilakukan oleh pedagang. Terdapat pembedaan perlakuan transaksi penjualan
terhadap pembeli, jika pembelinya PT Nestle maka pembayaran baru diperoleh sekitar
2-6 hari kemudian, sedangkan penjualan ke pengekspor dan pedagang lain
mendapatkan pembayaran secara langsung atau cash. Permasalahan dalam penjualan
kopi antara lain persaingan dengan sesama pedagang yang semakin ketat, terutama
dalam hal memasok barang ke PT Nestle. Untuk mengatasi hal ini pedagang harus
selalu upaya bekerja lebih cepat dari pedagang pesaing.
Strategi dagang yang diterapkan terkait dengan harga tidak banyak dilakukan
karena sudah ditentukan berdasarkan harga di pasar internasional. Sedang strategi
untuk produk selalu mencari yang petik merah atau yang berkualitas baik agar tidak
sering terjadi penolakan oleh PT Nestle. Tujuan penjualan dibagi tidak ke satu tempat
agar mendapat modal berdagang dan harga yang relatif lebih baik. Pedagang pada
umumnya tidak melakukan strategi untuk promosi. Untuk meningkatkan
kekuatan/posisi di pasar strategi yang dilakukan adalah berusaha mengikuti pelatihan
yang dilakukan oleh pengekspor dan pengolah. Prospek usaha dagang kopi sampai
saat ini masih sangat menguntungkan. Walaupun kadang ada klaim dari pembeli
tentang kadar air terutama jika musim hujan bersamaan dengan saat menjemur kopi.
119
Pedagang hanya melakukan kontrak dengan pengolah. Isi kontrak hanya menjelaskan
jumlah yang harus dipasok oleh pedagang.
Pengolah biasanya membeli kopi dari petani sebanyak 30 persen dengan tingkat
harga Rp 12.000/kg (dinamakan harga perangko karena diambil di tempat petani),
sedangkan dari Kecamatan Teluk Betung Utara (Kodya Bandar Lampung) sebanyak 70
persen kopi dibeli dengan harga Rp 13.000/kg (dinamakan harga loko pabrik karena
sudah sampai di tempat pedagang/pengolah) perbedaan harga ini karena perbedaan
jarak yang harus ditempuh. Tawar menawar antara pedagang dan petani dapat
merubah harga sekitar Rp 200/kg di tingkat petani dan sekitar Rp 50/kg di tingkat
pengekspor. Selain membeli dari petani, pengolah membeli dari pedagang dari
kabupaten lain. Informasi penentuan harga pembelian diperoleh dari pengekspor dan
sesama pedagang dan harga di pasar internasional.
Dalam pembelian kopi oleh pengolah tidak ditetapkan segmentasi pasar karena
semua pelaku dalam industri kopi mengacu pada pasar internasional untuk penentuan
harga basisnya. Selain itu, tidak ada syarat-syarat apapun untuk pemasok biji kopi.
Tidak ada hubungan kerjasama dengan pengolah lainnya dan dengan pemasok biji kopi
(pedagang,dan petani). Tidak ada pembedaan perlakuan transaksi pembelian terhadap
pemasok.
Biji kopi kualitas apapun dapat diterima oleh pengolah. Selanjutnya pengolah
melakukan pengeringan lebih lanjut terhadap biji kopi yang kadar airnya lebih dari 14
persen dan disortasi berdasarkan grade. Selanjutnya, kopi kualitas baik akan diolah jadi
kopi bubuk sedangkan kopi dengan kualitas kurang bagus dijual eksportir lokal atau ke
pedagang lain. Biji kopi pecah dapat dijual kembali dengan harga Rp 6.000-7.000 per
kg (50% dari harga normal). Konversi dari kopi beras menjadi bubuk adalah 0,8 atau 1
kg kopi beras akan menjadi 8 ons kopi bubuk. Biaya jemur sekitar Rp 3.200/kg dan
biaya pengolahan Rp 800/kg, dengan demikian biaya produksi dapat mencapai Rp
4.000/kg. Ongkos menggiling (dari gelondong ke beras) 1 kw kopi adalah 5-6 kg kopi biji
atau sekitar Rp 60.000/kw.
Distribusi biaya tata niaga relatif merata kecuali biaya angkut dan harga beli.
Marjin keuntungan tertinggi berada pada level pedagang yaitu pada pedagang besar
yang mencapai Rp 300/kg. Hal ini disebabkan besarnya risiko yang dihadapi, disamping
besarnya modal dalam mekanisme tata niaga juga risiko produk rusak dan berjamur.
Sedangkan marjin terendah berada pada tingkat pedagang pengumpul desa dan
pedagang perantara. Salah satu penyebabnya adalah biaya penyimpanan yang harus
ditanggung oleh pedagang besar sebelum pembeli datang. Selain itu dari sisi
permodalan pedagang pengumpul desa relatif memiliki modal yang kecil. Resiko rusak
juga menjadi pembatas pedagang besar ini untuk meningkatkan marjin keuntungan.
Pada Tabel 8 dan 9 dapat dilihat lebih rinci, hasil analisis marjin tata niaga biji kopi.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa marjin keuntungan setiap level
pedagang relatif besar dibandingkan dengan biaya tata niaga sehingga harga di tingkat
petani menjadi relatif rendah. Bahwa pola tata niaga di atas merupakan ciri dari tata
niaga yang bersifat monopsoni. Harga ditentukan oleh beberapa atau satu lembaga tata
niaga yang dalam hal ini pemilik modal. Dalam tata niaga biji kopi, pedagang besar
memegang peranan yang sangat besar dalam menjalankan fungsi tata niaga biji kopi,
karena pedagang besar itulah yang menyediakan sebagian besar modal kerja dan
menghadapi risiko paling besar. Risiko inilah yang sering dijadikan alasan untuk
menekan harga di tingkat pedagang pengumpul desa maupun petani, sebagai
akibatnya tata niaga biji kopi menjadi tidak efisien.
Di sisi lain posisi petani sangat lemah sebagai penerima harga, sehingga
menjadikan pedagang memiliki kekuasaan lebih menentukan harga, selain beberapa
petani telah menerima pembayaran awal sebelum panen. Namun saat ini posisi petani
120
dalam menentukan harga menjadi semakin baik sejalan dengan masuknya PMA di
daerah sentra produksi kopi lampung. Perbandingan jumlah pelaku asing/PMA dan
lokal di industri kopi adalah 20 persen:80 persen, namun penguasaan pasarnya sama
yaitu 50 persen:50 persen.
Tabel 8. Marjin Tata Niaga Biji kopi di Kabupaten Tanggamus, 2010
Dari kedelapan pola tata niaga yang ada, pola ke 8 merupakan pola tata niaga
yang memberikan margin share yang paling besar kepada petani yaitu sebesar 15,88
persen. Ini menunjukkan bahwa pola ini merupakan pola tata niaga yang paling efisien.
Namun pola yang memberikan keuntungan terbesar kepada petani adalah pola VI yaitu
sebesar Rp 3.250/kg, jika menjual biji kopi langsung ke pengolah kopi bubuk.
121
Tabel 9. Marjin Tata Niaga Biji kopi di Kabupaten Tanggamus, 2010
Secara umum, rantai pasokan biji kopi dikuasai oleh perusahaan roasters
domestik yang merupakan cabang roaster di luar negeri dan pengekspor dengan
fasilitas PMA di dalam negeri. Khusus tentang pasar kopi ekspor, pengekspor dengan
fasilitas PMA mendominasi pasar biji kopi karena kemampuannya dalam menguasai
jalur distribusi pasokan, dukungan modal kerja dari induk perusahaan di luar negeri dan
bunga pinjaman bank dari negara asal yang murah (6% per tahun) dan penguasaan
informasi pasar.
Produk ekpor utama kopi dari Indonesia adalah dalam bentuk biji yang
mengacu pada harga pasar London. Secara umum perkembangan harga biji kopi
Indonesia mengalami peningkatan yang cukup baik seiring dengan perkembangan
harga dunia. Walaupun persentase harga yang diterima petani masih relatif rendah,
yaitu sekitar 55 persen dari harga FOB, selisih yang tersisa masih cukup besar untuk
dinikmati oleh pelaku tataniaga lainnya.
. Fluktuasi harga komoditas Kopi cenderung meningkat dengan volatilitas yang
cukup tinggi. Harga yang relatif tinggi menjadi insentif dan direspons positif oleh petani.
Namun, tidak dapat dengan cepat diantisipasi oleh petani kopi tesebut karena
komoditas kopi merupakan tanaman tahunan dan petani terkendala oleh modal.
122
Rantai pasok kopi diantisipasi secara beragam. Panjang atau pendek rantai
pasok dari komoditas kopi ditentukan oleh jumlah pedagang perantara yang terlibat. Di
daerah sentra produksi yang menghasilkan kopi dengan mutu tinggi dan memiliki
pasokan cukup besar umumnya memiliki rantai pasok yang lebih sederhana dan
pendek dibandingkan dengan di daerah bukan sentra produksi. Keberadaan perwakilan
pengimpor di tingkat desa untuk beberapa kabupaten sentra bahkan memotong rantai
pasok sehingga jalurnya lebih efisien dan ramping.
Ada delapan jalur pemasaran kopi yaitu: (1) petani-pedagang pengumpul-
pedagang besar- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (2) petani- kelompok
tani- pedagang perantara-eksportir-domestik roaster; (3) petani -, kelompok tani -
domestik roaster; (4) petani - kelompok tani - domestik roaster (dengan pola kemitraan);
(5) petani- pedagang pengumpul- pengolah kopi bubuk; (6) petani - pengolah kopi
bubuk; (7) petani - pedagang besar- pengolah kopi bubuk; (8) petani - pedagang besar-
pedagang perantara-eksportir.
Pola tata niaga yang menguntungkan petani yaitu pola pemasaran dari petani
langsung ke pengolah kopi bubuk merupakan pola yang paling menguntungkan bagi
petani, karena walaupun petani harus mengeluarkan biaya transport namun kontribusi
yang diterima petani dari pola tersebut mencapai Rp 3250/kg, terbesar dibandingkan
dengan pola tata niaga yang lainnya.
Dalam rangka revitalisasi usahatani kopi menghadapi liberalisasi dan globalisasi
perdagangan perhatian yang lebih prioritas perlu diarahkan kepada upaya
pengembangan teknologi produksi dan pasca panen seperti penerapan teknologi yang
sesuai anjuran dan panen petik merah agar dihasil produk biji kopi yang berkualitas
tinggi dan dapat diproses secara basah yang akan mendapat harga relatif tinggi di
pasar biji kopi.
Bersamaan dengan upaya pengembangan pengolahan pasca panen, perlu
ditingkatkan keikutsertaan petani dalam program kemitraan yang saling menguntungkan
baik dengan pedagang maupun dengan roaster domestic, dengan syarat ada suatu
jaminan dan konsistensi dalam tingkat keuntungan yang diterima langsung oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA
123