Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 81

KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA

(APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING

SKRIPSI

RIZKY OKTAVIAN
F34070114

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
EXPERIMENTAL STUDY OF APG (ALKYL POLYGLICOSIDE)
SURFACTANT FOR ENHANCED WATERFLOODING

Erliza Hambali and Rizky Oktavian


Departement of Agricultural Industrial Technology, Faculty of Agricultural Technology, and
Surfactant and Bioenergy Research Center, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO
Box 220, Bogor, West Java, Indonesia
email : riz.kyo.tavian@gmail.com

Pudji Permadi
Department of Petroleum Engineering, Faculty of Mining and Petroleum Engineering, Institut
Teknologi Bandung, Bandung, and Surfactant and Bioenergy Research Center, Bogor Agricultural
University, IPB Darmaga Campus

ABSTRACT

Since 1997, Indonesian oil production from year to year has been decreasing continuously.
Meanwhile, the demand of national oil is increasing annually more than domestic production.
Consequently, Indonesian government has already spent much money to solve is problem. Oil field
condition is the main factor of decreasing oil production in Indonesia . Almost of the all oil fields in
Indonesia are brown fields that only have been produced in the primary stage. Therefore, we have to
do EOR methods to increase oil field production in Indonesia. One of EOR methods is chemical
flooding using surfactant. Commonly, we used petroleum surfactant for chemical flooding. However,
the petroleum surfactant has some disadvantages than plant-based surfactants. Petroleum surfactant
does not resist to high salinity and high hardness. This study, we use alkyl polyglycoside surfactant
that is extracted from fatty alcohol and starches to substitute the petroleum based surfactant. In
investigating APG surfactant performance and knowing the best formula APG surfactant for
enhanced water flooding, synthetic core, and crude oil are used for flooding tests. The result shows
that the APG surfactant formula have very good performance on the compatibility, the thermal
stability and phase behaviour tests. However it is still not good result on filtration. The best
surfactant formula a found to be 0.2 PV of surfactant solution injected.

Key words : Surfactant, APG, EOR, Waterflooding

v
RIZKY OKTAVIAN. F34070114. Kajian Kinerja Surfaktan APG (Alkil Poliglikosida) untuk
Aplikasi Enhanced Waterflooding. Di bawah bimbingan Erliza Hambali dan Pudji Permadi. 2011

RINGKASAN

Produksi minyak Indonesia sejak tahun 1997 terus mengalami penurunan hingga pada tahun
2010 tercatat laju produksi sebesar 825.341 barel/hari. Sementara kebutuhan minyak nasional setiap
tahun lebih kurang sebesar 1.300.000 barel/hari. Tren harga minyak yang terus mengalami kenaikan
bahkan pada tahun 2011 tercatat menembus harga 100 dollar/barel menyebabkan negara harus
mengeluarkan devisa jutaan dollar setiap hari untuk biaya impor minyak guna memenuhi kebutuhan
ini. Faktor utama penyebab penurunan produksi minyak bumi di Indonesia adalah 80 persen dari
sumur-sumur minyak di Indonesia merupakan ladang minyak tua (brown field) yang baru diproduksi
pada tahap primary recovery. Untuk meningkatkan produksi minyak bumi nasional tersebut, maka
perlu dilakukan metode EOR pada sumur-sumur minyak Indonesia. Salah satu metode EOR yang
dilakukan adalah chemical flooding dimana salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan
surfaktan. Surfaktan dilarutkan dalam air dimana metode ini dikenal dengan enhanced waterflooding.
Surfaktan yang digunakan umumnya disintesis dari petroleum sulfonat yang berasal dari
minyak bumi. Kelemahan surfaktan ini yaitu tidak tahan terhadap kadar salinitas yang tinggi, densitas
turun drastis pada air dengan kesadahan yang tinggi, harus diimpor, dan harganya meningkat seiring
dengan peningkatan harga minyak bumi. Hal ini mendorong perlunya mencari alternatif bahan baku
untuk pembuatan surfaktan yang lebih murah dan prospektif, terutama ditinjau dari aspek penyediaan
bahan baku yang dapat diperbarui. Ini dapat dicapai dengan mengembangkan surfaktan yang berbasis
minyak nabati, salah satunya adalah alkyl polyglicosida (APG). Di Indonesia, pengembangan serta
produksi surfaktan APG sangat prospektif untuk dilakukan. Hal ini karena bahan baku pembuatan
berupa fatty alcohol yang dapat disintesis dari minyak sawit dan minyak kelapa dan pati dengan
ketersediaan bahan berpati yang cukup melimpah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kinerja serta mendapatkan formula terbaik
surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk enhanced waterflooding pada contoh fluida dari lapangan
minyak dan core sandstone sintetik. Enhanced waterflooding dilakukan melalui coreflooding test
dengan dua kali ulangan. Coreflooding test dirancang dengan rancangan acak lengkap (RAL) dengan
1 faktor yaitu volume larutan surfaktan dengan 3 taraf yaitu 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dengan lama
perendaman 12 jam. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Paulina Mwangi (2008), lama
perendaman selama 12 jam mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa formula surfaktan terpilih yaitu APG SK-50 0.3%
dengan salinitas 7000 ppm NaCl dan alkali 1000 ppm NaOH dimana menghasilkan nilai IFT sebesar
2.94 x 10-3 dyne/cm. Fluida yang digunakan adalah minyak dan Air Formasi dari Lapangan S.
Formula tersebut diuji kinerja melalui uji compatibility, uji thermal stability, uji phase behavior dan
uji filtrasi. Formula memiliki kinerja sangat baik pada uji compatibility, uji thermal stability, dan uji
phase behavior. Pada uji thermal stability , nilai IFT yang dihasilkan sebesar 1.79 x 10-3 dyne/cm
hingga hari ke-30. Sedangkan pada phase behavior, formula membentuk fase bawah pada minggu
pertama dan membentuk fase mikroemulsi pada minggu terakhir pengamatan. Pada uji filtrasi
formula menunjukkan kinerja kurang baik dimana pada uji filtrasi Fr yang dihasilkan melebihi dari
yang ditetapkan yaitu 1,2. Berdasarkan hasil RAL dengan 1 faktor dengan dua kali ulangan diketahui
bahwa perlakuan porevolume memberikan pengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak
yang dihasilkan. Dari hasil ini, kondisi terbaik yang dipilih yaitu formula surfaktan 0.2 PV dengan
lama perendaman 12 jam.

vi
KAJIAN KINERJA SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA
(APG) UNTUK APLIKASI ENHANCED WATER FLOODING

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor

Oleh:
RIZKY OKTAVIAN
F34070114

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Kajian Kinerja Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Untuk
Aplikasi Enhanced Water Flooding.
Nama : Rizky Oktavian
NIM : F34070114

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

(Prof. Dr. Erliza Hambali) (Prof. Dr. Pudji Permadi)


NIP 19620821 198703 2 003 NIP 130889801

Mengetahui :
Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Hj. Nastiti Siswi Indrasti)


NIP 19621009 198903 2 001

Tanggal lulus : 28 Oktober 2011

x
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kinerja
Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) Untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding adalah hasil
karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk
apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi ini.

Bogor, 28 Oktober 2011


Yang membuat pernyataan

Rizky Oktavian
F34070114

xi
© Hak cipta milik Rizky Oktavian, tahun 2011
Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, microfilm, dan sebagainya

xii
BIODATA PENULIS

Rizky Oktavian. Lahir di Depok, 2 Oktober 1988 dari ayah (Alm) H.


Subondo dan ibu Hj. Amsanih, sebagai putra ke enam dari tujuh bersaudara.
Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri V
Depok, kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SLTP Negeri 2
Depok dan lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan
pendidikannya di SMA Negeri 1 Depok dan lulus tahun 2007. Melalui jalur
Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB), penulis diterima masuk di
Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama menjadi mahasiswa,
penulis aktif dalam kegiatan pengembangan potensi diri seperti pelatihan,
seminar dan organisasi baik yang ada di dalam dan luar kampus. Organisasi
yang pernah diikuti adalah Dewan Perwakilan Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (DPM-TPB)
sebagai ketua komisi Sosial Politik pada tahun 2007/2008, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
FATETA sebagai staf departemen Politik dan Kajian Strategis (Polkastrad) pada tahun 2008/2009,
Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) FATETA sebagai staf komisi Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia pada tahun 2009/2010, Majelis Perwakilan Mahasiswa (MPM) KM IPB sebagai Koordinator
Badan Pekerja Pemilihan Raya (PEMIRA) pada tahun 2009/2010, dan Paguyuban Karya Salemba
Empat sebagai staf WO periode 2010/2011. Pada bulan Juli sampai Agustus tahun 2010, penulis
melaksanakan praktek lapang di Pabrik Gula Jatitujuh, Majalengka dengan judul laporan praktek
lapang “Mempelajari Aspek Proses Produksi Gula dan Pemanfaatan Biomassa Di PT.PG. Rajawali II
unit PG. Jatitujuh Majalengka, Jawa Barat”. Tahun 2011 penulis melaksanakan penelitian di
laboratorium Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) dan Teknik Kimia Departemen
Teknologi Industri Pertanian dengan judul “ Kajian Kinerja Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)
Untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding pada Batuan Pasir”.

xiii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya hingga
penulis dapat menyelesaikan laporan akhir yang berjudul: “Kajian Kinerja Surfaktan Alkil
Poliglikosida (APG) untuk Aplikasi Enhanced Water Flooding”. Dalam penyusunan skripsi dan
pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Erliza Hambali dari Departemen Teknologi Industri Pertanian selaku dosen pembimbing
I yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis
selama kuliah hingga penyusunan skripsi.
2. Prof. Dr. Pudji Permadi dari Program Studi Teknik Perminyakan, Fakultas Teknik Pertambangan
dan Perminyakan selaku dosen pembimbing II yang berkenan untuk mengarahkan penulis selama
penelitian dan dalam penyusunan skripsi.
3. Dr.Ir. Liesbetini Hartoto, M.S. selaku Penguji Skripsi yang telah memberikan masukan dan
arahan dalam perbaikan skripsi.
4. Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian beserta seluruh dosen dan karyawan atas
bantuan dan dukungannya selama mengikuti pendidikan.
5. Donatur – donatur, serta Pengurus beasiswa Karya Salemba Empat (KSE) yang telah memberikan
beasiswa kepada penulis baik untuk biaya pendidikan maupun biaya penulisan skripsi.
6. Ibunda Hj. Amsanih beserta keluarga yang telah mendukung baik secara materil maupun moril
sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
7. Putri Yasmin atas SEMANGAT dan dukungannya selama penelitian ini sehingga penelitian ini
dapat terselesaikan.
8. Eko, Tiara, Epi, Dayu, dan rekan-rekan satu tempat penelitian yang telah membantu selama
penelitian berlangsung.
9. Mas Arie, Mas Fery, Mas Encep, Mas Saiful, Wisnu, Egi, serta seluruh staf SBRC yang telah
membantu selama penelitian ini.
10. Seluruh keluarga besar TIN 44 yang telah menemani perjalanan selama mengikuti pendidikan di
Departemen TIN.
11. Seluruh pihak lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah senantiasa
mendukung penulis hingga saat ini.

Demikian, semoga penyusunan skripsi ini bisa bermanfaat bagi kami khususunya dan rekan-
rekan pembaca pada umumnya.
Amin....

Bogor, 28 Oktober 2011

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ ii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................................................ 1
1.2. TUJUAN ............................................................................................................................ 3
1.3. RUANG LINGKUP ........................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 4
2.1. SURFAKTAN .................................................................................................................... 4
2.2. SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG) ............................................................ 8
2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI .......................................................................... 10
2. 4. SURFACTANT FLOODING ............................................................................................ 11
2. 5. AIR FORMASI ................................................................................................................ 12
2. 6. POROSITAS .................................................................................................................... 13
2. 7. PERMEABILITAS .......................................................................................................... 14
2. 8. KELAKUAN FASA/ PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN ............................................. 14
III. METODOLOGI ........................................................................................................................ 17
3.1. ALAT DAN BAHAN ....................................................................................................... 17
3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN......................................................................... 17
3.3. METODE PENELITIAN ................................................................................................. 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................................. 22
4.1.PERSIAPAN CORE SINTETIK ...................................................................................... 22
4.2.UJI KOMPATIBILITAS .................................................................................................. 24
4.3.PEMILIHAN SURFAKTAN ........................................................................................... 25
4.4.FORMULASI SURFAKTAN .......................................................................................... 28
4.4.1.OPTIMALISASI SALINITAS ................................................................................ 28
4.4.2.OPTIMALISASI ALKALI ...................................................................................... 30
4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN ..................................................................... 31
4.5.1.UJI THERMAL STABILITY ..................................................................................... 31
4.5.2.UJI PHASE BEHAVIOR .......................................................................................... 35
4.5.3.UJI FILTRASI ......................................................................................................... 38
4.6. ENHANCED WATER FLOODING .................................................................................. 42
4.6.1.KARAKTERISTIK MINYAK YANG DIGUNAKAN .......................................... 42
4.6.2.COREFLOODING TEST ......................................................................................... 45
V. SIMPULAN DAN SARAN ....................................................................................................... 48
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 49
LAMPIRAN ....................................................................................................................................... 52

ii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Perkembangan luas lahan dan produksi Minyak Sawit Indonesia ......................................... 2
Tabel 2. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin .......................................................... 7
Tabel 3. Porositas dan permeabilitas core sintetik ............................................................................. 23
Tabel 4. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S ........................ 25
Tabel 5. Hasil analisis air formasi lapangan S ................................................................................... 25
Tabel 6. Karakteristik surfaktan alkil poliglikosida (APG) yang digunakan ..................................... 26
Tabel 7. Hasil pengujian thermal stability formula surfaktan pada suhu reservoir ............................ 32
Tabel 8. Karakteristik minyak bumi lapangan S ................................................................................ 42
Tabel 9. Klasifikasi minyak bumi berdasarkan derajat API dan kerapatan relatif ............................. 43
Tabel10. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada simulasi core flooding ................................ 46

iii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Molekul surfaktan .............................................................................................................. 4
Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) ......................................................... 8
Gambar 3. Proses sintesis surfaktan alkil poliglikosida untuk aplikasi EOR ....................................... 9
Gambar 4. Sintesis Fischer secara langsung ........................................................................................ 9
Gambar 5. Sintesis Fischer langsung dan dua tahap .......................................................................... 10
Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak ................................................................................ 11
Gambar 7. Emulsi yang terbentuk pada uji kelakuan fasa/phase behavior ........................................ 15
Gambar 8. Gambar phase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak,
air garam dan surfaktan .................................................................................................... 16
Gambar 9. Diagram alir penelitian ..................................................................................................... 21
Gambar 10. Core sintetis ................................................................................................................... 23
Gambar 11. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S .................. 24
Gambar 12. Penampakan visual masing-masing surfaktan alkil poliglikosida .................................. 26
Gambar 13. Perbandingan jenis surfaktan terhadap penurunan nilai IFT .......................................... 27
Gambar 14. Perbandingan penurunan nilai IFT antara APG SK-05 dan APG SK-50 ....................... 27
Gambar 15. Tahapan formulasi surfaktan untuk aplikasi EOR .......................................................... 28
Gambar 16. Perbandingan konsentrasi NaCl dalam larutan surfaktan terhadap nilai IFT ................. 29
Gambar 17. Perbandingan kinerja masing-masing alkali terhadap penurunan nilai IFT ................... 30
Gambar 18. Grafik hubungan lama pemanasan terhadap nilai IFT .................................................... 32
Gambar 19. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan nilai pH formula surfaktan .............. 33
Gambar 20. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan densitas formula surfaktan ............... 34
Gambar 21. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan viskositas formula surfaktan ............ 35
Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30 .............................................. 36
Gambar 23. Hasil pengamatan emulsi phase behavior dengan menggunakan mikroskop................. 36
Gambar 24. Ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan ...................................................................... 37
Gambar 25. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dan lama pemanasan ................................... 37
Gambar 26. Grafik perbandingan uji filtrasi pada kain saring 500 mesh ........................................... 39
Gambar 27. Grafik perbandingan uji filtrasi pada kertas saring 21 µm ............................................. 39
Gambar 28. Grafik perbandingan uji filtrasi pada kertas saring 0.45 µm. ......................................... 40
Gambar 29. Hasil pengamatan mikroskop molekul pada formula surfaktan ..................................... 40
Gambar 30. Pembentukan busa pada saat penyaringan...................................................................... 41
Gambar 31. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT pada formula surfaktan APG SK-50 ...................... 41
Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50 ............... 42
Gambar 33. Uji Aspaltine minyak lapangan S ................................................................................... 43
Gambar 34. Recovery minyak setelah injeksi dan soaking surfaktan ................................................ 46
Gambar 35. Grafik regresi injeksi formula surfaktan ......................................................................... 47

iv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran 1. Peralatan dan Instrumen yang digunakan pada penelitian ............................................. 53


Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk enhanced water flooding ............ 55
Lampiran 3. Prosedur Analisis Air Formasi Lapangan S ................................................................... 57
Lampiran 4. Prosedur Analisis Minyak Lapangan S .......................................................................... 58
Lampiran 5. Ukuran Masing-masing core sintetik ............................................................................. 59
Lampiran 6. Nilai IFT masing-masing surfaktan APG komersil terhadap minyak lapangan S ......... 60
Lampiran 7. Nilai IFT surfaktan APG SK-50 0.3% dengan konsentrasi salinitas yang berbeda ....... 61
Lampiran 8. Nilai IFT Surfaktan APG SK-50% 0.3% 7000 ppm dengan konsentrasi alkali
yang berbeda ................................................................................................................. 62
Lampiran 9. Hasil penyaringan 500 mesh Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan
APG SK-50 7000 ppm NaCl 0.1% NaOH .................................................................... 63
Lampiran 10. Hasil penyaringan 21 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan
APG SK-50 7000 ppm NaCl 0.1% NaOH .................................................................... 64
Lampiran 11. Hasil penyaringan 0.45 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula Surfaktan
APG SK-50 7000 ppm NaCl 0.1% NaOH .................................................................... 65
Lampiran 12. Nilai densitas dan IFT Formula Surfaktan pada Uji Filtrasi ........................................ 66
Lampiran 13. Hasil core flooding test ................................................................................................ 67
Lampiran 14. Hasil analisisi statistik ................................................................................................. 68

v
I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Produksi minyak Indonesia sejak tahun 1997 terus mengalami penurunan. Berdasarkan data
yang dicatat oleh BP Migas, pencapaian produksi tertinggi (peak production) pertama tahun 1977
sebesar 1,7 juta barel per hari (million barrel oil per day/ MBOPD) adalah puncak produksi minyak
dari Lapangan-lapangan dengan tenaga alamiah (primary). Peak production kedua tahun 1995
sebesar 1,6 MBOPD terjadi dari hasil kegiatan injeksi air (water flooding) di sebagian besar
Lapangan-lapangan Chevron dan berhasilnya injeksi steam (steam flood). Setelah puncak produksi
kedua, produksi minyak Nasional terus mengalami penurunan dengan rata-rata penurunan produksi
sekitar 6 % dan sempat stabil ditahun 2007. Tahun 2007 produksi minyak Indonesia total rata-rata
954.000 BOPD (barel per hari/bph) pada Agustus 2007 dan September 2007 angka produksi
merambah naik sedikit demi sedikit serta puncaknya pada januari 2008, produksi minyak menembus
satu juta BOPD lalu sempat turun tetapi naik kembali (BP MIGAS,2009). Jika permintaan minyak
bumi Indonesia terus meningkat sedangkan produksi minyak bumi dunia terus menurun maka dunia
akan mengalami krisis energi. Krisis energi memacu kenaikan harga minyak bumi. Minyak bumi
terus mengalami kenaikan harga dari USD 85 per barel menjadi USD 100 per barel pada pertenghan
Juni 2011.
Rendahnya kemampuan produksi minyak bumi Indonesia disebabkan karena sumur-sumur
minyak Indonesia pada umumnya sudah merupakan lapangan tua (mature fields). Dari 214 lapangan
yang diolah oleh Pertamina EP, 80 persennya merupakan lapangan tua (mature field atau brown
field) dengan tingkat penurunan produksi alamiah rata-rata 5 -15 persen per tahun. Lapangan tua
tersebut pada umumnya telah melewati masa puncak produksi, dimana proses produksi minyak yang
dilakukan masih pada tahap primary recovery. Berdasarkan data Dirjen Migas (2010), hingga tahun
2010 total Original Oil in Place (OOIP) Indonesia mencapai 64.211 BSTB, dimana 31,80% berhasil
diproduksikan secara kumulatif, dan diperkirakan remaining reserves hanya sebesar 5,72%,
sedangkan sisanya sebesar 62,48%. Lake (1989) menyatakan bahwa residu minyak bumi pada sumur
yang telah diproduksi masih besar, berkisar 40 -70 persen dari jumlah minyak bumi semula. Minyak
bumi yang tertinggal tersebut merupakan minyak bumi yang terperangkap pada pori-pori batuan dan
tidak dapat diproduksi dengan teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder). Salah satu
metode perolehan kembali minyak bumi setelah dengan teknologi konvensional diterapkan adalah
peningkatan perolehan minyak bumi tahap lanjut (Enhanced Oil Recovery) melalui mekanisme
penurunan tegangan antarmuka (Interfacial Tension disingkat IFT).
Fenomena tegangan antarmuka (IFT) memainkan peranan penting di dalam metode perolehan
minyak bumi (Lakatos-Szabó dan Lakatos, 2001). Bahan yang umum digunakan untuk
memodifikasi tegangan antarmuka dan tegangan permukaan suatu zat adalah surfaktan. Surfaktan
merupakan zat aktif permukaan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka (IFT) minyak-air ke
tingkat yang lebih rendah. Penginjeksian surfaktan ke dalam reservoir dapat menurunkan tegangan
antar muka antara minyak dan air sehingga tekanan kapiler minyak dan batuan berkurang. Menurut
Emegwalu (2009) tekanan kapiler yang tinggi menyebabkan recovery factor yang rendah. Penurunan
tegangan antarmuka antara air formasi dan minyak dapat meningkatkan capillary number.
Peningkatan nilai capilary number mengindikasikan peningkatan recovery minyak sisa/residual oil.
Apabila capillary number tinggi, maka sebagian besar minyak yang tersisa akan terangkat dari

1
reservoir. Proses perolehan kembali minyak bumi dengan menggunakan surfaktan termasuk ke dalam
fase tersier atau tahap lanjut dalam produksi minyak bumi. Teknik perolehan minyak bumi
menggunakan surfaktan dikenal dengan nama surfactant flooding.
Petroleum sulfonat merupakan jenis surfaktan yang selama ini banyak digunakan sebagai oil
well stimulation agent dalam proses EOR. Penggunaan surfaktan petroleum sulfonat sebagai oil well
stimulation agent memiliki beberapa kelemahan, yaitu cenderung menggumpal pada air dengan
tingkat kesadahan yang tinggi dan sifat deterjensinya menurun dengan sangat tajam pada tingkat
salinitas tinggi. Padahal sebagian besar air formasi reservoir minyak bumi mempunyai tingkat
salinitas dan kesadahan yang tinggi (Watkins, 2001). Selain itu, harga minyak bumi yang terus
meningkat turut mempengaruhi harga surfaktan berbahan baku minyak bumi ini. Hal ini mendorong
perlunya mencari alternative surfaktan yang lebih murah serta mampu mengatasi kelemahan yang
terdapat dalam surfaktan tersebut. Salah satu surfaktan yang memiliki prospek cerah untuk
diaplikasikan pada proses EOR yaitu surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) yang disintesis dari pati
dan fatty alcohol. Sifatnya yang terbarukan serta ramah terhadap lingkungan (biodegradable),
bersifat nonionik tidak membawa muatan sehingga sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya
yang digunakan dalam operasi produksi sumur minyak, serta karakteristik deterjensi yang baik
menjadi keunggulan surfaktan Alkil Poliglikosida (APG).
Dari segi produksi, bahan baku pembuatan surfaktan APG, yang berasal dari pati dan fatty
alcohol (berasal dari minyak nabati), sangat melimpah di Indonesia. Indonesia merupakan negara
berbasis pertanian yang memiliki potensi yang cukup besar sebagai penghasil pati-patian antara lain
berasal dari sagu, tapioka, dan sumber pati-patian yang berasal dari serealia. Selain itu, salah satu
minyak nabati yang bisa digunakan sebagai bahan baku fatty alcohol yaitu minyak sawit, tersedia
cukup banyak di Indonesia. Indonesia merupakan penghasil minyak sawit terbesar didunia dengan
perkembangan luas lahan dan produksi yang cukup tinggi. Perkembangan luas lahan serta produksi
minyak sawit di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan luas lahan dan produksi Minyak Sawit Indonesia


Tahun Produksi Minyak Sawit (ton) Luas Lahan (Ha)
2006 10,961,756 3,748,500
2007 11,437,986 4,101,700
2008 12,477,752 4,451,800
2009 13,872,602 4,888,000
2010 14,290,054 5,032,800
Sumber : BPS (2010)

Ketersediaan bahan baku yang cukup potensial ini perlu dikembangkan untuk meningkatkan
nilai tambah. Konversi pati serta minyak kelapa sawit menjadi surfaktan yang merupakan
pengembanganan produk ke arah hilir akan meningkatkan nilai tambah produk bahan baku tersebut.
Keluaran dari pembangunan agroindustri adalah perolehan nilai tambah yang signifikan atas input
teknologi yang diberikan. Semakin canggih teknologi yang digunakan untuk melakukan diversifikasi
produk dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai tambah produk diversifikasi tersebut serta
memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga komoditas awalnya (Gumbira

2
Sa’id, 2001). Hambali et al. (2004) menyatakan bahwa surfaktan memiliki nilai tambah hampir
delapan kali lipat bila dibandingkan dengan minyak sawit mentah (CPO dan PKO).
Penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang merupakan turunan minyak bumi untuk proses
recovery minyak bumi telah banyak dilakukan, sedangkan penelitian mengenai penggunaan surfaktan
yang berasal dari sumber terbarukan khususnya surfaktan alkil poligliksida yang disintesis dari pati
dan fatty alcohol untuk proses recovery minyak bumi masih jarang dilakukan. Penggunaan surfaktan
untuk proses recovery sumur minyak bumi harus disesuaikan dengan kondisi reservoir dimana
surfaktan tersebut akan diaplikasikan. Parameter-parameter yang penting untuk diperhatikan dalam
penginjeksian surfaktan adalah kadar garam, suhu, sifat batuan dan fluida formasi, kompatibilitas
surfaktan dengan fluida formasi, serta tekanan reservoir. Parameter-parameter tersebut akan
mempengaruhi daya kerja surfaktan yang diinjeksikan kedalam reservoir. Hal tersebut diatas
mendorong dilakukannya penelitian mengenai kajian kinerja surfaktan Alkil Poliglikosida untuk
mengetahui stabilitas kinerja formula surfaktan tersebut sebagai agent penurun tegangan antarmuka
pada aplikasi Enhanced Water flooding.

1.2.TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui kinerja serta mendapatkan formula terbaik
surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) untuk aplikasi Enhanced Water Flooding pada contoh batuan
pasir sintetik.

1.3. RUANG LINGKUP

Ruang lingkup penelitian ini meliputi pemilihan jenis surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)
terbaik untuk formulasi enhanced water flooding, formulasi surfaktan Alkil Poliglikosida (APG)
untuk enhanced water flooding, analisis formula untuk enhanced waterflooding di berbagai kondisi
pada lapangan sandstone serta simulasi penerapan enhanced waterflooding menggunakan surfaktan
Alkil Poliglikosida (APG).

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SURFAKTAN

Surfaktan merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang
mempunyai struktur bipolar. Bagian kepala bersifat hidrofilik dan bagian ekor bersifat hidrofobik
menyebabkan surfaktan cenderung berada pada antarmuka antara fase yang berbeda derajat polaritas
dan ikatan hidrogen seperti minyak dan air. Kegunaan surfaktan antara lain untuk menurunkan
tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan
mengontrol jenis formasi emulsi, misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O) (Rieger,1985).
Molekul surfaktan dapat divisualisasikan seperti berudu ataupun bola raket mini yang terdiri
atas bagian kepala dan ekor. Bagian kepala bersifat hidrofilik (suka air), merupakan bagian yang
sangat polar, sedangkan bagian ekor bersifat hidrofobik (benci air/suka minyak), merupakan bagian
non polar. Bagian kepala dapat berupa anion, kation atau nonion, sedangkan bagian ekor dapat
berupa rantai linier atau cabang hidrokarbon. Konfigurasi kepala-ekor tersebut membuat surfaktan
memiliki fungsi yang beragam di industri. Gambar dari molekul surfaktan terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Molekul surfaktan (Gevarsio,1996)

Berdasarkan gugus hidrofiliknya, m olekul surfaktan dibedakan kedalam 4 kelompok, yaitu


surfaktan anionik, surfaktan kationik, surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik (Rieger, 1985;
Rosen, 2004). Surfaktan anionik adalah molekul yang bermuatan negatif pada gugus hidrofilik atau
aktif permukaan (surface-active), seperti gugus sulfat atau sulfonat. Surfaktan kationikH adalah
senyawa yang bermuatan positif pada gugus hidrofiliknya atau bagian aktif permukaan (surface-
active), seperti quarternery ammonium salt (QUAT). Surfaktan nonionik adalah surfaktan yang tidak
bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan gugus
oksigen eter atau hidroksil. Surfaktan amfoterik adalah surfaktan yang bermuatan positif dan negatif
pada molekulnya, dimana muatannya bergantung kepada pH. Pada pH rendah akan bermuatan negatif
dan pada pH tinggi akan bermuatan positif (Matheson, 1996; Rosen, 2004).
Didalam aplikasinya, keempat jenis surfaktan tersebut memiliki fungsi yang spesifik dan
kondisi lingkungan kerja yang spesifik. Surfaktan anionik sangat baik digunakan untuk stimulasi
batuan sandstone. Adanya unsur silika di dalam batuan sandstone yang bermuatan negatif (-) akan
menyebabkan water wet pada formasi batuan sand stone. Kondisi ini akan menyebabkan turunnya
gaya adhesi antara minyak dan batuan sehingga minyak akan lepas dan lebih mudah mengalir dan
sifat batuan akan berubah menjadi water wet. Sebaliknya pada batuan limestone yang bermuatan
positif, penggunaan surfaktan anionik akan menyebabkan batuan bersifat oil wet (Allen and
Robert,1993).

4
Surfaktan kationik dengan muatan gugus hidrofilikya yang positif akan merubah wettability
batuan yang memiliki muatan positif menjadi water wet seperti batuan karbonat dan akan merubah
wettability batuan yang bermuatan negatif seperti batuan sandstone menjadi oil wet. Berbeda dengan
surfaktan anionik dan kationik, surfaktan nonionik yang tidak memiliki muatan pada gugus
hidrofiliknya menyebabkannya kompatible pada kedua jenis batuan. Surfaktan nonionik akan
menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone. Sedangkan penggunaan
surfaktan amfoterik pada kedua jenis batuan tersebut tergantung pada pH larutan dimana surfaktan
tersebut bekerja. Pada kondisi pH>7 (basa), gugus hidrofilk surfaktan amfoterik akan bermuatan
positif sehingga akan menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan positif (karbonat).
Pada pH<7 (asam), gugus hidrofilik surfaktan amfoterik akan bermuatan negatif sehingga akan
menyebabkan water wet pada batuan yang memiliki muatan negatif (sandstone), sedangkan pada
pH=7, gugus hidrofilik surfaktan amfoterik tidak akan bermuatan. Namun pada aplikasi stimulasi
surfaktan, surfaktan amfoterik digunakan terbatas sebagai pencegah korosi dan agen pembusa (Allen
and Robert, 1993; Mulyadi, 2002)
Flider (2001) menyatakan bahwa surfaktan berbasis bahan alami dapat dibagi menjadi empat
kelompok yaitu :

1. Berbasis minyak-lemak seperti; monogliserida, digliserida, dan poligliserol ester.


2. Berbasis karbohidrat seperti; alkyl poliglikosida, dan n-metil glukamida.
3. Ekstrak bahan alami seperti; lesitin dan saponin.
4. Biosurfaktan yang diproduksi oleh mikroorganisme seperti; rhamnolipid dan sophorolipid.

Pengujian surfaktan meliputi kemampuan untuk menstabilkan emulsi, kemampuan untuk


menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka, mengontrol jenis formasi emulsi dengan
hidrofil lipofil balance, dan penentuan gugus fungsi dengan FTIR (Fourier Transform Infra Red
Spectroscopy).

1. Kestabilan Emulsi

Cara kerja bahan penstabil adalah dengan menurunkan tegangan permukaan, dengan
cara membentuk lapisan pelindung yang menyelimuti globula fase terdispersi, sehingga
senyawa yang tidak larut akan lebih mudah terdispersi dalam sistem dan bersifat stabil
(Fennema, 1985). Emulsi yang stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat
sedemikian rupa sehingga proses itu tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan
(Kemel, 1991).
Semakin tinggi viskositas dari suatu sistem emulsi, semakin rendah laju rata-rata
pengendapan yang terjadi, sehingga mengakibatkan kestabilan semakin tinggi (Suryani et. al,
2000). Viskositas berkaitan erat dengan tahanan yang dialami molekul untuk mengalir pada
sistem cairan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat alir suatu emulsi, diantaranya
ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel. Emulsi dengan globula berukuran halus, lebih
besar viskositasnya dibandingkan emulsi dengan globulanya yang lebih besar atau tidak
seragam (Muchtadi, 1990).

5
2. Tegangan Permukaan

Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah kesetimbangan antara gaya tarik-menarik
dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam suatu sistem emulsi. Apabila gaya ini
dapat dipertahankan tetap seimbang atau terkontrol, maka partikel-partikel dalam sistem emulsi
dapat dipertahankan agar tidak bergabung (Suryani, et al. 2001).
Tegangan permukaan dirumuskan sebagai energi yang harus digunakan untuk
memperbesar permukaan suatu cairan sebesar 1 cm2. Tegangan permukaan disebabkan oleh
adanya gaya tarik menarik dari molekul cairan. Tegangan permukaan antara lain dapat diukur
dengar menggunakan Tensiometer du Nouy dan dinyatakan dalam dyne per centimeter
(dyne/cm) atau miliNewton per meter (mN/m).
Pada cairan, terdapat molekul-molekul yang tersebar di bawah permukaan dan pada
permukaan cairan. Molekul-molekul ini saling tarik menarik. Gaya tarik-menarik molekul-
molekul di bawah permukaan cairan adalah sama pada semua arahnya. Molekul-molekul di atas
permukaan cairan tersebut kemudian mendapatkan gaya tarik dari molekul-molekul di
bawahnya yang mencoba untuk menariknya kembali ke tubuh cairan. Hal ini menyebabkan
cairan mengambil bentuk yang memungkinkan luas permukaan menjadi sekecil mungkin.
Bentuk tersebut adalah bentuk bola (sphere). Besarnya energi yang mengendalikan bentuk
cairan tersebut dinamakan tegangan permukaan. Semakin besar ikatan antar molekul-molekul
dalam cairan maka semakin besar tegangan permukaan (Bodner dan Pardue, 1989).

3. Tegangan Antarmuka

Tegangan antar muka adalah pengukuran kekuatan sebagai usaha yang diperlukan untuk
memperluas antar muka antara dua cairan immiscible persatuan luas (Shaw, 1980). Tegangan
permukaan merupakan suatu gaya yang timbul sepanjang garis permukaan suatu cairan,
sedangkan tegangan antar muka adalah energi yang bergerak melintang sepanjang garis
permukaan. Gaya ini timbul karena adanya kontak antara dua cairan yang berbeda fase. Dalam
satuan SI (Standard International) besaran tegangan antarmuka dinyatakan dengan mN/m atau
dyne/cm.
Turunnya tegangan antarmuka akan menurunkan gaya kohesi dan sebaliknya
meningkatkan gaya adhesi. Gaya kohesi adalah gaya antar molekul yang bekerja diantara
molekul-molekul yang sejenis, sedangkan gaya adhesi adalah gaya antar molekul yang bekerja
diantara molekul-molekul yang tidak sejenis.
Suatu surfaktan tersusun atas gugus hidrofobik dan hidrofilik pada molekulnya dan
memiliki kecenderungan untuk berada pada antarmuka antara dua fase yang berbeda derajat
polaritasnya atau dengan kata lain surfaktan dapat membentuk film pada bagian antar muka dua
cairan yang berbeda fase. Pembentukan film tersebut menyebabkan turunnya tegangan
permukaan kedua cairan berbeda fase tersebut sehingga mengakibatkan turunnya tegangan
antar muka (Georgiou et al., 1992).
Efek dari surfaktan pada fenomena antar muka merupakan fungsi dari konsentrasi
surfaktan pada antar muka. Efektifitas surfaktan pada adsorpsi antar muka didefinisikan sebagai
konsentrasi maksimum dimana surfaktan dapat tertahan pada antar muka. Efektifitas surfaktan
dalam menurunkan tegangan antarmuka minyak – air dipengaruhi oleh beberapa faktor,

6
diantaranya jenis surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang
digunakan, kadar garam larutan, dan adsorpsi larutan surfaktan (Menurisita, 2002).
Menurut Shaw (1980), tegangan antarmuka merupakan faktor penting pada proses
enhanced oil recovery (EOR) dalam bidang pertambangan. Surfaktan dapat menurunkan
tegangan antarmuka antara fluida dengan fluida, fluida dengan batuan, dan fluida dengan
hidrokarbon. Di samping itu, surfaktan dapat memecah tegangan permukaan dari emulsi
minyak yang terikat dengan batuan (emulsion block), mengurangi terjadinya water blocking
dan mengubah sifat kebasahan (wattability) batuan menjadi suka air (water wet). Dalam kondisi
batuan yang bersifat water wet, minyak menjadi fasa yang mudah mengalir dan dengan
demikian water cut dapat dikurangi.

4. Hydrophile -Lipophile Balance (HLB)

Menurut Suryani et. al. (2002), HLB adalah ukuran empiris untuk mengetahui
hubungan antara gugus hidrofilik dan hidrofobik pada suatu surfaktan. Sistem HLB digunakan
untuk mengidentifikasi emulsifikasi minyak dan air oleh surfaktan. Terdapat dua tipe emulsi,
yaitu :

a. Water-in-oil (w/o), artinya air terdispersi di dalam minyak. Pada kondisi ini diperlukan
surfaktan dengan nilai HLB rendah.
b. Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Pada kondisi ini diperlukan
surfaktan dengan nilai HLB tinggi.

Makin tinggi nilai HLB, maka surfaktan makin bersifat larut air. Sedangkan bila makin
rendah nilai HLB, surfaktan makin bersifat larut minyak. Nilai HLB dan aplikasinya
berdasarkan konsep Grifin disajikan pada Table 2.

Tabel 2. Nilai HLB dan aplikasinya berdasarkan konsep Grifin


Nilai HLB Aplikasi
3–6 Pengemulsi W/O
7–9 Wetting agent
8 – 14 Pengemulsi O/W
9 – 13 Detergen
10 -13 Solubilizer
12 -14 Dispersant
Sumber : Holmberg et al. (2003)

Jenis surfaktan yang dipilih pada proses pembuatan suatu produk tergantung pada
kinerja dan karakteristik surfaktan tersebut serta karakteristik produk akhir yang diinginkan
(Sadi, 1994). Menurut BP MIGAS (2009), karakteristik surfaktan yang diinginkan untuk
aplikasi Enhanced Oil Recovery, adalah formula surfaktan yang memiliki karakteristik sebagai
berikut:

7
 Compatibility : tidak ada endapan
 Adsorbsion : < 0.25% atau 0.4 mg/g batuan
 Tegangan Antar Muka : 10-3 dyne/cm
 Temperatur : tahan terhadap temperature reservoir minimal 3 bulan
 pH : 6-8
 Bentuk Phase : bawah atau tengah
 Recovery oil : > 10% incremental tergantung keekonomian
 Filtrasi rasio : < 1,2

2.2. SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)

Surfaktan Alkil Poliglikosida pertama kali dikenal sekitar tahun 1983 oleh Emil fischer
(Margaretha, 1999). APG merupakan surfaktan yang ramah lingkungan karena disintesis dengan
bahan baku yang berbasis pati (kentang, sagu, tapioka, jagung dan lain-lain) dengan fatty alcohol
berbasis minyak nabati (kelapa, sawit, rapeseed, soy bean, bunga matahari). Alkil Poliglikosida
(APG) mempunyai dua struktur kimia. Rantai hidrokarbon yang bersifat hidrofobik (lipofilik) dan
bagian molekul yang bersifat hidrofilik. Sifat rantai yang hidrofobik disebabkan oleh rantai
hidrokarbon tersebut tersusun dari fatty alcohol yang berasal dari minyak sawit atau minyak kelapa.
Sedangkan, bagian molekul yang bersifat hidrofilik dari APG disebabkan bagian tersebut tersusun dari
molekul glukosa yang berasal dari pati. Gambar proses reaksi dan struktrur APG disajikan pada
Gambar 2.

Alkil Glikosida

Alkil Poliglikosida

Gambar 2. Proses reaksi dan struktur alkil poliglikosida (APG) (Wuest et al., 1992)

Proses produksi APG dapat dilakukan melalui dua prosedur yang berbeda, yaitu prosedur
pertama berbasis bahan baku pati dan fatty alcohol sedangkan prosedur kedua berbasis bahan baku
dekstrosa (glukosa) dan fatty alcohol. Prosedur pertama, berbasis pati-fatty alcohol melalui proses
butanolisis dan transasetalisasi, sedangkan prosedur kedua yang berbasis dekstrosa-fatty alcohol
hanya melalui proses asetalisasi yang selanjutnya dari masing-masing prosedur masuk ke proses
netralisasi, distilasi, dan pelarutan. Diagram proses pembuatan APG disajikan pada Gambar 3.

8
Gambar 3. Proses sintesis surfaktan alkil poliglikosida untuk aplikasi EOR

Proses produksi APG melalui proses asetalisasi dilakukan dengan mencampurkan fatty alcohol
dan glukosa dengan perbandingan 2:1 sampai dengan perbandingan 10:1 dengan katalis asam p-
toluene sulfonat. Kondisi reaksi diatur pada suhu 100-120°C selama 3-4 jam pada tekanan 15-25
mmHg. Setelah itu, campuran bahan dilakukan netralisasi sampai pH 8-10 dengan menggunakan
NaOH 50 % pada suhu 80°C. Setelah tahap tersebut akan terbentuk APG kasar yang masih bercampur
dengan residu (air + fatty alcohol) yang tidak bereaksi sehingga dilakukan pemisahan dengan
menggunakan distilasi vakum untuk mengeluarkan residu. Pemisahan fatty alcohol dilakukan pada
suhu 160-200°C dan tekanan 15 mmHg (Indrawanto, 2007). Proses reaksi sintesa APG satu
tahap/langsung dapat dilihat pada Gambar 4.

Dekstrosa Fatty alcohol Alkyl Polyglicoside

Gambar 4. Sintesis Fischer secara langsung (Wuest et al., 1992)

Menurut Wuest et al., (1992), sintesis surfaktan APG dapat pula dilakukan dengan reaksi 2
tahap dari pati atau hasil degradasi pati seperti poliglukosa atau sirup glukosa, tahap pertama

9
direaksikan dengan alkohol rantai pendek, terutama butanol, dan tahap kedua transasetalisasi
direaksikan dengan rantai lebih panjang C 8-22 terutama C 12-18 dari fatty alkohol bahan baku alami.
Reaksi butanolisis dilakukan pada temperatur diatas 125 oC dan dibawah tekanan 4-10 bar dalam zone
reaksi tertutup. Reaksi transasetalisasi dilaksanakan pada temperatur dibawah temperatur 115-118 oC
dengan kondisi vakum. Campuran reaksi kedua rasio molar pati dihitung sebagai anhidroglukosa,
terhadap alkohol rantai panjang 1: 1.5 - 1: 7, 1:2.5 ke 1:7, 1:3 ke 5. Sedangkan rasio molar sakarida :
air = 1: 5 – 1:12, 1: 6-1:12, 1: 6-1: 9, 1: 6-1: 8. Proses reaksi sintesa APG dua tahap dapat dilihat pada
Gambar 5.

Pati Butanol Butyl Glicoside

Butyl Glicoside Fatty Alcohol Alkyl Polyglicoside

Gambar 5. Sintesis Fischer secara langsung dan dua tahap (Wuest et al., 1992)

2.3. TAHAP RECOVERY MINYAK BUMI

Proses recovery minyak bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga fase, yaitu fase primer
(primary phase), fase sekunder (secondary phase) dan fase tersier (tertiary phase). Fase primer
merupakan fase dimana proses produksi minyak tergantung kepada kandungan energi alam reservoir
yaitu tekanan alami dari reservoir (natural flow) (Gomma, 1997). Menurut Sumotarto (1997), tekanan
alami reservoir dapat berasal dari tekanan gas yang terlarut dalam fluida minyak (solution gas
drive), kolom air di bawah lapisan minyak (water drive), atau tekanan dari lapisan batuan yang berada
di atasnya (overburden pressure). Adanya energi alami reservoir memungkinkan minyak untuk
keluar dengan sendirinya dari sumur.
Fase sekunder dalam recovery minyak bumi merupakan fase dimana sudah melibatkan
penginjeksian material kedalam reservoir. Pada fase ini diterapkan proses immiscible gas flood dan
water flood, sedangkan fase tersier merupakan fase dimana diterapkannya metode Enhanced Oil
Recovery (EOR) (Gomma, 1997). Menurut Thamrin dan Sudibjo (1992), EOR atau metode
pengurasan tahap lanjut merupakan usaha untuk meningkatkan produktivitas sumur minyak bumi
yang sudah tidak produktif lagi pada tahap produksi pertama. Metode EOR dilakukan dengan
menginjeksikan material kedalam batuan reservoir guna menguras sisa-sisa minyak bumi yang masih
terkandung didalam batuan reservoir, yang pada umumnya berupa residual oil dan by-passed oil.
Residual oil merupakan butir-butir minyak yang tersisa karena terperangkap di dalam pori-pori
batuan (saturasi minyak tersisa). By-passed oil merupakan kandungan minyak di dalam bagian dari
reservoir yang tidak tersapu dan terjangkau (by-passed) oleh injeksi air pada tahap sekunder.

10
Berdasarkan material yang diinjeksikan, metode EOR dikelompokkan kedalam empat
kelompok, yaitu metode termal (air panas, steam stimulation, steamflood, fireflood), metode kimia
(polimer, surfaktan, alkali), metode solvent-miscible (pelarut hidrokarbon, CO2, N2, gas hidrokarbon,
dan campuran gas alam), dan metode lainnya (mikroba, listrik, mekanis). Meskipun metode EOR
kadang disebut sebagai recovery tersier, namun beberapa metode EOR dapat diterapkan setelah fasa
primer atau bahkan saat proses pencarian minyak (discovery) (Gomma,1997). Skema recovery minyak
bumi ditunjukkan pada Gambar 6.
Menurut Allen dan Roberts (1993), karakteristik minyak dan reservoir perlu dipertimbangkan
dalam pemilihan metode EOR, supaya memenuhi target yang hendak dicapai. Sebagai gambaran,
reservoir yang dangkal tidak cocok bila dilakukan injeksi gas, karena tekanannya sangat tinggi
sehingga dapat beresiko merusak formasi dan akan menimbulkan semburan liar.

Gambar 6. Skema mekanisme recovery minyak (Wahyono, 2009)

2.4. SURFACTANT FLOODING

Proses perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan disebut dengan surfactant flooding.
Proses ini dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak bumi. Nummedal et.al. (2003)
menyatakan bahwa peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan dengan cara
menambahkan surfaktan kedalam air injeksi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang
diinjeksikan kedalam sumur minyak bumi harus sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air
yang berada di dalam cekungan minyak bumi (reservoir). Demikian pula dengan penginjeksian

11
surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah kondisi formasi yang telah ada
di dalam reservoir minyak bumi.
Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun
juga polimer umumnya partially hidrolized polyacrilamide (PMPA). Polimer diinjeksikan setelah
campuran surfaktan dan air injeksi dipompakan ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah
meningkatkan stabilitas genangan (flood) dan meningkatkan efisiensi penyapuan (sweep
efficiency) minyak. Technology Assesment Board (1978), mengungkapkan bahwa surfactant
flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian mempunyai potensi recovery
minyak yang superior.
Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan
dijelaskan sebagai berikut: surfaktan memiliki gugus dasar hidrokarbon dan berikatan pada ujung
dengan senyawa anorganik (gugus sulfonat) SO3. Rumus kimia surfaktan adalah R – SO3H, dengan
gugus R – merupakan gugus rantai hidrokarbon. Surfaktan jenis ini dalam air akan terionisasi menjadi
RSO3- dan H+. bila ion molekul RSO3- kontak dengan senyawa yang bersifat nonpolar (minyak), maka
gugus R – akan berusaha untuk melakukan gaya adhesi (surfaktan-minyak), sedangkan pada molekul
surfaktan itu sendiri akan bekerja gaya kohesi antara RSO3-. Pengaruh gaya adhesi ini akan
mengurangi harga resultan gaya kohesi minyak itu sendiri, yang mengakibatkan gaya antar permukaan
minyak dengan air akan menurun. Selain itu, terjadi gaya tolak-menolak antara kepala surfaktan yang
bermuatan negatif karena adanya gugus RSO3- dengan batuan sandstone yang bermuatan negatif
karena adanya senyawa silica (SiO2-). Gaya tolak-menolak ini mengakibatkan surfaktan yang
mengikat minyak pada bagian gugus R akan bergerak menjauh dari batuan dan ini akan
mengakibatkan wettability batuan berubah menjadi water wet (Ashayer et al.,2000).
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan pada aplikasi surfactant flooding tergantung pada
beberapa faktor seperti formulasi, biaya, ketersediaan bahan, dampak lingkungan, serta harga minyak
bumu dipasar. Agar pemanfaatan surfaktan lebih efektif, beberapa kriteria harus dipenuhi yaitu
surfaktan yang digunakan harus dapat menghasilkan IFT ultra low dan harus cukup sederhana pada
saat disintesis untuk diproduksi secara komersial (Nasiri, 2011).

2.5. AIR FORMASI

Air formasi yang diambil dari lapangan mengandung berbagai ion. Hal ini dikarenakan air
formasi tersebut telah bereaksi dengan batuan. Dengan kata lain telah mengalami interaksi dengan
mineral-mineral lain yang terdapat pada batuan. Ion-ion tersebut dapat berupa padatan mineral dan
logam yang tersuspensi maupun berupa gas yang terlarut di dalamnya. Kandungan utama dari air
formasi terdiri dari kandungan anion dan kation. (Widiyowati, 2005)

1. Kandungan Kation, yang termasuk didalam kation, antara lain:


a. Kalsium (Ca)
Ion kalsium adalah penyusun terbanyak pada air formasi yang dapat mencapai 30.000 ppm.
b. Magnesium (Mg)
Ion Mg pada umumnya terkonsentrasi dengan volume yang lebih kecil dibandingkan ion
kalsium

12
c. Besi (Fe)
Kadar besi secara alamiah yang terdapat pada air formasi mempunyai konsentrasi yang kecil.
Keberadaan besi menunjukkan kecenderungan sifat korosif.
d. Barium (Ba)
Jumlah ion barium ini tidak cukup banyak terdapat didalam air formasi

2. Kandungan Anion, yang termasuk kandungan anion, antara lain:


a. Klorida (Cl-)
Ion klorida pada umumnya merupakan anion yang terkadung didalam air formasi yang menyatu
dengan garam NaCl sebagai sumber utamanya sehingga konsentrasi ion Cl dapat dijadikan
sebagai pengukur tingkat keasaman air.
b. Karbonat (CO3-) dan Bikarbonat (HCO3-)
Ion-ion ini dapat membentuk scale yang mempunyai sifat tidak larut.
c. Sulfat (SO4-)
Ion sulfat dapat membentuk scale setelah bereaksi dengan barium atau kalsium.

2.6. POROSITAS

Porositas merupakan ukuran ruang-ruang kosong dalam suatu batuan. Berdasarkan


definisi, porositas merupakan perbandingan antara volume ruang yang terdapat dalam batuan
yang berupa pori-pori terhadap volume batuan secara keseluruhan, biasanya dinyatakan dalam fraksi.
Besar-kecilnya porositas suatu batuan akan menentukan kapasitas penyimpanan fluida reservoir.
Secara matematis porositas dapat dinyatakan sebagai :

Ø= =

Dimana :
Vb = volume batuan total (bulk volume)
Vs = volume padatan batuan total (volume grain)
Vp = volume ruang pori-pori batuan

Porositas batuan reservoir dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :


1. Porositas absolut, adalah persen volume pori-pori total terhadap volume batuan total (bulk
volume)

Ø=

2. Porositas efektif, adalah persen volume pori-pori yang saling berhubungan terhadap volume
batuan total (bulk volume).

Ø=

Untuk selanjutnya porositas efektif digunakan dalam perhitungan karena dianggap sebagai fraksi
volume yang produktif.

13
2.7. PERMEABILITAS

Permeabilitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu batuan untuk mengalirkan fluida
melalui pori-pori batuan tanpa merusak partikel pembentuk batuan. Definisi kuantitatif
permeabilitas pertama-tama dikembangkan oleh Henry Darcy (1856) dalam hubungan empiris
dengan bentuk differensial sebagai berikut:

Dimana:
V = kecepatan aliran ,cm/sec
= viskositas fluida yang mengalir, cP
dP/dL = gradien tekanan dalam arah aliran, atm/cm
k = permeabilitas media berpori

Tanda negatif dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa bila tekanan bertambah dalam
satu arah, maka arah alirannya berlawanan dengan arah pertambahan tekanan tersebut. Beberapa
anggapan yang digunakan oleh Darcy dalam persamaan tersebut antara lain; alirannya mantap (steady
state), fluida yang mengalir satu fasa, viskositas fluida yang mengalir konstan, kondisi aliran
isothermal, formasinya homogen dan arah alirannya horizontal, fluidanya incompressible. Dalam
batuan reservoir, permeabilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu; permeabilitas absolut, adalah
permeabilitas dimana fluida yang mengalir melalui media berpori tersebut hanya satu fasa, misal
hanya minyak atau gas saja. Permeabilitas efektif, adalah permeabilitas batuan dimana fluida yang
mengalir lebih dari satu fasa, misalnya minyak dan air, air dan gas, gas dan minyak atau ketiga-
tiganya. Permeabilitas relatif, adalah perbandingan antara permeabilitas efektif dengan permeabilitas
absolut.

2.8. KELAKUAN FASA/ PHASE BEHAVIOR SURFAKTAN

Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam


memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak pada proses injeksi surfaktan. Proses
emulsifikasi dapat menurunkan tegangan antarmuka antara fluida pendorong dengan minyak. Pada
dasarnya campuran surfaktan-air-minyak dapat membentuk beberapa macam jenis emulsi yang
diantaranya dapat menurunkan tegangan antar muka ke tingkat yang sangat rendah, yaitu dengan orde
10-2 sampai dengan 10-4 dyne/cm, yang dapat digunakan dalam injeksi kimia (Sugihardjo, 2002).
Ada beberapa jenis emulsi yang akan terbentuk pada proses uji kelakuan fasa, yaitu:

1. Emulsi fasa bawah, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa air, terjadi kelebihan fasa
minyak (excess oil), dalam kondisi dua fasa, dan berwarna translusen (jernih tembus cahaya).
Gambar emulsi fasa bawah terdapat pada Gambar 7 (a).
2. Mikroemulsi atau emulsi fasa tengah, yaitu emulsi yang terdiri dari tiga fasa (air-mikroemulsi-
minyak) dan berwarna translusen. Gambar emulsi fasa tengah terdapat pada Gambar 7 (b).

14
3. Emulsi fasa atas, dimana emulsi yang terbentuk berada dalam fasa minyak dan terjadi
kelebihan fasa air (excess water), emulsi ini terdiri dari dua fasa. Gambar emulsi fasa atas
terdapat pada Gambar 7 (c ).
4. Makroemulsi, emulsi yang berbentuk kental dan berwarna putih susu (milky). Gambar
makroemulsi terdapat pada Gambar 7 (d).

(a) (b)

(c ) (d)
Gambar 7. Emulsi yang akan terbentuk pada uji kelakuan fase/ phase behavior. (a) Emulsi fasa
bawah. (b) Emulsi fasa tengah (mikroemulsi). (c) Emulsi fasa atas . (d) Makroemulsi

Surfaktan yang digunakan dalam proses chemical flooding biasanya menunjukkan kelarutan
yang baik dalam fase cairan dan kelarutan yang buruk dalam fase minyak pada salinitas garam
rendah. Jadi pada salinitas air formasi rendah, susunan keseluruhan diantara dua fase akan terpecah
menjadi; fase kelebihan minyak dan air diluar fase mikroemulsi. Fase kelebihan minyak terdiri dari
minyak dan fase mikroemulsi terdiri dari air formasi, surfaktan dan minyak yang terlarut ditengah
micelles. Kondisi ini disebut sebagai sistem Winsor’s type I, sistem mikroemulsi fase rendah atau tipe
II (-). Istilah ini disebabkan berdasarkan fakta bahwa sistem terdiri dari dua fase dan kemiringan
terhadap garis batas antara fase minyak dan fase cairan negatif. Perilaku dari sistem fase tipe II (-)
dapat dilihat pada Gambar 8 (a).
Pada salinitas air formasi yang tinggi, kelarutan surfaktan dalam fase cair berkurang secara
drastis karena gaya elektrostatik. Jadi pada salinitas air formasi yang tinggi, susunan keseluruhan
diantara dua fase akan terpecah menjadi minyak diluar fase mikroemulsi dan kelebihan fase air
formasi. Dalam kasus ini, fase air formasi tidak akan berisi surfaktan dan beberapa fase air formasi
akan larut dalam fase mikroemulsi pada tengah micelle. Sistem ini disebut sebagai sistem Winsor’s
tipe II, mikroemulsi fase atas atau sistem tipe II (+) (Gambar 8 (b)).
Diantara dua type salinitas air formasi yang dibahas diatas, terdapat tipe phase behavior yang
ketiga dimana ketiga fase ( fase air formasi, fase mikroemulsi, dan fase minyak) menyatu. Fase
mikroemulsi tengah sering disebut sebagai fase bicontinous yaitu terdapat pada minyak dan air.
Sistem ini dikenal sebagai Winsor’ tipe III, mikroemulsi fase tengah atau sistem tipe III (Gambar 8
(c )).

15
Gambar 8. Gambar fase behavior yang dihasilkan pada saat pencampuran minyak, air garam dan
surfaktan. (a) tipe II (-). (b) tipe II (+). (c ) tipe III (lake, 1989)

Jenis emulsi yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa
tengah atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Tim lemigas, 2002). Pada kondisi
tersebut nilai tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga
proses pendesakan minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Terbentuknya mikroemulsi
fasa tengah membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibandingkan dengan emulsi fasa bawah maupun
fasa atas. Namun demikian, untuk tercapainya kondisi mikroemulsi ini diperlukan beberapa
persyaratan diantaranya adalah faktor konsentrasi surfaktan yang digunakan.

16
III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. ALAT DAN BAHAN

Peralatan yang digunakan adalah jangka sorong, destilator, pompa vacum, pinset, labu vacum,
gelas piala, timbangan analitik, tabung gelas/jar, pipet, sudip, stirer, labu pemisah, oven, serta core
holder. Peralatan yang digunakan untuk analisa adalah spinning drop tensiometer TX 500 C, pH
meter, Viskometer, dan Density Meter DMA 4500 M/ anton Paar. Peralatan yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.
Bahan baku yang digunakan adalah surfaktan Alkil Poliglikosida komersil yang diperoleh dari
PT.Cognis dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06 dan SK-50, core sandstone sintetik, air formasi
Lapangan S, NaCl, NaOH, NaCO3, minyak bumi dari Lapangan S, toluene serta bahan kimia yang
digunakan untuk analisa.

3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

Pelaksanaan penelitian akan dilakukan mulai bulan Februari 2011 sampai Agustus 2011.
Penelitian ini dilakukan di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant and Bioenergy
Research Center, SBRC) – LPPM IPB dan Laboratorium Teknik Kimia, Departemen Teknologi
Indutri Pertanian, FATETA IPB, Bogor.

3.3. METODE PENELITIAN

3.3.1. Persiapan Core sintetik

Uji kinerja surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) membutuhkan core untuk melihat efektifitas
dari penggunaan surfaktan tersebut. Core merupakan batuan dari dalam bumi yang akan digunakan
untuk aplikasi enhanced waterflooding. Core yang digunakan dalam penelitian ini berjenis batuan
pasir (sandstone). Core yang berasal dari dalam bumi ini terbatas jumlahnya sehingga perlu dibuat
core buatan atau sintetik dengan karakteristik yang menyerupai core/ batuan aslinya. Proses
penyiapan core sintetik dari mulai awal pembuatan sampai core siap digunakan terdiri dari beberapa
tahapan yaitu;

1. Tahap Pembuatan Core Sintetik

Core sintetik dibuat semirip mungkin dengan karakteristik core asli. Core sintetik
merupakan campuran pasir kuarsa dan semen dengan penambahan air. Perbandingan antara pasir
kuarsa dengan semen sebesar 2 : 5 atau sesuai dengan porositas yang diinginkan. Penambahan air
dilakukan sebanyak 10 % dari bobot total (pasir kuarsa dan semen). Campuran tersebut dicetak
dengan menggunakan pipa dengan panjang sesuai ukuran core holder pada alat core apparatus
yaitu sebesar ± 3.1 cm dan diameter ± 2.3 cm lalu dikeringkan selama 2 hari.

17
2. Tahap Pencucian Core Sintetik

Core sintetik yang telah dikeringkan kemudian dicuci untuk membersihkan kotoran yang
masih terdapat pada core tersebut. Pencucian dilakukan dengan cara destilasi dengan
menggunakan pelarut toluene. Proses pencucian berlangsung selama 4 jam.
Setelah proses pencucian, dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu 70 0 C selama
minimal 1 hari lalu didinginkan dalam desikator. Kemudian core sintetik tersebut diukur berat
kering serta dimensinya. Core yang telah diukur selanjutnya dibungkus dengan menggunakan
alumunium foil agar tidak terkontaminasi dengan udara sekitar.

3. Tahap Penjenuhan Core Sintetik

Core sintetik yang telah dicuci kemudian dijenuhkan dengan menggunakan pompa vakum.
Penjenuhan dilakukan dengan dua langkah, langkah pertama yaitu pemvakuman dan langkah
yang kedua yaitu penjenuhan. Tahap pemvakuman dilakukan untuk menghisap udara dari pori-
pori core sehingga memudahkan fluida untuk masuk kedalamnya. Proses pemvakuman dilakukan
selama 2 jam. Tahap penjenuhan dilakukan untuk memasukkan fluida berupa air formasi
lapangan S ke dalam pori-pori core. Proses penjenuhan pada tahap ini berlangsung selama 4 jam.
Core yang telah dijenuhkan kemudian direndam dengan menggunakan air formasi 1-3 hari atau
lebih. Perendaman ini bertujuan agar proses penjenuhan dalam core lebih optimal dan lebih
menyerupai kondisi core reservoir di dalam bumi.

3.3.2. Uji Kompatibilitas Surfaktan terhadap Air Formasi Lapangan S

Uji compatibility adalah uji untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air injeksi
dan air formasi dari lapangan minyak. Uji bertujuan apakah suatu surfaktan dapat larut atau tidak
dalam air injeksi/air formasi. Tahap pengujian dilakukan dengan melarutkan 0.3 % dari masing-
masing jenis surfaktan APG ke dalam air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut secara
sempurna dalam air injeksi / air formasi sedangkan uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut secara
sempurna dalam air injeksi/air formasi. Pengamatan uji ini dilakukan secara visual.

3.3.3. Tahap Pemilihan Surfaktan

Pemilihan surfaktan dilakukan untuk memilih satu surfaktan Alkil Poliglikosida dari 5 jenis
yang cocok digunakan sebagai formulasi. Pemilihan surfaktan ini didasari oleh nilai tegangan
antarmuka. Surfaktan dengan tegangan antarmuka terkecil yang akan dipilih untuk tahap formulasi
surfaktan. Perbedaan nilai tegangan antarmuka yang kecil pada tahap ini, akan berpengaruh pada
tahap selanjutnya. Pengukuran nilai tegangan antarmuka dimulai dengan melarutkan sebanyak 0.3 %
dari masing-masing surfaktan ke dalam air formasi dari lapangan S. Kemudian, larutan tersebut diukur
nilai tegangan antarmukanya dengan menggunakan alat spinning drop tensiometer TX 500 C. Satu
surfaktan dengan nilai tegangan antarmuka terendah dari surfaktan lainnya yang dipilih untuk tahap
formulasi.

18
3.3.4. Tahap Formulasi Surfaktan

Surfaktan yang terpilih kemudian diformulasikan dengan NaCl untuk mengetahui optimal
salinitas dari surfaktan tersebut. Tujuan dari optimalisasi salinitas yaitu untuk mengetahui performa
terbaik dari larutan surfaktan pada kondisi salinitas yang optimum pada air formasi. Air formasi
lapangan S memiliki kandungan garam sebesar 7000 ppm. Tambahan konsentrasi NaCl yang
digunakan kurang dari 10000 ppm dengan rentang variasi yaitu 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm,
7000 ppm, dan 9000 ppm. Penggunaan tambahan NaCl ini didasarkan oleh penelitian terdahulu yang
dilakukan pihak SBRC-IPB bahwa konsentrasi diatas 10000 ppm menyebabkan timbulnya endapan
dalam formula pada waktu penyimpanan. Optimalisasi salinitas dimulai dengan menambahkan
salinitas pada air formasi sesuai dengan variasi yang telah ditentukan dengan perbandingan
bobot/bobot antara NaCl dan air formasi. Selanjutnya, sebanyak 0.3 % surfaktan dicampurkan
dengan air formasi pada masing-masing variasi tersebut. Formula tersebut kemudian diukur nilai
tegangan antarmukanya dengan menggunakan spinning drop tensiometer TX 500 C. Formula dengan
nilai tegangan antarmuka terendah menunjukkan optimal salinitas dari surfaktan yang digunakan.
Selanjutnya, formula tersebut dikombinasikan dengan alkali untuk mencari optimal alkali dari
surfaktan yang digunakan.
Proses optimalisasi alkali yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai tegangan
antarmuka yang telah diperoleh dari formulasi sebelumnya. Alkali yang digunakan adalah NaOH
(natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Alkali merupakan zat aditif dengan
penambahan konsentrasi minimal 1 % atau 10000 ppm. Penggunaan masing-masing alkali
divariasikan dengan rentang 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm.
Optimalisasi alkali dimulai dengan membuat larutan dengan optimal salinitasnya seperti yang
dilakukan pada optimalisasi salinitas di atas. Selanjutnya, masing-masing alkali dengan variasi
konsentrasi yang telah ditentukan ditimbang dan dicampurkan dengan larutan surfaktan pada optimal
salinitas sampai dicapai berat yang ditentukan dengan perbandingan bobot/bobot antara alkali dan
larutan. Setelah itu, formula tersebut diukur nilai IFT-nya menggunakan spinning drop tensiometer
TX 500 C untuk mengetahui alkali yang sesuai pada surfaktan yang digunakan. Selanjutnya, formula
pada optimal alkali dan optimal salinitas ini digunakan untuk tahap analisis formula serta untuk uji
core flood.

3.3.5. Tahap Analisis Formula untuk Enhanced Water Flooding

Formula surfaktan yang dihasilkan kemudian dianalisis. Analisis yang dilakukan pada formula
tersebut meliputi; uji Inter Facial Tension menggunakan alat spinning drop tensiometer TX 500 C
untuk mengetahui besarnya tegangan antara muka minyak dan formula surfaktan, uji densitas
menggunakan alat Density Meter DMA 4500 M/ anton Paar untuk mengetahui densitas atau berat
jenis dari formula surfaktan, uji pH menggunakan alat pH meter/kertas pH untuk mengetahui kondisi
pH pada formula surfaktan, uji viskositas menggunakan alat viskometer untuk mengetahui viskositas
dari formula surfaktan, uji compatibilitas untuk mengetahui kecocokan antara surfaktan dengan air
formasi, uji filtrasi untuk mengetahui keberadaan endapan dalam larutan surfaktan, uji thermal
stability untuk mengetahui kestabilan surfaktan terhadap pengaruh panas, serta uji kelakuan phasa /
fase behavior untuk mengetahui kelakuan fase antara formula dengan minyak. Prosedur analisis
formula surfaktan untuk enhanced water flooding dapat dilihat pada Lampiran 2.

19
3.3.6. Tahap Aplikasi Enhanced Water Flooding

Tahapan terakhir adalah aplikasi formula larutan surfaktan untuk enhanced waterflooding
berupa coreflooding test. Coreflooding test dimulai dengan penginjeksian Air Injeksi T ke dalam
batuan sandstone yang telah berisi minyak bumi mentah hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah
yang keluar. Proses injeksi air ini menghasilkan nilai recovery minyak setelah water flooding.
Selanjutnya, diinjeksikan formula larutan surfaktan dengan kombinasi 0,1 PV, 0,2 PV dan 0,3 PV dari
volume pori-pori batuan. Kemudian batuan sandstone disoaking dengan lama perendaman 12 jam.
Penentuan lama perendaman 12 jam merujuk pada penelitian yang telah dilakukan Mwangi (2008)
dimana lama perendaman selama 12 jam mampu memberikan tambahan recovery sebesar 8%.
Setelah mengalami perendaman, batuan sandstone diinjeksikan kembali dengan menggunakan air
injeksi T hingga tidak ada lagi minyak bumi mentah yang keluar. Proses injeksi ini menghasilkan
nilai recovery minyak setelah injeksi surfaktan. Nilai recovery setelah injeksi surfaktan ini yang akan
dianalisis dengan menggunakan rancangan percobaan untuk melihat pengaruh injeksi surfaktan
dengan kombinasi 0.1 PV, 0.2 PV, dan 0.3 PV. Hasil gabungan recovery minyak setelah water
flooding dan injeksi surfaktan menghasilkan total recovery minyak keseluruhan. Diagram alir
penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan satu
faktor dengan dua kali ulangan. Faktor yang divariasikan adalah volume larutan surfaktan. Faktor
volume larutan surfaktan terdiri dari tiga taraf yaitu 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV. Model matematika
yang digunakan adalah:

Yij = µ + αi + εij

dengan :
Yij = Nilai pengamatan
µ = Rata-rata
αi = Pengaruh faktor volume larutan surfaktan pada taraf ke-i (i = 1,2,3)
έij = Galat percobaan

20
Perendaman 12 jam

Gambar 9. Diagram alir penelitian

21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. PERSIAPAN CORE SINTETIK

Reservoir adalah suatu tempat terakumulasinya minyak dan gas bumi. Pada umumnya
reservoir minyak memiliki karakteristik yang berbeda-beda tergantung dari komposisi, temperatur
dan tekanan pada tempat dimana terjadi akumulasi hidrokarbon didalamnya. Suatu reservoir minyak
biasanya mempunyai tiga unsur utama yaitu adanya batuan reservoir, lapisan penutup dan perangkap.
Berdasarkan penyusunnya secara umum batuan reservoir terdiri dari batuan sedimen, yang
berupa batu pasir dan karbonat (sedimen klastik) serta batuan shale (sedimen non-klastik) atau
kadang-kadang vulkanik. Masing-masing batuan tersebut mempunyai komposisi kimia yang
berbeda, demikian juga dengan sifat fisiknya. Pada hakekatnya setiap batuan dapat bertindak sebagai
batuan reservoir asal mempunyai kemampuan menyimpan dan menyalurkan minyak bumi.
Sifat fisik yang mempengaruhi batuan reservoir antara lain porositas, serta permeabilitas.
Porositas didefinisikan sebagai perbandingan antara volume batuan yang tidak terisi oleh padatan
terhadap volume batuan secara keseluruhan. Sedangkan, permeabilitas batuan didefinisikan sebagai
kemampuan batuan tersebut untuk melewatkan fluida dalam medium berpori-pori yang saling
berhubungan. Permeabilitas didefinisikan sebagai ukuran media berpori untuk meloloskan
/melewatkan fluida. (Rachmat, 2009)
Penggunaan core/batuan reservoir yang berasal dari dalam lapangan minyak bumi sangat
terbatas. Hal ini karena jumlahnya terbatas serta biaya yang dikeluarkan untuk mengambil dan
mengangkut core/batuan reservoir tersebut sangat mahal. Untuk memenuhi kebutuhan analisis
laboratorium diperlukan pengganti core reservoir lapangan atau core sintetik . Pembuatan core
sintetik dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik dari core reservoir lapangan minyak yang
diamati. Hal ini dilakukan agar batuan sintetik yang dibuat dapat menyerupai batuan reservoir dari
lapangan minyak tersebut. Secara umum, core reservoir lapangan S tersusun dari sebagian pasir
(sandstone) dengan porositas lebih dari 20 persen.
Proses persiapan core sintetik sampai bisa digunakan untuk simulasi water flooding terdiri dari
beberapa tahap yaitu; tahap pembuatan core, tahap pencucian, dan tahap penjenuhan. Pada tahap
pembuatan core sintetik bahan utama yang digunakan yaitu pasir kuarsa ukuran 500 mesh serta
semen untuk mengikat pasir kuarsa agar lebih kompak. Perbandingan yang digunakan pada proses ini
sebesar 5:2 untuk pasir kuarsa dan semen. Perbandingan ini menghasilkan core dengan porositas
sebesar 33 – 37 %, serta menghasilkan permeabilitas sebesar 44.4 – 46.6 mdarcy.
Ukuran porositas serta kualitas dari core yang dihasilkan menurut Rachmat (2009),
dikelompokkan menjadi jelek sekali dengan porositas 0-5 %, jelek dengan porositas 5-10 %, sedang
dengan porositas 10-15 %, baik dengan porositas 15-20 % dan sangat baik dengan porositas diatas 20
%. Menurut Koesoemadinata (1978), permeabilitas beberapa reservoir dapat dikelompokkan
menjadi ketat (tight) < 5 mD, cukup (fair) 5–10 mD, baik (good) 10–100 mD, baik sekali 100–1000
mD dan (very good) >1000 mD. Core yang dihasilkan memiliki nilai porositas diatas 20 % yaitu
sebesar 33 – 37 % sehingga dikategorikan kedalam core kualitas sangat baik. Kualitas ini membuat
minyak dengan mudah masuk kedalam pori-pori batuan, sehingga semakin banyak yang dapat
ditampung kedalam batuan. Sedangkan, nilai permeabilitas yang dihasilkan dari core yang dibuat
memiliki kategori baik dengan nilai permeabilitas sebesar 44.4 – 46.6 mdarcy. Kualitas ini membuat

22
laju alir fluida yang melewati batuan semakin baik sehingga dapat mempermudah mengalirnya fluida
dalam batuan tersebut.
Porositas pada batuan memiliki hubungan dengan permeabilitas pada batuan tersebut. Nilai
porositas yang besar mengindikasikan lubang pada pori-pori core besar sehingga fluida dapat
mengalir dengan cepat. Sehingga seharusnya nilai permeabilitas pada batuan tersebut pun besar dan
sebaliknya. Berdasarkan penelitian Nurwidyanto dan Noviyanti (2005) pada batu pasir (study kasus
formasi Kerek, Ledok, dan Selorejo) menyatakan terdapat hubungan yang nyata dan bersifat positif
antara variabel porositas dan permeabilitas. Pada core sintetik yang dihasilkan kualitas porositas
sangat baik sedangkan kualitas permeabilitas baik, hal ini disebabkan karena adanya semen yang
membentuk interpartikel pada core sehingga tidak sepenuhnya berbentuk bola sehingga berdampak
pada porositas yang besar tetapi permeabilitas yang kecil atau tidak sebaik dengan nilai porositasnya.
Menurut Koesoemadinata (1978), jika bentuk butiran mendekati bentuk bola maka permeabilitas dan
porositasnya akan lebih meningkat. Nilai porositas serta permeabilitas dari core yang dihasilkan
ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Porositas dan permeabilitas core sintetik

Kode Core Porositas (%) Permeabilitas (mDarcy)

I 34.0 46.6
II 35.5 45.4
III 33.7 45.6
IV 34.0 46.5
V 36.5 46.5
VI 38.3 47.1

Core sintetik yang telah dibuat kemudian disesuaikan dengan ukuran dari core holder yang
terdapat pada alat coreflooding apparatus. Ukuran dari masing-masing core sintetik dapat dilihat
lebih jelas pada Lampiran 5. Setelah itu, core tersebut dicuci dengan menggunakan alat destilasi
dengan pelarut toluene. Pemilihan pelarut toluene sebagai pelarut didasarkan pada penelitian yang
dilakukan oleh Mwangi (2008) yang menyatakan kemampuan toluene dalam menghilangkan
hydrocarbons, termasuk aspal, dan pengotor lainnya sangat baik dan dapat mengembalikan wettability
batuan. Setelah itu, toluene yang terdapat dalam core selama proses pencucian harus dihilangkan
dengan cara diuapkan dalam oven pada suhu 700C. Penguapan dilakukan sampai toluene didalam
batuan dipastikan menguap dengan sempurna. Setelah itu, core kemudian ditimbang untuk
mengetahui bobot kering sebelum dilakukan pemvakuman. Perhitungan bobot kering serta bobot
basah sebelum dan setelah pemvakuman digunakan sebagai perhitungan porositas batuan. Adapun
penampakan visual core yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Core Sintetik

23
Tahap selanjutnya yaitu pemvakuman core yang telah dicuci. Pemvakuman dilakukan dengan
menggunakan 2 langkah dimana pada langkah pertama dilakukan dengan menghisap udara yang ada
didalam core. Langkah ini bertujuan agar core benar-benar porous dan tidak ada udara pada pori-
porinya sehingga air formasi dapat dengan mudah masuk kedalam pori-pori core. Selain itu, menurut
Mwangi (2008) proses pemvakuman bertujuan untuk memperbaiki permeabilitas core. Hal ini karena
debu-debu serta sisa toluene akan terhisap oleh pompa vakum. Langkah kedua dilakukan dengan
meneteskan air formasi lapangan S kedalam pori-pori core. Langkah ini bertujuan untuk
menjenuhkan pori-pori core oleh fluida dalam hal ini air formasi. Air formasi yang dijenuhkan
kedalam core sebelumnya disaring dengan menggunakan saringan 500 mesh, 21 µm, 0.45 µm, serta
0.22 µm. Proses penyaringan ini dilakukan berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Lemigas
dengan tujuan agar fluida dapat mudah masuk kedalam pori-pori core. Selanjutnya, core yang telah
dijenuhkan direndam selama 1-3 hari atau lebih lama dalam air formasi lapangan S agar diperoleh
kondisi core sintetik semirip mungkin dengan core asli pada reservoir lapangan S.

4.2.UJI KOMPATIBILITAS SURFAKTAN ALKIL POLIGLIKOSIDA (APG)


DENGAN AIR FORMASI LAPANGAN S

Uji kompatibilitas merupakan uji kinerja paling awal untuk mengetahui kecocokan antara
surfaktan dengan air injeksi/air formasi dari lapangan minyak. Uji bertujuan apakah suatu surfaktan
dapat larut atau tidak dalam air injeksi/air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut secara
sempurna dalam air injeksi/air formasi, sedangkan uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut secara
sempurna dalam air injeksi/air formasi.
Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) komersil yang berasal dari PT. Cognis Indonesia
dilarutkan kedalam air formasi lapangan S sebesar 0.3 %. Selanjutnya diamati secara visual
kesesuaian beberapa surfaktan APG komersil dengan air formasi. Berdasarkan uji yang dilakukan,
ke lima surfaktan APG dengan kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06, dan SK-50 bernilai positif yang
artinya seluruh surfaktan larut secara sempurna dalam air formasi lapangan S. Sehingga kelima jenis
surfaktan tersebut dapat digunakan untuk formulasi selanjutnya. Penampakan visual serta hasil
pengujian kompatibilitas surfaktan APG komersil dapat dilihat pada Gambar 11 dan Tabel 4.

Gambar 11. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S

24
Tabel 4. Uji kompatibilitas surfaktan APG komersil dengan air formasi lapangan S
Kode Surfaktan Kelarutan dalam Air Penampakan dalam Air
Formasi Formasi
SK – 02 ++++ ***
SK – 03 ++++ ***
SK – 05 ++++ **
SK – 06 ++++ ***
SK – 50 ++++ *

Keterangan :
Kelarutan dalam air formasi : Penampakan dalam air formasi :
**** = sangat jernih ++++ = sangat larut
*** = jernih +++ = larut
** = sedikit jernih ++ = sedikit larut
* = keruh + = tidak larut

4.3. PEMILIHAN SURFAKTAN

Pemilihan surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan satu dari beberapa surfaktan
APG komersil yang akan digunakan sebagai formula surfaktan untuk aplikasi Enhanced Water
Flooding. Pemilihan ini didasarkan pada nilai tegangan antarmuka (IFT) antara minyak dengan
larutan surfaktan dalam air formasi lapangan S. Tegangan antarmuka (IFT) antara minyak mentah
dan air garam (brine) merupakan variabel penting dalam perpindahan air/minyak yang tergantung
pada komponen pH, minyak mentah dan komposisi fase berair. Semakin kecil nilai tegangan
antaramuka yang dihasilkan oleh surfaktan, semakin baik surfaktan tersebut untuk digunakan pada
tahap formulasi.
Surfaktan APG komersil masing-masing dilarutkan sebesar 0.3 % dalam air formasi lapangan
S. Hal ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh SBRC-IPB yaitu formula dengan
konsentrasi surfaktan 0.3 % menghasilkan nilai IFT terkecil dan lebih feasible untuk diterapkan
dilapangan. Allen and Robert (1993) serta Mulyadi (2000) menyatakan, untuk mengatasi masalah
minyak tertinggal didalam pori-pori sebagai by passed oil dapat diatasi dengan menginjeksikan 1-3 %
surfaktan ke dalam formasi. Air formasi yang digunakan merupakan air yang berasal dari reservoir
lapangan S. Pada proses pemilihan serta formulasi, air formasi yang digunakan telah mengalami
proses penyaringan secara bertahap mulai dari saringan 500 mesh, kertas saring pori-pori 21 µm,
kertas saring membran 0.45 µm, hingga terakhir dengan menggunakan kertas saring membran 0.22
µm. Proses penyaringan ini dilakukan berdasarkan prosedur yang telah dilakukan oleh Lemigas.
Prosedur analisis air formasi Lapangan S dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis yang dilakukan
pihak SBRC-IPB terhadap Air Formasi Lapangan S dapat dilihat pada Tabel 5.

25
Tabel 5. Hasil analisis air formasi Lapangan S
Parameter Air Formasi Lapangan S
pH 7.65
Viskositas (cP) 1.05
Densitas (g/cm3) 0.9755

Surfaktan APG komersil yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik
kelima jenis surfaktan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakteristik Surfaktan Alkil Poliglikosida (APG) SK-50


Karakteristik SK-02 SK-03 SK-05 SK-06 SK-50
Bahan Aktif (%) 58.0-62.0 48.0-52.0 48.0-52.0 68.0-72.0 48.0-52.0
HLB 13.2 13.1 12.1 13.6 11.6
Densitas (kg.liter) 1.14 1.11 1.08 1.17 1.07
Viskositas (cPs) 2,800 4000 21,500 4,800 17,000
pH pada 10% 11.5-12.5 7.0-9.5 11.5-12.5 7.0-9.5 11.5 -12.5
larutan
Warna (gardener) 0-4 0-7 0-4 0-4 0-3
Sumber : PT. Cognis Indonesia

Kandungan bahan aktif surfaktan-surfaktan APG yang digunakan berada pada kisaran 48.0% -
72%. Kandungan bahan aktif menandakan banyaknya bahan aktif dalam surfaktan yang berfungsi
sebagai penurun tegangan pada bahan. Nilai HLB digunakan untuk mengidentifikasi emulsifikasi
yang dihasilkan. HLB yang rendah akan membentuk emulsi water- in- oil (w/o). Sedangkan HLB
yang tinggi akan membentuk emulsi oil-in-water (o/w) (Suryani, et al.,2002). Masing-masing
surfaktan APG yang digunakan memiliki nilai HLB yang tinggi, sehingga emulsi yang akan
dihasilkan yaitu emulsi Oil-in-water (o/w), artinya minyak terdispersi di dalam air. Nilai HLB
surfaktan APG yang digunakan berada pada kisaran 12.1 sampai 13.6. Nilai HLB pada rentang
tersebut berdasarkan konsep Grifin dapat digunakan sebagai detergen, solubilizer, dan dispersant.
Penampakan masaing-masing surfaktan dibedakan oleh tingkatan warna. Penampakan visual dari
kelima jenis surfaktan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Penampakan visual masing-masing surfaktan alkil poliglikosida

26
Nilai tegangan antar muka yang dihasilkan antara minyak lapangan S dengan masing-masing
larutan surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 6. Berdasarkan nilai tersebut dapat dilihat
perbandingan kinerja dari masing-masing surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka.
Surfaktan SK-02 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 5.58x10-2 dyne/cm,
surfaktan SK-03 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 5.50x10-2 dyne/cm,
surfaktan SK-05 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 1.99x10-2 dyne/cm,
surfaktan SK-06 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 2.91x10-2 dyne/cm,
dan surfaktan SK-50 memiliki kemampuan menurunkan tegangan antarmuka sampai 1.92x10-2
dyne/cm. Perbandingan dari masing-masing surfaktan dalam menurunkan nilai tegangan antarmuka
dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 13.

6.0E-02
0.0558 0.0550

5.0E-02

APG SK-02
4.0E-02
Nilia IFT (dyne/cm)

APG SK-03
0.0291
3.0E-02 APG SK-05

0.0199 APG SK-06


0.0192
2.0E-02
APG SK-50

1.0E-02

0.0E+00
Kode Surfaktan

Gambar 13. Perbandingan Kinerja Surfaktan terhadap Penurunan Nilai Tegangan Antarmuka

Perbedaan nilai tegangan antarmuka surfaktan APG SK-05 dan APG SK-50 sangat kecil yaitu
hanya sekitar 0.0007 dyne/cm atau sebesar 7x10 -4 dyne/cm. Perbedaan yang sangat kecil pada tahap
awal formulasi sangat berpengaruh terhadap hasil tahap selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan
membandingan nilai tegangan antarmuka masing-masing surfaktan saat dicampurkan dengan NaCl
konsentrasi 3000 ppm sampai 9000 ppm. Penggunaan konsentrasi ini bertujuan untuk melihat
pengaruh dari perbedaan tegangan antarmuka kedua surfaktan tersebut. Hasil perbandingan dapat
dilihat pada Gambar 14.

1.5E-02
0.0140
Nilai IFT (dyne/cm)

0.0108
1.0E-02 0.0112
0.0091
0.0081
0.0089
0.0082

0.0062
5.0E-03
3000 5000 7000 9000
Konsentrasi NaCl(ppm)
APG SK50 APG SK05

Gambar 14. Perbandingan penurunan nilai IFT surfaktan APG SK05 dan APG SK50

27
Gambar tersebut menunjukkan bahwa nilai penurunan tegangan antarmuka surfaktan APG
SK-50 lebih rendah dibandingkan dengan surfaktan APG SK-05. Hal ini membuktikan bahwa
perbedaan yang kecil pada formulasi awal sangat berpengaruh terhadap formulasi selanjutnya.
Sehingga surfaktan yang dipilih untuk formulasi tahap lanjut yaitu surfaktan APG SK-50.

4.4. FORMULASI SURFAKTAN

Formulasi surfaktan merupakan tahapan untuk menentukan performa terbaik dari surfaktan
yang digunakan. Tahapan ini juga merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya yaitu pemilihan
surfaktan. Pada tahap ini, surfaktan yang digunakan diformulasikan untuk mendapatkan formula yang
mampu menurunkan tegangan antamuka (IFT) antara minyak-air dan merubah sifat batuan yang suka
minyak (oil wet) menjadi suka air (water wet).
Tahapan formulasi surfaktan dilakukan melalui tahapan terstruktur yaitu dimulai dari
optimalisasi salinitas, optimalisasi alkali, sampai optimalisasi co-surfaktan jika belum didapatkan
nilai tegangan antarmuka optimal. Menurut BP MIGAS (2009), karakteritik formula surfaktan yang
diharapkan untuk tahapan EOR (Enhanced Oil Recovery) harus dapat menurunkan nilai tegangan
antar muka/ IFT 10-3–10-6 dyne/cm. Menurut Lemigas (2002), Efektifitas surfaktan dalam
menurunkan teganan antarmuka minyak-air dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jenis
surfaktan yang digunakan, konsentrasi surfaktan dan co-surfaktan yang digunakan, kadar garam
larutan dan adsorpsi larutan co-surfaktan. Tahapan formulasi surfaktan dapat dilihat lebih jelas pada
Gambar 15.

Surfaktan APG SK-50

Optimalisasi Salinitas

Salinitas Optimum

Optimalisasi Alkali

Optimalisasi Co-Surfaktan

≤ IFT 10-3 dyne/cm

Aplikasi Enhanced Water Flooding

Gambar 15. Tahapan Formulasi Surfaktan untuk aplikasi EOR

4.4.1. Optimalisasi Salinitas

Optimalisasi salinitas bertujuan untuk mengetahui performa terbaik larutan surfaktan APG
SK-50 pada kondisi salinitas optimum pada air formasi lapangan S. Nelson dan Pope (1978)

28
mendefinisikan salinitas optimal sebagai kondisi dimana IFT antara minyak, mikroemulsi dan air
terendah. Selain itu, mereka juga mengatakan optimal salinitas penting sebagai parameter
peningkatan perolehan minyak berbasis surfaktan dan membantu estimasi kinerja surfaktan.
Setiap surfaktan memiliki kondisi salinitas yang berbeda-beda untuk dapat bekerja optimal
dalam menurunkan tekanan antar permukaan didalam reservoir. Ashrawi (1984) menyatakan, Jenis
surfaktan yang digunakan dalam injeksi kimia/surfaktan harus disesuaikan dengan konsidi reservoir
terutama kadar garam, suhu dan tekanan karena akan mempengaruhi daya kerja surfaktan untuk
menurunkan tegangan antarmuka (IFT minyak-air). Selain itu, optimalisasi salinitas juga bertujuan
untuk mengoptimalkan kadar garam dalam air formasi.
Optimalisasi salinitas dilakukan dengan menambahkan bahan kimia Natrium Klorida (NaCl)
dalam larutan surfaktan. Untuk mengetahui kondisi optimum tersebut, dilakukan penambahan NaCl
dengan konsentrasi yang berbeda taraf mulai dari yang terendah hingga yang terbesar yaitu 1000
ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, serta 9000 ppm. Selanjutnya, sebanyak 0.3 % surfaktan
dicampurkan dengan air formasi pada masing-masing taraf tersebut. Selanjutnya, masing-masing
larutan tersebut diuji nilai IFT-nya untuk mengetahui hubungan dengan konsentrasi NaCl yang
digunakan. Nilai IFT pada masing-masing konsentrasi NaCl dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran
7. Grafik yang menunjukkan hubungan antara niai IFT yang dihasilkan dengan konsentrasi NaCl
yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 16.

2.5E-02
2.32E-02

2.0E-02
1.79E-02
Nilai IFT (dyne/cm)

1.5E-02

1.12E-02 9.08E-03
1.0E-02
8.94E-03

6.20E-03
5.0E-03

0.0E+00
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Konsentrasi NaCl (ppm)

Gambar 16. Perbandingan konsentrasi NaCl dalam larutan surfaktan terhadap penurunan tegangan
antar permukaan

Hasil tersebut menunjukkan kinerja formula surfaktan APG SK-50 dalam menurunkan
tegangan antar muka memiliki kecenderungan menurun pada konsentrasi 0 ppm sampai konsentrasi
7000 ppm dan memiliki kecenderungan naik pada konsentrasi selanjutnya dengan slope positif.
Surfaktan APG SK-50 merupakan surfaktan nonionic, surfaktan ini tidak memiliki muatan atau tidak
terionisasi pada bagian hidrofiliknya. Sifat hidrofilik pada surfaktan ini disebabkan karena
keberadaan gugus oksigen eter atau hidroksil (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Surfaktan ini akan
menyebabkan water wet baik pada batuan karbonat maupun sandstone (Allen and Robert, 1993;
Mulyadi, 2002).
Poppy dan Setiasih (2007) menyatakan berdasarkan pengujian pada kertas lakmus merah dan
biru. Garam NaCl tidak mengubah warna lakmus merah menjadi biru atau lakmus biru menjadi
merah. Hal ini menunjukkan bahwa NaCl bersifat netral. NaCl bersifat mudah larut dalam air dan
membentuk ion Na+ dan Cl-. Ion Na+ akan bereaksi dengan gugus hidroksil pada surfaktan

29
membentuk basa. Basa yang terbentuk dapat melarutkan minyak sehingga tegangan antarmuka
minyak dan air akan menurun. Proses reaksi ini mencapai kesetimbangan pada konsentrasi garam
optimal yaitu pada konsentrasi NaCl 7000 ppm. Penambahan konsentrasi garam pada titik ini tidak
akan berpengaruh terhadap reaksi yang dihasilkan melainkan dapat meningkatkan nilai IFT antara
minyak dan air. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Ajith et,al. (1994) dan Sampath (1998)
menunjukkan bahwa nilai IFT meningkat seiring dengan meningkatnya salinitas atau kadar
garam. Ion Na+ yang tidak bereaksi akan mengikat minyak sehingga menghambat atau menghalangi
pengikatan minyak oleh gugus lipofilik surfaktan. Hal ini mengurangi gaya adhesi antara minyak
dengan surfaktan sehingga tegangan antarmuka surfaktan dan air akan meningkat.
Berdasarkan hal tersebut maka konsentrasi yang dipilih yaitu 7000 ppm NaCl. Pada
konsentrasi tersebut, didapatkan nilai IFT yang terkecil atau optimum. Selanjutnya, larutan surfaktan
dengan salinitas optimum 7000 ppm diformulasikan lagi dengan menggunakan aditif/alkali untuk
melihat kemungkinan penurunan nilai IFT antara larutan surfaktan-minyak lapangan S.

4.4.2. Optimalisasi Alkali

Larutan surfaktan dengan konsentrasi salinitas 7000 ppm kemudian dioptimalisasi dengan
menggunakan alkali. Optimalisasi alkali merupakan tahap lanjutan dari optimalisasi salinitas. Proses
optimalisasi alkali yang dilakukan bertujuan untuk menurunkan nilai tegangan antarmuka yang telah
diperoleh dari formulasi sebelumnya. Menurut Technology Assessment Board (1978) larutan yang
diinjeksikan pada umumnya mengandung 95 % air formasi/air injeksi (brine), 4% surfaktan, dan
1% aditif. Aditif biasanya berupa alkali yang ditambahkan untuk mengatur viskositas larutan. Alkali
yang digunakan adalah NaOH (natrium hidroksida) dan Na2CO3 (natrium karbonat). Sugihardjo et
al. (2002) menyatakan bahwa alkali/aditif yang boleh dipergunakan adalah natrium hidroksida
(NaOH) dan natrium karbonat (Na2CO3) dengan batas maksimal penggunaan 1% untuk
memaksimalkan kinerja surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka.
NaOH merupakan basa kuat sedangkan Na2CO3 merupakan garam basa. Penggunaan dua
alkali ini didasarkan pada kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebagai bahan pembersih.
NaOH biasa digunakan dalam sabun dan pembersih, sedangkan Na2CO3 biasanya digunakan sebagai
bahan alat pembersih. Selain itu Jackson (2006) juga menyatakan bahwa penambahan natrium
karbonat/sodium carbonate digunakan karena dapat menurunkan adsorpsi surfaktan anionik pada
batuan reservoir. Karenanya, perambatan / aliran surfaktan dapat lebih cepat dan memungkinkan
lebih sedikit surfaktan yang diinjeksi. Besarnya nilai pH yang dihasilkan dari penambahan natrium
karbonat telah membantu menjaga kestabilan beberapa surfaktan dan dapat pula digunakan dalam
memperbaiki hidrasi polimer. Penggunaan dua bahan ini berfungsi sebagai zat aditif dalam
menurunkan nilai IFT minyak dan air. Dalam formula, penambahan zat aditif maksimal sebanyak
1% atau 10000 ppm agar formula tetap ekonomis untuk digunakan. Penggunaan masing-masing
alkali divariasikan dengan rentang 1000 ppm, 3000 ppm, 5000 ppm, 7000 ppm, dan 9000 ppm.
Kinerja masing-masing alkali dalam menurunkan nilai IFT larutan surfaktan–minyak lapangan
S dapat dilihat lebih jelas pada Lampiran 8. Sementara, grafik hubungan antara nilai IFT yang
dihasilkan masing-masing alkali ditunjukkan oleh Gambar 17.

30
1.0E-02

8.0E-03

Nilai IFT (dyne/cm)


6.0E-03

4.0E-03

2.94E-03 2.77E-03
2.0E-03

0.0E+00
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000
Konsentrasi Alkali (ppm)

NaOH Na2CO3

Gambar 17. Perbandingan kinerja masing-masing alkali terhadap penurunan nilai IFT

Grafik tersebut menunjukkan nilai IFT yang dihasilkan pada masing-masing alkali. Pada
NaOH, penambahan konsentrasi sebesar 1000 ppm dapat menurunkan nilai IFT formula sampai
2,94x10-3 dyne/cm. Pada penambahan konsentrasi NaOH yang lebih besar, memiliki kecenderungan
untuk meningkatkan nilai IFT. NaOH merupakan basa kuat, sehingga penambahan sedikit saja pada
larutan dapat mempengaruhi pH yang dihasilkan. Minyak lapangan S yang digunakan memiliki pH
asam dengan nilai 4.58. Reaksi antara basa kuat dan asam akan menyebabkan terjadinya reaksi
penetralan ditandai dengan terbentuknya garam. Selain itu, gugus lipofilik surfaktan berasal dari
minyak nabati. Campuran antara NaOH dengan minyak menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi
atau penyabunan. Pada penambahan NaOH 1000 ppm, reaksi saponifikasi memiliki reaksi yang lebih
besar dibandingkan reaksi penetralan. Sehingga, pada konsentrasi ini terjadi penurunan nilai IFT.
Namun, pada penambahan NaOH lebih besar dari 1000 ppm diduga reaksi penetralan lebih besar
sehingga garam yang dihasilkan semakin banyak. Garam yang dihasilkan menyebabkan terjadinya
peningkatan nilai IFT antara formula dengan minyak.
Sedangkan pada Na2CO3 , semakin banyak konsentrasi yang ditambahkan justru semakin
menurunkan nilai IFT dengan nilai minimum pada konsentrasi 9000 ppm dengan nilai IFT sebesar
2,77x10-3 dyne/cm. Na2CO3 merupakan senyawa garam yang bersifat basa. Alkali ini dapat bereaksi
dengan asam lemak pada gugus lipofil surfaktan membentuk reaksi saponifikasi atau penyabunan.
Berbeda dengan NaOH, garam tidak membentuk reaksi penetralan dengan minyak. Sehingga,
penambahan Na2CO3 dengan konsentrasi yang semakin meningkat akan meningkatkan reaksi
saponifikasi yang dapat menurunkan nilai IFT formula dengan minyak. Penurunan nilai IFT ini
berbanding lurus dengan peningkatan konsentrasi Na2CO3.
Berdasarkan hasil tersebut, terlihat bahwa Na2CO3 menghasilkan nilai IFT yang lebih kecil
daripada NaOH yaitu 2,77x10-3 dyne/cm untuk Na2CO3 dan 2,94x10-3 dyne/cm NaOH. Namun,
untuk mencapai nilai optimal alkali tersebut Na2CO3 membutuhkan konsentrasi yang lebih besar
dibandingkan NaOH. Sehingga, alkali yang digunakan sebagai formulasi surfaktan untuk aplikasi
Enhanced Water Flooding yaitu NaOH. Hal ini didasarkan kepada nilai ekonomis dari penggunaan
alkali NaOH yang lebih besar dibanding Na2CO3 , sementara nilai IFT yang dihasilkan tidak berbeda
nyata. Menurut Allen dan Roberts (1993), untuk memenuhi target yang hendak dicapai dalam
penerapan EOR, selain pertimbangan karakteristik minyak dan reservoir, yang juga perlu
diperhatikan adalah nilai ekonomis dari proyek EOR tersebut.

31
4.5. UJI KINERJA FORMULA SURFAKTAN

4.5.1. Uji Thermal Stability

Uji thermal stability bertujuan untuk mengetahui kestabilan formula larutan surfaktan yang
akan digunakan terhadap suhu reservoir lapangan minyak. Suhu pada reservoir lapangan minyak
lebih tinggi dibandingkan dengan suhu ruang. Kondisi thermal merupakan salah satu faktor yang
berpengaruh terhadap degradasi formula surfaktan. Menurut Sugihardjo (2001), salah satu faktor
yang mempengaruhi efektifitas formula surfaktan selama mengalir dalam media berpori adalah
degradasi formula surfaktan. Terdapat beberapa parameter yang digunakan untuk melihat terjadinya
degradasi formula surfaktan terhadap suhu antara lain; tegangan antarmuka (IFT), densitas, nilai pH,
dan viskositas. Pengujian dilakukan pada suhu 70 0C selama minimal satu bulan. Nilai IFT, densitas,
pH, serta viskositas dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil pengujian Thermal Stability formula surfaktan pada suhu reservoir
Waktu pengamatan Nilai IFT Densitas Nilai Viskositas
(Ts) hari (dyne/cm) (gram/cm3) pH (cP)
0 4,74x10-03 0,990 8,50 0,70
-03
7 5,43x10 0,991 9,00 0,69
14 1,01x10-03 0,991 9,00 0,69
-03
21 1,87X10 0,990 8,75 0,69
-03
30 1,79x10 0,991 8,75 0,69

Nilai IFT yang didapat dari pengujian Thermal selama 30 hari menunjukkan hasil yang
berfluktuasi. Pada minggu pertama formula surfaktan berada pada nilai IFT tertinggi. Kemudian, pada
minggu selanjutnya formula surfaktan berada pada nilai IFT terendah dari minggu sebelumnya.
Lama pemanasan terhadap formula surfaktan seharusnya mendegradasi formula surfaktan tersebut
sehingga nilai IFT yang dihasilkan mengalami peningkatan. Rosen (2004) menyatakan bahwa
degradasi surfaktan menyebabkan surfaktan kehilangan komponen aktifnya. Menurut Buckley (1996),
jumlah bahan aktif permukaan tidak dapat diukur secara langsung. Tapi mereka dapat disimpulkan
oleh perubahan sifat antarmuka termasuk mobilitas IFT dan elektroforesis dengan komposisi air
garam. Hal ini membuat perubahan terhadap densitas pada larutan tidak bisa dikaitkan dengan jumlah
bahan aktif pada larutan surfaktan tersebut. Perbedaan jumlah bahan aktif yang terdapat pada larutan
surfaktan pada waktu pengamatan yang berbeda menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai IFT dari hari
ke-0 hingga kari ke-30. Perbedaan nilai IFT ini selain dipengaruhi oleh lama pemanasan, juga
disebabkan oleh berubahnya pH fase larutan.
Perbedaan nilai IFT pada hari ke-0 sampai hari ke-30 tidak terlalu signifikan yaitu masih dalam
kisaran 10-3 dyne/cm, sehingga dapat dikatakan surfaktan APG SK-50 memiliki stabilitas yang cukup
baik terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama pemanasan terhadap nilai IFT yang dihasilkan
dapat dilihat pada Gambar 18.

32
1.5E-02

Nilai IFT (dyne/cm)


1.0E-02

4.89E-03 5.43E-03
5.0E-03

1.87E-03 1.79E-03
1.01E-03
0.0E+00
0 5 10 15 20 25 30
Hari ke-

Gambar 18. Grafik hubungan lama pemanasan terhadap nilai IFT

Nilai pH (derajat keasaman) digunakan untuk menyatakan tingkat keasaman atau kebasaan
suatu bahan. Pengukuran nilai pH dilakukan untuk mengetahui pengaruh panas terhadap tingkat
keasaman larutan surfaktan. Suatu bahan berada pada kondisi pH netral jika bahan dengan pH 7
sedangkan suatu bahan bersifat asam jika bahan dengan pH berkisar antara 0–6 serta suatu bahan
bersifat basa jika bahan dengan pH berkisar antara 8–14. Pengukuran nilai pH dilakukan dengan
menggunakan kertas lakmus.
Nilai pH formula surfaktan SK-50 sebelum pemanasan bersifat basa dengan pH berkisar antara
8.5. Air formasi lapangan S bersifat basa dengan pH 7.65, surfaktan APG SK-50 bersifat basa dengan
pH 11.5 – 12.5 pada 10 % larutan. Selain itu, penambahan NaCl serta NaOH kemungkinan juga
mempengaruhi nilai pH pada formula surfaktan ini. Hasil pengujian thermal selama 30 hari
menunjukkan peningkatan nilai pH pada minggu pertama dan kedua, sedangkan pada minggu
berikutnya mengalami penurunan hingga mencapai pH yang relative stabil dengan nilai 8.75.
Surfaktan alkil poliglikosida (APG) merupakan jenis surfaktan nonionik. Pada surfaktan nonionik
tidak bermuatan atau tidak terjadi ionisasi molekul. Sifat hidrofilik disebabkan karena keberadaan
gugus oksigen eter atau hidroksil. (Matheson, 1996; Rosen, 2004). Sifat ini membuat surfaktan APG
sangat kompatibel dengan bahan kimia lainnya yang digunakan dalam operasi produksi sumur
minyak, serta karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan surfaktan Alkil Poliglikosida
(APG). Proses pemanasan dapat mempercepat tumbukan molekul-molekul yang terdapat dalam
formula surfaktan. Namun, pada surfaktan APG SK-50 lama pemanasan tidak mempengaruhi nilai pH
secara nyata. Hal ini disebabkan karena surfaktan APG bersifat nonionik sehingga suhu tidak
menyebabkan molekul surfaktan terionisasi yang dapat merubah nilai pH larutan. Perubahan pH yang
terjadi kemungkinan disebabkan oleh interaksi penyusun formula surfaktan yang lainnya.
Hubungan antara lama pemanasan dengan nilai pH ditunjukkan pada Gambar 19.

33
10

9 9.00 9.00
8.75 8.75
8.50

Nilai pH
8

6
0 5 10 15 20 25 30
Hari ke-

Gambar 19. Grafik hubungan lama pemanasan dengan nilai pH formula surfaktan

Nilai tegangan antarmuka memiliki hubungan dengan nilai pH. Pada formula surfaktan APG
SK-50 optimal, konsentrasi NaOH menyebabkan terjadinya reaksi saponifikasi atau penyabunan.
Reaksi ini membentuk surfaktan in-situ saat digunakan dengan minyak lapangan S yang bersifat asam.
Surfaktan in-situ yang terbentuk pada reaksi ini dapat menurunkan tegangan antarmuka. Buckley dan
Fan (2005) menyatakan bahwa ketika pH fase berair sangat tinggi atau sangat rendah, komposisi
kelompok-kelompok fungsional asam dan basa pada minyak mentah dapat bereaksi membentuk
surfaktan in-situ. Surfaktan ini lebih lanjut dapat mengubah IFT sebagai fungsi waktu.
Degradasi pada formula surfaktan menyebabkan surfaktan tersebut terurai menjadi senyawa-
senyawa yang memiliki berat molekul lebih kecil. Hal ini menyebabkan densitas yang dihasilkan dari
formula surfaktan tersebut semakin kecil. Pada formula surfaktan APG SK-50, perbedaan densitas
terhadap lama pemanasan tidak terlalu signifikan yaitu hanya sekitar 10 -4 gram/cm2, sehingga dapat
dikatakan bahwa lama pemanasan tidak begitu berpengaruh terhadap struktur molekul surfaktan APG
SK-50. Hubungan antara lama pemanasan terhadap densitas formula surfaktan dapat dilihat pada
Gambar 20.

1.05
Nilai Densitas (gram/cm3)

1.00 0.991
0.990 0.991 0.991 0.990

0.95
0 5 10 15 20 25 30
Hari ke-

Gambar 20. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan densitas formula surfaktan

Viskositas merupakan salah satu sifat fluida yang menunjukkan cepat atau lambatnya fluida
tersebut mengalir. Viskositas dipengaruhi oleh ukuran dan gaya antar molekul fluida tersebut. Satuan
viskositas yaitu poise. Satu poise berarti viskositas larutan ketika 1 dyne gaya bekerja pada 1cm2
penampang luas suatu plat dimana untuk jarak 1 cm menyebabkan laju aliran sebesar 1 cm/detik.

34
Berdasarkan definisi tersebut, semakin besar viskositas suatu fluida maka semakin kental/viskos fluida
tersebut dan semakin lambat untuk mengalir.
Hasil uji thermal formula surfaktan menunjukkan bahwa viskositas formula surfaktan
berfluktuasi terhadap lama pemanasan. Pada minggu pertama nilai viskositas menurun. Kemudian
pada minggu berikutnya viskositas kembali naik dan terus berfluktuasi pada minggu selanjutnya.
Seharusnya lama pemanasan mempengaruhi viskositas suatu fluida. Menurut Holmberg (2003), suhu
yang tinggi dengan waktu pemanasan yang lama menyebabkan degradasi ikatan antar molekul suatu
fluida. Ikatan molekul yang terdegradasi berdampak terhadap pemutusan ikatan antar molekul
sehingga mengakibatkan penurunan nilai densitas dan nilai viskositas suatu bahan. Selain itu,
Purwantana (2005) menyatakan bahwa viskositas suatu bahan pada umumnya sangat tergantung pada
suhu, viskositas turun dengan kenaikan suhu. Degradasi molekul suatu fluida menyebabkan
konsentrasi partikel berkurang sehingga menyebabkan penurunan nilai densitas dan viskositas fluida
tersebut. Adanya fluktuasi nilai viskositas ini antara lain disebabkan oleh kerusakan serta ketidak
homogenan formula surfaktan sehingga hasil pengukuran berfluktuasi. Namun demikian, perbedaan
nilai viskositas formula surfakatan APG SK-50 tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
formula surfaktan tersebut tidak mengalami degradasi yang terlalu besar sehingga dapat dikatakan
bahwa viskositas formula surfakatan tersebut stabil terhadap lama pemanasan. Hubungan antara lama
pemanasan dengan nilai viskositas dapat dilihat pada Gambar 21.

0.80
Nilai Viskositas (cP)

0.75

0.70 0.70 0.70


0.70 0.69 0.69

0.65

0.60
0 5 10 15 20 25 30
Hari ke-

Gambar 21. Grafik hubungan antara lama pemanasan dengan viskositas formula surfaktan

4.5.2. Uji Phase Behavior

Uji phase behavior bertujuan untuk melihat terbentuknya fasa antara larutan surfaktan dengan
minyak bumi. Uji ini juga digunakan untuk mengetahui compatibility atau kecocokan antara surfaktan
dengan fluida minyak. Terdapat empat tipe kelakuan fasa yaitu emulsi fasa bawah dan terjadi
kelebihan fasa minyak (excess oil). Kedua adalah tipe fasa tengah (mikroemulsi), terdiri dari 3 fasa,
terjadi kelebihan air dan juga minyak. Ketiga adalah tipe emulsi fasa atas (minyak) dengan kelebihan
fasa air (excess water), dan keempat adalah tipe makroemulsi.
Menurut Levitt (2006), kelakuan fasa mikroemulsi dideskripsikan sebagai Winsor tipe I, tipe
II dan tipe III. Perubahan kelakuan fasa dapat terjadi akibat perubahan salinitas, suhu, struktur
surfaktan atau equivalent alkane carbon number (EACN) pada minyak. Pada salinitas rendah, tipe I
atau mikroemulsi minyak-dalam-air baru terjadi diakibatkan oleh kelebihan fasa air. Pada salinitas
sangat tinggi, tipe II atau mikroemulsi air-dalam-minyak terbentuk diakibatkan oleh kelebihan fasa
minyak. Tipe III atau fasa yang terbentuk di antara tipe I dengan tipe II dimana mikroemulsi minyak

35
dan air terbentuk yang dikenal sebagai fasa tengah serta terjadi keseimbangan antara kelebihan fasa air
dengan kelebihan fasa minyak.
Penentuan kelakuan fasa campuran surfaktan-air-minyak merupakan faktor penting dalam
memperkirakan kinerja peningkatan perolehan minyak dengan proses injeksi surfaktan. Jenis emulsi
yang paling diharapkan dalam proses EOR/injeksi surfaktan adalah emulsi fasa tengah (Fase Form III)
atau mikroemulsi atau paling tidak emulsi fasa bawah (Lemigas, 2002). Pada kondisi tersebut nilai
tegangan antar muka yang dihasilkan adalah nilai IFT yang sangat rendah sehingga proses pendesakan
minyak bumi pun dapat dipastikan berjalan efektif. Kondisi mikroemulsi dapat dicapai dengan
beberapa faktor salah satunya yaitu konsentrasi surfaktan yang digunakan. Mikroemulsi/fasa tengah
membutuhkan konsentrasi lebih tinggi dibanding dengan fasa bawah maupun fasa atas. Selain itu,
kelakuan fasa tengah/mikroemulsi dipengaruhi juga oleh salinitas air pelarut, suhu, jenis dan
konsentrasi alkohol, serta jenis minyak yang digunakan. (Lemigas,2001)
Penentuan uji phase behavior dilakukan secara visual dengan membandingkan antara fasa
larutan surfaktan terhadap fasa minyak. Pengamatan dilakukan selama minimal 1 bulan pada suhu
reservoir 700C. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa kelakuan fase yang terbentuk adalah fase
bawah dimulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30. Pada hari ke-7 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05
ml. Pada hari ke-14 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.075 ml. Pada hari ke-21 terjadi kelebihan
emulsi sebesar 0.05-0.075 ml. Sedangkan pada hari ke-30 terjadi kelebihan emulsi sebesar 0.05-0.1
ml. Terjadinya kelebihan air ini mengindikasikan bahwa kinerja larutan surfaktan baik hingga hari
ke-30. Hasil pengamatan phase behavior dapat dilihat dengan jelas pada Gambar 22.

I II I II I II I II I II

T0 T7 T14 T21 T30


Gambar 22. Pengamatan phase behavior hari ke-0 sampai hari ke-30.

Terbentuk warna putih susu mulai dari hari ke-7 sampai hari ke-30 diperkirakan karena
terlarutnya molekul minyak kedalam formula surfaktan. Terlarutnya molekul minyak disebabkan oleh
perbedaan densitas yang kecil antara minyak lapangan S dan formula surfaktan yaitu sebesar 0.916
untuk densitas minyak dan 0.991 untuk densitas formula surfaktan. Selain itu, adanya NaOH pada
formula surfaktan dapat melarutkan minyak sehingga minyak terdispersi dalam formula surfaktan.
Untuk mengamati terjadinya pelarutan minyak dalam surfaktan dilakukan uji mikroskop. Hasil
pengamatan dengan mikroskop menunjukkan partikel yang mampu ditangkap oleh mikroskop
berukuran 2.7 – 21.5 µm (Gambar 23). Partikel tersebut merupakan partikel minyak yang terlarut
dalam formula surfaktan.

36
Gambar 23. Hasil pengamatan emulsi phase behavior dengan menggunakan mikroskop

Pada uji ini juga dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Jika selama pengamatan
hanya terbentuk dua fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan : Po = Kelarutan minyak


Vo = Volume minyak awal
Vo’ = Volume minyak selama pengamatan
Vs = Volume surfaktan

Lain halnya terbentuk tiga fasa dimana dilihat kelarutan air terhadap lama pemanasan. Jika selama
pengamatan terbentuk tiga fasa maka digunakan perhitungan sebagai berikut :

Keterangan : Pw = Kelarutan air


Vw = Volume air awal
Vw’= Volume air selama pengamatan
Vs = Volume surfaktan

Berikut ini adalah ilustrasi kelakuan fasa dalam perhitungan :

Vo Vo’ Vo’

emulsi

Vw Vw’ Vw’

(a) (b) (c)

Gambar 24. (a) Kelakuan fasa awal; (b) Terbentuk dua fasa; (c) Terbentuk tiga fasa

Selama 30 hari pengamatan yang telah dilakukan diketahui bahwa kelakuan fasa yang
terbentuk adalah fasa bawah. Pada fasa bawah hanya terbentuk dua fasa yaitu fasa air dan fasa

37
minyak. Oleh karena itu, dilihat kelarutan minyak terhadap lama pemanasan. Berikut ini adalah grafik
hubungan antara kelarutan minyak (Po) terhadap lama pemanasan :

0.04

0.032
0.035
0.03
0.030

Po
0.02
0.020

0.01

0
0 5 10 15 20 25 30
Hari ke-
Gambar 25. Grafik hubungan antara kelarutan minyak dengan lama pemanasan

Berdasarkan grafik di atas diketahui bahwa kelarutan minyak (Po) meningkat seiring dengan
lama pemanasan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa emulsi yang terbentuk berada pada fase air
sehingga menambah volume air dan mengurangi volume minyak. Kelarutan minyak tersebut
menunjukkan kinerja formula surfaktan yang baik karena formula surfaktan mampu membentuk
emulsi.

4.5.3. Uji Filtrasi

Uji filtrasi bertujuan untuk mengetahui keberadaan butiran (precipitant) dalam larutan
surfaktan. Uji filtrasi dilakukan dengan mengalirkan formula surfaktan yang akan digunakan dengan
filtrasi secara bertahap mulai dari filtrasi 500 mesh, filtrasi 21 µm, sampai filtrasi 0.45 µm. Kemudian
dibuat grafik hubungan antara volume dan waktu dari filtrasi tersebut. Setelah dilihat hubungan
antara volume dan waktu, laju alir / filtration rate (Fr) dari surfaktan juga dihitung dengan
menggunakan rumus di bawah ini :

Keterangan: t100 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 100 ml


t200 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 200 ml
t400 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 400 ml
t500 = Waktu yang dibutuhkan untuk fluida mencapai 500 ml

Uji ini dilakukan terhadap dua jenis bahan yaitu air formasi dari Lapangan S dan formula
larutan surfaktan yang bertujuan untuk membandingkan laju alir dari masing-masing bahan. Hal ini
dilakukan untuk memperkirakan kecepatan aliran fluida yang akan diinjeksikan ke dalam reservoir.

38
Parameter lain yang diukur dari uji ini yaitu nilai IFT dari setiap tahap penyaringan. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap nilai IFT dari formula surfaktan.
Hasil penyaringan formula surfaktan dan air formasi pada filtrasi 500 mesh menghasilkan Fr
sebesar 1.39 dan 10.17. Hasil penyaringan dengan filtrasi 500 mesh dapat dilihat pada Lampiran 9.
Hal ini menunjukkan bahwa laju alir formula surfaktan yang digunakan lebih cepat dibandingkan
dengan laju alir air formasi lapangan S. Namun, hasil ini masih lebih besar dari 1.2 , sehingga bisa
dikatakan baik formula maupun air formasi belum memiliki kinerja laju alir yang baik. Grafik
perbandingan penyaringan antara air formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 26.

500

400
Volume (ml)

300 AF
Lapangan S
200 Formula
Surfaktan
100

0
0 50 100 150 200 250
Waktu Alir (detik)

Gambar 26. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtasi 500 mesh

Selanjutnya setelah penyaringan 500 mesh, masing-masing bahan disaring dengan filtrasi 21
µm. Hasil penyaringan menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibanding
dengan laju alir formula surfaktan yaitu dengan nilai 2.64 untuk air formasi dan 3.73 untuk larutan
surfaktan. Hasil penyaringan dengan filtrasi 21 µm dapat dilihat pada Lampiran 10. Grafik
perbandingan antara air formasi lapangan S dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 27.

500

400
Volume (ml)

AF
300 Lapangan S

Formula
200
Surfaktan

100

0
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500
Waktu Alir (detik)

Gambar 27. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 21 µm

Setelah melewati filtrasi 21 µm, masing-masing bahan kemudian disaring dengan


menggunakan filtasi 0.21 µm. Proses penyaringan dilakukan dengan memberikan tekanan sebesar 1.5
bar. Hal ini dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh Lemigas. Hasil penyaringan

39
menunjukkan bahwa laju alir air formasi lapangan S lebih cepat dibandingkan dengan laju alir formula
surfaktan yaitu dengan nilai 9.67 untuk air formasi dan 12.02 untuk formula surfaktan. Hasil
penyaringan dengan filtrasi 0.21 µm dapat dilihat pada Lampiran 11. Grafik perbandingan antara air
formasi dan formula surfaktan dapat dilihat pada Gambar 28.

500

400
Volume (ml)

300
AF
Lapangan S
200
Formula
Surfaktan
100

0
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000
Waktu Alir (detik)

Gambar 28. Grafik perbandingan uji filtrasi pada filtrasi 0.45 µm

Berdasarkan grafik perbandingan diatas, dapat dilihat bahwa laju alir dari air formasi dan
formula surfaktan masih diatas laju alir yang ditetapkan sebesar 1.2. Hal antara lain disebabkan oleh
ukuran molekul yang terdapat dalam air formasi maupun formula surfaktan sehingga dapat
menghambat laju alir dari surfaktan tersebut. Molekul yang terdapat pada formula surfaktan dapat
dilihat dengan menggunakan mikroskop. Hasil pengamatan oleh mikroskop dapat dilihat pada Gambar
29.

54.0µm
3.1µm

20.2µm

(a) (b)

41.9µm

136.4µm 77.2µm

14.3µm

(c) (d)
Gambar 29. Hasil pengamatan mikroskop molekul pada formula surfaktan. (a) Sebelum penyaringan
500 mesh (28 µm). (b) Sebelum penyaringan 21µm. (c) Sebelum penyaringan 0.45µm.
(d) Setelah penyaringan 0.45µm

40
Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa molekul formula surfaktan sebelum disaring
dengan menggunakan kain saring 500 mesh (28 µm) yang terlihat sebesar 54.0 µm. Ukuran molekul
tersebut lebih besar daripada ukuran pori-pori filtrasi. Molekul ini dapat menyumbat pori-pori filtrasi
sehingga laju alir surfaktan menjadi terhambat. Setelah disaring dengan menggunakan filtrasi 500
mesh, formula tersebut kemudian disaring dengan menggunakan filtrasi 21 µm. Molekul formula
surfaktan yang dapat teramati sebelum penyaringan sebesar 3.1 µm sampai 20.2 µm. Ukuran molekul
tersebut dapat melewati filtrasi 500 mesh dengan mudah. Namun, terbentuknya busa pada saat
penyaringan menyebabkan laju alir formula surfaktan tersebut terhambat. Terbentuknya busa ini
kemungkinan disebabkan adanya udara diantara filtrasi dan permukaan corong. Pembentukan busa
dapat dilihat pada Gambar 30.

Gambar 30. Pembentukan busa pada saat penyaringan

Formula surfaktan hasil penyaringan filtrasi 21µm memiliki molekul yang dapat teramati
sebesar 14.3 µm. Namun, molekul-molekul tersebut bersatu membentuk molekul gel dengan ukuran
136.4 µm. Formula surfaktan tersebut disaring dengan menggunakan filtrasi membran 0.45 µm
dengan tekanan dari gas nitrogen sebesar 1.5 bar. Pemberian tekanan bertujuan untuk menghindari
terbentuknya busa. Ukuran molekul yang lebih besar daripada pori-pori kertas membran menyebabkan
pori-pori kertas membran tersumbat sehingga laju alir formula surfaktan menjadi sangat lambat.
Proses penyatuan molekul kecil menjadi molekul yang lebih besar kemungkinan disebabkan oleh
reaksi antara ion-ion pada surfaktan dengan garam sehingga molekul-molekul tersebut saling
bergabung dan mengendap didasar formula.
Untuk melihat hubungan antara filtrasi dengan nilai tegangan antar muka (IFT) dan nilai
densitas formula surfaktan dilakukan uji IFT dan densitas pada setiap tahap penyaringan. Hasil uji IFT
dan densitas pada uji filtrasi dapat dilihat pada Lampiran 12. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT dapat
dilihat pada Gambar 31.

2.0E-03

1.5E-03
Nilai IFT (dyne/cm)

1.26E-03 1.28E-03
1.06E-03
1.0E-03 7.89E-04

5.0E-04

0.0E+00
tanpa saring 500 mesh 22 µm 0.45 µm

Gambar 31. Hubungan filtrasi dengan nilai IFT pada formula surfaktan APG SK-50

41
Selain itu, untuk mengetahui pengaruh filtrasi terhadap molekul-molekul formula surfaktan
dilakukan uji densitas. Hubungan antara filtrasi dengan nilai densitas formula surfaktan dapat dilihat
pada Gambar 32.
1.05

Nilai densitas (gram/cm)


1.00 0.99050 0.99030 0.99030 0.99046

0.95
tanpa saring 500 mesh 22 µm 0.45 µm
Gambar 32. Hubungan filtrasi dengan nilai densitas pada formula surfaktan APG SK-50

Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa proses filtrasi memiliki pengaruh terhadap
peningkatan nilai IFT. Hal ini dapat disebabkan oleh ikut tersaringnya bahan aktif yang terdapat pada
surfaktan sehingga kemampuan untuk menurunkan nilai IFT-nya berkurang. Namun, hal ini tidak
terjadi pada penyaringan dengan filtrasi 0.45 µm. Hal ini kemungkinan dikarenakan penyaringan
dengan filtrasi 0.45 µm merupakan penyaringan terakhir sehingga micelle yang terbentuk tidak
tersaring lagi sehingga nilai IFT kembali turun. Sedangkan untuk nilai densitas, berbanding erbalik
dengan nilai IFT dimana untuk nilai IFT yang menurun, nilai densitas mengalami peningkatan. Hal ini
kemungkinan dikarenakan micelle yang terbentuk ikut tersaring sehingga bobot molekulnya
berkurang, nilai densitas pun menurun yang menyebabkan naiknya nilai IFT karena kehilangan bahan
aktifnya.

4.6. ENHANCED WATER FLOODING

4.6.1. Karakteristik Minyak Bumi yang digunakan

Minyak bumi dari lapangan S yang dipakai dalam penelitian ini secara umum memiliki
karakteristik sebagai berikut.

Tabel 8. Karakteristik minyak bumi lapangan S


Parameter Nilai
Densitas (g/cm3) 0.91576
3
Spesifik grafity (g/cm ) 0.91667
o
Derajat API ( API) 22.8635
Aspaltine Positif (+)

Densitas didefinisikan sebagai massa dari satuan volume suatu fluida (minyak) pada kondisi
tekanan dan temperatur tertentu. Spesifik grafiti merupakan perbandingan dari densitas suatu fluida

42
(minyak) terhadap densitas air. Baik densitas air maupun fluida tersebut diukur pada kondisi yang
sama (60° F dan 14.7 Psia). Sedangkan, derajat API (API Gravity) merupakan satuan yang digunakan
untuk menyatakan berat jenis minyak dan digunakan sebagai dasar klasifikasi minyak bumi yang
paling sederhana. Klasifikasi minyak mentah didasarkan pada derajat API atau kerapatan relatif, jika
derajat API minyak mentah tinggi atau kerapatan relatif minyak mentah rendah, maka ada
kecenderungan bahwa minyak mentah tersebut mengandung fraksi ringan dalam jumlah yang besar.
Berdasarkan gravitas API atau kerapatan relatif, minyak mentah dibagi dalam 5 jenis minyak mentah,
yaitu: minyak mentah ringan, minyak mentah ringan sedang, minyak mentah berat sedang, minyak
mentah berat, minyak mentah sangat berat, seperti terlihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Klasifikasi Minyak Bumi Berdasarkan Derajat API dan Kerapatan Relatif
Jenis Minyak Gravitas API Kerapatan Relatif
Mentah Dari Sampai Dari Sampai
Ringan >39,0 <0,830
Medium Ringan 39,0 35,0 0,830 0,850
Medium Berat 35,0 35,0 0,850 0,865
Berat 35,0 24,8 0,865 0,905
Sangat Berat <24,8 >0,905
Sumber: Kontawa (1995)

Penentuan kerapatan relatif dilakukan untuk mengetahui golongan dari minyak mentah yang
diuji yang biasanya mengacu kepada harga minyak bumi. Berdasarkan data yang diperoleh, minyak
bumi yang dipakai pada penelitian ini termasuk kategori sangat berat dengan derajat API sebesar
22.86 dan kerapatan relatif/densitas 0.91576. minyak dalam kategori ini memiliki kecenderungan
bahwa minyak mentah tersebut mengandung banyak fraksi berat. Minyak dengan fraksi berat akan
dihargai lebih murah dibanding minyak yang mengandung fraksi ringan karena mengandung banyak
pengotor.
Selain itu, minyak mentah yang digunakan juga diuji kadar aspaltine untuk melihat komposisi
hidrokarbon secara umum. Selain itu, uji ini juga bertujuan untuk mengetahui polar atau tidaknya
suatu minyak dari kelarutannya dalam n-heksana. Apabila minyak mentah larut seluruhnya, maka
minyak tersebut bisa dikatakan non-polar dan sebaliknya. Hasil pengujian aspaltine minyak lapangan
S dapat dilihat pada Gambar 33.

(a) (b)

Gambar 33. (a) Sebelum uji aspaltine dan (b) Setelah uji aspaltine

43
Hasil tersebut menunjukkan bahwa minyak lapangan S mengandung sedikit aspaltine. Hal ini
dibuktikan dengan terbentuknya endapan pada setiap pengenceran. Sehingga dapat dikatakan bahwa
minyak lapangan S bersifat polar dan digolongkan ke dalam minyak mentah alkana. Irapati (2008)
mengatakan bahwa secara umum komposisi hidrokarbon minyak mentah terdiri dari dua komponen
yaitu komponen hidrokarbon dan non hidrokarbon. Berdasarkan sifat, susunan atau komposisi kimia
dalam minyak mentah dapat digolongkan ke dalam tiga bagian yaitu minyak mentah alkana, minyak
mentah siklo alkana dan minyak mentah campuran. Berikut adalah sifat dari jenis minyak mentah:

a. Minyak Mentah Alkana


Minyak mentah alkana mempunyai kerapatan relatif yang rendah, susunan hidrokarbonnya
bersifat alkana, mengandung kadar wax yang tinggi dan sedikit mengandung komponen asphaltic,
menghasilkan bensin dengan kualitas kurang baik karena mempunyai angka oktan yang rendah,
menghasilkan kerosine , solar dan wax yang bermutu baik.

b. Minyak Mentah Siklo Alkana


Minyak mentah sikloalkana mempunyai kerapatan relatif yang tinggi, susunan hidrokarbonnya
bersifat siklo alkana, sedikit sekali mengandung kadar lilin dan mengandung komponen asphaltic,
menghasilkan bensin dengan kualitas baik karena mempunyai angka oktan yang tinggi,
menghasilkan kerosine yang kurang baik, solar bersifat ringan-berat sampai kurang baik, dapat
diproses untuk pembuatan asphalt dan fuel oil.

c. Minyak Mentah Campuran


Minyak mentah campuran mempunyai kerapatan relatif diantara jenis parafinik dan naftenik,
Susunan hidrokarbonnya mengandung parafinik, naftenik dan aromatik, tipe minyak ini dapat
diproses menjadi berbagai jenis produk minyak bergantung dari tipe unit pengolahannya.
Hidrokarbon merupakan unsur pokok terbesar dalam minyak bumi dengan konsentrasi antara 50
sampai 95%. Sisanya merupakan senyawa –senyawa non-hidrokarbon misalnya nitrogen, belerang,
oksigen, dan logam. Hidrokarbon minyak bumi merupakan senyawa organik yang terdiri dari
karbon dan hidrogen dan dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu hidrokarbon alifatik,
hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik.
Hidrokarbon alifatik atau disebut juga parafinik adalah senyawa yang mempunyai rantai atom
karbon jenuh terbuka. Senyawa parafin yang didapatkan dari minyak bumi mengandung 1 sampai
lebih dari 78 atom C. Wujud paraffin dengan jumlah atom C kurang dari 5 adalah bentuk gas.
Jumlah atom C dari 5 sampai dengan 16 adalah bentuk cair dan jumlah atom C lebih dari 16 adalah
bentuk padat dan semi padat. Hidrokarbon alisiklik atau disebut juga neftenik adalah senyawa yang
umumnya berbentuk cincin dan tidak mempunyai ikatan ganda. Senyawa ini bersifat stabil dan
tahan terhadap oksidasi. Titik didih senyawa ini 10 oC sampai 20oC lebih tinggi dari senyawa
hidrokarbon alifatik dengan jumlah atom yang sama (Speight, 1980). Hidrokarbon aromatik
merupakan senyawa yang sangat kompleks, termasuk diantaranya senyawa – senyawa aromatik
dengan substitusi mono, di, dan poli alkil maupun tanpa substitusi. Dalam minyak bumi senyawa
ini jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan parafin atau neftena.
Senyawa non-hidrokarbon didalam minyak bumi terutama disusun oleh senyawa organik yang
mengandung nitrogen, belerang, oksigen, dan logam organik (organometalik). Selama proses
penyulingan, komponen nonhidrokarbon terkumpul dalam minyak fraksi berat dan residu, yaitu
dengan titikdidih diatas 350 oC – 400oC.

44
4.6.2. Coreflooding Test

Coreflooding test merupakan simulasi penginjeksian fluida kedalam reservoir yang bertujuan
untuk mengetahui pengambilan minyak bumi dengan melakukan pendesakan pada core sintetik.
Pendesakan dilakukan dengan menggunakan air formasi lapangan S dan formula surfaktan. Dalam
coreflooding test terdapat parameter-parameter input yang perlu diperhatikan yaitu batuan, sifat fluida
yang diinjeksikan serta recovery factor. Batuan yang digunakan adalah batuan yang memiliki
kesamaan dengan batuan di lapangan baik porositas maupun permeabilitas. Sedangkan, sifat fluida
disesuaikan dengan karakteristik reservoir (berupa suhu dan tekanan) dimana pada lapangan S
bersuhu 70oC sehingga selama proses coreflooding test harus berada pada suhu 70oC dan tekanan 10
psi. Sementara itu, recovery factor yang dimaksud adalah faktor-faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya recovery minyak yang diperoleh. Faktor-faktor tersebut adalah jenis surfaktan, konsentrasi
surfaktan dan lama perendaman batuan dalam surfaktan.
Alat yang digunakan untuk coreflooding test yaitu core holder. Core holder terdiri dari core
holder, tabung injeksi minyak, air formasi, dan surfaktan, gas nitrogen, serta gelas ukur. Gas nitorgen
digunakan untuk menginjeksikan fluida berupa minyak bumi, air formasi dan larutan surfaktan dari
dalam tabung masing-masing ke core holder. Suhu pada tabung injeksi dan core holder diatur sesuai
suhu reservoir yaitu 70oC, kemudian pada core holder diberikan tekanan sampai 10psi, sedangkan
pada tabung injeksi diberikan tekanan 1.5 bar. Pemberian tekanan pada core holder bertujuan untuk
mengikat core sehingga mencegah kebocoran fluida, sedangkan pemberian tekanan pada tabung
injeksi bertujuan untuk menginjeksikan fluida kedalam pori-pori core sintetik. Fluida diinjeksikan
melewati pori-pori core sintetik yang berada di dalam core holder. Selanjutnya, fluida yang keluar
ditampung pada gelas ukur yang tepat berada di bawah saluran keluar fluida pada core holder. Fluida
yang keluar diukur volumenya sebagai hasil coreflooding.
Pada tahap pertama, fluida yang diinjeksikan kedalam core sintetik yaitu minyak lapangan S.
Minyak ini mendorong fluida berupa air formasi yang telah tersaturasi dalam core. Minyak yang
masuk ke dalam core sebanding dengan air formasi yang keluar pada injeksi tersebut. Air formasi
lapangan S yang keluar diukur untuk mengetahui porevolume (PV) yang dimiliki oleh core. Pada
tahap kedua, fluida yang diinjeksikan berupa air formasi lapangan S untuk mendorong minyak yang
telah diinjeksikan sebelumnya. Penggunaan air formasi dikarenakan pada lapangan S belum tersedia
WIP/ air injeksi. Injeksi pada tahap kedua ini merupakan simulasi tahap sekunder dalam recovery
minyak yang dikenal dengan waterflooding. Proses injeksi ini berhenti jika tidak ada lagi minyak
yang keluar. Pada tahap ketiga, fluida yang diinjeksikan berupa formula surfaktan yang telah diuji
diawal. Tahapan ini merupakan tahap EOR berupa enhanced waterflooding. Formula surfaktan yang
diinjeksikan sebesar 0.1 PV, 0.2 PV dan 0.3 PV dari volume pori-pori core sintetik. Injeksi ini
bertujuan untuk mendapatkan tambahan recovery minyak 10–20 persen. Formula tersebut kemudian
disoaking/direndam selama 12 jam. Perendaman selama 12 jam ini didasarkan pada penelitian
Mwangi (2008) yang menyatakan bahwa semakin lama periode perendaman, semakin banyak waktu
untuk cairan surfaktan mendistribusi/menyebar dalam core yang dapat menurunkan nilai IFT sehingga
minyak yang tersisa dalam core dapat terangkat dan meningkatkan recovery minyak. Tahap
selanjutnya yaitu injeksi oleh air formasi untuk membilas atau mengeluarkan minyak yang telah
direndam/soaking oleh formula surfaktan tersebut. Hasil core flooding test dapat dilihat pada
Lampiran 13.
Pada penelitian ini digunakan analisis statistik berupa Rancangan Acak Lengkap dengan satu
faktor. Analisis statistik bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor terhadap respon. Faktor yang

45
dimaksud adalah pore volume formula surfaktan yang diinjeksikan dan respon yang dimaksud adalah
recovery minyak setelah injeksi surfaktan. Dari hasil analisis statistik diketahui bahwa terdapat
pengaruh nyata porevolume formula surfaktan terhadap recovery minyak yang diperoleh. Pada
tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05), porevolume formula surfaktan berpengaruh secara signifikan
terhadap recovery minyak yang diperoleh. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada proses
simulasi core flooding dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Recovery minyak bumi yang dihasilkan pada proses simulasi core flooding
Recovery setelah Recovery setelah injeksi Total Recovery
Perlakuan
water flooding (%) surfaktan (%) minyak (%)

0.1 PV 35.42 8.68 44.10


0.2 PV 29.26 16.91 46.16
0.3 PV 32.58 19.51 51.08

Selanjutnya hasil analisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji Duncan untuk mengetahui
porevolume formula surfaktan mana yang berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak
yang diperoleh. Hasil uji Duncan menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95% formula
surfaktan 0.1 PV memiliki pengaruh yang berbeda dibanding formula surfaktan 0.2 PV dan 0.3 PV.
Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi (2008) injeksi formula surfaktan 0.1PV
tidak dikatakan berpengaruh. Sehingga, perlu dicari formula surfaktan yang berbeda nyata dari injeksi
0.2PV dan 0.3PV. Berdasarkan grafik perbandingan dan penelitian yang dilakukan oleh Mwangi
(2008) diketahui bahwa injeksi surfaktan 0.2 PV paling berbeda nyata dibandingkan perlakuan yang
lainnya. Grafik perbandingan hasil recovery dapat dilihat pada Gambar 34.

20% 19.51%

16.91%

15%
Recovery minyak

10%
8.68%

5%

0%
0.1 0.2 0.3
Injeksi formula surfaktan (PV)

Gambar 34. Recovery minyak setelah injeksi dan soaking formula surfaktan

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa injeksi formula surfaktan 0.2 PV memiliki
hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun, terdapat kecenderungan
bahwa semakin banyak formula surfaktan yang diinjeksikan, recovery minyak yang dihasilkan
semakin menurun. Berdasarkan kecenderungan tersebut, maka hasil yang diperoleh kemudian di
regresikan untuk mengetahui kecenderungan penurunan recovery tersebut. Grafik regresi dari injeksi
formula surfaktan dapat dilihat pada gambar 35.

46
25%
y = 0.541x + 0.042
R² = 0.8010.1
20%
Recovery minyak

15%

10%

5%

0%
0.1 0.2 0.3
recovery 8.68% 16.90% 19.51%
Injeksi formula surfaktan (PV)
Gambar 35. Grafik regresi injeksi formula surfaktan terhadap recovery minyak

Berdasarkan grafik tersebut dapat dilihat bahwa injeksi formula surfaktan terhadap recovery
minyak bumi di regresikan dengan rumus Y = 0.541X +0.042. Dimana Y merupakan recovery minyak
yang dihasilkan, dan X merupakan formula surfaktan yang diinjeksikan. Dengan nilai residual sebesar
80.1% yang berarti regresi tersebut mampu menjelaskan data yang dihasilkan sebesar 80.1%. Namun,
perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kinerja surfaktan APG SK-50
dalam meningkatkan nilai recovery minyak bumi.

47
V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa surfaktan APG komersial dengan
kode SK-02, SK-03, SK-05, SK-06, dan SK-50 bernilai positif terhadap uji compatibility ditandai
dengan larutnya surfaktan dengan baik dalam air formasi lapangan S. Dari hasil uji IFT awal terhadap
surfaktan-surfaktan tersebut didapatkan satu surfaktan yang akan diformulasikan untuk aplikasi
enhanced water flooding yaitu surfaktan APG SK-50 dengan nilai IFT 1.92x10-2 dyne/cm . Dari hasil
formulasi surfaktan diketahui bahwa formula terbaik yang dipilih untuk enhanced water flooding
yaitu surfaktan APG SK-50 0.3% dengan optimal salinitas (NaCl) sebesar 7000 % dan optimal alkali
(NaOH) sebesar 0.1%. Nilai IFT dan densitas yang didapatkan dari formula tersebut berturut-turut
adalah 2.94x10-3 dyne/cm dan 0.9910 gram/cm3. Formula tersebut memberikan kinerja yang baik
pada sebagian besar uji kinerja. Formula surfaktan memberikan kinerja yang baik pada uji
compatibility, uji thermal stability, dan uji phase behavior. Formula surfaktan memberikan nilai
positif terhadap uji compatibility ditandai dengan surfaktan larut dalam air formasi lapangan S secara
sempurna. Pada uji thermal stability, dan uji phase behaviour formula surfaktan memiliki kestabilan
yang baik dalam suhu 700C serta terbentuk fasa bawah dengan lama pemanasan 30 hari. Hal ini
ditunjukkan dari perubahan IFT selama waktu pemanasan masih dibawah 10 -3 dyne/cm. Lain halnya
pada uji filtrasi, formula surfaktan memiliki kinerja yang buruk ditandai oleh nilai Fr lebih besar dari
yang ditetapkan sebesar 1.2.
Hasil analisis statistik dan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95 % (α = 0,05) diketahui
bahwa pore volume formula surfaktan berpengaruh secara signifikan terhadap recovery minyak yang
dihasilkan. Hal tersebut ditandai dengan nilai Pr (pengaruh nyata) < Ftabel dimana 0,045 < 0,05
pada analisis statistik. Berdasarkan uji Duncan dengan diikuti kajian terhadap penelitian terdahulu,
pore volume yang berpengaruh secara signifikan yaitu injeksi formula surfaktan sebesar 0.2 PV. Hasil
tersebut menunjukkan pore volume dengan kondisi terbaik adalah 0.2 PV dengan lama perendaman 12
jam.

5.2. SARAN

1) Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh kinerja surfaktan APG
SK-50 dalam meningkatkan nilai recovery minyak bumi.
2) Pada coreflooding test, sebaiknya digunakan native core sandstone agar dihasilkan recovery
minyak yang lebih tepat.

48
DAFTAR PUSTAKA

Ajith, S., A.C. John dan A.R. Rakshit. 1994. Physicochemical Studies of Microemulsions. Pure
& Appl. Chem. Vol. 66, No. 3. Great Britain. http://www.iupac.org/publications/
pac/1994/pdf/ 6603x0509.pdf [7 September 2011]
Allen, T.O, and A.P. Roberts. 1993. Production Operations 2 : Well Completions, Workover, and
Stimulation. USA: Oil & Gas Consultants International (OGCI) Inc.
Ashayer,R., C.A.Grattoni dan P.F. Luckham. 2000. Wettability Changes During Surfactant Flooding.
Imperial College. London, UK.
Ashrawi SS. 1984. A Study of The Relationship Between Surfactant/Oil/Brine System Fase Behavior
and Chemical Flood Recovery in Short Core. SPE/DOE. 1272 : 311-320
Baviere, M., P. Glenat, N. Plazanet, dan J. Labrod. 1992. SPE Resevoir Engineering. Mac Millan
Publishing Company.
Bodner, G. M, dan H. L. Pardue. 1989. Chemistry An Experimental Science. John Willey and sons.
Inc., New York.
BPS.2010. Statistik Indonesia 2006-2010. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Buckley, J.S., Takamura, K. and Morrow, N.R., 1989. Influence of Electrical Surface Charges on The
Wetting Properties of Crude Oils. SPE Reservoir Engineering.
Buckley, J.S., 1996. Mechanisms And Consequences of Wettability Alteration By Crude Oils. Heriot-
Watt University, Edinburgh.
Buckley, J.S. and Fan, T., 2005. Crude oil/brine interfacial tension, International Symposium of the
Society of Core Analysts, Toronto, Canada.
Emegwalu C C. 2009. Enhanced Oil Recovery: Surfactant Flooding As A Possibility For The Norne
E-Segment. [tesis] Department Of Petroleum Engineering And Applied Geophysics.
Norwegian University of Science and Technology. http: www.ipt.ntnu.no/~norne/
wiki/data/media/english/thesis/chinenyeclaraemegwalu.pdf . [23-10-2011]
Flider, F. J. 2001. Commercial Considerations and Markets for Naturally Derived Biodegradable
Surfactant. Inform 12(12): 1161-1164.
Georgiou G, Lsung C, dan Shara MM. 1992. Surface Active Compounds From Microorganisms
(Review). Bio/Technol. 10 : 60-65.
Gevarsio, G. C. 1996. Detergency. In : Bailey’s Industrial Oils and Fats Product. Wiley Interscience
Publisher, New York-USA.
Gomaa, E.E. 1997. Enhanced Oil Recovery : Modern management Aproach. Paper for IATMI-
IWPL/MIGAS Conference. 28 Juli-1 Agustus 1997, Surakarta.
Green, D.W. and Willhite, G.P., 1998. Enhanced Oil Recovery. SPE textbook series, 6.
SPE,Richardson, Texax, 545 pp.
Hambali, E., K. Syamsu., A. Pratomo. 2004. Pemanfaatan Surfaktan Ramah Lingkungan Dari
Minyak Sawit Sebagai Oil Well Stimulation Agent Untuk Meningkatkan Produksi Sumur
Minyak Bumi. Proposal Hibah Kompetisi Pengembangan Masyarakat. Departemen
Teknologi Industri Pertanian – IPB. Bogor.
Hargreaves,T.2003. Surfactants:The Ubiquitous Amphiphiles. http://www.chemsoc.org/help/
hargreaves_ jul03.htm [7 September 2011]

49
Holmberg, K., B. Kronberg dan Lindman B. 2003. Surfactant and Polimer in Aques Solution. Ed ke-2.
Chichester: J Wiley.
Indrawanto, R., 2007. Optimasi Nisbah Mol Glukosa-Fatty Alcohol C12 Dan Suhu Asetalisasi Pada
Proses Pembuatan Surfaktan Nonionik Alkil Poliglikosidas (APG).[Skripsi]. Fakultas
Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Irapati. 2008. Minyak Bumi dan Produknya. Jakarta : PPPTMGB ”LEMIGAS”
Koesoemadinata, R. P. 1978. Geologi Minyak Bumi. Penerbit ITB, Bandung.
Kontawa A .1995. Minyak Bumi dan Pengklasifikasian pengolahan dan produk produknya. Jakarta:
PPPTMGB ”LEMIGAS”.
Lake, L.W., 1989. Enhanced Oil Recovery. Prentice Hall, Englewood Cliffs.
Margaretha, A. 1999. Synthesis of Fructosa-Based Surfactans. Ph.D dissertation: Technische
Universiteit Delft.
Matheson K.L. 1996. Surfactant Raw Materials : Classification, Synthesis, and Uses. Di dalam :
Spitz, L, Editor. Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review. Champaign:
AOCS Press. .
Menursita, Z. 2002. Isolasi, Identifikasi Bakteri Penghasil Biosurfaktan dari Reservoir Minyak Bumi
dan Karakteristik Biosurfaktan tang dihasilkannya untuk Enhanced Oil Recovery.[ Tesis].
Bogor : Program Pascasarjana IPB.
Moechtar. 1989. Farmasi Fisika: Bagian Larutan dan Sistem Dispersi. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta.
Muchtadi, T.R. 1990. Emulsi Bahan Pangan. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fateta, IPB, Bogor.
Mulyadi. 2000. Surfactant for Oil Well Stimulation Agent. PT. Mulino Ciptanusa, Jakarta.
Mwangi, P. 2008. An Experimental Study of Surfactant Enhanced Waterflooding. [Tesis]. University
of Rochester, Texas.
Nasiri, Hamidreza. 2011. Enzymes for Enhanced Oil Recovery (EOR). University of Bergen.
Norwegia.
Nelson, R.C. and Pope, G.A., 1978. Fase relationships in chemical flooding. SPEJ, 18(5):325-38.
Nummedal, D., B. Towler, C. Mason, dan M. Allen. 2003. Enhanced Oil Recovery in
Wyoming: Prospects and Challenges. Univ of Wyoming. http://uwadmnweb.uwyo.edu/
AcadAffairs/PolicyStatements/ EORfinal.pdf [7 September 2011]
Poppy, K. dan Sumarni S., 2007. Larutan Asam, Basa, dan Garam. Departemen Pendidikan Nasional,
Bandung.
Purwantana, Bambang. 2005. Dasar-Dasar Reologi Bahan Pertanian. Universitas gajah mada
Rachmat, S. 2009. Reservoir Minyak dan Gas Bumi. http://www.migasindonesia.net/index
.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=645. [02 Februari 2011].
Rieger, M.M. (Ed). 1985. Surfactant in Cosmetics. Surfactant science series, New York: Marcel
Dekker, Inc. hlm.488 .
Rosen, J. M. 2004. Surfactant and Interfacial Phenomena. Third Edition. John Willey & Sons Inc.,
New York.
Rosen, M. J. 1978. Surfactants and Interfacial Phenomena. New York : John Wiley & Sons, Inc
Sadi, S. 1994. Gliserolisis Minyak Sawit dan Inti Sawit dengan Piridin. Buletin PPKS 2 (3) : 155 –
164.

50
Salter, S.J. The influence of type and amount of alcohol on surfactant-oil-brine phase behavior and
properties. SPE 6843, presented at the 52nd Annual Technical Conference and Exhibition of
the Society of Petroleum Engineers, Denver, Colorado, 1977.
Sampath, R., L.T. Moeti, M.J. Pitts dan D.H. Smith. 1998. Characterization of Surfactants for
Enhanced Oil Recovery. Proceedings. www.netl.doe.gov/publications/proceedings/ 98/
98hbcu/SAMPATH2.PDF [7 September 2011]
Shaw, D.J. 1980. Introduction to Colloid and Surface Chemistry. Oxford : Butterworths. Wibowo
Spildo, K. and Hoiland, H., 1999. Interfacial Properties And Partitioning of 4-Heptylbenzoic Acid
Between Decane And Water. Journal of Colloid and Interface Science, 209: 99-108.
Sugihardjo. 2002. Formulasi Optimum Campuran Surfaktan, Air, dan Minyak. Lemigas : 36(3).
Sugiharjdo., E. Tobing dan S. W. Pratomo. 2001. Kelakuan Fasa Campuran Antara “Reservoar-
Injeksi-Surfaktan” Untuk Implementasi Enhanced Water Flooding. Prosiding Simposium
Nasional IATMI. Yogyakarta 3-5 Oktober 2001.
Sumotarto, U. 1997. Peningkatan Perolehan (Recovery) Minyak Bumi Paska Primer. Prosiding
Konferensi Energi sumberdaya Alam dan Lingkungan, BPP, Jakarta, 11-12 Maret 1997.
Suryani A. ,I. Sailah dan E. Hambali. 2001. Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian-
Fateta IPB, Bogor.
Suryani A, I Sailah, E Hambali. 2002. Pengantar Teknologi Emulsi. Departemen Teknologi Industri
Pertanian, Fateta, IPB, Bogor.
Swern, D. 1979. Bailey’s Industrial Oil and Fat Products. Vol. I 4th Edition. John Willey & Sons
Inc., New York.
Thamrin, M dan Sudibjo.2002. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Pendesakan Surfaktan.
Jurnal Diskusi Ilmiah VII. Lemigas, Jakarta.
Tim Lemigas. 2002. Studi Awal Implementasi Injeksi Kimia di Formasi Talang akar, Struktur Talang
Akar Pendopo Lapangan Prabumulih: Penentuan Parameter Batuan, Fluida reservoir dan
rancangan Fluida Injeksi. Lemigas.
Wahyono,K. 2009.Warta Pertamina. http://www.pertamina.com/wartapertamina/2009/ wpjanuari
2009 .pdf. [02 Februari 2011]
Watkins C. 2001. Surfactant and Detergent : All Eyes are On Texas. Inform 12 : 1152 – 1159.
Widyowati, Retno.2005. Kajian Pengaruh Salinitas dan Kesadahan Terhadap Kinerja Surfaktan MES
Berbasis Metil Ester CPO Sebagai Oil Well Stimulation Agent.[skripsi]. FATETA-IPB,
Bogor.
Winsor, P.A., 1954. Solvent Properties of Amphiphilic Compounds. Butterworths, London, IX,207 s.
pp.

51
LAMPIRAN

52
Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced
Water Flooding

1. Tegangan Antar Permukaan Metode Spinning Drop (Gardener and Hayes,


1983)
Cara kerja Spinning Drop Interfacial sebagai berikut : hidupkan power dan tombol lampu
pada alat. Panaskan alat spinning drop, kemudian set pada suhu 70 oC (kondisi percobaan)
dengan kecepatan putaran 9000 rpm. Setelah kondisi tersebut stabil, ke dalam glass tube diisikan
larutan surfaktan dengan konsentrasi yang telah dibuat. Ke dalam glass tube yang telah berisi
larutan surfaktan, diberi tetesan minyak (crude oil). Dalam glass tube tidak boleh ada gelembung
udara. Masukan glass tube ke dalam alat spinning drop, dengan permukaan glass tube menghadap
ke arah luar. Pembacaan radius tetesan dilakukan jika suhu alat telah mencapai 70 oC. Ulangi
pembacaan ini sampai didapatkan harga yang konstan dari pembacaan radius tetesan. Bila
pembacaan kurang jelas, fokus lensa dapat diatur.

Perhitungan :

Keterangan :
IFT = nilai tegangan antar muka (dyne/m)
Δρ = perbedaan densitas fluida minyak dan larutan surfaktan (kg/m3)
D = radius drop (m)
W = kecepatan angular

2. Uji Compatibility
Surfaktan dilarutkan dalam air injeksi atau air formasi. Amati dan dokumentasikan
kelarutan surfaktan dalam air injeksi atau air formasi. Uji bernilai positif jika surfaktan larut
dalam air injeksi atau air formasi. Uji bernilai negatif jika surfaktan tidak larut dalam air injeksi
atau air formasi.

3. Pengukuran Densitas
Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan
larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu
beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa
densitas dan specific gravity yang diperoleh.

4. Pengukuran Viskositas
Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan
memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat
dengan mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan
kebutuhan. Catat persen tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh.

55
Lampiran 2. Prosedur Uji Kinerja Formula Surfaktan APG untuk Enhanced
Water Flooding (lanjutan)

5. Pengkuran pH
Masukkan kertas lakmus ke dalam formula surfaktan. Amati perubahan warna yang terjadi.
Cocokkan perubahan warna yang terjadi dengan indikator warna yang tertera pada kotak lakmus.

6. Uji Phase Behavior


Minyak mentah disaring dengan menggunakan filter berukuran 10 mikron untuk
memisahkan partikel seperti pasir dari minyak mentah. Masukkan 2 ml surfaktan ke dalam
graduated pipette berukuran 5 ml lalu ditambahkan 2 ml minyak mentah. Bagian bawah dan atas
pipet diseal dengan bor api. Tempatkan pipet pada rak dan disimpan pada suhu reservoir selama
30 menit. Bolak-balikkan tiap pipet sebanyak 3 kali hingga cairan tercampur. Jangan dikocok.
Selanjutnya, diamati dan dicatat perubahan pada antar muka cairan setelah 24 jam. Cairan
dikatakan berada di titik keseimbangan ketika antar muka cairan tidak berubah secara signifikan.
Data yang telah diperoleh dicatat pada “Phase Behavior Template”.

7. Uji Thermal Stability


Sebanyak 20 ml formula surfaktan dimasukkan ke dalam botol yang telah diberi label.
Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven pada suhu reservoir. Setelah satu hari, diamati perubahan
yang terjadi dan didokumentasikan serta diukur densitas dan IFT dari masing-masing larutan.
Seluruh botol disimpan kembali pada oven bersuhu reservoir lalu diamati dan didokumentasikan
serta diukur densitas, IFT dan viskositas dari masing-masing larutan. Buatkan plot hubungan
antara IFT, viskositas dan perubahan yang terjadi akibat pemanasan. Uji ini dilakukan selama 12
minggu dengan pengamatan dilakukan tiap minggu.

8. Uji Filtrasi
Pengujian filtrasi dilakukan dengan menggunakan filter apparatus. Tetapi sebelumnya,
pastikan seluruh bagian apparatus dalam keadaaan bersih. Hubungkan tangki nitrogen, pressure
vessel, dan membrane filter holder dengan tabung dan valve. Selanjutnya hubungkan dengan
tabung drain. Masukkan membran filter ke dalam membrane filter holder secara tepat. Basahi
membran filter dan jangan sampai ada udara yang keluar. Masukkan 550–600 ml larutan
surfaktan dengan salinitas optimal ke dalam pressure vessel lalu tutup hingga rapat bagian atas
dan bagian suplai. Selanjutnya valve ditutup dan diberikan tekanan 20 psig melalui regulator
nitrogen. Tempatkan graduated cylinder di bawah outlet filter lalu valve pada dasar filter
pressure vessel dibuka dan hitung waktu dengan menggunakan stopwatch. Tekanan yang
digunakan (20 psig) harus konstan. Pastikan larutan dalam filter sesuai dengan suhu reservoir.
Catat kumulatif waktu dari tiap kenaikan filter sebanyak 50 ml. Filtrasi dilanjutkan sampai 500 ml
larutan sudah terfiltrasi. Periksa membran filter apakah terdapat sobekan atau kerusakan lainnya
seperti bagian yang tidak terbasahi dari filter. Jika terdapat kerusakan maka prosedur harus
diulangi. Adanya material lain pada filter dicatat. Ulangi prosedur untuk formula surfaktan
lainnya.

56
Lampiran 3. Prosedur Analisis Air Formasi Lapangan S

1. Pengukuran pH

Hidupkan power alat pH-meter. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan sampel
larutan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa
menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat nilai pH yang diperoleh.

2. Pengukuran Densitas

Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan
larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu
beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa
densitas dan specific gravity yang diperoleh.

3. Pengukuran Viskositas

Hidupkan power alat viscosimeter. Kalibrasi alat tersebut. Masukkan nomor spindle dengan
memilih kunci spindle. Masukkan larutan surfaktan ke dalam spindle lalu spindle ditutup rapat dengan
mur. Kecepatan putaran diset pada alat dimana kecepatan putaran sesuai dengan kebutuhan. Catat %
tenaga putaran dan viskositas yang diperoleh.

57
Lampiran 4. Prosedur Analisis Minyak Lapangan S

1. Uji Aspaltine

Masukkan minyak mentah dan heksan dengan perbandingan 1 : 10, 1 : 13 dan 1 : 15 ke dalam
tabung ulir. Selanjutnya, tabung ulir tersebut dikocok hingga minyak mentah larut dalam heksan.
Kemudian masukkan tabung ulir ke dalam sentrifuge selama 15 menit dengan kecepatan 200 rpm.
Setelah itu, amati apakah terbentuk endapan di dasar tabung ulir.

2. Pengukuran Densitas dan Specific Gravity

Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan
larutan surfaktan ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu
beberapa menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa
densitas dan specific gravity yang diperoleh.

3. Derajat API (0API)

Hidupkan power alat densitometer. Pastikan sel pengukuran bersih dan kering. Masukkan
minyak ke dalam sel pengukuran yang terdapat pada alat. Tekan tombol start dan tunggu beberapa
menit hingga hasil pengukuran terlihat pada monitor alat. Catat hasil pengukuran berupa densitas dan
specific gravity yang diperoleh. Kemudian, hitung 0API dengan menggunakan rumus;

0
API =

58
Lampiran 5. Ukuran Masing-masing Core Sintetik

Porositas (%) Permeabilitas


Core Diameter (cm) Tinggi (cm) Volume (ml)
(mDarcy)

1 2.3700 3.1950

I 2 2.3700 3.2000
14.0304 34.0 46.6
3 2.3500 3.2050

Rata-Rata 2.3633 3.2000

1 2.3700 3.1300

II 2 2.3700 3.1200
13.7476 35.5 45.4
3 2.3600 3.1300

Rata-Rata 2.3667 3.1267

1 2.3600 3.1500

III 2 2.3700 3.1500


13.9725 33.7 45.6
3 2.3900 3.1800

Rata-Rata 2.3733 3.1600

1 2.3500 3.1850

IV 2 2.3600 3.1600
13.8496 34.0 46.5
3 2.3600 3.1850

Rata-Rata 2.3567 3.1767

1 2.3500 3.1900

V 2 2.3500 3.1600
13.8496 36.5 46.5
3 2.3700 3.1800

Rata-Rata 2.3567 3.1767

1 2.3500 3.1950

VI 2 2.3400 3.1900
13.7828 38.3 47.1
3 2.3500 3.1800

Rata-Rata 2.3467 3.1883

59
Lampiran 6. Nilai IFT Masing-Masing Surfaktan APG Komersil Terhadap
Minyak Lapangan S ( 0.3% surfaktan dilarutkan dalam air formasi
lapangan S)

Densitas Rata-rata
SAMPEL Ulangan 3
IFT(dyne/cm)
(g/cm ) (dyne/cm)

1 0.9837 5.26E-02
APG SK-02
2 0.9839 5.90E-02 5.58E-02

1 0.9836 5.19E-02
APG SK-03
2 0.9840 5.81E-02 5.50E-02

1 0.9836 2.23E-02
APG SK-05
2 0.9838 1.75E-02 1.99E-02

1 0.9835 2.73E-02
APG SK-06
2 0.9838 3.09E-02 2.91E-02

1 0.9836 2.08E-02
APG SK-50
2 0.9838 1.76E-02 1.92E-02

60
Lampiran 7. Nilai IFT Surfaktan SK-50 0.3% dengan Salinitas yang berbeda

Salinitas Densitas Rata-rata IFT Rata-rata


Ulangan 3 3
(ppm) (g/cm ) (g/cm ) (dyne/cm) (dyne/cm)

0 0.9844 0.9844 2.32E-02 2.32E-02

1 0.9852 1.87E-02
1000 0.9852 1.79E-02
2 0.9853 1.70E-02

1 0.9867 1.18E-02
3000 0.9867 1.12E-02
2 0.9867 1.06E-02

1 0.9883 7.11E-03
5000 0.9882 8.94E-03
2 0.9881 1.08E-02

1 0.9896 6.60E-03
7000 0.9896 6.20E-03
2 0.9895 5.79E-03

1 0.9912 8.20E-03
9000 0.9912 9.08E-03
2 0.9913 9.96E-03

61
Lampiran 8. Nilai IFT Surfaktan APG SK-50 0.3% 7000 ppm dengan Alkali
yang berbeda

Densitas Rata-rata IFT Rata-rata


Alkali 3 3
(g/cm ) (g/cm ) (dyne/cm) (dyne/cm)

Tanpa Alkali 0.9891 0.9891 7.37E-03 7.37E-03

NaOH (ppm)

0.9912 2.82E-03
1000 0.9910 2.94E-03
0.9908 3.06E-03

0.9934 4.74E-03
3000 0.9933 3.73E-03
0.9933 2.71E-03

0.9965 4.63E-03
5000 0.9959 3.12E-03
0.9952 1.61E-03

0.9989 6.84E-03
7000 0.9993 6.10E-03
0.9998 5.36E-03

1.0012 8.29E-03
9000 1.0012 6.09E-03
1.0013 3.90E-03

Ca2CO3 (ppm)

0.9911 2.43E-03
1000 0.9908 5.37E-03
0.9905 8.30E-03

0.9927 2.59E-03
3000 0.9928 3.69E-03
0.9929 4.80E-03

0.9937 1.62E-03
5000 0.9941 3.21E-03
0.9945 4.79E-03

0.9957 2.45E-03
7000 0.9960 3.58E-03
0.9963 4.72E-03

0.9984 2.91E-03
9000 0.9984 2.77E-03
0.9984 2.64E-03

62
Lampiran 9. Hasil Penyaringan 500 mesh Air Formasi Lapangan S dan
Formula Surfaktan APG SK-50, 7000 ppm NaCl,1000 ppm
NaOH

Air Formasi Lapangan S Formula Surfaktan


Volume
Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II

0 0 0 0.00 0 0 0.00

50 7 3 5.00 11 5 8.00

100 14 6 10.00 20 11 15.50

150 23 9 16.00 32 17 24.50

200 31 12 21.50 43 24 33.50

250 40 31 35.50 10.17 55 31 43.00 1.39

300 50 54 52.00 67 39 53.00

350 76 83 79.50 80 47 63.50

400 112 126 119.00 92 56 74.00

450 159 178 168.50 106 66 86.00

500 230 242 236.00 120 78 99.00

63
Lampiran 10. Hasil Penyaringan 21 µm Air Formasi Lapangan S dan Formula
Surfaktan APG SK-50,7000 ppm NaCl,1000ppm NaOH

Air Formasi Lapangan S Formula Surfaktan


Volume
Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II

0 0 0 0.00 0 0 0.00

50 54 66 60.00 43 49 46.00

100 120 168 144.00 121 141 131.00

150 191 358 274.50 206 296 251.00

200 243 641 442.00 379 517 448.00

250 535 757 646.00 2.64 565 708 636.50 3.73

300 836 1106 971.00 899 1069 984.00

350 1052 1546 1299.00 1346 1582 1464.00

400 1559 1695 1627.00 1915 2369 2142.00

450 1923 2123 2023.00 2425 3162 2793.50

500 2188 2637 2412.50 2946 3705 3325.50

64
Lampiran 11. Hasil Penyaringan 0.45 µm Air Formasi Lapangan S dan
Formula Surfaktan APG SK-50,7000 ppm NaCl,1000 ppm NaOH

AF Sanga-sanga Surfaktan
Volume
Waktu Alir (detik) Waktu Alir (detik)
(ml) Rerata Fr Rerata Fr
I II I II

0 0 0 0.00 0 0 0.00

50 12 10 11.00 22 23 22.50

100 28 25 26.50 62 118 90.00

150 45 37 41.00 184 620 402.00

200 66 51 58.50 484 2187 1335.50

250 94 71 82.50 9.67 1099 5426 3262.50 12.02

300 125 94 109.50 2113 10438 6275.50

350 169 125 147.00 3499 17600 10549.50

400 240 171 205.50 5067 27887 16477.00

450 345 248 296.50 7590 37965 22777.50

500 634 396 515.00 10950 51939 31444.50

65
Lampiran 12. Nilai Densitas dan IFT Formula Surfaktan Pada Uji Filtrasi

Densitas Rerata IFT Rerata


Sampel 3 3
(g/cm ) (g/cm ) (dyne/cm) (dyne/cm)

1 0.99049 7.64E-04
Tanpa Saring 0.99050 7.89E-04
2 0.99050 8.14E-04

1 0.98989 8.48E-04
Filtrasi 500mesh 0.99030 1.26E-03
2 0.99071 1.67E-03

1 0.99050 1.67E-03
Filtrasi 21 µm 0.99030 1.28E-03
2 0.99009 8.85E-04

1 0.99034 7.81E-04
Filtrasi 0.45 µm 0.99046 1.06E-03
2 0.99058 1.34E-03

66
Lampiran 14. Hasil Analisis Statistik

 Data hasil coreflooding test

Perlakuan Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-rata ± SD

0.1 PV 0.1111 0.0625 0.0868 ± 0.0344

0.2 PV 0.1818 0.1563 0.1690 ± 0.0180

0.3 PV 0.2083 0.1818 0.1951 ± 0.0187

 Hasil Sidik Ragam

Sumber Variasi dB JK KT F-Hitung F-Tabel 0.05

Porevolume 2 0.012775 0.006387 10.30 0.045

Kekeliruan 3 0.001860 0.000620

Jumlah 5 0.014635

 Uji Duncan

Subset
Perlakuan N
1 2
0.1 PV 2 0.0868

0.2 PV 2 0.1690

0.3 PV 2 0.1951

1
68

You might also like