Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

“Trauma Tajam Abdomen/Penetrating Abdominal Injury”

 Penetrating abdominal injury is any penetrating injury that could hava entered the peritoneal
cavity or retroperitoneum inflicting damage on the abdominal contents. In general, the entry
wounds for an abdominal inuury ectend from the fifth intercostal space to the perineum.
 The most common cause is a stab or gunshot. The most common organs injured are the
small bowel (50%), large bowel (40%), liver (30%), and intra-abdominal vascular (25%).
These injuries may be life-threatening because abdominal organs bleed profusely. If the
pancreas is injured, further injury occurs from autodigestion. Injuries of the liver often present
in shock because the liver tissue has a large blood supply. The intestines are at risk of
perforation with concomitant fecal matter complicating penetration.
 Pembagian regio abdomen (penting untuk mengetahui organ yang terlibat) :
a. 4 regio

b. 9 regio

c. 4 regio (anterior abdomen, thoracoabdominal area, flanks, back)


Anterior abdomen : anterior costal margins to inguinal creases, between the enterior axillary
lines
Intrathoracic abdomen or thoracoabdominal area : fourth intercostal space anteriorly (nipple)
and seventh intercostal space perteriorly (scapular tip) to inferior costal margins
Flank : scapular tip to iliac crest, between anterior and posterior axillary lines
Back : scapular tip to iliac crest, between posterior and axillary line
 Secara garis besar, organ2 pada abdomen terbagi atas :
o Organ-organ intrabdomen terdapat dua, yaitu solid organs (spleen dan liver) dan hollow
viscus organ (stomach/lambung, ileum, jejenum, kolon transversal)
o Organ-organ retroperitoneal (organ yang berada di luar kavitas peritoneum) duodenum,
pancreas, kidneys, ureter, urinary bladder, ascending and descending colon, major
abdominal vesser, rectum)
 Manajemen pada trauma tajam abdomen :
o Anamnesis : When assessing a patient who has sustained penetrating trauma, pertinent
historical information includes the time of injury, type of weapon, number of stab wounds
or gunshot sustained, and the amount of external bleeding noted at the scene.
o Jika terdapat perdarahan yang aktif dan massif yang terlihat, maka kontrol perdarahan
harus dilakukan

o Nilai kesadaran cepat dapat membantu memastikan patensi airway dan kesadaran pasien
dapat dilakukan dengan AVPU
o Airway + C-spine control :
 Pada pasien dengan multiple trauma dan kecurigaan adanya spinal injury/trauma
cervical (multi trauma, penurunan kesadaran, jejas diatas klavikula) maka harus segera
dilakukan imobilisasi dengan memfiksasi leher. Dapat dilakukan dengan cara manual
inline stabilization atau dengan pemasangan collar neck.
 Nilai patensi airway dengan look, listen, and feel. Obstruksi airway dapat terjadi secara
parsial maupun total.

 Look : pengembangan dada, pergerakan cuping hidung, obstruksi, dan trauma


maxillofacial
 Listen : adanya suara napas tambahan seperti stridor/crowing (benda padat),
gurgling (cairan atau darah), snoring (lidah jatuh kebelakang), wheezing
 Feel : hembusan napas
 Lakukan manajemen airway dengan cara maneuver, simple airway adjuncts, dan
definitive airway
 Pada pasien yang tidak sadar namun masih bernapas dan tidak terdapat kondisi
yang mengancam nyawa, dapat diposisikan dengan posisi “recovery position”, untuk
menjaga patensi airway.
 Manuver dengan cara head-titlt and chin-lift (hati-hati pada pasien dengan trauma
cervical) atau jaw thrust

 Simple airway adjuncts : dapat dilakukan dengan suctioning (obstruksi benda cair),
Oropharyngeal-airway (OPA), Nasopharyngeal-airway (NPA), dan laryngeal mask-
airway (LMA). Bebaskan airway dari benda asing jika benda yang menyumbat
terlihat dan dapat diraih dengan finger sweep.

OPA berguna untuk mencegah lidah jatuh kebelakang (note: lidah jatuh kebelakang
dapat terjadi pada pasien dengan penurunan kesadaran). Terdapat dua jenis OPA
yang sering digunakan, yaitu Guedel dan Berman.
Cara pemasangan OPA
NPA sendiri kontraindikasi dipasangkan pada pasien dengan nose bleed atau fractured
nose. Biasanya pemasangan NPA dilakukan pada pasien semi-conscious/setengah
sadar yang membutuhkan airway device tapi tidak dapat dipasangkan OPA karena
gag-reflex (pasien dapat muntah). Juga dilakukakan pada pasien dengan clenched-
jaw atau pasien yang membutuhkan nasal-tracheal suctioning.

Laryngeal mask-airway (LMA)


 Penanganan dengan airway definitive dapat berupa intubasi dengan endotracheal tube
(ETT), tracheostomy, atapun cricothyroidotomy. Dilakukan dengan indikasi :

Pemasangan ETT
o Breathing dan ventilasi-oksigenasi
 Pengelolaan ventilasi dilakukan dengan Bag Valve Mask (BVM), sedangkan oksigenasi
dilakukan dengan pemberian oksigen tingkat tinggi.

 Pemasangan pulseoxymeter penting untuk memantau oksigenasi dan perfusi jaringan.


 Inspeksi : perhatikan pengembangan dada (apakah simetris kanan-kiri atau terdapat
pergerakan dada yang tertinggal, paradoxical breathing), jejas, fraktur, luka. Perhatikan
juga trachea dan vena jugularis, apabila terdapat deviasi trachea dan distensi vena
jugularis maka dapat dicurigai adanya pneumothorax atau hemothorax massive yang
menyebabkan pergesaran organ mediastinum dan peningkatan tekanan intrathoracal.
 Palpasi : krepitasi dapat menjadi tanda adanya fraktur costa
 Perkusi : hipersonor pada perkusi menandakan adanya pneumothorax atau tension
pneumothorax. Sedangkan redup dapat menandakan adanya akumulasi cairan atau
darah.
 Auskultasi : apakah terdapat bunyi tambahan seperti wheezing atau rhonki dan atau
apakah bunyi napas menjauh/dapat terdengar atau tidak.
 Gangguan breathing yang dapat terjadi adalah :
 Pneumothorax
 Tension-pneumothorax

 Hemothorax

 Flail-Chest
o Circulation
 Mencari sumber perdarahan eksternal mapun internal yang fatal. Pada perdarahan
eksternal kontrol perdarahan dilakukan dengan bebat tekan. Tanda-tanda yang perlu
diwaspadai jika terdapat internal bleeding adalah memar.
 Periksa nadi, nilai kualitas dan kecepatan denyutnya
 Pengukuran tekanan darah
 Kenali tanda-tanda shock yaitu penurunan kesadaran, takikardi atau henti jantung,
tachypnea atau henti napas, sianosis, hipotensi, tekanan nadi <20mmHg, CRT
>2detik. Nilai derajat shock :

 Pasang kateter IV 2 line ukuran besar, dan lakukan resusitasi dengan cairan
kristaloid. (Lihat algoritme resusitasi)
 Pemasangan kateter urin penting untuk memantau urine output dan perfusi ginjal
o Disability
 Menentukan tingkat kesadaran dengan Glasgow-coma scale (GCS)

 Nilai pupil: besarnya, isokor atau tidak, refleks cahaya, dan tanda adanya lateraliasasi

o Exposure
 Buka pakaian dan cegah hipotermia pada pasien

o Reassessment
Kembali nilai ABCD, jika kondisi pasien sudah stabil, selanjutnya lakukan secondary survey
dengan complete head-to-toe examination.

o Secondary Survey
 Anamnesis : AMPLE (Allergic, Medication, Past illness, Las meal, Event)
 Pemeriksaan head-to-toe. Deskripsikan pemeriksaan yang ditemukan.
 Kepala-leher bagaimana…
 Thoraks : cor dan pulmo bagaimana…
 Abdomen
o Inspeksi pada seluruh regio abdomen (anterior dan posterior) : Perhatikan
adanya cembung/distensi, apakah ada eviserasi, bruise, kontusio, dimana regio
terjadinya trauma, abrasi.

o Auskultasi : bowel movement


o Palpasi : nyeri tekan/rebound tenderness
o Perkusi : timpani atau redup
o Adanya referred pain/nyeri alih dapat menjadi tanda adanya kerusakan organ
seperti rupture lien seperti kehr sign dan balance sign.
 Ekstremitas superior dan inferior

 Pemeriksaan penunjang :
o Darah rutin
o CXR/Chest X-ray : adanya gambaran “free air” under the diaphragm
o DPL/Diagnostic peritoneal lavage to identify hollow viscus injury (stomach, small bowel,
colon) or diaphragmatic injury
o FAST/Focused Assessment with sonography for trauma : looking for free fluid
o CT-Scan
o Laparoscopy

 Specific organ injury :


o Hepar injury
o Spleen injury
o Diaphragmatic injury
o Stomach injury
o Small intestine injury
o Colon and rectum
o Renal injury

 Penanganan evierasi :
 Komplikasi : Spesis, fistula, peritonitis, abdominal compartement syndrome
 Prognosis : the death rate from penetrating abdominal trauma spans the entire spectrum (0-
100%), depending on the extent of injury.

You might also like