Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 9

ANALISIS RATA-RATA LINTASAN REDAMAN MODEL PROPAGASI

PADA LAYANAN BASE TRANSEIVER STATION (BTS) BERSAMA


AREA KOTA PONTIANAK
Rudi Sartino1), Fitri Imansyah2), F. Trias Pontia W3)
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknik, Universitas Tanjungpura,
Jln. Prof.H.Hadari Nawawi, Pontianak, Indonesia
Email : Rudi.sartino@gmail.com

ABSTRACT

Selecting a good propagation model is quite difficult for a wireless communication design. In
this study, an approach to calculate propagation attenuation circuit which was appropriate with
characteristics in Pontianak area was done by a means of applying certain formula, for instance
through Okumura-Hatta model and Walfisch-Ikegami model. This study aims at identifying the
influence of antenna’s beam distance and signal reception at Mobile Station (MS) towards attenuation
value, implementing Okumura-Hatta model and Walfisch-Ikegami model, and analyzing the average
value of propagation attenuation circuit on Collective BTS (Base Transceiver Station) service in
Pontianak. Based on the measurement, calculation, and analysis which was done in Jalan Husain
Hamzah RT.05/RW.01 Kelurahan Paal Lima, Kecamatan Pontianak Barat, it was revealed that the
average values of attenuation circuit for Telkomsel by distance 0.75 Km, 1.5 Km, 2.25 Km using
Okumura-Hatta model were 125.42 dB, 142.58 dB, and 153.24 dB, with receptivity averages were -
85.42 dBm, -102.58 dBm, and -113.24 dBm. In Walfisch-Ikegami propagation model, the average
value of attenuation circuit were 136.23 dB, 149.06 dB, 154.80 dB, with receptivity averages reached
–96.23 dBm, -109.06 dBm, and -114.80 dBm. Meanwhile, for Three provider by distance 0.75 Km, 1.5
Km, and 2.25 Km using Okumura-Hatta model, it was obtained an average value of attenuation circuit
as much as 124.31 dB, 141.99 dB, and 152.98 dB with receptivity averages were –84.01 dBm, -101.69
dBm, and -112.98 dBm. In Walfisch-Ikegami model, the average value of attenuation circuit were
135.80 dB, 146.52 dB, and 153.77 dB, with receptivity averages as much as –95.50 dBm, -106.22
dBm, -113.47 dBm.

Key words: Attenuation propagation, RSCP, Okumura-Hatta, Walfisch-Ikegami

I. Pendahuluan karateristik propagasi di wilayah kota Pontianak


Propagasi sinyal adalah proses perambatan dilakukan dengan cara menerapkan rumus-
gelombang radio dari antena pemancar sampai rumus propagasi yang ada, salah satunya
ke antena penerima. Redaman propagasi dengan menerapkan model propagasi Okumura-
merupakan salah satu parameter penting untuk Hatta dan Walfisch-Ikegami. Pemilihan model
menentukan power transmit dan coverage dari propagasi Okumura-Hatta dan Walfisch-
suatu site. Jika sebelumnya jalur transmisi Ikegami dirasa cocok diterapkan untuk area
antara transmitter dan receiver hanyalah berupa kota Pontianak karena model propagasi
jalur langsung atau Line Of Sight (LOS) Okumura-Hatta dan Walfisch-Ikegami
sederhana, semakin lama transmisi akan merupakan pemodelan propagasi radio yang
menjadi semakin kompleks dengan berbagai paling banyak digunakan untuk memprediksi
daerah yang dipenuhi gedung-gedung tinggi perilaku transmisi seluler.
dan penghalang lainnya.
Pemilihan model propagasi yang tepat II. Dasar Teori
merupakan bagian yang cukup sulit dalam Propagasi gelombang radio didefinisikan
desain komunikasi wireless. Secara empiris, sebagai perambatan gelombang radio di suatu
terdapat banyak model propagasi yang telah medium (umumnya udara). Propagasi
dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir gelombang radio dapat dikatakan ideal jika
untuk perancangan jaringan komunikasi gelombang yang dipancarkan oleh antena
bergerak. Model propagasi yang umum pemancar diterima langsung oleh antena
digunakan diantaranya adalah model propagasi penerima tanpa melalui suatu hambatan (Line
Okumura-Hatta dan Walfisch-Ikegami. Of Sight/LOS).
Pemilihan model propagasi yang tepat Gatot Santoso (2006:124-125)
untuk melakukan pendekatan perhitungan menyatakan bahwa Propagation loss
lintasan redaman propagasi yang sesuai dengan mencakup semua pelemahan yang
diperkirakan akan dialami sinyal ketika simultan. Variasi sinyal sebagai akibat ketidak
berjalan dari base station ke mobile station. teraturan permukaan bumi atau daerah
Adanya pemantulan dari beberapa obyek dan pelayanan menimbulkan dua jenis perubahan,
pergerakan mobile station menyebabkan kuat sehingga pengukuran dilakukan sebagai
sinyal yang diterima oleh mobile station berikut:
bervariasi dan sinyal yang diterima tersebut a. Perubahan lambat : kecepatan stasiun
mengalami path loss. Secara umum terdapat 3 bergerak 30 Km/Jam, kecepatan perekaman
komponen propagasi yang menggambarkan 5 mm/detik.
kondisi dari komunikasi seluler yaitu b. Perubahan cepat : kecepatan stasiun
pathloss, shadowing (slow fading) dan bergerak 15 Km/Jam, kecepatan pita
multipath fading (fast fading). perekaman 250 mm/detik.
Dari percobaan Okumura telah diruuskan
oleh Hatta. Perumusan redaman propagasi yang
diajukan oleh Hatta sangat membantu dalam
memperkirakan level sinyal yang diterima oleh
Mobile Station (MS). Berdasarkan pengolahan
matematis dari grafik-grafik hasil percobaan
Okumura, Hatta memperoleh rumus redaman
Gambar 1. Komponen Propagasi propagasi pada daerah urban datar adalah:
Lp = C1 + C2 log f – 13,82 log hb – a(hm) +
1. Model Propagasi Okumura-Hatta (44,9 – 6,55 log hb) log d............................... (1)
Okumura melakukan percobaan untuk Dimana:
mengetahui karakteristik redaman pada sinyal C1 = 69,55 untuk 400 ≤ f ≤ 1500 (MHz)
radio bergerak sejak tahun 1962 sampai dengan = 46,30 untuk 1500 ≤ f ≤ 2000 (MHz)
1965. Percobaan dilakukan dua tahap, yaitu C2 = 26,16 untuk 400 ≤ f ≤ 1500 (MHz)
pada bulan November 1962 sampai januari = 33,90 untuk 1500 ≤ f ≤ 2000 (MHz)
1963 di daerah sekitar Kanto yang meliputi Lp = Redaman total propagasi sinyal
pusat kota Tokyo. Tahap kedua dilakukan pada daerah
bulan Maret sampai Juni 1965 yang dilakukan urban (dB)
di daerah bukit. Parameter system yang f = Frekuensi operasi (450 – 2000 MHz)
digunakan dalam percobaan: hb = Tinggi antena BTS (30 – 100 meter)
1. Frekuensi kerja pada daerah VHF dan UHF: hm = Tinggi antena MS (1 -10 meter)
Tahap pertama : 453 MHz, 922 MHz, 1310 a(hm)= factor koreksi tinggi antena MS
MHz dan 1920 MHz. d = Jarak antara BTS ke MS (Km)
Tahap kedua : 453 MHz, 922 MHz, 1317 factor koreksi tinggi antena MS a(hm)
MHz dan 1430 MHz dinyatakan sebagai berikut:
2. Tinggi antena untuk wilayah kota besar (Urban):
Tinggi antena stasiun tetap (hb) antara 30 a(hm) = 3,2(log 11,75hm)2 – 4,97 ................... (2)
meter sampai 100 meter Agar lebih teliti dalam sistem perancangan
Tinggi antena stasiun mobile (hm) antara 1 telekomunikasi sistem seluler perlu diadakan
meter sampai 100 meter penelitian lapangan terhadap besarnya pengaruh
3. Jarak jangkau pemancar (stasiun tetap) redaman jenis daerah marpo struktur di daerah
Pengukuran dilakukan pada jarak 1 sampai yang akan dirancang. Hasil pengamatan atau
100 Km dari stasiun tetap ke mobile station. penelitian lapangan ini dapat digunakan untuk
4. Kondisi daerah perambatan memberikan koreksi redaman propagasi
Percobaan dilakukan pada tiga jenis daerah terhadap daerah urban.
(daerah urban, suburban dan rural), baik
yang datar maupun berbukit. 2. Model Propagasi Walfisch-Ikegami
5. Proses pengumpulan data Model empiris ini adalah kombinasi dari
Stasiun tetap diinstalasikan di Tokyo dan model yang dibuat oleh J. Walfisch dan F.
Enkai. Stasiun bergerak yang dilengkapi Ikegami. Model ini selanjutnya dikembangkan
dengan perlengkapan untuk pengukuran, oleh COST dalam proyek COST 231. Dalam
dioperasikan menelusuri jalan raya pada perhitungannya, model ini hanya
berbagai kondisi observasi. memperhitungkan jalur transmisi secara lurus
Sinyal input dari antena stasiun bergerak pada bidang vertikal antara pemancar-
dihubungkan dengan pengukuran kuat medan, penerima. Jadi yang diperhitungkan hanyalah
sedangkan outputnya direkam melalui recorder efek dari benda-benda yang segaris dengan
jalur transmisi. Pada daerah perkotaan dimana pixel database gambar mereka.
terdapat banyak gedung-gedung maka yang Jika parameter-parameter yang di atas
diperhitungkan hanyalah gedung-gedung yang digunakan dalam perhitungan, maka walfisch
dilalui bidang vertikal jalur transmisi. ikegami dapat dikategorikan sebagai model
Tingkat ketepatan dari model empiris statistik saja. Namun selain memperhitungkan
ini sangat tinggi karena, pada daerah karakteristik dari parameter-parameter di atas,
perkotaan perambatan yang terjadi melalui model walfisch ikegami juga membuat
atap gedung (multiple diffraction) merupakan perbandingan dan membedakan antara dua
faktor yang sangatlah dominan dan paling situasi berbeda, yaitu saat terjadi LOS dan
berpengaruh. Hanya saja efek akibat NLOS (None Line of Sight).
refleksi yang berulang-ulang (Multiple Perambatan LOS adalah perambatan
reflection) tidak diperhitungkan. langsung antara pemancar (TX) dan penerima
Model Walfisch-Ikegami adalah model (RX). Saat terjadi situasi LOS maka fungsi
propagasi empiris untuk area urban yang dapat yang digunakan dalam prediksi menggunakan
digunakan baik untuk makrosel maupun model ini sangat sederhana. Hanya dibutuhkan
mikrosel. Model walfisch- Ikegami dapat sebuah persamaan dengan dua parameter saja
dibagi menjadi 2 kasus, yaitu LOS (Line Of dan dirumuskan sebagai persamaan :
Sight) dan NLOS (Non Line Of Sight). Lp = 42.6 + 26 log d + 20 log f ..................... (3)
Dengan d adalah jarak (km), f adalah frekuensi
(MHz) dan lp dalam satuan dB.
Persamaan LOS ini hampir sama
dengan persamaan losses pada perambatan
gelombang di ruang bebas. Persamaan itu
diturunkan dari persamaan free space loss yang
Gambar 2. Penampang Vertikal Perambatan
mengalami modifikasi berdasarkan hasil
Gelombang LOS Berdasar Model Propagasi
pengukuran yang dilakukan di kota-kota di
Walfisch-Ikegami
eropa. Jika jarak d= 20 m, losses yang terjadi
hampir sama dengan losses pada ruang bebas
dengan jarak yang sama.
Perambatan NLOS adalah perambatan
tidak langsung antara pemancar (TX) dan
Gambar 3. Penampang Vertikal Perambatan
penerima (RX) dimungkinkan akibat refleksi,
Gelombang NLOS Berdasar Model Propagasi
difraksi, maupun hamburan. Persamaan pada
Walfisch-Ikegami
situasi NLOS ini lebih rumit. Losses total dari
kasus NLOS ini merupakan hasil penjumlahan
Parameter yang di dapat dari gedung tersebut
antara free space loss (lo), multiple diffraction
antara lain:
hb = tinggi BTS (m) loss (lmsd) dan rooftop-to-street diffraction
∆hb = Selisih tinggi BTS dengan tinggi loss/losses akibat difraksi dari atap gedung
gedung (m) jalan (lrts) di rumuskan sebagai persamaan:
hroof = tinggi rata-rata bangunan (m) l0  l rts  lmsd untuk l rts  l msd > 0
hm = tinggi ms (m) lp  
l0 untuk l rts  l msd < 0 .................. (4)
∆hm = Selisih tinggi gedung dengan MS
(m) Untuk space loss :
w = lebar jalan (m) LNLOS = 32.44 + 20 log d + 20 log f ............... (5)
d = jarak MS- BTS (km) Dengan d adalah jarak (km) dan f adalah
b = jarak antar bangunan (m), frekuensi (MHz). Setelah mendapatkan nilai
fc = frekuensi (MHz) perambatan NLOS dilanjutkan dengan
Posisi arah pada jalan yang berhubungan perhitugan nilai lrts yang ditunjukan pada
dangan jalur pemancar-penerima, tidak persamaan (6)
diperhitungkan dalam implementasi model Istilah rooftop-to-street diffraction loss (lrts)
ini. Hal tersebut dikarenakan data mewakili losses yang muncul pada gelombang
penampang melintang tidak dapat mewakili yang yang terarah ke jalanan dimana penerima
arah contohnya pada persimpangan, pada berada. Pada dasarnya losses ini dinyatakan
halaman gedung yang dikelilingi tembok. oleh ikegami dalam model persamaannya,
Maka program- program komputasi model ini namun proyek COST 231 telah
tidak dapat menggambarkan arah dalam pixel-
menyempurnakan persamaan ini menjadi penerimaan harus memperhitungkan
persamaan : besarnya redaman akibat rugi- rugi lintasan
lrts  16.9  10 log w  10 log f  20 log hm  L0ri ........... (6) propagasi. Besarnya daya terima yang
dengan : menyatakan kuat sinyal penerimaan adalah
 w = lebar jalan (m) selisih antara daya sinyal yang dipancarkan
dengan daya sinyal yang hilang akibat
 Δhm = hr - hm (m)
redaman selama dalam lintasan propagasi yang
 f = frekuensi (MHz)
dapat dituliskan sebagai berikut:
 L0 ri = L0 ri dalam satuan dB PRX = PTX – Lp + GTX + GRX ................ (9)
 Tinggi hr > hm Dimana :
Untuk mendapatkan nilai Lori dapat dilihat pada Lp = Rugi-rugi lintasan propagasi (dB)
persamaan (7) dimana Lori didefinisikan sebagai PTX = Daya pancar antena BTS (dBm)
persamaan : PRX = Daya terima MS (dBm)e
Lori = 4 – 0.114 ( .......... (7)
GTX = Gain antena pemancar (dBi)
dengan :
GRX = Gain antena penerima (dBi)
 Lori= Orientation loss (dB)
 = Sudut jalur lintasan
Orientation loss lOri adalah persamaan koreksi 4. Received Signal Code Power
empiris yang diperoleh dengan membandingkan RSCP (Received Signal Code Power),
dengan data dari pengukuran. Jadi persamaan merupakan parameter yang menunjukkan daya
terima pengukuran dari satu kode pada channel
tersebut dikalibrasi dengan hasil pengukuran.
Sebuah perkiraan mengenai multiple diffraction pilot yang utama. Berikut merupakan standar
loss telah dibuat sebelumnya oleh Walfisch- level daya terima yang ditetapkan oleh
International Telecommunication Union (ITU).
bertoni, COST 231 kemudian memodifikasi
persamaannya agar bisa dipakai untuk base Tabel 1. Standar Nilai RSCP
station yang tingginya lebih rendah daripada Tingkat
ketinggian atap gedung. Pada persamaan kuat signal Range Kondisi
tersebut pengaruh hroof dan b juga turut (Bar Signal)
diperhitungkan dengan cara dijumlahkan. 5/Full 0 s/d -78 Sangat baik
Persamaannya adalah sebagai berikut : 4 dBms/d -83 dBm Baik
-78
Lmsd  Lbsh  k a  k d log d  k f log f  9 log b 3 -83 s/d -86 dBm Cukup Baik
............. (8)
Dimana: 2 -86 s/d -90 dBm Kurang Baik
 Lbsh = -18 log (1 + ) 1 -90 s/d -95 dBm Tidak Baik
dengan = hb-hr <1 -95 s/d -120 Sangat Tidak Baik
 ka = 54 untuk hb > hr dBm
 kd = 18 untuk hb > hr Sumber : ITU (International Comunication
Union)
 kf = - 4 + 0.7 ( ) untuk daerah
urban dan sub urban III. Proses Pengukuran dan Perhitungan
 b = jarak rata-rata antar gedung (m) 1. Bahan Penelitian
 f = frekuensi yang digunakan Bahan penelitian yaitu berupa pendekan
model propagasi Okumura-Hatta dan model
3. Daya Terima Mobile Station (MS) propagasi Walfisch-Ikegami untuk mengetahui
Gatot Santoso (2006: 166-167) menyatakan nilai rata-rata lintasan redaman model propagasi
bahwa kuat sinyal penerimaan menyatakan pada layanan Base Transceiver Station (BTS)
besarnya sinyal yang diterima pada sisi Bersama area Kota Pontianak.
penerima merupakan salah satu parameter 2. Alat yang digunakan
yang menentukan nilai Eb/No. Kuat sinyal a. Perangkat keras
yang diterima oleh base station dari mobile - Handphone Asus Zenfon C
station masing-masing user berbeda satu - Laptop Acer Aspire E1-410
sama lain. Hal tersebut disebabkan karena b. Perangkat Lunak
pengaruh redaman akibat rugi-rugi lintasan - Google Earth adalah aplikasi pemetaan
propagasi yang dialami setiap user berbeda bumi yang memudahkan kita melihat
user satu dengan user lainnya tergantung pada bumi. Kita dapat mengamati gambar dari
jarak masing-masing user dengan base station. satelit yang menampakkan sketsa dari
Oleh sebab itu, dalam menentukan kuat sinyal jalan, bangunan, keadaan geografis, dan
data spesifik mengenai lokasi atau tempat Tabel 2. Data titik lokasi pengukuran
tertentu. Aplikasi ini digunakan untuk
melihat lokasi akses.
3. Pengujian Lintasan Redaman model
propagasi pada Base Transceiver Station
(BTS) Bersama
Proses pengambilan data dilakukan
dengan cara memetakan lokasi menggunakan
software GPS pada google earth dimana kita
akan melakukan pengukuran jarak dari Base
Transceiver Station (BTS) ke Mobile Station
(MS).

Gambar 4. Pengujian redaman propagasi


Sumber : Hasil Pengukuran
4. Lokasi Pengukuran dan titik-titik
pengukuran IV. Hasil pengukuran dan perhitungan
Pengukuran dilakukan pada BTS Bersama A. Hasil pengukuran dan perhitungan
milik PT. Tower Bersama Grup (TBG) Jalan Berikut merupakan data rekapitulasi nilai
Husain Hamzah RT.05/RW.01 Kelurahan Paal rata-rata lintasan redaman dan nilai rata-rata
Lima, Kecamatan Pontianak Barat level daya terima pada layanan Base
Transceiver Station (BTS) Bersama area Kota
Pontianak dengan model propagasi Okumura-
Hatta dan model propagasi Walfisch-Ikegami
Tabel 3. Data rekapitulasi nilai rata-rata
lintasan redaman dan nilai rata-rata level daya
terima operator Telkomsel

Gambar 5. Lokasi BTS dan titik-tik


pengukuran

BTS yang akan diteliti pada penelitian ini


adalah BTS Paal Lima yang terletak di Jl.
Husain Hamzah RT.05/RW.01 Kel.Paal Lima,
Kec.Pontianak Barat. BTS ini terletak di Kota
Pontianak dengan kerapatan gedung yang
lumayan padat. BTS ini memiliki ketinggian 62
meter dari permukaan tanah. BTS ini
merupakan BTS Bersama dimana BTS ini
digunakan oleh 2 Operator yaitu Operator
Telkomsel dan Operator Three dengan tinggi
antena yang berbeda, adapun tinggi antena
Operator Telkomsel berada diketinggian 35
meter dan tinggi antena Operator Three berada
pada ketinggian 39 meter. Arah pengukuran
dilihat dari arah pola radiasi antena yang Sumber : Data Hasil Perhitungan
terpasang pada BTS.
lintasan redaman yang dihitung menggunakan
model propagasi Okumura-Hatta dan model
propagasi Walfisch-Ikegami, dimana hasil nilai
rata lintasan redaman yang dihitung
menggunakan model propagasi Walfisch-
Ikegami lebih besar dibandingkan nilai rata-
rata lintasan redaman yang dihitung
menggunakan model propagasi Okumura-
Hatta. Dari data rekapituasi nilai redaman
dapat dilihat bahwa nilai redaman pada semua
titik pengukuran baik dihitung menggunakan
model propagasi Okumura-Hatta maupun
dengan model propagasi Walfisch-Ikegami
operator Telkomsel mempunyai nilai redaman
lebih besar bila dibandingan dengan nilai
redaman operator Three. Adapun pengaruh
lebih besarnya nilai redaman operator
telkomsel disebabkan letak antena operator
Tabel 4. Data rekapitulasi nilai rata-rata Telkomsel lebih rendah dibandingkan antena
lintasan redaman dan nilai rata-rata level daya operator Three, Antena operator Telkomsel
terima operator Three berada pada ketinggian 35 meter sedangakan
Sumber : Data hasil perhitungan antena operator Three berada pada ketinggian
39 meter, dengan frekuensi kerja operator
Telkomsel 1857,5 Mhz dan frekuensi kerja
operator Three 1827,5 MHz. Dilihat dari segi
frekuensi dimana semakin besar frekuensi
yang digunakan maka semakin dekat pula
jarak pancar antena sehingga mempengaruhi
nilai redaman dan level daya terima pada MS.
Gambar 6 dan 7 menunjukan grafik
data rekapitulasi rata-rata lintasan redaman
untuk operator Telkomsel dan operator Three,
Gambar grafik diatas menunjukan jarak
Gambar 6. Grafik rekapitulasi nilai rata-rata tempuh sinyal yang terdekat samapai dengan
lintasan redaman operator Telkomsel terjauh, dimana sinyal banyak mengalami
variasi sinyal, sinyal yang diterima pada MS
kadang bagus dan terkadang jelek atau buruk.
Pengukuran dan perhitungan rata-rata lintasan
redaman pada jarak 0,75 Km operator
Telkomsel menggunakan model propagasi
Okumura-Hatta diperolah hasil cukup baik
sedangkan menggunakan model propagasi
Walfisch Ikegami diperoleh redaman yang
kurang baik, Dan untuk jarak 1,5 Km dan 2,25
Km operator Telkomsel menggunakan model
propagasi Okumura-Hatta diperolah hasil
Gambar 7. Grafik rekapitulasi nilai rata-rata sangat tidak baik begitu juga dengan
lintasan redaman operator Three menggunakan model propagasi Walfisch-
Ikegami diperoleh redaman yang sangat tidak
B. Pembahasan baik pula, Sedangkan untuk jarak 0,75 Km
Setelah dilakukan pengukuran dan operator Three menggunakan model propagasi
perhitungan maka didapat hasil rekapitulasi Okumura-Hatta diperolah hasil cukup baik
nilai rata-rata lintasan redaman yang dapat sedangkan menggunakan model Walfisch
dilihat pada Tabel 3. dan Tabel 4 dan Gambar Ikegami diperoleh redaman yang sangat tidak
grafik 6 dan Gambar grafik 7. Dari Tabel 3 dan baik, dan untuk jarak 1,5 Km, 2,25 Km
Tabel 4 dan Gambar grafik 6 dan Gambar menggunakan model Okumura-Hatta diperolah
grafik 7 dapat dikatakan bahwa Nilai rata-rata hasil yang sanagat tidak baik begitu juga
dengan nilai redaman yang dihitung dengan model propagasi Walfisch-Ikegami
menggunakan model propagasi Walfisch- diperoleh nilai rata-rata lintasan redaman
Ikegami diperoleh redaman yang sangat tidak sebesar 136,23 dB, 149,06 dB, 154,80 dB,
baik pula. sedangkan untuk operator Three
Dari Gambar grafik 6 dan 7 juga dapat pengukuran tahap pertama sampai dengan
dilihat bahwa semakin jauh jarak pengukuran tahap ketiga dengan jarak 0,75 Km, 1,5
didapat nilai redaman yang semakin besar dan Km, 2,25 Km dengan model propagasi
itu sangat berpengaruh pada nilai level daya Okumura-Hatta diperoleh nilai rata-rata
terima pada MS dimana semakin besar nilai lintasan redaman sebesar 124,31 dB, 141,99
redaman maka nilai level daya yang diterima dB, 152,98 dB, dan dengan model
pada MS akan semakin buruk. Maka untuk propagasi Walfisch-Ikegami diperoleh nilai
mengatasi daerah yang cukup jauh seperti rata-rata lintasan redaman sebesar 135,80
lokasi pada titik pengukuran tahap ketiga, baik dB, 146,52 dB, 153,77 dB.
operatar Telkomsel maupun operator Three 2. Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis
sebaiknya perlu dilakukan beberapa hal yang nilai rata-rata lintasan redaman model
menjadi masukan bagi pihak operator propagasi pada layanan Base Transceiver
pengguna BTS bersama diantaranya: Station (BTS) Bersama area Kota
1. Memperbesar daya pancar antena yang Pontianak yang telah dilakukan
digunakan untuk mengurangi nilai redaman sebelumnya, dimana semakin jauh jarak
yang diakibatkan oleh faktor jarak, dimana yang ditempuh sinyal maka semakin besar
semakin jauh jarak antena maka semakin pula nilai redaman yang dihasilkan, hal
besar juga daya pancar yg dibutuhkan. tersebut dapat dibuktikan dari kesimpulan
2. Menambah ketinggian antena; yang poin satu.
digunakan untuk memungkinkan terjadinya 3. Nilai rata-rata level daya terima pada MS
LOS (Line Of Sight) dimana diantara antena untuk operator Telkomsel dengan model
pemancar dan antena penerima tidak ada Okumura-Hatta yang memenuhi standar
penghalang yang akan menghalangi RSCP cukup baik dengan nilai level daya
pentransmisian sinyal. terima lebih kecil dari -86 dBm, hanya ada
Melakukan evaluasi dan monitoring dari satu tahap pengukuran yaitu pada jarak 0,75
setiap BTS dimana dikhawatirkan terjadi Km dengan nilai rata-rata level daya terima
gangguan sistem khususnya pemancar yang sebesar -85,42 dBm, dan pada tahap
berakibat berkurangnya daya terima berikutnya level daya terima pada MS
memenuhi standar RSCP tidak baik karena
V. Penutup nilai RSCP lebih besar dari -86 dBm, dan
1. Kesimpulan untuk operator Three yang memenuhi
Berdasarkan analisis terhadap hasil standar RSCP cukup baik dengan nilai level
perhitungan dan pengukuran nilai rata-rata daya terima lebih kecil dari -86 dBm, hanya
lintasan redaman maka dapat ditarik ada satu tahap pengukuran yaitu pada jarak
kesimpulan sebagai berikut: 0,75 Km dengan nilai rata-rata level daya
1. Nilai rata-rata lintasan redaman operator terima sebesar -84,01 dBm, dan pada tahap
Telkomsel lebih besar dibandingkan nilai berikutnya level daya terima pada MS
rata-rata lintasan redaman operator Three, memenuhi standar RSCP tidak baik karena
dan nilai rata-rata lintasan redaman yang nilai RSCP lebih besar dari -86 dBm.
dihitung menggunakan model propagasi Sedangkan perhitungan yang menggunakan
Walfisch-Ikegami lebih besar dibandingkan model Walfisch-Ikegami level daya terima
dengan nilai rata-rata lintasan redaman pada MS dari kesemua titik pengukuran
yang dihitung menggunakan model baik operator Telkomsel maupun operator
propagasi Okumura-Hatta, hal tersebut Three berdasarkan standar RSCP tergolong
dapat dibuktikan dari hasil pengukuran dan tidak baik karena nilai level daya terima
perhitungan yang telah dilakukan dimana yang didapat dari hasil perhitungan dan
hasil nilai rata-rata lintasan redaman, untuk analisis lebih besar dari -86 dBm.
operator Telkomsel pengukuran tahap 4. Tingkat akurasi nilai rata-rata lintasan
pertaman sampai dengan tahap ketiga pada redaman yang dihitung menggunakan
jarak 0,75 Km, 1,5 Km, 2,25 Km dengan model propagasi Walfisch-Ikegami lebih
model propagasi Okumura-Hatta diperoleh akurat bila dibandingkan dengan nilai
nilai rata-rata lintasan redaman sebesar redaman yang dihitung menggunakan
125,42 dB, 142,58 dB, 153,24 dB dan model propagasi Okumura-Hatta.
Teknik Universitas Tanjungpura
2. Saran Pontianak.
Hal-hal yang dapat menjadi saran atau [7] Tiur LH. Simanjuntak. 2002, Dasar-dasar
masukan dalam pengembangan dan perbaikan Telekomunikasi,Edisi Pertama, Bandung:
dalam penelitian akhir ini adalah sebagai PT. Alumni.
berikut: [8] Uke Kurniawan Usman. (2012). 4G
1. Untuk penelitian selanjutnya, penelitian Handbook Edisi Bahasa Indonesia,
sebaiknya dilakukan didaerah urban, Rekayasa Sains. 2012
suburban dan rural agar peneliti dapat [9] William Stallings.2007, Komunikasi dan
membandingkan nilai redaman dan kualitas Jaringan Nirkabel. Edisi kedua, Jakarta:
sinyal yang diterima MS. Erlangga
2. Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan
penelitian ini pada teknologi terbaru seperti Biografi
halnya teknologi 4G LTE Rudi Sartino, lahir di
3. Penelian selanjutnya sebaiknya dilakukan Sidodadi, tanggal 13 Juni
pada BTS bersama dengan pengguna BTS 1993. Menempuh pendidikan
lebih dari dua operator dan penelitian dasar di SD Negeri 27
dilakukan pada BTS Roof-top. Cabang Ruan lulus tahun
4. Untuk mengetahui kualitas dari suatu 2005 dan melanjutkan ke
redaman, jangkauan dan daya pancar SMP Negeri 2 Batu Ampar sampai tahun 2008,
secara akurat dari BTS, sebaiknya kemudian melanjutkan ke SMK Awaluddin
menggunakan DRIVE TEST dan juga Batu Ampar sampai tahun 2011. Memperoleh
menggunakan software G-NetTrack atau G- gelar Sarjana dari Program Studi Teknik
Mon. Elektro Universitas Tanjungpura Pontianak
pada tahun 2017.
VI. Referensi
[1] Dina Angel. (2008). Pengukuran
Propagasi Radio Akses Area Bandung
Tengah Dalam Kaitannya Dengan Model
Okumur-Hatta dan Cost-231. Bandung :
Fakultas Teknik Elektro dan Sistem
Komputer Institut Teknologi Harapan
Bangsa
[2] Fitri Imansyah. (2009). Bahan Ajar Mata
Kuliah Sistem Komunikasi Bergerak
Seluler, Perpustakaan Untan, Pontianak
[3] Gatot Santoso.2006, Sistem Seluler
WCDMA (Wideband Code Division
Multiple Acces, Edisi Pertama,
Yogyakarta: Graha Ilmu.
[4] Iman Rakhmadi. (2011). Analisis
Redaman Sistem Komunikasi Bergerak
Seluler Dengan Model COST 231-Hatta.
Pontianak: Fakultas Teknik Universitas
Tanjungpura Pontianak.
[5] Lingga Wardana. 2011, 2G/3G Planning
Optimization For Consultan (Pluss
Introduction to 4G), Jakarta Selatan: ILP
Center
[6] Neneng Julpiana. (2010). Analisis
Perancangan Penentuan Letak BTS (Base
Transceiver Station) Menggunakan
Metode Okumura Hatta Dan Okumura
Hatta Pada System Seluler GSM (Global
System For Mobile). Pontianak: Fakultas

You might also like