Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ...

208

LEGITIMASI HUKUM ADAT BALI


DALAM KARYA SASTRA KULTURAL

I Kadek Adhi Dwipayana dan Ida Bagus Gede Bawa Adnyana


Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, FPBS IKIP PGRI Bali
Jalan Seroja, Tonja, Denpasar Utara, 085738841774
surel: adhidwipa88@gmail.com

Informasi Artikel:
Dikirim:13 Juni 2019; Direvisi: 13 Juli 2019; Diterima: 16 Juli 2019
DOI: 10.26858/retorika.v12i2.9362

RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya berada di bawah lisensi


Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
ISSN: 2614-2716 (cetak), ISSN: 2301-4768 (daring)
http://ojs.unm.ac.id/retorika

Abstract: Legitimacy of Balinese Customary Law in Cultural Literature Works. This article
talks about the legitimacy of Balinese customary law and the reinterpretation of the authors of
Balinese customary law in cultural literary works. The source of research data comes from the
collection of "Bunga Jepun" short stories by Fajar Arcana, "Mandi Api" by Aryantha Soethama,
Novel "Tarian Bumi" by Oka Rusmini, and "Incest" by Wayan Artika. The research data was
collected by the library study method and then analyzed based on a qualitative descriptive
approach which has several mechanisms, namely reduction, presentation of data, and drawing
conclusions. The results of the study indicate that the legality of Balinese customary law in
question in cultural literature is about the customary law of marriage, the law of inheritance, the
law of neglect (exclusion), and the ritual law of malik sumpah. These customary laws become a
polemic and are discussed in literary works because they are unable to provide justice for the
people and tend to be discriminatory. These customary laws are polemic and are discussed in
literary works because they are unable to provide justice among indigenous people.
Keywords: legitimacy, the Balinese costom law, cultural literature

Abstrak: Legitimasi Hukum Adat Bali dalam Karya Sastra Kultural. Artikel ini meng-
ungkapkan tentang legitimasi hukum adat Bali serta reinterpretasi pengarang terhadap hukum adat
Bali dalam karya sastra kultural. Sumber data penelitian berasal dari kumpulan cerpen “Bunga
Jepun” karya Fajar Arcana, “Mandi Api” karya Aryantha Soethama, Novel “Tarian Bumi” karya
Oka Rusmini, dan “Incest” karya Wayan Artika. Data penelitian dikumpulkan dengan metode
studi kepustakaan kemudian dianalisis berdasarkan pendekatan deskriptif kualitatif yang memiliki
beberapa mekanisme, yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan simpulan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa legalitas hukum adat Bali yang dipersoalkan dalam karya sastra kultural
adalah tentang hukum adat perkawinan, hukum pewarisan, hukum kesepekan (pengucilan), dan
hukum ritual malik sumpah. Hukum-hukum adat tersebut menjadi polemik dan diperbincangankan
dalam karya sastra karena tidak mampu memberikan keadilan di kalangan masyarakat adat.
Kata kunci: legitimasi, hukum adat Bali, sastra kultural

208
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 209

Permasalahan lokalitas tentang adat Problematika hukum adat muncul dise-


atau tradisi seolah-olah memiliki daya tarik babkan oleh perbedaan persepsi dan interpretasi
tersendiri bagi para pengarang etnik Bali dalam memahami ketetapan hukum adat dalam
sehingga tidak pernah tuntas untuk dibicarakan dinamika kultural di Bali. Unsur-unsur subjek-
dan dikritisi dalam karya sastra (Putra, 2008). tivitas seperti sentimenisme dan egosentrisme ti-
Permasalahan tentang lokalitas Bali yang kerap dak bisa dipungkiri terkadang terkontaminasi ke
diperbincangkan para pengarang dalam karya dalam ketentuan hukum adat sehingga melahir-
sastra adalah tentang hukum dan tradisi adat kan chaos bagi masyarakat adat. Sadnyini (2016)
Bali. Panji Tisna adalah salah satu pengarang menyatakan bahwa dalam konteks hukum adat
lokal Bali yang selalu konsisten berbicara Bali, sangat sulit untuk menciptakan persepsi ke-
tentang permasalahan sosio-logis yang adilan di tengah-tengah masyarakat, ketidakpua-
berkenaan dengan adat Bali hal itu dapat dilihat san pasti selalu muncul. Terlebih lagi dominasi
dalam karya sastranya yang berjudul Ni Rawit feodal dalam hukum adat menimbulkan keti-
Cetti Penjual Orang (1933) dan Sukreni Gadis dakpuasan persepsi publik, sehingga kepercaya-
Bali (1953). Rasta Sindhu dalam cerpen an terhadap hukum adat menjadi berkurang. Fe-
fenomenalnya yang dimuat di majalah horizon, nomena inilah yang mendapatkan perhatian se-
yaitu Ketika Kentongan Dipukul di Bale Banjar rius dari pengarang-pengarang etnik Bali dalam
(1969) adalah representasi problematika sosio- karya sastranya, seperti “Bunga Jepun” karya
kultural di Bali tentang sistem stratifikasi sosial Putu Fajar Arcana, “Mandi Api” karya Gde
yang mengakibatkan pertikaian antarkeluarga Aryantha Soethama, “Tarian Bumi” karya Oka
puri. Demikian juga Putu Wijaya dalam karya Rusmini, dan “Insect” karya I Wayan Artika.
sastranya yang berjudul Bila Malam Bertambah Melalui karya sastra pengarang mencoba
Malam (1971) dan Putri I dan II (2004) dengan menyuarakan pandangan dunia suatu kelompok
sinis menyindir adat yang otoritatif dan tanpa sosial, trans-individual subject (Goldmann da-
kompromistis menggugat kemapanan tradisi lam Yasa, 2012). Para pengarang Bali menyikapi
Bali. dan membedah fenomena hukum adat dengan
Hukum adat memiliki pemahaman tentang cara pandang dan pemikiran kritisnya melalui
aturan atau tata cara berkehidupan masyarakat media karya sastra. Mereka menggambarkan se-
Hindu Bali, seperti menjalankan etika krama de- cara detail egosentrisme, otoritatifisme, bahkan
sa, ayah-ayahan (kewajiban), pelaksanaan sis- senti-menisme terefleksikan di dalam hukum
tem perkawinan, pewarisan, sanksi, ritual/ upa- adat Bali yang telah melahirkan konflik inter-
cara dan lain-lain (Windia, 2015). Hukum adat personal. Tidak bisa dipungkiri bahwa hegemoni
Bali ini dituangkan dalam bentuk bisama (aturan adat telah menciptakan dua kubu masyarakat,
lisan) maupun dalam bentuk awig-awig (aturan pro dan kontra tradisi sehingga menimbulkan
tertulis), warga yang melanggar aturan dikenai pertentangan persepsi publik antara bertahan
sanksi sosial, moral, atau ritual/magis, yang di- atau berpaling pada tradisi Bali (Dwipayana dan
sesuaikan sima atau loka dresta (aturan lokal) Artajaya, 2018). Secara kritis para pengarang
setempat. Sanksi adat pada esensinya berpedo- menyinggung permasalahan geneologis seperti
man pada nilai-nilai keagamaan yang bertujuan hukum pewarisan adat di Bali, hukum kesepekan
untuk mengembalikan keseimbangan magis dan (pengucilan), dan hukum perkawinan antarkasta.
batin wilayah desa adat (restutitio in integerum) Penelitian sejenis, baik berupa hasil pene-
(Windia, 2015). Itu artinya secara esensial hu- litian maupun artikel di jurnal ilmiah pernah di-
kum adat Bali bersifat otoritatif yang berfungsi lakukan oleh beberapa penulis, di antaranya
sebagai kontrol dan rekayasa sosial, ketetapan- Artawan (2010) dengan judul Potret dan Per-
nya adalah mutlak dan perintah bagi warga adat, juangan Kultural Wanita Bali dalam Novel-no-
sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Dalam vel Panji Tisna, Putu Wijaya, dan Oka Rusmini,
praktinya hukum adat Bali masih menyisakan Kusumawati (2011) Pertentangan Kasta dalam
banyak celah sehingga menimbulkan persepsi Kebudayaan Bali: Kajian Hegemoni dalam Ta-
ketidakadilan bagi sebagian kalangan. Sebut saja rian Bumi Karya Oka Rusmini, Dama-yanti
hukum adat Bali tentang sistem perkawinan an- (2014) Seksualitas Perempuan Bali dalan He-
tarkasta, sistem pewarisan, dan sanksi sosial ke- gemoni Kasta: Kajian Kritik Feminis pada Dua
sepekan masih menyisakan banyak perdebatan Novel Karangan Oka Rusmini, Sujaya (2014)
yang belum tuntas. Wacana Pengucilan Sosial dalam Cerpen “Ku-

209
210 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

buran Wayan Tanggu”, Dwipayana (2017) He- gai konsumen. Pemahaman terhadap feno-mena
gemoni Ideologi Feodalistis dalam Karya Sastra sosial dalam wujud karya sastra tidak bisa hanya
Berlatar Sosio-kultural Bali. Keseluruhan pene- dapat dilihat dalam tataran teks saja. Karya sas-
litian tersebut memiliki kesamaan, yaitu meng- tra sesungguhnya dibentuk oleh kondisi sosial
gunakan teori sosiologi maupun feminisme seba- budaya yang melatari proses penciptaan karya
gai pisau bedah untuk menganalisis objek pene- sastra tersebut yang dalam hal ini adalah tentang
litian masing-masing. Penelitian di atas sama-sa- legalitas hukum adat Bali. Pemahaman terhadap
ma mengkaji sastra dari perspektif mak-ro. Na- karya sastra menuntut pula pemahaman terhadap
mun demikian, secara kompleks pembahasan interelasi maupun interaksi pengarang dan karya
mendalam tentang legitimasi hegemoni hukum sastra terhadap unsur-unsur sosial, seperti sistem
adat Bali dalam karya sastra kultural serta rei- tradisi, struktur sosial, ideologi, mata pencarian,
nterpretasi pengarang etnik Bali terhadap hukum dan norma-norma sosial.
adat Bali dalam gagasan tekstualnya masih perlu Selain teori sosiologi sastra, teori femenis-
dilakukan. Dari hasil analisis tersebut, secara im- me juga digunakan dalam kerangka menelusuri
plisit diperoleh gambaran yang jelas tentang akibat atau efek yang ditimbulkan oleh keten-
upaya pengarang lokal Bali dalam mengintro- tuan hukum adat dalam konteks perkawinan dan
speksi, merekonstruksi, dan menyikapi hukum pewarisan yang cenderung diskriminatif terha-
adat Bali dari perspektif sosiokultural dalam dap perempuan dalam karya sastra. Feminisme
karya sastra. memberikan fokus perhatian pada representasi
Legitimasi hukum adat Bali dalam karya perempuan dalam karya sastra. Feminisme me-
sastra kultural dikaji menggunakan beberapa te- nurut Fakih (2008) adalah sebuah gerakan atau
ori, seperti sosiologi sastra, semiotika sastra, dan perjuangan gender. Feminisme merupakan per-
feminisme. Teori sosiologi sastra digunakan se- juangan dalam rangka mentrans-formasikan sis-
bagai “pisau bedah” untuk mengkaji permasa-la- tem yang dahulu tidak adil menuju sistem yang
han sosiologis yang berkaitan dalam aspek pe- lebih adil bagi perempuan dan laki-laki. Hakikat
ngarang, teks kesusastraan, dan aspek sosio-kul- feminisme adalah gerakan trans-formasi sosial.
tural yang melibatkan hukum adat Bali. Sosio- Puncak cita-cita feminisme adalah menciptakan
logi sastra menurut Ratna (2008: 3) adalah hu- sebuah tatanan yang lebih baik dan lebih adil
bungan yang mencerminkan keterikatan antara untuk kaum perempuan dalam per-gaulan secara
karya sastra dengan masyarakat, tradisi dan sosial. Perbedaan perspektif gender di masya-
budaya. Keterikatan antara sastra dan masyara- rakat telah melahirkan streotipe negatif bagi pe-
kat memiliki keterkaitan dialektik sehingga da- rempuan. Streotipe tentang perempuan di mas-
pat ditemukan kualitas interdependensi antara yarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau
sastra dan masyarakat. Goldmann (dalam Yasa, lahiriah. Stereotif yang sebetulnya merupa-kan
2012) mengemukakan bahwa sastra bukan ha- konstruksi sosial dan akhirnya terkukuhkan men-
nya perwujudan atau bentuk dari refleksi realitas jadi kodrat kultural yang telah melahirkan istilah
yang merupakan kecenderungan kesadaran ko- marginalitas, subordinat, kekerasan atau penyik-
lektif, tetapi merupakan puncak koherensi dari saan (violence) bagi perempuan.
berbagai kecenderungan terhadap kesadaran ke- Teori semiotika sastra juga digunakan
lompok sosial. Lebih lanjut Swingewood menya- dalam penelitian ini dalam kerangka menafsir-
takan bahwa karya sastra merupakan refleksi a- kan dan menginterpretasikan tanda, simbol atau-
tau refraksi sosial. Refleksi sosial yang dimak- pun lambang yang tertuang di dalam ketetapan
sudkan adalah suatu ekses dari sebuah interaksi hukum adat Bali. Teori semiotika sastra sangat
sosial dari masyarakat di tengah sistem yang di- penting digunakan dalam memahami dan mener-
namis dan cenderung mengalami perubahan jemahkan simbol-simbol, tanda, ataupun lam-
yang meliputi perubahan komposisi masyarakat, bang yang identik dengan masyarakat Bali. Mas-
sistem sosial, struktur sosiologis, dan perubahan yarakat Bali sangat kaya dengan tanda, simbol,
lingkungan kemasyarakatan. Karya sastra menu- dan lambang yang kerap digunakan dalam aspek
rut perspektif sosiologis tidak bisa dilepaskan teologis, ritual, maupun dalam menjalankan ke-
dengan fenomena sosial. Fenomena sosial meru- tetapan hukum adat. Semiotika sastra juga dapat
pakan salah satu kerangka dasar yang mencip- diartikan sebagai ilmu yang mempelajari berba-
takan hubungan dialogis antara pengarang seba- gai objek, peristiwa, atau keseluruhan kebuda-
gai produser dan pembaca atau masyarakat seba- yaan sebagai tanda di dalam karya sastra. Tanda
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 211

itu diartikan sebagai sesuatu yang bersifat repre- nelitian dengan harapan dapat memecahkan ma-
sentatif, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan salah dalam penelitian ini.
konvensi tertentu. Konvensi yang memungkin- Langkah analisis data dilakukan dengan
kan suatu objek, peristiwa, atau gejala kebudaya- menggunakan metode deskriptif kualitatif. Meto-
an menjadi tanda disebut juga sebagai kode de ini dilakukan dengan menggunakan beberapa
sosial. langkah operasional, yaitu reduksi data, penya-
jian data, dan penarikan simpulan.
Proses reduksi data secara simultan dila-
METODE
kukan melalui proses pengidentifikasian dan
Penelitian terhadap novel Tarian Bumi pengkodean. Hal itu kemudian diikuti dengan
karya Oka Rusmini, Incest karya I Wayan pengklasifikasian, dan penafsiran menggunakan
Artika, Mandi Api karya Aryantha Soethama, teori sosiologi sastra, teori semiotika dan femi-
dan Bungan Jepun karya Putu Fajar Arcana me- nisme. Setelah data melewati reduksi, masalah
rupakan suatu penelitian yang beranjak dari per- yang dikaji dalam penelitian disajikan secara
soalan sosiologis dalam karya sastra dengan di- deskriptif kualitatif. Data hasil reduksi tersebut
payungi studi kultural (culture study). Karya sas- disajikan dengan menggunakan uraian naratif
tra berlatar kultural Bali tersebut dapat dikatakan ataupun penggambaran dengan menggunakan
sebagai representasi dari realita yang dibalut kata-kata. Perlu ditekankan bahwa, data yang di-
dengan problematika sosial-budaya dalam ma- sajikan menggunakan uraian naratif tersebut
syarakat Bali. Beranjak dari pandangan tersebut, adalah hasil identifikasi dan pengklasifikasian
penelitian ini tergolong ke dalam penelitian des- yang dilakukan pada tahap reduksi. Langkah
kriptif kualitatif yang memiliki ciri-ciri sebagai terakhir dalam analisis data adalah penarikan
berikut: (1) kontekstual, (2) kolaboratif, (3) in- simpulan dari hasil temuan pada proses penya-
terprettatif, (4) interaktif, dan (5) peneliti sebagai jian data. Penarikan simpulan dilakukan setelah
human instrument / instrumen kunci. data yang diperoleh disajikan menggunakan
Data dalam penelitian ini adalah legitimasi uraian naratif.
hukum adat Bali dan upaya dekonstruksi dan re-
interpretasi terhadap hukum adat Bali dalam kar- HASIL DAN PEMBAHASAN
ya sastra kultural. Sumber data penelitian meli-
puti novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini, Hasil
Incest karya I Wayan Artika, antologi cerpen
Mandi Api karya Aryantha Soethama, dan anto-
Secara umum hukum adat Bali yang di-
logi cerpen Bungan Jepun karya Putu Fajar Ar-
kupas dalam kumpulan cerpen Bunga Jepun,
cana.
Mandi Api, Tarian Bumi, dan Incest meliputi,
Metode pengumpulan data yang diguna-
hukum perkawinan antarkasta, hukum pewarisan
kan dalam penelitian ini adalah studi kepustaka-
adat Bali, hukum kesepekan (pengucilan), dan
an. Metode ini dilakukan dengan cara cara me-
hukum ritual malik sumpah.
ngambil data dari buku-buku, kitab-kitab, litera-
ture, atau teks-teks kesusastraan. Dalam peneliti- Hukum Perkawinan Adat Bali dalam Karya
an ini, data diambil dari karya sastra yang berla- Sastra Kultural
tar sosio-kultural Bali, seperti novel Tarian Bumi
karya Oka Rusmini, Incest karya I Wayan Secara geneologis masyarakat di Bali
Artika, Mandi Api karya Aryantha Soethama, masih memegang teguh warisan yang bersifat
dan Bungan Jepun karya Putu Fajar Arcana. feodal dengan mengklasifikasikan diri mereka
Teknik yang digunakan dalam metode studi ke- dalam sistem wangsa (Brahmana, Kesatria,
pustakaan ini adalah teknik baca dan teknik Wesya, dan Sudra) sebagai wujud kesetiaan
catat. Untuk mengidentifikasi masalah karya sas- menjaga tradisi maupun ketidakberdayaan mela-
tra dibaca dengan cermat secara keseluruhan ke- wan hegemoni tradisi. Pengaruh sistem strati-
mudian melakukan pencatatan data sesuai de- fikasi sosial melahirkan beberapa jenis perka-
ngan masalah penelitian. Metode studi kepusata- winan adat di Bali, seperti perkawinan menek
kaan ini digunakan dalam pengumpulan data pe- wangsa dan perkawinan nyerod. Selain dua jenis
perkawinan di atas, juga ada jenis perkawinan
212 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

nyentana. Jenis perkawinan nyentana biasanya dengan lengkap. Telaga tahu hati ibu berdarah,
dilakukan bila suatu keluarga tidak memiliki bernanah. Dan makin hari bau busuknya
keturunan laki-laki. makin terasa. Telaga merasakan luka itu”
(Tarian Bumi: 63).
Perkawinan Menek Wangsa (Naik Kasta)
Sebagaimana wanita Bali pada umumnya,
Adat masyarakat Bali dengan sistem keke- Jero Kenanga mengejawantahkan penerimaan
rabatan patrilinialnya memberikan ruang bagi takdir sebagai sesuatu yang kodrati dalam kehi-
perempuan jaba wangsa naik derajat bila me- dupannya sebagai perempuan yang telah me-
lakukan perkawinan dengan laki-laki Tri Wang- ngalami perubahan menjadi seorang istri dari
sa. Perempuan jaba yang menek wangsa menda- laki-laki Brahmana. Mematuhi tradisi baginya
patkan penghormatan di mata masyarakat yang adalah keharusan untuk menjaga kehormatan
sederajat dengan panggilan jero. Hal yang kon- gelar jero yang telah disandang meskipun me-
tradiktif dihadapi Luh Sekar meskipun sudah ngorbankan cerita kehidupan masa lalu beserta
naik derajat dan mendapatkan gelar Jero. Di segala kecintaannya terhadap keluarga.
lingkungan keluarga griya Jero Kenanga masih Hampir serupa dengan kejadian yang dia-
mengalami ketertindasan secara sosial dan lami Luh Sekar dalam Tarian Bumi, Kadek
psikologis. Sesungghnya gelar Jero dapat di- Sumerti dalam cerpen Tembok Puri karya Gde
maknai sebagai identitas pemisah antara perem- Aryantha Soethama juga mengalami permasa-
puan berdarah asli bangsawan dengan perem- lahan dilematis ketika memilih jalan perkawinan
puan jaba yang mendapatkan gelar kebangsawa- menek wangsa. Meskipun sudah menyandang
nan dengan cara melakukan perkawinan anu- gelar jero dan menjadi bagian dari keluarga se-
loma (Dwipayana dan Artajaya, 2018). Ber- orang kesatria di puri, Sumerti merasa tertekan
dasarkan feminist legal theory, perempuan dalam karena kebebasannya sebagai manusia dibatasi
perkawinan anuloma bukanlah naik derajat. Bila oleh aturan-aturan tradisi puri yang terkesan ten-
dicermati dengan saksama ternyata naik derajat desius. Konflik batin seorang Sumerti memun-
hanya di lingkungan keluarga asalnya sendiri. cak ketika keluarganya berencana melaksanakan
Artinya setelah menjadi Jero, keluarga perempu- upacara metatah (potong gigi) untuk Sumerti
an berkewajiban memberikan bentuk-bentuk dan adik-adiknya. Secara adat dan tradisi se-
penghormatan, sedangkan di pihak keluarga su- orang anak perempuan harus melangsungkan
aminya tetap memperlakukan Jero sebagai pe- upacara potong gigi di rumah asalnya, kenda-
rempuan jaba wangsa (Sadnyini, 2016). tipun Sumerti sudah menjadi warga puri. Syarat
Di dalam masyarakat Bali, berkembang berat dan ekstrem pun diberikan keluarga puri
sebuah fanatisme yang diciptakan oleh golongan apabila Sumerti ingin melangsungkan upacara
bangsawan sendiri untuk melegalkan hegemo- metatah di rumah asalnya. Oleh sesepuh puri
ninya bahwa perempuan yang telah mengalami Sumerti tidak diperkenankan menggunakan balai
kenaikan derajat (menek wangi) dilarang mema- bekas saudara-saudaranya pada saat upacara ber-
kan surudan (bekas sesajen) dan dilarang muspa lang-sung, ia harus metatah di atas balai-balai
(sembahyang) di sanggah keluarga terda-hulu khusus. Persyaratan ini melukai perasaan ke-
karena dapat menurunkan kembali derajatnya luarga Sumerti karena mereka merasa derajat-
sebagai jaba wangsa. Aturan yang paling tidak nya direndahkan oleh pihak keluarga puri.
logis harus diterima Jero Kenanga ketika dila-
“Secara adat Kadek harus metatah di rumah-
rang memandikan dan nyumbah mayat ibunya.
nya, kendati ia sudah jadi warga puri. Orang
Griya berdalih memandikan dan nyumbah mayat tuanya yang akan menanggung seluruh biaya
seorang jaba wangsa berarti telah menghapus upacara. „Semestinya kau me-tatah sebelum
nilai karat kebangsawanan Jero Kenanga yang kawin, tapi dulu Ayah tak punya cukup uang.
telah diberikan oleh pihak keluarga griya. Mintalah restu puri karena kau harus pulang
metatah,‟ minta ayah Kadek” (Tembok Puri:
“Aturan itu malah makin menjadi-jadi. Luh 4).
Sekar tidak boleh menyentuh mayat ibunya
sendiri. Dia juga tidak boleh memandikan dan Aryantha Soethama menggambarkan sua-
menyembah tubuh kaku itu. Sebagai keluarga tu hal yang kontradiktif terjadi di dalam situasi
griya, Luh Sekar duduk di tempat yang tinggi puri memasuki era saat ini. Di satu sisi, puri di-
sehingga bisa menyaksikan jalannya upacara
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 213

gambarkan sudah mulai terbuka dengan peru- kuat juga legalitasnya oleh etika keluarga. Pe-
bahan era modern yang ditandai dengan peneri- langgaran terhadap etika keluarga mengakibat-
maan keluarga puri atas pernikahan Ngurah Par- kan si pelaku dikenai sanksi berdasarkan kesepa-
wata dan Sumerti, namun di sisi lain pihak puri katan keluarga, baik berupa pelaksanaan ritual
masih menunjukkan fanatisme kebangsawanan- maupun dikeluarkan dari wangsa atau klan.
nya dengan mengisyaratkan perlakukan yang Pelanggaran terhadap etika keluarga ini disebut
berbeda harus diberikan kepada Sumerti saat dengan istilah tulah (tidak hormat) atau durwaka
pelaksanaan upacara metatah. Permasalahan ge- (durhaka) kepada leluhur sehingga wajib dikenai
neologis perkastaan masih dipertentangkan dan sanksi, baik sosial maupun psikologis (Wignjo-
menjadi penghambat hubungan keluarga Sumerti soebroto, 2002).
dengan puri. Hal ini menunjukkan bahwa embrio Oka Rusmini merepresentasikan lega-
ideologi feodal masih berkembang di kalangan litas penurunan derajat seorang Ida Ayu Telaga
keluarga puri meskipun sudah memasuki era diperkuat dengan pelaksanaan ritual pattiwangi
modern. di Pemerajan Griya. Pattiwangi merupakan
ritual penurunan derajat seorang perempuan
Perkawinan Nyerod (Turun Kasta) yang telah melakukan perkawinan nyerod de-
ngan laki-laki dari kalangan jaba wangsa. Ritual
Representasi perkawinan nyerod (turun pattiwangi dilakukan dengan cara menginjak
kasta) dilakukan oleh tokoh perempuan Ida Ayu kepala Telaga oleh mertuanya sendiri sebagai
Telaga dalam novel Tarian Bumi karya Oka simbol penurunan derajat. Menurut Artadi (da-
Rusmini. Ida Ayu Telaga dikisahkan memilih lam Sadnyini, 2014: 186) masyarakat Bali me-
melangsungkan perkawinan dengan seorang miliki kebiasaan yang sudah terwarisi secara ge-
laki-laki keturunan jaba wangsa bernama I neologis perihal tuduhan yang disematkan kepa-
Wayan Sasmitha. Ida Ayu Telaga dianggap telah da pelaku nyerod yang dianggap telah menodai
melanggar etika tradisi keluarga griya karena keharmonisan keluarga, sehingga perlu mengem-
tidak melakukan perkawinan pepadan antar- balikan kestabilan melalui sebuah ritual upacara.
wangsa Brahmana. Telaga, tidak lagi dipanggil Kebiasaan masyarakat Bali tersebut terlahir dari
dengan sebutan Ida Ayu, menurut tradisi dera- sebuah konsensus yang sangat sulit untuk dihi-
jatnya kini telah setara dengan keluarga sua- langkan karena alasan keyakinan terhadap nilai-
minya. Oka Rusmini mencoba menggugat ‟ke- nilai religious magis.
benaran‟ yang dijustifikasi oleh tradisi ketika a-
turan yang mengerdilkan kemanusiaan dan me- “Masih satu upacara yang harus dilakukan-nya
marginalkan peranan seorang perempuan dalam agar benar-benar menjadi perempuan sudra.
konteks perkawinan adat Bali. Melalui tokoh Ida Patiwangi.Pati berarti mati, wangi berarti
Ayu Telaga, Oka Rusmini mencoba membuka keharuman. Kali ini Telaga harus membunuh
mata publik bahwa etika tradisi semacam rantai nama Ida Ayu yang telah dibe-rikan hidup
yang membelenggu hak-hak kemanusiaan se- padanya. Nama itu tidak boleh dipakai lagi.
Tidak pantas. Hanya memba-wa kesialan lain”
orang perempuan dalam menentukan pilihan
(Tarian Bumi: 172).
hidup dalam konteks perkawinan.
“Telaga merasa orang-orang selalu le-bih tahu
Mekanisme perkawinan nyerod (turun
daripada dirinya sendiri. Padahal, mereka kasta) biasanya dilakukan dengan cara diam-di-
sama sekali tidak tahu seperti apa perasaan am atau disebut dengan istilah ngerorod (kawin
Telaga ketika kawin dan hidup sebagai lari) karena si pelaku perkawinan tidak menda-
perempuan Sudra untuk yang per-tama patkan persetujuan dari pihak keluarga tri wang-
kalinya. Wayan hanya bisa mem-belikan sa. Kasus agak berbeda dialami oleh Anak
kebaya dan kain yang kasar. Te-laga benar- Agung Sagung Mirah dengan Wayan Jirna da-
benar melatih dirinya untuk menanggalkan lam cerpen “Bohong” karya Aryantha Soethama,
seluruh busana kebang-sawanannya. Semua mereka berdua mendapatkan restu namun masih
untuk cinta. Untuk perhatian, untuk kasih diwajibkan melakukan perkawinan ngerorod
sayang yang tidak pernah ia dapatkan dari
(kawin lari) oleh pihak keluarga puri karena
laki-laki” (Tarian Bumi: 149).
Wayan Jirna berasal dari keturunan jaba wang-
Secara sosial, stratifikasi di Bali dijaga o- sa. Sebagai laki-laki jaba wangsa I Wayan Jirna
leh tradisi yang sangat otoritatif, bahkan diper- tidak berhak datang ke puri melakukan proses
214 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

memadik (meminang) Sagung Mirah, mereka “Tak banyak? Besar, justru besar seka-li
diharuskan melakukan perkawinan ngerorod maknanya. Ini menyangkut kehormatan
(kawin lari). Menurut tradisi perkawinan jenis keluarga, „tangkis ayah. „Kita yang akan
memadik hanya berhak dilakukan oleh mereka melengkapi upacara pernikahan anak kita
dengan sesaji pati wangi. Sampai kapan pun
yang pepadan (memiliki kesetaraan derajat). Se-
tidak. Kita yang menentukan macam apa sesaji
cara sosiologis, perkawinan ngerorod antara perkawinan Wayan. Bukan orang lain. Bukan
Mirah dan Wayan Jirna ini sengaja direkayasa puri,‟ ujar Ayah sengit” (Bohong: 88).
oleh pihak keluarga puri agar aib perkawinan
tersebut tidak sampai di telinga kerabat puri lain- Perkawinan nyerod (turun kasta) juga
nya. Perkawinan antar-kasta dipandang sebagai dilakukan oleh Ida Ayu Kartika dengan seorang
suatu tindakan tulah (tidak beretika) atau durwa- jaba wangsa yang bernama Darma dalam cerpen
ka (durhaka) yang dapat menurunkan derajat ke- Pergi dari Griya karya Putu Fajar Arcana. Kar-
bangsawanan keluarga sehingga harus dirahasia- tika dikisahkan melangsungkan perkawinan se-
kan dan dilaksanakan secara diam-diam agar ke- cara diam-diam (ngerorod) dengan Darma ka-
hormatan keluarga puri tidak tercemar. Secara rena tidak mendapatkan persetujuan dari ke-
politis, perkawinan ngerorod merupakan repre- luarga Kartika. Tokoh Ayah memiliki ketegu-
sentasi arogansi tokoh ayah dalam memperta- han prinsip dan fanatisme yang kuat terhadap
hankan status quo sebagai keluarga golongan identitas perkastaan. Atas tindakan Kartika me-
bangsawan. lakukan kawin lari dengan Darma, Kartika di-
buang dari komunitas griya dan tidak lagi di-
“Bukan masalah pelik ketika Sagung Mirah, anggap memiliki garis keturunan Wangsa Brah-
putri sulung Agung Bargawa kawin dengan
mana oleh sang ayah. Tindakan laki-laki jaba
Wayan Jirna. Warga puri disunting oleh bukan
berdarah bangsawan sekarang sudah lumrah. wangsa yang berani menikahi perempuan tri
Wayan sendiri mau diterima baik oleh wangsa mendapatkan bentuk pelecehan dan
keluarga puri dan pernikahan mereka direstui. stigma negatif di mata masyarakat golongan tri
Tapi keluarga Wayan dila-rang datang wangsa dengan penyebutan istilah “Alangkahin
meminang, mereka harus ka-win lari. Pihak uri karang hulu” dan “Asu mundung.” Alangkahin
akan berpura-pura tak tahu menahu rencana karang hulu secara etimologi memiliki makna
pernikahan itu” (Bohong: 87). melangkahi kepala raja sedangkan Asu Mundung
secara harfiah dapat dimaknai sebagai “anjing
Puncak permasalahan mekanisme perka- pencuri”. Perilaku laki-laki jaba wangsa yang
winan ngerorod muncul ketika pihak puri mem- mengawini perempuan Tri Wangsa diasumsikan
berikan persyaratan harus melakukan ritual pat- sebagai seekor “anjing” yang tidak memiliki
tiwangi. Pihak laki-laki menolak pelaksanaan etika. Stigma negatif ini bertahan selama berta-
ritual pattiwangi tersebut karena merupakan sim- hun-tahun hingga muncul keputusan penghapus-
bol pelecehan terhadap derajat pihak purusa. an Paswara oleh DPRD Bali yang dianggap
Terdapat sedikit perbedaan perspektif antara Oka cacat hukum dan tendesius.
Rusmini dengan Aryantha Soethama dalam me-
nanggapi kasus upacara pattiwangi bagi pelaku “Kartika sendiri sudah paham akan resiko.
perkawinan nyerod. Jika dalam novel Tarian Seluruh keluarga, bahkan kedua orang tuanya,
Bumi, Oka Rusmini berpandangan bahwa ritual pasti tidak akan mengakuinya lagi sebagai
pattiwangi merupakan bentuk pelecehan secara anak. Memutuskan untuk kawin dengan
sosiopsikologis terhadap personal Ida Ayu Tela- seorang yang berkasta lebih ren-dah, seperti
ga, namun menurut Gde Aryantha Soethama ri- Made Darma Sutta, menurut anggapan
ayahnya berarti keluar dari urutan-urutan
tual pattiwangi adalah simbol pelecehan bagi
keluarga kaum Brahmana” (Pergi dari Griya:
pihak purusa. Meskipun terdapat sedikit perbe- 128).
daan perspektif tentang persoalan ritual patti-
wangi namun dapat disimpulkan bahwa antara Secara yuridis formal aturan Paswara Bali
Oka Rusmini dengan Gde Aryantha Soethama telah dicabut atau dihapuskan melalui Keputusan
bersekapat pattiwangi merupakan sebuah ritual DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, namun atur-
yang memiliki simbol pelecehan, baik bagi si pe- an ini masih membekas secara sosiologis sehing-
rempuan maupun pihak keluarga purusa. ga pola pikir feodal masih bertahan di benak
sebagian masyarakat Bali (Sadnyini, 2016).
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 215

Praktik-praktik hukum lara-ngan perkawinan pradana. Laki-laki dikenal dengan istilah purusa
nyerod yang tertuang di dalam paswara masih bertugas menjalankan kewajiban-kewajiban
berjalan. Masih banyak golongan tri wangsa yang diwariskan leluhur, sedangkan perempuan
yang tidak ikhlas dan tidak menerima perkawin- dikatakan selaku pradana. Namun, posisi seba-
an nyerod sehingga dalam dinamikanya menim- liknya dijumpai dalam jenis perkawinan nyen-
bulkan permasalahan ketika pelaku perkawinan tana atau nyeburin. Dalam konteks perkawinan
nyerod berpisah (karena cerai atau meninggal) nyentana, pihak laki-laki dipinang oleh pihak pe-
dengan pasangannya masing-masing. Kedudu- rempuan. Perempuan bertindak sebagai pihak
kan perempuan yang lemah dalam kon-teks per- purusa dan laki-laki berstatus sebagai pradana.
kawinan nyerod dialami langsung oleh tokoh Kasus perkawinan ini lazimnya dilakukan oleh
Kartika ketika suaminya meninggal dunia saat pihak keluarga yang tidak memiliki sentana atau
usia perkawinan mereka masih seumur jagung. garis keturunan laki-laki sebagai penurus sesana
Kartika membayangkan kehidupannya ngum- (kewajiban) keluarga perempuan. Dalam novel
bang (terombang-ambing) selepas kematian sua- Tarian Bumi, perkawinan nyentana ini dilakukan
minya, terlebih lagi sang ayah tidak pernah me- tokoh Ida Bagus Tugur, ia dapat dipandang se-
nyetujui perkawinan antarwangsa yang sudah ia bagai korban karena melepas hak dan kewa-
lakukan dengan Wayan Jirna. jibannya di komunitas asal sebagai Purusa untuk
masuk di komunitas perempuan dan menjadi pi-
“Jangan pergi, Dar…! Tiba-tiba Kartika hak Pradana. Ida Bagus Tugur menyandang
berlari kea rah laut. Ia tak mempedulikan kain predikat maskulinitas dan feminitas yang dualis-
dan kebayanya basah dipukul ombak. Kerlap-
tik terhadap sistem perkawinan nyentana ini. Se-
kerlip layar perahu seperti lambaian-lambaian
yang memanggil. Kartika itulah untuk pertama bagai laki-laki yang nyentana, di satu sisi Ida
kalinya Kartika merasa tidak punya pegangan Bagus Tugur harus menjalankan kewajibannya
lagi untuk hidup. Terombang-ambing dalam sebagai penerus tanggung jawab keluarga pihak
ketegangan antara tetap melawan orang tua perempuan atau berperan sebagai Purusa, na-
sendiri atau bertahan di rumah mertua tanpa mun di sisi lain ia juga mengambil alih peranan
suami telah membuatnya jadi sebongkah sebagai Pradana dan harus tunduk terhadap
kepala” (Pergi dari Puri: 130). keputusan istrinya.
Di tengah masyarakat yang masih berpi- ”Terwujudnya impian itu telah membuat Ida
kiran konservatif menyoal perkawinan antar- Bagus Tugur merasa baru memiliki kekuasaan
wangsa, Putu Fajar Arcana merepresentasikan yang sesungguhnya. Laki-laki itu lupa, dia
tokoh mertua lelaki Kartika sebagai figur yang punya seorang anak laki-laki. Dia juga lupa
berpikiran rasional dan demokratis. Niatan tokoh telah beristri. Dia lupa bahwa pernah
mertua lelaki yang mengangkat Kartika sebagai nyentanain” (Tarian Bumi: 15).
anak mencerminkan pengamalan nilai-nilai kea-
Predikat Ida Bagus Tugur yang dualistik
dilan, persamaan, dan kesederajatan. Tindakan
dalam sistem perkawinan nyentana menyebab-
tokoh mertua lelaki dengan mengangkat Kartika
kan kebebasannya sebagai laki-laki diatur oleh
sebagai anak dapat dimaknai sebuah upaya pe-
tradisi pihak perempuan. Setiap keputusan yang
nyelamatan kepada Kartika agar tidak mendapat-
diambil harus mendapatkan persetujuan dari pi-
kan status ngumbang (terombang-ambing) yang
hak perempuan sehingga ia merasa mendapatkan
ditakuti oleh setiap perempuan tri wangsa pe-
kekangan baik secara sosial maupun kultural. Di
laku perkawinan nyerod. Tokoh ayah dapat di-
Bali pelaku nyentana mendapatkan pelabelan
personifikasikan sebagai oase di gurun pasir
negatif dan rendahan yang disebut dengan istilah
yang tandus dan menjadi penyelamat bagi kepu-
paid bangkung. Secara etimologi istilah paid
tusasaan yang dialami Kartika selepas suaminya
bangkung memiliki pengertian “ditarik babi
meninggal dunia. Penggambaran oleh penulis
betina.” Istilah negatif paid bangkung ini adalah
menunjukkan kerasionalan dan kedemokratisan.
bentuk ejekan dan pelecehan yang dibuat oleh
Perkawinan Nyentana orang Bali sendiri bagi para laki-laki Bali yang
berada di bawah kendali perempuan.
Adat masyarakat di Bali menganut sis- Perkawinan jenis nyentana juga dilakukan
tem patrilineal yang mengenal istilah purusa dan oleh Wardani di dalam cerpen yang berjudul
“Pernikahan Wardani” karya Putu Fajar Arcana.
216 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

Wardani mendapatkan paksaan dari orang tua- ngan legawa oleh Luh Sadri sebagai seorang pe-
nya untuk menikahi laki-laki bernama Ketut rempuan yang tumbuh dan hidup di lingkungan
Berartha dengan melangsungkan jenis perkawin- tradisi. Penaklukan perempuan ke dalam ideo-
an nyentana. Dalil yang membuat orang tua logi tradisi patriarki sangat tampak pada aturan
Wardani memaksanya menikah dengan Berartha pembagian hak waris yang tidak memihak Luh
adalah untuk mendapatkan sentana (ahli waris) Sadri sebagai anak perempuan. Meski Luh Sadri
yang kelak dapat meneruskan swadharma (ke- sudah berpeluh-peluh berkerja keras dan men-
wajiban) keluarga secara adat. Dalam kasus per- jalankan kewajiban sebagai anak perempuan
kawinan ini, Wardani menjadi pihak purusa dan membantu keberlangsungan kehidup-an keluarga
melakukan proses peminangan kepada Ketut tetap saja di mata tradisi Luh Sadri tidak memi-
Berartha yang berperan sebagai pihak pradana. liki kekuatan hak atas warisan karena hak-hak
Sebagai seorang perempuan Wardani dikisahkan itu sepenuhnya jatuh di tangan kakaknya, I
tidak kuasa melawan kehendak ayahnya untuk Wayan Sasmitha. Kedekatan psikologis antara
mencari sentana meskipun dengan konsekuensi Luh Gumbreg dan Luh Sadri (antara ibu dan
merelakan hubungan cintanya kadas dengan la- anak) tidak memiliki daya apa pun untuk meng-
ki-laki yang bernama Kurnia. ubah realitas bahwa Luh Sadri tetap tidak memi-
liki hak atas warisan keluarga. Anak perempuan
“Sebagai perempuan Bali yang tak lagi pu-nya seakan tidak mendapatkan pembelaan kultural
saudara, apalah kekuatanku untuk me-lawan dari sang ibu di tengah dominasi hegemoni sis-
kehendak orang tua. Aku tak cukup berani
tem patriarki. Oka Rusmini melalui Tarian Bumi
memberontak. Karena itu….,‟ War-dani
tersedak. Ia menunduk terdiam. Aku sudah mempresentasikan bahwa tradisi memang benar-
bisa menduga ke mana arah pem-bicaraannya” benar tidak dapat diajak kompromi dan melalui
(Pernikahan Wardani: 145). hegemoninya telah mengebiri hak-hak keperem-
puanan Luh Sadri dalam konteks urusan pewa-
Perspektif agak berbeda dapat ditangkap risan.
dalam novel Tarian Bumi karya Oka Rusmini
dengan cerpen Pernikahan Wardani karya Fajar “Menurut Adat Bali, perempuan memang
Arcana. Menurut Oka Rusmini perkawinan tidak memiliki hak waris. Kalau Sadri ti-dak
kawin, dia memang punya hak lebih tinggi
nyentana telah membelenggu power seorang Ida
dari Telaga, iparnya. Tetapi seka-rang Sadri
Bagus Tugur karena secara adat memerankan se- sudah kawin. Otomatis hak itu menjadi miliki
sana (tanggung jawab) yang bersifat dualistik di Telaga” (Tarian Bumi, 158–160).
rumah pihak pradana. Namun, menurut Putu
Fajar Arcana pihak yang paling dirugikan dalam Secara hak waris Luh Sadri memang kalah
sistem perkawinan nyentana adalah si perem- dibandingkan dengan I Wayan Sasmitha sebagai
puan itu sendiri. Wardani diceritakan berada pa- pihak purusa. Luh Gumbreg menyadari betul sta-
da posisi subordinat dalam sistem patrilineal tus Luh Sadri yang lemah di mata tradisi, namun
yang memberikan peluang bagi laki-laki untuk naluri keibuan Luh Gumbreg terketuk dengan
bertindak sebagai agresor sehingga banyak me- mencoba untuk bersikap tidak kaku dan lebih
nguntungkan Ketut Beratha termasuk mengha- kompromistis kepada keadaan anak perempuan-
biskan warisan leluhur milik keluarga Wardani. nya. Luh Gumbreg ingin mengakhiri polemik
pembagian hak waris yang melibatkan dirinya
Hukum Pewarisan Adat Bali dalam Karya dengan anak perempuannya. Luh Gumbreg de-
Sastra Kultural ngan berbesar hati akan memberikan Luh Sadri
jiwa dana (bekal harta benda) berupa sebidang
Dalam konteks pewarisan, anak laki-laki
tanah asalkan Luh Sadri mau mengajak suami-
sebagai pihak purusa mendapatkan keistimewa-
nya memohon di hadapan Luh Gumbreg.
an penuh dengan perolehan bagian warisan pe-
ninggalan keluarga yang dominan dibanding-kan Hukum Kesepekan (Pengucilan) dalam Karya
dengan anak perempuan. Seorang anak perem- Sastra Kultural
puan yang telah meninggalkan rumah keluarga
karena melangsungkan perkawinan (ninggal ke- Representasi hukum kesepekan (pengu-
daton) tidak berhak atas warisan peninggalan ke- cilan) nampak begitu jelas terdapat dalam cerpen
luarga. Kenyataan seperti itu harus diterima de- berjudul Kuburan Wayan Tanggu karya Gde
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 217

Aryantha Soethama. Melalui tokoh Wayan “Kepiluan mulai merayapi hati Luh Sasih. Ia
Tanggu Gde Aryantha Soethama mendeskrip- benar-benar merasakan betapa mence-kiknya
sikan kekejaman dan ketidakadilan dari pene- sepi terasing. Kesepian itu kian mencekamnya
rapan hukum kesepekan (pengucilan) yang dida- ketika pengadilan memutus-kan Wayan
Tanggu berhak atas tegalan itu” (Kubur
patkan oleh seseorang warga desa adat. Hukum
Wayan Tanggu: 83).
kesepekan secara harfiah memiliki pengertian
hukuman/sanksi adat yang diterima oleh sese- Hukum kesepekan (pengucilan) kepada
orang atau sekelompok warga adat yang melang- sesama warga adat sesungguhnya sangat eks-
gar awig-awig (norma) adat yang disepa-kati de- trem, hukuman tersebut berbanding terbalik de-
ngan cara pengucilan. Hukuman kesepekan (pe- ngan penegakan nilai-nilai kemanusiaan di mas-
ngucilan) dapat diklasifikasikan menjadi bebera- yarakat. Gde Aryantha Soethama menyetujui
pa jenis, yaitu pelarangan tinggal di wila-yah bahwa hukum kesepekan adalah sebuah hokum-
desa adat, dilarang berkomunikasi, berinteraksi, an yang ekstrem bahkan di dalam cerita dengan
atau bersosialisasi dengan warga adat lainnya, tegas ia menyatakan bahwa seekor kera pun ti-
dan yang terekstrem tidak diperkenankan meng- dak membiarkan mayat sekawanannya tergeletak
gunakan fasilitas kuburan bila kelak yang ber- begitu saja. Pernyataan tersebut dapat dimaknai
sangkutan meninggal. Di dalam cerita, hukum sebagai sebuat satire yang menyinggung keke-
kesepekan ini tidak berlaku surut, artinya kete- jaman manusia terhadap sesamanya di saat kera
tapan hukum ini masih berlaku meskipun Wayan memiliki nurani dan rasa empati yang sangat
Tanggu sudah meninggal sehingga jenazahnya tinggi terhadap kawanannya.
tidak diperkenankan dikuburkan ataupun dibakar
di pemakaman wilayah desa adat. “Sasih justru merasakan nasib suaminya
benar-benar seperti jazad seekor kera. Ia
“Jadi…..jazad suami hamba tetap tak bo-leh beberapa kali mendengar cerita orang-orang
dikubur?” sekampung, kalau kera yang mati di hutan
wisata Sangeh tak dibiarkan terge-letak begitu
“Saya tak berhak menjawab pertanyaanmu.
saja, tapi dikubur oleh teman-temannya
Kepada tokoh-tokoh adat semestinya eng-kau
sesama kera” (Kubur Wayan Tanggu: 85).
memohon ampun dan kebijaksana-an, karena
merekalah yang membuat semua aturan ini”
Tidak jauh berbeda dengan permasalah-
(Kubur Wayan Tanggu: 80).
an hukum kesepekan yang dibahas dalam Kubur-
Implementasi hukum kesepekan (pengu- an Wayan Tanggu, cerpen karya Fajar Arcana
cilan) sejatinya sangat rentan terkontaminasi po- yang berjudul Rumah Makam juga menggambar-
litik kepentingan yang cenderung tendensius un- kan bahwa hukum kesepekan sebagai hukum
tuk menguntungkan golongan tertentu. Selain yang rentan ditunggangi kepentingan praktis dan
itu, sentimenisme dan egoisme pribadi juga ke- sentimenisme pribadi. Agak sedikit kompleks
rap menjadi pemicu lahirnya keputusan hukum permasalahan yang diuraikan Putu Fajar Arcana
kesepekan (pengucilan). Seperti dalam cerpen tentang akar lahirnya ketetapan hukum kesepe-
Kubur Wayan Tanggu, penjatuhan hukuman kan (pengucilan) yang dijatuhkan kepada I
kesepekan kepada Wayan Tanggu disebabkan Raneh. Jika dalam cerpen Kuburan Wayan
oleh permasalahan sengketa lahan yang melibat- Tanggu akar permasalahan yang menyebabkan
kan warga desa dengan Wayan Tanggu. Wayan lahirnya hukum kesepekan bagi Wayan Tanggu
Tanggu sebagai pemilih sah lahan tegalan dinya- adalah tentang sengketa lahan tegalan dengan
takan menang sengketa melawan desa adat oleh warga adat, namun di dalam cerpen Rumah
pengadilan. Di sinilah letak permasalahan se- Makam tokoh I Raneh dijatuhi hukuman kese-
sungguhnya ketika desa adat merasa diperma- pekan karena beberapa hal mulai dari perbedaan
lukan dan ditelanjangi oleh warganya sendiri se- pandangan politik, perdebatan/konflik personal
hingga semakin kuatlah Kepala Desa menebar dengan kelihan adat, hingga sentimenisme per-
kebencian dan dengki kepada Wayan Tanggu. sonal karena keseluruhan anak I Raneh termasuk
Kemudian jadilah Wayan Tanggu berserta ke- Susila merantau ke luar Banjar dan dianggap ti-
luarga sebagai sosok terhakimi dan berstatus ter- dak menjalankan kewajiban selaku warga adat.
dakwa di mata masyarakat adat karena alasan-
alasan yang sesungguhnya sarat kepentingan “Bagaimana ini bisa terjadi? Adat dibikin
begitu kaku, bahkan digunakan untuk meng-
praktis.
218 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

hantam orang-orang yang tidak disukai. Ini ha- tidak dapat dikaji kebenaran logisnya adalah
nya dendam pribadi. Apa yang pantas dicem- bentuk kegagalan adat memberikan perlindung-
burui dari keluargaku?” (Rumah Makam: 4). an kepada warganya terhadap tindakan-tindakan
diskriminatif.
Penyelesaian konflik yang dipilih oleh
Gde Aryantha Soethama dan Putu Fajar Arcana “Warga Desa Adat Jelungkap, untuk kela-
di dalam cerpen mereka masing-masing menim- hiran buncing di keluarga Nyoman Sika,
bulkan permasalahan baru. Hal itu direpresenta- adat kembali mesti dijalankan. Sehabis
sikan melalui tokoh Sasih maupun Susila yang makan pagi, silahkan pergi ke Langking
sama-sama memilih untuk menguburkan jazad Langkau, bekerja untuk membuatkan gu-
Wayan Tanggu dan I Raneh di dalam area pe- buk. Selama emapt puluh dua hari, kita
karangan rumah mereka masing-masing. Tinda- akan mengasingkan sepasang bayi buncing
kan yang diambil oleh tokoh Sasih dan Susila itu.‟ Dingin dan ketus. Namun kharis-
matik” (Incest: 51).
dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk resistensi
yang lahir dari keputusasaan karena tidak kun- Hukum Upacara Malik Sumpah dalam Karya
jung menemukan kata rekonsiliasi dengan warga Sastra Kultural
desa adat.
Representasi hukum kesepekan juga terda- Dalam Incest karya Wayan Artika, diki-
pat dalam novel Incest karya I Wayan Artika. sahkan tokoh keluarga I Nyoman Sika dan Ketut
Novel ini bercerita tentang sanksi kesepekaan Artini tidak hanya mendapat hukum adat kese-
(pengucilan) yang harus diterima oleh sepasang pekan (pengucilan) mereka juga mendapat-kan
suami istri bernama I Nyoman Sika dan Ketut hukuman melaksanakan upacara malik sumpah.
Artini selama empat puluh dua hari di perbatasan Upacara malik sumpah bagi masyarakat Bali
desa karena melahirkan sepasang bayi kembar memiliki pengertian sebagai upacara yang bertu-
buncing. Menurut tradisi yang diyakini sebagian juan menyucikan bhuana agung (alam semesta/
masyarakat Jelungkapi kelahiran bayi kembar desa) dan bhuana alit (diri sendiri/ masyarakat)
buncing dikatakan aib apabila lahir di keluarga agar terhindar dari bencana baik niskala maupun
jaba Secara sosio-historis, fenomena kasus adat sekala. Sanksi malik sumpah memiliki beban
yang menimpa keluarga I Nyoman Sika berakar materiil dan psikologis yang amat berat.
dari kepercayaan lama tentang manak salah Nyoman Sika dikisahkan tetap bungkam dan ti-
yang diwariskan secara geneologis pada masya- dak memberikan sedikit pun pembelaan diri atas
rakat Bali. Bayi kembar buncing dianggap seba- hukuman yang dijatuhkan kepadanya. Kebisuan
gai manak salah bila terlahir dari golongan mas- keluarga Nyoman Sika terhadap sanksi yang di-
yarakat jaba wangsa dikatakan akan mendatang- jatuhkan kepada mereka adalah bentuk ketidak-
kan bencana bagi desa. Konsep dan ketentuan berdayaan seseorang terhadap hegemoni adat.
sanksi adat bagi golongan keluarga jaba yang
melahirkan bayi kembar buncing (manak salah) “Mendengar awal penjelasan Jero Mangku
Utama, orang-orang yang hadir semuanya
diatur dalam lontar Dewa Tatwa yang dirancang
berdebar-debar membayangkan berapa ekor
dan dibuat oleh raja sendiri pada masanya. babi, ayam, dan itik yang harus mereka
Sanksi adat kesepekan yang diberikan keluarkan untuk upacara malik sumpah. Hal
warga Jelungkap kepada keluarga I Nyoman ini adalah ketentuan adat juga dan bagian lain
Sika dan Ketut Artini atas kelahiran sepasang hukum untuk keluarga Jelungkap yang
bayi kembar buncing telah melemahkan wibawa melahirkan anak kembar buncing” (Incest:
adat itu sendiri. Rasionalisme yang menjadi da- 74).
sar-dasar normatif penegakan hukum tidak dija-
dikan sebagai parameter pemberian sanksi adat Artika menyoroti upacara malik sumpah
terhadap keluarga I Nyoman Sika. Selain itu, yang dijatuhkan oleh tokoh lima pemangku (pen-
pertimbangan dari persepektif nilai-nilai hum- deta) adat kepada keluarga Nyoman Sika atas
anis juga dikesampingkan warga Jelungkap se- kelahiran bayi kembar buncing adalah bentuk
bagai bentuk kewajiban dan kepatuhan terhadap kesalahan dari penegakan hukum adat di Jelung-
adat. Sanksi kesepekan kepada keluarga Nyoman kap. Tokoh lima pemangku (pendeta) direpre-
Sika yang hanya didasari atas kepercayaan ter- sentasikan sebagi simbol ideologi masa lalu
hadap mitos masa lalu yang terkesan klise dan yang otoriter dalam menegakkan kuna dresta
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 219

(tradisi lama) di desa Jelungkap tanpa celah melakukan redefinisi terhadap adat dan tradisi
kompromis. Melalui tokoh lima pemangku desa, yang masih konservatif dan deskriminatif. Mela-
Artika mencoba memberikan pandangannya ten- lui pemahaman terhadap karya sastra Tarian
tang kecenderungan konstruksi berpikir golong- Bumi, Incest, Mandi Api, dan Bunga Jepun se-
an tua dalam mengambil keputusan ketika diha- mestinya hukum dapat menjadi mediator yang
dapkan pada suatu kasus adat. Konsep pasang memberikan kepastian keadilan bagi masyarakat
badan pemangku dalam mempertahankan kuna adat. Namun realitas menunjukkan bahwa hu-
dresta tanpa memperhatikan konteks „kekinian‟ kum adat terutama yang mengatur tentang keten-
dalam pemberian sanksi adat kepada bayi kem- tuan sistem perkawinan, pewarisan, sanksi kese-
bar buncing adalah representasi penghambatan pekan (pengucilan), dan hukum ritual malik sum-
akses reformasi tradisi yang bersifat diskrimi- pah (bagi keluarga yang memiliki bayi kembar
natif. buncing) masih menjadi polemik berkepanjang-
an dari dulu hingga saat ini. Polemik ini belum
“Kelima orang pemangku desa itu adalah mendapatkan pemecahan karena kuatnya hege-
orang-orang yang menghamba kepada ma- moni feodalistis yang tertanam di dalam benak
sa lalu dan adalah tentara-tentara adat
masyarakat. Ideologi feodalistis ini dapat digo-
Jelungkap, walaupun sebenarnya mereka
selalu tampil dengan lengan-lengan otot longkan menjadi dua bentuk yaitu yang bersifat
yang keriput (karena usia tua). Sebaliknya, personal dan melembaga (Dwipayana dan
kepatuhan terhadap masa lalu yang terus Artajaya (2018). Ideologi feodal yang bersifat
dibangun dan dihidupkan menyebabkan personal terefleksikan melalui fanatisme berle-
para pemangku itu dihormati dan dipatuhi bihan terhadap soroh, kulit, wangsa atau kasta.
cara atau jalan bagi orang-orang Jelungkap Masih melekatnya dikotomi tentang kelas atas
untuk menjadi bagian masa silam dan dan bawah, penguasa dan dikuasai menyebab-
bangga kepada Jelungkap. Dengan cara ini kan membudanya paham feodal dalam benak
ada lembaga yang diam, bagaimana masing-masing individu. Ideologi feodal yang
Jelungkap sesungguhnya tidak mau dibawa
bersifat melembaga terefleksikan melalui waris-
ke masa kini” (Incest: 75).
an sistem adat yang otoritatif, egosentris, dan
Melalui kebisuan lembaga adat di tendesius, seperti sistem perkawinan antarkasta
Jelungkap justru telah mendukung terciptanya dan sistem pewarisan yang memihak anak laki-
kekakuan adat oleh golongan tua padahal lemba- laki.
ga adat mempunyai fungsi sebagai pelindung Masalah hukum perkawinan antarkasta
dan pengayom masyarakat. Secara konseptual, yang direpresentasikan oleh tokoh Telaga dalam
konstruksi berpikir dalam melakukan interpretasi novel Tarian Bumi telah membuka lebar mata
terhadap hukum adat harus dibangun berdasar- kita bahwa adat atau tradisi telah mendeskri-
kan atas wiweka (pengetahuan atau penalaran minasi kebebasan seorang perempuan Bali da-
logis) bukan atas dasar sentimenisme, egosen- lam menentukan pilihan hidup dalam konteks
trisme, ataupun fanatisme sehingga dalam imple- perkawinan. Permasalahan hegemoni perkastaan
mentasinya dapat memberikan persepsi keadilan menjadi penghambat perempuan seperti Ida Ayu
di masyarakat adat. Telaga untuk memperoleh kebahagian yang
hakiki dengan laki-laki yang dicintainya. Perem-
Pembahasan puan Tri wangsa seperti Telaga menda-patkan
tekanan psikologis yang cukup besar, baik dalam
Hasil penelitian terhadap karya sastra Ta- lingkungan keluarga maupun lingkungan sosial
rian Bumi, Incest, Mandi Api, dan Bunga Jepun bahwa seorang perempuan bangsawan harus
menunjukkan bahwa antara Oka Rusmini, I menjaga kehormatan kebangsawanannya dengan
Wayan Artika, Aryantha Soethama, dan Putu melakukan perkawinan sederajat. Telaga adalah
Fajar Arcana memiliki pemahaman yang linier representasi perempuan Bali senyatanya yang
bahwa hukum adat yang berlaku masih belum terbelenggu oleh doktrin-doktrin ortodoks yang
mampu memberikan keadilan bagi semua pihak menggiring perempuan ke dalam kubangan pen-
sehingga menimbulkan polemik berkepanjangan deritaan dalam konteks perkawinan. Tokoh Te-
yang belum tuntas. Penglegitimasian hukum adat laga digambarkan sebagai perempuan Bali yang
dalam karya sastra sesungguhnya sebuah upaya visioner dan kuat meskipun berada dalam ling-
pengarang untuk memberikan pemahaman dan karan tradisi yang memarginalkan peranannya
220 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

sebagai seorang perempuan dalam dimensi pat- hukum dan tendesius untuk kepentingan go-
riarkis. Melalui tokoh Telaga seorang Oka longan tertentu.
Rusmini ingin menunjukkan cara penyikapannya Kedudukan seorang perempuan di mata
terhadap adat yang tendesius dan deskriminatif adat dalam konteks perkawinan antarkasta sa-
terhadap perempuan. Tokoh Telaga seakan me- ngat lemah. Status perempuan tri wangsa yang
nyadarkan kita bahwa perlunya perjuangan direpresentasikan tokoh Kartika dalam cerpen
dalam membebaskan diri dari kungkungan fana- yang berjudul Pergi dari Puri karya Putu Fajar
tisme tradisi yang berlebihan. Terdapat hal yang Arcana menjadi ngumbang (tidak jelas atau
menarik dalam struktur naratif Tarian Bumi terombang-ambing) ketika suami Kartika yang
karya Oka Rusmini, tokoh Telaga diceritakan berasal dari keturunan jaba wangsa meninggal
melakukan perjuangan dengan segala daya upa- dunia. Kartika tidak bisa lagi kembali ke rumah
ya untuk melawan hegemoni tradisi Griya na- asalnya karena ia sudah mengalami penurunan
mun tetap kandas. Telaga harus kehilangan su- derajat melalui prosesi ritual pattiwangi. Seo-
aminya yaitu I Wayan Sasmitha karena mening- rang perempuan tri wangsa yang sudah meng-
gal dunia hingga harus melakukan ritual patt- alami penurunan derajat secara sosial kekerabat-
iwangi (ritual penurunan derajat) yang menggun- an sangat sulit diterima kembali oleh keluarga
cang batinnya sebagai seorang perempuan. Hal asalnya yang kini telah memiliki derajat lebih
ini menunjukkan sikap dualistik dari seorang tinggi. Terlebih lagi mekanisme perkawinan
Oka Rusmini, di satu sisi melalui tokoh Telaga Kartika dilakukan dengan perkawinan ngerorod
ia ingin melawan tradisi yang diskriminatif se- (kawin lari) karena tidak mendapat restu dari
cara reaksioner tetapi di sisi lain ia bersifat kom- ayahnya di puri. Tokoh Kartika merepresentasi-
promis terhadap hegemoni adat atau tradisi. kan perempuan Bali yang tidak mendapatkan
Permasalahan perkawinan antarkasta ju- perlindungan secara konstitusional di mata adat.
ga ditunjukkan dalam kumpulan cerpen Mandi Di dalam karya sastra yang berjudul Ku-
Api karya Aryantha Soethama. Dalam cerpen buran Wayan Tanggu karya Aryantha Soethama
yang berjudul Bohong sepasang kekasih yang dan Rumah Makam karya Fajar Arcana menun-
berbeda kasta yaitu Sagung Mirah dan Wayan jukkan bahwa hukum sesungguhnya sangat ren-
Jirna harus melakukan mekanisme perkawinan tang ditunggangi oleh kepentingan politik prak-
ngerorod (kawin lari) karena secara tradisi se- tis. Hukum kesepekan (pengucilan) yang dijatuh-
orang jaba wangsa (orang biasa) dilarang me- kan kepada masing-masing tokoh Wayan Tang-
madik (meminang) seorang perempuan Tri gu dalam cerpen Kuburan Wayan Tanggu dan I
Wangsa (perempuan golongan bangsawan). Raneh dalam cerpen Rumah Makam ditunggangi
Windia (2015) menyatakan bahwa di dalam hu- oleh kepentingan praktis dan senti-menisme in-
kum adat perkawinan di Bali tertuangan aturan dividual dari pejabat desa. Intrik-intrik yang
bahwa proses memadik lazim atau cenderung di- terjadi di dalam kehidupan sosial yang melibat-
lakukan oleh pasangan laki-laki dan perempuan kan Wayan Tanggu dan I Raneh dengan masya-
yang sederajat. Pada zajam kerajaan dan kolonial rakat adat menyebabkannya tersisihkan di komu-
laki-laki jaba wangsa yang berani meminang pe- nitas sosialnya. Aryantha Soethama dan Fajar
rempuan tri wangsa mendapatkan streotipe ne- Arcana merefleksikan salah satu sisi murah pe-
gatif dengan penyebutan istilah “Alangkahin Ka- negakan norma atau hukum adat di Bali. Melalui
rang Hulu” dan “Asu Mundung” yang tertuang tokoh I Wayan Tanggu dan I Raneh, masing-
di dalam aturan Peswara (Sadnyini, 2016). masing pengarang bersepakat penjatuhan hu-
Alangkahin karang hulu secara etimologi memi- kuman kesepakan melanggar hak-hak kemanu-
liki makna melangkahi kepala raja sedangkan siaan dan konstitusi sebagai makhluk sosial
Asu Mundung secara harfiah dapat dimaknai se- karena melanggar asas persamaan dan kesamaan.
bagai “anjing pencuri”. Perilaku laki-laki jaba Hukum kesepekan juga sejatinya melanggar
wangsa yang mengawini perempuan Tri Wangsa ajaran agama Hindu yaitu ajaran Tat twam asi
diasumsikan sebagai orang yang berani melang- atau ajaran Manusa Pada. Hukum kesepekan
kahi kepala raja dan bahkan juga disebut sebagai yang dijatuhkan kepada Wayan Tanggu dan I
seekor “anjing” yang tidak memiliki etika. Stig- Raneh tidak berlaku surut. Artinya terdakwa ha-
ma negatif ini bertahan selama puluhan tahun di rus menjalankan hukuman hingga meninggal
Bali hingga muncul keputusan peng-hapusan konsekuensinya adalah jasad Wayan Tanggu dan
Paswara oleh DPRD Bali yang dianggap cacat I Raneh dilarang dimakamkan dikuburan di
Dwipayana & Adnyana, Legitimasi Hukum Adat Bali ... 221

wilayah desa adat setempat. Hukuman kese- sumpah harus ditanggung bersama. Meskipun
pekan (pengucilan) sesungguhnya dapat diklasi- demikian, tetap saja sanksi malik sumpah memi-
fikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu pela- liki beban materiil dan psikologis yang amat be-
rangan tinggal di wilayah desa adat, dilarang rat karena selain harus menyiapkan semua sarana
berkomunikasi, berinteraksi atau bersosialisasi upacara, biaya upacara pastilah dominan ditang-
dengan warga adat lainnya dan yang terekstrem gung pihak keluarga si kembar buncing. Secara
tidak diperkenankan menggunakan fasilitas ku- sosio-historis, fenomena kasus adat yang me-
buran bila kelak yang bersangkutan meninggal. nimpa keluarga I Nyoman Sika berakar dari ke-
Di dalam cerita, I Wayan Tanggu dan I Raneh percayaan lama tentang manak salah (anak sa-
mendapatkan hukuman paling ekstrem yaitu di- lah) yang diwariskan secara geneologis pada
sepekan (dikucilkan) hingga mereka mening-gal. masyarakat Bali. Predikat manak salah diberikan
Inilah yang kemudian menjadi kasus proble- kepada keluarga jaba/ sudra yang telah mela-
matik tanpa pemecahan ketika jazad seorang hirkan bayi kembar buncing. Sedangkan, apabila
terdakwa pengucilan dilarang dikubur di wilayah bayi kembar buncing lahir di keluarga kerajaan
desa setempat. Melalui representasi tokoh Sasih akan dianggap sebagai pembawa berkah dan ke-
dalam cerpen Kuburan Wayan Tanggu dan makmuran bagi wilayah desa. Konsep manak
Susila dalam cerpen Rumah Makam, Gde salah ini sesungguhnya diciptakan sebagai upaya
Aryantha Soethama dan Fajar Arcana memiliki penglegitimasian hegemoni kaum bangsawan
cara penyelesaian konflik yang hampir sama, atau raja untuk kepentingan pragmatisme. Ke-
yaitu dengan memilih menguburkan jazad kukuhan dan keegoisan berpijak pada adat mem-
Wayan Tanggu dan I Raneh di pekarangan ru- buat pendukungnya tidak menggunakan pena-
mah. Cara penyelesaian konflik di dalam cerita laran logis dalam pelaksanaannya. Perilaku serta
menurut (Sujaya, 2014) sesungguhnya menim- tindakan seakan mendapat pembenaran sehingga
bulkan permasalahan baru. Penguburan jazad di dalam realitasnya terkadang terjadi hambatan
pekarangan rumah jika ditinjau dari perspektif atau ekses yang justru menempatkan pendukung
religious magis orang Bali adalah meletehkan adat itu sendiri menjadi korban seperi kasus
(mencemarkan) kesucian wilayah pekarangan yang dialami oleh Nyoman Sika dan Ketut Artini
dan desa adat setempat. Menurut keyakinan or- dalam novel Incest.
ang Bali untuk menyucikan kembali wilayah
yang tercemar harus melalui proses upacara
SIMPULAN
pembersihan alam sekala (dunia nyata) dan
niskala (dunia kasat mata). Tindakan yang diam- Di dalam karya sastra Tarian Bumi kar-
bil oleh tokoh Sasih dan Susila dengan mengu- ya Oka Rusmini, Incest karya I Wayan Artika,
burkan jazad di pekarangan rumah dapat dimak- Mandi Api karya Aryantha Soethama, dan
nai sebagai sebuah bentuk resistensi yang lahir Bungan Jepun karya Putu Fajar Arcana masing-
dari keputusasaan karena tidak kunjung men- masing memperbincangkan legalitas hukum adat
dapatkan rekonsiliasi dengan warga desa adat. yang masih menjadi polemik karena belum sang-
Bentuk ketidakadilan sanksi adat juga di- gung memberikan keadilan di kalangan mas-
soroti oleh Artika dalam novelnya yang berjudul yarakat Bali. Berdasarkan kajian terhadap keem-
Incest. Melalui tokoh I Nyoman Sika, Artika me- pat karya sastra tersebut didapatkan persa-maan
lakukan resistensi terhadap penegakan sanksi ri- persepsi bahwa perempuan menjadi pihak paling
tual malik sumpah (upacara pember-sihan) hanya dirugikan dalam ketetapan sistem hukum adat,
karena ia memiliki bayi kembar buncing. Dalam seperti sistem perkawinan antarwangsa dan sis-
konteks sarana, upacara malik sumpah menggu- tem pewarisan. Pengaruh sistem stratifikasi so-
nakan beberapa sarana binatang kurban, seperti sial juga menyebabkan lahirnya beberapa jenis
kerbau, kambing, babi, ayam, dan itik dipersem- perkawinan adat di Bali, seperti perkawinan me-
bahkan untuk penyucian alam sekala dan nis- nek wangsa/naik wangsa (anuloma), perkawinan
kala. Dalam tataran pelaksanaan, sarana binatang nyerod (pratiloma). Terdapat juga jenis perka-
dalam upacara malik sumpah dise-suaikan de- winan nyentana yang terlahir dari sistem garis
ngan tingkatan upacara (kecil, sedang, dan keturunan patrilineal yang dianut masya-rakat di
utama). Bagi kepercayaan warga Jelungkap kela- Bali. Dalam konteks pewarisan, anak laki-laki
hiran kembar buncing adalah kesalahan kolektif, sebagai pihak purusa yang memiliki kewajiban
sehingga pelaksanaan upacara mecaru malik
222 RETORIKA: Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, hlm. 208–222

penerus keberlangsungan keluarga mendapat- sebabkan oleh permasalahan sengketa lahan


kan keistimewaan penuh dengan perolehan bagi- yang melibatkan warga desa dengan Wayan
an warisan peninggalan keluarga yang dominan Tanggu.
dibandingkan dengan anak perempuan. Seorang
anak perempuan yang telah meninggalkan rumah
UCAPAN TERIMA KASIH
keluarga karena melangsungkan perkawinan
(ninggal kedaton) tidak berhak atas warisan pe- Penelitian ini didanai melalui Hibah
ninggalan keluarga. Hukum kesepekan (pengu- Penelitian Dosen Pemula tahun anggaran 2019.
cilan) sejatinya sangat rentan terkontaminasi po- Penulis menyampaikan ucapan terima kasih
litik kepentingan yang cenderung tendensius un- kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pen-
tuk menguntungkan golongan tertentu. Sentime- didikan Tinggi Republik Indonesia. Ucapan
nisme juga kerap menjadi pemicu lahirnya kep- terima kasih disampaikan pula kepada mitra
utusan hukum kesepekan (pengucilan). Seperti bestari yang telah memberikan saran, kritik, dan
dalam cerpen Kubur Wayan Tanggu, penjatuhan komentar untuk perbaikan artikel ini.
hukuman kesepekan kepada Wayan Tanggu di-

DAFTAR RUJUKAN

Arcana, P. F. 2003. Bunga Jepun. Jakarta: Kompas. Ratna, N. K. 2005. Sastra dan Culture Studies: Rep-
Artawan, I. G. 2010. Potret dan Perjuangan Kultural resentasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pusta-
Wanita Bali dalam Novel-Novel Panji Tisna, ka Pelajar.
Putu Wijaya, dan Oka Rusmini. Disertasi. Sadnyini, I. A. 2016. Sanksi Perkawinan Terlarang di
Denpasar: Udayana. Bali Dulu dan Kini. Denpasar: Udayana Uni-
Artika, I. W. 2008. Incest. Yogyakarta: Penerbit versity Press.
Pinus. Shindu, N. R. 1969. Ketika Kentongan Dipukul di
Damono, S. D. 1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pe- Bale Banjar. Horison, 1 (4) 27–29.
ngantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan Soethama, G. A. 2006. Mandi Api. Jakarta: Kompas
dan Pengembangan Bahasa Departemen Pen- Suarta, I. M. dan I Kadek A. D. 2014. Teori Sastra.
didikan dan Kebudayaan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Darmayanti, I. A. M. 2014. Seksualitas Perempuan Sujaya, I. M. 2014. Wacana Pengucilan Sosial dalam
Bali dalam Hegemoni Kasta: Kajian Kritik Cerpen “Kuburan Wayan Tanggu” Karya Gde
Sastra Feminis pada Dua Novel Karya Oka Aryantha Soethama. Stilistetika, 5: 98–112.
Rusmini. Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora 3, Swingewood, A. & Diana L. 1972. The Sociology of
(2):484–494. Literature. London: Paladin.
Dwipayana, I. K. A. 2017. Resistensi Perempuan Trisna, A. A. P. 1953. Sukreni Gadis Bali. Jakarta:
Terhadap Hegemoni Patriarki dalam Kultur Balai Pustaka.
Masyarakat Bali pada Novel-novel Oka Trisna. A. A. P. 1933. Ni Rawit Ceti Penjual Orang.
Rusmini. Stilistetika, 10:37–52. Jakarta: Balai Pustaka.
Dwipayana, I. K. A. 2018. Potret Tirani dalam Prak- Wellek, R. & Austin W. 1977. Theory of Literature.
tik Sosiokultural di Bali dalam Cerpen Ketika Terjemahan Melani Budianta. 2014. Teori
Kentongan Dipukul di Bale Banjar Karya Kesusastraan. Jakarta: Pustaka Utama.
Nyoman Rasta Sindhu. Widyadari: Jurnal Wijaya, P. 2004. Putri I dan Putri II. Jakarta: PT
Pendidikan, 19 (2):1–11. Pustaka Utama Graffiti.
Dwipayana, I. K. A. dan Gde S. A. 2018. Hegemoni Wijaya, P. 1971. Bila Malam Bertambah Malam.
Hukum Adat Bali dalam Karya Sastra Berlatar Jakarta : Pustaka jaya.
Sosiokultural Bali. Jurnal Kajian Bali, 08 (2) Windia, W. 2015. Hukum Adat Bali: Aneka Kasus
85–105. dan Penyelesaiannya. Gianyar: Dinas Kabupa-
Fakih, M. 2008. Analisis Gender dan Transformasi ten Gianyar bekerjasama dengan Udayana
Sosial. Yogyakarta: INSISTPress. University Press, “Bali Shanti” Pusat Pelayan-
Oka, R. 2007. Tarian Bumi. Jakarta: Gramedia Pus- an dan Budaya Bali, dan Puslit Hukum Adat.
taka Utama. Yasa, I. N. 2012. Teori Sastra dan Penerapannya.
Putra, I. D. 2008. Bali dalam Kuasa Politik. Den- Bandung: Karya Putra Darwati.
pasar: Arti Foundation.

You might also like