Kiat Kiat Sukses

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

PANDANGAN DAN PERJUANGAN IDEOLOGIS

HIZBUT TAHRIR INDONESIA (HTI)


DALAM SISTEM KENEGARAAN DI INDONESIA

Syaiful Arif
Dosen Pascasarjana Islam Nusantara
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta
Jl. Taman Amir Hamzah 5 Jakarta Pusat

Naskah diterima: 25 Maret 2016


Naskah dikoreksi: 30 Mei 2016
Naskah diterbitkan: Juni 2016

Abstract: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) is a trans-national Islamic movement and carrying the re-establishment
of a global Islamic caliphate. Theoretically, this establishment addressed for the sake of Islamic law at the level
of politics and society. The problem is, when the ideas and struggles were developed in Indonesia, which has
the basic form of the state and the final state, namely the Republic of Indonesia (NKRI) and the Pancasila, the
struggle HTI is part of the defamation against the state. Although this political struggle will not succeed, but it
is quite effective conduct of delegitimation on national awareness among Muslims that they managed to recruit
a member. This article will explain the state of political ideology and agenda HTI. Therefore, this paper aims
to explore the views HTI about sharia and its position for the state system of caliphate and the glory (political)
Islam that sought to establish global world as well as in Indonesia nationally. In addition, HTI put ideological
struggle in the context of the ideological threat on Pancasila and the Homeland, because the idea khilafahnya
necessarily contradictory with the nation-state of the Republic of Indonesia. The data of this article comes from
the literature. The results of the literature review were then analyzed through political discourse and the Islamic
state, which raises the style Islamic political discourse in the context of political discourse HTI in Indonesia. The
article concludes, HTI do delegitimation nationality, Pancasila and state buildings Homeland. It departs from
the perspective of Islamic law formalist and holistic, where Sharia law is understood as the rules governing the
whole life of the community, through the formalization into the constitution and state law. Cita re-establishment
of the Islamic caliphate is a structural condition for the enforcement of Islamic Shari’a.
Keywords: shari’ah, caliphate, politics, constitution, ideology, Hizbut Tahrir Indonesia.

Abstrak: Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merupakan gerakan Islam transnasional dan mengusung pendirian
kembali khilafah Islamiyyah secara global. Secara teoretis, pendirian ini ditujukan demi tegaknya syariat Islam
pada level politik dan kemasyarakatan. Persoalannya, ketika gagasan dan perjuangan tersebut dikembangkan
di Indonesia, yang memiliki bentuk negara dan dasar negara final, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dan Pancasila, maka perjuangan HTI merupakan bagian dari upaya penistaan terhadap negara. Meskipun
secara politik perjuangan ini tidak akan berhasil, namun cukup efektif melakukan delegitimasi atas wawasan
kebangsaan di kalangan Muslim yang berhasil mereka rekrut menjadi anggota. Tulisan ini hendak menjelaskan
ideologi politik dan agenda kenegaraan HTI. Karena itu, tulisan ini bertujuan menggali pandangan HTI tentang
syariat dan posisinya bagi sistem kenegaraan khilafah dan kejayaan (politik) Islam yang ingin ditegakkan di dunia
global serta di Indonesia secara nasional. Di samping itu, menempatkan perjuangan ideologis HTI dalam konteks
ancaman ideologis atas Pancasila dan NKRI, karena gagasan khilafahnya tentu kontradiktif dengan negara-
bangsa Republik Indonesia. Data-data artikel ini berasal dari studi pustaka. Hasil dari studi pustaka itu kemudian
ditelaah melalui diskursus politik dan kenegaraan Islam, sehingga memunculkan diskursus politik Islam ala HTI
dalam konteks wacana politik di Indonesia. Artikel ini menyimpulkan, HTI melakukan delegitimasi kebangsaan,
Pancasila dan bangunan kenegaraan NKRI. Hal ini berangkat dari pandangan tentang syariat Islam yang formalis
dan holistik, di mana syariat dipahami sebagai tata aturan hukum seluruh kehidupan masyarakat, melalui
formalisasi ke dalam konstitusi dan hukum negara. Cita pendirian kembali khilafah Islamiyyah merupakan
kondisi struktural bagi tegaknya syariat Islam ini.
Kata kunci: syariah, khilafah, politik, konstitusi, ideologi, Hizbut Tahrir Indonesia.

Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan Indonesia | 93
Pendahuluan Pandangan HTI tentang Penerapan Syariah
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi Pandangan HTI tentang penerapan syariah
Islam transnasional pengusung khilafah Islamiyyah didasarkan pada kritik atas demokrasi. Hal ini
telah berdiri di Indonesia sejak dekade 1980. dilakukan HTI melalui juru bicaranya, M. Ismail
Sebagai organisasi transnasional, ia mengusung Yusanto yang melakukan kritik atas kedaulatan di
agenda global yang melampaui dan mendegradasi dalam sistem demokrasi, yang tidak menjadikan
bangunan politik nasional. Kehadirannnya di kedaulatan Tuhan (hakimiyyatullah) sebagai sendi
negeri ini dibiarkan, meskipun secara ideologis utama politik, melainkan mendaulat kedaulatan
bertentangan dengan Pancasila. Ia secara sistematis rakyat sebagai pilar utama sistem politik. Pendaulatan
telah melakukan “penistaan negara” dengan kedaulatan rakyat inilah yang telah meminggirkan
menolak Negara Kesatuan Republik Indonesia syariah Islam dari kewajiban penerapannya. Paparnya:
(NKRI). Di sinilah pemerintah Republik Indonesia “Menetapkan hukum bukan berdasarkan al-Quran
semestinya bersikap tegas atas organisasi ini dan al-Hadis melainkan dari wakil rakyat, yang
sebagaimana sebagian besar pemerintahan di Timur dikenal dengan jargon “kedaulatan di tangan rakyat”,
Tengah. merupakan bagian dari sistem demokrasi sekular
ala Barat. Sistem ini telah menjadikan rakyat atau
Dalam kancah gerakan Islam radikal secara
wakil rakyat sebagai sumber hukum dan sekaligus
umum, Hizbut Tahrir (HT) dan HTI merupakan
memiliki hak untuk menetapkan hukum. Dalam
eksponen pengusung sistem politik Islam ideal, sistem semacam ini, syariah Islam hanya menjadi
yakni Khilafah Islamiyyah. Ini berbeda dengan salah satu pilihan (option) yang bisa diambil dan
Ikhwanul Muslimin (IM) yang menurunkan bisa juga tidak, bergantung dengan kesepakatan
idealitas itu dengan memperjuangkan pendirian atau bahkan pada pihak yang memiliki suara
Negara Islam modern dalam kerangka nation- terbanyak di parlemen. Semestinya, syariah Islam
state (negara-bangsa). Hal ini tentu berbeda. Jika menjadi kewajiban (obligation), yakni merupakan
khilafah mengandaikan pemerintahan Islam secara satu-satunya – bukan salah satu – pilihan dalam
global, sebagaimana sifat dasar kewilayahan menetapkan hukum”. (Tim Penulis HTI, 2006:v).
Islam yang universal. Sementara ini Negara Islam Melalui uraian ini, Ismail Yusanto mengutuk
merupakan adaptasi atas sistem negara-bangsa keras penggunaan kedaulatan rakyat di dalam
dengan penempatan Islam sebagai dasar konstitusi. demokrasi, karena ia telah menjadikan wakil rakyat
Resikonya jelas. Pengusung khilafah menolak sebagai penentu hukum. Hal ini yang bertentangan
negara modern beserta sistem politiknya, yaitu dengan sistem Islam (nizam al-Islami) yang
demokrasi, sedangkan IM karena menerima negara- menurutnya menjadikan syariah sebagai sumber
bangsa, mau terlibat dalam proses demokrasi demi utama perumusan hukum, yang merepresentasikan
penguasaan negara. (Brown, 2000:54). tegaknya suatu kedaulatan Tuhan. (Aziz, 2016:89).
Tulisan ini tidak hendak mengelaborasi Dalam demokrasi, syariah akhirnya menjadi option:
gagasan dan sistem politik khilafah, melainkan salah satu pilihan yang bisa diambil, bisa juga tidak,
mengelaborasi jantung dari ideologi politik dan tergantung kesepakatan mayoritas suara di dalam
agenda kenegaraan HTI, yakni penerapan syariah parlemen. Semestinya, syariah adalah obligation:
Islam. Tulisan ini akan menggali pandangan HTI kewajiban utama, sehingga ia menjadi satu-
tentang syariah dan posisinya bagi sistem kenegaraan satunya pilihan hukum yang ditegakkan di dalam
khilafah dan kejayaan (politik) Islam yang ingin pemerintahan Islam. (Khatab, 2007:134).
ditegakkan di dunia global serta di Indonesia Dalam kaitan ini, pandangan Ismail Yusanto
secara nasional. Tulisan ini juga menempatkan dan HTI ini disebut “Islam alternatif” yang
perjuangan ideologis HTI dalam konteks ancaman berangkat dari konsep “totalisme syariah”.
ideologis atas Pancasila dan NKRI, karena gagasan Pandangan ini meyakini kemampuan Islam sebagai
khilafah-nya tentu kontradiktif dengan negara- alternatif dari sistem sosial-politik modern, karena
bangsa Republik Indonesia. Tulisan ini merupakan sistem Barat ini mereka anggap sebagai sistem
studi pustaka berdasarkan kepustakaan tentang “jahiliyah modern”. Disebut jahiliyah, karena
HT dan HTI, maupun karya tulis yang ditulis para modernitas telah melikuidasi peran Islam di dalam
aktivis HTI. Kepustakaan tentang HTI direfleksikan ruang publik. Sistem “jahiliyah modern” inilah
melalui diskursus politik dan kenegaraan Islam, yang melahirkan krisis multidimensional, sejak
sehingga memunculkan diskursus politik Islam ala krisis moral, ekonomi, iman, hingga politik, yang
HTI dalam konteks wacana politik di Indonesia. membuat HTI menawarkan Islam, atau tepatnya,
sistem Islam sebagai alternatif bagi sistem modern
yang jahiliyah ini.

94 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016


Pandangan “Islam alternatif” ini didasari oleh khoir al-fashilin (Menetapkan hukum itu hanyalah
asumsi metafisik tentang sifat totaliter dari syariah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan
Islam. Asumsi ini bersifat metafisik, karena ia Dia Pemberi keputusan yang paling baik). Oleh
meyakini syariah sebagai dasar seluruh kehidupan karena itu, Barang siapa yang tidak memberikan
manusia. Dengan demikian, asas, tujuan, dan masa keputusan menurut apa yang diturunkan Allah,
depan kehidupan manusia ditentukan oleh syariah maka mereka adalah orang-orang kafir (wa man lam
Islam yang menyediakan cetak biru kehidupan yahkum bima anzalallah faulaika hum al-kafirun)
secara menyeluruh, sejak dalam ruang ubudiah (QS al-Maidah: 44). Dengan adanya ayat ini, maka
manusia dengan Tuhan, hingga bentuk negara, hukum yang sah ditegakkan adalah hukum Allah.
sistem ekonomi, bahkan soal-soal sepele seperti Mengingkarinya, berarti menjerumuskan seorang
pakaian. (Arif, 2010:65). Sifat totaliter syariah Muslim ke dalam jurang kekafiran. Oleh karena itu,
ini merupakan konsekuensi logis dari karakter buku ini pun mengutuk keras orang-orang Islam
dasar syariah yang merupakan refleksi atas akidah yang menjadikan hukum nonIslam (mereka sebut
Islam. Mengutip pandangan Qadhi Taqiyyudin hukum thaghut) sebagai hukum nasional. Orang-
Al-Nabhani, pendiri HT, akidah adalah pemikiran orang ini dikutuk oleh al-Qur’an sebagaimana
menyeluruh tentang alam semesta, kehidupan, tersurat dalam QS an-Nisa: 60-61. (Tim Penulis
dan manusia berikut hubungan ketiganya dengan HTI: 2006:35-44).
kehidupan sebelum maupun setelah kehidupan Pertanyaannya kenapa HTI bisa sampai pada
dunia. Sementara itu, karena syariah adalah “refleksi kesimpulan bahwa syariah bersifat “meliputi semua
operasional” dari akidah Islam, maka definisi hal” dan oleh karenanya wajib ditegakkan secara
syariah pun setali tiga uang dengan akidah tersebut. kenegaraan? Seperti dipaparkan di atas, keyakinan
Syariah Islam dalam pandangan HT adalah sistem ini berangkat dari pemahaman akan posisi syariah
atau aturan yang disyariahkan oleh Allah SWT sebagai refleksi atas akidah. Dikarenakan akidah
untuk mengatur hubungan manusia dengan dirinya, terkait erat dengan keimanan kepada Allah dan
dengan sesama Muslim, dengan sesama manusia, Islam, maka syariah adalah pelaksanaan dari
dengan alam semesta, dan dengan kehidupan dunia. keimanan tersebut. Oleh karena itu, penerapan
(Tim Penulis HTI, 2006:2-8). syariah merupakan pengamalan keimanan dari
Perbedaan status kategoris dari akidah dan muslim. Barangsiapa yang tidak menerapkan
syariah ini terletak pada perbedaan “produk syariah, maka ia tidak beriman, alias murtad, keluar
pengamalan” dari keduanya. Jika akidah melahirkan dari keislaman.
al-iman, maka syariah melahirkan ‘amal al- HTI bisa sampai pada kesimpulan ini karena
shalih. Artinya, akidah menuntut keimanan, yaitu ia melakukan pemilahan antara “yang konseptual”
keyakinan atau ketundukan Muslim atas akidah (fikrah) dan “yang praksis” (thariqah) di dalam
tersebut. Sementara syariah adalah aturan praktis, syariah. Fikrah atau aspek-aspek konseptual
tempat Muslim mengamalkan imannya tersebut dari syariah adalah perintah yang tidak memiliki
dalam amal al-shalih, sesuai dengan panduan pengaruh secara fisik. Perintah ini berada pada
praktis dari syariah. Jadi jika akidah terkait dengan level akidah (rukun iman), meliputi iman kepada
keyakinan atas kebenaran Islam, maka syariah Allah, malaikat, hari kiamat, Rasul, kitab suci, serta
adalah praksis pengaturan kehidupan berdasarkan zakat, shalat, haji dan puasa. Sementara thariqah,
aturan Islam. Praksis pengaturan ini merupakan atau metode adalah perintah yang bersifat praktis-
bukti keimanan seorang Muslim terhadap akidah aplikatif dan memiliki dampak secara fisik. Aspek
Islam. (al-Nabhani, 1991:97). thariqah dalam syariah misalnya terdapat dalam
Oleh karena itu dalam pandangan HTI, keharusan memberlakukan sanksi ta’zir bagi para
kebutuhan mendesak bagi masyarakat modern pelanggar zakat dan shalat. Di sisi lain, HTI juga
khususnya di Indonesia adalah penerapan syariah melakukan pemilahan antara fikrah sebagai konsep
Islam, baik sebagai konstitusi negara, maupun dan thariqah sebagai metode untuk menerapkan
sebagai tata aturan semua sistem kehidupan. konsep tersebut. Artinya, jika thariqah bukan hanya
Secara eksplisit HTI memang bercita-cita hendak memuat hukum-hukum Islam yang bersifat praktis
mendirikan khilafah, atau setidaknya mengidealkan seperti dalam bidang hukum pidana dan mu’amalat,
pendiriannya. Hal ini merupakan konsekuensi melainkan dimaknai sebagai strategi untuk
logis dari penegakan syariah pada level konstitusi. menerapkan berbagai hukum tersebut. Memisahkan
Penegakan syariah ini bukan semata persoalan fikrah dari thariqah akan membuat Muslim murtad,
politik, melainkan persoalan akidah. sebab ia tidak memiliki kehendak jihadi untuk
Menyitir ayat al-Qur’an surat al-An’am: 57: in menerapkan syariah Islam.
al-hukmu illa lillahi yaqushshu al-haqqa wahuwa Pada titik inilah HTI memiliki pemahaman

Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan Indonesia | 95
yang berbeda dari mayoritas umat Islam, karena Tujuannya satu: menegakkan hukum Allah, sebagai
ia meyakini status Islam, selain sebagai keyakinan pengganti dari hukum manusia yang diciptakan oleh
spiritual (‘aqidah ruhiyyah) juga merupakan kedaulatan rakyat demokratis. (Thabib, 2008:13-
ideologi politik (aqidah siyasiyah). Spiritualisme 20).
Islam membahas hubungan pribadi manusia dengan Dalam hal ini penegakan syariah Islam bahkan
Tuhan, sementara ideologi politik Islam membahas HTI dasarkan pada maqashid al-syari’ah, meskipun
seluruh urusan dunia yang terangkum dalam kerangka pikirnya tetap dalam rangka penerapan
hubungan manusia dengan dirinya maupun dengan hukum jinayah. Bahkan dalam soal kemashlahatan,
sesamanya, menyangkut bidang pemerintahan, HTI memberikan pemahaman “yang ideologis”.
ekonomi, sosial, pendidikan, politik luar negeri, dan Karena kemashlahatan sering dijadikan alasan
sebangainya. Papar HTI: bagi deformalisasi syariah, maka HTI menolak
“Dari sini dapat disimpulkan bahwa syariah Islam kemashlatan sebagai tujuan utama syariah.
bukan hanya mengatur urusan yang dibahas oleh Melainkan sebaliknya: di dalam penegakan syariah,
agama, tetapi juga urusan yang dibahas oleh secara otomatis terdapat kemashlatan. Pemahaman
ideologi. Dengan lingkup syariah Islam yang ini dirujukkan pada kaidah ushul: haitsuma kaana
meliputi dua wilayah ini – agama dan ideologi – al-syar’u fatsammati al-mashlahatu (Di manapun
maka tepat sekali Islam disebut sebagai agama dan
ada syariah, di situ pasti ada mashlahat). (Tim
ideologi sekaligus”. (Tim Penulis HTI, 2006: 40).
Penulis HTI, 2006:45-48)
Menariknya, HTI menyebut posisi Islam Dalam soal kenegaraan, HTI tentu menganut
sebagai agama dan ideologi ini sebagai bagian utama Khilafah Islamiyah. Kekhilafahan ini menjadi harga
dari ‘aqidah (keyakinan, prinsip dasar, ideologi). mati, karena ia mengacu pada sistem politik Islam
Alasannya, karena masing-masing aspek tersebut era Nabi Muhammad dan khulafa’ al-rasyidin.
merupakan ajaran Islam yang harus diyakini oleh Melalui perjuangan yang konsisten, HTI hendak
setiap Muslim, dan merupakan persoalan agama mengubah bentuk kenegaraan NKRI menjadi
yang telah diketahui urgensinya (ma’lum min ad- khilafah. Islamisasi negara pada level nasional
din bi adh-dharurah). Penolakan terhadap ‘aqidah ini yang kemudian diangkat pada level global,
ini, akan membuat seorang muslim terpelanting dari menjadi imperium Khilafah Islamiyyah yang lintas-
Islam alias murtad. bangsa. Kekhilafah global menjadi antitesa dari
Pada titik ini kita bisa menarik garis runutan bentuk negara-bangsa (nation-state) yang telah
logis dari argumentasi HTI atas wajibnya penerapan memecahbelah umat Islam, menjadi berbangsa-
syariah Islam secara politik. Pada awalnya, HTI bangsa dan saling berbeda. Padahal menurut HTI, di
melakukan pemilahan antara akidah dan syariah. dalam Islam hanya ada umat, yakni kesatuan global
Akidah adalah keimanan kepada Allah dan Islam, keumatan dalam payung besar Khilafah Islamiyyah.
sementara syariah adalah pengamalan (shalih) dari (Aziz, 2011:138).
aturan-aturan Islam sebagai wujud dari keimanan Menariknya, konsep kenegaraan HTI berakar
tersebut. Akidah ini merupakan aspek fikrah dari pada suatu pandangan hidup. Mengutip pemikiran
ajaran Islam, sementara syariah adalah aspek Taqiyudin al-Nabhani yang menyatakan bahwa
thariqah-nya. Atau jika dipahami lebih lanjut munculnya negara baru disebabkan adanya
lagi: akidah adalah fikrah (konsepsi) Islam yang pemikiran baru. Pemikiran baru ini kemudian
harus ditegakkan melalui thariqah, yakni metode menjadi pemahaman (mafahim) yang mencipta
atau strategi penerapan syariah yang merupakan pandangan dunia, serta menciptakan pandangan
cerminan dari keimanan terhadap akidah Islam. baru tentang kemashlahatan. Pada titik inilah,
Akidah yang bersifat konseptual ini terkait dengan negara yang terbangun tentu dari pemikiran,
hal-hal ‘ubudiyah, yakni hubungan spiritual antara pemahaman dan pandangan hidup ini. Negara pada
manusia dengan Allah. Sementara syariah memuat titik ini ditempatkan secara fungsional, yaitu sebagai
thariqah, yakni strategi penerapan syariah (jinayah, badan eksekutif yang mengatur dan mengontrol
mu’amalah, dan siyasah). Karena cakupan syariah pelaksanaan kemashlahatan sesuai dengan
yang mengatur semua lini kehidupan, maka thariqah pandangan hidup tadi. Pandangan hidup ini oleh al-
al-Islam juga bersifat sosio-politik, atau secara Nabhani dinamai sebagai akidah rasional (aqidah
lebih khusus bersifat politik. Dengan cara ini, HTI aqliyah). Yakni akidah yang telah dirasionalkan,
sampai pada kesimpulan bahwa Islam selain sebagai menjadi uraian praktis dari syariah Islam. Negara
agama, juga sebagai ideologi. Sebagai ideologi, ia Madinah era Nabi adalah negara yang dibangun
merupakan perjuangan politik yang meniscayakan berdasarkan akidah rasional ini.
pendirian negara atau Khilafah Islamiyah sebagai Karena dibangun berdasarkan pemikiran
perwujudan paripurna dari nizam al-Islami tersebut. mendasar (fikr asasi), maka Negara Madinah mampu

96 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016


berdiri tegak selama 13 abad dan baru runtuh pada saja baiat ini dilakukan kepada seorang mursyid
tahun 1924, ketika umat Islam telah mengalami thariqah, sebagaimana orang-orang thariqah
kemunduran. (Black, 2001:553). Jadi pada titik (ordo sufi) memaknai hadis ini. (Tim Penulis HTI,
ini, keruntuhan Negara Islam yang merupakan 2006:211-225).
wadah bagi rasionalisasi akidah, disebabkan oleh
kemunduran pemikiran umat Islam. Pemikiran Landasan Pemikiran HTI tentang Pendirian
ini tentu bukan pemikiran filosofis, melainkan Khilafah
pemikiran yang berangkat dari akidah dan syariah Dalam kerangka pendirian kembali khilafah
Islam yang secara literar mengacu pada penafsiran sebagai thariqah bagi penegakan syariah Islam,
atas al-Qur’an dan hadis, minus mazhab-mazhab HT memiliki beberapa landasan pemikiran yang
pemikiran Islam itu sendiri. (al-Nabhani, 2007:108). bersifat filosofis, normatif dan historis. Landasan
Adapun struktur kenegaraan Islam filosofis terkait dengan kerangka pemikiran yang
(kekhilafahan) itu mengacu pada beberapa prinsip: mendasari pemikiran politik HT yang merujuk pada
(1) negara dibangun di atas akidah Islam, (2) hukum pendirian kembali khilafah. Landasan normatif
yang diterapkan ialah hukum yang berasal dari Allah, terkait dengan dasar-dasar hukum (Islam) dari
(3) kepala negara (khalifah) berhak memilih dan khilafah yang disarikan dari teks suci Al-Qur’an
menetapkan hukum yang akan diterapkan (diambil dan hadis. Sementara landasan historis adalah
dari salah satu hasil ijtihad yang sahih), (4) kepala praktik kekhilafahan dalam sejarah Islam yang
negara dipilih oleh warga negara, (5) masyarakat menggambarkan era keemasan Khilafah Islamiyyah.
selalu mengontrol kebijakan pemerintah. Dalam Dalam kerangka landasan filosofis, HT
kaitan ini, poin ke-3 dijadikan counter discourse mendasarkan pemikirannya pada kesempurnaan
atas pihak-pihak yang menentang khilafah, karena Islam. Artinya, Islam adalah agama yang sempurna.
ketidakmungkinan untuk menerapkan satu hukum Kesempurnaan ini merujuk pada komprehensivitas
Islam, karena di dalam hukum Islam itu sendiri, aturan Islam yang melingkupi semua hal, meliputi
terdapat banyak mazhab. Oleh karena itu, penerapan teologi, hukum, hati, akal, perilaku, hingga tata sosial-
syariah itu mungkin, sebab kepala negara berhak ekonomi-budaya-politik. Keseluruhan cakupan dari
memilih mazhab mana yang sah menjadi mazhab aturan Islam inilah yang menyebabkan implikasi
negara. diperlukannya suatu negara Islam, sebagai wadah
Pada titik ini, posisi negara (khilafah) Islam struktural bagi penerapan segenap aturan tersebut.
menjadi wajib, sebagai syarat sah berlakunya Pemahaman atas kesempurnaan Islam ini
syariah Islam. Buku inipun mengutip beberapa kitab dilandaskan pada beberapa ayat suci, seperti:
ulama salaf yang menerangkan pentingnya khalifah Al-yauma akmaltu lakum dinakum waatmamtu
sebagai legitimator dan legislator bagi penerapan ‘alaikum ni’mati waradlitu lakum al-Islama dina.
syariah Islam. Kitab-kitab yang dijadikan legitimasi Artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
adalah al-Umm karya Imam al-Syafi’i, Tarikhul kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
Khulafa karya Imam al-Suyuti, Shofwatu Rajulil nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
Maridl karya Mouaffaq bany al-Marjeh, Nidzamul bagimu (QS. 5:3).
Hukm fil Islam karya Taqiyudin al-Nabhani sendiri, Wamaa arsalnaka illa kaffatan linnasi basyiran
hingga karya fikih sederhana besutan Sulaiman wanadziiran walakinna aktsarannasi laa ya’lamun.
Rasyid. Artinya: Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan
Untuk rujukan kewajiban mendirikan khilafah, kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa
HTI mendasarkan diri pada hadis Nabi: “Siapa saja berita gembira dan sebagai pemberi peringatan,
yang melepas tangannya dari ketaatan terhadap tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS.
Allah, niscaya ia akan berjumpa dengan Allah di 34:28).
hari kiamat tanpa memiliki hujah. Dan siapa saja Ya ayyuha al-ladzina amanuu udkhuluu fi
yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, al-silmi kaffatan wala tattabi’uu khutuwati al-
maka matinya seperti mati jahiliyah”. syaithani innahu lakum ‘aduwwun mubin. Artinya:
Hadis tersebut memang tidak menunjukkan Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
bahwa setiap Muslim harus melakukan prosesi dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut
baiat kepada khalifah. Tetapi, ia menyiratkan langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu
keharusan di dalam setiap diri Muslim untuk musuh yang nyata bagimu (QS. 2:208).
tetap memperjuangkan kekhalifahan Islam. Suatu Dengan adanya ayat-ayat yang menunjukkan
penafsiran atas hadis yang dapat dipatahkan kesempurnaan Islam sebagai agama, serta perintah
argumentasinya. Apakah baiat dalam hadis itu untuk masuk ke dalam Islam secara menyeluruh,
selalu merupakan baiat kepada khalifah. Dapat maka HT berkesimpulan bahwa pendirian khilafah

Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan Indonesia | 97
merupakan penanda bagi kesempurnaan tersebut. Man khalafa yadan min tha’atin laqiyallaha
Artinya, khilafah merupakan bukti serta prasyarat yauma al-qiyaamati la hujjata lahu waman maata
bagi penerapan kesempurnaan Islam. Disebut bukti walaisa fii ‘unuqihi bai’atun maata miitatun
karena dengan adanya institusi politik khilafah jaahiliyyatan. Artinya: Barang siapa yang
Islam telah menyediakan tata aturan kehidupan melepaskan tangan dari ketaatan, dia akan bertemu
yang bersifat publik, yang menemukan titik Allah pada hari kiamat dengan tanpa hujjah, dan
maksimal di dalam pendirian negara. Disebut barangsiapa yang mati, dan tidak ada baiat di
prasyarat karena kesempurnaan Islam itu masih pundaknya, maka apabila mati, matinya seperti mati
bersifat potensial. Ia harus diaktualisasikan melalui jahiliyah.
pendirian khilafah. Dengan adanya kesempurnaan Dari hadis di atas, HT memaknai baiat
Islam ini, maka QS. 2:208 kemudian menyerukan dalam kerangka politik. Yakni memberikan baiat
totalitas dalam keberislaman. Totalitas ini hanya kepada khalifah setelah sang khalifah terpilih
tercipta ketika umat Islam mendirikan khilafah, secara demokratis. Baiat dalam hal ini merupakan
sebab ia merupakan bangunan besar tata kehidupan persetujuan umat atas khalifah yang menandai
menurut Islam. pemberian legitimasi dari rakyat kepada pemimpin.
Sementara itu, landasan normatif adalah Dengan adanya hadis ini, maka HT berkesimpulan
landasan keberadaan perintah khilafah di dalam bahwa orang yang tidak memberikan baiat kepada
sumber-sumber pengambilan hukum Islam. Sumber khalifah, maka kematian orang tersebut bersifat
ini terdapat di al-Qur’an, hadis, ijma’ sahabat dan jahiliyah. Artinya, kematian sebelum kehadiran
qiyas. Sebagai landasan normatif, HT kemudian Islam.
mengutip beberapa ayat yang secara interpretif Kesimpulan HT ini bermasalah karena dalam
kemudian ditafsirkan sebagai penjelasan tentang sejarah kenabian, baiat tidak selalu berada dalam
urgensitas khilafah menurut Al-Qur’an. Ayat ranah politik. Hal ini terjadi beberapa kali. Pertama,
tersebut antara lain: Baiat Aqabah Pertama (bay’at al-nisa) yang
Fahkum bainahum bimaa anzalallahu walaa diikuti oleh dua belas muslim pada tahun dua belas
tattabi’ ahwaaahum ‘ammaa jaaaka min al-haqqi. kenabian. Demikian juga Baiat Kubra yang diikuti
Artinya: Maka putuskanlah perkara mereka menurut oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua perempuan
apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu pada hari tasyriq tahun tiga belas kenabian. Kedua
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan peristiwa baiat tersebut terjadi sebelum Nabi hijrah
kebenaran yang telah datang kepadamu. (QS. 5:48) ke Madinah, yang berarti sebelum berdirinya negara
Wa anihkum bainahum bima anzalallahu wala Islam Madinah, sehingga baiat tersebut bukan baiat
tattabi’ ahwaahum wahdzarhum an yaftinuuka pengangkatan Nabi sebagai kepala negara.
‘anba’dli ma anzalallahu ilaika. Artinya: Dan Hadis lain yang menjadi landasan normatif
hendaklah kamu memutuskan perkara di antara HT adalah: Waman baya’a imaman fa a’thahu
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan shafqatan yadihi watsamaratan qalbihi falyuthi’hu
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka inistathaa’a fainjaaaka akharu yunaazi’uhu
dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya fadlribuuhu ‘unuqu al-aakhari. Artinya: Siapa
mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah membaiat seorang imam dan telah
yang telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. 5:49). memberikan genggaman tangan dan buah hatinya,
Berdasarkan ayat di atas, HT kemudian maka hendaklah menaatinya sesuai dengan
berkesimpulan bahwa perintah kepada Nabi kemampuannya. Jika datang pihak lain yang ingin
untuk menghukumi segala sesuatu berdasarkan merebut kekuasaannya, maka penggallah leher
hukum Allah, memiliki implikasi dibutuhkannya pihak tersebut.
hakim (regulator) yang meregulasi persoalan Hadis di atas menunjukkan betapa pentingnya
umat, setelah Nabi wafat. Dengan demikian membaiat imam yang oleh HT dipahami sebagai
ayat di atas mengandung perintah yang bersifat khalifah. Berdasarkan hadis ini, HT kemudian
jazm (obligatory/mandatory). Tentu hakim yang menandaskan keberadaan khilafah yang tunggal
bertugas menggantikan Nabi dalam meregulasi di dunia Islam, sehingga jika ada khilafah lain,
persoalan umat berdasarkan regulasi Allah itu maka kekhilafahan yang terakhir ini gugur sifatnya.
adalah sang khalifah. Oleh karena itu, ayat di atas Kesimpulan HT ini tentu bermasalah karena dalam
secara implisit memerintahkan penunjukan seorang realitas historis kekhilafahan itu sendiri, kelahiran
khalifah yang menggantikan fungsi hakim pasca sebuah khilafah merupakan hasil dari penaklukan
Nabi Muhammad SAW. atas kekhilafahan yang lain. Hal ini terjadi pada
Landasan normatif kedua adalah hadis Nabi khilafah ‘Abbasiyyah yang merupakan hasil dari
yang berbunyi: penaklukan terhadap dinasti Umayyah.

98 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016


Di segenap landasan normatif hadis ini, Dari segenap uraian di atas, bisa dipahami
HT menempatkan hadis sebagai ikhbar yang bahwa konsepsi politik HT dan juga HTI berangkat
mengandung tuntutan. Tuntutan ini memiliki dampak dari konsep religio-politik. Yakni konsepsi politik
ditegakkannya hukum syara’, sehingga sifatnya berbasis pemikiran keagamaan. Dengan konsepsi
menjadi wajib (jazm). Hanya saja di kesempatan lain, ini, HT memahami Islam dari perspektif politik.
HT menunjukkan inkonsistensi dengan menolak Politik menurut HT tidak hanya merujuk pada
hadis tertentu yang tidak sesuai dengan pemikirannya. pendirian lembaga negara, melainkan pembentukan
Hadis tersebut adalah: Lima yazalu hadza al-amru fi masyarakat Islami secara menyeluruh. Oleh karena
quraisyi ma baqiya minhum tsnani. Artinya: Urusan itu, politik ditempatkan dalam kerangka ideologi,
kekuasaan ini selalu milik Quraisy, selama masih ada sehingga Islam pun dipahami sebagai ideologi. Di
dua orang di antara mereka. dalam kerangka ideologi, Islam yang pada awalnya
Hadis di atas menunjukkan keharusan syarat merupakan agama, telah diperluas menjadi tata
bagi seorang khalifah berasal dari suku Quraisy. aturan kehidupan, baik menyangkut kehidupan
Bagi HT, syarat Quraisy tersebut sekadar bersifat ruhani hingga kehidupan sosial-politik.
afdlaliyyah semata. Padahal hadis ini juga bisa Pada titik ini, Islam sebagai ideologi kemudian
dipahami dalam kerangka penafsiran yang menyediakan pola perwujudan nilai-nilai ideologis
mewajibkan kesyariatan seperti terjadi pada yang oleh HT disebut fikrah dan thariqah. Fikrah
hadis sebelumnya. Dengan demikian, terdapat adalah pemikiran Islam bersumber pada akidah dan
inkonsistensi dalam pemikiran HT. syariah Islam. Sementara thariqah adalah metode
Landasan normatif ketiga atas khilafah adalah penerapan aturan keislaman dalam fikrah Islam. Di
ijma’ sahabat. Dalam hal ini, HT merujuk pada dalam thariqah Islam ini, HT mendasarkan tujuan-
kesepakatan sahabat Nabi untuk menangguhkan tujuan besar politik Islam di dalam khittah politik
pemakaman Nabi Muhammad SAW saat Sang (khittah siyasiyah) yang digerakkan melalui strategi
Rasul wafat, demi pemilihan khalifah. Artinya, para politik (uslub siyasiyah). Sebagai tujuan utama
sahabat Nabi lebih mendahulukan suksesi politik politik, khittah tidak berubah sejak awal hingga
dibandingkan memakamkan Nabi yang selama akhir thariqah. Namun sebagai strategi, uslub
ini mereka cintai. Pendahuluan suksesi politik politik bisa saja berubah mengaliri kondisi yang
inilah yang menjadi penanda betapa pentingnya berubah. Khittah politik HT adalah pembentukan
kekhilafahan setelah Nabi wafat. Maka, Abu Bakar masyarakat Islami dengan pendirian khilafah
kemudian terpilih sebagai khalifah, dilanjutkan sebagai puncak dari islamisasi masyarakat tersebut.
dengan pemilihan khalifah setelahnya, yakni Untuk mencapai ke sana, dibutuhkan uslub-uslub
Khalifah Umar, Ustman dan Ali bin Abi Thalib. strategis yang mengarahkan khittah agar bisa
Selain mendasarkan diri pada landasan filosofis tercapai secara ideal. (Hizbut Tahrir, 2009:11-
dan normatif, HT juga melandaskan argumentasi 18). Uslub-uslub politik HT ini yang terjadi sejak
kekhilafahan pada realitas historis Khilafah pengkaderan, sosialisasi kepada umat, perang
Islamiyyah. Dalam hal ini, HT mengklaim bahwa pemikiran, hingga strategi penggulingan kekuasaan
masa Nabi hingga Turki Ottoman merupakan menuju pendirian dawlah khilafah. Hanya saja di
periode khilafah dan berhenti pada tahun 1918 M tengah jalan, uslub politik bisa saja bervariasi, demi
sebelum penjajah menguasai negeri-negeri muslim. menjaga khittah politik.
Di dalam kaitan ini, argumen historis akan Konsepsi politik HTI juga merujuk pada
keberadaan era khilafah bisa dibenarkan. Hal ini konsepsinya tentang sistem khilafah. Secara
terjadi sejak periode Khulafa al-Rasyidin hingga distingtif, khilafah dibedakan dengan monarki
awal dinasti Abbasiyyah (masa Abu Ja’far al- dan demokrasi. Di dalam monarki, kekuasaan ada
Manshur). Di dalam kurun waktu 11 H/632 M di tangan raja dan pengangkatan raja yang tidak
hingga 136-158 H/754-775 M, memang terdapat melalui proses demokratis, melainkan berdasarkan
kesatuan politik dengan khilafah yang tunggal di keturunan. Sementara dalam demokrasi, kekuasaan
seluruh dunia Islam. Masa yang menandai kesatuan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh para wakil
politik Khilafah Islamiyyah ini mencapai 125 tahun. rakyat dan presiden yang dipilih melalui pemilu.
Tetapi, sejak munculnya khilafah Bani Umayyah di Khilafah bukan monarki karena sang khalifah
Spanyol yang dibangun oleh ‘Abd al-Rahman I al- tidak diangkat berdasarkan keturunan “darah biru”,
Dakhil pada 138 H/756 M, kekhilafahan tidak bisa melainkan melalui pemilihan oleh rakyat. Dalam
lagi disebut tunggal. Dinasti Umayyah di Spanyol penolakan keturunan inilah HT menolak keharusan
sejak kelahirannya menentang khilafah Abbasiyyah keturunan Quraisy sebagai khalifah, yang berarti
dan mengaku dirinya sebagai penguasa dunia Islam. menolak hadis Nabi yang menganjurkan hal
(Rafiq: 109-139). tersebut. Di dalam kerangka pemilihan ini, HTI

Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan Indonesia | 99
sebenarnya terinspirasi oleh demokrasi, walaupun Khilafah Islamiyah sebagai conditio sine qua non
enggan mengakuinya. Setelah khalifah terpilih, bagi terapnya syariah Islam. Pada titik ini, strategi
baru kemudian rakyat membaiat sang khalifah gerakan HTI dinisbatkan pada strategi perjuangan
sebagai bagian dari pemberian legitimasi dari Nabi SAW, yang memuat tiga tahap. Pertama,
umat. Di sisi lain, khilafah juga bukan demokrasi tahap pembinaan dan pengkaderan (marhalah
karena meskipun khalifah dipilih oleh umat, namun tatsqif). Dalam tahap awal ini, Nabi melakukan
kedaulatan tidak di tangan rakyat, melainkan dakwah dan pembentukan kader ideologis secara
di “tangan Tuhan”. Inilah yang disebut sebagai sembunyi-sembunyi di Mekkah, dakwah dilakukan
kedaulatan Tuhan yang termaktub dalam Al-Qur’an, secara terbatas, dimulai dari keluarga, sahabat, dan
hadis, dan segenap sumber utama syariah Islam. para budak. Target tahap ini adalah pembentukan
Maka, Khilafah Islamiyyah adalah sebuah negara kader militan dan penanaman ideologi kepada
yang kedaulatannya terletak di dalam syariah Islam, kader. Kedua, tahap interaksi dan perjuangan
sehingga baik parlemen maupun khalifah harus (marhalah tafa’ul wal kifah), yaitu tahap dakwah
tunduk kepada syariah. (Brown, 2000:79-81). secara terbuka kepada masyarakat luas.
Dalam tahap ini, Nabi telah mempraktikkan
Strategi Pergerakan HTI strategi pergulatan pemikiran (shiraul fikr) dan
Tujuan utama pergerakan HTI adalah perlawanan politik (kifah siyasi). Pergulatan
penegakan syariah Islam. Oleh karena itu, segenap pemikiran diartikan sebagai perang terhadap
gerakan HTI adalah strategi untuk menegakkan ide-ide jahiliyah yang musyrik dari kaum kafir.
syariah tersebut. Dengan demikian, HTI adalah Perlawanan politik diartikan sebagai perlawanan
gerakan Islam yang menjadikan dirinya sebagai atas kedhaliman yang dilakukan kaum kafir Mekkah
washilah bagi tujuan utama: penegakan syariah terhadap umat Islam, yang akhirnya mengantarkan
Islam secara sosio-politik. Nabi hijrah ke Madinah. Setelah tahap kedua ini,
Pada titik ini, terdapat dua macam strategi besar barulah perjuangan Nabi mencapai tahap ketiga,
untuk mewujudkan penegakan syariah. Pertama, yaitu penerimaan kekuasaan (marhalah istilamul
strategi ideal. Strategi ini mencakup pendirian hukm), yaitu tahap pendirian Negara Madinah,
Khilafah Islamiyah sebagai pra-syarat struktural setelah Nabi mendapatkan baiat dari suku-suku
bagi penerapan syariah. Hal ini didasarkan pada besar di Madinah. Pada tahap ini, Nabi menurut HTI
ajaran al-Qur’an, sunnah dan praktik politik Nabi akhirnya menjadi kepala negara, yang dengannya
yang mendaulat khalifah sebagai penerap syariah mampu menyebarkan Islam melalui kekuatan
tersebut. Artinya, untuk menerapkan syariah, maka dakwah dan militer.
harus ada khalifah sebagai legislator penerapan Strategi pergerakan HTI mengacu pada
syariah. Dalam kaitan ini, penerapan syariah memuat strategi yang ditetapkan oleh HT internasional
dua tahap. Tahap pertama, sebagai konstitusi yang terinspirasi oleh strategi perjuangan Nabi.
(dustur). Konstitusi syariah memuat pokok-pokok Secara umum, strategi itu mencakup tiga tahapan
terpenting dari syariah yang bisa menggambarkan (marhalah) perjuangan. Pertama, tahap pembinaan
syariah Islam secara utuh, meskipun dengan dan pengkaderan (marhalah tasqif). Pada tahap ini
redaksi global dan ringkas. Di sinilah pokok-pokok yang dilakukan adalah membentuk kader-kader
penerapan syariah dalam berbagai hal dirumuskan. partai. Kedua, tahap interaksi dengan masyarakat
(Hizbut Tahrir Indonesia, 2009:14-20). (marhalah tafa’ul ma’a al-ummah). Pada tahap ini,
Tahap kedua sebagai undang-undang (qanun), para kader partai diturunkan di tengah masyarakat
yaitu perundang-undangan syariah di setiap lini untuk mengenalkan gagasan HTI. Dalam tahapan
kehidupan. (Tim Penulis HTI, 313). Dalam kaitan ini, para aktivis HTI menawarkan jawaban
ini, HTI kemudian merumuskan perspektif syariah keislaman atas segala persoalan masyarakat,
dalam pengelolaan semua sektor kenegaraan, mulai sehingga umat Islam yakin dengan kebenaran
dari sumber daya alam, pendidikan Islam, tenaga Islam. Tahap ketiga adalah tahap pengambilalihan
kerja, kemiskinan, good government, kriminalitas, kekuasaan (marhalah istilam al-hukm). Setelah
pembangunan ekonomi, politik luar negeri, dan umat sadar akan kebenaran tunggal Islam, maka
penanganan korupsi. Hal ini merupakan “kampanye secara otomatis umat akan menuntut diterapkannya
komprehensif” atas kemampuan syariah dalam hukum Islam, sekaligus pendirian negara Islam.
menyelesaikan semua persoalan, maka soal-soal Pada marhalah tasqif, para aktivis HTI
tersebut adalah soal-soal yang akan diperundang- membentuk berbagai halaqah untuk mendalami dan
undangkan melalui penerapan syariah Islam. menyebarkan fikrah HT. Dalam kerangka ini, HTI
Strategi kedua bersifat pergerakan. Inilah membentuk berbagai forum sosialisasi pemikiran.
strategi pergerakan HTI dalam menegakkan kembali Secara berurutan, forum ini dimulai dengan

100 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016


pengajian umum yang diikuti oleh masyarakat dikembalikan Piagam Jakarta dalam UUD 1945,
umum. Dari pengajian ini, akan ada orang-orang mendukung pengesahan RUU Sisdiknas dan
yang tertarik, dan bagi mereka disediakan training- memperjuangkan syariat Islam di daerah-daerah.
training yang disebut dawrah dirasah Islamiyyah. Hingga saat ini, marhalah tasqif maupun
Setelah mengikuti dawrah, mereka akan mengikuti marhalah tafaul ma’al ummah masih belum
kegiatan kontak pribadi dan dilanjutkan dengan sampai pada tahap sukses dan masih dalam proses
halaqah, yakni forum kajian yang diikuti oleh 10-15 perkembangan. Jumlah anggota dan simpatisan
orang anggota. Dalam rekrutmen dan pengkaderan, HTI belum signifikan. Jumlah anggota dan luasnya
HTI memakai sistem stelsel, yakni rekrutmen dukungan terhadap organisasi ini masih kalah
dan pembinaan dalam pola seorang merekrut dan jauh dibandingkan organisasi Islam lain. Dengan
membina lima orang, lima orang tersebut masing- demikian, pembinaan kader dan penyadaran
masing merekrut dan membina lima orang lagi dan terhadap umat masih dalam tahap yang perlu terus
seterusnya. diperjuangkan, sehingga sampai saat ini HTI belum
Dalam tahap ini, HTI melakukan apa yang mencapai tahap terakhir, yakni pengambilalihan
disebut tasqif murakkas (pembinaan yang intensif). kekuasaan (istilam al-hukm). (Rahmat, 2005:115-
Pembinaan ini dilakukan melalui halaqah yang 118).
diadakan secara internal (pengikut HTI atau Sebagai bagian dari garis politiknya, HTI
hizbiyyin) dalam rangka mengembangkan kerangka melakukan penolakan terhadap praktik demokrasi
dakwah HTI, memperbanyak pendukung, serta di Indonesia beserta segenap bangunan kenegaraan
membentuk kepribadian Islam yang mampu Republik Indonesia (RI). Hal ini dilakukan
berjuang menegakkan syariat Islam. melalui ketidakikutsertaan dalam pemilu. Satu
Sebagai lanjutan dari tahap pertama, para hal yang tidak dilakukan oleh kawan-sejawatnya,
aktivis HTI juga melakukan sosialisasi ke tengah yakni gerakan IM. Gerakan Ikhwan di Indonesia
masyarakat umum (marhalah tafa’ul ma’al menempuh jalan yang lebih moderat dengan
ummah). Dalam konsep dakwah HTI, pada tahap memilih masuk ke dalam sistem demokrasi.
ini dilakukan tasqif jama’i, yakni pembinaan Maka Ikhwanul Muslimin yang di era Orde Baru
kolektif yang diperuntukkan bagi masyarakat digerakkan melalui gerakan tarbiyyah di kampus-
umum berlandaskan ide-ide dan hukum-hukum kampus, kemudian bermetamorfosa menjadi Partai
Islam yang telah dijadikan landasan HTI sebagai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini kemudian
materi pembinaan bagi umat. Kegiatan ini menjadi partai Islam yang mampu mengungguli
berbentuk pengajian-pengajian umum, ceramah- perolehan suara partai-partai Islam kawakan seperti
ceramah di masjid, balai pertemuan, kampus dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
tempat-tempat umum. Selain itu, dilakukan pula Bulan Bintang (PBB). Moderatisme strategis dari
dengan mengembangkan media massa, buku-buku, gerakan Ikhwan via PKS ini membuahkan hasil
selebaran-selebaran serta majalah Al-Wa’ie dan yang nyata. Yakni kepemilikan kursi parlemen dan
Tabloid Media Ummat. kursi kementerian di dalam kabinet. Akhirnya IM
Seluruh sarana itu dimaksudkan untuk di Indonesia bisa menyusupkan agenda Islamisnya
membangun kesadaran umat secara umum, sekaligus melalui negara.
dalam rangka syira’ al-fikr (bertarung dengan Hal ini yang ditolak oleh HTI, sehingga gerakan
pemikiran yang lain). Dengan berbagai macam yang menamakan dirinya sebagai “partai politik
kegiatan tersebut, HTI berpeluang menentang, pembebasan” inipun tetap berada di luar parlemen
mengkritik dan menghindarkan masyarakat dari dan di luar sistem politik yang ada. Dalam kaitan
berbagai pemikiran, ideologi dan tindakan yang ini, HTI tetap bersikap romantis dengan menitipkan
melenceng dari Islam. keberhasilan revolusi khilafah kepada tiga marhalah
HTI juga aktif mengkritik dan menentang perjuangan di atas. Maka, alih-alih terlibat di dalam
berbagai kebijakan pemerintah yang menyimpang pemilu dan masuk ke dalam negara. HTI tetap teguh
dari Islam serta memperjuangkan agenda-agenda dalam keyakinannya akan “revolusi dari bawah”,
politik yang mengarah pada sistem Islami. yang akan digerakkan oleh massa Islam yang telah
Selain melalui saran-sarana pertemuan dengan tercerahkan kebenaran Islam.
masyarakat luas dan media massa, mereka juga Artinya, meskipun HTI mengklaim pemikiran
aktif berdemontrasi menentang berbagai kebijakan dan agenda politiknya bersifat revolusioner, yaitu
pemerintah yang dianggap menyimpang, sekaligus perubahan secara menyeluruh segenap tatanan
mendesakkan tuntutan-tuntutan yang sesuai politik yang ada. Tetapi secara strategis, ia
dengan pemikiran HTI. Dalam rangka kifah al- menempuh jalur evolusioner, yaitu melalui strategi
siyasi (perjuangan politik) ini, mereka menuntut pendidikan, penyadaran, dan dengan kesadaran

Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan Indonesia | 101
akan kebenaran Islam itu, umat Islam akan bergerak education terhadap kewarganegaraan kita, melalui
sendiri untuk menggulingkan kekuasaan dan pengharaman atas NKRI, Pancasila, upacara
mendirikan khilafah. Sebuah utopia, tidak hanya bendera dan segenap simbol kebangsaan Indonesia.
pada level gagasan melainkan pula pada praktik “Rongrongan kebangsaan” yang dilakukan atas
pergerakan. nama agama, ini dapat memengaruhi masyarakat
yang awam agama.
Ancaman terhadap Ideologi Pancasila dan NKRI Bagi kalangan ini, klausul penistaan negara
Pasca keputusan pemerintah RI untuk merevisi dianggap solusi tegas yang selama ini ditunggu
UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan setelah sekian lama negara tidak menindak tegas
Tindak Pidana Terorisme, muncul gagasan tentang ancaman ideologi kaum radikal. Pada level
klausul penistaan negara yang diwacanakan oleh perundang-undangan, klausul ini dianggap lebih
Menko Polhukam, Luhut B. Pandjaitan. Penistaan tegas dari UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
yang dimaksud ialah pengingkaran atas NKRI Kemasyarakatan (Ormas) yang masih menolerir
sebagai bentuk negara yang final. asas sebuah organisasi, selama organisasi tersebut
Dengan demikian, dalam UU Terorisme baru menjadikan Pancasila sebagai asas kenegaraan.
terdapat ancaman penjara atas orang, kelompok Apabila dalam UU Ormas, negara hanya
dan organisasi yang mengharamkan NKRI, karena menertibkan asas organisasi yang kemungkinan
memimpikan tegaknya sistem negara lain, misalnya anti-Pancasila, maka dalam revisi UU Terorisme,
Khilafah Islamiyah. Hal ini merupakan bagian negara dapat memenjarakan pihak-pihak yang anti-
dari deradikalisasi yang dimasukkan dalam revisi Pancasila.
UU tersebut, untuk menyempurnakan pendekatan Pertanyaannya, mengapa klausul penistaan
represif atas terorisme. Artinya, untuk memberantas negara ini penting? Jawabannya jelas: untuk
terorisme, perlu dihilangkan ideologi radikal dalam menjaga keamanan masyarakat yang dinaungi
pandangan politik umat beragama. oleh bangunan politik NKRI. Artinya, penistaan,
Atas hal ini, terdapat dua tanggapan yang penolakan dan pengingkaran atas NKRI tidak
berkembang. Bagi kalangan yang kontra, klausul hanya merupakan “ancaman abstrak” yang terhenti
ini menandai bangkitnya UU No. 11/PNPS/1963 pada level wacana. Tetapi menjadi sumbu bagi
tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi (Anti- disintegrasi masyarakat, destabilisasi politik hingga
Subversi) yang telah dicabut pada April 1999. ancaman keamanan.
Sebagaimana diketahui, dalam UU Subversi Dalam hal ini, penista NKRI seperti HTI
terdapat Pasal 1 yang melarang perongrongan atas telah menggerakkan ancaman ideologi, politik,
negara dan Pancasila. Istilah “merongrong negara” kebangsaan, demokrasi dan akhirnya keamanan.
dianggap sebagai pasal karet yang digunakan untuk Berbagai ancaman ini perlu dijelaskan satu-persatu.
memberangus “eka” (ekstrim kanan) dan “eki” Pertama, ancaman ideologis atas Pancasila.
(ekstrim kiri). Bagi penista NKRI, Pancasila adalah ideologi
Tanggapan kontra ini selain lahir dari kafir karena memuat pluralisme (kebhinekaan)
kekhawatiran kembalinya otoritarianisme, juga agama, maupun pluralisme ideologi (humanisme,
berangkat dari konsekuensi demokrasi yang nasionalisme, demokrasi dan sosialisme). Hal ini
memberikan kebebasan, termasuk terhadap musuh- dianggap menyimpang karena misalnya, hanya Islam
musuh demokrasi. Artinya, meskipun gerakan dan Islamisme; agama serta ideologi yang benar.
radikal Islam ingin mengganti NKRI dengan Pengafiran Pancasila ini merupakan pandangan HTI
khilafah, ia tidak bisa dilarang demi konsistensi melalui selebarannya, al-banshasila Falsafah Kufr
demokratik. Gerakan radikal dapat dilarang la Tattafiq Ma’al Islam (Pancasila Falsafah Kufur
apabila melakukan tindakan kriminal, sehingga Tidak Sesuai dengan Islam). (al-Amin, 2012:65).
pelarangannya ditentukan oleh keputusan hukum Dengan mengafirkan Pancasila, para penista
di pengadilan. Pada titik ini, ideologi yang berbeda NKRI ini ingin menjadikan ideologinya sebagai
dengan ideologi negara, tidak dianggap kriminal, dasar negara selain NKRI. Hal ini tentu berbahaya,
sejauh ia tidak melanggar hukum. karena Pancasila merupakan dasar terbaik bagi
Sementara itu, bagi kalangan yang menyambut masyarakat majemuk demokratik yang memuliakan
baik klausul ini, telah melihat kesadaran dan nilai-nilai ketuhanan. Dengan menolak Pancasila,
ketegasan pemerintah atas ancaman ideologi berarti mereka menolak apa yang Soekarno sebut,
terhadap bangunan bangsa. Hal ini dilatari oleh “ketuhanan yang berkebudayaan”, di mana nilai
pemahaman bahwa para pejuang khilafah memang ketuhanan di negeri ini diamalkan demi tegaknya
tidak akan (mampu) makar dan melakukan tindakan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. (Arif, 2016:67).
kudeta. Akan tetapi ia telah melakukan black Bukan demi “negara Tuhan” yang ditegakkan

102 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016


dengan “hukum pedang”. Raibnya Pancasila akan Adanya tujuan ini melahirkan penistaan
melahirkan ancaman kemanusiaan dan demokrasi atas NKRI, karena Indonesia merupakan negara
yang fundamental bagi kehidupan bangsa yang sehat. modern berbasis hukum nasional yang melindungi
Kedua, ancaman politik melalui penggantian kemajemukan bangsa. Oleh karenanya, penggantian
NKRI dengan negara Islam atau Khilafah Islamiyah. NKRI dengan khilafah sejatinya merupakan gagasan
Tentu di dalam dirinya sendiri, khilafah bukan yang bersifat makar. Atas dasar ini, pemerintah
ancaman. Apalagi jika merujuk pada kekhalifahan seharusnya memiliki ketegasan sikap atas gerakan
Khulafa al-Rasyidin yang menegakkan kerahmatan HTI, karena memiliki pandangan politik yang
Islam. Tetapi, di tangan gerakan Islam radikal bertentangan dengan Pancasila.
seperti HTI, khilafah merupakan anakronisme,
karena memaksakan sistem politik tunggal masa Saran
lalu, di konteks masyarakat kontemporer yang Sesuai namanya, HTI merupakan partai politik
majemuk. Andaikan NKRI diganti dengan khilafah, Islam ekstraparlementer, jadi bukan merupakan
umat beragama nonIslam menjadi warga negara ormas keagamaan seperti NU atau Muhammadiyah.
nomor dua dan diskriminasi berbasis perbedaan HTI anti terhadap Pancasila dan memperjuangkan
agama menjadi kebijakan utama pemerintahan khilafah sebagai alternatif sistem pemerintahan.
Islam di Indonesia. (Mas’udi, 2011) HTI perlu disikapi dengan bijak. Organisasi
Ketiga, ancaman keamanan. Para pejuang masyarakat keagamaan yang tidak sepaham dengan
khilafah menang tidak secara otomatis merupakan HTI tidak dibenarkan memperlakukan HTI secara
teroris. Mereka pada awalnya adalah sayap terdidik semena-mena. Usul ormas keagamaan lain untuk
dari radikalisme Islam yang mengembangkan membubarkan HTI harus dilakukan secara bijak
perang pemikiran, konsep dan sistem politik agar tidak timbul konflik horizontal di tengah-
yang berbeda dengan Barat. Akan tetapi, konsep tengah masyarakat.
ideologisnya tentang negara Islam atau khilafah, Pemerintah perlu membuka ruang dialog
menjadi ideologi dasar bagi terorisme. Hal ini dengan HTI terkait ideologi yang dianutnya
terlihat pada Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dan tujuan pembentukannya. Jika ideologi HTI
yang menjadikan pendirian negara Islam global bertentangan dengan ideologi negara, pemerintah
sebagai cita-cita teroristiknya. Dengan fakta bahwa perlu mengingatkan HTI bahwa ideologi tersebut
Bahrun Naim, militan ISIS terduga otak intelektual tidak boleh dikembangkan di Indonesia. Sistem
di balik “teror Sarinah” (14/01/2016), merupakan pemerintahan NKRI juga sudah final, tidak perlu
“alumni” HTI. Meskipun Hizbut Tahrir menolak dan tidak boleh diubah.
ISIS, namun Naim memperoleh “pendidikan
khilafah” di dalam HTI, sebelum ia hijrah ke ISIS.
Tentu implementasi klausul penistaan
negara dalam UU Terorisme baru ini tidak boleh Daftar Pustaka
melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) dan nilai-
nilai demokrasi. Artinya, ia perlu diletakkan secara
terbatas, yakni kepada gerakan politik penolak
NKRI yang berpotensi melakukan aksi terorisme. Buku
Pembatasan ini yang akan menghalangi bangkitnya Arif, Syaiful. 2007. Sistem Pergaulan di dalam Islam.
UU Anti-Subversi yang melibas semua pihak yang Jakarta: HTI Press.
kritis terhadap pemerintah. (Arif, 2016). ---. 2009. Dedarikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi
Islam Kultural. Depok: Koekoesan.
Simpulan
---. 2011. Chiefdom Madinah, Gagal Paham Negara
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Islam. Jakarta: Penerbit Alvabet.
HTI melakukan delegitimasi kebangsaan, Pancasila
dan bangunan kenegaraan NKRI. Hal ini berangkat ---. 2016. Falsafah Kebudayaan Pancasila, Nilai dan
dari pandangan tentang syariah Islam yang formalis Kontradiksi Sosialnya. Jakarta: Gramedia Pustaka
dan holistik. Syariah dipahami sebagai tata aturan Utama.
hukum seluruh kehidupan masyarakat, melalui ---. 2009. Dedarikalisasi Islam, Paradigma dan Strategi
formalisasi ke dalam konstitusi dan hukum negara. Islam Kultural. Depok: Koekoesan.
Tujuan pendirian kembali Khilafah Islamiyyah Arifin, Syamsul. 2015. Studi Islam Kontemporer: Arus
merupakan kondisi struktural bagi tegaknya syariah Radikalisasi dan Multikulturalisme di Indonesia.
Islam ini. Malang: Instrans Publishing.

Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis HTI dalam Sistem Kenegaraan Indonesia | 103
Al-Amin, Ainur Rofiq. 2012. Membongkar Proyek Ja’fariyah, Rasul. 2006. Sejarah Khilafah 11-35 H.
Khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia. Yogyakarta: Jakarta: Al-Huda
LKiS.
Khatab, Sayed. 2007. Democracy in Islam. London and
Ali, As’ad Said. 2009. Negara Pancasila, Jalan New York: Routledge
Kemaslahatan Bangsa. Jakarta: LP3ES
M. Sirajuddin, “Resolusi Konflik Ideologi,” Jurnal
Al-Nabhani, Taqiyudin al-Nabhani. 1991. Syakhshiyah Analisis, Vol. XII, Nomor 2, Desember 2014.
Islam (Kepribadian Islam) Jilid I. Bogor: Pustaka
Mas’udi, Masdar Farid. 2011. Syarah Konstitusi, UUD
Thariqul Izzah.
1945 dalam Perspektif Islam. Jakarta: Alvabet
Aziz, Abdul Aziz. 2016. Islam versus Demokrasi,
Rahmat, M. Imdadun. 2005. Arus Baru Islam Radikal,
Menguak Mitos, Menemukan Solusi. Jakarta:
Transmisi Revivalisme Islam Timur-Tengah ke
Saadah Pustaka Mandiri.
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Black, Antony. 2001. Pemikiran Politik Islam, Dari
Review, Reform. Gerakan Keagamaan Transnasional di
Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi.
Dunia Islam dan Pemetaan Jejaknya di Indonesia,
Brown, L. Carl. 2000. Religion and State, The Muslim Vol. I No. 1, April-Juni 2007
Approach to Politics. New York: Columbia
Sahal, Akhmad Sahal, Aziz, Munawir (ed.). 2015.
University Press.
Islam Nusantara, Dari Ushul Fiqh Hingga Paham
Cesary, Jocelyne. 2004. When Islam and Democracy Kebangsaan. Bandung: Mizan
Meet. NY: Palgrave Macmillan
Thabib, Hamd Fahmi Thabib. 2008. Khilafah
Cox, Caroline, John Marks. 2003. The ‘West’, Islam and Rasyidah yang Telah Dijanjikan, dan Tantangan-
Islamism. London: Civitas: Institute for the Study tantangannya. Jakarta: HTI-Press.
of Civil Society.
Tim Penulis HTI. 2006. Syariah Islam dalam Kebijakan
Hizbut Tahrir (1945-2005). 2009. Konsepsi Politik Publik. Jakarta: HTI Press.
Hizbut Tahrir. Jakarta: HTI-Press.
Zalum, Abdul Qadim Zalum. 2009. Sistem Keuangan
Hizbut Tahrir Indonesia. 2009. Manifesto Hizbut Tahrir Negara Khilafah. Jakarta: HTI Press.
untuk Indonesia: Indonesia, Khilafah dan Penyatuan
Kembali Dunia Islam. Jakarta: HTI-Press
Internet
Ismail, Faisal. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Arif, Syaiful, “Ihwal Penistanaan Negara,” dalam www.
Agama, Wacana Ketegangan Kreatif Islam dan publicapos.com diakes tanggal 16 April 2016.
Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana

104 | Aspirasi Vol. 7 No. 1, Juni 2016

You might also like