Name : Nikmatul Lailah

SRN : 180101030486
Subject : Translation I
Class : PBI A 2018

English Article

Anak Krakatau erupts, loud rumble

heard in virus-stricken Greater
Jakarta
 Moch. Fiqih Prawira Adjie and Arya Dipa

The Jakarta Post

Jakarta / Sat, April 11, 2020 / 12:29 pm

Anak Krakatau (Child of Krakatau) volcano in Lampung erupted on Friday, spewing out a 200-
meter-high column of ash and smoke.
The Center for Volcanology and Geological Disaster Mitigation’s (PVMBG) magma volcanic
activity report said that the first eruption lasted one minute and 12 seconds starting at 9:58 p.m.,
when it spewed out ash and smoke 200 meters high.
The volcanology center reported a second eruption at 10:35 p.m. that lasted for 38 minutes and 4
seconds, spewing out a 500-meter-high column of ash that blew to the north.
“PVMBG monitoring shows that the eruption continued until Saturday morning at 5:44 WIB
[Western Indonesian Time],” the head of the National Disaster Mitigation Agency’s (BNPB) data,
information and communication center, Agus Wibowo, said in a statement on Saturday.
Some internet users in Greater Jakarta said they had heard a loud rumble before reports of
eruptions and assumed that they were hearing the sound of Anak Krakatau after being informed
about the volcano. The authorities, however, doubted the assumption, saying the eruptions
could not even be heard from the Anak Krakatau observation post.
“[The loud rumble] might be unrelated to the eruption,” PVMBG head Kasbani said.
People who live near the volcano in Banten and Lampung also wrote on Twitter that they did not
hear anything.
Volcanology expert Surono, however, suggested that netizens in Greater Jakarta could be right.
The sound caused by the eruption could have echoed throughout Greater Jakarta as there was
less activity and noise in the area as a result of large-scale social restrictions over COVID-19,
he said.
Coincidentally, Friday marked the first day of a partial lockdown in the capital.
The South Lampung Disaster Mitigation Agency (BPBD) in Lampung reported no scent of sulfur
or volcanic ash in the regency and alerted local residents that volcanic activity on Anak
Krakatau had died down.
“The BPBD contacted the Anak Krakatau observation team. They said that the status was still at
‘alert’ and that the volcanic activity had stopped, so the residents were advised not to panic,”
Agus said.
Military and police officers are on standby with village and subdistrict officials over the possible
evacuation of residents.
Kasbani said the eruption was relatively small compared to eruptions that occurred between
December 2018 and January 2019.
“[The eruption is] still within the expected level for a disaster-prone area. Continued eruptions
could potentially occur, but there has been no detection of volcanic activity that could lead to
greater eruption intensity,” Kasbani said
Rahmatullah, a resident of Sebesi Island, located 19 kilometers from the volcano, reported that
thick ash started dropping on the island.
“The ash is thick and started dropping at 12 p.m. There is still ash present in front of my house,” Rahmat
said as quoted by kompas.com, adding that residents living on the coastline evacuated after a warning
from officials.
The last major eruption took place last December, when the mountain spewed out a 200-meter-
high column of ash. A year earlier, an eruption triggered a landslide that led to a tsunami that
killed at least 430 people.
Following Friday’s eruptions, residents of the Kalianda coastline in South Lampung also
evacuated, fearing that a tsunami might occur again.
“They immediately fled to the mountains as they were still traumatized by the previous tsunami,”
Umar, a South Lampung resident, told kompas.com.
Surono said another tsunami was less likely to occur as the 2018 tsunami was caused by a soil
erosion buildup from years of eruption.
He said that Anak Krakatau eruptions were a common occurrence. “The mountain even erupted
continuously throughout the year at one point, but residents are more concerned now due to the
previous tsunami.”
In 1883, Krakatau volcano erupted in one of the biggest blasts in recorded history, killing more than
36,000 people in a series of tsunamis and lowering the global surface temperature by 1 degree Celsius
with its ash. Anak Krakatau is the island that emerged from the area in 1927 and has been growing ever
since.
Indonesian Article

Anak Krakatau meletus, gemuruh

nyaring terdengar di Jakarta Raya
yang dilanda virus
 Moch. Fiqih Prawira Adjie and Arya Dipa

The Jakarta Post

Jakarta / Sabtu, April 11, 2020 / 12:29 Siang

Gunung Anak Krakatau (Child of Krakatau) di Lampung meletus pada hari Jum’at,
memuntahkan abu dan asap setinggi 200 meter.

Laporan aktifitas magma vulkanik Pusat Vulkanologi dan Bencana Geologi (PVMBG)
mengatakan bahwa letusan pertama berlangsung satu menit 12 detik mulai pukul
21.08, ketika memuntahkan abu dan asap setinggi 200 meter.

Puat vulkanologi melaporkan letusan kedua pada pukul 22.35 yang berlangsung 38
menit 4 detik, memuntahkan abu setinggi 500 meter yang bertiup ke utara.

“Pemantauan PVMBG menunjukkan bahwa letusan berlanjut hingga Sabtu pagi pukul
5.44 WIB (Wakti Indonesia Barat)”, kepala data, informasi dan pusat komunikasi Badan
Naional Penanggulangan Bencana, Agus Wibowo, mengatakan dalam sebuah
pernyataan pada hari Sabtu.

Beberapa pengguna internet di Jakarta Pusat mengatakan bahwa mereka telah

mendengar gemuruh nyaring sebelum laporan dan menganggap bahwa mereka
mendengar suara anak Krakatau setelah diberitahu tentang gunung berapi. Namun
pihak berwenang meragukan anggapan tersebut, dengan mengatakan bahwa
letusannya bahkan tidak terdengar dari pos pengamatan Anak Krakatau.

“(Gemuruh nyaring) mungkin tidak terkait dengan letusan”, kata kepala PVMBG
Kasbani.

Orang yang tinggal disekitar gunung berapi di Banten dan Lampung juga menulis di
Twitter bahwa mereka tidak mendengar apa-apa.

Akan tetapi, Ahli vulkanologi, Surono menyarakan bahwa netizen di Jakarta Pusat
mungkin benar.

Suara ayang disebabkan oleh letusan itu bisa menggema di seluruh Jakarta Pusat
karena ada lebih sedikit kegiatan dan kebisingan didaerah itu sebagai akibat dari
pembatasan sosial berskala besar selama COVID-19, katanya.

Secara kebetulan, Jum’at ditandai hari pertama lockdown sebagian di ibukota.

Badan Penanggulangan Bencana Lampung Selatan (BPBD) di Lampung melaporkan

tidak ada aroma belerang atau abu vulkanik di kabupaten tersebut dan memperingatkan
warga setempat bahwa aktifitas vulkanik di Abak Krakatau telah mereda.

“BPBD menghubungi tim observasi Anak Krakatau. Mereka mengatakan bahwa

statusnya masih dalam keadaan ‘siaga’ dan aktifitas vulkanik telah berhenti, sehingga
penduduk disarankan untuk tidak panic,” kata Agus.

Petugas militer dan polisi bersiaga dengan pejabat desa dan kecamatan setempat atas
kemungkinan evakuasi penduduk.

Kasbani mengatakan letusan itu relative kecil diabndingkan dengan letusan yang terjadi
antara Desember 2018 dan Januari 2019.

“(Letusan) masih dalam level yang diperkirakan untuk daerah rawan bencana. Letusan
lanjutan berotensi terjadi, tetapi belum ada deteksi aktifitas gunung berapi yang dapat
menyebabkan intensitas letusan yang lebih besar,” kata Kasbani.
Rahmatullah, seorang penduduk Pulau Sebesi, yang terletak 19 kilometer dari gunung
berapi, melaporkan bahwa abu tebal mulai turun di pulau itu. “Abu itu tebal dan mulai
turun pada jam 12 malam. Masih ada abu di depan rumah saya,” kata Rahmat seperti
dikutip oleh kompas.com, menambahkan bahwa penduduk yang tinggal di garis pantai
dievakuasi oleh setelha mendapat peringatan dari pejabat.

Letusan besar terakhir terjadi Desember lalu, ketika gunung itu memuntahkan abu
setinggi 200 meter. Setahun sebelumnya, letusan memicu tanah longsor yang
menewaskan sedikitnya 430 orang.

Menyusul letusan hari Jum’at, penduduk garis pantai Kalianda di Lampung Selatan juga
dievakuasi, takut tsunami akan terjadi lagi.

“Merak segera melarikan diri ke pegunungan karena masih trauma dengan tsunami
sebelumnya,” kata Umar, seorang warga Lampung Selatan, kepada kompas.com.

Surono mengatakan tsunami lain lebih kecil kemungkinannya terjadi karena tsunami
2018 disebabkan oleh penumpukan erosi tanah akibat letusan bertahun-tahun.

Dia mengatakan bahwa letusan Anak Krakatau adalah kejadian biasa. “Gunung itu
bahkan meletus terus menerus sepanjang tahun di satu titik, tetapi penduduk sekarang
lebih khawatir karena tsunami sebelumnya.”

Pada tahun 1883, gunung berapi Krakatau meletus dalam satu ledakan terbesar dalam
catatan sejarah, menewaskan lebih dari 36.000 orang dalam serangkaian tsunami dan
menurukan suhu permukaan global sebesar 1 derajat Celcius dengan abu. Anak
Krakatau adalah pulau yang mucul dari daerah tersebut pada tahu 1927 dan telah
berkembang sejak saat itu.