Professional Documents
Culture Documents
Keywords: Rainfall, Oldeman, Agroclimatology Zone
Keywords: Rainfall, Oldeman, Agroclimatology Zone
id
Abstract
PENDAHULUAN
kembali ke luar angkasa. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan suhu di permukaan
bumi (Sudarman, 2010). Menurut ASA et al. (2010), suhu global meningkat 0,6 0C (1
0
F) selama abad 20 dan diperhitungkan meningkat 2—6 0C (3,6—10,8 0F) pada abad
ke-21.
Peningkatan rata-rata temperatur dapat berkontribusi pada perubahan pola iklim
global, karena adanya saling keterkaitan antara unsur iklim yang satu dengan yang
lainnya. Menurut perubahan iklim adalah perubahan rata-rata salah satu atau lebih
elemen iklim pada suatu daerah tertentu (Hairiah et al., 2016). Perubahan iklim
membawa dampak yang nyata dalam kehidupan masyarakat. Berubahnya pola hujan,
meningkatnya frekuensi cuaca ekstrim seperti hujan yang disertai angin kencang, badai,
serta terjadinya banjir rob akibat naiknya tinggi permukaan air laut adalah indikator
tentang telah terjadininya perubahan iklim (Manik et al., 2018). Di daerah lintang
tinggi, unsur suhu menjadi indikator terjadinya perubahan iklim, karena fluktuasi suhu
harian yang sangat jelas antarmusim. Sementara itu, di daerah lintang rendah fluktuasi
suhu harian tidak terlalu berbeda (cenderung flat) sepanjang tahun. Unsur curah hujan
diduga dapat digunakan sebagai salah satu indikator terjadinya perubahan iklim di
daerah tropis .
Menurut Maru et al. (2016), informasi iklim pada suatu daerah sangatlah
dibutuhkan. Pada daerah tropis, faktor pemabatas utama yang mempengaruhi produksi
pertanian bukanlah suhu udara, melainkan ketersediaan air. Air (curah hujan)
merupakan faktor utama yang menjadi penentu keberhasilan dalam budidaya tanaman.
Musim kering yang panjang dan ekstrim akan membawa konsekuensi yang luas
terhadap lingkungan dan makhluk hidup. Perubahan iklim diperkirakan akan
memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi pertanian di Indonesia,
khususnya tanaman pangan. Dampak tersebut dapat bersifat langsung yaitu
menurunnya produktivitas tanaman, karena meningkatnya suhu udara dan perubahan
pola hujan, serta intensitas curah hujan yang menyebabkan kekeringan dan kebanjiran
(Boer, 2010 dalam Priadi dan Susilawati, 2014).
Berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah
hujan akan membawa dampak luas pada berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk
pertanian. Akibat dari perubahan iklim, beberapa daerah yang menjadi areal pertanian
akan mengalami kekeringan, sementara di beberapa daerah yang lain ada pula yang
mendapatkan curah hujan yang lebih tinggi (Manik et al., 2018). Hal tersebut dapat
menyebabkan petani gagal panen dan mengalami kerugian yang signifikan. Menurut
Kamala et al. (2015), pemanfaatan informasi iklim di Indonesia untuk sektor pertanian
masih sangat sedikit, sementara sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya adalah
petani. Pengetahuan tentang iklim berupa karakteristik dan pendugaannya sangat
diperlukan agar petani dapat menentukan tanaman apa yang tepat untuk ditanam, waktu
penanamannya, serta pengolahannya.
Oleh karena itu, sebagai salah satu upaya untuk meminimalisir kerugian tersebut,
dibutuhkan informasi yang tepat mengenai kondisi iklim (curah hujan) pada suatu
wilayah (areal pertanian), apakah saat ini wilayah tersebut menjadi semakin
basah/kering dari tahun-tahun sebelumnya. Penelitian ini direncanakan sebagai
penelitian awal mengenai dampak perubahan iklim terhadap perubahan curah hujan di
daerah tropis pada skala regional (provinsi).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan iklim pada skala
lokal di kawasan pertanian Politeknik Negeri Lampung, mengetahui kondisi curah hujan
saat ini di kawasan pertanian Politeknik Negeri Lampung, dan mengetahui apakah saat
ini telah terjadi perubahan zona agroklimatologi di kawasan pertanian Politeknik Negeri
Lampung.
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi bagaimana dampak perubahan
iklim terhadap curah hujan pada skala lokal, khususnya di kawasan pertanian Politeknik
Negeri Lampung. Informasi ini berupa gambaran kondisi curah hujan di kawasan
pertanian Politeknik Negeri Lampung pada masa lampau dan pada saat ini. Hal ini
dapat digunakan sebagai salah satu bahan untuk mengkaji bagaimana dampak
perubahan iklim pada skala regional (provinsi), dan merupakan langkah awal dari
rangkaian aspek penelitian mengenai dampak perubahan iklim untuk daerah tropis.
Disamping itu, hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai dasar dalam penentuan
komoditas apa yang cocok untuk dibudidayakan di areal tersebut berdasarkan zona
agroklimatnya.
METODE PENELITIAN
Data Penelitian
Data-data yang dibutuhkan untuk pelaksanaan penelitian ini adalah data curah
hujan bulanan yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Politeknik Negeri Lampung
selama 25 tahun terakhir.
Metodologi
Pada penelitian ini data curah hujan yang telah dikumpulkan, dianalisis
menggunakan sistem klasifikasi iklim Oldeman (klasifikasi iklim secara empirik).
Sistem klasifikasi iklim Oldeman merupakan sistem penggolongan iklim yang tergolong
baru, khususnya untuk kebutuhan tanaman pangan. Oldeman membuat sistem
klasifikasi iklim menggunakan unsur iklim curah hujan bulanan. Kriteria curah hujan
bulanan yang digunakan adalah bulan basah (bulan dengan curah hujan di atas 200
mm/bulan secara berturut-turut), bulan kering (bulan dengan curah hujan kurang dari
100 mm/bulan secara berturut-turut), dan bulan lembab (bulan dengan curah hujan
antara 100—200 mm/bulan). Konsep yang digunakan oleh Oldeman untuk menetapkan
sistem klasifikasinya adalah berdasarkan kebutuhan air untuk padi sawah dan tanaman
palawija.
Selanjutnya dilakukan penentuan zona agroklimatologinya berdasarkan sistem
klasifikasi iklim Oldeman. Setelah ditentukan zona agroklimatologinya, lalu dianalisis
apakah kawasan tersebut saat ini telah menjadi semakin kering/basah dari tahun-tahun
sebelumnya, atau masih tetap.
Pelaksanaan Penelitian
Data-data dasar yang merupakan data sekunder diperoleh dari pengamatan curah
hujan di Stasiun Klimatologi Politeknik Negeri Lampung. Dari data curah hujan
bulanan yang dimiliki (database), dilakukan pengelompokkan per lima belas tahun,
selanjutnya dilakukan penentuan zona agroklimatologi untuk kawasan tersebut
berdasarkan sistem klasifikasi iklim Oldeman. Untuk menentukan tipe iklimnya,
dihitung berapa banyak bulan basah (BB) dan bulan kering (BK) yang terpanjang
(berturut-turut dan tidak terputus).
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
5.259, 4.366, 4.382, 2.777, 1.984, 1.072, 1.206, 844, 937, 1.152, 1.926, 3.791,
Jumlah (mm) 9 0 3 4 8 7 6 2 9 1 8 2
Rata-rata
(mm) 350,7 291,1 292,2 185,2 132,3 71,5 80,4 56,3 62,5 76,8 128,5 252,7
Kriteria BB BB BB BL BL BK BK BK BK BK BL BB
∑ Bulan basah berturut-turut :4
∑ Bulan kering berturut-turut :5
Tipe iklim utama :D
Tipe subdivisi :3
Zona agroklimat : D3
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
4.846, 3.903, 2.611, 1.834, 1.498, 1.298, 1.124, 949, 1.763, 2.218, 3.760,
Jumlah (mm) 2 3.866,5 7 0 5 2 3 6 1 5 8 4
Rata-rata
(mm) 323,1 257,8 260,2 174,1 122,3 99,9 86,6 75,0 63,3 117,6 147,9 250,7
Kriteria BB BB BB BL BL BK BK BK BK BL BL BB
∑ Bulan basah berturut- : 4
turut
∑ Bulan kering berturut- : 4
turut
Tipe iklim utama :D
Tipe subdivisi :2
Zona agrokilmat : D2
Bulan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
4.462, 3.836, 3.125, 1.914, 1.554, 1.469, 1.084, 1.065, 1.601, 1.873, 4.119,
Jumlah (mm) 4.084,4
9 3 2 5 7 9 1 0 9 1 7
Rata-rata
297,5 272,3 255,8 208,3 127,6 103,6 98,0 72,3 71,0 106,8 133,8 274,6
(mm)
Kriteria BB BB BB BB BL BL BK BK BK BL BL BB
∑ Bulan basah berturut- : 5
turut
∑ Bulan kering berturut- : 3
turut
Tipe iklim utama :c
Tipe subdivisi :2
Zona agrokilmat : C2
Dari hasil analisis data yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa dalam kurun
waktu 25 tahun terakhir ini, di kawasan Politeknik Negeri Lampung telah terjadi
perubahan zona agroklimat. Pada periode pertama (1993—2007), kawasan Politeknik
Negeri Lampung termasuk ke dalam zona agroklimat D3 (Tabel 1), kemudian pada
periode kedua (1998—2012) kawasan ini mengalami perubahan zona agroklimat
menjadi D2 (Tabel 2). Hal serupa juga terjadi pada periode ketiga (2003—2017). Pada
periode ini, kawasan Politeknik Negeri Lampung mengalami perubahan zona
agroklimat dari D2 menjadi C2 (Tabel 3).
Pada penenlitian ini, pembagian zona agroklimatologi dilakukan menggunakan
sistem klasifikasi iklim Oldeman, dimana menurut Maru et al. (2016), sistem klasifikasi
ini merupakan sistem penggolongan iklim yang tergolong baru khususnya untuk
kebutuhan tanaman pangan. Konsep yang digunakan oleh Oldeman untuk menetapkan
sistem klasifikasinya adalah berdasarkan kebutuhan air untuk padi sawah dan tanaman
palawija.
Pembagian zona agroklimatologi akan menggambarkan keadaan suatu wilayah
apakah wilayah tersebut termasuk daerah yang kering atau basah, serta menentukan
jenis tanaman apa yang cocok untuk dibudidayakan di wilayah tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari banyaknya jumlah Bulan Basah (BB), Bulan Kering (BK), dan Bulan
Lembab (BL) di setiap periode tahun pengamatan. Daerah dengan zona agroklimat D3
dan D2 memiliki karakteristik yang hampir sama, yaitu hanya memungkinkan untuk
tanam padi sekali dan palawija sekali, tegantung persediaan air. Sementara itu, untuk
daerah dengan zona agroklimat C2 memiliki karakteristik hanya cukup menanam padi
sawah sekali dalam setahun, namun untuk palawija harus hati-hati agar masa panen
tidak jatuh pada musim kemarau atau dapat tanam padi dua kali dalam setahun dengan
varietas umur genjah, dan musim kering yang pendek cukup untuk tanam palawija
(Sabaruddin, 2014).
Berdasarkan ciri-ciri di atas, maka dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 25
tahun, kawasan Politeknik Negeri Lampung semakin lama daerahnya menjadi semakin
basah (D3 D2 C2). Kondisi saat ini di kawasan Politeknik Negeri Lampung lebih
basah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh semakin
bertambahnya bulan-bulan yang termasuk ke dalam kategori bulan basah, sementara
bulan-bulan yang termasuk ke dalam kategori bulan kering jumlahnya semakin
berkurang.
Jika dilihat dari hasil analisis data yang telah dilakukan (Tabel 1 dan 2), terlihat
bahwa dari periode 1 ke periode 2 terjadi pengurangan jumlah bulan kering, yaitu pada
Bulan Oktober yang semula masuk ke dalam kriteria bulan kering (pada periode 1),
berubah menjadi bulan lembab pada periode ke-2. Hal ini dikarenkan adanya
peningkatan rata-rata jumlah curah hujan bulanan pada bulan tersebut, sehingga kriteria
Bulan Oktober berubah dari bulan kering menjadi bulan lembab berdasarkan kriteria
bulan dalam sistem klasifikasi iklim Oldeman, sedangkan untuk jumlah bulan basahnya
tidak terjadi perubahan, meskipun terjadi perubahan dalam nilai rata-rata curah hujan
bulanan pada bulan-bulan yang termasuk ke dalam kriteria bulan basah.
Dari periode 2 ke periode 3 juga terjadi perubahan jumlah bulan basah dan bulan
kering. Perubahan kriteria bulan terjadi pada Bulan April dan Juni. Bulan April pada
periode 2 masuk ke dalam kriteria bulan lembab, kemudian berubah menjadi bulan
basah pada periode 3 karena terjadi peningkatan rata-rata jumlah curah hujan bulanan
pada bulan tersebut. Pada Bulan Juni terjadi perubahan kriteria dari bulan kering
(periode 2) menjadi bulan lembab (periode 3), perubahan kriteria ini juga disebabkan
oleh adanya peningkatan rata-rata jumlah curah hujan bulanan pada bulan tersebut.
Adanya fenomena perubahan iklim berdampak pada kondisi curah hujan di
beberapa wilayah. Perubahan ditunjukkan dengan adanya ketidak-menentuan musim,
meningkatnya curah hujan pada saat musim penghujan akan berdampak pada
meningkatnya potensi kejadian banjir dan longsor, serta menurangi luasan lahan
pertanian, sementara pada saat musim kemarau akan terjadi kekeringan dan penurunan
ketersediaan air yang berkepanjangan, sehingga akan mempengaruhi pasokan air untuk
wilayah perkotaan dan pertanian, serta meluasnya kebakaran hutan (Hairiah et al.,
2016). Salah satu unsur iklim yang menjadi indikator terhadap adanya pengaruh
perubahan iklim di daerah lintang rendah (tropis) adalah berubahnya kondisi curah
hujan pada suatu wilayah, apakah wilayah tersebut saat ini kondisinya menjadi semakin
kering atau semakin basah dari tahun-tahun sebelumnya.
Gambar 1. Pola curah hujan bulanan dalam kurun waktu tiga periode 15 tahunan.
Berdasarkan grafik pada Gambar 1. terlihat bahwa trend pola curah hujan pada
ketiga periode tersebut sama, yaitu monsonal. Pola curah hujan di Provinsi Lampung
(khususnya di kawasan Politeknik Negeri Lampung) masih sangat kuat dipengaruhi
oleh pola angin monsoon, dengan puncak musim hujan terjadi pada Bulan Januari dan
puncak pada musim kemarau terjadi pada Bulan Agustus atau September.
Menurut Manik (2018), pada saat musim dingin di Belahan Bumi Utara (BBU),
udara bertekanan tinggi terjadi di atas Benua Asia menyebabkan aliran udara mengalir
ke selatan dan sebagian melewati Pegunungan Himalaya. Udara yang bergerak turun
sepanjang batas tropis bergerak menuju Lautan Hindia dan menghasilkan monsoon
musim dingin yang kering. Untuk Indonesia, karena angin ini sudah melewati Lautan
Hindia maka justru monsoon musim dingin menghasilkan hujan, terutama di Wilayah
Indonesia Barat (termasuk Lampung), dan hal ini terjadi sekitar bulan Januari—
Februari.
Pada saat musim panas di BBU arus aliran udara ini bertukar arah. Karena di atas
benia Asia udara bertekanan rendah, maka udara mengalir dari daerah tropis yang
lembab menuju ke daratan menghasilkan monsoon musim panas yang basah. Untuk
Indonesia, karena aliran udara ini hanya melewati lautan yang sempit, maka pada saat
monsoon musim panas cenderung curah hujan menurun untuk Indonesia bagian barat
(termasuk Lampung) dan hal ini terjadi sekitar bulan Juli—September, akan tetapi
masih ada hujan untuk Indonesia bagian timur (Manik, 2018).
DAFTAR PUSTAKA
Kamala, R., Y. Priyana, A. A. Sigit. 2015. Analisis Agihan Iklim, Kasifikasi Oldeman
Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Cilacap (Skripsi).
Geografi. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hairiah, K., S. Rahayu, D. Suprayogo, C. Payogo. 2016. Perunahan Iklim: Sebab Dan
Dampaknya Terhadap Kehidupan. Bahan Ajar 1. World Agroforestry Center
(ICRAF) dan Universitas Brawijaya. Malang. 21 hlm.
Maru, R., M. N. Z. Leo, S. Rahim, N. F. Basram. 2016. Oldeman Climate Zoning For
The Agricultural Area. Proceedings of International Conference on Mathematics,
Science, Technology, Education, and their Applications. (hlm. 511—521). 3—4
Oktober 2016. Makasar: Universitas Negeri Makasar.