Professional Documents
Culture Documents
Perubahan Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Rawan Pangan: Mewa Ariani Dan Gatoet Sroe Hardono
Perubahan Pola Konsumsi Pangan Rumahtangga Rawan Pangan: Mewa Ariani Dan Gatoet Sroe Hardono
dan Gatoet
ABSTRACT
Food insecurity in households level is coverage multidimensional problems so that the rate of
deteriorate is surely determined by negative interaction of many factors. This paper aims to
analyze the changing in food consumption pattern of food insecure households due to the dynamic
of situation of national economic using SUSENAS raw data 1996, 1999, and 2002. The food
insecure households define as households who consump energy less than 80 % of energy
sufficiency (2100 Kcal/cap/day). The result show that: (1) in 1996-2002 period, the share of food
expenditure of food insecure households in out Java, in rural and households with agriculture as
the main source of income always higher than those who are live in Java, in urban and who their
main source of income come from non agriculture activities. When in crisis, the prosperity level of
all type of households declined. But, in 2002 it raised back in line with the recovery of national
economic (2) energy consumption of food insecure households is always low, only around 70 % of
energy sufficiency, and (3) the level of protein consumption is only 40 gram/cap/day in average
or about 83.3 % of protein sufficiency. Although there are a difference on protein consumption by
island, region, and main source of income, but it is not significant. The same situation appears for
the differentiation by time. As the implication, because the dynamic of national economic
influenced the consumption pattern and the level of food insecurity so the government programs
for economic recovery which deal with income rising should be conducted across all of the region.
The priority target should be directed to households with low income who live in rural and who
food insecure.
I su rawan pangan hingga kini masih berkualitas sebagai salah satu agenda
menjadi fokus perhatian banyak pihak, pembangunan.
tidak hanya di tingkat nasional, tetapi juga Hasil review pustaka tentang
di tingkat global. Di Indonesia, pemerintah ketersediaan dan konsumsi pangan
telah menjadikan penanganan masalah menunjukkan bahwa sampai tahun 2004
rawan pangan sebagai salah satu prioritas ketersediaan pangan per kapita secara
kebijakan pembangunan nasional sejak nasional cenderung berlebih dibandingkan
dasawarsa lalu. Selain menunjukan tingkat konsumsi riil penduduk (Sawit dan
keseriusan terhadap upaya penanggulangan Ariani, 1997; Ariani, dkk, 2000: Deptan,
rawan pangan, adanya kebijakan tersebut 2005). Akan tetapi, persediaan pangan yang
juga mengisyaratkan komitmen dukungan cukup secara nasional saja tidak dapat
pemerintah terhadap kesepakatan Millenium menjamin ketahanan pangan tingkat rumah
Development Goals (MDGs) untuk tangga atau individu. Rumahtangga rawan
memerangi kemiskinan dan mengurangi pangan masih saja ditemukan, bahkan
jumlah penduduk yang kelaparan. Dari sisi termasuk di propinsi-propinsi yang secara
tujuan pembangunan nasional, penanganan regional memiliki status tahan pangan tinggi
rawan pangan menjadi penting karena (Saliem, dkk. 2001). Situasi demikian
mengindikasikan bahwa walaupun program
9
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
10
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
Tabel 1
Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga rawan pangan, 1996-2002 (%)
11
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
umum mengalami kenaikan sehingga harga- merupakan dampak dari krisis ekonomi.
harga barang dan jasa meningkat, termasuk Lebih dari itu, dampak krisis ekonomi
harga pangan. Namun, seiring dengan tampaknya lebih dirasakan oleh
pemulihan kondisi perekonomian makro, rumahtangga rawan pangan yang berdomisili
kesejahteraan masyarakat juga turut pulih. di Luar Jawa, di kota dan memiliki mata
Kecenderungan ini terindikasi dari perbaikan pencaharian utama dari non pertanian.
dalam struktur alokasi anggaran rumah Perubahan pangsa pengeluaran pangan
tangga. Pada tahun 2002, pangsa akibat krisis ekonomi pada rumahtangga
pengeluaran untuk pangan telah menurun rawan pangan tersebut mempunyai pola
kembali meskipun masih lebih tinggi yang sama dengan rumahtangga secara
dibandingkan dengan proporsi pengeluaran umum.
tahun 1996 (sebelum terjadi krisis ekonomi). Perubahan besaran pangsa
Pangsa pengeluaran pangan pada pengeluaran pangan pada periode 1999-
rumahtangga rawan pangan mempunyai 2002 mengindikasikan adanya perbaikan
pola relatif sama dengan rumahtangga ekonomi tak terkecuali pada rumahtangga
secara agregat, kecuali pada agregasi rawan pangan. Dibandingkan rumahtangga
rumahtangga menurut kelas pendapatan. secara agregat, pemulihan ekonomi
Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga di rumahtangga rawan pangan bahkan
Jawa lebih rendah daripada di Luar Jawa, terkesan lebih progresif. Sebagai ilustrasi,
dan pengeluaran pangan di kota lebih pangsa pengeluaran pangan rumahtangga
rendah daripada di desa. Pangsa secara agregat di desa justru meningkat dari
pengeluaran pangan pada rumahtangga 61,8 % tahun 1999 menjadi 62,4 % pada
pendapatan rendah lebih besar daripada tahun 2002. Sementara pangsa pengeluaran
rumahtangga kaya. Senada hal itu, pangsa pangan rumahtangga dengan mata
pengeluaran pangan pada rumahtangga pencaharian utama dari sektor pertanian
yang memiliki sumber mata pencaharian meningkat dari 63,6 % menjadi 64,0 %
utama dari sektor pertanian lebih besar pada periode yang sama. Pada masing-
daripada non pertanian. Situasi demikian masing kelompok rumahtangga, laju
mengindikasikan bahwa tingkat perbaikan ekonomi bervariasi menurut pulau,
kesejahteraan rumahtangga di pulau Jawa, wilayah, kelas pendapatan maupun sumber
di perkotaan serta yang mempunyai sumber mata pencaharian utama. Untuk
pendapatan di sektor non pertanian relatif rumahtangga rawan pangan laju perbaikan
lebih baik dibandingkan rumahtangga yang ekonomi di Luar Jawa, di pedesaan, dan
tinggal di Luar Jawa, di pedesaan dan yang memiliki sumber mata pencaharian dari
memiliki sumber mata pencaharian utama di pertanian terkesan lebih lambat
sektor pertanian; dibandingkan yang lain.
Pada periode 1996-1999, pangsa Perubahan pangsa pengeluaran pangan
pengeluaran pangan rumahtangga rawan menurut kelompok pangan disajikan pada
pangan di Luar Jawa meningkat 3,7 %, di Tabel 2 sampai Tabel 4. Dari keragaan
Jawa 1,4 %, di kota 2,9 % dan di desa 1,2 %. pangsa pengeluaran pada keempat tabel
Peningkatan pangsa pengeluaran pangan tersebut dapat disebutkakan: Pertama,
rumahtangga rawan pangan pada kelas diantara jenis pangan yang dikonsumsi
pendapatan tinggi mencapai 10,2 %, lebih rumahtangga makanan jadi dan lainnya
tinggi dibandingkan dengan kelas lainnya. memiliki pangsa pengeluaran paling besar,
Sementara, pada rumahtangga rawan yaitu sekitar 35-45 % dari total pengeluaran
pangan yang memiliki sumber mata pangan, kemudian diikuti oleh pangsa
pencaharian utama dari sektor pertanian pengeluaran padi-padian sekitar 15-35 %;
hanya meningkat 1,1 %, lebih kecil dibanding Kedua, pangsa pengeluaran untuk padi-
rumahtangga dengan mata pencaharian padian selalu lebih besar pada rumahtangga
utama dari non pertanian. Peningkatan rawan pangan dibandingkan rumahtangga
pangsa pengeluaran pangan tersebut diduga umum untuk agregasi menurut pulau,
12
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
wilayah dan sumber mata pencaharian. pangan berharga murah seperti pangan
Tetapi, pada agregasi menurut kelas sumber karbohidrat. Pengurangan pangsa
pendapatan terjadi kondisi sebaliknya. pangan hewani di Jawa atau di kota sekitar 4
Situasi demikian boleh jadi karena % lebih tinggi dibandingkan di Luar Jawa
rumahtangga rawan pangan memilih lebih atau di desa. Sebaliknya, peningkatan
banyak mengkonsumsi makanan jadi dari pangsa pengeluaran untuk padi-padian di
pada padi-padian sebagai sumber Jawa atau di kota lebih kecil daripada di Luar
karbohidrat. Sebagaimana tampak pada Jawa dan desa. Kelima, seiring pemulihan
Tabel 3, penurunan pangsa pengeluaran kondisi perekonomian nasonal pasca krisis
kelompok padi-padian pada rumahtangga proporsi pengeluaran masing-masing
rawan pangan diikuti dengan peningkatan kelompok pangan kembali berubah. Proporsi
pangsa pengeluaran makanan jadi+pangan pengeluaran padi-padian menjadi lebih kecil
lainnya. dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Pola
Ketiga, terdapat kecenderungan demikian sama untuk rumahtangga rawan
peningkatan pengeluaran rumahtangga pangan maupun rumahtangga secara umum.
untuk makanan jadi+lainnya di Luar Jawa Pangsa pengeluaran untuk makanan
atau di desa lebih kecil daripada di Jawa jadi+lainnya di Jawa atau di kota masih tetap
atau di kota. Hal serupa terjadi pada lebih besar daripada di Luar Jawa dan di
rumahtangga secara umum. Disamping itu desa.
terdapat kecenderungan bahwa pada Pangsa pengeluaran padi-padian
rumahtangga rawan pangan, khususnya menurun dengan semakin tingginya
yang berpendapatan tinggi, pangsa pendapatan rumahtangga (Tabel 3).
pengeluaran makanan jadi meningkat antar Walaupun padi-padian dan umbi-umbian
waktu. Dari sisi penawaran, Pulau Jawa sama-sama sebagai sumber karbohidrat,
sebagai wilayah yang dekat dengan pusat namun ketika terjadi krisis ekonomi
pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi perubahan performa kedua kelompok
boleh jadi memiliki ketersediaan berbagai pangan tersebut berbeda. Pangsa
jenis makanan/minuman jadi lebih banyak pengeluaran untuk umbi-umbian relatif tidak
dibanding daerah lain. Kemungkinan lain, mengalami perubahan nyata ketika krisis.
adanya perubahan ritme dan gaya hidup Kecenderungan tersebut tidak hanya pada
seiring dengan peningkatan kesejahteraan kelas pendapatan rendah tetapi juga
maupun tuntutan pola kerja dan berusaha pendapatan tinggi. Demikian pula, tidak ada
serta meningkatnya partisipasi wanita dalam perbedaan pola antara rumahtangga rawan
kegiatan ekonomi di luar rumah yang pangan dan rumahtangga umum. Hal
semakin membatasi alokasi waktu untuk menarik terlihat pada rumahtangga kelas
menyediakan makanan (memasak) bagi pendapatan tinggi, dimana pangsa untuk
keluarga, sehingga mengkonsumsi makanan makanan jadi+lainnya lebih dari 50 persen
jadi menjadi alternatif yang makin terbiasa di pada tahun 2002, ketika perekonomian
wilayah Jawa dan perkotaan secara umum. nasional relatif sudah pulih. Pangsa
Lokasi kerja yang cukup jauh dari rumah pengeluaran makanan jadi+lainnya pada
juga dapat mendorong meningkatnya rumahtangga rawan pangan dengan
pembelian makanan jadi, khususnya pada pendapatan rendah dan sedang masing-
saat makan siang. masing hanya 34,4 % dan 46,7 %. Pangsa
Keempat, pangsa pengeluaran pangan pengeluaran makanan jadi+lainnya pada
hewani cenderung menurun pada periode kelas pendapatan tinggi mencapai 71.4 %.
1999-2002. Fenomena ini diduga terkait Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan
dengan dampak kontraksi perekonomian pangsa dari rumahtangga umum yang hanya
akibat krisis. Pada tingkat daya beli yang sekitar 47,4 %. Perbangingan kedua pangsa
menurun preferensi konsumsi rumahtangga tersebut mengindikasikan bahwa perbedaan
cenderung beralih dari pangan yang status rumahtangga rawan pangan dan tidak
berharga mahal, seperti pangan hewani, ke rawan pangan tampaknya tidak semata-mata
13
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
Tabel 2
Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga rawan pangan menurut pulau,
wilayah dan kelompok pangan, 1996-2002 (%)
14
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
4). Tetapi, pengeluaran padi-padian pangan pangsa tahun 1996 sebesar 15,5 %
rumahtangga rawan pangan tampak lebih dan pada tahun 2002 menjadi 15,8 %. Akan
besar daripada rumahtangga umum. Seiring tetapi pada waktu krisis ekonomi pangsa
dengan pemulihan ekonomi, pangsa pengeluaran tersebut menurun menjadi 13,3
pengeluaran padi-padian menjadi urutan %. Pola yang sama juga terjadi pada
kedua setelah makanan jadi+lainnya. rumahtangga secara umum. Dari Tabel 4,
Adapun perubahan pangsa pengeluaran juga dapat disebutkan bahwa pengeluaran
kelompok pangan yang lain terlihat tidak padi-padian rumahtangga dengan mata
signifikan, kecuali pada periode krisis pencaharian di sektor non pertanian lebih
ekonomi. Untuk pengeluaran pangan rendah dibandingkan dengan rumahtangga
hewani, misalnya, pada rumahtangga rawan pertanian (hanya sekitar 20 %).
Tabel 3
Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga rawan pangan menurut kelas pendapatan dan
kelompok pangan, 1996-2002 (%)
15
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
Tabel 4
Pangsa pengeluaran pangan rumahtangga rawan pangan menurut sumber mata pencaharian utama dan
kelompok pangan, 1996-2002 (%)
16
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
Dalam konteks dinamika perekonomian energi di Luar Jawa lebih besar daripada di
nasional, data Tabel 2-4 menunjukkan Jawa, demikian pula konsumsi energi pada
bahwa perubahan kondisi perekonomian rumahtangga kaya lebih tinggi dibanding
selama kurun 1996-2002 telah mengaki- pada rumahtangga miskin. Pada waktu krisis
batkan perubahan pengalokasian anggaran ekonomi, konsumsi energi juga menurun
rumahtangga terutama untuk kelompok padi- untuk semua kelompok agregasi. Sebagai
padian, pangan hewani dan makanan jadi. gambaran, konsumsi energi di kota pada
Akan tetapi, seiring dengan semakin tahun 1996 sebesar 2103.9 KKal/kap/hari
membaiknya kondisi perekonomian, rumah- menjadi 1915.6 Kkal/kap/hari pada tahun
tangga akan kembali memperhatikan 1999. Penurunan konsumsi energi pada
konsumsi pangan mereka, tidak hanya pada rumahtangga yang berpendapatan tinggi
aspek kuantitas tetapi juga kualitas pangan. mencapai 246.1 kalori, lebih besar daripada
Indikasi ini terlihat dari semakin menurunnya kelas berpendapatan sedang (175 kalori)
pangsa pengeluaran untuk padi-padian dan, dan rendah (141 kalori). Penurunan
di sisi sebaliknya, pangsa pengeluaran konsumsi energi di kota lebih besar daripada
pangan hewani dan makanan jadi semakin di desa. Lagi-lagi ini menunjukkan bahwa
meningkat. Kecenderungan tersebut sama dampak krisis ekonomi yang terjadi pada
untuk semua kelompok rumahtangga. tahun 1997/1998 sangat dirasakan oleh
rumahtangga yang berdomisili di kota atau
Konsumsi Energi dan Protein rumahtangga kaya. Namun demikian, akses
Rumahtangga kelompok ini terhadap program pemulihan
Pada periode 1996-2002, konsumsi ekonomi tampaknya lebih tinggi dibanding-
energi pada rumahtangga rawan pangan kan dengan kelompok yang lainnya,
selalu lebih rendah dibandingkan dengan sehingga pemulihan konsumsi energinya
rumahtangga secara umum. Hal ini logis menuju ke keadaan semula juga relatif lebih
karena seperti dijelaskan dalam metode cepat.
analisis, penentuan status rawan pangan Dalam konteks pengembangan
rumahtangga dalam makalah ini komoditas pangan, kebijakan pemerintah
menggunakan kriteria rumahtangga yang selama ini cenderung dominan pada beras.
memiliki konsumsi energi kurang dari 80 % Salah satu dampak dari bias kebijakan
dari kecukupan energi. Hasil analisis tersebut adalah terjadinya perubahan pola
menunjukkan bahwa konsumsi energi pangan pokok di daerah. Propinsi yang
rumahtangga rawan pangan bahkan tidak semula mempunyai pola pangan pokok
lebih dari 72 % dari standar kecukupan bukan beras, seperti propinsi Maluku dengan
(Tabel 5). Apabila mengacu pada kategori pola sagu dan Nusa Tenggara Timur dengan
dari Departemen Kesehatan 1996 (Badan pola jagung, beralih ke pola beras (Ariani,
Bimas Ketahanan Pangan, 2004), tingkat 2004). Kecenderungan perubahan pola
konsumsi energi sebesar itu termasuk dalam pangan tersebut dapat dilihat dari semakin
katagori defisit berat. Kekurangan energi dominannya pangsa energi dari padi-padian
dengan kategori ini dapat berakibat fatal, dalam konsumsi pangan rumahtangga.
terutama bila terjadi pada anak balita yang Pangsa energi dari padi-padian rata-rata
masih dalam proses pertumbuhan dan lebih besar dari 50 %. Dalam data
perkembangan jaringan tubuh maupun otak. SUSENAS, komoditas yang termasuk
Pada orang dewasa, kekurangan konsumsi kelompok padi-padian adalah beras dan
energi akan berdampak pada penurunan jagung. Terdapat kecenderungan bahwa
produktivitas kerja, yang pada gilirannya juga pangsa energi dari padi-padian lebih besar
akan berdampak negatif pada perolehan pada rumahtangga rawan pangan
pendapatan mereka. dibandingkan rumahtangga umum.
Tingkat konsumsi energi rumahtangga Untuk kelompok rumahtangga rawan
umum telah mendekati atau bahkan lebih pangan, pangsa energi dari padi-padian di
tinggi dari angka kecukupannya. Konsumsi Jawa dan di wilayah desa relatif lebih besar
17
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
daripada di Luar Jawa dan wilayah kota. Rumahtangga umum memiliki tingkat
Disamping itu, pangsa konsumsi energi padi- konsumsi protein lebih tinggi daripada
padian pada rumahtangga yang bekerja di rumahtangga rawan pangan. Hal ini wajar
sektor pertanian lebih tinggi daripada yang mengingat pendapatan rumahtangga rawan
bekerja di sektor non pertanian. Dari sisi pangan umumnya lebih rendah dibandingkan
kelas pendapatan terlihat, pangsa energi yang lain. Rata-rata konsumsi protein pada
dari padi-padian pada rumahtangga rawan rumahtangga umum sudah melebihi standar
pangan yang miskin mencapai dua kali lebih yang dianjurkan. Pada kelompok
besar dibandingkan rumahtangga kaya. rumahtangga tersebut terlihat adanya
Sebagai gambaran, pada tahun 2002, perbedaan tingkat konsumsi protein antar
pangsa energi dari padi-padian pada kelas pulau, wilayah, kelas pendapatan maupun
pendapatan rendah dari kelompok antar sumber matapencaharian utama.
rumahtangga rawan pangan sebesar 56.6 %, Seiring makin kondusifnya kondisi
sedangkan pada kelas pendapatan tinggi perekonomian, konsumsi protein pada tahun
hanya 29.4 %. 2002 sudah lebih besar dibandingkan tahun
Pada rumahtangga rawan pangan, tidak 1999 (periode krisis). Pada umumnya tingkat
hanya konsumsi energi yang rendah tetapi konsumsi protein di Luar Jawa, di kota dan
juga konsumsi protein, seperti tampak pada pada rumahtangga dengan matapencaharian
Tabel 6. Rata-rata konsumsi protein pada di sektor non pertanian lebih besar daripada
rumahtangga rawan pangan hanya sekitar di Jawa, di desa dan rumahtangga yang
40 gram atau 83,3 % dari anjuran konsumsi bekerja di sektor pertanian. Namun
protein yang sebesar 48 gram/kapita/hari. demikian, tingginya konsumsi protein
Walaupun ada perbedaan konsumsi protein kelompok rumahtangga kaya perlu diikuti
antar pulau, wilayah, maupun sumber dengan pemberian penyuluhan kepada
matapencaharian utama, namun perbedaan kelompok rumahtangga tersebut terkait
tersebut tidak signifikan. Demikian pula bahaya penyakit yang diakibatkan oleh
apabila dilihat menurut periode waktu. konsumsi protein yang berlebihan. Dapat
Konsumsi protein rumahtangga rawan disimak pada Tabel 6, tingkat konsumsi
pangan di Luar Jawa pada tahun 1996 protein pada rumahtangga ini sudah sekitar
sekitar 39.0 gram/kapita/hari, sedangkan 150 % dari kecukupannya.
pada tahun 1999 dan 2002 masing-masing Walaupun secara kuantitas konsumsi
sebesar 37,1 gram dan 38,8 gram/kapita/ protein cenderung melebihi norma yang
hari. Perbedaan konsumsi protein yang dianjurkan, namun secara kualitas konsumsi
cukup signifikan terjadi antara rumahtangga protein tersebut ternyata belum cukup ideal.
kaya dengan rumah tangga miskin, dimana Hal ini karena sebagian besar protein yang
pada tahun 2002 konsumsi protein masing- dikonsumsi rumahtangga berasal dari
masing kelompok adalah 44.5 gram dan 37.8 pangan nabati, khususnya padi-padian.
gram/kapita/hari. Situasi demikian diduga Dengan rata-rata pangsa protein nabati
terkait status konsumsi protein pada mencapai 80 % berarti pangsa protein dari
rumahtangga rawan pangan yang hanya hewani dalam konsumsi rumahtangga hanya
menjadi pelengkap, bukan prioritas sehingga 20 %. Padahal, protein hewani lebih banyak
pemenuhannya tidak menjadi keharusan. mengandung asam amino esensial yang
Terutama mengingat harga pangan sumber sangat bermanfaat pada proses
protein yang relatif mahal dibandingkan pengembangan kecerdasan otak. Dari rasio
karbohidrat. Perbedaan tingkat konsumsi pangsa konsumsi protein nabati dapat
antar kelas pendapatan mengindikasikan diperkirakan bahwa kualitas konsumsi
bahwa protein sebagai barang normal, protein pada rumahtangga di Luar Jawa lebih
sehingga konsumsinya cenderung meningkat baik daripada di Jawa. Demikian pula,
seiring dengan meningkatnya pendapatan kualitas konsumsi protein di kota atau
rumahtangga. rumahtangga dengan matapencaharian di
non pertanian juga lebih baik daripada
18
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
kualitas konsumsi rumahtangga di desa atau preferensi konsumsi juga akan mengarah
yang memiliki mata pencaharian utama di pada jenis pangan yang lebih bergizi dan
sektor pertanian. memenuhi kriteria kesehatan lain. Hasil
Pendapatan merupakan kunci utama analisis juga menunjukkan bahwa semakin
dalam upaya meningkatkan kualitas tinggi pendapatan pangsa protein nabati
konsumsi pangan. Dengan pendapatan semakin rendah dan digantikan oleh pangsa
rumahtangga yang relatif cukup, maka protein hewani yang semakin tinggi,
seseorang atau rumahtangga dapat dengan sehingga dapat dikatakan bahwa kualitas
leluasa menentukan pilihan jenis pangan konsumsi protein semakin baik. Dalam
untuk dikonsumsi sesuai selera. Terlebih bila konteks ini tidak ada perbedaan pola
seseorang atau rumahtangga tersebut konsumsi antara rumahtangga umum dan
memiliki pengetahuan di bidang pangan dan rumahtangga rawan pangan.
gizi yang memadai, selain sesuai selera
Tabel 5
Konsumsi energi rumahtangga rawan pangan 1996-2002 (Kkal/kap/hr)
19
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
Tabel 6
Perkembangan konsumsi protein pada rumahtangga rawan pangan, 1996-2002 (gr/kap/hr)
20
Gizi Indon 2005,28(1):9-21 Perubahan pola konsumsi pangan Mewa A. dan Gatoet
21