Naskah Publikasi - Chrismonika I. P. - 20160310175

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

NASKAH PUBLIKASI

PERBEDAAN TINGKAT PENGETAHUAN FOGGING UNTUK


MENCEGAH DBD ANTARA MASYARAKAT PERKOTAAN
DENGAN PERDESAAN DI KABUPATEN BANTUL

Disusun oleh:
Chrismonika Intan Permatasari
20160310175

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal 16 Mei 2019

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

Dr. drh. Tri Wulandari K, M.Kes. dr. Farindira Vesti Rahmasari, M.Sc.
NIK : 19690513199609 173 010 NIK. 1984080520104 173 233

Mengetahui,
Kaprodi Sarjana Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Dr. dr. Sri Sundari, M. Kes


NIK. 19670513199609173019
The Difference of Knowledge Level about Fogging to Prevent DHF
between Urban and Rural Communities in Bantul Regency

Perbedaan Tingkat Pengetahuan Fogging untuk Mencegah DBD


antara Masyarakat Perkotaan dengan Perdesaan di Kabupaten
Bantul
Chrismonika Intan Permatasari1, Tri Wulandari Kesetyaningsih2
1
Mahasiswa Fakultas Kedokteran UMY, 2Bagian Parasitologi FK UMY

ABSTRACT
The increased of Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) incidences in Indonesia every year might be related to the ineffective fogging
implementation due to the lack of community's knowledge about fogging. Characteristics differences between urban and rural communities can
affect the knowledge level about fogging to prevent dengue between both. This study determines the differences of knowledge level about fogging
between urban and rural communities in Bantul Regency. This quantitative research used observational analytic with cross sectional design.
There were 355 respondents from Kasihan Subdistrict (urban endemic areas) and 366 respondents from Jetis Subdistrict (rural endemic areas)
who aged 15-59 years, physically and mentally healthy. Data of knowledge level about fogging was taken using a questionnaire and analyzed with
Mann Whitney test to determine the level of knowledge about fogging between urban communities and rural areas in Bantul Regency. The
knowledge level of fogging, both in urban and rural areas are low (urban 45.4%;rural 48.4%). There is no significant difference between the
knowledge level about fogging between urban and rural communities in Bantul Regency (p = 0.372).

Keywords: Fogging Knowledge, Urban Communities, Rural Communities.

ABSTRAK
Insidensi Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia yang cenderung meningkat setiap tahun kemungkinan terkait dengan
pelaksanaan fogging yang belum efektif akibat pengetahuan masyarakat terkait fogging masih rendah. Perbedaan karakteristik antara
masyarakat perkotaan dan perdesaan dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan tentang fogging antara keduanya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan tentang fogging antara masyarakat perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Bantul. Penelitian
kuantitatif ini menggunakan pendekatan observasional analitik dengan desain cross sectional. Responden terdiri dari 355 responden di
Kecamatan Kasihan (wilayah endemik perkotaan) dan 366 responden di Kecamatan Jetis (wilayah endemik perdesaan) dengan kriteria inklusi
usia 15 – 59 tahun, sehat jasmani dan rohani. Data tingkat pengetahuan fogging diambil menggunakan kuesioner dan dianalisis menggunakan
uji Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan tingkat pengetahuan tentang fogging antara masyarakat perkotaan dengan perdesaan di
Kabupaten Bantul. Tingkat pengetahuan masyarakat mengenai fogging, baik di perkotaan maupun perdesaan berkategori kurang (kota
45,4%;desa 48,4%). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat pengetahuan masyarakat tentang fogging antara masyarakat
perkotaan dan perdesaan di Kabupaten Bantul (p=0,372).

Kata Kunci: Tingkat Pengetahuan Fogging, Masyarakat Perkotaan, Masyarakat Perdesaan.


Pendahuluan perdesaan di seluruh provinsi Indonesia. 3

Demam Berdarah Dengue (DBD) Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten

adalah penyakit akibat virus Dengue yang Bantul (2016), pada tahun 2016 ditemukan

menular melalui nyamuk Aedes aegypti dan 2.442 kasus DBD (IR 2,51 %). Jumlah

Aedes albocpictus. Penyakit ini kasus ini naik dibandingkan tahun 2015

menimbulkan beberapa gejala, seperti dengan jumlah 1.441 kasus (IR 1,48%).4

demam mendadak, sakit kepala, nyeri Banyaknya kejadian DBD tersebut

belakang bola mata, mual, mimisan, gusi didukung oleh banyak faktor, antara lain

berdarah, dan kemerahan di permukaan lingkungan fisik, lingkungan biologi, dan

tubuh.1 lingkungan sosial. Seperti yang tertera pada

Sampai saat ini, DBD masih menjadi Permenkes RI Nomor

masalah kesehatan di Indonesia karena 374/Menkes/Per/III/2010 bahwa faktor

insidensi kejadian DBD di Indonesia risiko yang dapat menyebabkan DBD

cenderung meningkat setiap tahun. Pada adalah perubahan iklim, status sosial-

tahun 2016, terdapat 201.885 kasus DBD di ekonomi, perilaku masyarakat, buruknya

Indonesia. Daerah Istimewa Yogyakarta keadaan rumah dan sanitasi, pelayanan

menempati urutan ke-8 nasional sebanyak kesehatan belum memadai, dan perpindahan

6.247 kasus dengan incidence rate (IR) penduduk non-imun ke wilayah endemis.5

167,89 per 100.000 penduduk, 26 jumlah Selain itu, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

kasus meninggal, dan case fatality rate tingkat pengetahuan terkait DBD, persepsi

(CFR) 0,42%.2 Indonesia merupakan mengenai DBD juga turut andil dalam

wilayah endemik DBD, sehingga penyakit memengaruhi kejadian DBD.6

ini banyak ditemukan di perkotaan dan Ada beberapa upaya yang dapat
dilakukan untuk mengendalikan tingkat masyarakat sangat diperlukan dalam

kejadian DBD diantaranya dengan pencegahan DBD. Berdasarkan penelitian

Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), yang dilakukan Green (2000)9, perilaku

Fogging, dan Abatisasi.7 Fogging individu dipengaruhi oleh faktor

merupakan salah satu upaya yang sering predisposisi, salah satunya pengetahuan.

digunakan untuk mengendalikan vektor Kurangnya partisipasi masyarakat bisa

DBD yang dilakukan dengan teknik terjadi akibat pengetahuan masyarakat

pengkabutan (space spray) insektisida. terkait dengan pelaksanaan fogging masih

Efektivitas pelaksanaan fogging dipengaruhi rendah.

oleh jenis insektisida, dosis, metode Menurut Suliha (2002)10, tingkat

penggunaan, waktu pelaksanaan, jarak pengetahuan dipengaruhi oleh jenjang

sembur, serta kecepatan angin. Pelaksanaan pendidikan, informasi, budaya, pengalaman,

fogging yang berulang kali dalam suatu sosial-ekonomi, pekerjaan, dan umur.

daerah yang sama dapat menyebabkan Masyarakat perkotaan dan perdesaan

resistensi vektor sehingga penurunan jumlah memiliki perbedaan karakteristik dalam

vektor DBD tidak bermakna.8 beberapa aspek tersebut, antara lain dalam

Meningkatnya kejadian DBD kemungkinan pola pikir, tingkat pendidikan, status sosial-

terkait dengan pelaksanaan fogging yang ekonomi, teknologi, dll. Faktor-faktor

belum efektif. tersebut dapat mempengaruhi tingkat

Ketidakberhasilan fogging ini juga pengetahuan tentang fogging untuk

dapat disebabkan karena partisipasi mencegah DBD pada masyarakat kota dan

masyarakat yang kurang dalam desa.

pelaksanaannya, sedangkan partisipasi


Bahan dan Cara Penelitian fogging diambil menggunakan kuesioner

Penelitian ini merupakan penelitian setelah informed consent.

kuantitatif, menggunakan pendekatan Penelitian dilaksanakan dari Oktober

observasional analitik dengan desain cross 2018-Februari 2019. Penelitian dimulai

sectional. Penelitian dilakukan di dengan penentuan lokasi penelitian

Kecamatan Kasihan dan Kecamatan Jetis, berdasarkan data kejadian DBD di

Kabupaten Bantul. Lokasi dipilih Kecamatan Kasihan dan Kecamatan Jetis

berdasarkan peningkatan insidensi DBD pada tahun 2016-2018. Setelah itu

setiap tahunnya. Kecamatan Kasihan pengambilan data kuesioner pada saat

mewakili daerah endemik DBD yang pertemuan warga. Kemudian dilakukan

termasuk perkotaan, sedangkan Kecamatan tabulasi dan analisis data.

Jetis mewakili daerah endemik DBD yang Data dianalisis menggunakan uji

termasuk perdesaan. Mann Whitney untuk mengetahui perbedaan

Jumlah responden total sebanyak 721 tingkat pengetahuan tentang fogging antara

orang, terdiri dari 355 responden di wilayah masyarakat perkotaan dengan perdesaan di

endemik perkotaan (Kecamatan Kasihan) Kabupaten Bantul.

dan 366 responden di wilayah endemik

perdesaan (Kecamatan Jetis) dengan kriteria Hasil Penelitian

inklusi usia 15 – 59 tahun, sehat jasmani dan 1. Karakteristik Responden

rohani. Responden yang tidak Data Karakteristik responden

mengembalikan kuesioner dan tidak mengisi diperoleh dari kuesioner yang diberikan

kuesioner dengan lengkap diekslusi dari kepada responden penelitian. Karakteristik

penelitian ini. Data tingkat pengetahuan responden ditampilkan pada Tabel 4.1
Tabel 4.1 Distribusi Karakteristik Responden

Jumlah (%)
No Karakteristik
Perkotaan Perdesaan

Jenis kelamin
1. a. Perempuan 246 (69,3%) 268 (73,2%)
b. Laki-laki 109 (30,7%) 98 (26,8%)

Usia
a. 15-25 Tahun 12 (3,4%) 28 (7,7%)
b. 26-35 Tahun 88 (24,8%) 87 (23,8%)
2. 129 (36,3%) 122 (33,3%)
c. 36-45 Tahun
d. 46-55 Tahun 99 (27,9%) 108 (29,5%)
e. 56-59 Tahun 27 (7,6%) 21 (5,7%)

Tingkat Pendidikan
a. Tidak sekolah 11 (3,1%) 14 (3,8%)
b. SD 51 (14,4%) 104 (28,4%)
3. 87 (24,5%) 83 (22,7%)
c. SMP
d. SMA 158 (44,5%) 134 (36,6%)
e. Akademi/Perguruan Tinggi 48 (13,5%) 31 (8,5%)

Pekerjaan
a. Tidak bekerja/Pensiunan 113 (31,8%) 118 (32,2%)
b. Buruh/Petani 96 (27%) 157 (42,9 %)
4. 88 (24,8%) 42 (11,5%)
c. Wiraswasta/Pedagang
d. Pegawai/Guru 57 (16,1%) 42 (11,5%)
e. Pelajar/Mahasiswa 1 (0,3%) 7 (1,9%)
Sumber : Data Primer 2019

Jenis kelamin. Responden Tingkat Pendidikan. Secara umum,

didominasi oleh masyarakat yang berjenis responden perkotaan memiliki tingkat

kelamin perempuan, di kota sebanyak 246 pendidikan sedikit lebih tinggi daripada

responden (69,3%) maupun di desa responden perdesaan. Hal ini dibuktikan

sebanyak 268 responden (73,2%). pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi,

Umur. Mayoritas responden di persentase pada responden perkotaan lebih

kedua tempat berusia 26-55 tahun, yaitu di tinggi daripada perdesaan. Responden yang

kota sebanyak 316 responden (89%) dan di tidak sekolah dan berpendidikan SD paling

desa sebanyak 317 responden (86,6%). banyak terdapat di perdesaan. Sedangkan


responden dengan tingkat pendidikan SMP, 2. Skor Pengetahuan Responden

SMA, dan Akademi/Perguruan Tinggi Instrumen yang digunakan untuk

paling banyak terdapat di perkotaan. mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat

perdesaan bekerja sebagai buruh sebanyak perkotaan dan perdesaan mengenai fogging

157 responden (42,9%). adalah kuesioner berisi 8 pertanyaan

Pekerjaan. Sebagian besar mengenai fogging yang telah teruji validasi.

responden di perkotaan adalah Hasil skoring pengetahuan masyarakat

pensiunan/tidak bekerja sebanyak 113 tentang fogging disampaikan pada Tabel

responden (31,8%), sedangkan responden di 4.3.

perdesaan bekerja sebagai buruh sebanyak Pada Tabel 4.3 dapat dilihat bahwa

157 responden (42,9%). responden wilayah perkotaan maupun

Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan perdesaan memiliki pola yang sama dalam

sebagian besar reponden sudah pernah menjawab kuesioner. Mayoritas responden

mendengar istilah fogging, yaitu di kota di kedua tempat sudah menjawab dengan

sebanyak 330 responden (93%) dan di desa benar pertanyaan mengenai syarat dilakukan

sebanyak 338 responden (92,3%). fogging (kota 79,4%; desa 76%), perlunya

Tabel 4.2 Distribusi Responden Berdasarkan Pernah gerakan 3M setelah fogging (kota 93,2%;
Mendengar Istilah Fogging

Jumlah (%) desa 91,5%), dan penanggunggjawab


No Istilah
Perkotaan Perdesaan pelaksanaan fogging (kota 70,4%; desa

1. Ya 330 (93%) 338 (92,3%)


75,4%). Namun demikian, sebagian besar
2. Tidak 25 (7%) 28 (7,7%)
responden masih memiliki pengetahuan
Total 355 (100%) 366 00%)
yang kurang mengenai tujuan pelaksanaan
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Jawaban Kuesioner Masyarakat Perkotaan dan Perdesaan Mengenai Fogging

Perkotaan Perdesaan
No Poin Pertanyaan
Benar (%) Salah (%) Benar (%) Salah (%)
1. Apa tujuan Fogging? 198 (55,8%) 157 (44,2%) 203 (55,5%) 163 (44,5%)
2. Apakah syarat dilakukan fogging? 282 (79,4%) 73 (20,6%) 278 (76%) 88 (24%)
3. Bagaimanakah cuaca yang paling baik untuk 201 (56,6%) 154 (43,4%) 205 (56%) 161 (44%)
melaksanakan fogging?
4. Berapa lama jarak antara fogging pertama 65 (18,3%) 290 (81,7%) 80 (21,9%) 286 (78,1%)
dengan kedua dalam 1 periode?
5. Apakah masih perlu dilakukan gerakan 3 M 331 (93,2%) 24 (6,8%) 335 (91,5%) 31 (8,5%)
setelah dilakukan fogging?
6. Siapakah yang bertanggungjawab menjadi 250 (70,4%) 105 (29,6%) 276 (75,4%) 90 (24,6%)
pelaksana fogging?
7. Kapankah waktu yang tepat untuk melakukan 104 (29%) 252 (71%) 72 (19,7%) 294 (80,3%)
fogging?

8. Apa yang perlu dilakukan sebelum fogging 194 (54,6%) 161 (45,4%) 186 (50,8%) 180 (49,2%)
agar hasilnya optimal?
Rata-rata frekuensi 203 (57,2%) 152 (42,8%) 204 (55,7%) 162 (44,3%)

fogging (kota 55,8%; desa 55,5%), cuaca sedikit lebih tinggi daripada masyarakat

yang tepat untuk melaksanakan fogging perdesaan (kota 57,2%; desa 55,7%).

(kota 56,6%; desa 56%), dan hal-hal yang Skor pengetahuan tentang fogging

harus dilakukan sebelum pelaksanaan kemudian diklasifikasikan menjadi tiga

fogging (kota 54,6%; desa 50,8%). Hanya tingkatan, yaitu baik, cukup, dan kurang.

sedikit yang menjawab benar pertanyaan Distribusi tingkat pengetahuan masyarakat

mengenai interval antara pelaksanaan mengenai fogging berdasarkan skor

fogging pertama dengan kedua dalam satu pengetahuan ditampilkan pada Tabel 4.4.

periode (kota 18,3%; desa 21,9%) dan waktu Berdasarkan Tabel 4.4 tampak

yang tepat untuk melakukan fogging (kota bahwa tingkat pengetahuan tentang fogging

29%; desa 19,7%). Berdasarkan persentase pada masyarakat perkotaan dan perdesaan

rata-rata frekuensi jawaban responden, paling banyak kategori kurang (kota 45,4%;

jawaban benar pada masyarakat perkotaan desa 48,4%), selanjutnya kategori cukup
(kota 44,5%; desa 42,3%), dan paling sedikit Pembahasan

kategori baik (kota 10,1%; desa 9,3%). 1. Karakteristik Responden

Jenis Kelamin Responden. Dalam


Tabel 4.4. Distribusi Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Perkotaan dan Perdesaan mengenai Fogging
berdasarkan Skor Pengetahuan Tabel 4.1 disebutkan bahwa jumlah
Interval Jumlah (%)
No Kategori responden perempuan di perkotaan maupun
Skor Perkotaan Perdesaan
1 ≥76 Baik 36 (10,1%) 34 (9,3%)
perdesaan lebih tinggi dibandingkan dengan
2 56-75% Cukup 158 (44,5%) 155 (42,3%)
jumlah responden laki-laki. Berdasarkan
3 ≤55 Kurang 161 (45,4%) 177 (48,4%)
hasil penelitian Van Benthem et al. (2002)11,
3. Perbedaan Tingkat Pengetahuan pengetahuan tentang DBD pada perempuan
Fogging untuk Mencegah DBD antara cenderung lebih baik dibandingkan jenis
Masyarakat Perkotaan dengan kelamin laki-laki. Hal ini dikarenakan
Perdesaan di Kabupaten Bantul kemampuan mengingat perempuan dalam
Uji komparasi Mann Whitney hal pengetahuan lebih baik dari pada laki-
digunakan untuk mengetahui apakah laki karena pusat memori (hippocampus)
terdapat perbedaan tingkat pengetahuan pada perempuan lebih besar dari laki-laki.12
masyarakat tentang fogging antara Apabila dihubungkan dengan hasil
masyarakat perkotaan dengan perdesaan. penelitian bahwa tidak ada perbedaan yang
Berdasarkan hasil statistika, diperoleh nilai p signifikan mengenai tingkat pengetahuan
= 0,372 (nilai p > 0,05) sehingga dapat tentang fogging antara masyarakat perkotaan
disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan dengan perdesaan, responden pada kedua
tingkat pengetahuan fogging yang signifikan tempat didominasi oleh responden jenis
antara masyarakat perkotaan dan perdesaan.. kelamin perempuan sehingga hal tersebut

dapat menjadi penyebab tidak adanya


perbedaan tersebut. Jika dikaitkan dengan tersebut juga sesuai dengan penelitian

hasil penelitian bahwa tingkat pengetahuan Hanifah (2010)14 bahwa tidak semua orang

responden di perkotaan dan perdesaan yang berusia lebih tua memiliki pengetahuan

berkategori kurang kemungkinan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang

disebabkan karena kurangnya sumber berusia lebih muda. Hal tersebut terjadi

informasi mengenai fogging, baik lewat karena tingkat pengetahuan juga dipengaruhi

penyuluhan maupun media massa. Untuk oleh tingkat pendidikan, pekerjaan, dan

mengetahui apakah terdapat perbedaan kemajuan teknologi informasi yang lebih

tingkat pengetahuan fogging antara mudah diakses oleh orang muda. Namun

perempuan dan laki-laki perlu dilakukan hasil ini bertentangan dengan penelitian

penelitian lebih lanjut. Suwarno & Yuwono (2017)15 yang

Usia Responden. Dari Tabel 4.1 menjelaskan bahwa semakin bertambah usia

didapatkan bahwa mayoritas responden di maka kemampuan daya tangkap dan pola

perkotaan maupun perdesaan berusia 26-55 pikirnya juga meningkat, sehingga

tahun. Menurut Prof. dr. Koesoemanto pengetahuannya semakin baik.

Setyonegoro, Sp.Kj13, usia 25-65 tahun Apabila dihubungkan dengan hasil

merupakan kategori usia dewasa penuh. penelitian bahwa tidak ada perbedaan yang

Hasil penelitian Van Benthem et al. (2002)11 signifikan mengenai tingkat pengetahuan

menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan tentang fogging antara masyarakat perkotaan

DBD berhubungan dengan usia, dimana dengan perdesaan dimana tingkat

remaja cenderung memiliki pengetahuan pengetahuan keduanya sama-sama

tentang DBD yang lebih baik dibandingkan berkategori kurang, mayoritas responden

orang yang lebih tua. Hasil penelitian pada kedua tempat berada dalam kelompok
umur yang sama sehingga hal tersebut dapat lebih tinggi mempunyai pengetahuan

menjadi penyebab tidak adanya perbedaan tentang DBD lebih tinggi dibandingkan

tersebut. Namun, perlu penelitian lebih dengan tingkat pendidikan di bawahnya.

lanjut untuk mengetahui pengaruh usia Semakin tinggi tingkat pendidikan

terhadap tingkat pengetahuan fogging. seseorang, semakin mudah mereka

Tingkat Pendidikan Responden. menerima serta mengembangkan

Responden perkotaan memiliki tingkat pengetahuan dan teknologi, sehingga akan

pendidikan sedikit lebih tinggi daripada meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan

responden perdesaan (Tabel 4.1). Penelitian keluarga.19

dari Gladys et al. (2013)16 menunjukkan Apabila dihubungkan dengan hasil

bahwa tidak ada hubungan yang bermakna penelitian bahwa tidak ada perbedaan

antara pendidikan dengan tingkat tingkat pengetahuan tentang fogging antara

pengetahuan masyarakat mengenai masyarakat perkotaan dengan perdesaan

pertolongan pertama pada DBD karena dimana tingkat pengetahuan keduanya sama-

masyarakat belum pernah mendapatkan sama berkategori kurang, perbedaan tingkat

informasi terkait pertolongan pertama pada pendidikan antara responden di kedua

DBD saat mengenyam bangku pendidikan. tempat tidak berpengaruh pada tingkat

Selain itu, terbentuknya pengetahuan lebih pengetahuan tentang fogging. Sehingga

didominasi oleh budaya setempat, dapat disimpulkan bahwa tingkat

lingkungan, dan pengaruh orang lain.17 Hal pengetahuan tentang foging tidak

ini bertolak belakang dengan hasil penelitian berhubungan dengan tingkat pendidikan.

Diaz-Quijano et al. (2018) bahwa responden Namun, perlu penelitian lebih lanjut untuk

dengan tingkat pendidikan SMA atau yang mengetahui hubungan antara tingkat
pengetahuan fogging dengan tingkat fogging antara masyarakat perkotaan

pendidikan. dengan perdesaan dimana tingkat

Pekerjaan Responden. Berdasarkan pengetahuan keduanya sama-sama

Tabel 4.1, sebagian besar responden di berkategori kurang, mayoritas responden

perkotaan adalah pensiunan/tidak bekerja di perkotaan tidak bekerja (dalam hal ini

(31,8%), sedangkan di responden di ibu rumah tangga)/pensiunan dan

perdesaan bekerja sebagai buruh/petani mayoritas responden di perdesaan bekerja

(42,9%). Berdasarkan penelitian Benthem et sebagai buruh/petani dimana orang dengan

al. (2002)11, petani, ibu rumah tangga, dan pekerjaan tersebut kemungkinan kurang

orang yang tidak bekerja memiliki tingkat terpapar informasi mengenai fogging

pengetahuan DBD yang lebih rendah sehingga sama-sama memiliki tingkat

daripada pelajar dan pedagang. Hal tersebut pengetahuan fogging yang rendah. Namun,

didukung oleh Pangesti (2012)15 bahwa jenis perlu penelitian lebih lanjut untuk

pekerjaan seseorang akan berpengaruh mengetahui pengaruh jenis pekerjaan

terhadap pengetahuan dan pengalaman dengan tingkat pengetahuan fogging.

seseorang. Ketika pekerjaan tersebut lebih

sering menggunakan otak daripada 2. Tingkat Pengetahuan Responden

menggunakan otot, kinerja dan kemampuan Pengetahuan merupakan bagian dari

otak seseorang dalam menyimpan (daya perilaku kesehatan. Pemahaman masyarakat

ingat) akan meningkat. mengenai pengetahuan dalam bidang

Apabila dihubungkan dengan hasil kesehatan sangat bervariasi.20 Pada

penelitian bahwa tidak ada perbedaan penelitian ini tingkat pengetahuan responden

mengenai tingkat pengetahuan tentang diukur menggunakan lembar kuesioner yang


berisi mengenai pertanyaan seputar tujuan, mengetahui interval antara pelaksanaan

syarat dan persiapan pelaksanaan fogging. fogging pertama dengan kedua dalam satu

Penelitian ini bertujuan untuk periode (kota 18,3%; desa 21,9%) dan waktu

mengukur pemahaman masyarakat yang tepat untuk melakukan fogging (kota

perkotaan dan perdesaan mengenai fogging 29%; desa 19,7). Dilihat dari persentase

sebagai upaya pencegahan outbreak DBD. frekuensi jawaban benar pada setiap

Dari Tabel 4.3 secara umum dapat dilihat pertanyaan (Tabel 4.3), responden perkotaan

bahwa sebagian besar responden di kedua memiliki pengetahuan lebih tinggi pada

tempat sudah memiliki pengetahuan yang hampir semua pertanyaan, khususnya

sudah memiliki pengetahuan yang baik pertanyaan mengenai syarat pelaksanaan

mengenai syarat dilakukan fogging (kota fogging, waktu yang tepat untuk

79,4%; desa 76%), perlunya gerakan 3M melaksanakan fogging, perlunya gerakan

setelah fogging (kota 93,2%; desa 91,5%), 3M setelah fogging, dan persiapan sebelum

dan penanggunggjawab pelaksanaan fogging pelaksanaan fogging. Hal ini kemungkinan

(kota 70,4%; desa 75,4%). Namun disebabkan karena masyarakat kota lebih

demikian, sebagian besar responden masih banyak mengakses informasi melalui media

memiliki pengetahuan yang kurang massa dan media sosial. Masyarakat kota

mengenai tujuan pelaksanaan fogging (kota banyak mendapatkan informasi mengenai

55,8%; desa 55,5%), cuaca yang tepat untuk DBD dari radio, televisi, dan media cetak. 21

melaksanakan fogging (kota 56,6%; desa Namun, pengetahuan mengenai

56%), dan hal-hal yang harus dilakukan penanggunggjawab pelaksanaan fogging dan

sebelum pelaksanaan fogging (kota 54,6%; interval antara pelaksanaan fogging pertama

desa 50,8%). Hanya sedikit yang dengan kedua dalam satu periode justru
lebih tinggi pada responden perdesaan. Hal mempengaruhi sikap dalam berperilaku

ini kemungkinan disebabkan karena karena seseorang yang memiliki wawasan

perhatian masyarakat perdesaan pada saat dan pengalaman tentang DBD akan

pelaksanaan fogging sedikit lebih tinggi memiliki keyakinan dan melakukan upaya

daripada masyarakat perkotaan. tindakan pencegahan.23

Pengetahuan tidak hanya didapat dari

pendidikan formal saja, namun juga dapat 3. Perbedaan Tingkat Pengetahuan

diperoleh dari pengalaman hidup sehari- tentang Fogging antara Masyarakat

hari.22 Perkotaan dengan Perdesaan

Berdasarkan persentase rata-rata Setelah dilakukan pengolahan data

frekuensi jawaban responden (Tabel 4.3) dan uji beda, didapatkan rata-rata skor

dapat disimpulkan bahwa pengetahuan pengetahuan dan nilai signifikansi dari

mengenai fogging pada masyarakat kedua wilayah. Berdasarkan Tabel 4.4 dapat

perkotaan sedikit lebih tinggi daripada disimpulkan bahwa mayoritas responden di

masyarakat perdesaan (kota 57,2%; desa perkotaan maupun perdesaan memiliki

55,7%). Setelah skor pengetahuan tingkat pengetahuan tentang fogging dengan

diklasifikasikan seperti pada Tabel 4.4, kategori kurang (kota 45,4%; desa 48,45%),

dapat disimpulkan bahwa tingkat selanjutnya kategori cukup (kota 44,5%;

pengetahuan mengenai fogging pada desa 42,3%), dan paling sedikit kategori

masyarakat perkotaan dan perdesaan baik (kota 10,1%; desa 9,3%).

termasuk dalam kategori kurang (kota Berdasarkan hasil uji komparasi

45,4%; desa 48,4%). Tingkat pengetahuan Mann Whitney, diperoleh nilai p = 0,372

masyarakat mengenai pencegahan DBD (nilai p > 0,05) sehingga dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang terkena DBD dapat menyebabkan tingkat

signifikan mengenai tingkat pengetahuan pengetahuan tentang DBD yang sama di

fogging antara masyarakat perkotaan dan daerah endemik tinggi dan endemik rendah.

perdesaan. Hasil penelitian ini berbanding Pekerjaan Responden. Sebagian

terbalik dengan hasil penelitian besar responden di perkotaan adalah tidak

Kesetyaningsih et al. (2012)24 dan Hafeez et bekerja (ibu rumah tangga) atau pensiunan,

al. (2012)21 yang menyatakan bahwa dan sebagian besar responden di perdesaan

terdapat terdapat perbedaan signifikan antara adalah buruh/petani dimana masyarakat

tingkat pengetahuan tentang DBD pada dengan pekerjaan tersebut cenderung

masyarakat perkotaan dengan perdesaan. memiliki tingkat pengetahuan yang sama.

Tidak adanya perbedaan tingkat Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian

pengetahuan tentang fogging antara Benthem et al. (2002)11 bahwa petani, ibu

masyarakat perkotaan dengan perdesaan rumah tangga, dan orang yang tidak bekerja

pada penelitian ini dapat disebabkan karena memiliki tingkat pengetahuan DBD yang

beberapa hal sebagai berikut : lebih rendah daripada pelajar dan pedagang.

Keserupaan Karakteristik Mereka cenderung lebih banyak tinggal di

Responden. Keserupaan karakteristik rumah sehingga terdapat kemungkinan

responden pada aspek jenis kelamin, usia, mereka tidak terpapar informasi mengenai

dan tingkat pendidikan dapat menyebabkan fogging atau pencegahan DBD lainnya.

keserupaan pada tingkat pengetahuan. Hal Kurangnya informasi mengenai fogging.

ini didukung oleh penelitian Farhan (2018) 25 Informasi merupakan faktor yang sangat

bahwa kesamaan aspek usia, persentase jenis penting terkait dengan tingkat pengetahuan.

kelamin, tingkat pendidikan, dan riwayat Menurut Wawan & Dewi (2011)26 bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat Kurangnya partisipasi dan pengalaman

pengetahuan seseorang meliputi pendidikan, responden terhadap pelaksanaan fogging

pekerjaan, umur, lingkungan/pengalaman, dalam pencegahan DBD. Pengetahuan

sosial ekonomi, dan informasi. Berdasarkan tidak hanya didapat dari pendidikan formal

Teori Piaget (1947), seseorang cenderung saja, namun juga dapat diperoleh dari

membangun pengetahuannya dari informasi pengalaman hidup sehari-hari.22 Menurut

yang mereka dapat. Seseorang Niswah & Aisyaroh (2010)27, pengalaman

menggabungkan pengalaman dan seorang tentang berbagai hal biasanya

pengamatan mereka untuk membentuk didapat dari lingkungan kehidupan sehari-

pengetahuan mereka dan menyertakan hari. Semakin banyak pengalaman seseorang

pemikiran-pemikiran baru yang mereka tentang suatu hal, maka akan semakin

dapatkan dari sumber informasi karena bertambah pula pengetahuan seseorang akan

tambahan informasi akan mengembangkan hal tersebut.28 Berdasarkan penuturan

pemahaman mereka tentang suatu reponden di perkotaan maupun perdesaan,

pengetahuan.26 Berdasarkan informasi dari sebagian besar responden jarang

reponden baik di perkotaan maupun berpartisipasi dalam pelaksanaan fogging di

perdesaan, sebagian besar responden sering lingkungannya karena pelaksanaan fogging

mendapatkan penyuluhan mengenai DBD, hanya dilakukan sekali waktu. Berdasarkan

namun sangat sedikit yang mendapatkan Kementerian Kesehatan RI (2011)29,

informasi mengenai fogging. Hal ini seharusnya pelaksanaan fogging dilakukan

kemungkinan menyebabkan tingkat dua kali dengan jarak interval satu minggu.

pengetahuan masyarakat perkotaan dan Kondisi ini dapat terjadi karena kelalaian

perdesaan tentang fogging masih kurang. petugas atau ketidaktahuan masyarakat.


Kesimpulan 2. Saran bagi peneliti selanjutnya

Berdasarkan hasil penelitian dan Hasil penelitian ini dapat digunakan

pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai dasar untuk melanjutkan penelitian

bahwa tingkat pengetahuan sebagian besar terkait fogging. Peneliti selanjutnya

masyarakat perkotaan maupun perdesaan disarankan untuk menambahkan variabel

mengenai fogging berkategori kurang. sikap individu mengenai fogging. Selain itu,

Selain itu, tidak terdapat perbedaan yang diharapkan untuk dilakukan penelitian

signifikan mengenai tingkat pengetahuan kualitatif terhadap kader atau masyarakat di

fogging antara masyarakat perkotaan dengan daerah endemis DBD untuk menggali

perdesaan di Kabupaten Bantul. informasi lebih dalam mengenai pandangan

masyarakat terhadap fogging.

Saran
Daftar Pustaka
1. Saran bagi petugas kesehatan 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Demam

Berdarah Dengue (DBD). Diakses 24 April 2018 dari http:


Instansi kesehatan hendaknya
www. kemkes.go.id.
melakukan sosialisasi mengenai tata cara 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Data dan

Informasi Profil Kesehatan Indonesia 2016. Jakarta:


pelaksanaan fogging serta hal-hal yang
Kementerian Kesehatan RI. 2017.
harus dilakukan masyarakat sebelum, saat, 3. Karyanti, M.R. & Hadinegoro, S.R. April Perubahan

Epidemiologi Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Sari


dan sesudah fogging melalui penyuluhan
Pediatri. 2009;10:424-432.
yang terjadwal dan pemanfaatan teknologi 4. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul. Profil Kesehatan

Kabupaten Bantul 2017. Bantul: Dinas Kesehatan Kabupaten


seperti sosial media untuk meningkatkan
Bantul. 2017.
pengetahuan masyarakat sehingga 5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


pencegahan DBD akan lebih efektif.
374/MENKES/PERJIII/2010 tentang Pengendalian Vektor.

Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2010.


6. Respati, T., Raksanegara, A., Djuhaeni, H., Sofyan, A., 16. Gladys & Saleha, S. 2013. Effectiveness of Health Education

Agustian, D., Faridah, L., et al.. Berbagai Faktor yang on First Aid of Dengue Haemorrhagic Fever on School

Memengaruhi Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Teachers in North Jakarta, 2011. eJKI, 1, 30-36.

Bandung. ASPIRATOR. 2017;9(2):91-96. 17. Ifada, I. 2010. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

7. Sukana, B. Pemberantasan Vektor di Indonesia. Media Pengetahuan Masyarakat mengenai Pelayanan Kesehatan

Litbangkes. 1993;3:9-16. Mata. Skripsi. Unpublished. Semarang: Universitas

8. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul Diponegoro.

Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta: 18. Dias-Quijano, F.A., Martinez-Vega, R.A., Rodriguez-Morales,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. A.J., Rojas-Calero, R.A., Luna-Gonzales, M.L. & Dias-

9. Muliadi, I.S. 2015. Pengetahuan, Sikap, Perilaku Hidup Quijano, R.G. Association between the Level of Education and

Bersih dan Sehat pada Mahasiswa FKIK UIN Syarif Knowledge, Attitudes and Practices regarding Dengue in the

Hidayatullah Jakarta Tahun 2015. Skripsi. Unpublished. Caribbean Region of Colombia. BMC Public Health.

Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah. 2002;18:143.

10. Sani, F.N. Hubungan Tingkat Pengetahuan Sehat - Sakit 19. Monintja, T.C.N. Hubungan antara Karakteristik Individu,

dengan Sikap Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Pengetahuan dan Sikap dengan Tindakan PSN DBD

Surakarta tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Jurnal Masyarakat Kelurahan Malalayang I Kecamatan Malalayang

KesMaDaSKa. 2011;2: 12-18. Kota Manado. Jikmu. 2015;5:503-519.

11. Van Benthem, B.H., Khantikul, N., Panart, K., Kessels, P.J., 20. Budiman & Riyanto, A. Kapita Selekta Kuisioner

Somboon, P. & Oskam, L. Knowledge and Use of Prevention Pengetahuan Dan Sikap Dalam Penelitian Kesehatan. Jakarta:

Measures Related to Dengue in Northern Thailand. Trop Med Salemba Medika. 2013.

Int Health. 2002;7(11):993-1000. 21. Hafeez, F., Akram, W., Suhail, A., & Arshad, M. Knowledge

12. Masykur, M. & Fathani, A.H. Mathematical Intelligence : and Attitude of the Public Towards Dengue Control in Urban

Cara Cerdas Melatih Otak dan Menanggulangi Kesulitan and Rural Areas of Punjab. Pakistan J. Zool. 2012;44(1):15-

Belajar (2nd ed.). Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2007. 21.

13. Nugroho, W. Komunikasi Dalam Keperawatan Gerontik. 22. Burhani, P.A., Oenzil, F. & Revilla, G. Hubungan Tingkat

Jakarta: EGC. 2009. Pengetahuan Ibu dan Tingkat Ekonomi Keluarga Nelayan

14. Hanifah, M. 2010. Hubungan Usia dan Tingkat Pendidikan dengan Status Gizi Balita di Kelurahan Air Tawar Barat Kota

dengan Pengetahuan Wanita Usia 20-50 Tahun tentang Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016);5(3):515-521.

Periksa Payudara Sendiri (Sadari). Skripsi. Unpublished. 23. Peristiowati, Y., Lingga, & Hariyono. Evaluasi Pemberantasan

Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah. Demam Berdarah Dengue dengan Metode Spasial Geographic

15. Suwaryo, P.A.W. & Yuwono, P. Faktor-faktor yang Information System (GIS) dan Identifikasi Tipe Virus Dengue

Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan Masyarakat dalam di Kota Kediri. Jurnal Kedokteran Brawijaya. 2014;28:126-

Mitigasi Bencana Alam Tanah Longsor. University Research 131.

Colloquium. 2017;6:305-314. 24. Kesetyaningsih, T.W., Alislam, H.M. & Eka, F. Kepadatan

Larva Aedes Aegypti di Daerah Endemis Demam Berdarah


Desa dan Kota, Hubungannya dengan Pengetahuan dan 27. Sabrina, R. 2016. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang

Perilaku Masyarakat. Mutiara Medika. 2012;12(1):56-62. Asi Eksklusif di Perkotaan dan Pedesaan. Skripsi.

25. Farhan, F.I. 2018. Perbedaan Tingkat Pengetahuan Unpublished. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah

Masyarakat tentang DBD antara Daerah Endemik Tinggi dan Yogyakarta.

Rendah di Kabupaten Sleman Yogyakarta. Skripsi. 28. Notoatmodjo, S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:

Unpublished. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Rineka Cipta. 2010.

Yogyakarta. 29. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Modul

26. Cahyaningrum, D.E. Keterpaparan Informasi dengan Tingkat Pengendalian Demam Berdarah Dengue. Jakarta:

Pengetahuan Ibu tentang Penanganan Demam pada Anak. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011.

Jurnal Kesehatan Al Irsyad. 2011;XI:37-44.

You might also like