Buku PKB 75 PDF

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 35

PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FKUI-RSCM - JAKARTA UNIVERSITAS


INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

XLIV Alergi-Imunologi, Infeksi 30-31 Juli 2001 Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit Alergi FAKULTAS

dan Penyakit Tropis KEDOKTERAN

XLV Dep.IKA FKUI-RSCM 18-19 Feb 2002 Hot Topics and Pediatrics II
XLVI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Sep 2004 Current Management of Pediatrics Problems
XLVII Dep. IKA FKUI-RSCM 19-20 Sep 2005 Penanganan Demam pada Anak Secara Profesional
XLVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 13-14 Des 2005 Update in Neonatal Infections
XLIX Dep. IKA FKUI-RSCM 5-7 Maret 2006 Neurology in Children for General Practitioner in Daily Practice
L Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Juli 2006 Strategi Pendekatan Klinis Secara Profesional Batuk pada Anak
LI Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Nov 2006 Pain Management in Children

Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care


LII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Juli 2007 Pendekatan Praktis Pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan
anak
LIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 Nov 2007 Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning
LIV Dep. IKA FKUI-RSCM 27-28 Okt 2008 The 1st National Symposium on Immunization
LV Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2009 HIV Infection in Infants and Children in Indonesia: Current Challenges in
Management
LVI Dep. IKA FKUI-RSCM 9-10 Agt 2009 The 2nd Adolescent Health National Symposia:

LVII Dep. IKA FKUI-RSCM 8-9 Nov 2009


Current Challenges in Management
Management of Pediatric Heart Disease for Practitioners: From Early
Detection to Intervention
Prosiding Simposium LxxV
Fighting Longterm Problems for Better
LVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 20-21 Juni 2010 Pediatric Skin Allergy and Its Problems
LIX Dep. IKA FKUI-RSCM & IDAI 19-20 Des 2010 The Current Management of Pediatric Ambulatory Patients
Jaya

Pediatric Care
LX Dep. IKA FKUI-RSCM & IDAI 9-10 Okt 2011 Peran Dokter Anak dalam Diagnosis Dini dan Pemantauan Keganasan pada
Jaya Anak
LXI Dep. IKA FKUI-RSCM 5-6 Feb 2012 Kegawatan Pada Bayi dan Anak
LXII Dep. IKA FKUI-RSCM 1-2 Apr 2012 Current Management in Pediatric Allergy and Respiratory Problems
LXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Juni 2012 Update Management of Infectious Diseases and Gastrointestinal Disorders
LXIV Dep. IKA FKUI-RSCM 24-25 Maret 2013 Tata Laksana Berbagai Keadaan Gawat Darurat pada Anak
LXV Dep. IKA FKUI-RSCM 17-18 Nop 2013 Pelayanan Kesehatan Anak Terpadu DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
LXVI Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Maret 2014 Pendekatan Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan Kualitas
Hidup FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
LXVII Dep. IKA FKUI-RSCM 16-17 Nop 2014 Current Evidence in Pediatric Practices RS. CIPTO MANGUNKUSUMO
LXVIII Dep. IKA FKUI-RSCM 12-13 April 2015 Current Evidences in Pediatric Emergencies Management
LXIX Dep. IKA FKUI-RSCM 6-7 Des 2015 Menuju diagnosis: pemeriksaan apa yang perlu dilakukan?
LXX Dep. IKA FKUI-RSCM 3-4 April 2016 Common and Re-Emerging Infectious Disease: Current Evidence
LXXI Dep. IKA FKUI-RSCM 30-31 Okt 2016 Doctors Without Border: Recent Advances in Pediatrics
LXXII Dep. IKA FKUI-RSCM 25-26 Maret 2017 Transformation from Fetus to Excellent Adolescents
LXXIII Dep. IKA FKUI-RSCM 22-23 Okt 2017 Masalah Kesehatan Neonatus Sampai Remaja
LXXIV Dep. IKA FKUI-RSCM 29-30 April 2018 A to Z about infections Pediatric antibiotic stewardship: How to prevent of
antibiotic resistance?

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit
Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, senantiasa mengetengahkan perkembangan mutakhir dalam bidang
ilmu kesehatan anak di samping masalah pediatri praktis. Keterangan tentang program ini setiap saat dapat dimintakan kepada:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, Jalan Diponegoro 71, Jakarta 10430, Telp. (021) 3161420, Fax. (021) 3161420
Jakarta, 25 - 26 November 2018
PROSIDING SIMPOSIUM DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FKUI-RSCM - JAKARTA
I Kardiologi 7-8 Juli 1980 Penataran Berkala Kardiologi Pediatrik
II Gawat Darurat 23 Jan 1982 Demam Berdarah Dengue
III Hematologi 5 Juni 1982 Beberapa Aspek Hematologi
IV Neurologi 11-16 April 1983 Kejang pada Anak
V Kardiologi 19-20 April 1983 Penataran EKG Bayi danAnak
VI Nefrologi 1 Juni 1983 Penanggulangan Penyakit Ginjal Kronik
VII Gizi 13 Nov 1983 Gizi dan Tumbuh Kembang
VIII Pulmonologi 9-10 Nov 1983 Bronkitis dan Asma pada Anak
IX Perinatologi 3-4 Des 1984 Ikterus pada Neonatus
X Penyakit Tropis 4 Mei 1985 Permasalahan dan Penatalaksanaan Mutakhir Beberapa Penyakit Tropis
XI Kardiologi 31 JuIi-1 Agt 1985 Diagnosis dan Penatalaksanaan Penyakit Jantung Bawaan yang Dapat
Dikoreksi
XII Radiologi 1-2 Nov 1985 Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak
XIII Endokrinologi 23 Febr 1986 Masalah penyimpangan Pertumbuhan Somatik dan Seksual pada Anak dan
Remaja
XIV Gawat Darurat 9 Agt 1986 Penanggulangan Terpadu Enterokolitis Nekrotikans Neonatal
XV Radiologi 20-21 Juni 1988 Radiologi dan Ortopedi Praktis pada Anak
XVI Gastroenterologi 30 Sept-1 Okt 1988 Penanggulangan Mutakhir Beberapa Penyakit Gastrointestinal pada Anak
XVII Pulmonologi 21-22 Okt 1988 Beberapa Masalah Klinis Praktis Pulmonologi Anak
XVIII Neurologi 27-28 Jan 1989 Kedaruratan Saraf Anak
XIX Gizi 8-9 Sept 1989 Beberapa Aspek Tentang Vitamin dan Mineral pada Tumbuh Kembang Anak
XX Kardiologi 15-16 Des 1989 Penatalaksanaan Kedaruratan Kardio vaskular pada Anak
XXI Alergi-imunologi 9-10 Mar 1990 Meningkatkan Profesionalisme dalam Penatalaksanaan Penyakit Alergi-
Imunologi
XXII Nefrologi 7-8 Des 1990 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal pada Anak
XXIII Perinatologi 8-9 Juli 1991 Sindrom Gawat Napas pada Neonatus
XXIV Hematologi 6-7 Sept 1991 Perkembangan Mutakhir Penyakit Hematologi Onkologi Anak
XXV Penyakit Tropis 26-27 Juni 1992 Tata Iaksana Penyakit Infeksi pada Anak Masa Kini dan Masa Mendatang
XXVI Radiologi 11-12 Sept 1992 Pencitraan Traktus Urinarius pada Anak
XXVII Hepatologi 6-7 Nop 1992 Hepatologi Anak Masa Kini
XXVIII Endokrinologi 16-15 Feb 1993 Masalah Penyimpangan Pertumbuhan Somatik pada Anak dan Remaja
XXIX Nefrologi 24-25 Sept 1993 Penanggulangan Masalah Uronefrologi pada Anak
XXX Gawat Darurat 3-4 Des 1993 Pendekatan Farmakologi pada Pediatrik Gawat Darurat
XXXI Gastroenterologi 3-4 Feb 1994 Optimalisasi Tatalaksana Gagal Tumbuh Gastointestinal Guna Meningkatkan
Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXII Kardiologi 1-2 Juli 1994 Pengenalan Dini dan Tatalaksana Penyakit Jantung Bawaan pada Neonatus
XXXIII Pulmonologi 2-3 Des 1994 Perkembangan dan Masalah Pulmonologi Anak Saat ini
XXXIV Neurologi 24-25 Mar 1995 Neurologi Anak dalam Praktek Sehari-hari
XXXV Gizi 11-12 Agt 1995 Masalah Gizi Ganda dan Tumbuh Kembang Anak
XXXVI Alergi-Imunologi 10-11 Nop 1995 Strategi Pendekatan Klinis Berbagai Penyakit Alergi dan Reumatik pada Anak
XXXVII Tumbuh Kembang 21-23 Nop 1996 Deteksi dan Intervensi Dini Penyimpangan Tumbuh Pediatri Sosial Kembang
Anak dalam Upaya Optimalisasi Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXVIII Perinatologi 7-8 Apr 1997 Penanganan Mutakhir Bayi Prematur: Memenuhi Kebutuhan Bayi Prematur
untuk Menunjang Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
XXXIX Infeksi dan Pediatrik Tropik 25-26 Agt 1997 Strategi Pemilihan dan Penggunaan Vaksin serta Antibiotik dalam Upaya
Antisipasi Era Perubahan Pola Penyakit
XL Radiologi 26-27 Nop 1997 Pencitraan: Penggunaannya untuk Menunjang Diagnosis Penyakit Saluran
Napas dan Saraf pada Anak
XLI Hematologi 24-25 Jun 1998 Darah dan Tumbuh Kembang: Aspek Transfusi
XLII Gastroenterologi, 22-23 Feb 1999 Dari Kehidupan Intrauterin sampai Transplantasi Organ: Aktualisasi
Hepatologi dan Gizi Gastroenterologi-Hepatologi dan Gizi
XLIII Hepatologi 31 Mei 2000 Tinjauan Komprehensif Hepatitis Virus Pada Anak
UNIVERSITAS
INDONESIA
Veritas, Probitas, Justitia

FAKULTAS

KEDOKTERAN

Prosiding Simposium LxxV


Fighting Longterm Problems for
Better Pediatric Care

Jakarta, 25 - 26 November 2018

Penyunting:
Partini P. Trihono
Endang Windiastuti
Muzal Kadim
Dina Muktiarti
Henny Adriani Puspitasari

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
Judul Prosiding Simposium LXXV
Tema Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care
Pelaksanaan Jakarta, 25-26 November 2018
Penanggung Jawab DR. Dr. Aryono Hendarto, Sp.A(K), MPH
Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM
Reviewer Dr. dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)
dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
dr. Henny Adriani Puspitasari, Sp.A
Editor Dr. dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)
dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
dr. Henny Adriani Puspitasari, Sp.A

Hak Cipta dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh
buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan
penerbit

Diterbitkan oleh:
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Cetakan Pertama 2018

ii
Kata Sambutan
Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM

Assalamualaikum wr wb

Teman Sejawat Dokter Spesialis Anak yang saya hormati

Ilmu Kedokteran bersama dengan teknologi kedokteran berkembang sangat


cepat, terutama di era digital saat ini. Inovasi baur di bidang diagnostik
dan tatalaksana penyakit terus dikembangkan. Oleh karena itu mengikuti
perkembangan keilmuan terkini semakin menjadi keharusan untuk setiap
dokter termasuk dokter spesialis anak. Seperti kita ketahui diperkirakan
pada tahun 2030 Indonesia akan mengalami bonus demografi, yaitu jumlah
penduduk usia produktif lebih banyak dari jumlah penduduka usia non
produkstif. Termasuk di dalam kelompok usia produksi adalah anak-anak
usia 15-18 tahun yang masalah kesehatannya menjadi tanggung jawab dokter
spesialis anak. Kita memang tidak mengetahui apakah masalah kesehatan
anak saat terjadi bonus demografi akan sama dengan saat ini, atau akan ada
masalah baru yang dihadapi oleh kita sebagai dokter spesialis anak.
Terlepas dari itu semua, jauh lebih penting kita sebagai dokter spesialis
anak memantabkan diri dengan menguasai setiap malasah kesehatan di
Indonesia, hal ini paling tidak akan mengurangi beban kita saat berada di era
bonus demografi. Sehubungan hal tersebut maka dipenghujung thun 2018
ini Departemen IKA FKUI-RSCM kembali menyelengarakan PKB dengan
mengangkat topik-topik yang bukan saja penting tetapi juga menarik. Mengapa
penting dan menarik? Hal ini
karena topik yang dibahas adalah masalah kesehatan anak yang terkini
seperti misalnya tranfusi masiv di bidang hematologi, penggunaan acid
reducer sebagai terapi gangguan cerna dan stem cell. Sedangkan disebut topik
menarik karena yang dibahas topik-topik yang relevan dengan tugas pelayanan
kesehatan sehari-hari seperti misalnya kasus-kasus alergi, gastrohepatologi,
pediatri sosial (bullying) dll.
Semoga PKB ini akan membawa banyak manfaat bagi peserta yang
muaranya adalah peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak di Indonesia.
Pada kesempatan ini Departemen IKA mengucapkan terima kasih kepada
seluruh staf yang terlibat dalam PKB ini mulai dari perencanaan sampai

iii
pelaksanaan baik sebagai panitia, pemandu maupun pembicara. Ucapan
terima kasih juga disampaikan kepada para mitra departemen IKA telah
berkontribus secara aktif dan elegan sehingga PKB ini dapat terlaksana

Wassalamualaikum Wr Wb

DR.Dr. Aryono Hendarto, SpA(K), MPH


Ketua Departemen IKA FKUI-RSCM

iv
Kata Sambutan
Ketua Panitia PKB Departemen IKA FKUI-RSCM LXXV

Assalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh


Departemen IKA dengan bangga menyelenggarakan PKB IKA LXXV di
penghujung tahun 2018, dengan tema Fighting Longterm Problems for Better
Pediatric Care. Tema ini diangkat mengingat banyak kasus anak yang memiliki
masalah kronik dan harus diatasi dengan cara yang tepat. Yang dimaksud
masalah kronik misalnya adalah dermatitis atopi, urtikaria, gangguan berjalan,
Irritable Bowel Syndrom, gangguan saluran cerna lain yang membutuhkan
strategi terapi, ITP, dan hematuria. Di antara itu akan dibahas juga pemeriksaan
hematologi yang sebaiknya dilakukan bila ada permintaan praoperasi, selain
juga masalah bila kita harus memberikan transfusi dalam jumlah yang banyak.
Benang merah dari berbagai masalah kronik ini adalah kasusnya mungkin
perlu rawat inap, namun banyak yang hanya memerlukan tatalaksana
rawat jalan yang terencana dengan baik untuk mencapai kontrol terhadap
penyakitnya. Tidak semua kasus ini perlu sampai ke rujukan subspesialis.
Namun bila diperlukan, setidaknya sudah ada upaya diagnostik dan terapetik
yang baik sebelumnya.
Yang juga dibahas dan dianggap masalah di layanan rawat jalan adalah
perundungan (bullying), ketergantungan terhadap gawai (gadget) dan game
di internet, serta keluhan tidur. Meski sudah banyak dibahas, namun tetap
menarik untuk mendapatkan pembaruan atas masalah ini.
Untuk menolong teman sejawat menyelesaikan berbagai masalah di atas,
buku PKB ini memuat makalah yang dapat dibaca dan dijadikan rujukan bila
menemuai kasus yang dimaksud. Terima kasih kami sampaikan kepada semua
pemateri yang telah berkontribusi terhadap pembuatan buku PKB ini.

Wassalamualaikum Warrahmatullah Wabarakatuh

Nia Kurniati
Ketua Panitia

v
vi
Kata Pengantar Tim Penyunting

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Segala puji dan syukur kita haturkan ke hadirat Illahi atas tersusunnya
kumpulan makalah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB) Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM yang ke LXXV yang diberi judul Prosiding
Simposium LXXV. Tema PKB Departemen IKA-FKUI RSCM kali ini adalah
“Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care”. Penulis makalah
dalam buku ini adalah para praktisi kesehatan yang kompeten dalam bidangnya
masing-masing, dan berpengalaman dalam menangani penyakit kronik dan
berulang pada anak.
Prosiding ini berisi 17 makalah yang ditulis oleh staf Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM, dan seorang pakar sel punca yang memberikan
wacana baru dalam terapi pediatri. Topik yang disampaikan adalah ilmu praktis
terkini yang berguna dalam menjalankan praktik sehari-hari di poliklinik
maupun dalam merawat pasien anak. Topik-topik tersebut sangat diperlukan
oleh dokter spesialis anak, dokter umum, dan praktisi kedokteran lainnya
dalam meningkatkan kompetensinya secara berkesinambungan seperti yang
diamanahkan oleh Undang-Undang Praktik Kedokteran.
Kepada seluruh penulis, kami mengucapkan penghargaan yang setinggi
tingginya, yang di sela-sela kesibukannya masih meluangkan waktu untuk
menyusun makalah ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua
anggota Tim Penyunting yang sudah bekerja keras dalam waktu yang relatif
singkat. Kami mohon maaf sekiranya dalam menyunting makalah-makalah
tersebut masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan. Semoga Prosiding
Simposium LXXV Departemen IKA FKUI-RSCM ini bermanfaat bagi para
pembaca dalam memperbaiki pelayanan kesehatan anak.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, November 2018


Tim Penyunting

vii
viii
Tim PKB FKUI-RSCM

Ketua : DR. Dr. Sudung O. Pardede, Sp.A(K)


Wakil Ketua : DR. Dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)
Sekretaris : Dr. Bernie Endyarni, Sp.A(K), MPH
Bendahara : Dr. Titis Prawitasari, Sp.A(K)
Anggota : 1. Prof. DR. Dr. Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K)
2. Prof. DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro, Sp.A(K)
3. Prof. Dr. Jose RL Batubara, PhD, Sp.A(K)
4. Prof. DR. Dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K)
5. Dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
6. DR. Dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K)

ix
Susunan Panitia

Ketua Dr. Nia Kurniati, SpA(K)

Wakil Ketua Dr. dr. Irene Yuniar, Sp.A(K)

Sekretaris dr. Cut Nurul Hafifah, Sp.A

Bendahara dr. Amanda Soebadi, Sp.A(K)

Seksi Dana Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, SpA(K)


Prof. dr. Jose RL Batubara, PhD, SpA(K)
Prof. Dr. dr. Zakiudin Munasir, SpA(K)
Prof. Dr. dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA(K)
Prof. Dr. Badriul Hegar S., PhD, SpA(K)
Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K)

Seksi Ilmiah Dr. dr. Partini P. Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed)


dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed)
dr. Muzal Kadim, Sp.A(K)
dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K)
dr. Henny Adriani Puspitasari, Sp.A

Seksi Perlengkapan, dr. Piprim B. Yanuarso, Sp.A(K)


Dokumentasi & dr. Riski Muhaimin, Sp.A
Pameran

Seksi Sidang dr. Cahyani Gita Ambarsari, Sp.A(K)


dr. Ludi Dhyani Rahmartani, Sp.A
dr. Tartila, Sp.A

Seksi Konsumsi dr. Rosalina D. Roeslani, Sp.A(K)


dr. Yoga Devaera, Sp.A(K)

x
Daftar Penulis

Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo –


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Prof. Dr. dr. Zakiudin Munasir, Sp.A(K) Divisi Alergi Imunologi


dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K) Divisi Alergi Imunologi
Prof. dr. Arwin Akib, Sp.A(K) Divisi Alergi Imunologi
dr. Nia Kurniati, Sp.A(K) Divisi Alergi Imunologi
dr. Bernie Endyarni Medise, Sp.A(K), MPH Divisi Tumbuh Kembang Pedriati Sosial
Dr. dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K) Divisi Tumbuh Kembang Pedriati Sosial
Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K) Divisi Tumbuh Kembang Pedriati Sosial
Dr. dr. Partini P Trihono, Sp.A(K), MMed(Paed) Divisi Nefrologi
dr. R. Adhi Teguh Perma Iskandar, Sp.A(K) Divisi Neonatologi
dr. Muzal Kadim, Sp.A(K) Divisi Gastrohepatologi
Dr. dr. Hanifah Oswari, Sp.A(K) Divisi Gastrohepatologi
dr. Endang Windiastuti, Sp.A(K), MMed(Paed) Divisi Hematologi – Onkologi
Dr. dr. Pustika Amalia, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi
Dr. dr. Teny Tjitra Sari, Sp.A(K) Divisi Hematologi – Onkologi
Prof. Dr. dr. Agus Firmansyah, Sp.A(K) Divisi Gastrohepatologi
Prof. dr. Badriul Hegar Syarif, PhD, Sp.A(K) Divisi Gastrohepatologi

Departemen Bedah Ortopedi Traumatologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo - Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia
Dr. dr. Ismail HD., Sp.OT(K)

xi
xii
Daftar isi

Kata Sambutan Ketua Departemen IKA FKUI - RSCM.............................. iii


Kata Sambutan Ketua Panitia PKB Dep. IKA FKUI-RSCM LXXV............. v
Kata Pengantar Tim Penyunting................................................................. vii
Tim PKB FKUI-RSCM............................................................................... ix
Susunan Panitia........................................................................................... x
Daftar Penulis............................................................................................. xi

Pendekatan Praktis Dermatitis Atopik pada Anak....................................... 1


Zakiudin Munasir
Tata Laksana Urtikaria Kronik pada Anak................................................. 10
Dina Muktiarti
Pendekatan Diagnosis Limping Children.................................................... 19
Arwin AP Akib
Mix Allergy................................................................................................. 27
Nia Kurniati
Bullying: What Pediatricians Should Know and Do?.................................... 33
Bernie Endyarni Medise
Dampak Penggunaan Gadget dan Media Digital dalam Tumbuh Kembang
Anak.......................................................................................................... 43
Hartono Gunardi, Annisa R Yulman
Gangguan Tidur pada Anak ...................................................................... 52
Rini Sekartini, Clarissa J. Aditya

xiii
Pendekatan Diagnostik Klinis Anak dengan Hematuria............................. 62
Partini Pudjiastuti Trihono
Masalah Etik dan Keselamatan Pasien di Neonatal Intensive Care............. 70
R. Adhi Teguh Perma Iskandar, Sriwulan Rosalinda
Bagaimana Mengenal Gejala Irritable Bowel Syndrome pada Anak............ 82
Muzal Kadim
Drug Induced Liver Injury (DILI): When to Suspect and How to Treat?....... 89
Hanifah Oswari
Skrining Pra-Operatif pada Anak............................................................... 97
Endang Windiastuti
Transfusi Masif pada Anak....................................................................... 109
Pustika Amalia Wahidiyat, Stephen Diah Iskandar
Immune Thrombocytopenia Purpura: new update...................................... 118
Teny Tjitra Sari
Penggunaan Obat Penekan Asam Lambung dalam Praktik Sehari-hari.... 126
Agus Firmansyah
Terapi Farmakologi pada Gangguan Motilitas Saluran Cerna: Refluks
Gastroesofagus dan Muntah .................................................................... 134
Badriul Hegar
Sel Punca Sebagai Masa Depan Terapi Kasus-Kasus Pediatrik................. 141
Ismail Hadisoebroto Dilogo, Alberto Lastiko Hanitya

xiv
Dampak Penggunaan Gadget dan Media
Digital dalam Tumbuh Kembang Anak
Hartono Gunardi, Annisa R Yulman

Tujuan:
1. Memahami pengaruh screen time terhadap kesehatan
2. Memahami pengaruh screen time terhadap pertumbuhan anak
3. Memahami pengaruh screen time terhadap perkembangan anak
4. Memahami pengaruh screen time terhadap pola tidur anak
5. Memahami peran dokter anak

Gadget atau gawai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti piranti
elektronik. Gawai dalam kehidupan sehari-hari dapat berupa tablet, ponsel
pintar atau smartphone yang lazim digunakan sehari-hari. Data World Bank
menunjukkan bahwa jumlah langganan ponsel (smartphone subscription) di
seluruh dunia meningkat pesat dari 0% pada tahun 1975 menjadi 100,68%
per 100 orang penduduk tahun 2016.1 Di Indonesia, kepemilikan ponsel juga
meningkat pesat. Pada tahun 2018, lembaga riset digital marketing Emarketer
mengestimasi pengguna ponsel aktif di Indonesia mencapai 100 juta orang.
Dengan demikian, Indonesia berpotensi menjadi negara pengguna ponsel
terbanyak di dunia, setelah RRC, India, dan Amerika Serikat.2
Sejalan dengan peningkatan kepemilikan ponsel, pengguna internet di
Indonesia meningkat pesat. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII) melaporkan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2017 mencapai
143,2 juta orang dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah 262 juta
orang.3
Teknologi digital, termasuk penggunaan ponsel atau media elektronik
interaktif lainnya, telah mengubah dunia dan masuk ke dalam kehidupan
anak.4 Penggunaan media digital ini meningkat pada anak dalam awal
kehidupannya, yaitu saat masih mengalami perkembangan otak. Peningkatan
ini disebabkan oleh peningkatan penggunaan oleh keluarga, masyarakat,
serta pertumbuhan televisi, televisi kabel, perangkat digital seperti gawai dan
aplikasi yang dapat digunakan oleh anak. Saat ini semakin banyak anak yang
menggunakan internet (online). Remaja dan dewasa muda (15-24 tahun)

43
Dampak Penggunaan Gadget dan Media Digital dalam Tumbuh Kembang Anak

merupakan kelompok usia yang paling banyak memakai internet, dengan


pesentase mencapai 71% dibandingkan populasi total.4 Penelitian gawai di
Amerika pada anak usia 0 – 8 tahun menunjukkan bahwa penggunaan gawai
meningkat hampir 2 kali lipat dalam kurun waktu 2 tahun dan durasi rerata
penggunaan meningkat 3 kali lipat.5
Pengaruh media digital, baik dari gawai atau televisi, dalam naskah
ini selanjutnya disebut sebagai screen time. Besarnya persentase anak di atas
18 bulan yang memiliki screen time > 2 jam per hari, yakni 40%, memiliki
beberapa faktor risiko. Suatu penelitian menemukan bahwa meningkatnya
durasi tersebut berhubungan dengan orang tua tunggal (odds ratio (OR) 4,32,
95% interval kepercayaan (IK) 1,67-11,15), memiliki saudara <3 (OR 2,44,
95% IK 1,20-4,94), ayah yang bekerja (OR 1,96, 95% IK 1,09-3,52), tidak
memiliki permainan lapangan di rumah (OR 1,89, 95% IK 1,08-3,34), dan
jadwal outing kurang dari 5 kali per minggu (OR 2,08, 95% IK 1,37-3,17).6
Beberapa anak memiliki kebiasaan penggunaan media berlebihan
sebagai respon orangtua akibat perilaku mereka yang temperamen atau sulit
dikendalikan. Balita dari keluarga ekonomi menengah ke bawah dan memiliki
keterlambatan sosial-emosional sering diberikan gawai untuk menenangkan
mereka atau membuat mereka diam.7
Seiring dengan penggunaan gawai yang meningkat pesat pada anak, timbul
perhatian orangtua terhadap dampak negatif yang dapat terjadi pada anak-anak
mereka. Dampak negatif gawai, antara lain dampak radiasi elektromagnetik
pada otak, rasiasi sinar biru terhadap mata, pertumbuhan, perkembangan anak
termasuk bicara, emosi, personal sosial, kognitif, serta pola tidur pada anak.

Dampak bagi kesehatan


Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai dampak radiasi
elektromagnetik akibat penggunaan gawai pada anak-anak. Selama penggunaan
gawai, otak manusia dapat terpapar dengan high-specific absorption rate (SAR)
karena dekat dengan sumber radiofrequency electromagnetic fields (RF-EMF).
Perubahan morfologi dan biokimia yang ditimbulkan oleh pajanan RF-EMF
telah diinvestigasi pada penelitian binatang. Pada penelitian tersebut, pajanan
pada masa prenatal dapat mengakibatkan berat lahir rendah dan kerusakan
pada hipokampus, sel piramidal, dan sel glial. Hal ini akan menurunkan atensi
dan konsentrasi bila pajanan lebih dari 90 menit perhari. Pada bagian seluler
ditemukan perubahan pada permeabilitas ion kalsium yang memengaruhi jalur
sinyal hantaran saraf. Beberapa studi invivo juga melaporkan pengaruh RF-EMF
tersebut pada neurotransmitter yang memengaruhi perilaku dan permeabilitas
sawar darah otak. Beberapa penelitian mengenai efek karsinogenik yang
ditimbulkan emisi EMF tidak menemukan hubungan yang jelas.8 Secara teori,

44
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

anak akan lebih banyak menyerap radiasi gelombang mikro karena tulang
tengkorak lebih tipis dan kecil serta jaringan otak yang lebih mudah untuk
menyerap.9 Penelitian lain membandingkan pajanan terhadap gelombang
elektromagnetik yang lebih lama, dapat menurunkan atensi dan konsentrasi.8
Istilah “digital eye strain” memiliki makna ketidak nyamanan pada mata
setelah menatap layar lebih dari dua jam. Hal iniemakin sering terjadi pada
anak yang menggunakan gawai terlalu lama. Selain itu dengan menatap layar
terlalu lamu membuat mata jaranggberkedip, mata kabur, mata rasa terbakar,
dan nyeri kepala.1

Dampak pada pertumbuhan


Penggunaan gawai atau media digital seperti TV atau video yang lama akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. Pertumbuhan yang dimaksud adalah
peningkatan berat badan yang berlebihan akibat penggunaan gawai tersebut.
Beberapa mekanisme yang dapat menerangkan gangguan pertumbuhan
tersebut adalah “sedentary life style” dan kurangnya aktivitas fisik, peningkatan
asupan kalori dari camilan saat nonton, serta berkurangnya tidur dan pengaruh
reklame atau tayangan iklan.11
Penelitian potong lintang di Amerika pada 2761 anak usia 1 sampai < 5
tahun mendapatkan bahwa hampir 40% anak yang mempunyai TV di kamar
tidurnya, mereka lebih berisiko untuk menjadi gizi lebih dan menghabiskan
waktu lebih lama (4,6 jam per minggu) menonton TV/video dibandingkan
anak yang tidak mempunyai TV di kamar tidurnya. Odds ratio anak akan
memiliki Indeks massa tubuh (IMT) > persentil 85 adalah 1,31 (95% I: 1.01
–1.69) untuk anak yang punya TV di kamar tidur dibanding yang tidak.12 Pada
penelitian longitudinal bayi dengan usia gestasi 24-34 minggu yang diikuti
sampan usia 2 tahun di Australia, didapatkan bahwa pajanan TV yang lebih
lama akan meningkatkan)IMT.13
Selain memengaruhi IMT seorang anak, kurangnya aktivitas fisis
meningkatkaa persentase komposisi lemak tubuh daa lingkar perut. Suatu
studi di Malaysia, melaporkan bahwa anak yang memiliki aktivitas fisis lebih
banyak walaupun memiliki screen time yang lama, tidak terjadi peningkatan
IMT. Setelah dilakukan regresi secara subjektif dan objektif mengunakan skor
physical activity questioner) dan pedometer pada anak di perkotaan ditemukan
hubungan negatif dengan IMT, persentasi komposisi lemak tubuh dan lingkar
perut setelah dilakukan adjusting terhadap usia, jenis kelamin, alamat tempat
tinggal, suku, kalori yang dikonsumsi, pendapatan keluarga dan Pendidikan
orangtua. Setiap peningkatan satu poin PAQ-score terjadi penurunan IMT
0,8 kg/m2, setiap 1000 langkah/hari menurunkan IMT 0,3 kg/m2. Setiap
peningkatan satu poin PAQ-score menurunkan 2,4% komposisi lemak

45
Dampak Penggunaan Gadget dan Media Digital dalam Tumbuh Kembang Anak

tubuh dan 2,3 cm lingkar perut. Pada penambahan durasi screen time 1 jam
meningkatkan IMT/U 0,06 dan lingkar perut 0,4 cm.14

Dampak pada perkembangan


Bayi dapat melihat dan memperhatikan TV, dapat menirukan gerakan tertentu
seperti yang terlihat di TV pada usia 6 – 14 bulan, dapat mengingat urutan
adegan singkat pada usia 18 bulan, namun tidak dapat menangkap isi tayangan
TV tersebut.15
Anak mulai mengerti isi tayangan pada akhir tahun kedua.16 Namun pada
usia ini, anak mengalami kesulitan dalam mentransfer pengalaman belajar
dari 2 dimensi pada media elektronik ke 3 dimensi, yaitu dalam kehidupan
sehari-hari. Anak tidak mungkin belajar dari TV pada usia tersebut.17 Pada
usia tersebut, anak belajar secara intensif melalui interaksi tatap wajah dengan
orangtua atau pengasuh. Pengalaman belajar tahap dini ini lebih mudah, lebih
menstimulasi dan secara tingkat perkembangan lebih efisien ketika anak
mengalaminya secara interaktif dalam kehidupan nyata dengan manusia.18
Penelitian di populasi melaporkan bahwa ada hubungan antara
penggunaan gawai atau media elektronik yang berlebihan dengai perkembangan
bahasa, emosi/sosial dan kognitif anak.16

Perkembangan Bahasa
Anak yang menonton televisi lebih dari 3 jam per hari memiliki risiko
keterlambatan bahasa mencapai 3 kali lipat dibandingkan dengan anak yang
menonton kurang dari 1 jam per hari. Anak yang memiliki sedikit kesempatan
berkomunikasi dengan orangtua, misalnya karena sekolah, meningkatkan
kemungkinan untuk menonton TV lebih lama.19
Aplikasi yang menggunakan program literasi/bahasa harus digunakan sesuai
usia, memiliki program interaktif yang baik untuk menstimulasi semua sensori
anak, meningkatkan memori dan mendorong kreativitas, pemecahan masalah,
pemikiran kritis dan umpan balik dari anak.20 Peningkatan perbendaharaan
kata ditemukan pada anak yang terpapar dengan program TV yang edukatif.
Performa akademik menurun pada anak yang terpapar program TV dewasa
dan kartun.21 Penggunaan media digital harus dilakukan dengan interaksi
secara verbal dengan orangtua atau pengasuh sehingga memiliki dampak
positif terhadap kemampuan verbal seorang anak.22

Emosi dan personal sosial


Suatu penelitian menemukan bahwa anak kurang dari 3 tahun terpapar

46
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

televisi mencapai 5,5 jam per hari. 1)Sebanyak 60% tayangan televisi
mengandung kekerasan termasuk yang dapat ditonton oleh anak-anak dan
dapat memengaruhi sifat agresif seorang anak (baik verbal maupun tindakan),
terutama anak lelaki dan anak yang memiliki kemampuan self-regulation
yang kurang (terutama prososial). Adik merupakan korban kekerasan yang
sering pada anak.7 Anak dapat menjadi desensitasi terhadap kekerasan yang
ditayangkan. Anak yang menonton tayangan televisi sendiri cenderung lebih
agresif dibandingkan menonton didampingi oleh orang dewasa. Hal ini berlaku
juga pada anak yang bermain video games yang mengandung unsur kekerasan.
Permainan video games yang tidak mengandung unsur kekerasan pun dapat
memicu sifat mudah frustasi, marah dan menimbulkan permusuhan.20, 23
Bermain memiliki peran sentral dalam perkembangan sosial/emosional
seorang anak. Bermain memberikan kesempatan seorang anak untuk
menunjukkan berbagai emosi/perasaan dan memperkaya pengalaman serta
interaksi orangtua dengan anak. Hal ini membuat orangtua dapat melihat
ke dalam pemikiran anak dan membiarkan anak untuk memimpin dan
membangun hubungan timbal balik. Tayangan televisi berperan dalam
mengalihkan perhatian dan berpotensial menggangu proses bermain,
bereksplorasi, belajar dan konsentrasi seorang anak. Seorang anak tidak fokus
dalam bermain bila terdapat televisi yang menyala di sekitarnya, karena adanya
suara yang keras dan kilatan cahaya yang muncul dari televisi yang dinyalakan.
Interaksi antara anak dan orangtua jadi terganggu karena adanya televisi yang
menyala tersebut.20 Ketika TV dinyalakan saat anak sedang bermain, terjadi
penurunan kualitas bermain anak secara keseluruhan, episode bermain menjadi
lebih pendek, terdapat interupsi beberapa kali dan perhatian dan fokus pada
bermain menjadi berkurang.24
Beberapa permainan menggunakan media digital seperti pengambilan foto/
video, merekam suara atau membuat ilustrasi efektif dalam mengembangkan
kemampuan sosial dan emosional seorang ana., terutama saat anak dapat
memperlihatkan dan menceritakan kembali apa yang telah dibuatnya. Beberapa
acara TV atau video interaktif yang menayangkan konsep pertemanan,
perasaan, emosi dan perilaku terhadap sesama diklaim dapat meningkatkan
kemampuan sosial dan emosional anak, namun belum ada penelitian yang
membuktikan hal tersebut.7

Kognitif dan kemampuan belajar


Sembilan puluh persen perkembangan otak terjadi hingga usia 5 tahun. Otak
bertambah besar 3 kali lipat pada 12 bulan pertama kehidupan dengan sinaps-
sinaps baru. Durasi penggunaan digital yangemakin panjang dan berulang
dapat memengaruhi perkembangan otak tersebut. Orangtua didorong untuk
memiliki quality time yang lebih dalam berinteraksi dan beraktifitas dengan

47
Dampak Penggunaan Gadget dan Media Digital dalam Tumbuh Kembang Anak

anaknya, seperti berbicara, bermain, bernyanyi, membaca untuk meningkatkan


perkembangan kognitif, bahasa dan sosial anak. Perubahan interaksi orangtua-
anak dapat menyebabkan penurunan fungsi keluarga secara keseluruhan.20
Suatu penelitian longitudinal menemukan bahwa anak yang terpapar
program televisi yang ditujukan untuk dewasa pada usia 1-4 tahun memiliki
pengaruh negatif terhadap kognitif anak pada usia 4 tahun, yaitu memiliki
kemampuan fungsi eksekutif yang lebih rendah dan kemampuan kognitif yang
lebih buruk.25
Penggunaan gawai dengan layar interaktif (touch-screen) atau percakapan
video dapat menjadi pengetahuan baru bagi anak di atas usia 2 tahun, namun
tidak berlaku untuk di bawah usia tersebut. Orangtua dapat membaca dan
menanggapi perilaku, pengetahuan dan perasaan seorang anak serta dapat
mengajari mereka sesuai dengan kemampuan belajar anak. Fungsi kompleks
yang dimiliki oleh orangtua tersebut tidak bisa disamakan dengan permainan
video atau aplikasi interaktif yang ada pada media digital. Pada usia pre-school,
media edukasi digital yang interaktif dan dirancang baik dapat meningkatkan
perbendaharaan kata bahasa dan kemampuan membaca anak apabila media
digital tersebut memiliki objektif pembelajaran.7 Penelitian lain mengungkapkan
bahwa penggunaan media digital oleh orangtua dalam mengajari seorang anak
dibandingkan bermain secara langsung, memiliki strategi dialog, menunjuk
objek, menanyakan pendapat anak untuk dihubungkan dengan kehidupan
sehari-hari yang lebih rendah.7, 1
Fungsi eksekutif, yang mulai berkembang pada usia 4 tahun, berasal dari
pengalaman dan memori seorang anak yang dialami saat masih bayi. Fungsi
eksekutif ini akan memprediksi intelegensia dan kemampuannya nanti saat di
sekolah dan bangku kuliah. Fungsi eksekutif, seperti pengerjaan tugas, kontrol
impuls, pengaturan emosi, dan pemikiran kreatif dan fleksibel dipengaruhi oleh
pola asuh orangtua yang positif dan permainan yang dikembangkan oleh anak.
makin muda usia seorang anak dikenalkan dengan media,emakin lama durasi
penggunaan gawai dan konten yang tidak bermutu akan membuat kemampuan
fungsi eksekutifemakin menurun.7

Dampak pada pola tidur


Tidur adalah perkembangan bio-psiko-sosial yang vital bagi anak, Penurunan
kualitas dan kuantitas tidur pada seorang anak merupakan suatu perhatian
kesehatan masyarakat yang menimbulkan runtutan gangguan kesehatan.
Penggunaan gawai yang meningkat di kalangan masyarakat termasuk anak,
memengaruhi durasi dan kualitas tidur seorang anak. Salah satu studi meta-
analisis mengenai efek penggunaan gawai terhadap pola tidur telah dilakukan.
Studi tersebut menemukan hubungan kuat antara penggunaan gawai pada

48
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

waktu tidur terhadap kuantitas tidur yang tidak adekuat (OR 2.17, dengan
95% IK 1.42-3.32), kualitas tidur yang buruk (OR 1.46, dengan 95% IK 1.14-
1.18), dan rasa kantuk yang memberat pada siang hari (OR 2.72, dengan 95%
IK 1.22-5.61).2
Kamar seorang anak yang memiliki TV berhubungan dengan kualitas dan
kuantitas tidur yang buruk, termasuk penggunaan gawai malam hari sebelum
tidur. Supresi melatonin endogen akibat cahaya dari layar gawai, overstimulasi
serta konten yang hyper-arousal menyebabkan penurunan kualitas tidur.7, 20

Peran dokter anak


Seorang dokter anak memiliki peranan vital dalam membantu orangtua dalam
mengidentifikasi konten dan media digitala yang baik. Hal ini dapat membantu
orangtua dalam mendampingi, memonitor, membatasi dan menguatkan apa
yang bisa dipelajari dari screen time. Orangtua diharapkan bersama anak dapat
membuat aturan kapan, dimana, konten yang boleh dilihat dan berapa lama
seorang anak dapat memanfaatkan media digital.7
Berbagai dampak penggunaan gawai yang marak saat ini memacu
beberapa ahli untuk membuat rekomendasi agar penggunaan gawai lebih
bijaksana pada anak. Rekomendasi AAP penggunaan gawai pada anak adalah
sebagai berikut:
yy Anak di bawah 18 bulan, hindari penggunaan media layar selain
percakapan video.
yy Orangtua dari anak usia 18-24 bulan yang ingin mengenalkan media digital
pada anak harus memilih program yang berkualitas dan ikut menonton
bersama.
yy Pada anak usia 2-5 tahun, durasi screen time dibatasi 1 jam/hari
dengan program yang berkualitas. Orangtua ikut mendampingi saat
anakmmenonton untuk membantu mereka mengerti program tersebut
dan menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari.
yy Anak usia 6 tahun ke atas terapkan batas konsisten terhadap durasi
penggunaan media, jenis media dan memastikan bahwa penggunaan
media tersebut tidak mengganggu durasi dan kualitas tidur, aktivitas fisik
dan perilaku lainnya.
yy Merencanakan waktu dan tempat dengan media-free bersama anak.
yy Komunikasi dengan anak mengenai bagaimana menghormati orang lain
secara online maupun offline.

Penutup
Gawai maupun media elektronik lainnya mempunyai potensi untuk

49
Dampak Penggunaan Gadget dan Media Digital dalam Tumbuh Kembang Anak

mepengaruhi tumbuh kembang maupun kesehatan anak. Dokter atau dokter


anak berperan dalam membantu orangtua memilih konten dan media digital
yang baik untuk anak. Orangtua perlu mengetahui manfaat dan risiko
penggunaan gawai, agar dapat memetik manfaat semaksimal dan menghindari
pengaruh negatif bagi anak.

Daftar pustaka
1. World Bank. Mobile cellular subscriptions. 2018 Sep 09. [Disitasi pada 2018 Sep
11]. Tersedia di: https://data.worldbank.org/indicator/it.cel.sets.p2.
2. Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Indonesia Raksasa
Teknologi Digital Asia.2015 Okt 23. [Disitasi pada 2018 Sep 11]. Tersedia di:
https://www.kominfo.go.id/ content/detail/6095/indonesia-raksasa-teknologi-
digital-asia/0/sorotan_media.
3. Fatimah Kartini Bohang. Berapa Jumlah Pengguna Internet Indonesia?
Kompascom [Internet]. 2017 [Disitasi pada 2018 Sep 11]. Tersedia di: https://
tekno.kompas.com/read/2018/02/22/16453177/ berapa-jumlah-pengguna-
internet-indonesia.
4. United Nations Children’s Fund. Children in digital world. New York: Division
of Communications. 2017. h. 1-5
5. Readout V. Zero to eight: children’s media use in America 2013: a Common
Sense Media research study. Common Sense Media [Internet]. 2013. [Disitasi
pada 2018 Sep 12]. Tersedia di: https: //www.commonsensemedia.org/research/
zero-to-eight-childrens-media-use-in-america-2013.
6. Chandra M, Jalaludin B, Woolfenden S, Descallar J, Nicholls L, Dissanayake
C, dkk. Screen time of infants in Sydney, Australia: a birth cohort study. BMJ
Open. 2016;6:1-7.
7. Radesky JS, Christakis DA. Increased Screen Time: Implications for Early
Childhood Development and Behavior. Pediatr Clin North Am. 2016;63:827-39.
8. Deniz OG, Kaplan S, Selcuk MB, Terzi M, Altun G, Yurt KK, dkk. Effects of
short and long term electromagnetic fields exposure on the human hippocampus.
J Microsc Ultrastruct. 2017;5:191-7.
9. Morgan L, Kesari S, Davis D. Why children absorb more microwave radiation
than adults: The consequences. Journal of Microscopy and Ultrastructure.
2014;2:197-215.
10. Miller C. The Hidden Hazards of Digital Devices and Blue Light on Kid’s Eyes.
[Internet] 2017 Jun 8. [Disitasi pada 2018 Nov 11]. Terdapat pada https://
goodmenproject.com/health/hidden-hazards-digital-devices-blue-light-kids-
eyes-lbkr/
11. Robinson TN, Banda JA, Hale L, Lu AS, Fleming-Milici F, Calvert SL, dkk.
Screen Media Exposure and Obesity in Children and Adolescents. Pediatrics.
2017;140:97-101.
12. Dennison BA, Erb TA, Jenkins PL. Television viewing and television in bedroom
associated with overweight risk among low-income preschool children. Pediatrics.
2002;109:1028-35.

50
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

13. Wen LM, Baur LA, Rissel C, Xu H, Simpson JM. Correlates of body mass index
and overweight and obesity of children aged 2 years: findings from the healthy
beginnings trial. Obesity (Silver Spring). 2014;22:1723-30.
14. Lee ST, Wong JE, Shanita SN, Ismail MN, Deurenberg P, Poh BK. Daily physical
activity and screen time, but not other sedentary activities, are associated
with measures of obesity during childhood. Int J Environ Res Public Health.
2014;12:146-61.
15. Lerner C, Barr R. Screen Sense: Setting the Record Straight; Research-Based
Guidelines for Screen Use for Children Under 3 Years Old. Zero to Three
[Internet]. 2014 [Disitasi pada 2018 Sep 12]. Terdapat di: www.zerotothree.org/
resources/series/screen-sense-setting-the-record-straight.
16. Duch H, Fisher EM, Ensari I, Harrington A. Screen time use in children under
3 years old: a systematic review of correlates. Int J Behav Nutr Phys Act.
2013;10:102.
17. Barr R. Transfer of learning between 2D and 3D sources during infancy: Informing
theory and practice. Dev Rev. 2010;30:128-54.
18. Council On Communication Media. Media and Young Minds. Pediatrics.
2016;138:1-6.
19. Byeon H, Hong S. Relationship between television viewing and language delay
in toddlers: evidence from a Korea national cross-sectional survey. PLoS One.
2015;10:1-12.
20. Dauw J. Screen Time and the Effects on Development for Children Ages Birth
to Five Years. Culminating Projects in Child and Family Studies. 2016;7.1-41.
21. Alloway TP, Williams S, Jones B, Cochrane F. Exploring the Impact of Television
Watching on Vocabulary Skills in Toddlers. Early Childhood Education Journal.
2013;42:343-9.
22. Mendelsohn AL, Brockmeyer CA, Dreyer BP, Fierman AH, Berkule-Silberman
SB, Tomopoulos S. Do Verbal Interactions with Infants During Electronic Media
Exposure Mitigate Adverse Impacts on their Language Development as Toddlers?
Infant Child Dev. 2010;19:577-93.
23. Daly L, Perez L. Exposure to media violence and other correlates of aggressive
behavior in preschool children. Early Childhood Research & Practice. 2009;11;1-
13
24. Schimdt M, Pempek T, Kirkorian H, Lund A, Anderson D. The effects of
background television on the toy play behavior of very young children. Child
Development. 2008;79:1137-51.
25. Barr R, Lauricella A, Zack E, Calvert S. Infant and Early Childhood Exposure
to Adult-Directed and Child-Directed Television Programming: Relations with
Cognitive Skills at Age Four. Merrill-Palmer Quarterly. 2010;56:21-48.
26. Carter B, Rees P, Hale L, Bhattacharjee D, Paradkar M. A meta-analysis of the
effect of media devices on sleep outcomes. JAMA Pediatr. 2016;170:1202–8.

51
Transfusi Masif pada Anak
Pustika Amalia Wahidiyat, Stephen Diah Iskandar

Tujuan:
1. Memahami definisi dan etiologi penyebab transfusi masif
2. Memahami patofisiologi koagulopati akibat perdarahan dan
transfusi masif
3. Memahami prinsip tata laksana transfusi masif (penilaian
kebutuhan, pemantauan, dan protokol)
4. Memahami komplikasi-komplikasi terkait transfusi masif
5. Memahami terapi tambahan yang penting diberikan dalam
transfusi masif

Pada pasien dewasa, perdarahan masif didefinisikan sebagai kehilangan darah


≥100% total volume darah (TVD) dalam 24 jam, ≥50% TVD dalam 3 jam,
atau ≥150 mL/jam.1 Definisi transfusi masif (TM) adalah pemberian produk
darah dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang singkat. Sampai
saat ini, belum ada definisi TM pada anak yang disepakati secara global. Akan
tetapi, beberapa sumber mendefinisikan TM pada anak sebagai:2,3
yy Transfusi PRC ≥ 50% dari total volume darah (TVD) dalam 3 jam,
yy Transfusi PRC sebanyak 100% dari TVD dalam 24 jam, atau
yy Transfusi PRC untuk menggantikan kehilangan darah yang sedang
berlangsung >10% TVD/menit
Total volume darah pada anak dapat dihitung sebagai berikut: bayi
prematur 90-100 mL/kg; bayi ≤3 bulan 80-90 mL/kg; anak >3 bulan 70 mL/kg;
anak obes 65 mL/kg.2 Secara umum, protokol TM harus diinisiasi untuk pasien
yang mengalami perdarahan masif dengan tanda-tanda syok dan koagulopati.4

Etiologi
Etiologi perdarahan masif pada anak berbeda dari dewasa. Penyebab paling
umum pada dewasa adalah luka tembus; sedangkan penyebab paling banyak
pada anak adalah luka tumpul (disengaja atau tidak disengaja) dan operasi
mayor, terutama pada pasien dengan kelainan sistem pembekuan darah,
misalnya hemofilia. Pada neonatus, TM diperlukan akibat kelainan selama
proses pra-natal (misalnya perdarahan fetal-maternal, twin-to-twin transfusion

109
Transfusi Masif pada Anak

syndrome), natal (misalnya perdarahan otak akibat trauma), atau pasca-natal


(misalnya transfusi tukar untuk kasus sindrom hiperbilirubinemia berat,
malformasi vaskular).2

Patofisiologi
Koagulopati merupakan salah satu masalah utama pada TM. Koagulopati dapat
disebabkan oleh banyak faktor, termasuk kerusakan jaringan, perdarahan, dan
transfusi itu sendiri. Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan faktor-faktor
jaringan dan dilanjutkan dengan aktivasi jalur koagulasi. Hipoperfusi akibat
perdarahan masif menyebabkan peningkatan produksi trombomodulin, yang
berperan sebagai kofaktor trombin pada aktivasi protein C. Protein C aktif
akan menghambat kofaktor V dan VIII, dan pada konsentrasi yang tinggi
menurunkan konsentrasi plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Akibatnya,
pembentukan plasmin dan proses fibrinolisis meningkat.3 Hipoperfusi juga
menyebakan peningkatan produksi laktat akibat metabolism anaerob.
Penurunan pH darah akan menurunkan aktivitas koagulasi, yang berfungsi
optimal pada pH 8.0-8.5.5 Selain karena kerusakan jaringan, pemberian produk
darah itu sendiri menyebabkan koagulopati. Pemberian produk darah yang
disimpan pada suhu 1-6oC dapat menyebabkan hipotermia. Penurunan 1o C
dapat menurunkan aktivitas protease pada kaskade koagulasi hingga 4-10%.
Produk darah umumnya mengandung antikoagulan sitrat yang dapat mengikat
ion kalsium (Ca2+). Ion kalsium sendiri diperlukan dalam berbagai proses
pembentukan, inisiasi, dan stabilisasi bekuan darah.5

Gambar 1. Patofisiologi koagulopati pada perdarahan masif.3

110
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

Penting untuk diingat bahwa sistem hemostasis masih imatur pada


neonatus dan anak usia <1 tahun.2 Dalam 6 bulan pertama kehidupan,
konsentrasi faktor prokoagulan dan antikoagulan masih sangat rendah, serta
fungsi fibrinogen belum optimal. Oleh karena itu, prosedur TM yang tidak
tepat pada populasi ini dapat meningkatkan risiko perdarahan.3

Tata Laksana
Penilaian perdarahan dan deteksi awal kebutuhan TM
Identifikasi dini kebutuhan TM penting untuk mencegah koagulopati. Sampai
saat ini, sistem skoring untuk menilai kebutuhan TM baru hanya tersedia untuk
dewasa. Beberapa variabel bebas yang menentukan kebutuhan TM antara lain
Hb ≤11 g/dL, International Normalized Ratio (INR) >1.5, luka tembus, denyut
jantung >105 x/menit, tekanan darah sistolik <110 mmHg, pH <7.25, dan
hematokrit <32%.6,7
Perdarahan masif harus dinilai berdasarkan mekanisme perdarahan,
gejala, tanda, dan pemantauan. Akan tetapi, tanda dan gejala awal perdarahan
pada dewasa tidak sama dengan anak. Hal ini dikarenakan anak mempunyai
cadangan fisiologis untuk mempertahankan tekanan darah arteri hingga
kehilangan darah mencapai 25-40% dari TVD.3
Pada anak, tekanan nadi yang sempit (<20 mmHg) merupakan prediktor
yang cukup baik untuk menilai perdarahan, dibandingkan dengan takikardi
atau penurunan tekanan darah sistolik. Tanda lainnya yang sensitif adalah
asidosis laktat dan penurunan produksi urin. Keseimbangan cairan pada anak
dengan total kehilangan darah lebih banyak dari TVD, cedera kepala, atau
trauma berat lainnya harus dipantau menggunakan tekanan intra-arteri dan
tekanan vena-sentral.3
Secara klinis, kebutuhan produk darah (di luar PRC) pada anak harus
mulai diantisipasi pada beberapa kondisi:8
yy Transfusi PRC pada neonatus dengan total kehilangan darah akut ≥10%
dari TVD
yy Transfusi PRC pada anak lainnya dengan total kehilangan darah akut
30-40% dari TVD
yy Defisit faktor koagulasi setelah penggantian darah 100-150% dari TVD
yy Fibrinogen <1 g/L setelah penggantian darah 150% dari TVD
yy Trombositopenia <50x109 sel/L setelah penggantian darah 150-200%
dari TVD

111
Transfusi Masif pada Anak

Pemantauan
Pemantauan klinis dan laboratorium penting dalam protokol TM. Pemantauan
klinis termasuk tekanan darah, saturasi oksigen, suhu tubuh, elektrokardiogram,
balans diuresis, tekanan intra-arteri, dan tekanan vena-sentral.9
Evaluasi laboratorium untuk TM mencakup darah perifer lengkap,
prothrombin time (PT)/INR, activated partial thromboplastin time (aPTT),
fibrinogen, crossmatch, analisis gas darah, elektrolit (minimal K+ and Ca2+), dan
laktat.3 Evaluasi laboratorium harus dijalankan saat inisiasi protokol dan setiap
4 jam hingga protokol TM dihentikan. Akan tetapi, pemeriksaan laboratorium
hemostasis sering memakan waktu dan tidak menggambarkan permasalahan
hemostasis secara spesifik (misalnya hiperfibrinolisis, disfungsi trombosit, dan
defisiensi faktor XIII). Oleh karena itu, lebih disarankan untuk menggunakan
thromboelastometry (TEG) dan rotational thromboelastometry (ROTEM), yang
dapat mengukur koagulasi saat itu juga dan sesuai dengan temperatur tubuh
pasien saat itu.3

Penggantian darah (Protokol TM)


Pada kasus perdarahan berat, transfusi penting untuk mencegah lethal triad,
yaitu asidosis, hipotermia, dan koagulopati (Gambar 2).10 Prinsip utama dari
TM adalah mengembalikan volume darah untuk mempertahankan fungsi
fisiologis dan mencegah koagulopati, sementara tindakan untuk koreksi
sumber perdarahan tetap berjalan. Volume darah yang diberikan harus
menggantikan volume darah yang hilang, termasuk perdarahan yang sedang
berlangsung, bukan memperbaiki nilai Hb yang muncul dari pemeriksaan.
Saat ini, penelitian dan publikasi tentang TM pada anak masih terbatas pada
studi prospektif, laporan kasus, serial kasus, dan pengalaman dari institusi.2
Oleh karena itu, setiap RS mempunyai protokol TM pada anak yang berbeda-
beda. Di Indonesia, belum ada protokol TM pediatrik yang disepakati. Untuk
mengembangkan protokol tersebut, diperlukan kolaborasi antara Ikatan Dokter

Gambar 2. Lethal triad pada perdarahan dan transfusi masif.

112
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

Anak Indonesia (IDAI), Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah


Indonesia (PHTDI), Perhimpunan Bedah, Anestesi, PMI, dan Bank Darah.
Kunci utama dari TM pada anak adalah sesegera mungkin mengontrol
sumber perdarahan, mencegah pemberian cairan kristaloid berlebihan,
memantau suhu tubuh, mencegah dan mengatasi hipotermia (menggunakan
penghangat darah dan Bair hugger jika ada), mencegah asidosis (pemberian
bikarbonat jika pH<7.2), dan pemberian kalsium.3
Pediatric Advance Life Support (PALS) merekomendasikan pemberian
cairan resusitasi kristaloid 20 mL/kg hingga 2-3 kali sebelum memberikan
darah spesifik pada kasus syok hemoragik.11 Akan tetapi, cairan kristaloid yang
berlebihan ini dapat mengakibatkan koagulopati akibat dilusi faktor koagulasi
dan pelepasan trombus, yang terbentuk ketika terjadi perdarahan. Target
resusitasi cairan pada dewasa adalah meningkatkan tekanan darah, tetapi
tidak perlu mencapai normotensi.12 Strategi permissive hypotension ini tidak
cocok untuk pasien anak karena pasien anak mempunyai cadangan fisiologis
yang besar. Selain itu, cairan kristaloid menyebabkan peningkatan kebutuhan
produk darah, koagulopati, dan gagal organ multipel.3
Pilihan terbaik untuk mengatasi perdarahan masif pada anak adalah
keseimbangan antara transfusi PRC, fresh-frozen plasma (FFP), dan trombosit.
Hingga saat ini, belum ada kesepakatan mengenai rasio dari berbagai produk
tersebut. Pada pasien dewasa, rasio PRC:FFP:trombosit 1:1:1, ditambah
pemberian asam traneksamat dan fibrinogen sejak awal, dianggap merupakan
regimen terbaik untuk protokol TM, meskipun hemodilusi tetap terjadi dengan
regimen ini. Akan tetapi, banyak penelitian pada anak yang menunjukkan
bahwa TM dengan rasio tersebut tidak menunjukkan perbaikan morbiditas
dan mortalitas. Oleh karena itu, penggunaan rasio PRC:FFP:trombosit 2:1:1
pada anak masih dapat dipertimbangkan meningat ketersediaan FFP seringkali
terbatas.1 Jika transfusi masif terjadi di daerah dengan ketidaktersediaan atau
kelangkaan produk darah, maka dapat diberikan fresh whole blood. Pemberian
asam traneksamat dalam waktu 3 jam setelah terjadi perdarahan terbukti
memperbaiki klinis. Kalsium glukonas harus diberikan untuk mencegah
hipokalsemia akibat antikoagulan sitrat yang berasal dari produk darah.13
Pada saat operasi, sumber perdarahan terkontrol dengan baik dan
parameter tanda vital terpantau secara ketat. Hal ini menyebabkan sedikit
sulit untuk menentukkan kapan transfusi PRC harus diberikan. Transfusi
PRC dapat dipertimbangkan jika total darah yang keluar sudah melebihi batas
kehilangan darah yang diperbolehkan, yang dapat dihitung menggunakan
rumus [(Hb awal-Hb terendah yang diizinkan)/Hb awal x TVD]. Target
akhir dari TM adalah Hb > 8g/dL, PT/INR <1.5, trombosit >75.000 sel/µL,
fibrinogen >1g/dL, pH >7.2, dan suhu >35oC. Alur TM pada anak dapat
dilihat pada Gambar 3.3

113
Transfusi Masif pada Anak

Gambar 3. Alur TM pediatrik.


(Dimodifikasi dari Blain S, Paterson N. BJA Education; 2016, dengan izin)3

Komplikasi
Perdarahan yang tidak terkontrol dapat menyebakan lethal triad asidosis,
hipotermia, dan koagulopati. Hal ini dapat mengakibatkan kematian, sehingga
kontrol perdarahan definitif sangat krusial.10 Akan tetapi, banyak komplikasi
pada anak yang mungkin terjadi akibat TM. Komplikasi ini harus ditangai
secara serius untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Reaksi transfusi dapat
terjadi akibat transfusi darah yang tidak cocok dalam jumlah banyak. Reaksi
transfusi yang paling umum adalah alergi dan febrile non-hemolytic transfusion

114
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

reactions (FNHTR). Karena produk darah yang diberikan mungkin tidak cocok
atau disiapkan dengan baik, dokter dan perawat harus selalu waspada terhadap
reaksi yang mengancam nyawa, termasuk reaksi transfusi hemolitik, transfusion-
related acute lung injury (TRALI), transfusion-related immunomodulation (TRIM),
transfusion-associated graft vs host disease (Ta-GVHD), post-transfusion purpura
(PTP), dan transfusion-associated circulatory overload (TACO). Infeksi akibat
transfusi juga mungkin terjadi.3,14
Komplikasi metabolik sering ditemukan pada pasien yang mendapat TM.
Konsentrasi antikoagulan sitrat yang tinggi dalam darah dapat menyebabkan
hipokalsemia, hipomagnesemia, dan alkalosis metabolik. Pasien juga berisiko
mengalami hiperkalemia akibat akumulasi kalium dalam produk darah dari
hasil hemolisis PRC selama penyimpanan dan iradiasi. Hiperkalemia dapat
dicegah dengan memberian PRC segar (<5 hari), iradiasi <24 jam, atau
washed erythrocyte (WE). Hipokalemia dapat terjadi setelah hiperkalemia akibat
masuknya kembali kalium ke dalam eritrosit dari darah transfusi, hormon
stress, dan alkalosis metabolik. Selain alkalosis, asidosis metabolik juga dapat
terjadi akibat hipoperfusi. Hipotermia akibat produk darah dapat dicegah
menggunakan penghangat darah. Koagulopati sering terjadi dan harus dicegah
selama dan setelah transfusi.3,14

Tata laksana lainnya


Antifibrinolitik
Pemberian asam traneksamat sejak dini (<3 jam pertama setelah trauma atau
lebih baik dalam 1 jam pertama) telah terbukti dapat menurunkan mortalitas
dan perdarahan pada pasien dewasa.7 Pada anak, asam traneksamat dapat
menurunkan volume perdarahan pada pasien dengan risiko tinggi. Asam
traneksamat harus diberikan secara intravena dengan dosis 15 mg/kg selama
10 menit, dilanjutkan dengan dosis maintenance 2 mg/kg/jam selama minimal
8 jam atau hingga perdarahan berhenti.3

Konsentrat faktor koagulasi


Prothrombin complex concentrate (PCC) berisi faktor pembekuan yang
bergantung pada vitamin K: faktor II, VII, IX, dan X. PCC dapat digunakan
sebagai alternatif FFP. Akan tetapi, PCC dikontraindikasikan pada pasien
dengan disseminated intravascular coagulation (DIC) dan fibrinolisis. PCC
meningkatkan waktu paruh prothrombin (faktor II) dan faktor X, yang
mengakibatkan kondisi hiperkoagulasi dan tromboemboli.3

115
Transfusi Masif pada Anak

Simpulan
yy Pada perdarahan masif terjadi kehilangan darah, kehilangan faktor
koagulasi, hipotermia, dan asidosis.
yy Prinsip utama transfusi masif adalah menggantikan darah dan faktor
koagulasi yang keluar, serta mencegah hipotermia dan asidosis.
yy Sampai saat ini belum ada alat atau sistem skoring untuk menilai
kebutuhan inisiasi protokol transfusi masif pada anak, berbeda dengan
dewasa.
yy Jika terjadi perdarahan masif, dapat diberikan PRC:FFP:trombosit dengan
rasio 2:1:1 atau 1:1:1
yy Pada daerah dengan kelangkaan atau ketidaktersediaan produk darah,
maka dapat diberikan fresh whole blood
yy Terapi tambahan (Kalsium glukonas, asam traneksamat, dan penghangat
darah) harus digunakan untuk memperbaiki outcome klinis.

Daftar pustaka
1. Dehmer JJ, Adamson WT. Massive transfusion and blood product use in the
pediatric trauma patient. Semin Pediatr Surg. 2010;19: 286-91.
2. Diab YA, Wong EC, Luban NL. Massive transfusion in children and neonates.
Br J Haematol. 2013;161:15-26.
3. Blain S, Paterson N. Paediatric massive transfusion. BJA Education. 2016;16:269-
75.
4. Chidester SJ, Williams N, Wang W, Groner JI. A pediatric massive transfusion
protocol. J Trauma Acute Care Surg. 2012;73:1-11.
5. Lier H, Krep H, Schroeder S, Stuber F. Preconditions of hemostasis in trauma:
a review. The influence of acidosis, hypocalcemia, anemia, and hypothermia on
functional hemostasis in trauma. J Trauma. 2008;65:951-60.
6. Schreiber MA, Perkins J, Kiraly L, Underwood S, Wade S, Holcomb JB.
Early predictors of massive transfusion in combat casualties. J Am Coll Surg.
2007;205:541-5.
7. McLaughin DF, Niles SE, Salinas J, Perkins JG, Cox ED, Wade CE, et al. A
predictive model for massive transfusion in combat casualty patients. J Trauma.
2008; 64:S57-63.
8. Shackleton T. Pediatric massive hemorrhage [Internet]. [Tempat tidak
diketahui]: Joint United Kingdom (UK) Blood Transfusion and Tissue
Transplantation Services Professional Advisory Committee. [Tanggal publikasi
tidak diketahui] [disitasi pada 2 September 2018]. Dapat diakses di: https://
www.transfusionguidelines.org/document-library/documents/tracy-shackleton-
paediatric-massive-haemorrhage-188-kb-18-slides
9. Patil V, Shetmahajan M. Massive transfusion and massive transfusion protocol.
Indian J Anaesth. 2014;58:590-5.
10. Sihler KC, Napolitano LM. Complications of massive transfusion. Chest.
2010;137:209-20.

116
Prosiding Simposium LxxV Fighting Longterm Problems for Better Pediatric Care

11. Karam O, Tucci M. Massive transfusion in children. Transfus Med Rev.


2016;30:213-6.
12. Rossaint R, Bouillon B, Cerny V, Coats TJ, Duranteau J, Fernandez-Mondejar
E, et al. Management of bleeding following major trauma: an updated European
guideline. Crit Care. 2010;14:R52.
13. CRASH-2 trial collabolators. Effects of tranexamic acid on death, vascular
occlusive events, and blood transfusion in trauma patients with significant
haemorrhage (CRASH-2): a randomised, placebo-controlled trial. Lancet.
2010; 23-32.
14. Pham HP, Shaz BH. Update on massive transfusion. Br J Anaesth. 2013;111:171-
82.

117
Sel Punca Sebagai Masa Depan Terapi Kasus-Kasus Pediatrik

25. Sharma A, Sane H, Badhe P, Gokulchandran N, Kulkarni P, Lohiya M, dkk. A


clinical study shows safety and efficacy of autologous bone marrow mononuclear
cell therapy to improve quality of life in muscular dystrophy patients. Cell
Transplant. 2013;22:S127-38.
26. Sharma A, Sane H, Paranjape A, Bhagwanani K, Gokulchandran N, Badhe
P. Autologous bone marrow mononuclear cell transplantation in Duchenne
muscular dystrophy - a case report. Am J Case Rep. 2014;15:128-34.
27. Périé S, Trollet C, Mouly V, Vanneaux V, Mamchaoui K, Bouazza B, dkk.
Autologous myoblast transplantation for oculopharyngeal muscular dystrophy:
a phase I/IIa clinical study. Mol Ther. 2014;22:219–25.
28. Hogrel J, Zagnoli F, Canal A, Fraysse B, Bouchard J-P, Skuk D,  dkk. Assessment
of a symptomatic Duchenne muscular dystrophy carrier 20 years after myoblast
transplantation from her asymptomatic identical twin sister. Neuromuscul Disord.
2013;23:575–9.

148

You might also like