Professional Documents
Culture Documents
Naskah Publikasi AII Muhammad Fikri Alfiyanto
Naskah Publikasi AII Muhammad Fikri Alfiyanto
Abstract.
This study attempts to know whether cognitive behavior therapy ( cbt ) and
therapeutic exposure effective in reducing symptoms a phobia of cases phobia
specific experienced individual early adulthood by a tendency traumatik in which and
. The CBT therapy model used coping desensitization and coping response (self talk
& relaxation) techniques, As well as being combined with exposure therapy. This stud
y uses a case study approach with a single case experimental design method with trea
tment in the form of applying CBT intervention and exposure therapy to one 22-year-
old woman who has specific phobia symptoms. Data collection techniques used were
observation and interviews and using research instruments in the form of CBT modul
es, questionnaire, graphic test, and WARTEGG test. The result showed that cognitive
behaviour therapy (CBT) and exposure therapy can reduce the symptoms of specific
phobias on this subjects. As for the changes shown are decreased anxiety levels,
reduced negative thoughts, calm feelings, and realistic-positive thoughts. The
behaviour change is also felt by the subject shown by the subject being able to deal
with his phobia stimulus adaptively.
Keywords: Cognitive Behavior Therapy; Exposure Therapy; Specific Phobia;
Anxiety
Abstrak
1
stimulus fobianya secara adaptif.
Kata kunci: Cognitive Behavior Therapy; Terapi Exposure;Fobia Spesifik;
Kecemasan
Pendahuluan
Ketakutan mungkin dimiliki oleh setiap manusia yang ada di muka bumi ini, baik
dari anak anak hingga lansia pun pasti miliki rasa takut akan hal tertentu, namun hal
tersebut terkadang diikuti dengan tindakan yang dilakukan untuk mengurangi rasa takut itu
sendiri. Berbeda hal dengan seseorang yang mengalami fobia, mereka cenderung tidak
dapat menghadapi situasi atau objek fobianya sehingga cenderung menghindar. Kata
“phobia” berasal dari istilah Yunani “phobos” yang berarti lari (fight), takut dan panik
(panic-fear), takut hebat (terror). Nevid (2003) menyatakan bahwa gangguan fobia
merupakan rasa takut yang persisten terhadap objek atau situasi dan rasa takut ini tidak
akan mengalami ketakutan yang melebihi dengan penilaian tentang bahaya yang ada.
abnormal, tidak rasional dan tidak bisa dikontrol terhadap suatu situasi atau objek tertentu.
Ditinjau dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa fobia merupakan sebuah
gangguan yang menyebabkan rasa takut berlebihan terhadap situasi atau objek tertentu
dimana rasa takut tersebut tidak sebanding dengan ancaman yang ada. Berdasarkan sistem
DSM (Diagnostic and statistical Manual of Mental Disorders) (dalam Nevid, 2003) fobia
terbagi menjadi tiga tipe yaitu fobia spesifik, fobia sosial, dan agoraphobia. Berdasarkan
ketiga tipe fobia tersebut, fobia spesifik menjadi fobia yang cenderung lebih sering dialami
pada diri seseorang. Gersley (2001) menemukan lebih dari 350 macam jenis fobia spesifik.
Fobia spesifik merupakan ketakutan yang berlebihan terhadap objek atau situasi spesifik,
2
seperti ketinggian, tempat tertutup atau sempit, benda-benda tertentu, dan hewan.
Dari banyaknya kasus fobia yang ada, belum ditemukan penyebab pasti munculnya
gejala fobia tersebut. Berbagai kemungkinan penyebab fobia juga dikemukakan dalam
berbagai paradigma psikologi. Para ahli menduga fobia berkembang dari pengalaman tidak
Pengalaman ini lalu tersimpan dalam memori dan ketika ada faktor pencetusnya ketakutan
itu akan muncul kembali. Secara teoritis (Nevid, Rathus & Greene, 2005) beberapa
penyebab fobia adalah adanya proses classical conditioning dan operant conditioning atau
proses modelling (paradigma behavioristik), adanya distorsi kognitif berlebihan dan self
efficacy yang rendah saat berhadapan dengan stimulus fobianya (paradigm kognitif).
Selain itu adanya gen tertentu yang berhubungan dengan neurotisme yang dapat membuat
Pada penelitian kali ini peneliti meneliti terkait fobia spesifik dengan tipe hewan.
Subyek memiliki ketakutan yang berlebih terhadap ikan lele sebagai obyek fobianya.
Fobia pada subyek terbentuk akibat adanya kejadian traumatic yang dialami subjek dimasa
kecilnya, yang mana subjek terjatuh kedalam kolam ikan lele ketika bermain dengan
teman teman subjek sehingga subjek berdarah karena dipatil oleh ikan lele tersebut. Oleh
karena itu, fobia pada subyek disebabkan karena adanya proses traumatik yang terjadi
dimasa kecil subjek. Sehingga subjek merasakan ketakutan yang berlebih terhadap ikan
lele karena pernah dipatil hingga terluka dan berdarah yang mana hal ini menimbulkan
distorsi kognitif terhadap stimulus fobianya yang menyebabkan tiap kali subyek
berhadapan dengan ikan lele maka akan muncul rasa takut dan cemas yang berlebih karena
3
Oleh karena itulah, pemberian terapi pada subyek berupa Cognitive Behavior
Therapy (CBT) dan terapi exposure yang merupakan terapi gabungan antara teknik
kognitif untuk mengendalikan distorsi kognitif dan teknik behavior untuk mengendalikan
kecemasan dan perilaku menghindar serta terapi paparan yakni menghadirkan objek
ketakutan subjek secara bertahap untuk mengontrol rasa takut berlebih subjek dengan
pendekatan dalam psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi
memfasilitasi individu belajar mengenali dan mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak
hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi berkaitan pula dengan happy thinking.
perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih jelas
Berdasarkan uraian diatas, diketahui bahwa subyek merasa terganggu dengan adanya
fobia. Hal tersebut membuat subyek merasa kurang aman ketika melihat ikan lele baik
yang masih hidup ataupun yang sudah mati atau sudah dalam bentuk masakan karena ikan
lele banyak menjadi menu sajian dirumah makan. Penanganan yang dilakukan subyek
ketika harus berhadapan dengan obyek fobianya adalah menghindar dan lari menjauhi
objek ketakutannya tersebut. Teman subyek juga merasa bingung dengan kondisi yang
dialami oleh subyek. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk dilakukan sebagai salah
satu upaya membuktikan strategi yang tepat dalam mengatasi permasalah yang dialami
4
subyek yaitu fobia spesifik terhadap kucing. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
efektivitas penggunaan Cognitive Behavior Therapy (CBT) dan Terapi Exposure dalam
mengurangi gejala fobia pada kasus fobia spesifik terhadap hewan yang dialami oleh
subyek.
Metode
Identifikasi Subyek
Subyek dalam penelitian ini adalah seorang perempuan usia 22 tahun yang
mengalami gejala fobia spesifik dengan mengacu pada DSM V. Sejak kecil subyek tidak
takut dengan ikan lele namun setelah mengalami kejadian traumatik yakni terjatuh di
kolam ikan lele, subjek cenderung memiliki rasa takut terhadap ikan lele yang menjadi
obyek fobianya, rasa takut tersebut diikuti dengan kecemasan berlebih dan perilaku
menghindar.
Instrumen Penelitian
yang disusun berdasarkan empat aspek yaitu aspek lingkungan, aspek fisik, aspek psikis,
dan aspek kognitif. Berdasarkan empat aspek tersebut bertujuan untuk mengetahui respon
perilaku subyek yang mengalami gejala fobia spesifik. Selain itu, digunakan instrumen
tambahan berupa tes grafis (BAUM, DAP, HTP) dan tes WARTEGG yang bertujuan
Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang dikombinasikan dengan Terapi Exposure dan
dimodifikasi dari penelitian yang telah dilakukan oleh Melianawati (2014). Modul ini
5
terdiri dari prosedur-prosedur pelaksanaan terapi dan lembar kerja self monitoring,
workseet, dan terapi exposure yang bertujuan untuk mengetahui kondisi perasaan dan
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode eksperimen dan
intervensi cognitive Behavior Therapy (CBT) pada subyek yang mengalami gejala fobia
spesifik. Intervensi dilakukan dalam 7 sesi (30 – 90 menit per sesi, tergantung dengan
respon yang diberikan subyek) dalam jangka waktu 1 minggu. Pengukuran gejala fobia
Data tes grafis dan tes WARTEGG dianalisis sesuai prosedur skoring baku dan
diinterpretasi sesuai prosedur analisis dan teori yang melandasi alat ukur tersebut untuk
memengaruhi terbentuk dan bertahannya fobia. Secara kualitatif, data interview subyek,
data interview anamnesa, data observasi, data self report tentang perasaan dan pikiran
subyek, serta perilaku saat mengikuti terapi dan data angket terbuka, akan dipaparkan
Hasil
6
Intervensi yang diberikan kepada subyek adalah teknik Cognitive Behavior Therapy
(CBT) dan Terapi Exposure untuk membantu subyek dalam mengatasi penyebab utama
terbentuknya kondisi fobia yaitu adanya distorsi kognitif terhadap stimulus fobia. Distorsi
kognitif yang ada pada subyek juga terjadi karena adanya proses traumatik yang dialami
subjek ketika masa kecil subjek. Adapun yang menjadi target dalam intervensi ini yaitu
untuk mengurangi timbulnya perasaan cemas dan perilaku menghindar yang muncul ketika
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa subyek
menunjukan perilaku cemas, histeris dan menghindar ketika melihat obyek fobianya.
Respon tersebut ditunjukan subyek meskipun dengan melihat gambar dari obyek fobianya.
Subyek juga menunjukan perilaku menghindar dan takut ketika berhadapan langsung
dengan ikan lele baik yang masih hidup ataupun yang sudah mati. Selain itu subyek juga
menunjukan respon gelisah dan jijik ketika diminta untuk menceritakan sisi positif dan
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa rasa takut subyek terhadap ikan lele
merupakan hasil dari peristiwa traumatik yang dialami subjek dimasa kecilnya. Yang mana
subjek terjatuh di kolam ikan lele tersebut dan tidak ada dari teman teman subjek yang
sanggup menolong subjek, sehingga subjek terjebak di kolam ikan lele cukup lama, hingga
Berdasarkan hasil tes grafis yang dilakukan, diketahui bahwa subyek memiliki
7
subjek memiliki sifat kurang tekun. Subyek juga memiliki dorongan yang besar
pada diri. Selain itu subyek cenderung memiliki emosi yang belum berkembang dengan
baik. Adanya keinginan untuk mendominasi. Subyek juga cenderung agresif dan merasa
diri kurang mampu tetapi mempunyai ambisi yang besar. Subyek dalam emosi cenderung
immature, sehingga subyek cenderung mudah frustasi dan tidak stabil dalam emosi.
Kemampan subyek dengan realitas baik, dan cenderung memiliki kemampuan adaptasi
yang baik. Selain itu subyek memiliki kemampuan sosial yang baik namun cenderung
menutup diri.
Subyek memiliki kecerdasan yang baik. Selain itu subyek mampu melakukan kontrol
objektif. Selain itu subyek juga memiliki ketergantungan pada dukungan yang menjadikan
diri subyek kurang berani dalam mengaktualisasikan dirinya. Subyek memiliki fantasi
yang kuat dan cenderung orientasi ke masa yang akan datang. Subyek memiliki hubungan
yang saling menghargai antar keluarga. Subyek juga cenderung lebih dekat dengan
ayahnya. Selain itu subyek memiliki kebutuhan kasih sayang dari ayahnya. Karena
peranan ayah sangat baik, subyek cenderung memiliki fungsi ibu dalam keluarga yang
kurang.
Berdasarkan hasil tes Wartegg yang dilakukan diketahui bahwa secara keseluruhan
dapat disimpulkan bahwa subyek mempunyai perangkat diri yang seimbang, konsentrasi
yang baik, penyesuaian pada lingkungan yang baik. Adanya perasaan untuk memegang
perasan, perasaan menguasai dirinya atau lemah lembut. Hubungan subyek dengan
lingkungan yang intensif. Selain itu subyek memiliki kontak dengan lingkungan yang
terkendali.
8
Subyek cenderung memiliki imajinasi dan intelektual yang baik. Cenderung
memperhatikan hal-hal yang kecl dan kurang penting. Penampilan dan kesesuaian secara
sosial subyek cenderung memiliki penyesuaian yang baik. Selain itu subyek memiliki
pandangna yang sehat terhadap kenyataan. Subyek memiliki imajinasi yang jelas dan
terang mengenai hal-hal di luar dirinya. Emosi dan aktivitas pada diri subyek cenderung
tinggi. Subyek berorientasi pada dunia luar dan mudah berhubungan dengan orang lain.
Subyek merupakan penggembira, easy going, dan bebas dari ketegangan yang
kurang. Perhatian minat subyek cenderung fluktuasi dan dangkal. Subyek adalah individu
Adapun intervensi yang diberikan yaitu berupa Cognitive Behavior Therapy (CBT)
serta Terapi Exposure. Pemberian teknik terapi exposure dilakukan dengan proses
gambar,video hingga ikan lele secara langsung dengan pemberian sugesti positif-realistis
serta relaxasi pernafasan dan coping response baru yang adaptif yang mampu
membantu subyek untuk membentuk conditioning positif terkait stimulus fobianya yaitu
menghadirkan stimulus fobia dengan sesuatu hal yang menenangkan atau positif. Sehingga
Intervensi yang dilakukan ini cukup dikatakan berhasil, karena subjek mampu
mengurangi tingkat fobianya. Perubahan positif yang terjadi pada klien adalah subjek
menjadi tidak histeris dan lari menghindar lagi ketika melihat objek ketakutannya, hal ini
9
karena subjek sudah sedikit mampu merubah pandangannya terhadap objek ketakutannya
tersebut.
untuk sembuh dari gangguan tersebut. Faktor penghambat selama proses intervensi adalah
proses intervensi tidak memiliki waktu yang lebih untuk menghilangkan fobia, dan klien
menghentikan tantangan lebih lanjut yang padahal sudah direncanakan oleh konselor.
Dalam pelaksanaannya, juga terdapat hal-hal yang sangat melenceng dari rancangan
yang sudah dibuat, misalnya dari waktu dan durasinya. Ini dikarenakan subjek sangat sibuk
dengan pekerjaannya, kuliahnya serta terbatasnya waktu yang dimilikinya. Adapun hasil
intervensi menunjukan beberapa perubahan terhadap gejala fobia spesifik pada subyek
Tabel 1
Hasil Intervensi
No Hasil Intervensi
10
Hanya dua sesi yang
dilakukan di laboraturium
individu.
2. Klien menghentikan
proses intervensi di
tengah jalan, karena
merasa sudah tidak
mampu melanjutkan.
b. Pendukung
1. Klien mempunyai
keinginan sembuh
sehingga klien mampu
untuk kooperatif.
3 Respon Klien terhadap 1. Sesi pertama klien
Intervensi menjelaskan bahwa
dirinya menjadi lebih
nyaman daripada
sebelumnya, karena sudah
lebih mgenal konselor.
2. Sesi kedua klien
mengungkapkan bahwa
sesi kedua ini cukup
membuat dirinya merasa
kurang nyaman dan
tegang, namun masih bisa
dia atasi, Di sini subjek
harus kembali mengingat
dan menceritakan
pengalaman traumatis
dirinya sehingga takut
terhadap objek tersebut.
3. Sesi ketiga klien
mengungkapkan bahwa
sesi ketiga ini masih
aman, karena subjek
hanya mengemukakakn
pendapat mengenai hal
positif tentang objek
ketakutannya saja.
4. Sesi keempat klien
mengungkapkan bahwa
sesi ini masih aman bangi
dirinya karena hanya
melihat gambar objek
ketakutannya, walaupun
begitu subjek merasa
11
kurang nyaman
5. Sesi kelima klien
mengungkapkan bahwa
sesi ini cukup berat
namun masih bisa diatasi
olehnya, walaupun begitu
subjek kurang nyaman
karena ada tantangan
untuk melihat video objek
ketakutannya.
6. Sesi keenam klien
mengungkapkan bahwa
sesi keenam ini terlalu
berat karena ada
tantangan melihat objek
ketakutannya secara nyata
dan itu sangat berat bagi
dirinya, sehingga subjek
merasa tidak nyaman.
7. Sesi ketujuh klien
mengungkapkan bahwa
sesi ketujuh ini
membuatnya cukup lega
karena sudah tidak ada
tantangan lagi dan sudah
selesai semua pertemuan.
4 Kesesuaian Prosedur Rancangan intervensi yang dibuat
oleh terapis dalam hal sesi sesuai
karena dilakukan 7 kali
pertemuan, namun terkait durasi
waktu per sesinya berbeda
dengan rencananya karena
tergolong hal yang kondisional .
Pada akhir sesi intervensi, dilakukan evaluasi hasil dengan melakukan wawancara
kepada subyek terkait perubahan yang dirasakan setelah mengikuti intervensi. Subyek
dapat merasakan perubahan terhadap dirinya ketika berhadapan dengan ikan lele dalam
wujud gambar, video, ataupun melihat secara langsung . Ketika subyek ditunjukan gambar,
video, ataupun ikan lele secara langsung, perilaku menghindar masih ditunjukan namun
12
subjek tidak menjerit secara histeris dan mampu mengontrol emosi subjek, dengan kata
lain subyek dapat menghadapi obyek fobianya secara adaptif, selain itu tingkat kecemasan
pada subyek juga mengalami penurunan yang ditunjukan dengan perasaan tenang pada
subyek ketika melihat ikan lele walaupun masih ada rasa takut. Hal ini menunjukan bahwa
intervensi CBT dan terapi exposure yang diberikan kepada subyek menunjukan
keberhasilan yang ditandai dengan perilaku subyek dalam menghadapi obyek fobianya
Diskusi
Peristiwa traumatik yang dialami subjek sejatinya terjadi belasan tahun yang lalu,
tepatnya ketika subjek menginjak umur 5-6 tahun, ketika itu subjek merasakan trauma
yang mendalam dikarenakan terjatuh di kolam ikan lele dan digigit hingga luka dan
berdarah. Pada akhirnya hingga saat ini subjek masih merasakan kecemasan, kepanikan,
kebingungan, kekhawatiran, jijik, keringat dingin, serta tubuh gemetar panik, ketika
melihat secara langsung ikan lele yang masih hidup ataupun mati, terlebih pada bagian
Berdasarkan hasil diagnosa dengan mengacu pada DSM V, diketahui bahwa subyek
mengalami gejala fobia spesifik. Fobia spesifik ditandai dengan adanya kecemasan
berlebih terhadap obyek dan munculnya perilaku menghindari obyek yang membuat
kecemasan. Selain itu, terdapat gejala pendukung yang perlu diperhatikan dalam
mendiagnosa fobia spesifik, yaitu: detak jantung yang berdebar, munculnya reaksi gemetar
(tremor) ketika berhadapan dengan obyek fobianya, lemas dan merasa tidak berdaya,
13
Dari ciri ciri diatas sejatinya mengkrucutkan pada satu kesimpulan gejala psikologis
yaitu spesifik phobia, yang mana Kriteria diagnostik specific phobia (dalam APA, 2000)
adalah:
1. Ketakutan yang menyolok dan menetap yang berlebihan dan tidak dapat dijelaskan,
disebabkan oleh objek atau situasi yang spesifik (seperti, terbang, ketinggian, hewan,
2. Stimulus fobik hampir selalu menyebabkan respon kecemasan atau serangan panik.
Catatan: pada anak, kecemasan ditunjukkan dengan menangis, tantrum, kaku atau
3. Menyadari ketakutannya berlebihan dan tidak dapat dijelaskan. Catatan: pada anak
secara signifikan dengan rutinitas orang normal, fungsi pekerjaan (pendidikan) atau
7. Kecemasan, serangan panik atau menghindari fobia dihubungkan dengan objek atau
situasi spesifik.
kognitif berlebihan dan self efficacy yang rendah saat berhadapan dengan stimulus
fobianya menurut pandangan kognitif), dan adanya gen tertentu yang berhubungan dengan
14
neurotisme yang membuat individu cenderung mengembangkan gangguan kecemasan
menurut pandangan biologis (Nevid, Rathus & Greene, 2005). Fobia juga dapat disebabkan
oleh beberapa faktor diantaranya peristiwa traumatis di masa lalu, pola pembelajaran yang
keliru, dan faktor kognitif dimana proses berfikir negatif seseorang menjadi penyebab
memicunya fobia.
menghindari sesuatu yang telah dikondisikan. Selain itu dapat melalui classical
conditioning yaitu seseorang dapat belajar untuk takut pada suatu stimulus netral, jika
stimulus tersebut dipasangkan dengan kejadian yang secara instrinsik menyakitkan atau
menakutkan. Terdapat juga modeling, yaitu seseorang dapat mengalami fobia sebagai
dengan meniru reaksi orang lain (modeling). Teori lain juga menjelaskan bahwa adanya
prepared learning, yaitu seseorang dapat memiliki ketakutan yang menetap setelah
pengalaman traumatis dengan objek fobia, seseorang tersebut akan merasa cemas akan
mengalami kejadian yang sama pada masa depan. Dapat dikatakan fobia tersebut terjadi
proses pengolahan informasi dan memodifikasi keyakinan atau pola pikir yang terdistorsi
pada individu sehingga individu dapat menciptakan keyakinan atau pola pikir yang adaptif
(Beck dalam Spiegler & Guevremont, 2003). Sedangkan dalam pendekatan behavioristik
15
pengembangan dari teknik desensitisasi sistematis umum (Goldfried dalam Spiegler &
Guevremont, 2010). Teknik ini bertujuan untuk memunculkan coping response pada
terhadap objek hewan yaitu ikan lele. Subyek mengalami fobia terhadap ikan lele yang
Pemberian teknik kognitif behavior dalam CBT bertujuan untuk membantu subyek
dalam mengatasi penyebab utama terbentuknya kondisi fobia yaitu adanya distorsi kognitif
terhadap stimulus fobia. Teknik ini dilakukan dengan cara memodifikasi pikirannya
dengan hal yang realistis, positif, dan rasional. Sehingga penyebab fobia dari sudut
pandang kognitif berhasil diatasi. Secara khusus, teknik CBT ini memberikan perubahan
pada diri subyek untuk dapat berpikir secara rasional terhadap objek fobia berupa gambar.
Kecemasan dan rasa takut subyek terhadap objek fobia yang telah terkondisi dari kecil
membuat subyek merasakan kecemasan ketika dihadapkan dengan objek fobianya secara
langsung dan tidak langsung. Subyek yang sebelumnya menghindar hingga teriak ketika
terapis mencoba untuk menunjukan gambar ikan lele, mengalami perubahan yaitu dapat
Teknik CBT dan terapi exposure yang dilakukan menyadarkan subyek untuk dapat
berfikir secara rasional. Subyek dapat menyadari bahwa gambar ataupun video ikan lele
yang ia lihat tidak memberikan bahaya secara langsung kepadanya. Rasa jijik dan geli
terhadap kepala ikan lele, serta ketakutan akan digigit oleh ikan lele tidak ia rasakan karena
objek fobia yang dihadapinya berupa gambar dan video. Subyek mengetahui bahwa
dengan melihat gambar ataupun video ikan lele, subyek tidak merasa ada bahaya pada
16
dirinya, sehingga subyek dapat lebih tenang untuk menghadapinya. Pemberian teknik CBT
dan exposure tidak hanya dapat membentuk pemikiran yang positif dan realistis terkait
kognitif yang kuat akibat kecenderungan neurotic pada subyek. Sehingga hal tersebut dapat
stimulus fobianya, yang mana hal tersebut dilatih melalui pemberian teknik terapi
exposure.
Berdasarkan perubahan yang dialami subyek, terdapat kekurangan yang ada pada
intervensi ini. Meskipun teknik CBT dan terapi exposure yang diberikan dapat membantu
subyek dalam berfikir realistis dan positif ketika berhadapan dengan objek fobianya.
Namun tetapi intervensi yang diberikan masih kurang dalam mengubah distorsi kognitif
subyek terhadap objek fobianya yang hadir secara langsung. Subyek tetap mengalami
kecemasan ketika berhadapan langsung dengan ikan lele. Hal ini dikarenakan adanya
proses operant conditioning berupa pengalaman di masa lalu yaitu adanya peristiwa
traumatis pada subyek yang membuat ketakutan dan cemas ketika melihat ikan lele secara
langsung. Terdapat konsekuensi negatif berupa rasa takut ketika melihat kepala ikan lele
sehingga membuat subyek kembali teringat akan peristiwa di masa lalu dimana subyek
ketika harus berhadapan langsung dengan objek fobianya. Hal tersebut menjadi
kekurangan dalam intervensi ini karena teknik CBT dan terapi exposure yang diberikan
hanya dapat membantu subyek untuk merubah kecemasan yang muncul ketika melihat
gambar ataupun video dari objek fobianya. Hal ini dikarenakan pemberian proses
17
intervensi terlalu singkar dan dengan jarak waktu yang padat sehingga hasilnya kurang
maximal .
Berdasarkan hasil intervensi yang didapat, sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya
yang dilakukan oleh Melianawati (2014) bahwa penerapan Cognitive Behavior Therapy
(CBT) dengan teknik coping desensitization efektif dalam mengurangi gejala fobia
spesifik. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan CBT membawa dampak positif terhadap
perubahan perilaku subyek menjadi lebih adaptif dan menurunkan gejala-gejala fobia
spesifik.
Kesimpulan
Cognitive Behaviour Theraphy (CBT) dan Terapi Exposure efektif dalam mengurangi
gejala fobia spesifik. Pada penelitian ini, setelah diberikan intervensi selama kurang lebih
mampu menghadapi stimulus fobianya secara adaptif. Hal tersebut dapat dilihat secara
nyata pada perubahan subyek berupa berkurangnya distorsi kognitif, perasaan cenderung
tenang, perilaku rileks dan tenang (tidak menghindar). Subyek juga dapat menilai dirinya
merasa cemas histeris dan tidak berani melihat gambar ataupun video ikan lele, namun
setelah mengikuti terapi menjadi lebih berani dan tidak histeris ketika melihat gambar,
yang dimiliki subyek selama intervensi. Sehingga durasi waktu intervensi dalam tiap
18
sesinya menjadi berkurang. Namun tetapi, penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai
prosedur dan seluruh sesi intervensi sebanyak 7 pertemuan dapat tercapai. Oleh karena itu
perlu adanya latihan dan pembiasaan untuk menerapkan coping response terhadap obyek
fobia di keseharian subyek. Sehingga subyek dapat membiasakan diri jika sewaktu-waktu
berada disituasi yang tidak siap dalam menghadapi obyek fobia. Selain itu pemahaman
tentang konsep diri positif perlu dipahami lebih dalam oleh subyek agar dapat
pertemuan, serta melakukan intervensi lanjutan setelah sesi intervensi selesai. Hal ini
DAFTAR PUSTAKA
Fitri fausiah & Julianti Widury. 2005. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Gersley, E. 2001. Phobias: Causes and treatments. Retrieved December 31, 2019, from
http://www.AllPsychJournal/phobia/phobias causes and treatments in
AllPsychJournal.htm
Martinm G. & Pear, J. 2005. Behavior Modification: What it is and how to do it. 8 th Ed.
New Jersey: Pearson Prentice Hall.
Melianawati. (2014). Penerapan CBT Pada Penderita Fobia Spesifik. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya. Vol.3, No.1.
Muslim Rudfi (Editor). 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta:PT Nuh Jaya.
Nevid, J.S., Rathus, S. A., & Greene, B. 2005. Psikologi Abnormal. Edisi Lima, Jilid Satu
19
(Murad, J., Basri, A. S., Ginanjar. A., Poerwandari, E. K., Saraswati, I., Musabia,
S., Nurwianti, F., Hutauruk, I. S., Fausiah, F., Oriza, D., Bintari, D. R., Pengalih
bhs.). Jakarta: Erlangga.
20