Professional Documents
Culture Documents
(Hse) Confined Space
(Hse) Confined Space
slamet@mse.com.my
Rekan milist,
Beberapa waktu yg lalu telah terjadi fatal accident di dalam confined space. Tujuh (7) orang
tewas di Keppel Shipyard (Singapore) akibat explosion dalam Cargo Tank sebuah tanker. Dan
dua (2) orang tewas di Sime Sembcorp Engineering (Malaysia) akibat keracunan gas dalam
tank sebuah Topside yg sedang dibangun. Berikut mungkin yg jadi penyebabnya.
Cahyo Hardo
mempunyai sesuatu yang berhubungan dengan atmosfir yang bersifat membahayakan, tidak
punya tingkat kandungan oksigen yang cukup menyebabkan tenggelam not intended or design as
normal place of work
Hasanuddin
Ikutan nimbrung, karena saya aware dan kebetulan juga pernah "disulitkan" dgn confined space
ketika sedang menginspeksi suatu equipment.
Nanang Jamil
Saya ingin menambahkan, satu hal penting lagi, bahwa "worker" dan "permit issuer' yang akan
terlibat dalam pekerjaan confined space harus terlatih dan bersertifikat.
Untuk itu kami lampirkan paket "Safetyco Certified Inhouse Confined Space Entry Training - for
Worker", dan "Safetyco Certified Inhouse Confined Space Entry Training - for Permit Issuer" untuk
referensi rekan-rekan milis yth.
Hasil dari pelatihan ini akan mencetak pekerja-pekerja yang tahu dan mampu bekerja pada
confined space secara aman, dan juga dapat melakukan rescue dengan cepat dan tepat apabila
terjadi confined space incident.
Arief Rahman T
Pak Nanang,
Kenapa ya untuk "worker" dan "permit issuer" harus certified ? Saya berpendapat bahwa apabila
Working Procedure atau Standard Operating procedure dan juga Risk assessment-nya sudah in
place dan dalam
pelaksanaan-nya ada pengawasan yang ketat, sertifikat-sertifikat-an seperti ini tidak perlu.
Atau memang ada reason khusus yang memang secara prinsipil penting sehingga sertifikat (yang
biasanya berupa secarik kertas) tersebut bisa menjamin keselamatan orang yang sedang
bekerja ?
Mohon informasinya.
Nanang Jamil
Kenapa perusahaan mau mengkursuskan pekerjanya dalam bidang confined space untuk secarik
kertas ?
Mungkin ada rekan lain yang bisa bantu jawab, biar diskusinya lebih komprehensif.
Edyson Simorangkir
Pak Nanang, saya memahami "susahnya menjawab pertanyaan " pak Arif. Saya kira penjelasan
Pak Hasanuddin, Pak Slamet W, Pak Dirman W dan Pak Soehatman cukup jelas. Saya kira apa itu
confined space sudah dipahami bagi siapapun yg berkecimpung di area MIGAS ( field ) khususnya
di Kilang minyak / unit prosess, karena sistim pemipaan dan perkabelan listrik banyak yg ditanam
dalam tanah (under ground), sehingga bila suatu waktu perlu perbaikan/perawatan pasti dilakukan
penggalian, dimana masing2 yg mempunyai area telah menyiapkan syarat2 Keselamatan
mengenai penggalian dan sistim permit-nya.(perusahaan MIGAS di Negara sangat majupun
menetapkann bahwa :trenches 4 feet or deeper/ Torrance Refinery (mis), masuk katagori confined
space).Dan bagi suatu oil company, mengetahui dan memahami bahwa ada tanggung jawabnya
terhadap penerapan Safety, karena diatur oleh UU seperti UU 1/70 pasal 2(2) k dan pasal
3(1)a.Dan berikutnya, apa objectivnya kursus confined space ? agar kita mengetahui bahaya2 yg
mungkin timbul saat pekerjaan berlangsung dan apa tindakan kita saat keadaan darurat diarea
kerja kita.Dan apa buktinya kita telah mengikuti kursus? Diberi tanda yg berupa
sertifikat(sub.sistem menurut pak Dirman)Dan kalau ada Audit dari lembaga pemerintah, pasti
mengaudit pembinaan dari perusahaan terhadap pekerjanya, buktinya pasti dgn secarik kertas.
Kalau kita(kontraktor) ingin bekerja di PSC/KPS yg pertama harus lulus dgn nilai tertentu adalah
HSE Perfomance, kalau tidak lulus masih diberi kesempatan untuk belajar dan mengulang. Kalau
lulus, kita diberi kertas dgn nilai. Jadi tanda keikutsertaan/sertifikat dari suatu kursus adalah bukti.
Tanpa tanda keikutsertaan/sertifikat siapa yg mau percaya, karena semua orang bisa mengaku
telah mengikuti kursus, dan paling tidak bagi pekerja yg telah mengikuti kursus akan lebih
mengetahui apa yg dikerjakannya dari pada pekerja yg belum sama sekali kursus.
Dirman Artib
Pak Edyson,
Tetapi, ada yang mesti saya luruskan. Bahwa dalam sebuah audit, sang auditor tidak hanya akan
melihat secarik kertas untuk bukti pemenuhan kesesuaian. Secarik kertas mungkin bisa menjadi
awal Informasi untuk melakukan audit. Bukti dapat juga berupa mendemonstrasikan rangkaian
aktivitas-aktivitas yang membentuk rantai proses tertentu. Seorang auditor dapat meminta
seseorang yg telah mendapat sertifikat memperlihatkan kemampuan pengetahuan, keterampilan,
kecepatan dan lain-lainnya sesuai dengan apa yg menjadi criteria dia dalam mendapatkan
sertifikat tsb. Bukti audit juga kenyataan fisik di sekitar lingkungan fasilitas objek yang diaudit.
Apabila dipersyaratkan dalam system untuk menggunakan "closed M-F plug" untuk
penyambungan sebuah kabel bertegangan untuk pekerjaan sementara di lapangan, maka apabila
auditor melihat bahwa auditees menggunakan cara lain, maka auditor perlu mengobservasi lebih
dalam lagi kenapa hal ini bisa terjadi sebelum memutuskan ketidaksesuaian dengan system
"Sysem Non-conformance".
Saya setuju dengan Pak Slamet bahwa sertifikat belumlah bisa mewakili kompetensi seseorang.
Karena sertifikat bisa saja merupakan bukti catatan kehadiran seseorang dalam training.
Kompetensi merupakan sebuah rangkaian proses yang sistematis dan melibatkan
persyaratan/standard yg ditetapkan, pelaksana (personnel/organisasi) , pemberi jaminan (badan
sertifikasi) , pengawas thd pemberi jaminan (akreditasi), pengawas thd pelaksana (stake holders) ,
evaluasi terhadap standard kompetensi itu sendiri oleh Interested parties.
Edyson Simorangkir
Dirman Artib
Dari pandangan saya sebagai Business "Quality" Assurance, secarik kertas sertifikat adalah
mewakili sebuah sub-system yang direncanakan sebagai adanya sebuah jaminan (baca : quality)
yg sistematis. Sebagai salah satu metode/approach dalam melakukan pengendalian thd. sub-
system, ditetapkanlah sertifikasi. Khusus untuk issue ini, sertifikasi berarti jaminan thd.
ability/competency personnel/pelaku yg terlibat dalam aktivitas "confined-space" tsb. bahwa
personnel telah benar-benar megerti dari A-Z thd. akitifitas dan konsekuensi bahaya serta cara
pengendaliannya bila terjadi sesuatu.
Terlepas dari benar atau tidaknya proses untuk mendapatkan sertifikat, cara ini masih dianggap
lazim. Memang ada metode lain dengan hasil yg tidak kalah canggihnya. Bukankah kita tidak
pernah menanyakan sertifikat mutu bensin atau solar yg kita beli dari SPBU ? Lalu, kenapa kita
percaya bahwa itu benar-benar bensin atau solar ? Jelas, karena kita masih percaya kepada
pemerintahan yg sah untuk mengontrol semua ini.
Tetapi pertanyaan berikutnya adalah : "Apakah ada cara/metode melakukan monitoring atau
pengendalian yg direncanakan thd. proses untuk mendapatkan sertifikat tsb.? Apakah metode ini
cukup terjaga integritasnya ?
Jangan-jangan proses mendapatkan sertifikat spt. kita bikin SIM A dengan cara membayar calo,
nah ini namanya proses tsb . tidak terjaga integritasnya.
Soehatman Ramli
saya juga ingin urun rembuk Sertifikasi pada dasarnya suatu pernyataan mengenai kompetensi
seseorang mengenai bidang tertentu. Hal ini sangat penting, karena itu dicantumkan dalam
undang-undang ketenagakerjaan No. 13 tahun 2004. Nah, berbicaran mengenai confined space,
karena menyangkut nyawa orang lain, tentunya semua yang terlibat tidak boleh sembarangan, dan
pada dasarnya mereka yang kompeten. Bagaimana mencapai suatu level kompetensi, tentunya
atas 3 dasar yaitu KSA (knowledge,Skill, Attitute), salah satunya didapat melalui pelatihan.
Pelatihan dapat dilakukan baik internal maupun eksternal. Namun bagaimana kita tahu seseorang
telah memiliki kompetensi yang sesuai, tentunya melalui sertifikasi oleh lembaga yang
teralkreditasi pula. Saya ambil contoh sederhana. Semua orang bisa belajar, beli buku mengenai
semua jenis pelajaran. Namun bagaimana kita tahu bahwa level pengetahuan dan kompetensinya
telah setara dengan SMU, S1, S2, D3 dsb???, tentunya setalah melalui ujian untuk mendapatkan
ijazah.Contoh lain,jika kita datang ke poliklinik, kita pasti percaya bahwa suster yang menyuntik
kita telah memilki kompoetensi, karena telah disyaratkan. Hal serupa dilakukan di lingkungan
pengilangan untuk permit system, dimana semua gas tester harus sertified melalui suatu pelatihan
sehingga tidak setiap orang dapat melakukan pemeriksaan gas tersebut
terimakasih
Suryanto, Slamet
Pak Soehatman,
Setuju sekali dengan statement Bapak bahwa kompetensi telah tercantum dalam UU
Ketenagakerjaan / 2004 dan lebih dari itu bahwa statement seseorang Certified dikeluarkan oleh
lembaga yang terakreditasi. Tentu dalam proses sertifikasi mengacu kepada aturan main, contoh
untuk sertifikasi seri ISO, ISPS, CSP, CIH, CHMM, PE, dsb.
Cuma yang masih ngganjel adalah mendapat sertifikat kursus kemudian diklaim sebagai Certified,
yang barangkali sertifikat tersebut adalah sertifikat kehadiran.
Saya pernah bertanya ke beberapa dedengkot Center for Chemical Process Safety of AIChE, atau
yang berkecimpung di PSM dan RMP, Mary O’Connors CPS, apakah ada istilah Certified PHA
Leader? Jawabnya semua sama “ tidak ada”. Kecuali bahwa itu adalah sertifikat kursus dan tidak
berhubungan dengan sertifikasi untuk menunjukkan kompetensi seseorang di bidang tersebut.
Saya yakin Pak Dirman Artib juga telah melihat hal yang sama meskipun untuk bidang yang
berbeda. Bagaimana menyikapi hal-hal seperti ini untuk kemajuan profesionalisasi, di Migas
khususnya?
mazsuez@yahoo.com.sg
Edyson Simorangkir
Rekan2 yth.Membaca email p’Slamet W dan p’ Hasanuddin maka lengkaplah sudah antara five
reason vs group hazard dari confined space. Saya melihat TV hari Sabtu 7/8 lalu tentang
kecelakaan pada penggalian pipa air minum PAM di Dago Bandung, akibat longsornya tanah
galian yg mengakibatkan hilangnya nyawa manusia. Mungkin kita setuju bahwa pnyebabnya
adalah katagori “ Mechanical/physical hazards “dan bila ditarik kebawah “ siapa yg paling
bertanggung jawab atas kejadian ini “????Kontraktor, Sub.Kon., Pws.dikantor, Pws.Lapangan atau
Pem.Da.nya yang sama2 tidak ada perhatian atas nyawa Manusia??Kok langsung Polisi
menetapkan pekerja sebagai tersangka ??
Crootth Crootth
Kompetensi telah tercantum dalam UU itu bagus dan saya setuju, namun bukan ini yang saya kira
yang ingin ditanyakan mas Arief. Dalam pandangan saya, yang ingin ditanyakan oleh mas Arief
adalah kompetensi lembaga trainingnya, bukan yang ditraining... orang yang ditraining adalah
"ouput" bukan "logic solver/processor" (kalau boleh berbicara dengan idiom instrumentasi). Jikalau
"logic solver/ processor" tidak bagus,niscaya inputan sebagus apapun tidak akan menghasilkan
output yang bagus!!
Saya pribadi, hanya tidak sepakat dengan kata kata pak Nanang Jamil sbb:
"Untuk itu kami lampirkan paket "Safetyco Certified Inhouse Confined Space
Entry Training - for Worker", dan "Safetyco Certified Inhouse Confined
Space Entry Training - for Permit Issuer" untuk referensi rekan-rekan
milis yth.
Hasil dari pelatihan ini akan mencetak pekerja-pekerja yang tahu dan mampu
bekerja pada confined space secara aman, dan juga dapat melakukan rescue
dengan cepat dan tepat apabila terjadi confined space incident."
Alinea/kalimat terakhir di atas menyiratkan seakan akan "safetyco" (perusahaan Pak Nanang
bukan?) menjamin semua hal berjalan semestinya, dan sesuai harapan, padahal kan belum tentu.
Dalam point inilah saya juga tidak setuju, karena menyiratkan adanya iklan terselubung "safetyco",
tentunya Pak nanang sebagai moderator KBK HSE memahami betapa mailing list ini musti bebas
dan "imune" dari iklan iklan sesuai dengan tata tertib. Untuk niat baiknya memberikan bahan
training saya sangat menghormati dan salut, tapi mbok yah alinea berikutnya yang mengandung
iklan dihilangkan....
Asal tahu saja diluar negeri (USA) ada lembaga resmi namanya Continuing Education Unit (CEU)
yang bertugas memberikan jaminan pada peserta training bahwa training providernya adalah
bagus, dan bagi para pesertanya diberikan bonus jika meneruskan kuliah (biasanya S2) di suatu
perguruan tinggi yang mengadopt CEU (perguruan tingginya tentu saja terakan mendapat
potongan SKS sejumlah tertentu jika dia telah mengantungi sejkumlah tertentu CEU. Sedangkan di
Indonesia kita tahu hampir tidak ada lembaga training di tanah air yang telah mengantungi
sertifikasi CEU atau bekerja sama dengan lembaga perguruan tinggi ternama untuk memberikan
potongan SKS (di ITB dikenal dengan nama EEU, Earning Education Unit) bagi graduated student,
sehingga bisa dikatakan pengertian lembaga training tersebut kompeten atau tidak untuk kasus di
Indonesia sungguh bias.
Saya pribadi akan tertarik mengikuti suatu training yang diselenggarakan oleh provider training
lokal, jika sang Lecture nya memang benar benar orang yang kompeten, tidakharus bule
memang,karena tak jarang bule yang diusung pun adalah bule asal comot. Bule yang basicnya
econom ngajarin process safety misalnya, kan ngga bener.
Bagi saya syarat kompetensi seorang trainer itu adalah memiliki setidaknya dua diantara tiga
syarat berikut: Pengalaman (bisa berdasarkan jumlah kegiatan ataupun berdasarkan lama
menekuni suatu kegiatan), Knowledge (lulusan perguruan tinggi yang recognized (accreditized)
dengan nilai yang bagus pula) atau Training (telah ditraining untuk topik yang sama oleh lembaga
terakreditasi)
saya juga kurang sepakat dengan kata kata Pak Suhatman berikut:
Saya kira dijaman sekarang tidak patut lagi kita langsung percaya bahwa seorang yang berijazah
pasti kompeten. Yang harus diselidiki adalah lembaga yang memberikan ijazah apakah juga
kompeten. Tidak layak juga kita langsung percaya bahwa suster/dokter di semua rumah
sakit/poliklinik adalah kompeten, orang cenderung melihat lembaganya terlebih dahulu, tentunya
Pak Suhatman juga kalau misalnya sakit (semoga jangan) memilih milih rumah sakit/dokternya
bukan?? tidak asal kan? kecuali mungkin sangat darurat keadaannya. Kita tentunya masih ingat
kasus komanya Ayu Sukma di salah satu rumah sakit ternama bukan???
Intinya, pagi para peserta training, pinter pinterlha melihat dengan seksama lembaga training yang
mau diikutin....
Nanang Jamil
Saya pribadi mohon maaf jika telah terperangkap pada iklan terselubung seperti yang anda
maksud.
Namun dari sisi peningkatan safety secara kesisteman, peranan lembaga pelatihan dan informasi
tentang pelatihan memang diperlukan.
Saya kira mas Darmawan setuju, bahwa peranan pelatihan safety termasuk penting, disamping
peneguhan peraturan safety di lapangan, serta process design yang mengacu ke safety.
Saya sangat sependapat dan setuju, jika para praktisi melihat lembaga trainingnya, siapa
trainernya, dan saya sangat setuju sekali jika kita tidak lihat "bule"nya.
Oleh karena itu, (ini bukan iklan mas tapi klarifikasi), Safetyco saya bangun untuk memberikan
alternatif, dimana rekan-rekan bisa mendapat trainer berpengalaman (terutama di Pertamina dan
Oil &gas) dengan harga indonesia, instead of harga "bule".
Terima kasih, dan maaf.
Arief Rahman T
Sebetulnya pertanyaan saya lahir dari concern saya yang ketakutan (phobia kali) kalau melihat
statement bahwa "safety can be achieved through certificate".
Kebetulan saya membaca artikel yang membahas mengenai Functional Safety Management di
dunia instrument (bidang saya). Dalam makalah tersebut si penulis bercerita mengenai sebuah
kecelakaan fatal di Melamine Chemical Plant di Netherland.
Setelah melalu investigasi disimpulkan : "Research carried out by the chemical company itself
showed that several times safety procedures had been violated, that the procedure were not
always clear, and the company lacked a means of verification of the implementation of the
procedure".
Saya menganggap bahwa safety itu semacam closed loop yang menyeluruh bukannya sepotong-
potong.
Kembali ke masalah yang dibahas ada beberapa point yang saya sangat concern :
1. Safety selalu didekati dari ada atau tidaknya Sertifikat (yang dalam konotasinya justru
MENGHARUSKAN dilakukan oleh institusi luar company tersebut). Tren di dunia saat ini, hampir
keseluruhan standard meng-adopt performance based. Paling-paling yang dikatakan : ".... Shall be
verified by independent party". Pengertian "Independent Party" kan bisa berarti banyak dan tidak
harus oleh "perusahaan lain". Critical point-nya (menurut saya) justru di sini. Apa yang
dikemukakan teman-teman dengan segala macam bahasanya, kalau tidak diklarifikasi lebih lanjut
bisa menjebak ke arah sini. Ujung-ujungnya bisa ditebak : Safety akan di bisniskan sebagai
komoditi.
2. Kompetensi dan independensi selalu dinisbatkan kepada lembaga training/evaluator. Kerangka
pikir ini bisa sangat-sangat menjebak. Dalam banyak hal, sebetulnya standard memberikan
guidance dan implmentasinya diharapkan dilakukan oleh plant user dengan menggunakan
Engineering Judgment oleh plant user/owner tersebut mengingat yang tahu plant-nya kan
sebetulnya adalah plant owner/user tersebut bukan lembaga training. Dan yang harus diingat
bahwa TIDAK ADA satupun personel di plant yang ingin celaka. Saya melihat (mudah-mudahan
saya salah) bahwa Authority Having Jurisdiction di negara kita agak aneh karena justru lebih rely
on sertifikat-sertifikat ini ketimbang meyakinkan bahwa safety has been a culture di sebuah
perusahaan.
Ujung-ujungnya lagi-lagi bisa ditebak : Safety akan di bisniskan sebagai komoditi. Saya khawatir
bahwa jawaban kenapa banyak perusahaan mau mentraining-kan karyawannya dibidang safety
karena reasoning semacam ini. Ingin dapat sertifikat dan perusahaan-nya langsung dianggap
perusahaan yang safe. Kenapa ?? Karena ini jauh lebih mudah dan murah ketimbang me-maintain
safety system yang sustainable all the time dan itu tampaknya disupport oleh badan yang
berwenang.
3. Melihat pada pengalaman yang ditulis dalam makalah yang saya baca terbukti bahwa
investigasi yang dilakukan oleh perusahaan tersbut bisa menghasilkan kesimpulan yang sangat-
sangat independent dan tidak bias.
Oh iya, sebelum lupa, kebetulan beberapa waktu yang lalu kami dari IIPS (Indonesia Institute for
Process Safety) diskusi dengan salah satu expert dibidang safety instrumented system dari India.
Di India, menurut cerita dia, saat ini sudah ada legislasi bahwa kalau ada kecelakaan di dalam
sebuat plant maka PLANT MANAGER di plant tersebut yang paling awal akan diadili !!!
Dan dari cerita dia juga, saat ini sudah banyak Plant manager di India yang dihukum akibat
legislasi ini.
Mungkin ketimbang menitik beratkan soal sertifikat (yang lagi trend), lebih bagus meng-encourage
yang ini sehingga safety bisa didorong lebih nyata.
Pak Arief,
Saya tidak melihat korelasi antara tulisan pembuka anda tentang makalah yg anda baca tentang
kecelakaan fata di Melamine Chemical Plant Netherland dengan 3 point yang anda kemukan
setelahnya.
Saya setuju dengan hipotesis dari riset pemakalah yag mengatakan bahwa kebanyakan prosedur
yg ditulis tidak jelas (mungkin maksudnya tidak dimengerti pemakai) dan perusahaan tidak
memverifikasi pelaksanaan prosedur/ atau tidak mampu memverifikasi.
Dirman Artib
Tapi saya tidak melihat hubungan langsung dengan 3 point di bawahnya yg anda highlight, karena
kalau masalahnya adalah prosedur tidak jelas maka seharusnya prosedur dibuat lebih jelas dan
dapat dimengerti oleh para pemakainya. Salah satu caranya yaitu dengan memberikan pelatihan
yg mungkin bukan hanya di dalam kelas, tetapi praktek dan simulasi di lapangan. Kalau company
tidak memverifikasi pelaksanaan prosedur apakah efektif atau tidak efektif, ya jelas gak benar .
Perusahaan harus punya metode bagaimana memverifikasi keefektifan (kalau perlu keefisien-an)
prosedur yg ditetapkan dengan cara menguji atau cara lain yg relevan.
Safety dijadikan komoditi ya nggak apa-apa. Paling tidak keselamatan itu membutuhkan biaya dan
tidak gratis. Baik biaya akibat membeli intelectual properties orang lain
(supplier/contractor/consultant) maupun membeli jasa dari kalangan internal perusahaan anda
sendiri spt. inhouse training, pengarahan, membayar safety officer, safety manager, safety director,
gas detector man, dll.
Kalo competency sepenuhnya identik dengan lembaga training ya wajar saja, tetapi lembaga
training ini khan bukan harus dari luar perusahaan, apabila ada training provider dari internal
perusahaan itu bakal lebih bagus karena mungkin lebih mengerti permasalahan yang ril
menyangkut asset mereka. Bahkan ini yg sebenarnya diharapkan bahwa mereka membangun
system dari kebutuhan dan tuntutan kepentingan mereka sendiri, jadi jangan consultant yg biasa
memberikan advise untuk perbankan kemudian dengan sok pintar memberikan panduan kepada
operator gas processing plant. Tetapi, ini khan hanya masalah metode yg dipercayai efektif bagi
organisasi/pengguna.
Independensi yg provisinya harus dari lembaga luar ya nggak bisa dihindari jika kita percaya dalam
memakai applicable code. Misalnya jika Pressure Vessel kita mau di U-Stamp gaya ASME ya
mesti diverifikasi oleh Inspector ASME toh...masak inspector sendiri bakal bisa pasang U-Stamp ?
Arief Rahman T
Pak Dirman,
Saya ingin menunjukkan, dengan Ilustrasi pada awal tulisan, bahwa untuk keberhasilan safety
pemenuhannya adalah memaintain “complete safety life cycle” bukan hanya urusan selembar
sertifikat. Bisa jadi di perusahaan tersebut (sebagaimana kebanyakan perusahaan di eropa yang
rajanya dalam urusan sertifikat-sertifikat-an) operator mereka sudah certified. Tapi kecelakan tetap
saja terjadi karena perusahaan tersebut lack di beberapa element safety life cycle-nya.
Persoalan independensi yang sedang dibahas kan masalah masuk Confined Space, bukan yang
lain-lain.
Ini yang saya keberatan bahwa untuk urusan masuk confined space saja perlu diawasi dan di
certificate oleh perusahaan lain dengan dalih independensi.
Saya bisa ambil contoh untuk Incident Invenstigation atas incident di sebuah perusahaan. Bisa
dilakukan oleh team independent (tanpa melibatkan pihak yang terlibat dalam pekerjaan tersebut
kecuali hanya sebagai narasumber yang dimintai data kronologi kejadian dan data-data lain yang
berkaitan/diperlukan) dari dalam perusahaan tersebut TANPA harus melibatkan perusahaan atau
badan lain dan itu sudah cukup independent. Kesimpulan bahwa “independent” otomatis berarti
harus dilakukan oleh perusahaan/badan lain itu lho yang menurut saya bisa sangat menyesatkan.
Tergantung pada derajat independensi yang diperlukan apakah harus dari luar atau hanya dari
dalam perusahaan itu saja.