Literasi Digital Era Revolusi Industri 4.0 Berdasarkan Perspektif Generasi Z Di Kabupaten Garut (Penelitan Deskriftif Kuantitatif)

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 21

Literasi digital era revolusi industri 4.

0
berdasarkan perspektif generasi Z di kabupaten Garut
(Penelitan deskriftif kuantitatif)
Nuri Yulhani Alviah
Prodi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jl. Pahlawan no 32, Sukagali, Tagong Kidul, Garut. Jawa Barat
nuriyulhanialviah@gmail.com

Abstrak
The role of Generation Z in the era of the industrial revolution 4.0 is very important. Because in
addition to the generation that can develop the industrial revolution 4.0 generation Z is also an active
generation in the use of the internet, they accept social media as something that is taken for granted
(something that is common), with the characteristics of this Z generation, then this generation will be
the generation that plays an important role in the development of the State of Indonesia. Regarding
social media users who are transferred by adolescents, the negative impact of excessive use of social
media by adolescents can be resolved by these teenagers currently improving mental symptoms of
ilnees. This behavior raises a variety of things, from parental supervision to the lack of digital media
literacy in adolescents, as well as adolescents in Garut district. Based on this question, the purpose of
this study is to study how digital media literacy in using social media by adolescents in Garut district
at the level of technical skills, critical understanding and communicative abilities and mental changes
in what ilnees would be known by the teenager. This study uses concepts related to revolution 4.0,
digital media literacy, social media characteristics, mental characteristics of ilnees, social media and
adolescent behavior, Instagram as the social media platform most popular with adolescents, and
Generation Z. quantitative descriptive with the distribution of questionnaires to respondents and
participant observation, as well as secondary data sourced from related documents, books and mass
media. The results of this study are in accordance with the condition of digital media literacy that has
not been maximized, at the level of technical skills the informants are able to use social networks, but
cannot increase negativity if using too active. At the critical level of understanding the informants did
not understand the function, how to sort out the contents, and the application of the ITE Law, at the
level of communicative ability the informants did not select their followers, so as not to allow
negative followers he did not recognize.
Keywords: Revolution 4.0, Literacy, Digital Media, Generation Z, mental ilnees
Abstrak
Peran Generasi Z di era revolusi industry 4.0 sangat penting. Karena selain sebagai generasi
yang dapat mengembangkan revolusi industry 4.0 generasi Z juga merupakan generasi yang
aktif dalam penggunaan internet, mereka menerima media sosial sebagai sesuatu yang taken
for granted (sesuatu yang sudah biasa), dengan karakteristik generasi Z ini, maka generasi
ini akan menjadi generasi yang memegang peranan penting dalam perkembangan Negara
Indonesia. Persoalannya generasi Z pengguna media sosial didominasi oleh remaja, dampak
negatif dari penggunaan media sosial yang berlebihan oleh remaja dapat mengakibatkan para
remaja ini mengalami gejala mental ilnees. Perilaku ini disebabkan berbagai hal, dari mulai
kurangnya pengawasan orang tua sampai pada minimnya literasi media digital pada remaja,
begitu pula pada remaja di kabupaten Garut. Berdasarkan permasalahan tersebut maka tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana literasi media digital dalam menggunakan
media sosial oleh remaja di kabupaten Garut pada level technical skill, crtitical
understanding dan communicative abilities serta gejala mental ilnees apa yang kiranya
dirasakan oleh remaja tersebut. Penelitian ini menggunakan konsep yang terkait dengan
revolusi 4.0, literasi media digital, karakteristik media sosial, ciri-ciri gejala mental ilnees,
media sosial dan prilaku remaja, instagram sebagi platfrpom media sosial yang paling
digemari remaja, dan Generasi Z. Metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif
deskriptif dengan pembagian kuisioner kepada para responden serta melakukan observasi

1
partisipan, serta data sekunder bersumber dari dokumen terkait, buku, dan media massa. Hasil
penelitian ini adalah para informan berada pada kondisi literasi media digital yang belum
maksimal, pada tingkat technical skill para informan mampu menggunakan social
networking, tetapi tidak memahami dampak negatif jika menggunakannya terlalu aktif. Pada
level critical understanding para informan belum paham fungsi, cara memilah isi, serta penerapan
UU ITE, pada level communicative abbilities para informan tidak menyeleksi followers mereka,
sehingga tidak memahami dampak negatif dari followers yang tidak dikenalinya tersebut.
Kata Kunci: Revolusi 4.0, Literasi, Media Digital, Generasi Z, mental ilnees
.
I. PENDAHULUAN

Istilah Industri 4.0 lahir dari ide revolusi industri ke empat. European Parliamentary Research
Service dalam Davies (2015) menyampaikan bahwa revolusi industri terjadi empat kali. Revolusi
industri pertama terjadi di Inggris pada tahun 1784 di mana penemuan mesin uap dan mekanisasi
mulai menggantikan pekerjaan manusia. Revolusi yang kedua terjadi pada akhir abad ke-19 di mana
mesin-mesin produksi yang ditenagai oleh listrik digunakan untuk kegiatan produksi secara masal.
Penggunaan teknologi komputer untuk otomasi manufaktur mulai tahun 1970 menjadi tanda revolusi
industri ketiga. Saat ini, perkembangan yang pesat dari teknologi sensor, interkoneksi, dan analisis
data memunculkan gagasan untuk mengintegrasikan seluruh teknologi tersebut ke dalam berbagai
bidang industri. Gagasan inilah yang diprediksi akan menjadi revolusi industri yang berikutnya.
Angka empat pada istilah Industri 4.0 merujuk pada revolusi yang ke empat. Industri 4.0 merupakan
fenomena yang unik jika dibandingkan dengan tiga revolusi industri yang mendahuluinya. Industri 4.0
diumumkan secara apriori karena peristiwa nyatanya belum terjadi dan masih dalam bentuk gagasan
(Drath dan Horch, 2014). Istilah Industri 4.0 sendiri secara resmi lahir di Jerman tepatnya saat
diadakan Hannover Fair pada tahun 2011 (Kagermann dkk, 2011). Negara Jerman memiliki
kepentingan yang besar terkait hal ini karena Industri 4.0 menjadi bagian dari kebijakan rencana
pembangunannya yang disebut High-Tech Strategy 2020. Kebijakan tersebut bertujuan untuk
mempertahankan Jerman agar selalu menjadi yang terdepan dalam dunia manufaktur (Heng, 2013).
Beberapa negara lain juga turut serta dalam mewujudkan konsep Industri 4.0 namun menggunakan
istilah yang berbeda seperti Smart Factories, Industrial Internet of Things, Smart Industry, atau
Advanced Manufacturing. Meski memiliki penyebutan istilah yang berbeda, semuanya memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan daya saing industri tiap negara dalam menghadapi pasar
global yang sangat dinamis. Kondisi tersebut diakibatkan oleh pesatnya perkembangan pemanfataan
teknologi digital di berbagai bidang. Literasi digital di era revolusi industry 4.0 penting dilakukan
apalagi jika kita korelasikan dengan generasi Z.

Pegiat media sosial asal Bandung, Boyke M, mengatakan, saat ini media sosial mendorong
adanya revolusi industri 4.0. Karenanya, masyarakat perlu berbenah dengan adanya era ini.Ia
menjelaskan, sebenarnya media sosial perlu digunakan untuk kemanfaatan. Sebab, hal itu sejalan
dengan revolusi industri 4.0. Peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai Generasi Z karena
generasi Z merupakan tonggak pengembangan revolusi industry 4.0, Generasi Z atau pascamillenial
juga adalah kelompok muda yang lahir dari rentang tahun 1996 hingga 2010, mereka dikenal dengan
native digital atau generasi net. Sebagai digital natives (generasi yang lahir pada saat era digital sudah
berlangsung dan berkembang pesat), mereka menerima media sosial sebagai sesuatu yang taken for
granted (sesuatu yang sudah biasa). Ini berbeda dengan generasi orang tua mereka yang masuk dalam
kategori digital immigrant (generasi yang lahir sebelum generasi digital belum begitu berkembang).
Generasi yang hidup pada era ini memiliki kecenderungan selalu melibatkan media baru dalam setiap
kegiatan di kehidupan mereka. Bahkan bisa dikatakan, generasi ini tidak dapat dipisahkan dengan
media baru.

2
Tirto.id melakukan riset kepada 1.201 responden selama lima minggu mulai Maret hingga
Juni 2017 di Jakarta, Tangerang, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Denpasar. Dari hasil riset yang
dirilis tirto.id, Generasi Z di Indonesia memiliki ciri khas atau karakteristik sebagai berikut; hemat,
berpikiran terbuka, suka pada bentuk kampanye yang kekinian, asyik dengan teknologi, sanggup
berkompromi, mengkehendaki perubahan sosial. Jumlah generasi ini diperkirakan mencapai 34,05%
dari total penduduk dunia saat ini, dan pada 2050 akan mencapai 40% dari jumlah penduduk total di
dunia. Dengan karakteristik generasi Z ini, maka generasi Z akan menjadi generasi yang memegang
peranan penting dalam perkembangan Negara Indonesia ini. Menurut tirto,id, saat ini tercatat terdapat
2,5 Miliar orang Genera si Z di seluruh dunia. (https://tirto.id/tirtovisual-report-masa-depandi-tangan-
generasi-zctMM/diakses pada 29/05/2020)

Sementara itu, mengenai Generasi Z merupakan generasi yang aktif dalam penggunaan
internet, juga didukung data dari Nielsen berikut ini: Survei yang dilakukan Nielsen (2016)
menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia didominasi oleh generasi Z (usia 10 -19 tahun)
dan generasi millenniall (usia 20-34 tahun) dengan masingmasing sebesar 34% dan 48%. Ini artinya
para pengakses internet baik yang menggunakannya untuk mengakses media daring maupun media
sosial kebanyakan adalah pelajar dengan rentang usia 10 sampai 19 tahun. (
http://www.kombinasi.net/l iterasi-media-di-eradigital/ {diaksespada 29/05/2020})

Permasalahan dalam penelitian ini terfokus pada Generasi Z yang diduga dapat mengalami
mental illnees yaitu remaja, karena berdasarkan data diperoleh dari National Center for Health
Research, remaja yang menghabiskan waktu lebih dari lima jam sehari di media sosial 71 persen lebih
berpotensi untuk mengalami gangguan mental. Terdapat beberapa jenis gangguan mental yang bisa
dipicu oleh terlalu sering mengakses media sosial seperti yang dilansir dalam IDN Times.

1. Depresi
Studi dari Journal of Social and Clinical Psychology menunjukkan adanya keterkaitan antara
media sosial dengan depresi dan kesendirian. Orang yang mengalami depresi akan merasakan
kesedihan yang dalam dan tidak sebentar.Depresi dapat muncul karena seseorang secara konstan
membandingkan diri dengan orang lain di media sosial. Ini akan membuat orang tidak puas
dengan hidupnya dan merasa gagal.
2. Fear of Missing Out (FOMO)
Fear of Missing Out (FOMO) adalah kondisi di mana seseorang takut merasa tertinggal dari
keramaian, dalam hal ini informasi yang ada di media sosial. FOMO membuat seseorang
kecanduan mengakses Facebook, Twitter, Instagram, Snapchat, dan lainnya.
Penderita FOMO akan merasa cemas jika mereka tidak terhubung dengan media sosial
walaupun hanya beberapa menit. Sayangnya kebanyakan dari mereka tidak menyadari bahwa
perilaku tersebut bukanlah hal yang wajar.
3. Borderline Personality Disorder (BPD)
Ini adalah salah satu tanda dari Borderline Personality Disorder (BPD). Gangguan ini biasa
dialami oleh para dewasa muda. BPD adalah gangguan mental yang menyebabkan seseorang
cemas dan merasa disisihkan oleh orang-orang di sekitarnya. Pada awalnya penderita BPD akan
merasa kesal dan sedih. Namun jika dibiarkan berlarut-larut, ini akan mengganggu hubungannya
dengan orang lain.
4. Social media anxiety disorder
Orang yang mengalami social media anxiety disorder menunjukkan perilaku yang mirip
dengan orang kecanduan media sosial. Mereka tidak bisa lepas dari handphone untuk mengecek
akunnya. Mereka juga terobsesi pada jumlah followers, likes, dan komentar di post mereka. Jika
jumlahnya tidak sesuai dengan apa yang diekspektasikan, mereka akan merasa cemas dan gelisah.

3
5. Body Dysmorphic Disorder (BDD)
“Wah body goals banget!” komentar tersebut sering terlihat di akun media sosial public figure
yang memiliki tubuh hampir sempurna. Followers mereka pun terinspirasi untuk mengikuti tips
diet dan pola makannya. Namun tidak semua orang bisa menyikapinya dengan positif. Sebagian
malah semakin merasa insecure dan tidak pede dengan penampilan tubuhnya. Mereka termasuk
orang-orang dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD).
6. Munchausen syndrome
Media sosial memang tempat yang cocok untuk mencari ketenaran. Tidak jarang orang biasa
yang tiba-tiba menjadi terkenal di media sosial akibat prestasi, tingkah lucu, bakat, dan lain-lain.
Namun tidak dengan pengidap munchausen syndrome. Mereka menggunakan cara yang tidak
benar, yaitu dengan memalsukan kisah hidupnya. Biasanya orang dengan munchausen syndrome
suka mengumbar cerita sedih hingga memalsukan penyakit. Semua dilakukan untuk mendapatkan
perhatian orang lain.
7. Narcissistic Personality Disorder
Dilansir dari Medical Xpress sebuah studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial
yang berlebihan, termasuk mengunggah selfie dan foto diri, memiliki kaitan dengan narsisme. Ini
lebih banyak ditunjukkan oleh pengguna media sosial yang menonjolkan aspek visual seperti
Instagram, Facebook, dan Snapchat. Dikutip dari sumber yang sama, Profesor Roberto Truzoli
dari Milan University mengatakan bahwa penggunaan elemen visual dari media sosial bisa
meningkatkan risiko narsisme.

Terlalu sering menggunakan media sosial ternyata membuat penggunanya rentan akan rasa
frustasi dan mudah iri dengan orang lain. Temuan itu dimuat dalam penelitian berjudul A Tool to Help
or Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia yang secara khusus
menyoroti gangguan kesehatan mental akibat penggunaan media sosial di Indonesia. Sujarwoto,
peneliti yang meriset masalah gangguan kesehatan mental akibat penggunaan media sosial secara
berlebihan ini mengatakan, perasaan iri dan getir muncul karena pengguna sering membanding-
bandingkan kehidupannya dengan orang lain di medsos. Kecenderungan rasa iri yang timbul juga
semakin tinggi mengingat lingkup media sosial yang lebih luas. "Kalau dulu sebelum ada akses
internet (komunikasi) hanya dengan tetangganya, keiriannya masih sama tetangganya. Nah sekarang
kan lebih luas", jelas Sujarwoto ketika dihubungi KompasTekno melalui sambungan telepon, Senin
(24/6/2019). Di Indonesia, kesenjangan sosial menyebabkan para pengguna medsos terpapar citra
positif dan kebahagiaan dari teman-temannya yang lebih mapan. Mereka lalu membandingkannya
dengan keadaan diri sendiri. Komparasi seperti ini menimbulkan perasaan kalah dan kehilangan.
Keriuhan menimbulkan frustrasi Beberapa penelitian terkait juga menyebut penggunaan media sosial
secara berlebih bisa menghilangkan kepuasan akan hidup dan menciptakan frustasi. Frustasi timbul
karena media sosial yang terlalu riuh. Apalagi, Indonesia masih dalam masa transisi demokrasi
sehingga warganya kerap serampangan dalam memberikan komentar dan melempar opini di dunia
maya. Keributan yang masif dan dikonsumsi secara terus-menerus inilah yang menimbulkan perasaan
frustasi. (https://tekno.kompas.com/read/2019/06/25/08060037/studi-media-sosial-bikin-orang-
indonesia-iri-dan-frustrasi)

Beberapa peneliti menemukan Sebanyak 83% remaja tidak bisa lepas dari media sosial (medsos)
walau hanya sehari. “Fenomena yang sering terjadi pada saat berkumpul, kebayakan hanya terfokus
pada gadgetnya masing-masing tanpa memperhatikan apa yang terjadi dan yang sedang
diperbincangkan orangorang di sekelilingnya,” ujar Siska Kusuma Ningsih Ketua Tim Penelitian,
dalam keterangan resminya, Rabu (1/6/2016). Fenomena itu, menurut dia, sungguh memiriskan, tetapi
justru banyak terjadi di lingkungan terdekat kita. Artinya, tanpa kita sadari sedikit demi sedikit
‘medsos’ telah mampu menumbuhkan dampak negatif dan berkembang cepat akhir-akhir ini. Yang

4
menarik, jawaban atas kuesioner terhadap remaja usia 13-25 di kawasan Kelurahan Mulyorejo Kota
Surabaya, dalam intensitas penggunaan medsos selama 24 jam, sebanyak 83% responden menyatakan
tidak bisa lepas dari media sosial miliknya, walau hanya sehari saja. Demikian kesimpulan dari hasil
kajian lima mahasiswa Fakultas Keperawatan Universtas Airlangga dari proposal penelitian Program
Kreativitas Mahasiswa – Penelitian Sosial Humaniora (PKMP Soshum) berjudul Pengenyampingan
Interaksi Sosial secara Langsung oleh Masyarakat sebagai Dampak Munculnya Jejaring Sosial
(Medsos). Hasil kajian tersebut lolos dan meraih dana hibah dari Dirjen Dikti Kementerian Riset,
Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) tahun 2016. (http://kabar24.bisnis.com/r
ead/20160601/255/553564/8 3-remaja-idapketergantungan-mediasosial {diakses pada 29/05/2020} )

Karakteristik generasi Z atau pascamillenial yang hidup dengan internet melalui gadget-gadget
canggih dapat menghadirkan kecemasan tersendiri, yaitu mental ilnees, Generasi Z yang kecanduan
media sosial mengalami gangguan pada perilaku, seperti yang dilansir oleh pikiran rakyat .com,
berdasarkan pernyataan dr. Miryam A. Sigarlaki, M.Psi. dalam seminar "Problematika Remaja di Era
Digital" yang digelar Fakuktas Kedokteran Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani) di Gedung
Hindarto Joesman Jalan Terusan Sudirman Kota Cimahi, Minggu, 2 April 2017, yakni perilaku
generasi remaja Indonesia saat ini sangat jauh berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka
jadi generasi 'menunduk' karena terpaku pada alat komunikasi gawai canggih, memiliki hubungan
lekat di dunia maya namun kebalikan di dunia nyata, selain itu menjadi sinis dan skeptis, kurang
sosialisasi, tidak fokus, dan kompetensi sosialnya sangat kurang (
http://www.pikiranrakyat.com/bandungraya/2017/04/03/kenalikarakter-remaja-generasiz397866/
{diakses pada 29/05/2020}).

Penelitian ini menggunakan perspektif literasi media digital, karena literasi media digital
dianggap penting sebagai cara mengatasi remaja yang mengalami mental ilnees, yang terjadi salah
satunya adalah karena adanya kemudahan dalam mengakses media sosial, dimana dan kapan saja.
Diharapkan melalui literasi media digital ini, remaja dapat terhindar dari dampak yang timbul, berupa
sikap mengesampingkan interaksi sosial. Kemampuan remaja dalam mengelola penggunaan media
sosial sangat kurang, sehingga menimbulkan perilaku kecanduan media sosial, menjadi tidak peduli
dengan kehadiran orang lain, tidak memahami situasi dan konteks, serta tidak fokus. Berdasarkan
data tersebut, maka peneliti tertarik melakukakn penelitian tentang bagaimana remaja menempatkan
dirinya sebagai pengguna media. Berdasarkan data berikut ini remaja dikatakan lebih banyak aktif
menggunakan media digital karena masa remaja merupakan masa mencari ciri khas atau jati diri
sehingga rasa ingin tgahu yang tak terbendung membuat kebanyakan remaja mencari tahu melalui
berbagai sumber di antara nya media digital. Massa remaja adalah masa transisi seseorang dari tahap
anak-anak menuju tahap dewasa. Untuk itu, seorang remaja tidak bisa disebut dewasa, pun disebut
anakanak. Berdasarkan keterangan WHO, remaja adalah orang yang berada pada rentang usia 10-19
tahun. Pada rentang usia tersebut, remaja biasanya tengah mencari jati diri. Remaja sebagai enerasi Z
bisa dengan mudah mengadopsi tren yang ada di dunia, lantaran akses internet yang sangat mudah.
Terlebih lagi setelah Facebook dan Twitter, media sosial seperti Instagram dan Snapchat kini kian
digandrungi remaja. Eksistensi remaja di dunia maya sendiri juga beragam. Nukman membaginya
dalam dua kategori: Creator dan Conversationalist. Creator adalah orang yang membuat konten
tertentu di blog, situs web, atau pun akun YouTube. Sedangkan, Conversationalist adalah orang yang
lebih senang menggunakan Facebook, Path, dan Twitter untuk bercakap-cakap. Generasi Z berada di
kategori creator, karena saat ini banyak ruang yang bisa digunakan untuk berkreasi, seperti Instagram.
Terlebih lagi, faktor teknologi seperti ponsel pintar, bisa memudahkan generasi Z untuk membuat
foto, video dan editing. (https://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20160812134839277-
150948/membacagenerasi-z-lewat-perilakudi-media sosial/diaksespada 29/11/2017).

5
Secara umum literasi media digital adalah kemampuan, pengetahuan, kesadaran, dan
keterampilan secara khusus pada khalayak sebagai pembaca di media cetak, peselancar di dunia maya,
penonton televisi, atau pendengar radio. Media digital yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
media sosial yang digunakan untuk berinteraksi, terkoneksi dengan internet, termasuk pengunaan
smartphone. Memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi pencitraan media. Literasi media
ditujukan agar khalayak sebagai konsumen media termasuk anak-anak, remaja dan orang dewasa
menjadi sadar atau melek tentang cara media dikonstruksi atau dibuat dan diakses. Literasi media
digital atau yang populer dengan medsos, tampaknya sudah sangat mendesak. Yang paling sederhana
adalah mensosialisasikan bahwa media sosial atau internet itu termasuk bagian dari media baru, yang
setidaknya memiliki kekuatan, antara lain, pelipat ganda pengetahuan, menghilangkan jarak ruang dan
waktu, mobilitas psikologis, pengaruh mendalam (deep impact), mudah melakukan kreasi (creativity),
hingga interaksi/ komunikasi pararasional (tidak rasional) bisa terjadi. Berdasarkan paparan pada
latar belakang penelitian, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Media apa yang
memiliki dampak paling buruk bagi mental ilnees remaja di Kab Garut ? 2. Bagaimana literasi media
digital pada generasi Z di Garut pada level critical understanding? 3. Bagaimana literasi media digital
pada generasi Z di Garut pada level communicative abilities? 4. Mental ilnees apa yang mungkin
dialami oleh remaja ketika bermedia sosial serta bagaimana pencegahannya?

II. KAJIAN PUSTAKA/PEMBAHASAN TEORI


Revolusi industry 4.0
Indonesiabaik.id - Untuk menghadapi revolusi industri 4.0, ada beberapa keahlian yang
dibutuhkan agar dapat sukses dalam menghadapi dinamika dunia kerja yang terus berubah. Terdapat 4
keahlian utama yang dibutuhkan untuk menghadapi industri 4.0
1. KIta harus memiliki keterampilan informasi, media, dan teknologi. Dengan istilah lain, kita
harus melek teknologi. Yang dimaksud dengan keterampilan informasi, media, dan teknologi
meliputi literasi media, keaksaraan visual, literasi multikultural, kesadaran global, dan literasi
teknologi.
2. Keterampilan belajar dan berinovasi yang meliputi kreativitas dan keingintahuan, pemecah
masalah (problem solving), dan pengambil resiko.
3. Terampil dalam hidup dan belajar seperti memiliki jiwa kepemimpinan dan bertanggung
jawab, memiliki nilai etis dan moral, produktivitas dan akuntabilitas, fleksibilitas dan
adaptasi, sosial dan lintas budaya, inisiatif dan mengarahkan diri
4. Memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang efektif seperti mampu bekerja dalam tim
dan berkolaborasi, memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial, dalam berkomunikasi harus
interaktif, memiliki orientasi nasional dan global.
Dalam salah satu studinya, the World Economic Forum (WEF) menyatakan bahwa revolusi
industri 4.0 ditandai oleh pembauran (fusion) teknologi yang mampu menghapus batas-batas
penggerak aktivitas ekonomi, baik dari perspektif fisik, digital, maupun biologi. Dengan bahasa yang
lebih sederhana bisa dikatakan bahwa pembauran teknologi mampu mengintegrasikan faktor
sumberdaya manusia, instrumen produksi, serta metode operasional, dalam mencapai tujuan.
Karakteristik revolusi industri 4.0 ditandai dengan berbagai teknologi terapan (applied technology),
seperti advanced robotics, artificial intelligence, internet of things, virtual and augmented reality,
additive manufacturing, serta distributed manufacturing yang secara keseluruhan mampu mengubah
pola produksi dan model bisnis di berbagai sektor industri. Adapun pengertian dari istilah-istilah
tersebut adalah:
a. Advanced Robotics.
Instrumen ini merupakan peralatan yang digunakan secara mandiri, yang mampu
berinteraksi secara langsung dengan manusia, serta menyesuaikan perilaku berdasarkan sensor

6
data yang diberikan. Fungsi utamanya adalah untuk memperpendek waktu tunggu dan waktu
layanan, sehingga menghasilkan efisiensi.
b. Artificial Intelligence (AI).
AI adalah sistem mesin berteknologi komputer yang mampu mengadopsi kemampuan
manusia. Ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas, sekaligus
meminimalisir risiko kesalahan yang bisa dilakukan oleh tenaga kerja manusia.
c. Internet of Things (IoT).
IoT merupakan teknologi yang memungkinan setiap instrumen terkoneksi satu sama lain
secara virtual, sehingga mampu mendukung kinerja operasioanal usaha, pengawasan terhadap
perfoma manajemen, serta peningkatan nilai guna output.
d. Virtual and Augmented Reality.
Virtual Reality merupakan simulasi yang dilakukan oleh komputer dalam membentuk
sebuah realitas rekaan. Teknologi ini mampu memanipulasi penglihatan manusia sehingga seolah-
olah berada di tempat atau lingkungan yang berbeda dari kenyataan sesungguhnya. Sementara
Augmented Reality adalah teknologi yang mampu menghasilkan informasi dari kondisi
lingkungan sebenarnya, lalu diproses secara digital dan digunakan untuk tujuan tertentu.
e. Additive Manufacturing.
Teknologi ini merupakan otomatisasi proses produksi melalui teknologi 3D (three
dimensional). Hal ini memberi pengaruh positif pada kecepatan pengolahan dan transportasi
produk.
f. Distributed Manufacturing.
Merupakan konsep penempatan lokasi produksi dan pengintegrasian proses produksi,
sehingga bisa berada sedekat mungkin dengan konsumen untuk menjawab kebutuhan riil mereka.
Tujuannya adalah untuk mencapai economies of scale, sekaligus mengurangi beban biaya (cost
efficiency). Melalui penerapan teknologi modern, sektor industri tidak lagi semata-mata berfokus
pada pengembangan usaha dan peningkatan laba, melainkan juga pada pendayagunaan dan
optimalisasi setiap aktivitas, mulai dari pengadaan modal, proses produksi, hingga layanan kepada
konsumen (World economic Forum. Impact of the Fourth Industrial Revolution on Supply
Chains, October, 2017).
Selain membawa dampak positif, revolusi industri 4.0 juga memunculkan berbagai tantangan
yang mesti dijawab. The United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)
menekankan agar kehadiran industri 4.0 bisa meningkatkan perekonomian negara-negara miskin
dan berkembang, sekaligus mendorong terwujudnya agenda-agenda pembangunan seperti yang
tertuang dalam the Sustainable Development Goals (SDGs). Namun demikian UNIDO juga
mengkhawatirkan terjadinya gap yang semakin besar diantara negara-negara maju yang mampu
mengaplikasikan teknologi modern, dengan negaranegara miskin dan berkembang yang tertinggal
dalam pengembangan teknologi. Masalah yang tidak kalah penting adalah dampak penerapan
teknologi terhadap peran tenaga kerja serta pemeratan kesejahteraan. UNIDO menegaskan
beberapa poin penting terkait perkembangan industri 4.0, yakni:
a. Industri 4.0 diharapkan memberi manfaat untuk kepentingan manusia, lingkungan, dan
kesejahteraan bersama.
b. Industri 4.0 diharapkan mampu mendorong pengembangan kapasitas manusia , sehingga
menjadi semakin terdidik dan terampil.
c. Akses terhadap teknologi diharapkan terjangkau dengan mudah, sehingga bisa diterapkan di
semua negara.
d. Kemajuan teknologi diharapkan mampu menghasilkan keterbukaan informasi.

7
e. Kemajuan teknologi diharapkan bisa menggeser paradigma lama, dari persaingan
(competition) menjadi koneksi (connection) dan kerjasama (collaboration).
f. Penerapan teknologi diharapkan mampu menjawab tantangan perubahan iklim dan upaya
pelestarian lingkungan. (UNIDO. Industry 4.0: Opportunities and Challenges of the New
Industrial Revolution for Developing Countries and Economies in Transition, Panel
Discussion).
Media Baru
Kehadiran media baru ini pun membawa perubahan pada proses komunikasi yang selama ini ada,
baik komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok, bahkan komunikasi massa sekalipun.
Masyarakat pengguna media baru ini, seolah terhipnotis, tidak lagi atau jarang berbicara secara
langsung, semua dilakukan melalui perantaraan media baru. “We are already experiencing the
cultural effects of the digital revolution that is underway.”(Cross, 2011 – dalam Nasrullah; 2015).
Berikut terdapat beberapa definisi media sosial yang berasal dari berbagai literatur, penelitian
(Fuchs, 2014), sebagai berikut:
1. Mandibergh (2012), media sosial adalah media yang mewadahi kerjasama di antara pengguna
yang menghasilkan konten (user generated content).
2. Shirky (2008), media sosial dan perangkat lunak sosial merupakan alat untuk meningkatkan
kemampuan pengguna untuk berbagi (to share), bekerja sama (to co-operate) di antara pengguna
dan melakukan tindakan secara kolektif yang semuanya berada di luar kerangka institusional
maupun organisasi.
3. Boyd (2009) menjelaskan media sosial sebagai kumpulan perangkat lunak yang memungkinkan
individu maupun komunitas untuk berkumpul, berbagi, berkomunikasi, dan dalam kasus tertentu
saling berkolaborasi atau bermain. Media sosial memiliki kekuatan pada usergenerated content
(UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di institusi
media massa.
4. Van Dijk (2013), media sosial adalah platform media yang memfokuskan pada eksistensi
pengguna yang memfasilitasi mereka dalam beraktivitas maupun berkolaborasi. Karena itu media
sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan
antarpengguna sekaligus sebagai sebuah ikatan sosial.
5. Meike dan Young (2012) mengartikan kata media sosial sebagai konvergensi antara komunikasi
personal dalam arti saling berbagi di antara individu (to be shared one-to-one) dan media publik
untuk berbagi kepada siapa saja tanpa ada kekhususan individu. (Dalam Nasrullah, 2015).
Berdasarkan definisi-definisi tentang media sosial yang dikemukakan para ahli tersebut,
maka dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa pengertian media sosial itu adalah media dengan
menggunakan jaringan internet yang memungkinkan para penggunanya dapat saling berinteraksi,
berkomunikasi, menjalin kerjasama, atau pun bahkan membentuk kelompok dan ikatan sosial
secara virtual.
Media sosial
Media Sosial (Social Media) Media Sosial adalah sebuah media untuk bersosialisasi satu sama lain
dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi
ruang dan waktu. Dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian besar yaitu :
1. Social Networks, media sosial untuk bersosialisasi dan berinteraksi ( Facebook, myspace, hi5,
Linked in, bebo, dll)
2. Discuss, media sosial yang memfasilitasi sekelompok orang untuk melakukan obrolan dan diskusi
(google talk, yahoo! M, skype, phorum, dll)

8
3. Share, media sosial yang memfasilitasi kita untuk saling berbagi file, video, music, dll (youtube,
slideshare, feedback, flickr, crowdstorm, dll)
4. Publish, (wordpredss, wikipedia, blog, wikia, digg, dll)
5. Social game, media sosial berupa game yang dapat dilakukan atau dimainkan bersama-sama
(koongregate, doof, pogo, cafe.com, dll)
6. MMO (kartrider, warcraft, neopets, conan, dll)
7. Virtual worlds (habbo, imvu, starday, dll)
8. Livecast (y! Live, blog tv, justin tv, listream tv, livecastr, dll)
9. Livestream (socializr, froendsfreed, socialthings!, dll)
10. Micro blog (twitter, plurk, pownce, twirxr, plazes, tweetpeek, dll) (https://www.unpas.ac.id/a pa-
itu-social-media/)
Konsep Literasi Media dan Literasi Digital
“Definisi literasi media menggunakan pendekatan trikotomi yang mencakup tiga bidang
yaitu literasi media bermakna memiliki akses ke media, memahami media dan menciptakan dan
mengekspresikan diri untuk menggunakan media.” (Buckingham 2005, Livingstone 2005).
Sedangkan pengertian literasi media menurut European Comission (European Commission, 2009)
adalah: Media literacy may be defined as the ability to access, analyse and evaluate the power of
images, sounds and messages which we are now being confronted with on a daily basis and are an
important part of our contemporary culture, as well as to communicate competently in media
available on a personal basis. Media literacy relates to all media, including television and film, radio
and recorded music, print media, the Internet and other new digital communication technologies.
“The aim of media literacy is to increase awareness of the many forms of media messages
encountered in everyday life. It should help citizens to recognise how the media filter their
perceptions and beliefs, shape popular culture and influence personal choices. It should empower
them with the critical thinking and creative problem-solving skills to make them judicious consumers
and producers of content. Media literacy is part of the basic entitlement of every citizen, in every
country in the world, to freedom of expression and the right to information and it is instrumental in
building and sustaining democracy.(European Commission, 2009)
Literasi digital adalah ketertarikan, sikap dan kemampuan individu dalam menggunakan
teknologi digital dan alat komunikasi untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, menganalisis
dan mengevaluasi informasi, membangun pengetahuan baru, membuat dan berkomunikasi dengan
orang lain agar dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat. Media digital termasuk salah
satu gadget dalam media baru, dalam buku Komunikasi dan Komodifikasi dijelaskan definisi media
baru (Dennis Mc.Quail, 2000) terdapat empat kategori utama yaitu; 1. media komunikasi
interpersonal seperti email; 2. Media permainan interaktif seperti game; 3. Media pencarian informasi
seperti mesin pencarian di Net,; 4. Media partisipatoris, seperti ruang chat di Net. Dalam penelitian
ini yang dimaksud dengan literasi media digital adalah keahlian atau kemampuan seseorang
memanfaatkan komputer, Internet, telepon, PDA dan peralatan digital yang lain sebagai alat
penunjang komunikasi secara benar dan optimal”.
Model Literasi Media Digital Pada penelitian ini, yang digunakan untuk menilai tingkat
literasi media hanyalah pada tingkat kompetensi individu saja. Tingkat kompetensi individu
terdiri dari tiga kategori yaitu:
1. Technical Skills¸ yaitu kemampuan untuk mengakses dan mengoperasikan media. Technical
skills ini mencakup beberapa criteria, yaitu: kemampuan menggunakan komputer dan

9
internet, kemampuan menggunakan media secara aktif, kemampuan menggunakan internet
yang tinggi.
2. Critical Understanding, yaitu kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi konten media
secara komprehensif. Kriteria critical understanding adalah kemampuan memahami konten dan
fungsi media, memiliki pengetahuan tentang media dan regulasi media, perilaku pengguna
dalam menggukana media.
3. Communicative Abilities, merupakan kemampuan untuk bersosialisasi dan berpartisipasi melalui
media serta memproduksi konten media. (European Commission. 2009. In study assessment
criteria for media literacy levels. cf.http://cc.europa.eu/av policy/media_literacy/i
ndex_en.htm./diakses pada1/12/2017)

Profil Generasi Z
“Forbes Magazine membuat survei tentang generasi Z di Amerika Utara dan Selatan, di
Afrika, di Eropa, di Asia dan di Timur Tengah. 49 ribu diantara nya anak-anak dan remaja ditanya”
(Dill,2015). Atas dasar hasil itu dapat dikatakan bahwa generasi Z adalah generasi global pertama
yang nyata. Teknologi tinggi dalam darah mereka, mereka telah tumbuh di lingkungan yang tidak
pasti dan kompleks yang menentukan pandangan mereka tentang pekerjaan, pendidikan, belajar dan
dunia. “Mereka memiliki harapan yang berbeda di sekolah, atau pun tempat kerja mereka, berpikir
cepat, berorientasi karir, generasi profesional yang ambisius, memiliki kemampuan teknis-dan
pengetahuan bahasa pada tingkat tinggi. Oleh karena itu, mereka tenaga kerja yang sangat baik.
Pengusaha harus mempersiapkan untuk terlibat generasi Z karena mereka adalah karyawan yang
efektif di era digital”. (Elmore, 2014).
Ciri-ciri mental ilnees
Kegagalan dalam mencapai kondisi mental yang sehat, berarti berkembangnya pribadi-pribadi
yang memiliki mental yang sakit. Mental yang sakit ini ditandai dengan beberapa ciri seperti: (1)
kecemasan/kegelisahan dalam menghadapi kehidupan (anxiety); (2) merasa mudah tersinggung
(perasa); (3) bersikap agresif (pemarah) atau berprilaku menyerang dan destruktif (merusak ); (4)
sikap kurang mampu menghadapi kenyataan secara realistis (tidak sabar atau kanaah); (5) memiliki
gejala psikosomatis (sakit yang disebabkan oleh gangguan psikis karena stress; dan (7) memiliki
gangguan dalam sistem sarafnya.
Sementara menurut Thrope (Schneider's, 1964:61-62), ciri-ciri orang yang mentalnya sakit itu
adalah: (1) merasa tidak nyaman atau merasa tidak bahagia; (2) merasa tidak Aman, atau dicekam
Rasa takut atau khawatir; (3) kurang memahami diri; (4) kurang mendapat kebahagiaan dari
kehidupan sosial; (5) kurang memiliki kematangan emosional; (6) kepribadianya kurang mantap dan
(7) mengalami gangguan dalam Sistem sarafnya.
Dari penjabaran mengenai ciri-ciri mental ilnees maka penulis ambil beberapa gejala yang
mungkin dialami oleh para remaja ketika menggunakan media sosial adalah;
1. Tidak beriman kepada Allah (hedonism)
2. Merasa tidak nyaman
3. Kurang percaya diri
4. Ria (kurang memiliki kematangan emosional)
Terlalu sering menggunakan media sosial ternyata membuat penggunanya rentan akan rasa frustasi
dan mudah iri dengan orang lain. Temuan itu dimuat dalam penelitian berjudul A Tool to Help or
Harm? Online Social Media Use and Adult Mental Health in Indonesia yang secara khusus menyoroti
gangguan kesehatan mental akibat penggunaan media sosial di Indonesia. Sujarwoto, peneliti yang
meriset masalah gangguan kesehatan mental akibat penggunaan media sosial secara berlebihan ini
mengatakan, perasaan iri dan getir muncul karena pengguna sering membanding-bandingkan

10
kehidupannya dengan orang lain di medsos."Kalau dulu sebelum ada akses internet (komunikasi)
hanya dengan tetangganya, keiriannya masih sama tetangganya. Nah sekarang kan lebih luas", jelas
Sujarwoto ketika dihubungi KompasTekno melalui sambungan telepon, Senin (24/6/2019). Di
Indonesia, kesenjangan sosial menyebabkan para pengguna medsos terpapar citra positif dan
kebahagiaan dari teman-temannya yang lebih mapan. Mereka lalu membandingkannya dengan
keadaan diri sendiri. Komparasi seperti ini menimbulkan perasaan kalah dan kehilangan.
Keriuhan menimbulkan frustrasi
Beberapa penelitian terkait juga menyebut penggunaan media sosial secara berlebih bisa
menghilangkan kepuasan akan hidup dan menciptakan frustasi. Frustasi timbul karena media sosial
yang terlalu riuh. Apalagi, Indonesia masih dalam masa transisi demokrasi sehingga warganya kerap
serampangan dalam memberikan komentar dan melempar opini di dunia maya. Keributan yang masif
dan dikonsumsi secara terus-menerus inilah yang menimbulkan perasaan frustasi.
Media Sosial dan Perilaku Remaja
Penelitian ini sendiri dilakukan oleh tim yang berasal dari University of North Carolinadan NC
State Universitydan dilakukan di Chapel Hill. Sebanyak 487 remaja dilibatkan dalam penelitian yang
dilakukan sepanjang satu tahun. Dalam penelitian ini sendiri, para remaja ini dipelajari cara
berkomunikasinya dengan pasangannya baik itu dengan cara tradisional layaknya berkomunikasi
secara langsung atau setidaknya bertelepon, dan juga saat mereka memakai media sosial atau aplikasi
chat yang kini sedang populer. Selain itu, dipelajari pula cara bersosialisasi dan menjalani hubungan
dengan sehat, khususnya dalam mengelola konflik atau mengeluarkan pendapat pribadi atau
menyatakan kebutuhan pada orang lain.
Pakar kesehatan mengungkapkan jika penggunaan media sosial secara masif berimbas buruk pada
cara bersosialisasi remaja modern mengingat media ini tidak mengeluarkan ekspresi wajah saat
berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan, penelitian ini menunjukkan jika penggunaan media sosial
berimbas langsung pada menurunnya ketrampilan berkomunikasi sehingga perbedaan cara pandang,
menghentikan argumen, atau sekadar menyatakan pendapat menjadi hal yang bisa memicu masalah
yang besar saat dilakukan secara langsung. (http://doktersehat.com/p akar-remaja-kecanduanmedia-
sosial-semakinsulit-bersosialiasidengan-baik-di-dunianyata/#ixzz50nL0iMMq/ {diakses pada
29/05/2020}).
Teori kecanduan media sosial yang memengaruhi mental ilnees remaja
Menurut Nurfajri (2013), ada teori Kecanduan Media Sosial diartikan sebagai gangguan
psikologis dimana pengguna menambah waktu menggunakan sosial media sehingga membangkitkan
rasa kesenangannya, menimbulkan kecemasan , perubahan mood hingga depresi. Jika sudah depresi,
remaja akan kesulitan melakukan konsultan ke para ahli karena ketakutan akan stigma yang sudah
dibangun masyarakat Indonesia ke mental illness. Ada 1 dari 5 remaja mengidap kondisi gangguan
mental tapi hanya kurang dari setengahnya mencari bantuan (Giliberti , 2019). Kuatnya stigma
menghambat orang dengan depresi untuk mencari bantuan atau dukungan yang mereka butuhkan agar
mereka kembali menjalani hidup normal (Viora , 2019). Tujuan dari penelitian ini meningkatkan
kesadaran diri remaja terhadap dampak negatif penggunaan sosial media terkhusus Instagram ,
sehingga remaja dapat memiliki kesehatan mental yang positif
Masa remaja atau nama lainnya Adolesence berarti tumbuh menjadi dewasa, berasal dari
bahasa Latin “Adolescere” yang artinya “tumbuh untuk mencapai kematangan”. Perkembangan lanjut
mengenai Adolescence punya arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial,
dan fisik (Hurlock, 1991). Sedangkan pada 1947, WHO memberi definisi konseptual pada remaja dan
dibagi menjadi 3 kriteria yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi.

11
Dikutip dari rentang waktu usia remaja dibagi menjadi tiga, yaitu 12-15 tahun = remaja , 15-
18 tahun = masa remaja perteng. Perkeahan , tahun 18-21 tahun = masa remaja akhir (Sri Rumini &
Siti Sundari, 2004). Menurut Roslina Verauli (Kompas female , 2013), menyatakan bahwa remaja
adalah sosok yang sangat sensitive dalam menghadapi masalahnya terutama masalah harga dirinya,
tapi tidak hanya harga diri namun orang terdekatnya juga bisa. Masa peralihan ini selain
meningkatnya gejolak emosi, remaja juga kerap dalam masa pencarian identitas diri yang dimana
menjadi saat yang sangat krusial. “Identitas diri sebetulnya cara bagaimana seseorang melihat dirinya.
Identitas diri juga dikenal dengan konsep diri” kata Verauli. Kata Identitas diambil dari bahasa latin
yaitu idem, yang berarti “serupa”. Identitas merupakan pengumpulan dari semua gambaran diri dalam
mengatur tatanan sifat , objek , dan peran. Identitas menyatakan kesadaran dari sebuah individu yang
ada (Stuart dan Laraia , 2005). Di dalam generasi yang semakin canggih dan bisa diakses kapan saja
dan siapa saja menjadi tak terbatas. Dilaporkan dari NapoleonCat, salah satu perusahaan analis Sosial
Media Marketing yang berbasis di Warsawa, Polandia, yang 22,6% atau nyaris seperempat total
penduduk Indonesia. Pengguna instagram di Indonesia didominasi oleh kelompok umur 18-24 tahun
menjadi kelompok usia pengguna Instagram terbesar dengan total 37,7% pengguna.
Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa,“ Kesehatan mental
merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman, tentram, dan
upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui penyesuaian diri secara
resignasi (penyerahan sepenuhnya kepada Tuhan), sedangkan menurut Zakiah Darodjat, kesehatan
mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala-gejala gangguan dan penyakit jiwa, dapat
menyesuaikan diri, dapat memanfaatkan segala potensi dan bakat yang ada secara maksimal. Dari
sebuah kasus seorang influencer dengan inisial “K” ternyata pernah mengalami depresi dua kali. “K”
mengalami depresi ketika dia berada di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) , saat itu dia merasa
kecemasan atas kehilangan sesuatu. Saat di masa depresi, “K” tidak tahu harus melakukan bagaimana
untuk mengatasi depresinya. Dia belum mengerti bahwa penting untuk segera berkonsultasi ke
psikolog atau berbagi cerita ke temannya. Alhasil, kesehatan mentalnya pun semakin memburuk,
namun masa susah itu dia lewati dengan membaca motivational speech, membaca buku motivasi,
hingga ia merasa tidak depresi lagi.
Tidak lama kemudian, saat mantan kekasihnya meninggal, ujaran kebencian dan tuduhan
membombardir dia di kolom komentar instagram. Kesehatan mental dari influencer “K” kembali
terganggu, namun “K” kembali bangkit lagi. Beruntung dia punya teman-teman untuk melalui saat-
saat susahnya. Kesehatan mental yang dialami influencer “K” karena instagram berawal dari mulanya
dia mengidap bawaan depresi lalu tidak segera diatasi. Dia merasa takut dan tidak berani
berkonsultasi ke psikolog dikarenakan takut akan diejek “gila”,“orang stress” atau “drama queen” dan
depresi diartikan sebagai suatu kondisi medis berupa perasaan sedih yang berdampak negatif terhadap
pikiran, tindakan , perasaan , dan kesehatan mental seseorang, berdasarkan American Psychiatric
Association. Depresi hanya salah satu dalam bagian mental illness dan mental illness diartikan sebagai
kumpulan penyakit gangguan jiwa yang mempengaruhi pikiran , perasaan, dan perilaku seseorang ,
dikutip dari Suara.com. Selain depresi atau mental illness yang lainnya, self-loathing bisa jadi terjadi
di diri remaja, yang dimana remaja tidak memiliki self-esteem (harga diri) sehingga menggambarkan
bahwa remaja tersebut membenci dirinya tersebut. Self-esteem menyatakan penghargaan diri
merupakan evaluasi secara keseluruhan mengenai diri menurut Santrock (2011).
Solusi agar remaja tidak terkena gangguan mental illness karena instagram dapat dilakukan
dengan konsep mindfulness, Mindfulness adalah suatu kondisi kesadaran pada saat ini dengan penuh
penerimaan (Germer,Siegel, dan Fulton, 2005), sedangkan Mace (2008) menerangkan bahwa
Mindfulness menekankan pada kesadaran, menjadi sadar sepenuhnya pada hal yang terjadi saat ini
dengan mengalihkan pengalaman yang lain, diterima sepenuhnya tanpa penilaian. Menerima kondisi
dirinya yang stress , depresi , atau cemas sepenuhnya, menerima dirinya yang penuh kekurangan juga
mindfulness dengan self-love. Setiap remaja harus memiliki kesadaran dan awareness pada individual

12
masing-masing dalam penggunaan sosial media terutama instagram, penggunaan sosial media yang
berlebihan akan berdampak pada kesehatan mental, dan apabila remaja sudah menderita kesehatan
mental yang serius, diharapkan bimbingan orang tua dan remaja segera konsultasi ke psikolog
terdekat atau mencurahkan perasaan hatinya ke orang terdekat atau cara termudah dimulai dari diri
sendiri yaitu mindfulness.
Instagram sebagai platform media terpopuler bagi remaja
Bob Patton, dosen psikologi klinis di University of Surrey mengatakan, strategi membatasi
penggunaan media sosial untuk mengurangi gangguan mental mungkin tidak membantu. Menurutnya,
jika ingin meningkatkan kesehatan mental terutama di kalangan remaja, maka mereka harus diberi
strategi untuk meningkatkan ketahanan terhadap bullying. Selain itu, para remaja juga perlu untuk
didorong agar memiliki perilaku tidur serta olahraga yang lebih baik. Studi tersebut melibatkan
hampir 10.000 anak-anak usia 13 hingga 16 tahun di Inggris. Penelitian dilakukan dengan
mewawancarai para remaja sekali dalam setahun dalam rentang waktu tahun 2013 hingga 2015.
Para responden akan melaporkan frekuensi mereka memeriksa atau menggunakan media
sosial, seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, dan Snapchat. Menurut para peneliti, lebih
dari tiga kali sehari dianggap sangat sering. Mereka kemudian mencatat banyak responden yang juga
tidak menangkap berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk memeriksa akun media sosialnya. Pada
tahun 2014 dan 2015, para peneliti bertanya tentang tekanan psikologis remaja dan kesejahteraan
pribadi mereka, hal-hal seperti kepuasan hidup, kebahagiaan dan kecemasan. Menurut penelitian yang
di lakukan oleh Jackson yang mengatakan bahwa Instagram merupakan platform media sosial
terpopuler dengan 59% penggunaan online dengan rentang usia 18-29 tahun (Jackson, 2017).
Hal ini berarti bahwa Instagram mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam menarik minat
dan perhatian remaja. Dalam penggunaan Instagram, setiap orang dapat membagikan segala macam
kegiatan atau aktivitas yang sedang dilakukan, baik dalam hal berbagi cerita, pengalaman, foto, video,
maupun hal-hal yang bersifat 2 pribadi. Berdasarkan pemaparan ini, maka bisa dilihat bahwa
Instagram memiliki peran dan pengaruh cukup besar dalam kehidupan remaja. Pengaruh ini pada satu
sisi bisa bersifat positif, tetapi pada sisi yang lainnya dapat bersifat negatif. Seperti halnya penelitian
yang di lakukan oleh Manampiring Rudolf (2015), mengatakan bahwa ada beberapa dampak positif
dari penggunaan Instagram, yaitu: 1) Instagram digunakan sebagai pelepas emosi (seperti penat atau
stress), 2) Akun Instagram dianggap sebagai identitas personal, 3) Instagram dijadikan sumber
informasi atau hiburan.
Sejalan dengan terori di atas, terdapat Survey dari GlobalWeb Index menjelaskan pada kuartal
ke empat 2013 , remaja menggunakan Instagram sebagai wadah pencarian atau pembentukan identitas
diri melalui sarana pengalaman, cerita, atau informasi yang dibagikan melalui instagram. identitas diri
ini dibagi menjadi 3 , menurut Jordan (1999) dikatakan ada tiga elemen dasar dari kekuatan individu
di dunia siber , yaitu : 1) Identity Fluidity : Proses pembentukan identitas secara online atau virtual. 2)
Renovated Hierarchie : proses dimana hierarki-hierarki terjadi di dunia nyata direka kembali menjadi
online hierarchies. 3) Information as reality: Informasi menggambarkan realita yang berlaku di dunia
virtual. Disimpulkan dari beberapa data valid yang sudah ditelusuri, bahwa salah satu kegunaan
instagram adalah sebagai tempat pencarian identitas diri remaja yang nantinya membentuk
personalitas diri remaja , tetapi dampak buruk yang dimiliki oleh Instagram ini belum tentu mampu
diatasi oleh tiap individual remaja karena gejolak emosi mereka yang masih tidak stabil dan meluap-
luap. Di tahap pencarian identitas diri, remaja akan belajar dan menggali info terus menerus agar bisa
membentuk identitas diri yang baru dan akan melekat menjadi gambaran dirinya, sedangkan informasi
yang ada instagram tidak tersaring, informasi yang bersifat negatif ataupun positif bisa langsung
diserap oleh remaja. Hal yang ditakutkan, informasi negatif yang diserap oleh remaja ini nanti akan
mengganggu kesehatan mental remaja yang masih belum stabil.

13
Namun di sisi lain ada pula dampak negatif yang perlu juga untuk mendapat perhatian lebih.
Seperti yang dikutip dalam berita CNN Indonesia, ada penelitian dan pengamatan yang di lakukan
oleh salah satu Lembaga kesehatan di London yaitu The Royal Society for Public Health (RSPH),
penelitian mereka menyatakan bahwa 1500 remaja dengan rentang usia 14-24 tahun cenderung
mengalami gangguan kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, identitas diri dan gambar diri saat
menggunakan aplikasi Instagram secara terus-menerus. Menurut Hurlock masa remaja merupakan
sebuah proses mencapai kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992). Pada masa
ini remaja sangat rentan untuk dipengaruhi, hal tersebut di karenakan remaja masih dalam proses
pencarian jati diri, sehingga cara berpikir dan pengambilan keputusan cenderung belum matang. Maka
dari itu sangat penting bagi remaja mengenal dan memahami tentang dirinya sehingga dapat lebih
baik mencapai kematangan mental, emosional sosial dan fisik.
Psikolog klinis dan Dosen UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) menerangkan bahwa masa
remaja adalah proses menuju dewasa yang dimana masih ada tahap dan perkembangan, dan kesehatan
mental yang baik sangatlah berpengaruh dalam perkembangan remaja. Pengangkatan topik “Dampak
Instagram Terhadap Kesehatan Remaja” dikarenakan penggunaan Instagram oleh remaja semakin
tidak bijaksana .
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini berpacu pada payung positivsme. Dalam postivisme fakta dan data terbatas pada
sesuatu yang empiris sensual (teramati secara indrawi), sedangkan dalam postpositivisme selain yang
empiri sensual juga mencakup apa yang ada di balik yang empirik sensual (fenomena dan nomena).
Menurut istilah Noeng Muhadjir (2000), positivisme menganalisis berdasar data empirik sensual,
postpositivisme mencari makna di balik yang empiri sensuai. Kedua aliran filsafat tersebut mendasari
bentuk penelitian yang berbeda satu dengan yang lain. Aliran positivisme dalam penelitian
berkembang menjadi penelitian dengan paradigma kuantitatif.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif. Terkait denga metode kuantitatif,
Menurut Plane et al. (1994) kajian kuantitatif yang baik “seeks to provide explanantion for observed
effects that are relatively uncompounded by alternate and competing explanation” ketepatan
penelitian kuantitatif bergantung kepada peneliti untuk membuat pengukuran yang mempunyai
kepentinan dari segi konsep teori atau konstruk validitas dan reliabitas instrument yang digunakan
relevan dengan masalah yang diteliti. Penelitian ini juga mengambl jenis pendekatan descriptive
research. Seperti yang dikemukan oleh DR. Iskandar, M.Pd mengemukakan bahwa penelitian
deskriptif merupakan penelitian untuk memberi uraiam mengenai fenomena atau gejala sosial yang
diteliti dengan mendeskripsikan tentang nilai variable mandiri, baik satu variable atau lebih
(independent) berdasarkan indikator-indikator dari variable yang diteliti tanpa membuat perbandingan
atau menghubungkan antara variable yang diteliti guna untuk eksplorasi dan klasifikasi dengan
mendeskripsikan sejumlah variable yang berkenaan dengan variable yang diteliti.
Pengambilan sampel atau responden adalah para remaja berusia 14-23 tahun yang terdiri atas
40 responden perempuan dan 20 responden berjenis kelamin laki-laki yang berdomisili di kabupaten
Garut. Mengapa sampel ini didominasi oleh peremupuan karena seperti yang dilansir Daily Mail, para
peneliti di University College Londol (UCL) menemukan remaja perempuan cenderung banyak
menghabiskan waktu di media sosial dan juga mengalami dampak psikologis yang lebih buruk.
Mereka mengatakan dua faktor utama yang menyebabkan media sosial berdampak pada kesehatan
mental bagi kedua jenis kelamin adalah pelecehan daring dan gangguan tidur. Penelitian menemukan
remaja perempuan cenderung lebih menderita akibat masalah ini mungkin karena mereka lebih aktif
dalam obrolan di situs. Kuesioner dibuat menggunakan goolefrom yang dibagikan secara online
melalui media sosial whatsapp. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan satu kuesioner yang
disusun sendiri oleh peneliti.

14
Selain itu peneliti juga melakukan obeservasi partisipan dengan cara mengamati para
informan ketika menggunakan gadget mereka untuk mengakses media sosial, peneliti juga melakukan
observasi keaktifan beberapa responden di media sosial. Peneliti mempertimbangkan responden
dengan kualifikasi aktif, lumayan aktif dan tidak aktif di media sosial.
IV. PEMBAHASAN
Kondisi Literasi Media Digital Berikut ini akan dipaparkan hasil penelitian mengenai kondisi
literasi media digital dari para responden yang merupakan remaja dan Generasi Z (generasi native
media digital). Kondisi literasi media digital yang akan dipaparkan dilihat dari sudut pandang
Technical Skills¸ yaitu kemampuan untuk mengakses dan mengoperasikan media.
Pertama Technical skills ini mencakup beberapa kriteria, yaitu: kemampuan menggunakan
komputer dan internet, kemampuan menggunakan media secara aktif, dan kemampuan
menggunakan internet yang tinggi.
Kedua dilihat juga dari sudut pandang Critical Understanding, yaitu kemampuan untuk
menganalisis dan mengevaluasi isi media secara komprehensif. Kriteria critical understanding
adalah kemampuan memahami isi dan fungsi media, memiliki pengetahuan tentang media dan
regulasi media, dan perilaku penggunaan media.
Ketiga dilihat dari sudut pandang Communicative Abilities, merupakan kemampuan
untuk bersosialisasi dan berpartisipasi melalui media serta memproduksi isi media. Berikut
paparan hasil penelitian:
Technical Skills jika kita telaah pada kemampuan responden dalam menggunakan internet
itu sangat tinggi artinya dari mulai cara mengakses, sampai menggunakan fitur-fitur yang tersedia
dalam media sosial yang sudah dipilih. Mereka cenderung bisa menggunakan media sosial secara
komprehensif sesuai dengan jenis media yang sering digunakan. Sebanyak (8,33%) dapat
menggunakan facebook dengan baik, (6,67%) dapat menggunakan twitter dengan baik, (43,33%)
dapat menggunakan instagram dengan baik, (10,00%) media lainnya (tidak disebutkan media
sosial apa oleh responden), (31,67%) adalah responden yang bisa menggunakan lebih dari satu
media sosial dengan baik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh Jackson yang
mengatakan bahwa Instagram merupakan platform media sosial terpopuler dengan 59%
penggunaan online dengan rentang usia 18-29 tahun (Jackson, 2017).

Para responden juga merupakan pengguna aktif yang memiliki frekuensi penggunaan social
networking yang cukup tinggi, di mana ada (65,0%) responden yang mengaktifkan media sosial (< 7
jam perhari) perhari, sebanyak 16 responen yang menggunakan media sosial (> 15 jam perhari )
bahkan ada sebanyak 5 responden yang menggunakan media sosial selama (24 jam perhari). Artinya
ada 5 responden yang selalu mengaktifkan media sosial walaupun ia tidak mengaksesnya selama itu.
Para responden memberikan alasan bahwa untuk waku penggunaan media sosial tidak secara mutlak
diakses namun media tersebut selalu diaktifkan.

15
Critical Understanding terkait critical understanding, berdasarkan hasil penelitian para
responden kurang memahami fungsi, isi serta regulasi media digital. Mereka menggunakan media
sosial kebanyakan untuk mencari hiburan dan hanya sebagian kecil saja yang menggunakannya untuk
mendapatkan informasi dan berbisnis (jualan online). Berdasarkan data yang diperoleh mengenai aksi
bullying/hate speech di media sosial di dapatkan bahwa hanya (10%) responden yang mengaku suka
melakukan bullying/ hate speech di media sosial.

Sebagian besar responden juga belum memahami Undang Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik yang ada saat ini secara komprehensif. Karena berdasarkan data hanya (39%) responden
saja yang memahami secara komprehensif terkait UU ITE.

16
Sebagian dari mereka mengaku memiliki fake account di media sosial, dan mereka juga
terkadang meng-upload informasi bermuatan hoax yang mereka tidak tahu dari mana sumbernya.
Beberapa responden juga ada yang mengaku mengetahui secara komprehensif mengenai UU ITE tapi
di sisi lain mereka masih memiliki fake account dan masih cenderung mudah mempercayai berita
hoax. Ini artinya bahwa para generasi Z masih dalam keadaan tidak stabil dalam menggunakan media
sosial. Para generasi Z juga memang belum dapat mengendalikan emosi, karena mereka masih berada
di usia remaja. Selain itu mereka tidak memahami fungsi social networking tersebut untuk apa.
Sebetulnya ketika memutuskan untuk menggunakan social networking, para pengguna tersebut juga
seharusnya sudah siap mengelola isi pesan apapun yang mereka upload sendiri dan sekaligus juga
feedback seperti apa yang akan diterima.
Data berikut menjabarkan bahwa sebanyak (83,1%) responden selalu mengkaji data di media
sosial dan sebanyak (16,3%) mengaku tidak selalu mengkaji informasi di media sosial.

Adapun data berikut berkenaan dengan kemungkinan para responden melanggar pasal 35 UU
ITE bahwa “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan manipulasi,
penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik dengan tujuan agar informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut dianggap
seolah-olah data yang otentik.” Bisa dikatakan juga bahwa kepemilikan fake account menjadi bentuk
manipulasi publik seperti yang terjabarkan pada pasal tersebut. hasil data yang diperoleh sebanyak
(42,4%) responden kemungkinan melanggar pasal 35 UU ITE.

17
Terjadinya begitu banyak pengguna media sosial yang belum paham mengenai UU ITE,
karena belum adanya sumber yang tepat yang menyampaikan kepada para informan, baik dalam
sector pendidikan (sekolah/kampus). Oleh karena itu dirasa memang harus ada perhatian dari berbagai
pihak mengenai hal tersebut.
Communicative Abilities, Communicative abilities yaitu terkait dengan kemampuan untuk
bersosialisasi dan berpartisipasi melalui media serta memproduksi isi pesan pada media. Berdasarkan
hasil penelitian para responden dapat bersosialisasi dengan sangat baik, dalam hal ini rata-rata para
responden memiliki followers lebih dari 500 orang dari masing-masing social networking (peneliti
melakukan observasi langsung). Tetapi terdapat juga kelemahan dari para responden karena mereka
umumnya, tidak mengenal beberapa anggota followers-Nya, karena mereka menerima pertemanan
begitu saja. Ini berarti para responden belum memahami dampak-dampak negatif dari pertemananan,
meskipun mereka sering kali mendapatkan komentar negatif ketika meng-upload gambar, foto atau
informasi lain. Berikut hasil data bahwa sebanyak (90%) responden mengenali sebagian followers-
Nya dan hanya (10%) responden memiliki followers yang memang dikenalinya.

Mental ilnees remaja


Seperti yang sudah dikemukakan di atas bahwa instagram merupakan platform social
networking yang paling digemari oleh generasi Z terkhurus oleh para responden. Gejala mental
ilneees yang dirasakan remaja cukup tinggi berkisar antara (52,5%) yang terbagi ke dalam beberapa
gejala diantaranya sebanyak (25,4%) responden merasa tidak percaya diri, (15,3%) responden merasa
dirinya hedonism, (10,2%) responden merasa tidak nyaman dengan dirinya, dan sebanyak (1,7%)
responden merasa dirinya menggunakan social networking menjadi ria. Sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Jordan (1999) dikatakan ada tiga elemen dasar dari kekuatan individu di dunia
siber , yaitu : 1) Identity Fluidity : Proses pembentukan identitas secara online atau virtual. 2)
Renovated Hierarchie: proses dimana hierarki-hierarki terjadi di dunia nyata direka kembali menjadi
online hierarchies. 3) Information as reality: Informasi menggambarkan realita yang berlaku di dunia
virtual. Disimpulkan dari beberapa data valid yang sudah ditelusuri, bahwa salah satu kegunaan
instagram adalah sebagai tempat pencarian identitas diri remaja yang nantinya membentuk
personalitas diri remaja, tetapi dampak buruk yang dimiliki oleh Instagram ini belum tentu mampu
diatasi oleh tiap individual remaja karena gejolak emosi mereka yang masih tidak stabil dan meluap-
luap. Di tahap pencarian identitas diri, remaja akan belajar dan menggali info terus menerus agar bisa
membentuk identitas diri yang baru dan akan melekat menjadi gambaran dirinya, sedangkan informasi
yang ada instagram tidak tersaring, informasi yang bersifat negatif ataupun positif bisa langsung
diserap oleh remaja. Hal yang ditakutkan, informasi negatif yang diserap oleh remaja ini nanti akan

18
mengganggu kesehatan mental remaja yang masih belum stabil. Oleh karena itu dirasa wajar bahwa
para responden mulai merasakan gejala mental ilnees akibat penggunaan social networking instagram.
Seperti menurut Roslina Verauli (Kompas female, 2013), menyatakan bahwa remaja adalah
sosok yang sangat sensitive dalam menghadapi masalahnya terutama masalah harga dirinya, tapi tidak
hanya harga diri namun orang terdekatnya juga bisa. Masa peralihan ini selain meningkatnya gejolak
emosi, remaja juga kerap dalam masa pencarian identitas diri yang dimana menjadi saat yang sangat
krusial. Maka dari itu dirasa wajar jika para responden mengalami gejala mental ilnees tersebut.
Berdasarkan telaah peneliti solusi agar remaja tidak terkena gangguan mental illness karena
instagram dapat dilakukan dengan konsep mindfulness. Mindfulness adalah suatu kondisi kesadaran
pada saat ini dengan penuh penerimaan (Germer,Siegel, dan Fulton, 2005), sedangkan Mace (2008)
menerangkan bahwa Mindfulness menekankan pada kesadaran, menjadi sadar sepenuhnya pada hal
yang terjadi saat ini dengan mengalihkan pengalaman yang lain, diterima sepenuhnya tanpa penilaian.
Menerima kondisi dirinya yang stress, depresi, atau cemas sepenuhnya, menerima dirinya yang penuh
kekurangan juga mindfulness dengan self-love. Setiap remaja harus memiliki kesadaran dan
awareness pada individual masing-masing dalam penggunaan sosial media terutama instagram,
penggunaan sosial media yang berlebihan akan berdampak pada kesehatan mental, dan apabila remaja
sudah menderita kesehatan mental yang serius, diharapkan bimbingan orang tua dan remaja segera
konsultasi ke psikolog terdekat atau mencurahkan perasaan hatinya ke orang terdekat atau cara
termudah dimulai dari diri sendiri yaitu mindfulness.

19
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Pada generasi Z di kabupaten Garut, kondisi literasi media digitalnya dapat disimpulkan
sebagai berikut: 1) Pada level technical skill cukup dapat menggunakan media tersebut secra baik.
Mereka cenderung bisa menggunakan media sosial secara komprehensif sesuai dengan jenis media
yang sering digunakanny; 2) Pada level critical understanding belum maksimal ditandai dengan
perilaku para respondenyakni mereka belum memahami fungsi sesungguhnya social networking dan
bagaimana mengelola isi pesan media, serta sebagian responden tidak memahami secara
komprehensif mengenai UU ITE. Hal ini dilihat dari para responden yang maemiliki fake account
serta masih percaya pada berita yang tidak kredibel; 3. Pada level communicative abilities, literasi
media digital juga belum dapat dikatakan maksimal karena para responden mengakui berinteraksi
dengan followers yang tidak mereka kenal, mereka juga tidak memahami bahaya menerima
pertemanan orang-orang yang tidak mereka kenal. Karena sebayak (90%) responden mengenali
followers social networking-Nya; 4. Instagram menjadi platform media yang paling digemari oleh
responden dan kebanyakan reponden juga mengalami gejala mental ilnees akibat social networking
tersebut; 5. Sebanyak (52,5%) responden merasa dirinya mengalami gejala mental ilnees, itu berarti
bahwa pengaruh media ini sangat significant bagi kesehatan mental para responden.
Saran bagi penelitian kedepannya adalah peneliti lebih baik berkonsentrasi pada berbagai
penyakit mental yang mungkin terjadi pada generasi Z. Karena di masa sekarang ini para remaja
memang membutuhkan perhatian yang mendalam mengenai hal tersebut. Peneliti berikutnya juga
diharapkan jika ingin mengembangkan aspek Revolusi industry 4.0 pada generasi Z diseleksi dahulu
para responden karena para responden yang saya ambil cenderung tidak mengetahui secara
koomprehensif mengenai revolusi industry 4.0.

20
VI. DAFTAR PUSTAKA

Buku
Nasrullah, Rulli, 2015, Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi,
Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Yusuf, Syamsu 2018, Kesehatan Mental: persfektif Sosiologi dan Agama, Bandung: Rosda.
Livingstone, S. and Bober, M. 2004, Regulating the Internet at Home: Contrasting the
Perspective of Children and Parents. Paper presented at Digital Generations
conference, Institute of Education, London, July. McQuail, Denis. 2000. Mass
Communication Theories. Fourth Edition. London: Sage Publication. Newton,
Kenneth & Jan W. Van Deth
Dr. Iskandar, M.Pd, 2008, metodelogi penelitian pendidikan dan sosial (kuantitatif dan kualitatif)
Jakarta : GP PRESS.
Internet
Wahyunaanda Kusuma Pertiwi, 2019, studi: media sosial bikin orang Indonesia iri dan frustasi.
https://republika.co.id/berita/pktf1y366/remaja-perempuan-lebih-mudah-depresi-akibat-media-sosial.
(diakses pada 29/05/2020).
https://www.cnnindonesia.com/gayahidup/20160812134839277-150948/membacagenerasi-z-lewat-
perilakudi-media sosial/ (diaksespada 29/05/2020).
http://doktersehat.com/p akar-remaja-kecanduanmedia-sosial-semakinsulit-bersosialiasidengan-baik-
di-dunianyata/#ixzz50nL0iMMq/ (diakses pada 29/05/2020).
http://kabar24.bisnis.com/read/20160601/255/553564/83-remaja-idapketergantungan-mediasosial
(diakses pada 29/05/2020).
Patresia kirnandita, 2017, baik buruk instagram bagi kesehetan mental. https://tirto.id/baik-buruk-
efek-instagram-bagi-kesehatan-mental-csr7. (diakses 29/05/2020).
https://tirto.id/tirtovisual-report-masa-depandi-tangan-generasi-zctMM/ (diakses pada 29/5/2020)
http://www.kombinasi.net/l iterasi-media-di-eradigital/ (diaksespada 29/05/2020)
http://www.pikiranrakyat.com/bandungraya/2017/04/03/kenalikarakter-remajagenerasiz397866/
(diakses pada 29/05/2020)
http://doktersehat.com/pakar-remaja-kecanduanmedia-sosial-semakinsulit-bersosialiasidengan-baik-
di-dunianyata/#ixzz50nL0iMMq/ (diakses pada 29/05/2020)
https://republika.co.id/berita/pktf1y366/remaja-perempuan-lebih-mudah-depresi-akibat-media-sosial
(diakses pada 29.05.2020)
https://www.jagoanhosting.com/blog/era-revolusi-industri-4-0/ (diakses pada 30/05/2020)
Jurnal
Riyodina G. Pratikto, dan Shinta Kristanty, 2007, LITERASI MEDIA DIGITAL GENERASI Z (STUDI
KASUS PADA REMAJA SOCIAL NETWORKING ADDICTION DI JAKARTA) Jakarta: Universitas
Budi luhur

21

You might also like