Professional Documents
Culture Documents
Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas
Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas
Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas
ABSTRACT
In practice, there will be events which were not regulated by was Laws, or even
if it was regulated, still unclear or incomplete. Therefore, a Judge is responsible to
fulfill the absence of law by creating, complete or clarify the law it if it needs to be
created, completed or clarified by finding the law through exploration and
understanding legal norms and justice which lives inside the society so that the law
will be applied to the particular event. To provide justice, a Judge should seek the
truth behind any event which proceed upon him/her by examining an event and
connect it with the governing law and provide a Judgment by stating the law for the
particular event.
This research is using normative legal research by researching literature and
supported by data from interview both from practitioner and academician. The
specification of this research is descriptive analytic, and the data compiled is analyze
qualitatively towards the substance of legal finding.
Good law is law which was accordingly with the living law in society and a
reflection of the governing norms in the society. In reality, lawmakers only enacted
general law whereas consideration on concrete issues is given to Judges. The
background for this is that lawmakers are not fully aware of the newest social norms
therefore a Judge must complete the written laws or create a new law by establishing
law (rechtsvorming) and finding the law (rechtsvinding) to filled out the absence of
law and avoid cases not being examined in the court of law with reason that the
written law is unclear or no written law was enacted in concrete cases. Judgments
which are taken by Judges have to be accountable with their conscience.
A. Pendahuluan
Hakim dalam mengadili suatu memberikan suatu kesimpulan
pembangunan.
7 hanya kalau hasil penemuan hukum
dan mencari dasar-dasar serta asas- konkret itu dari hukum positif yang
asas yang jadi landasannya, melalui berlaku, yaitu dalam Kitab Undang-
Undang saja, yang dianut ajaran
perkara-perkara yang dihadapkan
legisme yang merupakan dasar
kepadanya sehingga keputusannya
pelaksanaan hukum di negara yang
mencerminkan perasaan keadilan
16
bangsa dan rakyat Indonesia. menganut sistem kodifikasi.
Dalam kedudukan kehakiman, Apabila hakim dilarang
Mahkamah Agung merupakan badan mewujudkan hukum dalam
mandiri yang ditunjuk UUD 1945 kenyataan selain berdasarkan
untuk menjalankan kekuasaan
tersebut. UUD 1945 melarang 16 Sudikno Mertokusumo & Pitlo,
cabang-cabang kekuasaan negara Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta:
Citra Adytia, 1993, hlm. 9-10. Lihat pula
yang lainnya untuk mempengaruhi pendapat John Henry Marryam, Op.cit, hlm. 27.
Yang mengatakan bahwa hakim hanyalah
kekuasaan kehakiman. Moh. merupakan corong Undang-undang, dan dilarang
untuk menciptakan hukum, dilihat dari tradisi
Koesnoe mengatakan bahwa hukum yang berkembang di dunia yang
umumnya dianut negara-negara yang menganut
kemerdekaan atau kebebasan yang tradisi hukum kontinental (civil law).
Undang-undang, maka hakim tidak Di samping itu pula aliran
menjalankan fungsi secara bebas yang disebut Freirechtlehre yang
dalam menerapkan Undang-undang beranggapan bahwa peran hakim
terhadap peristiwa konkrit. Hakim aktif tidak terikat kaku pada
tunduk pada kekuasaan pembuat 17
Undang-undang. Ajaran ini dibagi
Undang-undang, dan melaksanakan dua, yakni aliran sosiologis, yang
apa yang diinginkan pembuat mengakui kebebasan hakim dalam
Undang-undang, sedangkan Undang- menemukan nilai-nilai dalam
undang bersifat statis dan manusia masyarakat, dan mencarinya dalam
berkembang dan hal itu hukum kodrat. Sudikno
menimbulkan masalah hukum yang Mertokusumo mengatakan bahwa
baru. pada umumnya negara-negara di
Kalangan yang menolak ajaran dunia menganut ketiga aliran
legisme ini mengatakan bahwa tersebut yang diterapkan secara
Undang-undang tidak identik dengan bersama-sama. Undang-undang akan
keadilan, dan tidak dijadikan patokan, dan apabila
menyetujui bahwa demi menegakkan Undang-undang tidak memenuhi
keadilan, maka hukum ditegakkan. kebutuhan dalam perwujudan hukum
Keadaan semakin berkembang maka hakim dapat mengisi
diikuti oleh pandangan bahwa hakim kekosongan hukum itu dengan jalan
bukan corong Undang-undang tetapi menafsirkan dalam memutuskan
pembentuk hukum yang memberi perkara. Sumber hukum yang biasa
bentuk pada isi dimanfaatkan apabila kedua sumber
Undang-undang dan hukum tersebut tidak dapat
menyesuaikannya dengan kebutuhan menjawab permasalahan dalam
hukum. Hakim dalam memutuskan perwujudan hukum dalam
perkara, dibimbing oleh pandangan kenyataan, maka ditemukan sumber
pribadinya (bigrippjurisprudenz), hukum lain berupa kebiasaan dalam
pengertian hukum tidak semata-mata masyarakat. Hakim di Indonesia
dilihat sebagai sarana melainkan akan melakukan tugasnya sesuai
sebagai tujuan, sehingga ajaran dengan sistem yang ada, yang
hukum menjadi ajaran tentang tercantum dalam Pembukaan UUD
pengertian.
17 Sudikno Mertokusomo & Pitlo,
Op.Cit., hlm. 44.
1945 yang mengandung cita hukum reformasi di bidang hukum untuk
bangsa Indonesia, yaitu pokok- mendukung penanggulangan krisis
pokok pikiran yang menjadi patokan di bidang hukum. Salah satu agenda
18 yang harus dijalankan adalah
pandangan bangsa tentang hukum.
Hakim dalam menjalankan tugasnya pemisahan yang tegas antara fungsi-
yaitu mewujudkan hukum dalam fungsi yudikatif dan eksekutif.
kenyataan, walaupun diberikan Pemisahan ini dilakukan dengan
kebebasan, namun harus mengalihkan organisasi,
memperhatikan cita hukum yang administrasi, dan finansial badan-
menurut Moh. Koesnoe memuat ide- badan peradilan yang semula berada
ide sosial yang dicita-citakan bangsa di bawah departemen kehakiman
Indonesia yang merupakan dasar menjadi berada di bawah kekuasaan
pembentukan ide kenegaraan yang Mahkamah Agung. Hal ini karena
selanjutnya dijabarkan kembali pembinaan lembaga peradilan yang
19 selama ini dilakukan oleh eksekutif
dalam bentuk UUD 1945.
Menurut UUD 1945, dianggap memberi peluang bagi
diberikan oleh lembaga ini. Mereka yang merupakan faktor yang turut
23
harus senantiasa bersedia untuk menentukan, yaitu:
membawa perkara-perkaranya ke (1) Tujuan yang hendak dicapai
depan pengadilan untuk dengan penyelesaian
diselesaikan. sengketa itu. Apabila tujuan
Oleh karena itu, lembaga yang oleh pranata itu adalah
pengadilan sekarang ini telah untuk merukunkan para
mengalami sedemikian rupa pihak sehingga mereka
sehingga merupakan suatu lembaga selanjutnya dapat hidup
dengan pranata yang tidak sederhana bersama kembali setelah
22 sengketa itu, maka orang itu
lagi. Dilihat di dalam kaitan
sosialnya, maka setiap pengadilan itu dapat mengharapkan, bahwa
merupakan respons terhadap tekanan disitu akan lebih
tuntutan masyarakat yang menjadi diletakkan kepada cara-cara
landasannya. Pengadilan disini mediasi dan kompromi.
dimaksudkan sebagai pranata Sebaliknya, apabila tujuan
penyelesaian sengketa yang dipakai dari pranata itu adalah untuk
oleh suatu masyarakat. Di dalam melakukan penerapan
masyarakat yang berdasarkan peraturan-peraturan (rule-