Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329629216

DIALEKTIKA FILSAFAT DAN PENGETAHUAN

Article · December 2018

CITATIONS READS

0 182

1 author:

Moh.Bahrudin moh.bahrudin
AL-WAROQOT ISLAMIC BOARDING SCHOOL
1 PUBLICATION   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Moh.Bahrudin moh.bahrudin on 17 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


DIALEKTIKA FILSAFAT DAN PENGETAHUAN
Moh. Bahrudin
Al-Waroqot Islamic Boarding School
(bahrudin2308@gmail.com)

Abstract :
Almost scientist has many experiences in analyze philosophy. They
consider that philosophy as a center of all of knowledges. In this case,
philosophical activity is one of an important thing in finding the truth. Philosohpy
has success to arrange or to formulate the rules to get the true knowledge then
develop it well. Because of philosophy some knowledge has got great achievment,
so it is considered that knowledge as powerfull. Historically, knowledge has
experienced several deveplopment. But ironically knowledge development makes
the scientist understimated the philoshopy. But in the end when knowledge has
been bewelderingly complicated they come back to philosophy as intrument to
reconstruct the knowledge its self.
This research has conducted to analyze about the philosohy and
knowledge and also the correlation both of them. As library research this project
has discussed radically number sources to support the proccess of analyzing.
Finally, researcher can conclude the role of philosophy to build sistematically
knowledge and also the role of knowledge to understand how important the
philosophy in the deveplopment of knowledge its self.
Keyword: Philosophy, Knowledge, Development of Knowledge.

Pendahuluan
Hampir semua ilmuwan sepakat bahwa filsafat adalah mater scientiarium
atau induk segala ilmu pengetahuan. Hal itu adalah fakta, bahwa berpikir
secara filsafat adalah suatu pola pikir yang mendobrak kejumudan tradisi.
Filsafat juga telah berhasil merumuskan dan mengembangkan cara berpikir
rasional, luas dan mendalam, teratur dan terang, integral dan koheren, metodis
dan sistematis, logis, kritis, dan analitis.
Karena itu, pengetahuan pun semakin tumbuh subur dan dan menjadi
dewasa. Berkat filsafat, ilmu pengetahuan mengalami pencapaian yang
gemilang, sehingga dianggap juga bahwa pengetahuan adalah sesuatu yang
maha kuasa. Ketika pengetahuan mencapai tingkat kedewasaan yang cukup,
kemudian satu persatu pengetahuan meninggalkan filsafat dan menjadikan
dirinya sebagai disiplin yang mandiri. Ironisnya, perkembangan pengetahuan
yang sangat pesat tersebut menjadikan kalangan intelektual sinis terhadap
filsafat. Filsafat dianggap “kuno” dan “tua”.
Tetapi, di kemudian hari, ketika pengetahuan berpengaruh secara
destruktif terhadap kehidupan manusia, misalnya pengetahuan tentang bom
1
yang meledakkan dan membunuh banyak orang, pengetahuan tentang rumah
kaca yang menyebabkan pemanasan global, satu persatu disiplin ilmu kembali
pada filsafat.
Ketika keadaan menjadi demikian, kemudian orang-orang yang mengaku
filsuf menyatakan bahwa, pengetahuan berada di dalam filsafat dan bukan
sebaliknya. Filsafat berada di luar segala disiplin ilmu, tetapi segala disiplin
ilmu berada dalam diri filsafat. Maka pertanyaannya sekarang, bagaimana
filsafat berhubungan dengan ilmu pengetahuan sehingga keduanya tidak bisa
dilepaskan dan di sisi lain saling ingin menguasai.

Definisi Filsafat
Menurut sejarah, istilah philosophia pertama kali digunakan oleh
Phytagoras (sekitar abad ke-6 SM). Ketika diajukan pertanyaan kepadanya,
“apakah Anda termasuk orang yang bijaksana?” dengan rendah hati
Phytagoras menjawab, “saya hanya seorang philosophos, “pecinta
kebijaksanaan” (lover of wisdom).1
Sebelum Phytagoras memberikan pengertian terhadap filsafat, orang-
orang cenderung arogan, dengan menyatakan bahwa seorang ilmuwan adalah
juga seorang filsuf. Selain itu, filsafat dianggap hanya berkaitan dengan
ketuhanan dan kemanusiaan. Karena itu kemudian, Phytagoras memberi suatu
pendapat bahwa, manusia adalah pencari kebijaksanaan (filsuf) dan Tuhanlah
yang memiliki kebijaksanaan (wisdom).2
Jadi, seorang filsuf bukan pemilik kebijaksanaan atau kebijaksanaan
itu sendiri, ia hanya sekedar pecinta dan pencari kebijaksanaan yang
ditemukan dan dicapai dengan cara berpikir filsafati. Suatu cara berpikir yang
menyeluruh terhadap apa yang ada sambil bertanya-tanya dengan apa ia ada?3
Secara etimologi, istilah “filsafat” merupakan padanan kata falsafah
(bahasa Arab) dan philosophy (bahasa Inggris), yang berasal dari bahasa
Yunani philosophia. Kata philosophia adalah kata majemuk yang terdiri dari
dua kata, philos dan Sophia. Kata philos berarti cinta (love) atau sahabat, dan
Sophia berarti kebijaksanaan (wisdom). 4 Sehingga bisa ditarik kesimpulan
etimologis bahwa filsafat berarti love of wisdom (cinta kebijaksanaan)
sebagaimana reaksi Phytagoras terhadap sekelompok orang yang dengan
arogan mengaku dirinya sophist.
Untuk memperluas pengertian, penting juga melihat pengertian filsafat
dari sisi terminologis (istilah). Karena banyak juga istilah-istilah yang
diajukan oleh filsuf. Karena dari mereka, muncul beragam konsep dan

1
Koento Wibisono, dkk., Dasar-Dasar Filsafat (Jakarta: Universitas Terbuka,1989), 13.
2
Loekisno Choiril Warsito, dkk, Pengantar Filsafat (Surabaya, IAIN SA Press, 2011), 3.
3
Al Farabi menyatakan bahwa filsafat adalah al ilm bil maujudat bima hiya maujudah
pengetahuan tentang apa yang ada dan dengan apa ia ada. Konsentrasi pengetahuan juga
difokuskan pada pengetahuan sifat kebijaksanaan Tuhan.
4
Ali Maksum, Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme (Jogjakarta: Ar-Ruz
Media, 2009),15.
2
definisi, sehingga ada yang mengatakan bahwa jumlah konsep dan definisi
filsafat sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Sedangkan Menurut
Jacques Derrida sebagaimana dikutip oleh Eko Ariwidodo filsafat dalam
ungkapan Derrida Filsafat ingin menjaring segala persoalan ke dalam suatu
mathesis universalis atau rumusan universal yang mampu menuntaskan
segala.5
Berikut ini dikemukakan beberapa pendapat dari para filsuf tentang
definisi filsafat.
1. Plato: filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada;
2. Aristoteles: filsafat merupakan metode atau cara yang digunakan untuk
menyelidiki sebab dan asas suatu benda;
3. Al Farabi: filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam, yang maujud
(ada) dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya;
4. Immanuel Kant: filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala
pengetahuan yang mencakup di dalamnya terdapat 4 persoalan, yaitu; (1)
apakah yang dapat kita ketahui (metafisika), (2) apakah yang boleh kita
kerjakan (etika), (3) sampai dimanakah harapan-harapan kita (agama), (4)
apakah yang dinamakan manusia (antropologi).
5. Harun Nasution: filsafat adalah berfikit menurut tata tertib (logika) dan
bebas (tidak terikat tradisi, agama).6
Pengertian dari para filsuf tentang filsafat diatas menjadi suatu acuan
bahwa filsafat adalah suatu pengetahuan tentang metode berpikir secara
radikal, logis-sistematis, dan universal terhadap apa yang ada yang berkaitan
erat dengan metafisika, etika, agama, dan manusia. Penjabarannya, berfilsafat
berarti berpikir radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar-akarnya), logis-
sistematik (teratur, runtut, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran
universal (umum, terintegral, dan tidak khusus serta tidak parsial).

Objek Filsafat
Setiap pengkajian, tidak pernah terlepas dari objek yang dikaji.
Demikian juga dengan filsafat. Ia memiliki dua objek kajian yakni berupa
objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan
sasaran penyelidikan, sedangkan objek formal adalah metode untuk
memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
Karena itu objek material filsafat adalah segala yang ada. Segala yang ada
mencakup ada yang tampak dan ada yang tidak tampak. Ada yang tampak
adalah dunia empiris, sedangkan ada yang tidak tampak adalah alam
metafisika.7

5
Eko Ariwidodo, “Logosentrisme Jacques Derrida Dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, Vol. 21,
(Desember 2013), 341.
6
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), 3.
7
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 1.
3
Berkenaan dengan “ada” ini sebagian filsuf membagi material filsafat
pada tiga bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam alam
pikiran, dan yang ada dalam kemungkinan.
Sedangkan objek formal filsafat adalah, metode untuk mencari
keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya, sampai keakarnya) tentang
objek material filsafat.8 Objek formal ini menjadi suatu sudut pandang yang
universal dan rasional.

Fungsi Filsafat
Permasalahan berikutnya, ketika filsafat diyakini secara positif
menjadi suatu proses berpikir secara radikal dengan objek material dan
formalnya, maka pertanyaannya, sejauh mana filsafat dapat memenuhi
harapan-harapan manusia. Karena dengan filsafat, manusia memiliki hasrat
untuk memenuhi kebutuhannya untuk hidup bijaksana.
Tidak dapat dipungkiri, manusia memiliki lompatan-lompatan dahsyat
memiliki inisiatif yang kadang disebut melompati zaman di mana ia hidup.
Hal ini menyebabkan manusia merasa terasing dengan lingkungan bahkan
dengan dirinya, serta merasa hidupnya tidak begitu bermakna.
Karena itu, filsafat memberikan kepada manusia keinsafan dan
pandangan jauh ke depan serta arti pentingnya hidup. Filsafat berfungsi
sebagai upaya menjernihkan kepercayaan-kepercayaan pokok yang pada
akhirnya menentukan tekanan perhatian yang ada pada dasar karakter.9

Definisi Pengetahuan
Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris
yaitu knowledge. Dalam encyclopedia of philosophy dijelaskan bahwa definisi
pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true
belief).10
Selain itu, dalam kamus filsafat diungkapkan bahwa pengetahuan
(knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung
dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek)
memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif
sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri
dalam kesatuan aktif.11
Kedua pengertian di atas, merupakan gabungan dari metode
memperoleh pengetahuan; empirisme dan rasionalisme. Mengenai metode

8
Endang Saefuddin Ashari, Ilmu,Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), 87.
9
ibid., 101
10
Amsal Bakhtiar, Filsafat,85.
11
Loren Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 1996), 803
4
yang pertama, paling tidak sejak zaman Aristoteles terdapat teori epistemologi
yang kuat dengan mendasarkan diri pada pengalaman manusia. Kaum ini
memegang teguh pendapat bahwapengetahuan manusia dapat diperoleh lewat
pengalaman. Jika kita sedang berusaha untuk meyakinkan seorang empiris
bahwa sesuatu itu ada, dia akan berkata “Tunjukkan hal itu kepada saya”.
Dalam persoalan mengenai fakta maka dia harus diyakinkan oleh
pengalamannya sendiri.12
Sedangkan metode yang kedua memiliki keyakinan bahwa berpikir
adalah instrument utama untuk memperoleh pengetahuan, yang kemudian
diekspresikan oleh Descartes dalam bahasa Latin cogito, ergo sum (saya
berpikir maka saya ada). Senada dengan Descartes, Plato pun memiliki suatu
meno, dia berdalil, bahwa untuk mempelajari sesuatu, seseorang harus
menemukan kebenaran yang sebelumnya belum diketahui. Tetapi jika dia
belum mengetahui kebenaran tersebut, bagaimana dia bisa mengenalinya?
Plato mengatakan bahwa seseorang tidak dapat mengatakan apakah suatu
pernyataan itu benar kecuali kalau dia sebelumnya sudah tahu bahwa itu
benar. Kesimpulannya adalah bahwa manusia tidak mempelajari apa pun; ia
hanya “teringat apa yang telah dia ketahui” sebelumnya.13
Ketika permasalahan pendefinisian muncul, sebuah konsep diajukan,
bahwa pengetahuan harus dapat dibuktikan secara pasti (self-evident)
kebenarannya, tetapi sekali lagi ketika pengertian ini diambil, bukti yang yang
pasti pun tidak dapat memberi akurasi yang tepat, karena bisa jadi seseorang
meyakini pesawat yang berbunyi demikian keras di langit sana, tetapi
wujudnya tidak nampak karena berada pada posisi tertutup awan, atau sudah
jauh melesat, padahal salah satu buktinya sudah ada.

Objek Pengetahuan
Berbeda dengan filsafat, objek pengetahuan lebih banyak bersifat
spesifik. Objek pengetahuan didasarkan pada sesuatu yang dapat dijangkau
dan menjadi pengetahuan. Karena pada hakekatnya, objek pengetahuan adalah
apa yang ada atau wujud, maujudat (entitas-entitas yang wujud). Menurut
Langeveld dalam Menuju ke Pemikiran Filsafat, objek pengetahuan dibedakan
menjadi tiga:14
1. Objek empiris (objek rasa), yaitu objek pengetahuan yang pada dasarnya
ada dapat ditangkap oleh indra lahir dan indra batin;
2. Objek ideal (objek bukan rasa), yaitu objek yang pada dasarnya tiada dan
menjadi ada berkat kegiatan akal;

12
Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, metode dalam mencari pengetahuan: rasionalisme,
empirisme dan metode keilmuan dalam Jujun S. Suriasumantri Ilmu dalam Perspektif (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2003), 102
13
Ibid., 99.
14
Muhammad In’am Esha, Menuju Pemikiran Filsafat, (Malang, UIN-Maliki Pres: 2010), 102
5
3. Objek transenden (objek luar rasa), yaitu objek yang pada dasarnya ada,
tetapi berada di luarjangkauan pikiran dan perasaan manusia.
Penjelasannya, objek empiris adalah sesuatu yang berada dalam
jangkauan pengalaman baik lahir maupun batin. Hal yang terjangkau lewat
indera lahir disebut objekfisis, misalnya batu, gunung, dan suara, wewangian,
dan rasa pahit. Hal yang terjangkau lewat indera batin disebut objek psikis
seperti sedih, murung, benci, dan congkak.
Objek ideal adalah sesuatu yang berada dalam ruang pikiran15. Objek
ini semula tidak ada, tetapi kemudian menjadi ada setelah melalui proses
berpikir. Hasil pikiran yang masih di dalam pikiran baik berupa renungan atau
ide pikiran inilah yang dimaksud objek ideal. Tetapi ketika ide dan renungan
itu direalisasikan dalam wujud teknologi misalnya, atau siasat politik, maka
dia menjadi objek empiris.
Objek transenden, adalah sesuatu yang memang ada, tetapi tidak bisa
dijangkau oleh kemampuan manusia baik pengalaman maupun pikirannya. Ia
hanya diyakini adanya dan yang dapat diraih hanya gejalanya saja. 16
Dari objek ini, kemudian lahir berbagai kajian pokok pengetahuan
yang dikenal dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi sendiri
merupakan teori tentang ada dan realitas, dalam kajian ini yang terpenting
adalah mengenal “ada” dan “apa” tentang suatu hal.17
Epistemologi adalah bagaimana sesuatu datang dan bagaimana kita
mengetahuinya, serta bagaimana membedakannya dengan yang lain. Lebih
khususnya, ia adalah pengetahuan tentang batasan.
Sedangkan aksiologi, adalah penerapan pengetahuan, jadi dibahas mlai
dari klasifikasinya, kemudian dengan melihat tujuan pengetahuan itu sendiri,
akhirnya dilihat perkembangannya. Aksiologis lebih pada sisi praktis.

Titik Temu Filsafat dan Pengetahuan


Sejarah mencatat bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan memiliki
hubungan yang sangat intens, walaupun pada akhirnya pengetahuan
memisahkan diri menjadi disiplin yang lebih spesifik. Tetapi hal itu tidak
berlangsung lama. Pengetahuan yang demikian pesat, kemudian kehilangan
tujuannya, pengetahuan mengalami kemajuan yang buta. Sebab itulah pada
akhirnya setiap disiplin ilmu kemudian kembali pada filsafat. Misalnya ilmu
agama, memiliki filsafat agama, ilmu pendidikan memiliki filsafat pendidikan,
filsafat politik dan seterusnya.

15
Pikiran sama sekali berbeda dengan otak, pikiran adalah sesuatu yang ada dengan isi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
16
Muhammad In’am Esha, Menuju, 102
17
Inu Kencana Syafiie, Pengantar Filsafat (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007) 25
6
Kedekatannya itu terjadi karena baik filsafat maupun pengetahuan
sama-sama memiliki metode, sistem, koherensi dan mempunyai objek.
Perbedaan keduanya hanya dikarenakan filsafat mempelajari seluruh realitas,
sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang
tertentu. Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan yang memberi
sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu
mengembangkan ilmu pengetahuan.18
Perlu digarisbawahi, walaupun filsafat merupakan induk dari segala
ilmu, filsafat akan sangat kelelahan jika tidak dibantu oleh pengetahuan. Ia
memerlukan data dari pengetahuan. Jika seorang filsuf hendak menyelediki
politik, maka ia perlu tahu tentang politik yang dikandung dalam ilmu politik.
Atau misalnya, jika hendak meneliti tentang permasalahan sosial, filsafat
membutuhkan sosiologis untuk memahami sesuatu secara menyeluruh. Karena
sebagaimana diungkapkan di depan, salah satu proses berfilsafat adalah
berangkat dari apa yang ada kemudian dilakukan pengkajian terhadap apa
yang ada tersebut.
Keduanya memiliki persamaan dan perbedaan yang begitu halus.
Keterikatannya dilalui oleh proses dialektika—walapun sebelumnya adalah
kesatuan. Persamaan filsafat dan ilmu pengetahuan adalah:
1. Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelediki
objek selengkap-lengkapnya sampai ke akar-akarnya.19
2. Keduanya berpijak pada fakta dan kebenaran
3. Keduanya sama-sama memiliki metode dan objek kajian yang
sistematis dan koheren.
Sedangkan perbedaannya, adalah sebagai berikut;
1. Obyek Material (lapangan) filsafat bersifat universal (umum) yaitu
segala sesuatu yang ada (realita) sedangkan obyek material ilmu
pengetahuan bersifat khusus dan empiris.
2.

Penutup
Ketika ilmu pengetahuan meneliti objek secara “kausalitas”. Misalnya
“bagaimana” suatu bangunan terjadi, dan “kenapa” ia dibangun, maka filsafat
meneliti secara radik “apa itu” bangunan, sejauh mana bangunan itu dapat
memberikan kontribusi bagi manusia, baik yang membangun ataupun yang
ada di dalam bangunan itu kelak.

18
Mahmud Manan, Pengantar Filsafat (Surabaya: IAIN SA Press, 2011) 34
19
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Filsafat (Surabaya: IAIN SA
Press, 2011), 44.
7
Ilustrasi ini memberi kenyataan bahwa antara filsafat dan ilmu
pengetahuan berbeda, tetapi keduanya memiliki koherensi yang sangat erat.
Sehingga kehilangan salah satunya, menjadi suatu kepincangan, sebagaimana
roda depan dan belakang sebuah kendaraan, keberadaan keduanya memanglah
berbeda, tetapi kehilangan keduanya, atau salah satunya merupakan sumber
malapetaka.
Karenanya, jika pun hubungan itu dianggap suatu dealektika, itu sangat
bisa diterima. Sebab, dari pertentangan dan persamaan itu, muncullah filsafat
ilmu yang menyerap berbagai teori dalam filsafat. Bahkan objek yang dipakai
dalam filsafat ilmu adalah objek yang ada dalam filsafat secara khusus,
misalnya objek material dan objek formal.
Pertentangan yang terjadi sebelum ini, adalah suatu pertentangan untuk
menginsafi keberadaannya masing-masing. Keduanya saling berpikir tentang
kebenaran dan kebijaksanaan. Dalam hal ini penting melihat pandangan John
Dewey yang tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara
knowledge dengan truth). Jadi pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar
adalah kontradiksi. 20
Bertitik tolak dari kebenaran, dan kebenaran adalah pengetahuan,
maka filsafat adalah pengalaman tentang pengetahuan itu sendiri, filsafat
dalam kajian pengetahuan secara tidak langsung dapat diposisikan sebagai
bagian integral.

20
Burhanuddin Salam, Logika Materiil (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), 28
8
DAFTAR PUSTAKA

Ariwidodo, Eko, “Logosentrisme Jacques Derrida Dalam Filsafat Bahasa”, Karsa,


Vol. 21, Desember 2013.
Wibisono, Koento. dkk. Dasar-Dasar Filsafat. Jakarta: Universitas
Terbuka,1989.
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya. Pengantar Filsafat, Surabaya:
IAIN SA Press, 2011.
Maksum, Ali. Pengantar Filsafat: Dari Masa Klasik hingga Postmodernisme.
Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2009.
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Ashari, Endang Saefuddin. Ilmu,Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu, 1987.
Bagus, Loren, Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 1996.
Suriasumantri, Jujun S. Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003.
Esha, Muhammad In’am. Menuju Pemikiran Filsafat. Malang, UIN-Maliki Press:
2010.
Syafiie, Inu Kencana. Pengantar Filsafat Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.

View publication stats

You might also like