Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN

LAUT BERBASIS KEMAKMURAN RAKYAT

JURNAL

Oleh :
Maksi Nomlene
NIM : 116010100111024

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
REKONSTRUKSI POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN
LAUT BERBASIS KEMAKMURAN RAKYAT

Maksi Nomlene,1 Isrok,2 Dhiana Puspitawati,3

Program Studi Magister Ilmu Hukum


Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Jl. MT. Haryono, Gang 4. Nomor 146 - Kota Malang.

Email: maxi_nomlene@yahoo.com

Abstract

Fishery resources of the ocean is one the gift that giving of almighty
God.The district waters of the ocean which be part of sovereignty of Unitery of
Republic Indonesia was 3.1 million km2 in the territorial waters of the vast ocean
that contained with fisheries potential is very abundant , In a constitutional the
state which is given authority as organization all of citisens to realize the goal of
the management and utilization of natural resources of Indonesia, including the
fishery potential resources . The purpose of the establishment of Indonesia state
is to bring advanced life, fair, and wealth of citizens, which is one of the
fundamental objectives that have been constructed by the Founding Fathers in the
preamble of the Constitution of Republic Indonesia 1945. To bring into reality the
truly management of ocean fishery for wealth of citizens, so that the affirmatively
and detailed of legal policy is needed. The purpose of the writing is to analyze
and to know why the legal policy of the fishery management often ignore the
principle of wealth citizens to analyze and to find out what the management of
fishery legal policy juridical often disregard the wealth citizens. The result of this
research is to getting the answer for the problem the realization of the raised. The
juridical implication that happened is not yet only inconsistency to article 33
section (3) 1945 constitution of Republic Indonesia as the biggest law but also
implication to achieve the management of ocean fishery aim to wealth of citizens.
Key words: reconstruction, legal policy, management of ocean fishery based on
wealth of citizens

1
Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
2
Dosen Pembimbing I, Dosen Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.
3
Dosen Pembimbing II, Dosen Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya Malang.

1
Abstrak

Sumber daya perikanan laut merupakan karunia Tuhan Yang Maha Kuasa.
Wilayah perairan laut yang menjadi bagian dari kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah 3,1 juta km², di dalam wilayah perairan laut yang luas
tersebut terkandung potensi perikanan laut yang sangat melimpah, yang
seyogianya dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, baik untuk
kepentingan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Tujuan dibentuknya negara
Indonesia adalah mewujudkan kehidupan yang maju, adil, makmur dan sejahterah
bagi seluruh rakyat, itulah salah satu tujuan fundamental yang telah
dikonstruksikan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Diperlukan politik hukum yang jelas, tegas dan
terperinci. Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis
mengapa politik hukum pengelolaan perikanan laut cenderung mengabaikan
prinsip kemakmuran rakyat, untuk menemukan dan menganalisis apa implikasi
yuridis dari politik hukum pengelolaan perikanan yang cenderung mengabaikan
prinsip kemakmuran rakyat, untuk menganalisis dan menemukan rekonstruksi
politik hukum pengelolaan perikanan yang benar-benar berbasis kemakmuran
rakyat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif,
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Hasil
penelitian diperoleh jawaban terhadap permasalahan yang diangkat. Hakekat
politik hukum pengelolaan perikanan dilatarbelakangi oleh adanya hak menguasai
oleh negara atas sumber daya alam Indonesia, namun aktualisasi hak menguasai
oleh negara dalam substansi Undang-Undang Perikanan yang ada sekarang belum
dilakukan secara utuh. Implikasi yuridis yang terjadi adalah selain terjadi
inkonsistensi terhadap Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum
tertinggi.
Kata kunci: rekonstruksi, politik hukum, pengelolaan perikanan laut, berbasis
kemakmuran rakyat

Latar Belakang
Sumber daya perikanan laut merupakan anugerah Tuhan Yang maha Esa
yang seyogianya disyukuri oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. Wujud
syukur tersebut beragam jenisnya, misalnya saja dengan cara mengelola dan
sekaligus melestarikan keberadaannya sehingga sumber daya perikanan laut yang
tersedia dalam wilayah perairan laut Negara Kesatuan Republik Indonesia, selain
memberi kemanfaatan untuk generasi sekarang juga untuk generasi dimasa akan
datang (young generation).
Sebagai salah satu sumber daya alam yang terdapat dalam wilayah
kedaulatan negara Indonesia, maka sumber daya perikanan laut tidak dapat
dilepaskan dari hak penguasaan oleh negara sebagai organisasi tertinggi dari
bangsa Indonesia, dan hak penguasaan oleh negara tersebut diperoleh melalui
mandat dari seluruh rakyat Indonesia. Sebagai negara yang berdaulat, maka
Indonesia juga memiliki tujuan-tujuan yang bersifat prinsip/fundamental dalam
rangka memenuhi segala kewajibannya sebagai sebuah bangsa merdeka di dunia,
sebagaimana ditemukan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang pada pokonya dinyatakan bahwa
tujuan pembentukan Pemerintahan negara Indonesia adalah “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia serta untuk mewujudkan keadilan sosial”.4
Tujuan negara Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD NRI
Tahun 1945, selanjutnya di atur lebih lanjut dalam bentuk Pasal-pasal UUD NRI
Tahun 1945 yang kemudian dikenal sebagai norma dasar/fundamental negara
(staatsfun-damentalnorm).
Mengenai sumber daya alam dapat ditemukan dalam Pasal 33 ayat (3)
yang dinyatakan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”5.
Frasa “dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”, kemudian menjadi frasa yang bersifat doktrinal, sekaligus
menjadi dasar filosofis dan yuridis dalam kaitan dengan pengelolaan sumber daya
alam yang terkandung di dalam wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, baik yang terkandung di darat maupun di laut dan yang ada di
dalamnya di seluruh wilayah Nusantara.
Hak penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, mengandung makna bahwa

4
Lidat Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dimana tujuan negara Indonesia telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa (The
Founding Fathers) Indonesia, sejak tahun 1945 dan tujuan negara itu menjadi wajib untuk
diwujudkan oleh negara Indonesia sebagai organisasi tertinggi dari bangsa Indonesia dengan cara
memdayagunakan seluruh potensi sumber daya alam yang tersedia dalam wilayah kedaulatan
Indonesia.
5
Lihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menguraikan tentang
penguasaan oleh negara atas semua sumber daya alam Indonesia, untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (kepemilikan secara kolektif) sebagai bangsa, dan bukan untuk tujuan
kepemilikan secara individu atau orang-perorang.
kemakmuran rakyatlah yang menjadi prinsip utama yaitu kemakmuran yang
bersifat kolektifisme dan bukan sebaliknya kemakmuran yang ditujukan pada
orang-seorang atau bersifat individu.
Sebagai norma dasar/fundamental dalam tata hukum/perundang-undangan
negara Indonesia, maka sepatutnya setiap undang-undang terkait harus tetap
merujuk pada poin-poin dasar yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945, baik itu sebagai konsideran menimbang maupun pada pengaturan
yang bersifat substansial dari undang-undang tersebut. Hal ini menjadi suatu
kewajiban, yang mesti dilakukan oleh para pembentuk undang-undang, karena
Indonesia juga menganut prinsip tata urutan perundang-undangan yaitu bahwa
setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang derajat keberadaannya lebih tinggi dari undang-undang
itu.
Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat banyak undang-undang di negara kita
yang menjadikan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 sebagai konsideran
“mengingat”. Akan tetapi, jika dibangdingkan dengan substansi yang diatur di
dalam undang-undang itu, maka materi Pasal 33 dan Pasal 34 dalam berbagai
undang-undang yang terkait dengan sumber daya alam dan perekonomian hanya
bersifat formalistis atau proforma.6
Pendapat diatas merupakan suatu realita yang sulit dibantah, karena hingga
sekarang masih terdapat berbagai undang-undang yang terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam yang bersifat inkonsisten terutama dengan Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mahkamah konstitusi merupakan salah satu lembaga konstitusional yang
lahir pada masa reformasi yang merupakan salah satu lembaga pelaksanaan
kekuasaan kehakiman, yang diatur dalam amandemen UUD NRI Tahun 1945
khusunya Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi”
6
Jimly Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2010, hlm.
Pengantar VIII.
Mahkamah Konstitusi memiliki fungsi dan kewenangan sebagai berikut:
1. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai lembaga pengawal atau
penjaga konstitusi (the guardian of the constitution);7
2. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai lembaga penafsir tunggal
konstitusi (the sole interpreter of the constitution);8
3. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the
guardian of democracy);
4. Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai pelindung hak konstitusional
warga negara (the protector of citizen’s constitutional rights) dan
pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).9
Salah satu putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 33 ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 dapat dilihat melalui Putusan Nomor 001-021-002/PPU-
I/2003, yang memuat tafsir atas frasa “dikuasai oleh negara”:
“Perkataan ’dikuasai oleh negara’ haruslah diartikan mencakup makna
makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan berasal dari
konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, termasuk pula di dalamnya
pengertian kepemilikan publik oleh kolektifitas rakyat atas sumber kekayaan
dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD NRI Tahun 1945
yaitu memberikan mandate kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid),
dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan
(beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.”10
Makna penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 bukan semata-mata pemilikan, karena konsep pemilikan hanya dikenal
dalam hukum perdata sedangkan konsep penguasaan adalah harus dipahami dalam

7
Abdul Mukthie Fadjar, Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal Dan Penafsir
Konstutusi: Masalah dan Tantangan, dalam Konstitusionalisme Demokrasi, in-TRANS
Publishing, Malang, 2010, hlm. 1.
8
Ibid.
9
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Cetakan Ke-9, Nopember, Jakarta, 2009, hlm. vi.
10
Lihat Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-002/PPU-I/2003, Atas
Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan.
konteks hukum tata negara. Menurut Ahmad Redi11, Yang terpenting dalam
penguasaan oleh negara itu adalah menentukan bagaimana kebijakan mengenai
teknis penguasaan yang tergantung kepada komoditinya. Berikutnya adalah
bagaimana cara menguasai itu sendiri yaitu misalnya pemilikan, pemilikian adalah
salah satu bentuk penguasaan, tetapi tidak harus 100%, bisa saja 25% jika 25%
tersebut berada pada posisi menguasai.
Denga demikian, maka penguasaan negara tidak dapat dilepaskan dari
pemilikan oleh negara, misalnya investasi dalam sektor pengelolaan perikanan
yang pada intinya bertujuan untuk menambah devisa negara dari potensi
perikanan laut untuk tujuan pembangunan bangsa Indonesia untuk mewujudkan
kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Fungsi pengelolaan
(beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding)
atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara
atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrument kelembagaan melalui mana
negara c.q Pemerintah untuk mendayagunakan penguasaannya atas sumber-
sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.12
UUD NRI Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan
konstitusional, yang harus dijadikan acuan bagi arah politik hukum mengenai
sumber daya alam, baik sumber daya alam yang ada di bumi (darat) maupun yang
ada di laut serta yang ada di dalamnya, hal ini dimaksudkan untuk mencapai
tujuan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Turunan peraturan terkait Pasal 33 ayat (3) UUD Negara
Kesatuan RI Tahun 1945 dalam bentuk Undang-Undang yakni, Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria, Undang-
Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil, Undang-Undang Nomor 26 tahun tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, Undang-Undang

11
Ahmad Redi, Hukum Sumber Daya Alam dalam Sektor Kehutanan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2014, hlm. 9.
12
Lihat dalam Putusan mahkamah Konstutusi Nomor 3/PUU-VIII/2010, Atas Pengujian
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil.
Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 31 tahun
2004 tentang Perikanan sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 45 tahun 2009.
Politik hukum perikanan, harus dipahami secara holistik dimana norma
dalam Undang-Undang tersebut merupakan terjemahan secara hirarkis dari
sumber-sumber hukum atau norma hukum konstitusi yang terdiri dari cita negara
(staatidee) yang tertuang dalam Pembukaan UUD Negara Kesatuan RI Tahun
1945, dan yang ada dalam sila-sila Pancasila (rechtidee).13 Berdasarkan tata urutan
perundang-undangan, UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945, menempati posisi
sebagai hukum tertinggi dalam Negara Indonesia, maka ia bermakna sebagai
berikut:14

1. Semua pembuatan perundang-undangan harus bersumber dari asas, kaidah,


cita dasar, dan tujuan UUD;
2. Penerapan UUD, didahulukan dari peraturan perundang-undangan yang lain;
3. Semua peraturan perturan perundang-undangan yang lain, tidak boleh
bertentangan dengan UUD.
Berasarkan teori perjenjangan hukum negara dari Hans Nawiasky, Hamid
Attamimi15, menyatakan bahwa Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila
sebagai staatsfundamentalnorm berisi postulat moral yang memiliki kaidah yang
bersifat preposisi, dan Pasal 33 sebagai Staatgrungesetz berupa hukum positif
tertinggi yang bersifat dasar, umum dan abstrak. Oleh karena itu, maka Undang-
Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31
tahun 2004 tentang Perikanan, sebagai salah satu produk hukum yang berkaitan
dengan sumber daya alam, keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari UUD NRI
Tahun 1945, terutama Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa: “bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

13
Otong Rosadi, Pertambangan dan Kehutanan, dalam perspektif cita hukum
Pancasila, Thafa Media, Yogyakarta, 2012, hlm. 12.
14
Bagir Manan, Membedah UUD 1045, Dalam Buku ini Dr. Moh. Fadli, bertindak
sebagai Edotor, UB Press, Malang, 2012, hlm. 6.
15
Ibid.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan
Perubahannya yaitu Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 merupakan salah
satu produk undang-undang yang terkait dengan sumber daya alam Indonesia,
sehingga dalam konsiderannya juga menempatkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 sebagai konsideran “mengingat”. Selanjutnya dalam asas-asas hukum
perikanan yang diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas UU Nomor 31 tahun 2001 juga nampak bahwa negara
menginginkan suatu pengelolaan perikanan dengan tujuan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Namun demikian, asas hanyalah memuat ketentuan-
ketentuan yang bersifat umum dan asas bukanlah sebuah aturan atau norma
hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Paul Scholten, bahwa asas hukum
(rechsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel), untuk dapat
dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum terlalu umum sehingga ia
bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of niets of veel te veel zeide).16
Sementara pengelolaan perikanan diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 31
tahun 2004 tentang Perikanan, yang dinyatakan bahwa: (1) Pengelolaan perikanan
dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk
tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian
sumber daya ikan; (2) Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan
ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau
kearifan lokal seta memperhatikan peran serta masyarakat.

Pengelolaan perikanan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 6 diatas,


menunjukan bahwa politik hukum mengenai pengelolaan perikanan Indonesia
belum menunjukan suatu konsistensi yang jelas, terutama peran dan fungsi negara
dalam mewujudkan pengelolaan perikanan yang benar-benar untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, hal lain yang merupakan kelemahan dalam
Undang-Undang Perikanan saat ini adalah terkesan bahwa negara dalam hal ini
pemerintah belum memandang potensi sumber daya perikanan laut sebagai salah

16
Paul Scholten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch Burgelijk
Recht, Algemeen deel, Zwolle: Tjeenk Willink, 1954, hlm. 83 dan 84, seperti dikutip oleh A.
Hamid S. Attmimi, dan Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm. 227.
satu potensi nasional yang cukup menjanjikan dalam membangun bangsa dan
negara Indonesia menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera.
Kemenerian Kelautan dan Perikanan Indonesia menyebutkan bahwa17,
potensi perikanan laut Indonesia, diperkirakan mencapai angka 6,7 juta ton per
tahunnya, dengan rincian 4,4 juta ton berasal dari daerah terotorial dan sisanya
sebesar 2,3 juta ton berasal dari perairan Zona Ekonmi Ekslusif (ZEE). Secara
keseluruhan nilai potensi ekonomi pesisir dan lautan Indonesia diperkirakan
mencapai angka 82 millyar Dolar AS per tahun, namun, fakta menunjukan bahwa
sejauh ini, kontribusi potensi perikanan dan lautan kita masih berada pada angka
20, 06 persen dari total Produk Domestik Bruto/PDB, itupun sebagian besarnya di
sumbangkan melalui minyak dan gas. Secara riil sumbangan kepada pendapatan
negara yang berasal dari sektor perikanan hingga saat ini masih berada pada angka
2, 34 persen. Tentu hal ini berbanding terbalik dengan negara lain seperti
Norwegia, Thailand, Filipina dan Jepang, negara-negara ini walaupun secara
geografis memiliki wilayah perairan laut yang lebih kecil namun sumbangan dari
potensi kelautan dan perikanan rata-rata berkisar antara 25-60 % dari total Produk
Domestik Bruto/PDB. Apa yang digambarkan diatas, tidak dapat dilepaskan dari
lemahnya politik hukum yang terkait dengan posisi negara dalam konteks hak
menguasai oleh negara atas sumber daya perikanan untuk tujuan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, sebagaimanan telah dinyatakan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI tahun 1945.
Mengacu pada berbagai Problematika yang diuraikan diatas, maka dapat
dikatakan bahwa terdapat norma yang kabur (vague norm), atau norma yang tidak
lengkap (uncompletly of norm), karena peran dan fungsi negara untuk
mewujudkan pengelolaan perikanan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3)
cenderung menjadi tidak jelas. Sehingga dengan demikian, secara aksiologis
tujuan yang ingin dicapai untuk mewujudkan kehidupan rakyat yang makmur dan
sejahtera akan menjadi hal yang sangat sulit untuk diwujudkan, pada hal secara
faktual kekayaaan sumber daya alam khususnya perikanan laut Indonesia
merupakan salah satu potensi yang sangat strategis dan bisa dimanfaatkan untuk
menjadikan Indonesia sebagai negara yang berkeadilan, makmur dan sejahtera.
17
Sumber Data, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta,
Tahun 2013.
Dengan demikian, maka perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah dengan
rumusan masalah sebagai berikut: (1) mengapa politik hukum pengelolaan
perikanan dalam UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Perubahannya
yakni UU Nomor 45 tahun 2009, cenderung mengabaikan prinsip kemakmuran
rakyat?..(2) apa implikasi yuridis dari politik hukum pengelolaan perikanan
dalam UU Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan Perubahannya yakni UU
Nomor 45 Tahun 2009, yang cenderung mengabaikan prinsip kemakmuran
rakyat?...(3) bagaimana rekonstruksi politik hukum dalam bidang perikanan yang
berbasis kemakmuran rakyat?
Permasalahan sebagaimana diuraikan di atas, menurut penulis memiliki
urgensitas yang perlu diteliti dengan tujuan: (i) untuk memperoleh gambaran
mengenai politik hukum pengelolaan perikanan yang berlaku sekarang; (ii) untuk
menganalisis implikasi yuridis yang ada dalam UU Perikanan yang berlaku
sekarang, yang cenderung mengabaikan prinsip kemakmuran rakyat; (iii) untuk
menganalisis dan sekaligus menemukan rekonstruksi politik hukum dalam bidang
perikanan yang benar-benar berbasis kemakmuran rakyat.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum
normatif, mengingat penulisan ini objek kajian adalah undang-undang sebagai
hukum tertulis atau norma positif (at is written in the books). Pendekatan yang
dipakai untuk memperoleh bahan dan informasi hukum secara komprehensif
dalam penelitian ini adalah: (i) pendekatan perundang-undangan (statute
approach), dan (ii) pendekatan konsep (conceptual approach).

Pembahasan

A. Politik Hukum Pengelolaan Perikanan Dalam Undang-Undang Nomor 31


Tahun 2004 Tentang Perikanan dan Perubahannya Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009.

Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009 tentang


Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun tentang Perikanan, diatur
mengenai asas dan tujuan dari Undang-Undang tersebut, dan dalam penjelasan
asas-asas dalam hukum perikanan, Nampak jelas bahwa ada komitmen yang
sangat kuat dari negara untuk mewujudkan suatu pengelolaan potensi perikanan
Indonesia, dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat, dan hal tersebut sangat
sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun
1945 sebagai hukum dasar atau hukum tertinggi. Akan tetapi yang sangat
disayangkan dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan kebijakan hukum yang
berkaitan dengan tujuan mewujudkan kemakmuran rakyat hanya diatur sebatas
asas-asas saja, padahal asas sebagaimana diungkapkan oleh Paul Scholten, bahwa
asas hukum (rechsbeginsel) bukanlah sebuah aturan hukum (rechtsregel), untuk
dapat dikatakan sebagai aturan hukum, sebuah asas hukum terlalu umum sehingga
ia atau bukan apa-apa atau berbicara terlalu banyak (of niets of veel te veel
zeide).18

Problematika utama dalam Undang-Undang Perikanan saat ini adalah


terletak pada penormaan peran dan fungsi negara, dalam pengelolaan perikanan
(beheersdaad), untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sebagaimana
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI tahun 1945. Lemahnya
pengaturan dalam Undang-Undang mengenai posisi negara untuk mewujudkan
pengelolaan perikanan yang efektif dan efisien demi terwujudnya suatu
kemakmuran bagi rakyat, menjadi persoalan tersendiri bagi bangsa Indonesia
dalam mengoptimalkan potensi sumber daya perikanan laut nasional yang sangat
besar dan melimpah di seluruh wilayah perairan nusantara.
Politik hukum perikanan dalam UU Perikanan belum sepenuhnya
menjadikan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menjadi dasar kebijakan, hal
ini terlihat dari substansi dan muatan materi yang dikandungnya. Terutama
mengenai peran dan fungsi negara, menjadi bagian dari kegagalan negara untuk
mewujudkan kemakmuran rakyat sebagaimana pesan yang dituangkan dalam sila
kelima Pancasila dan Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI tahun 1945.
Peran negara dalam undang-undang ini menjadi sangat kabur dan tidak
jelas, terutama pengaturan mengenai peran dan tangggung jawab negara dalam
menguhakan pengelolaan perikanan untuk tujuan dan kepentingan seluruh rakyat
sebagai pemilik sah dari sumber daya perikanan yang terdapat di wilayah perairan

18
Paul Scholten, Handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch Burgelijk
Recht, Algemeen deel, Zwolle: Tjeenk Willink, 1954, hlm. 83 dan 84, seperti dikutip oleh A.
Hamid S. Attmimi, dan Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius,
Yogyakarta, 2007, hlm. 227.
laut Indonesia, dalam konstitusi jelas bahwa tujuan pengelolaan sumber daya alam
termasuk potensi sumber daya perikanan adalah diarahkan pada pemabangunan
bangsa untuk mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Oleh karena
itu, negara sebagai pihak yang diberikan kewenangan oleh bangsa Indonesia harus
mampu menerjemahkan kewenangan tersebut dalam bentuk kebijakan hukum
yang pasti dan jelas, terutama menempatkan peran negara sebagai pihak pertama
dan utama dalam pengelolaan perikanan untuk tujuan seluruh rakyat terutama
pihak nelayan yang hingg hari ini masih di perhadapkan pada kesulitan hidup
dalam berbagai bidang kehidupannya.

B. Implikasi Yuridis Politik Hukum Pengelolaan Perikanan Laut Yang


Mengabaikan Prinsip Kemakmuran Rakyat
Implikasi yuridis dari politik hukum pengelolaan perikanan yang terjadi
dalam Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan adalah akibat pengaturan mengenai
posisi negara sebagai organ tertinggi bangsa Indonesia tidak diatur secara jelas
dalam bentuk norma, sehingga pada tataran pelaksanaanya menjadi sangat kabur
dan terkesan kewenangan negara menjadi hilang dalam upaya mewujudkan
pengelolaan perikanan untuk kemakmuran rakyat.
Jeremmy Bentham,19 mengemukakan ketidak-sempurnaan
(imperfection) yang dapat mempengaruhi peraturan perundang-undangan (laws),
dan dapat dijadikan asas-asas bagi pembentukan suatu peraturan perundang-
undangan. Bentham, membagi ketidak-sempurnaan itu, dalam dua derajat atau
tingkatan, yaitu: (a) ketidaksemprnaan derajat pertama disebabkan hal-hal yang
meliputi; arti ganda (ambiguity), kekaburan (absurdity/vaguiness), dan terlalu
luas (overbulkiness), dan (b) ketidaksempurnaan derajat kedua disebabkan hal-
hal yang meliputi; ketidaktepatan ungkapan, ketidaktepatan tentang pentingnya
sesuatu, berlebihan, terlalu panjang lebar, membingungkan, tanpa tanda yang
memudahkan pemahaman, dan ketidakteraturan. Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD
NRI Tahun 1945, telah diatur tentang hak menguasai negara atas SDA termasuk
di dalamnya adalah sumber daya perikanan, dalam konteks hak mengasai negara,
19
Atre, B.R., Legislative Drafting, Prinsiples and Tecnhniques, Universal Law
Publishing, Co, Pvt, Ltd, New Delhi, 2001, hlm. 37.
maka jelas dalam frasa itu melahirkan hak dan kewajiban bagi negara. Hak
penguasaan negara dalam UUD NRI Tahun 1945, perlu di perhatikan dalam
pengaturan lanjutannya, terutama yang terkait dengan UU Perikanan, sehingga
hak menguasai oleh negara tidak menjadi kabur akan tetapi menjadi jelas
sehingga proses pelaksanaannya pun menjadi efektif.
Dengan demikian, agar dapat diketahui implikasi yuridis politik hukum
pengelolaan perikanan yang mengabaikan kemakmuran rakyat, maka perlu
ditelusuri dalam norma yang mengatur tentang pengelolaan perikanan Indonesia
yang berlaku sekarang yakni Undang-Undang No. 45 tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dengan
mengacu pada beberapa indikator sebagai berikut:
1. Apakah politik hukum pengelolaan perikanan yang ada sekarang telah
mengakomodir hak-hak kepemilikan bangsa Indonesia dan apakah penguasaan
negara atas sumber daya perikanan untuk kemakmuran rakyat?
2. Apa fungsi negara dalam pengelolaan perikanan sebagai salah satu sumber
daya alam Indonesia?

Terhadap indikator pertama, perlu dilihat bagaimana norma undang-


undang perikanan yang ada sekarang menguraikan hubungan antara sumber daya
perikanan dengan hak kepemilikan bangsa atau dalam hal ini rakyat Indonesia,
sementara negara diposisikan sebagai pemegang amanat bangsa/rakyat untuk
menciptakan kemakmuran melalui pengelolaan sumber daya perikanan. Kedua,
bagaimana negara mengambil peran dalam pengelolaan perikanan laut ketika
dikaitkan dengan fungsi negara yang terdiri dari beleid, regelingsdaad,
behersdaad, bestuursdaad, , dan toezichoedensdaad, apakah funsi negara
sebagaimana disebutkan diatas telah diatur dengan jelas dan tegas atau sebaliknya
kabur?

Dua indikator diatas, tetap dikaji berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI
Tahun 1945 dengan keberadaan undang-undang perikanan yang berlaku sekarang.
Semakin jelas pengaturan dalam undang-undang perikanan memperlihatkan
hubungan dengan Pasal 33 ayat (3), maka semakin baik negara dalam membentuk
undang-undang perikanan dengan perspektif kemakmuran rakyat, dengan tidak
meniadakan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik
(Algemene beginselen van behoorlijke regelgeving).

Secara moralitas, makna masyarakat adil dan makmur merupakan alasan serta
tujuan mendasar bagi arah pembangunan bangsa Indonesia, sehingga dengan
demikian bukan hanya dimaksudkan dalam proses pembangunan secara fisik,
namun sesungguhnya di dalam kata “adil” juga berorientasi pada bagaimana
negara/pemerintah benar-benar mendistribusikan kemakmuran secara merata bagi
seluruh rakyat Indonesia, sebagai bagian dari proses pengimplementasian sila
kelima Pancasila yakni “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Inilah
cita-cita kemerdekaan Negara Indonesia yang dituangkan oleh para Proklamator
bangsa dalam pembukaan UUD Negara Kesatuan RI tahun 1945 khususnya alinea
kedua yang menyatakan bahwa20 “Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada
saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke
depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, adil
dan makmur”. Makna masyarakat adil dan makmur merupakan postulat moral
bagi arah pembangunan bangsa, sehingga perlu dilaksanakan secara konsisten
secara menyeluruh bagi kehidupan rakyat Indonesia, dengan cara mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya alam yang tersedia.

Menurut John Rawls,21 prinsip keadilan dapat dilihat dalam hal sebagai
berikut:

1. Bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama dalam setiap sistem yang
paling luas dari kebebasan yang mendasar dan setara sesuai dengan sistem
kebebasan yang serupa bagi semua orang;
2. Ketimpangan sosial dan ekonomi harus diatur sehingga dapat:
a. Memberikan manfaat bagi yang paling tidak beruntung, dan
b. Membuka posisi dan jabatan bagi semua orang dengan prinsip kesetaraan
agar setiap orang mendapat kesempatan secara adil.

Dengan merujuk pada prinsip keadilan yang dikemukakan Rawls, maka


sesungguhnya hal utama yang paling dilihat dan menjadi prioritas adalah
20
Lihat dalam Alinea kedua UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
21
John Rawls, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1973, hlm. 45.
bagaimana kemampuan negara dalam menguasai sumber daya alam sebagaimana
yang telah diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, dan
memperbandingkannya dengan kondisi faktual pengelolaan dan pemanfaatan
SDA perikanan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam konsideran menimbang, UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan


Atas UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, dikatakan bahwa dalam rangka
pelaksanaan pembangunan nasional berdasarkan Wawasan Nusantara,
pengelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan
keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya dengan mengutamakan perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup bagi nelayan, pembudidaya ikan,
dan/atau pihak-pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan, serta terbinanya
kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, Pasal ini
mengandung pesan bahwa secara normatif terjadi hubungan hak bangsa/rakyat
Indonesia dengan pemegang kuasa dalam hal ini negara/pemerintah yang
diberikan hak untuk menguasai kekayaan alam Indonesia termasuk di dalamnya
adalah sumber daya perikanan. Hubungan hukum ini dapat dibuktikan dengan
adanya asas ius soli atau ius sanguinis yang artinya bahwa status warga negara
lahir berdasarkan hubungan darah karena suatu kelahiran, sehingga dengan
demikian, maka Negara dalam hal ini pemerintah sebagai pemegang hak
menguasai atas sumber daya alam memiliki kewajiban-kewajiban karena hak
menguasai itu lahir dari setiap warga Negara Indonesia.

Dengan demikian, UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan
hukum tertinggi, telah membangun suatu hubungan hukum yang disebut kontrak
sosial antara warga negara Indonesia dengan Pemerintah Negara Indonesia yang
bersifat abadi. Kata “abadi” menunjukan pada suatu relasi yang bersifat permanen
antara warga negara dan pemimpinnya, bahwa dalam hubungan tersebut tidak
dimungkinkan bagi suatu pihak tertentu, baik negara maupun rakyat, untuk tidak
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang telah diatur dan
diamanatkan oleh konstitusi negara (UUD NRI Tahun 1945).

Dalam konteks sumber daya perikanan, Pasal 2 UU No. 45 tahun 2009


tentang perubahan Atas UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan, menyebutkan
asas-asas yang merupakan cerminan dari pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945,
terutama asas manfaat yang menunjukan korelasi langsung dengan peruntukan
sumber daya alam sebagaimana diatur dalam pasal 33 ayat (3) yakni untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Akan tetapi persoalannya adalah tidak ada
pasal yang merupakan rujukan lebih lanjut mengenai kalimat untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat dalam UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan
Atas UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

C. Rekonstruksi Politik Hukum Pengelolaan Perikanan Laut Berbasis


Kemakmuran Rakyat
Rekonstruksi politik hukum merupakan salah satu langkah untuk
menyempurnakan aturan hukum yang ada, dengan merespon perubahan yang
terjadi di masyarakat, selain itu juga merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan bahan hukum atau hukum positif melalui penalaran yang logis,
sehingga dapat dicapai hasil yang dikehendaki. Mengacu pada gambaran diatas,
maka dapat dikatakan bahwa “Rekonstruksi merupakan upaya untuk menata
kemabli dan melakukan sinkronisasi terhadap beberapa aturan hukum yang sudah
ada”.22
Menurut Bismar Siregar, membangun kembali hukum adalah bagian dari
politik pembangunan hukum. Menurutnya politik pembangunan hukum mencakup
3 (tiga) dimensi kebijakan, yakni sebagai berikut:
1. Dimensi pemeliharaan, yaitu suatu dimensi untuk memelihara tatanan
hukum yang ada, walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
keadaan (mayoritas merupakan warisan kolonial Belanda), tetapi
diperlukan untuk mengisi kekosongan hukum dan oleh karena itu harus
diberi makna baru;

Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Edisi ke-7, West Group, S.T. Paul. Minn,
22

1999, page 1278 .


2. Dimensi pembaruan, yaitu dimensi untuk melengkapi apa yang belum ada
dan menyempurnakan yang sudah ada;
3. Dimensi penciptaan, merupakan dimensi dinamika dan kreatitivitas, yaitu
menciptakan perangkat peraturan perundang-undangan baru yang
sebelumnya memang belum ada untuk mengantisipasi perubahan-
perubahan sosial, politik dan ekonomi yang terjadi sejalan dengan
pelaksanaan pembanguna.23

Mengacu pada pendapat diatas, maka rekonstruksi hukum yang dibangun


dalam kaitan dengan penulisan ini adalah membangun kemabli hukum yang
berkaitan dengan pengelolaa perikanan laut, yang benar-benar berbasis
kemakmuran rakyat, mengingat potensi perikanan laut Indonesia merupakan salah
satu sumber daya alam yang tersedia dalam jumlah yang sangat besar dan
melimpah. Sehingga dengan demikian, maka rekonstruksi politik hukum yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah termasuk dalam dimensi pembangunan
hukum yang bersifat pembaharuan, sebagaimana diungkapkan oleh Bismar
Siregar pada poin 2 (dua), yang telah diuraikan diatas, hal ini dimaksudkan agar
mendapatkan suatu bangunan hukum yang benar-benar sesuai dengan cita hukum
yang ada dalam Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Kesatuan RI Tahun 1945.

Dalam bukunya tentang Rekonstruksi Politik Hukum Pangan, Dr.


Rachmad Safaát menyatakan24 bahwa Indonesia sebagai negara hukum yang
membahagiakan dan mensejahterakan rakyatnya, memiliki sistem hukum yang
memagari para pengambil keputusan agar tidak dilaksanakan berdasarkan
kekuasaan semata. Dengan merujuk pada pendapat beliau diatas, maka dalam
kaitannya dengan pengelolaan sumber daya perikanan laut, sebagai salah satu
potensi bangsa Indonesia yang tersedia dalam jumlah yang cukup besar maka di
dalamnya terkandung hak-hak rakyat untuk hidup sejahtera dan bahagia sesuai
dengan Pancasila dan UUD Negara Kesatuan RI tahun 1945. Dalam Pasal 28 H
UUD NRI Tahun 1945, menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir

23
Bismar Siregar, Politik Pembangunan Hukum, Majalah prisma, Jakarta, 1978, hlm.
37.
Rachmad Safaat, Rekonstruksi Politik Hukum Pangan, Dari Ketahanan Pangan ke
24

Kedaulatan Pangan, UB Press, Malang, 2013, hlm. 45.


dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan
sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

Jaminan atas hak-hak konstitusional yang disebutkan diatas, merupakan


pesan moral yang harus dimaknai dalam kaitannya dengan pengelolaan dan
pemanfaatan seluruh sumber daya alam yang terkandung di dalam wilayah
Indonesia, termasuk di dalamnya adalah sumber daya perikanan yang bisa
dijadikan sebagai sarana untuk mewujudkan hak-hak hidup sejahtera seperti yang
tertuang dalam konstitusi yakni Pancasila dan UUD Negara Kesatuan RI Tahun
1945. Karena, berdasarkan tata urutan perundang-undangan, UUD Negara
Kesatuan RI Tahun 1945, menempati posisi sebagai hukum tertinggi dalam
Negara Indonesia, maka ia bermakna sebagai berikut25:

1. Semua pembuatan perundang-undangan harus bersumber dari asas, kaidah,


cita dasar, dan tujuan UUD;
2. Penerapan UUD, di dahulukan dari peraturan perundang-undangan yang lain;
3. Semua peraturan perundang-undangan yang lain, tidak boleh bertentangan
dengan UUD.
Berdasarkan pendapat di atas, maka perlu dilakukan pembaharuan hukum
kaitan dengan politik hukum pengelolaan perikanan laut, yang sekarang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dan
Perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 45 tajun 2009. Khususnya dalam
Pasal 6 Undang-Undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan bahwa:
(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan,
serta terjaminnya kelestarian sumber daya ikan; (2) Pengelolaan perikanan untuk
kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus
mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan
peran serta masyarakat.
Dalam kaitannya dengan rekonstruksi politik hukum pengelolaan
perikanan laut, maka ada dua hal pokok yang perlu direkonstruksikan yakni:
pertama, rekonstruksi politik hukum pengelolaan perikanan laut secara
substansial, dimana dalam hal ini, yang dilaksanakan adalah diarahkan pada

25
Bagir Manan, Membedah UUD 1045, Dalam Buku ini Dr. Moh. Fadli, bertindak
sebagai Edotor, UB Press, Malang, 2012, hlm. 6.
rekonstruksi hukum yang dapat mengakomodir secara substansi prinsip
kemakmuran rakyat agar tercipta kehidupan rakyat yang sejahtera lahir dan batin;
dan kedua, rekonstruksi politik hukum pengelolaan perikanan laut diarahkan pada
segi struktural yang berarti bahwa rekontruksi politik hukum bidang perikanan
diarahkan terhadap pengaturan pada aspek kelembagaan pengelolaan perikanan
termasuk pengaturan secara jelas fungsi, kedudukan serta hak dan wewenang
negara dalam bidang perikanan.

Simpulan

Berdasarkan Uraian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Politik hukum pengelolaan perikanan yang ada dalam Undang-Undang Nomor


31 tahun 2004 tentang perikanan dan perubahan yaitu Undang-Undang Nomor
45 tahun 2009, belum mengatur secara jelas, tegas, dan terperinci mengenai
peran dan fungsi negara dalam mendukung pengelolaan perikanan.
2. Implikasi yuridis yang terjadi dari politik hukum pengelolaan perikanan laut
yang mengabaikan kemakmuran rakyat disebabkan oleh karena norma yang
diatur dalam UU Perikanan sekarang, masih kabur (vague norm) dan bahkan
tidak lengkap (uncompletly of norm), sehingga pada akhirnya terjadi
inkonsistensi/disharmonisasai hukum terutama UU Perikanan dan Pasal 33
ayat (3) UUD NRI Tahun 1945.
3. Rekonstruksi politik hukum pengelolaan perikanan harus bisa mengakomodir
prinsip kemakmuran rakyat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 33 ayat
(3) UUD NRI tahun 1945.
DAFTAR PUSTAKA

Nurjaya, I Nyoman, 2009, Menuju Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil,

Demokratis dan Berkelanjutan, Perspektif Hukum dan Kebijakan,

Prestasi Pustaka publishier, Jakarta.

Dam, Syamsumar, 2010, Politik Kelautan, Bumi Aksara, Jakarta.

Tribawono, Djoko, 2013, Hukum Perikanan Indonesia, Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Subekti, 2009, Rekonstruksi Politik Hukum Hak atas Air Pro Rakyat, Surya

Pena Gemilang Publising, Semarang.

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi Ekonomi, KOMPAS, Jakarta.

______________,1994, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta.

______________, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Konstitusi Pres,

Jakarta.

Ginting, Darwin, 2010, Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah, Ghalia

Indonesia, Bogor.

Manan, Bagir, 1999, Beberapa catatan atas rancangan Undang-undang

tentang Minyak dan Gas Bumi, FH-UNPAD, Bandung.

Tambunan, A.S.S, 2002, Poltik Hukum Berdasarkan UUD 1945, Puporis

publisher, Jakarta.

Philippe Nonet-Philip Selznick, 2010, Law and Sosiety in Transition, tahun

1978, Hukum responsif, Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Nusa

Media, Bandung.
C.F. Strong, 2010, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, Studi Perbandingan

tentang Sejarah dan Bentuk, Nusa Media, Bandung.

Rahardjo, Satjipto, 2008, Membedah Hukum Progresif, Kompas, Jakarta.

Busroh, Abu Daud, 2008, Ilmu Negara, Bumi aksara, Jakarta.

Muhamad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya,

Bandung.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Perubahannya yaitu

Undang-Undang Nomor 45 tahun 2009.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

You might also like