Professional Documents
Culture Documents
Volume 15 Nomor 1 2018: Komodifikasi Agama Dan Budaya Pop Pada Media Sosial: Kajian Netnografi
Volume 15 Nomor 1 2018: Komodifikasi Agama Dan Budaya Pop Pada Media Sosial: Kajian Netnografi
2541-6944 (Online)
Article History
Submitted: 4-4-2018
Reviewed: 20-4-2018
Volume 15 Nomor 1 2018 Approved: 15-05-2018
Url Website: http://e-journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Penelitian/article/view/1227
Url DOI: https://doi.org/10.28918/jupe.v15i1.1227
Abstract: Instagram accounts owned by different agents has been followed by million followers and not limited
by people in a country since the virtual world has instituted borderless society. It could be argued that Instagram
used by the cultural industries puts the image of halal and sharia as pivotal element to promote their
commodities. This paper attempts to examine religious commodification from several posts on Instagram focusing
on these research questions; how do the cultural industries promote their commodities on Instagram in terms of
religious identity? How is the implication created by the cultural industries in promoting their commodities into
Muslim society? This qualitative research will be analyzed through content analysis based on data collection—
netnography study--from different Instagram accounts such as travel and fashion using Muslim identity. The
result shows that the cultural industries always introduce a new trend of popular culture through Instagram by
using religious identities, such as halal, sharia or Muslim. Religious commodification as a modal is widely used
by the cultural industries to advertise their commodities into Muslim society. Moreover, it has also become a
means to persuade consumers buying their commodities and at the same time can identify them as pious and
modern Muslim as well.
Abstrak: Beberapa akun Instagram yang dimiliki oleh industri budaya telah diikuti oleh jutaan followers dan
tidak terbatas pada sekelompok orang di suatu Negara karena dunia maya menciptakan masyarakat tanpa
batas. Industri budaya yang menggunakan Instagram menempatkan label halal dan syar’i sebagai elemen
penting dalam mempromosikan komoditasnya. Tulisan berikut mencoba melihat komodifikasi dari beberapa
postingan di Instagram yang fokus pada rumusan masalah berikut; bagaimana industri budaya
mempromosikan komoditasnya melalui Instagram terkait dengan identitas agama? Bagaimana implikasi yang
dibentuk oleh industri budaya tersebut pada masyarakat Muslim? Penelitian kualitatif berikut dianalisis
dengan content analysis berdasarkan pengumpulan data—kajian netnografi—dari beberapa akun Instagram,
seperti agen travel, fashion, dan kosmetik yang menggunakan atribut Islam. Adapun hasil penelitian berikut
menunjukkan bahwa industri budaya selalu mengenalkan tren baru budaya pop melalui Instagram dengan
menggunakan atribut agama, seperti halal, syar’i, atau Muslim. Agama sebagai agensi digunakan secara luas
oleh industri budaya dalam mengiklankan komoditasnya. Selain itu, agensi tersebut sebagai alat untuk
membujuk para konsumen dalam membeli komoditasnya dan pada saat yang sama hal tersebut mampu
mengidentifikasi konsumen sebagai Muslim yang saleh sekaligus modern.
Kata Kunci: Instagram, komodifikasi agama, agensi, industri budaya, budaya pop
PENDAHULUAN
Ada pergeseran cara pandang terhadap religiusitas di kalangan Muslim kelas
menengah ke atas pada beberapa tahun terakhir. Religiusitas menjadi aspek penting dalam
keseharian yang ditunjukkan melalui gaya hidup. Religiusitas tidak lagi dimaknai dengan
melakukan ritual keagamaan secara spesifik, namun cara seseorang mengkonsumsi produk
juga menjadi bagian dari bentuk religiusitas itu sendiri (Yuswohady, 2014: 5). Salah satu
contohnya ketika perempuan muslimah lebih memilih untuk menggunakan produk
kosmetik berlabel halal seperti Wardah daripada produk lainnya. Dari sisi ekonomi, Wardah
meraup perhatian tinggi dengan adanya label halal yang dimilikinya. Hal ini juga terjadi
dalam sektor lain seperti fashion dan pariwisata.
Komodifikasi agama yang dipraktekkan oleh beberapa industri budaya merupakan
suatu alat memperoleh sumber keuntungan. Menurut Gokariksel, industri budaya Islam
memang ditujukan secara spesifik pada perempuan muslimah dalam hal pengetahuan dan
komoditas karena mereka dapat berperan sebagai produsen sekaligus konsumen
(Gokariksel dalam Waninger, 2015: 2). Selain untuk menarik minat konsumen, hal tersebut
berubah menjadi tren yang seakan-akan harus diikuti oleh masyarakat yang sadar tren.
Industri kosmetik, pariwisata, maupun fashion tidak puas hanya dengan mempromosikan
komoditas mereka dengan menunjukkan kelebihan masing-masing, akan tetapi, simbol
agama mampu mendongkrak minat konsumen dan mejadi pertimbangan khusus dalam
mengkonsumsi komoditas tersebut. Tidak aneh ketika label syar’i atau halal cukup banyak
melingkupi industri yang ada di Indonesia.
Industri budaya memanfaatkan momen ini untuk mendapatkan perhatian lebih dari
konsumen. Melalui pencitraan iklan yang dibuat begitu dahsyatnya oleh industri, para
konsumen terbujuk untuk mengkonsumsi suatu komoditas. Anehnya, mereka terkadang
membeli produk tersebut bukan karena nilai guna atau berdasarkan tingkat kebutuhan,
namun untuk menegaskan status sosialnya. Hal ini menujukkan adanya pergeseran dari nilai
guna ke nilai simbol.
Dewasa ini industri budaya dan media sangat berkaitan erat. Sebagai salah satu
strategi pemasaran, industri budaya tidak ingin tertinggal zaman. Dengan naiknya pengguna
smartphone di Indonesia sekaligus penggunaan media sosial yang cukup tinggi, industri
budaya memanfaatkan aplikasi Instagram dalam mengenalkan produknya kepada
konsumen. Sebagaimana online shop yang menawarkan produknya lewat media sosial.
Dengan adanya Instagram, pengguna dimudahkan dalam mempublikasikan foto maupun
video lewat postingan di akun Instagramnya. Hasilnya fantastis karena Instagram mampu
meningkatkan daya jual dan beli masyarakat. Bahkan, Waninger berpendapat bahwa dalam
industri budaya Islam sejalan dengan semangat konsumerisme dimana seseorang lewat
media sosial dan gaya hidupnya pada saat yang sama akan menunjukkan religiusitasnya
(Waninger, 2015: 3).
Komodifikasi agama di Indonesia sudah banyak diteliti oleh beberapa peneliti
sebelumnya. Zoya hijab, misalnya, karena penggunaan label halal pada produk tersebut,
Zoya berhasil mendongkrak minat konsumen untuk membeli produk tersebut (Istiqomah,
2016: 2). Selain itu, pembuatan sesajen banten untuk ritual ngaben di Bali juga tidak lepas
dari komodifikasi agama dihadapkan dengan arus modernitas yang menggeser nilai-nilai
agama (Atmadja dan Maryati, 2014: 3). Dalam momen Nyepi juga ditemukan komodifikasi
agama yang dilakukan di sektor pariwisata. Karena dampak modernisasi yang mungkin
menyebabkan pemeluk Hindu Bali enggan merayakan Nyepi sebagaimana dilakukan
biasanya, sehingga mereka mencari hal baru yakni menyepi di hotel yang memberikan
penawaran menarik saat hari Raya Nyepi (Narottama, 2016: 16). Akan tetapi, komodifikasi
tidak hanya terjadi dalam aspek agama, namun juga kesehatan, seperti yang ditawarkan oleh
Natasha Skin Care yang awalnya bergelut pada aspek kecantikan saja bergeser dengan
menonjolkan aspek kesehatannya (Murlianti, 2014: 190).
Beberapa penelitian tersebut menjadi perhatian penulis untuk mengisi kekosongan
kajian yang belum tersentuh yakni komodifikasi agama dalam ranah media sosial.
Berdasarkan paparan di atas, penelitian ini fokus pada dua hal, pertama, bagaimana industri
budaya memanfaatkan aplikasi Instagram sebagai media komodifikasi agama di masyarakat.
Kedua, implikasi apa yang dihasilkan di tengah-tengah konsumen dari proses komodifikasi
tersebut.
Penelitian ini menggunakan netnografi sebagai teknik pengumpulan data.
Netnografi sebagaimana dikenalkan oleh Kozinets mirip dengan etnografi secara umum,
hanya saja teknik ini bersumber dari internet. Dalam netnografi, ada beberapa langkah yang
harus dilakukan, yaitu, perencanaan riset, entri (formulasi rumusan masalah dan objek
kajian dari media sosial di internet, pengumpulan data, interpretasi data yang meliputi
klasifikasi dan pengkodean data, pemenuhan standar etik penelitian, dan penyajian hasil
penelitian (Kozinets, 2002: 64) (Bowler, 2010: 1272). Adapun data yang dikumpulkan
berdasarkan pada akun-akun Instagram dalam bidang fashion, kosmetik maupun pariwisata
yang menggunakan atribut Islam, jumlah followers dan minat pasar terhadap produknya.
Penulis mengambil akun Instagram secara random, mengingat media sosial tidak terbatas
oleh satu tempat. Selain itu, penelurusan data juga dilakukan dengan melihat web resmi
akun yang bersangkutan.
Setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah analisis isi (content analysis).
Analisis isi merupakan cara untuk menginterprestasi dari suatu teks, simbol, gambar, atau
berupa pesan lain yang dikomunikasikan yang biasanya bersumber dari media massa
(Martono, 2011: 4). Hasil netnografi tersebut berupa kumpulan data dari Instagram
dilengkapi dari website resmi akun terkait kemudian dilihat isinya, diklasifikasi, dan
ditemukan pola yang terbentuk.
darah, privat tutorial hijab, promo bagi member Pands, voucher belaanja, hingga
pengutipan hadits Nabi dalam promosi produknya. Industri ini tidak menggunakan label
halal, walaupun menjual baju baik untuk dewasa hingga anak-anak, perlengkapan maupun
souvenir haji dan umroh, dan juga parfum. Selain itu, terlihat dalam postingan akun
Instagramnya, Pands sering mengucapkan selamat pada momen-momen Islam seperti, Idul
Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriyah dan sebagainya.
Di sektor pariwisata, ada dua akun Instagram yang kami telusuri. Pertama, akun
@havehalalwilltravel yang mempunyai 55,7 ribu followers. Akun tersebut berisi berbagai
informasi seputar pariwisata yang halal dan ramah bagi Muslim di beberapa Negara di dunia
lengkap dengan informasi kulinernya. Jargon akun tersebut yaitu “Inspiring Muslims to see
the world” dengan basis industrinya yang berada di Singapura. Dalam akun tersebut, ia
mencitrakan konsumen sebagai “the modern Muslim traveler”. Selain memberikan
informasi tentang kuliner, industri tersebut sering kali menawarkan promo traveling dan
kuis berhadiah liburan melalui akun Instagramnya.
Industri @havehalalwilltravel diprakarsai oleh empat pemuda yang sedang
melakukan program pertukaran pemuda di Seoul Korea Selatan pada tahun 2015 dan
berkembang sampai sekarang. Selain itu, @havehalalwilltravel mempunyai aplikasi yang
bisa diakses melalui smartphone untuk memudahkan konsumen dalam menikmati
perjalanan dan liburannya. Dalam website resminya, @havehalalwilltravel mengutip ayat Al
Qur’an yang menganjurkan umatnya untuk melakukan perjalanan yakni QS. Al Ankabut
(29): 20. Ditambah dengan komitmen pemiliknya dalam menjalankan bisnis tersebut yang
kami kutip dari websitenya:
“Sebenarnya dengan melakukan pariwisata maka akan memperluas wawasan kita
dalam memahami dunia. Oleh karena itu, kami bekerja keras dalam mempublikasikan agen
pariwisata terbaik dan berharap perjalanan tersebut kaya akan pengalaman bagi saudara
Muslim kami semua”
Akun kedua adalah @halaltrip yang merupakan agen pariwisata dunia dan berbasis
di Singapura. Akun Instagramnya mempunyai 11,7 ribu followers. Adapun jargon industri
tersebut adalah “discover halal food, get travel/ holiday ideas, tips and inspiration.”
Beranda Instagram @halaltrip cukup banyak berisi nuansa Islam seperti quote dan motivasi
Islami. Industri tersebut didirikan pada tahun 2014, @halaltrip dikenal sebagai media yang
memperkenalkan gaya hidup Muslim dalam hal pariwisata. Pada tahun 2015, halal trip
merilis aplikasi yang bisa diunduh di smartphone untuk memberikan kemudahan yang lebih
bagi para konsumen. Pihak-pihak yang bekerja sama dengan industri tersebut cukup banyak
dan bergengsi seperti Muslim Travel Warehouse, Bintan Resorts, Tourism Australia,
Wonderful Indonesia dan sebagainya.
Halal merupakan istilah dalam Islam untuk mendefinisiskan suatu hal atau
perbuatan yang diperbolehkan oleh syariat agama. Tidak semua orang sepakat ketika MUI
(Majelis Ulama Indonesia) mengeluarkan fatwa halal bahkan dari kalangan umat Muslim
sendiri. Disini MUI sebagai otoritas agama Islam memproduksi fatwa dan mengontrol
Muslim dalam hal konsumsi. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan produsen
makanan khususnya. Salah satu alasan mereka yang tidak setuju adalah karena untuk
mendapatkan sertifikat halal yang dikeluarkan MUI melalui LPPOM (Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika) biayanya cukup mahal yakni 2,5 juta yang akan
diproses dalam satu hingga tiga bulan. Bagi pedagang menengah ke atas mungkin tidak
menjadi masalah. Namun, bagi pedagang kecil seperti penjual gorengan, es, dan makanan
kecil, hal tersebut terasa berat karena pendapatan mereka yang tidak seberapa. Adapaun
prosedur pengajuan sertifikat halal yaitu pengecekan sarana dan bahan baku yang digunakan
dalam memproduksi komoditas suatu industri. Pihak yang berwenang dalam hal ini adalah
LPPOM yang merupakan salah satu bagian dari MUI.
Akan tetapi, beberapa industri cukup semangat dengan adanya regulasi sertifikat
halal dari MUI. Mereka dapat lebih bersaing dengan industri yang tidak memiliki sertifikat
halal. Ada pergeseran fungsi sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh LPPOM. Label halal
tersebut justru menjadi pemantik larisnya komoditas industri yang memilikinya. Pada
dasarnya, alasan adanya label halal tersebut untuk melindungi konsumen dalam
mengkonsumsi makanan maupun produk yang mereka gunakan. Hal tersebut tidak hanya
bermanfaat bagi Muslim, akan tetapi masyarakat pada umumnya sehingga semua orang bisa
mengkonsumsinya secara aman.
Halal tidak lagi menjadi kebutuhan bagi produsen maupun konsumen, akan tetapi
halal menjadi sebuah simbol identitas seseorang atau kelompok tertentu. Fakta ini diperkuat
dengan alasan spiritualitas. Konsep spiritualitas sendiri menjadi sama pentingnya dengan
religiusitas. Dengan bantuan media massa yang mengiklankan dengan sangat menarik
mempengaruhi konsumen dalam membeli barang dan jasa yang ditawarkan dengan dalih
agar terlihat lebih spiritual. Spiritualitas disini dimaknai sebagai penghayatan agama
berdasarkan pengalaman seseorang. Sedangkan religiusitas menggambarkan agama yang
Komodifikasi agama memiliki kaitan erat dengan media massa sebagai penyambung
antara produsen dan konsumen. Menurut Kitiarsa, komodifikasi agama terjadi karena
gesekan antara kapitalisme global dengan keyakinan dan institusi keagamaan (Kitiarsa, 2010:
984). Ia mendefinisikan komodifikasi agama sebagai “Sebuah proses multi aspek dan multi-
dimensi yang baru yang mengubah keyakinan agama atau tradisi menjadi barang-barang
yang layak konsumsi dan bisa dipasarkan” (Kitiarsa, 2010: 986). Begitu pun dengan melihat
tesis Weber yang fenomenal menyebutkan bahwa agama sebenarnya mengamini kapitalisme
yang diperkuat dengan etika Protestan kala itu. Masyarakat bersemangat mencari
penghidupan yang didukung dengan doktrin agama yang cukup kuat.
MUI sejak tahun 2016. Penjualan produknya meningkat tajam semenjak adanya label halal
yang disandangnya (Istiqomah, 2016: 7).
Melalui beberapa akun di atas, ada hal yang sangat mempengaruhi pasar dalam
industri budaya. Simbol yang digunakan beberapa akun tersebut adalah halal, syar’i, dan
Muslim. Tilley mendefinisikan hal tersebut sebagai agensi. Agensi didefinisikan sebagai
kekuatan atau pengaruh yang diterima seseorang untuk melakukan sesuatu (Tilley, 2007: 19)
(Allerton, 2009: 243). Sehingga agensi dalam kasus ini merupakan motif yang
menggerakkan konsumen dalam membeli komoditas yang ditawarkan. Dengan alasan
agama, konsumen yang berorientasi menunjukkan identitasnya sebagai Muslim yang
spiritual akan cenderung mengikutinya.
Dalam penayangan sebuah iklan ada proses pembentukan “kode signifikasi” yang
mempengaruhi minat pasar (Baudrillard dalam Ritzer, 2010: 137). Artinya, dalam
melakukan kegiatan konsumsi, konsumen menyamakan dirinya dengan model yang ada
dalam iklan tersebut, sekaligus mengidentifikasi dirinya berbeda dari orang atau bahkan
kelompok lainnya yang tidak mengkonsumsi produk tersebut. (Ritzer, 2010: 138). Misalnya
produk Wardah dengan label halalnya ditambah penampilan modelnya yang berhijab
memberi kesan lebih Islami. Konsumen akan melihat model tersebut sebagai sosok yang
ideal yang Islami dan modern untuk ditiru melalui hijabnya dan nilai plus berupa label halal
yang ditawarkan Wardah. Disini terlihat bahwa nilai guna dari suatu barang atau jasa
berkurang daripada nilai simbol karena dengan mengkonsumsi produk tertentu, konsumen
memilihnya karena pertimbangan gaya, gengsi ataupun simbol kemewahan belaka (Kellner
dalam Ritzer, 2010: 139). Dari beberapa akun Instagram di atas, setiap produk menawarkan
nuansa Islam seperti label halal, syar’i, maupun Muslim. Sehingga agama dijadikan sebagai
agensi dalam industri budaya.
Wardah memiliki brand halal yang ditawarkan, berbeda dengan @hijup dan
@pands yang tidak mempunyai label halal namun memberi kesan Islami melalui jargon dan
kegiatan yang diinisiasi. Pands /mengadakan acara rutin kreasi jilbab untuk menarik minat
konsumen yang mengikuti tren gaya berhijab. Tren tidak kalah pentingnya dengan nuansa
Begitu pun akun @havehalalwilltravel yang memiliki jargon “the modern Muslim traveler”
mengutip sebuah ayat Al Qur’an yang menjadi landasan industrinya yakni QS. Al Ankabut
(29) ayat ke-20. Selain itu, terlihat dalam gambar 3 dan gambar 4 di bawah ini, akun
@halaltrip mengunggah sebuah foto berisi quote Islami yang bersumber dari sebuah hadits
sedangkan akun @havehalalwilltravel memposting foto disertai dengan caption yang berisi
hadits Nabi dan ditambah dengan cerita sekilas dalam menjalankan bisnis tersebut. Kesan
tersebut menegaskan bahwa bisnis yang mereka miliki dapat dijadikan sebagai pilihan yang
tepat bagi umat Muslim dalam memilih agen pariwisata yang aman, nyaman sekaligus
modern. Sebagaimana termaktub dalam gambar 2.
Gambar 2.
perempuan yang bekerja di sektor publik lebih banyak yang mengenakan hijab daripada
mereka yang tidak. Sekalipun berhijab, penampilan mereka dibalut dengan fashion yang
modern sehingga menambah kesan modis. Artinya, hijab menjadi pilihan favorit karena
diimbangi dengan model hijab maupun pakaian yang selalu up to date. Industri budaya
selalu menciptakan tren yang diminati oleh konsumen, sekalipun tren tersebut selalu
berputar. Dalam hal ini adalah budaya pop yang merupakan budaya yang diminati oleh
banyak orang. Bentuknya bermacam-macam, seperti fashion, musik, gaya rambut, dan
sebagainya.
Budaya pop bisa dikatakan sebagai budaya kagetan karena mudah sekali muncul dan
mudah pula hilang. Berbelanja termasuk salah satu bentuk dari budaya pop yang sangat
diminati di Negara Inggris dan Amerika Serikat (Storey, 1996: 169). Tampaknya pendapat
Storey benar, namun budaya belanja kini sudah menjamur dimana pun. Apalagi ditambah
dengan kemudahan berbelanja secara online. Seseorang yang tertarik membaca tren, akan
cepat sekali mengikutinya. Misalnya model hijab yang seringkali berganti-ganti karena
produsen menciptakannya sedemikian rupa akibat kapitalisme global. Tren sengaja
dibentuk oleh produsen dan memaksa konsumen untuk mengikutinya. Hal ini semakin
semarak dengan kemudahan teknologi yang serba cepat melalui postingan di berbagai
media sosial melalui model-model mereka, yang kemudian diikuti oleh para fans dan
masyarakat umum. Mereka yang tidak mengikuti tren biasanya diklaim sebagai orang yang
cupu, tidak modis, tidak gaul dan sebagainya.
Proses komodifikasi sangat mempengaruhi pasar yang meningkatkan tingkat
konsumsi para konsumen. Imbasnya, konsumen tidak sekedar mengkonsumsi produk
berdasarkan nilai gunanya, akan tetapi nilai simbol dalam proses tersebut jauh lebih penting,
dimana prestise dan identifikasi dirinya sebagai konsumen produk bergengsi dan Islami.
Misalnya, Muslim kelas menengah ke atas cenderung memilih produk yang memiliki brand
seperti produk @hijup karena koleksinya yang limited edition dan harga produknya pun di
atas rata-rata. Hal tersebut menjurus pada pembentukan masyarakat modern yang ingin
menciptakan citra Islami secara berlebihan, namun pada kenyataannya kesan tersebut jauh
dari yang diperlihatkan kepada publik. Jika ukuran spiritual hanya dinilai dari pakaian atau
atribut yang dipakai, maka banyak pula paradoks yang ditemukan. Dewasa ini banyak orang
yang tampilannya sangat Islami, namun ternyata tidak diimbangi dengan akhlak yang baik
sehingga justru mencelakakan orang lain, melakukan penggelapan uang, korupsi, tindakan
asusila, gemar memprovokasi dan lain sebagainya.
Dalam proses konsumsi, nilai guna dan nilai simbol seolah-olah bertarung.
Konsumen mempunyai berbagai motif dalam mengkonsumsi sebuah produk, bisa jadi lebih
memprioritaskan nilai guna dimana kemanfaatan produk diharapkan, atau cenderung lebih
memilih nilai simbol yakni penanda untuk mengidentifikasi diri konsumen dengan cara
mengkonsumsi produk tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa gaya hidup (lifestyle)
seseorang dikonstruksi oleh motifnya sendiri dan juga lingkungannya, termasuk media
sosial yang memasarkannya. Maraknya iklan sebuah produk baik di media massa maupun
media sosial berperan sangat signifikan dalam budaya konsumsi. Namun, jika hal ini tidak
dibarengi dengan kontrol diri, maka konsumen akan selalu menjadi budak kapitalisme yang
tidak akan pernah selesai.
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa industri budaya melakukan
komodifikasi agama melalui akun Instagram yang dimilikinya. Adapun atribut Islam yang
digunakan antara lain label halal sebagaimana dalam akun @wardahbeauty,
@havehalalwilltravel, dan @halaltrip. Sedangkan label syar’i digunakan oleh @hijup dalam
mempromosikan komoditasnya. Yang terakhir adalah label Muslim yang tercermin dalam
pemasaran produk @pands_jogja, @pandsmds, maupun @pands_onlinestore. Agama
melalui label-label tersebut mempunyai kekuatan sebagai agensi yang sangat berpengaruh
pada minat belanja para konsumen. Mereka tidak lagi mengkonsumsi produk atau jasa
berdasarkan kemanfaatan atau kebutuhannya, akan tetapi bergeser pada nilai prestise, kesan
sebagai Muslim yang modern, kebanggaan terhadap brand ternama dan label Islami, atau
penegasan status sosialnya.
DAFTAR PUSTAKA
Allerton, Catherine. (2009). Introduction: Spiritual Landscapes of Southeast Asia.
Anthropological Forum, 19(3), 235-251. doi: 10.1080/00664670903278387
Ammerman, Nancy. T (eds). (2007). Everyday Religion: Observing Modern Religious Lives. New
York: Oxford University Press.
Atmadja, Nengah. B dan Tuty Maryati. (2014). Geria Pusat Industri Banten Ngaben di Bali
Perspektif Sosiologi Komodifikasi Agama. Kawistara, 4(12), 111-224.
Boll, Brigid Nell. (2017). Image of Yoga: Instagram, Identity, and Western Imagination.
Senior Projects Spring 2017, 259. Retrieved from
http://digitalcommons.bard.edu/senproj_s2017/259
Istiqomah, Nurul. (2016). Mengungkap Mitos Simbol Halal dalam Iklan Kerudung Zoya di
Instagram. Skripsi. Universitas Diponegoro Semarang.
Kitiarsa, P. (2010). Menuju Sosiologi Komodifikasi Agama, dalam B.S. Turner eds. 2010.
The New Blackwell Companion to The Sociology of Religion. Terjemahan Daryatmo. 2013.
Sosiologi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kozinets, R.V. (2002). The Field Behind The Screen: Using Netnography for Marketing
Research in Online Communities. Journal of Marketing Research, 39, 61-72.
______. (2010). Netnografhy: Doing Ethnographic Research Online. Thousand Oaks, CA: Sage
Publications.
Martono, Nanang. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data Sekunder.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Miller, Vincent Jude. (2004). Consuming Religion: Christian Faith and Practice in A Consumer
Culture. London: Continuum.
Ritzer, George. (2003). The Postmodern Social Theory. Terjemahan Muhammad Taufik. 2010.
Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Storey, John. (1996). Cultural Studies and The Study of Popular Culture: Theories and Methods.
Terjemahan Layli Rahmawati. 2010. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta:
Jalasutra.
Waninger, Kelsey. (2015). The Veiled Identity: Hijabistas, Instagram, and Branding in the Online
Islamic Fashion Industri. Thesis. Georgia State University.
Yuswohady, dkk. (2014). Marketing to the Middle Class Muslim. Jakarta: Gramedia.