Costly Signaling Theory

Some researchers have observed that the hypothesized “arms race” between deceivers and
receivers does not always occur. For example, when a direct link between signal and underlying
condition exists, as between physical size and vocal signal frequency, deception is precluded (Johnstone,
1998). Zahavi (1975) argued that even in the absence of such direct physical linkage, it is possible to
ensure signal reliability if signals are differentially costly to produce. In other words, signals expressing
phenotypic condition can be honest if the costs to lower quality organisms of imitating the signals of
higher quality organisms outweigh the benefits that can be achieved (Grafen, 1990).

Various researchers have proposed the application of costly signaling theory to religious ritual to
explain how social cohesion is promoted by religion or, more generally, how nonkin groups manage to
cooperate in order to compete with rival groups (Irons, 1996; Sosis & Alcorta, 2003; Bulbulia, 2004).
These researchers view religion’s ability to promote solidarity as its primary function but recognize that
social bonding is not an end in itself; by increasing solidarity religion facilitates intragroup cooperation.
Indeed, Irons (2001) argued that the primary adaptive benefit of religion is its ability to promote
cooperation and overcome problems of collective action that humans have faced throughout their
evolutionary history, including cooperative hunting, food sharing, defense, and warfare. When faced
with the conditions of collective action, the incentive to claim falsely that one will cooperate is especially
high, because individuals can achieve their greatest gains by refraining from cooperation when others
cooperate. Although everyone may gain if all group members invest in the cooperative goal, attainment
of such large scale cooperation is often difficult to achieve without social mechanisms limiting the
potential to free ride on the efforts of others. Therefore, whenever an individual can achieve net
benefits from defection, the only credible signals of cooperative intentions are those that are “costly to
fake”; otherwise, they can easily be imitated by free riders, who do not intend to invest in the
cooperative pursuit.

The costly signaling theory of ritual posits that religious behaviors or rituals are costlytofake
signals that advertise an individual’s level of commitment to a religious group. Preferred signalers are
those who are highly committed to the goals and ideals of the group, which typically include ingroup
altruism. Cooperation is facilitated because those who are uncommitted can be avoided as partners in
collective action, because they will find it too expensive to pay the costs of religious behavior. In
ethnohistorical studies on 19th-century U.S. communes and economic field experiments on Israeli
kibbutzim, Sosis and colleagues have demonstrated a positive association between participation in
religious ritual and enhanced cooperation (Sosis & Bressler, 2003; Sosis & Ruffle, 2004); however, they
have yet to examine how the high levels of cooperation observed within religious communities translate
into individual fitness gains.

Costly Signaling Theory

Beberapa peneliti telah mengamati bahwa “perlombaan senjata” yang dihipotesiskan antara
penyesat dan penerima tidak selalu terjadi. Sebagai contoh, ketika hubungan langsung antara sinyal dan
kondisi yang mendasarinya ada, seperti antara ukuran fisik dan frekuensi sinyal vokal, tipuan dihilangkan
(Johnstone, 1998). Zahavi (1975) berpendapat bahwa bahkan tanpa adanya hubungan fisik langsung
seperti itu, dimungkinkan untuk memastikan keandalan sinyal jika sinyal secara berbeda mahal untuk
diproduksi. Dengan kata lain, sinyal yang mengekspresikan kondisi fenotipik bisa jujur jika biaya untuk
organisme yang lebih rendah kualitasnya meniru sinyal organisme yang lebih berkualitas lebih besar
daripada manfaat yang dapat dicapai ( Grafen , 1990).
Berbagai peneliti telah mengusulkan penerapan teori pensinyalan mahal ke ritual keagamaan
untuk menjelaskan bagaimana kohesi sosial dipromosikan oleh agama atau, secara lebih umum,
bagaimana kelompok nonkin berhasil bekerja sama untuk bersaing dengan kelompok saingan (Irons,
1996; Sosis & Alcorta , 2003 ; Bulbulia, 2004). Para peneliti ini memandang kemampuan agama untuk
memajukan solidaritas sebagai fungsi utamanya tetapi mengakui bahwa ikatan sosial bukanlah tujuan
itu sendiri; dengan meningkatkan solidaritas agama memfasilitasi kerja sama antar kelompok. Memang,
Irons (2001) berpendapat bahwa manfaat adaptif utama agama adalah kemampuannya untuk
mempromosikan kerja sama dan mengatasi masalah tindakan kolektif yang dihadapi manusia sepanjang
sejarah evolusi mereka, termasuk perburuan kooperatif, pembagian makanan, pertahanan, dan
perang. Ketika dihadapkan dengan kondisi tindakan kolektif, insentif untuk mengklaim secara salah
bahwa seseorang akan bekerja sama sangat tinggi, karena individu dapat mencapai keuntungan terbesar
mereka dengan menahan diri dari kerja sama ketika orang lain bekerja sama. Meskipun setiap orang
dapat memperoleh keuntungan jika semua anggota kelompok berinvestasi dalam tujuan koperasi ,
pencapaian kerja sama berskala besar seperti itu seringkali sulit dicapai tanpa mekanisme sosial yang
membatasi potensi untuk bebas dalam upaya orang lain. Oleh karena itu, setiap kali seseorang dapat
memperoleh manfaat bersih dari pembelotan, satu-satunya sinyal kredibilitas dari niat kooperatif adalah
sinyal yang “mahal untuk dipalsukan”; jika tidak, mereka dapat dengan mudah ditiru oleh pengendara
bebas, yang tidak berniat untuk berinvestasi dalam pengejaran koperasi.
Costly Signaling Theory menyatakan bahwa perilaku atau ritual keagamaan adalah mahal
untuk membuat sinyal yang mengiklankan tingkat komitmen individu kepada suatu kelompok
agama. Signaler yang disukai adalah mereka yang sangat berkomitmen pada tujuan dan cita-cita grup,
yang biasanya mencakup altruisme ingroup . Kerja sama difasilitasi karena mereka yang tidak
berkomitmen dapat dihindari sebagai mitra dalam aksi kolektif, karena mereka akan merasa terlalu
mahal untuk membayar biaya perilaku keagamaan. Dalam studi etnohistoris pada komune AS abad ke-
19 dan eksperimen bidang ekonomi pada kibbutzim Israel, Sosis dan rekannya telah menunjukkan
hubungan positif antara partisipasi dalam ritual keagamaan dan peningkatan kerja sama
( Sosis & Bressler , 2003; Sosis & Ruffle, 2004); Namun, mereka belum memeriksa bagaimana kerja sama
tingkat tinggi yang diamati dalam komunitas agama diterjemahkan menjadi keuntungan kebugaran
individu.