Peranan Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu Dalam Pengelolaan Lahan Pertanian

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

Peranan Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu

Dalam Pengelolaan Lahan Pertanian

EDO D. SURYA
Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Terbuka
edokece@gmail.com

Abstract

The Customary Law Society as a group of people are bound by its customary legal border as citizens
with a legal alliance on common ground or hereditary basis. The Customary Law Society are included in
the definition of 'community', but not all communities can be classified in terms of 'The Customary Law
Society'. The traditional law society are bound by a customary legal order which has grown and
developed naturally in that society and reflects the very soul of the people. Recognition and protection
of the rights of a customary law's society is essential, because it must be acknowledged that they were
born and existed long before Indonesia was formed. An acknowledgment from the local government to
The Customary Law Society in Bahau Hulu was formed by a the Regent of Malinau's Decree
No.189.1/K.335/2019 about Recognition and Protection of The Custom Society in Bahau Hulu, Malinau
that establish and acknowledge the Dayak Kenyah, Dayak Sa'ben, and Dayak Punan scattered in six
villages on Bahau Hulu, Regency of Malinau as a customary law society. Agricultural management forms
to The Customary Law Society in Bahau Hulu use a rotating farming system or recycling agriculture.
This farming pattern was utilizing nature by following the scientific cycle. Farming systems in Dayak
communities are traditional views, knowledge, and local wisdom which is the standard for behavior and
has been practiced for generations. This rotating farming system is much more familiar with natural
systems that are certainly more adaptive in maintaining natural structures, it means that rotating farming
is very supportive of conservation and sustainable.
Keyword : Recognition of Customary Rights, Traditional Wisdom, Conservation

Abstrak
Masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar
keturunan. Masyarakat hukum adat termasuk dalam pengertian masyarakat, namun tidak semua
masyarakat dapat digolongkan dalam pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat
terikat oleh tatanan hukum adat yang tumbuh dan berkembang secara alami dalam masyarakat tersebut
sehingga merupakan pencerminan jiwa masyarakat. Pengakuan dan perlindungan hak masyarakat
hukum adat sangatlah penting, karena harus diakui masyarakat hukum adat lahir dan telah ada jauh
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk. Bentuk pengakuan dari Pemerintah Daerah
kepada Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu tertuang melalui Surat Keputusan Bupati Malinau No.
189.1/K.335/2019 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu di
Kabupaten Malinau yang menetapkan dan mengakui suku Dayak Kenyah, Dayak Sa’ben, dan Dayak
Punan yang tersebar di 6 (enam) desa di Kecamatan Bahau Hulu Kabupaten Malinau sebagai
Masyarakat Hukum Adat. Bentuk pengelolaan pertanian pada Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu
menggunakan sistem pertanian gilir-balik atau pertanian daur-ulang. Pola pertanian ini memanfaatkan
alam dengan mengikuti siklus ilmiah. Praktek sistem perladangan gilir-balik pada masyarakat Dayak
merupakan pandangan, pengetahuan, dan kearifan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku
dan telah dipraktekkan secara turun temurun. Sistem peladangan gilir-balik ini lebih akrab dengan sistem
alami yang tentunya lebih adaptif dalam mempertahankan struktur alami, artinya peladangan gilir-balik
sangat mendukung konservasi dan berkelanjutan.
Kata Kunci : Pengakuan Hak Adat, Kearifan Tradisional, Konservasi
Pendahuluan
Keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia secara faktual sudah ada sejak jaman
nenek moyang sampai saat ini. Masyarakat hukum adat adalah kesatuan masyarakat bersifat
teritorial atau geneologis yang memiliki kekayaan sendiri, memiliki warga yang dapat
dibedakan dengan warga masyarakat hukum lain dan dapat bertindak ke dalam atau luar
sebagai satu kesatuan hukum (subyek hukum) yang mandiri dan memerintah diri mereka
sendiri. (Alting, 2011)
Pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep
masyarakat adat merupakan pengertian untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri
tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang
merujuk kepada sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah ulayat tempat tinggal dan
lingkungan kehidupan tertentu, memiliki nilai sosial budaya, kekayaan dan pemimpin yang
berfungsi menjaga kepentingan kelompoknya, serta memiliki tata aturan (sistem) hukum dan
pemerintahan. Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada sejak ratusan
tahun yang lalu.
Undang-undang Dasar 1945 telah menegaskan keberadaan masyarakat hukum adat.
Dalam Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 sebagai hasil amandemen kedua, menyatakan bahwa
negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip negara kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan
Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan pasal 281 ayat (3) UUD 1945
bahwa identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban. Selain UUD 1945, beberapa Undang-undang sektoral juga
memberikan jaminan hak-hak masyarakat hukum adat, antara lain : UU Nomor 5 Tahun 1960
Tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA); UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan; UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang; UU Nomor 32Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang
Desa; UU Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah; dan UU Nomor 39 Tahun
2014 Tentang Perkebunan.
Salah satu kebiasaan masyarakat hukum adat adalah melakukan perladangan berpindah.
Petani ladang berpindah yang tinggal di sekitar kawasan hutan dianggap sebagai salah satu
pemicu kerusakan hutan. Perladangan berpindah (shifting cultivation) yang umumnya
dilakukan oleh masyarakat hukum adat, dianggap menyebabkan penggundulan hutan, erosi
tanah, kebakaran hutan, dan rendahnya produktivitas pertanian.
Masyarakat Dayak sering diasosiasikan sebagai kumpulan orang-orang yang bermukim di
dalam atau di pinggir hutan dan hidupnya berpindah-pindah untuk menebang areal hutan yang
satu ke areal hutan yang lainnya. Hal ini dianggap sebagai aktifitas yang memicu kerusakan
hutan di wilayah Kalimantan Utara. Kehidupan masyarakat Dayak zaman dulu yang nomaden
atau berpindah-pindah memperkuat asumsi negatif dari perladangan berpindah.
Di Kalimantan Utara sendiri terdapat sepuluh kelompok besar etnik Dayak seperti Agabag,
Brusu, Kayan, Kenyah, Lun Bawang, Lundayeh, Punan, Sa’ben, Tahol, dan Tingalan. Dari
kelompok besar etnik Dayak ini mempunyai sub kelompok berbeda, misal kelompok etnik
Kenyah masih dibagi lagi menjadi puluhan subkelompok etnik yang biasa disebut Leppo’ atau
Umak, yaitu Umak Bem, Bakung, Ndang, jalan, Ke, Kulit, Ma’ut, Nyibun, Tao, dan Tukung.
Salah satu kelompok masyarakat hukum adat di Indonesia khususnya di pulau Kalimantan
adalah Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu. Wilayah Adat Besar Bahau Hulu dihuni secara
turun temurun oleh suku Dayak Kenyah (Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Uma’ Lung, Lepo’ Ndang,
Nyibun), Dayak Sa’ben, dan Dayak Punan. Bahasa daerah Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu
yang digunakan adalah Bahasa Kenyah Lepo’ Ma’ut, Kenyah Lepo’ Ke, Kenyah Uma’ Lung,
Kenyah Lepo’ Ndang, Kenyah Nyibun, Punan dan Sa’ben. Dengan total luas 310.798,14 Ha,
wilayah Adat Besar Bahau Hulu secara administratif terletak di Kecamatan Bahau Hulu,
Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Utara.
Berdasarkan latar belakang permasalahan, penulis tertarik untuk mengurai persoalan di
atas dengan dengan judul “Peranan Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu Dalam Pengelolaan
Lahan Pertanian” dengan membatasi rumusan masalah sebagi berikut :
1. Bagaimana bentuk pengakuan dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat
Bahau Hulu?
2. Bagaimana bentuk kearifan lokal Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu dalam pengelolaan
lahan pertanian?

Pembahasan
A. Pengertian Peranan Masyarakat Hukum Adat

Peranan berasal dari kata dasar peran, memiliki 2 (dua) arti, yang pertama adalah
sebuah homonim karena arti-artinya memiliki ejaan dan pelafalan yang sama tetapi maknanya
berbeda. Peranan memiliki arti dalam kelas nomina atau kata benda sehingga peranan dapat
menyatakan nama dari seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibendakan.
Arti yang kedua adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang dalam
suatu peristiwa.

Masyarakat hukum adat menurut Ter Haar adalah kelompok masyarakat yang teratur,
menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai kekuasaan sendiri dan mempunyai kekayaan
sendiri baik berupa benda yang terlihat maupun tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan
masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut
kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya
dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.(Alting, 2011)

Pengertian masyarakat hukum adat menurut Kusumadi Pujosewojo adalah masyarakat


yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan
oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar
diantara anggota, memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan
menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan
sepenuhnya oleh anggotanya.(Sumardjono, 2001)

Menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang


mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yang mempunyai
kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak
bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.(Simarmata, 2006) Para tokoh
masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan
hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat
tinggal ataupun atas dasar keturunan.(Alting, 2011)

Sedangkan Soepomo menjelaskan bahwa Van Vollenhoven dalam orasinya tanggal 2


Oktober 1901 menegaskan (Tolib Setiady, 2009) : “Bahwa untuk mengetahui hukum, maka
yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah mana sifat dan
susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu
hidup sehari-hari”. Bersandar dari pendapat tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya
sendiri bahwa : “penguraian tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas
sesuatu yang dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari
masyarakat yang bersangkutan”. Dari apa yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan
Soepomo terlihatlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu adalah
“Persekutuan Hukum Adat” (Adatrechts Gemeenschapen).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan hukum adat itu,
para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan geneologis. Menurut pengertian
yang dikemukakan para ahli hukum di zaman Hindia Belanda, yang dimaksud dengan
masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan
teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu,
baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai
tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.(Hilman Hadikusuma, 2003) Sedangkan,
masyarakat atau persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan
masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang
sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian
adat.

B. Pengakuan Pemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu

Bagaimana dengan Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu, apakah mereka bisa
dikategorikan sebagai Masyarakat Hukum Adat? dan bagaimana bentuk pengakuannya?.
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum, kriteria suatu masyarakat dapat disebut
sebagai Masyarakat Hukum Adat, adalah sebagai berikut :

1) Terdapat masyarakat yang teratur;


2) Menempati suatu wilayah tertentu;
3) Terdapat kelembagaan;
4) Memiliki kekayaan bersama;
5) Susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah; dan
6) Hidup secara komunal dan gotong-royong (Abdurrahman, 2015)

Berdasarkan kriteria-kriteria diatas, Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu mampu memenuhi
semua kriteria untuk bisa dikatakan sebagai Masyarakat Hukum Adat. Kriteria yang pertama,
pada pranata sosial masyarakat kecamatan Bahau Hulu tunduk pada aturan adat. Terdapat
sejumlah aturan dan larangan pada Peraturan Adat Bahau Hulu yang harus dipatuhi oleh
semua anggota Masyarakat Hukum Adat. Setiap pelanggaran terhadap hukum adat akan
dibawa ke Pengadilan Adat untuk diadili dan dikenakan sanksi adat. Wilayah Adat Besar Bahau
Hulu dipimpin oleh Kepada Adat Besar yang mencakup 6 (enam) wilayah adat desa, dan
masing-masing wilayah dipimpin oleh Ketua Adat Desa. Ketua Adat Desa bertugas
menyelesaikan masalah-masalah dan mengamankan kondisi di desa masing-masing sesuai
peraturan adat. Apabila suatu permasalahan tidak bisa diselesaikan oleh Ketua Adat Desa
maka Kepala Adat Besar akan mengatur musyarawah adat dan mengambil keputusan akhir
untuk penyelesaian masalah.

Stratifikasi sosial di masyarakat Bahau Hulu adalah cerminan adanya organisasi untuk
mengatur agar suatu pekerjaan dapat diselesaikan. Pencapaian kesepakatan untuk
melaksanakan pekerjaan dilakukan melalui musyawarah. Hampir tidak ada keputusan di desa
yang dilakukan tanpa adanya perundingan yang melibatkan warga. Hal ini merupakan sistem
hukum adat yang mengatur segala aspek pada masyarakat adat besar Bahau Hulu.

Kriteria yang kedua, masyarakat adat Bahau Hulu menempati suatu wilayah tertentu yang
mempunyai wilayah adat dengan batas-batas yang jelas. Keberadaan masyarakat adat ini
diakui masyarakat adat tetangga yang berbatasan dengan wilayah adat Bahau Hulu, yakni :

1. Sebelah Barat berbatasan dengan Malaysia (Serawak), yaitu di Apau Lut Bahau, Batu
Kalong dan Apau Lantang
2. Sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Adat Besar Tubu, yaitu di Pe’ Awen, Apau
Ngiam, Apau Bawang Tanam, Apau Sungai Leka’, Sawa’ Ranau, Lepau Dok, dan Apau
Apalan. Berbatasan pula dengan Wilayah Adat Malinau Selatan Hulu, yaitu Apau Tana’,
Kua’ dan Gunung Aran Lutung
3. Sebelah Utara dengan Kecamatan Krayan Hulu-Kabupaten Nunukan, yaitu Punggung
Gunung Pe’ Bulo’ dan Sungai Mangau, serta La’an Bulo’ dan Apau Paya’
4. Sebelah Selatan dengan Wilayah Adat Besar Pujungan, yaitu Lalut Moeng, Lalut Bia,
Apau Paya’, Apau Enggang, La’an Bulo’ dan Apau Paya’
Kriteria yang ketiga, memiliki kelembagaan yang terstruktur. Struktur pemerintah adat
Bahau Hulu telah ada sejak 1961. Pada tahun 1969, pemangku (Kepala) Adat Bahau Hulu
pertama kali dipimpin oleh Apui Njau. Kemudian dilanjutkan oleh Anyie Apui yang merupakan
pewaris ke-II hingga beliau wafat pada tahun 2018. Struktur Lembaga Adat Besar Bahau Hulu
bisa dilihat seperti gambar di bawah ini :

KEPALA ADAT BESAR

SEKRETARIS BENDAHARA

KETUA ADAT DESA

SEKRETARIS BENDAHARA TOKOH MASYARAKAT

STRUKTUR KELEMBAGAAN ADAT BESAR BAHAU HULU


Sumber : SK. Bupati Malinau No. 189.1/K.335/2019 Tentang Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu di Kabupaten Malinau

Kriteria yang keempat, hutan beserta hasil hutan, termasuk keanekaragaman hayati di
dalamnya yang membentuk ekosistem besar serta pranata ekologi sosial dan budaya antara
alam dengan manusia, merupakan kekayaan utama masyarakat Dayak, termasuk masyarakat
adat Bahau Hulu. Sejak berabad-abad yang lalu nenek moyang suku Dayak menggantungkan
kehidupannya pada hutan. Sehingga hutan merupakan aset berharga yang selalu dijaga
bersama dan dimanfaatkan secara bijak dan lestari. Salah satu cara masyarakat Dayak untuk
menjaga hutan adalah dengan mencadangkan sebuah areal hutan beserta perairan sungai
untuk dilindungi dan dilestarikan, yang nantinya akan dimanfaatkan untuk keperluan bersama.
Kawasan hutan ini disebut dengan Tana’ Ulen. Hampir di setiap wilayah desa memiliki Tana’
Ulen masing-masing. Strategi penentuan kawasan Tana’ Ulen ini mempunyai beberapa tujuan
baik sosial, ekonomi, maupun ekologi.
Kriteria yang kelima, susunan masyarakat adat besar Bahau Hulu memiliki pertalian darah
yang sangat erat. Secara turun temurun dan dari generasi ke generasi wilayah adat besar
Bahau Hulu dihuni oleh suku Dayak Kenyah (Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Uma’ Lung, Lepo’ Ndang,
Nyibun), Dayak Sa’ben, dan Dayak Punan. Umumnya perkawinan lebih banyak dilakukan
dengan sesama sub kelompok yang sama. Sebagai suku Kenyah, struktur sosial sistem
tradisional mengikuti sistem ‘kasta’ dengan masyarakat ‘Paren’ (bangsawan), masyarakat
‘Panyin’ (atau biasa), dan masyarakat tahanan waktu perang antar suku pada zaman dahulu.
Biasanya kaum Paren hanya akan dikawinkan dengan sesama paren untuk menjaga pertalian
darah. Semua pemimpin dalam sejarah suku juga berasal dari kasta ‘Paren’. Seiring
perkembangan zaman terutama pengaruh pendidikan dan agama, maka sistem kasta ini tidak
berlaku lagi.
Kriteria yang ke-enam, Masyarakat Bahau Hulu mengenal istilah “Senguyun”, yang berarti
bekerja secara bergotong royong. Gotong royong sudah menjadi nafas kehidupan masyarakat
Bahau Hulu sejak dahulu karena memiliki perasaan kebersamaan yang kuat. Contoh nyata
praktek gotong royong adalah pada saat masyarakat mengelola ladang pertaniannya dari mulai
membuka lahan pertanian sampai masa panen padi. Tua muda turut serta bekerja bahu
membahu sesuai kemampuannya masing-masing. Tidak hanya pada aktivitas pertanian,
gotong royong juga dilakukan pada semua kegiatan untuk kepentingan bersama seperti kerja
bakti membersihkan kampung, pembangunan/perbaikan fasilitas umum, membangun rumah,
acara hajatan, acara besar keagamaan, upacara adat, dan lain sebagainya. Tradisi gotong
royong ini merupakan warisan yang telah dipraktekkan dari generasi ke generasi.
Pengakuan masyarakat adat di Kabupaten Malinau secara formal yuridis tertuang dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Malinau Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan
Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Kabupaten Malinau. Pasal 1 angka 6 menyebutkan
: “Masyarakat adat di Kabupaten Malinau adalah kelompok masyarakat yang secara turun
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu di Kabupaten Malinau yang memiliki ikatan
pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya
alam di wilayah adatnya, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik,
sosial dan hukum yang berbeda, baik sebagian maupun seluruhnya dari masyarakat pada
umumnya”.
Secara khusus bentuk pengakuan dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat
Bahau Hulu tertuang melalui Surat Keputusan Bupati Malinau No. 189.1/K.335/2019 Tentang
Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu di Kabupaten Malinau yang
menetapkan dan mengakui suku Dayak Kenyah (Lepo’ Ma’ut, Lepo’ Ke, Uma’ Lung, Lepo’
Ndang, Nyibun), Dayak Sa’ben, dan Dayak Punan yang mendiami Desa Apau Ping, Desa Long
Berini, Desa Long Kemuat, Desa Long Alango, Desa Long Tebulo, dan Desa Long Uli di
Kecamatan Bahau Hulu Kabupaten Malinau sebagai Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten
Malinau.

C. Kearifan Lokal Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu dalam Pengelolaan Pertanian
Diperkirakan perladangan di pedalaman Kalimantan sudah dilakukan sejak 2 abad yang lalu
(Sellato 1989). Tradisi pertanian Dayak setidaknya telah dilakukan sejak tahun 1820-an
(Jessup 1981) dan dalam prakteknya selama ratusan tahun tersebut keadaan hutan di Bahau
Hulu masih cukup baik.
Penentuan lahan untuk perladangan biasanya dilakukan dengan berkali-kali pertemuan dan
dihadiri semua warga. Penentuan dan pemilihan ladang umum sangat menentukan
‘kehidupan’ mereka di tahun depan. Ladang yang menyebabkan panen padi gagal,
berpengaruh terhadap ketersediaan pangan mereka di tahun yang bersangkutan. Pemilihan
lahan untuk berladang dilakukan dengan penuh perhitungan karena ladang merupakan
sumber pangan yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Dayak. Pemilihan lahan yang
kurang tepat akan mempengaruhi hasil panen. Pertemuan untuk memilih lahan ini bisa berjalan
berhari-hari dengan memperhitungkan banyak hal. Kemiringan lahan dan kesuburan tanah
menjadi pertimbangan utama. Indikator tanah subur adalah warna atau jenis tumbuhan tertentu
yang sebenarnya erat berkaitan dengan tahapan suksesi vegetasi. Menurut budaya Dayak,
membuat ladang itu ada aturannya dan tidak setiap hutan bisa dijadikan ladang.
Hutan primer yang belum pernah dibuka atau istilah ekologinya “undisturbed forest” disebut
empak. Hutan yang sudah pernah diladang disebut disebut jakau. Dan jakau ini masih dibagi
lain menjadi tiga tahapan suksesi yaitu jekau betiek, hutan sekunder muda yang batang
pohonnya mempunyai ukuran diameter sebesar lengan sampai lingkar paha. Hutan sekunder
yang lebih tua yang jenis-jenis pohonnya sudah berdiameter besar dan hampir sulit dibedakan
dengan empak disebut bekas jakau. Ladang yang ditinggalkan setelah panen yang sudah
ditumbuhi jenis berkayu dengan diameter sebesar pergelangan tangan dan masih terdapat
sisa-sisa jerami yang membusuk disebut bekan.
Kegiatan berladang adalah sentral kehidupan masyarakat Dayak pada umumnya. Kegiatan
berladang dimulai dengan mencari lokasi ladang pada bulan Mei. Menebang jakau dilakukan
pada bulan Juni dan Juli dimana tanda-tanda musim kemarau sudah mulai terlihat. Bulan
Agustus adalah waktu yang tepat untuk membakar. Bulan September untuk menugal dan
menanam. Bulan Oktober adalah waktu istirahat menunggu padi mulai meninggi dan bulan
November serta Desember untuk menyiangi rumput. Antara bulan Agustus dan Oktober
biasanya musim buah pertama. Bulan Januari dan Februari masyarakat istirahat dari bekerja
ladang, waktunya dimanfaatkan untuk gotong royong bekerja di kampung. Bisa merapikan
jalan di pemukiman atau jalan setapak ke ladang, ataupun memperbaiki rumah dan lumbung.
Pada bulan Februari ada upacara ‘Uman Jenai’ yang merupakan pesta awal ‘majao’ (panen).
Majao umumnya terjadi pada bulan Maret-April. Majao merupakan pekerjaan berat dan harus
cepat diselesaikan agar butiran padi tidak rontok di ladang. Bulan Mei adalah upacara ‘Uman
undat’ atau pesta habis panen. Pada bulan Maret sampai April biasanya juga terjadi musim
buah kedua. (Soedjito, 2005)
Tata waktu ini bukan sembarang dibuat, melainkan sebuah kearifan lokal yang dipelajari
selama ratusan tahun. Nenek moyang suku Dayak mempelajari alam secara terperinci dengan
pengetahuan tradisional. Mulai dari sistem perakaran, ilmu tanah, siklus air, siklus cuaca,
dendrologi (ilmu pengenalan jenis tumbuhan), ekologi ladang, etnoekologi (ilmu yang
mempelajari hubungan antara budaya dan lingkungannya), ilmu pertukangan, plasma nutfah,
dan farmasi alami. Tentu saja dengan bahasa dan pemahaman tradisional. Hal ini menjadi
sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan alam dunia.
Terdapat salah penafsiran pada sistem pengelolaan pertanian suku Dayak pada umumnya
menganggap pengelolaan pertaniannya menggunakan sistem berladang berpindah, padahal
pola yang dipakai adalah pertanian gilir-balik atau pertanian daur-ulang. Sistem perladangan
berpindah dari satu bidang tanah yang satu ke lahan yang lain masih sering dikaitkan dengan
perpindahan tempat tinggal atau pemukiman. Pola penggunaan lahan dalam skala lokal
dicampur baurkan dengan perpindahan penduduk/migrasi dalam skala ruang dan waktu yang
lebih besar. Untuk menghindari kerancuan ini sistem berladang berpindah sebaiknya disebut
saja sistem ladang gilir balik/berdaur-ulang. Sistem pertanian ladang berdaur ulang yang
berskala lokal serta waktu yang relatif singkat ini sangat tepat untuk menamai sistem pertanian
tradisional masyarakat Dayak. Sedangkan perpindahan pemukiman yang berskala ruang dan
waktu yang lebih besar tidak berpola daur-ulang
Bulaq atau perpindahan pemukiman bukan menuruti tuntutan budaya tradisional yang
sering dianggap tidak rasional. Bulaq tidak mungkin dilakukan setiap tahun atau dalam waktu
yang relatif singkat. Pindah perkampungan tidak semudah yang dikira orang. Bahkan orang
tua Dayak mempunyai nasehat kepada anak mudanya bila ingin pindah kampung. Nasehat
tersebut kalau diterjemahkan berarti “Kalau kamu sudah mampu memanggul bumi, barulah
berpindah”. Petuah ini mensiratkan betapa berat persoalan pindah pemukiman. Anak muda
harus berbadan sehat dan kuat karena ia harus memanggul seluruh harta benda keluarganya,
mulai alat pertanian, gong, guci, bahkan orangtua yang tak kuat jalan lagi harus
digendongnya.(Soedjito, 2005)
Pemukiman dayak sebenarnya bisa puluhan tahun menetap di satu tempat bila keadaan
lingkungannya mendukung. Penduduk bertahan di daerah ini karena ia bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya. Untuk kebutuhan makan mereka berladang daur ulang. Jumlah
penduduknya seimbang dengan tersedianya lahan sehingga mampu mempraktekkan ladang
daur ulang sesuai dengan pakem tradisionalnya dan dengan demikian kesuburan tanahnya
terpelihara.
Jadi, anggapan umum bahwa pola pertanian masyarakat tradisional Dayak menggunakan
sistem Perladangan Berpindah adalah tidak tepat, namun yang lebih tepat adalah sistem
perladangan daur-ulang atau perladangan gilir-balik. Pola pertanian ini telah lama dipraktekkan
dan merupakan teknologi yang cocok untuk menghadapi berbagai kendala alam di sebagian
besar Kalimantan.
Peladangan gilir balik yang dilakukan Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu hanya dilakukan
di beberapa wilayah hutan yang telah dipetakan sebagai ladang. Biasanya, ladang hanya dapat
digunakan selama 2 (dua) kali panen dan selanjutnya ditinggalkan. Ladang yang ditinggalkan
dibiarkan sekitar 5 (lima) tahun. Setelah lahan kembali menghutan, lahan siap dibuka kembali
sebagai ladang. Teknik ladang berpindah secara tidak langsung adalah upaya konservasi
tradisional masyarakat adat yang diwariskan nenek moyang mereka. Dengan teknik ini,
masyarakat tidak perlu membuka lahan baru selain yang telah dipetakan untuk peladangan
sehingga lahan primer dan hutan perawan tetap terjaga kelestariannya. Ladang gilir-balik
hanya memiliki batas waktu panen tahunan, sehingga faktor musim sangat mempengaruhi
proses bercocok tanam. Ketika musim kemarau, ladang yang telah dibuka dikeringkan dan
kemudian dibakar. Namun ketika musim penghujan, padi yang telah ditanam dibiarkan tumbuh
subur, kemudian dipanen. (Kristian, 2019)
Sistem peladangan gilir-balik dilakukan secara berpindah-pindah sebagai ciri utama
kearifan ekologi, dari lokasi lahan ladang yang satu ke lokasi ladang berikutnya guna
mengistirahatkan tanah (fallow land) lahan peladangan yang rtelah diolah beberapa kali. Waktu
bera sangat berpengaruh besar pada kesuburan tanah dan tingkat produksi yang dihasilkan.
Prinsip pertanian gilir balik juga membantu mempertahankan hutan dan memperkaya
keanekaragamanhayati. Kegiatan peladangan ini mampu menjaga siklus peremajaan hutan.
Proses suksesi yang terjadi pasca ladang ditinggalkan membantu menjaga biodiversitas
hewan tanah, burung, dan berbagai reptil yang ada di dalamnya. Mereka hidup di ranting pohon
muda, bertelur dan mencari makan berbagai jenis serangga di hutan tersebut. Hewan-hewan
ini bisa hidup dan berkembang biak jauh dari predator utama di hutan primer.
Unsur hara di Kalimantan lebih banyak terikat sebagai biomassa. Unsur N, P, K. Ca, Mg
dan unsur lainnya berbentuk zat organik berupa akar, batang, ranting, daun, bunga, dan buah.
Dan ternyata kandungan unsur hara jenis-jenis tumbuhan jakau lebih tinggi dibandingkan
dengan jenis-jenis empak. Maka tidak heran mengapa masyarakat Dayak lebih suka
memanfaatkan lahan jakau untuk ladangnya daripada lahan empak. Biomassa jakau ini,
setelah dibakar akan memberikan unsur hara yang cukup untuk pertumbuhan padi sampai
bulirnya masak siap dipanen. Jadi tidak benar bahwa perladangan daur ulang menghabiskan
hutan primer.
Iklim di Bahau Hulu termasuk iklim yang selalu basah dengan tipe curah hujan A (Schmidt
& Ferguson 1951). Curah hujan rata-rata tahunan sebanyak 4.073 mm yang merupakan jumlah
terbesar kedua di Kalimantan. Temperatur udaranya sekitar 25°C dan bahkan menjelang pagi
bisa mencapai 19°C. Bagian utara pulau Kalimantan, utamanya kawasan yang memiliki hutan
lebat memang sangat basah sehingga hutannya tepat sekali digolongkan menjadi hutan hujan
tropik. Curah hujan berkisar antara 3.000 – 4.000 mm per tahun dan suhu udara antara 15°-
25° Celcius. Gumpalan awan tidak pernah hilang dari langit Bahau Hulu. Gumpalan uap air ini
tentu berasal dari penguapan air sungai atau danau dan transpirasi dari dedaunan hutan yang
masih melimpah. Sehingga siklus air di daerah Bahau Hulu sangatlah lokal. Uap air dari laut
tidak sampai jatuh ke daerah pedalaman ini karena terlalu jauh. Kondensasi air yang
menyebabkan hujan sudah terjadi dan jatuh di daerah yang tidak jauh dari pesisir.
Rapatnya tegakan hutan di daerah tengah pulau Kalimantan ini sangat dijaga kelestariannya
oleh Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu. Karena ketersediaan air dan kesuburan tanah
sangat tergantung dari keberadaannya. Keseimbangan siklus air telah terjaga sehingga
walaupun musim kemarau panjang, sungainya masih berair dan di musim hujan pun tidak
pernah terjadi banjir bandang. Di daerah yang tinggi dengan temperatur udara yang dingin
menyebabkan kondensasi uap air di angkasa terjadi di lapisan rendah.
Sangking basahnya, kawasan ini tidak pernah mengalami kebakaran hutan besar. Padahal
daerah ini telah dihuni oleh orang Dayak sejak ribuan tahun yang lalu. Perlu diingat bahwa
masyarakat Dayak mempunyai budaya menggunakan api untuk membuka ladang dalam
sistem pertaniannya. Namun, peladang Dayak mengetahui sistem sekat bakar untuk menjaga
keluasan api, dan memilih waktu-waktu tertentu untuk melakukan pembakaran. Dalam budaya
Dayak, dikenal istilah Nutung yaitu kegiatan membakar semua biomassa tumbuhan yang
sudah mengering di lahan calon ladang dan biasanya dilakukan pada musim kemarau. Nutung
dilakukan secara bersama-sama untuk memudahkan pengelolaan api dan penentuan
waktunya pun diumumkan ke seluruh warga.
Meskipun ladang bergilir-balik memiliki waktu panen yang sangat lama, namun peladang
tidak perlu menggunakan pupuk atau pestisida. Petani ladang adalah penghasil padi organik.
Hasil produksi dari sistem ladang berpindah memang tidak sebanyak pertanian sawah, namun
merupakan produk yang jelas memenuhi standar pangan organik. Pemenuhan pangan modern
saat ini menuntut sumber pangan yang sehat dan jelas ketelusurannya. Hal ini merupakan
peluang dan tantangan Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu untuk meningkatkan produksi
pertaniannya dalam rangka memenuhi permintaan pasar dengan tetap menjaga nilai-nilai
budaya dan kearifan lokal.

Penutup
Masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa
masyarakat hukum adat termasuk dalam pengertian masyarakat, namun tidak semua
masyarakat dapat digolongkan dalam pengertian masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum
adat terikat oleh tatanan hukum adat yang tumbuh dan berkembang secara alami dalam
masyarakat tersebut sehingga merupakan pencerminan jiwa masyarakat. Pengakuan dan
perlindungan hak masyarakat hukum adat sangatlah penting, karena harus diakui masyarakat
hukum adat lahir dan telah ada jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
Bentuk pengakuan dari Pemerintah Daerah kepada Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu
tertuang melalui Surat Keputusan Bupati Malinau No. 189.1/K.335/2019 Tentang Pengakuan
dan Perlindungan Masyarakat Adat Besar Bahau Hulu di Kabupaten Malinau yang menetapkan
dan mengakui suku Dayak Kenyah, Dayak Sa’ben, dan Dayak Punan yang tersebar di 6
(enam) desa di Kecamatan Bahau Hulu Kabupaten Malinau sebagai Masyarakat Hukum Adat.
Bentuk pengelolaan pertanian pada Masyarakat Hukum Adat Bahau Hulu menggunakan
sistem pertanian gilir-balik atau pertanian daur-ulang. Pola pertanian ini memanfaatkan alam
dengan mengikuti siklus ilmiah. Praktek sistem perladangan gilir-balik pada masyarakat Dayak
merupakan pandangan dan pengetahuan tradisional yang menjadi acuan dalam berperilaku
dan telah dipraktekkan secara turun temurun. Sistem peladangan gilir-balik ini lebih akrab
dengan sistem alami yang tentunya lebih adaptif dalam mempertahankan struktur alami,
artinya peladangan gilir-balik sangat mendukung konservasi dan berkelanjutan. Ternyata
orang Dayak lebih rinci dalam mendeskripsikan suksesi hutan akibat perladangan.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, D. H. (2015). Laporan Pengkajian Hukum tentang Mekanisme Pengakuan
Masyarakat Hukum Adat.
Alting, H. (2011). Penguasaan Tanah Masyarakat Hukum Adat (Suatu Kajian Terhadap
Masyarakat Hukum Adat Ternate). Jurnal Dinamika Hukum, 11(1).
https://doi.org/10.20884/1.jdh.2011.11.1.75
Hilman Hadikusuma. (2003). Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV Mandar
Maju.
Kristian, R. (2019). Ladang Berpindah Sebagai Pertanian Berbasis Kearifan Lokal. Malinau.
Simarmata, R. (2006). Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta:
UNDP Regional Centre in Bangkok. https://doi.org/10.1080/07329113.2010.10756652
Soedjito, H. (2005). Apokayan, Sebongkah Sorga Di Tanah Kenyah. Himpunan Ekologi
Indonesia – LIPI.
Sumardjono, M. S. W. (2001). Kebijakan Pertanahan antara Regulasi & Implementasi.
Kompas.
Tolib Setiady. (2009). Intisari Hukum Adat Indonesia ( Dalam Kajian Kepustakaan ). Penerbit
Alfabeta Bandung.

You might also like