Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

COGNITIVE BEHAVIOR THERAPY (CBT) DAN TERAPI EXPOSURE UNT

UK MENGATASI GANGGUAN FOBIA SPESIFIK PADA IKAN LELE

Muhammad Fikri Alfiyanto


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga; Jl. Marsda Adisutjipto Yogyakarta,
(0274)512474/(0274)586117
Email : fikrialfian04@gmail.com

Abstract.
This study attempts to know whether cognitive behavior therapy ( cbt ) and
therapeutic exposure effective in reducing symptoms a phobia of cases phobia
specific experienced individual early adulthood by a tendency traumatik in which and
. The CBT therapy model used coping desensitization and coping response (self talk
& relaxation) techniques, As well as being combined with exposure therapy. This stud
y uses a case study approach with a single case experimental design method with trea
tment in the form of applying CBT intervention and exposure therapy to one 22-year-
old woman who has specific phobia symptoms. Data collection techniques used were
observation and interviews and using research instruments in the form of CBT modul
es, questionnaire, graphic test, and WARTEGG test. The result showed that cognitive
behaviour therapy (CBT) and exposure therapy can reduce the symptoms of specific
phobias on this subjects. As for the changes shown are decreased anxiety levels,
reduced negative thoughts, calm feelings, and realistic-positive thoughts. The
behaviour change is also felt by the subject shown by the subject being able to deal
with his phobia stimulus adaptively.
Keywords: Cognitive Behavior Therapy; Exposure Therapy; Specific Phobia;
Anxiety

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah Cognitive Behavior Therapy


(CBT) dan Terapi Exposure efektif dalam mengurangi gejala fobia pada kasus
fobia spesifik yang dialami individu dewasa awal dengan kecenderungan
traumatik dimasa lalu. Model terapi CBT yang digunakan menggunakan teknik
coping desensitization dan coping response (self talk & relaksasi) serta di
kombinasikan dengan terapi exposure (terapi paparan). Penelitian ini
menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode single case experimental
design dengan perlakuan berupa penerapan intervensi CBT dan terapi exposure
pada satu orang perempuan berusia 22 tahun yang mengalami gejala fobia
spesifik. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan
wawancara serta menggunakan instrumen penelitian berupa modul CBT,
kuesioner, tes grafis dan tes Wartegg. Hasil penelitian menunjukan bahwa
Cognitive Behavior Therapy (CBT) dan terapi exposure dapat mengurangi
gejala fobia spesifik pada subyek. Adapun perubahan yang ditunjukan yaitu
menurunnya tingkat kecemasan, berkurangnya pikiran negatif, perasaan yang
tenang dan pikiran yang realistis-positif. Adanya perubahan perilaku juga
dirasakan oleh subyek ditunjukan dengan subyek mampu berhadapan dengan

1
stimulus fobianya secara adaptif.
Kata kunci: Cognitive Behavior Therapy; Terapi Exposure;Fobia Spesifik;
Kecemasan

Pendahuluan

Ketakutan mungkin dimiliki oleh setiap manusia yang ada di muka bumi ini, baik

dari anak anak hingga lansia pun pasti miliki rasa takut akan hal tertentu, namun hal

tersebut terkadang diikuti dengan tindakan yang dilakukan untuk mengurangi rasa takut itu

sendiri. Berbeda hal dengan seseorang yang mengalami fobia, mereka cenderung tidak

dapat menghadapi situasi atau objek fobianya sehingga cenderung menghindar. Kata

“phobia” berasal dari istilah Yunani “phobos” yang berarti lari (fight), takut dan panik

(panic-fear), takut hebat (terror). Nevid (2003) menyatakan bahwa gangguan fobia

merupakan rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak

sebanding dengan ancamannya. Seseorang yang mengalami gangguan fobia, cenderung

akan mengalami ketakutan yang melebihi dengan penilaian tentang bahaya yang ada.

Kartono (2000) mendefinisikan phobia sebagai ketakutan atau kecemasan yang

abnormal, tidak rasional dan tidak bisa dikontrol terhadap suatu situasi atau objek tertentu.

Ditinjau dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa fobia merupakan sebuah

gangguan yang menyebabkan rasa takut berlebihan terhadap situasi atau objek tertentu

dimana rasa takut tersebut tidak sebanding dengan ancaman yang ada. Berdasarkan sistem

DSM (Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorders) (dalam Nevid, 2003) fobia

terbagi menjadi tiga tipe yaitu fobia spesifik, fobia sosial, dan agoraphobia. Berdasarkan

ketiga tipe fobia tersebut, fobia spesifik menjadi fobia yang cenderung lebih sering dialami

pada diri seseorang. Gersley (2001) menemukan lebih dari 350 macam jenis fobia spesifik.

Fobia spesifik merupakan ketakutan yang berlebihan terhadap objek atau situasi spesifik,

2
seperti ketinggian, tempat tertutup atau sempit, benda-benda tertentu, dan hewan.

Dari banyaknya kasus fobia yang ada, belum ditemukan penyebab pasti munculnya

gejala fobia tersebut. Berbagai kemungkinan penyebab fobia juga dikemukakan dalam

berbagai paradigma psikologi. Para ahli menduga fobia berkembang dari pengalaman tidak

menyenangkan di masa kanak-kanak yang berhubungan dengan sesuatu yang menakutkan.

Pengalaman ini lalu tersimpan dalam memori dan ketika ada faktor pencetusnya ketakutan

itu akan muncul kembali. Secara teoritis (Nevid, Rathus & Greene, 2005) beberapa

penyebab fobia adalah adanya proses classical conditioning dan operant conditioning atau

proses modelling (paradigma behavioristik), adanya distorsi kognitif berlebihan dan self

efficacy yang rendah saat berhadapan dengan stimulus fobianya (paradigm kognitif).

Selain itu adanya gen tertentu yang berhubungan dengan neurotisme yang dapat membuat

individu cenderung mengembangkan gangguan kecemasan (paradigma biologis).

Pada penelitian kali ini peneliti meneliti terkait fobia spesifik dengan tipe hewan.

Subyek memiliki ketakutan yang berlebih terhadap ikan lele sebagai obyek fobianya.

Fobia pada subyek terbentuk akibat adanya kejadian traumatic yang dialami subjek dimasa

kecilnya, yang mana subjek terjatuh kedalam kolam ikan lele ketika bermain dengan

teman teman subjek sehingga subjek berdarah karena dipatil oleh ikan lele tersebut. Oleh

karena itu, fobia pada subyek disebabkan karena adanya proses traumatik yang terjadi

dimasa kecil subjek. Sehingga subjek merasakan ketakutan yang berlebih terhadap ikan

lele karena pernah dipatil hingga terluka dan berdarah yang mana hal ini menimbulkan

distorsi kognitif terhadap stimulus fobianya yang menyebabkan tiap kali subyek

berhadapan dengan ikan lele maka akan muncul rasa takut dan cemas yang berlebih karena

merasa obyek fobianya akan memberikan ancaman seperti di masa lalu..

3
Oleh karena itulah, pemberian terapi pada subyek berupa Cognitive Behavior

Therapy (CBT) dan terapi exposure yang merupakan terapi gabungan antara teknik

kognitif untuk mengendalikan distorsi kognitif dan teknik behavior untuk mengendalikan

kecemasan dan perilaku menghindar serta terapi paparan yakni menghadirkan objek

ketakutan subjek secara bertahap untuk mengontrol rasa takut berlebih subjek dengan

diiringi teknik relaksasi pernafasan

Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua

pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi

kognitif memfokuskan pada pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif

memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak

hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking.

Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun hubungan antara situasi

permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar mengubah

perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas

dan membantu membuat keputusan yang tepat.

Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa subyek merasa terganggu dengan adanya

fobia. Hal tersebut membuat subyek merasa kurang aman ketika melihat ikan lele baik

yang masih hidup ataupun yang sudah mati atau sudah dalam bentuk masakan karena ikan

lele banyak menjadi menu sajian dirumah makan. Penanganan yang dilakukan subyek

ketika harus berhadapan dengan obyek fobianya adalah menghindar dan lari menjauhi

objek ketakutannya tersebut. Teman subyek juga merasa bingung dengan kondisi yang

dialami oleh subyek. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai salah

satu upaya membuktikan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalah yang dialami

4
subyek yaitu fobia spesifik terhadap kucing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

efektivitas penggunaan Cognitive Behavior Therapy (CBT) dan Terapi Exposure dalam

mengurangi gejala fobia pada kasus fobia spesifik terhadap hewan yang dialami oleh

subyek.

Metode

Identifikasi Subyek

Subyek dalam penelitian ini adalah seorang perempuan usia 22 tahun yang

mengalami gejala fobia spesifik dengan mengacu pada DSM V. Sejak kecil subyek tidak

takut dengan ikan lele namun setelah mengalami kejadian traumatik yakni terjatuh di

kolam ikan lele, subjek cenderung memiliki rasa takut terhadap ikan lele yang menjadi

obyek fobianya, rasa takut tersebut diikuti dengan kecemasan berlebih dan perilaku

menghindar.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan berupa pedoman observasi dan wawancara

yang disusun berdasarkan empat aspek yaitu aspek lingkungan, aspek fisik, aspek psikis,

dan aspek kognitif. Berdasarkan empat aspek tersebut bertujuan untuk mengetahui respon

perilaku subyek yang mengalami gejala fobia spesifik. Selain itu, digunakan instrumen

tambahan berupa tes grafis (BAUM, DAP, HTP) dan tes WARTEGG yang bertujuan

untuk mengetahui gambaran tentang kepribadian subyek.

Adapun instrumen penelitian yang digunakan dalam eksperimen berupa modul

Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang dikombinasikan dengan Terapi Exposure dan

dimodifikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Melianawati (2014). Modul ini

5
terdiri dari prosedur-prosedur pelaksanaan terapi dan lembar kerja self monitoring,

workseet, dan terapi exposure yang bertujuan untuk mengetahui kondisi perasaan dan

pikiran subyek dengan gejala fobia spesifik.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode eksperimen dan

menggunakan desain single case experimental. Eksperimen dilakukan dengan memberikan

intervensi cognitive Behavior Therapy (CBT) pada subyek yang mengalami gejala fobia

spesifik. Intervensi dilakukan dalam 7 sesi (30 – 90 menit per sesi, tergantung dengan

respon yang diberikan subyek) dalam jangka waktu 1 minggu. Pengukuran gejala fobia

spesifik dilakukan sebelum pemberian intervensi dan setelah intervensi.

Teknik Analisis Data

Data tes grafis dan tes WARTEGG dianalisis sesuai prosedur skoring baku dan

diinterpretasi sesuai prosedur analisis dan teori yang melandasi alat ukur tersebut untuk

mengetahui gambaran kepribadian, khususnya kepribadian neurotik subyek yang

memengaruhi terbentuk dan bertahannya fobia. Secara kualitatif, data interview subyek,

data interview anamnesa, data observasi, data self report tentang perasaan dan pikiran

subyek, serta perilaku saat mengikuti terapi dan data angket terbuka, akan dipaparkan

secara deskriptif untuk mengetahui perubahan-perubahan perilaku yang dialami subyek

sebelum dan setelah pemberian intervensi CBT dan Terapi Exposure.

Hasil

6
Intervensi yang diberikan kepada subyek adalah teknik Cognitive Behavior Therapy

(CBT) dan Terapi Exposure untuk membantu subyek dalam mengatasi penyebab utama

terbentuknya kondisi fobia yaitu adanya distorsi kognitif terhadap stimulus fobia. Distorsi

kognitif yang ada pada subyek juga terjadi karena adanya proses traumatik yang dialami

subjek ketika masa kecil subjek. Adapun yang menjadi target dalam intervensi ini yaitu

untuk mengurangi timbulnya perasaan cemas dan perilaku menghindar yang muncul ketika

subyek berhadapan langsung dengan obyek fobianya.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa subyek

menunjukan perilaku cemas, histeris dan menghindar ketika melihat obyek fobianya.

Respon tersebut ditunjukan subyek meskipun dengan melihat gambar dari obyek fobianya.

Subyek juga menunjukan perilaku menghindar dan takut ketika berhadapan langsung

dengan ikan lele baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Selain itu subyek juga

menunjukan respon gelisah dan jijik ketika diminta untuk menceritakan sisi positif dan

negatif dari obyek fobianya.

Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rasa takut subyek terhadap ikan lele

merupakan hasil dari peristiwa traumatik yang dialami subjek dimasa kecilnya. Yang mana

subjek terjatuh di kolam ikan lele tersebut dan tidak ada dari teman teman subjek yang

sanggup menolong subjek, sehingga subjek terjebak di kolam ikan lele cukup lama, hingga

tetangga subjek menolong subjek karena mendengar tangisan subjek.

Berdasarkan hasil tes grafis yang dilakukan, diketahui bahwa subyek memiliki

kemampuan intelektual yang baik. Subyek cenderung memiliki keteraturan dalam

berfikir dan imajinatif. Ia juga cenderung memiliki intelektual yang baik

serta motivasi dan aktualisasi yang jelas. Walaupun demikian terkadang

7
subjek memiliki sifat kurang tekun. Subyek juga memiliki dorongan yang besar

pada diri. Selain itu subyek cenderung memiliki emosi yang belum berkembang dengan

baik. Adanya keinginan untuk mendominasi. Subyek juga cenderung agresif dan merasa

diri kurang mampu tetapi mempunyai ambisi yang besar. Subyek dalam emosi cenderung

immature, sehingga subyek cenderung mudah frustasi dan tidak stabil dalam emosi.

Kemampan subyek dengan realitas baik, dan cenderung memiliki kemampuan adaptasi

yang baik. Selain itu subyek memiliki kemampuan sosial yang baik namun cenderung

menutup diri.

Subyek memiliki kecerdasan yang baik. Selain itu subyek mampu melakukan kontrol

emosional. Subyek memiliki kepribadian yang menekankan rasional dan cenderung

objektif. Selain itu subyek juga memiliki ketergantungan pada dukungan yang menjadikan

diri subyek kurang berani dalam mengaktualisasikan dirinya. Subyek memiliki fantasi

yang kuat dan cenderung orientasi ke masa yang akan datang. Subyek memiliki hubungan

yang saling menghargai antar keluarga. Subyek juga cenderung lebih dekat dengan

ayahnya. Selain itu subyek memiliki kebutuhan kasih sayang dari ayahnya. Karena

peranan ayah sangat baik, subyek cenderung memiliki fungsi ibu dalam keluarga yang

kurang.

Berdasarkan hasil tes Wartegg yang dilakukan diketahui bahwa secara keseluruhan

dapat disimpulkan bahwa subyek mempunyai perangkat diri yang seimbang, konsentrasi

yang baik, penyesuaian pada lingkungan yang baik. Adanya perasaan untuk memegang

perasan, perasaan menguasai dirinya atau lemah lembut. Hubungan subyek dengan

lingkungan yang intensif. Selain itu subyek memiliki kontak dengan lingkungan yang

terkendali.

8
Subyek cenderung memiliki imajinasi dan intelektual yang baik. Cenderung

memperhatikan hal-hal yang kecl dan kurang penting. Penampilan dan kesesuaian secara

sosial subyek cenderung memiliki penyesuaian yang baik. Selain itu subyek memiliki

pandangna yang sehat terhadap kenyataan. Subyek memiliki imajinasi yang jelas dan

terang mengenai hal-hal di luar dirinya. Emosi dan aktivitas pada diri subyek cenderung

tinggi. Subyek berorientasi pada dunia luar dan mudah berhubungan dengan orang lain.

Subyek merupakan penggembira, easy going, dan bebas dari ketegangan yang

memudahkan penyesuaian diri tetapi cenderung membuat mereka secara emosional

kurang. Perhatian minat subyek cenderung fluktuasi dan dangkal. Subyek adalah individu

yang berkepribadian produktif, kaya, dan ambisius.

Adapun intervensi yang diberikan yaitu berupa Cognitive Behavior Therapy (CBT)

serta Terapi Exposure. Pemberian teknik terapi exposure dilakukan dengan proses

counterconditioning dengan cara menghadirkan secara bersamaan stimulus fobia berupa

gambar,video hingga ikan lele secara langsung dengan pemberian sugesti positif-realistis

serta relaxasi pernafasan dan coping response baru yang adaptif yang mampu

menimbulkan ketenangan.. Proses counterconditioning (Martin & Pear, 2005) tersebut

membantu subyek untuk membentuk conditioning positif terkait stimulus fobianya yaitu

menghadirkan stimulus fobia dengan sesuatu hal yang menenangkan atau positif. Sehingga

pada akhirnya, proses counterconditioning tersebut dapat membuat kehadiran stimulus

fobia juga menimbulkan ketenangan dalam diri subyek.

Intervensi yang dilakukan ini cukup dikatakan berhasil, karena subjek mampu

mengurangi tingkat fobianya. Perubahan positif yang terjadi pada klien adalah subjek

menjadi tidak histeris dan lari menghindar lagi ketika melihat objek ketakutannya, hal ini

9
karena subjek sudah sedikit mampu merubah pandangannya terhadap objek ketakutannya

tersebut.

Faktor pendukung keberhasilan dalam proses intervensi adalah kemauan subjek

untuk sembuh dari gangguan tersebut. Faktor penghambat selama proses intervensi adalah

proses intervensi tidak memiliki waktu yang lebih untuk menghilangkan fobia, dan klien

menghentikan tantangan lebih lanjut yang padahal sudah direncanakan oleh konselor.

Karena berdasarkan kode etik, konselor tidak akan memaksa klien.

Dalam pelaksanaannya, juga terdapat hal-hal yang sangat melenceng dari rancangan

yang sudah dibuat, misalnya dari waktu dan durasinya. Ini dikarenakan subjek sangat sibuk

dengan pekerjaannya, kuliahnya serta terbatasnya waktu yang dimilikinya. Adapun hasil

intervensi menunjukan beberapa perubahan terhadap gejala fobia spesifik pada subyek

yang dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1
Hasil Intervensi
No Hasil Intervensi

1 Perubahan (setelah menjalani Perubahan yang dialami oleh


intervensi) klien yang mempunyai fobia
spesifik setelah diberikan
intervensi sudah cukup lebih
baik.
Dapat dibuktikan pada waktu sesi
ke enam, subjek sudah mulai
mampu menghadapi objek
ketakutannya dengan tidak berlari
dan berteriak histeris.
2 Hambatan dan Pendukung a. Hambatan
1. Klien susah di temui
karena kesibukaan dengan
pekerjaannya dan
perkuliahannya, sehingga
sesi intervensi banyak
dilakukan di luar
laboraturium individu.

10
Hanya dua sesi yang
dilakukan di laboraturium
individu.
2. Klien menghentikan
proses intervensi di
tengah jalan, karena
merasa sudah tidak
mampu melanjutkan.
b. Pendukung
1. Klien mempunyai
keinginan sembuh
sehingga klien mampu
untuk kooperatif.
3 Respon Klien terhadap 1. Sesi pertama klien
Intervensi menjelaskan bahwa
dirinya menjadi lebih
nyaman daripada
sebelumnya, karena sudah
lebih mgenal konselor.
2. Sesi kedua klien
mengungkapkan bahwa
sesi kedua ini cukup
membuat dirinya merasa
kurang nyaman dan
tegang, namun masih bisa
dia atasi, Di sini subjek
harus kembali mengingat
dan menceritakan
pengalaman traumatis
dirinya sehingga takut
terhadap objek tersebut.
3. Sesi ketiga klien
mengungkapkan bahwa
sesi ketiga ini masih
aman, karena subjek
hanya mengemukakakn
pendapat mengenai hal
positif tentang objek
ketakutannya saja.
4. Sesi keempat klien
mengungkapkan bahwa
sesi ini masih aman bangi
dirinya karena hanya
melihat gambar objek
ketakutannya, walaupun
begitu subjek merasa

11
kurang nyaman
5. Sesi kelima klien
mengungkapkan bahwa
sesi ini cukup berat
namun masih bisa diatasi
olehnya, walaupun begitu
subjek kurang nyaman
karena ada tantangan
untuk melihat video objek
ketakutannya.
6. Sesi keenam klien
mengungkapkan bahwa
sesi keenam ini terlalu
berat karena ada
tantangan melihat objek
ketakutannya secara nyata
dan itu sangat berat bagi
dirinya, sehingga subjek
merasa tidak nyaman.
7. Sesi ketujuh klien
mengungkapkan bahwa
sesi ketujuh ini
membuatnya cukup lega
karena sudah tidak ada
tantangan lagi dan sudah
selesai semua pertemuan.
4 Kesesuaian Prosedur Rancangan intervensi yang dibuat
oleh terapis dalam hal sesi sesuai
karena dilakukan 7 kali
pertemuan, namun terkait durasi
waktu per sesinya berbeda
dengan rencananya karena
tergolong hal yang kondisional .

Pada akhir sesi intervensi, dilakukan evaluasi hasil dengan melakukan wawancara

kepada subyek terkait perubahan yang dirasakan setelah mengikuti intervensi. Subyek

dapat merasakan perubahan terhadap dirinya ketika berhadapan dengan ikan lele dalam

wujud gambar, video, ataupun melihat secara langsung . Ketika subyek ditunjukan gambar,

video, ataupun ikan lele secara langsung, perilaku menghindar masih ditunjukan namun

12
subjek tidak menjerit secara histeris dan mampu mengontrol emosi subjek, dengan kata

lain subyek dapat menghadapi obyek fobianya secara adaptif, selain itu tingkat kecemasan

pada subyek juga mengalami penurunan yang ditunjukan dengan perasaan tenang pada

subyek ketika melihat ikan lele walaupun masih ada rasa takut. Hal ini menunjukan bahwa

intervensi CBT dan terapi exposure yang diberikan kepada subyek menunjukan

keberhasilan yang ditandai dengan perilaku subyek dalam menghadapi obyek fobianya

tidak lagi histeris dan mampu mengendalikan emosinya.

Diskusi

Peristiwa traumatik yang dialami subjek sejatinya terjadi belasan tahun yang lalu,

tepatnya ketika subjek menginjak umur 5-6 tahun, ketika itu subjek merasakan trauma

yang mendalam dikarenakan terjatuh di kolam ikan lele dan digigit hingga luka dan

berdarah. Pada akhirnya hingga saat ini subjek masih merasakan kecemasan, kepanikan,

kebingungan, kekhawatiran, jijik, keringat dingin, serta tubuh gemetar panik, ketika

melihat secara langsung ikan lele yang masih hidup ataupun mati, terlebih pada bagian

kepala ikan lele.

Berdasarkan hasil diagnosa dengan mengacu pada DSM V, diketahui bahwa subyek

mengalami gejala fobia spesifik. Fobia spesifik ditandai dengan adanya kecemasan

berlebih terhadap obyek dan munculnya perilaku menghindari obyek yang membuat

kecemasan. Selain itu, terdapat gejala pendukung yang perlu diperhatikan dalam

mendiagnosa fobia spesifik, yaitu: detak jantung yang berdebar, munculnya reaksi gemetar

(tremor) ketika berhadapan dengan obyek fobianya, lemas dan merasa tidak berdaya,

pusing dan gangguan tidur.

13
Dari ciri ciri diatas sejatinya mengkrucutkan pada satu kesimpulan gejala psikologis

yaitu spesifik phobia, yang mana Kriteria diagnostik specific phobia (dalam APA, 2000)

adalah:

1. Ketakutan yang menyolok dan menetap yang berlebihan dan tidak dapat dijelaskan,

disebabkan oleh objek atau situasi yang spesifik (seperti, terbang, ketinggian, hewan,

disuntik, melihat darah).

2. Stimulus fobik hampir selalu menyebabkan respon kecemasan atau serangan panik.

Catatan: pada anak, kecemasan ditunjukkan dengan menangis, tantrum, kaku atau

lengket pada orang lain

3. Menyadari ketakutannya berlebihan dan tidak dapat dijelaskan. Catatan: pada anak

mungkin tidak muncul.

4. Situasi fobik dihindari dengan kecemasan atau distres yang kuat.

5. Penghindaran, antisipasi kecemasan atau distres dalam situasi phobia bertentangan

secara signifikan dengan rutinitas orang normal, fungsi pekerjaan (pendidikan) atau

aktivitas/hubungan sosial, atau ditandai distres tentang fobia.

6. Pada individu di bawah 18 tahun, terjadi sekurang-kurangnya 6 bulan.

7. Kecemasan, serangan panik atau menghindari fobia dihubungkan dengan objek atau

situasi spesifik.

Fobia disebabkan oleh adanya proses classical conditioning dan operant

conditioning atau proses modeling menurut pandangan behavioristic), adanya distorsi

kognitif berlebihan dan self efficacy yang rendah saat berhadapan dengan stimulus

fobianya menurut pandangan kognitif), dan adanya gen tertentu yang berhubungan dengan

14
neurotisme yang membuat individu cenderung mengembangkan gangguan kecemasan

menurut pandangan biologis (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Fobia juga dapat disebabkan

oleh beberapa faktor diantaranya peristiwa traumatis di masa lalu, pola pembelajaran yang

keliru, dan faktor kognitif dimana proses berfikir negatif seseorang menjadi penyebab

memicunya fobia.

Menurut pandangan dalam paradigm behavioristik, fobia dapat disebabkan melalui

beberapa faktor diantaranya Avoidance Conditioning, dimana adanya pembelajaran untuk

menghindari sesuatu yang telah dikondisikan. Selain itu dapat melalui classical

conditioning yaitu seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral, jika

stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara instrinsik menyakitkan atau

menakutkan. Terdapat juga modeling, yaitu seseorang dapat mengalami fobia sebagai

akibat pengalaman yang tidak menyenangkan dengannya, ketakutan dapat dipelajari

dengan meniru reaksi orang lain (modeling). Teori lain juga menjelaskan bahwa adanya

prepared learning, yaitu seseorang dapat memiliki ketakutan yang menetap setelah

pengalaman traumatis dengan objek fobia, seseorang tersebut akan merasa cemas akan

mengalami kejadian yang sama pada masa depan. Dapat dikatakan fobia tersebut terjadi

karena pembelajaran dari pengalaman di masa lalu.

Intervensi yang diberikan menggunakan dua pendekatan yaitu kognitif dan

behavioristik. Adapun dalam pendekatan kognitif, yaitu bertujuan untuk memperbaiki

proses pengolahan informasi dan memodifikasi keyakinan atau pola pikir yang terdistorsi

pada individu sehingga individu dapat menciptakan keyakinan atau pola pikir yang adaptif

(Beck dalam Spiegler & Guevremont, 2003). Sedangkan dalam pendekatan behavioristik

yaitu dengan menggunakan teknik coping desensitization yang merupakan hasil

15
pengembangan dari teknik desensitisasi sistematis umum (Goldfried dalam Spiegler &

Guevremont, 2010). Teknik ini bertujuan untuk memunculkan coping response pada

subyek untuk dapat beradaptasi dengan objek fobia yang dihadapi.

Berdasarkan hasil terapi disimpulkan bahwa subyek mengalami fobia spesifik

terhadap objek hewan yaitu ikan lele. Subyek mengalami fobia terhadap ikan lele yang

terbentuk dari peristiwa traumatik yang terjadi dimasa kecil subjek.

Pemberian teknik kognitif behavior dalam CBT bertujuan untuk membantu subyek

dalam mengatasi penyebab utama terbentuknya kondisi fobia yaitu adanya distorsi kognitif

terhadap stimulus fobia. Teknik ini dilakukan dengan cara memodifikasi pikirannya

dengan hal yang realistis, positif, dan rasional. Sehingga penyebab fobia dari sudut

pandang kognitif berhasil diatasi. Secara khusus, teknik CBT ini memberikan perubahan

pada diri subyek untuk dapat berpikir secara rasional terhadap objek fobia berupa gambar.

Kecemasan dan rasa takut subyek terhadap objek fobia yang telah terkondisi dari kecil

membuat subyek merasakan kecemasan ketika dihadapkan dengan objek fobianya secara

langsung dan tidak langsung. Subyek yang sebelumnya menghindar hingga teriak ketika

terapis mencoba untuk menunjukan gambar ikan lele, mengalami perubahan yaitu dapat

lebih menerima dan tenang ketika melihat gambar objek fobianya.

Teknik CBT dan terapi exposure yang dilakukan menyadarkan subyek untuk dapat

berfikir secara rasional. Subyek dapat menyadari bahwa gambar ataupun video ikan lele

yang ia lihat tidak memberikan bahaya secara langsung kepadanya. Rasa jijik dan geli

terhadap kepala ikan lele, serta ketakutan akan digigit oleh ikan lele tidak ia rasakan karena

objek fobia yang dihadapinya berupa gambar dan video. Subyek mengetahui bahwa

dengan melihat gambar ataupun video ikan lele, subyek tidak merasa ada bahaya pada

16
dirinya, sehingga subyek dapat lebih tenang untuk menghadapinya. Pemberian teknik CBT

dan exposure tidak hanya dapat membentuk pemikiran yang positif dan realistis terkait

stimulus fobianya namun juga membantu untuk mengendalikan kecenderungan distorsi

kognitif yang kuat akibat kecenderungan neurotic pada subyek. Sehingga hal tersebut dapat

mendorong keduanya menampilkan perilaku yang adaptif dalam berhadapan dengan

stimulus fobianya, yang mana hal tersebut dilatih melalui pemberian teknik terapi

exposure.

Berdasarkan perubahan yang dialami subyek, terdapat kekurangan yang ada pada

intervensi ini. Meskipun teknik CBT dan terapi exposure yang diberikan dapat membantu

subyek dalam berfikir realistis dan positif ketika berhadapan dengan objek fobianya.

Namun tetapi intervensi yang diberikan masih kurang dalam mengubah distorsi kognitif

subyek terhadap objek fobianya yang hadir secara langsung. Subyek tetap mengalami

kecemasan ketika berhadapan langsung dengan ikan lele. Hal ini dikarenakan adanya

proses operant conditioning berupa pengalaman di masa lalu yaitu adanya peristiwa

traumatis pada subyek yang membuat ketakutan dan cemas ketika melihat ikan lele secara

langsung. Terdapat konsekuensi negatif berupa rasa takut ketika melihat kepala ikan lele

sehingga membuat subyek kembali teringat akan peristiwa di masa lalu dimana subyek

terjatuh dan dipatil oleh ikan lele hingga berdarah.

Berdasarkan pengalaman traumatis tersebut membuat subyek memiliki ketakutan

ketika harus berhadapan langsung dengan objek fobianya. Hal tersebut menjadi

kekurangan dalam intervensi ini karena teknik CBT dan terapi exposure yang diberikan

hanya dapat membantu subyek untuk merubah kecemasan yang muncul ketika melihat

gambar ataupun video dari objek fobianya. Hal ini dikarenakan pemberian proses

17
intervensi terlalu singkar dan dengan jarak waktu yang padat sehingga hasilnya kurang

maximal .

Berdasarkan hasil intervensi yang didapat, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya

yang dilakukan oleh Melianawati (2014) bahwa penerapan Cognitive Behavior Therapy

(CBT) dengan teknik coping desensitization efektif dalam mengurangi gejala fobia

spesifik. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan CBT membawa dampak positif terhadap

perubahan perilaku subyek menjadi lebih adaptif dan menurunkan gejala-gejala fobia

spesifik.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa teknik

Cognitive Behaviour Theraphy (CBT) dan Terapi Exposure efektif dalam mengurangi

gejala fobia spesifik. Pada penelitian ini, setelah diberikan intervensi selama kurang lebih

seminggu, subyek menunjukan penurunan dalam melakukan perilaku menghindar dan

mampu menghadapi stimulus fobianya secara adaptif. Hal tersebut dapat dilihat secara

nyata pada perubahan subyek berupa berkurangnya distorsi kognitif, perasaan cenderung

tenang, perilaku rileks dan tenang (tidak menghindar). Subyek juga dapat menilai dirinya

berhasil dalam mengatasi kecemasannya terhadap stimulus fobianya, yang sebelumnya

merasa cemas histeris dan tidak berani melihat gambar ataupun video ikan lele, namun

setelah mengikuti terapi menjadi lebih berani dan tidak histeris ketika melihat gambar,

video ataupun melihat secara langsung ikan lele.

Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam pelaksanaannya yaitu keterbatasan waktu

yang dimiliki subyek selama intervensi. Sehingga durasi waktu intervensi dalam tiap

18
sesinya menjadi berkurang. Namun tetapi, penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai

prosedur dan seluruh sesi intervensi sebanyak 7 pertemuan dapat tercapai. Oleh karena itu

perlu adanya latihan dan pembiasaan untuk menerapkan coping response terhadap obyek

fobia di keseharian subyek. Sehingga subyek dapat membiasakan diri jika sewaktu-waktu

berada disituasi yang tidak siap dalam menghadapi obyek fobia. Selain itu pemahaman

tentang konsep diri positif perlu dipahami lebih dalam oleh subyek agar dapat

membedakan mana pikiran yang positif dan negatif.

Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian serupa dengan menambah sesi

pertemuan, serta melakukan intervensi lanjutan setelah sesi intervensi selesai. Hal ini

diharapkan mampu mendukung efektivitas proses intervensi Cognitive Behavior Therapy

(CBT) dan terapi exposure.

DAFTAR PUSTAKA
Fitri fausiah & Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.

Kartono, Kartini. 2000. Hygiene Mental. Bandung: Mandar Maju.

Gersley, E. 2001. Phobias: Causes and treatments. Retrieved December 31, 2019, from
http://www.AllPsychJournal/phobia/phobias causes and treatments in
AllPsychJournal.htm

Martinm G. & Pear, J. 2005. Behavior Modification: What it is and how to do it. 8 th Ed.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Melianawati. (2014). Penerapan CBT Pada Penderita Fobia Spesifik. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.3, No.1.

Muslim Rudfi (Editor). 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta:PT Nuh Jaya.

Nevid, Jeffrey S. 2003. Psikologi Abnormal. Jakarta: Erlangga.

Nevid, J.S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Lima, Jilid Satu

19
(Murad, J., Basri, A. S., Ginanjar. A., Poerwandari, E. K., Saraswati, I., Musabia,
S., Nurwianti, F., Hutauruk, I. S., Fausiah, F., Oriza, D., Bintari, D. R., Pengalih
bhs.). Jakarta: Erlangga.

Spiegler, M. D. & Guevremont, D. C. 2003. Contemporary Behavior Therapy. 4th Ed.


USA: Thomson Wadsworth.

Spiegler, M. D. & Guevremont, D. C. 2010. Contemporary Behavior Therapy. 5th Ed.


USA: Wadsworth Cengage Learning.

Pihasniwati. (2015). Dasar-Dasar Intervensi Individu : Konseling dan Psikoterapi.


Yogyakarta : Kurnia Global Diagnostika

Athalia’s. 2017. Terapi Behavior Exposure.


http://athaliaphebe.blogspot.com/2017/07/blog-post.html. Diakses tanggal 26
November 2019. Pukul 11.00 WIB.

20

You might also like