UAS

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

TIME AVAILABILITY : GAMBARAN FLOW EXPERIENCE PADA CASUAL

GAMERS

Mario Rizky Yuwono


Fakultas Psikologi, Universitas Ciputra. UC Town, Citraland, Surabaya, 60219
mrizky03@student.ciputra.ac.id

Abstract
Research about flow experience in game have been done many times to hardcore gamers subject (Brox, 2011;
Kuss, & Griffiths, 2012; Griffiths, Kuss, & King, 2012; Hull, Williams, & Griffiths, 2013). However, past
researchers still can’t find the definite description of flow experience in gaming (Nacke, & Lindley, 2009). There
have been many flow experience assessment methods in gaming but none have been acknowledged
internationally by researchers (Kivikangas, 2006). This made past researchers have difficulties to measure flow
experience in gaming. Qualitative phenomenological approach is used and three casual gamers of age 19 – 24
years old that resides in Surabaya have been interviewed. The research aims to find the description of flow
experience in casual gamers because the lack of comprehensive researches of flow experience in gaming and
with casual gamers subject. Researcher’s result found that the aspect of “time”, which been named “time
availability”, is one of the factors that lead casual gamers to experiencing flow. Researcher concluded that casual
gamers experiencing the same flow experience as hardcore gamers, that being said, factors that lead the gamer
to flow experience differentiate the casual gamers and the hardcore gamers.

Keywords: assessment methods, casual gamers, flow experience, gaming, hardcore gamers

Abstrak
Penelitian flow experience sering dilakukan pada konteks gaming pada subjek hardcore gamer (Brox, 2011;
Kuss, & Griffiths, 2012; Griffiths, Kuss, & King, 2012; Hull, Williams, & Griffiths, 2013). Tetapi, peneliti
terdahulu masih belum bisa menentukan gambaran jelas flow experience dalam konteks gaming (Nacke, &
Lindley, 2009). Kurang diterimanya metode pengukuran flow experience dalam konteks gaming oleh peneliti
peneliti internasional (Kivikangas, 2006) membuat para peneliti sulit untuk mengukur flow experience dalam
konteks gaming hingga saat ini. Penelitian kualitatif fenomenologis dilakukan kepada tiga casual gamers
berumur 19 – 24 tahun yang berdomisili di Surabaya dengan metode wawancara. Penelitian dilakukan untuk
mendapatkan gambaran flow experience pada casual gamers karena kurangnya penelitian komprehensif
mengenai flow experience pada konteks gaming dan pada subjek casual gamers. Peneliti mendapatkan hasil
bahwa aspek “time”, yang peneliti namakan “time availability”, adalah salah satu faktor yang mempengaruhi
casual gamers untuk mencapai flow experience. Peneliti menyimpulkan casual gamers merasakan flow
experience yang sama dengan hardcore gamers, akan tetapi faktor untuk mencapai flow experience membedakan
casual gamers dan hardcore gamers.

Kata Kunci: casual gamers, flow experience, gaming, hardcore gamers, metode pengukuran

1
Pendahuluan

Fenomena. Istilah klinis internet addiction dan excessive gaming (salah satu sub –

type dari internet addiction) (Block dalam Young, 2009), muncul sebagai salah satu dampak

buruk perkembangan gaming dan internet. Tidak mampu menyelesaikan masalah adalah salah

satu penyebab excessive gaming. Gaming menjadi kegiatan untuk mengurangi stress (Kelly

dalam Young, 2009) dan menjadi media pelarian bagi penggunanya seperti halnya dengan

adiksi alkohol dan obat (Leung dalam Young, 2009). Hal ini membuat resiko social

withdrawal menjadi tinggi karena ada kecenderungan menginvestasikan waktu lebih banyak

pada game daripada orang di sekitarnya dan tidak jarang membuat gamer susah membedakan

dunia nyata dan dunia maya (Young dalam Young 2009). Ada dua konsep psikologis yang

sering dijadikan fokus dalam meneliti adiksi gaming, yaitu : flow experience dan immersion

(Cowley, Charles, Black, Hickey, 2008; Nacke & Lindley, 2009; Hull, Williams, & Griffiths,

2013; Sun, Zhao, Jia, & Zheng, 2015). Peneliti mengambil fokus flow experience daripada

immersion karena flow experience berbicara mengenai motivasi internal sedangkan immersion

membicarkan faktor faktor game yang dapat menciptakan adiksi. Motivasi internal lebih

sesuai dengan hasil penelitian Young (2009) bahwa adanya rasa kesepian dunia nyata yang

dapat membuat gamer mencari pertemanan di dunia maya.

Penelitian Terdahulu. Flow experience pertama kali dikemukakan oleh

Csikszentmihalyi (1975) untuk mengetahui apa yang membuat seseorang lebih memilih

mendapatkan meaningful experience daripada material rewards. 40 tahun lebih peneliti

peneliti flow experience selama ini telah memunculkan banyak definisi mengenai flow

experience. Mulai dari suatu kondisi psikologis yang muncul saat adanya keseimbangan

antara personal skill dengan challenge (Csikszentmihalyi, 1975), hingga suatu kondisi saat

individu merasakan rasa puas tanpa adanya rasa bosan maupun kekhawatiran dalam

berkegiatan, serta adanya kelancaran dalam melakukan kegiatan tersebut (Takatalo,

2
Hakkinen, Kaistinen, & Nyman, 2010). Dan mayoritas peneliti flow experience pada konteks

gaming memilih gamer MMORPG, yang juga dikenal sebagai hardcore gamer, sebagai

subjek penelitian (Brox, 2011; Kuss, & Griffiths, 2012; Griffiths, Kuss, & King, 2012; Hull,

Williams, & Griffiths, 2013). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang yang adiksi

gaming adalah orang yang sedang mengalami flow experience (Ting-Jui & Chih-Chen dalam

Hull, Williams, & Griffiths, 2013)

Penelitian Terbaru. Di Indonesia, peneliti game fokus pada motif bermain game

online, agresivitas, dan prestasi akademik para gamer (Widyastusi, 2012; Ramadhani, 2013;

Saputra, 2015; Pratama, 2017). Penelitian flow experience fokus pada atlet olahraga seperti

softball, climbing, parkour (Setiawan, 2013; Azarine, & Yanuyianti, 2014; Erlanda, 2015).

Hasil hasil penelitian tersebut mengatakan sebagian besar subjek mengalami flow experience

yang dihasilkan oleh seimbangnya antara personal skill subjek dengan challenge dari aktifitas

yang dilakukan. Mulai dari subjek yang bukan seorang ahli maupun yang ahli dalam aktifitas

tersebut.

Masalah. Banyaknya penelitian mengenai flow experience masih belum bisa membuat

peneliti terdahulu untuk menggambarkan secara jelas apa itu flow experience secara umum

(Novak, Hoffman & Yung dalam Kivikangas, 2006), apalagi dalam konteks gaming karena

kurangnya penelitian komprehensif mengenai flow experience pada gamer (Nacke, &

Lindley, 2009). Hal ini dipersulit lagi dengan konsep immersion yang mirip dengan flow

experience. Masuknya indikator indikator flow experience dalam indikator indikator

immersion, yang mengimplikasikan flow experience dan immersion adalah dua hal yang

berkaitan atau sama (Fu, Su, & Yu, dalam Procci & Bowers, 2011) saat ada penelitian yang

menemukan flow experience dan immersion memiliki indikator berdiri sendiri (Borckmyer,

Fox, Curtiss, Mcbroom, Burkhart, & Pidruzny, 2009) membuat peneliti terdahulu sulit untuk

menegaskan konsep flow experience. Penelitian flow experience di Indonesia juga masih

3
belum bisa menjawab flow experience yang dialami para gamers dikarenakan apa yang

dihadapi oleh subjek atlet olahraga adalah hal yang nyata, sedangkan yang dihadapi oleh

seorang gamers adalah hal yang virtual. Hal tersebut memerlukan cara pengukuran yang

berbeda.

Faktanya, sudah banyak metode dan alat ukur yang dibuat secara spesifik untuk

penelitian flow experience dalam gaming, akan tetapi semua metode dan alat ukur tersebut

masih belum ada yang diterima karena sulitnya mengobservasi dan menilai suatu aktivitas

yang virtual (Kivikangas, 2006). Tidak adanya metode dan alat pengukuran flow experience

dalam konteks gaming secara spesifik membuat para peneliti sulit untuk mengukur flow

experience secara jelas dalam konteks gaming hingga saat ini. Inilah penyebab kenapa dalam

penelitian penelitian flow experience dalam konteks gaming, banyak peneliti menggunakan

flow state scale milik Jackson dan Marsh (1995) yang telah dimodifikasi sesuai dengan

peneliti masing masing. Walaupun telah dimodifikasi, peneliti peneliti terdahulu selama ini

masih belum bisa mengukur aspek “virtual” yang ada pada gaming. Terlebih lagi, penelitian

sering kali dilakukan dengan metode kuantitatif yang merupakan metode kurang tepat untuk

memahami dan menjelaskan suatu fenomena secara mendalam.

Kekurangan peneliti terdahulu ada pada ketidakmampuan dalam menjelaskan secara

komprehensif apa itu flow experience dalam konteks gaming, tidak adanya metode maupun

alat ukur spesifik untuk flow experience dalam konteks gaming, kurangnya variasi gamer, dan

kurang luasnya konteks game yang diteliti. Hal yang paling bisa dijelaskan dan muncul secara

konsisten dari banyak penelitian flow experience pada subjek yang berbeda beda adalah

keseimbangan antara personal skill dan challenge, dan karakteristik perasaan “lupa waktu” di

mana subjek merasa melakukan aktivitas dengan waktu sebentar yang nyatanya telah

menghabiskan waktu banyak saat melakukan aktivitas tersebut. Hasil yang peneliti dapat

melalui tiga casual gamers adalah meskipun casual gamers mencapai keseimbangan antara

4
personal skill dan challenge, karakteristik perasaan “lupa waktu” tidak muncul saat dalam

keadaan flow experience. Yang muncul adalah suatu faktor yang menjadi syarat subjek untuk

mencapai flow experience. Peneliti menamakan faktor tersebut “time availability”. Perbedaan

hasil yang peneliti dapatkan menegaskan kembali bahwa flow experience masih layak untuk

diteliti karena adanya variasi hasil yang dapat memperluas dan memperdalam konsep flow

experience itu sendiri.

Tujuan. Peneliti melakukan penelitian dalam lingkup flow experience pada gaming

dengan subjek “casual gamers” karena sedikitnya penelitian internasional maupun Indonesia

yang menggambarkan flow experience pada casual gamers. Dengan demikian, peneliti

merumuskan fokus pertanyaan peneltian “Bagaimana gambaran flow experience pada casual

gamers?”.

Metode Penelitian

Pendekatan. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis, penelitian

yang mendeskripsikan makna pengalaman mengenai suatu konsep atau fenomena yang

dialami masyarakat (Creswell, 1998). Walaupun penelitian game sering kali dilakukan dalam

pendekatan kuantitatif dan hasil dari pendekatan tersebut menunjukkan bahwa orang yang

adiksi gaming adalah orang yang sedang mengalami flow experience (Ting-Jui & Chih-Chen

dalam Hull, Williams, & Griffiths, 2013), flow experience hanya dijelaskan sebagai suatu hal

yang ada hubungan dengan fenomena adiksi gaming tanpa menjelaskan fenomena flow

experience yang dirasakan para gamer lebih lanjut. Hal ini disebabkan penelitian terdahulu

berfokus pada menjelaskan fenomena adiksi gaming. Oleh karena itu, pendekatan kualitatif

fenomenologis digunakan untuk menjelaskan flow experience yang dirasakan oleh gamer

lebih mendalam.

5
Partisipan Dan Lokasi. Peneliti mengambil tiga subjek mahasiswa berumur 19 – 24

tahun yang bermain game di bawah 36 jam per minggu dan berdomisili di Surabaya. Waktu

bermain tidak melebihi 36 jam per minggu adalah indikasi bahwa subjek bukan hardcore

gamer (Charlaton & Danforth, dalam Arnesen 2010). Ketiga subjek sudah mulai bermain

game saat mereka berada di TK atau SD dan waktu bermain yang dihabiskan setiap subjek

per hari adalah 1 – 3 jam. Subjek sering kali bermain game untuk mengisi waktu luangnya

dan tidak memprioritaskan bermain game di atas aktifitas lainnya seperti mengerjakan tugas

kuliah maupun kegiatan kampus. Game yang dimainkan subjek adalah game yang memiliki

limitasi waktu per babak permainan (tidak memerlukan waktu lama untuk diselesaikan) dan

berjenis strategi (menurut subjek).

Pelaksanaan Pengambilan Data Penelitian. Pada awal penelitian, peneliti

menggunakan studi literatur untuk memahami fenomena yang akan diteliti dan menentukan

kriteria subjek penelitian. Selanjutnya, pada tanggal 05 Oktober 2017 – 02 November 2017,

peneliti memilih subjek penelitian dan melakukan wawancara dengan mengajukan open-

question mengenai topik seperti Game-Related Story ( cth : “sejak kapan subjek bermain

game?”), Time Spent (cth : “berapa lama menghabiskan waktu saat bermain game?”, Game

Type (cth : “game apa yang menarik untuk dimainkan?”) , dan Gaming Experience (cth : “apa

saja yang dirasakan saat bermain game?”). Peneliti juga melakukan probing untuk menggali

data lebih dalam mengenai topik topik tersebut. Saat data wawancara sudah terkumpul,

peneliti melakukan analisis data dengan horizonalization,cluster of meaning, textural

description,dan structural description, sesuai dengan prosedur analisis data fenomenologis

(Creswell, 1998). Horizonalization adalah saat peneliti menganalisa data dengan

mengumpulkan kutipan kutipan wawancara yang relevan dengan fokus penelitian. Cluster of

meaning adalah saat peneliti mengumpulkan kutipan kutipan hasil horizonalization sesuai

dengan tema tema yang muncul. Textural description adalah saat peneliti mendeskripsikan

6
pengalaman subjek penelitian dari hasil cluster of meaning. Structural description adalah saat

peneliti menjelaskan bagaimana pengalaman tersebut diinterpretasi oleh subjek penelitian dari

hasil textural description.

Hasil

Untuk mencapai flow experience, ada tahapan yang harus dilalui oleh subjek. Peneliti

menamainya tahap “Flow Process/Limited Play Requisition”, “Flow Process”, dan “Flow

Experience”. Tahap paling awal adalah “Flow Process/Limited Play Requisition”,

dilanjutkan dengan tahap “Flow Process”, dan diakhiri dengan tahap “Flow Experience”.

Flow Process/Limited Play Requisition. Dalam tahap ini, ada faktor faktor yang bisa

membuat dan menghambat subjek untuk mencapai flow process. Faktor tersebut adalah

ketersediaan waktu (time availability) dan tingkat kesulitan game (game difficulty). Secara

definisi, focus mind (salah satu indikator time availability), dan challenging difficulty (salah

satu indikator game difficulty) mempunyai kesamaan dengan focused concentration dan

balance of challenge yang dikemukakan oleh Nakamura dan Csikszentmilhalyi (2009)

Time Availability. Sebelum bermain game, subjek akan melihat apakah ada waktu

yang tersedia untuk bermain game. Jika subjek merasa mempunyai waktu sedikit, subjek akan

melihat lihat waktu bermainnya (time watchfullness). Jika subjek merasa mempunyai waktu

yang cukup, subjek tidak akan memperdulikan waktu bermainnya (time neglection). Berikut

kutipan wawancara yang mewakili penjelasan peneliti :

“gini kan pasti mikirin waktu makanya pas mau udah kerasa lama nih udah kebanyakan main

yaa berhenti si soalnya kan harus melakukan aktifitas yang lain” (Ezra).

“Yaaa karena kalaupun misalkan pernah lupa waktu mungkin gak terlalu kelihatan juga ya,

karena mainnya itu rata-rata malem, jadi kayak.....aaaaa...emang udah di waktu yang luang

7
banget gitu lo, sudah di Free Time. Mainnya itu sudah di Free Time jadi kalaupun lupa waktu

mungkin gak kerasa ya, karena emang abis itu sudah gak ada schedule, sudah gak ada

batasan lagi, kalaupun terjadi. Tapi sejauh ini menurutku nggak terjadi sih” (Solomon)

Waktu yang sedikit mengindikasikan bahwa ada waktu yang digunakan aktifitas

lainnya, hal ini membuat subjek dalam kondisi time watchfullness agar waktu bermain tidak

menggunakan waktu aktifitas tersebut. Saat memikirkan waktu dan aktifitas lainnya, perhatian

subjek tidak hanya pada gamenya saja (divided mind), hal ini membuat subjek tidak bisa

bermain dengan leluasa (limited play). Waktu yang cukup mengindikasikan bahwa tidak ada

waktu yang digunakan untuk aktifitas lainnya, hal ini membuat subjek dalam kondisi time

neglection karena cukupnya waktu untuk bermain game tanpa memikirkan waktu dan aktifitas

lainnya. Hal ini membuat subjek bisa memfokuskan perhatiannya ke game saja (focus mind).

Game Difficulty. Saat bermain game, subjek bisa mendapatkan tingkat kesulitan yang

bervariasi. Mulai dari yang mudah (plain difficulty), yang susah (ardous difficulty), dan yang

menantang (challenging difficulty). Berikut kutipan wawancara yang mewakili penjelasan

peneliti :

“interaksinya orang lain itu juga pas kita main di player seorang online gitu jadi aku juga

ngeluarin kartu wujudnya juga ngeluarin wujudnya berbanding gitu biar fokus mainnya jadi

harus nyerang bertahan nyerang bertahan jadi kalo ya gak boleh ke mana mana pikiran kita,

kalo kalah kan” (Ezra)

“Tapi...jadi kemarin itu ceritanya gini, aku kan sudah ngalahin temen ku yang tadi aku

ceritain ngasih tahu ke aku, yang 75 itu...itu ternyata aku udah ...kok gampang yaa aku sudah

sampek titik 90 an gitu...cuman segini doang?” (Tomba)

“kadang kayak levelnya kayak udah terlalu tinggi, sampai kayak gampang gampang

gampang, gitu biasanya, yang kedua sudah level game nya yang terlalu tinggi sampai kalah
8
kalah terus, biasanya kayak gitu sih, itu yang bikin bosen kayak anggepannya ya kondisinya

stuck di situ-situ saja gitu lo.” (Solomon)

Saat subjek memainkan game dengan plain difficulty terus menerus, subjek akan

merasa kebosanan (dullness) karena subjek mencapai kemenangan tanpa usaha banyak. Hal

ini menyebabkan subjek berhenti bermain karena tidak ada hal yang menantang dirinya

(limited play). Saat subjek memainkan game dengan ardous difficulty terus menerus, subjek

menjadi frustasi dan tidak semangat untuk bermain (demoralized). Hal ini dikarenakan subjek

tidak bisa mengatasi tantangan yang diberikan yang membuat subjek merasa tidak bisa

mencapai kemenangan. Akhirnya, subjek merasa tidak ada gunanya untuk melanjutkan

gamenya karena hal tersebut adalah hal yang sia sia (limited play). Saat subjek memainkan

game dengan challenging difficulty, subjek akan merancang berbagai macam strategi untuk

mencapai kemenangan (devising victory) karena tingkat kesulitan game yang cocok untuk

subjek. Game tidak terlalu mudah untuk dimenangkan, tetapi di satu sisi lain game juga

memberikan tantangan yang bisa diatasi oleh subjek. Kondisi devising victory dapat

menciptakan focus mind pada subjek, begitu juga sebaliknya. Saat subjek merancang strategi,

subjek tidak boleh memikirkan apa apa selain gamenya dan saat subjek sedang fokus bermain

maka seiring berjalannya waktu subjek akan merancang strategi untuk mengatasi tantangan

yang ada. Dengan adanya kondisi focus mind dan devising victory, subjek mulai memasuki

tahap “Flow Process”.

Flow Process. Dalam tahap ini, subjek mengalami hal seperti persaingan

(competitive), menciptakan tujuan spesifik yang jelas dan cara mencapainya (definitive

objective), dan mengetahui dengan jelas apa yang harus dilakukan saat bermain (action

clarity). Secara definisi, definitive objective dan action clarity mempunyai kesamaan dengan

clear goals dan merging of action and awareness yang dikemukakan oleh Nakamura dan

Csikszentmilhalyi (2009).

9
Tahap ini diawali oleh munculnya kondisi competitive dalam diri subjek. Berikut

kutipan wawancara yang mewakili penjelasan peneliti :

“Cara ngehandlenya yaaa kalau yang BBTAN itu yaaa...gimana caranya, jadi sekarang aku

sudah punya spear, ketika kotak ini sudah ada di 3 titik sebelum garis akhir, itu aku sudah

harusngabisin yang disitu, yang di 3 titik terbawah. Itu sudah harus aku abisin sebelum dia

nyentuh bawah, kalau dia diatasnya itu baru aku bisa ngabisin yang diatasnya mereka, nah

buat eigtballpool aku ngakalin sih, jadi aku kalau main bawa penggaris atau benang, kan

disitu ada garisnya.... “ (Tomba)

“Biasanya sih lebih ditekan, karena kan anggepannya kalau aku bisa ngeluarin kartu yang

lebih banyak, berarti lawan ku juga bisa ngeluarin kartu yang lebih banyak juga, karena kan

sepadan toh waktunya. Jadi anggepannya eliksirku naik 2x lipat, tapi eliksirnya lawan juga

naik 2x lipat. Jadi aku bisa ngeluarin kartu dengan eliksir yang lebih besar lebih cepat,

lawanku juga bisa kayak gitu, jadi kadang....aaaaa.... kayak lebih terpacu saja sih buat main,

karena tinggal satu menit anggepannya” (Solomon)

Proses diawali dengan subjek mengalami kondisi competitive di mana saat bermain,

subjek merasakan adanya persaingan yang nyata dari lawannya dan adanya keinginan untuk

mengalahkan lawan yang lebih dari biasanya. Semakin lama subjek merasa competitive,

subjek mulai menciptakan definitive goals untuk mengatasi lawannya. Seiring berjalannya

waktu permainan, subjek mengetahui pola bermain lawan dan mengetahui celah permainan

lawan yang membuat subjek mencapai kondisi action clarity untuk mengeksekusi definitive

goals tersebut. Dengan adanya kondisi action clarity, subjek mulai memasuki tahap flow

experience.

Flow Experience. Dalam tahap ini, subjek akan merasakan hal hal seperti perasaan

berkembang (growth), perasaan puas atas kemenangan (triumph), dan perasaan seru (ecstatic).

10
Secara definisi, triumph dan ecstatic mempunyai kesamaan definisi dengan sense of control

dan autotelic experience yang dikemukakan oleh Nakamura dan Csikszentmilhalyi (2009)

Dari kondisi action clarity, subjek bisa merasakan perasaan growth dan/atau triumph.

Berikut kutipan wawancara yang mewakili penjelasan peneliti :

“karena kan kalau strategi itu emm apa yaa ? ya untuk berfikir itu yaa jadi sekedar nggak

simpel banget kalau bermain yak gini bisa apa yaa istilahnya melatih, gak melatih si,

pokoknya aku seneng kayak yang mengasah otak itu yaa permainannya” (Ezra)

“buat serunya itu ini jadi kan kita one on one yah, satu lawan satu dan online, jadi ketika aku

bisa menangin game itu kaya aku dapet aaaa..... asik nih bisa menang gini gini, akhirnya

ketika emang ada waktu aku bisa main lagi.“ (Tomba)

“Apa yaa..... yang menarik dari Clash Royale itu dia mungkin ada sistem ininya, ada sistem

rangking nya, terus kamu bakalan naik rangkin kalau kamu udah menang crawl berapa gitu

kan misalkan, terus nanti di level yang beda itu kamu bisa dapet kartu yang beda, jadi nanti

anggepannya deck mu bisa terus di expand, bisa terus berubah kayak gitu sih” (Solomon)

Perasaan triumph dirasakan oleh subjek saat subjek tahu dengan jelas dia akan menang

atas lawannya. Ini membuat subjek semakin baik dalam bermain dan saat subjek menang,

subjek merasakan kepuasaan atas kemenangannya tersebut dan akhirnya merasa ecstatic.. Hal

ini bisa dirasakan oleh subjek saat subjek tahu dia akan menang hingga subjek menang atas

lawannya. Perasaan growth dirasakan oleh subjek saat mendapatkan tantangan dia rasa dapat

mengembangkan kemampuan bermainnya yang akhirnya membuat subjek merasa ecstatic.

Hal ini bisa dirasakan oleh subjek dari awal permainan hingga tidak ada lagi tantangan dapat

mengembangkan kemampuan bermainnya. Subjek yang sudah merasakan flow experience

akan ingin bermain game kembali (re-play) untuk merasakan kembali semua perasaan yang

ada pada flow experience.


11
Diskusi

Peneliti menemukan bahwa aspek “waktu” berupa “time availability” mempunyai

kedudukan sebagai salah satu faktor untuk mencapai flow experience, berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Csikszentmilhalyi (1975) dan Wood, Griffiths, dan Parker

(dalam Hull, Williams & Griffiths, 2013) di mana aspek “waktu” berupa “loss of time”

mempunyai kedudukan pada proses flow experience. Peneliti juga menemukan bahwa salah

satu indikator “time availability” berupa focus mind mempunyai kesamaan dan perbedaan

dengan focused concentration dari Nakamura dan Csikszentmihalyi (2009). Kesamaan ada

pada ketika subjek subjek penelitian flow experience mendapatkan suatu challenge, maka

mereka akan memfokuskan diri untuk bisa mengatasi challenge tersebut. Akan tetapi focus

mind pada casual gamer juga muncul pada saat casual gamer merasa bahwa waktu bermain

mereka cukup sedangkan hardcore gamer bisa memfokuskan diri dari challenge dari game

maupun dirinya sendiri.. Peneliti percaya bahwa perbedaan ini terjadi dikarenakan casual

gamers adalah seorang gamer yang tidak mendidikasikan waktu banyak untuk bermain game.

Casual gamer tidak bisa memfokuskan dirinya karena ada hal lain yang perlu dikerjakan dan

hal tersebut memerlukan waktu tidak seperti hardcore gamer yang memang mendedikasikan

sebagian besar waktunya untuk bermain game. Oleh karena itu aspek “waktu” seperti

perasaan lupa akan waktu dan bermain hanya sebentar saja bukanlah hal yang penting untuk

mereka pikirkan maupun rasakan karena dari awal casual gamers sudah memperhitung waktu

bermainnya.

Peneliti menemukan bahwa salah satu indikator “game difficulty” berupa challenging

difficulty yang membuat casual gamers bisa mencapai flow experience, sesuai dengan

penelitian Liu dan Chang (2012) yang mengatakan “challenge” adalah hal penting bagi

gamer untuk mencapai flow experience. Challenge yang ideal untuk mencapai keadaan flow

experience adalah saat terjadinya keseimbangan antara gamer skill dan game difficulty. Dari

12
sini gamers pun melihat adanya kesempatan untuk mengatasi challenge yang diberikan.

Peneliti percaya bahwa hal ini terjadi karena suatu game pasti memberikan suatu challenge.

Dan jika game memberikan game difficulty yang sesuai dengan personal skill, maka hasilnya

akan selalu mengarah pada flow experience tanpa membedakan jenis game, tipe gamer,

bahkan kegiatan, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Partington, Partington, dan

Olivier (2009) yang mempunyai subjek seorang surfer yang merasakan “challenge” saat

sedang melawan ombak laut.

Hasil penemuan peneliti mengatakan bahwa casual gamers pada saat dalam keadaan

flow experience akan merasakan hal seperti growth, yang mempertegas apa yang

Csikszentmihalyi (1975) dan Cowley, Charles, Black, dan Hickey (2008) katakan bahwa

seseorang yang berada dalam keadaan flow experience akan merasakan hal seperti self-

improvement. Peneliti percaya bahwa saat seseorang mendapatkan “challenge” yang ideal

dari suatu kegiatan, maka ada suatu kesempatan di mana seseorang dapat mengembangkan

kemampuan pada kegiatan tersebut karena adanya rasa kepercayaan diri dapat mengatasi

“challenge” tersebut dengan usaha yang berarti. Dan kegiatan apapun itu, jika hal tersebut

memberikan “challenge” yang ideal bagi pelakunya, maka kesempatan untuk berkembang

akan selalu ada.

Dari hasil hasil yang peneliti dapatkan, peneliti percaya bahwa flow experience pada

casual gamer adalah keadaan di mana casual gamer tidak memperdulikan waktu dan fokus

akan tantangan yang diberikan oleh game. Dari tantangan tersebut, casual gamer akan

menjadi lebih kompetitif dan mulai mengetahui dengan jelas apa yang harus dicapai untuk

mengatasi tantangan tersebut. Pada akhirnya casual gamer akan merasa berkembangnya

kemampuan bermain, merasa puas atas kemenangan kemenangan, dan perasaan seru yang

membuat casual gamer mempunyai keinginan bermain kembali untuk merasakan hal hal

tersebut.

13
Simpulan

Berdasarkan apa yang telah peneliti dapatkan, kesimpulan yang bisa diambil adalah

kegiatan apapun itu, jika kegiatan tersebut memberikan suatu tantangan yang berarti bagi

pelakunya, hal tersebut akan membuat para pelaku tersebut menuju flow experience yang

sama. Yang membedakan casual gamers dengan subjek lainnya adalah faktor faktor untuk

menuju flow experience tersebut.

Daftar Pustaka

Arnesen, A. A. (2010). Video game addiction among young adults in norway: Prevelance and
health. (Masterthesis). Bergen : Departement of Psychology, University of Bergen.
Azarine, D. D., & Yanuvianti, M. (2014). Studi deskriptif mengenai pengalaman flow pada
atlet olahraga climbing di skygers bandung. Prosiding Penelitian Sivitas Akademika
Unisba (Sosial dan Humaniora), 324 – 332.
Brockmyer, J. H., Fox, C. M., Curtiss, K. A., McBroom, E., Burkhart, K. M., & Pidruzny, J.
N. (2009). The development of the game engagement questionnaire: A measure of
engagement in video game-playing. Journal of Experimental Social Psychology, 45(4),
624–634.
Brox, R. (2011). The influence of social factors on gaming behaviour. (Bachelorthesis).
Enschede : Department of Mental Health Promotion, University of Twente.
Cowley, B., Charles, D., Black, M., & Hickey, R. (2008). Toward an understanding of flow in
video games. Computers in Entertainment, 6(2), 1-7.
Creswell, J. W. (1998). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
traditions. London: Thousand Oaks.
Csikszentmihalyi, M. (1975). Beyond boredom and anxiety. San Francisco: Jossey Bass.
Erlanda, M. D. (2015). Studi deskriptif mengenai pengalaman flow dalam olahraga parkour:
Penelitian pada praktisi senior komunitas parkour bandung. (Thesis). Bandung :
Universitas Islam Bandung.
Griffiths, M. D., Kuss, D. J., & King, D. L. (2012). Video game addiction: Past, present, and
future. Current Psychiatry Reviews, 8 (4), 1 – 11.
Hull, D. C., Williams, G. A., & Griffiths, M. D. (2013). Video game characteristics,
happiness and flow as predictors of addiction among video game player : A pilot study.
Journal of Behavioural Addiction, 2(3), 145 – 152. doi: 10.1556/JBA.2.2013.005
Jackson, S. A., & Marsh, H. W. (1995). Development and validation of a scale to measure
optimal experience: The flow state scale. Journal of Sport and Exercise Psychology, 18,
17-35.

14
Kivikangas, J. M. (2006). Psychophysiology of flow experience: An explorative study.
(Thesis). University of Helsinki: Department of Psychology
Kuss, D. J., & Griffiths, M. D. (2012). Internet gaming addiction: A systematic review of
empirical research. International Journal of Mental Health Addiction, 10(2), 278-296.
Nacke, L. E., & Lindley, C. A. (2009). Affective ludology, flow, and immersion in a first-
person shooter: Measurement of player experience. The Journal of the Canadian Game
Studies Association, 3(5), 1-20.
Nakamura, J., & Csikszentmihalyi, M. (2009). The concept of flow. In Snyder, C. R., &
Lopez, S. J. (Ed.). Oxford handbook of positive psychology. Oxford University Press,
USA. 89-105.
Partington, S., Partington, E., & Olivier, S. (2009). The darkside of flow: A qualitative study
of dependence in big wave surfing. The Sport Psychologist, 23, 170 – 185.
Pratama, A. S. P. (2017). Hubungan kecanduan bermain game online pada smartphone
(mobile online games) terhadap prestasi akademik mahasiswa angkatan 2013 fakultas
kedokteran universitas lampung. (Skripsi). Bandarlampung : Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung.
Procci, K., & Bowers, C. A. (2011). An examination of flow and immersion in games.
(Conference paper). Proceedings of the Human Factors and Ergonomics Society Annual
Meeting, 55, 2183 - 2187. doi: 10.1177/1071181311551455
Ramadhani, A. (2013). Hubungan motif bermain game online dengan perilaku agresivitas
remaja awal (studi kasus di warnet zerowings, kandela, dan mutant di samarinda).
Ejournal Ilmu Komunikasi, 1(1), 136-158.
Saputra, W. (2015). Motif pengguna internet bermain game online di warnet infinity kota
samarinda. Ejournal Ilmu Komunikasi, 3(3), 402-413.
Setiawan, T. N. (2014). Studi deskriptif mengenai pengalaman flow pemain softball yang
menjadi semifinalis pada kejuaraan partha cup di yogyakarta tahun 2013. (Thesis).
Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Sun, Y., Zhao, Y., Jia, S., & Zheng, D. (2015). Understanding the antecedents of mobile
games addiction : The roles of perceived visibility, perceived enjoyment and flow.
National Natural Science Foundation of China and Hubei Province Science and
Technology Support Program. 1-12.
Takatalo, J., Hakkinen J., Kaistinen, J., & Nyman, G. (2010). Presence, involvement, and
flow in digital games. In R. Bernhaupt (ed.), Evaluating User Experience in Games,
Human-Computer Interaction Series, doi : 10.1007/978-1-84882-963-3_3
Widyastuti, F. S. (2012). Kecanduan mahasiswa terhadap game online (studi tentang
kebiasaan mahasiswa bermain game online di seturan sleman). (Skripsi). Fakultas Ilmu
Sosial Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Young, K. (2009). Understanding online gaming addiction and treatment issues for
adolescents. The American Jurnal of Family Therapy, 37, 355-372.

15

You might also like