Professional Documents
Culture Documents
Laporan Tutorial Case 3
Laporan Tutorial Case 3
Page 1
You were a third-yeae medical student in traumatology emergency room. You were
introduced to Mrs. Sutirma, a 56-year old patient with multiple injuries due to an accident
while getting robbed. The police brought her to the emergency department along with a
medical report request (Visum et Repertum). She came in a bad general condition with
decreased of consciousness. The doctor in charge performed physical examination.
On primary survey :
1. Airway and cervical control : no stridor, airway through left nostril was free, right
nostril was blocked by blood clot.
2. Breathing and ventilation : no bruises on chest, respiratory rate was 24 x/minute,
symmetrical for both sides.
3. Circulation : warm extremities, capillary refill time < 2, pulse rate 120 x/minute, blood
pleasure : 120/80 mmHg. There was minimal bleeding coming out from the mouth.
4. Disability and neurologic status : eyes, open to verbal stimuli. Motoric, obey
command.
Verbal, unproper answering. (Glasgow Coma Scale 13)
Pupils or right and left eye were 3 mm in diameter, light reflex +/+. Motoric : no
paresis.
5. Exposure and environment control was performed.
Page 2
After Mrs. Sutirma was stabilized, the doctor performed secondery survey.
1. History : eyewitness said that Mrs. Sutirma was riding a motorcycle in medium speed
(+- 40 km/hour). There was another motorcycle with her and tried to rob her purse.
The purse got stucked in her neck, she fell down and the robbers took her purse. She
was brought to peripheral hospital with blood coming out from her nose, her lacerated
wound was sutured by the ER doctor.
2. Physical examination :
- Head : swelling at her right face. Laceration to right cheek, upper and lower lips
without any active bleeding, with the sizes of 1x ½ cm to 5 x ½ cm. the wound
edges were irregular and had a base of subcutis tissue. Excoriated wound at her
right cheek and mandible. Hematoma at right temporal region.
- Eyes : edema of the lower eyelids, eyeballs moved freely to all directions, vision :
difficult to be examined, pupils : round and responsive to light.
- Nose : no deformity of the nasal bone. There were some blood clots inside nostrils.
- Ears : normal appereance on both sides, no bleeding, tympanic membranes were
intact.
- Mouth : edema of the right jaw, laceration of the upper lip, tooth loss of central
incisor of right upper jaw, lateral incisor and canine of left lower jaw, without any
active beelding. There was bone discontinuity and malocclusion upon closing the
jaw.
- Neck : within normal limits.
- Chest : within normal limits.
- Abdomen : within normal limits.
- Extremities : within normal limits.
- Genital : within normal limits.
- Neurology : within normal limits.
Page 3
Laboratory findings :
Haemoglobin : 12 gr/dL
O typing.
Thrombocyte : 280,000/mm2.
Bleeding time : 1.
Clotting time : 6
Skull, waters, cervical photos : right zygomaticomaxillary fracture, left parasymphysial
comminutive mandible, and right linear temporal fracture.
Page 4
Mrs. Sutirma asked the surgeon whether there will be scars upon the facial laceration?
INFO LAIN
1. Visum et repertum
Keterangan tertulis yang dibuat dokter atas permintaan tertulis (resmi) penyidik
tentang pemeriksaan medis terhadap seorang manusia baik hidup maupun mati
ataupun bagian dari tubuh manusia, berupa temuan dan interpretasinya, di bawah
sumpah dan untuk kepentingan peradilan. Kemudian juga digunakan bukti yang
sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan,
maupun yang berakibat kematian.
2. Stridor
suara kasar atau serak bernada tinggi atau rendah, yang muncul setiap tarikan atau
hembusan napas. Bising napas tambahan ini terjadi akibat penyempitan atau
terhalangnya sebagian saluran pernapasan bagian atas. Stridor dikenal juga sebagai
suara mengorok atau mendengkur.
3. Nostril
Lubang atau cupang hidung.
4. Paresis
Karakteristik dari kelemahan otot atau separuh kelumpuhan.
5. Capillary refill time
Tes yang dilakukan cepat pada daerah kuku untuk memonitori dehidrasi dan
jumlah aliran darah ke jaringan (perfusi).
6. Laceration
Pola luka atau cidera dimana kulit dan jaringan di bawahnya terpotong hingga
epidermis atau biasanya dermis-jaringan subkutan.
7. Excoriation
Pola luka atau cidera dimana bagian kulit tergores, terkelupas, atautergerus karena
gesekan atau erosi.
8. Hematoma (memar)
Kumpulan darah tidak normal di luar pembuluh darah. Sekelompok sel darah yang
telah mengalami ekstravasasi, biasanya menggumpal baik di dalam organ,
intersitium, jaringan dan otak. Biasanya berwarna hitam atau biru pada awalnya,
dan berubah warnanya seiring proses penyembuhan.
9. Light reflex
Refleks yang mengontrol diameter pupil sebagai respons terhadap intensitas
cahaya yang jatuh pada sel-sel ganglion retina di belakang mata, membantu
adaptasi penglihatan ke berbagai tingkat terang dan gelap.
10. Multiple injuries
Beberapa luka yang terdapat pada organ tubuh manusia.
11. Traumatology ER
Ruangan di rumah sakit yang berfungsi untuk menangani pasien-pasien yang luka
yang disebabkan oleh kecelakaan atau kekerasan kepada seseorang, dan terapi
bedah dan perbaikan kerusakan.
12. Blood clot
Proses pembekuan darah pada hemostasis.
13. Maloclusion
Gerak yang tidak normal.
14. Epidural
Salah satu bentuk bius lokal yang digunakan untuk membuat bagian tertentu pada
tubuh hingga mati rasa.
15. Debridement
Prosedur tindakan yang dilakukan untuk mengangkat jaringan sendi, tulang rawan,
atau tulang tetap yang mengalami kerusakan atau terinfeksi.
16. Pemeriksaan bleeding time
uji laboratorium untuk menentukan lamanyatubuh menghentikan perdarahan
akibat trauma yang dibuat secara laboratoris. Pemeriksaanini mengukur
hemostasis dan koagulasi.
17. Pemeriksaan Clothing time
Dalam tes ini hasilya menjadi ukuran aktivitas faktor-faktor pembekuan
darah,terutama faktor-faktor yang membentuk tromboplastin dan faktor yang
berasal dari trombosit.
Peta Masalah
Secondary survey :
Pemeriksaan pelengkap :
- Pengecekan darah :
a. HB (N)
b. Blood cells naik
c. Tombosit (N)
d. Bleeding time
e. Clotting time
- X-ray : Skull, waters, cervical photos :
right zygomaticomaxillary fracture, left
parasymphysial comminutive mandible,
and right linear temporal fracture.
- CT-Scan : epidural hematoma at right
temporal region.
Diagnosis : Zygomaticomaxillary fracture, left
parasymphysial comminutive mandible
fracture, right linear temporal fracture, multiple
facial lacerations, moderate head injury, and
epidural hematoma on right temporal.
Tata laksana :
- Debridemenet
- Close the wound
- ORIF
Daftar Masalah
1. Multiple injury apa saja yang dialami oleh Mrs. Sutirma?
2. Apa yang menyebabkan hidung kanan tersumbat bekuan darah?
3. Apa saja jenis visum et repertum?
4. Siapa saja yang bisa melakukan visum et repertum?
5. Apa yang menyebabkan keluar darah melalui mulut?
6. Mengapa terjadi peningkatan nadi dan RR?
7. Apa perbedaan laserasi dan ekskoriasi?
8. Bagaimana penangan luka laserasi dan ekskoriasi?
9. Bagaimana mekanisme terjadinya pembengkakan?
10. Mengapa INBC terjadi peningkatan jumlah normal?
11. Mengapa terjadi pemendekan bleeding time dan clotting time?
12. Ada berapa jenis x-ray, fungsi dan kegunaannya?
13. Apa saja yang ditampilkan dan dideteksi menggunakan CT Scan?
14. Indikasi dan kontraindikasi CT Scan?
15. Bagaimana tata laksana head injury untuk < 3 cc?
Hipotesis
1. Kulit muka robek
2. Gagar otak
3. Fracture tulang kepala
Brainstorming
1. Right zygomatico maxillary complex > di kenal sebagai fraktur quadripod. Fraktur
quadripod, fraktur quadromalar dan sebelumnya disebut fraktur tripod atau fraktur
trimolar. Memiliki 4 komponen : dinding orbital lateral (Panjang jahitan zygomatico
frontal superior di sepanjang dinding atau jaringan zygomaticospheroid jahitan lebih
rendah), pemisahan rahang atas zygoma di di sepanjang rahang atas, anterior (dekat
jahitan zygomatriks maxillary), lengkung zygomatik dan lantai orbital dekat kanal
infraorbital.
2. Pada hidung terdapat banyak pembuluh darah kecil yang rapuh, sehinga bila ada cedera
akan sangat mudah berdarah. Robekan pada gendang telinga atau cedera pada liang
telinga dapat memberikan keluhan keluarnya darah dari telinga. Namun, biasanya kedua
hal ini akan muncul segera setelah cedera terjadi.
3. Ekspertise, yaitu VeR khusus yang melaporkan keadaan benda atau bagian tubuh
korban, misalnya darah, mani, liur, jaringan tubuh, tulang, rambut, dan lain-lain. Ada
sebagian pihak yang menyatakan bahwa ekspertise bukan merupakan VeR.
4. Petugas yang Membuat Visum Et Repertum Visum et repertum yaitu
a. Dokter forensic
b. Dokter umum
Jika dokter tidak bertugas atau yang berada di rumah sakit tersebut maka pemeriksaan
Visum Et Repertum dapat dilayani oleh dokter umum
c. Dokter spesialis
dimana bidang spesialis dokter disesuaikan dengan kasus yang diminta pengadilan
example :
5. Perdarahan pada mulut disebabkan oleh adanya trauma yang menyebabkan terajdinya
fraktur pada tulang wajah ( maxilarifacial ) sebagai salah satu pemicu perdarahan pada
mulut setra adanya laserasi pada mulut dan hilangnya gigi pada pasien juga menyebbkan
terjadinya perdarahan.
6. peningkatan denyut nadi karena adanya trauma sehingga terjadinya gangguan pada sinyal
elektrik jantung yang mengatur detak jantung untuk memompa darah, dimana jantung
aakan memompa darah lebih cepat, namun pada saat jantung memompa lebih cepat, darah
yang dipompa akan lebih sedikit yang menyebabkan pasokan oksigen berkurang,dimana
organ tubuh tidak mendapatkan pasokan oksigen yang cukup sehingga tubuh akan
berespon dengan terjadinya peningkatan respirasi untuk memenuhi pasokan oksigen.
9. Mekanisme bengkak
Edema terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol
perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang
menyebabkan retensi natrium dan air, serta perpindahan air dan intravaskular ke
intestinum. Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan intestinum dikenal sebagai
edema.
10. Mengapa terjadi peningkatan White Blood Cells pada pasien?,apakah penyebabnya?
Tingkat kenaikan dan penurunan jumlah leukosit dalam sirkulasi menggambarkan
ketanggapan sel darah putih dalam mencegah hadirnya agen penyakit dan peradangan
(Nordenson, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah leukosit dan diferensialnya
antara lain kondisi lingkungan, umur dan kandungan nutrisi pakan. Diantara faktor-faktor
tersebut, faktor nutrisi memiliki peran yang sangat penting, sebagai contoh yaitu protein
(Addas et al., 2012). Penyebab peningkatan jumlah leukosit ada dua penyebab dasar yaitu:
Reaksi yang tepat dari sumsum tulang normal terhadap:
1. Stimulasi eksternal : Infeksi yang disebabkan oleh beberapa bakteri : Staphylococcus
epidermidis, Candida sp, Staphylococcus aureus, Streptococcus B hemoliticus,
Streptococcus maltophilia, Serratia sp. Inflamasi (nekrosis jaringan, infark, luka bakar,
artritis)
2. Reaksi alergen obat-obatan (kortikosteroid, lithium, beta agonis).
3. Trauma (splenektomi), anemia hemolitik dan leukemoid maligna (kelainan darah).
Efek dari kelainan sumsum tulang primer (leukemia akut, leukemia kronis kelainan
mieloproliferatif).
Proses inflamasi
Proses inflamasi merupakan reaksi tubuh terhadap benda asing atau adanya mikroorganisme
asing sehingga sebagai reaksi tubuh untuk mempertahankan kekebalan tubuh maka kadar
leukosit dalam darah meningkat.
Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki
vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana,
inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal
jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel.42
Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh
fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat
yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau
menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk
proses penyembuhan.
Respon anti inflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler
dan migrasi leukosit ke jaringan radang.
Obat-obatan pada dasarnya bersifat karsinogenik, bahan kimia yang terkandung didalam obat
akan merangsang tubuh untuk membentuk antibodi salah satunya adalah peningkatan kadar
leukosit dalam darah.
Kegunaan X-Ray
Kegunaan X-Ray utamanya untuk memeriksa dan memonitor kondisi tulang dan sendi. Pada
pasien dengan keluhan seperti patah tulang, osteoporosis, kerusakan gigi, dan radang sendi
(arthritis), X-Ray atau rontgen adalah metode pemeriksaan penunjang yang umum dilakukan.
Akan tetapi, penggunaan X-Ray sejatinya tidak hanya terbatas pada pemeriksaan tulang, gigi,
maupun sendi. Berikut ini informasi lengkap mengenai kegunaan X-Ray dalam pelaksanaan
prosedur pemeriksaan.
Pemeriksaan Tulang dan Gigi
Penggunaan X-Ray atau rontgen untuk memeriksa kondisi tulang dan gigi apabila pasien
terindikasi mengalami penyakit seperti:
- Infeksi atau Kerusakan Tulang
- Radang sendi (arthritis)
- Kerusakan pada gigi atau rahang
- Pengeroposan tulang (osteoporosis)
- Kanker tulang
Seperti yang sudah disebutkan di awal, X-Ray adalah teknik pencitraan dengan memanfaatkan
gelombang elektromagnetik. Elektromagnetik menghantarkan gelombang radiasi yang
selanjutnya melakukan pemindaian terhadap bagian dalam tubuh. Hasil pemindaian ini
nantinya akan menghasilkan warna gambar yang berbeda, bergantung dari kepadatan material
yang dipindai. Atas dasar itu, hasil X-Ray atau rontgen terdiri dari: Warna putih, menunjukkan
tulang dan material padat lainnya Warna hitam, menunjukkan rongga Warna abu-abu,
menunjukkan lemak dan otot tubuh Pada beberapa tes X-Ray, dokter akan menyertakan
medium seperti barium dan iodine guna menambah kontras sehingga gambar yang dihasilkan
akan lebih detail. Barium dan iodine disertakan dengan cara:
-Ultrasonography (USG)
-CT-Scan
Pada sebagian pemeriksaan, X-Ray baru bisa dilakukan setelah pasien menjalani
puasa guna mengosongkan perut. Hal ini penting agar tidak mengganggu hasil pemindaian
bagian dalam tubuh pasien.
- X-Ray baru bisa dilakukan setelah pasien menjalani puasa guna mengosongkan perut. Hal ini
penting agar tidak mengganggu hasil pemindaian bagian dalam tubuh pasien, akan tetapi
puasa dilakukan pada pemeriksaan tertentu saja
-Dokter atau radiologis akan mengarahkan posisi tubuh pasien, tujuannya untuk mendapatkan
citra terbaik dari bagian dalam tubuh. Pasien akan diminta untuk berada dalam sejumlah posisi
seperti berbaring atau duduk
-Apabila posisi sudah tepat, pasien tidak diperkenankan untuk menggerakkan tubuh. Pasalnya,
banyak bergerak akan mengganggu proses pemindaian sehingga berdampak pada tidak
maksimalnya citra bagian dalam tubuh
-Pemeriksaan akan dihentikan apabila dokter atau radiologis telah mendapat informasi yang
diinginkan
X-Ray adalah teknik pencitraan yang paling sederhana. Hasil rontgen juga dapat
diketahui hanya dalam hitungan menit. Hal ini menjadi kelebihan dari X-Ray, yakni efisien
dari segi waktu dan tentu saja biaya yang harus dikeluarkan.
-Gatal
-Mual
-Pusing
-Mulut terasa tidak nyaman
-Syok anafilaktik
Risiko X-Ray
Sayangnya, paparan radiasi X-Ray jika terlalu sering bisa berakibat pada kerusakan
DNA. Rusaknya DNA pun pada perkembangannya bisa meningkatkan risiko kanker.
Tak hanya itu, pemindaian sinar X-Ray pada abdomen, ginjal, pinggul, dan pelvis
dalam yang dilakukan pada ibu hamil dikabarkan dapat memengaruhi janin yang tengah
dikandungnya. Oleh sebab itu, umumnya dokter tidak akan menerapkan teknik ini pada ibu
hamil demi mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.
13. CT (computed tomography) scan adalah prosedur yang menggabungkan serangkaian gambar X-ray
yang diambil dari berbagai sisi di sekitar tubuh seseorang. Pemeriksaan ini menggunakan komputer
untuk membuat gambar cross-sectional tulang, pembuluh darah, dan jaringan lunak yang ada di
dalam tubuh orang tersebut. Prosedur ini menunjukkan gambar yang lebih detail daripada X-ray
biasa. CT scan bisa digunakan untuk memvisualisasikan hampir semua bagian tubuh dan untuk
mendiagnosis penyakit atau cedera. Dengan begitu, dokter dapat merencanakan perawatan medis
yang bisa dilakukan, seperti bedah atau radiasi.
Fungsi:
Sebagai bagian dari prosedur, seperti operasi, biopsi, dan terapi radiasi.
Mendeteksi dan memantau kondisi penyakit seperti kanker, penyakit jantung, nodul paru, dan massa
hati.
Pemeriksaan CT Scan ini menggunakan paparan radiasi dalam jumlah yang jauh lebih besar
dibandingkan penggunaan sinar radiasi pada foto rontgen biasa, namun resiko atau efek samping yang
ditimbulkan sangatlah kecil. Selama pemeriksaan berlangsung, pasien tidak akan merasakan sakit
sama sekali. CT Scan tidak menimbulkan efek samping dalam jangka panjang, sehingga sangat kecil
kemungkinan untuk terjadinya kanker karena menjalani pemeriksaan ini.
Apabila pemeriksaan CT Scan menggunakan zat kontras, maka dapat timbul reaksi alergi pada orang-
orang yang sensitif terhadap zat tersebut. Reaksi alergi ini pada umumnya ringan, berupa gatal atau
timbul kemerahan pada kulit, dapat diatasi dengan penggunaan obat antihistamin. Jarang sekali reaksi
alergi yang dapat mengancam nyawa. Walaupun tergolong cukup aman dan tidak menimbulkan efek
samping, pemeriksaan CT Scan tidak dianjurkan pada wanita yang sedang hamil karena sinar radiasi
yang digunakan ditakutkan dapat mengganggu perkembangan janin. Apabila memang kondisi wanita
hamil membutuhkan hasil pemeriksaan yang detail dan akurat, dapat digunakan alternatif pemeriksaan
lain seperti USG atau MRI yang tidak menggunakan paparan radiasi sehingga aman untuk janin.
Bila telah stabil pasien dirujuk ke fasilitas rumah sakit yang memiliki sarana dokter
spesialis bedah saraf.
Epidural hematoma dengan gejala minimal, tidak ada defisit neurologis fokal, tidak ada
tanda herniasi dapat, diberikan terapi, dengan medikamentosa, dengan observasi
neurologis ketat. Transfer/Rujukan ke fasilitas Rumah Sakit dengan sarana/spesialis bedah
sarah, dilakukan pada keadaan :
- Suspek fraktur skull atau trauma penetrating (tanda fraktur basis kranii, fraktur
depress terbuka
-jatuh dari ketinggian lebih dari 1 meter, atau kurang pada batyi, o tabrakan kendaraan
bermotor kecepatan tinggi
- Riwayat kejang
Indikasi pembedahan
Gejala klinis terdapat penurunan kesadaran, defisit neurologis lokal, tanda herniasi dan
gangguan kardiopulmonal.
Dari CT Scan: epidural hematoma dengan volume >30 cc, tebal > 1 cm dan
pergeseran struktur midline <5mm
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi kepala
lateral view
tulang wajah
2. Tengkorak wajah pada manusia bentuknya lebih kecil dari tengkorak otak.
Didalam tengkorak wajah terdapat rongga-rongga yang membentuk rongga mulut
(cavum oris), dan rongga hidung (cavum nasi) dan rongga mata (orbita). Tengkorak
wajah dibagi atas dua bagian:
B. Otot-otot Kepala
Cranial Mucle Lateral View
*Otot-otot Leher
3. Muskulus longisimus kapitis, terdiri dari splenius dan semispinalis kapitis. Ketiga
otot ini terdapat di belakang leher, terbentang dari belakang kepala ke prosesus
spinalis korakoid. Fungsinya untuk menarik kepala belakang dan menggelengkan
kepala.
Luka dapat sembuh dengan sendirinya melalui perawatan secara mandiri di rumah.
Perawatan luka secara mandiri bisa dilakukan jika luka tidak terlalu dalam, tidak
berada di bagian tubuh berbahaya, misalnya di wajah, dan pendarahan berhentidalam
waktu singkat atau sekitar 10 menit saja.
Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap pathogen dan alterasi mekanis dalam
jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan yang mengalami cidera
Peradangan adalah sinyal dimediasi menanggapi seluler oleh agen infeksi, racun, dan
tekanan fisik. Sementara peradangan akut adalah penting bagi respon kekebalan tubuh,
peradangan kronis yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan jaringan cautoimunitas,
neurodegenerative, penyakit kardiovaskular.
Produksi sitokin inflamasi kronis yang berlebihan berkontribusi pada penyakit radang,
yang telah dikaitkan dengan berbagai penyakit, seperti arterosklerosis dan kanker. Disregulasi
juga dikaitkan dengan depresi dan penyakit neurologis lainnya. Keseimbangan antara sitokin
proinfamasi dan antiinflamasi diperlukan untuk menjaga kesehatan.
Luka didefinisi sebagai suatu kerusakan integritas epitel dari kulit atau terputusnya
kesatuan struktur anatomi normal dari suatu jaringan akibat suatu trauma. Luka dapat
disebabkan oleh trauma tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia, sengatan listrik, dan
lainnya. Ada beberapa cara untuk membuat klarifikasi luka. Luka dapat diklarifikasi sebagai
akut dan kronis sebagai berikut :
a. Berdasarkan sifat luka :
Aberasi
Luka dimana lapisan terluar dari kulit tergores, luka tersebut akan sangat myeri
dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi, karena benda asing dapat
masuk kelapisan kulit yang lebih dalam (jaringan subkutan). Pendarahan
biasanya sedikit.
Punktur (luka tusuk)
Merupakan cedera penetrasi. Penyebabnya berkisar dari paku sampai pisau.
Walaupun pendarahan nyata seringkali sedikit, kerusakan jaringan internal dan
pendarahan dapat meluas dan mempunyai resiko tinggi terhadap infeksi
sehubungan ada benda asing pada tubuh.
Avulasi
Akibat jaringan tubuh bersobek. Avulasi seringkali dihubungkan dengan
pendarahan yang hebat. Kulit kepala dapat tersobek dari tengkorak pada cedera
degloving
Insisi (luka sayatan)
Terpotong dengan kedalaman yang bervariasi. Hal ini seringkali menimbulkan
pendarahan hebat dan kemungkinan bias terdapat kerusakan pada struktur
dibawahinya sedemikian rupa seperti saraf, otot atau tendon. Luka seperti ini
harus dilindungi untuk menghambat terjadinya infeksi.
Iaserasi
Luka bergerigi yang tidak teratur. Seringkali meliputi kerusakan jaringan yang
berat. Luka ini erring menyebabkan pendarahan yang serius menyebablan
pasien syok hipovolemik
Decubitus
Kerusakan kulit yang terjadi akibat kekurangan darah dan iritasi pada kulit
yang manutupi tulang yang menonjol dimana kulit tersebut mendapatkan
tekanan dari tempat tidur.
7.
Primary
Survei ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure) ini disebut survei
primer yang harus selesai dilakukan dalam 2 - 5 menit. Terapi dikerjakan serentak jika korban
mengalami ancaman jiwa akibat banyak sistim yang cedera :
Airway Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat bicara dan bernafas dengan bebas ?
Jika ada obstruksi maka lakukan :
• Chin lift / jaw thrust (lidah itu bertaut pada rahang bawah) • Suction / hisap (jika alat
tersedia)
• Guedel airway / nasopharyngeal airway
• Intubasi trakhea dengan leher di tahan (imobilisasi) pada posisi netral Breathing Menilai
pernafasan cukup. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas.
Jika pernafasan tidak memadai maka lakukan :
• Dekompresi rongga pleura (pneumotoraks)
• Tutuplah jika ada luka robek pada dinding dada
• Pernafasan buatan Berikan oksigen jika ada.
Sirkulasi
Menilai sirkulasi / peredaran darah. Sementara itu nilai ulang apakah jalan nafas bebas dan
pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai maka lakukan :
• Hentikan perdarahan eksternal
• Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14 - 16 G)
• Berikan infus cairan
Disability
Menilai kesadaran dengan cepat, apakah pasien sadar, hanya respons terhadap nyeri atau sama
sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur Glasgow Coma Scale AWAKE = A
RESPONS BICARA (verbal) = V RESPONS NYERI = P TAK ADA RESPONS = U Cara ini
cukup jelas dan cepat.
Eksposure Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cedera yang
mungkin ada. Jika ada kecurigaan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in-line
harus dikerjakan.
Secondary
Anamnesis :
Riwayat “AMPE” yang harus diingat yaitu :
A : Alergi
Pemeriksaan fisik :
b. Tingkat kesadaran
d. Trauma, kelainan
e. Keadaan kulit
b. Telinga
c. Mata
Perlukaan, pembengkakan, perdarahan, reflek pupil, kondisi kelopak mata, adanya benda
asing, pergerakan abnormal
d. Hidung
Perlukaan, darah, cairan, nafas cuping hidung, kelainan anatomi akibat trauma
e. Mulut
Perlukaan, darah, muntahan, benda asing, gigi, bau, dapat buka mulut/ tidak
f. Bibir
h. Kulit
i. Leher
Perlukaan, bendungan vena, deviasi trakea, spasme otot, stoma, stabilitas tulang leher
3. Periksa dada
Flail chest, nafas diafragma, kelainan bentuk, tarikan antar iga, nyeri tekan, perlukaan (luka
terbuka, luka mengisap), suara ketuk/perkusi, suara nafas
4. Periksa perut
6. Periksa pelvis/genetalia
Perlukaan, angulasi, hambatan pergerakan, gangguan rasa, bengkak, denyut nadi, warna luka
Perhatian !
2. Pada kasus trauma, pemeriksaan setiap tahap selalu dimulai dengan pertanyaan adakah :
D-E-C-A-P-B-L-S
D : Deformitas
E : Ekskoriasi
C : Contusio
A : Abrasi
P : Penetrasi
B : Bullae/Burn
L : Laserasi
S : Swelling/Sembab
P-I-C
P : Pain
I : Instabilitas
C : Crepitas
Pengelolaan fraktur secara umum mengikuti prinsip pengobatan kedokteran pada umumnya,
yaitu jangan mencederai pasien, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat, pemilihan
pengobatan dengan tujuan tertentu, mengikuti “law of nature”, pengobatan yang realistis dan
praktis, dan memperhatikan setiap pasien secara individu. Prinsip penanganan fraktur adalah
mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi
itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Pada anak-anak reposisi yang
dilakukan tidak harus mencapai keadaan sempurna seperti semula karena tulang mempunyai
kemampuan remodeling. Penatalaksanaan umum fraktur meliputi menghilangkan rasa nyeri,
Menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur, Agar terjadi penyatuan
tulang menggerakkan daerah fraktur) dan dapat diberikan obat penghilang nyeri. Teknik
kembali, Untuk mengembalikan fungsi seperti semula. Untuk mengurangi nyeri tersebut,
dapat dilakukan imobilisasi, (tidak pempertahankan posisi dalam waktu yang lama. Untuk itu
diperlukan teknik seperti konsolidasi? Tidak ada jawaban yang tepat mungkin karena faktor
usia, konstitusi,imobilisasi dapat dilakukan dengan pembidaian atau gips. Bidai dan gips tidak
dapat pemasangan traksi kontinu, fiksasi eksteral, atau fiksasi internal.
Berapa lama patah tulang diperlukan untuk bersatu dan sampai terjadi suplai darah, jenis
fraktur dan faktor lain mempengaruhi sepanjang waktu diambil. Prediksi yang mungkin
adalah timetable Perkins yang sederhana. Fraktur spiral pada ekstremitas atas menyatu dalam
3 minggu, untuk konsolidasi kalikan dengan 2; untuk ekstremitas bawah kalikan dengan 2
lagi; untuk fraktur transversal kalikan lagi oleh 2. Sebuah formula yang lebih sophisticated
adalah sebagai berikut. Sebuah fraktur spiral pada ekstremitas atas memakan waktu 6-8
minggu untuk terjadinya konsolidasi. Ekstremitas bawah membutuhkan dua kali lebih lama.
Tambahkan 25% jika bukan fraktur spiral atau jika melibatkan tulang paha. Patah tulang
anak-anak, tentu saja, Angka-angka ini hanya panduan kasar, harus ada bukti klinis dan
menyatu lebih cepat. radiologis terkait konsolidasi sebelum tekanan penuh diperbolehkan
tanpa splintage.
Imobilisasi yang lama akan menyebabkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. dan
imobilisasi, Imobilisasi dengan fiksasi, Reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan
imobilisasi, Reposisi dengan traksi, Reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar,
Reposisi secara nonoperatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara
operatif. Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
fiksasi interna, Eksisi fragmen fraktur dan menggantinya dengan dislokasi fragmen patahan
yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan kecacatan dikemudian
hari. Contoh adalah pada fraktur kosta, fraktur Oleh karena itu diperlukan upaya mobilisasi
secepat mungkin. Beberapa penatalaksanaan fraktur secara ortopedi meliputi proteksi tanpa
reposisi prosthesis. Proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi digunakan pada penanganan
fraktur dengan klavikula pada anak-anak, fraktur vertebrae dengan kompresi minimal. Pada
imobilisasi dengan fiksasi dilakukan imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan
imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan fraktur
tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting. Tindakan reposisi dengan cara manipulasi diikuti
dengan imobilisasi dilakukan pada fraktur dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada
fraktur radius distal. Reposisi dengan traksi dilakukan terus-menerus selama masa tertentu,
misalnya beberapa minggu, kemudian diikuti dengan imobilisasi. Tindakan ini dilakukan pada
fraktur yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali dalam gips. Cara ini
dilakukan pada fraktur dengan otot yang kuat, misalnya fraktur femur. Reposisi diikuti
dengan imobilisasi dengan fiksasi luar dilakukan untuk fiksasi fragmen patahan tulang,
dimana digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi
disatukan secara kokoh dengan batangan logam di kulit luar. Beberapa indikasi pemasangan
fiksasi luar antara lain fraktur dengan rusaknya jaringan lunak yang berat (termasuk fraktur
terbuka), dimana pemasangan internal fiksasi terlalu berisiko untuk terjadi infeksi, atau
diperlukannya akses berulang terhadap luka fraktur di sekitar sendi yang cocok untuk internal
fiksasi namun jaringan lunak terlalu bengkak untuk operasi yang aman, asien dengan cedera
multiple yang berat, fraktur tulang panggul dengan perdarahan hebat, atau yang terkait dengan
cedera kepala secara operatif, misalnya reposisi patah tulang pada fraktur kolum femur.
Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi, setelah tereposisi, dilakukan
fiksasi interna dilakukan, misalnya pada fraktur femur, tibia, humerus, atau lengan bawah.
Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pen di dalam sumsum tulang panjang, bisa juga plat
dengan skrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah dapat dicapai
reposisi sempurna, dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak
diperlukan pemasangan gips lagi dan segera bisa dilakukan imobilisasi. Indikasi pemasangan
fiksasi interna adalah fraktur tidak bisa di reduksi kecuali dengan operasi, fraktur yang tidak
stabil dan cenderung terjadi displacement kembali setelah reduksi fraktur dengan penyatuan
yang buruk dan perlahan (fraktur femoral neck), fraktur patologis, fraktur multiple dimana
dengan reduksi dini bisa fraktur dengan infeksi.Reposisi dilakukan secara non-operatif diikuti
dengan pemasangan fiksator tulang pemasangan prosthesis secara operatif pada kolum femur.
Reposisi secara operatif dikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan
meminimkan komplikasi, fraktur pada pasien dengan perawatan yang sulit (paraplegia, fraktur
kolum femur. Caput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan prosthesis. Tindakan
ini diakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur.
Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama trauma kepala
dengan prosentase diatas 50%.
Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar seperlima trauma
kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya 15% dari total trauma kepala di
populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit
mempunyai GCS antara 3-11.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 14-30 per 100.000
penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah sakit berkisar sangat lebar antara
4 – 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit.
Patofisiologi
Mekanisme yang menyebabkan koma masih belum terpecahkan dengan jelas. Pada
pemeriksaan dengan menggunakan MRI akan terlihat abnormalitas sebesar 90%
sedangkan bila menggunakan CT Scan akan terlihat sebesar 50%. Penurunan aktivitas
mental pada coma direfleksisksn melalui penurunan aliran darah otak dan metabolisme otak.
Trauma kepala berat akan tergambar sebagai trauma kepala yang berefek kondisi
koma minimum 6 jam lamanya.kemungkinan disebabkan oleh 2 mekanisme, yaitu :
b. Ischemia
Cedera kepala merupakan proses yang dinamis dam memiliki variabel-variabel yang
saling berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan otak sekunder. Target dari
penanganan trauma kepala adalah mencegah kerusakan sekunder karena komplikasi
intrakranial dan ektrakranial; dan menyediakan kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk
memaksimalkan proses penyembuhan.
Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum adalah hipoksia dan syok,
sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah diagnosa atau penundaan diagnosa
perdarahan intrakranial.
Manajemen Respirasi
Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh karena itu
oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas.
BGA yang diambil saat trauma dan saat masuk rumah sakit menunjukkan bahwa
hiperkapnea berkorelasi dengan derajat keparahan cedera kepala. GCS dibawah 9
dihubungkan dengan kadar PaCO2 diatas 50 mmHg. Intubasi endotrakeal harus
dipertimbangkan apabila baik patensi jalan nafas dan ventilasi spontan yang adekuat tidak
dapat dipertahankan.
Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi 1 jam setelah
trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda lebih dari 1 jam. Bantuan
ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 dibawah 93%, PaO2 kurang dari 70mmHg, dan PaCO 2
lebih dari 45mmHg.
Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi, tiopenthal dan atau
lidokain, relaksan short acting intravena, dengan penekanan krikoid. Nasal intubasi tidak
dianjurkan karena resiko perdarahan dan kemungkinan FBC. Intubasi pasien dugaan fraktur
cervical harus ditraksi dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan scholin
Respirasi dapat memburuk karena disfungsi SSP. Hipoksia sekunder karena cedera
otak biasanya merespon terhadap pemberian PEEP atau CPAP. Bila penyebab
memburuknya respirasi karena overload cairan, dapat dikoreksi dengan loop diuretik seperti
furosemide; sebaiknya tidak dengan diuretik osmosis seperti mannitol.
Stabilisasi Cardiovaskuler
Target yang dituju adalah perfusi otak. Pada anak, perdarahan intrakranial dapat
menyebabkan hipovolemia. Pada dewasa, hipovolemia disebabkan cedera organ lain atau
kerusakan batang otak. Pasca trauma, autoregulasi otak menjadi rusak, sehingga penting
untuk mempertahankan CPP.
Penilaian Neurologis
Evaluasi awal seharusnya meliputi informasi waktu, lokasi, dan mekanisme cedera.
Penilaian meliputi tingkat kesadaran, pemeriksaan mata, dan penilaian fungsi batang otak.
Durasi dan kedalaman tingkat ketidaksadaran berkorelasi dengan kedalaman lesi trauma
otak.
Pemeriksaan neurologi lengkap hanya bisa dilakukan pada pasien yang sadar dan kooperatif
Studi Diagnostik
Fraktur liner tertentu, termasuk fraktur yang melewati arteri meningea media, major
venous sinuses, dan fraktur yang meluas di basis cranii, membawa resiko yang lebih besar
terjadinya hematom intrakranial dan kebocoran cairan serebrospinalis. Tidak seperti
angiografi atau ventriculografi, CT scanning mampu membedakan antara oedema otak,
kontusio dan hematom.
Antara 30-40 % pasien dengan cedera kepala berat awalnya gambaran CT scannya
normal. Beberapa pasien yang mengalami perburukan neurologi atau yang gagal mencapai
perbaikan yang diinginkan seharusnya dilakukan pengulangan CT scan. Semua pasien
dengan GCS kurang dari 12 seharusnya diperiksa dengan CT scan, perkecualian untuk
pasien yang terlihat gejala klasik dan tanda-tanda perluasan cepat perdarahan epidural.
Pada evaluasi cedera otak, MRI tampaknya lebih akurat dalam menggambarkan edema otak
dini, kontusio fokal, dan membedakan higroma dari hematoma subdural kronis. MRI juga
menunjukan prediktor yang lebih baik untuk delayed traumatic intracerebral hematoma
(DTICH)
Kontusio dan laserasi scalp biasanya tidak hanya memberikan bukti terjadinya
trauma kepala tetapi juga mengindikasikan terjadinya kemungkinan lesi ditempat itu.
Rambut dan kotoran biasanya ikut masuk kedalam luka sehingga irigasi dan debridement
jaringan diperlukan. Homeostasis dapat dicapai sementara dengan penekanan luka dan
dengan jahitan galeal. Sebelum merawat laserasi scalp rambut sebaiknya dicukur sedikitnya
2.5 cm pada kedua sisi luka. Avulsi scalp kecil dapat dikoreksi dengan mudah, tetapi avulsi
yang lebih besar umumnya membutuhkan flap scalp.
Fraktur depresi tengkorak dibawah laserasi membutuhkan koreksi bedah dini. Angka
infeksi meningkat pada pasien yang dioperasi lebih dari 24 jam setelah trauma. Tujuan
pembedahan untuk membersihkan jaringan yang mati, elevasi tulang yang terdepresi dan
mengevaluasi dura dan otak dibaliknya. Harus hati-hati untuk tidak memanipulasi fragmen
tulang apapun di ruang gawat darurat, karena fragmen tersebut dapat merupakan
tamponade dari pembuluh darah atau sinus dura yang terlaserasi dan bila diambil dapat
menyebabkan perdarahan intrakranial yang tidak terkontrol.
Prinsip yang sama berlaku pada benda yang telah menembus dan masih berada
dalam kepala, benda tersebut harus dilindungi/ dicegah dari pergerakan apapun, selama
transportasi pasien dari ruang gawat darurat, ke radiologi maupun kamar operasi. Cedera
scalp tangensial kecepatan tinggi tidak akan menembus tengkorak atau menyebabkan
kelainan neurologi awal/dini. Bagaimanapun komplikasi bedah seperti hematoma subdural,
ekstra dural ataupun kortikal. Hemotimpanum, ekkimosis pada area mastoid (battle sign)
atau ekkimosis kelopak mata tanpa perluasan ke alis mata (Racoon Eye), sering
mengindikasikan suatu fraktur basis kranii. Pada kondisi ini, memiliki resiko tinggi seperti
meningitis (25%) dan rhinorrhea cairan serebrospinal.
Terapi
Manajemen cedera kepala akut, juga harus dilakukan pada resusitasi pasien luka
tembak. Tujuan pembedahan untuk membersihkan scalp, tulang, dan jaringan otak yang
mati disekitar jalur peluru dan untuk mengevakuasi hematoma intra maupun extraserebral
apapun. Fragmen tulang adalah sumber utama infeksi, dan harus dipastikan untuk
pengambilan seluruhnya. Peluru dan fragmen metal jarang menyebabkan komplikasi, dan
usaha untuk mengambilnya sebaiknya hanya dilakukan bila aksesnya mudah. Palpasi
jaringan otak dengan gentle disekitar jalur peluru rutin dikerjakan untuk mencari fragmen
tulang yang tersembunyi. Setelah debridement otak selesai, jalur peluru harus tetap terbuka.
Dinding jalur yang kolaps/menutup harus dicurigai sebagai suatu hematoma dari jaringan
disekitarnya.
Angka infeksi dapat diturunkan dengan debridement dini dan penggunaan antibiotik
yang tepat. Studi bakteriologi menunjukkan bahwa bakteri yang tersering ditemukan pada
scalp dan tulang yang rusak adalah coccus gram positif. Karenanya dianjurkan untuk
menggunakan antibiotik antistaphilococcus preoperatif dan dilanjutkan hingga 5-7 hari
setelah debridement.
Prognosa
Tingkat kesadaran setelah luka tembus adalah prediktor mortalitas mayor. Byrness
dkk, melaporkan 100% mortalitas pada 25 pasien koma dalam dan 78% mortalitas pada
pasien yang hanya bereaksi terhadap nyeri dan reflek cahaya menurun. Faktor lain yang
memiliki pengaruh buruk pada prognosa adalah tingginya tekanan darah sistemik (sistolik >
150 mmHg) atau hipotensi (sistolik < 90 mmHg) pada saat MRS. Lebih jauh lagi, luka peluru
yang memotong otak dari sisi ke sisi memberikan resiko mortalitas yang lebih tinggi daripada
bila cedera yang terjadi adalah fronto occipital.
Epidural Hematom
EDH merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada trauma kepala. Penyebab yang
paling sering adalah lacerasi pembuluh darah meningial media dan cabang-cabangnya,yang
disebabkan fraktur bagian squamous tulang temporalis, dan menghasilkan perdarahan di
temporalis.
Kejadian EDH paling besar terjadi umur 15 – 60 tahun. Perdarahan epidural oleh
karena pembuluh darah vena seringkali berkembang lambat, sebaliknya bila disebabkan
oleh arteri berkembang secara cepat dan menyebabkan penekanan batang otak dalam
beberapa jam.oleh karena itu sekali diagnosis dicurigai penanganan seharusnya tidak
ditunda untuk konfirmasi radiologis
Jika hipotensi sistemik tidak diantisipasi dan dicegah otak akan terus bertambah
iskemi. Oleh karena itu ketika preoperativ diduga ada intrakranial hipertensi, hipotensi
sistemik intraoperativ dapat dihindari dengan monitoring central pressure dan secara empiris
mengisi volume sirkulasi dengan infus darah atau kristaloid selama anesthesia. hasil akhir
EDH berhubungan langsung dengan luasnya intradural patologi saat preop dan penekanan
batang otak. Post op sama dengan panduan umum pasien dgn trauma kepala tertutup
SDH adalah penumpukan darah diantara dura dan selaput arachnoid. Penyebab
tersering adalah trauma, tapi juga terjadi secara spontan, koagulopathi, anurisma,
arteriovenous malvormasi, dan neoplasma tertentu. SDH dipertimbangkan akut ketika tanda-
tanda klinis terjadi dalam 72 jam setelah injury, sub acut manifestasi klinis dalam 3 dan 15
hari, dan kronis ketika perdarahan lebih dari 2 minggu. Acut SDH merupakan perdarahan
yang tersering pada trauma yang membutuhkan pembedahan.
Venous ASDH akibat dari ruptur bridging vein pada sinus sagitalis saat gerakan
akselerasi-deselerasi otak setelah benturan. Penyebab ASDH lainnya adalah, seringkali
dihubungkan dengan cedera contrecoup, brain laceration, cerebral contusion, dan
perdarahan intracerebral yangmana darah berada didalam ruang subdural Klinis ASDH
primernya adalah kerusakan otak dengan sekundernya peningkatan TIK Lucid interval yang
pathognomis pada EDH tidak jarang pada ASDH.
Subdural hematom subakut dan kronik paling sering didapati pada usia lebih dari 50
tahun. Pada pengguna alkohol kronik, pasien epilepsi dan usia diatas 50 tahun, sejumlah
besar atrofi otak bisa meningkatkan volume ekstra parenkim. Volume ekstra ini dapat
menyebabkan hematoma yang terjadi perlahan tanpa adanya kenaikan TIK. Ekpansi gradual
ini diadaptasi oleh otak dengan mengkompresi kanal vena dan memberikan ekstra ruang
untuk meluasnya hematoma.
Perdarahan ulang pada rongga subdural dapat sering terjadi dan biasanya
disebabkan cedera kepala minor atau mekanisme lain yang mengarah pada elevasi
sementara tekanan vena. Fungsi membran subdural adalah untuk menyerap isinya.
Perdarahan ulang sering merupakan hasil dari cedera minor dan aktivitas fibrinolitik
membran dan isinya. Selama terjadi keseimbangan, maka besarnya hematoma akan tetap
konstan dan pasiennya asimptomatis. Bila volume keseluruhan dari perdarahan menjadi
lebih besar daripada kemampuan sistem absorsi, maka hematoma akan meluas. Bila faktor
yang memperburuk perdarahan dapat disingkirkan, maka absorbsi dapat melebihi ekspansi
perdarahan sehingga pasien dapat kembali ke kondisi awalnya.
Riwayat cedera kepala sering tidak ada. Gambaran klinis SDH kronis dan subakut
dapat bervariasi dari tanda fokal hingga disfungsi otak hingga penekanan derajat kesadaran
menjadi sindroma mental organik. Gambaran klinis ini menyerupai gambaran stroke ataupun
tumor otak. SDH subakut umumnya menunjukkan tanda peningkatan TIK, seperti penurunan
derajat kesadaran dan nyeri kepala, sedangkan bentuk hematoma kronik biasanya
menyerupai gambaran stroke.
Diagnosis SDH subakut atau kronis biasanya dengan CT Scan. Densitas SDH pada
kondisi akut lebih tinggi daripada jaringan otak normal, 2 minggu kemudian perlahan menjadi
isodens, dan menjadi hipodens pada fase kronik. Diagnosis dapat meleset pada fase
isodens, sehingga bukti tidak langsung seperti kompresi ventrikel unilateral atau suatu
pergeseran midline tanpa gambaran lesi intraserebral harus dicurigai sebagai suatu SDH
isodens. Pada situasi ini, kontras dosis double dapat digunakan untuk memvisualisasi
korteks atau membran subdural.
CT Scan post operasi menunjukkan bahwa otak baru kembali mengisi ruang setelah
40 hari kemudian. Hal ini tidak memerlukan terapi.
Hematom intracerebral
Lesi coup ditunjukan sebagai kerusakan parenkim yang terjadi dibawah titik benturan
dari tulang kepala; cedera contrecoup adalah jauhnya kontusio cerebri dari titik tempat
benturan.
Meskipun lebih dari setengah kematian dari trauma kepala dihubungkan dengan
hipertensi intrakranial, penyebab dari peningkatan derajat TIK masih belum jelas. hipertensi
intrakranial bermakna bagaimanapun mungkin menurunkan tekanan perfusi dibawah titik
kritis 60 mmHg yang dibutuhkan untuk menjaga metabolisme otak tetap normal dan hingga
menjadi penyebab terjadinya kerusakan otak sekunder. Untuk mencegah terjadinya
kerusakan sekunder hipertensi intrakranial harus dideteksi dan dikontrol sejak awal
Hiperventilasi
Ada dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan proses yang terjadi
pada cedera kepala yaitu terjadinya edema dan swelling, namun keduanya memiliki
manajemen pendekatan yang berbeda. Swelling didefinisikan sebagai suatu peningkatan
volume darah serebral, dikarenakan vasoparalisis otak yang menyebabkan hiperemi dan
dapat terjadi dari beberapa jam hingga beberapa hari. Memanjangnya hiperemi pada otak
mengarah pada terjadinya edema vasogenik dan kemungkinan meningkatkan TIK dengan
herniasi otak. Disisi lain edema otak didefinisikan sebagai suatu peningkatan muatan cairan
pada rongga extravaskular otak. Edema otak biasanya fokal atau unilateral, dan tidak segera
terbentuk setelah trauma, sedangkan bila hiperemia terjadi segera.
Segera sesudah cedera, peningkatan aliran darah otak (CBF) dan volume darah otak
dapat mengarah pada peningkatan TIK. Pada tahap selanjutnya hipertensi intrakranial
umumnya disebabkan edema otak dan dapat memperburuk CBF. Pada kasus ekstrim
bahkan menyebabkan berhentinya aliran. Hiperventilasi diharapkan paling efektif pada fase
hiperemia. Pada pasien dengan aliran darah normal atau menurun, respon TIK cepat
beradaptasi terhadap hiperventilasi
Pada saat dilakukan hiperventilasi TIK secara perlahan meningkat dan menjadi stabil
setelah 3 hingga 5 jam, biasanya pada derajat yang lebih rendah daripada TIK awalnya.
Respon vaskular otak terhadap hipokapnea menurun atau hilang pada terjadinya hipoksia.
Oleh sebab itu, respirasi yang dalam dan cepat pada hiperventilasi neurogenik, yang
umumnya disertai hipoksia menyebabkan pergeseran kurva dissosiasi oksigen ke kiri,
tidaklah efektif untuk menurunkan TIK. Beberapa klinisi berhati-hati dalam melakukan
hiperventilasi berkepanjangan karena takut menimbulkan hipoksia jaringan dengan semua
efek sampingnya.
Terapi Steroid
Reaksi otak terhadap cedera kepala sangat kompleks dan pada saat yang berbeda
dapat berupa variasi kombinasi swelling, edema vasogenik dan edema sitotoksik. Swelling
didefinisikan sebagai peningkatan volume darah otak, karena baik vasoparalisis atau
obstruksi aliran keluar vena dan bisa terjadi sementara ataupun minor. Bila terjadinya masif
dapat mengarah pada edema vasogenik. Swelling pada otak yang diteliti pada cedera
kepala tidak merespon pada steroid.
Edema sitotoksik dijadikan sebagai suatu penambahan elemen seluler otak dengan
penurunan rongga cairan ekstra seluler. Kondisi klinis ini umumnya dihubungkan degan
edema sitotoksik, meliputi hipoksia dan intoksikasi cairan. Bentuk tipe edema ini tidak
responsif dengan terapi steroid.
Penilaian efektivitas terapi steroid pada cedera kepala sukar dilakukan karena
bervariasinya tipe edema ini. Lebih jauh lagi, cedera yang menyebabkan kerusakan jaringan
ekstrim dan perdarahan kemungkinan tidak akan memberikan respon terhadap terapi
apapun. Bagaimanapun saat ini, tidak ada keuntungan apapun dari dexametason dosis
tinggi pada trend TIK ataupun outcome klinis pada terapi cedera kepala berat pada berbagai
penelitian yang telah dilakukan. Faktanya pemberian steroid merangsang respon katabolik
post trauma, meningkatkan loss nitrogen urine dan hiperglikemia.
Dehidrasi
TIK dapat diturunkan dengan berbagai larutan hipertonik dan diuretik. Diuretik
osmotik yang digunakan luas adalah manitol yang dapat menurunkan TIK, memperbaikan
compliance intrakranial, menangkap radikal bebas dan memperbaik CBF. Karena manitol
tidka dimetabolisme dan tidak merusak sawar darah otak, maka tampaknya manitol tidak
memiliki efek langsung pada metabolisme serebral. Bagaimanapun juga efek tidak langsung
manitol yaitu : meningkatkan CBF dan menurunkan iskemia otak. Bagian otak yang paling
mudah mengkerut adalah area dengan permeabilitas endotel kapiler yang normal. Pada
terjadinya edema vasogenik, manitol mengkerutkan area otak yang normal dan tidak
mempengaruhi lokasi edema. Mekanisme ini meningkatkan potensi resiko pergeseran
midline bila manitol digunakan pada kelainan otak unilateral.
Efek manitol sering terlihat sebelum perubahan osmolaritas serum tercapai. Efek ini
paling tampak saat CPP dibawah 70 mmHg. Fenomena ini dapat dijelaskan melalui suatu
efek vasokonstriktif langsung dari manitol yang mengarah pada penurunan volume darah
otak. CPP yang lebih tinggi menunjukkan mekanisme autoregulasi bekerja dan konstriksi
pembuluh darah otak. CPP yang lebih rendah menunjukkan bahwa pembuluh darah otak
terdilatasi maksimal dan merespon lebih efektif terhadap efek vasokonstriktif dari manitol.
Sekali keseimbangan telah tercapai, manitol tidak lagi menurunkan TIK sehingga pemberian
berkelanjutan tidak lagi efektif.
Kejang
Status epileptikus adalah komplikasi serius yang terjadi pada 7% kasus posttrauma.
Infus midazolam 7-12 mg/jam setelah dosis awal 10 mg memberikan kontrol yang efektif.
Keuntungan midazolam daripada benzodiazepine yang lain: kelarutannya dalam air, waktu
paruh yang lebih pendek, dan insidens depresi kardiorespirasi yang lebih rendah.
Terapi Cairan
Pemberian steroid, yang bukan hal yang tidak umum pada pasien bedah saraf, dapat
meningkatkan kadar gula darah. Pemberian infus cairan dengan cepat dapat meningkatkan
TIK pada pasien dengan penurunan compliance otak. Ekskresi katekolamin setelah cedera
kepala adalah penyebab umum hipertensi yang dapat menutupi hipovolemia iatrogenik yang
mengikuti diuresis. Hipovolemia ini mungkin baru disadari selama induksi anestesi. Infus
cairan dengan cepat dapat membantu koreksi hipotensi tetap dapat menambah kerusakan
otak. Oleh karena itu, tipe cairan dan kecepatan pemberian merupakan hal yang sangat
penting pada terapi trauma kepala.
Upaya mempertahankan kadar gula atau memberikan gula untuk mencapai tingkat
dibawah 200 mg/dl direkomendasikan saat iskemia otak mungkin dapat terjadi. Satu laporan
menunjukkan bahwa pemberian dekstrosa 5% air pada 8cc/kg/jam (sekitar dua kali normal)
selama 6 jam setelah produksi lesi dingin (cold lesion) menghasilkan mortalitas 100%,
sementara hewan yang menerima infus dekstrosa yang sama atau yang lebih lambat dalam
normal saline atau tanpa cairan, seluruhnya selamat.
Pada sisi yang lain, studi hiperglisemia pada model iskemia fokal mengindikasikan
penurunan perubahan morfologis searah. Model ini masih ditelitii lebih lanjut. Pada model
anjing dengan syok plus lesi massa intracranial, suatu kombinasi cairan hipertonik (saline
hipertonis) dan hiperonkontik ( gula hidroksietil) menghasilkan perubhan yang lebih
menetap pada hemodinamik sistemik daripada NaCl atau salin hipertonis. NaCl
menghailkan peningkatan TIK yang cepat, sementara salin hipertonis menghasilkan
perbaikan sementara pada hemodinamik sistemik.
Tranmer dan kawan-kawan meneliti efek berbagai cairan intravena pada TIK anjing
dengan lesi serebral. Pada hewan yang menreima NaCL, TIK meningkat 90%; pada grup
dekstrose peningkatan 141%, tetapi tanpa peningkatan saat Hetastarch 6% digunakan.
Resusitasi cairan pada pasien dengan edema serebreal mungkin lebih aman dengan koloid
daripada dengan kristaloid.
Oleh karena itu, dalam menangani pasien dengan cedera kepala, mungkin lebih tepat
apabila menghindari larutan yang berisi gula dan mungkin seluruh kristaloid dan
mempertahankan tekanan sistemik dengan infus koloid pada tingkat yang diseuaikan
dengan tekanan sentral.
MANAJEMEN ANESTESIA
Premedikasi
Sedasi preoperatif lebih baik dihindari pada pasien dengan cedera kepala. Nyeri
biasanya bukan merupakan keluhan utama pada pasien ini, dan oleh karena itu
penggunakan narkotik tidak relevan. Lebih dari pada itu, bahkan 25 mg meperidine dapat
menyebabkan peningkatan signifikan PaCO2, yang mungkin berbahaya jika compliance
intrakranial dikurangi. Diazepam mempunya waktu paruh paling tidak 12 jam dan
khususnya pada pasien usia lanjut, dapat menyebebakan depresi CNS yang mengganggu
diagnosa neurologis.
Fenobarbital yang sering digunakan untuk kontrol kejang memiliki efek sedatif dan
durasi kerja yang panjang. Fenitoin kurang menyebabkan sedasi dan merupakan pilihan
terapi awal. Efek samping ( hipotensi, aritmia jantung, dan depresi SSP), dapat diminimalkan
dengan pemberian intravena dengan kecepatan tidak lebih dari 50 mg per menit.
Saat berhadapan dengan pasien dengan cedera vaskular, prosedur harus dimulai
dengan deiskusi dengan ahlibeda tentang kasus tersebut dan masalahnya. Hanya dengan
komunikasi yang jelas bahwa semua potensial masalah dapat diantisipasi dan persiapan
rasional telah dilakukan.
Monitoring
Kehilangan darah dapat terjadi masif pada kasus cedera vaskular, dan pemberian
cepat obat diuretik menyulitkan maintenance keseimbangan cairan. Pasien sering
mengalami hipovolemia, hipokalemia dan hipkloremia. Kondisi ini awalnya tidak
menyebabkan hipotensi karena pasien umumnya dengan kondisi vaskuler yang sehat dan
dapat berkompensasi dan karena kerusakan intrakranial sering menyebabkan hipertensi
arterial.
Status hidrasi sebenarnya dapat diketahui pertama kali setelah induksi anestesia,
ketika hipotensi katastrofi dapat terjadi. Rehidrasi rasional mencakup monitor CVP, dan
terutama diindikasikan pada pasien tua dengan penyakit jantung, dimana pemberian larutan
hiperosmolar dalam jumlah besar (misalnya manitol), dan rehidrasi dalam jumlah besar
dapat menyebabkan edema paru. Fungsi kardiorespirasi seharusnya dimonitor pada semua
pasien yang diduga akan mengalami edema paru neurogenik.
Posisi
Teknik Anestesi
Intubasi sering dikerjakan saat pasien datang di ruang gawat darurat, bila tidak,
manuver ini harus dikerjakan se-atraumatis mungkin menggunakan dosis kecil natrium
thiopenthal, pelumpuh otot non depol kerja singkat, seperti atracurium atau vecuronium, dan
lidokain. Lidokain dapat diberikan secara intravena (1 mg/kg) dan topikal (4 ml dari 4%
sediaan laringotrakheal spray). Hiperkalemia diinduksi oleh scholin pada pasien cedera
kepala tertutup pada parese dan karenanya obat ini sebaiknya dihindari.
Pada pasien dengan cedera vaskuler, peningkatan TIK biasanya bukan merupakan
suatu masalah.
Teknik anestesia intravena yang seimbang meliputi : pemberian atau infus kontinyu,
obat-obatan seperti barbiturat, narkotik, transquilizers dan pelumpuh otot (dengan ataupun
tanpa N2O). Waktu injeksi dan dosis dipandu oleh kondisi klinis. Penurunan CBF dan
kecepatan metabolisme karena narkotik dan barbiturat penting untuk keamanan pasien
dengan penurunan cadangan otak. Lebih jauh lagi, pada pasien cedera otak berat,
manajemen postoperatif meliputi kontrol ventilasi untuk menghindari hipertensi intrakranial.
Oleh karena itu, penundaan efek sedatif yang dapat terjadi mengikuti teknik multifarmasi
mungkin lebih disukai. Peningkatan potensi daripada aktivitas kejang yang terjadi setelah
pemberian enfluran dosis tinggi, terutama pada pasien hipokapnea. Baik halothan maupun
enfluran meningkatkan CBF secara signifikans. Walaupun peningkatan CBF dapat
mengarah pada peningkatan TIK efeksamping ini dapat diminimalkan atau dicegah dengan
natrium thiopental dan hiperventilasi. Konsentrasi obat anestesi inhalasi diatas MAC
biasanya meniadakan autoregulasi, walaupun hipokapnia dan hiperkapnia dapat
mempotensiasi atau mengantagonis MAC.
Teknik inhalasi lebih mudah diberikan (terutama pada anak), reversal yang cepat dari
efek anestesi diakhir operasi, dan pernurunan resiko efek samping karena interaksi obat.
Bila teknik intravena digunakan maka kedaruratan anestesia memanjang dan hipertensi
arterial intraoperatif sukar dikontrol.
Kedaruratan Anestesia
Bila pasien sadar preoperatif sadar dan napas spontan, maka diakhir operasi kondisi
yang sama harus tercapai.
Berdasarkan lokasi anatomis fraktur pada tulang wajah dibagi menjadi tiga yaitu,
fraktur sepertiga bawah wajah, fraktur sepertiga tengah wajah dan fraktur sepertiga atas
wajah.
berdasarkan istilah :
1. Simple atau Closed : merupakan fraktur yang tidak menimbulkan luka terbuka keluar baik
melewati kulit, mukosa, maupun membran periodontal.
2. Compound atau Open : merupakan fraktur yang disertai dengan luka luar termasuk kulit, mukosa,
maupun membran periodontal , yang berhubungan dengan patahnya tulang.
4. Greenstick : merupakan fraktur dimana salah satu korteks tulang patah, satu sisi lainnya
melengkung. Fraktur ini biasa terjadi pada anak-anak.
5. Pathologic : merupakan fraktur yang terjadi sebagai luka yang cukup serius yang dikarenakan
adanya penyakit tulang.
6. Multiple : sebuah variasi dimana ada dua atau lebih garis fraktur pada tulang yang sama tidak
berhubungan satu sama lain.
7. Impacted : merupakan fraktur dimana salah satu fragmennya terdorong ke bagian lainnya.
8. Atrophic : merupakan fraktur yang spontan yang terjadi akibat dari atropinya tulang, biasanya
pada tulang mandibula orang tua.
9. Indirect : merupakan titik fraktur yang jauh dari tempat dimana terjadinya luka.
10. Complicated atau Complex : merupakan fraktur dimana letaknya berdekatan dengan jaringan
lunak atau bagian-bagian lainnya, bisa simple atau compound.
Jenis Fraktur Mandibula. A. Greenstick; B. Simple; C. Comminuted; dan D.Coumpound (Hupp et al.,
2008)
11. Fraktur undisplaced: garis patah komplit tetapi ke-2 fragmen tidak bergeser, periosteumnya
masih utuh.
12. Fraktur displaced: terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang juga disebut lokasi fragmen.
Terbagi atas:
dan overlapping.
2. Parasymphyseal : dari bagian distal symphysis hingga tepat pada garis alveolar yang berbatasan
dengan otot masseter (termasuk sampai gigi molar 3).
4. Angle : area segitiga yang berbatasan dengan batas anterior otot masseter hingga perlekatan
poesterosuperior otot masseter (dari mulai distal gigi molar 3).
5. Ramus : berdekatan dengan bagian superior angle hingga membentuk dua garis
6. Processus Condylus : area pada superior prosesus kondilus hingga regio ramus.
7. Processus Coronoid : termasuk prosesus koronoid pada superior mandibular hingga regio ramus.
8. Processus Alveolaris : regio yang secara normal terdiri dari gigi.
Sebagian besar tulang tengah wajah dibentuk oleh tulang maksila, tulang palatina, dan tulang nasal.
Tulang-tulang maksila membantu dalam pembentukan tiga rongga utama wajah : bagian atas rongga
mulut dan nasal dan juga fosa orbital. Rongga lainnya ialah sinus maksila. Sinus maksila membesar
sesuai dengan perkembangan maksila orang dewasa. Banyaknya rongga di sepertiga tengah wajah
Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,dan menyebabkan terpisahnya
prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan
yang disebut floating jaw. Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya
edema. Garis fraktur berjalan dari aperture piriformis di bagian atas spina nasalis, kemudian berjalan
ke dinding sinus maksilaris, Krista zigomatikoalveolaris, tuber maksila, bagian ujung kaudal prosesus
pterigoideus, dinding posterior sinus maksilaris hingga kembali ke aperture piriformis. Fraktur Le Fort
I(Fonseca, 2005)
Fraktur Le Fort tipe II biasa juga disebut dengan fraktur piramidal. Manifestasi dari fraktur ini ialah
edema di kedua periorbital, disertai juga dengan ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya
ditemukan juga hipoesthesia di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung
atau karena laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang
berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat
palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis juga
dapat ditemukan pada kasus ini. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura
frontomaksilaris ke bagian anteromedial dari dinding inferior orbita terus ke bagian tengah cincin
infraorbital, dinding fasial sinus maksilaris, Krista zigomatikoalveolaris, bagian posterior sinus
maksilaris, prosesus pterigoideus, fisura orbitalis inferior hingga sampai ke garis fraktur pada bagian
orbita. Sebagai tambahan juga terjadi fraktur pada vomer dan lamina perpendikularis.
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III menggambarkan adanya disfungsi
kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas
tulang zygomatikomaksila kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema,
dan ekimosis periorbital. Garis fraktur berjalan dari sutura frontonasalis atau sutura frontomaksilaris
lewat os. Lacrimale, dinding medial orbita, foramen optikum. Dari sini garis fraktur berjalan berjalan
terus ke sutura zigomatikofrontalis. Terjadi juga fraktur arkus zigomatikus. Fraktur Le Fort III
(Fonseca, 2005)
Fraktur sepertiga atas wajah mengenai tulang frontalis, regio supra orbita, rima
orbita dan sinus frontalis. Fraktur tulang frontalis umumnya bersifat depressed ke
dalam atau hanya mempunyai garis fraktur linier yang dapat meluas ke daerah wajah
yang lain.
IV - Os Sphenoidale
V - Atap orbita
2. Fraktur Orbita
IV - Fraktur bagian samping atau lateral orbita yang terisolasi (sangat jarang
terjadi)
12. Pentingnya investigasi hukum medico dengan menjelaskan hak dan tanggung jawab dokter
yaitu :
tidak baik.
penyakinya.
Selain itu hak dan kewajiban dokter juga di atur dalam Pasal 50 dan Pasal 51 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
atau keluarganya ;
(d) Menerima imbalan jasa.
Pasal 51
medis pasien;
pengobatan ;
antara lain :
(KUHP) beserta hukum acaranya (KUHAP), Kitab UndangUndang Hukum Perdata (KUHPerdata)
beserta hukum acaranya
yang terdapat dalam Herziene Island Reglement (HIR), UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang tidak
2006 :4).
tidak
lain : Pasal 48-51, Pasal 224, Pasal 267, Pasal 268, Pasal 322,
VeR!!!
Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai berikut:
1. Pro Justitia Kata tersebut harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian VeR tidak perlu
bermeterai. 2. Pendahuluan Memuat identitas pemohon VeR, tanggal dan pukul diterimanya
permohonan VeR, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas subjek yang diperiksa:
nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan, dan tempat
dilakukan pemeriksaan
3. Pemberitaan (hasil pemeriksaan) Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang
diamati, terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan
dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga
tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan
garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat),
jenis luka atau cedera, karakteristik serta ukurannya. Rincian tersebut terutama penting pada
pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali. Pada
pemeriksaan korban hidup, bagian pemberitaan terdiri dari
: a. Pemeriksaan anamnesis atau wawancara mengenai apa yang dikeluhkan dan apa yang
diriwayatkan yang menyangkut tentang ‘penyakit’ yang diderita korban sebagai hasil dari kekerasan
atau tindak pidana atau diduga kekerasan.
b. Hasil pemeriksaan, yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan fisik maupun
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban
hidup berbeda dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis)
c. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya, yakni alasan tidak
dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada
saat dilakukannya tindakan dan perawatan tersebut. Hal tersebut perlu diuraikan untuk menghindari
kesalahpahaman tentang tepat/tidaknya penanganan dokter dan tepat/tidaknya kesimpulan yang
diambil.
d. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan merupakan hal penting untuk
pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6
(enam) unsur yaitu anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka,
dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.
4. Kesimpulan Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dari fakta
yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat VeR, dikaitkan dengan maksud dan tujuan
dimintakannya VeR tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan
kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak didukung oleh hasil
pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam menarik kesimpulan. Pengambilan
kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan VeR adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak tertentu. Tetapi di
dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu pembatasan oleh ilmu pengetahuan
dan teknologi, standar profesi dan ketentuan hukum yang berlaku. Kesimpulan VeR harus dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung penegakan hukum.
Kesimpulan bukanlah hanya resume hasil pemeriksaan, melainkan lebih ke arah interpretasi hasil
temuan dalam kerangka ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
5. Penutup Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat dengan mengingat
sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan mengucapkan sumpah atau janji
lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat VeR.
REKAM MEDIS!!
Berdasarkan Permenkes Nomor 269/MenKes/Per/III/2008, tentang Rekam Medis, isi rekam medis secara
umum dikelompokkan atas empat bagian yaitu rekam medis pasien rawat jalan, rekam medis pasien rawat
inap, rekam medis pasien gawat darurat dan rekam medis pasien dalam keadaan bencana.
Juga terdapat isi rekam medis khusus yaitu untuk dokter spesialis dan dokter gigi spesialis yang dapat
dikembangkan sesuai kebutuhan dan juga rekam medis untuk pelayanan di ambulans atau pengobatan
massal. Isi rekam medis berdasarkan pembagian di atas adalah sebagai berikut:
a) Rekam medis pasien rawat jalan sekurang-kurangnya berisi:
1. Identitas pasien;
5. Diagnosis;
6. Rencana penatalaksanaan;
1. Identitas pasien;
5. Diagnosis;
6. Rencana penatalaksanaan;
11. Nama dan tanda tangan dokter, dokter didi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;
12. Pelayanan lain yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tertentu; dan
1. Identitas pasien;
7. Diagnosis;
9. Ringkasan kondisi pasien sebelum meninggalkan pelayanan unit gawat darurat dan rencana tindak
lanjut;
10. Nama dan tanda tangan dokter, dokter didi, atau tenaga kesehatan tertentu yang memberikan
pelayanan kesehatan;
11. Sarana transportasi yang digunakan bagi pasien yang akan dipindahkan ke sarana pelayanan
kesehatan lain; dan