Professional Documents
Culture Documents
Case Studies and Key Questions
Case Studies and Key Questions
Key Questions:
1. Can you identify any illegal business practices in the article?
2. Does unethical business practices constitute illegal business practices?
3. How do you differ law and ethics? Is each of them an independent variable? Do they intertwine?
Case Study 2 : PT. Pengembang Pariwisata Bali vs. PT. Jaya Makmur Bersama
Discussant : John Maynard Keynes
Pada 9 Mei 2008 PT. Jaya Makmur Bersama mengikuti penawaran untuk pengembangan pariwisata di Bali yang ditawarkan
oleh PT. Pengembangan Pariwisata Bali selaku Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini mengelola kawasan pariwisata
Nusa Dua Bali. Pengembangan itu untuk meningkatkan pariwisata yang berkualitas dan mempunyai nilai tambah dalam
bentuk pengembangan sarana akomodasi, recreation, and entertainment center yang akan dibangun dan dioperasikan diatas
lahan Lot C-5 dengan sertipikat HPL No. 4/ Desa Benoa atas nama PT Pengembangan Pariwisata Bali (kantor BTDC).
Pada 15 Agustus 2008 PT. Pengembangan Pariwisata Bali menunjuk PT. Jaya Makmur Bersama sebagai calon investor yang
diterima untuk mengembangkan pariwisata di lahan Lot C-5 hal tersebut diberitahukan melalui surat penunjukkan dengan
Nomor 1/Timbang/PT.PPB/VIII/2008 tertanggal 15 Agustus tahun 2008.
Atas dasar surat penunjukan tersebut PT. Pengembangan Pariwisata Bali dengan PT. Jaya Makmur Bersama bersepakat
menandatangani kesepahaman yang dituangkan dalam nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan nomor
88/SP/IX/2008 tertanggal 19 September 2008.
Atas dasar itu, PT. Pengembangan Pariwisata Bali (selanjutnya disebut pihak pertama) dan PT. Jaya Makmur Bersama
(selanjutnya disebut pihak kedua) wajib untuk mempersiapkan dan menandatangani Land Utilization and Land Development
(LUDA)
sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman dan LUDA harus dibuat berdasarkan prinsip- prinsip yang sudah diatur dalam
nota kesepahaman.
Selain itu didalam penandatanganan nota kesepahaman para pihak telah bersepakat bahwa pihak kedua wajib menyerahkan
jaminan keseriusan (guaranty fee) dalam bentuk deposit dengan jumlah 5 % dari total kompensasi yaitu Rp. 1.500.000.000,00
(satu setengah milyar rupiah).
Dijelaskan selanjutnya bahwa nota kesepahaman ini berlaku sejak ditandatangani sampai dengan penandatanganan LUDA.
Dengan jangka waktu paling lambat adalah 31 Desember 2008 LUDA harus sudah ditandatangani. Apabila hingga tanggal 31
Desember 2008 LUDA belum ditandatangani, maka pihak pertama wajib mengembalikan deposit guaranty fee kepada pihak
kedua.
Ketika proses pembahasan, para pihak belum mencapai kesepakatan untuk segera menyelesaikan LUDA, hal ini terjadi karena
masih terdapat perbedaan diantara para pihak. Perbedaan tersebut terkait dengan prinsip yang terdapat didalam nota
kesepahaman. Prinsip yang telah disepakati dalam nota kesepahaman tidak dapat dilaksanakan didalam LUDA. Hal tersebut
terjadi karena pihak pertama selaku Badan Usaha Milik Negara mendapatkan kebijakan dari Menteri Negara BUMN untuk
melakukan beberapa perubahan atas isi nota kesepahaman. Kebijakan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri
Negara BUMN dengan nomor S-465/MBU/2009 tertanggal 9 Juli 2009.
Atas dasar diatas pihak pertama meminta untuk dilakukan perubahan persyaratan didalam pembahasan LUDA sehingga
prinsip yang telah ada dalam nota kesepahaman dapat diabaikan. Adapun perubahan yang diminta pihak pertama yakni :
Pertama, pihak pertama meminta perubahan pada ketentuan jangka waktu pengelolaan tanah. Yakni dari 50 tahun sejak
penandatanganan LUDA yang dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pertama 30 tahun sejak penyerahan lahan kosong dan tahap
kedua 20 tahun dengan perpanjangan secara otomatis. Diubah dengan jangka waktu hanya 30 tahun dan dapat diperpanjang
maksimum adalah 20 tahun.
Kedua, pihak pertama juga meminta agar jumlah kompensasi yang telah disepakati dalam mou dirubah menyesuaikan dengan
lamanya jangka waktu pengelolaan tanah. Karena jangka waktu yang baru berkurang menjadi 30 tahun maka kompensasi
seharusnya berkurang secara proporsional.
Perubahan yang diminta oleh pihak pertama diatas mengakibatkan tertundanya penandatanganan LUDA dan telah melebihi
jangka waktu penandatanganan dari paling lambat adalah 31 Desember 2008.
Selanjutnya pihak kedua masih berupaya untuk menegosiasikan permintaan perubahan kesepakatan didalam nota
kesepahaman karena merasa telah menyerahkan kompensasi serius fee (guaranty fee) dalam bentuk deposit.
Namun tiba-tiba pihak pertama menyatakan untuk memutuskan kerjasama dengan pihak kedua dikarenakan tidak adanya
kesepakatan atas perubahan yang diminta oleh pihak pertama. Pemutusan secara sepihak tersebut tertuang didalam surat
nomor 45/Dir/PT.PPB/X/2010 tertanggal 6 Oktober 2010.
Tindakan yang dilakukan pihak pertama diatas tidak dapat diterima oleh pihak kedua, dan pihak kedua tetap ingin
melaksanakan LUDA dengan prinsip-prinsip dalam nota kesepahaman. Pihak kedua kemudian mengajukan gugatan di
Pengadilan Negeri Bali atas dasar wanprestasi. Kasus ini bergulir sampai dengan tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Source: http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2016/04/Legal-Opinion-Perdata-upload-PDF-2013.pdf
Key Questions:
1. What is a contract? What are the elements of contract?
2. Is an agreement legally enforceable? Does an agreement constitute a contract?
3. Is an MoU a contract?
4. Is there a contractual relationship between the 2 parties? Can Jaya Makmur Bersama seek legal remedy?
Case Study 3 : Nine AM vs. Bangun Karya Pratama Lestari
Discussant : Jeremy Bentham
Jakarta - Dalam kunjungan ke Osaka beberapa waktu lalu, delegasi Kemenkumham mendapat keluhan dari pengacara
kenamaan Jepang, Kobayashi Kazuhiro. Sang pengacara menceritakan kliennya dan para investor Jepang kaget atas putusan
Mahkamah Agung (MA) Indonesia. Apa itu?
Kazuhiro menceritakan para investor Jepang mengaku heran atas putusan MA Indonesia soal pembatalan kontrak perdata
yang tidak berbahasa Indonesia. Menurut Kazuhiro, hal itu cukup aneh.
Berdasarkan penelusuran data di website MA, Jumat (31/3/2017), kasus itu merupakan sengketa bisnis antara Nine AM Ltd
dan PT Bangun Karya Pratama Lestari. Sengketa itu tentang loan agreement tertanggal 30 Juli 2010. Di mana PT Bangun Karya
Pratama Lestari adalah perusahaan Indonesia dan Nine AM Ltd merupakan perusahaan asal Texas, Amerika Serikat.
Perjanjian kedua belah pihak dibuat dalam bahasa Inggris dan telah diterjemahkan oleh penerjemah resmi serta tersumpah.
Dalam perjanjian itu, Nine AM Ltd memberikan pinjaman kepada PT Bangun Karya Pratama Lestari sebesar USD 4,9 juta.
Jaminannya sejumlah alat berat.
Dalam perjalanannya, perjanjian bisnis itu mengalami kendala dan harus berakhir ke pengadilan.
Nah, di meja hijau, PT Bangun Karya Pratama Lestari mengemukakan dalih Pasal 31 ayat 1 UU Nomor 24/2009 tentang
Bendera, Bahasa, Lambang, dan Lagu Kebangsaan, yang berbunyi:
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi
pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negera Indonesia.
"Karena loan agreement dibuat dengan tidak menggunakan bahasa Indonesia, melainkan hanya dibuat dalam bahasa Inggris,
maka loan agreement batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (null and void
nietig)," kata pihak PT Bangun Karya Pratama Lestari.
Ternyata dalih itu diamini Pengadilan Negeri Jakarta Barat (PN Jakbar) pada 6 Maret 2014. Majelis hakim PN Jakbar
membatalkan perjanjian loan agreement tersebut. Putusan itu dikuatkan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 4 Desember
2014.
Nine AM Ltd kaget dan tidak terima. Langkah kasasi pun diambil. Nine AM Ltd merujuk pada hukum yang lebih umum, yaitu
KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebutkan isi perjanjian yang dibuat batal apabila bertentangan dengan UU
tertentu.
"Jika suatu perjanjian, yang memenuhi ketentuan dalam Pasal 31 UU Nomor 24 Tahun 2009, kemudian tidak dibuat dalam
bahasa Indonesia tidak otomatis melanggar syarat sahnya perjanjian, kecuali jika isinya bertentangan dengan UU tertentu
yang berlaku pada waktu tertentu," tutur Nine AM Ltd.
"Misalnya isi perjanjiannya adalah melakukan aborsi, di mana jelas-jelas aborsi dilarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana," kata Nine AM Ltd.
Karena itu, pelanggaran Pasal 31 UU Nomor 24/2009 tidak melanggar syarat objektif sahnya suatu perjanjian, yaitu causa yang
halal, sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Pihak Nine AM Ltd juga menyitir pendapat guru besar UI Hikmahanto Juwana yang menyatakan Pasal 31 tidak serta-merta
membatalkan kontrak yang tidak menggunakan bahasa Indonesia. 'Wajib' harus diterjemahkan sebagai keharusan untuk
menggunakan bahasa Indonesia, tanpa konsekuensi batalnya kontrak bila belum atau tidak berbahasa Indonesia.
Source: https://news.detik.com/berita/3461783/ini-putusan-ma-indonesia-yang-membuat-sentimen-negatif-jepang
Key Questions:
1. What is a contract? What are the elements of contract?
2. What are the grounds to invalidate a contract?
3. Do contracts made in Indonesia or by Indonesians have to be in Indonesian language?
4. Are contracts made in Indonesia in foreign language valid?
Case Study 4 : Stella Liebeck vs. McDonald’s
Discussant : H.L.A Hart
In 1992, news media across the United States exploded over a now-infamous personal injury case in which a woman
(Stella Liebeck) was awarded just short of $3 million in damages when she spilled a cup of scalding hot coffee in her lap.
This case has become synonymous with America’s over-litigious society and a supposed lack of common sense.
However, when you take a closer look at Liebecks’ case, you may be surprised to find out that this was not a greedy
woman attempting to get rich off of a small injury.
In fact, upon examining the details of this case, you might come away with an entirely different point of view. This is not
a case of greed; it’s a case of a large corporation refusing to address an elderly woman’s reasonable request for
compensation for medical costs. In this case summary, you’ll see what actually happened, how Liebeck sought
reasonable compensation, and how, by refusing to pay that compensation, McDonald’s set themselves up for a much
larger suit.
The Claim
Under tort law, Ms. Liebeck attempted to pursue compensation for her medical bills in the form of a $20,000 settlement
with McDonald’s. You can see, at this point, that Ms. Liebeck was only asking for a small percentage more than her
actual and expected medical costs. Instead of agreeing to pay this relatively small figure, though, McDonald’s offered to
settle at just $800.
At this point, Ms. Liebeck retained a personal injury attorney who filed a gross negligence suit against McDonald’s.
However, at this point Ms. Liebeck and her attorney were still not asking for seven figures. Rather, her attorney offered
to settle at $90,000. McDonald’s refused, and the case proceeded to trial.
It should also be noted that, just prior to trial, Ms. Liebeck’s attorney offered to settle once more for $300,000, but
McDonald’s refused this, as well. You can see that McDonald’s had no fewer than three chances to settle at much lower
costs than what was eventually awarded to Ms. Liebeck.
The Trial
When the case went to court, the jury determined that Ms. Liebeck was 20% liable for the incident due to the warning
label on the cup of coffee and that McDonald’s held the other 80% of liability for the incident. In the end, for
compensatory damages, Ms. Liebeck was awarded $160,000 plus an additional $2.7 million in punitive damages, a
number that was reached based on two days’ worth of McDonald’s revenue from coffee sales. However, Ms. Liebeck did
not actually receive millions of dollars in damages, as the judge reduced those damages to $480,000. All told, Ms.
Liebeck did not receive millions but rather settled after trial on an undisclosed amount that was reported as less than
$600,000.
(Source: http://www.losangeles-injurylawyers.com/blog/case-summary-stella-liebeck-vs-mcdonalds)
Key Questions:
a. What is Tort?
b. Do you personally think McDonalds was liable? Why?
c. In your opinion, was the compensation awarded by the Court to Liebeck fair?
d. What is the difference between tortious liability and contractual liability?
Case Study 5 : Anny R. Gultom vs. Secure Parking Indonesia
Discussant : Friedrich Hayek
Merdeka.com - Kasus pencurian mobil yang menimpa staf Kedubes Inggris di Mal Pondok Indah II mengingatkan kembali pada
sejumlah kasus kehilangan kendaraan di lokasi parkir gedung atau pusat perbelanjaan. Pengelola parkir, bagaimanapun harus
bertanggungjawab dengan cara mengganti kerugian.
Seperti diberitakan sebelumnya, Brian Robinson, staf di Kedubes Inggris, kaget setelah mobil Toyota Kijang Innova dengan
pelat CD 15 09 yang diparkir di basement I A 19, Mal Pondok Indah II hilang pada Sabtu (19/5) sekitar pukul 13.59 WIB.
Diketahui dua pelaku membobol mobil dan kemudian menggunakan karcis parkir yang ditinggalkan Brian di dashboard
mobilnya. Petugas parkir tidak mengecek STNK mobil saat mobil keluar melintas pos parkir.
Dalam kasus ini, unsur kelalaian sepertinya terdapat di pemilik kendaraan. Namun, menurut anggota pengurus harian YLKI
Tulus Abadi, kesalahan tetap berada di pihak pengelola parkir. Berdasarkan Perda Jakarta No. 5 tahun 1999, pengelola
kawasan parkir wajib menjamin keamanan lokasi parkir.
"Sebenarnya memang peringatan sudah tegas, tidak boleh meninggalkan karcis parkir dan barang berharga di kendaraan. Ada
kesalahan dari unsur konsumen, tapi kesalahan terbesar ada pada pengelola. Mereka harus tanggung jawab," kata Tulus
dalam perbincangan dengan merdeka.com, Senin (21/5) malam.
Menurut dia, selama ini pemilik kendaraan memang biasa meninggalkan karcis parkir di dalam mobil, tapi di tempat yang
tersembunyi. "Tapi kalau mobil sampai hilang, berarti pengelola gagal menjaga kawasan yang dikelolanya. Itu ada dalam pasal
32 Perda soal perparkiran. 70 Persen kesalahan ada di tangan pengelola," tegas Tulus.
Selama ini, kata Tulus, banyak kasus kehilangan kendaraan atau barang berharga di lokasi parkir yang diadukan konsumen ke
YLKI. Namun menurut dia, kasus yang berlanjut ke pengadilan tidak terlalu banyak. Beberapa korban memilih untuk
menyelesaikan melalui mediasi.
"Kalau lewat gugatan, risikonya korban bisa kalah di pengadilan. Sudah kehilangan kendaraan, bisa kalah di pengadilan,"
pungkasnya.
Source: https://www.merdeka.com/peristiwa/mobil-dicuri-di-parkiran-mal-pengelola-harus-ganti-rugi.html
Key Questions:
a. What is tort?
b. Do you think Secure Parking really should be held liable? Why?
c. Can Secure Parking Indonesia argue that they are not liable based on the term stated on a parking ticket?
d. What is a disclaimer or exclusion clause in contracts? To what extend it is legally enforceable?
Case Study 6 : CIMB Niaga vs. Adi Partner Perkasa dkk
Discussant : Karl Marx
Kasus ini didasarkan pada perjanjian kredit antara CIMB Niaga (Penggugat) dan PT. Adi Partner Perkasa (Tergugat I).
Berdasarkan perjanjian kredit tersebut, penggugat memberikan fasilitas Kredit kepada Tergugat I sejumlah Rp.
120.000.000.000,- dengan jaminan berupa uang dalam Deposito Berjangka pada Penggugat sejumlah uang yang telah
disebutkan diatas dengan Gadai berikut Surat Kuasa Pencairannya.
Tergugat II (Adiansyah, Direktur pada Tergugat I) atas permintaan Tergugat I mengajukan permohonan Penerbitan Bank
Garansi senilai US$ 162.000,- untuk membayar kepada Shenzen City Rixinshenglong Logistic.Co.Ltd, dengan jaminan
Tergugat I berkewajiban untuk menyerahkan uang tunai senilai US$ 162.000,- dari rekening Tergugat I kepada
Penggugat.
Selanjutnya, Tergugat I menyerahkan surat kuasa kepada Tergugat II untuk mencairkan dana di dalam rekening
Tergugat I, dengan surat kuasa Nomor: 261/PJ/CEG/JKT/2010 yang menjamin bahwa Tergugat I akan sanggup
menyerahkan cash collateral sejumlah US$ 162.000,-. Maka, tertanggal 24 Maret 2010 Penggugat menerbitkan Bank
Guarantee (Bank Garansi) sejumlah US$ 162.000,- tertuju kepada Shenzen City Rixinshenglong Logistic.Co.Ltd.
Sebagaimana tercantum pada perjanjian Bank Garansi bahwa sudah terdapat hubungan hukum diantara Tergugat I dan
Penggugat, dimana kewajiban Tergugat I adalah memberikan sejumlah jaminan lawan kepada Penggugat, sedangkan
Penggugat berkewajiban memberikan jaminan pembayaran kepada pihak penerima jaminan.
Berdasarkan permohonan Penerbitan Bank Garansi tersebut diketahui bahwa ternyata Tergugat II mewakili Tergugat I
selaku Direktur dan juga ditandatangani oleh Tergugat III (Komisaris Utama) dan Tergugat IV (Komisaris).
Tergugat II dalam melakukan suatu tindakan harus sesuai dengan wewenang dan tugasnya selaku pengurus PT, karena
Tergugat II merupakan satu-satunya pihak yang berwenang untuk mewakili Tergugat I dalam melakukan kegiatan bisnis
dalam bentuk apapun. Sebagai Komisaris, Tergugat III dan Tergugat IV mepunyai kewenangan dan tugas untuk
melakukan pengawasan terhadap Direktur di dalam melakukan tugasnya yakni mengurus dan mengawasi segala
tindakan Direktur. Padahal, pada tanggal 30 desember 2009 yang lalu Tergugat III dan Tergugat IV telah turut
menandatangani Perjanjian dan kuasa pencairan Deposito, sehingga selaku Dewan Komisaris mereka mengetahui dan
menyetujui transaksi tersebut.
Namun, Tergugat I tidak melakukan kewajibannya untuk membayar penyetoran cash collateral melalui rekening
Tergugat I kepada Penggugat. Sehingga, Penggugat merasa telah dirugikan oleh karena telah melakukan kewajibannya
menggantikan kedudukan Tergugat I dalam hal melakukan pembayaran kepada Shenzen City Rixinshenglong
Logistic.Co.Ltd. Akibatnya, Penggugat harus melakukan beberapa kali penagihan yang mana seharusnya sebagai
pengurus Tergugat II lah pihak yang melakukan upaya untuk memenuhi penyetoran cash collateral kepada Penggugat
sesuai dengan Surat Kuasa Mencairkan Dana Dalam Rekening Nomor: 261/PJ/CEG/JKT/2010.
Tetapi, pada kenyataannya Tergugat II tidak melakukan upaya optimal untuk memenuhi kewajibannya terhadap PT,
bahkan justru membiarkan PT gagal atau lalai memenuhi kewajibannya dalam tenggang waktu sesuai dengan yang telah
disepakati sebelumnya. Bahkan dapat dikatakan bahwa Tergugat II tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya secara
baik sebagaimana prinsip
Good Corporate Governance.
Dikarenakan gagalnya pemenuhan kewajiban (kontra prestasi) Tergugat I sebagaimana diatur dalam Perjanjian Bank
Garansi tersebut tentunya memperlihatkan bahwa Tergugat II tidak mempunyai kapasitas yang cukup untuk melakukan
kewajiban sebagaimana diperjanjikan sebelumnya.
Akan tetapi, hal ini baru belakangan diketahui setelah melihat bukti surat Tergugat IV kepada Penggugat tertanggal 14
Mei 2010, yang menyatakan bahwasanya perbuatan tersebut ternyata inisiatif pribadi dari Tergugat II yang pada saat itu
menjabat sebagai Direktur Utama PT Adi Perkasa. Sehingga, disinyalir perbuatan Tergugat I merupakan rekayasa dari
Tergugat I guna kepentingan pribadinya Tergugat II yang dimana dilakukan dengan menggunakan PT untuk
mendapatkan dana dari Penggugat tanpa pengembalian yang jelas. Dapat dikatakan perbuatan tersebut termasuk
sebagai Perbuatan Melawan Hukum yang dimana mengakibatkan kerugian bagi Penggugat.
Penggugat kemudian mengajukan gugatan kepada Tergugat I (PT), Tergugat II (Direktur), Tergugat III (Komisaris Utama)
dan Tergugat IV (Komisaris) untuk menanggung kerugian secara tanggung renteng.
Key Questions:
1. What does the concept of ‘separate legal entity’ means?
2. What does the concept of ‘limited liability’ entail?
3. Who is liable? PT. Adi Partner Perkasa? The Director? Komisaris? Or all jointly liable?
4. Can a director be help personally liable for the loss of the company?
Case Study 7 : Kasus eks Dirut Merpati Hotasi Nababan
Discussant : Hans Kelsen
“Punya Bukti Baru, Eks Dirut Merpati Hotasi Nababan Yakin Bebas”
Liputan6.com, Jakarta - Mantan Direktur Utama Merpati Nusantara Airlines Hotasi Nababanmengajukan peninjauan kembali
(PK) melalui Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Hotasi datang dengan membawa fakta baru atau novum. Dia yakin, novum
ini bisa membebaskannya dari hukuman.
“Perbuatan melawan hukum itu tidak terjadi, tidak benar. Saya percaya, saya dapat kesempatan bisa dibebaskan demi
keadilan," kata Hotasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/12/2014).
Dalam persidangan kuasa hukum Hotasi, Juniver Girsang, membacakan novum. Novum itu berupa putusan vonis pidana
Pengadilan Distrik Columbia AS kepada 2 pemilik Thirdstone Aircraft Leasing Group (TALG), sebuah perusaan leasing pesawat
AS, yaitu:
1. Hukuman 18 bulan penjara terhadap Mr. Jon Cooper pada tanggal 4 Maret 2014 dengan pengawasan 36 bulan setelah itu,
dan wajib membayar 1.000.000 dolar kepada MNA secara tanggung renteng dengan Alan Messner.
2. Hukuman 12 bulan penjara terhadap Mr. Alan Messner pada 21 Februari 2014 dengan pengawasan 36 bulan setelah itu.
Juniver menjelaskan, kedua bukti ini dikeluarkan secara resmi oleh Pengadilan Distrik Columbia di Washington DC dan telah
dilegalisir oleh Eric Holder, Jaksa Agung AS pada tanggal 21 Mei 2014, dan John F. Kerry, Menteri Luar Negeri AS pada tanggal
27 Mei 2014, dengan disahkan oleh pejabat kedutaan besar RI di Washington pada 30 Mei 2014.
Selain itu Hotasi juga mengklaim, memiliki bukti lain yang tak kalah kuat. Bukti itu berupa Surat Menteri BUMN Dahlan Iskan
kepada Direksi PT MNA no S-500/MBU/08/2014 tanggal 29 Agustus 2014 yang meminta PT MNA mengejar security deposit itu
karena Pengadilan AS mewajibkan Cooper dan Messner segera mengembalikan secara tanggung renteng setelah hukuman
selesai.
"Ini merupakan bukti kuat kerugian negara belum terjadi. Tidak ada niat memperkaya diri sendiri dan orang lain, dan dana ini
hanya bisa kembal hanya jika kejaksaan sebagai Pengacara Negara peduli menjemput uang itu ke AS," tandas Hotasi.
Berharap Uang Negara Kembali Setelah PK Dikabulkan
Hotasi berharap, dengan dikabulkannya PK, uang negara yang selama ini diambil pengusaha Amerika Serikat (AS) tersebut bisa
kembali ke kas negara.
Menurut Hotasi, dengan dikabulkannya PK ini, proses penarikan dana milik MNA yang digelapkan perusahaan AS Thirdstone
Aircraft Leasing Group akan semakin mudah. Sebab, dengan demikian Cooper dan Messner menjadi pihak yang bersalah
dalam kasus ini. "Kalau dikabulkan maka hakim membantu dalam penarikan kembali uang negara," ungkap Hotasi.
Perkara ini bermula dari kegagalan (wanprestasi) perusahaan AS menyerahkan dua pesawat Boeing 737 seri 400 dan 500
kepada PT Merpati Nusantara Airlines. Hal ini sesuai perjanjian dalam Lease of Aircraft Summary of Terms (LASOT).
Pada 21 Desember 2006, PT MNA telah menempatkan Security Deposit sejumlah 1 juta dolar sebagai tanda jadi dan
persyaratan memeriksa kedua pesawat. Penempatan deposit ini juga telah disetujui seluruh Direksi PT MNA setelah
pemeriksaan pesawat.
Salah satu klausal perjanjian, deposit itu harus dikembalikan jika penyerahan pesawat batal. Kenyataannya, perusahaan AS itu
gagal menyerahkan pesawat pada Januari 2007. MNA pun meminta pengembalian deposit itu sesuai perjanjian. Pada April
2007, MNA menggugat perdata ke pengadilan Washington DC untuk mengejar pemilik perusahaan itu. Mereka juga meminta
Kejaksaan Agung (Kejagung) membantu pengejaran ini.
MNA, pada 8 Juli 2007, memenangkan gugatan perdata di pengadilan Washington. Cooper dan Messner diwajibkan
mengembalikan 1 juta dolar beserta bunga kepada MNA. Namun Mesner hanya mengembalikan 4.793 dolar di 2010.
Lalu pada pertengahan 2007, atas laporan dua karyawan MNA yang terkena rasionalisasi, KPK dan Bareskrim Polri menyelidiki
perkara ini. Bareskrim menyimpulkan tidak ada pidana korupsi pada September 2007. Sementara pada Oktober 2009, KPK
menyimpulkan seluruh fakta menunjukkan perkara ini tidak memenuhi kriteria pidana korupsi.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta memutuskan Vonis Bebas (vrijspraak) atas Hotasi pada 19 Februari 2013. Hakim
tidak menemukan niat jahat seperti tuntutan JPU terhadap Pasal 3 UU no 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tipikor.
Majelis Hakim menyimpulkan Direksi PT MNA mengambil keputusan dengan hati-hati sesuai prosedur. Mereka telah berupaya
mencari informasi, dan tanpa konflik kepentingan sesuai Pasal 97 ayat 5 UU 40/2007 tentang Perusahaan Terbatas.
Namun pada 7 Mei 2014, Majelis Hakim Kasasi yang terdiri dari Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Profesor Askin mengabulkan
Kasasi Jaksa dan membatalkan Putusan Pengadilan itu. Majelis Hakim memvonis Hotasi Nababan dengan pidana penjara 4
tahun dan denda sebesar Rp 200 juta subsider pidana 6 bulan. Hotasi dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum
sesuai Pasal 2 UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Tipikor. (Mvi/Sun)
Source: https://www.liputan6.com/news/read/2151382/punya-bukti-baru-eks-dirut-merpati-hotasi-nababan-yakin-bebas
Key Questions:
1. Can you identify any corporate governance issue that may lead to the company’s loss?
2. Can the director be held personally liable for the loss?
3. Why was the director indicted for corruption?
Case Study 8 : Pembatalan Putusan Arbitrase Sengketa Perebutan PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia
Discussant : Milton Friedman
JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut) boleh merasa lega. Pasalnya majelis hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat membatalkan putusan arbitrase atas sengketa PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) dengan
PT Berkah Jaya Bersama. Sidang putusan yang dipimpin oleh ketua majelis hakim, Kisworo di dalam amar putusannya
memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan para pemohon. Keputusan ini diambil setelah majelis hakim
membaca dan meneliti bukti serta mendengar keterangan para pihak, saksi, dan ahli selama proses persidangan
berlangsung. "Menyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat putusan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia (BANI) pada 12 Desember 2014," ujar Kisworo saat membacakan amar putusan, Rabu (29/4/2015)
kemarin. Pemohon dalam perkara ini antara lain dari Siti Hardiyanti Rukmana, PT Tridan Satriaputra Indonesia, PT
Pertiwi, Mohamad Jarman, dan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia (CTPI).
Adapun putusan BANI No. 547/2013 yang dibatalkan oleh majelis hakim hanya sebatas pada, pertama, menyatakan sah
dan mengikat surat kuasa pada 3 Juni 2003 dan 7 Februari 2003. Kedua, menyatakan pemohon beriktikad baik dan telah
melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian investasi pada 23 Agustus 2002 dan tambahan perjanjian pada 7
Februari 2003. Ketiga, menyatakan pemohon berhak atas 75 persen saham di PT CTPI sampai dengan sebelum pemohon
mengalihkan saham tersebut kepada pihak ketiga, yaitu PT MNC Tbk. Keempat, menyatakan para termohon telah
melakukan cidera janji terhadap pemohon dengan mencabut surat kuasa yang bertentangan dengan perjanjian
investasi. Kelima, menghukum para termohon untuk segera tanggung renteng, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama membayar kepada pemohon atas tambahan pembiayaan yang dilaksanakan oleh pemohon sebesar Rp 510,04
miliar. Keenam, membebankan biaya administrasi kepada pemohon, para termohon, dan pemohon VI secara seimbang
yaitu masing-masing 50 persen dari biaya arbitrase. Serta ketujuh, menghukum dan memerintahkan para termohon dan
pemohon VI untuk membayar/ mengembalikan kepada pemohon biaya administrasi yang telah dibayar terlebih dahulu
oleh pemohon sebesar Rp 2,3 miliar. Di dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa putusan BANI
tersebut telah bertentangan dengan ketertiban umum dan putusan pengadilan negeri, sehingga patut untuk dibatalkan.
Secara terpisah, kuasa hukum dari PT Berkah Karya Bersama, Andi Simangunsong tetap menghormati keputusan majelis
hakim, walaupun menurutnya putusan tersebut salah. Untuk itu, pihaknya akan langsung menempuh upaya hukum
banding ke Mahkamah Agung (MA). "Upaya hukum itu ada, karena pertimbangan yang dipakai majelis menurut kami
tidak benar," ujar Andi ketika ditemui seusai persidangan. Ia menjelaskan di dalam pasal 70 Undang-undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sudah dijelaskan beberapa alasan secara limitatif
untuk membatalkan putusan arbitrase. Pertimbangan majelis hakim yang menyatakan bahwa putusan BANI telah
bertentangan dengan ketertiban umum dan putusan pengadilan negeri tidak dapat dijadikan dasar pembatalan
putusan. Selain itu, di dalam proses persidangan, hal tersebut telah dijelaskan oleh saksi ahli bahwa di dalam lampiran
surat edaran MA tercantum delapan yurisprudensi MA yang menjelaskan MA selalu konsisten bahwa alasan
pembatalan merupakan yang diatur secara limitatif.
Ketentuan pembatalan arbitrase yang diatur pada Pasal 70 Undang-undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa disebutkan bahwa jika terdapat pemalsuan dokumen, tipu muslihat, dan penyembunyian dokumen yang
menguntungkan pihak lawan. Di dalam memori banding nanti, Andi akan memaparkan kembali bahwa putusan BANI
tidak dapat dibatalkan jika tidak memenuhi alasan-alasan seperti yang tertuang di dalam Pasal 70 UU Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut. Adapun jika dianggap bertentangan dengan ketertiban umum atau putusan
pengadilan, hukuman maksimal hanya sebatas tidak mendapatkan kemampuan eksekusi (eksekuatur) bukan
pembatalan. Menurut dia, di dalam UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah dipisahkan secara tegas
antara alasan pembatalan dengan non-eksekuatur. Dalam perkara ini, majelis dinilai telah mencampuradukan keduanya
dalam mempertimbangkan putusannya. "Majelis telah memutus permohonan pembatalan di luar ketentuan pasal 70
UU Arbitrase," jelas Andi. (Benedictus Bina Naratama)
(Perkara pembatalan putusan arbitrase ini bergulir sampai dengan Mahkamah Agung dan putusan Mahkamah Agung
menyatakan bahwa putusan BANI tidak dapat dilaksanakan.
Source: https://ekonomi.kompas.com/read/2015/04/30/131351726/Tutut.Berhasil.Batalkan.Putusan.BANI.soal.TPI.
Key Questions:
1. What is arbitration?
2. Why do people choose arbitration instead of going to court?
3. Is arbitration decision binding and enforceable?
4. What happened in the article? Why was the decision revoked?
Case Study 9 : Prima Jaya Informatika vs. Telkomsel
Discussant : John Austin
Source: https://tekno.kompas.com/read/2012/09/25/11150836/cuma.satu.senjata.telkomsel.atasi.kepailitan.
Key Questions:
1. What is bankruptcy?
2. Was Telkomsel financially incapable to fulfill its obligation? Why was Telkomsel petitioned for bankruptcy?
3. What are the prerequisites for bankruptcy?
4. Why the petitioner filed for Telkomsel’s bankruptcy instead of filing a breach of contract case to the civil court?
Case Study 10 : Pierre Cardin vs. Alexander Satryo Wibowo
Discussant : Adam Smith
“Pierre Cardin Milik Orang Jakarta: Antara Kepastian dan Keadilan Hukum”
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) memutuskan merek Pierre Cardin milik adalah orang Kayu Putih, Jakarta Timur, Alexander
Satryo Wibowo, bukannya desainer asal Prancis, Pierre Cardin. Dalam memutusnya, MA seakan di persimpangan jalan:
kepastian hukum atau keadilan hukum.
Sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung (MA), Minggu (11/9/2016), kemenangan Alexander Satryo Wibowo
karena mendasarkan pada asas 'first to file' yang lazim dikenal dalam hukum kekayaan intelektual. Alex mendaftar dan
mengantongi hak eksklusif merek Pierre Cardin pada 29 Juli 1977, sedang pemilik 'asli' merek Pierre Cardin baru
mendaftarkannya di Indonesia pada tahun 1999.
"Pada saat melakukan pendaftaran merek atas merek tersebut, merek tersebut Pierre Cardin Prancis tidak pernah terdaftar
dan dikenal, sehingga pada dasarnya pendaftaran tersebut tidak diterima," kata ketua majelis hakim Mahdi Soroinda Nasution
dengan anggota hakim agung Nurul Elmiyah dan hakim agung Hamdi sebagaimana dikutip detikcom dari website MA, Minggu
(11/9/2016).
Pandangan di atas menganut asas kepastian hukum sebagaimana diinginkan oleh UU 15/2001 tentang Merek. Namun asas
kepastian hukum dalam kasus di atas membuat seorang hakim agung memilih dissenting opinion. Hakim agung ini menilai
berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dengan tanpa harus membuktikan adanya iktikad tidak baik, ditinjau dari etika dan
moral, pendaftaran merek Pierre Cardin milik Tergugat dengan dalih merupakan pengguna pertama dan telah terdaftar
terlebih dahulu di Indonesia tidak dapat dibenarkan.
"Karena dengan sendirinya telah terbukti pendaftaran merek 'Pierre Cardin' oleh Tergugat dilakukan dengan iktikad tidak baik
yaitu telah membonceng, atau meniru atau menciplak ketenaran merek 'Pierre Cardin' milik dan sekaligus nama asli
Penggugat yang telah terdaftar terlebih dahulu di Negara asalnya dan juga diberbagai Negara, dan pula sejak awal tidak
terbukti adanya kerja sama antara Penggugat dan Tergugat dan atau izin dari Penggugat kepada Tergugat dalam penggunaan
merek
dagang dengan logo 'Pierre Cardin' sehingga hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum," ujarnya.
Ia menambahkan, merek dagang suatu produk tidak hanya bermakna sekedar nama atau tulisan, akan tetapi lebih jauh juga
mengandung arti dan yang dapat berhubungan langsung dengan produk yang maksud bersangkutan. Di samping itu merek
atau nama yang tertulis pada suatu produk juga dapat merupakan ciri atau pembeda dari daerah mana (dalam negeri) atau
dari negara mana (luar negeri) asal-usul produk tersebut, yang dalam perkara a quo nama atau tulisan produk yang digunakan
Penggugat adalah 'Pierre Cardin' yang merupakan nama asli Penggugat.
Sedangkan nama atau tulisan produk yang digunakan Tergugat juga 'Pierre Cardin' yang terbukti sama pada pokoknya, dan
terbukti pula kedua nama atau tulisan tersebut bukan merupakan bahasa atau tulisan dalam bahasa Indonesia.
"Akan tetapi merupakan bahasa atau tulisan dalam bahasa asing yang merupakan bahasa Negara asal Penggugat," cetusnya.
Rapat majelis berakhir deadlock dan diambil suara terbanyak dan dengan skor 2:1 dan dimenangkan Pierre Cardin Indonesia.
Kelemahan sistem merek di Indonesia diakui oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkum HAM.
"Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi
pemegang hak atas merek, namun sampai saat ini sistem pendaftaran first to file di Indonesia belum efektif menciptakan
keselarasan jaminan keadilan dan kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik
merek yang sebenarnya," ujar BPHN yang dituangkan dalam Naskah Akademik RUU yentang Hak Kekayaan Industri.
(asp/rvk)
Source: https://news.detik.com/berita/3295992/pierre-cardin-milik-orang-jakarta-antara-kepastian-dan-keadilan-hukum
Key Questions:
1. What are intellectual property rights?
2. How do you get legal protection over your intellectual property rights?
3. In your opinion, is the ownership of the brand by the Indonesian as mentioned in the article legal? Is it ethical?
Case Study 11 : KPPU vs. XL, Telkomsel, Telekomunikasi Indonesia, Bakrie Telecom, Mobile 8, Indosat, dkk
Discussant : Roscoue Pound
Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menghukum 5operator seluler karena melakukan kartel tarif pulsa SMS. Akibat permainan
tarif SMS itu, konsumen dirugikan karena tidak bisa mengirim SMS dengan lebih banyak.
Kasus bermula saat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menerima adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5
Tahun 1999 yang dilakukan sejumlah provider seluler di Indonesia. Pasal 5 berbunyi:
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan
atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
Atas laporan ini, KPPU lalu bergerak untuk menelisik jejak kartel tarif SMS tersebut. SMS merupakan jasa nilai tambah dari
layanan telekomunikasi seluler maupun FWA yang tidak bisa lagi dipisahkan dari layanan suara/voice. Untuk jasa ini, operator
menerapkan tarif yang yang melakukan pengiriman SMS atau biasa dikenal dengan istilah Sender Keeps All (SKA).
Tarif SMS pada periode 1994-2004 adalah sama untuk semua operator off-net (lintas operator) maupun on-net (antar
operator), yaitu sebesar Rp 350 untuk prabayar. Memasuki 2005, persaingan mulai muncul dengan membedakan tarif off-
net (lintas operator) maupun on-net (antar operator).
Biaya SMS ini diatur dalam UU Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi, Keputusan Menteri Nomor 21/2001 tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi, Peraturan menteri
Nomor 8/2006 tentang Tarif Interkoneksi dan Peraturan Menteri Nomor 12/2006 tentang Tarif Stasiun Telepon Seluler. Semua
regulasi itu mengatur besaran tarif telekomunikasi diserahkan sepenuhnya kepada operator dengan mengacu pada formula
dan susunan tarif yang ditetapkan pemerintah.
Untuk menjamin keterlangsungan interkoneksi antar operator, mereka melakukan perjanjian kerjasama interkoneksi dengan
operator lainnya. Nah, belakangan terjadi kesepakatan yang tidak dibenarkan dalam menentukan tarif ini. Operator baru akan
membuat harga SMS lebih murah dari harga tarif SMS yang dikelola operator yang sudah ada. Perbedaan harga ini sangat
sensitif sehingga dapat menimbulkan spamming
Akibat permainan kartel ini, konsumen dirugikan karena konsumen seharusnya dapat menikmati tarif SMS yang lebih murah
sehingga konsumen dapat mengirim SMS yang lebih banyak dan akan lebih banyak segmen masyarakat yang dapat
menggunakan layanan SMS.
"Tim pemeriksa menilai pada periode 2004-2007 telah terjadi kartel tarif SMS off-nett," ujar KPPU dalam keputusan nomor
Nomor 26/KPPU-L/2007.
Atas temuan ini, KPPU memanggil para pihak yang diduga melakukan kartel tersebut. Setelah dilakukan pemeriksaan secara
mendetail, pada 17 Juni 2008 KPPU memutuskan empat operator seluler bersalah karena melakukan kartel harga dan
dihukum masing-masing Terlapor I (PT Excelkomindo Pratama, Tbk) sebesar Rp 25 miliar, Terlapor IV (PT Telekomunikasi
Indonesia, Tbk) sebesar Rp 18 miliar, Terlapor VI (PT Bakrie Telecom) sebesar Rp 4 miliar dan Terlapor VII (PT Mobile-8
Telecom, Tbk) sebesar Rp 5 miliar. PT Telekomunikasi Seluler dihukum Rp 25 miliar.
Atas keputusan KPPU ini, para operator keberatan dan menyatakan banding ke PN Jakpus. Dalam putusan nomor perkara
03/KPPU/2008/PN.JKT.PST, PN Jakpus membalik keadaan. Dalam vonis yang dibacakan pada 27 Mei 2008, majelis hakim
memutuskan membatalkan keputusan KPPU itu.
Mendapati keputusan ini, giliran KPPU yang mengajukan kasasi ke MA. Apa kata MA?
"Mengabulkan permohonan kasasi KPPU," demikian lansir MA dalam websitenya, Selasa (1/3/2016).
Perkara ini diadili oleh hakim agung Syamsul Maarif SH LLM PhD sebagai ketua majelis, dan hakim agung Dr Abdurrahman dan
hakim agung I Gusti Agung Sumanatha selaku hakim anggota. Putusan 9 K/Pdt.Sus-KPPU/2016 diketok pada 29 Februari 2016
kemarin.
(asp/nrl)
Source: https://news.detik.com/berita/d-3154491/kasus-kartel-tarif-sms-5-operator-seluler-dihukum-puluhan-miliar-rupiah
Key Questions:
1. Why is the agreement between the respondents (termohon) in the case considered illegal?
2. Why does the State have to govern unfair business practice?
3. What is the difference of “per se illegal” and “rule of reason” concept in applying the law in unfair business
practices?
Instructions:
1. All class participants are expected to read all the above case studies.
2. Each syndicate is assigned a case study to become a ‘discussant’ (except case study 1 that is
aimed for all).
3. A discussant is expected to read and understand the assigned case further, do more research
and become a leader in the discussion in class on the topic.
4. All class members are of course welcome to join and fill in the discussion of each case.
5. I will direct questions regarding a case specifically to the syndicate assigned with it and the
syndicate is expected to demonstrate an understanding of what they have read and researched.
This will count as “class participation” component in the final grade (10%).
6. No papers or any other output required for this. Active participation and demonstration that
they syndicate has done their reading and research are sufficient.