Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 45

Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis

Kearifan Lokal Pela Gandong Pasca Rekonsiliasi


Konflik Ambon di Sekolah
Mainstreaming of Peace Education Based on Local Wisdom of
Pela Gandong after the Reconciliation of the Ambon Conflict
in the School

Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, Hermanu Joebagio


Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta
anjunofarof@gmail.com; sariyatun@staff.uns.ac.id; dan
hermanu.joebagio@staff.uns.ac.id

DOI: http://doi.org/10.31291/jlk.v17i2.664
Received: April 2019; Accepted: Januari 2020; Published: Februari 2020

Abstract
The reconciliation of the Ambon Maluku conflict in 2002 is inseparable
from the local wisdom of the Maluku people namely, pela gandong. When
many parties find it difficult to find out how to end the conflict, pela
gandong transforms into part of conflict resolution. However, peace
conditions that are still vulnerable (peace vulnerabilities) allow conflict to
occur again. Therefore, the achievement of conflict reconciliation must
increase to the stage of peace education. The Maluku people define pela as
a model of friendship, a system of brotherhood, or a system of fellowship
that is developed between all indigenous people of two or more countries.
Pela gandong local wisdom-based peace education has been implemented
at SMPN 9 Ambon City and SMPN 4 Salahutu Liang Central Maluku
District in the form of hot education pela education activities. This is
different from the civil education model developed by the United Nations
Children's Fund (UNICEF). Ambon Public Middle School 9 has a total of
1431 students with 99% Christians, while SMP Negeri 4 Salahatu Liang
has 414 students with 100% Muslims. This study aims to reveal how the
mainstreaming of peace education with the local wisdom model is imple-
mented. The study was conducted in January 2018 at SMPN 9 Ambon. To
get the answers of researchers, qualitative case study research methods

409
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

are used. Data collection through literature study, interview, and participatory
observation methods. The results of the study revealed the mainstreaming of
peace education with the local wisdom model of Pela Gandong can be well
implemented and able to maintain peace (keeping the peace) in schools.

Keywords: Mainstreaming, Peace Education, Pela Gandong, Ambon


Conflict Reconciliation, Schools.

Abstrak
Rekonsiliasi konflik Ambon Maluku tahun 2002 tidak terlepas dari
kearifan lokal kepunyaan masyarakat Maluku yakni, pela gandong. Saat
banyak pihak sulit menemukan bagaimana cara mengakhiri konflik, pela
gandong bertransformasi menjadi bagian dari resolusi konflik. Akan tetapi,
kondisi perdamaian yang masih rentan (peace vulnerabilities) memungkinkan
konflik dapat terjadi lagi. Oleh karena itu, pencapaian rekonsiliasi konflik
harus meningkat ke tahap pendidikan perdamaian (peace education).
Masyarakat Maluku mendefinisikan pela sebagai model persahabatan,
sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang di kembangkan antar
seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Pendidikan perdamaian
berbasis kearifan lokal pela gandong telah diimplementasi di SMPN 9
Kota Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang Kabupaten Maluku Tengah dalam
bentuk kegiatan panas pela pendidikan. Hal ini berbeda dari model pendidikan
perdamaain yang kekembangkan oleh United Nations Children's Fund
(UNICEF). SMP Negeri 9 Ambon memiliki jumlah peserta didik 1431
jiwa dengan 99 % beragama Kristen, sedangkan SMP Negeri 4 Salahatu
Liang memiliki jumlah peserta didik 414 jiwa dengan 100 % beragama
Islam. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana pengarus-
utamaan pendidikan perdamaian dengan model kearifan lokal terlaksana.
Penelitian dilakukan pada Januari 2018 di SMPN 9 Ambon. Guna menda-
patkan jawaban peneliti, dipergunakan metode penelitian kualitatif studi
kasus. Pengumpulan data melalui metode studi kepustakaan, wawancara,
dan observasi-partisipatoris. Hasil penelitian mengungkapkan pengarusutama-
an pendidikan perdamaian dengan model kearifan lokal pela gandong
dapat terlaksana dengan baik dan mampu memelihara perdamaian (keeping
the peace) di sekolah.

Kata Kunci: Pengarusutamaan, Pendidikan Perdamaian, Pela Gandong,


Rekonsiliasi Konflik Ambon, Sekolah.

Pendahuluan
Tercapainya rekonsiliasi konflik Ambon Maluku tahun 2002
tidak terlepas dari kearifan lokal (local wisdom) kepunyaan mas-
yarakat Maluku yakni, pela gandong yang mampu menjadi

410
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

bagian dari resolusi konflik.1 Hal tersebut demikian terjadi


karena ada kesadaran kolektif (collective memory) masyarakat
Ambon Maluku untuk segera mengakhiri konflik sipil terbesar di
Indonesia. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan dikembali-
kan fungsi dan tujuan kearifan lokal pela gandong di masa
sebelum konflik terjadi sehingga menjadi bagian dari resolusi
konflik Ambon Maluku. Dalam kasus ini ternyata dapat diketa-
hui bahwa kearifan lokal masyarakat sejatinya mampu menjaga
stabilitas dan harmonisasi kehidupan masyarakat secara alamiah.
Kekuatan politik dan militer Orde Baru untuk mempertahanan
stabilitas keamanan dan harmonisasi masyarakat hanya semu
belaka. Buktinya, pasca Orde Baru berakhir terjadinya begitu
banyak konflik sosial/agama, sebuah fenomena gunung es.
Menurut George Junus Aditjondro, selama Orde Baru berkuasa
telah menjadikan Suku, Agama, Ras, dan Antaretnis (SARA) se-
bagai mekanisme propaganda.2
Pencapaian rekonsiliasi tidak boleh berhenti, tetapi harus
meningkat ke tahap pendidikan perdamaian (peace education).3
Lagi pula, daerah-daerah pasca konflik termasuk Ambon Maluku
umumnya masih dalam kondisi perdamaian yang masih rentan
(peace vulnerabilities) sehingga konflik mudah terjadi lagi.
Tantangan dihadapi terutama bersumber dari masih adanya ke-
senjangan perdamaian (peace gaps), yaitu kesenjangan antara
tujuan perdamaian ideal diharapkan dan realisasi perdamaian
nyata dicapai di masyarakat.4 Untuk memastikan pembangunan
perdamaian berlangsung secara berkelanjutan, dengan itu maka

1
Hendry Bakri, “Resolusi Konflik Melalui Pendekatan Kearifan Lokal
Pela Gandong Di Kota Ambon,” The POLITICS : Jurnal Magister Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin 1, No. 1 (2015): 51–60,
http://journal.unhas.ac.id/index.php/politics/article/view/133/pdf.
2
George Junus Aditjondro, Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu,
Tragedi Kemanusiaan Maluku Di Balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat,
Dan Kepentingan Elit Politik (Jakarta: Sekretariat Tapak Ambon., 2001).
3
Birgit Bräuchler, “Cultural Solutions to Religious Conflicts? The
Revival of Tradition in the Moluccas, Eastern Indonesia,” Asian Journal of
Social Science 37, no. 6 (2009): 872–891.
4
Lambang Trijono, “Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik Di Indonesia :
Kaitan Perdamaian, Pembangunan Dan Demokrasi Dalam Pengembangan Ke-
lembagaan Pasca-Konflik,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 13 (2009): 48–70.

411
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

penting untuk dilakukan upaya-upaya mengatasi dan mengisi


kesenjangan perdamaian (fullfiling the peace gaps) ini, baik pada
level kebijakan maupun dalam praktik pembangunan perdamaian
di tingkat komunitas. Masih rentan atau belum terkonsolidasinya
perdamaian ini sewaktu-waktu bisa menyebabkan konflik kembali
muncul di masyarakat. Oleh karena itu, selain memastikan agar
perjanjian damai berjalan efektif, upaya pencegahan konflik agar
konflik kekerasan tidak kembali muncul menjadi agenda penting
dalam masa pasca-konflik. Pencegahan konflik di masa pasca-
konflik pada esensinya sama dengan memelihara perdamaian
(keeping the peace). Pengarusutamaan pendidikan perdamaian
menjadi cara yang tepat untuk memelihara perdamaian, tidak
terkecuali dibidang pendidikan.
Pengarusutamaan perdamaian merupakan suatu konsep yang
dibangun untuk mengintegrasikan kebutuhan masyarakat akan
keamanan dan situasi damai dalam kerangka program pemba-
ngunan. Istilah ini mulai digunakan dalam bidang pembangunan
dan pemerintahan sebagai suatu strategi pengelolaan konflik dan
penguatan perdamaian. Pengarusutamaan perdamaian dalam prog-
ram pembangunan tentunya memberikan prespektif baru tentang
bagaimana seluruh pemangku kepentingan dapat terlibat dalam
memperkuat perdamaian dan kesejahteraan masyarakat secara
terpadu. Setiap gagasan pembangunan yang diusung hendaknya
telah melalui pertimbangan dan kajian yang komprehensif ter-
hadap konteks dan kebutuhan masyarakat dalam upaya mencapai
tujuan yang diharapkan. Pengarusutamaan perdamaian bukan
sesuatu yang berdiri sendiri tetapi sebagai daya rekat dan silang
gagasan (crosscutting issues) dari berbagai sektor atau pem-
bangunan seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan infra-
struktur. Konsep pengarusutamaan menjadi pendorong bagi mas-
yarakat dan pemangku kepentingan lain untuk memahami
lingkungan dan konteks dalam merumuskan kebijakan/program
pembangunan. Hal ini menjadi sangat penting agar apapun kebi-
jakan dan program yang dihasilkan melalui proses partisipatif,
aspiratif dan teknokratis diharapkan memberikan dampak positif
terhadap peningkatan kesejahteraan dan kohesi sosial. Setiap
program harus melalui proses analisis dan kajian mendalam agar
tidak menimbulkan perselisihan dan konflik (struktural dan hori-
zontal) dikemudian hari. Pada umumnya, pengarusutamaan pen-
didikan perdamaian dalam kurikulum sekolah menengah akan

412
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

membantu dalam pembangunan perdamaian di benak para siswa


dan para guru dan administrator yang akan menciptakan ling-
kungan yang kondusif untuk pembelajaran dalam sistem. Perlu-
nya pengarusutamaan pendidikan perdamaian dalam kurikulum
sekolah menengah adalah penting karena sekolah perlu untuk
terus memulai budaya reformasi kurikuler sehingga memungkinkan
berbagai pelaku dalam sistem sekolah dan masyarakat pada
umumnya untuk menghadapi tantangan meningkatnya jalan
untuk penggunaan kekerasan sebagai opsi untuk menanggapi
masalah konflik.5
Guna memperkokoh pendidikan perdamaian, maka penyeleng-
garaan sistem pendidikan dapat mengadopsi semangat multikul-
tural yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal. Pendidikan
multikultural berbasis kearifan lokal adalah pendidikan yang
melindungi, menghargai, dan memelihara kearifan lokal untuk
memperkuat identitas nasional dalam bangunan kemajemukan
bangsa. Seperti halnya Pancasila yang digali dari kepribadian
bangsa, semboyan bhinneka tunggal ika menjadi dasar historis
bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural.
Geneva Gay, memberikan sedikitnya lima argumen mengapa
muatan budaya dan etnik itu sangat strategis dan penting untuk
ditumbuhkan dalam kurikulum pendidikan, termasuk pendidikan
damai dan resolusi konflik.6
Pertama, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendi-
dikan sangat krusial sekaligus esensial bagi perbaikan aspek
pedagogis pengajar dalam mengajar. Kedua, karena kebanyakan
sumber belajar di ruang kelas adalah textbook, memasukkan agenda
budaya dan etnik ke dalam textbook merupakan keniscayaan
karena hal itu akan mengubah gaya mengajar guru. Ketiga,
berdasarkan riset secara simultan di beberapa lembaga pendi-
dikan, muatan budaya dan etnik dalam kurikulum pendidikan
memiliki arti yang banyak bagi para siswa sekaligus meningkat-
kan apresiasi siswa dalam belajar. Keempat, relevansi muatan
budaya dan etnik dalam kurikulum juga menyumbang kelestarian

5
Abdulkareem Jude, “International Journal of English and Education
Mainstreaming Peace Education in Secondary School Curricula in Nigeria,”
Modibbo Adama University of Technology, Nigeria, No. 2 (2013).
6
J. Carroll-Lind, “Responsive Schools,” Office of the childrens
commissioner, no. March (2010).

413
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

sejarah, budaya, dan tradisi sebuah etnis tertentu sehingga pada


akhirnya dapat meningkatkan apresiasi kebangsaan yang tinggi
dan memunculkan kohesivitas dan toleransi. Kelima, biasanya
muatan budaya dan etnik diambil dari berbagai sumber yang
sangat kaya, bukan hanya dari buku tetapi juga dari pengalaman
orang perseorangan, baik melalui wawancara maupun yang didoku-
mentasikan dalam bentuk tayangan dan sebagainya. Artinya, sum-
ber informasi yang sangat melimpah tentang budaya dan etnis di
luar sekolah itu akan membantu baik guru maupun siswa dalam
menciptakan kecintaan terhadap keragaman pola kehidupan.
Alasan yang melatarbelakangi pentingnya pendidikan perda-
maian (peace education) adalah keberadaan masyarakat dengan
individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan ke-
bangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion),
gender, dan kelas sosial (social class) yang sangat rentan akan
konflik. Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat
tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta
didik dalam suatu lembaga pendidikan.7
Menurut Kester dalam Sariyatun bahwa pendidikan adalah
perantara yang tepat untuk menumbuhkan berbagai sikap yang
mendukung pencapaian perdamaian.8 Selain itu, pendidikan juga
menjadi sarana yang efektif dan efisien untuk melestarikan nilai-
nilai budaya dan kearifan lokal karena pendidikan secara praktis
tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya yang merupa-
kan unsur identitas nasional. Pendidikan dan kebudayaan memi-
liki hubungan yang saling mendukung dan melengkapi satu sama
lainnya. Kemendikbud lebih tegas lagi menyatakan bahwa tujuan
dari pembelajaran akan dapat tercapai secara maksimal dengan
adanya pendekatan budaya, adat, dan kearifan lokal yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Aktivis perdamaian Ambon Jacky
Manuputty menyatakan “di bawah pemerintahan Soeharto, sekolah
dianggap sebagai wahana paling efektif untuk menyebarluaskan
sejarah versi pemerintah dan mempromosikan identitas bersama
Indonesia. Bahwa, desentralisasi kurikulum sekolah dan masuk-
7
James A. Banks (ed.), Multicultural Education: Issues and Perspectives
(Boston-London: Allyn and Bacon Press, 1989).
8
Hermanu Joebagio and Muhammad Akhyar, “Peace Education As the
Development of Social Skill in Social Science Learning” 29, No. 2 (2019).

414
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

nya muatan lokal, serta komunikasi antarbudaya dan antaragama


merupakan langkah penting menuju ketahanan perdamaian”.9
Kuenzi dalam Sariyatun menjelaskan, implementasi pendi-
dikan perdamaian dapat dilihat dalam membangun pendidikan
untuk masyarakat majemuk, membangun kesamaan dan keman-
dirian di antara siswa yang mendasari komunitas damai, mengajar
siswa bagaimana berpartisipasi dalam politik damai.10 Pendi-
dikan perdamaian berbasis kearifan lokal telah diimplementasi di
SMPN 9 Kota Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang Kabupaten
Maluku Tengah. Pengarusutamaan model pendidikan perdamaian
yang berbeda dari model pendidikan perdamaain yang dikem-
bangkan oleh United Nations Children's Fund (UNICEF) ini
dimulai saat rekonsiliasi konflik Ambon telah tercapai pada 12
Februari 2002. Japan International Cooperation Agency (JICA)
mendirikan Community Empowerment Program Pendidikan Orang
Bersaudara (CEP-POB), yang menganggap orang Muslim dan
Kristen sebagai saudara sendiri. Melibatkan 24 SMP dari Leihitu
dan Baguala di Pulau Ambon pada tahun 2006 dan 2007. Selain
itu, UNICEF dan UNDP meluncurkan program pendidikan perda-
maian bernama Kurikulum Pendidikan Orang Bersaudara tahun
2006 dan Sekolah Rekonsiliasi mulai tahun 2004 sampai tahun
2005, juga di Pulau Ambon, sebagai upaya mengintegrasikan
budaya perdamaian yang dibingkai dengan kekuatan tradisi lokal
Maluku Tengah dala proses belajar-mengajar serta peningkatan
kesadaran tentang potensi yang terkandung dalam pluralisme
beragama dan berbudaya.11
Nilai perdamaian yang melekat dalam kearifan lokal pela
gandong semakin dekat dikalangan peserta didik. Harapannya,
konflik Ambon tidak diwariskan bahkan dapat mencegah konflik
serupa di masa depan. Bahwa, konflik tidak hanya berpengaruh
pada kelompok saja tetapi juga pada individu. Oleh karena itu,
diperlukan pengarusutamaan pendidikan perdamaian untuk tetap

9
Bräuchler, “Cultural Solutions to Religious Conflicts? The Revival of
Tradition in the Moluccas, Eastern Indonesia.”
10
Joebagio and Akhyar, “Peace Education As the Development of Social
Skill in Social Science Learning.”
11
M.A. Amirrachman, “Peace Education in the Moluccas , Indonesia :
Between Global Models and Local Interests,” UvA-DARE (Digital Academic
Repository) (n.d.).

415
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

menjaga rekonsiliasi perdamaian yang akan diwariskan ke gene-


rasi selanjutnya. Jangan sampai kisah dari kisah Ronald Regang
(Mantan Kombatan Pasukan Kristen yang saat itu usia 10 tahun)
dan Iskandar Slamet (Pasukan Jihad Islam usia 15 tahun) yang dita-
yangkan pada 16 Agustus 2018 di acara Rosi TV Kompas episode
kemerdekaan “Belajar Damai dari Maluku” terulang kembali.
Bahwa peserta didik di Maluku harus diajarkan nilai-nilai
pendidikan perdamaian dengan pendekatan karifan lokal. Karena
itulah, inisiatif berbagai pihak (stake holders) dari SMPN 9
Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang Maluku untuk memulai era
baru dengan menerapkan nilai-nilai kearifan lokal pela gandong
di sekolah sehingga menjadi pendidikan perdamaian. Tujuan
utamanya ialah bagaimana peserta didik di kedua sekolah yang
beda kepemelukan agama ini dapat belajar hidup bersama dan
toleransi dengan pendekatan kearifan lokal. Peserta didik diha-
rapkan tidak lagi mewarisi kebencian dan luka batin akibat
konflik. Oleh karena itu, yang menjadi tanggungjawab selanjut-
nya setelah rekonsiliasi tercapai adalah menjaga perdamaian.
Sebagaimana diungkapkan oleh Sariyatun bahwa menggali dan
menanamkan kembali kearifan lokal secara inheren melalui pen-
didikan dapat dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai
budaya, yang kegunaannya dapat berupa pembentuk identidas
dan juga sebagai filter dalam menyeleksi pengaruh budaya lain. 12
Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem pendidikan yang terikat
pada kearifan lokal dalam rangka pembentukan warga negara
secara proaktif dapat menghadapi globalisasi.
Berdasarkan uraian di atas, penulis bermaksud memaparkan
kajian empiris tentang pengarusutamaan pendidikan perdamaian
(peace education) berbasis kearifan lokal pela gandong pasca
rekonsiliasi konflik Ambon Maluku (kasus SMPN 9 Kota Ambon
dan SMPN 4 Salahutu Liang Kabupaten Maluku Tengah). Tulisan
ini menggunakan metodelogi penelitian kualitatif deskriptif dengan
pendekatan studi kasus. Studi kasus mencakup studi tentang suatu
kasus dalam kehidupan nyata, dalam konteks atau setting kontem-

12
Sariyatun, “Pengembangan Model Pendidikan Nilai-Nilai Budaya Di
Smp Berbasis Tradisi Seni Batik Klasik Surakarta,” Paramita: Historical
Studies Journal 23, No. 2 (2013).

416
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

porer.13 Teknik pengumpulan data yang digunakan dengan cara ob-


servasi-partisipasi, kajian pustaka, wawancara, dan dokumentasi.
Prosedur pelaksanaan penelitian kualitatif studi kasus:14
 Pertama, para peneliti menentukan terlebih dahulu apakah
pendekatan studi kasus sudah tepat untuk mempelajari
masalah risetnya.
 Kedua, para peneliti perlu mengidentifikasi kasus atau be-
berapa kasus mereka. Kasus ini apakah melibatkan satu indi-
vidu, beberapa individu, sebuah program, suatu peristiwa,
atau suatu aktivitas.
 Ketiga, pengumpulan data meluas mengambil beragam sum-
ber informasi. Seperti, cara observasi-partisipasi, kajian pus-
taka, wawancara, dan dokumentasi.
 Keempat, tipe analisis data ini berupa analisis holistik atau
analisis melekat.
 Kelima, tahapan penafsiran, peneliti melaporkan makna dari
kasus tersebut, apakah kasus instrumental atau kasus intrinsik.
Proses pengumpulan data penelitian ini disesuaikan dengan jenis
penelitian. Data yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata,
tindakan dan dokumen, situasi dan peristiwa yang dapat diobservasi.
Sumber data yang dimaksud adalah:15
1. Kata-kata diperoleh secara langsung atau tidak langsung me-
lalui wawancara, dan observasi.
2. Dokumen berupa kurikulum, Satuan Pembelajaran, Rencana
Pelajaran.
3. Situasi yang berhubungan dengan kegiatan subjek penelitian
dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar,
situasi belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan se-
kolah.
Proses menyusun data agar dapat ditafsirkan. Menyusun data
berarti, peneliti melakukan penggolongan data dalam pola, tema
atau kategori, tanpa kategori atau klasifikasi data akan menim-
bulkan kekacauan.16 Pelaksanaan analisis data dilakukan sepan-
jang penelitian itu dan secara terus menerus dari mulai tahap
pengumpulan data sampai akhir. Data yang diperoleh dari

13
John W. Creswell, Penelitian Kualitatif Dan Desain Riset Memilih Di
Antara Lima Pendekatan, Edisi ke-3. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018).
14
Ibid.
15
Nasution, Metode Research (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2003).
16
Ibid.

417
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

penelitian ini tidak akan memberikan makna yang berarti apabila


tidak dianalisis lebih lanjut. Selanjutnya menurut analisis data
Model Interaktif dari Miles dan Huberman dalam Basrowi
Suwandi terdapat tiga aktifitas dalam analisis data yaitu data
reduction, data display dan concluting drawing/verification.17

Hasil dan Pembahasan


1. Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian
Pendidikan perdamaian (Peace Education) sesungguhnya
pertama kali muncul pada abad ke-17 yang dicetuskan pertama
kali oleh seorang akademisi Ceko, Comenius, yang secara uni-
versal menyebarluaskan paham bahwa dengan pengetahuan,
akan memberikan jalan kepada perdamaian.18
Dewasa ini, pendidikan perdamaian telah menjadi gerakan
global dengan melihat terlibatnya ratusan organisasi yang diwa-
kili oleh ribuan orang dalam acara International Peace Conferen-
ce di The Hague, Belanda.19 Dalam acara yang bernama The
Hague Appeal for Peace yang mengusung tema perdamaian
dunia tersebut, para peserta mencetuskan untuk mempromosikan
penghentian segala peperangan dan menyebarluaskan budaya
perdamaian. Konferensi internasioal ini mengusung beberapa
aspek dari olah raga hingga pendidikan sebagai salah satu upaya
untuk mempromosikan budaya perdamaian. Dalam kaitannya
dengan pendidikan The Hague telah membentuk Global Peace
Education Network serta menggalakan Global Campaign for
Peace Education guna mendukung aplikasi pendidikan perda-
maian di seluruh dunia.
Peringatan Hari Perdamaian Internasional pada tanggal 21
September 2013, PBB secara khusus mengusung tema pendi-
dikan perdamaian. Sekretaris Jenderal Ban Ki-Moon saat itu,
melalui pesan perdamaiannya menyerukan untuk merupakan
tugas seluruh lapisan masyarakat untuk mengajarkan generasi-
generasi muda mengenai nilai-nilai toleransi dan menanamkan

17
Basrowi & Suwandi, Memahami Penelitian Kualitatif (Jakarta: Rineka
Cipta, 2008).
18
Ian Harris, “History of Peace Education,” Handbook on Peace
Education, last modified 2011, www.tc.edu/centers/epe/,2008. (Diakses
tanggal 20 Januari 2019 pukul 15.30).
19
Gouri Sadhwani, “The Hague Appeal for Peace Conference,” last
modified 2000, www.mediate.com. (Diakses 20 Januari 2019 pukul 16.30).

418
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

perilaku yang saling menghormati.20 Selain itu pada pidatonya,


Sekretaris Jenderal Ban Ki-Moon mengajak peran serta seluruh
warga internasional untuk berinveastasi di sekolah–sekolah dan
pengajar untuk membangun dunia yang adil dan inklusif yang
merangkul keragaman sehingga tercapai perdamaian dunia.
Dengan melihat perhatian yang tertuju kepada pentingnya pendi-
dikan yang mengusung tema perdamaian, menjadikan pendidikan
perdamaian sebagai aspek yang sangat penting dan harus segera
dilaksanakan dalam mencapai perdamaian secara menyeluruh.
Dalam level internasional, pendidikan sebagai pendekatan
untuk mengurangi konflik sesungguhnya sudah menjadi wacana
terutama pendidikan perdamaian. PBB melalui badan–badannya
seperti UNESCO dan UNICEF sudah menggunakan pedidikan
perdamaian sebagai respon kemanusiaan paska konflik untuk
mengembalikan kondisi masyarakat paska konflik lebih ber-
perilaku lebih kepada perdamaian. Pendidikan terutama pendi-
dikan perdamaian juga dipercaya mempunyai kekuatan untuk
mengikis dan menimalisir gerakan ekstrimisme yang sekarang
ini merambah ke kaum pemuda dan pemudi yang tidak memiliki
pendidikan yang cukup tentang toleransi dan saling menghor-
mati. Fountain menguraikan konsepsi UNICEF tentang pendi-
dikan perdamaian yang merupakan proses mempromosikan penge-
tahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai tentang perdamaian
pada siswa.21
Di Indonesia, provinsi Aceh adalah daerah yang bergolak
dan konflik pertama yang menerima dukungan dari UNICEF dalam
bentuk pendidikan perdamaian pada Januari 2001. UNICEF juga
mengadakan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan pendidikan
perdamaian di Maluku. Badan internasional lainnya adalah UNDP,
yang didirikan pada tahun 1965 ketika Majelis Umum mengga-
bungkan Program Bantuan Teknis (EPTA) yang Diperluas, dimulai
di PBB oleh AS, dan Dana Khusus. UNDP membantu negara-
negara berkembang untuk menarik dan memanfaatkan bantuan,
apa yang diklaim sebagai cara yang efektif. UNDP, bersama dengan
organisasi saudaranya, Peace Through Development (PTD) juga

20
Rhesa Ivan Lorca, “Hari Perdamaian Internasional, PBB Serukan
Investasi Dalam Pendidikan Perdamaian,” last modified 2013,
www.pedomannews.com/2013. (Diakses 19 Januari 2019 pukul 20.00).
21
Susan Fountain, “Peace Education in UNICEF, UNICEF,”
www.unicef.org/ 1999. (Diakses 22 Januari 2019 pukul 21.00).

419
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

berperan dalam pengembangan konflik di Maluku, dan kali ini


mengalihkan perhatiannya ke sektor pendidikan.
Gabriel Solomon, sebagaimana dikutip oleh H.B. Danesh
menyimpulkan bahwa aktivitas pendidikan damai saat ini berada
dalam empat kategori:22
1. Pendidikan damai semata-mata sebagai ‘aktivitas perubahan
mindset’;
2. Pendidikan damai semata-mata sebagai ‘penanaman seperang-
kat kecakapan atau skill’;
3. Pendidikan damai sebagai ‘promosi hak asasi manusia (khu-
susnya di negara-negara dunia ketiga), dan
4. Pendidikan damai sebagai aktivitas pengelolaan lingkungan
hidup, pelucutan senjata dan promosi budaya damai.
Sedangkan menurut Sandy Ascenso Carreira, et al, kesim-
pulan penting untuk pengarusutamaan pendidikan perdamaian
yakni:23
1. Tempat yang baik untuk memulai adalah dengan kompetensi
staf organisasi masyarakat sipil.
2. Konteks organisasi internal di mana staf beroperasi harus
dipertimbangkan dan perlu dianalisis.
3. Sinergi dengan kemitraan dan jaringan yang sudah ada harus
diidentifikasi dan dimanfaatkan.
4. Potensi kerja sama dengan para pemangku kepentingan yang
bekerja di bidang pendidikan perdamaian yang sama harus
dinilai untuk peluang pembelajaran bersama dan untuk
meningkatkan jangkauan.
5. Hubungan dengan para pemangku kepentingan yang bekerja
di bidang-bidang lain pendidikan perdamaian harus dibangun
untuk mengidentifikasi manfaat bersama dan potensi sinergi.
6. Kemungkinan bekerja dengan organisasi yang saat ini tidak
aktif dalam pendidikan perdamaian seperti sektor swasta, peme-
rintah dan organisasi masyarakat sipil lainnya harus diteliti.
Mengarusutamakan pendidikan perdamaian dapat membantu
individu dan organisasi yang aktif dalam pendidikan perdamaian
mengembangkan pendekatan pendidikan yang koheren yang men-
dorong Kedamaian Sejati. Tujuan pengarusutamaan pendidikan
perdamaian adalah untuk mengarusutamakan perdamaian di dalam

22
H. B. Danesh, “Towards an Integrative Theory of Peace Education,”
Journal of Peace Education 3, no. 1 (2006): 55–78.
23
Sandy Ascenso Carreira et al., “Mainstreaming Peace Education”
(2014): 114.

420
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

individu, dalam interaksi interpersonal dan antarkelompok dan


dalam konteks dunia yang kompleks. Ini adalah tentang mengakui
bahwa mendidik orang tentang perdamaian dan menuju perda-
maian adalah proses yang terkait dengan interaksi dan usaha kita
sehari-hari.24
Membangun praktik pengarusutamaan gender dan mempertim-
bangkan konteks kerja organisasi masyarakat sipil yang bekerja
di bidang pendidikan perdamaian, pemahaman untuk pengarus-
utamaan pendidikan perdamaian dapat dikembangkan. Seperti
disebutkan sebelumnya, pendidikan perdamaian adalah proses
holistik, multidisiplin dan transformatif yang mengembangkan
kompetensi untuk tujuan berkontribusi pada transformasi konflik
non-kekerasan, penghormatan terhadap hak asasi manusia dan
partisipasi aktif.
Pendidikan perdamaian dibutuhkan tidak hanya dalam konflik
kekerasan atau masyarakat pascaperang tetapi dalam semua kon-
teks. Pendidikan perdamaian melintasi lintas disiplin, dengan
perhatian pada nir-kekerasan, hak asasi manusia, dan partisipasi
sebagai bagian integral dari berbagai prakarsa dan program. Ini
diarahkan untuk membangun Kedamaian Sejati sebagai persim-
pangan kedamaian batin, kedamaian sosial dan kedamaian ling-
kungan. Setiap pendekatan untuk mengarusutamakan pendidikan
perdamaian harus mempertimbangkan tiga dimensi Kedamaian
Sejati ini. Strategi untuk pengarusutamaan pendidikan perdamaian
harus fokus pada pengembangan kompetensi individu dan harus
bertujuan untuk menerjemahkan gagasan perdamaian ke dalam
tindakan dalam tiga dimensi ini.
Terhadap latar belakang ini, pengarusutamaan pendidikan
perdamaian memiliki dua tujuan:25
1. Mengembangkan pemahaman dan kesadaran yang koheren
tentang apa itu pendidikan perdamaian, sehingga mereka yang
bekerja di sektor ini berkenalan dengan beragam tema dan
metode pendidikan perdamaian dan dapat bekerja secara
koheren dalam pengarusutamaan perdamaian.
2. Meningkatkan Kedamaian Sejati dengan memastikan bahwa
berbagai individu berpartisipasi dalam proyek atau program
pendidikan perdamaian di beberapa titik dalam kehidupan.
Pemahaman pengarusutamaan pendidikan perdamaian harus
dipersempit dari gagasan umum menjadi instrumen yang meng-

24
Ibid.
25
Ibid.

421
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

integrasikan pembelajaran tentang dan untuk perdamaian ke


dalam proses pendidikan.26 Dengan demikian, pengarusutamaan
pendidikan perdamaian di bidang pendidikan orang dewasa non-
formal adalah instrumen untuk membuat pendidikan perdamaian
menjadi umum, normal dan diterima secara luas untuk meng-
arusutamakan perdamaian pada tingkat individu, masyarakat dan
lingkungan (lihat gambar di bawah).

Gambar 1: Mengarusutamakan pendidikan perdamaian dan kedamaian sejati.27


Oleh karena itu, untuk mengarusutamakan pendidikan perda-
maian dan untuk melayani tujuan negara, strategi pengarus-
utamaan memiliki dua tahap strategis:
1. Kontekstualisasi internal dan eksternal dari lingkungan kerja
2. Kerja sama aktif dengan pemangku kepentingan lain dalam
bidang pendidikan perdamaian dan / atau lintas sektor untuk
menciptakan agen perubahan.

Gambar 2: Dua tahap strategi untuk pengarusutamaan pendidikan perdamaian28

26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.

422
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

Menerapkan dua tahap strategis ini membantu pengembang-


an pemahaman yang lebih luas tentang perdamaian di dalam
individu yang ditargetkan, yang menerapkan prinsip-prinsip Budaya
Damai dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka, membu-
atnya lebih mudah untuk menjangkau individu, kelompok, dan
lembaga baru melalui pendidikan perdamaian.
Kedua tahap ini mengembangkan potensi penuh mereka ke-
tika hal-hal berikut ini dipertimbangkan selama realisasinya:
1. Pengembangan kompetensi yang berkelanjutan dari anggota
staf organisasi masyarakat sipil dan pelajar yang terlibat
dalam proyek dan program pendidikan perdamaian.
2. Visibilitas tinggi dan komunikasi eksplisit dari konsep-konsep
utama perdamaian dan pendidikan perdamaian selama perte-
muan pendidikan.
Karena keterkaitan dan kaitan erat antara pengarusutamaan
pendidikan perdamaian dan pengarusutamaan perdamaian, hasil
dari pengarusutamaan pendidikan perdamaian adalah untuk me-
nyebarkan pendidikan perdamaian dan perdamaian secara umum.

2.Pendidikan Perdamaian dalam Pela Gandong


Masyarakat Maluku mendefinisikan Pela sebagai model per-
sahabatan atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan
yang di kembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri
atau lebih. Ikatan sistem tersebut telah di tetapkan oleh leluhur
dalam keadaan khusus dengan hak-hak dan kewajiban tertentu
yang di setujui bersama. Bartles melihat pela sebagai kesepa-
katan perjanjian sebuah sistem sosial yang terjadi tanpa memper-
timbangkan aspek lain. Yang terpenting adalah perasudaraan
yang telah di ikat. Pengertian-pengertian di atas memposiskan
saudara pela pada struktur sosial yang paling tinggi dan terhor-
mat melebihi hubungan saudara kandung yang bersifat biologis.
Pertama kali pela gandong dihidupan kembali dalam usaha
merevitalisasikan dihadirkan dalam bentuk lomba perahu tradisi-
onal (lomba arumbai mangurrebe), yang dihidupkan kembali
pada tahun 2005. Keunggulan budaya pela dan gandong di
Maluku di lihat bukan pada porsi wilayah administrasi semata
namun makna esensi dari pela dan gandong itu sendiri. Pela dan
gandong memiliki keunggulan kebudayaan yang di sebutkan ada

423
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

juga sebagai budaya rukun atau damai yang berasas kekerabatan


dalam konsep kearifan lokal yang murni muncul dan digagas dari
kecerdasan leluhur orang Maluku.
M. G. Ohorella dalam Birgit Brauchler misalnya, menunjuk-
kan bahwa pela harus disesuaikan dengan keadaan modern.29
Untuk mencakup seluruh masyarakat Maluku, sistem pela harus
diperluas untuk mengintegrasikan lebih banyak desa dan harus
dipindahkan ke tingkat yang lebih tinggi, untuk menciptakan
pakta antar kabupaten, sehingga secara otomatis mengintegra-
sikan semua desa di Maluku. Dengan cara ini, Ohorella berharap,
nilai-nilai pela persaudaraan dan saling membantu pada saat
krisis dapat ditransfer ke semua aspek masyarakat Maluku:
sosial, budaya, pendidikan, agama, ekonomi, politik, pemerin-
tahan dan sektor keamanan. Sembilan tahun setelah ia menulis
naskah ini, masih belum ada tanda-tanda bahwa sesuatu seperti
pela yang menyeluruh dan mencakup semuanya akan berevolusi.
Nilai-nilai pendidikan perdamaian (peace education) dalam
pela gandong:
1. Konsep; hidup orang Basudara, Potong di kuku rasa di
daging, Ale Rasa Beta Rasa, Sagu Salempeng di pata dua, Ain
ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan lain sebagai-
nya adalah konten lokal yang di kemas dalam tradisi harmo-
nisasi orang basudara di Maluku.
2. Pela dan gandong telah menjadi pranata sosial yang berkem-
bang sebagai suatu perekat hubungan sosial di antara satu
negeri dan negeri lain baik yang beragama Islam maupun
negeri yang beragama Kristen.
3. Pela dan gandong sangat berfungsi dalam mengatur sistem inter-
aksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai bidang.
4. Pela gandong sebagai model persahabatan atau sistem persau-
daraan, atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar
seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Ikatan sistem
tersebut telah ditetapkan oleh leluhur dalam keadaan khusus
dengan hak-hak dan kewajiban tertentu yang disetujui ber-
sama.

29
Bräuchler, “Cultural Solutions to Religious Conflicts? The Revival of
Tradition in the Moluccas, Eastern Indonesia.”

424
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

Setelah rekonsiliasi konflik Ambon tercapai, pela gandong


berkembang di ranah baru yang sebelumnya belum terjangkau,
yakni bidang pendidikan, pela gandong bertransmisi di Institut
Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Kristen Indonesia
Maluku (UKIM), kedua universitas beda ideologi agama ini
mengangkat sumpah bersaudara dalam dunia pendidikan. Pada
tahun 2018 giliran SMPN 9 Ambon dan SMPN 4 Salahutu, Liang,
yang menggelar Panas Pela, yang bertempat di lokasi SMPN 9
Ambon yang merupakan objek penelitian penulitian penulis.
Tujuannya adalah bagaimana nilai multikultural pela gandong
dalam diterapkan di bidang pendidikan.
Menurut Paul Lederach misalnya, sumber daya terbesar untuk
mempertahankan perdamaian dalam jangka panjang selalu ber-
akar pada penduduk setempat dan budaya mereka.30 Penelitian
tentang kultur damai berbasis tradisi pela juga menunjukkan
bahwa tradisi pela mengandung dimensi kolektivisme seperti
yang diungkapkan oleh Geert Hofstede dibandingkan indivi-
dualisme.31 Keunggulan budaya pela dan gandong di Maluku
dilihat bukan pada porsi wilayah administrasi semata namun
makna esensi dari pela dan gandong itu sendiri. Pela dan
gandong memiliki keunggulan kebudayaan yang di sebutkan ada
juga sebagai budaya rukun atau damai yang berasas kekerabatan
dalam konsep kearifan lokal yang murni muncul dan digagas dari
kecerdasan leluhur orang Maluku.

3. Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Ke-


arifan Lokal Pela Gandong di Sekolah
Pada 25-30 Januari 2018, lembaga UNDP bersama lembaga
nasional dan lokal Maluku seperti Convey Indonesia, PPIM UIN
Jakarta, dan ARMC IAIN Ambon mengadakan kegiatan Interfaith
Youth Camp 2018 di Ambon Maluku. Penulis turut menjadi pe-
sertanya. Satu di antara agendanya, pada 29 Januari 2018, yakni,
melihat bagaimana dua sekolah yang mewakili kelompok agama

30
John Paul Lederach, Building Peace: Sustainable Reconciliation in
Divided Societies (Library of British Council: Liverpool, 1999).
31
Geert Hofstede & Gert Jan Hofstede, Culture and Organizations
Software of the Mind (McGraw-Hill, 2005).

425
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

saat konflik Ambon terjadi mengadakan ikatan persaudaraan


yang disebut panas pela.

Gambar 3: Acara Panas Pela Pendidikan di SMPN 9 Ambon dan SMPN 4


Salahutu Liang, pada 29 Januari 2018. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Dalam kegiatan itu penulis hadir sebagai perserta undangan


untuk memotret bagaimana proses pengarusutamaan pendidikan
perdamaian berbasis kearifan lokal pela gandong, turut hadir
Gubernur Maluku saat itu, Said Assagaf. Panas pela dalam sebuah
ikatan persaudaraan dibidang pendidikan dianggap sebagai nilai
penting dan strategi pembangunan nilai karakter bagi generasi
muda.
Dalam wawancaranya Gubernur Maluku saat itu, Assegaf
mengatakan:
Tidak dapat di ungkiri perkembangan zaman yang semakin modern
sering membawa kecenderungan dan melupakan nilai-nilai budaya, adat
istiadat daerah yang di wariskan nenek moyang kita sejak dulu. Budaya
Pela adalah salah satu sistem sosial yang merupakan ikatan sosial dua
negeri atau sumpah janji yang di ikat leluhur kita untuk menjaga tali per-
saudaraan satu dengan yang lain. Lanjutnya, dengan adanya panas Pela
Pendidikan dari dua sekolah ini akan menjadi suatu contoh untuk dapat di
tiru dari sekolah dan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka mening-
katkan hubungan toleransi serta dapat mengimplementasikan dalam buda-
ya. Diharapkan dari panas Pela pendidikan ini dapat memberikan nilai
positif pada mutu pendidikan yang berkualitas bagi anak didik kita pada
kedua lembaga ini (Wawancara, 29 Januari 2018)

Kegiatan panas pela pendidikan bertujuan semakin memper-


erat hubungan persaudaraan dikalangan para siswa antarkedua
sekolah tersebut yang berlatar belakang mayoritas bergama Islam

426
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

dan Kristen. SMP Negeri 9 Ambon memiliki jumlah peserta didik


1431 jiwa dengan 99 % beragama Kristen, sedangkan SMP Negeri
4 Salahatu memiliki jumlah peserta didik 414 jiwa dengan 100 %
beragama Islam. Berbagai atraksi budaya ditampilkan peserta didik
kedua sekolah baik lewat tari, lagu dan puisi, yang semuanya
mengarah dan mengajak peserta didik satu dengan yang lain
untuk hidup saling menyayangi walaupun berbeda agama suku
dan golongan. Hubungan pela antar kedua sekolah ini telah ter-
bangun beberapa tahun lalu dengan menjalankan sejumlah ke-
giatan bersama diantaranya, lomba pekan olah raga dan seni
(Porseni), Pramuka, buka puasa bersama, natal bersama, kegiatan
OSIS bersama sampai pada pertukaran guru mengajar kedua se-
kolah tersebut.

Gambar 5:
SMPN 9 Kota Ambon dan
SMPN 4 Salahutu Liang
melaksanakan Panas Pela
Pendidikan.
(Dokumentasi Pribadi)

Perwujudan pengarusutamaan pendidikan perdamaian berba-


sis kearifan lokal pela gandong di sekolah sebagai berikut:
a. Transformasi nilai-nilai pela terus dilakukan, satu diantaranya
adalah angkat pela pendidikan sebagaimana pela pendidikan
SMPN 9 Kota Ambon yang 99% peserta didik dan gurunya
beragama Kristen, dengan SMPN 4 Salahutu Liang yang
100% peserta didik dan gurunya beragama Islam.
b. Pertukaran guru agama.
c. Hubungan baik antar peserta didik dan guru di kedua sekolah
berjalan harmonis dan makin rukun. Hampir tiap tahun, kedua
sekolah ini melakukan ‘reuni’ yang dalam istilah adat disebut
panas pela. Adapun panas pela ditandai dengan makan sirih
pinang oleh Kepala SMPN 9 Ambon E. Harmusial didam-
pingi Ketua OSIS Jack Dea bersama Kepala SMPN 4 Sala-
hutu Hilia Pary dan Ketua OSIS Dimara Dinasti Laga.

427
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

d. Selain panas pela, sering membuat kegiatan bersama bagi


para siswa

Gambar 6: Konsep Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis


Kearifan Lokal Pela Gandong Pasca Rekonsiliasi Konflik Ambon Maluku.
Sumber: Olahan penulis.

Penutup
Rekonsiliasi konflik Ambon Maluku tahun 2002 tidak ter-
lepas dari kearifan lokal kepunyaan masyarakat Maluku yakni
pela gandong yang mampu menjadi bagian dari resolusi konflik.
Pencapaian rekonsiliasi tidak boleh berhenti, tetapi harus me-
ningkat ke tahap pendidikan perdamaian. Pengarusutamaan
pendidikan perdamaian berbasis kearifan lokal dalam bentuk
kegiatan panas pela pendidikan di SMPN 9 Kota Ambon dan
SMPN 4 Salahutu Liang bertujuan semakin mempererat hubungan
persaudaraan dikalangan peserta didik antar kedua sekolah yang
berbeda kepemelukan agama. SMPN Kota 9 Ambon memiliki
jumlah peserta didik 1431 jiwa dengan 99% beragama Kristen,
sedangkan SMPN 4 Salahatu memiliki jumlah peserta didik 414
jiwa dengan 100% beragama Islam.
Bentuk pengarusutamaan pendidikan perdamaian berbasis
kearifan lokal pela gandong yakni, dengan berbagai atraksi
budaya yang ditampilkan peserta didik kedua sekolah baik lewat
tari, lagu dan puisi, yang semuanya mengarah dan mengajak para
siswa satu dengan yang lain untuk hidup saling menyayangi
walaupun berbeda agama suku dan golongan. Hubungan pela

428
Pengarusutamaan Pendidikan Perdamaian Berbasis Kearifan Lokal Pela Gandong … —
Anju Nofarof Hasudungan, Sariyatun, dan Hermanu Joebagyo

antar kedua sekolah ini telah terbangun beberapa tahun lalu


dengan menjalankan sejumlah kegiatan bersama diantaranya,
lomba pekan olah raga dan seni (Porseni), Pramuka, buka puasa
bersama, natal bersama, kegiatan OSIS bersama sampai pada
pertukaran guru mengajar kedua sekolah tersebut. Dengan demi-
kian, pendidikan perdamaian yang mengintegrasikan nilai-nilai
kearifan lokal seperti pela gandong kepunyaan masyarakat
Maluku telah mampu menjadi model pendidikan perdamaian
yang berbeda dengan yang dikembangkan oleh UNICEF. Dan
tentunya dapat terlaksana dengan baik dan mencapai tujuan pen-
didikan perdamaian itu sendiri. []

Daftar Pustaka

Aditjondro, George Junus. Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu,


Tragedi Kemanusiaan Maluku Di Balik Konspirasi Militer, Kapitalis
Birokrat, Dan Kepentingan Elit Politik. Jakarta: Sekretariat Tapak
Ambon., 2001.
Amirrachman, M.A. “Peace Education in the Moluccas , Indonesia : Between
Global Models and Local Interests.” UvA-DARE (Digital Academic
Repository) (n.d.).
Bakri, Hendry. “Resolusi Konflik Melalui Pendekatan Kearifan Lokal Pela
Gandong Di Kota Ambon.” The POLITICS : Jurnal Magister Ilmu
Politik Universitas Hasanuddin 1, No. 1 (2015): 51–60.
http://journal.unhas.ac.id/index.php/politics/article/view/133/pdf.
Basrowi & Suwandi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta,
2008.
Bräuchler, Birgit. “Cultural Solutions to Religious Conflicts? The Revival of
Tradition in the Moluccas, Eastern Indonesia.” Asian Journal of Social
Science 37, No. 6 (2009): 872–891.
Carreira, Sandy Ascenso, Tiphaine Coulardeau, Elisenda González, Elif
Kalan, Gracia Romeral Ortiz Quintilla, Sebastian Schweitzer, Imre
Veeneman, and Meghann Aurea Villanueva. “Mainstreaming Peace
Education” (2014): 114.
Carroll-Lind, J. “Responsive Schools.” Office of the childrens commissioner,
No. March (2010).
Danesh, H. B. “Towards an Integrative Theory of Peace Education.” Journal
of Peace Education 3, No. 1 (2006): 55–78.

429
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 17, No. 2, 2019: 409 - 430

Geert Hofstede & Gert Jan Hofstede. Culture and Organizations Software of
the Mind. McGraw-Hill, 2005.
Harris, Ian. “History of Peace Education.” Handbook on Peace Education.
Last modified 2011. www.tc.edu/centers/epe/,2008.
James A. Banks (ed.). Multicultural Education: Issues and Perspectives.
Boston-London: Allyn and Bacon Press, 1989.
Joebagio, Hermanu, and Muhammad Akhyar. “Peace Education As the
Development of Social Skill in Social Science Learning” 29, No. 2
(2019).
John W. Creswell. Penelitian Kualitatif Dan Desain Riset Memilih Di Antara
Lima Pendekatan. Edisi ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018.
Jude, Abdulkareem. “International Journal of English and Education
Mainstreaming Peace Education in Secondary School Curricula in
Nigeria.” Modibbo Adama University of Technology, Nigeria, no. 2
(2013).
Lederach, John Paul. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided
Societies. Library of British Council: Liverpool, 1999.
Nasution. Metode Research. Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2003.
Rhesa Ivan Lorca, “Hari Perdamaian Internasional, PBB Serukan Investasi
Dalam Pendidikan Perdamaian.” Last modified 2013.
www.pedomannews.com/2013.
Sadhwani, Gouri, “The Hague Appeal for Peace Conference.” Last modified
2000. www.mediate.com.
Sariyatun, “Pengembangan Model Pendidikan Nilai-Nilai Budaya Di Smp
Berbasis Tradisi Seni Batik Klasik Surakarta.” Paramita: Historical
Studies Journal 23, No. 2 (2013).
Susan Fountain. “Peace Education in UNICEF, UNICEF.” www.unicef.org/
1999.
Trijono, Lambang, “Pembangunan Perdamaian Pasca-Konflik Di Indonesia :
Kaitan Perdamaian, Pembangunan Dan Demokrasi Dalam Pengem-
bangan Kelembagaan Pasca-Konflik.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik 13 (2009): 48–70.

430
International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

MAINSTREAMING PEACE EDUCATION BASED ON LOCAL WISDOM PELA


GANDONG POST RECONCILIATION OF AMBON CONFLICT IN SCHOOLS

Anju Nofarof Hasudungan1, Sariyatun2 and Sutiyah3


1
Graduate Student, Department of History Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia
2
Professor, Department of History Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia
3
Doctorate, Department of History Education, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia

ABSTRACT
The Maluku community defines Pela as a model of friendship, fraternity, or communion system
developed among all indigenous people from two or more villages. The achievement of
reconciliation must not stop, but must increase to the stage of Peace Education. Peace education
based on the local wisdom of Pela Gandong was implemented in Junior High School 9 Ambon and
Junior High School 4 Salahatu Liang in the Central District of Maluku in the form of Panas Pela
education activities. This is different from other peace education models developed by the United
Nations Children's Fund (UNICEF). This aims to further strengthen the brotherhood relationship
among the students between the two schools with a background in the majority of Islamic and
Christian backgrounds. The relationship between the two schools was built several years ago by
carrying out a number of joint activities including, sports and arts week competitions, Scouts,
breaking fast together, Christmas together, Student Council and teacher exchanges.

KEYWORDS: Mainstreaming, Peace Education, Pela Gandong, Ambon Conflict Reconciliation,


School.

INTRODUCTION
Reconciliation of Ambon Maluku conflict in 2002 was inseparable from the local wisdom of the
people of Maluku, pela gandong, which was able to become part of conflict resolution (Hendry
Bakri, 2015). It has occurred because there was a collective memory of Ambon Maluku people to
immediately solve the biggest civil conflict in Indonesia. In this case, the local wisdom is actually
able to maintain the stability and harmonization of society.

The New Order's political and military forces to maintain the security and harmonization of the
community were only pseudo. The proof, after the new order ended the occurrence of so many
social/religious conflicts, an iceberg phenomenon. According to George Junus Aditjondro, during the
New Order in power it made the Tribe of Racial and Interreligious Religion a propaganda
mechanism (Aditjondro, 2001). Achieving reconciliation should not stop and must step to the stage
of Peace Education (Birgit Bräuchler, 2017). Post-conflict regions, including Ambon Maluku, are
generally vulnerable to revolve the past conflict. The challenges to reducing the peace gap between
ideal peace goals and the realization of a peaceful living society (Lambang Trijono, 2009).

http://ijessr.com Page 228


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

To secure continuous peaceful living, it is important to overcome the Peace Gap both at the decision
maker and on the grass root of the society. Vulnerable or unconsolidated peace can cause conflicts to
arise again. Therefore, in addition to ensuring that the peace agreement is effective, the efforts to
prevent the violent become an important agenda in the post-conflict period. Prevention of conflict in
the post-conflict period is essential like the efforts to maintain stability and Peace Education is the
right way to realize a peaceful society.

Geneva Gay (2010) argued that culture and ethnic have very strategic and important to be established
in the education curriculum, including peace education and conflict resolution. First, the cultural and
ethnic content in the education curriculum has very crucial and essential to improving the
pedagogical aspects of teaching and learning in the school. Second, most of the learning resources in
the classroom are textbooks, so incorporate the cultural and ethnic content into the textbook is
important. Third, based on simultaneous research in several educational institutions, cultural and
ethnic content in educational curricula has a lot of meaning for students while increasing student
appreciation in learning. Fourth, the relevance of cultural and ethnic content in the curriculum also
contributes to the preservation of the history, culture, and traditions of a particular ethnic group so
that it can increase the appreciation of nationalism and create cohesiveness and tolerance. Fifth,
usually cultural and ethnic content is taken from various sources, not only from books but also from
the personal experience. Complementary source of information about culture and ethnicity outside
the school will help both teachers and students in creating diversity love.

Ambon Peace Activist, Jacky Manuputty, stated that under the Soeharto Regime, schools were
considered the most effective vehicle for disseminating government version history and promoting
Indonesia's shared identity. Decentralization of education curriculum and the inclusion of local
content, as well as intercultural and interfaith communication, are important steps towards peace
society (Birgit Bräuchler, 2017).

Local wisdom-based peace education has been implemented at two Junior High School in the
Ambon, Central Maluku regency. The peace education model is different from the educational model
which been developed by the United Nations Children's Fund (UNICEF) when the reconciliation of
the Ambon conflict was reached on February 12, 2002. Japan International Cooperation Agency
(JICA) established the Community Empowerment Education Program (CEP- POB) to embrace
Muslims and Christians as their own brothers.

Involving 24 Junior High Schools from Leihitu and Baguala on Ambon Island in 2006 and 2007.
UNICEF and UNDP launched several education programs such as Kurikulum Pendidikan Orang
Bersaudara in 2006, school reconciliation from 2004 until 2005 as the efforts to integrate a culture
of peace and local traditions of Central Maluku which contains pluralism value of religious and
culture into the teaching-learning process (R. Alpha Amirrachman, 2012).

http://ijessr.com Page 229


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Table 1: Student data based on religion


School Total Students Students Based on Religion

Islam Christian
(%) (%)
Junior High School 1500 students 1% 99 %
No. 9, of Ambon
City

Junior High School 300 students 100 % 0%


No. 4, Salahatu
Liang Central
Maluku

Both schools represented two different religious entities during the Ambon conflict in 2002. Hence,
the authors have conducted an empirical study on the Peace Education of Pela Gandong and its
influenced toward reconciliation of Ambon Conflict 2002 (Case of Ambon City SMPN 9 and SMP 4
Salahutu Liang, Central Maluku Regency).

RESEARCH METHOD
This study uses descriptive qualitative research methodology with a case study approach. The case
study includes the study of a real-life case in a contextual and contemporary setting (Yin, 2009 in
John W. Creswell, 2018). The data was collected through observation-participation, literature review,
interviews, and documentation.

The procedures of qualitative case studies consist several steps below: (Stakes, 1995; Yin, 2009 in
John W. Creswell, 2018).
1. First, the researcher determines whether the case study approach is suited for investigating
the research problem.
2. Second, researchers need to identify cases or some of their cases, whether this case involves
individual, people, program, an event, or an activity.
3. Third, the data collection extends to gathering various sources of information, such as ways
to conduct observation-participation, literature review, interviews, and documentation.
4. Fourth, the type of data analysis is in the form of holistic analysis or inherent analysis.
5. Fifth, the interpretation stage, the researcher reports the meaning of the case, whether an
instrumental or intrinsic case.

http://ijessr.com Page 230


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Generally, the process of data collecting is adjusted according to the type of research. Data collected
in this study are in the form of testimony or statement, actions, documents, and events. The source of
data is (Moleong 1982, and Nasution 1988):
1. The statement which was obtained directly or indirectly through interviews and observations.
2. Documents such as curriculum, Learning Unit, and Lesson Plans.
3. Situations related to the activities of the subject of research and research problems such as in
the learning process and the environment in the school.

RESULT AND DISCUSSION

Mainstreaming of Peace Education


In Indonesia, Aceh province was the first turbulent and conflict region to receive support from
UNICEF in the form of Peace Education in January 2001. Another international assistance coming
from UNDP in the Peace Through Development (PTD) in Maluku and this time turned its attention
to the development of the education sector.

Gabriel Solomon as cited by H.B. Danesh (2016) concluded that peaceful education activities
currently fall into four categories:
1. Peace Education solely as 'mindset change activity';
2. Peace Education solely as 'planting a set of skills or skills';
3. Peace Education as a promotion of human rights (especially in third world countries), and
4. Peace Education as environmental preservation, disarmament, and promoting the culture of
peace.

Sandy Ascenso Carreira et al (2014) concluded the importance things to be consider to


mainstreaming Peace Education, including:
1. A good start to mainstreaming Peace Education is with the competence of the staff of civil
society organizations.
2. The internal organizational in which staff operates must be considered and needs to be
analyzed.
3. Synergy with partnerships and existing networks must be identified and utilized.
4. Cooperation with stakeholders which can assist peace education implementation must be
assessed for shared learning opportunities and for increasing the influence.
5. Collaborations with stakeholders working in other fields of peace education must be built to
identify shared benefits and potential synergies.
6. The possibility of working with organizations that are currently not active in peace education
such as the private sector, government, and other civil society organizations must be
examined.

http://ijessr.com Page 231


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Mainstreaming Peace Education can help individuals and organizations active in peace education
develop a coherent educational approach that fosters peaceful society. The aim of mainstreaming
peace education is to spread peace within individuals, interpersonal, and intergroup interactions. This
is about recognizing people about peace, and toward peace is a process that is related to our daily
interactions and efforts (Sandy Ascenso Carreira, et al, 2014). According to Sandy Ascenso Carreira,
et al., 2014) mainstreaming peace education has two objectives:
1. Develop coherent understanding and awareness the importance of creating a peaceful society,
so those who work in this sector are acquainted with a variety of peace education themes and
methods and can work coherently in peace mainstreaming.
2. Realizing the True Peace by ensuring that various individuals participate in Peace Education
projects or programs.

The understanding of mainstreaming peace education must be narrowed from general ideas into
instruments that integrate peace education into the educational process (Reardon, Cabezudo 2002 in
Sandy Ascenso Carreira, et al, 2014). Thus, mainstreaming peace education in the field of non-
formal education is an instrument for peace education and widely accepted to mainstream peace at
the individual, community, and the society (see figure below).

Figure 1: Mainstreaming true peace and peace education (Sandy Ascenso Carreira, et al,
2014).
Therefore, to mainstreaming peace education and to serve state goals, the mainstreaming strategy has
two strategic stages:
1. Internal and external contextualization of the work environment
2. Active cooperation with other stakeholders in the field of peace education and / or cross-sector to
create agents of change (Sandy Ascenso Carreira, et al, 2014).

http://ijessr.com Page 232


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Figure 2: Two strategic stages for mainstreaming peace education (Sandy Ascenso Carreira, et al,
2014).

Implementing these two strategic stages helps develop a broader understanding of peace within the
society, people who apply the principles of Peace Education in their work and personal life, making
it easier to influence new individuals, groups, and institutions through peace education. These two
stages develop their full potential when the following are considered during their realization:
1. Continuous development of competencies from members of civil society organizations and
students who involved in peace education projects and programs.
2. Transparency and communication of the main concepts of peace and peace education during
the educational process (Sandy Ascenso Carreira, et al, 2014).

Because of the interrelationships between mainstreaming peace education and mainstreaming peace,
the result of mainstreaming peace education is to spread peace and Peace Education itself. As shown
in Figure 2, new agents of change or new stakeholders created through the peace education process
can actively multiply spreading the values of the Peace Culture, preparing more people to get
involved in peace education.

To conclude, the following definitions of peace mainstreaming and mainstreaming peace education
clarify the overlapping and complementary values of the two processes:
1. Mainstreaming Peace is a process that allows individuals to develop a holistic understanding
of three dimensions of peace which are inner peace, social peace, and environmental peace.
Thus they would be applicated it in their lives.
2. Mainstreaming Peace Education is an instrument to make peace education widely accepted
and to promote peace within the society (Sandy Ascenso Carreira, et al, 2014).

http://ijessr.com Page 233


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Peace Education inside Pela Gandong


M. G. Ohorella (1999) stated in Birgit Brauchler (2009) that Pela must be adapted to contemporary
conditions. To cover the entire Maluku community, the Pela system must be expanded to integrate
more villages and have to be moved to a higher level, to create harmony between districts, so those
are to automatically integrate all villages in Maluku. The values of brotherhood inside Pela and
mutual assistance in times of crisis can be transferred to all aspects of Maluku society: social,
cultural, educational, religious, economic, political, government and security. Nine years after he
wrote this script, there are still no signs that pela will evolve.

Table 2: Multicultural values of pela gandong.

No Peace Education Values in Pela Gandong

1 Life wisom of the Basudara (brothers), “Potong di kuku rasa di daging, Ale Rasa Beta
Rasa, Sagu Salempeng di pata dua, Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike”
and others locally wisdom that create harmony among Maluku people.

2 Pela and Gandong have become social institutions that have developed as an bond for
social relations between Muslim and Christian.

3 Pela and Gandong regulated the system of social interaction of indigenous peoples that
goes beyond various fields.

4 Pela gandong as a model of friendship or a system of brotherhood, or an alliance


system developed between the indigenous people. The system ties have been
established by the ancestors with certain rights and obligations.

After the reconciliation of the Ambon, conflict was reached. Pela Gandong was transmitted in the
State Islamic Institute (IAIN) Ambon and the Indonesian Maluku Christian University (UKIM). Both
universities were based on different religious entity and declared that they bond on the brotherhood
based on the Pela Gandong values. In 2018, it was another turn that SMPN 9 Ambon and SMPN 4
Salahutu Central Moluccas held Panas Pela, which took place at the location of Ambon 9 Junior
High School. The objective of this event is how the value of multicultural Pela Gandong applied in
the field of education.

http://ijessr.com Page 234


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Current trends in Maluku are in line with abroad phenomenon, where law enforcement, human
rights, forgiveness, and amnesty often fail to reconcile past conflicts. According to Birgit
Brauchlerhal (2009), there were two abroad trends where the Maluku case was very suitable:

1. People affected by mass atrocities increasingly mobilize traditional institutions or conflict


resolution mechanisms for peace and stability to compensate for failed external intervention;
and
2. People and organizations involved in developing conflict resolution strategies have begun to
think about integrating cultural factors into the reconciliation process.

According to Paul Lederach (1999), the greatest resources for maintaining peace in the long term are
always rooted in the local population and their culture. Research on the culture of peace based on the
Pela tradition also shows that the Pela tradition contains a dimension of collectivism (Geert
Hofstede, 2005).

The cultural superiority of Pela Gandong in Maluku is not only the portion of the administrative area
but the essence of pela gandong itself. Pela and gandong have cultural advantages which are
mentioned as well as harmonious or peaceful cultures which are based on the concept of local
wisdom which is purely initiated from the ancestors of the Moluccas.

Implementation of Mainstreaming Peace Education Based on Pela Gandong in Schools


On January 25-30 2018, UNDP along with Convey Indonesia, PPIM UIN Jakarta, and ARMC IAIN
Ambon held Interfaith Youth Camp 2018 activities in Ambon Maluku. Two schools which
representing two entities during the Ambon conflict launched a brotherhood declaration called panas
pela.

Figure 3: Panas Pela Education Activities at SMPN 9 Ambon and SMPN 4 Salahutu Liang on
January 29, 2018.

http://ijessr.com Page 235


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Pela gandong is the local wisdom of the people of Maluku. When the peace process took place pela
gandong became the media for Ambon conflict resolution. After the Ambon conflict reconciliation
was achieved, pela gandong transformed to be Peace Education media as happened in Junior High
School 9 in Ambon City and Junior High School 4 Salahutu Liang Central Maluku. In the activity,
the author was attended as an invited participant to watch how the process of mainstreaming peace
education based on local wisdom of Pela Gandong along with the Governor of Maluku, Said
Assagaf. Panas Pela (Traditional ceremony attended by people), a bond of brotherhood in the field of
education, was considered as an important value and a strategy to develop character values for the
younger generation. During the event, Panas Pela was declared to tie brotherhood between the
SMPN 9 Ambon City and SMP 4 Salahutu Central Maluku.
The Governor of Maluku at the time, Said Assagaf, stated:

It cannot be denied that civilization has grown to be the modern era that often reduced awareness of
the importance of cultural values which have inherited from the ancestors. Pela is a social system
which is a two-state/district bond or promise bound by our ancestors to maintain brotherhood within
the region. He continued, with the existence of panas pela from these two schools would be a
blueprint for other schools and educational institutions in order to improve tolerance and be able to
implement our culture. Hopefully, start from panas pela, this education can provide a positive value
of quality education for our students in these two institutions.

Figure 4: The author attended the panas pela Education Event at Ambon 9 Junior High School
on January 29, 2018.

The Panas Pela Pendidikan activity aims to further strengthen brotherhood relations among students
between the two schools which have a different religious background. Junior High School 9 Ambon
City has more than 1500 students and 99% are Christian, while Junior High School 4 Salahatu Liang
Central Maluku has more than 300 students and majority as Muslims.

The various cultural attractions displayed by the students of both schools through dance, song, and
poetry, all of them lead and invite students to live in love with the other despite coming from
different tribes and religions. The relationship between both schools has been built since several
years ago with carrying out a number of joint activities including, sports and arts, Scouting, breaking
fasting Ramadhan, Christmas ceremony, joint student council activities, and the teacher exchange.

http://ijessr.com Page 236


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

Both schools declared peace by inviting all generations of young people to continue to spread the
seeds of Peace on the land of Maluku.

Table 3:The implementation of the multicultural values of pela gandong.

No. Implementation of the multicultural and peace values of pela gandong


1. Transformation of the pela values was keept being carried out. One of them was the
promotion of the pela education as well as the education at SMPN 9 Ambon City
where 98 percent of the students and teachers are Christian and at SMPN 4 Salahutu
Liang Central Maluku where 100 percent of the students and teachers are Moslem.
2. Teacher exchange.
3. Increasing good relationship between students and teachers in both schools were
getting along better. Almost every year, both schools carry out 'reunions' called Panas
Pela in the traditional term. Panas pela was marked by eating betel nut by the
Headmaster of SMPN 9, Ambon E. Harmusial accompanied by the Chairman of the
Student Council, Jack Dea together with the Headmaster of SMPN 4 Salahutu, Hilia
Pary and the Chairman of the Student Council, Dimara Dinasti Laga.
4. Joint activities for the students, such as the sport and art week (Porseni) competitions,
scouts, breaking fasting Ramadhan, celebrating Christmas ceremony, and joint student
council activities.
5. Both schools were also part of the filmmaking of the 2013 Peaceful Provocateur as a
form of peace and multicultural diversity campaign.

LOCAL
WISDOM
(PELA
GANDONG
)

Millennial
Era

Peace
SCHOOL
Education

Figure 5: Mind mapping of implementation the values of pela gandong at school

CONCLUSION
Local wisdom-based peace education has been implemented in the Junior High School 9 of Ambon
City and the Junior High School of 4 Salahutu Liang Central Maluku Regency. The mainstreaming
of the peace education model was different from the other education models developed by the United
Nations Children's Fund (UNICEF). Mainstreaming local wisdom-based peace education in the form

http://ijessr.com Page 237


International Journal of Education and Social Science Research
ISSN 2581-5148

Vol. 2, No. 05; 2019

of panas pela activities aims to strengthen brotherhood relations among students from both schools
that are based on different religious beliefs. Junior High School 9 Ambon City has more than 1500
students, 99% are Christian. While the Junior High School 4 Salahatu Liang Central Maluku has a
total of more than 300 students, the majority of whom are Muslim. Various cultural attractions were
displayed by the students from both schools through dance, song, and poetry, which led students to
live in love with others even though from different ethnic and religions. The pela relationship
between the two schools was built since several years ago by carrying out a number of joint activities
including, sports and arts (Porseni), Scouting, breaking fasting Ramadhan, Christmas ceremony, joint
student council activities, and teacher exchanges. Both schools declared peace by persuading the
youth and Maluku people to continue spreading the seeds of Peace on the land of Maluku.

REFERENCES
Aditjondro, George Junus. (2001). Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Tragedi
Kemanusiaan Maluku di Balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat, dan Kepentingan Elit Politik.
Jakarta:Sekretariat Tapak Ambon.
Amirrachman, R. Alpha. (2012). Peace education in the Moluccas, Indonesia: between global models
and local interests. ISBN: 978-979-25-7913-0.
Bräuchler, B. (2009). Cultural solutions to religious conflicts? the revival of tradition in the
Moluccas, Eastern Indonesia. Asian Journal of Social Science 37, 872—891. DOI:
10.1163/156848409X12526657425226.
Carreira, Sandy Ascenso, et al. (2014). Mainstreaming Peace education - Methodologies, approaches
and Visions: a Practitioner’s Manual. European Intercultural Forum e. V. Germany All rights
reserved.
Creswell, J. W. (2018). Penelitian Kualitatif dan Desain Riset Memilih di antara Lima Pendekatan
(Edisi ke-3). Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Gay, Geneva. (2010). Culturally responsive teaching: Theory, research, and practice. New York:
Teachers College.
Hofstede, G. & Hofstede, G. J. (2005). Culture and Organizations Software of the Mind. McGraw-
Hill.
Lederach, J. P. (1999). Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies. Library of
British Council: Liverpool.
Moleong, L. J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosdakarya Offset: Bandung.
Nasution. (2003). Metode Research. PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Interview
Results of Maluku governor's interview, Said Assagaf . on January 29, 2018

http://ijessr.com Page 238


JURNAL PENDIDIKAN SEJARAH INDONESIA

Artikel Penelitian

IMPLEMENTASI NILAI LOCAL WISDOM PELA GANDONG DALAM PENDIDI-


KAN PASCA REKONSILIASI KONFLIK AMBON (STUDI PADA SMPN 9 KOTA
AMBON DAN SMPN 4 SALAHUTU LIANG MALUKU TENGAH)

Anju Nofarof Hasudungan1 Sariyatun2 Sutiyah2


anjunofarof@gmail.com, sari_fkip_uns@yahoo.co.id, sutiyah61@yahoo.co.id
SMAN 1 Rupat Riau 1
Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret, Surakarta 2

Abstract: Collective Memory of Maluku Ambon community against the conflict that occurred in
1999-2003 has been aware that the local wisdom of Pela Gandong owned hundreds of years is very
important to maintain. In fact, optimizing its function to maintain the reconciliation conflict Ambon
Maluku has been achieved. Ambon people of Maluku define Pela Gandong as a model of friendship,
fraternity system, or federal system developed between all indigenous peoples from two or more
countries even before the colonial arrival. When Ambon conflict occurred Pela Gandong became
part of conflict resolution. Today, the people of Ambon Maluku have expanded the function of Pela
Gandong in various areas including education. This research aims to reveal how the local wisdom
value implementation of Pela Gandong in education. The research was conducted in January 2018
at SMPN 9 Ambon with 98% of his students ' Christian/Catholic and SMPN 4, a religious Liang in
100% Islam. In order to obtain a research response, qualitative and descriptive methods. Collection
of data through literature, interviews and observational-participatory study methods. The results
reveal that the implementation of the multicultural values of Pela Gandong can be carried out well
in formal educational institutions.

Key words: Local wisdom, Pela Gandong, Ambon conflict, multicultural education

PENDAHULUAN
Implementasi nilai local wisdom Pela Gandong dalam pendidikan pasca rekonsiliasi
Konflik Ambon di SMPN 9 Kota Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang Maluku Tengah berkai-
tan dengan Kompetensi Dasar (KD) 3.2 kelas VIII mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) yakni, menganalisis pengaruh interaksi sosial dalam ruang yang berbeda terhadap
kehidupan sosial budaya serta pengembangan kehidupan kebangsaan. Materi-materi
pokok pada KD tersebut meliputi pengaruh interaksi sosial (mobilitas sosial) terhadap ke-
hidupan sosial budaya, pluralitas (agama, budaya, suku bangsa, pekerjaan) masyarakat
Indonesia, serta konflik dan integrase. Jika dilihat dari KD dan materi pokoknya, maka Pela
Gandong sangat sesuai untuk diajarkan pada matapelajaran IPS kelas VIII. Hal ini tidak
lepas dari arti kata Pela Gandong sendiri. Pela memiliki arti adalah suatu ikatan persatuan,
Gandong berarti saudara sedangkan Panas Pela yakni, upacara bersama.
JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 179
Konflik Ambon Maluku dan proses rekonsiliasinya terjadi di masa awal reformasi
yakni, tahun 1999 hingga 2003. Konflik Ambon adalah peristiwa yang berdampak pada
bidang politik, akibatnya ribuan orang meninggal, puluhan ribu kehilangan tempat tinggal
dan ratusan ribu mengungsi, dan juga dampak ekonomi masyarakat dimana pertum-
buhan ekonomi turun di titik terendah minus 27, 4 persen. Peristiwa ini harus dievaluasi
agar konflik seperti Ambon tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang.
Tercapainya rekonsiliasi konflik Ambon Maluku tahun 2002 tidak terlepas dari local
wisdom (kearifan lokal) kepunyaan masyarakat Maluku yakni, Pela Gandong yang mampu
menjadi bagian dari resolusi konflik. Hal tersebut demikian terjadi karena adanya
kesadaran kolektif (Collective memory) masyarakat Ambon Maluku untuk segera
mengakhiri konflik sipil terbesar di Indonesia. Usaha tersebut membuahkan hasil dengan
dikembalikan fungsi dan tujuan local wisdom Pela Gandong di masa sebelum konflik ter-
jadi sehingga, menjadi bagian dari resolusi konflik Ambon Maluku. Dalam kasus ini tern-
yata dapat diketahui bahwa local wisdom masyarakat sejatinya mampu menjaga stabili-
tas dan harmonisasi kehidupan masyarakat secara alamiah. Kekuatan politik dan militer
Orde Baru untuk mempertahanan stabilitas keamanan dan harmonisasi masyarakat han-
yalah semu belaka. Buktinya, pasca Orde Baru berakhir terjadinya begitu banyak konflik
sosial/agama, seperti fenomena gunung es. Menurut Aditjondro (2001) selama Orde
Baru berkuasa, rezim ini telah menjadikan SARA sebagai mekanisme propaganda.
Tidak butuh waktu lama pasca berakhirnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998, In-
donesia segera dihadapkan pada persoalan konflik horizontal bernuansa Suku Agama Ras
dan Antar Etnis (SARA) seperti kasus, Ambon (1999), Sambas (1999), Poso (2000), Sampit
(2001) Wamena (2003), dan daerah lainnya. Di antara penyebab terjadinya konflik-konflik
tersebut karena selama Orde Baru berkuasa terjadi penyeragaman masyarakat (uniformi-
tas) dengan cara pemerintahan sentralistik dan otoriter (Pareno, 2001). Pengakuan dan
penghargaan terhadap realitas keberagaman bangsa Indonesia tidak menjadi bagian dari
kebijakan saat itu.
Dari semua konflik yang terjadi di Indonesia pasca berakhirnya orde baru, kekera-
san agama di Ambon, salah satu pusat perkotaan terbesar di negara itu dan ibukota
provinsi Maluku di Indonesia Timur, adalah yang paling mengerikan dalam hal skala ke-
matian dan kehancuran. Gejolak Ambon mengakibatkan ribuan kematian dan puluhan
ribu cedera. Diperkirakan sepertiga sampai setengah dari penduduk mengungsi, dan yang
tak terhitung jumlahnya diratakan (lihat International Crisis Group (ICG) dalam Al Qur-
tuby, 2013). Kekacauan di Ambon juga sangat kompleks dalam hal pelaku yang terlibat
dalam konflik, tahap kekerasan, dan motif di balik tragedi itu. Terlepas dari 1975 dan 1999
serangan gencar militer liar di Timor Timur (sekarang Timor-Leste), kerusuhan Kristen-
Muslim di kota Ambon, Maluku, dan Maluku Utara adalah kekerasan yang paling
JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 180
mengejutkan dilihat dalam sejarah Indonesia sejak program anti-Komunis 1965 /1966 (Al
Qurtuby, 2013).
Tercapainya rekonsiliasi konflik Ambon Maluku melalui Perjanjian Malino II pada
12 Februari 2002 menjadi awal baru bagi masyarakat Ambon Maluku untuk hidup damai.
Tanggungjawab selanjutnya setelah rekonsiliasi tercapai adalah menjaga perdamaian
dan diaktualisasikan dengan memperluas fungsi dan tujuan Pela Gandong ke bidang-bi-
dang yang sebelum dan saat konflik belum tersentuh, dalam hal ini bidang pendidikan.
Dewasa ini, Pela Gandong bertransformasi di bidang pendidikan, menyentuh generasi-
generasi muda yang tidak mengalami konflik Ambon Maluku 1999-2003. Hal tersebut dil-
akukan mengingat konflik Ambon Maluku selain mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa
juga memutusnya kerukunan antar umat beragama, perubahan kepribadian antar indi-
vidu dan kelompok, lumpuhnya roda perekonomian serta terjadinya polarisasi di ka-
langan masyarakat Ambon Maluku hingga saat ini. Konflik tidak hanya berpengaruh pada
kelompok saja tetapi juga pada individu.
Karena itulah, inisiatif masyarakat dalam hal ini warga SMPN 9 Ambon Dan SMPN
4 Salahutu Liang Maluku untuk memulai era baru dengan menerapkan nilai-nilai multikul-
tural local wisdom Pela Gandong ke dalam sekolah, tujuan utamanya ialah bagaimana
peserta didik di kedua sekolah yang beda kepemelukan agama ini dapat belajar hidup
bersama dan toleransi dengan pendekatan kearifan lokal. Tidak lagi mewarisi kebencian
dan luka batin akibat konflik.
Mengapa nilai-nilai Pela Gandong harus terimplementasi dalam pendidikan? Ka-
rena pendidikan merupakan sektor yang dipandang memiliki posisi penting dalam mem-
perkuat identitas nasional melalui pewarisan nilai-nilai pluralisme. Selain itu juga ber-
peran dalam pelestarian budaya bangsa secara utuh dan menyeluruh. Lembaga pendidi-
kan memiliki peran sebagai agen sosialisasi yang dapat mempersatukan peserta didik dari
latar belakang sosial dan budaya yang berbeda sehingga nilai-nilai kebangsaanm toler-
ansi, kemanusiaan, demokratis, kemajemukan, dan keberagaman dapat ditanamkan
secara aplikatif. Terutama, dikalangan generasi yang tidak mengalami konflik, seperti
konflik Ambon. Bagaimana di sekolah nilai-nilai multikultural dapat disampaikan, di-
tumbuhkan, diterapkan dan diregenerasikan.
Selain itu, pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana yang efektif dan efisien dalam
pelestarian nilai budaya dan kearifan lokal. Hal ini disebabkan oleh sifat pendidikan yang
tidak dapat dilepaskan dari nilai budaya yang merupakan identitas bangsa. Dua kompo-
nen penting yakni pendidikan dan kebudayaan memiliki ikatan erat yang tidak dapat
dipisahkan dan saling mempengaruhi antara satu dan lainnya.

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 181


METODE PENELITIAN
Berdasarkan pemaparan tersebut, penulis bermaksud mengkaji secara empiris ten-
tang implementasi nilai local wisdom Pela Gandong dalam pendidikan pasca rekonsiliasi
konflik Ambon sebagai model pendidikan multikultural era milenial. Tulisan ini
mengunakan metodelogi penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan studi kasus.
Studi kasus merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif yang mengkaji tentang suatu
kasus dalam relitas kehidupan dalam konteks kontemporer (Creswell 2018:135). Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi-partisipasi, kajian
pustaka, wawancara, dan dokumentasi.
Proses pengumpulan data penelitian ini disesuaikan dengan jenis penelitian. Data
yang dihimpun dalam penelitian ini berupa kata-kata, tindakan dan dokumen, situasi dan
peristiwa yang dapat diobservasi (Moleong 1982) (Nasution 1988). Sumber data yang di-
maksud adalah:
1. Kata-kata yang didapat baik secara langsung maupun tidak langsung melalui wa-
wancara dan observasi.
2. Dokumen dalam penelitian ini berupa kurikulum, Satuan Pembelajaran, Rencana
Pelajaran.
3. Situasi yang dimaksud dalam penelitian ini berkaitan dengan kegiatan subjek
penelitian dan masalah penelitian seperti dalam proses belajar mengajar, situasi
belajar di perpustakaan dan situasi di lingkungan sekolah.
Data kemudian dianalisis secara interaktif dan disajikan dalam pembahasan.

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DENGAN PENDEKATAN LOCAL WISDOM


Kegiatan pendidikan dapat diselenggarakan dengan menerapkan semangat mul-
tikultural yang digali dari nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom). Fungsi pendidikan mul-
tikultural yang dikembangkan berdasarkan kearifan lokal adalah melindungi, menghargai,
dan melestarikan kearifan lokal yang mampu memperkuat identitas bangsa dalam kema-
jemukan. Salah satu bukti berjalannya fungsi tersebut tercermin dalam Pancasila yang
merupakan intisari kepribadian bangsa dimana Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar
sejarah bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa multibudaya.
Implementasi pendidikan multikultural berdasarkan kearifan lokal diharapkan
mampu melahirkan dan mengembangkan generasi masa depan yang memiliki karakter-
istik warga negara multikultural dalam rangka memperkuat identitas bangsa. Latar
belakang munculnya pendidikan ini adalah keberadaan masyarakat dengan perbedaan

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 182


bahasa dan kebangsaan, suku, agama, gender dan kelas sosial. Keberagaman ini berdam-
pak pada keberagaman latar belakang peserta didik dalam sebuah isntitusi pendidikan
(Banks, 1989).
Lima dimensi pendidikan multikultural yakni, content integration, knowledge con-
struction, prejudice reduction, equity pedagogy, empowerment. Bagi Banks, pendidikan
multikultural adalah pendidikan dengan prinsip-prinsip moral demokratis, terutama
karena prinsip-prinsip ini telah diubah oleh komitmen baru kehidupan Amerika dalam
perang melawan rasisme, seksisme dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Pendidikan
multikultural adalah, sebagaimana dikatakan oleh Banks, "pedagogi kesetaraan":
"Pendidikan multikultural dapat membantu kita hidup bersama dalam komunitas moral
kewarganegaraan.
Multicultural Education

Multi-Ethnic Education

Kursus studi:
Etnic Studies Lingkungan sekolah total,
termasuk tujuan, termasuk kebijakan, interaksi,
metode, bahan, kurikulum, program
strategi, dan pengujian, kegiatan
evaluasi ekstrakurikuler, program
makan siang, konseling, dan
norma-norma kelembagaan.

Gambar 1. Hubungan Antara Pendidikan Multikultural, Pendidikan Multi-Etnis dan Studi


Etnis (Banks, 2009).

NILAI MULTIKULTURAL PELA GANDONG


Masyarakat Maluku mendefinisikan Pela sebagai model persahabatan atau sistem
persaudaraan, atau sistem persekutuan yang dikembangkan antar seluruh penduduk asli
dari dua negeri atau lebih. Ikatan sistem tersebut telah ditetapkan oleh leluhur dalam
keadaan khusus dengan hak-hak dan kewajiban tertentu yang di setujui bersama. Bartles
melihat Pela sebagai kesepakatan perjanjian sebuah sistem sosial yang terjadi tanpa
mempertimbangkan aspek lain. Yang terpenting adalah perasudaraan yang telah di ikat.
Pengertian-pengertian di atas memposiskan saudara Pela pada struktur sosial yang paling
tinggi dan terhormat melebihi hubungan saudara kandung yang bersifat biologis. Per-

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 183


tama kali Pela Gandong dihidupan kembali dalam usaha merevitalisasikan dihadirkan da-
lam bentuk lomba perahu tradisional (lomba arumbai mangurrebe), yang dihidupkan
kembali pada tahun 2005 (Birgit Brauchler, 2009).
M. G. Ohorella (1999 dalam Birgit Brauchler, 2009), misalnya, menunjukkan bahwa
Pela harus disesuaikan dengan keadaan modern. Untuk mencakup seluruh masyarakat
Maluku, sistem pela harus diperluas untuk mengintegrasikan lebih banyak desa dan harus
dipindahkan ke tingkat yang lebih tinggi, untuk menciptakan pakta antar kabupaten,
sehingga secara otomatis mengintegrasikan semua desa di Maluku. Dengan cara ini,
Ohorella berharap, nilai-nilai pela persaudaraan dan saling membantu pada saat krisis
dapat ditransfer ke semua aspek masyarakat Maluku: sosial, budaya, pendidikan, agama,
ekonomi, politik, pemerintahan dan sektor keamanan. Sembilan tahun setelah ia menulis
naskah ini, masih belum ada tanda-tanda bahwa sesuatu seperti pela yang menyeluruh
dan mencakup semuanya akan berevolusi.
Tabel 1. Nilai-nilai multikultural Pela Gandong

No Nilai-nilai multikultural dalam Pela Gandong


1 Konsep; hidup orang Basudara, Potong di kuku rasa di daging, Ale Rasa Beta Rasa, Sagu
Salempeng di pata dua, Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan lain se-
bagainya adalah konten lokal yang dikemas dalam tradisi harmonisasi orang bersaudara
di Maluku.
2 Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu perekat
hubungan sosial diantara satu negeri dan negeri lain baik yang beragama Islam maupun
negeri yang beragama Kristen.
3 Pela dan Gandong sangat berfungsi dalam mengatur sistem interaksi sosial masyarakat
adat yang melampaui berbagai bidang.
4 Pela Gandong sebagai model persahabatan atau sistem persaudaraan, atau sistem
persekutuan yang di kembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih.
Ikatan sistem tersebut telah ditetapkan oleh leluhur dalam keadaan khusus dengan hak-
hak dan kewajiban tertentu yang di setujui bersama.

Setelah rekonsiliasi konflik Ambon tercapai, Pela Gandong berkembang di ranah


baru yang sebelumnya belum terjangkau, yakni bidang pendidikan. Pela Gandong ber-
transmisi di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) dan Universitas Kristen Indonesia Maluku
(UKIM), kedua universitas beda penganut agama ini mengangkat sumpah bersaudara da-
lam dunia pendidikan. Selanjutnya pada tahun 2018 giliran SMPN 9 Ambon dan SMPN 4
Salahutu Liang menggelar Panas Pela, bertempat di SMPN 9 Ambon yang merupakan ob-
jek penelitian penulitian penulis. Tujuannya adalah bagaimana menerapkan nilai mul-
tikultural Pela Gandong diterapkan dibidang pendidikan.
Hal menarik yang perlu dicatat adalah bahwa pasca konflik Ambon Maluku tahun
1999-2003, ada begitu banyak lagu daerah Maluku yang mengambarkan nilai-nilai hidup
JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 184
persaudaraan diantara orang Maluku yang di potret dari hubungan Pela dan Gandong.
Konsep; hidup orang Basudara, Potong di kuku rasa di daging, Ale Rasa Beta Rasa, Sagu
Salempeng di pata dua, Ain ne ain, Kalwedo, Kidabela, Sitakaka walike dan lain se-
bagainya adalah konten lokal yang di kemas dalam tradisi harmonisasi orang basudara di
Maluku.
Pela dan Gandong telah menjadi pranata sosial yang berkembang sebagai suatu
perekat hubungan sosial di antara satu negeri dan negeri lain baik yang beragama Islam
maupun negeri yang beragama Kristen. Oleh karena itu, Pela dan Gandong sangat ber-
fungsi dalam mengatur sistem interaksi sosial masyarakat adat yang melampaui berbagai
bidang. Bartles, antropolog Amerika yang meneliti Pela di Maluku, mendefinisikan Pela
sebagai model persahabatan atau sistem persaudaraan, atau sistem persekutuan yang
dikembangkan antar seluruh penduduk asli dari dua negeri atau lebih. Ikatan sistem ter-
sebut telah di tetapkan oleh leluhur dalam keadaan khusus dengan hak-hak dan
kewajiban tertentu yang disetujui bersama.
Kecenderungan-kecenderungan di Maluku saat ini sejalan dengan perkembangan
yang lebih luas dalam skala internasional, di mana komisi kebenaran dan penegakan
hukum, keadilan dan hak asasi manusia, pengampunan dan amnesti sering gagal sebagai
sarana rekonsiliasi. Menurut (Birgit Brauchler, 2009) hal ini menyebabkan dua
kecenderungan di seluruh dunia di mana kasus Maluku sangat cocok: (1) orang-orang
biasa yang terkena kekejaman massal semakin memobilisasi lembaga tradisional atau
mekanisme resolusi konflik untuk perdamaian dan stabilitas untuk mengkompensasi
ketidakcukupan atau kegagalan nasional dan intervensi internasional; dan (2) orang dan
organisasi yang terlibat dalam pengembangan strategi penyelesaian konflik sudah mulai
berpikir tentang integrasi faktor budaya ke dalam proses rekonsiliasi. Menurut Paul
Lederach (1997), misalnya, "Sumber daya terbesar untuk mempertahankan perdamaian
dalam jangka panjang selalu berakar pada penduduk setempat dan budaya mereka."
Penelitian tentang kultur damai berbasis tradisi Pela juga menunjukkan bahwa tradisi
Pela mengandung dimensi kolektivisme seperti yang diungkapkan oleh Geert Hof-
stede (Hofstede & Hofstede, 2005) dibandingkan individualisme.
Keunggulan budaya Pela dan Gandong di Maluku dilihat bukan pada porsi wilayah
administrasi semata namun makna esensi dari Pela dan Gandong itu sendiri. Pela dan
Gandong memiliki keunggulan kebudayaan yang disebutkan ada juga sebagai budaya
rukun atau damai yang berasas kekerabatan dalam konsep local wisdom (kearifan lokal)
yang murni muncul dan digagas dari kecerdasan leluhur orang Maluku.

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 185


IMPLEMENTASI NILAI MULTIKULTURAL PELA GANDONG DI SMPN 9 KOTA
AMBON DAN SMPN 4 SALAHUTU LIANG MALUKU TENGAH
Pendidikan multikultural dipelopori oleh Banks (2001) dia menyatakan bahwa pen-
didikan ini merupakan rangkaian dari kepercayaan dan penjelasan dimana dalam pros-
esnya mengakui dan memandang penting terhadap keberandaan budaya dan etnis yang
beragam dimana hal tersebut berdampak pada terbentuknya gaya hidup, pengalaman
sosial, identitas pribadi dan kesempatan pendidikan setiap individu, kelompok maupun
negara. Banks (1989) menyatakan bahwa pendidikan multikultural terbagi dalam tiga
aspek yaitu konsep, gerakan, dan proses. Secara konseptual pendidikan multikultural me-
mandang semua siswa tanpa membedakan gender, kelas sosial, etmik, ras dan atau
karakteristik budaya lainnya dimana mereka mendapat kesempatan yang dalam dalam
proses belajar di kelas. Sedangkan ditinjau dari aspek gerakan, pendidikan ini dipahami
sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan agar
tidak memandang perbedaan latar belakang siswa sehingga mereka memiliki kesem-
patan yang sama untuk belajar.

Tabel 2. Jumlah Peserta Didik berdasarkan Kepemelukan Agama

Nama Sekolah Jumlah Siswa Siswa Berdasarkan Agama


Islam Kristen
(dalam %) (dalam %)
SMP Negeri 9 Kota Am- 1500 siswa 1% 99 %
bon
SMP Negeri 4 Salahatu 300 siswa 100 % 0%
Liang Maluku Tengah
Sumber: Olahan Penulis dan https://www.radiodms.com/berita-maluku/smp-9-n-
ambon-dan-smp-negeri-4-salahatu-gelar-panas-pela-pendidikan/.
Implementasinya paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang
pada prinsip-prinsip berikut ini:
1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresen-
tasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran
tunggal terhadap kebenaran sejarah.
3. Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pan-
dang kebudayaan yang berbeda-beda.
4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam member-
antas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 186


Gambar 2. Acara Panas Pela Pendidikan di SMPN 9 Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang, 29
Januari 2018. Sumber: Dokumen Pribadi.

Dalam konteks topik ini, Pela Gandong menjadi sumber nilai multikultural di SMPN
9 Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang. Pendidikan multikultural diajarkan melalui proses
pembelajaran di kelas, pembiasaan, spontan, pengondisian lingkungan, dan keteladanan.
Untuk pembiasaan dan keteladanan dilakukan di lingkungan sekolah dengan melibatkan
semua warga sekolah. Proses pembelajaran pendidikan multikultural dilaksanakan oleh
guru BP yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan proses pendidikan multikultural
mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Meskipun demikian, semua warga
sekolah diwajibkan mendukung pendidikan multikultural melalui pembiasaan dan
keteladanan yang diimplementasikan dalam berbagi rutinitas dan aktivitas kegiatan yang
bersifat penanaman nilai multikultural kepada siswa (Musa Pelu, 2017).
Dalam wawancaranya, Gubernur Maluku saat itu, Assagaf mengatakan:
Tidak dapat diungkiri perkembangan zaman yang semakin modern sering membawa
kecenderungan dan melupakan nilai-nilai budaya, adat istiadat daerah yang di waris-
kan nenek moyang kita sejak dulu. Budaya Pela adalah salah satu sistem sosial yang
merupakan ikatan sosial dua negeri atau sumpah janji yang diikat leluhur kita untuk
menjaga tali persaudaraan satu dengan yang lain. Lanjutnya, dengan adanya Panas
Pela Pendidikan dari dua sekolah ini akan menjadi suatu contoh untuk dapat di tiru
dari sekolah dan lembaga pendidikan lainnya dalam rangka meningkatkan hubungan
toleransi serta dapat mengimplementasikan dalam budaya.“Diharapkan dari Panas
Pela pendidikan ini dapat memberikan nilai positif pada mutu pendidikan yang
berkualitas bagi anak didik kita pada kedua lembaga ini.

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 187


Implementasi nilai multikultural Pela Gandong di SMPN 9 Ambon dan SMPN 4 Sala-
hutu Liang dilakukan dalam proses pembelajaran di kelas, pembiasaan, spontan, pen-
gondisian lingkungan, dan keteladanan.

Tabel 3. Implementasi nilai multikultural pela gandong di sekolah


No Implementasi nilai-nilai multikultural berbasis kearifan lokal Pela Gandong di
sekolah
1 Transformasi nilai-nilai Pela terus dilakukan, salah sa tunya adalah angkat Pela pendi-
dikan sebagaimana Pela pendidikan SMPN 9 Kota Ambon yang 98 persen siswa dan
gurunya Kristen, dengan SMPN 4 Salahutu di Liang yang 100 persen siswa dan gurunya
Muslim.
2 Pertukaran guru agama.
3 Hubungan baik antarsiswa dan guru dikedua sekolah berjalan harmonis dan makin
rukun. Hampir tiap tahun, kedua sekolah ini melakukan ‘reuni’ yang dalam istilah adat
disebut Panas Pela. Adapun Panas Pela ditandai dengan makan sirih pinang oleh
Kepala SMPN 9 Ambon E. Harmusial didampingi Ketua OSIS Jack Dea bersama Kepala
SMPN 4 Salahutu Hilia Pary dan Ketua OSIS Dimara Dinasti Laga.
4 Selain Panas Pela, sering membuat kegiatan bersama bagi para siswa. Diantaranya,
lomba pekan olah raga dan seni (Porseni), Pramuka, buka puasa bersama, natal ber-
sama, kegiatan OSIS bersama.

SIMPULAN
Implementasi nilai multikultural Pela Gandong ke dalam sekolah adalah bagian dari
penanganan pasca-konflik (post-conflict recovery) yang meliputi rehabilitasi fisik dan
mental, menghilangkan stereotypes negatif atas bekas lawan, pendidikan perdamaiaan,
dan membangun jembatan saling pengertian antarkelompok.
Pela Gandong menjadi sumber nilai multikultural dalam pendidikan pasca rekonsil-
iasi konflik Ambon (studi pada SMPN 9 Ambon dan SMPN 4 Salahutu Liang Maluku).
Kedua sekolah tersebut menjadi representatif kondisi psikologis dan polarisasi yang dia-
kibatkan konflik dimasa lalu. SMPN 9 Ambon dengan 98 % siswanya beragama Kris-
ten/Katolik dan SMPN 4 Salahutu Liang beragama 100 % Islam. Terlebih dengan mening-
katnya fenomena populisme dan politik identitas. Pendidikan multikultural diajarkan me-
lalui proses pembelajaran di kelas, pembiasaan, spontan, pengondisian lingkungan, dan
keteladanan. Untuk pembiasaan dan keteladanan dilakukan di lingkungan sekolah
dengan melibatkan semua warga sekolah. Proses pembelajaran pendidikan multikultural
dilaksanakan oleh guru Bimbingan Penyuluhan (BP) yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan proses pendidikan multikultural mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Meskipun demikian, semua warga sekolah diwajibkan mendukung pendidikan

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 188


multikultural melalui pembiasaan dan keteladanan yang diimplementasikan dalam
berbagi rutinitas dan aktivitas kegiatan yang bersifat penanaman nilai multikultural
kepada siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, G. J. 2001. Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Tragedi Kemanu-
siaan Maluku di Balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat, dan Kepentingan
Elit Politik. Jakarta:Sekretariat Tapak Ambon.
Al Qurtuby, S. 2013. Peacebuilding in Indonesia: Christian–Muslim Alliances in Ambon Is-
land. Kroc Institute for International Peace Studies, University of Notre Dame,
Indiana, USA.
Bank, J. 1989. Multicultural education: Characteristics and goals. In J. A. Banks & C. A.
Banks, James. (Eds.), Multicultural education: Issues and per- spectives (pp. 2-
26). Boston: Allyn and Bacon.
Bank, J. 2009. Pluralism and educational concepts: A clarification, University of Washing-
ton, Seattle Published online: 04 Nov 2009.
Bank, J. dan Cherry A. Mc Gee (ed). 2001. Handbook of research on Multicultural Educa-
tion. San Francisco: Jossey Bass.
Bartels, D. 2017. Di bawah naungan Gunung Nunusaku, Muslim- Kristen hidup berdamp-
ingan di Maluku Tengah (Malteng). Kepustakaan Populer Gramedia.aditjad
Boulding, E. 1998. Peace culture: the problem of managing human difference. Cross Cur-
rents, Winter 1998, p. 445. Academic OneFile, Accessed 23 Feb. 2019.
Bräuchler, B. 2009. Cultural Solutions to Religious Conflicts? The Revival of Tradition in
the Moluccas, Eastern Indonesia. Asian Journal of Social Science 37, 872—
891. DOI: 10.1163/156848409X12526657425226
Creswell, J.W. 2018. Penelitian Kualitatif Dan Desain Riset Memilih Di Antara Lima Pen-
dekatan (Edisi ke-3). Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Hofstede, G. & Gert Jan Hofstede. 2005. Culture and Organizations Software of the Mind,
McGraw-Hill.
Lederach, J. P. 1999. Building Peace: Sustainable Reconciliation in Divided Societies, Li-
brary of British Council, Liverpool.
Moleong, L. J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit PT Remaja Rosdakarya Off-
set, Bandung.
Nasution. 2003. Metode Research, Jakarta: PT. Bumi Aksara.

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 189


Pareno, S. A. 2001. Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Tragedi Kemanusiaan
Maluku di Balik Konspirasi Militer, Kapitalis Birokrat, dan Kepentingan Elit
Politik. Jakarta:Sekretariat Tapak Ambon.
Pelu, M.2017. Pendidikan Budi Pekerti Di Sekolah Pemberdayaan Modal Sosial dan Modal
Budaya. Surakarta: UNS Press

Sumber Internet
https://www.radiodms.com/berita-maluku/smp-9-n-ambon-dan-smp-negeri-4-salahatu-
gelar-panas-pela-pendidikan/

JPSI, Vol. 2, No., 2, 2019 190

You might also like