Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 41

Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Dalam Perkara Perdata Yang

Hukumnya Tidak Ada Atau Hukumnya Tidak Jelas

Dr. Ning Adiasih, SH.MH.*

ABSTRACT

In practice, there will be events which were not regulated by was Laws, or even
if it was regulated, still unclear or incomplete. Therefore, a Judge is responsible to
fulfill the absence of law by creating, complete or clarify the law it if it needs to be
created, completed or clarified by finding the law through exploration and
understanding legal norms and justice which lives inside the society so that the law
will be applied to the particular event. To provide justice, a Judge should seek the
truth behind any event which proceed upon him/her by examining an event and
connect it with the governing law and provide a Judgment by stating the law for the
particular event.
This research is using normative legal research by researching literature and
supported by data from interview both from practitioner and academician. The
specification of this research is descriptive analytic, and the data compiled is analyze
qualitatively towards the substance of legal finding.
Good law is law which was accordingly with the living law in society and a
reflection of the governing norms in the society. In reality, lawmakers only enacted
general law whereas consideration on concrete issues is given to Judges. The
background for this is that lawmakers are not fully aware of the newest social norms
therefore a Judge must complete the written laws or create a new law by establishing
law (rechtsvorming) and finding the law (rechtsvinding) to filled out the absence of
law and avoid cases not being examined in the court of law with reason that the
written law is unclear or no written law was enacted in concrete cases. Judgments
which are taken by Judges have to be accountable with their conscience.

A. Pendahuluan
Hakim dalam mengadili suatu memberikan suatu kesimpulan

perkara akan berusaha memberikan dengan menyatakan suatu hukum


keadilan bagi para pihak. Untuk itu terhadap peristiwa. 1 Pada praktik

hakim melakukan kegiatan dan peradilan, kita temukan banyak


tindakan dengan cara menelaah lebih peristiwa yang belum diatur dalam
dahulu tentang kebenaran peristiwa peraturan perundang-undangan, atau
yang diajukan kepadanya dan meskipun sudah diatur tetapi belum
setelah itu mempertimbangkan lengkap atau kurang jelas dan
dengan memberikan penilaian atas

peristiwa itu serta *Dosen Tetap Fakultas Hukum Usakti


Jakarta
1
menghubungkannya dengan hukum Wantjik Saleh K., Kehakiman dan
Peradilan, Jakarta: Simbur Cahaya, 1976, hlm.
yang berlaku untuk selanjutnya 97.
disinilah salah satu peranan hakim menyelami perasaan hukum dan
untuk mengisi kekosongan hukum keadilan yang hidup dalam
tersebut. masyarakat. Dengan demikian,
Menurut ketentuan Pasal 5 hakim dapat memberikan putusan
ayat (1) Undang-undang Nomor 48 yang sesuai dengan hukum dan
Tahun 2009 tentang Kekuasaan keadilan masyarakat.
Kehakiman, hakim wajib menggali, Di bidang hukum perdata
mengikuti, memahami nilai-nilai dalam hal ada perselisihan antara
hukum dan rasa keadilan yang hidup dua pihak, hakim harus menyatakan
dalam masyarakat. Ketentuan ini, hukum perdata yang mana antara
mengandung makna bahwa hakim mereka berlaku dan harus
dilarang menolak suatu perkara yang dilaksanakan dan mungkin dilanggar
dihadapkan kepadanya dengan 2
salah satu pihak. Jika orang hendak
alasan hukumnya tidak ada atau mempertimbangkan sesuatu dengan
kurang jelas. Dalam hal hukumnya cara yang benar, maka orang hanya
tidak ada atau tidak jelas, hakim dapat berbuat demikian mengenai
wajib menggali nilai-nilai hukum apa yang diketahuinya saja karena
dan rasa keadilan yang terkandung itu seorang hakim harus banyak
dalam kehidupan masyarakat yang sekali mempunyai pengetahuan yang
bersangkutan. Ketentuan tersebut berdasarkan pengalaman.
3
Diantara
menyatakan bahwa prinsip hakim dua kepentingan yang berbeda,
sebagai penegak hukum dan hukum itu harus berdiri sama tengah,
keadilan wajib menggali dan sebab barang siapa yang berbuat
mengikuti nilai-nilai hukum yang tidak adil, mengambil terlalu banyak
berlaku di masyarakat didasarkan barang dan barangsiapa yang
kepada pemikiran bahwa dalam menderita ketidakadilan, mendapat
masyarakat yang masih mengenal terlalu sedikit, maka hakim
hukum tidak tertulis serta ada dalam mencabut keuntungan dari orang
pergaulan dan peralihan, hakim yang berbuat tidak adil tadi dengan
merupakan perumus dan penggali memperbaiki imbangan dengan
nilai-nilai yang hidup dikalangan 2
Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai
Hukum, Jakarta: Ichtiar Baru, 1974, hlm. 26.
rakyat. Untuk itu, ia harus terjun
3 J.J. Von Schmid, Terjemahan R.
ketengah-tengah masyarakat untuk Wiratno et.al; Ahli-Ahli Pikir Tentang Negara
dan Hukum, Jakarta: PT. Pembangunan, 1965,
mengenal, merasakan dan mampu hlm. 34.
hukuman sebab pergi kepada hakim, sering ketinggalan dari
berarti pergi kepada keadilan yang pembangunan ekonomi yang
4 demikian pesat perkembangannya,
hidup.
Tujuan hukum memang tidak bahkan pembangunan hukum
hanya keadilan, tetapi juga kepastian dianggap sebagai sub ordinasi
hukum dan kemanfaatan. Idealnya pembangunan ekonomi. Oleh karena
hukum harus mengakomodasikan itu perlu diperhatikan adanya
5 putusan-putusan hakim melalui
ketiganya. Lepas dari segala
Judge Made Law yang sifatnya jauh
kerinduan terhadap hal-hal lain yang
lebih elastis dan dinamis dari pada
juga menjadi tujuan dari hukum,
8
ketertiban sebagai tujuan utama hukum tertulis atau undang-undang.
hukum merupakan suatu fakta Penemuan hukum lazimnya
obyektif yang berlaku bagi segala diartikan sebagai proses
masyarakat manusia dalam segala pembentukan hukum oleh hakim
6 atau petugas-petugas hukum lainnya
bentuknya. Peranan hukum dalam
pembangunan adalah untuk yang diberi tugas melaksanakan

menjamin bahwa perubahan itu hukum terhadap peristiwa-peristiwa

terjadi dengan cara yang teratur hukum yang konkrit. Penemuan

karena baik perubahan maupun hukum terutama yang dilakukan oleh

ketertiban (keteraturan) merupakan hakim dalam memeriksa dan

tujuan kembar dari pada masyarakat memutus perkara, penemuan hukum

yang sedang membangun, maka oleh hakim ini dianggap mempunyai

menjadi suatu alat yang tak dapat wibawa. Ilmuan hukumpun

diabaikan dalam proses mengadakan penemuan hukum,

pembangunan.
7 hanya kalau hasil penemuan hukum

Disadari bahwa peranan oleh hakim adalah hukum sedangkan


penemuan hukum oleh ilmuan
hukum terutama hukum tertulis
bukanlah hukum melainkan adalah
4 Ibid., hlm. 35.
9
5 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, ilmu atau doktrin.
Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1999, hlm. 153.
6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep- 8 Rusli Effendi dan Achmad Ali,
Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor, Menjawab Tantangan dan Problema
Otje Salman S. dan Eddy Damian, Bandung: PT. Pembangunan Non Hukum Melalui Sarana
Alumni, 2002, hlm. 3. Pengadilan dan Putusan Hakim, Tulisan dalam
7 Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: PT. Erosco, 1995, hlm. 339.
Bandung: Binacipta, 1986, hlm. 3. 9 SudiknoMertokusumo, Bab-bab tentang
Wewenang membentuk hukum Kehakiman, hakim wajib menggali,
tidak hanya diberikan pada cabang mengikuti, memahami nilai-nilai
kekuasaan legislatif, tetapi juga hukum dan rasa keadilan yang hidup
kepada kekuasaan administrasi dalam masyarakat. Untuk itu, hakim
Negara (eksekutif) dalam bentuk wajib menggali hukum yang hidup
peraturan administrasi negara atau di masyarakat tempat perkara
peraturan yang dibuat berdasarkan tersebut terjadi. Oleh karena itu
pelimpahan dari badan legislatif menarik dilakukan penelitian, jika
10
(delegated legislation). Hukum hakim menerima dan mengadili
sebagai produk kekuasaan tidak perkara dimana ketentuan hukum
pernah terlepas dari kehendak, tertulisnya belum ada atau jika
kepentingan, atau dasar-dasar ketentuan hukumnya tidak jelas.
kekuasaan itu sendiri. Disinilah Sementara sesuai ketentuan Undang-
sesungguhnya asal mula Undang Kekuasaaan Kehakiman
permasalahan hukum yang adil atau dilarang menolak perkara.
tidak adil, bermanfaat atau tidak
bermanfaat, memuaskan atau tidak B. Perumusan Masalah
memuaskan baik bagi individu atau Berdasarkan uraian di atas, maka
11
masyarakat secara keseluruhan. dapat dirumuskan permasalahan
Penemuan hukum relevan sebagai berikut:
dilakukan jika dalam perkara hakim 1. Bagaimana sikap dan peran
tidak menemukan sumber hukum hakim dalam
tertulis terutama dalam menangani menyelesaikan perdata
kasus-kasus yang terjadi di daerah- yang belum diatur dalam
daerah yang masih eksis menerapkan peraturan perundang-
hukum adat. Sesuai dengan asas undangan?
peradilan sebagaimana tercantum 2. Bagaimana sikap dan
dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) peran hakim dalam
Undang-undang Nomor 48 Tahun menyelesaikan perkara

2009 tentang Kekuasaan perdata apabila undang-


undang tidak jelas
Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993, hlm. 4-5. dikaitkandengan
10
Bagir Manan, Sistem Peradilan
Berwibawa (Suatu Pencarian), Jakarta: kewajibanhakim
Mahkamah Agung, 2005, hlm. 3.
11 Ibid., hlm. 5.
menggali nilai-nilai yang proses transformasi masyarakat ke
hidup dalam masyarakat? arah yang lebih baik melalui hukum,
pada umumnya dikenal adanya 3
c. Asas Hukum Yang Berkaitan
badan yang terkait didalamnya.
Dengan Penyelenggaraan
Kewajiban Hakim Dalam Badan-badan itu adalah pembuat
Menggali Nilai-Nilai Yang hukum, badan penegak hukum, dan
Hidup Di Masyarakat
badan pelaksana hukum.
Pada dasarnya hukum yang
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48
hidup di masyarakat baik yang
Tahun 2009 menyatakan:
formal maupun non formal yang
“Kekuasaan Kehakiman
eksistensinya diyakini oleh adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk
masyarakat tentang apa yang
menyelenggarakan peradilan
seharusnya (das sollen) demikian. guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan
Hukum itu sendiri merupakan
Pancasila, demi
bentuk formal dari struktur dan terselenggaranya Negara
kultur masyarakat. Oleh karenanya Hukum Republik Indonesia”.

hukum positif Indonesia adalah


Kemudian di Pasal 10 ayat (1)
wujud formal dari struktur dan kultur
Undang-undang Nomor 48 Tahun
sistem masyarakat kita yang masih
2009 dijumpai ketentuan sebagai
diwarnai oleh berbagai corak yang
berikut:
menjadi struktur dan kultur
“Pengadilan tidak boleh
masyarakat kita sebelum merdeka. menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutuskan
Dengan kata lain pada hukum positif
suatu perkara yang diajukan
kita masih terlihat corak sistem dengan dalil bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas,
hukum yang berdimensi masa lalu,
melainkan wajib untuk
masa kini, dan arah di masa datang. memeriksa dan
Dalam hal inilah pembangunan mengadilinya”.

hukum berupaya melakukan


Pasal-pasal tersebut diatas
orientasi terhadap fenomena ini
membuktikan bahwa hakim juga
menuju terwujudnya hukum nasional
mempunyai fungsi mengadakan
yang dicita-citakan (ius
upaya dan transformasi masyarakat
12
constituendum). Di dalam suatu
Pikir dan Kerangka Sistem Hukum Nasional
12 Serta Rencana Pembangunan Hukum Jangka
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman dan HAM-RI, Pola Panjang, (Jakarta, 1996), hlm. 50.
melalui hukum. Hal ini lebih tegas perlindungan dan penyelesaian itu
lagi dikatakan dalam Pasal 5 ayat (1) adalah negara. Untuk itu, negara
bahwa Hakim wajib menggali, menyerahkan kepada kekuasaan
mengikuti dan memahami nilai-nilai kehakiman yang berbentuk badan
hukum dan rasa keadilan yang hidup peradilan dengan para
dalam masyarakat. Keadaan pelaksananya yaitu hakim. Pasal
sebagaimana disinggung diatas 11 ayat (1) Undang-undang
menunjukan bahwa saluran-saluran Nomor 48 Tahun 2009
untuk memfungsikan hukum sebagai menyatakan bahwa semua
sarana merubah dan memperbaharui pengadilan memeriksa, mengadili
struktur dan kultur masvyarakat dan memutuskan dengan
telah kita miliki. sekurang-kurangnya 3 (tiga)
orang hakim, kecuali undang-
D. Tugas dan Peranan undang menentukan lain.
Pengadilan 13 Kata yang terpenting dalam
Dalam hal terjadi suatu kalimat tersebut diatas adalah
pelanggaran hukum, baik berupa “mengadili”. Sebenarnya dengan
pelanggaran hak seseorang kata “mengadili” sudah tercakup
maupun kepentingan umum, kata-kata yang lainnya. Perbuatan
maka tidaklah boleh begitu saja “mengadili” adalah bertujuan dan
terhadap si pelanggar itu diambil berintikan “memberikan suatu
suatu tindakan untuk keadilan”. Untuk memberikan
menghakiminya oleh sembarang suatu keadilan itu hakim
orang. Perbuatan “menghakimi melakukan kegiatan dan tindakan.
sendiri” atau “eigenrichting” itu Pertama-tama menelaah lebih
sangatlah tercela, tidak tertib dan dahulu tentang kebenaran
harus dicegah. Tidak hanya cukup peristiwa yang diajukan
dengan suatu pencegahan, kepadanya. Setelah itu
tapi diperlukan suatu mempertimbangkan dengan
perlindungan dan penyelesaian. memberikan penilaian atas
Yang berhak memberikan peristiwa itu serta
menghubungkannya dengan
13 Wantjik Saleh, Kehakiman dan hukum yang berlaku, untuk
Peradilan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1976, hlm.
11. selanjutnya memberikan suatu
kesimpulan dengan menyatakan tidak jarang terdapat peraturan
suatu hukum terhadap peristiwa perundang-undangan yang tidak
itu. Tugas dan peranan Hakim tahan lama, segera menjadi tidak
sebagai Penegak Hukum berbeda berdaya guna, ketinggalan dengan
dengan Penegak Hukum yang perkembangan masyarakat.
lainnya (Polisi dan Jaksa). Karena Karena itu, pembentukan hukum
bagi hakim atau pengadilan dalam tidak hanya digantungkan kepada
tugas itu, terselip suatu tugas dan para pembuat peraturan
peranan yang lain, yaitu sebagai perundang-undangan saja, juga
“pembentuk hukum”. Tugas dan kepada para hakim atau
peranan yang kedua ini, artinya pengadilan diharapkan supaya
sangatlah menjadi lebih penting melakukan suatu “pembentukan
dalam rangka pembinaan dan hukum”. Tentulah perbuatan dan
pembaharuan hukum di negara hasil pembentukan hukum oleh
kita sekarang ini. Pengadilan berbeda dengan
perbuatan dan hasil dari pembuat
Hukum yang berupa peraturan perundang-undangan.
peraturan perundangan yang Karena dalam membuat peraturan
diciptakan oleh pembuat perundang-undangan pembuatnya
peraturan perundang-undangan dapat leluasa dalam memilih
yang dimaksudkan untuk hukum yang akan dibuatnya,
mengatur tata tertib dengan sedangkan Pengadilan sangatlah
melindungi baik perorangan terbatas pada persoalan peristiwa
maupun masyarakat biasanya atau kasus yang diajukan
memberikan ketentuan-ketentuan kepadanya. Karena itu, hasilnya
yang bersifat umum. Karena pun berbeda.
dalam membuat suatu peraturan Sebenarnya semua putusan
perundang-undangan itu, Pengadilan adalah berisi hukum.
pembuatnya tentulah sulit untuk Tetapi yang dimaksudkan disini
menjangkau waktu dan keadaan dengan “pembentukan hukum”
yang tertentu, tidak dapat oleh pengadilan itu, ialah suatu
mencakup segala peristiwa yang usaha yang sungguh-sungguh
sedang atau akan terjadi dalam dalam putusannya itu
masyarakat. Oleh karena itu, memberikan suatu yang baru,
baik dengan cara menciptakan dalam suatu putusan Pengadilan
suatu kaedah yang baru, yang seyogyanya merupakan hukum
tadinya belum ada, maupun yang khusus, kongkrit dan jelas,
dengan cara meninggalkan atau lebih daripada itu juga harus
menyimpangi yang telah ada, lalu sesuai dengan perkembangan
menciptakan yang lain. masyarakat. Untuk menyebut
Sebagaimana diketahui banyak beberapa contoh yang baru, yang
peraturan perundang-undangan diberikan oleh Mahkamah Agung
yang ada sekarang ini, terutama kita dalam beberapa putusannya
yang berasal dari zaman Hindia sesudah tahun 1966, antara lain:
Belanda, sudah tidak sesuai lagi putusan tanggal 17 Mei 1967 No.
dengan alam kemerdekaan dan 8 K/Sip/1967, tentang uang paksa
ketinggalan dengan yang tidak diatur dalam H.I.R,
perkembangan masyarakat. Tapi putusan tanggal 11 Juni 1967 No.
hal itu belum diganti dengan yang 100 K/Sip/1967 tentang
lain, yang sesuai dengan kedudukan pria dan wanita,
keadaannya. Maka dalam hal ini, putusan tanggal 15 Maret 1969
apakah Pengadilan harus No. 39 K/Sip/1968 tentang alasan
menerapkan sesuatu yang sudah “Onheelbare twestpalt” untuk
tidak sesuai lagi? Kalau masih bercerai, dan putusan tanggal 6
diterapkan juga persis seperti Maret 1971 No. 99 K/Sip/1971
yang dikehendaki oleh peraturan tentang acara gugat cerai Pasal 53
perundangan itu, berarti H.O.C.I.
Pengadilan tidak lebih atau Dalam melakukan
hanyalah “sebuah mulut” peradilan, Pengadilan harus
daripada peraturan perundang- mengadili berdasarkan hukum
undangan suatu hal yang sudah yang berlaku, meliputi yang
tidak layak lagi. tertulis dan tidak tertulis. Hal ini
Hukum hasil bentukan seperti dapat ditarik dari Pasal 5
pembuat peraturan perundang- ayat 1 Undang-undang Nomor 14
undangan selain bersifat umum tahun 1970. Lalu bagaimana
juga abstrak atau juga penuh kalau sekiranya hukum tersebut
dengan kekurangjelasan, tidak atau kurang jelas, terutama
sedangkan hukum yang tercipta umpamanya dalam hal hukum
yang tidak tertulis, apakah Undang-undang Nomor 48 Tahun
Pengadilan begitu saja 2009 dalam Pasal 50 nya
menyatakan tidak mau mensyaratkan bahwa segala
mengadili?. Hal tersebut dijawab putusan Pengadilan selain harus
oleh Pasal 10 ayat 1 Undang- memuat alasan-alasan dan dasar-
undang Nomor 48 Tahun 2009 dasar putusan itu, juga harus
yang menyatakan dengan tegas memuat pula pasal-pasal tertentu
bahwa Pengadilan tidak boleh dari peraturan yang bersangkutan
menolak untuk memeriksa, atau sumber hukum tak tertulis
mengadili, dan memutus suatu yang dijadikan dasar untuk
perkara yang diajukan dengan mengadili.
dalih hukum bahwa tidak ada atau
E. Kewajiban dan Tanggung
kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan Jawab Hakim
mengadilinya.
Kewajiban dan tanggung
Ini adalah sesuatu ketentuan
jawab hakim formal yuridis
yang layak, selain memang
terutama bersumber dari Undang-
didasari oleh suatu adagium yang
undang tentang Kekuasaan
menyatakan bahwa “Hakim
Kehakiman (Undang-undang
dianggap tahu hukum”, juga
Nomor 48 Tahun 2009), Pasal 3,
untuk memberikan suatu jaminan
Pasal 5, Pasal 10 ayat (1), Pasal
bagi setiap pencari keadilan.
13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 15,
Selain itu memang adalah tugas
Pasal 50 ayat (1,2), Pasal 51,
Pengadilan, yang kepadanya
Pasal 52 ayat (1). Di sini dapat
sudah diberikan suatu wewenang
diartikan bahwa, “dipundak para
pula untuk melakukan penafsiran
hakim telah diletakkan kewajiban
(interprestasi) hukum.
dan tanggung jawab agar hukum
Dalam memberikan suatu
dan keadilan ditegakkan itu, baik
keadilan dan mungkin juga
yang didasarkan kepada hukum
sekaligus menyatakan suatu
tertulis atau hukum tidak tertulis
hukum yang baru, memang
tidak boleh ada satupun yang
seyogyanya tertuang dalam
bertentangan dengan asas dan
putusan yang menyakinkan semua
sendi peradilan berdasar Tuhan
pihak. Karena itu,
14 kepada diri. Lebih lanjut
Yang Maha Esa. Pendapat
demikian ternyata sesuai dengan ditegaskan, “kalau inilah landasan
penjelasan Pasal 10 ayat (1) tanggung jawab hakim akankah ia
Undang-undang Nomor 48 Tahun ragu-ragu menguji, kalau perlu
2009 yang berisi, “Hakim sebagai membatalkan peraturan yang
organ pengadilan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila
memahami hukum. Pencari 15
dan Tuhan Yang Maha Esa”.
keadilan datang padanya untuk
mohon keadilan. Andaikata ia Undang-Undang Dasar 1945
tidak menemukan hukum tertulis, menentukan bahwa kekuasaan
ia wajib menggali hukum tidak kehakiman adalah kekuasaan yang
tertulis untuk memutus bebas dan merdeka. Kekuasaan
berdasarkan hukum sebagai Kehakiman ini ditegaskan pula pada
seorang yang bijaksana dan TAP MPR Nomor III/MPR/1973 Jo
bertanggung jawab penuh kepada TAP MPR Nomor VI/MPR/1978
Tuhan Yang Maha Esa, diri tentang Kedudukan dan Hubungan
sendiri, masyarakat, bangsa dan Tata Kerja Lembaga Tertinggi
negara. Negara dengan atau Antar Lembaga-
lembaga Tinggi Negara. Dalam
Lebih ditekankan melalui Pasal 11 ditetapkan bahwa
Pasal 2 ayat (1) UU. No. 48 Mahkamah Agung adalah badan
Tahun 2009 bahwa peradilan yang melaksanakan kekuasaan
dilakukan “Demi Keadilan kehakiman yang dalam pelaksanaan
Berdasarkan Ketuhanan Yang tugasnya terlepas dari kekuasaan
Maha Esa”. Lain lagi pendapat pemerintah dan pengaruh-pengaruh
Bismar Siregar, yaitu undang- lainnya.
undang secara jelas menegaskan Ketentuan hukum lain yang
tanggung jawab hakim itu bukan merupakan dasar pelaksanaan
kepada negara, bukan kepada kekuasaan kehakiman adalah
bangsa, tetapi pertama kepada Undang-undang Republik Indonesia
Tuhan Yang Maha Esa baru Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan
14 Bismar Siregar, Berbagai Segi
Hukum dan Perkembangan Dalam Masyarakat,
Bandung :Alumni, 1983, hlm. 7.
15 Ibid., hlm. 8.
Pasal 1 Undang-undang Republik diberikan oleh UUD 1945 kepada
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Mahkamah Agung ditafsirkan bahwa
tersebut, menegaskan, bahwa baik keadaan, bentuk maupun
kekuasaan kehakiman yang merdeka susunannya termasuk para
mengandung pengertian di dalamnya pelaksananya yaitu para hakim harus
“kekuasaan yang bebas dari campur diatur secara internal oleh
tangan pihak kekuasaan negara Mahkamah Agung.
lainnya dan kebebasan dari paksaan, Fungsi kekuasaan kehakiman
direktiva atau rekomendasi yang yang merdeka dilaksanakan oleh
datang dari pihak ekstra yudisial hakim berdasarkan hukum positif,
kecuali dalam hal-hal yang diijinkan namun tidak sebagaimana yang
undang-undang”. dikemukakan oleh Montesquie
Kebebasan dalam tentang hakim merupakan mulut
melaksanakan wewenang yudisial Undang-Undang, dan di luar
tidak mutlak sifatnya karena tugas Undang-Undang bukan hukum. Hal

hakim adalah menegakkan hukum ini dimaksudkan bahwa dalam

dan keadilan berdasarkan Pancasila, menjalankan tugasnya, hakim harus

dengan jalan menafsirkan hukum mengambil ketentuan individual

dan mencari dasar-dasar serta asas- konkret itu dari hukum positif yang

asas yang jadi landasannya, melalui berlaku, yaitu dalam Kitab Undang-
Undang saja, yang dianut ajaran
perkara-perkara yang dihadapkan
legisme yang merupakan dasar
kepadanya sehingga keputusannya
pelaksanaan hukum di negara yang
mencerminkan perasaan keadilan
16
bangsa dan rakyat Indonesia. menganut sistem kodifikasi.
Dalam kedudukan kehakiman, Apabila hakim dilarang
Mahkamah Agung merupakan badan mewujudkan hukum dalam
mandiri yang ditunjuk UUD 1945 kenyataan selain berdasarkan
untuk menjalankan kekuasaan
tersebut. UUD 1945 melarang 16 Sudikno Mertokusumo & Pitlo,
cabang-cabang kekuasaan negara Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta:
Citra Adytia, 1993, hlm. 9-10. Lihat pula
yang lainnya untuk mempengaruhi pendapat John Henry Marryam, Op.cit, hlm. 27.
Yang mengatakan bahwa hakim hanyalah
kekuasaan kehakiman. Moh. merupakan corong Undang-undang, dan dilarang
untuk menciptakan hukum, dilihat dari tradisi
Koesnoe mengatakan bahwa hukum yang berkembang di dunia yang
umumnya dianut negara-negara yang menganut
kemerdekaan atau kebebasan yang tradisi hukum kontinental (civil law).
Undang-undang, maka hakim tidak Di samping itu pula aliran
menjalankan fungsi secara bebas yang disebut Freirechtlehre yang
dalam menerapkan Undang-undang beranggapan bahwa peran hakim
terhadap peristiwa konkrit. Hakim aktif tidak terikat kaku pada
tunduk pada kekuasaan pembuat 17
Undang-undang. Ajaran ini dibagi
Undang-undang, dan melaksanakan dua, yakni aliran sosiologis, yang
apa yang diinginkan pembuat mengakui kebebasan hakim dalam
Undang-undang, sedangkan Undang- menemukan nilai-nilai dalam
undang bersifat statis dan manusia masyarakat, dan mencarinya dalam
berkembang dan hal itu hukum kodrat. Sudikno
menimbulkan masalah hukum yang Mertokusumo mengatakan bahwa
baru. pada umumnya negara-negara di
Kalangan yang menolak ajaran dunia menganut ketiga aliran
legisme ini mengatakan bahwa tersebut yang diterapkan secara
Undang-undang tidak identik dengan bersama-sama. Undang-undang akan
keadilan, dan tidak dijadikan patokan, dan apabila
menyetujui bahwa demi menegakkan Undang-undang tidak memenuhi
keadilan, maka hukum ditegakkan. kebutuhan dalam perwujudan hukum
Keadaan semakin berkembang maka hakim dapat mengisi
diikuti oleh pandangan bahwa hakim kekosongan hukum itu dengan jalan
bukan corong Undang-undang tetapi menafsirkan dalam memutuskan
pembentuk hukum yang memberi perkara. Sumber hukum yang biasa
bentuk pada isi dimanfaatkan apabila kedua sumber
Undang-undang dan hukum tersebut tidak dapat
menyesuaikannya dengan kebutuhan menjawab permasalahan dalam
hukum. Hakim dalam memutuskan perwujudan hukum dalam
perkara, dibimbing oleh pandangan kenyataan, maka ditemukan sumber
pribadinya (bigrippjurisprudenz), hukum lain berupa kebiasaan dalam
pengertian hukum tidak semata-mata masyarakat. Hakim di Indonesia
dilihat sebagai sarana melainkan akan melakukan tugasnya sesuai
sebagai tujuan, sehingga ajaran dengan sistem yang ada, yang
hukum menjadi ajaran tentang tercantum dalam Pembukaan UUD
pengertian.
17 Sudikno Mertokusomo & Pitlo,
Op.Cit., hlm. 44.
1945 yang mengandung cita hukum reformasi di bidang hukum untuk
bangsa Indonesia, yaitu pokok- mendukung penanggulangan krisis
pokok pikiran yang menjadi patokan di bidang hukum. Salah satu agenda
18 yang harus dijalankan adalah
pandangan bangsa tentang hukum.
Hakim dalam menjalankan tugasnya pemisahan yang tegas antara fungsi-
yaitu mewujudkan hukum dalam fungsi yudikatif dan eksekutif.
kenyataan, walaupun diberikan Pemisahan ini dilakukan dengan
kebebasan, namun harus mengalihkan organisasi,
memperhatikan cita hukum yang administrasi, dan finansial badan-
menurut Moh. Koesnoe memuat ide- badan peradilan yang semula berada
ide sosial yang dicita-citakan bangsa di bawah departemen kehakiman
Indonesia yang merupakan dasar menjadi berada di bawah kekuasaan
pembentukan ide kenegaraan yang Mahkamah Agung. Hal ini karena
selanjutnya dijabarkan kembali pembinaan lembaga peradilan yang
19 selama ini dilakukan oleh eksekutif
dalam bentuk UUD 1945.
Menurut UUD 1945, dianggap memberi peluang bagi

kekuasaan kehakiman merupakan penguasa melakukan intervensi ke


dalam proses peradilan serta
salah satu pelaksana tatanan
berkembangnya kolusi dan praktik-
kekuasaan dalam negara Republik
praktik negatif pada proses
Indonesia yang mewujudkan cita
20
hukum secara mandiri. Saat ini peradilan.
perwujudan cita hukum pada Dalam rangka mencapai
kenyataannya dalam masyarakat kekuasaan kehakiman yang merdeka
dilakukan oleh hakim berdasarkan dibutuhkan perubahan berbagai
Undang-undang Nomor 35 Tahun peraturan perundang-undangan yang
1999 tentang Perubahan Atas berkaitan dengan organisasi,
Undang-undang Nomor 14 Tahun administrasi, dan finansial badan-
1970 tentang Kekuasaan badan peradilan. Perubahan tentang
Kehakiman. Undang-undang ini penataan kembali bidang-bidang
dibuat dalam memenuhi tuntutan organisasi, administrasi, dan
keuangan dilaksanakan secara
18 Moh. Koesnoe, Ajaran Mahkamah
Agung Tentang Bagaimana Seharusnya 20 Penjelasan Umum Undang-undang
Menafsirkan UU Dari Masa Kolonial. Jakarta: Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Varia Peradilan, 1996, No. 126, hlm. 123-126. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentag
19 Ibid. Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
bertahap dalam jangka waktu 5 yang mandiri tersebut diwujudkan
tahun. Demi terciptanya checks and dalam hukum secara harfia. Dalam
balances terhadap lembaga menjalankan kewenangannya hakim
peradilan, antara lain perlu harus memperhatikan ide-ide sosial
diusahakan agar putusan pengadilan yang merupakan dasar pelaksanaan
dapat diketahui secara terbuka dan cita negara. Oleh sebab itu walaupun
transparan oleh masyarakat dan berada dalam masa transisi, hakim
dibentuk Dewan Kehormatan Hakim perlu melaksanakan tiga langkah
yang berwenang mengawasi perilaku tadi, yaitu menjadikan Undng-
hakim, memberikan rekomendasi undang sebagai sumber hukum, atau
tentang perekrutan promosi dan menafsirkan, dan memperhatikan
mutasi hakim. hukum kebiasaan yang tidak tertulis.
Pengalihan kewenangan dari Bertolak dari pendapat yang
Menteri Pertahanan Keamanan dan mengatakan, bahwa hukum itu
Menteri Kehakiman kepada Ketua merupakan mekanisme yang
Mahakamah Agung dalam mengintegrasikan kekuatan-kekuatan
menentukan badan peradilan yang dan proses-proses di dalam
berwenang memeriksa perkara masyarakat, maka Satjipto Rahardjo,
koneksitas; dan penambahan 21
mengemukakan bahwa
ketentuan mengenai penegasan “pengadilan pastilah merupakan
jangka waktu yang berkenaan lembaga yang terutama sekali
dengan pelaksanaan pengalihan menjadi pendukung dari mekanisme
organisasi, administrasi, dan itu. Di dalam lembaga inilah
finansial dari badan-badan peradilan sengketa-sengketa yang terdapat di
yang dilakukan secara bertahap dan dalam masyarakat diselesaikan,
dalam waktu paling lama 5 tahun, sehingga tidak lalu berkembang
namun untuk peradilan agama tidak menjadi pertentangan yang
ditentukan waktunya. Walaupun membahayakan
kekuasaan kehakiman, berdasarkan keamanan/ketertiban. Di tempat ini
Undang-undang akan di bawah pulalah nilai-nilai yang dihayati dan
kewenangan Mahkamah Agung yang dikehendaki oleh rakyat serta pola-
diberikan hak mandiri berdasarkan pola hubungan sosial yang telah
UUD 1945 namun tidaklah berarti
bahwa kebebasan 21 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm.
106.
disetujui bersama kemudian kesepakatan nilai-nilai dimana
ditegaskan kembali. Dengan segenap anggota masyarakat itu
demikian, maka sebagai lembaga menghayati nilai-nilai yang sama,
pengintegrasi, pengadilan juga dapat maka pengadilannya tentulah tidak
dipandang sebagai lembaga yang terlalu serumit yang terdapat pada
mengendalikan pola-pola kehidupan masyarakat yang berlandaskan nilai-
sosial serta menjamin nilai-nilai nilai yang berbeda. Dalam hubungan
yang dihayati oleh anggota-anggota dengan pranata yang dipakai oleh
masyarakat” Tetapi, tentulah agar ia suatu masyarakat untuk
dapat menjalankan fungsinya itu, menyelesaikan sengketa-sengketa
pertama-tama para warga diantara para anggotanya, oleh
masyarakat haruslah bergerak untuk Chambliss dan Seidman dalam

memanfaatkan jasa yang dapat Satjipto Rahardjo, ada dua unsur

diberikan oleh lembaga ini. Mereka yang merupakan faktor yang turut
23
harus senantiasa bersedia untuk menentukan, yaitu:
membawa perkara-perkaranya ke (1) Tujuan yang hendak dicapai
depan pengadilan untuk dengan penyelesaian
diselesaikan. sengketa itu. Apabila tujuan
Oleh karena itu, lembaga yang oleh pranata itu adalah
pengadilan sekarang ini telah untuk merukunkan para
mengalami sedemikian rupa pihak sehingga mereka
sehingga merupakan suatu lembaga selanjutnya dapat hidup
dengan pranata yang tidak sederhana bersama kembali setelah
22 sengketa itu, maka orang itu
lagi. Dilihat di dalam kaitan
sosialnya, maka setiap pengadilan itu dapat mengharapkan, bahwa
merupakan respons terhadap tekanan disitu akan lebih
tuntutan masyarakat yang menjadi diletakkan kepada cara-cara
landasannya. Pengadilan disini mediasi dan kompromi.
dimaksudkan sebagai pranata Sebaliknya, apabila tujuan
penyelesaian sengketa yang dipakai dari pranata itu adalah untuk
oleh suatu masyarakat. Di dalam melakukan penerapan
masyarakat yang berdasarkan peraturan-peraturan (rule-

23 Chambliss & Seidman dalam Satjipto Rahardjo,

22 Ibid., hlm. 106-107. Ibid., hlm. 52.


enforcement), maka cara- masih rendah, kesepakatan
cara penyelesaian yang nilai-nilai masih mudah
bersifat birokrasi mungkin dicapai, dimana perukunan
akan lebih banyak dipakai, merupakan pola penyelesaian
dimana sasarannya yang sengketa, maka di dalam
utama adalah untuk masyarakat yang mempunyai
menetapkan secara tegas apa tingkat perlapisan yang
yang sesungguhnya menjadi tinggi dengan susunan
isi dari suatu peraturan itu masyarakatnya yang
serta selanjutnya menentukan mendorong timbulnya
apakah peraturan itu telah ketidaksamaan (inequality),
dilanggar. penerapan peraturan-
(2) Tingkat perlapisan yang peraturan dengan
terdapat di dalam pembebanan sanksi
masyarakat. Semakin tinggi merupakan pola kerja yang
tingkat perlapisan yang cocok untuk masyarakatnya.
terdapat di dalam
masyarakat, semakin besar Berdasarkan hal itu, menurut
pula perbedaan kepentingan Chambliss dan Seidman, bahwa
dan nilai-nilai yang terdapat masyarakat yang kurang terlapis
disitu. Dalam keadaan yang dan kurang kompleks akan
demikian, maka lapisan atau cenderung untuk memakai pola
golongan yang dominan akan penyelesaian berupa perukunan,
mencoba untuk sedangkan sebaliknya dalam
mempertahankan masyarakat dengan perlapisan
kelebihannya dengan cara sosial yang tinggi lebih
memaksakan berlakunya kompleks, kecenderungannya
peraturan-peraturan disitu ada pada penerapan peraturan-
yang menjamin peraturan. Mengenai hubungan
kedudukannya. Berbeda antara struktur masyarakat dan
dengan keadaan masyarakat metode penyelesaian
sederhana, dimana tingkat
pemakaian teknologi dan
pembagian kerja di dalamnya
sengketanya terlihat pada tabel dilihat sebagai suatu badan yang
24 otonom di dalam masyarakat,
berikut:
melainkan diterima sebagai
suatu badan yang merupakan
bagian dari keseluruhan nilai-
nilai dan proses-proses yang
bekerja di dalam masyarakat
tersebut. Salah satu cara untuk
menggambarkan keadaan ini
Persoalan mengenai bekerjanya hukum
adalah dengan melihat
dalam hubungan dengan proses
pengadilan itu sebagai suatu
peradilan secara konvensional
lembaga yang dapat menerima
melibatkan pembicaraan tentang
bahan-bahan serta tugas-tugas
kekuasaan kehakiman, prosedur
yang harus digarap dan
berperkara dan sebagainya.
datangnya adalah dari
Secara singkat dapat dikatakan,
masyarakat. Penerimaan
bahwa masalahnya disini
tersebut kemudian setelah
adalah: “bagaimana mengatur
diolah menghasilkan “barang-
penyelesaian sengketa secara
barang” yang disebut keputusan.
tertib berdasarkan prosedur-
Di dalam proses pengolahan
prosedur formal yang telah
bahan menjadi produk terakhir
ditentukan”.
itu turut mengambil bagian dari
Menurut Satjipto Rahardjo, “keadaan
berbagai macam faktor dan
menjadi agak lain apabila
keadaan yang harus
penyelesaian sengketa itu dilihat
diperhatikan. Oleh karena itu
sebagai fungsi kehidupan sosial
maka penglihatan terhadap
disitu”. Yang menjadi masalah
pengadilan dari sudut itu
disini adalah : bagaimanakah
menaruh perhatian besar
bekerjanya pengadilan itu
terhadap unsur-unsur pranata
sebagai suatu pranata yang
yang bertugas sebagai semacam
melayani kehidupan sosial. Di
mesin untuk melakukan
dalam kerangka penglihatan ini
pengolahan tersebut. Hal ini
maka lembaga pengadilan tidak
digambarkan dalam bentuk

24 Ibid., hlm. 68.


diagram oleh Satjipto Rahardjo masyarakat secara sadar kepada
25 tujuan yang ditentukan.
sebagai berikut:
Pemimpin atau para kepala ini
tugasnya lebih bersifat
menyalurkan anggota-anggota
masyarakat agar mereka berbuat
sesuai dengan adat. Di sini sama
Memasukkan pula proses bekerjanya sekali tidak ada penggunaan
umpan balik sebagaimana dapat paksaan, tidak ada sesuatu yang
dilihat pada diagram diatas, dibebankan dari atas. Para
didapatkan gambaran yang lebih hakim melalui keputusannya,
jelas lagi mengenai kedudukan seyogyanya tidak menjatuhkan
lembaga pengadilan sebagai putusan-putusan yang tidak
bagian dari keseluruhan proses membumi, dalam arti sama
bekerja di dalam masyarakat. sekali jauh dari kebutuhan
Hubungan antara kompleksitas masyarakatnya. Di saat suatu
dan perlapisan masyarakat jenis kejahatan tertentu sedang
dengan cara-cara penyelesaian marak-maraknya, lantas hakim
sengketa ini tampaknya hanya menjatuhkan sanksi
tercermin pada kedudukan dan pidana minimal terhadap para
peranan seorang kepala adat di pelaku jenis kejahatan itu, mau
Indonesia pada waktu-waktu tidak mau mempengaruhi sikap
lampau. Lebih lanjut warga masyarakat yakni tidak
dikemukakan Satjipto Rahardjo, ngeri untuk juga melakukan
bahwa pemimpin pada jenis kejahatan itu, dan bagi
masyarakat Indonesia asli yang sudah pernah
sebetulnya adalah penjelmaan melakukannya akan menjadi

adat setempat. Ia tidak dapat tidak jera untuk melakukannya

dibayangkan sebagai pemimpin lagi. Seyogyanya para hakim

dalam pengertian zaman benar-benar mewujudkan

sekarang yang menjalankan harapan yang terkandung dalam

kekuasaannya untuk membawa Undang-Undang Kekuasaan


Kehakiman Undang-undang
25 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 54. Nomor 48 Tahun 2009, yang
menginginkan hakim dalam (7) Alternatif-alternatif
memutus, senantiasa peraturan yang dapat
memperhatikan nilai-nilai yang digunakan.
26
hidup dalam masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Satjipto
28
Namun dari segi sosiologis, sekalipun Rahardjo, mengemukakan:
pasal yang menjadi dasar dari Hakim disini kita lihat sebagai
putusan hakim adalah pasal bagian atau kelanjutan
yang sama, tetapi bersalah atau dari pikiran pikiran dan
tidaknya terdakwa, berat atau nilai-nilai yang berlaku
ringannya vonis hakim, masih dalam masyarakat. Oleh
tergantung pada berbagai faktor sebab itu ia merupakan:
yang sifatnya non-hukum, a. Pengemban nilai-nilai
seperti yang dikemukakan oleh yang dihayati oleh
Chambliss dan Friedman yang masyarakat;
dikutip oleh Achmad Ali,
b. Hasil pembinaan
27
yaitu: masyarakat
(1) Cara perkara itu (sosialisasi);
tiba di pengadilan; c. Sasaran pengaruh
(2) Sumber-sumber teori lingkungannya pada
yang dianut oleh waktu itu.
hakim; Bagian yang sangat esensial dan
(3) Atribut-atribut pribadi terpenting dalam ilmu hukum
hakim; adalah proses sidang
(4) Sosialisasi pengadilan, dimana pada saat
profesional hakim; hakim memeriksa, mengadili,
(5) Tekanan-tekanan memutus perkara yang diajukan
keadaan terhadap kepadanya. Dalam kaitan ini
hakim; Satjipto Rahardjo
(6) Tekanan-tekanan mengemukakan, bahwa “pada
keorganisasian dasarnya yang dilakukan hakim

terhadap hakim’ adalah memeriksa kenyataan


yang terjadi, serta
26 Achmad Ali, Menguak Tabir
Hukum, Ujung Pandang Watampone, 1998, hlm.
206. 28 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 55-59.
27 Ibid., hlm. 54.
menghukumnya dengan “Calonmempelai Andy Vony
ketentuan peraturan yang beragama Islam yang ingin
berlaku. Pada waktu diputuskan melangsungkan
tentang bagaimana atau apa perkawinannya dengan
hukum yang berlaku untuk Andrianus yang beragama
suatu kasus, maka pada waktu Kristen Protestan,
itulah penegakkan hukum memohon agar perkawinan
mencapai puncaknya”. Kondisi mereka dapat
ini menempatkan hakim sebagai dilangsungkan menurut
faktor penentu bagi penegakkan agama Islam di kantor
hukum dalam proses sidang urusan agama Jakarta”.
pengadilan.
Hasil:
Putusan Dalam Kasus Hukumnya Tidak Ada Permohonan pemohon ditolak oleh
Atau Tidak Jelas Pejabat Nikah kantor urusan
A. Penyelesaian Perkara Perdata agama. Alasannya ialah
Yang Belum Diatur Dalam bahwa calon suami
PeraturanPerundang- pemohon memeluk agama
Undangan Kristen.
Hal ini dapat dilihat dalam Putusan Pemohon Kedua:
Mahkamah Agung Nomor: 1400 “Calonmempelai memohon kepada
K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari Kantor Catatan Sipil
1989. Perkawinan antara Andy DKI Jakarta agar
Vony Gani P. (agama Islam) perkawinan mereka dapat
dengan Andrianus Petrus Hendrik dilangsungkan di hadapan
(Kristen Protestan). Keputusan Pegawai Kantor Catatan
Mahkamah Agung ini kemudian Sipil Jakarta”.
dianggap sebagai suatu Hasil: Permohonan pemohon
Yurisprudensi/yang dapat ditolak.
dijadikan pedoman dalam kasus Alasannya bahwa calon suami istri
perkawinan campuran berbeda memeluk agama yang
agama. berbeda.
Isi Permohonan pemohon: Permohonan kepada Pengadilan
Negeri:
Isi Permohonan: 1. Undang-undang Perkawinan
“Calon mempelai mohon kepada Nomor 1 Tahun 1974 tidak
Hakim supaya diberikan mengatur perkawinan yang
putusan berupa: berbeda agama;
1. Menyatakan bahwa 2. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
penolakan dari Pejabat Pusat membenarkan penolakan
Kepala Urusan Agama dan permohonan pemohon oleh Kantor
Pegawai Kantor Catatan Sipil Urusan Agama dan Kantor Catatan
untuk melangsungkan Sipil DKI Jakarta, karena
perkawinan mereka tidak alasannya sudah benar dan tepat;
beralasan/tidak sah. 3. Di sini terdapat halangan
2. Menyatakan Hakim perkawinan, sesuai dengan Pasal 2
Pengadilan Negeri Undang-undang Perkawinan
memberikan izinnya Nomor 1 Tahun 1974 beserta
kepada pemohon untuk penjelasannya.
melangsungkan Adanya penolakan tersebut pemohon
perkawinan mereka di mengajukan permohonan
hadapan Pegawai Kantor pemeriksaan kasasi terhadap
Catatan Sipil DKI penetapan/beschikking yang
Jakarta”. diterbitkan oleh Hakim Pengadilan
Hasil: Negeri kepada Mahkamah Agung
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Republik Indonesia. Adapun
memberikan “Penetapan hasilnya dapat dilihat dalam
(beschikking) yang inti diktumnya ikhtisar singkat putusan Mahkamah
antara lain adalah: Agung sebagai berikut:
Menolak permohonan pemohon. Mahkamah Agung Republik
Menyatakan penolakan Indonesia di Jakarta
melangsungkan perkawinan oleh: Putusan : Reg. No. 1400
1. Pejabat kantor urusan agama dan K/Pdt/1986 Tanggal 20
2. Pegawai Kantor Catatan Sipil
Januari 1989
Jakarta,
adalah beralasan. Pemohon : Andy Vony Gani
Pertimbangan Hukum: P.
Memori Kasasi :
1. Bahwa pemohon berkeberatan Jakarta tercantum dalam
atas penetapan Hakim yang surat penolakan Nomor:
menolak keinginan pemohon 655/1.1755.4/CS/1986
untuk melangsungkan tanggal 5 Maret 1986.
perkawinan yang berbeda Mengadili Sendiri:
agama ini. Antara mereka telah 1. Membatalkan surat penolakan
terjalin cinta serta wali Pegawai Luar Biasa Pencatat
mempelai kedua belah pihak Sipil Provinsi Daerah Khusus
telah menyetujui dan tidak Ikukota Jakarta agar supaya
berkeberatan dilangsungkannya melangsungkan perkawinan
perkawinan ini meskipun antara Andy Vony Gani P.
terhadap perbedaan agama. dengan Andrianus Petrus
2. Bahwa Pasal 21 ayat (4) Hendrik Nelwan setelah
Undang-undang Nomor 1 dipenuhi syarat-syarat
Tahun 1974 tidak melarang perkawinan menurut Undang-
perkawinan calon suami undang;
isteri yang berbeda agama. 2. Menolak permohonan kasasi
Diktum: dari pemohon kasasi untuk
1. Mengabulkan selebihnya;
permohonan kasasi 3. Menghukum pemohon
Andy Vony Gani P. membayar biaya perkara kasasi
untuk sebagian; ini sebesar Rp 20.000,- (dua
2. Membatalkan penetapan puluh ribu rupiah).
Pengadilan Negeri Pertimbangan:
Jakarta Pusat tanggal 11 1. Calon mempelai sudah saling
April 1986 Nomor: mencintai, telah terjalin
382/PDT/P/1986/PN.JK hubungan bathin. Wali kedua
T.PST. sejauh mengenai belah pihak tidak berkeberatan
penolakan anaknya kawin;
melangsungkan 2. Ketetapan Pengadilan Negeri
perkawinan oleh Keliru, karena tidak
Pegawai Luar Biasa mempertimbangkan Pasal 21
Pencatat Sipil Provinsi ayat (4) UU Nomor 1 Tahun
Daerah Khusus Ikukota 1974;
3. Mahkamah Agung 8. Kantor Catatan Sipil adalah
membenarkan bahwa kasus ini satu-satunya kemungkinan yang
diajukan kepada Pengadilan dapat (membantu)
Negeri, bukan Pengadilan melangsungkan perkawinan;
Agama; 9. Penolakan Kantor Catatan Sipil
4. Undang-undang Perkawinan untuk melangsungkan
Nomor 1 Tahun 1974 tidak perkawinan yang bersangkutan
memuat ketentuan tentang tidak dapat dibenarkan.
perkawinan campur, namun Apabila dianalisa ada beberapa
perkawinan karena perbedaan perbedaan penafsiran antara
agama lalu merupakan larangan, Putusan Mahkamah Agung
tidak sejalan dengan Pasal 27 dengan apa yang diputuskan oleh
Undang-Undang Dasar 1945, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
sebab di sini mengandung Di samping itu soal pengertian
pengertian kesamaan hak asasi pasal Undang-Undang
untuk kawin dengan sesama Perkawinan juga terdapat selisih.
warga negara, sekalipun Demikian pula pemakaian pasal
berbeda agamanya; untuk pertimbangan guna
5. Bahwa dulu ada undang-undang mengambil keputusan.
tentang perkawinan campuran, Mengenai aturan lama, walaupun
yaitu GHR dan HOCI, tidak dianggap masih berlaku memang
mungkin dipakai sebab ada tidak digunakan dalam
perbedaan prinsip dan falsafah; pertimbangan karena mempunyai
6. Dan oleh karena itu terjadi perbedaan prinsip serta falsafah
adanya kekosongan hukum; yang dianut, aturan lama tidak
7. Dalam masyarakat yang bersifat menghiraukan unsur agama dan
pluralistik, tidak sedikit terjadi hanya menganggap perkawinan
perkawinan beda agama. Dan sebagai hubungan perdata.
apabila tidak ada aturan lalu Mahkamah Agung menganggap
dibiarkan saja menimbulkan Undang-Undang Perkawinan
masalah yang berlarut-larut adalah bahwa perkawinan adalah
maka haruslah dapat hubungan lahir dan bathin serta
diketemukan dan ditentukan berdasarkan Ketuhanan Yang
hukumnya; Maha Esa.
Apabila kita perinci, maka Putusan 4) Ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Mahkamah Agung, khususnya Undang-undang Nomor 1 Tahun
mengenai pertimbangan 1974 jo Pasal 10 ayat (2)
hukumnya dapat kita ambil Peraturan Pemerintah Nomor 9
sarinya sebagai berikut: Tahun 1975, hanya berlaku bagi
a. Hubungan: mereka yang memeluk agama
Antara calon mempelai putri dan laki- yang sama;
laki terdapat hubungan bathin dan 5) Bahwa menurut Undang-
sudah saling cinta mencintai. Para Undang Perkawinan Nomor 1
wali kedua belah pihak telah Tahun 1974 jo Undang-undang
sama-sama menyetujui untuk Nomor 32 Tahun 1954,
kawin. penolakan melangsungkan
b. Undang-Undang dan perkawinan oleh pejabat KUA
Peraturan: adalah sudah benar dan tepat;
1) Undang-undang lama, yaitu GHR 6) Penolakan melangsungkan
dan HOCI masih berlaku namun perkawinan dari Pegawai
tidak mungkin diberlakukan, Kantor Catatan Sipil DKI
karena terdapat perbedaan prinsip Jakarta, tidak benar dan
dan falsafah; dibatalkan oleh Mahkamah
2) Undang-Undang Perkawinan Agung;
tidak mengatur soal perkawinan 7) Mahkamah Agung
beda agama. Dengan demikian memerintahkan kepada Kantor
maka terjadi adanya Catatan Sipil untuk
rechtsvacuum; melangsungkan perkawinan.
3) Undang-Undang Dasar 1945 c. Masyarakat:
mengatakan bahwa “Segala Dalam masyarakat yang
warga negara bersamaan pluralistik, tidak sedikit terjadi
kedudukannya dalam hukum”, perkawinan beda agama. Bila
Pasal 27 asas ini sejalan dengan tidak ada aturan dan dibiarkan
Pasal 29 UUD 1945 (asas saja menimbulkan masalah
kesamaan dalam melakukan yang berlarut-larut, maka
perbuatan hukum, walau pun harus diketemukan hukumnya.
berlainan agama); Menurut Undang-Undang
Perkawinan, perkawinan harus
mencerminkan nilai-nilai religius interpretasi harfiah atas kalimat
pasangan suami-istri. Memiliki yang terdapat dalam Pasal 2 ayat
keyakinan agama bahkan (1) bahwa perkawinan menjadi
merupakan conditio sine qua non sah “jika dilakukan menurut
untuk mengikat sebuah hubungan hukum agama dan keyakinan
perkawinan. Pasal 2 ayat (1) masing-masing” dapat dianggap
undang-undang ini dengan jelas sebagai larangan formal atas
menyatakan bahwa perkawinan hubungan perkawinan antara dua
hanya sah jika dilakukan sesuai pihak yang masing-masing
dengan hukum dan keyakinan memiliki agama atau keimanan
agama kedua calon mempelai. berbeda. Hukum perkawinan
Karena itu perkawinan tidak Muslim, misalnya, berisi elemen-
hanya sekadar urusan sekuler dan elemen yang tidak terdapat dalam
pribadi antara dua orang, namun tradisi Kristen, dan begitu pula
juga sebuah institusi yang sebaliknya: maka perkawinan
dinaungi nilai-nilai ilahiah. semacam ini bertentangan dengan
Dengan mengakui pentingnya hukum. Dan karena hubungan
tempat agama dalam hubungan perkawinan di Indonesia hanya
perkainan, negara sekaligus juga dipahami sebagai kontrak antara
mengakui peran hukum agama dua orang yang berasal dari
dalam pelembagaan sebuah agama yang sama, maka
keluarga. Persoalan yang muncul perkawinan antar iman terkecuali
kemudian adalah bahwa secara formal.
pengesahan perkawinan Namun pemahaman atas
berdasarkan keyakinan agama Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
yang sama bisa bermasalah Perkawinan sebagai larangan atas
karena dua orang yang menikah perkawinan antar iman dapat
boleh jadi berasal dari latar ditolak berdasarkan kenyataan
belakang agama yang berlainan. bahwa undang-undang itu sendiri
Pria dan wanita dengan afiliasi tidak secara eksplisit melarang
keagamaan berbeda sering kali perkawinan antara dua pihak yang
jatuh cinta dan kemudian memiliki afiliasi agama berbeda.
memutuskan untuk membangun Hal ini didukung oleh kenyataan
mahligai keluarga. Maka bahwa pasal-pasal
yang terkait dengan penghalang- unifikasi hukum perkawinan,
penghalang perkawinan tidak beberapa hukum yang berbeda
membahas apakah perbedaan yang sebelumnya berlaku di
afiliasi agama bisa jadi tengah masyarakat dengan
penghalang dilangsungkannya berbagai macam latar dan
perkawinan (lihat Pasal 8-28 kebudayaan telah dibatalkan dan
Undang-Undang Perkawinan mewajibkan seluruh bangsa
1974). Karena itu tidaklah dapat Indonesia untuk menaati satu
diterima, setidaknya menurut hukum perkawinan nasional yang

beberapa ahli, bahwa Pasal 2 ayat baru. Sayangnya, unifikasi ini

(1) itu harus ditafsirkan sebagai belum mampu menyelesaikan

larangan atas praktik perkawinan persoalan yang muncul akibat

antar-iman di negeri ini. Pasal ini hubungan antar-personal antara

hanya menyatakan (menurut orang-orang yang memeluk


agama berbeda. Menurut Retno
pendapat mereka) bahwa kedua
29
belah pihak harus melaksanakan Lukito secara jelas dapat dilihat
perkawinan menurut hukum bahwa dalam Undang-undang
agama. Maka, jika menurut Nomor 1 Tahun 1974 tentang
hukum agama tidak ada yang jadi Perkawinan tidak secara eksplisit
penghalang perkawinan, maka melarang, namun hakim dalam
perkawinan itu dapat mengambil putusan juga tidak
dilaksanakan. Dengan kata lain, dengan tegas memberikan jalan
pelarangan atas perkawinan antar- keluar yang terbaik, mereka
iman tidaklah bisa diterima jika berpatokan pada Pasal 2 ayat (1).
hanya didasarkan pada Pasal 2 Malang bagi mereka
ayat (1) Undang-Undang berdua, para hakim di pengadilan
Perkawinan. juga menolak permohonan
Namun ini bukan berarti tersebut berdasarkan argumen
perkawinan antar agama sama hukum bahwa pertama, Undang-
sekali tidak mengandung Undang Pokok Perkawinan
persoalan, bahkan setelah (Undang-undang Nomor 1 Tahun
ditetapkannya Undang-Undang 29 Retno Lukito, Hukum Sakral dan
Perkawinan Tahun 1974 sekali Hukum Sekuler, Studi Tentang Konflik dan
Resolusi Dalam Sistem Hukum Indonesia,
pun. Memang, dengan adanya Yogyakarta: Alfabet, 2008, hlm. 430.
1974) tidak mengatur perkawinan tidak bisa dilangsungkan karena
dua orang penganut agama baik hukum perdata maupun
berbeda; kedua, dalam pandangan hukum agama jelas-jelas
hakim-hakim tersebut, penolakan melarang perkawinan tersebut. Di
KUA dan KCS sudah tepat, sini hakim percaya bahwa Pasal 2
berdasarkan peraturan-peraturan Undang-Undang Perkawinan
yang berlaku tentang pengesahan harus dipahami sebagai larangan
perkawinan; ketiga, terdapat dilakukannya perkawinan antar-
alasan kuat untuk menghalangi iman dan bahwa perkawinan
terjadinya perkawinan antar-iman semacam itu tidak punya tempat
di Indonesia berdasarkan Pasal 2 di negara ini. Atas alasan-alasan
Undang-undang Nomor 1 Tahun inilah mereka menguatkan
1974 dan penerapannya yang keputusan Kepala Urusan Agama
ditetapkan dalam Pasal 8 dan Kantor Catatan Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Akan tetapi Mahkamah
Tahun 1975. Pemahaman hakim Agung berpedoman lain dengan
tentang hukum Islam juga menetapkan bahwa mereka harus
mendorong mereka untuk dapat menerapkan ketentuan
berpendapat bahwa perkawinan Pasal 27 Undang-Undang Dasar
antar-iman juga melanggar 1945.
prinsip-prinsip hukum Islam Proposisi di atas dapat
merujuk al-Quran Surat al- dipahami bahwa hakim-hakim
Baqarah (2): 221 bahwa seorang agung memandang Pasal 2
wanita Muslimah dilarang Undang-Undang Perkawinan
menikah dengan seorang non- sebagai aturan yang dirancang
Muslim. Selanjutnya, dari untuk orang-orang seagama, di
pemahaman hakim tentang ajaran mana dua pihak yang melakukan
Kristen, perkawinan antar-iman pernikahan sejak awal sudah
juga tidak dibolehkan oleh menganggap diri mereka terikat
Perjanjian Baru (2 Korintus 6: oleh hukum perkawinan dari
14). Karena itu, menurut agama mereka yang sama. Namun
pertimbangan hakim, perkawinan ini bukan berarti pasal tersebut
antar-iman antara Andy Vony dan dirancang untuk melarang
Andrianus pada kenyataannya perkawinan antar-iman.
Sebaliknya, hakim-hakim masuk akal jadinya jika perasaan
Mahkamah Agung nampaknya ini dinafikan dan dibunuh semata-
menafsirkan perkawinan antar- mata hanya karena perbedaan
iman bukan sebagai masalah agama yang mereka anut.
agama, namun lebih sebagai Nampaknya hakim juga terkesan
masalah hak asasi manusia. dengan dalamnya perasaan Vony
Akibatnya, hal tersebut terhadap Adrianus yang
melahirkan keputusan bahwa dibuktikan oleh kebulatan
perkawinan dapat dilangsungkan tekadnya untuk membawa kasus
terlepas dari perbedaan-perbedaan ini sampai ke Mahkamah Agung.
primordial yang Keinginan kuat untuk menikah
barangkali membedakan yang seperti ini tidak akan ada
pasangan yang ingin menikah. jika tidak didasari perasaan cinta
Selama kedua belah pihak yang begitu mendalam satu sama
memiliki kesamaan lain; karena itu, memutuskan
kewarganegaraan, maka negara hubungan mereka akan
bertanggung jawab melindungi berdampak buruk pada kedua
hak asasi manusianya, berupa hak belah pihak. Dari sini jelaslah
untuk menikah dengan sesama bahwa para hakim memandang
warga negara Indonesia. basis hubungan perkawinan pada
Hal yang terkait pula hakikatnya adalah perasaan kasih
dengan argumen hak asasi di atas sayang yang sama-sama dimiliki
adalah niat baik hakim untuk oleh sepasang calon susmi-istri.
melihat kasus perkawinan antar- Perbedaan keyakinan agama tidak
iman berdasarkan motivasi dengan sendirinya menjadi alasan
pribadi masing-masing calon yang kuat untuk mencegah
pasangan suami-istri. Hakim terjadinya perkawinan. Pendek
mengakui bahwa rencana Vony kata, perasaan kasih sayang
dan Andrianus untuk menikah adalah hak asasi setiap manusia,
murni didasarkan pada keinginan dan karena itu negara
mereka mewujudkan hubungan bertanggung jawab
kasih sayang yang sudah tumbuh melindunginya.
berkembang sejak lama. Karena Di samping itu, menarik
itu hakim menganggap tidak pula untuk dikaji mengapa hakim
di Mahkamah Agung menerima kedua belah pihak terlepas dari
proposisi kekosongan hukum kenyataan bahwa keduanya
tentang perkawinan antar-iman berasal dari agama yang berbeda.
sebagai titik tolak keputusan yang Akibatnya, ini semua
dikeluarkannya dalam kasus mengindikasikan kepada para
Vony ini. Penerimaan hakim bahwa pada prinsipnya
kekosongan hukum ini tak lain pasangan tersebut tidak lagi
berarti bahwa para hakim sudah mengikuti ajaran agama masing-
sejak semula sepakat bahwa masing; atau kalau mereka masih
Undang-Undang Perkawinan tidak mengikutinya, mereka memilih
menyediakan dasar hukum untuk untuk tidak menaati prinsip-
menyelesaikan perkara perkawinan
prinsip agama mereka lagi.
antar-iman di pengadilan. Mahkamah
Dengan demikian, dalam
Agung berpendapat bahwa resolusi
pandangan para hakim, Vony
legal
yang memadai hanya mungkin yang meskipun seorang Muslim,
jika hakim memilih keputusan telah menyatakan dirinya tidak
berdasarkan tujuan utama lagi terikat dengan ajaran hukum
perkawinan. Di sini sekurang- Islam yang melarang perkawinan
kurangnya ada dua antar-iman. Dengan demikian,
pertimbangan, 30 pertama, hakim dapat menganggap Vony
mengingat tujuan perkawinan telah melepaskan dirinya dari
adalah pertimbangan utama, ikatan hukum Islam untuk

maka sahlah membuat keputusan melaksanakan hubungan

yang didasarkan pada kenyataan perkawinan dengan Adrianus.

bahwa kedua belah pihak Jika demikian halnya, maka

memang saling mencintai. adalah sah bagi para hakim untuk

Karenannya, hubungan tidak menggunakan prinsip-


prinsip hukum Islam sebagai
perkawinan dipandang sebagai
dasar keputusan mereka,
turunan dari perasaan timbal balik
walaupun yang bersangkutan
tersebut. Hal ini diperkuat lagi
memang seorang Muslim. Dapat
dengan dukungan orang tua
dikatakan kalau para hakim ini,
meski tidak secara eksplisit,
30 Ibid., hlm. 323.
melandaskan keputusan mereka
pada prinsip “penerimaan suka- kulit dan agama sekalipun tidak
rela” (vrijwillige onderwerping) dapat jadi penghalang.
penggugat yang berakar dari Berdasarkan tafsiran tersebut,
hukum Belanda untuk proposisi hukum umum yang
menemukan sebuah resolusi; terkandung dalam Pasal 27
dengan mengabaikan peraturan Undang-Undang Dasar 1945
hukum Islam yang melarang dapat dipakai sebagai dasar bagi
perkawinan antar-iman tersebut, penanganan kasus khusus
Vony dianggap telah menolak perkawinan antar-iman.
hukum Islam sebagai alat hukum Putusan Mahkamah Agung
untuk memutuskan kasusnya sebagaimana disebutkan di atas
secara suka rela dan tanpa kemudian dijadikan jurisprudensi
paksaan. oleh Pengadilan Negeri Magelang
Kedua, hakim nampaknya dalam perkara permohonan yang
telah menyimpulkan bahwa salah diajukan oleh Yudi Kristanto
satu acuan hukum terbaik untuk (Pemohon) sebagaimana
membuat keputusan adalah tercantum dalam Penetapan
Undang-Undang Dasar. Inilah Nomor : 04/Pdt.P/2012/PN.MGL
sebabnya mengapa Pasal 27 Yudi Kristanto seorang muslim
Undang-Undang Dasar 1945 saat mengajukan
dikutip untuk mendukung permohonan telah
keputusannya. Prinsip kesamaan melangsungkan perkawinan
hak setiap warga negara yang dengan seorang wanita yang
diacu dalam pasal ini, walaupun bernama Yeni Aryono yang
memang tidak berkaitan langsung beragama Khatolik di Gereja
dengan kasus khusus seperti Paroki dengan Surat Perkawinan
perkawinan antar-iman, atas nama Yudi Kristanto dan
digunakan sebagai landasan Florentina Yeni Aryono
rasional untuk mengizinkan tertanggal 20 Oktober 2011 yang
perkawinan semacam itu. Hak dikeluarkan oleh Paroki St.
untuk melakukan perkawinan Ignatius Magelang dan
adalah hak asasi manusia yang ditandatangani oleh Rama Paroki
diakui di dalam Undang-Undang Franciscus Xaverius Krisno
Dasar: perbedaan suku, warna Handoyo Pr.
Kemudian Pemohon akan Heni Srijatun dan Aryo
mendaftarkan perkawinannya Joko Soewito;
pada Kantor Catatan Sipil Kota 2. Memerintahkan kepada
Magelang, akan tetapi Kantor Pegawai Kantor Dinas
Catatan Sipil Kota Magelang Kependudukan dan
tidak bisa melaksanakan dan Catatan Sipil Kota
mencatat perkawinan tersebut Magelang setelah salinan
dikarenakan Yudi Krisatanto dan Penetapan yang sudah
Yeni Aryono berbeda agama. mempunyaikekuatan
Kantor Catatan Sipil Kota hukum tetap ini
Magelang bisa melaksanakan dan ditunjukkan kepadanya
mencatat perkawinan apabila ada untuk melaksanakan
Surat Penetapan dari Pengadilan perkawinan antara Yudi
Negeri Magelang yang Kristanto dan Yeni
memberikan ijin kepada Aryono dan mencatat di
Pemohon untuk melangsungkan dalam daftar yang
perkawinan beda agama. diperuntukkan untuk hal
Pemohon mengajukan itu;
petitum kepada Pengadilan Hakim Pengadilan Negeri
Negeri Magelang sebagai berikut: Magelang memberikan
1. Memberikan ijin kepada pertimbangan hukumnya sebagai
Yudi Kristanto yang lahir berikut:
di Magelang pada Menimbang, bahwa
tanggal 30 Mei 1981 anak selanjutnya dalam Pasal 2 ayat
dari seorang Ibu (2) Undang-Undang Perkawinan
Sulibah untuk tersebut menyatakan bahwa tiap-
melangsungkan tiap perkawinan dicatat menurut
perkawinan beda agama peraturan perundang-undangan
di Kantor Catatan Sipil yang berlaku, bagi yang beragama
Kota Magelang dengan Islam pencatatan dilakukan oleh
Yeni Aryono yang lahir di Kantor Urusan Agama (KUA)
Magelang pada tanggal 9 dan bagi yang beragama selain
Mei 1978 anak dari Islam dilakukan
pasangan suami isteri olehPegawaiPencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan Perkawinan ditunjuk oleh Kepala
Sipil, sekarang Dinas KUA dan Pegawai Luar Biasa
Kependudukan dan Pencatatan Pencatatan Sipil DKI Jakarta
Sipil; Menimbang, bahwa untuk menolak pekawinan beda
Pemohon adalah seorang laki-laki agama;
beragama Islam yang hendak Bahwa benar perkawinan
mencatatkan perkawinannya beda agama tidak diatur secara
dengan seorang perempuan tegas di dalam Undang-Undang
beragama Katolik; No. 1 tahun 1974 tentang
Menimbang, bahwa Pasal 35 Perkawinan, akan tetapi keadaan
huruf a Undang-Undang Republik tersebut adalah merupakan suatu
Indonesia No. 23 tahun 2006 kenyataan yang terjadi dalam
tentang Administrasi masyarakat dan sudah merupakan
Kependudukan mengatur bahwa kebutuhan sosial yang harus
Kantor Dinas Kependudukan dan dicarikan jalan keluarnya menurut
Pencatatan Sipil dapat hukum agar tidak menimbulkan
mencatatkan perkawinan yang dampak negatif dalam kehidupan
telah ditetapkan oleh Pengadilan; bermasyarakat dan beragama;
Dan selanjutnya di dalam Sementara itu undang-undang
penjelasan dari pasal tersebut tersebut juga tidak melarang
telah ditegaskan bahwa yang secara tegas tentang perkawinan
dimaksud dengan “Perkawinan beda agama tersebut sehingga
yang ditetapkan oleh Pengadilan” terjadilah kekosongan hukum.
adalah perkawinan yang
dilakukan antarumat yang Terkait dengan penemuan
berbeda agama; hukum pada kasus Perkawinan
Menimbang, bahwa senafas Beda Agama, beberapa waktu lalu
dengan peraturan tersebut, yaitu telah diputus oleh Mahkamah
termuat dalam Putusan Konstitusi (MK) yang menolak
Mahkamah Agung RI No. uji materi Undang-Undang
1400/K/Pdt/1986 tanggal 20 Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Januari 1989 yang menyatakan Perkawinan yang diajukan tiga
bahwa adalah keliru apabila Pasal orang konsultan hukum dan
60 Undang-Undang tentang seorang mahasiswa. Dalam
putusan tersebut Mahkamah Perkawinan menyatakan:
menyatakan ketentuan keabsahan Perkawinan adalah sah apabila
perkawinan sebagaimana diatur dilakukan menurut hukum
dalam Pasal 2 ayat (1) UU masing-masing agama dan
Perkawinan tidak bertentangan kepercayaannya itu.
dengan UUD 1945. Terhadap permohonan,
“Mengadili, menyatakan Mahkamah berpendapat setiap
menolak permohonan para warga negara wajib tunduk
Pemohon untuk seluruhnya,” ujar tunduk terhadap pembatasan yang
Ketua MK Arief Hidayat ditetapkan dengan undang-undang
mengucapkan amar Putusan dalam menjalankan hak dan
Perkara Nomor 68/PUU-XII/2014 kebebasannya. Hal tersebut demi
didampingi tujuh hakim konstitusi menjamin pengakuan dan
lain, kecuali Hakim Konstitusi penghormatan atas hak dan
Wahiduddin Adams, di Ruang kebebasan orang lain.
Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis Pembatasan juga diperlukan
(18/6). guna memenuhi tuntutan yang
Para pemohon, Damian adil sesuai dengan pertimbangan
Agata Yuvens, Rangga Sujud moral, nilai-nilai agama,
Widigda, Anbar Jayadi, dan keamanan, dan ketertiban umum
Luthfi Sahputra K mengajukan uji dalam suatu masyarakat
materiil Pasal 2 ayat (1) UU demokratis. “Menurut
Perkawinan. Menurut Pemohon, Mahkamah, UU Perkawinan telah
norma tersebut membuka ruang dapat mewujudkan prinsip-prinsip
penafsiran dan pembatasan yang terkandung dalam Pancasila
sehingga tidak dapat menjamin dan UUD 1945 serta telah pula
terpenuhinya hak atas kepastian dapat menampung segala
hukum yang adil. kenyataan yang hidup dalam
Pemohon mendalilkan hak masyarakat,” ujar Wakil Ketua
konstitusionalnya untuk MK Anwar Usman.
melangsungkan perkawinan dan
membentuk keluarga terlanggar B. Penyelesaian Perkara Perdata
dengan adanya ketentuan itu. Apabila Undang-Undang Tidak
Adapun Pasal 2 ayat (1) UU Jelas
5. Ny. Hindrotriwirjo ( Islam )
Hal ini dapat dilihat dalam mempunyai 3(tiga) orang
Putusan Mahkamah Agung anak diantaranya dua orang
Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal beragama Nasrani
29 September 1999 (Putusan ini sedangkan yang lainnya
menyangkut hubungan hukum Islam;
Pewaris Muslim dengan ahli 6. Drg. Pantoro (alm), Islam,
waris Non-Muslim). Kasus mempunyai 2(dua) orang
Posisi: anak beragama Islam;
Martadi Hindrolesono 7. Lucas Indriya ( Nasrani ).
mempunyai sebidang tanah Martadi Hindrolesono
dengan SHM No.924 Tahun wafat dengan meninggalkan
1990 yang diperoleh dari Isteri Ny. Jazilah dan sebidang
ayahnya yang bernama tanah dengan SHM No. 924.
M.Ng.Djojo Suwirjo Antara Ny. Jazilah dengan
(almarhum), yang kemudian keluarga almarhum Martadi
menikah dengan Jazilah Hindrolesono terjadi
(Islam) tidak mempunyai perbedaan pendapat soal
keturunan. Martadi pembagian harta warisan
Hindrolesono mempunyai 7 tersebut, sehingga oleh Ny.
(tujuh) orang saudara kandung Jazilah mengajukan gugatan
yaitu : ke pengadilan agama
1. Setijono Hindro (alm) sedangkan keluarga Martadi
mempunyai anak 6(enam) Hindrolesono mengajukan
orang diantaranya satu gugatan ke pengadilan negeri.
orang beragama Katholik Ny. Jazilah menuntut agar
sedangkan yang lainnya harta warisan almarhum
Islam; Martadi Hindrolesono dibagi
2. Hindrowerdoyo (alm) menurut hukum Islam. Atas
mempunyai 1(satu) orang gugatan Ny. Jazilah,
anak beragama Nasrani; pengadilan agama
3. Ny. Danusubroto ( Islam ); memutuskan sebagai berikut :
4. Ny. Hindrowinoto ( Islam ); Dalam eksepsi : Menolak
eksepsi para tergugat;
Dalam Pokok Perkara : perempuan. Kesemua para
1. Mengabulkan gugatan tergugat tersebut di atas
sebagian; memperoleh tiga perempat
2. Menyatakan secara hukum dari harta warisan alm
Martadi Hindrolesono telah Martadi Hindrolesono
meninggal dunia pada sedangkan yang tidak
tanggal 17 Nopember 1995 beragama Islam tidak
dalam keadaan beragama memperoleh bagian
Islam; warisan.
3. Menetapkan penggugat 7. Memerintahkan kepada
( Ny. Jazilah ) adalah ahli pengguygat dan para
waris janda dari alm. tergugat sebagai ahli waris
Martadi Hindrolesono; untuki mentaati dan
4. Menyatakan menurut, tanah melaksanakan pembagian
sengketa adalah harta atas harta warisan tersebut.
warisan alm. Martadi Atas putusan tersebut,
Hindrolesono;
5. Menyatakan penggugat pihak para tergugat tidak
( Janda ) Ny. Jazilah berhak menerima dan mengajukan
memperoleh seperempat banding ke pengadilan tinggi
bagian dari harta warisan agama tetapi ditolak dengan
tersebut; menguatkan putusan
6. Menyatakan ahli waris lain pengadilan agama. Selanjutnya
dari alm.Martadi pihak para tergugat tidak
Hindrolesono adalah : menerima putusan pengadilan
Subandiyah, Sri Hariyanti, tinggi agama dan mengajukan
Bambang Hendriyanto, kasasi. Mahkamah Agung
Putut Bayendra, Sri menolak permohonan kasasi
Hendriyati,Ny. dari para tergugat/pemohon
Danusubroto, Ny. kasasi dengan memperbaiki
Hendrowinoto, Bambang putusan pengadilan tinggi
Wahyu, Ferlina, Yulia Nomor:
adalah ahli waris pangganti 007/Pdt.G/1998/PT.YK
dari saudara laki-laki dan dimana semua ahli waris
berhak memperoleh 3/4 (tiga
perempat) dari harta warisan juga harus menemukan makna
alm. Martadi Hindrolesono hukum lebih dalam, yang
tanpa mempersoalkan agama sedapat mungkin mampu
yang dianut oleh para ahli mencerminkan tuntutan
waris dengan menyatakan keadilan dalam masyarakat hal
”Ahli waris non muslim” ini dapat dibaca dalam Pasal
berhak bersama-sama mewaris 27 ayat (1) Undang-undang
dengan kadar bagian yang Nomor 14 Tahun 1970,
sama dengan ”Ahli waris dimana dinyatakan bahwa
muslim” dari harta warisan hakim harus memahami dan
yang ditinggalkan oleh mengikuti rasa keadilan
pewaris muslim atas dasar masyarakat ketika dia
hukum ”Wasiat Wajibah”. melaksanakan tugasnya.
Majelis Hakim Agung dalam Penerapan Wasiat Wajibah
perkara tersebut berpendapat juga dilakukan oleh Mahkamah
bahwa prinsip-prinsip Agung dalam
kesamaan dan keadilan bagi putusannya Nomor. 16
seluruh ahli waris dalam K/AG/2010 dalam perkara
masalah kewarisan harus warisan suami istri yang berbeda
menjadi pertimbangan utama agama. Istri yang beragama selain
ketika menyelesaikan sebuah Islam yang ditinggal mati oleh
perkara. Dengan alur suami yang beragama Islam tidak
penalaran semacam ini, termasuk ahli waris, akan tetapi ia
Mahkamah Agung lebih berhak untuk mendapat wasiat
cenderung memberi hak wajibah dari harta warisan
bagian harta warisan kepada suaminya sebanyak porsi waris
ahli waris non muslim. istri.
Menurut pertimbangan Majelis Tergugat adalah istri sah
Hakim Mahkamah Agung, dari Ir. Muhammad Armaya bin
adalah suatu keharusan bahwa Renreng, M.Si., alias Ir. Armaya
hakim, ketika membuat sebuah Renreng, melangsungkan
keputusan, tidak hanya perkawinan tanggal 1 November
mengacu pada teks peraturan 1990 dengan Kutipan Akta Nikah
perundang-undangan, tetapi Nomor 57/K.PS/XI/1990.
- Ir. Muhammad Armaya bin berlangsung cukup lama
Renreng, M.Si., alias Ir. yaitu 18 tahun, berarti
Armaya Renreng meninggal cukup lama pula
dunia pada tanggal 22 Mei Tergugat/ Pemohon
tahun 2008. Kasasi mengabdikan diri
- Almarhum Ir. Muhammad pada Pewaris, karena itu
Armaya bin Renreng, M.Si., walaupun Pemohon
alias Ir. Armaya Renrengpada Kasasi non Muslim layak
sat meninggal dunia dan adil untuk
meninggalkan lima orang ahli memperoleh hak-haknya
waris: Halimah Daeng Baji selaku istri untuk
(ibu); Dra. Hj. Murnihati binti mendapat bagian dari
Renreng, M.Kes. (saudara harta peninggalan berupa
kandung); Dra. Hj. Muliyahati wasiat wajibah serta
binti Renreng , M.Si. (Saudara bagian harta bersama
kandung); Djelitahati sebagaimana
bintirenreng, SST. (saudara yurisprudensi Mahkamah
kandung); dan Ir. Arsal bin Agung RI.
Renreng (saudara kandung). 2. Istri yang beragama
- Almarhum Ir. Muhammad Kristen mendapat bagian
Armaya bin Renreng, M.Si., harta pewaris dari harta
alias Ir. Armaya Renreng bersama dengan cara
disamping meninggalkan ahli Wasiat Wajibah;
waris juga meninggalkan harta 3. Saudara kandung pewaris
bersama. mendapat bagian harta
Adapunpertimbangan pewaris dengan Warisan.
hukum Mahkamah Agung adalah Wasiat Wajibah juga
sebagai berikut: diterapkan oleh Pengadilan
1. Bahwa perkawinan Tinggi Agama Surabaya dalam
Tergugat/Pemohon Kasasi Putusan Nomor :
dengan Ir. Muhammad 149/Pdt.G/2009/PTA.Sby telah
Armaya bin Renreng, menangani kasus warisan harta
M.Si., alias Ir. Armaya orang tua angkat yang meninggal
Renreng sudah tanpa memiliki anak kandung,
sehingga anak angkat yang tidak bahwa pendekatan hermeneutika
mendapat wasiat dari orang tua hukum ini tidak hendak
angkatnya dapat mendapat harta mengklaim diri sebagai satu-
peninggalan melalui Wasiat satunya pendekatan yang sah
Wajibah. dalam kajian-kajian sosial dan
Apabila melihat kasus yang ilmu hukum, sebagaimana halnya
telah diputuskan oleh hakim pendekatan kaum positivis baik
menyangkut tidak adanya hukum, yang berkhidmat di lingkungan
atau undang-undangnya tidak jurisprudence maupun yang
jelas maka dapat dikatakan bahwa berkhidmat di lingkungan legal
sangat sedikit hakim dalam studies yang tidak sekali-kali
penanganan perkara, mau dan pernah dapat mengklaim
berani melakukan terobosan paradigma dan metode serta
untuk menemukan hukum teknik penelitiannya sebagai satu-
sebagaimana diamanatkan dalam satunya yang sah untuk
Undang-Undang Nomor 48 mempelajari hukum. Bukanlah
Tahun 2009. pendekatan hermeneutika
Hakim harus dapat (hermeneutika hukum) ini tidak
memahami dan mengkaji hukum memiliki kekurangan juga, antara
manakala tidak adanya hukum; lain seperti dikatakan oleh Fish
dengan cara mengintepretasikan bahwasannya pendekatan
kasus yang dialami. Pemahaman hermeneutika itu akan
akan hermeneutika hukum akan mengharuskan orang untuk selalu
sangat penting, mengingat dapat mengkaji fakta sosial dan fakta
saja seorang hakim akan diminta hukum melalui interpretasi,
untuk menjadi saksi (saksi ahli). padahal “the only thing to know
Kajian hukum dengan about interpretation is that it has
pendekatan hermeneutika to be done every time” (satu hal
(hermeneutika hukum) di atas, yang diketahui tentang penafsiran
memang tidak dimaksudkan adalah penafsiran itu akan
untuk menggantikan sepenuhnya terjadi/dilakukan setiap waktu).
pendekatan-pendekatan lain. Sementara itu, bukankah hukum
Seperti dinyatakan oleh itu “wishes to have a formal
Soetandyo Wignjosoebroto, existence”? (suatu keinginan
untuk mendapatkan pengakuan pada kasus Perkawinan Beda
31 Agama.
secara formal?). Untuk hal ini
hakim seharusnya dapat 2. Tugas pokok seorang hakim
memenuhi dengan lebih adalah memeriksa, mengadili dan
memperdalam ilmu pengetahuan memutuskan perkara yang
tidak hanya ilmu hukum, tetapi diajukan kepadanya demi

juga terhadap ilmu filsafat. keadilan berdasarkan Ketuhanan


Yang Maha Esa. Seorang hakim
V. PENUTUP dalam menghadapi suatu perkara
yang peraturan perundang-
A. Kesimpulan undangannya tidak jelas, hakim
1. Bertitik tolak dari ketentuan Pasal tidak boleh menolak dengan dalih
10 ayat (1) Undang-Undang karena undang-undangnya tidak
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang jelas, melainkan harus
Kekuasaan Kehakiman, di mana memeriksa, mengadili dan
pengadilan tidak boleh menolak memutuskan dengan cara
untuk memeriksa, mengadili, dan melakukan interpretasi hukum
memutus suatu perkara yang terhadap ketentuan yang sudah
diajukan dengan dalih bahwa ada dengan memperhatikan nilai
hukum tidak ada atau kurang dan rasa keadilan yang ada dalam
jelas, melainkan wajib untuk masyarakat. Contoh kasus dimana
memeriksa dan mengadilinya. hakim dapat menerapkan asas-
Dalam hal hukum belum asas tersebut adalah saat
mengatur terhadap peristiwa menangani kasus Warisan yang
hukum yang diajukan ke diberikan dengan Wasiat
pengadilan, hakim harus Wajibah kepada ahli waris yang
membentuk hukumnya dengan tidak berhak mendapatkan harta
cara terjun ke tengah-tengah peninggalan.
masyarakat menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum B. Saran

dan rasa keadilan yang hidup 1. Meskipun peran Yurisprudensi di

dalam masyarakat sebagaimana Indonesia hanyalah sebagai


pelengkap apabila Undang-

31 Jazim Hamidi, Op.cit., hlm. 92. undang sebagai sumber pokok


tidak mengaturnya, dan juga tidak Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-
undangan Indonesia, Jakarta: Ind-
mengikat para hakim-hakim
Hill Co, 1992.
lainnya dalam memutus suatu Bagir Manan, Sistem Peradilan
Berwibawa (Suatu Pencarian),
perkara sejenis, namun terhadap
Jakarta: Mahkamah Agung, 2005.
perkara yang sejenis sebaiknya Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan
Hukum, Yogyakarta: UII Press, 2006.
memperhatikan Yurisprudensi
Benny K. Harman dalam Tabrani,
yang telah ada sepanjang belum Politik
Hukum, Jakarta: BPHN, 2000.
ada perubahan nilai-nilai hukum
Bismar Siregar, Berbagai Segi Hukum
yang hidup dalam masyarakat. dan Perkembangan Dalam
Masyarakat, Bandung : Alumni,
2. Dalam hal hakim menghadapi
1983.
kekosongan hukum terhadap Bismar Siregar, Hukum Hakim dan
Keadilan Tuhan, Jakarta: Gema
perkara perkara yang diajukan
Insani Press, 1995.
kepadanya, hakim harus mengisi Charles Himawan, Kristalisasi
Kepedulian Adi Andoyo oleh Komisi
kekosongan hukum tesebut
HAM PBB, Jakarta: Kompas, 13 Mei
dengan menemukan hukumnya 1996.
yaitu dengan jalan terjun
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-
ketengah-tengah masyarakat Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1999.
menggali dan meresapi nilai-nilai
Didi Nazmi Yunas, Konsepsi Negara
yang hidup dan berkembang Hukum, Padang: Angkasa Raya, 1992.
dalam masyarakat yang Harkristuti Harkisnowo, Rekonstruksi
Konsep Pemidanaan: Suatu
bersangkutan. Gugatan Terhadap Proses Legislasi
dan Pemidanaan di Indonesia,
dalam Majalah KHN Newsletter,
DAFTAR PUSTAKA
Edisi April 2003, Jakarta: KHN,
2003.
J.J. Von Schmid, Terjemahan R. Wiratno
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum,
et.al; Ahli-Ahli Pikir Tentang
Ujung Pandang: Watampone, 1998.
Negara dan Hukum, Jakarta: PT.
Aristotle. Ethics.Diterjemahkan J. A. K.
Pembangunan, 1965.
Thomson 'practical wisdom'
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan
substituted as a translation of
Perkembangan Hukum Dalam
'phronesis' here, Harmondsworth:
Pembangunan Nasional, Lembaga
Penguin, 1976.
Penelitian Hukum Fakultas Hukum
Artidjo Alkostar, Varia Peradilan XXIII
Universitas Padjadjaran, Bandung:
No. 270, Jakarta: IKAHI, 2008.
Binacipta, 1986.
Badan Pembinaan Hukum Nasional
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-
Departemen Kehakiman dan HAM-
Konsep Hukum Dalam
RI, Pola Pikir dan Kerangka Sistem
Pembangunan, Editor, Otje Salman
Hukum Nasional Serta Rencana
S. dan Eddy Damian, Bandung: PT.
Pembangunan Hukum Jangka
Alumni, 2002
Panjang, Jakarta: 1996.
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan
Hukum Dalam Rangka
Pembangunan Nasional, Bandung: Pidato Pengukuhan dalam Jabatan
Binacipta, 1986. Guru Besar Tetap pada Fakultas
Moh. Koesnoe, Ajaran Hukum Universitas Indonesia, Rabu
Mahkamah tanggal 14 Desember 1983.
Agung Tentang Bagaimana Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian
Seharusnya Menafsirkan UU Dari Hukum, Jakarta: Penerbit Universitas
Masa Kolonial. Jakarta: Varia Trisakti, 2007.
Peradilan, 1996, No. 126. Sudikno Mertokusumo & Pitlo, Bab-bab
Mohammad Saleh, Kajian Atas Eksekusi tentang Penemuan Hukum,
Putusan Perkara Perdata Yogyakarta: Citra Adytia, 1993.
Dihubungkan Dengan Asas Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara
Perradilan Sederhana, Cepat dan Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty,
Biaya Ringan Sebagai Upaya 2002.
Pembangunan Negara Hukum Wahyu Affansi dalam Tabrani, Hakim
(Disertasi). dan Profesinya, Jakarta: Jurnal
O. Notohamidjojo, Soal-soal Pokok Penelitian Hukum APHI De Jure,
Filsafat Hukum, Jakarta: BPK 1999.
Gunung Mulia, 1972. Wantjik Saleh K., Kehakiman dan
Paulus Effendi Lotulung, Kebebasan Peradilan, Jakarta: Simbur Cahaya, 1976
Hakim Dalam Sistem Penegakan Wirjono Prodjodikoro, Bunga Rampai
Hukum, Seminar Pembangunan Hukum, Jakarta: Ichtiar Baru, 1974.
Hukum Nasional VIII, Bali: BPHN, Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran
2003. dan Konstruksi Hukum,PT.Alumni
Bandung 2000.
Prof. Dr. H. Sarmanu, MS. “Populasi,
Sampel, Teknik Sampling Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif”. Makalah
disampaikan pada penataran
Pelatihan Metode Penelitian
Kualitatif. Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Airlangga, Surabaya 3-4
Mei 2006.
Rianto Adi, mengutip pendapat
Koentjaraningrat dalam,
Metodologi Penelitian Sosial dan
Hukum, Jakarta: Granit, 2010.
Rusli Effendi dan Achmad Ali,
Menjawab Tantangan dan Problema
Pembangunan Non Hukum Melalui
Sarana Pengadilan dan Putusan
Hakim, Tulisan dalam Bunga
Rampai Pembangunan Hukum
Indonesia, Bandung: PT. Erosco,
1995.
Satjipto Rahardjo, Manfaat Telaah
Sosial Terhadap Hukum, Pidato
Guru Besar Berbicara Tentang
Hukum dan Pendidikan Hukum,
Bandung: Alumni, 1980.
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum,

You might also like