Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 62

SKENARIO

Mrs. Sutirma’s Painful Experience

Page 1

You were a third-yeae medical student in traumatology emergency room. You were
introduced to Mrs. Sutirma, a 56-year old patient with multiple injuries due to an accident
while getting robbed. The police brought her to the emergency department along with a
medical report request (Visum et Repertum). She came in a bad general condition with
decreased of consciousness. The doctor in charge performed physical examination.

On primary survey :

1. Airway and cervical control : no stridor, airway through left nostril was free, right
nostril was blocked by blood clot.
2. Breathing and ventilation : no bruises on chest, respiratory rate was 24 x/minute,
symmetrical for both sides.
3. Circulation : warm extremities, capillary refill time < 2, pulse rate 120 x/minute, blood
pleasure : 120/80 mmHg. There was minimal bleeding coming out from the mouth.
4. Disability and neurologic status : eyes, open to verbal stimuli. Motoric, obey
command.
Verbal, unproper answering. (Glasgow Coma Scale 13)
Pupils or right and left eye were 3 mm in diameter, light reflex +/+. Motoric : no
paresis.
5. Exposure and environment control was performed.

Page 2

After Mrs. Sutirma was stabilized, the doctor performed secondery survey.

1. History : eyewitness said that Mrs. Sutirma was riding a motorcycle in medium speed
(+- 40 km/hour). There was another motorcycle with her and tried to rob her purse.
The purse got stucked in her neck, she fell down and the robbers took her purse. She
was brought to peripheral hospital with blood coming out from her nose, her lacerated
wound was sutured by the ER doctor.
2. Physical examination :
- Head : swelling at her right face. Laceration to right cheek, upper and lower lips
without any active bleeding, with the sizes of 1x ½ cm to 5 x ½ cm. the wound
edges were irregular and had a base of subcutis tissue. Excoriated wound at her
right cheek and mandible. Hematoma at right temporal region.
- Eyes : edema of the lower eyelids, eyeballs moved freely to all directions, vision :
difficult to be examined, pupils : round and responsive to light.
- Nose : no deformity of the nasal bone. There were some blood clots inside nostrils.
- Ears : normal appereance on both sides, no bleeding, tympanic membranes were
intact.
- Mouth : edema of the right jaw, laceration of the upper lip, tooth loss of central
incisor of right upper jaw, lateral incisor and canine of left lower jaw, without any
active beelding. There was bone discontinuity and malocclusion upon closing the
jaw.
- Neck : within normal limits.
- Chest : within normal limits.
- Abdomen : within normal limits.
- Extremities : within normal limits.
- Genital : within normal limits.
- Neurology : within normal limits.

Page 3

Laboratory findings :

Complete blood counts :

Haemoglobin : 12 gr/dL

O typing.

White blood cells : 18,00/mm2.

Thrombocyte : 280,000/mm2.

Bleeding time : 1.

Clotting time : 6
Skull, waters, cervical photos : right zygomaticomaxillary fracture, left parasymphysial
comminutive mandible, and right linear temporal fracture.

CT Scan : epidural hematoma at right temporal region.

Page 4

The doctor diagnosed Mrs. Sutirma zygomaticomaxillary fracture, left parasymphysial


comminutive mandible fracture, right linear temporal fracture, multiple facial lacerations,
moderate head injury, and epidural hematoma on right temporal. The head injury 3 cc. The
doctor advised Mrs. Sutirma to have debridement, close the wounds, and open reduction and
internal fixation (ORIF) operation after her condition is stable. But she refused to have her
wound debrided and close the wound. The doctor explained the consequence if she refused
the debridement and the closing ofbthe wounds.

Mrs. Sutirma asked the surgeon whether there will be scars upon the facial laceration?
INFO LAIN

1. Bengkak pada wajah sebelah kanan


2. Laserasi pada pipi kanan, bibir atas dan bawah 1x ½ cm to 5 x ½ cm tepi ireguler,
ekskoriasi pipi kanan dan mandibular, hematom temporal kanan.
3. Mata bengkak pada kelopak mata bawah
4. Hidung = blood cloth
5. Bengkak dagu kanan, laserasi bibir atas, hilang gigi pada incisor tengah, atas kanan
dagu
KATA SULIT

1. Visum et repertum
Keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik
tentang pemeriksaan medis terhadap seorang manusia baik hidup maupun mati
ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah
sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Kemudian juga digunakan bukti yang
sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan,
maupun yang berakibat kematian.
2. Stridor
suara kasar atau serak bernada tinggi atau rendah, yang muncul setiap tarikan atau
hembusan napas. Bising napas tambahan ini terjadi akibat penyempitan atau
terhalangnya sebagian saluran pernapasan bagian atas. Stridor dikenal juga sebagai
suara mengorok atau mendengkur.
3. Nostril
Lubang atau cupang hidung.
4. Paresis
Karakteristik dari kelemahan otot atau separuh kelumpuhan.
5. Capillary refill time
Tes yang dilakukan cepat pada daerah kuku untuk memonitori dehidrasi dan
jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi).
6. Laceration
Pola luka atau cidera dimana kulit dan jaringan di bawahnya terpotong hingga
epidermis atau biasanya dermis-jaringan subkutan.
7. Excoriation
Pola luka atau cidera dimana bagian kulit tergores, terkelupas, atautergerus karena
gesekan atau erosi.
8. Hematoma (memar)
Kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh darah. Sekelompok sel darah yang
telah mengalami ekstravasasi, biasanya menggumpal baik di dalam organ,
intersitium, jaringan dan otak. Biasanya berwarna hitam atau biru pada awalnya,
dan berubah warnanya seiring proses penyembuhan.
9. Light reflex
Refleks yang mengontrol diameter pupil sebagai respons terhadap intensitas
cahaya yang jatuh pada sel-sel ganglion retina di belakang mata, membantu
adaptasi penglihatan ke berbagai tingkat terang dan gelap.
10. Multiple injuries
Beberapa luka yang terdapat pada organ tubuh manusia.
11. Traumatology ER
Ruangan di rumah sakit yang berfungsi untuk menangani pasien-pasien yang  luka
yang disebabkan oleh kecelakaan atau kekerasan kepada seseorang, dan terapi
bedah dan perbaikan kerusakan.
12. Blood clot
Proses pembekuan darah pada hemostasis.
13. Maloclusion
Gerak yang tidak normal.
14. Epidural
Salah satu bentuk bius lokal yang digunakan untuk membuat bagian tertentu pada
tubuh hingga mati rasa.
15. Debridement
Prosedur tindakan yang dilakukan untuk mengangkat jaringan sendi, tulang rawan,
atau tulang tetap yang mengalami kerusakan atau terinfeksi.
16. Pemeriksaan bleeding time
uji laboratorium untuk menentukan lamanyatubuh menghentikan perdarahan
akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaanini mengukur
hemostasis dan koagulasi. 
17. Pemeriksaan Clothing time
Dalam tes ini hasilya menjadi ukuran aktivitas faktor-faktor pembekuan
darah,terutama faktor-faktor yang membentuk tromboplastin dan faktor yang
berasal dari trombosit.
Peta Masalah

Mrs. Sutirma, 56 tahun, jatuh dari sepeda


motor.

KU : Keluar darah dari hidung (sudah sempat


dapat jahitan)

Polisi datang ke UGD untuk visum

Penurunan kesadaran pada pasien

Dokter melakukan pemeriksaan fisik

Primary suervey : ABCDE

Secondary survey :

Kepala, mata, hidung, telinga (N), mulut, neck


(N), chest (N), abdomen (N), extremitas (N),
genital (N), neurology (N).

Pemeriksaan pelengkap :

- Pengecekan darah :
a. HB (N)
b. Blood cells naik
c. Tombosit (N)
d. Bleeding time
e. Clotting time
- X-ray : Skull, waters, cervical photos :
right zygomaticomaxillary fracture, left
parasymphysial comminutive mandible,
and right linear temporal fracture.
- CT-Scan : epidural hematoma at right
temporal region.
Diagnosis : Zygomaticomaxillary fracture, left
parasymphysial comminutive mandible
fracture, right linear temporal fracture, multiple
facial lacerations, moderate head injury, and
epidural hematoma on right temporal.

Tata laksana :

- Debridemenet
- Close the wound
- ORIF

Daftar Masalah
1. Multiple injury apa saja yang dialami oleh Mrs. Sutirma?
2. Apa yang menyebabkan hidung kanan tersumbat bekuan darah?
3. Apa saja jenis visum et repertum?
4. Siapa saja yang bisa melakukan visum et repertum?
5. Apa yang menyebabkan keluar darah melalui mulut?
6. Mengapa terjadi peningkatan nadi dan RR?
7. Apa perbedaan laserasi dan ekskoriasi?
8. Bagaimana penangan luka laserasi dan ekskoriasi?
9. Bagaimana mekanisme terjadinya pembengkakan?
10. Mengapa INBC terjadi peningkatan jumlah normal?
11. Mengapa terjadi pemendekan bleeding time dan clotting time?
12. Ada berapa jenis x-ray, fungsi dan kegunaannya?
13. Apa saja yang ditampilkan dan dideteksi menggunakan CT Scan?
14. Indikasi dan kontraindikasi CT Scan?
15. Bagaimana tata laksana head injury untuk < 3 cc?

Hipotesis
1. Kulit muka robek
2. Gagar otak
3. Fracture tulang kepala

Brainstorming
1. Right zygomatico maxillary complex > di kenal sebagai fraktur quadripod. Fraktur
quadripod, fraktur quadromalar dan sebelumnya disebut fraktur tripod atau fraktur
trimolar. Memiliki 4 komponen : dinding orbital lateral (Panjang jahitan zygomatico
frontal superior di sepanjang dinding atau jaringan zygomaticospheroid jahitan lebih
rendah), pemisahan rahang atas zygoma di di sepanjang rahang atas, anterior (dekat
jahitan zygomatriks maxillary), lengkung zygomatik dan lantai orbital dekat kanal
infraorbital.

2. Pada hidung terdapat banyak pembuluh darah kecil yang rapuh, sehinga bila ada cedera
akan sangat mudah berdarah. Robekan pada gendang telinga atau cedera pada liang
telinga dapat memberikan keluhan keluarnya darah dari telinga. Namun, biasanya kedua
hal ini akan muncul segera setelah cedera terjadi.

3. Pembagian Visum et Repertum


Ada 3 jenis visum et repertum, yaitu:

1. VeR hidup. VeR hidup dibagi lagi menjadi 3, yaitu:


a. VeR definitif, yaitu VeR yang dibuat seketika, dimana korban tidak memerlukan
perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga tidak menghalangi pekerjaan korban.
Kualifikasi luka yang ditulis pada bagian kesimpulan yaitu luka derajat I atau luka
golongan C.
b. VeR sementara, yaitu VeR yang dibuat untuk sementara waktu, karena korban
memerlukan perawatan dan pemeriksaan lanjutan sehingga menghalangi pekerjaan
korban. Kualifikasi luka tidak ditentukan dan tidak ditulis pada kesimpulan.
Ada 5 manfaat dibuatnya VeR sementara, yaitu
- Menentukan apakah ada tindak pidana atau tidak
- Mengarahkan penyelidikan
- Berpengaruh terhadap putusan untuk melakukan penahanan sementara terhadap
terdakwa
- Menentukan tuntutan jaksa
- Medical record
c. VeR lanjutan, yaitu VeR yang dibuat dimana luka korban telah dinyatakan sembuh
atau pindah rumah sakit atau pindah dokter atau pulang paksa. Bila korban meninggal,
maka dokter membuat VeR jenazah. Dokter menulis kualifikasi luka pada bagian
kesimpulan VeR.
2. VeRjenazah, yaitu VeR yang dibuat terhadap korban yang meninggal. Tujuan
pembuatan VeR ini adalah untuk menentukan sebab, cara, dan mekanisme kematian.

3. Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh
korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain. Ada
sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR.
4. Petugas yang Membuat Visum Et Repertum Visum et repertum yaitu

a. Dokter forensic
b. Dokter umum
Jika dokter tidak bertugas atau yang berada di rumah sakit tersebut maka pemeriksaan
Visum Et Repertum dapat dilayani oleh dokter umum

c. Dokter spesialis
dimana bidang spesialis dokter disesuaikan dengan kasus yang diminta pengadilan

example :

 korban hidup atau mati akibat penganiayaan atau kecelakaan lalulintas


dilakukan oleh dokter bedah.
 korban perkosaan sebaiknya dokter spesialis obsgyn

5. Perdarahan pada mulut disebabkan oleh adanya trauma yang menyebabkan terajdinya
fraktur pada tulang wajah ( maxilarifacial ) sebagai salah satu pemicu perdarahan pada
mulut setra adanya laserasi pada mulut dan hilangnya gigi pada pasien juga menyebbkan
terjadinya perdarahan.

6. peningkatan denyut nadi karena adanya trauma sehingga terjadinya gangguan pada sinyal
elektrik jantung yang mengatur detak jantung untuk memompa darah, dimana jantung
aakan memompa darah lebih cepat, namun pada saat jantung memompa lebih cepat, darah
yang dipompa akan lebih sedikit yang menyebabkan pasokan oksigen berkurang,dimana
organ tubuh tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup sehingga tubuh akan
berespon dengan terjadinya peningkatan respirasi untuk memenuhi pasokan oksigen.

7. Penyebab denyut nadi meningkat


a. Ketidakseimbangan kadar elektrolit dalam darah
b. Gaya hidup tidak sehat : merokok, minum kafein, alkohol, penggunaan narkob, efek
samping obat-obatan
c. Masalah kesehatan : gangguan kelenjar tiroid, sleep apnea, diabetes, hipertensi,
jantung coroner
d. Olahraga , ketakutan, kecemasan, stress, marah

Penyebab respiratory rate meningkat


a. Olahraga
b. Keadaan cemas
c. Efusi pleura, pnumonia, asma, keracunan karbon monoksida

8. Penanganan pertana dan perawatan luka


A. Menghentikan perdarahan
- tekan langsung pada luka akan menghentikan perdarahan
B. Mencegah infeksi
- membersihkan luka dan kulit sekitar luka secara menyeluruh dengan sabun dan air
atau larutan desinfektan
C. Menutup luka
- menggunakan kasa steril

9. Mekanisme bengkak
Edema terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol
perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang
menyebabkan retensi natrium dan air, serta perpindahan air dan intravaskular ke
intestinum. Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan intestinum dikenal sebagai
edema.

10. Mengapa terjadi peningkatan White Blood Cells pada pasien?,apakah penyebabnya?
 Tingkat kenaikan dan penurunan jumlah leukosit dalam sirkulasi menggambarkan
ketanggapan sel darah putih dalam mencegah hadirnya agen penyakit dan peradangan
(Nordenson, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit dan diferensialnya
antara lain kondisi lingkungan, umur dan kandungan nutrisi pakan. Diantara faktor-faktor
tersebut, faktor nutrisi memiliki peran yang sangat penting, sebagai contoh yaitu protein
(Addas et al., 2012). Penyebab peningkatan jumlah leukosit ada dua penyebab dasar yaitu:
Reaksi yang tepat dari sumsum tulang normal terhadap:
1. Stimulasi eksternal : Infeksi yang disebabkan oleh beberapa bakteri : Staphylococcus
epidermidis, Candida sp, Staphylococcus aureus, Streptococcus B hemoliticus,
Streptococcus maltophilia, Serratia sp. Inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar,
artritis)
2. Reaksi alergen obat-obatan (kortikosteroid, lithium, beta agonis).
3. Trauma (splenektomi), anemia hemolitik dan leukemoid maligna (kelainan darah).
 Efek dari kelainan sumsum tulang primer (leukemia akut, leukemia kronis kelainan
mieloproliferatif).
 Proses inflamasi
Proses inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap benda asing atau adanya mikroorganisme
asing sehingga sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan kekebalan tubuh maka kadar
leukosit dalam darah meningkat.
Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana,
inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal
jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel.42
Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh
fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat
yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau
menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk
proses penyembuhan.
Respon anti inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler
dan migrasi leukosit ke jaringan radang.
Obat-obatan pada dasarnya bersifat karsinogenik, bahan kimia yang terkandung didalam obat
akan merangsang tubuh untuk membentuk antibodi salah satunya adalah peningkatan kadar
leukosit dalam darah.

11. Mengapa terjadi pemendekan Bleeding time dan Clotting time?


 Bleeding Time
Terjadinya perdarahan berkepanjangan setelah trauma superfisial yang terkontrol, merupakan
petunjuk bahwa ada defisiensi trombosit. Masa perdarahan memanjang pada kedaan
trombositopenia (<100.000/mm3 ada yang mengatakan < 75.000 mm3), penyakit Von
Willbrand, sebagian besar kelainan fungsi trombosit dan setelah minum obat aspirin.
Pembuluh kapiler yang tertusuk akan mengeluarkan darah sampai luka itu tersumbat oleh
trombosit yang menggumpal. Bila darah keluar dan menutupi luka , terjadilah pembekuan dan
fibrin yang terbentuk akan mencegah perdarahan yang lebih lanjut . Pada tes ini darah yang
keluar harus dihapus secara perlahan-lahan sedemikian rupa sehingga tidak merusak
trombosit. Setelah trombosit menumpuk pada luka , perdarahan berkurang dan tetesan darah
makin lama makin kecil.
Tes masa perdarahan ada 2 cara yaitu
1. Metode Duke dengan nilai rujukan 1 – 3 menit.
2. Metode Ivy, kepekaan metode Ivy lebih baik, dengan nilai rujukan I - 7 menit (Guyton
dan Arthur C. 1983).
 Clotting Time
Clotting Time adalah waktu yang di perlukan darah untuk membeku atau waktu yang di
perlukan saat pengambilan darah sampai saat terjadinya pembekuan. Hal ini menunjukkan
seberapa baik platelet berinteraksi dengan dinding pembuluh darah untuk membentuk
pembekuan darah. Trombin waktu membandingkan tingkat pasien pembentukan gumpalan
dengan sampel dari normal plasma dikumpulkan. Trombin yang ditambahkan pada sampel
plasma. Jika plasma tidak segera membeku, itu berarti kekurangan (fibrinogen kuantitatif)
atau cacat kualitatif (fibrinogen disfungsional). Reptilase memiliki tindakan yang mirip
dengan trombin tetapi tidak seperti trombin tidak dihambat oleh heparin. Trombin waktu dapat
diperpanjang oleh: heparin, produk degradasi fibrin, antikoagulan lupus. Dalam bidang tes
koagulasi, Clotting time adalah salah satu yang paling prosedural sederhana. Setelah
membebaskan plasma dari seluruh darah dengan sentrifugasi, Trombin yang ditambahkan
pada sampel plasma. bekuan ini terbentuk dan terdeteksi optikal atau mekanis dengan alat
koagulasi. Waktu antara penambahan trombin dan pembentukan gumpalan dicatat sebagai
Clotting time( Riswanto. 2013).

12. Ada berapa jenis X-ray,fungsi dan kegunaannya?


Apa Itu X-Ray?
X-Ray adalah metode pemeriksaan penunjang dengan teknik pencitraan (imaging). X-Ray
atau rontgen ditemukan profesor dari Würzburg University, Jerman yakni Wilhelm Conrad
Röentgen, pada tahun 1895. X-Ray memanfaatkan radiasi gelombang elektromagnetik guna
mendapatkan citra bagian dalam tubuh di sejumlah area seperti perut, dada, kepala, dan gigi.
Pemanfaatan X-Ray disesuaikan dengan kebutuhan pemeriksaan. Sebagai contoh, dokter akan
menggunakan jenis X-Ray barium enema untuk memeriksa sistem pencernaan. Sedangkan
untuk pemeriksaan di area payudara, dokter akan memilih jenis X-Ray mammogram.

Kegunaan X-Ray
Kegunaan X-Ray utamanya untuk memeriksa dan memonitor kondisi tulang dan sendi. Pada
pasien dengan keluhan seperti patah tulang, osteoporosis, kerusakan gigi, dan radang sendi
(arthritis), X-Ray atau rontgen adalah metode pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan.
Akan tetapi, penggunaan X-Ray sejatinya tidak hanya terbatas pada pemeriksaan tulang, gigi,
maupun sendi. Berikut ini informasi lengkap mengenai kegunaan X-Ray dalam pelaksanaan
prosedur pemeriksaan.
Pemeriksaan Tulang dan Gigi
Penggunaan X-Ray atau rontgen untuk memeriksa kondisi tulang dan gigi apabila pasien
terindikasi mengalami penyakit seperti:
- Infeksi atau Kerusakan Tulang
- Radang sendi (arthritis)
- Kerusakan pada gigi atau rahang
- Pengeroposan tulang (osteoporosis)
- Kanker tulang

Pemeriksaan Area Dada (Thorax)


Pada area dada, pemeriksaan dengan menggunakan X-Ray—disebut foto toraks—dilakukan
pada pasien yang kemungkinan mengalami:
- Infeksi paru-paru
- Kanker payudara
- Gagal jantung
- Penyumbatan pembuluh darah
Untuk mendapatkan citra bagian dalam dada, teknik X-Ray atau rontgen terbagi menjadi 3
(tiga) jenis proyeksi, yaitu:
- Proyeksi Lateral
- Proyeksi Antero-Posterior (AP)
- Proyeksi Postero-Anterior (PA)

Pemeriksaan X-Ray pada Area Perut


Sementara itu, pemeriksaan X-Ray pada area perut dilakukan untuk memeriksa kondisi-
kondisi seperti berikut:
- Gangguan sistem pencernaan
- Menelan benda asing (kunci, koin, kelereng dsb.)

Cara Kerja X-Ray

Seperti yang sudah disebutkan di awal, X-Ray adalah teknik pencitraan dengan memanfaatkan
gelombang elektromagnetik. Elektromagnetik menghantarkan gelombang radiasi yang
selanjutnya melakukan pemindaian terhadap bagian dalam tubuh. Hasil pemindaian ini
nantinya akan menghasilkan warna gambar yang berbeda, bergantung dari kepadatan material
yang dipindai. Atas dasar itu, hasil X-Ray atau rontgen terdiri dari: Warna putih, menunjukkan
tulang dan material padat lainnya Warna hitam, menunjukkan rongga Warna abu-abu,
menunjukkan lemak dan otot tubuh Pada beberapa tes X-Ray, dokter akan menyertakan
medium seperti barium dan iodine guna menambah kontras sehingga gambar yang dihasilkan
akan lebih detail. Barium dan iodine disertakan dengan cara:

-Meminta pasien untuk menelan cairan khusus

-Disuntikkan ke dalam tubuh

-Diberikan sebagai enema (pemasukan cairan ke dalam usus melalui anus)

Kapan Menggunakan X-Ray?

Kapan menggunakan X-Ray? X-Ray digunakan ketika dokter hendak memastikan


diagnosis penyakit yang dialami oleh pasien. Pelaksanaan teknik ini setelah dokter selesai
melaksanakan prosedur pemeriksaan lainnya yakni wawancara (anamnesis) dan pemeriksaan
fisik. X-Ray atau rontgen dilakukan di rumah sakit tepatnya departemen Radiologi, atau
laboratorium klinik.Untuk diketahui juga, X-Ray atau rontgen adalah teknik pencitraan yang
paling sederhana. Selain X-Ray, ada sejumlah teknik pencitraan lainnya yaitu:

-Ultrasonography (USG)
-CT-Scan

-Multi Resonance Imaging (MRI)

Pada sebagian pemeriksaan, X-Ray baru bisa dilakukan setelah pasien menjalani
puasa guna mengosongkan perut. Hal ini penting agar tidak mengganggu hasil pemindaian
bagian dalam tubuh pasien.

Tata Laksana X-Ray

Ada beberapa prosedur yang perlu diperhatikan saat hendak melaksanakan


pemeriksaan melalui teknik X-Ray atau rontgen. Prosedur atau tata laksana tersebut meliputi:

- X-Ray baru bisa dilakukan setelah pasien menjalani puasa guna mengosongkan perut. Hal ini
penting agar tidak mengganggu hasil pemindaian bagian dalam tubuh pasien, akan tetapi
puasa dilakukan pada pemeriksaan tertentu saja

-Dokter atau radiologis akan mengarahkan posisi tubuh pasien, tujuannya untuk mendapatkan
citra terbaik dari bagian dalam tubuh. Pasien akan diminta untuk berada dalam sejumlah posisi
seperti berbaring atau duduk

-Apabila posisi sudah tepat, pasien tidak diperkenankan untuk menggerakkan tubuh. Pasalnya,
banyak bergerak akan mengganggu proses pemindaian sehingga berdampak pada tidak
maksimalnya citra bagian dalam tubuh

-Pemeriksaan akan dihentikan apabila dokter atau radiologis telah mendapat informasi yang
diinginkan

Kelebihan dan Kekurangan X-Ray

X-Ray adalah teknik pencitraan yang paling sederhana. Hasil rontgen juga dapat
diketahui hanya dalam hitungan menit. Hal ini menjadi kelebihan dari X-Ray, yakni efisien
dari segi waktu dan tentu saja biaya yang harus dikeluarkan.

Penggunaan X-Ray untuk pemeriksaan sederhana biasanya tidak menimbulkan efek


apapun. Akan tetapi, terdapat sejumlah efek samping yang mungkin dialami pasien yang
muncul pada pemeriksaan X-Ray jenis tertentu, seperti:

-Gatal

-Mual

-Pusing
-Mulut terasa tidak nyaman

-Syok anafilaktik

-Penurunan tekanan darah

Risiko X-Ray

Sayangnya, paparan radiasi X-Ray jika terlalu sering bisa berakibat pada kerusakan
DNA. Rusaknya DNA pun pada perkembangannya bisa meningkatkan risiko kanker.

Tak hanya itu, pemindaian sinar X-Ray pada abdomen, ginjal, pinggul, dan pelvis
dalam yang dilakukan pada ibu hamil dikabarkan dapat memengaruhi janin yang tengah
dikandungnya. Oleh sebab itu, umumnya dokter tidak akan menerapkan teknik ini pada ibu
hamil demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

13. CT (computed tomography) scan adalah prosedur yang menggabungkan serangkaian gambar X-ray
yang diambil dari berbagai sisi di sekitar tubuh seseorang. Pemeriksaan ini menggunakan komputer
untuk membuat gambar cross-sectional tulang, pembuluh darah, dan jaringan lunak yang ada di
dalam tubuh orang tersebut. Prosedur ini menunjukkan gambar yang lebih detail daripada X-ray
biasa. CT scan bisa digunakan untuk memvisualisasikan hampir semua bagian tubuh dan untuk
mendiagnosis penyakit atau cedera. Dengan begitu, dokter dapat merencanakan perawatan medis
yang bisa dilakukan, seperti bedah atau radiasi.

Fungsi:

Mendiagnosis gangguan tulang, seperti tumor tulang dan fraktur.

Menentukan lokasi tumor, infeksi, atau gumpalan darah.

Sebagai bagian dari prosedur, seperti operasi, biopsi, dan terapi radiasi.

Mendeteksi dan memantau kondisi penyakit seperti kanker, penyakit jantung, nodul paru, dan massa
hati.

Memantau efektivitas perawatan tertentu, seperti pengobatan kanker.

Mendeteksi cedera internal atau pendarahan internal.

14. Kontraindikasi CT Scan

Pemeriksaan CT Scan ini menggunakan paparan radiasi dalam jumlah yang jauh lebih besar
dibandingkan penggunaan sinar radiasi pada foto rontgen biasa, namun resiko atau efek samping yang
ditimbulkan sangatlah kecil. Selama pemeriksaan berlangsung, pasien tidak akan merasakan sakit
sama sekali. CT Scan tidak menimbulkan efek samping dalam jangka panjang, sehingga sangat kecil
kemungkinan untuk terjadinya kanker karena menjalani pemeriksaan ini.
Apabila pemeriksaan CT Scan menggunakan zat kontras, maka dapat timbul reaksi alergi pada orang-
orang yang sensitif terhadap zat tersebut. Reaksi alergi ini pada umumnya ringan, berupa gatal atau
timbul kemerahan pada kulit, dapat diatasi dengan penggunaan obat antihistamin. Jarang sekali reaksi
alergi yang dapat mengancam nyawa. Walaupun tergolong cukup aman dan tidak menimbulkan efek
samping, pemeriksaan CT Scan tidak dianjurkan pada wanita yang sedang hamil karena sinar radiasi
yang digunakan ditakutkan dapat mengganggu perkembangan janin. Apabila memang kondisi wanita
hamil membutuhkan hasil pemeriksaan yang detail dan akurat, dapat digunakan alternatif pemeriksaan
lain seperti USG atau MRI yang tidak menggunakan paparan radiasi sehingga aman untuk janin.

15. Penatalaksanaan awal

 Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace

 elevasi kepala dari tempat tidur setinggi 30-45°

 pemberian cairan isotonis

 terapi medikamentosa sesuai keluhan yang timbul berupa analgetik, antiemetic, H2


reseptor antagonis, antibiotik.

 Bila telah stabil pasien dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang memiliki sarana dokter
spesialis bedah saraf.

Epidural hematoma dengan gejala minimal, tidak ada defisit neurologis fokal, tidak ada
tanda herniasi dapat, diberikan terapi, dengan medikamentosa, dengan observasi
neurologis ketat. Transfer/Rujukan ke fasilitas Rumah Sakit dengan sarana/spesialis bedah
sarah, dilakukan pada keadaan :

-  Pasien tidak sadar atau GCS < 15

-  Terdapat gejala defisit neurologis fokal : hemipareses, hipestesi, gangguan


penglihatan, ataksia

-  Suspek fraktur skull atau trauma penetrating (tanda fraktur basis kranii, fraktur
depress terbuka

-  Trauma kepala dengan mekanisme trauma akibat benturan high energy :

-terlempar dari kendaraan bermotor,

-jatuh dari ketinggian lebih dari 1 meter, atau kurang pada batyi, o tabrakan kendaraan
bermotor kecepatan tinggi

- Riwayat kejang

-  Suspek trauma servical

Indikasi pembedahan
 Gejala klinis terdapat penurunan kesadaran, defisit neurologis lokal, tanda herniasi dan
gangguan kardiopulmonal.

 Dari CT Scan: epidural hematoma dengan volume >30 cc, tebal > 1 cm dan
pergeseran struktur midline <5mm

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi kepala

A. Tulang Kepala (Os. Cranium)


 1. Gubah tengkorak yang terdiri atas tulang-tulang seperti :
a. Os frontal (tulang dahi)
b. Os parietal (tulang ubun-ubun)
c. Os Occipital (tulang kepala bagian belakang)

2. Dasar tengkorak, yang terdiri dari tulang-tulang seperti :


a. Os Sfenoidalis (tulang baji), tulang yang terdapat ditengah-tengah dasar tengkorak dan
berbentuk seperti kupu-kupu, dengan tiga pasang sayap.
b. Os Ethimoidalis (tulang tapis), terletak disebelah depan dari os sfenoidal diantara lekuk
mata.
Selain kedua tulang tersebut diatas dasar tengkorak dibentuk pula oleh tulang-tulang lain
seperti : tulang kepala belakang, tulang dahi dan tulang pelipis.

3. Samping tengkorak, dibentuk oleh tulang-tulang seperti :


a. Tulang pelipis ( os Temporal )
b. Sebagian tulang dahi
c. Tulang ubun-ubun
d. Tulang baji.
anterior view

lateral view

 *Os. Cranium tersusun atas:


 1 tulang dahi (os.frontale)
2 tulang ubun-ubun (os.parietale)
1 tulang kepala belakang (os.occipitale)
2 tulang baji (os.sphenoidale)
2 tulang pelipis (os.temporale)
2 tulang tapis (os.ethmoidale)
*Sutura
Tulang-tulang tengkorak kepala dihubungkan satu sama lain oleh tulang bergerigi
yang disebut sutura. Sutura-sutura tersebut adalah :
1) Sutura coronalis yang menghubungkan antara os frontal dan os parietal.
2) Sutura sagitalis yang menghubungkan antara os parietal kiri dan kanan.
3) Sutura lambdoidea/ lambdoidalis yang menghubungkan antara os parietal dan os
occipital. 

tulang wajah

 *Bagian muka/wajah (os.splanchocranium)


2 tulang rahang atas (os.maxilla)
2 tulang rahang bawah (os.mandibula)
2 tulang pipi (os.zygomaticum)
2 tulang langit-langit (os.pallatum)
2 tulang hidung (os.nasale)
2 tulang mata (os.laximale)
1 tulang lidah (os.hyoideum)
2 tulang air mata (os.lacrimale)
2 tulang rongga mata (os.orbitale)

 
2. Tengkorak wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tengkorak wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut
(cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak
wajah dibagi atas dua bagian:

Bagian hidung terdiri atas :


1) Os Lacrimal (tulang mata) letaknya disebelah kiri/kanan pangkal hidung di sudut
mata.
2) Os Nasal (tulang hidung) yang membentuk batang hidung sebelah atas
3) Os Konka nasal (tulang karang hidung), letaknya di dalam rongga hidung danj
bentuknya berlipat-lipat.
Septum nasi (sekat rongga hidung) adalah sambungan dari tulang tapis yang tegak.

Bagian rahang terdiri atas tulang-tulang seperti :


1) Os Maksilaris (tulang rahang atas)
2) Os Zigomaticum, tulangpipi yang terdiri dari dua tulang kiri dan kanan.
3) Os Palatum atau tulang langit-langit, terdiri dari dua dua bua tulang kiri dan kanan
4) Os Mandibularis atau tulang rahang bawah , terdiri dari dua bagian yaitu bagian kiri
dan kanan yang kemudian bersatu di pertengahan dagu. Dibagian depan dari
mandibula terdapat processus coracoid tempat melekatnya otot.

B. Otot-otot Kepala
Cranial Mucle Lateral View

Otot bagian ini dibagi menjadi 5 bagian:


1. Otot pundak kepala, funsinya sebagian kecil membentuk gales aponeurotika disebut
juga muskulus oksipitifrontalis, dibagi menajdi 2 bagian:
a. Muskulus frontalis, funsinya mengerutkan dahi dan menarik dahi mata
b. Oksipitalis terletak di bagian belakang, fungsinya menarik kulit ke belakang

2. Otot wajah terbagi atas:


a. Otot mata (muskulus rektus okuli) dan otot bola mata sebanyak 4 buah
b. Muskulus oblikus okuli/otot bola mata sebanyak 2 buah, fungsinya memutar mata
c. Muskulus orbikularis okuli/otot lingkar mata terdapat di sekliling mata, funsinya
sebagai penutup mata atau otot sfingter mata
d. Muskulus levator palpebra superior terdapat pada kelopak mata. Fungsinya
menarik, mengangkat kelopak mata atas pada waktu membuka mata

3. Otot mulut bibir dan pipi, terbagi atas:


a. Muskulus triangularis dan muskulus orbikularis oris/otot sudut mulut, fungsinya
menarik sudut mulut ke bawah
b. Muskulus quadratus labii superior, otot bibir atas mempunyai origo penggir lekuk
mata menuju bibir atas dan hidung
c. Muskulus quadratus labii inferior, terdapat pada dagu merupakan kelanjutan pada
otot leher. Fungsinya menarik bibir ke bawah atau membentuk mimik muka ke bawah
d. Muskulus buksinator, membentuk dinding samping rongga mulut. Origo pada taju
mandibula dan insersi muskulus orbikularis oris. Fungsinya untuk menahan makanan
waktu mengunyah.
e. Muskulus zigomatikus/otot pipi, fungsinya untuk mengangkat dagu mulut ke atas
waktu senyum.

4. Otot pengunyah/otot yang bekerja waktu mengunyah, terbagi atas:


a. Muskulus maseter, fungsinya mengangkat rahang bawah pada waktu mulut terbuka
b. Muskulus temporalis fungsinya menarik rahang bawah ke atas dan ke belakang
c. Muskulus pterigoid internus dan eksternus, fungsinya menarik rahang bawah ke
depan
5. Otot lidah sangat berguna dalam membantu pancaindra untuk mengunyah, terbagi
atas:
a. Muskulus genioglosus, fungsinya mendorong lidah ke depan
b. Muskulus stiloglosus, fungsinya menarik lidah ke atas dan ke belakang

Cranial Muscle Anterior View

 *Otot-otot Leher

otot leher dan punggung

1. Muskulus platisma, terdapat di samping leher menutupi sampai bagian dada.


Fungsinya menekan mandibula, menarik bibir ke bawah dan mengerutkan kulit bibir.
2. Muskulus sternokleidomastoid di samping kiri kanan leher ada suatu tendo sangat
kuat. Fungsinya menarik kepala ke samping, ke kiri, dan ke kanan, memutar kepala
dan kalau keduanya bekerja sama merupakan fleksi kepala ke depan disamping itu
sebagai alat bantu pernapasan..

3. Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan semispinalis kapitis. Ketiga
otot ini terdapat di belakang leher, terbentang dari belakang kepala ke prosesus
spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala belakang dan menggelengkan
kepala.

3. Bagaimana Proses Penyembuhan Luka?

Luka dapat sembuh dengan sendirinya melalui perawatan secara mandiri di rumah.
Perawatan luka secara mandiri bisa dilakukan jika luka tidak terlalu dalam, tidak
berada di bagian tubuh berbahaya, misalnya di wajah, dan pendarahan berhentidalam
waktu singkat atau sekitar 10 menit saja.

Proses penyembuhan luka membutuhkan beberapa tahap, yaitu:

1. Tahap inflamasi atau peradangan


Pada tahap awal proses penyembuhan luka, pembuluh darah akan menyempit
untuk menghentikan pendarahan. Trombosit (sel yang berperan dalam pembekuan
darah) menggumpal di area luka. Setelah pembekuan selesai, pembuluh darah akan
melebar untuk mengalirkan darah ke area luka. Inilah alasan mengapa luka terasa
hangat, membengkak, dan kemerahan.
Kemudian, sel darah putih (salah satunya basofil) membanjiri daerah tersebut
untuk mencegah infeksi, dengan cara menghancurkan bakteri dan mikroba lainnya.
Sel darah putih juga memproduksi senyawa kimia yang membantu memperbaiki
jaringan yang rusak. Selanjutnya sel-sel kulit yang baru tumbuh sehingga menutup
area luka.
2. Tahap fibroblastik
Tahap ini merupakan tahap pembentukan jaringan parut setelah luka. Pada tahap
penyembuhan luka ini, kolagen mulai tumbuh di dalam luka. Kolagen merupakan
serat protein yang memberi kulit kekuatan. Keberadaan kolagen mendorong tepi
luka untuk menyusut dan menutup. Selanjutnya, pembuluh darah kecil (kapiler)
terbentuk di luka untuk memberi asupan darah pada kulit yang baru terbentuk.
Pada tahap ini, biasanya akan terbentuk koreng atau bekas luka.
3. Tahap pematangan
Produksi kolagen terus bertambah sehingga jaringan yang rusak pulih perlahan-
lahan. Proses pematangan bisa mktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Inilah
mengapa semakin lama bekas luka semakin memudar.

Kondisi-kondisi Tertentu yang Menyebabkan Luka Sulit Sembuh


Ada beberapa kondisi yang menyebabkan luka sulit sembuh yaitu:
 Pendarahan
Pendarahan membuat luka sulit menutup, sehingga sulit sembuh.
 Benda asing
Benda asing, termasuk jaringan kulit mati, menghambat proses penyembuhan luka.
Luka yang kotor juga rentan terserang infeksi kuman sehingga proses penyembuhan
luka bisa terganggu. Oleh karenanya, sangat penting untuk membersihkan luka dan
merawat luka dengan benar.
 Gesekan
Gesekan luka dengan baju bisa memperparah kondisinya. Disarankan untuk
mengenakan pakaian berbahan lembut dan menutup luka untuk menghindari gesekan.
 Usia
 Luka cenderung lebih lama sembuh pada orang lanjut usia.
 Kekurangan nutrisi
Kekurangan nutrisi seperti vitamin C, protein, dan zat besi, dapat menghambat proses
penyembuhan luka.
 Merokok
Penelitian menunjukkan bahwa proses penyembuhan luka pada perokok jauh lebih
lama dan tidak sempurna dibandingkan orang yang tidak merokok. Hal ini diduga
berkaitan dengan efek merokok yang dapat mengganggu kinerja sel darah putih dan
mengganggu aliran darah, serta tingginya kadar racun dalam darah.
 Stres
Stres fisik maupun psikologis terbukti dapat berpengaruh pada terhambatnya proses
penyembuhan luka. Hal ini diduga berkaitan dengan efek stres terhadap rendahnya
jumlah oksigen dalam darah sehingga proses penyembuhan luka menjadi lebih lama.
Saat mengalami stres, seseorang juga lebih mungkin untuk menjalani perilaku tidak
sehat, seperti merokok dan mengonsumsi alkohol berlebih, sehingga turut berdampak
pada penyembuhan luka.
 Pengobatan
Luka pada pasien yang menjalani prosedur cuci darah, kemoterapi, pengobatan dengan
kortikosteroid atau obat pengencer darah, cenderung lebih sulit sembuh.
 Penyakit
 Proses penyembuhan luka sangat dipengaruhi oleh aliran darah dan peran sel darah
putih sebagai bagian dari sistem daya tahan tubuh. Penyakit yang berkaitan dengan
darah, seperti anemia dan penyakit pembuluh darah, dapat menurunkan suplai darah
ke jaringan luka sehingga memperlambat proses pemulihan.
 Diabetes juga merupakan salah satu kondisi yang menyebabkan luka sulit sembuh.
Luka pada penderita diabetes cenderung lebih sulit sembuh. Bahkan luka kecil pun
dapat memburuk dengan cepat dan menjadi infeksi borok atau infeksi berbahaya jika
tidak segera diobati. Luka di kaki adalah luka yang paling umum terjadi pada
penderita diabetes. Pada kasus yang sudah parah, tindakan amputasi kaki harus
dilakukan agar infeksi tidak menyebar.
 Proses penyembuhan luka yang lambat disebabkan oleh kadar gula darah yang tinggi.
Gula darah yang terlalu tinggi akan menurunkan aliran darah, menghambat sel
mendapatkan nutrisi dan oksigen, mengganggu sistem imun, serta meningkatkan
risiko peradangan. Kondisi ini tentunya akan menghambat proses pemulihan luka.
 Waktu yang dibutuhkan luka untuk benar-benar pulih tergantung pada kondisi luka.
Semakin besar, dalam, dan kotor kondisi luka, semakin lama pula proses
penyembuhannya. Jika mengalami luka yang serius atau pendarahan pada luka yang
tidak kunjung berhenti, Anda harus meminta bantuan dari dokter atau tenaga
kesehatan dan menjalani perawatan luka di rumah sakit.

4. Radang Sitokin yang berkaitan dengan penyembuhan luka

Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap pathogen dan alterasi mekanis dalam
jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cidera

Peradangan adalah sinyal dimediasi menanggapi seluler oleh agen infeksi, racun, dan
tekanan fisik. Sementara peradangan akut adalah penting bagi respon kekebalan tubuh,
peradangan kronis yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan jaringan cautoimunitas,
neurodegenerative, penyakit kardiovaskular.

Sitokin inflamasi atau sitokin proinflamasi adalah sejenis molekul persinyalan


(sitokin) yang disekresikan dari sel – sel imun seperti sel T helper (Th), magrofag, dan tipe sel
tertentu lainnya yang memicu peradangan. Mereka termasuk interleukin 1 (I -1), IL-12, dan
IL-18, tumor necrosis factor alpha (TNF-a), interferon gamma (IFNy), dan factor stimulasi
koloni granulosit – makrofag (GM-CSF) dan bermain peran penting dalam memediasi respon
imun bawaan. Sitokin inflamasi sebagian besar diproduksi dan terlibat dalam peningkatan
reaksi inflamasi.

Produksi sitokin inflamasi kronis yang berlebihan berkontribusi pada penyakit radang,
yang telah dikaitkan dengan berbagai penyakit, seperti arterosklerosis dan kanker. Disregulasi
juga dikaitkan dengan depresi dan penyakit neurologis lainnya. Keseimbangan antara sitokin
proinfamasi dan antiinflamasi diperlukan untuk menjaga kesehatan.

5. Luka akut dan kronis

Luka didefinisi sebagai suatu kerusakan integritas epitel dari kulit atau terputusnya
kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu trauma. Luka dapat
disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, sengatan listrik, dan
lainnya. Ada beberapa cara untuk membuat klarifikasi luka. Luka dapat diklarifikasi sebagai
akut dan kronis sebagai berikut :
a. Berdasarkan sifat luka :
 Aberasi
Luka dimana lapisan terluar dari kulit tergores, luka tersebut akan sangat myeri
dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi, karena benda asing dapat
masuk kelapisan kulit yang lebih dalam (jaringan subkutan). Pendarahan
biasanya sedikit.
 Punktur (luka tusuk)
Merupakan cedera penetrasi. Penyebabnya berkisar dari paku sampai pisau.
Walaupun pendarahan nyata seringkali sedikit, kerusakan jaringan internal dan
pendarahan dapat meluas dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi
sehubungan ada benda asing pada tubuh.
 Avulasi
Akibat jaringan tubuh bersobek. Avulasi seringkali dihubungkan dengan
pendarahan yang hebat. Kulit kepala dapat tersobek dari tengkorak pada cedera
degloving
 Insisi (luka sayatan)
Terpotong dengan kedalaman yang bervariasi. Hal ini seringkali menimbulkan
pendarahan hebat dan kemungkinan bias terdapat kerusakan pada struktur
dibawahinya sedemikian rupa seperti saraf, otot atau tendon. Luka seperti ini
harus dilindungi untuk menghambat terjadinya infeksi.
 Iaserasi
Luka bergerigi yang tidak teratur. Seringkali meliputi kerusakan jaringan yang
berat. Luka ini erring menyebabkan pendarahan yang serius menyebablan
pasien syok hipovolemik
 Decubitus
Kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan darah dan iritasi pada kulit
yang manutupi tulang yang menonjol dimana kulit tersebut mendapatkan
tekanan dari tempat tidur.

b. Klasifikasi luka operasi


 Clean (class I)
Luka infeksi yang mana tidak ada peradangan yang ditemukan pada saluran
pernafasan, saluran pencernaan, genital, atau trakus urinarius tidak terkena.
Luka biasanya tertutup dan jika perlu drainase dengan closed drainage. Luka
operasi diikuti dengan trauma tumpul seharusnya dimasukkan pada kategori ini
jika masuk dalam kriteria.
Contoh : Hernia Repair, biopsy mammae
 Clean-contaminated (class II)
Luka operasi yang mana saluran pencernaan, traktus urinarius dan genital
terkena dengan kondisi terkontrol dan tanpa kontaminasi yang tidak biasanya.
Contoh : cholecystectomy, operasi saluran pencernaan efektif.
 Contaminated (class III)
Terbuka, baru, luka tiba-tiba. Sebagai tambahannya, pembedahan dengan
potongan besar dengan teknik yang steril atau kebocoran besar pada saluran
pencernaan, inflamasi yang nonpurulen termasuk dalam kategori ini.
Contoh : trauma, luka jaringan yang luas, enterotomy saat obstrusi usus.
 Dirty (class IV)
Luka traumatic yang lama saat tertahan pada jaringan yang di lemahkan yang
termasuk infeksi klinis yang ada atau visera yang perforasi. Definisi ini
menunjukkan bahwa organism penyebab infeksi post operasi
Contoh : perforasi diverculitis, infeksi nekrotik jaringan lunak.

6. Luka didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tubuh oleh sebab-sebab


fisik, mekanik, kimia dan termal. Luka, baik luka terbuka atau luka tertutup,Tujuan
utama manajemen luka adalah mendapatkan penyembuhan yang cepat dengan fungsi
dan hasil estetik yang optimal
Keterlambatan penyembuhan luka dapat diakibatkan oleh penatalaksanaan luka yang
kurang tepat, seperti :
1.Tidak mengidentifikasi masalah-masalah pasien yang dapat mengganggu
penyembuhan luka.
2.Tidak melakukan penilaian luka (wound assessment)secara tepat.
3.Pemilihan dan penggunaan larutan antiseptik yang kurang tepat.
4.Penggunaan antibiotika topikal dan ramuan obat perawatan luka yang kurang tepat.
5.Teknik balutan (dressing)kurang tepat, sehingga balutan menjadi kurang efektif atau
justru menghalangi penyembuhan luka.
6.Pemilihan produk perawatan luka kurang sesuai dengan kebutuhan pasien atau justru
berbahaya.
7.Tidak dapat memilih program penatalaksanaan yang sesuai dengan kebutuhan pasien
dan kondisi luka.
8.Tidak mengevaluasi efektifitas manajemen luka yang diberikan

PENYEMBUHAN LUKA (WOUND HEALING)


Dalam penyembuhan cedera jaringan lunak, baik luka ulseratif kronis (ulkus tungkai,
dekubitus), luka traumatis (abrasi, laserasi, luka bakar) atau luka akibat tindakan bedah,
terjadi proses dasar biokimia dan seluler yang sama.Proses fisiologis penyembuhan luka
dibagi dalam 4 fase :
1.Respons inflamasi akut terhadap cedera : meliputi hemostasis, pelepasan histamine dan
mediator inflamasi lain dari sel-sel yang rusak serta migrasi lekosit (netrofil, monosit dan
makrofag) ke tempat luka.
2.Fase destruktif : pembersihan debris dan jaringan nekrotik oleh netrofil dan makrofag.
3.Fase proliferative : infiltrasi daerah luka oleh pembuluh darah baru (neovaskularisasi),
diperkuat oleh jaringan ikat.
4.Fase maturasi : meliputi re-epitelisasi, kontraksi luka dan reorganisasi jaringan ikat.Dalam
kenyataannya, fase-fase tersebut saling tumpang tindih.Durasi setiap fase dan waktu untuk
penyembuhan luka secara sempurna tergantung pada beberapa factor

a. Penyembuhan Luka Primer (primary closure)


•Menyatukan kedua tepi luka dengan jahitan, plester, skin graftatau flap.
•Hanya sedikit jaringan yang hilang
-Luka bersih
•Jaringan granulasi yang dihasilkan sangat sedikit
•Re-epitelisasi sempurna dalam 10-14 hari, menyisakan jaringan parut tipis
b. Penyembuhan Luka Sekunder (secondary closure)
•Tidak ada tindakan aktif untuk menutup luka, luka sembuh secara alamiah (intervensihanya
berupa cleaning, dressing, kadang pemberian antibiotika)
•Jaringan yang hilang cukup luas.
•Luka terbuka atau dibiarkan terbuka, kadang kotor
•Terbentuk jaringan granulasi cukup banyak
•Luka ditutup oleh re-epitelisasi dan deposisi jaringan ikat sehingga terjadi kontraksi. Jaringan
parut dapat luas/ hipertrofik, terutama bila terjadi di daerah presternal, deltoid dan leher.
Penyembuhan Luka Tersier(Tertiary intention ) :
-Delayed primary closure : setelah mengulang debridementdan pemberian terapi antibiotika

7.
Primary
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei
primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban
mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim yang cedera :
Airway Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah) • Suction / hisap (jika alat
tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral Breathing Menilai
pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan Berikan oksigen jika ada.
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan
pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V RESPONS NYERI = P TAK ADA RESPONS = U Cara ini
cukup jelas dan cepat.
Eksposure Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line
harus dikerjakan.

Secondary

Anamnesis :
Riwayat “AMPE” yang harus diingat yaitu :

A : Alergi

M : Medikasi (obat yang diminum sebelumnya)

P : Past illness (penyakit sebelumnya)/Pregnancy (hamil)

E : Event/environment (lingkungan yang berhubungan dengan kegawatan)

Pemeriksaan fisik :

1. Pemeriksaan kondisi umum menyeluruh

a. Posisi saat ditemukan

b. Tingkat kesadaran

c. Sikap umum, keluhan

d. Trauma, kelainan

e. Keadaan kulit

2. Periksa kepala dan leher

a. Rambut dan kulit kepala

Perdarahan, pengelupasan, perlukaan, penekanan

b. Telinga

Perlukaan, darah, cairan

c. Mata

Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya benda
asing, pergerakan abnormal

d. Hidung

Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma

e. Mulut

Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak

f. Bibir

Perlukaan, perdarahan, sianosis, kering


g. Rahang

Perlukaan, stabilitas, krepitasi

h. Kulit

Perlukaan, basah/kering, darah, suhu, warna

i. Leher

Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher

3. Periksa dada

Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan (luka
terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas

4. Periksa perut

Perlukaan, distensi, tegang, kendor, nyeri tekan, undulasi

5. Periksa tulang belakang

Kelainan bentuk, nyeri tekan, spasme otot

6. Periksa pelvis/genetalia

Perlukaan, nyeri, pembengkakan, krepitasi, inkontinensia

7. Periksa ekstremitas atas dan bawah

Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna luka

Perhatian !

1. Perhatikan tanda-tanda vital (sesuai dengan survei primer)

2. Pada kasus trauma, pemeriksaan setiap tahap selalu dimulai dengan pertanyaan adakah :

D-E-C-A-P-B-L-S

D : Deformitas

E : Ekskoriasi

C : Contusio

A : Abrasi

P : Penetrasi
B : Bullae/Burn

L : Laserasi

S : Swelling/Sembab

3. Pada dugaan patah tulang selalu dimulai dengan pertanyaan adakah :

P-I-C

P : Pain

I : Instabilitas

C : Crepitas

8. PRINSIP PENANGANAN FRAKTUR

Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya,
yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat, pemilihan
pengobatan dengan tujuan tertentu, mengikuti “law of nature”, pengobatan yang realistis dan
praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu. Prinsip penanganan fraktur adalah
mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi
itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang
dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling. Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,
Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar terjadi penyatuan
tulang menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik
kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Untuk mengurangi nyeri tersebut,
dapat dilakukan imobilisasi, (tidak pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu
diperlukan teknik seperti konsolidasi? Tidak ada jawaban yang tepat mungkin karena faktor
usia, konstitusi,imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak
dapat pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal.
Berapa lama patah tulang diperlukan untuk bersatu dan sampai terjadi suplai darah, jenis
fraktur dan faktor lain mempengaruhi sepanjang waktu diambil. Prediksi yang mungkin
adalah timetable Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu dalam
3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas bawah kalikan dengan 2
lagi; untuk fraktur transversal kalikan lagi oleh 2. Sebuah formula yang lebih sophisticated
adalah sebagai berikut. Sebuah fraktur spiral pada ekstremitas atas memakan waktu 6-8
minggu untuk terjadinya konsolidasi. Ekstremitas bawah membutuhkan dua kali lebih lama.
Tambahkan 25% jika bukan fraktur spiral atau jika melibatkan tulang paha. Patah tulang
anak-anak, tentu saja, Angka-angka ini hanya panduan kasar, harus ada bukti klinis dan
menyatu lebih cepat. radiologis terkait konsolidasi sebelum tekanan penuh diperbolehkan
tanpa splintage.

Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. dan
imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar,
Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara
operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan dislokasi fragmen patahan
yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian
hari. Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi
secepat mungkin. Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa
reposisi prosthesis. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan
fraktur dengan klavikula pada anak-anak, fraktur vertebrae dengan kompresi minimal. Pada
imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur
tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti
dengan imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada
fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini
dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur. Reposisi diikuti
dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang,
dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan
fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal
fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, asien dengan cedera
multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan
cedera kepala secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah.
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat
dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai
reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak
stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan
yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana
dengan reduksi dini bisa fraktur dengan infeksi.Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti
dengan pemasangan fiksator tulang pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, fraktur
kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan prosthesis. Tindakan
ini diakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur.

9. MANAJEMEN CIDERA KEPALA


Epidemiologi
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan datang ke ruang
gawat darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam. Kemudian frekuensi paling
tinggi terdapat antara hari Jumat dan Minggu. Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali
lebih tinggi daripada wanita. Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama
dikarenakan kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.

Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala
dengan prosentase diatas 50%.

Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma
kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di
populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit
mempunyai GCS antara 3-11.

Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000
penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara
4 – 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.

Patofisiologi

Mekanisme yang menyebabkan koma masih belum terpecahkan dengan jelas. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan MRI akan terlihat abnormalitas sebesar 90%
sedangkan bila menggunakan CT Scan akan terlihat sebesar 50%. Penurunan aktivitas
mental pada coma direfleksisksn melalui penurunan aliran darah otak dan metabolisme otak.

Trauma kepala berat akan tergambar sebagai trauma kepala yang berefek kondisi
koma minimum 6 jam lamanya.kemungkinan disebabkan oleh 2 mekanisme, yaitu :

a. Diffuse axon injury

b. Ischemia

Diffuse axonal injury merupakan gambaran utama kerusakan kerusakan awal.

Iskemia disebabkan oleh ekstrakranial seperti hipoksia atau penurunan cerebral


perfusion pressure (CPP). Perdarahan intraserebral menyebabkan zona iskemia pada
jaringan otak disekelilingnya; pergeseran otak dapat menyebabkan penekanan pembuluh
darah, dan akan menyebabkan infark pada regio yang terkait. Cedera langsung pada arteri
karotis interna juga dapat menyebabkan iskemia otak.

Sejumlah pemeriksaan biokimiawi (mis. kreatin kinase) pada cairan serebrospinal


dapat menggambarkan derajat kerusakan otak dan berkorelasi dengan outcome penderita.
Manajemen Kegawatdaruratan

Cedera kepala merupakan proses yang dinamis dam memiliki variabel-variabel yang
saling berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan otak sekunder. Target dari
penanganan trauma kepala adalah mencegah kerusakan sekunder karena komplikasi
intrakranial dan ektrakranial; dan menyediakan kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk
memaksimalkan proses penyembuhan.

Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum adalah hipoksia dan syok,
sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah diagnosa atau penundaan diagnosa
perdarahan intrakranial.

Manajemen emergency room diarahkan untuk memberikan oksigenasi dan perfusi


otak yang optimal dan diagnosa intrakranial yang tepat.

Manajemen Respirasi

Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh karena itu
oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas.

BGA yang diambil saat trauma dan saat masuk rumah sakit menunjukkan bahwa
hiperkapnea berkorelasi dengan derajat keparahan cedera kepala. GCS dibawah 9
dihubungkan dengan kadar PaCO2 diatas 50 mmHg. Intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan apabila baik patensi jalan nafas dan ventilasi spontan yang adekuat tidak
dapat dipertahankan.

Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi 1 jam setelah
trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda lebih dari 1 jam. Bantuan
ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 dibawah 93%, PaO2 kurang dari 70mmHg, dan PaCO 2
lebih dari 45mmHg.

Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi, tiopenthal dan atau
lidokain, relaksan short acting intravena, dengan penekanan krikoid. Nasal intubasi tidak
dianjurkan karena resiko perdarahan dan kemungkinan FBC. Intubasi pasien dugaan fraktur
cervical harus ditraksi dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan scholin

Pemasangan pipa lambung dapat merangsang reflek muntah sehingga sebaiknya


dilakukan setelah intubasi.

Respirasi dapat memburuk karena disfungsi SSP. Hipoksia sekunder karena cedera
otak biasanya merespon terhadap pemberian PEEP atau CPAP. Bila penyebab
memburuknya respirasi karena overload cairan, dapat dikoreksi dengan loop diuretik seperti
furosemide; sebaiknya tidak dengan diuretik osmosis seperti mannitol.

Stabilisasi Cardiovaskuler

Target yang dituju adalah perfusi otak. Pada anak, perdarahan intrakranial dapat
menyebabkan hipovolemia. Pada dewasa, hipovolemia disebabkan cedera organ lain atau
kerusakan batang otak. Pasca trauma, autoregulasi otak menjadi rusak, sehingga penting
untuk mempertahankan CPP.

Respon Cushing mempertahankan CPP dan meningkatkan MAP. Penurunan kondisi


klinis terjadi ketika CPP turun hingga dibawah 40-50 mmHg. Cedera spinal cord dapat
menyebabkan syok sekunder karena hilangnya inervasi otot polos vaskuler. Semua
perdarahan eksternal, termasuk laserasi scalp, harus dikontrol dan diinfus cepat dengan
darah ataupun kristaloid.

Penilaian Neurologis

Evaluasi awal seharusnya meliputi informasi waktu, lokasi, dan mekanisme cedera.
Penilaian meliputi tingkat kesadaran, pemeriksaan mata, dan penilaian fungsi batang otak.
Durasi dan kedalaman tingkat ketidaksadaran berkorelasi dengan kedalaman lesi trauma
otak.

Istilah ‘stupor’,’semicomatous’, memiliki arti yang berbeda bagi pemeriksa yang


berbeda, sehingga menjadi kurang tepat; oleh karenanya, digunakan penilaian kuantitatif
dengan GCS. Bagaimanapun, GCS masih terlalu kasar untuk mengukur kesadaran dan
bukan untuk penilaian neurologis secara detil. Penilaian GCS harus hati-hati pada disfungsi
otak dengan penyebab selain trauma, seperti pengaruh alkohol dan obat-obatan

Pemeriksaan neurologi lengkap hanya bisa dilakukan pada pasien yang sadar dan kooperatif

Studi Diagnostik

Fraktur liner tertentu, termasuk fraktur yang melewati arteri meningea media, major
venous sinuses, dan fraktur yang meluas di basis cranii, membawa resiko yang lebih besar
terjadinya hematom intrakranial dan kebocoran cairan serebrospinalis. Tidak seperti
angiografi atau ventriculografi, CT scanning mampu membedakan antara oedema otak,
kontusio dan hematom.

Antara 30-40 % pasien dengan cedera kepala berat awalnya gambaran CT scannya
normal. Beberapa pasien yang mengalami perburukan neurologi atau yang gagal mencapai
perbaikan yang diinginkan seharusnya dilakukan pengulangan CT scan. Semua pasien
dengan GCS kurang dari 12 seharusnya diperiksa dengan CT scan, perkecualian untuk
pasien yang terlihat gejala klasik dan tanda-tanda perluasan cepat perdarahan epidural.
Pada evaluasi cedera otak, MRI tampaknya lebih akurat dalam menggambarkan edema otak
dini, kontusio fokal, dan membedakan higroma dari hematoma subdural kronis. MRI juga
menunjukan prediktor yang lebih baik untuk delayed traumatic intracerebral hematoma
(DTICH)

CEDERA PADA STRUKTUR PELINDUNG OTAK

Kontusio dan laserasi scalp biasanya tidak hanya memberikan bukti terjadinya
trauma kepala tetapi juga mengindikasikan terjadinya kemungkinan lesi ditempat itu.
Rambut dan kotoran biasanya ikut masuk kedalam luka sehingga irigasi dan debridement
jaringan diperlukan. Homeostasis dapat dicapai sementara dengan penekanan luka dan
dengan jahitan galeal. Sebelum merawat laserasi scalp rambut sebaiknya dicukur sedikitnya
2.5 cm pada kedua sisi luka. Avulsi scalp kecil dapat dikoreksi dengan mudah, tetapi avulsi
yang lebih besar umumnya membutuhkan flap scalp.

Fraktur depresi tengkorak dibawah laserasi membutuhkan koreksi bedah dini. Angka
infeksi meningkat pada pasien yang dioperasi lebih dari 24 jam setelah trauma. Tujuan
pembedahan untuk membersihkan jaringan yang mati, elevasi tulang yang terdepresi dan
mengevaluasi dura dan otak dibaliknya. Harus hati-hati untuk tidak memanipulasi fragmen
tulang apapun di ruang gawat darurat, karena fragmen tersebut dapat merupakan
tamponade dari pembuluh darah atau sinus dura yang terlaserasi dan bila diambil dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial yang tidak terkontrol.

Prinsip yang sama berlaku pada benda yang telah menembus dan masih berada
dalam kepala, benda tersebut harus dilindungi/ dicegah dari pergerakan apapun, selama
transportasi pasien dari ruang gawat darurat, ke radiologi maupun kamar operasi. Cedera
scalp tangensial kecepatan tinggi tidak akan menembus tengkorak atau menyebabkan
kelainan neurologi awal/dini. Bagaimanapun komplikasi bedah seperti hematoma subdural,
ekstra dural ataupun kortikal. Hemotimpanum, ekkimosis pada area mastoid (battle sign)
atau ekkimosis kelopak mata tanpa perluasan ke alis mata (Racoon Eye), sering
mengindikasikan suatu fraktur basis kranii. Pada kondisi ini, memiliki resiko tinggi seperti
meningitis (25%) dan rhinorrhea cairan serebrospinal.

Terapi

Manajemen cedera kepala akut, juga harus dilakukan pada resusitasi pasien luka
tembak. Tujuan pembedahan untuk membersihkan scalp, tulang, dan jaringan otak yang
mati disekitar jalur peluru dan untuk mengevakuasi hematoma intra maupun extraserebral
apapun. Fragmen tulang adalah sumber utama infeksi, dan harus dipastikan untuk
pengambilan seluruhnya. Peluru dan fragmen metal jarang menyebabkan komplikasi, dan
usaha untuk mengambilnya sebaiknya hanya dilakukan bila aksesnya mudah. Palpasi
jaringan otak dengan gentle disekitar jalur peluru rutin dikerjakan untuk mencari fragmen
tulang yang tersembunyi. Setelah debridement otak selesai, jalur peluru harus tetap terbuka.
Dinding jalur yang kolaps/menutup harus dicurigai sebagai suatu hematoma dari jaringan
disekitarnya.

Angka infeksi dapat diturunkan dengan debridement dini dan penggunaan antibiotik
yang tepat. Studi bakteriologi menunjukkan bahwa bakteri yang tersering ditemukan pada
scalp dan tulang yang rusak adalah coccus gram positif. Karenanya dianjurkan untuk
menggunakan antibiotik antistaphilococcus preoperatif dan dilanjutkan hingga 5-7 hari
setelah debridement.

Prognosa

Tingkat kesadaran setelah luka tembus adalah prediktor mortalitas mayor. Byrness
dkk, melaporkan 100% mortalitas pada 25 pasien koma dalam dan 78% mortalitas pada
pasien yang hanya bereaksi terhadap nyeri dan reflek cahaya menurun. Faktor lain yang
memiliki pengaruh buruk pada prognosa adalah tingginya tekanan darah sistemik (sistolik >
150 mmHg) atau hipotensi (sistolik < 90 mmHg) pada saat MRS. Lebih jauh lagi, luka peluru
yang memotong otak dari sisi ke sisi memberikan resiko mortalitas yang lebih tinggi daripada
bila cedera yang terjadi adalah fronto occipital.

HEMATOM INTRAKRANIAL TRAUMATIK

Epidural Hematom
EDH merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada trauma kepala. Penyebab yang
paling sering adalah lacerasi pembuluh darah meningial media dan cabang-cabangnya,yang
disebabkan fraktur bagian squamous tulang temporalis, dan menghasilkan perdarahan di
temporalis.

Kejadian EDH paling besar terjadi umur 15 – 60 tahun. Perdarahan epidural oleh
karena pembuluh darah vena seringkali berkembang lambat, sebaliknya bila disebabkan
oleh arteri berkembang secara cepat dan menyebabkan penekanan batang otak dalam
beberapa jam.oleh karena itu sekali diagnosis dicurigai penanganan seharusnya tidak
ditunda untuk konfirmasi radiologis

Preoperative menggunakan diuretik dan pembatasan cairan seringkali menyebabkan


hipovolemia; walaupun, peningkatan TIK dan penekanan batak otak dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah sistemik (Cushing reaction). Hipertensi sistemik neurogenik
mungkin menutupi hipovolemi hipotensi dan mengakibatkan nilai tekanan darah normal.
Ketika TIK berkurang secara cepat oleh karena dekompresi bedah, faktor yang
menyebabkan hipertensi akan menghilang tiba-tiba dan hal ini bisa menyebabkan hipovolemi
hipotensi.

Jika hipotensi sistemik tidak diantisipasi dan dicegah otak akan terus bertambah
iskemi. Oleh karena itu ketika preoperativ diduga ada intrakranial hipertensi, hipotensi
sistemik intraoperativ dapat dihindari dengan monitoring central pressure dan secara empiris
mengisi volume sirkulasi dengan infus darah atau kristaloid selama anesthesia. hasil akhir
EDH berhubungan langsung dengan luasnya intradural patologi saat preop dan penekanan
batang otak. Post op sama dengan panduan umum pasien dgn trauma kepala tertutup

Hematom Subdural Akut

SDH adalah penumpukan darah diantara dura dan selaput arachnoid. Penyebab
tersering adalah trauma, tapi juga terjadi secara spontan, koagulopathi, anurisma,
arteriovenous malvormasi, dan neoplasma tertentu. SDH dipertimbangkan akut ketika tanda-
tanda klinis terjadi dalam 72 jam setelah injury, sub acut manifestasi klinis dalam 3 dan 15
hari, dan kronis ketika perdarahan lebih dari 2 minggu. Acut SDH merupakan perdarahan
yang tersering pada trauma yang membutuhkan pembedahan.

Venous ASDH akibat dari ruptur bridging vein pada sinus sagitalis saat gerakan
akselerasi-deselerasi otak setelah benturan. Penyebab ASDH lainnya adalah, seringkali
dihubungkan dengan cedera contrecoup, brain laceration, cerebral contusion, dan
perdarahan intracerebral yangmana darah berada didalam ruang subdural Klinis ASDH
primernya adalah kerusakan otak dengan sekundernya peningkatan TIK Lucid interval yang
pathognomis pada EDH tidak jarang pada ASDH.

Waktu pembedahan merupakan faktor penting dalam menentukan outcome,


evakuasi lebih awal dalam 4-6 jam setelah cedera, dicatat hasil outcome yang lebih baik .

Hematom Subdural Subakut dan Kronis

Subdural hematom subakut dan kronik paling sering didapati pada usia lebih dari 50
tahun. Pada pengguna alkohol kronik, pasien epilepsi dan usia diatas 50 tahun, sejumlah
besar atrofi otak bisa meningkatkan volume ekstra parenkim. Volume ekstra ini dapat
menyebabkan hematoma yang terjadi perlahan tanpa adanya kenaikan TIK. Ekpansi gradual
ini diadaptasi oleh otak dengan mengkompresi kanal vena dan memberikan ekstra ruang
untuk meluasnya hematoma.

Perdarahan ulang pada rongga subdural dapat sering terjadi dan biasanya
disebabkan cedera kepala minor atau mekanisme lain yang mengarah pada elevasi
sementara tekanan vena. Fungsi membran subdural adalah untuk menyerap isinya.
Perdarahan ulang sering merupakan hasil dari cedera minor dan aktivitas fibrinolitik
membran dan isinya. Selama terjadi keseimbangan, maka besarnya hematoma akan tetap
konstan dan pasiennya asimptomatis. Bila volume keseluruhan dari perdarahan menjadi
lebih besar daripada kemampuan sistem absorsi, maka hematoma akan meluas. Bila faktor
yang memperburuk perdarahan dapat disingkirkan, maka absorbsi dapat melebihi ekspansi
perdarahan sehingga pasien dapat kembali ke kondisi awalnya.

Riwayat cedera kepala sering tidak ada. Gambaran klinis SDH kronis dan subakut
dapat bervariasi dari tanda fokal hingga disfungsi otak hingga penekanan derajat kesadaran
menjadi sindroma mental organik. Gambaran klinis ini menyerupai gambaran stroke ataupun
tumor otak. SDH subakut umumnya menunjukkan tanda peningkatan TIK, seperti penurunan
derajat kesadaran dan nyeri kepala, sedangkan bentuk hematoma kronik biasanya
menyerupai gambaran stroke.

Diagnosis SDH subakut atau kronis biasanya dengan CT Scan. Densitas SDH pada
kondisi akut lebih tinggi daripada jaringan otak normal, 2 minggu kemudian perlahan menjadi
isodens, dan menjadi hipodens pada fase kronik. Diagnosis dapat meleset pada fase
isodens, sehingga bukti tidak langsung seperti kompresi ventrikel unilateral atau suatu
pergeseran midline tanpa gambaran lesi intraserebral harus dicurigai sebagai suatu SDH
isodens. Pada situasi ini, kontras dosis double dapat digunakan untuk memvisualisasi
korteks atau membran subdural.

Terapi SDH kronik dahulu awalnya dengan membuang membran disekitar


hematoma, namun kini tidak lagi digunakan. Drainase adekuat dan aspirasi secara umum
memberikan hasil yang baik, dan kraniotomi dapat dicadangkan bila SDH kembali terkumpul,
bila terdapat bekuan solid, atau bila otak gagal mengembang kembali dan pasien tetap
simptomatik. Prosedur ini umumna dikerjakan di bedside dengan anestesia lokal.
Penggunaan anestetik lokal dengan monitoring bermanfaat karena kebanyakan pasien usia
tua dan beresiko mengalami komplikasi bila dengan anestesi umum.

CT Scan post operasi menunjukkan bahwa otak baru kembali mengisi ruang setelah
40 hari kemudian. Hal ini tidak memerlukan terapi.

Hematom intracerebral

Diagnosis intracerebral hematom menjadi lebih sering sejak adanya CT scan,


sebelumnya angiografi tidak dapat menvisualisasi hematom diarea otak tertentu dan tidak
dapat membedakan hematom dari kontusio cerebri. Dua mekanisme paling umum pada
kontusio serebri dan hematoma intraserbral adalah cedera coup dan contrecoup.

Lesi coup ditunjukan sebagai kerusakan parenkim yang terjadi dibawah titik benturan
dari tulang kepala; cedera contrecoup adalah jauhnya kontusio cerebri dari titik tempat
benturan.

Mekanisme perkembangan hematom intracerebral masih belum jelas. Faktor terakhir


yang berkonstribusi terhadap perkembangan hematom intracerebral adalah peningkatan
aliran darah sekitar otak yang kontusio, yang diperburuk oleh hipoxia, hipercapnia, dan
peningkatan tekanan vena. Tiga faktor ini dapat memicu atau memperluas hematom.
Perkembangan hematom intracerebral kadang-kadang dapat diditeksi melalui TIK monitoring
pada fase awal sebelum temuan neurologis didapatkan.

Manajemen Hipertensi Intrakranial

Meskipun lebih dari setengah kematian dari trauma kepala dihubungkan dengan
hipertensi intrakranial, penyebab dari peningkatan derajat TIK masih belum jelas. hipertensi
intrakranial bermakna bagaimanapun mungkin menurunkan tekanan perfusi dibawah titik
kritis 60 mmHg yang dibutuhkan untuk menjaga metabolisme otak tetap normal dan hingga
menjadi penyebab terjadinya kerusakan otak sekunder. Untuk mencegah terjadinya
kerusakan sekunder hipertensi intrakranial harus dideteksi dan dikontrol sejak awal

Hiperventilasi

Ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan proses yang terjadi
pada cedera kepala yaitu terjadinya edema dan swelling, namun keduanya memiliki
manajemen pendekatan yang berbeda. Swelling didefinisikan sebagai suatu peningkatan
volume darah serebral, dikarenakan vasoparalisis otak yang menyebabkan hiperemi dan
dapat terjadi dari beberapa jam hingga beberapa hari. Memanjangnya hiperemi pada otak
mengarah pada terjadinya edema vasogenik dan kemungkinan meningkatkan TIK dengan
herniasi otak. Disisi lain edema otak didefinisikan sebagai suatu peningkatan muatan cairan
pada rongga extravaskular otak. Edema otak biasanya fokal atau unilateral, dan tidak segera
terbentuk setelah trauma, sedangkan bila hiperemia terjadi segera.

Selama ini hiperventilasi dilakukan untuk menurunkan peningkatan TIK. Hipokapnea


awalnya menurunkan TIK dengan menurunkan volume darah otak. Selanjutnya volume
cairan serebro spinal berkurang, kemungkinan dengan normalisasi sirkulasi cairan serebro
spinal ke spinal.

Segera sesudah cedera, peningkatan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak
dapat mengarah pada peningkatan TIK. Pada tahap selanjutnya hipertensi intrakranial
umumnya disebabkan edema otak dan dapat memperburuk CBF. Pada kasus ekstrim
bahkan menyebabkan berhentinya aliran. Hiperventilasi diharapkan paling efektif pada fase
hiperemia. Pada pasien dengan aliran darah normal atau menurun, respon TIK cepat
beradaptasi terhadap hiperventilasi

Pada saat dilakukan hiperventilasi TIK secara perlahan meningkat dan menjadi stabil
setelah 3 hingga 5 jam, biasanya pada derajat yang lebih rendah daripada TIK awalnya.
Respon vaskular otak terhadap hipokapnea menurun atau hilang pada terjadinya hipoksia.
Oleh sebab itu, respirasi yang dalam dan cepat pada hiperventilasi neurogenik, yang
umumnya disertai hipoksia menyebabkan pergeseran kurva dissosiasi oksigen ke kiri,
tidaklah efektif untuk menurunkan TIK. Beberapa klinisi berhati-hati dalam melakukan
hiperventilasi berkepanjangan karena takut menimbulkan hipoksia jaringan dengan semua
efek sampingnya.

Hiperventilasi untuk menurukan PaCo2 dapat memperbaiki oksigenasi. Ketika kita


menginginkan penurunan TIK dengan cepat, hipokapnea sebesar 25 mmHg bisa efektif.
Untuk terapi jangka panjang TIK, PaCo2 sekitar 30-35 mmHg bisa sama efektifnya dengan
kadar di bawahnya. Sejak cedera kepala akut sering dihubungkan dengan hiperemia otak
sehingga terapi dari peningkatan TIK dapat dikontrol dengan menurunkan PaCo2.
Hiperkapnea dapat secara cepat menunjukkan peningkatan TIK yang bermakna dan
herniasi serebral. Dalam konsisi gawat, proses ini dapat terjadi selama intubasi sulit dengan
kombinasi hipoksia dan hiperkapnea. Kejadian ini dapat dihindari atau diminimalkan dengan
ventilasi masker yang adekuat sebelum intubasi.

Terapi Steroid

Reaksi otak terhadap cedera kepala sangat kompleks dan pada saat yang berbeda
dapat berupa variasi kombinasi swelling, edema vasogenik dan edema sitotoksik. Swelling
didefinisikan sebagai peningkatan volume darah otak, karena baik vasoparalisis atau
obstruksi aliran keluar vena dan bisa terjadi sementara ataupun minor. Bila terjadinya masif
dapat mengarah pada edema vasogenik. Swelling pada otak yang diteliti pada cedera
kepala tidak merespon pada steroid.

Edema vasogenik dicirikan dengan peningkatan permeabilitas sel endotel kapiler


otak. Substansia alba rentan terhadap bentuk tipe edema ini. Edema vasogenik umumnya
terjadi pada tumor metastase perifer, abses dan pada lesi kriogenik pada penelitian hewan.
Hanya sedikit bukti klinis dan eksperimen untuk mendukung keefektifan terapi steroid pada
edema vasogenik.

Edema sitotoksik dijadikan sebagai suatu penambahan elemen seluler otak dengan
penurunan rongga cairan ekstra seluler. Kondisi klinis ini umumnya dihubungkan degan
edema sitotoksik, meliputi hipoksia dan intoksikasi cairan. Bentuk tipe edema ini tidak
responsif dengan terapi steroid.

Penilaian efektivitas terapi steroid pada cedera kepala sukar dilakukan karena
bervariasinya tipe edema ini. Lebih jauh lagi, cedera yang menyebabkan kerusakan jaringan
ekstrim dan perdarahan kemungkinan tidak akan memberikan respon terhadap terapi
apapun. Bagaimanapun saat ini, tidak ada keuntungan apapun dari dexametason dosis
tinggi pada trend TIK ataupun outcome klinis pada terapi cedera kepala berat pada berbagai
penelitian yang telah dilakukan. Faktanya pemberian steroid merangsang respon katabolik
post trauma, meningkatkan loss nitrogen urine dan hiperglikemia.

Dehidrasi
TIK dapat diturunkan dengan berbagai larutan hipertonik dan diuretik. Diuretik
osmotik yang digunakan luas adalah manitol yang dapat menurunkan TIK, memperbaikan
compliance intrakranial, menangkap radikal bebas dan memperbaik CBF. Karena manitol
tidka dimetabolisme dan tidak merusak sawar darah otak, maka tampaknya manitol tidak
memiliki efek langsung pada metabolisme serebral. Bagaimanapun juga efek tidak langsung
manitol yaitu : meningkatkan CBF dan menurunkan iskemia otak. Bagian otak yang paling
mudah mengkerut adalah area dengan permeabilitas endotel kapiler yang normal. Pada
terjadinya edema vasogenik, manitol mengkerutkan area otak yang normal dan tidak
mempengaruhi lokasi edema. Mekanisme ini meningkatkan potensi resiko pergeseran
midline bila manitol digunakan pada kelainan otak unilateral.

Efek manitol sering terlihat sebelum perubahan osmolaritas serum tercapai. Efek ini
paling tampak saat CPP dibawah 70 mmHg. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui suatu
efek vasokonstriktif langsung dari manitol yang mengarah pada penurunan volume darah
otak. CPP yang lebih tinggi menunjukkan mekanisme autoregulasi bekerja dan konstriksi
pembuluh darah otak. CPP yang lebih rendah menunjukkan bahwa pembuluh darah otak
terdilatasi maksimal dan merespon lebih efektif terhadap efek vasokonstriktif dari manitol.
Sekali keseimbangan telah tercapai, manitol tidak lagi menurunkan TIK sehingga pemberian
berkelanjutan tidak lagi efektif.

Dengan perkecualian kegawatdaruratan klinis, manitol tidak seharusnya digunakan


tanpa monitor TIK dan osmolaritas serum. Pada pasien dengan impending gagal jantung,
manitol harus digunakan dengan sangat hati-hati. Diuretik non osmotik, seperti furosemid
adalah pilihan obat pada kondisi ini.

Meskipun diuretik menurunkan TIK, awalnya dapat menyebabkan hipertensi


intrakranial. Suatu studi menunjukkan peningkatan TIK hingga 7 mmHg yang berlangsung
selama 5 menit setelah infus cepat manitol. Namun pada penelitian yang lain penemuannya
berupa penurunan TIK secara eksponensial tanpa peningkatan awal. Kedua penelitian ini,
walaupun hasilnya tampak saling berlawanan, menunjukkan keamanan pemberian manitol,
walaupun pada studi pertama peningkatan TIK terjadi singkat.

Komplikasi terapi diuretik adalah hiponatremia yang juga dihubungkan dengan


peningkatan TIK, perubahan status mental, dan edema paru. Monitor ketat dan koreksi yang
tepat keseimbangan elektrolit diindikasikan/diperlukan. Koreksi hiponatremia harus lebih
pelan daripada 0,55 mmol/L/jam untuk mencegah komplikasi lebih jauh.
Beberapa studi membandingakn efek propofol dan thiopental untuk menurunkan TIK.
Meskipun keduanya menurunkan TIK, CPP lebih tereduksi dengan propofol yang juga lebih
memberi efek kardiovaskuler, sehingga penggunaanya harus dengan hati-hati.

Kejang

Status epileptikus adalah komplikasi serius yang terjadi pada 7% kasus posttrauma.
Infus midazolam 7-12 mg/jam setelah dosis awal 10 mg memberikan kontrol yang efektif.
Keuntungan midazolam daripada benzodiazepine yang lain: kelarutannya dalam air, waktu
paruh yang lebih pendek, dan insidens depresi kardiorespirasi yang lebih rendah.

Terapi Cairan

Hiperglikemia pada kondisi iskemia maupun hipoksia menambah kerusakan jaringan.


Efek ini kemungkinan disebabkan kegagalan metabolisme oksidatif pada glukosa pada
terjadinya iskemia maupun hipoksia, sehingga glikolisis yang menghasilkan laktat meningkat.

Pemberian steroid, yang bukan hal yang tidak umum pada pasien bedah saraf, dapat
meningkatkan kadar gula darah. Pemberian infus cairan dengan cepat dapat meningkatkan
TIK pada pasien dengan penurunan compliance otak. Ekskresi katekolamin setelah cedera
kepala adalah penyebab umum hipertensi yang dapat menutupi hipovolemia iatrogenik yang
mengikuti diuresis. Hipovolemia ini mungkin baru disadari selama induksi anestesi. Infus
cairan dengan cepat dapat membantu koreksi hipotensi tetap dapat menambah kerusakan
otak. Oleh karena itu, tipe cairan dan kecepatan pemberian merupakan hal yang sangat
penting pada terapi trauma kepala.

Upaya mempertahankan kadar gula atau memberikan gula untuk mencapai tingkat
dibawah 200 mg/dl direkomendasikan saat iskemia otak mungkin dapat terjadi. Satu laporan
menunjukkan bahwa pemberian dekstrosa 5% air pada 8cc/kg/jam (sekitar dua kali normal)
selama 6 jam setelah produksi lesi dingin (cold lesion) menghasilkan mortalitas 100%,
sementara hewan yang menerima infus dekstrosa yang sama atau yang lebih lambat dalam
normal saline atau tanpa cairan, seluruhnya selamat.

Pada sisi yang lain, studi hiperglisemia pada model iskemia fokal mengindikasikan
penurunan perubahan morfologis searah. Model ini masih ditelitii lebih lanjut. Pada model
anjing dengan syok plus lesi massa intracranial, suatu kombinasi cairan hipertonik (saline
hipertonis) dan hiperonkontik ( gula hidroksietil) menghasilkan perubhan yang lebih
menetap pada hemodinamik sistemik daripada NaCl atau salin hipertonis. NaCl
menghailkan peningkatan TIK yang cepat, sementara salin hipertonis menghasilkan
perbaikan sementara pada hemodinamik sistemik.
Tranmer dan kawan-kawan meneliti efek berbagai cairan intravena pada TIK anjing
dengan lesi serebral. Pada hewan yang menreima NaCL, TIK meningkat 90%; pada grup
dekstrose peningkatan 141%, tetapi tanpa peningkatan saat Hetastarch 6% digunakan.
Resusitasi cairan pada pasien dengan edema serebreal mungkin lebih aman dengan koloid
daripada dengan kristaloid.

Oleh karena itu, dalam menangani pasien dengan cedera kepala, mungkin lebih tepat
apabila menghindari larutan yang berisi gula dan mungkin seluruh kristaloid dan
mempertahankan tekanan sistemik dengan infus koloid pada tingkat yang diseuaikan
dengan tekanan sentral.

MANAJEMEN ANESTESIA

Premedikasi

Sedasi preoperatif lebih baik dihindari pada pasien dengan cedera kepala. Nyeri
biasanya bukan merupakan keluhan utama pada pasien ini, dan oleh karena itu
penggunakan narkotik tidak relevan. Lebih dari pada itu, bahkan 25 mg meperidine dapat
menyebabkan peningkatan signifikan PaCO2, yang mungkin berbahaya jika compliance
intrakranial dikurangi. Diazepam mempunya waktu paruh paling tidak 12 jam dan
khususnya pada pasien usia lanjut, dapat menyebebakan depresi CNS yang mengganggu
diagnosa neurologis.

Fenobarbital yang sering digunakan untuk kontrol kejang memiliki efek sedatif dan
durasi kerja yang panjang. Fenitoin kurang menyebabkan sedasi dan merupakan pilihan
terapi awal. Efek samping ( hipotensi, aritmia jantung, dan depresi SSP), dapat diminimalkan
dengan pemberian intravena dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg per menit.

Penggunaan rutin alkaloid belladona tidak direkomendasikan karena efek jantung


dari obat ini dapat memperburuk dinamika intrakranial

Saat berhadapan dengan pasien dengan cedera vaskular, prosedur harus dimulai
dengan deiskusi dengan ahlibeda tentang kasus tersebut dan masalahnya. Hanya dengan
komunikasi yang jelas bahwa semua potensial masalah dapat diantisipasi dan persiapan
rasional telah dilakukan.

Monitoring

Monitor intraoperatif yang tepat meliputi EKG kontinyu dengan kemampuan


merekam. Kanulasi arteri sebaiknya dilakukan untuk menyediakan jalur analisa gas darah
dan serum elektrolit dan monitor tekanan darah arterial sistemik kontinyu. Pulse oksimetri
sangat penting dan analisa gas darah infrared atau spektrometri sangan membantu.

Kehilangan darah dapat terjadi masif pada kasus cedera vaskular, dan pemberian
cepat obat diuretik menyulitkan maintenance keseimbangan cairan. Pasien sering
mengalami hipovolemia, hipokalemia dan hipkloremia. Kondisi ini awalnya tidak
menyebabkan hipotensi karena pasien umumnya dengan kondisi vaskuler yang sehat dan
dapat berkompensasi dan karena kerusakan intrakranial sering menyebabkan hipertensi
arterial.

Status hidrasi sebenarnya dapat diketahui pertama kali setelah induksi anestesia,
ketika hipotensi katastrofi dapat terjadi. Rehidrasi rasional mencakup monitor CVP, dan
terutama diindikasikan pada pasien tua dengan penyakit jantung, dimana pemberian larutan
hiperosmolar dalam jumlah besar (misalnya manitol), dan rehidrasi dalam jumlah besar
dapat menyebabkan edema paru. Fungsi kardiorespirasi seharusnya dimonitor pada semua
pasien yang diduga akan mengalami edema paru neurogenik.

Produksi urine juga harus dimonitor dengan cermat untuk mengantisipasi


kemungkinan terjadinya diabetes insipidus. Pengukuran temperatur secara kontinyu
direkomendasikan, karena iritasi meningeal oleh darah dan cedera hipotalamus dapat
menyebabkan hipertermia. Lamanya waktu operasi, infus cairan dalam jumlah besar yang
tidak dihangatkan, dan kehilangan sejumlah besar urine dapat menyebabkan hipotermia,
sehingga upaya untuk mempertahankan temperatur tubuh harus dilakukan.

Posisi

Kebanyakan prosedur dilakukan dengan posisi terlentang, sehingga rangkaian sirkuit


anestesia, proteksi mata dan pipa esofageal perlu diamankan dengan adekuat sebelum
dimulainya operasi. Selain itu perlu dipasang padding untuk mencegah terjadinya lesi
tambahan yang bisa memerlukan waktu beberapa jam untuk memperbaikinya dan untuk
mencegah kerusakan saraf perifer.

Teknik Anestesi

Intubasi sering dikerjakan saat pasien datang di ruang gawat darurat, bila tidak,
manuver ini harus dikerjakan se-atraumatis mungkin menggunakan dosis kecil natrium
thiopenthal, pelumpuh otot non depol kerja singkat, seperti atracurium atau vecuronium, dan
lidokain. Lidokain dapat diberikan secara intravena (1 mg/kg) dan topikal (4 ml dari 4%
sediaan laringotrakheal spray). Hiperkalemia diinduksi oleh scholin pada pasien cedera
kepala tertutup pada parese dan karenanya obat ini sebaiknya dihindari.

Pada pasien dengan cedera vaskuler, peningkatan TIK biasanya bukan merupakan
suatu masalah.

Induksi anestesi dan teknik maintenancenya harus direncanakan dengan target


utama menghindari hipertensi. Faktor lain yang dipertimbangkan pada saat maintenance
adalah untuk menghindari penurunan cardiac output oleh obat anestesi saat terjadi
kehilangan darah dalam jumlah besar. Namun terdapat beberapa kasus tertentu seperti
aneurisma palsu, dimana hipotensi terkontrol dapat bermanfaat bagi ahli bedah dan juga
mereduksi jumlah darah yang hilang.

Teknik anestesia intravena yang seimbang meliputi : pemberian atau infus kontinyu,
obat-obatan seperti barbiturat, narkotik, transquilizers dan pelumpuh otot (dengan ataupun
tanpa N2O). Waktu injeksi dan dosis dipandu oleh kondisi klinis. Penurunan CBF dan
kecepatan metabolisme karena narkotik dan barbiturat penting untuk keamanan pasien
dengan penurunan cadangan otak. Lebih jauh lagi, pada pasien cedera otak berat,
manajemen postoperatif meliputi kontrol ventilasi untuk menghindari hipertensi intrakranial.
Oleh karena itu, penundaan efek sedatif yang dapat terjadi mengikuti teknik multifarmasi
mungkin lebih disukai. Peningkatan potensi daripada aktivitas kejang yang terjadi setelah
pemberian enfluran dosis tinggi, terutama pada pasien hipokapnea. Baik halothan maupun
enfluran meningkatkan CBF secara signifikans. Walaupun peningkatan CBF dapat
mengarah pada peningkatan TIK efeksamping ini dapat diminimalkan atau dicegah dengan
natrium thiopental dan hiperventilasi. Konsentrasi obat anestesi inhalasi diatas MAC
biasanya meniadakan autoregulasi, walaupun hipokapnia dan hiperkapnia dapat
mempotensiasi atau mengantagonis MAC.

Teknik inhalasi lebih mudah diberikan (terutama pada anak), reversal yang cepat dari
efek anestesi diakhir operasi, dan pernurunan resiko efek samping karena interaksi obat.
Bila teknik intravena digunakan maka kedaruratan anestesia memanjang dan hipertensi
arterial intraoperatif sukar dikontrol.

Isofluran memberikan kedalaman yang adekuat untuk prosedur intrakranial tanpa


depresi miokard tanpa peningkatan TIK. Isofluran menyebabkan penurunan konsumsi
oksigen otak, dan biasanya dicapai pada konsentrasi klinis (2 MAC) yang tidak
menyebabkan efek samping kardiovaskular. Meskipun isofluran adalah suatu isomer dari
enfluran, namun tidak memberikan aktifitas kejang, walaupun pada kondisi hipokapnea.
Anestesi paling baik untuk pasien dengan cedera SSP kemungkinan adalah isofluran
dosis rendah dengan dosis fentanil yang tepat. N2O juga dapat digunakan. Barbiturat tidak
meningkatkan harapan hidup. Suksinilkolin merupakan kontraindikasi

Kedaruratan Anestesia

Bila pasien sadar preoperatif sadar dan napas spontan, maka diakhir operasi kondisi
yang sama harus tercapai.

Dengan diperbaikinya lesi massa intrakranial, banyak pasien yang langsung


memperoleh kesadarannya kembali. Segera setelah pasien mampu mengikuti perintah dan
status pernafasannya stabil, ekstubasi dini dapat menurunkan kecenderungan komplikasi
pneumonia dan memperbaiki kemampuan batuk. Untuk dicatat, bagaimanapun juga, pasien
yang diperkirakan mengalami edema otak preoperatif harus diobservasi dengan teliti agar
tidak hiperkapnea dan mengalami peningkatan TIK lebih jauh. Apabila kondisi ini terjadi,
reintubasi dan bantuan ventilasi harus segera dikerjakan.

11. Fraktur pada Tulang Penyusun Wajah

Berdasarkan lokasi anatomis fraktur pada tulang wajah dibagi menjadi tiga yaitu,

fraktur sepertiga bawah wajah, fraktur sepertiga tengah wajah dan fraktur sepertiga atas

wajah.

a. Fraktur Sepertiga Bawah Wajah

Mandibula termasuk kedalam bagian sepertiga bawah wajah. Klasifikasi fraktur

berdasarkan istilah :

1. Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik
melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.

2. Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit, mukosa,
maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.

3. Comminuted : merupakan fraktur dimana tulang hancur menjadi serpihan.

4. Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya
melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
5. Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan
adanya penyakit tulang.

6. Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak
berhubungan satu sama lain.

7. Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.

8. Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya
pada tulang mandibula orang tua.

9. Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.

10. Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan
lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.

Jenis Fraktur Mandibula. A. Greenstick; B. Simple; C. Comminuted; dan D.Coumpound (Hupp et al.,
2008)

11. Fraktur undisplaced: garis patah komplit tetapi ke-2 fragmen tidak bergeser, periosteumnya
masih utuh.

12. Fraktur displaced: terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen.
Terbagi atas:

· Dislokasi ad longitudinal cum contractionum: pergeseran searah sumbu

dan overlapping.

· Dislokasi ad axim: pergeseran yang membentuk sudut.

· Dislokasi ad latus: pergeseran di mana kedua fragmen saling menjauh.

Klasifikasi Fraktur Mandibula berdasarkan lokasi anatominya :

1. Midline : fraktur diantara incisal sentral.

2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan
dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).

3. Symphysis : berikatan dengan garis vertikal sampai distal gigi kaninus.

4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan
poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).

5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis

apikal pada sigmoid notch.

6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.

7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibular hingga regio ramus.
8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.

Lokasi Fraktur mandibula (Coulthard et al., 2008)

b. Fraktur Sepertiga Tengah Wajah

Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal.
Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga
mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar
sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah

ini menyebabkan regio ini sangat rentan terkena fraktur.

Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort:

1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)

Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,dan menyebabkan terpisahnya
prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan
yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya
edema. Garis fraktur berjalan dari aperture piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan
ke dinding sinus maksilaris, Krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal prosesus
pterigoideus, dinding posterior sinus maksilaris hingga kembali ke aperture piriformis. Fraktur Le Fort
I(Fonseca, 2005)

2. Fraktur Le Fort tipe II

Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah
edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya
ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung
atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang
berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat
palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga
dapat ditemukan pada kasus ini. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura
frontomaksilaris ke bagian anteromedial dari dinding inferior orbita terus ke bagian tengah cincin
infraorbital, dinding fasial sinus maksilaris, Krista zigomatikoalveolaris, bagian posterior sinus
maksilaris, prosesus pterigoideus, fisura orbitalis inferior hingga sampai ke garis fraktur pada bagian
orbita. Sebagai tambahan juga terjadi fraktur pada vomer dan lamina perpendikularis.

Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

3. Fraktur Le Fort III

Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III menggambarkan adanya disfungsi
kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas
tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema,
dan ekimosis periorbital. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris
lewat os. Lacrimale, dinding medial orbita, foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan berjalan
terus ke sutura zigomatikofrontalis. Terjadi juga fraktur arkus zigomatikus. Fraktur Le Fort III
(Fonseca, 2005)

c. Fraktur Sepertiga Atas Wajah

Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima

orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke

dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah

yang lain.

1. Fraktur Frontobasal dan Fraktur Sinus Frontalis

Klasifikasi fraktur frontobasal

Klasifikasi Fraktur Frontobasal

I - Sinus frontalis posterior

II - Os Ethmoidale anterior lamina kribosa

III - Os ethmoidale posterior

IV - Os Sphenoidale

V - Atap orbita

2. Fraktur Orbita

Klasifikasi fraktur orbita:

Klasifikasi fraktur orbita

Tipe Jenis Fraktur

I - Fraktur dinding dasar orbita yang terisolasi

- Fraktur bagian tengah lamina orbitalis

- Fraktur bagian belakang lamina orbitalis

II - Fraktur lamina orbitalis dan lakrimoetmoidalis yang terisolasi

III - Fraktur atap orbita yang terisolasi

IV - Fraktur bagian samping atau lateral orbita yang terisolasi (sangat jarang

terjadi)
12. Pentingnya investigasi hukum medico dengan menjelaskan hak dan tanggung jawab dokter

Pertanggungjawaban dokter dalam hukum dan pengaturannya

Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti

“keterikatan”. Setiap manusia , mulai dari saat ia dilahirkan sampai ia

meninggal dunia mempunyai hak dan kewajiban yang disebut dengan

subyek hukum. Demikian juga dokter, dalam melakukan suatu

tindakan harus bertanggung jawab sebagai subyek hukum pengemban

hak dan kewajiban.

Kewajiban dokter dapat dibedakan kedalam tiga kelompok,

yaitu :

1) Kewajiban yang berhubungan dengan fungsi sosial pemeliharaan

kesehatan (Health Care).

2) Kewajiban yang berhubungan dengan hak pasien, meliputi :

a) Hak atas informasi

b) Hak memberikan persetujuan

c) Hak memilih dokter

d) Hak memilih sarana kesehatan atau rumah sakit

e) Hak atas rahasia kedokteran

f) Hak menolak pengobatan/perawatan

g) Hak menolak suatu tindakan medis tertentu

h) Hak untuk menghentikan pengobatan

i) Hak atas “second opinion” (pendapat kedua)

j) Hak melihat rekam medis

3) Kewajiban yang berhubungan dengan standar profesi kedokteran

dan kewajiban yang timbul dari standar profesi kedokteran (Fred

Ameln, 1985 :56-57).

Fred Ameln menambahkan sedangkan hak seorang dokter


mencakup :

1) Hak untuk bekerja menurut standar medik

2) Hak menolak pelaksanaan tindakan medik, karena secara

professional tidak dapat dipertanggungjawabkannya

3) Hak melakukan tindakan medik yang menurut suara hatinya

tidak baik.

4) Hak mengakhiri hubungan dengan pasien.

5) Hak atas privasi dokter

6) Hak atas informasi pertama dalam menghadapi pasien yang tidak

puas terhadap dokter

7) Hak atas balas jasa

8) Hak atas pemberian penjelasan yang lengkap oleh pasien tentang

penyakinya.

9) Hak membela diri

10) Hak memilih pasien

11) Hak menolak memberi keterangan tentang pasien di pengadilan.

Selain itu hak dan kewajiban dokter juga di atur dalam Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Pasal 50 : Dokter dan Dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai hak :

(a) memperoleh perlindungan hukum sepanjang

melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan

standar prosedur operasional ;

(b) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi

dan standar prosedur operasional ;

(c) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien

atau keluarganya ;
(d) Menerima imbalan jasa.

Pasal 51

Dokter dan Dokter gigi dalam melaksanakan praktik

kedokteran mempunyai kewajiban :

(a) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar

profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan

medis pasien;

(b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang

mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik,

apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau

pengobatan ;

(c) merahasiakan segala sesuatu yang di ketahuinya tentang

pasien , bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;

(d) melakukan pertolongan darurat atas dasar

perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain

yang bertugas dan mampu melakukannya ;

(e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti

perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.

Tanggung jawab hukum yang timbul berkaitan dengan

pelaksanaan profesi dokter, menurut Any Isfandyarie dapat dibedakan

antara lain :

1) Tanggung jawab terhadap ketentuan profesionalnya yang termuat

dalam Keputusan Menteri Kesehatan RI

Nomor.434/Men.Kes/SK/X/1983 tentang Kode Etik Kedokteran.

2) Tanggung jawab terhadap ketentuan hukum yang tercantum dalam

Undang-Undang, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) beserta hukum acaranya (KUHAP), Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata)
beserta hukum acaranya
yang terdapat dalam Herziene Island Reglement (HIR), UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen

dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran (Any Isfandyarie, 2006 :

3).Dalam pertanggungjawaban hukum seorang dokter sebagai

pengemban profesi , dokter harus selalu bertanggungjawab dalam

menjalankan profesinya. Hal tersebut di karenakan tanggung jawab

dokter dalam hukum sedemikian luasnya, maka dokter juga harus

mengerti dan memahami ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku

dalam pelaksanaan profesinya. Termasuk didalamnya tentang

pemahaman hak-hak dan kewajiban dalam menjalankan profesinya.

Kesadaran dokter terhadap kewajiban hukumnya baik terhadap diri

sendiri maupun terhadap orang lain dalam menjalankan profesinya

harus benar-benar dipahami oleh dokter sebagai pengemban hak dan

kewajiban. Kewajiban hukum pada intinya menyangkut apa yang

boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang tidak

seharusnya dilakukan dalam menjalankan profesi dokter.

Kewajiban hukum dokter mencakup kewajiban hukum yang

timbul karena profesinya dan kewajiban yang timbul dari perjanjian

terapeutik yang dilakukan dalam hubungan dokter dengan pasien.

Kewajiban tersebut mengikat setiap dokter yang selanjutnya

menimbulkan tanggung jawab hukum bagi diri dokter yang

bersangkutan. Dalam menjalankan kewajiban hukumnya, diperlukan

adanya ketaatan dan kesungguhan dari dokter tersebut dalam

melaksanakan kewajiban sebagai pengemban profesi (Any Isfandyarie,

2006 :4).

Munir Fuady membagi kewajiban hukum yang utama dari

seorang dokter menjadi 4 hal yang terdiri dari :


1) Kewajiban melakukan diagnosis penyakit

2) Kewajiban mengobati penyakit

3) Kewajiban memberikan informasi yang cukup kepada pasien

dalam bahasa yang dimengerti oleh pasien, baik diminta maupun

tidak

4) Kewajiban untuk mendapatkan persetujuan pasien (tanpa paksaan

atau penekanan) terhadap tindakan medik yang akan dilakukan

oleh dokter setelah dokter memberikan informasi y yang cukup dan

dimengerti oleh pasien (Munir Fuady, 2005 : 48).

Any Isfandyarie menambahkan keterikatan dokter terhadap

ketentuan – ketentuan hukum dalam menjalankan profesinya

merupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter yang

pada dasarnya meliputi 3 bentuk pertanggungjawaban, yaitu :

a) Bidang hukum administrasi yang dimuat dalam Undang-Undang

Nonor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

b) Bidang Hukum Pidana, terdiri dari :

· Undang-Undang Hukum Pidana (UU No.1 Tahun 1946), antara

lain : Pasal 48-51, Pasal 224, Pasal 267, Pasal 268, Pasal 322,

Pasal 344-361, Pasal 531 KUHP.

· Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun

1992 tentang Kesehatan.

· Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun

2004 tentang Praktik Kedokteran.

c) Bidang Hukum Perdata, terdiri dari :

· Buku III Burgelijk Wetbook (BW) tentang hukum perikatan

(Pasal 1239, Pasal 1365, Pasal 1366, Pasal 1367).


· Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

13. Menjelaskan prosedur penulisan “examination Report”

VeR!!!

Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut:

1. Pro Justitia Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu
bermeterai. 2. Pendahuluan Memuat identitas pemohon VeR, tanggal dan pukul diterimanya
permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa:
nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat
dilakukan pemeriksaan

3. Pemberitaan (hasil pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang
diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga
tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan
garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat),
jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada
pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada
pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari

: a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang
diriwayatkan yang menyangkut tentang ‘penyakit’ yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan
atau tindak pidana atau diduga kekerasan.

b. Hasil pemeriksaan, yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban
hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis)

c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, yakni alasan tidak
dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada
saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari
kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang
diambil.

d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting untuk
pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6
(enam) unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka,
dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

4. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta
yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan
dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan
kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil
pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan
kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan VeR adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di
dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum.
Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil
temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

5. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat
sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji
lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.

REKAM MEDIS!!

Berdasarkan Permenkes Nomor 269/MenKes/Per/III/2008, tentang Rekam Medis, isi rekam medis secara
umum dikelompokkan atas empat bagian yaitu rekam medis pasien rawat jalan, rekam medis pasien rawat
inap, rekam medis pasien gawat darurat dan rekam medis pasien dalam keadaan bencana.

Juga terdapat isi rekam medis khusus yaitu untuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang dapat
dikembangkan sesuai kebutuhan dan juga rekam medis untuk pelayanan di ambulans atau pengobatan
massal. Isi rekam medis berdasarkan pembagian di atas adalah sebagai berikut:
a) Rekam medis pasien rawat jalan sekurang-kurangnya berisi:

1. Identitas pasien;

2. Tanggal dan waktu;

3. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

4. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

5. Diagnosis;

6. Rencana penatalaksanaan;

7. Pengobatan dan/atau tindakan;

8. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien;

9. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik; dan

10. Persetujuan tindakan bila diperlukan.

b) Rekam medis pasien rawat inap sekurang-kurangnya berisi:

1. Identitas pasien;

2. Tanggal dan waktu;

3. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

4. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

5. Diagnosis;
6. Rencana penatalaksanaan;

7. Pengobatan dan/atau tindakan;

8. Persetujuan tindakan bila diperlukan.

9. Catatan observasi klinis dan hasil pengobatan;

10. Ringkasan pulang (discahrge summary);

11. Nama dan tanda tangan dokter, dokter didi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;

12. Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan

13. Untuk pasien kasus gigi dilengkapi dengan odontogram klinik.

c) Rekam medis pasien gawat darurat sekurang-kurangnya berisi:

1. Identitas pasien;

2. Kondisi saat pasien tiba di sarana pelayanan kesehatan;

3. Identitas pengantar pasien;

4. Tanggal dan waktu;

5. Hasil anamnesis, mencakup sekurang-kurangnya keluhan dan riwayat penyakit;

6. Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang medik;

7. Diagnosis;

8. Pengobatan dan/atau tindakan;

9. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak
lanjut;

10. Nama dan tanda tangan dokter, dokter didi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;

11. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan
kesehatan lain; dan

12. Pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.

You might also like