Professional Documents
Culture Documents
Embriogenesis Ikan Betok Anabas Testudineus Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda PDF
Embriogenesis Ikan Betok Anabas Testudineus Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda PDF
Oleh
RINA RAHAYU
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
SUMMARY
The results showed that eggs incubated under temperature range of study
had normal sequence of embryonic development pattern. Where in the incubation
temperature A1, A2 and A3 does not affect the blastodisk formation stage to stage
blastula and gastrula stage to start affect the hatching stage, but the A4 and A5
treatment temperature affects the blastodisk formation stage until hatching stage so
obtained was 38.47% abnormal larvae and 51,08%. Hatching time in treatment A1,
A2, A3, A4 and A5 is 20.41 hours, 19.33 hours, 18.16 hours, 16.58 hours and
14.50 hours. The percentage of treatment hatching on A1, A2, A3, A4 and A5 are
84.33%, 92.33%, 86%, 83.67% and 78.33%. Results of water quality
measurements at each treatment is pH (6.72 to 7.74) and DO (6.16 to 7.53).
Embryonic Development of Climbing Perch should be incubated in the
temperature range 26-30ºC to push the percentage of abnormalities and increase
the hatching percentage.
RINGKASAN
Oleh
RINA RAHAYU
Pada
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
EMBRIOGENESIS IKAN BETOK (Anabas testudineus)
PADA SUHU INKUBASI YANG BERBEDA
Oleh
RINA RAHAYU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Perikanan
Pada
PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDRALAYA
2013
Skripsi
Oleh
RINA RAHAYU
05091005012
Fakultas Pertanian,
Universitas Sriwijaya
Pembimbing II
Komisi Penguji
(............................)
Mengesahkan
Ketua Program Studi Budidaya Perairan
Rina Rahayu
RIWAYAT HIDUP
Kanak-kanak Pertiwi di Desa Terate Sp. Padang Kab. OKI. Dan pendidikan
tahun 2009.
(SMPTN) pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi
Asisten Praktikum Mata Kuliah Biologi Reproduksi dan Asisten Praktikum Mata
Bismillahirrohmaanirrahim
Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan karunia dan
izin Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Embriogenesis Ikan
Skripsi ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan mendampingi. Penulis juga
1. Bapak Ferdinand Hukama Taqwa, S.Pi., M.Si selaku ketua Program Studi
berharga
3. Bapak Muslim, S.Pi., M.Si dan Bapak Yulisman, S.Pi., M.Si selaku
4. Semua staf dosen yang mengajar di Program Studi Budidaya Perairan yang
5. Orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan kasih sayang yang
dan fitri Apri Yanti yang telah membantu, memberikan tenaga, materi dan
7. Terima kasih kepada Cintya Putu Wirantika, Catur Lestari, Eka Saputra,
Riko Ebidra, Ofan Bosman, Resti Amelia dan teman-teman yang tidak bisa
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................................... iv
I. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
B. Tujuan .............................................................................................................. 2
C. Hipotesis .......................................................................................................... 2
ii
F. Pengambilan Data ............................................................................................ 23
A. Kesimpulan .................................................................................................... 39
B. Saran ............................................................................................................... 39
LAMPIRAN ............................................................................................................... 42
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Denah penelitian................................................................................................ 43
vi
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan betok (Anabas testudineus) merupakan jenis ikan air tawar yang
hidup di perairan rawa, danau, sungai, dan genangan air lainnya (Suriansyah et al.,
2010). Menurut Ahmad dan Fauzi (2010), ikan betok memiliki potensi besar
untuk dibudidayakan, baik di lingkungan perairan rawa-rawa yang kritis dari segi
ikan betok. Menurut Marlida (2008), keberhasilan budidaya ikan betok tergantung
pada teknologi pembenihan dan pemeliharaan larva. Kualitas larva ikan betok
dipengaruhi oleh perkembangan embrio. Periode kehidupan ikan betok sejak fase
embrio hingga fase larva merupakan periode kritis pada awal kehidupan (Marlida,
2008). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Lagre (1972) dalam
embrio salah satunya adalah suhu. Suhu rendah ataupun tinggi dapat
1
2
suhu yang lebih tinggi (Sukendi, 2003). Menurut Marlida (2008), penetasan telur
ikan betok yang diinkubasi pada suhu 28oC membutuhkan waktu 19,74 jam yang
merupakan waktu lebih lama dibandingkan waktu inkubasi telur ikan betok pada
Suhu rendah atau tinggi yang dapat ditoleransi setiap jenis ikan berbeda-
beda, namun suhu rendah atau tinggi yang melewati batas toleransi perkembangan
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shafrudin (1997), bahwa pada
kejadian larva cacat yang tinggi pada suhu 27oC dan mencapai 90% pada suhu
relatif lebih cepat dari perlakuan lainnya yaitu 27,5 jam, namun menghasilkan
larva kurang baik dan mengalami abnormalitas sebesar ± 40%. Dari hasil
perkembangan embrio semakin lama dan jika suhu inkubasi diatas 34oC akan
menghasilkan larva cacat yang semakin tinggi dan dapat menyebabkan kegagalan
penetasan bahkan kematian. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
diketahui apa yang terjadi pada perkembangan embrio ikan betok yang
B. Tujuan
C. Hipotesis
(Anabas testudineus)
4
Kerajaan : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisces
Ordo : Labyrinthici
Subordo : Anabantoidei
Famili : Anabantidae
Genus : Anabas
4
5
Betok (Anabas testudineus) adalah salah satu jenis ikan di perairan umum
Indonesia. Bentuk tubuh ikan betok lonjong dengan kepala lebar dan memipih ke
belakang. Tubuh betok ditutupi oleh sisik berwarna hijau kehitam-hitaman pada
bagian punggung dan putih mengkilat atau putih kehijau-hijauan di bagian perut.
Betok termasuk ikan berukuran kecil, hanya dapat mencapai panjang sekitar 23
B. Habitat
Ikan betok di temukan di semua jenis perairan tropis dan subtropis. Ikan
betok biasanya hidup diperairan rawa yang menjadi habitatnya. Meskipun ikan
betok dapat hidup di perairan tawar, namun ikan betok memiliki toleransi yang
tinggi terhadap salinitas (Jacob, 2005). Benih ikan betok berukuran 14,0 mm
dapat mentoleransi salinitas hingga 11,5% (Khan et al., 1976 dalam Jacob, 2005).
Meskipun suhu optimum ikan berkisar 20-30oC, tapi ikan betok dapat hidup pada
suhu yang sangat rendah (Hora dan Pillay, 1962 dalam Jacob, 2005). Ikan betok
dapat bertahan hidup pada kondisi kemarau dengan cara mengubur diri di dalam
C. Proses Pembuahan
spermatozoa membuahi sel telur dan disebut juga dengan fertilisasi yang menjadi
yakni akrosom.
6
mikrofil yang merupakan ruang atau tempat bertemu dengan sel telur sangat kecil.
Oleh karena itu, sperma dikeluarkan dalam jumlah yang sangat banyak
memiliki kesempatan yang sama untuk dapat membuahi sel telur (Sutisna dan
Ratno, 1995). Jika telur hasil pemijahan tidak dibuahi oleh sperma maka telur ikan
akan mati dengan tingkat kecerahan yang hilang, berwarna putih keruh dan pucat.
mengejar telur yang dikeluarkan oleh induk betina, fertilizin dikeluarkan oleh telur
pada saat terakhir ketika telur dilepas dan siap untuk dibuahi. Menurut Sukendi
(2003) selain fertilizin terdapat juga antifertilizin yaitu substansi yang dihasilkan
oleh lapisan cortical oleh telur yang dapat menghambat spermophilik dari
fertilizin. Pada proses fertilisasi ini molekul bebas dari fertilizin setelah terjadi
penggabungan antara spermatozoa dengan telur, dengan tujuan agar tidak terjadi
memasuki telur lewat mikropil. Satu spermatozoa cukup untuk membuahi satu
telur ikan dan pembuahan itu sendiri terjadi dengan masuknya kepala seprmatozoa
kedalam sel telur dan ekor spermatozoa tertinggal di luar. Ketika spermatozoa
masuk ke dalam sel telur, sitoplasma dan khorion meregang dengan segera
menutup mikropil untuk menghalangi masuknya spermatozoa yang lain. Jika sel
untuk berhimpun dengan kromosom dari sel telur sebagai fase awal.
berasal dari telur dinamakan Gynamone I dan Gynamone II, sedangkan Gamone
masih berada dalam saluran genital ikan jantan dan androgamone II berperan
untuk membuat permukaan chorion menjadi lunak sebagai lawan dari fungsi
Gynamone II.
D. Perkembangan Embrio
dan pengaruh lingkungan terhadap bentuk dan struktur organisme (Lagre 1972
dalam Ariffansyah 2007). Periode embrio terbagi menjadi 3 fase, yaitu fase
pembelahan sel telur menjadi zygote (cleavage stage), fase embrio dan fase
embrio bebas. Fase pembelahan yaitu interval antara pembelahan sel pertama
sampai munculnya ciri-ciri tertentu yang dapat dikenal antara lain sistem-sistem
organ, terutama lempeng neural. Fase embrio merupakan interval antara dimana
8
embrio dikenal sebagai vertebrata atau bukan, ketiga sistem organ utama mulai
muncul sampai terjadinya penetasan. Pada fase ini embrio masih berbentuk
individu didalam satu spesies (Moyte dan cech, 188; Kendal et al., 1984 dalam
terlepas dari selaput/cangkang telur. Pada fase ini embrio tidak melengkung lagi
bentuknya, tetapi lebih mirip ikan, masih menggunakan kuning telur sebagai
sumber makanannya (atau dari plasenta, bagi ikan vivipar dan ovovivipar),
biasanya masih tetap tinggal di lingkungan yang sama seperti pada fase
sebelumnya. Kisaran fase embrio bebas bervariasi, dapat sangat lama seperti fase
embrio ikan salmon di tempat pemijahan, dapat pula sangat cepat (Sjafei et al.,
1992).
dari stadia pembelahan sel telur (cleavage), morula, blastula, gastrula, dan
Horvart, 1980 dalam Sjafei et al., 1992). Stadia Cleavage merupakan proses
pembelahan zigot secara cepat tanpa pertumbuhan yang menjadi unit-unit sel kecil
yang disebut blastomer (Murtidjo, 2002). Pada stadia ini terjadi pembelahan
holoblastic atau pembelahan keseluruhan sel telur yang terjadi pada spesies yang
memiliki kuning telur dalam jumlah kecil ataupun sedang. Pembelahan mengikuti
pola yang spesifik relatif terhadap kutub animal dan kutub vegetal zigot tersebut
(Safitri et al., 2003). Telur yang telah terbuahi oleh spermatozoa akan segera
9
terjadi proses pembelahan yang dimulai dari dua sel hingga morula. Tipe
pembelahan ini menurut Billard (1964) dan Gilbert (1988) dalam Sukendi (2003),
terjadi sekitar 10 menit setelah telur terbuahi, protoplasma bergerak menuju kutub
animal dan mulai terjadi pembentukan blastodisk. Setelah 30-45 menit kemudian
terbentuk tonjolan seperti mangkuk pada kutub animal. Selanjutnya mulai terjadi
pembelahan dua sel, yang merupakan pembelahan pertama dan terjadi sekitar 1
jam setelah pembuahan. Pada pembelahan ini sel blastomer embrio terbagi atas
dua sel yang sama. Pembelahan selanjutnya adalah pembelahan empat sel, yang
blastomer berubah seperti plat dan kemudian membelah secara bilateral yang
merupakan lanjutan dari pembelahan dua sel. Stadia pembelahan delapan sel
terjadi setelah 2 jam 30 menit setelah pembuahan dan merupakan pembelahan sel
ketiga. Empat sel blastomer berubah menjadi 8 sel blastomer dalam dua deretan
(bagian) dan tiap bagian terdiri atas empat sel. Stadia pembelahan enam belas sel
terjadi setelah 2 jam 45 menit setelah pembuahan, pada pembelahan ini sitoplasma
membelah secara berganda dan hasil pembelahannya berupa enam belas sel
morula, yaitu dimulai dengan stadia morula awal. Stadia ini terjadi 4 jam 30 menit
dan terbentuk tonjolan pada kutub animal. Kemudian dilanjutkan dengan stadia
morula akhir, yaitu 6 jam setelah pembuahan. Sel-sel morula terbagi pada bagian
terkonsentrasi antara kuning telur dan massa sel (Perioblast) (Sukendi, 2003).
blastokoel. Pada akhir stadia blastula, sel-sel blastoderm akan terdiri atas neural,
blastula terjadi setelah 8 jam pembuahan dengan ciri terbentuknya lapisan yang
jelas dan membentuk suatu rongga (blastocoels). Menurut Sukra (2000), blastula
merupakan proses perkembangan morula menjadi blastula, pada stadia ini sel
blastomer pada morula membelah beberapa kali sehingga menjadi semakin kecil
morula rontok, sehingga tempat yang semula padat dengan blastomer berubah
menjadi rongga kosong yang disebut blastosul atau blastocoels. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Lagler (1972) dalam Sukendi (2003), stadia
cincin kecambah (blastoderm) dengan plasma sel yang menjulur ke bagian dalam
berkembang dari satu menjadi dua lapis sel (Effendie, 2002). Stadia grastula
embrio berlapis tiga dengan perut primitif dan disebut pembelahan bakal organ
yang sudah terbentuk pada saat blastula. Memiliki rongga pencernaan rudimenter
(arkenteron) dan tiga lapisan germinal embrionik yaitu ektoderm, endoderm, dan
menjadi suatu organ atau suatu bagian dari organ (Murtidjo, 2002). Menurut
Sukendi (2003), stadia gastrula terjadi 3 jam setelah blastocoels terbentuk, dimana
sel-sel pada bagian marginal yang paling tebal mulai terbantuk lekukan
(invaginate) pada sitoplasma atau kuning telur dan merupakan awal dari stadia
gastrula. Stadia gastrula terdiri dari ektoderm dari kutub animal, endoderm dari
kutub vegetal dan mesoderm dari daerah marginal yang merupakan lapisan
kecambah (germ-ring).
rongga kupffer, olfaktori sac, ginjal, usus, sub-notokhord rod, linea literalis,
jantung, aorta, insang, infundibulum dan sirip dada berasal dari mesoderm. Usus,
rongga kuffer dan subnotokhord rod berasal dari endoderm. Insang, linea literalis
dan lipatan-lipatan sirip berasal dari ektoderm (Murtidjo, 2002). Menurut Safitri et
al. (2003), organ tubuh terbentuk dari tiga lapisan germinal embrio. Menurut
ganglion dan mata. Organ yang berasal dari endodermal adalah bagian dalam
12
pembentukan pigmen mata dan sirip terjadi setelah 38-70 jam pembuahan.
oleh substansi enzim khorionase yang bersifat mereduksi khorion yang terdiri
dari pseudokarotin menjadi lemak yang sifatnya lebih lemah (Sukendi, 2003).
Selain disebabkan oleh pelembutan khorion oleh enzim penetasan juga disebabkan
tekanan oksigen (Blaxter, 1969 dalam Sukendi, 2003). Penetasan telur terjadi jika
embrio telah menjadi lebih panjang daripada lingkaran kuning telur dan telah
terbentuk perut. Selain itu, penetasan juga disebabkan oleh gerakan larva akibat
Setelah telur menetas, embrio memasuki fase larva atau fase embrio yang masih
(Murtidjo, 2002).
yaitu faktor genetis dan faktor lingkungan. Salah satu faktor lingkungan adalah
suhu air, ketika suhu semakin tinggi maka proses perkembangan embrio akan
perbedaan itu juga terjadi diantara tahap dengan tahap embrio berikutnya akibat
faktor lingkungan, salah satunya adalah suhu. Menurut Ariffansyah (2007) suhu
embrio, volume kuning telur, pola-pola meristik dan pembentukan rahang. Namun
proses perkembangan telur ikan akan terhambat bila ditetaskan (dirawat) dalam
diinkubasi pada suhu optimal menghasilkan larva yang berukuran besar, porsi
kuning telur menjadi jaringan lebih tinggi, kemampuan makan dan berenang lebih
mengakibatkan terhambatnya proses pembelahan sel. Hal ini sesuai dengan yang
setiap stadia terjadi lebih lambat dibandingkan dengan media inkubasi suhu tinggi
yaitu pada suhu 29-31oC. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sugama
et al. (2001) dalam Melianawati et al., (2010) fase yang sangat peka dalam
stadia blastula. Menurut Dwajad dan Jompa (2007), kejutan suhu dingin dapat
menurunkan persentase derajat penetasan telur ikan bandeng karena pada suhu
sehingga nutrien dan energi yang dibutuhkan menjadi lebih besar (Fosberg dan
14
Summerfelt, 1992 dalam Budiardiet al., 2005). Suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan larva prematur (lebih cepat menetas) sehingga larva yang dihasilkan
nutrien dan energi akan lebih banyak digunakan untuk pemeliharan, sehingga
Kiron 1994 dalam Budiardi et al., 2005). Menurut Budiardi et al. (2005), embrio
yang di inkubasi pada suhu optimal akan meningkatkan daya tahan larva yang
F. Kualitas Air
ikan betok adalah kualitas air terutama suhu, oksigen terlarut dan pH. Suhu yang
rendah akan menghasilkan waktu penetasan yang lambat dan suhu yang tinggi
perkembangan telur ikan akan terhambat bila ditetaskan (dirawat) dalam media
(2005), embrio yang di inkubasi pada suhu optimal akan meningkatkan daya tahan
Suhu optimal pada penetasan dan pemeliharaan larva ikan manvis adalah 30oC,
dimana telur lebih cepat menetas dengan laju penyerapan kuning telur dan laju
15
hidup tertinggi.
terlarut didalam air. Pada kondisi oksigen sangat rendah, dibawah 2 ppm maka
kehidupan, terutama sitem saraf dan peredaran darah (Farker dan Davis, 1981
kelangsungan hidup larva ikan secara umum Alabster dan Lioyd (1982) dalam
embrio, dimana kebutuhan oksigen optimum untuk setiap ikan berbeda tergantung
oksigen meningkat perlahan saat terjadi pembelahan, dimana pada saat telur
menetas, pemakaian oksigen meningkat 29 kali dari pemakaian oksigen awal saat
terbuahi menyerap 0,052 mm3 O2/telur/jam karena adanya jamur dan terjadi
mempengaruhi kerja enzim Chorionase dan enzim ini akan dapat bekerja secara
penetasan adalah 6,2-7,8. Selain suhu, oksigen terlarut dan pH ada faktor lain
Sukendi (2003) cahaya yang kuat dapat mempercepat penetasan, tetapi cahaya
juga dapat menyebabkan kematian dan pertumbuhan embrio yang jelek serta
dapat mempengaruhi osmoregulasi pada proses penetasan, telur ikan air tawar bila
pengembungan karena cairan diluar telur yang hyperosmotik akan masuk kedalam
telur yang hypoosmotik sehingga terjadi pengembangan dan akhirnya akan pecah.
17
penetasan telur yang terdiri dari lampu (sumber cahaya), pemanas air (heater),
pipet tetes, spatula, dan kamera digital. Sedangkan untuk pengukuran kualitas air
mengukur suhu, dan pH meter untuk mengukur pH. Bahan yang digunakan yaitu
C. Metodologi Penelitian
1. Rancangan Percobaan
menggunakan lima taraf perlakuan dan tiga ulangan dengan kode perlakuan suhu
17
18
A1 = Suhu 26 ± 1oC
A2 = Suhu 28 ± 1oC
A3 = Suhu 30 ± 1oC
A4 = Suhu 32 ± 1oC
A5 = Suhu 34 ± 1oC
D. Cara Kerja
1. Persiapan Media
satu buah yang telah diisi air tawar dan diberi aerasi. Akuarium dengan ukuran
25x25x25 cm3 diberi pemanas air (heater) yang telah diatur suhunya sesuai
2. Pemeliharaan Induk
masyarakat yang tinggal di Indralaya Ogan Ilir dan didomestikasi pada kolam
pemeliharaan. Induk betok yang dipilih memiliki tubuh yang sehat, tidak cacat
dengan pergerakan tubuh lincah dan telah matang gonad yang terlihat dari bentuk
morfologinya, yaitu induk betina memiliki warna badan agak gelap, lubang
stripping keluar telur. Induk jantan yang sudah matang gonad memiliki bentuk
19
tubuh ramping memanjang, warna badan sedikit cerah, bagian bawah perut agak
3. Penyuntikan Ovaprim
penyuntikan ke dua sebanyak 2/3 dosis dengan selang waktu 6 jam setelah
penyuntikan kedua induk betina. Setelah dilakukan penyuntikan antara induk ikan
jantan dan induk ikan betina maka induk ikan tersebut dimasukkan ke dalam
4. Pemijahan Induk
5. Pengambilan Telur
6. Inkubasi Telur
Pada saat penempatan telur, media inkubasi telah berada di kondisi suhu
yang sesuai perlakuan dan telur berada pada stadia formasi blastodik. Pada
sebanyak 100 butir di dalam wadah saringan dan 100 butir di luar saringan.
sampel telur yang berada didalam wadah saringan sebanyak 5% secara acak
formasi blastodisk sampai dengan telur menetas dan pada setiap stadia dilakukan
juga pengukuran diameter telur ikan betok pada setiap perlakuan. Pengamatan
sampel telur di foto dengan interval waktu pemotretan antar perlakuan hanya
dalam hitungan detik dan setelah selasai dipotret sampel telur di letakkan kembali
pada setiap perlakuan untuk menjaga sampel telur tetap berada pada suhu
inkubasi. Interval waktu pengamatan pada setiap stadia dilakukan secara berulang
embrio dan parameter penunjang dalam penelitian ini meliputi waktu penetasan,
1. Perkembangan Embrio
:
a. Formasi blastodisk b. 2 Sel c. 4 Sel d. 8 Sel e Morula f. Blastula
0,5 mm
2. Waktu Penetasan
Waktu penetasan telur (t) diketahui dengan cara mencatat waktu terjadi
pembuahan (to) dan mencatat waktu telur menetas seluruhnya dari 100 butir telur
3. Persentase Penetasan
menjadi larva dengan menggunakan rumus Slamet et al, (1989) sebagai berikut :
23
4. Abnormalitas Larva
5. Kualitas Air
Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini yaitu pH dan
F. Pengambilan Data
Data yang diambil dari penelitian ini adalah data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh dari hasil penelitian meliputi perkembangan embrio, waktu
Sedangkan data sekunder didapatkan dari hasil penelitian terdahulu dan studi
G. Analisis Data
A. Perkembangan Embrio
pengamatan pada telur ikan betok diperoleh tahapan waktu stadia perkembangan
embrio ikan betok pada suhu inkubasi berbeda dapat dilihat pada Tabel 2 (data
24
25
Lanjutan tabel 2.
Organogenesis
- 4 Somit 865 830 800 725 630
- 6 Somit 925 885 850 775 670
- 9 Somit 985 940 900 825 710
- 12 Somit 1045 995 950 875 750
- 16 Somit 1105 1050 1000 915 790
- 18-19 Somit 1165 1105 1050 955 830
Telur Menetas 1225 1160 1090 995 870
Formasi blastodisk merupakan proses terbentuknya satu sel blastomer pada kutub
terbentuk, satu sel yang ada mengalami pembelahan yang pertama dengan
membaginya menjadi dua buah sel dengan ukuran yang sama besar. Pembelahan
yang kedua terjadi setelah dua sel yang terbentuk dipotong oleh garis horizontal
sehingga membelah dua sel yang ada menjadi dua bagian yang membentuk empat
Pembelahan ketiga terjadi ketika empat sel yang ada membelah menjadi
dua bagian setiap dua sel yang ada sehingga membentuk delapan sel. Pembelahan
terus terjadi hingga pembelahan keempat, kelima, keenam dan ketujuh, dimana
setiap baris blastomer terus membelah menjadi dua bagian yang sama besar. Pada
stadia pembelahan satu hingga pembelahan ketujuh, sel yang terbentuk semakin
Stadia morula terjadi ketika pembelahan sel terus terjadi sehingga jumlah
sel akan bertambah dalam jumlah banyak dengan ukuran yang lebih kecil. Sel-sel
ini akhirnya akan membentuk tonjolan dan mengalami penebalan pada kutub
26
anima. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sukra (2000), stadia morula
merupakan stadia dimana jumlah blastomer sangat padat hingga blastomer yang
ada sangat kecil dan sulit untuk dilihat atau dihitung jumlahnya.
Stadia blastula dimulai dengan terbentuk dengan jelasnya dua lapisan yang
membentuk sebuah rongga. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Sukra
blastomer yang ada dibawah morula rontok, sehingga tempat yang semula padat
dengan blastomer berubah menjadi rongga kosong yang disebut blastosul atau
blastocoels.
Pada stadia gastrula, lapisan sel yang terdapat pada kutub anima bergerak
melapisi kuning telur hingga menuju kutub vegetative sehingga pada stadia ini
terdapat dua lapisan yang menutupi permukaan kuning telur. Hal ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Sukra (2000), ketika stadia gastrula berlangsung,
lapisan sel menutupi seluruh permukaan kuning telur mulai dari 1/4 hingga ¾,
kecuali bagian yang disebut blastopore dan bagian tepi blastoderm mulai menebal
membentuk sebuah lingkaran seperti cincin kecambah (germ ring) yang akan
memanjang dan menebal pada salah satu sisinya hingga mengelilingi sepanjang
permukaan kuning telur yang pada akhirnya membentuk suatu perisai embrio.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012), bahwa stadia neurula
27
ditandai dengan terbentuknya formasi awal bagian kepala embrio dari sel
neurocoele dan akan membentuk susunan saraf otak, Kuffers vesicles pada kutub
vegetatif akan mulai membentuk formasi awal bagian ekor. Menurut Sukra
dorsal tubuh embrio. Pembentukan tulang belakang tubuh embrio ditandai dengan
munculnya 4 buah segmen pada median tubuh embrio yang terdiri dari dua baris
yang setiap barisnya terdapat empat bagian, dan segmen tubuh embrio semakin
bertambah dengan bertambah panjangnya tubuh embrio hingga menetas. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012) bahwa somit merupakan ruas
atau segmen yang mulai muncul disepanjang tubuh embrio dengan warna yang
tidak begitu jelas, somit mulanya berjumlah 4, 6, 9, 12 hingga 19 buah dan akan
khorion. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan Effendie (2002), menetas
embrio keluar dari cangkangnya. Pada saat akan terjadinya penetasan, embrio
hingga lapisan khorion menjadi lembek hingga pecah. Hal ini sesuai dengan yang
Hasil pengamatan pada larva betok yang baru menetas diperoleh bahwa
tubuh larva ikan betok yang baru menetas memiliki pigmen mata dan bercak-
bercak coklat hitam yang transparan disetiap bagian tubuhnya dengan tubuh yang
lurus dan berada dipermukaan air. Larva betok yang baru menetas sudah memiliki
sirip yang masih belum sempurna bentuknya dengan ukuran rahang mulut yang
besar. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zalina et al. (2012), larva betok yang
baru menetas memiliki pigmen mata yang berwarna hitam dan memiliki bercak
9. 128 Sel 10. Morula awal 11. Morula Akhir 12. Blastula Awal
13. Blastula 14. Blastula akhir 15. Gastrula awal 16. Gastrula
pertengahan Pertengahan
17. Gastrula akhir 18. Neurula 19. Neurula akhir 20. 4 somit
awal
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nugraha et al. (2012) suhu mempengaruhi
cepat atau lambatnya waktu yang dibutuhkan dalam perkembangan telur hingga
menjadi larva.
Dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada suhu 26, 28 dan 30ºC tidak
stadia blastula barakhir, ini ditandai dengan tidak adanya perbedaan waktu pada
perlakuan suhu tersebut serta tidak terganggunya proses stadia formasi blastodisk
hingga blastula akhir. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Nugraha
(2012) dalam penelitiannya bahwa tidak terjadi perbedaan waktu pada suhu
inkubasi 24, 26, 28 dan 30ºC di saat stadia pembelahan hingga stadia blastula
akhir pada perkembangan embrio ikan black ghost (Apteronotus albifrons). Pada
perlakuan suhu 26, 28, dan 30ºC proses pembelahan tidak terganggu sehingga
telur-telur dapat melewati fase kritisnya dan menetas dengan bentuk tubuh yang
normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha et al.
(2012) untuk telur-telur ikan black ghost yang dapat melewati fase kritis pada
stadia pembelahan hingga stadia blastula akhir ketika diinkubasi pada suhu 24, 26,
28, dan 30ºC, selanjutnya dapat terus berkembang dengan baik hingga mencapai
Pada suhu perlakuan 32 dan 34ºC, waktu pembelahan sel hingga stadia
blastula terjadi lebih cepat sehingga proses pembelahan sel menjadi terganggu.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh Sugama (2001) dalam Melianawati et
31
al. (2010), fase yang sangat peka dalam perkembangan embrio adalah sebelum
Hasil pengamatan pada suhu 32 dan 34ºC didapatkan telur yang mati pada
stadia blastula dan diperoleh larva yang abnormal setelah menetas. Diduga suhu
tersebut dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel dalam tubuh embrio ketika
embrio akan mati bahkan mengalami kecacatan jika tidak dapat bertahan pada
suhu inkubasi tersebut dan bagi embrio yang bisa bertahan akan menetas dengan
tubuh yang normal. Dugaan ini didukung oleh pendapat Gervai et al. (1980)
dalam Mukti (2005) yang menyatakan bahwa kejutan suhu dan tekanan dapat
pembelahan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Zug et al. (2001),
suhu tinggi juga dapat menyebabkan kerusakan pada sel embrio dan mengganggu
energi yang ada digunakan untuk proses metabolisme yang meningkat sehingga
kuning telur pada embrio akan habis sebelum semua proses perkembangan embrio
Pada stadia awal gastrula hingga stadia gastrula berakhir, terjadi perbedaan
waktu pada setiap perlakuan, dimana suhu 26ºC terjadi lebih lama dari perlakuan
suhu inkubasi lainnya. Hal ini terlihat bahwa pada perlakuan suhu 26ºC baru
terjadi stadia gastrula pada menit ke 520 dan perlakuan suhu inkubasi 34ºC pada
menit ke 550 telah memasuki stadia neurula. Hal ini diduga karena suhu 26ºC
bergerak lambat ketika melingkupi permukaan kuning telur. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nugraha (2012) bahwa terjadi perbedaan
waktu stadia gastrula pada suhu inkubasi 24, 26, 28 dan 30oC, dimana pada suhu
24oC proses stadia gastrula terjadi lebih lama dibanding perlakuan suhu lainnya
dan ini disebabkan adanya kontraksi lambat pada lapisan kuning telur yang
ketebalannya sebagai hasil dari tekanan mekanik dan penutupan lambat dari
kuning telur.
telah menghasilkan waktu yang dibutuhkan untuk berjalannya proses ini berbeda
pula. Hal ini terlihat pada suhu inkubasi 24oC yang membutuhkan waktu lama
pada stadia neurula hingga stadia organogenesis dibanding suhu inkubasi lainnya.
Hal ini diduga karena suhu tersebut membuat embrio lebih lama untuk
membentuk jaringan dan bakal organ secara sempurna. Namun pada suhu
inkubasi 32 dan 34oC, stadia ini membutuhkan waktu yang lebih singkat
dibanding suhu inkubasi lainnya dan hal ini menyebabkan organ yang terbentuk
tidak sempurna serta menghasilkan larva prematur bahkan cacat. Hal ini sesuai
embrio ikan black ghost yang dilakukan oleh Nugraha (2012), dimana terjadi
perbedaan waktu pada semua suhu inkubasi (24, 26, 28 dan 30oC) pada stadia
motorik pada bagian anterior ikan, pada tahap ini sering terjadi pencampuran
33
embrio yang berbeda pula. Hal ini diduga karena suhu mempengaruhi sistem
metabolisme didalam tubuh embrio sehingga pada suhu inkubasi tinggi (suhu
inkubasi 32 dan 34oC) akan membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan
suhu yang lebih rendah (suhu inkubasi 26, 28 dan 30oC), dimana ini ditandai
dengan terjadinya penetasan pada menit ke 870 pada perlakuan suhu 34oC dan
pada menit ke 865 baru terjadi tahap pembentukan 4 somit pada perlakuan suhu
inkubasi 26oC. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nugraha (2012), dimana
kemampuan embrio yang berbeda sehingga bagi embrio yang tidak mampu
Waktu penetasan yang cepat pada telur yang diinkubasi pada suhu 32 dan
34ºC disebabkan suhu tersebut termasuk tinggi dari perlakuan suhu inkubasi
lainnya. Telur yang ditetaskan di daerah yang bersuhu tinggi, waktu penetasannya
lebih cepat dibanding telur yang ditetaskan di daerah bersuhu rendah, karena telur
yang diinkubasi pada suhu tinggi akan menghasilkan larva yang lebih cepat
menetas (Budiardi et al., 2005). Hal ini sesuai dengan yang dikemukan oleh
Nugraha et al. (2012) suhu inkubasi 24oC merupakan suhu rendah dibanding suhu
34
inkubasi 26, 28 dan 30oC sehingga suhu tersebut membuat enzim (chorionase)
tidak bekerja dengan baik pada kulit telur dan membuat embrio akan lama dalam
melarutkan kulit telur dan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Masrizal et al. (2001)
dalam Nugraha et al. (2012) kelenjar akan bekerja untuk mensekresi enzim
chorionase yang akan mereduksi lapisan chorion telur sehingga akan menjadi
lunak/lembek, serta lapisan chorion juga sangat peka terhadap kondisi lingkungan
terutama suhu. Selain itu suhu terlalu tinggi dapat mengganggu aktivitas enzim
keabnormalitasan (cacat) pada larva ikan yang dihasilkan (Mukti, 2005). Biedwell
et al. (1985) dalam Mukti (2005) mengemukakan, larva ikan yang cacat dapat
disebabkan oleh lapisan terluar dari telur (chorion) yang mengalami pengerasan,
sehingga embrio akan sulit untuk keluar. Setelah chorion dapat dipecahkan, maka
Semakin tinggi suhu seperti pada perlakuan suhu 34ºC yang lebih tinggi
terjadi lebih cepat, dimana pada suhu tersebut proses metabolisme menjadi lebih
metabolisme berjalan lebih cepat sehingga perkembangan embrio juga lebih cepat
yang berakibat lanjut pada pergerakan embrio dalam cangkang yang lebih intensif
sehingga mempercepat proses penetasan, namun suhu yang terlalu tinggi atau
terlalu rendah dapat menghambat proses penetasan, bahkan suhu yang terlalu
35
persentase abnormalitas larva dan panjang total tubuh larva disajikan secara
berbeda membuat lama waktu penetasan yang dihasilkan berbeda pula, dimana
pada perlakuan suhu 26ºC perkembangan embrio membutuhkan waktu yang lebih
membutuhkan waktu yang lebih singkat untuk menetas dan persentase penetasan
larva yang tidak dapat mentolerir suhu tersebut serta bagi larva yang bisa bertahan
perlakuan suhu 32ºC dan 34ºC karena telur-telur tersebut tidak dapat berkembang
secara normal. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Elfeta (2008) telur ikan
baung yang diinkubasi pada suhu 32ºC tidak dapat berkembang secara normal
36
0%.
Hasil pengamatan diketahui bahwa pada perlakuan 32ºC dan 34ºC terdapat
diasumsikan bahwa telur-telur tersebut tidak mampu menahan suhu inkubasi yang
diberikan sehingga telur tersebut akan rusak baik sebelum dan sesudah menetas
ataupun bagi telur yang mampu menahan tekanan suhu tinggi menyebabkan
Telur-telur yang tersisa pada perlakuan suhu 32 dan 34ºC adalah telur berkualitas
penetasan pada perlakuan suhu inkubasi 32 atau 34ºC, namun suhu 26ºC memiliki
Perlakuan suhu 26ºC berada dibawah suhu optimal untuk penetasan telur ikan
betok. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ariffansyah (2007), telur
ikan gurame memiliki persentase penetasan 87,6% pada suhu inkubasi 26-28ºC
memiliki persentase penetasan 80,66% karena telur masih bisa mentoleransi suhu
dibawah suhu optimal untuk penetasan telur ikan gurami. Menurut Fosberg dan
yang lebih besar sehingga energi untuk pertumbuhan dan perkembangan sedikit.
B. Kualitas Air
dalam batas normal penetasan telur. Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Kisaran kualitas air selama penelitian
untuk penetasan dan pemeliharaan larva ikan betok. Nilai pH pada penelitian ini
berkisar antara 6,72-7,74, dimana kisaran ini masih dalam batas toleransi untuk
penetasan dan pemeliharaan larva ikan betok. Derajat keasaman (pH) akan
dan enzim ini akan dapat bekerja secara optimum pada pH antara 7,1-9,6
embrio dan pemeliharaan larva. Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut
tidak boleh kurang dari 2 mg/l karena dapat mengakibatkan kematian pada ikan
38
dan kadar oksigen terlarut yang baik untuk kepentingan perikanan sebaiknya tidak
kurang dari 5 mg/l dan kandungan oksigen yang optimum bagi penetasan dan
pemeliharaan larva yaitu 6-8 mg/l. Pada kondisi oksigen sangat rendah, dibawah 2
ppm maka kebanyakan ikan berhenti makan, aktivitas bergerak menurun dan
(Farker dan Davis, 1981 dalam Shafrudin, 1997). Data kualitas air selama
A. Kesimpulan
maka dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu maka semakin cepat pula
perkembangan embrio ikan betok (Anabas testudineus), ini terlihat pada perlakuan
lama dengan persentase penetasan relatif lebih besar dan dapat menekan
B. Saran
penetasannya.
39
40
DAFTAR PUSTAKA
Arsianingtyas, H., A. T. Mukti dan S. Subekti. 2009. Pengaruh kejutan suhu panas
dan lama waktu setelah pembuahan terhadap daya tetas dan abnormalitas
larva ikan nila (Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanan dan Kelautan
Universitas Airlangga, Surabaya. pp 1-15.
Elfeta, Y. 2008. Daya tetas telur ikan baung (Hemibagrus nemurus Blkr.) pada
suhu inkubasi yang berbeda. Skripsi. Universitas Sriwijaya. Indralaya.
(tidak dipublikasikan)
Marlida, R. 2008. Efek cekaman suhu terhadap penetasan telur dan keragaan larva
ikan papuyu (Anabas testudineus Bloch). Ziraa’ah. 22 (2): 96-106.
40
41
Safitri, A., L. Simarmata dan H. W. Hardani. 2003. Biologi Jilid 2 (Lux) Edisi
5.Erlangga. Jakarta.
Sutisna, H.D. dan Ratno, S. 1995. Pembenihan Ikan Air Tawar. Kanasius.
Yogyakarta.
LAMPIRAN
44
Perlakuan A1
Formasi Blastodik 59 61 60 60
2 Sel 89 91 90 90
Perlakuan Ulangan Waktu Pembuahan Waktu Penetasan (WIB) Waktu Penetasan (menit) Rentang waktu
(WIB) 10% menetas menetas 10% menetas menetas penetasan
seluruh seluruh (menit)
A1 1 02:00 20:05 22:20 1085 1220 135
2 02:00 20:08 22:30 1088 1230 142
3 02:00 20:09 22:25 1089 1225 136
Rata-rata 1087,33 1225 137,67
A2 1 02:00 19:45 21:20 1065 1160 95
2 02:00 19:40 21:27 1060 1167 107
3 02:00 19:39 21:13 1059 1153 94
Rata-rata 1061,33 1160 98,67
A3 1 02:00 18:45 20:04 1005 1084 79
2 02:00 19:00 20:10 1020 1090 70
3 02:00 19:02 20:16 1022 1096 74
Rata-rata 1015,67 1090 74,33
A4 1 02:00 17:40 18:32 940 992 52
2 02:00 17:46 18:38 946 998 52
3 02:00 17:45 18:35 945 995 50
Rata-rata 943,67 995 51,33
A5 1 02:00 16:05 16:25 845 865 20
2 02:00 16:10 16:35 850 875 25
3 02:00 16:08 16:30 848 870 22
Rata-rata 847,67 870 22,33
51
Larva Abnormal