Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

e-ISSN : 2686-0007 Volume 1. No.

2 (July,2019) Maternal Child Health Care Journal

FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN


STUNTING PADA BALITA DI PUSKESMAS BIARO
KABUPATEN AGAM TAHUN 2018

Delima Nopita Sari(1), Vedjia Medhyna2)


Program Studi Kebidanan Program Sarjana Terapan,
Stikes For De Kock Kota Bukittinggi

Abstract : Stunting is a chronic nutritional problem caused by lack of nutrition for a long
time generally due to food intake that is not in accordance with nutritional needs. Stunting
prevalence in Indonesia is 37.2%, in West Sumatra 32.8%, and in Kabupaten Agam 22.1%.
The purpose of this study was to determine the factors that influence the incidence of stunting
in children under five at the Biaro Health Center in Agam district in 2018. This study is a
quantitative research, analytical survey research method with a case control approach that
aims to determine the relationship of diet, exclusive breastfeeding of BB birth and parent
income with the incidence of stunting in infants. The study population was all children under
five years old in the Biaro Health Center in Agam District in 2018, which was 2,040 people.
Sampling using a sampling population for the incidence of stunting with a ratio of 1: 1,
obtained samples of 142 people. Data obtained by using questionnaires and height
measurement for under-fives from August 27-18 and data analysis include univariate and
bivariate analysis.. The results of this study were toddlers who experienced stunting as much
(57.6%), toddlers with good diet (50.7%), toddlers with exclusive breastfeeding (57.7%),
toddlers with LBW (52.1%) and toddlers with low parental income (64,% 1). Chi square test
results of diet p = 0,000, OR = 6,071, exclusive breastfeeding p = 0,004, OR = 2,902, BB
birth p = 0,029, OR = 2,227, and parental income p = 0,014 OR = 2,557. Based on the
results of the study there was a relationship between diet, exclusive breastfeeding, birth
weight and parental income with the incidence of stunting in infants. For this reason it is
expected that health workers provide counseling to mothers about the causes and effects of
stunting to prevent the occurrence of stunting.

Keywords : Stunting, Diet, Exclusive Breastfeeding, Birthbirth, Parent's

Abstrak : Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang
dalam waktu lama umumnya karena asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
gizi. Prevalensi stunting di Indonesia 37,2%, di Sumatera Barat 32,8%, dan di Kabupaten
Agam 22,1 %. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi kejadian stunting pada balita di Puskesmas Biaro kabupaten Agam tahun
2018. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif, metode penelitian survey analitik
dengan pendekatan case control yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pola makan,
ASI eksklusif BB lahir dan pendapatan orangtua dengan kejadian stunting pada balita.
Populasi penelitian adalah seluruh balita di Wilayah Kerja Puskesmas Biaro Kabupaten
Agam tahun 2018 yaitu 2.040 orang. Pengambilan sampel mengunakan populasi sampling
untuk kejadian stunting dengan perbandingan 1 : 1 , didapatkan sampel 142 orang. Data
yang diperoleh dengan mengunakan kuesioner dan pengukuran tinggi badan balita yaitu dari
tanggal 27 – 18 Agustus dan analisa data meliputi analisa univariat dan bivariat. Hasil
penelitian ini adalah balita yang mengalami stunting sebanyak (50,0%), Balita dengan pola

18
makan baik (50,7%), Balita dengan Asi Eksklusif (57,7%), balita dengan BBLR (52,1%) dan
balita dengan pendapatan orangtua yang rendah (64,%1). Hasil uji chi square pola makan
p= 0,000, OR=6,071, ASI eksklusif p = 0,004, OR =2,902, BB lahir p =0,029, OR = 2,227 ,
dan pendapatan orangtua p = 0,014 OR = 2,557. Berdasarkan hasil penelitian ada
hubungan pola makan, Pemberian ASI eksklusif, BB lahir dan Pendapatan orangtua dengan
kejadian stunting pada balita. Disarankan pemenuhan gizi yang baik dari segi pola makan
yang benar dan perbaikan kesejahteraan keluarga menjadi prioritas kebijakan pemerintah
daerah.

Kata kunci : Stunting, Pola Makan, Asi Eksklusif, BB Lahir, Pendapatan Orangtua

PENDAHULUAN tinggi badan menurut umur (TB/U)


yang merupakan padanan istilah
Target nutrisi global stunted (pendek) dan severely
tentang kesehatan didunia tahun stunted (sangat pendek). Z-score
2025 difokuskan pada 6 program untuk kategori pendek adalah -3
prioritas yaitu menurunkan angka SD sampai dengan < -2 SD dan
stunting pada anak dibawah lima sangat pendek adalah < -3 SD
tahun sebanyak 40%, penurunan menurut standarbaku WHO-MGRS
anemia pada perempuan usia (Multicentre Growth Reference
produktif mencapai 50%, Study) tahun 2005 . Beberapa
penurunan angka BBLR sebanyak faktor yang mempengaruhi
30%, tidak ada peningkatan berat kejadian stunting antara lain berat
badan berlebih pada balita, badan lahir, panjang badan lahir,
meningkatkan angka menyusui usia kehamilan dan pola asuh ibu.
secara eksklusif mencapai 50% dan Defisiensi energi kronis atau
penurunan angka menderita anemia selama kehamilan dapat
wasting (terlalu kurus untuk tinggi menyebabkan ibu melahirkan bayi
badan mereka) sebanyak 5% dan dengan berat lahir rendah
target ini sesuai dengan Target (Meilyasari,2014).
SDG’s goal yang ke-2 yaitu Tahun 2016, terdapat 159
mengakhiri kelaparan dan juta anak-anak (23%) usia di
ketahanan pangan melalui bawah 5 tahun mengalami
perbaikan gizi dengan didukung stunting, 52 juta mengalami
promosi pertanian (WHO, 2015). kejadian wasting dan 41 juta
Menurut keputusan menteri kelebihan beratatau obesitas,
kesehatan Republik Indonesia dengan Negara penyumbang
nomor1995/MENKES/SK/XII/201 terbanyak yaitu Afrika dan Asia
0 tentang standar antropometri Tenggara. Menurut World Health
penilaian status gizi anak, Organization (WHO), prevalensi
pengertian pendek dan sangat balita pendek menjadi masalah
pendek adalah status gizi yang kesehatan masyarakat jika
didasarkan pada indeks panjang prevalensinya 20% atau lebih.
badan menurut umur (PB/U) atau Karenanya persentase balita

19
pendek di Indonesia masih tinggi menular. Upaya peningkatan status
dan merupakan masalah kesehatan gizi masyarakat termasuk
yang harus ditanggulangi. penurunan prevalensi balita pendek
Dibandingkan beberapa negara menjadi salah satu prioritas
tetangga, prevalensi balita pendek pembangunan nasional yang
di Indonesia juga tertinggi tercantum di dalam sasaran pokok
dibandingkan Myanmar (35%), Rencana Pembangunan jangka
Vietnam (23%), Malaysia (17%), Menengah Tahun 2015 – 2019.
Thailand (16%) dan Singapura Target penurunan prevalensi
(4%). Global Nutrition Report stunting (pendek dan sangat
tahun 2014 menunjukkan pendek) pada anak baduta
Indonesia termasuk dalam 17 (dibawah 2 tahun) adalah menjadi
negara, di antara 117 negara, yang 28% (Infodatin, 2016).
mempunyai tiga masalah gizi yaitu Status gizi balita
stunting, wasting dan overweigh berdasarkan indeks TB / U di
pada balita (Infodatin, 2016). Sumatera Barat tahun 2017,
Laporan Gizi Global 2014 sebanyak 9,3% balita mempunyai
menempatkan Indonesia diantara status gizi sangat pendek dan
31 negara yang tidak akan 21,3% balitamempunyai status gizi
mencapai target global untuk pendek. Presentase stunting /
menurunkan angka kurang gizi di pendek ( sangat pendek dan
tahun 2025. Data pemerintah pendek) pada kelompok balita
menunjukkan 37% anak balita (30,6%) lebih tinggi dibandingkan
menderita stunting. Penduduk kelompok baduta (18,6%) (
miskin di Indonesia memiliki Kemenkes RI,2017).
kemungkinan menderita stunting Di Kabupaten Agam, status
50 persen lebih tinggi gizi anak balita umur 0-23 bulan
dibandingkan dengan mereka dari berdasarkan indeks TB/U sebesar
golongan menengah keatas. 6,7% pada baduta sangat pendek
Namun demikian, hampir 30 dan 10,6% pada baduta pendek
persen anak Indonesia dari dengan jumlah bayi sebanyak
golongan menengah keatas juga 7.662 balita . Status gizi balita
mengalami stunting. Kesenjangan umur 0 – 59 bulan dengan indeks
prevalensi kekurangan gizi antar TB/U yaitu 9,2% pada balita
provinsi dan kabupaten masih sangat pendek dan 22,1% pada
cukup lebar (UNICEF, 2016). balita pendek dari jumlah balita
Di Indonesia, sebnyak 10.328 balita. ( Kemenkes
pembangunan kesehatan dalam RI,2017).
periode tahun 2015-2019 Pada penimbangan massal
difokuskan pada empat program bulan februari tahun 2018
yaitu penurunan angka kematian diperoleh data angka stunting
ibu dan bayi, penurunan prevalensi sebanyak 49 anak dengan usia 0-
balita pendek (stunting), 23 bulan dengan jumlah balita
pengendalian penyakit menular sebanyak 1345 balita dan 71 anak
dan pengendalian penyakit tidak pada usia 24- 59 bulan dengan
20
jumlah anak sebanyak 2.040 anak memiliki pengetahuan yang tinggi,
di Puskemas Biaro. pemberian ASi eksklusif dan pola
Pada tahun 2017, di makan anak sesuai dengan pola
puskesmas Padang Tarok terdapat makan yang seharusnya.
22 anak mengalami keadaan Berdasarkan uraian latar
stunting dengan jumlah anak belakang diatas maka dapat disusun
sebanyak 314 anak. pada rumusan masalah dalam penelitian
penimbangan massal bulan ini yaitu “Apakah faktor – faktor
februari tahun 2018 diperoleh yang mempengaruhi kejadian
data angka stunting sebanyak 9 stunting pada BALITA 24 - 59
anak pada usia 0 – 23 bulan bulan di Puskesmas Biaro
dengan jumlah anak sebanyak 385 Kabupaten Agam tahun 2018?”.
anak. Pada balita usia 24 – 59
bulan, kejadian stunting sebanyak METODE PENELITIAN
29 anak dengan jumlah yang Jenis penelitian yang
ditimbang sebanyak 674 anak. dilakukan adalah survey analitik yang
Peneliti melakukan survey artinya survey atau penelitian yang
awal pada bulan April 2018, mencoba menggali bagaimana dan
setelah dilakukan wawancara mengapa fenomena kesehatan itu
terhadap 10 orang ibu yang terjadi. Pendekatan waktu yang
memiliki balita, di dapatkan 7 digunakan dalam penelitian ini adalah
orang ibu yang memiliki balita case control dimana penelitian ini
yang stunting, dan 3 orang ibu dengan membandingkan kelompok
yang tidak memiliki balita kasus dan kelompok control
stunting. Dari 10 orang ibu yang berdasarkan status paparannya
memiliki balita hanya 4 orang ibu (Notoadmojo, 2012). Teknik
yang pengetahuannya tinggi serta pengambilan sampel yang digunakan
deberikan ASI secara eksklusif, 4 dalam penelitian ini adalah total
orang ibu mengatakan anak mereka sampling. Pengolahan dan analisa data
lahir dengan BB < 2500g, dan 4 dilakukan secara komputerisasi yaitu
orang ibu yangpola makan anaknya Uji Chi-Square.
sesuai 3 kali sehari, jumlahnya
sesuai dengan kebutuhan anak dan HASIL DAN PEMBAHASAN
jenis makanannya bervariasi Analisis Univariat
seperti nasi, ikan, telur, daging,
tahu, susu, air mineral serta Distribusi Frekuensi Pola Makan
sayuran dan buah-buahan. Dari 7 Balita Di Wilayah Kerja
ibu yang memiliki balita stunting Puskkesmas Biaro Tahun 2018
mengaku kurangnya pengetahuan
ibu serta tidak diberikannya ASI Pola makan F %
eksklusif, berat badan lahir rendah
serta pola makan anak yang tidak Tidak baik 70 49.3
sesuai dengan yang seharusnya. Baik 72 50.7
Sedangkan 3 orang ibu yang
memiliki anak yang tidak stunting
21
Total 142 100.0 Menurut asumsi peneliti pola
makan yang kurang baik disebabkan
Berdasarkan tabel 5.1 dapat karena ketidaktahuan ibu mengenai
diketahui bahwa dari 142 responden pemberian makanan seperti jenis-jenis
terdapat 70 responden (49,3%) dengan makanan yang baik dikonsumsi oleh
pola makan tidak baik dan 72 balita. Hasil yang diperoleh dari
responden (50,7%) dengan pola makan kuesioner yang diberikan, ibu banyak
baik. menjawab ketadaktahuan akan variasi
Pola makan masyarakat atau makanan yang bias diberikan oleh
sekelompok di mana anak berada, akan anaknya, sehingga ibu cenderung
sangat mempengaruhi kebiasaan memberikan makanan pada balita
makan, selera dan daya terima anak dengan menu yang serupa setiap hari
akan suatu makanan. Oleh karena itu, seperti nasi dan sayur tanpa
di lingkungan anak hidup terutama menambahkan menu yang lan. Pola
keluarga perlu pembiasaan makan makan yang diberikan oleh ibu juga
anak yang mempehatikan kesehatan tidak sesuai dengan pola makan yang
dan gizi (Sulistyoningsih, 2011). benar dimana ibu tidak memberikan
Anak usia 1-5 tahun dapat pula pola makan dalam sehari terdiri dai 3
dikatakan mulai di sapih atau selepas kali makanan utama (pagi, siang dan
menyusu sampai dengan prasekolah. malam) serta 2 kali makanan selingan.
Sesuai dengan pertumbuhan badan dan Pada balita yang mempunyai pola
perkembangan kecerdasannya, faal makan yang baik, terdapat balita
tubuhnya juga mengalami dengan kejadian stunting, hal ini
perkembangan sehingga jenis makanan disebabkan dengan beberapa factor
dan cara pemberiannya pun harus di diantaranya ibu tidak memberikan ASI
sesuaikan dengan keadaannya. Anak di eksklusif selama 2 tahun serta terdapat
bawah lima tahun merupakan riwayat BBLR sehingga balita dapat
kelompok yang menunjukkan berpeluang mengalami kejadian
pertumbuhan badan yang pesat namun stunting.
kelompok ini merupakan kelompok
tersering yang menderita kekuangan Distribusi Frekuensi Pemberian ASI
gizi (Atikah, 2011). Eksklusif Pada Balita Di Wilayah
Penelitian yang dilakukan oleh Kerja Puskkesmas Biaro Tahun
Regar, dkk (2013) menunjukkan ada Pemberian ASI
perbedaan yang bermakna antara f %
Eksklusif
tingkat kecukupan protein dengan
status gizi (TB/U). Penelitian yang Tidak ASIEksklusif 60 42.3
dilakukan oleh Anindita (2012) juga
menunjukkanterdapat hubungan yang ASI eksklusif 82 57.7
signifikan antara tingkat kecukupan Total 142 100.0
protein dengan kejadian stunting.
Tingkat kecukupan energi dan protein 2018
yang semakin rendah akan
meningkatkan risiko terjadinya
stunting.
22
Berdasarkan tabel 5.2 diketahui ASI sehingga bayi lebih rawan terkena
bahwa dari 142 responden didapatkan penyakit. Dari hasil wawancara
bahwa sebagian besar anak balita yang dengan ibu balita, diketahui banyak
tidak ASI ekslusif yaitu 60 anak ibu balita memberikan ASI
(42,3%). ASI ekslusif adalah dikombinasikan dengan susu formula.
memberikan hanya ASI saja bagi bayi Alasan yang paling banyak
sejak lahir sampai usia 6 bulan. dikemukakan oleh ibu balita adalah
Namun ada pengecualian, bayi ASI tidak lancar, selain itu ibu bekerja
diperbolehkan mengonsumsi obat- dan bayi masih rewel meskipun sudah
obatan, vitamin, dan mineral tetes atas diberi ASI. Mudahnya mendapatkan
saran dokter. Selama 6 bulan pertama susu formula membuat ibu kurang
pemberian ASI ekslusif, bayi tidak berusaha untuk meningkatkan
diberikan makanan dan minuman lain produksi ASI nya.
(Kemenkes, 2010). Pada Ibu yang memberikan
Fungsi ASI sebagai antiinfeksi ASI Eksklusif kepada bayi tapi balita
dapat mempengaruhi perubahan status tetap mengalami kejadian stunting hal
stunting pada balita. Lama pemberian ini disebabkan karena adanya factor –
ASI yang kurang dan pemberian factor penyebab lain sehingga balita
makanan atau susu formula yang telalu berpeluang mengalami kejadian
dini dapat meningkatkan resiko stunting seperti balita memiliki pola
stunting karena bayi cenderung lebih makan yang tidak benar sehingga
mudah terkena penyakit infeksi seperti asupan makanan saat balita tidak lagi
diare dan ISPA (Rahayu, 2011). menyusui tidak dapat memenuhi
Hasil penelitian ini sejalan kebutuhan gizi balita tersebut.
dengan penelitian yang dilakukan oleh
Jihad (2016) tentang analisis Distribusi Frekuensi Berat Badan
determinan kejadian stunting pada Lahir Pada Balita Di Wilayah Kerja
balita usia 12-24 bulan di wilayah Puskkesmas Biaro Tahun 2018
kerja puskesmas puuwatu kota kendari
didapatkan hasil dari 82 responden BB Lahir f %
terdapat 53 anak (64,6%) balita yang
ASI ekslusif. Penelitian yang BBLR 74 52.1
dilakukan oleh Paudel R (2012) di Normal 68 47.9
Nepal menyatakan bahwa risiko anak
menjadi stunting adalah 6,9 kali jika Total 142 100.0
tidak mendapatkan ASI eksklusif.
Menurut asumsi peneliti, pada Berdasarkan tabel 5.3 dapat
balita yang tidak diberikan ASI diketahui responden di Wilayah
Eksklusif dapat menyebabkan kejadian Kerja Puskesmas Tanjung Baringin
stunting dimanamenyusui sekaligus pada tahun 2017, yaitu sebanyak 68
memberikan susu formula memang orang (47,9%) tidak memiliki
dapat memenuhi kebutuhan zat gizi riwayat balita dengan BBLR.
bayi sehingga tidak terganggu Berat lahir merupakan
pertumbuhannya, tetapi susu formula indikator untuk kelangsungan
tidak mengandung zat antibodi sebaik
23
hidup, pertumbuhan kesehatan dilakukan oleh Abuya (2012) di
jangka panjang dan pengembangan Nairobi didapatkan hasil bahwa
psikososial. Berat lahir juga risiko stunting akan meningkat 3
mencerminkan kualitas kali pada anak yang dilahirkan
perkembangan intra uterin dan dengan berat badan kurang dari
pemeliharaan kesehatan mencakup 2500 gram.
pelayanan kesehatan yang diterima Menurut asumsi peneliti
oleh ibu selama kehamilannya bayi yang baru lahir memiliki
(Awwal et al, 2004). Berat bayi beberapa kemungkinan yang akan
lahir rendah (BBLR) diartikan terjadi, diantaranya lahir dengan
sebagai berat bayi ketika lahir berat badan lahir rendah (BBLR)
kurang dari 2500 gram dengan dan normal. Bayi akan mengalami
batas atas 2499 gram (WHO). masalah cukup besar ketika lahir
Banyak faktor yang mempengaruhi dengan BBLR. Ia akan mengalami
kejadian BBLR terutama yang risiko untuk menjadi stunting.
berkaitan dengan ibu selama masa Balita dengan lahir BBLR akan
kehamilan. Berat badan ibu kurang berpeluang lebih besar mengalami
dari 50 kg, keluarga yang tidak kejadian stunting ditambah dengan
harmonis termasuk didalamnya tidak diberikannya ASI eksklusif.
adalah kekerasan dalam rumah Hal ini dapat membuat balita lebih
tangga dan tidak adanya dukungan berpeluang mengalami kejadian
dari keluarga selama masa tersebut. Balita dengan riwayat
kehamilan, gizi ibu buruk terutama BBLR dditambah dengan pola
selama masa kehamilan, kenaikan makan yang tidak benar dapat
berat badan selama kehamilan mebuat pemenuhan gizi belum
kurang dari 7 kg, infeksi kronis, tercukupi . ASI Eksklusif harus
tekanan darah tinggi selama diberikan kepada bayi agar
kehamilan, kadar gula darah ibu kebutuhan gizi pada balita dapat
tinggi selama kehamilan, merokok, terpenuhi dengan baik.
alcohol, dan genetik merupakan Balita dengan riwayat berat
beberapa faktor penyebab bayi yang badan lahir normal namun
dilahirkan BBLR (Reyes, 2005). mengalami kejadian stunting hal ini
Dalam penelitian oleh Fitri disebabkan dengan beberapa faktor
(2012) ditemukan terhadap 3126 diantaranya tidak diberikannya ASI
balita di sumatera ditemukan bahwa Eksklusif pada balita usia kurang
factor resiko yang paling dominan dari 2 ahun sehingga menyebabkan
terhadap terjadinya stunting adalah pertumbuhan balita menjadi lambat
BBLR (OR=1,71; CI : 1,22- 2,39). dan menyebabkan kejadian
Begitu juga penelitian kohor yang stunting.
dilakukan oleh schimidt di Jawa
Barat menunjukkan bahwa
pertumbuhan linear lebih ditentukan
oleh lingkungan saat prakehamilan
daripada factor – factor pasca
kelahiran. Penelitian yang
24
gizi buruk dan associated faktor
kalangan anak-anak di pedesaan
Distribusi Frekuensi Pendapatan Ethiopia, didapatkan hasil bahwa
Orangtua Di Wilayah Kerja status ekonomi yang rendah
Puskkesmas Biaro Tahun 2018 beresiko 4,7 kali terhadap gizi
buruk dibandingkan dengan status
Pendapatan f % ekonomi yang tinggi. Hasil
penelitian ini tidak sejalan dengan
Rendah 91 64.1 penelitian yang dilakukan oleh
Tinggi 51 35.9 Oktarina (2013) tentang faktor
resiko stunting pada balita (24-59
Total 142 100.0 bulan) di sumatera didapatkan hasil
status ekonomi yang rendah lebih
Berdasarkan tabel 5.4 dapat besar dengan hasil 374 responden
(46,3%).
diketahui bahwa dari 142 responden
Menurut asumsi peneliti
terdapat 91 responden (64,1%)
kurang baiknya ekonomi keluarga
yangmemiliki pendapatan yang
mempengaruhi pola makan anak
rendah dan 51 responden (35,9%)
tersebut dan akan mempengaruhi
yang memiliki pendapatan tinggi.
perrtumbuhan anak. Pendapatan
Status ekonomi keluarga
yang rendah akan mempengaruhi
yang rendah di Maluku Utara
makanan yang diberikan oleh balita.
berhubungan signifikan dengan
Pendapatan merupakan faktor yang
kejadian stunting dan severe
paling menentukan kualitas dan
stunting pada balita usia 0 –59
kuantitas makanan. Pendapatan dan
bulan. Apabila ditinjau dari
gizi sangat erat kaitannya dalam
karakteristik pendapatan keluarga
pemenuhan makanan kebutuhan
bahwa akar masalah dari dampak
hidup keluarga, makin tinggi daya
pertumbuhan bayi dan berbagai
beli keluarga makin banyak
masalah gizi lainnya salah satunya
makanan yang dikonsumsi dan
disebabkan dan berasal dari krisis
semakin baik pula kualitas makanan
ekonomi. Sebagian besar anak
yang dikonsumi.
balita yang mengalami gangguan
pertumbuhan memiliki status
ekonomi yang rendah. Pada hasil Distribusi Frekuensi Kejadian
analisis menunjukkan terdapat Stunting Di Wilayah Kerja
hubungan yang signifikan antara Puskkesmas Biaro Tahun 2018
pendapatan keluarga terhadap
kejadian stunting pada anak balita Kejadian f %
baik yang berada di daerah Stunting
pedesaan maupun di perkotaan kontrol 71 50,0
(Soetjiningsih, 2004).
Penelitian ini sejalan dengan Kasus 71 50,0
penelitian yang dilakukan oleh Total 142 100,0
Endris (2017) tentang prevalensi

25
al (2015) tentang “determinan
Berdasarkan tabel 5.5 dapat stunting pada anak balita usia 12-36
diketahui bahwa kejadian stunting bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
ddilakukan penelitian dengan Randuagung Kabupaten Lumajang”
responden stunting dan tidak dimana hasil penelitian
stunting dengan perbandingan 1 : 1. menunjukkan bahwa sebagian besar
Jumlah responden sebanyak 142 status gizi anak balita adalah
respoden, dengan kejadian stunting stunting yakni 46 anak balita
sebanyak 71 anak (50,0%) dan (53,3%).
balita tidak stunting sebnyak 71 Penelitian Farah Okky
0rang (50,0%). Aridiyah dkk tahun 2015 hasil
Balita pendek (stunting) analisis menunjukkan bahwa faktor
dapat diketahui bila seseorang yang mempengaruhi terjadinya
balita sudah diukur panjang atau stunting pada anak balita yang
tinggi badannya, lalu dibandingkan berada di wilayah pedesaan dan
dengan standar, dan hasilnya berada perkotaan adalah pendidikan ibu,
dibawah normal. Balita pendek pendapatan keluarga, pengetahuan
adalah balita dengan status gizi ibu mengenai gizi, pemberian ASI
yang berdasarkan panjang atau eksklusif, umur pemberian MP-
tinggi badanmenurut umurnya bila ASI, tingkat kecukupan zink dan
dibandingkan dengan standar baku zat besi, riwayat penyakit infeksi
WHO MGRS (Multicentre Growth serta faktor genetik. Namun, untuk
Reference Study) tahun 2005, nilai status pekerjaan ibu, jumlah
Z scorenya kurang dari -2 SD dan anggota keluarga, status imunisasi,
dikatagorikan sangat pendek jika tingkat kecukupan energi, dan
nilai Z-scorenya kuang dari -3SD status BBLR tidak mempengaruhi
(Kemenkes R.I, 2016). Anak-anak terjadinya stunting.Tingkat
yang menderita gizi kurang kecukupan protein dan kalsium di
berpenampilan lebih pendek dengan wilayah pedesaan menunjukkan
bobot badan lebih rendah di hubungan yang signifikan
bandingkan rekan rekannya sebaya sedangkan di wilayah perkotaan
yang sehat dan bergizi baik. Laju tidak menunjukkan adanya
petambahan bobot akan lebih hubungan.Faktor yang paling
banyak terpengaruh pada kondisi mempengaruhi terjadinya stunting
kurang gizi dibandingkan tinggi pada anak balita di wilayah
badan. Bila defisiensi gizi pedesaan maupun perkotaan yaitu
berlansung lama dan parah, maka tingkat kecukupan zink. Penelitian
petumbuhan tinggi badan akan Bayu dkk (2012) menunjukkan
terpengaruh pula. Petumbuhan bahwa faktor yang berhubungan
tinggi badan ini bisa tehambat bila dengan stus gizi balita stunting
seorang anak mengalami defesiensi diantaranya frekuensi konsumsi
protein (meskipun konsumsi makanan dan kehadiran di
energinya cukup) (Khomsan, 2009). posyandu serta frekuensi sakit.
Hasil penelitian ini hampir Asumsi peneliti banyaknya
sama dengan penelitian Priyono et balita yang stunting terjadi
26
dikarenakan pengetahuan ibu yang ditolak, maka dapat disimpulkan
rendah terhadap gizi pada balita bahwa ada hubungan yang bermakna
sehingga ibu kurang tau makanan antara pola makan dengan kejadian
yang banyak mengandung gizi yang stunting pada balita. Setelah dilakukan
sesuai dengan usia balita. Pola analisis lanjut didapatkan nilai OR
makan yang tidak baik yang sebesar 6.071artinya responden
dikarenakan ibu yang tidak telalu yangmempunyai pola makan tidak
paham bagaimana pola makan yang baik berpeluang sebesar 6 kalimemiliki
baik untuk balita serta anak balita balita yang mengalami stunting
sering membeli jajanan diluar, dibandingkan dengan responden yang
memakan makanan jajanan memiliki pola makan baik.
membuat balita merasa kenyang Kekurangan gizi seseorang
sehingga tidak mau makan, adalah jumlah yang diperkirakan
makanan yang diberikan cukup untuk memelihara kesehatan
ibunya.serta riwayan berat badan pada umumnya. Secara garis besar
saat lahir juga mempengaruhi kebutuhan gizi ditentukan oleh umur,
kejadian stunting. Pendapatan jenis kelamin, aktivitas, berat badan
orangtua eratkaitannya dalam dan tinggi badan. Antara asupan zat
pemenuhan makanan kebutuhan gizi dan pengeluarannya harus ada
hidup keluarga, makin tinggi daya keseimbangan sehingga diperoleh
beli keluarga makin banyak status gizi yang baik. (Kusuma, 2011).
makanan yang dikonsumsi dan Status gizi pada masa balita
semakin baik pula kualitas makanan perlu mendapatkan perhatian yang
yang dikonsumsi. serius dari para orang tua, karena
kekurangan gizi pada masa ini akan
Analisis Bivariat menyebabkan kerusakan yang
irreversibel (tidak dapat dipulihkan).
Hubungan Pola Makan Ibu dengan Ukuran tubuh yang pendek merupakan
Kejadian Stunting di Wilayah salah satu indikator kekurangan gizi
KerjaPuskesmas Biaro Tahun 2018 yang berkepanjangan pada balita
(Atikah , 2011).
Penelitian oleh Dewi (2012)
menemukan ada hubungan antara
tingkat kecukupan protein dengan
status gizi balita BB/TB. Meskipun
beberapa penelitian menunjukkan
adanya hubungan asupan protein
dengan status gizi balita, namun
mengingat banyaknya faktor yang
mempengaruhi status gizi dan pada
penelitian ini tingkat asupan proetin
Hasil analisis tabel 5.6 tentang dinilai cukup baik dan tidak memiliki
hubungan pola makan dengan kejadian hubunganbermakna dengan status gizi
stunting, hasil uji statistik menunjukan balita, maka kejadian malnutrisi
nilai p = 0,000 < 0,05 (α) artinya Ho
27
memungkinkan lebih disebabkan terkandung di dalam makanan yang
faktor lain. dikonsumsi ole balita. Dan juga balita
Penelitian ini hampir sama sering membeli jajan diluar,
dengan Kusumawati Dkk (2015) mengonsumsi makanan jajanan
tentang “model pengendalian faktor membuat balita merasa kenyang
resiko stunting pada balita usia sehingga tidak mau makan, makanan
dibawah tiga tahun di Wilayah Kerja yang diberikan dari ibunya. Namun
Puskesmas Kedung Banteng pola makan yang tidak baik ini dapat
Kabupaten Banyumas" dimana Hasil di hindari apabila ibu mempunyai
analisis Chi-Square menunjukkan cukup pengetahuan tentang makanan
bahwa pengetahuan gizi ibu yang bergizi untuk balita sesuai usia
merupakan faktor yang berhubungan balita. Pola makan yang diberikan
dengan kejadian stunting pada balita oleh ibu juga tidak sesuai dengan pola
(p=0,008) dengan OR sebesar 3,27 makan yang benar dimana ibu tidak
yang berati bahwa balita yang memberikan pola makan dalam sehari
memiliki ibu dengan pengetahuan terdiri dari 3 kali makanan utama
rendah memiliki peluang sebanyak (pagi, siang dan malam) serta 2 kali
3,27 kali mengalami kejadian stunting makanan selingan. Hal ini dapat
di bandingkan dengan ibu yang mempengaruhi jumlah asupan gizi
memiliki pengetahuan tinggi. balita dan pemenuhan kebutuhan gizi.
Menurut hasil penelitian Terati
Dkk (2013) tentang “studi determinan Hubungan Pemberian ASI Eksklusif
kejadian stunting pada anak balita dengan Kejadian Stunting di
pengunjung posyandu di Wilayah Wilayah Kerja Puskesmas Biaro
Kerja Dinkes Kota Palembang” Tahun 2018
dimana hasil uji Chi Square (p<0.05)
menunjukkan bahwa ada hubungan
yang bermakna antara pengetahuan ibu
dengan kejadian stunting pada balita.
Hasil analisis juga diperoleh nilai OR
= 2.051 artinya bahwa anak balita
yang memiliki ibu dengan
pengetahuan kurang tentang gizi
mempunyai peluang sebanyak 2.051
kali mengalami kejadian stunting Hasil analisis tabel 5.7 tentang
dibandingkan ibu-ibu yang memiliki hubungan pemberian ASI dengan
pengetahuan baik. kejadian stunting didapatkan hasil uji
Asumsi peneliti adanya statistik menunjukan nilai p = 0,000 <
hubungan pola makan dengan kejadian 0,05 (α) artinya Ho ditolak, maka
stunting pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada
dikarenakan masih banyaknya ibu hubungan yang bermakna antara
yang kurang mengetahui tentang gizi pemberian ASI Eksklusif dengan
pada anak balita sehingga ibu hanya kejadian stunting pada balita. Setelah
memberikan makanan tanpa dilakukan analisis lanjut didapatkan
memperhatikan kualitas gizi yang
28
nilai OR sebesar 2.902 artinya dengan balita yang diberi ASI ekslusif
responden yang mempunyai tidak (≥ 6 bulan).
memberikan ASI EKsklusif Penelitian pendukung lainnya
berpeluang sebesar 3 kali memiliki yang dilakukan oleh Hairunis, dkk
balita yang mengalami stunting dengan judul determinan kejadian
dibandingkan dengan responden yang stunting pada anak balita di wilayah
memberikan ASI Eksklusif. kerja puskesmas soromandi di
Pada dasarnya, sebagian besar kabupaten bima nusa tenggara barat,
bayi di negara yang berpenghasilan dengan hasil P value = 0,03 dan OR =
rendah, membutuhkan ASI untuk 4,3, hal ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan dan tak dipungkiri agar pemberian ASI eksklusif brhubungan
bayi dapat bertahan hidup karena dengan kejadian stunting pada balita.
merupakan sumber protein yang Balita yang tidak diberikan ASI secara
berkualitas baik dan mudah didapat. ekslusif mempunyai resiko 4,3 kali
Menurut Henningham & McGregor mengalami stunting dibandingkan
dalam Gibney (2008), ASI juga dengan balita yang diberikan ASI
memiliki manfaat lain, yaitu secara ekslusif.
meningkatkan imunitas anak terhadap Menurut asumsi peneliti,
penyakit,berdasarkan penelitian ASI adanya hubungan antara pemberian
dapat menurunkan frekuensi diare, ASI ekslusif dengan kejadian stunting,
konstipasi kronis, serta infeksi telinga. ASI Ekslusif yang tidak diberikan
Secara tidak langsung, ASI juga pada bayi memiliki risiko yang lebih
memberikan efek terhadap status gizi terhadap kejadian stunting
anak. Kurangnya pemberian ASI dan dibandingkan dengan anak yang
pemberian MP-ASI secara dini diberikan ASI secara ekslusif. Dalam
(sebelum anak usia 6 bulan) dapat pemberian ASI Ekslusif pada anak di
meningkatkan resiko terjadinya Puskesmas Biaro, masyarakat lebih
stunting pada masa awal kehidupan. banyak tidak menggunakan ASI
Manfaat lain ASI dapat mengurangi Ekslusif. Banyak alasan yang
konsumsi konumsi MPASI yang disampaikan oleh ibu-ibu balita, mulai
berpotensi terkontaminasi patogen, dari ASI yang tidak ada/belum keluar,
tanpa menggunakan makanan bayi menangis terus, ASI yang tidak
penyapihan yang tepat anak-anak akan cukup, nasehat orang tua, ibu sakit,
menderita insufisiensi kalori yang bayi tidak mau dikarenakan ketika
mengarah ke gizi buruk, keterlambatan anak mereka memasuki usia 3 atau 4
perkembangan, dan retardasi bulan, sulit untuk minum ASI.
pertumbuhan (Depkes, 2016). Sehingga ibu merasa kasihan dan
Hasil penelitian ini sesuai memberikan makanan tambahan,
dengan penelitian sebelumnya yang seperti susu formula, sehingga anak
dilakukan oleh Hien dan Kam (2008) tersebut sudah tidak termasuk lagi ASI
yang menyatakan resiko menjadi Ekslusif. Banyak sekali manfaat dari
stunting 3,7 kali lebih tinggi pada ASI itu, diantaranya dapat mencegah
balita yang tidak diberi ASI dari pneyakit.
ekslusif(ASI < 6 bulan) dibandingkan

29
bayi bertahan hidup. Berat lahir
memiliki dampak yang besar terhadap
pertumbuhan anak, perkembangan
anak dan tinggi badan pada saat
Hubungan BB Lahir Bayi dengan dewasa. Bayi lahir dengan berat lahir
Kejadian Stunting di Wilayah Kerja rendah akan berisiko tinggi pada
Puskesmas Biaro Tahun 2018 morbiditas, kematian, penyakit infeksi,
kekurangan berat badan dan stunting
diawal periode neonatal sampai masa
kanak-kanak (Wiyogowati, 2012).
Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Oktarina (2013) yang
berjudul Faktor Resiko Stunting Pada
Balita (24-59 Bulan) Di Sumatera,
didapatkan hasil balita dengan berat
lahir rendah sebanyak 169 anak (49,0
Hasil analisis tabel 5.8
%) dan balita dengan berat lahir
tentanghubungan BB bayi saat lahir
normal sebanyak 378 anak (42,35 %)
dengan kejadian stunting didapatkan
dengan (P value = 0,03, OR = 1,31),
hasil uji statistik menunjukan nilai p =
hal ini menunjukkan bahwa berat
0,000 < 0,05 (α) artinya Ho ditolak,
badan lahir brhubungan dengan
maka dapat disimpulkan bahwa ada
kejadian stunting pada balita. Balita
hubungan yang bermakna antara BB
yang memiliki berat badan lahir
Lahir balita dengan kejadian stunting
rendah mempunyai resiko 1,31 kali
pada balita. Setelah dilakukan analisis
mengalami stunting dibandingkan
lanjut didapatkan nilai OR sebesar
dengan balita yang berat badan lahir
2.227artinya responden
yang normal.
yangmempunyai BBLRberpeluang
Hasil penelitian lain oleh
sebesar 2 kalimemiliki balita yang
Swathma (2016) tentang Analisis
mengalami stunting dibandingkan
Faktor Risiko BBLR, Panjang Badan
dengan responden yang BB lahir
Bayi Saat Lahir Dan Riwayat
normal.
Imunisasi Dasar Terhadap Kejadian
Badan Lahir Rendah
Stunting Pada Balita Usia 12-36 Bulan
didefenisikan oleh WHO sebagai berat
Di Wilayah Kerja Puskesmas Kandai
lahir <2500 gr. Berat lahir ditentukan
Kota Kendari Tahun 2016 didapatkan
oleh dua proses yaitu lama kehamilan
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
dan laju pertumbuahn janin. Bayi baru
<2500 gr sebanyak 27 balita (26,5%).
lahir dapat memiliki berat lahir <2500
Sedangkan responden yang memiliki
gr karena lahir dini (kelahiran
Berat Badan Lahir Normal (BBLN)
premature) atau lahir kecil untuk usia
>2500 gr sebanyak 75 balita (73,5%),
kehamilan (Fitri, 2012). Berat lahir
dengan (P value = 0,02, OR = 5, 250).
juga indikator potensial untuk
Penelitian ini juga sejalan
pertumbuhan bayi, respon terhadap
dengan penelitian yang dilakukan di
rangsangan, lingkungan, dan untuk
Libya tahun 2009 menyebutkan bahwa
30
berat badan lahir rendah berhubungan maka dapat disimpulkan bahwa ada
secara signifikan dengan stunting pada hubungan yang bermakna antara
balita (P value <0,05). Hal serupa juga pendapatan orangtua dengan kejadian
terdapat penelitian pada baita di Brazil, stunting pada balita. Setelah dilakukan
yang menunjukkan bahwa analisis lanjut didapatkan nilai OR
kecendrungan balita stunting lebih sebesar 2.557artinya responden yang
banyak pada balita dengan berat lahir pendapatan orangtua yang
< 2500 gram (18,8%) dibandingkan rendahberpeluang sebesar 2
dengan berat lahir ≥ 2500 gram kalimemiliki balita yang mengalami
(5,4%). stunting dibandingkan dengan
Menurut asumsi peneliti, anak responden yang pendapatan orangtua
mengalami stunting yang disebabkan yang tinggi.
karena Berat Badan lahir balita , Balita Menurut Walker et al (2011),
dengan lahir BBLR akan berpeluang retardasi pertumbuhan linear atau
lebih besar mengalami kejadian stunting diperkirakan mempengaruhi
stunting ditambah dengan tidak 34% anak usia kurang dari 5 tahun di
diberikannya ASI eksklusif. Hal ini negara berpenghasilan menengah
dapat membuat balita lebih berpeluang kebawah. Selain itu statusekonomi
mengalami kejadian tersebut. Balita keluarga dipandang memiliki dampak
dengan riwayat BBLR dditambah yang signifikan terhadap probabilitas
dengan pola makan yang tidak benar seorang anak menjadi pendek dan
dapat mebuat pemenuhan gizi belum kurus. Dalam hal ini WHO
tercukupi sehingga ibu dapat merekomendasikan status gizi pendek
memahami semua kebutuhan bayi dan atau stunting sebagai alat ukur atas
dapat mengurangi resiko kejadian tingkat status ekonomi yang rendah
stunting. dan sebagai salah satu indikator untuk
memantau ekuitas dalam kesehatan.
Hubungan Pendapatan Orangtua Status ekonomi secara tidak
dengan Kejadian Stunting di langsung dapat mempengaruhi status
Wilayah Kerja Puskesmas Biaro gizi anak. Sebagai contoh, keluarga
Tahun 2018 dengan status ekonomi baik bisa
mendapatkan pelayanan umum yang
lebih baik juga, yaitu pendidikan,
pelayanan kesehatan, aksesibilitas
jalan, dan sebagainya. Melalui
fasilitas-fasilitas tersebut keluarga
dengan status ekonomi baik akan
berdampak positif terhadap status gizi
anak. Hal ini menunjukkan perbaikan
kecil dalam status sosial ekonomi
Hasil analisis tabel 5.9 memiliki dampak penting kesehatan
tentanghubungan pendapatan orangtua anak (Bishwakarma, 2011).
dengan kejadian stunting didapatkan Penelitian ini sejalan dengan
hasil uji statistik menunjukan nilai p = penelitian yang dilakukan oleh
0,000 < 0,05 (α) artinya Ho ditolak, Kusuma tentang Faktor Risiko
31
Kejadian Stunting pada Anak Usia 2-3 kronis, serta meningkatnya manfaat
Tahun (Studi di Kecamatan Semarang intelektualitas melalui peningkatan
Timur) didapatkan hasil bahwa adanya kualitas kesehatan. Berkurangnya
hubungan antara balita yang status biaya berkaitan dengan kematian dan
ekonomi keluarga nya rendah, kesakitan akibat kekurangan gizi, dan
memiliki resiko menjadi stunting dari sisi lain akan meningkatkan
sebesar 4,1 kali dibanding balita yang produktivitas.
status ekonomi keluarganya tinggi.
Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian
di Bangladesh tahun 2011, dan juga KESIMPULAN
di Brazil tahun 2008 yang Berdsarkan hasil penelitian dan
menyatakan bahwa status sosial pembahasan tentang Faktor-Faktor
ekonomi yang rendah merupakan Yang mempengaruhi Kejadian
faktor risiko kejadian stunting pada Stunting Pada Balita Di Puskesmas
anak balita. Biaro tahun 2018 dapat disimpulkan:
Penelitian pendukung lainnya 1. Distribusi frekuensi pola makan
yang dilakukan oleh Aramico (2013), adalah sebagian besar anak balita
tentang hubungan sosial ekonomi, pola yang pola makan baik yaitu
asuh, pola makan dengan stunting pada 50,7%, dan pola makan tidak baik
siswa sekolah dasar di kecamatan lut sebanyak 49,3%.
tawar, kabupaten aceh tengah, 2. Distribusi frekuensi asi ekslusif
didapatkan hasil bahwa penghasilan adalah 57,7 %anak balita yang
orang tua beresiko 7,84 kali lebih ASI ekslusif dan tidak ASI
besar menyebabkan stunting, dengan ekslusif sebanyak 42,3%.
status gizi stunting 55,8%. Hasil uji 3. Distribusi frekuensi BB saat lahir
statistik chi-square menunjukkan ada adalah anak balita yang BB
hubungan yang signifikan antara normal yaitu 47,9 % dan BB saat
penghasilan orang tua dengan status lahir dengan BBLR sebanyak
gizi (p<0,001). 52,1%.
Menurut asumsi peneliti, secara 4. Distribusi frekuensi pendapatan
umum dapat dikatakan bahwa antara orangtua adalah anak balita yang
peningkatan ekonomi dan peningkatan pendapatan orangtua tinggi35,9%
status gizi memiliki hubungan timbal dan dengan pendapatan rendah
balik. Hal tersebut dapat dilihat dari sebanyak 64,1%.
dua sisi, pertama manfaat ekonomi 5. Distribusi frekuensi kejadian
yang diperoleh sebagai dampak dari stunting adalah anak balita yang
perbaikan status gizi adalah tidak stunting yaitu 50,0 % dan
berkurangnya kematian bayi dan anak stunting sebanyak 50,0%.
balita, berkurangnya biaya perawatan 6. Terdapat hubungan signifikan
untuk neonatus dan balita, antara pola makan dengan
produktivitas meningkat karena kejadian stunting pada balita di
berkurangnya anak yang menderita puskesmas Biaro Kabuaten Agam
kurang gizi dan adanya kemampuan tahun 2018 (P- value=0,000,
peningkatan inteletualitas, OR=6,071).
berkurangnya biaya karena penyakit
32
7. Terdapat hubungan signifikan denganStunting (pendek)
antara ASI ekslusif dengan padaBalitaUisa 6-35 Bulan di
kejadian stunting pada balita di KecamatanTembalang Kota
puskesmas Biaro Kabupaten Semarang.
Agam tahun 2018 (P value=0,004, JurnalKesehatanMasyarakat.
OR=2,902) Vol. 1 (2): 617-626.
8. Terdapat hubungan signifikan
antara berat lahir balita dengan Aridiyah, Farah Okky, Ninna
kejadian stunting pada balita di Rohmawati dan Mury Ririanty.
puskesmas Biaro Kabupaten (2015). Faktor – Faktor Yang
Agam tahun 2018 (P value=0,029, Mempengaruhi Kejadian
OR=2.227). Stunting Pada Anak Balita Di
9. Terdapat hubungan signifikan Wilayah Pedesaan Dan
antara pendapatan dengan Perkotaan. Diakses Dari E-
kejadian stunting pada balita di Jurnal Pustaka Kesehatan.
puskesmas Biaro Kabupaten
Agam tahun 2018 (P value=0,014, Arisman. (2009). Gizi Dalam Daur
OR=2.557). Keidupan. Jakarta : EGC

Arifin, Dedi Zaenal, Sri Yusnita


REFERENSI Irdasari dan Hadyana
Sukandar. (2012). Analisis
Adiyasa N, Hadi H dan Gunawan Sebaran dan Faktor Risiko
IMA. (2010). Evaluasi program Stunting pada Balita di
pemberian MP-ASI Kabupaten Purwakarta. Jurnal.
bubukinstandanbiskuit di Kota Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Mataram, Kabupaten Lombok Fakultas Kedokteran,
Barat, Lombok Timurdan Universitas Padjadjaran
Bengkulu Utara tahun Bandung. J. Gizi Pangan:
2007.JurnalNutrisi Indonesia - 11(1), 918
Maret 2010, Vol. 6, No. 3.
Atikah, P dan Erna. (2011). Ilmu
Adriani.M, danWirjatmadi. B. 2012. Untuk Keperawatan dan Gizi
Pengantar Gizi Kesehatan. Yogyakarta : Nuha
Masyarakat.Kharisma Putra Medika
Utama.Jakarta
Cobayashi,F. (2013). Factors
Ali Khomsan. (2009). Rahasia Sehat Associated With Stunting and
dengan Makanan Berkhasiat, Overweight in Amazonian
Kompas h122-5, Jakarta. Children: a Population-Based,
Cross-Sectional Study. Public
Anindita, P. (2012). Hubungan Health Nutrition: 17(3), 551–560
Tingkat PendidikanIbu,
PendapatanKeluarga, Cruz, Loida Maria, Gloria Gonzalez
Kecukupan Protein & Zink Azpeitia, Desiderio Reyes Suarez
33
dan Alfredo SR. ( 2017). Factors Penilaian Status Gizi Anak.
Assosiated with Stunting Among Jakarta : Direktorat Jenderal Bina
Children Aged 0 to 59 Months Gizi Dan Kesehatan Ibu Dan
From The Central Region of Anak
Mozambique. Diakses di
www.mdpi.com/journal/nutrients . (2017). Buku Saku Pemantauan
PMID: 28498315 Status Gizi Tahun 2017 Provinsi
Sumatera Barat. Jakarta:
Direktorat Bina Gizi.(2010). Gizi Dan Direktorat Jenderal Bina Gizi
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Dan Kesehatan Ibu Dan Anak.
Kemenkes RI Direktorat Jenderal Direktorat Bina Gizi
Bina Gizi Dan Kesehatan Ibu
Dan Anak. Kramer Ms. Lidia Matush, Irina
Vanilovich, Robert W Platt,
Fitri, Lidia ( 2018). HUbungan BBLR Natalia Bogdanovich, Zinaida
dan ASI Eksklusif Dengan Sevkovskaya, Irina Dzikovich,
Kejadian Stunting Di Puskesmas Gyorgy Shishko, Jean Paul
Lima Puluh Pekanbaru. Jurnal Collet, Richard M Martin,
Endurance George Davey Smith, Matthew
Gibson, Rosalind. (2008). Principles W Gillman, Beverly Chalmers,
of Nutrition Assesment. Oxford Ellen Hodnett and Stanley
University. NewYork. Shapiro. (2007). .Effects Of
Prolonged And Exclusive
Hestuningtyas, Tiara dan Etika Breastfeeding On ChildHeight,
Ratna(2014). Pengaruh Weight, Adiposity, And Blood
Konseling Gizi Terhadap Pressure At Age 6.5 Y: Evidence
Pengetahuan, Sikap, Praktik Ibu From ALarge Randomized Trial.
dalam Pemberian Makan Anak, Am J Clinnutr December 2007
dan Asupan Zat Gizi Vol. 86 No. 6 17171721.
AnakStunting Usia 1-2 Tahun di
Kecamatan Semarang Timur. , (2009). Health and development
Artikel Penelitian. Program Studi outcomes in 6.5 y-old children
Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran breastfed exclusively for 3 or 6
Universitas Diponegoro mo. Am J ClinNutr October
Semarang. Journal of Nutrition 2009 vol. 90 no. 4 1070-1074.
Collage : 3(1), 17-25
Koethe JR and Heimburger
Infodatin. (2016). Situasi Balita DC.(2010).Nutritional aspects of
Pendek. Jakarta : Kemenkes. HIV-associated wasting in sub-
ISSN 2442-7659 Saharan Africa1–4.Am J
ClinNutr April 2010 vol. 91 no.
Kemenkes. (2011). Keputusan Menteri 4 1138S1142S
Kesehatan RI Nomor :
1995/MENKES/SK/XII/2010 Meilyasari, F dan Isnawati,M. (2014).
Tentang Standar Antropometri Factor Resiko Kejadian Stunting
34
Pada Balita Usia 24 – 36 Bulan Ethiopia : the case of west gojam
Di Kecamatan Semarang Timur. zone.
Journal Of Nutrition College.
Diakses Dari UNICEF. (2015). Levels And Trends
Http://www.Ejournal- In Child Malnutrion. Diakses Di
S11.Undip.Ac.Id Http://Data.Unicef.Org/Topic/Nu
trition/Malnutrition
Marimbi, Hanum. (2010). Tumbuh
Kembang, Status Gizi Dan Wiyogowati, C, 2012. Kejadian
Imunisasi Dasar Pada Balita. Stunting Pada Anak Berumur di
Yokyakarta : Nuha Medika Bawah Lima Tahun Tahun (0-59
Bulan) di Provinsi Papua Barat.
Notoadmodjo, S.(2012). Metodologi Jurnal kesehatan masyarakat
Penelitian Kesehatan. Jakarta: vol.3 no.5
Rineka Cipta
Oktarina, Zilda, dan Trini Sudiarti. World Health Organization. (2014).
(2013). Faktor Resiko Stunting Global nutrition targets
Pada Balita (24 – 59 Bulan )Di 2025.policy brief series. Diakses
Sumatera. Jurnal Gizi dan dari
Pangan. ISSN 1978-1059 www.WHO.int/nutrition/topics/n
utrition_globaltargets2025/en/
Rahayu, Atikah. (2011). Karateristik
ibu yang memberikan ASI Yusuf, 2012. Pengaruh Konseling Gizi
Eksklusif Status Gizi Bayi Bayi. pada Ibu Batita Gizi Kurang
Al Ulum Vol.3 No.3 Terhadap Perubahan Status Gizi
Batita di Wilayah Kerja
Sediaoetama, Ahcmad djaeni. (2010). Puskesmas Dempo Kecamatan
Ilmu gizi. Jakarta : PT. Dian Ilir Timur I Kota Palembang.
Rakyat Jurnal Gizi. Poltekkes Kemenkes
Palembang
Supariasa, I Dewanyoman. (2001).
Penilaian Status Gizi.EGC.
Jakarta.

Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Untuk


Kesehatan Ibu dan Anak.
Yogyakarta : Graha Ilmu

Teshome, Beka, Wambui Kogi Makau,


Zewditu Getahun dan Girum
Taye . (2010). Magnitude
determinants of stunting in
children under five years of age
in food surplus region of

35

You might also like