Professional Documents
Culture Documents
Between Religiosity and Subjective Well-Being Relations Through The Adjustment at The End of Ability Middle Adulthood
Between Religiosity and Subjective Well-Being Relations Through The Adjustment at The End of Ability Middle Adulthood
Between Religiosity and Subjective Well-Being Relations Through The Adjustment at The End of Ability Middle Adulthood
Syaiful Hida, M.Psi., Dr. Suroso, Msi, dan Dr. Abdul Muhid, M.Psi
ABSTRACT
A. Pendahuluan
Usia dewasa madya merupakan suatu fase evaluasi dan masa jenuh terutama
pada kelompok usia 50 tahun hingga 60 tahun (dalam Papalia & Old’s, 2001; dan
Santrock, 2007). Pada fase ini menurut Hurlock (2003) seseorang mengalami
empty nest terutama apabila anak-anak tidak lagi tinggal dengan orangtua, dan
menghadapi masa pensiun. Pandangan negatif tentang pensiun menyebabkan
individu cenderung menolak datangnya masa pensiun. Penolakan tersebut ditandai
dengan adanya perasaan cemas. Pada saat menghadapi masa pensiun ada gejala
fisiologis yang sering muncul diantaranya merasa mudah lelah ketika bekerja,
jantung berdebar-debar, kepala pusing, kadang-kadang mengalami gangguan
tidur. Sedangkan gejala psikologisnya yaitu rendah diri, tidak dapat memusatkan
perhatian, timbulnya perasaan kecewa sehingga dapat mempengaruhi interaksi
dengan orang lain.
Hasil penelitian Ekoja and Tor-Anyiin, (2004), Knoll (2011), dan Dada and
Idowu (2007), menyebutkan bahwa pada menghadapi persiapan pensiun di usia
50 hingga 60 tahun seseorang rentang dengan kecemasan dan mengalami berbagai
masalah psikologis.Penelitian Knoll (2011) dan Anthonia & Asuquo (2013),
menyimpulkan bahwa kondisi ini banyak disebabkan oleh perasaan negatif dari
peristiwa yang dialami, beban yang belum dituntaskan, dan ketidakpuasan dalam
hidup. Möngks, Knoer, dan Haditono (2005), dan Hurlock (2005) menjelaskan
bahwa ketika memasuki dewasa madya seseorang dituntut untuk menerima dan
menyesuaikan dengan perubahan fisik yang biasa terjadi, perubahan minat yang
berorientasi kedewasaan dan tempat kegiatan, dan penyesuaian diri, pemantapan
dan pemeliharaan standar hidup, serta kehidupan keluarga berkaitan dengan
pasangan, persiapan penyesuaian menjadi lansia agar lebih bahagia. Menurut
Fromm (2002), pada fase usia tersebut seseorang akan melakukan life review pada
masa pencapaian puncak prestasi sebagai pelengkap eksistensinya. Fromm,
Suzuki dan Martino (2004) dan Gilligan (2001) menyebutkan bahwa proses
3
evaluasi diri ketika akan memasuki masa tua merupakan tanda-tanda bahwa
seseorang akan mencapai kebahagiaan atau tidak dalam akhir hidupnya.Erikson
(1992), menyebut keberhasilan menyelesikan tugas life review merupakan titik
pencapaian fase yang integrated personality, yang kondisi ini oleh Diener, et al
(2003), Diener (dalam Joshi, Singh, dan Bindu, 2009) sebagai pencapaian
kebahagiaan atau subjective well being.
Erikson (1992), Erikson (dalam Hurlock, 2005), Santrock (2002),
menyatakan bahwa kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati tahap
psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas
perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan
menyelesaikan krisis. Erikson (1992) melihat bahwa krisis tersebut sudah ada
sejak lahir, tetapi pada saat-saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi
dominan. Bagi Erikson (1992), Fromm (2000), dan May (1995) krisis bukanlah
suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan vulnerabality (kerentanan) dan
potensi, bahwa setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif dan positif.
Pemecahan yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa, sedangkan
pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk dan
semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat
perkembangannya dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Seseorang yang
merasakan hidup mereka bermakna, akan mempunyai harga diri yang lebih tinggi
dan jarang mengalami depresi dan kecemasan (dalam Steger, 2006). Integritas dan
pencapaian tujuan hidup inilah yang merupakan kondisi akhir yang harus dilalui
melalui life review yang memunculkan kondisi yang disebut subjective well being
(Diener, et al., 2003).
Menurut Winkelmann (2006), Wrosch, Amir, and Miller (2011), serta
Scherer and Frisina(2008), kebahagiaan atau subjecive well beingdapat dicapai
apabila seseorang memiliki harga diri (self esteem), sense of perceived control,
kepribadian, optimisme, pemahaman tentang makna dan tujuan hidup, neurotisme
yang rendah, dan pengaruh masyarakat dan budaya, dan proses kognitif. Amir
and Miller (2011), menegaskan bahwa pemahaman tentang makna dan tujuan
hidup, dan neurotisme terkait dengan kehidupan keberagamaan seseorang. Hasil
4
penelitian Oswald (2002); Barkan and Greenwood (2003), dan Qiang (2005),
menyimpulkan bahwa pada akhir dewasa madya seseorang memiliki
kecenderungan persoalan yang khas, seperti pekerjaan yang muncul sangat
mungkin telah terselesaikan oleh mereka dalam mencapai pensiun, tetapi dalam
situasi-situasi yang menuntut usia dewasa madya mencapai status memadai dalam
jabatan, banyak diantara dewasa madya (khususnya pria) merasa tidak puas dalam
pekerjaanya, masalah berkaitan dengan pola keluarga ada beberapa faktor yang
menyulitkan seseorang dewasa madya dalam mengadakan penyesuaian diri.
Kondisi tersebut menurut Erikson (1992), dan Carr (2004) dikenali sebagai
kondisi despair, atau adanya hambatan dalam pencapaian makna hidup yang
integrated, menurut Fromm (2002), May (1999), dan McCullough and
Willoughby (2009), dipandang sebagi akibat perilaku hedonis, pencapian
aktualisasi yang berorientasi ke luar diri sehingga mempengaruhi pencapaian
kebermaknaan hidup (quality in life review), kepuasan (life satisfaction) dan
kebahagiaan (subjective well being). Untuk itulah agama memiliki peranan yang
besar, menjadi pemandu seseorang agar mencapai suatu kebahagiaan
(Mangunwijaya, 1991), serta kemampuan penyesuaian diri yang baik (Semiun,
2003).
Beberapa penelitian terdahulu dari yang dilakukan Diener and Chan (2010);
Joshi (2010); Joshi, Singh and Bindu (2009); Scherer, and Frisina (2008);
Kashdan (2004); Hoorn (2007); dan Kahneman and Krueger (2006), menjelaskan
beberapa faktor penting dalam pencapaian subjective well being, salah satunya
adalah adjustment dalam konsep kesehatan mental (mental health). Schneiders
(dalam Semiun, 2003) menjelaskan bahwa adjustment merupakan dasar dari
pembentukan kesehatan mental. Di samping faktor adjustment, hasil penelitian
Markides (1983); McCullough and Willoughby (2009); dan Heaven & Ciarrochi
(2007), memaparkan faktor religiusitas berkaitan kepuasan hidup yang menjadi
bagian penting dan memberikan sumbangan terhadap pencapaian subjective well
being. Penelitianlainnya, yang dilakukan Colón-Bacó (2010), Chang (2009), dan
Wrosch, Amir, and Miller (2011), agama memiliki peranan yang besar untuk
menuntun seseorang agar mampu menyesuaikan dirinya, dan menurut Barkan, and
5
B. Kajian Pustaka
Diener, et al, (1997), Pinquart & Sorenson (2000), dan Hoorn (2007),
menjelaskan tentang beberapa model teori subjective well being dalam pandangan
kognitif, yang dikenal dengan model cognitive theories of well-being. Gagasan
bahwa bagaimana seorang individu melihat, mempersepsikan dan memikirkan
berbagai hal tentang dunia telah menentukan tingkat SWB seseorang. Context
theories of well-being, dikemukakan oleh Winkelmann (2006), menyatakan
bahwa SWB lahir disebabkan atas timbulnya rasa kepuasan atas kebutuhan
kebutuhan universal manusia, sebaliknya context theories menurut Qiang (2005),
menekankan bahwa faktor yang mempengaruhi SWB sangat bervariasi tergantung
waktu dan karakteristik kejadian hidup yang dialami. Context theories yang
dikemukakan Diener, Suh & Oishi, (1997) juga menekankan bahwa baik
buruknya label suatu pengamat hidup didasarkan pemikiran atas keadaan hidup
tersebut. Beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi SWB antara lain cita-cita
individu, situasi alternatif imajinatif, tujuan hidup dan sebagainya. Bottom Up dan
Top Down Theory, menurut Compton (2005) dapat dijelaskan bahwa kepuasan
dalam hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan menggunakan dua
6
pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory. Bottom Up
Models, menurut konsep Campbell & Rogers (dalam Rogers, 1999), disebutkan
bahwa berbagai kondisi kehidupan yang dijalani sehari - hari dievaluasi secara
subyektif oleh individu. Evaluasi subjektif tersebut menghasilkan banyak efek.
Efek-efek inilah yang secara langsung mengkomposisi SWB. Top-down Models,
menurut Diener (1984), terdapat kecenderungan global (yang dihasilkan dari sifat-
sifat kepribadian yang stabil) menjalani kehidupan dalam perilaku yang positif
maupun perilaku yang negatif. Kecenderungan global inilah yang kemudian
secara konsisten mempengaruhi interpretasi pengalaman atau kejadian hidup
sehari-hari. Teori dynamic equilibrum models, dikemukakan Andrew & Robinson
(1991), bahwa setiap individu memiliki tingkat ekuilibrum (keseimbangan) SWB
yang normal. Meskipun tingkat SWB mengalami perubahan-perubahan ketika
mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan (baik ataupun buruk) tingkat SWB yang
telah terdeviasi dari pola normalnya akan dikembalikan ke tingkat normal SWB
individu oleh berbagai karakteristik kepribadian.
Menurut Ryff (dalam Diener dan Chan, 2010), istilah kesejahteraan atau
kebahagiaan (subjective well being) merupakan istilah yang kurang populer,
terutama jika dibandingkan dengan kesejahteraan psikologis (psychological well
being). Ryff (dalam Joshi, 2010) membangun konsep kesejahteraan psikologis
dengan menganalisis teori-teori kesehatan mental yang pernah ada sebelumnya,
termasuk subjective well-being (kebahagiaan), yang didefinisikan dalam kerangka
pengalaman internal individu, tidak terkait oleh referensi kerangka eksternal, atau
dari perspektif individu, berdasarkan kerangka berpikir seseorang. Schwartz &
Strack (dalam Diener, Oishi &Lucas, 2003), menjelaskan bahwa Subjective Well-
being adalah suatu keadaan seorang individu mempersepsi dan mengevaluasi
segala hal yang terjadi didalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif maupun
evaluasi afektif (dalam (Diener.et.al, 1997; dan Diener, 2000). Snyder dan Lopez
(2005) juga menjelaskan bahwa kebahagiaan (happiness) atau subjective well-
being (subjective well-being) merupakan suatu keadaan yang di dalamnya terdapat
fungsi kognitif dan afektif. Diener (dalam Sousa dan Lyubomirsky, 2001)
7
memiliki pendapat yang maknanya kurang lebih sama, bahwa subjective well-
being dan happiness terdiri oleh dua komponen yaitu afektif dan kognitif.
Pengukuran SWB mengacu pada konsep Diener, Suh & Oishi (1997),
Kahneman dan Krueger (2006), menyatakan bahwa subjective Well-Being terdiri
atas tiga buah komponen umum. Ketiga komponen tersebut merupakan faktor
global dari variabel-variabel yang saling berinterelasi, yaitu: a) afek positif
(pleasant affect), b) afek negatif (unpleasant affect), dan c) kepuasan Hidup (life
satisfaction).
Beberapa faktor yang mempengaruhi SWB menurut Diener et al, (1997);
Kashdan (2004); dan Kahneman dan Krueger (2006); adalah; a) temperamen.
Temperamen memiliki pengaruh yang kuat terhadap SWB.Sitat-sifat kepribadian
khusus merupakan prediktor tingkat SWB tertentu (Mc.Crace & Costa, 1988); b)
faktor biososial atau demografik. Beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin,
status pernikahan, status pekerjaan, pendidikan, aktifitas sosial; c) faktor
psikososial, adanya SWB dalam jangka waktu yang relatif pendek (short term)
aktifitas sosial; dan d) faktor budaya. Konstruksi budaya tempat tinggal individu
berpengaruh cukup signifikan dalain membentuk pola pikir (mind set). Selain
faktor tersebut, Hoorn (2007) menjelaskan bahwa pada umumnya terdapat enam
faktor yang dominan mempengaruhi subjective well-being dalam diri seseorang,
yaitu: kepribadian (Feist dan Feist, 2008), situasi, jenis kelamin dan usia,
lingkungan dan faktor ekonomi.
2. Penyesuaian Diri (Adjustment)
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment
atau personal adjustment. Schneiders (dalam Hurlock, 2005) berpendapat bahwa
penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri
sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas
(conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery).Desmita
(2009), melalui pengertian penyesuaian diri sebagai usaha konformitas,
menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus
selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baiksecara moral,
sosial, maupun emosional.Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; Schmidt
8
dan Welsh, 2010; dan Wrosch dan Miller , 2011) menjelaskan penyesuaian diri
adalah proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha
individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya,
ketegangan-ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan
antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan
di tempat tinggalnya.
Schneiders (1964), Schneiders (dalam Semiun, 2003; dan Wrosch, Amir,
dan Miller, 2011) menjelaskan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan untuk
penyesuaian diri, yaitu: a) Self knowledge-self insight, yaitu usaha mengatasi
konflik dan frustrasi, dan berusaha secara efektif mengatasi masalah dalam
berbagai situasi dengan memahami kemampuan dan keterbatasan diri sendiri; b)
Self Objectivity-self aceptance. Self Objectivity, yakni kemampuan untuk
berperilaku dan berpikir yang didasarkan atas pengetahuan obyektif dan self
acpetance didasarkan atas pengetahuan yang objektif atau menerima diri secara
positif serta dapat menghargai diri sendiri secara lebih positif; c) Self control-self
development adalah kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls,
pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi ketegangan
dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan
yang matang; dan e) Good interpersonal Relationship, yaitu kemampuan untuk
menunjukkan hubungan interpersonal yang baik dengan kasih sayang, altruisme,
ramah, menghargai hak, pendapat dan perbedaan dengan orang lain yang pada
dasarnya berbeda dengan dirinya sendiri.
3. Religiusitas
C. Hipotesis
Hipotesis Minor
a. Ada hubungan langsung reigiusitas dengan subjective well being pada usia
dewasa madya.
b. Ada hubungan langsung kemampuan penyesuaian diri dengan subjective well
being pada dewasa madya.
D. Metode Penelitian
1. Subjek Penelitian
Subjek adalah kelompok akhir dewasa madya, yang berusia 50-60 tahun dan
memiliki latar belakang pendidikan tinggi.Jumlah sampel dalam penelitian ini
sebanyak 68 subjek dengan teknik pemilihan sampel menggunakan quota
incidental sampling.
Tabel 1
Usia dan jenis kelamin Subjek
Hasil uji reliabilitas pada skala subjective well being diperoleh nilai α =
0,874. Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur
dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, dengan
demikian skala penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini
tergolong handal.
b. Penyesuaian diri
Hasil uji diskriminasi butir dapat diketahu sebagai berikut.
Tabel 3
Hasil uji skala adjustment
Butir diterima Indeks
Aspek Total
Favorable Unfavorable Diskriminasi
Self knowledge-self
1,2,13,14 18 0,486 – 0,532 5
insight
Self-Objectivity-self
8,9,19,20, 3,4,15 0,259 – 0,687 7
acceptance
Self control – self
5,16, 10,11,21,22 0,295 – 0,771 6
development
Good interpersonal
12,23,24 6,7,17 0,270 – 0,519 6
Relationship
Jumlah 13 11 24
Tabel 6
Pengujian hipotesis minor
T p
Penyesuaian diri (X2) 3,881 0,001
Penyesuaian diri(Z) 2,955 0,012
Religiusitas (X1) - -
Koefisien Cross-
Variabel Regresi R2
(β) Product
Penyesuaian diri (X) 0,727 1605,765 19,6%
1121,045
Penyesuaian diri (Z) 0,212 -218,794 -0,8%
Total 18,8%
Hasil uji korelasi secara uji simultan yang menyatakan ada korelasi antara
religiusitas dengan subjective well being melalui penyesuaian diri sebagai
variabel moderating diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,003 (p<0,01), yang
berarti bahwa hipotesis yang diajukan terbukti. Diterimanya hipotesis ini sesuai
dengan hasil penelitian Diener, Oishi, and Lucas (2003), dan Schmidt and Welsh
(2010), yang menyebutkan bahwa religiusitas dengan segala aspek-aspek di
dalamnya secara konsisten membantu seseorang meningkatkan kemampuan
penyesuaian diri sehingga mencapai kondisi subjective well being. Hasil
penelitian McCullough dan Willoughby (2009) menyimpulkan bahwa
religiusitas secara tidak langsung akan mempengaruhi subjcetive well being,
yang artinya terdapat variabel lain yang memediasi religiusitas dengan
subjcetive well being, salah satunya adalah kemampuan penyesuaian diri.
Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini dan kesesuaian dengan
penelitian sebelumnya dapat menegaskan bahwa semakin tinggi kemampuan
seseorang utnuk menyesuaiakan dirinya maka akan semakin tinggi pula
subjective well being yang dialaminya, terutama kemampuan penyesuaian diri
yang terkait dengan kehidupan religiusitas seseorang. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,188 yang berarti bahwa religiusitas
melalui kemampuan penyesuaian diri mampu memberikan kontribusi terhadap
subjective well being sebesar 18,8%.
Hasil uji korelasi hipotesis minor (Tabel 6) antara penyesuaian diri sebagai
variabel bebas dengan subjective well being memiliki nilai probabilitas sebesar
0,001 (p<0,01) yang berarti bahwa hipotesis yang menyatakan penyesuaian diri
memiliki korelasi dengan subjective well beingterbukti. Demikian pula dengan
variabel penyeuaian diri sebagai variabel moderating memiliki nilai 0,012
(p<0,05) yang menunjukkan bahwa penyesuaian diri sebagai variabel
moderating memiliki korelasi yang signifikan dengan subjective well being.
15
Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; Schmidt dan Welsh, 2010; serta
Wrosch dan Miller, 2011) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan
proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu
untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, frustasi,
dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya
dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya.
Adanya korelasi positif tersebut juga dapat diketahui dari hasil analisis
silang bahwa 75% subjek yang memiliki kemampuan penyesuaian diri tergolong
tinggi juga memiliki subjective well being yang tinggi pula, demikian sebaliknya
subjek yang memiliki kemampuan penyesuaian dirinya tergolong rendah juga
memiliki subjective well beingyang juga rendah. Hal tersebut juga dibuktikan
dari uji chi square yang menunjukkan probabilitas kurang dari 5%. Di samping
korelasi positif tersebut juga diketahui nilai koefisien determinasi parsial yang
menunjukkan bahwa kemampuan penyesuaian diri seseorang sebagai variabel
bebas mampu memberikan kontribusi terhadap pencapaian subjective well being
sebesar 19,6%, sehingga dapat dikatakan bahwa selain faktor penyesuaian diri
masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi subjective well being. Menurut
Diener et al, (1997); Diener, Oishi, dan Lucas (2003), Joshi dan Bindu (2009),
menyebutkan beberapa faktor yang relatif memiliki pengaruh kuat terhadap
subjective well being, yaitu: a)temperamenyang didalamnya memuat sitat-sifat
kepribadian khusus dan faktor ini dapat dijadikan sebagai unit prediktor tingkat
SWB seseorang, kemudian b)faktor biososial atau demografik, c) faktor
psikososial, dan d) faktor budaya, bahwakonstruksi budaya tempat tinggal
individu berpengaruh cukup signifikan dalain membentuk pola pikir (mind set).
Hasil pengujian hipotesis minor Tabel 6 yang menunjukkan tidak adanya
korelasi antara religiusitas dengan subjective well being selain sebagai variabel
yang harus dimediasi oleh variabel penyesuaian diri. Tidak adanya korelasi
tersebut bertentangan dengan banyak penelitian, seperti penelitian Barkan dan
Greenwood (2003); Chang (2009); serta Wrosch, Amir, and Miller (2011), yang
menyimpulkan bahwa religiusitas memiliki keterkaitan erat dengan subjective
well being.Namun demikian, hasil penelitian Colón-Bacó (2010), justru
16
Daftar Pustaka
Anthonia, E.I & Asuquo, P.N (2013). Perception And Attitude Towards Pre-
Retirement Counselling Among Nigerian Civil Servants. Guidance and
Counselling Paper, Department of Educational Foundations, University of
Calabar, Calabar. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari
http://www.tojce.com/january2013/tjanuary4.pdf
Azwar, S (2006). Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan VIII, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar
Azwar, S (2010). Validitas dan Reliabilitas. Cetakan 10, Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar
Barkan, SE., dan Greenwood, SF. (2003). Religious Attendance and Subjective
Well-Being among Older Americans: Evidence from the General Social
Survey. Review of Religious Research. Vol. 45., p: 116-29
Carr, W (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human
Strengths. Journal of Philosophy of Education. Volume 38, Issue 1, p:55–73.
Dada, MF dan Idowu, A.I. (2007). Counselling strategies for managing pre-
retirement anxiety among employees. Ilorin Journal of Education. Vol. IX,
p:1-12
18
David, F. (2003). Psychology, Religion, and Spirituality. Oxford: The British Psychological Society
and Blackwell Publishing Ltd
.
Desmita(2009). Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosda Karya
Diener, ED., Scollon, CN., Oishi, S., Dzokoto, V., dan Suh, M. (1997). Recent
Findings on Subjective Well-Being. Indian Journal of Clinical Psychology,
Vol. 1., p:159–76
Diener, ED and Chan, M (2010). Happy People Live Longer: Subjective Well-
Being Contributes to Health and Longevity. Health Benefits of Happiness
Journal of Personality, Vol. 71, pg: 1-50
Diener, ED, dan Clifton. D, (2002). Life Satisfaction and Religiosity in Broad
Probability Samples. Journal of Psychological Inquiry, Vol. 13, p: 206-09.
Diener, ED., Oishi, S., adan Lucas, RE. (2003). Personality, Culture, and
Subjective Well-Being: Emotional and Cognitive Evaluations of Life. Annual
Revision Psychological Journal. Vol. 54; page: 403–25
Djarir, I. (2005). Erosi Moral dan Pemahaman Kembali Agama. Diambil pada
tanggal 14 Februari 2013. http://www.suara_merdeka.com/harian/0406/18/
op14.htm.
Ekoja, C dan Tor-Anyiin, SA. (2004). Psychosocial effects of retirement on
retirees: Implication for pre-retirement conselling in Nigeria. A paper
presented at the 28th Annual National Conference of Counselling Association
of Nigeria. Maiduguri. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari:
http://www.unilorin.edu.ng/publications/idowuade/Prof.%20Idowu's
%20Paper.pdf
Ellison, C.G. (1991). Religious Involvement and Subjective Well-Being. Journal
of Health and Social Behavior. Vol. 32; page: 80-99.
Erikson. H,E. (1992). Siklus Hidup Manusia dan Krisis Identitas. Cetakan kedua.
(Alih bahasa : Suparmanto, T ).Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.
Fromm, E (2002). Beyond the Chains of Illusion: Pertemuan Saya dengan marx
dan Freud. Yogyakarta: penerbit Jendela.
Fromm, E., Suzuki, DT., dan De Martino. C (2004). Zen and Psychoanalisis.
Yogyakarta: Penerbit Suwung
19
May, R (1999). Man Search for Him Self (terjemahan). Jakarta: Penerbit Mitra
Utama