Between Religiosity and Subjective Well-Being Relations Through The Adjustment at The End of Ability Middle Adulthood

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 21

BETWEEN RELIGIOSITY AND SUBJECTIVE WELL-BEING

RELATIONS THROUGH THE ADJUSTMENT AT THE END OF


ABILITY MIDDLE ADULTHOOD

Syaiful Hida, M.Psi., Dr. Suroso, Msi, dan Dr. Abdul Muhid, M.Psi

ABSTRACT

In the end of period middle adulthood, a person tends to experience stagnation


conditions, concerns, saturation, and lack of happiness or subjective well-being is
lower as the life review of effects. Adjustment is a condition that can keeping
mental toughness that a person had psychological the stability of subjective well
being, as well as religiosity, besides support the improvement of adjustment too
relates to attainment of subjective well being. This study took 68 subjects
purposively in this age group among the 50-60 years and old highly educated.
Data collected through questionnaires to be analyzed by regressions to the
moderating variables. Simultaneous correlation test result obtained F = 7.541, and
p = 0.003 (p <0.01), that means that the hypothesis stating that there is a
correlation between religiosity and subjective well being by of adjustment as
submitted a moderating variables acceptable. R2 = 0.188, which means that
religiosity through the adjustment to contribute to subjective well being of 18.8%.
Results of partial correlation analysis shows the adjustment to become
independent variable or as a moderating variable, whereas variable relugiusitas
rejected (excluded a variable) or couldn’t used as independent variables that is
connected to subjective well being. Adjustment as the independent variable is able
to provide effective contribution for subjective well being of 19.6%.

Keywords: religiosity, conformity, subjective well being


2

A. Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

Usia dewasa madya merupakan suatu fase evaluasi dan masa jenuh terutama
pada kelompok usia 50 tahun hingga 60 tahun (dalam Papalia & Old’s, 2001; dan
Santrock, 2007). Pada fase ini menurut Hurlock (2003) seseorang mengalami
empty nest terutama apabila anak-anak tidak lagi tinggal dengan orangtua, dan
menghadapi masa pensiun. Pandangan negatif tentang pensiun menyebabkan
individu cenderung menolak datangnya masa pensiun. Penolakan tersebut ditandai
dengan adanya perasaan cemas. Pada saat menghadapi masa pensiun ada gejala
fisiologis yang sering muncul diantaranya merasa mudah lelah ketika bekerja,
jantung berdebar-debar, kepala pusing, kadang-kadang mengalami gangguan
tidur. Sedangkan gejala psikologisnya yaitu rendah diri, tidak dapat memusatkan
perhatian, timbulnya perasaan kecewa sehingga dapat mempengaruhi interaksi
dengan orang lain.
Hasil penelitian Ekoja and Tor-Anyiin, (2004), Knoll (2011), dan Dada and
Idowu (2007), menyebutkan bahwa pada menghadapi persiapan pensiun di usia
50 hingga 60 tahun seseorang rentang dengan kecemasan dan mengalami berbagai
masalah psikologis.Penelitian Knoll (2011) dan Anthonia & Asuquo (2013),
menyimpulkan bahwa kondisi ini banyak disebabkan oleh perasaan negatif dari
peristiwa yang dialami, beban yang belum dituntaskan, dan ketidakpuasan dalam
hidup. Möngks, Knoer, dan Haditono (2005), dan Hurlock (2005) menjelaskan
bahwa ketika memasuki dewasa madya seseorang dituntut untuk menerima dan
menyesuaikan dengan perubahan fisik yang biasa terjadi, perubahan minat yang
berorientasi kedewasaan dan tempat kegiatan, dan penyesuaian diri, pemantapan
dan pemeliharaan standar hidup, serta kehidupan keluarga berkaitan dengan
pasangan, persiapan penyesuaian menjadi lansia agar lebih bahagia. Menurut
Fromm (2002), pada fase usia tersebut seseorang akan melakukan life review pada
masa pencapaian puncak prestasi sebagai pelengkap eksistensinya. Fromm,
Suzuki dan Martino (2004) dan Gilligan (2001) menyebutkan bahwa proses
3

evaluasi diri ketika akan memasuki masa tua merupakan tanda-tanda bahwa
seseorang akan mencapai kebahagiaan atau tidak dalam akhir hidupnya.Erikson
(1992), menyebut keberhasilan menyelesikan tugas life review merupakan titik
pencapaian fase yang integrated personality, yang kondisi ini oleh Diener, et al
(2003), Diener (dalam Joshi, Singh, dan Bindu, 2009) sebagai pencapaian
kebahagiaan atau subjective well being.
Erikson (1992), Erikson (dalam Hurlock, 2005), Santrock (2002),
menyatakan bahwa kepribadian terbentuk ketika seseorang melewati tahap
psikososial sepanjang hidupnya. Masing-masing tahap memiliki tugas
perkembangan yang khas, dan mengharuskan individu menghadapi dan
menyelesaikan krisis. Erikson (1992) melihat bahwa krisis tersebut sudah ada
sejak lahir, tetapi pada saat-saat tertentu dalam siklus kehidupan, krisis menjadi
dominan. Bagi Erikson (1992), Fromm (2000), dan May (1995) krisis bukanlah
suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan vulnerabality (kerentanan) dan
potensi, bahwa setiap krisis, selalu ada pemecahan yang negatif dan positif.
Pemecahan yang positif, akan menghasilkan kesehatan jiwa, sedangkan
pemecahan yang negatif akan membentuk penyesuaian diri yang buruk dan
semakin berhasil seseorang mengatasi krisis, akan semakin sehat
perkembangannya dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Seseorang yang
merasakan hidup mereka bermakna, akan mempunyai harga diri yang lebih tinggi
dan jarang mengalami depresi dan kecemasan (dalam Steger, 2006). Integritas dan
pencapaian tujuan hidup inilah yang merupakan kondisi akhir yang harus dilalui
melalui life review yang memunculkan kondisi yang disebut subjective well being
(Diener, et al., 2003).
Menurut Winkelmann (2006), Wrosch, Amir, and Miller (2011), serta
Scherer and Frisina(2008), kebahagiaan atau subjecive well beingdapat dicapai
apabila seseorang memiliki harga diri (self esteem), sense of perceived control,
kepribadian, optimisme, pemahaman tentang makna dan tujuan hidup, neurotisme
yang rendah, dan pengaruh masyarakat dan budaya, dan proses kognitif. Amir
and Miller (2011), menegaskan bahwa pemahaman tentang makna dan tujuan
hidup, dan neurotisme terkait dengan kehidupan keberagamaan seseorang. Hasil
4

penelitian Oswald (2002); Barkan and Greenwood (2003), dan Qiang (2005),
menyimpulkan bahwa pada akhir dewasa madya seseorang memiliki
kecenderungan persoalan yang khas, seperti pekerjaan yang muncul sangat
mungkin telah terselesaikan oleh mereka dalam mencapai pensiun, tetapi dalam
situasi-situasi yang menuntut usia dewasa madya mencapai status memadai dalam
jabatan, banyak diantara dewasa madya (khususnya pria) merasa tidak puas dalam
pekerjaanya, masalah berkaitan dengan pola keluarga ada beberapa faktor yang
menyulitkan seseorang dewasa madya dalam mengadakan penyesuaian diri.
Kondisi tersebut menurut Erikson (1992), dan Carr (2004) dikenali sebagai
kondisi despair, atau adanya hambatan dalam pencapaian makna hidup yang
integrated, menurut Fromm (2002), May (1999), dan McCullough and
Willoughby (2009), dipandang sebagi akibat perilaku hedonis, pencapian
aktualisasi yang berorientasi ke luar diri sehingga mempengaruhi pencapaian
kebermaknaan hidup (quality in life review), kepuasan (life satisfaction) dan
kebahagiaan (subjective well being). Untuk itulah agama memiliki peranan yang
besar, menjadi pemandu seseorang agar mencapai suatu kebahagiaan
(Mangunwijaya, 1991), serta kemampuan penyesuaian diri yang baik (Semiun,
2003).
Beberapa penelitian terdahulu dari yang dilakukan Diener and Chan (2010);
Joshi (2010); Joshi, Singh and Bindu (2009); Scherer, and Frisina (2008);
Kashdan (2004); Hoorn (2007); dan Kahneman and Krueger (2006), menjelaskan
beberapa faktor penting dalam pencapaian subjective well being, salah satunya
adalah adjustment dalam konsep kesehatan mental (mental health). Schneiders
(dalam Semiun, 2003) menjelaskan bahwa adjustment merupakan dasar dari
pembentukan kesehatan mental. Di samping faktor adjustment, hasil penelitian
Markides (1983); McCullough and Willoughby (2009); dan Heaven & Ciarrochi
(2007), memaparkan faktor religiusitas berkaitan kepuasan hidup yang menjadi
bagian penting dan memberikan sumbangan terhadap pencapaian subjective well
being. Penelitianlainnya, yang dilakukan Colón-Bacó (2010), Chang (2009), dan
Wrosch, Amir, and Miller (2011), agama memiliki peranan yang besar untuk
menuntun seseorang agar mampu menyesuaikan dirinya, dan menurut Barkan, and
5

Greenwood (2003), bahwa perilaku keberagamaan memandu seseorang untk


mencapai kebahagiaan atau subjective well being.
2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang akan dilakukan ini adalah untuk mengetahui
hubungan secara langsung antara penyesuaian diri, dengan subjective well being,
dan hubungan religiusitas dengan subjective well being melalui kemampuan
penyesuaian diri pada individu di usia akhir dewasa madya, yaitu berusia 50-60
tahun. Penelitian ini selain mengkorelasikan religiusitas dan penyesuaian diri
dengan subjective well being juga akan mendeskripsikan tingkatan pada variabel
penyesuaian diri dengan subjective well being yang diukur melalui data frekuensi
tabel silang agar dapat memberikan gambaran yang mudah dipahami dan
memberikan informasi yang cukup jelas dan lengkap.

B. Kajian Pustaka

1. Subjective Well Being (SWB)

Diener, et al, (1997), Pinquart & Sorenson (2000), dan Hoorn (2007),
menjelaskan tentang beberapa model teori subjective well being dalam pandangan
kognitif, yang dikenal dengan model cognitive theories of well-being. Gagasan
bahwa bagaimana seorang individu melihat, mempersepsikan dan memikirkan
berbagai hal tentang dunia telah menentukan tingkat SWB seseorang. Context
theories of well-being, dikemukakan oleh Winkelmann (2006), menyatakan
bahwa SWB lahir disebabkan atas timbulnya rasa kepuasan atas kebutuhan
kebutuhan universal manusia, sebaliknya context theories menurut Qiang (2005),
menekankan bahwa faktor yang mempengaruhi SWB sangat bervariasi tergantung
waktu dan karakteristik kejadian hidup yang dialami. Context theories yang
dikemukakan Diener, Suh & Oishi, (1997) juga menekankan bahwa baik
buruknya label suatu pengamat hidup didasarkan pemikiran atas keadaan hidup
tersebut. Beberapa hal lain yang dapat mempengaruhi SWB antara lain cita-cita
individu, situasi alternatif imajinatif, tujuan hidup dan sebagainya. Bottom Up dan
Top Down Theory, menurut Compton (2005) dapat dijelaskan bahwa kepuasan
dalam hidup dan kebahagiaan dapat dijelaskan dengan menggunakan dua
6

pendekatan umum, yaitu bottom up theory dan top down theory. Bottom Up
Models, menurut konsep Campbell & Rogers (dalam Rogers, 1999), disebutkan
bahwa berbagai kondisi kehidupan yang dijalani sehari - hari dievaluasi secara
subyektif oleh individu. Evaluasi subjektif tersebut menghasilkan banyak efek.
Efek-efek inilah yang secara langsung mengkomposisi SWB. Top-down Models,
menurut Diener (1984), terdapat kecenderungan global (yang dihasilkan dari sifat-
sifat kepribadian yang stabil) menjalani kehidupan dalam perilaku yang positif
maupun perilaku yang negatif. Kecenderungan global inilah yang kemudian
secara konsisten mempengaruhi interpretasi pengalaman atau kejadian hidup
sehari-hari. Teori dynamic equilibrum models, dikemukakan Andrew & Robinson
(1991), bahwa setiap individu memiliki tingkat ekuilibrum (keseimbangan) SWB
yang normal. Meskipun tingkat SWB mengalami perubahan-perubahan ketika
mengalami peristiwa-peristiwa kehidupan (baik ataupun buruk) tingkat SWB yang
telah terdeviasi dari pola normalnya akan dikembalikan ke tingkat normal SWB
individu oleh berbagai karakteristik kepribadian.
Menurut Ryff (dalam Diener dan Chan, 2010), istilah kesejahteraan atau
kebahagiaan (subjective well being) merupakan istilah yang kurang populer,
terutama jika dibandingkan dengan kesejahteraan psikologis (psychological well
being). Ryff (dalam Joshi, 2010) membangun konsep kesejahteraan psikologis
dengan menganalisis teori-teori kesehatan mental yang pernah ada sebelumnya,
termasuk subjective well-being (kebahagiaan), yang didefinisikan dalam kerangka
pengalaman internal individu, tidak terkait oleh referensi kerangka eksternal, atau
dari perspektif individu, berdasarkan kerangka berpikir seseorang. Schwartz &
Strack (dalam Diener, Oishi &Lucas, 2003), menjelaskan bahwa Subjective Well-
being adalah suatu keadaan seorang individu mempersepsi dan mengevaluasi
segala hal yang terjadi didalam kehidupan mereka, baik evaluasi kognitif maupun
evaluasi afektif (dalam (Diener.et.al, 1997; dan Diener, 2000). Snyder dan Lopez
(2005) juga menjelaskan bahwa kebahagiaan (happiness) atau subjective well-
being (subjective well-being) merupakan suatu keadaan yang di dalamnya terdapat
fungsi kognitif dan afektif. Diener (dalam Sousa dan Lyubomirsky, 2001)
7

memiliki pendapat yang maknanya kurang lebih sama, bahwa subjective well-
being dan happiness terdiri oleh dua komponen yaitu afektif dan kognitif.
Pengukuran SWB mengacu pada konsep Diener, Suh & Oishi (1997),
Kahneman dan Krueger (2006), menyatakan bahwa subjective Well-Being terdiri
atas tiga buah komponen umum. Ketiga komponen tersebut merupakan faktor
global dari variabel-variabel yang saling berinterelasi, yaitu: a) afek positif
(pleasant affect), b) afek negatif (unpleasant affect), dan c) kepuasan Hidup (life
satisfaction).
Beberapa faktor yang mempengaruhi SWB menurut Diener et al, (1997);
Kashdan (2004); dan Kahneman dan Krueger (2006); adalah; a) temperamen.
Temperamen memiliki pengaruh yang kuat terhadap SWB.Sitat-sifat kepribadian
khusus merupakan prediktor tingkat SWB tertentu (Mc.Crace & Costa, 1988); b)
faktor biososial atau demografik. Beberapa faktor seperti usia, jenis kelamin,
status pernikahan, status pekerjaan, pendidikan, aktifitas sosial; c) faktor
psikososial, adanya SWB dalam jangka waktu yang relatif pendek (short term)
aktifitas sosial; dan d) faktor budaya. Konstruksi budaya tempat tinggal individu
berpengaruh cukup signifikan dalain membentuk pola pikir (mind set). Selain
faktor tersebut, Hoorn (2007) menjelaskan bahwa pada umumnya terdapat enam
faktor yang dominan mempengaruhi subjective well-being dalam diri seseorang,
yaitu: kepribadian (Feist dan Feist, 2008), situasi, jenis kelamin dan usia,
lingkungan dan faktor ekonomi.
2. Penyesuaian Diri (Adjustment)
Penyesuaian diri dalam bahasa aslinya dikenal dengan istilah adjustment
atau personal adjustment. Schneiders (dalam Hurlock, 2005) berpendapat bahwa
penyesuaian diri dapat ditinjau dari tiga sudut pandang, yaitu: penyesuaian diri
sebagai adaptasi (adaptation), penyesuaian diri sebagai bentuk konformitas
(conformity), dan penyesuaian diri sebagai usaha penguasaan (mastery).Desmita
(2009), melalui pengertian penyesuaian diri sebagai usaha konformitas,
menyiratkan bahwa individu seakan-akan mendapat tekanan kuat untuk harus
selalu mampu menghindarkan diri dari penyimpangan perilaku, baiksecara moral,
sosial, maupun emosional.Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; Schmidt
8

dan Welsh, 2010; dan Wrosch dan Miller , 2011) menjelaskan penyesuaian diri
adalah proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha
individu untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan-kebutuhan dalam dirinya,
ketegangan-ketegangan, frustasi, dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan
antara tuntutan dari dalam dirinya dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan
di tempat tinggalnya.
Schneiders (1964), Schneiders (dalam Semiun, 2003; dan Wrosch, Amir,
dan Miller, 2011) menjelaskan beberapa kriteria yang dapat menjadi acuan untuk
penyesuaian diri, yaitu: a) Self knowledge-self insight, yaitu usaha mengatasi
konflik dan frustrasi, dan berusaha secara efektif mengatasi masalah dalam
berbagai situasi dengan memahami kemampuan dan keterbatasan diri sendiri; b)
Self Objectivity-self aceptance. Self Objectivity, yakni kemampuan untuk
berperilaku dan berpikir yang didasarkan atas pengetahuan obyektif dan self
acpetance didasarkan atas pengetahuan yang objektif atau menerima diri secara
positif serta dapat menghargai diri sendiri secara lebih positif; c) Self control-self
development adalah kemampuan untuk mengarahkan dan meregulasi impuls,
pemikiran, kebiasaan, emosi, sikap dan tingkah laku untuk mengatasi ketegangan
dan masalah yang dihadapinya serta pengembangan kepribadiannya pada tujuan
yang matang; dan e) Good interpersonal Relationship, yaitu kemampuan untuk
menunjukkan hubungan interpersonal yang baik dengan kasih sayang, altruisme,
ramah, menghargai hak, pendapat dan perbedaan dengan orang lain yang pada
dasarnya berbeda dengan dirinya sendiri.
3. Religiusitas

Salim dan Salim (dalam Relawu, 2007) memberikan definisi religiusitas


sebagai keshalihan atau besarnya kepatuhan dan pengabdian terhadap agama.
Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas, dalam
psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Woodward (2000),
menyebutkan bahwa religi adalah sistem keagamaan dan kepercayaan seseorang.
Menurut Djarir (2004) religiusitas adalah suatu kesatuan unsur yang
komprehensif, yang menjadikan individu disebut sebagai individu beragama
(being religious), dan bukan sekedar mengaku memiliki agama (having religion).
9

Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukakan oleh


Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan,
seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa
dalam penghayatan agama yang dianut seseorang. Religiusitas sebagai komitmen
religius individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang
bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang dianutnya. Religiusitas
sebagai komitmen religius individu yang dapat dilihat melalui aktivitas atau
perilaku individu yang bersangkutan terhadap agama atau kepercayaan yang
dianutnya.
Glock & Strark (dalam Woodwoorth, 2000; David, 2003; dan Ancok, 2005),
yang mengemukakan bahwa konsep religusitas sebagai komitmen religius
individu dapat dilihat melalui aktivitas atau perilaku individu yang bersangkutan
terhadap agama yang dianutnya, yang dapat diukur melalui: a) Religious Belief
(the ideological dimension), yaitu dimensi keyakinan; b) Religious Practice (the
ritualistic dimension), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan
kewajiban-kewajiban ritual dalam agamanya; c) Religious Feeling (the
experiental dimension), yaitu perasaan atau pengalaman keagamaan yang pernah
dialami, dirasakan pun merupakan keajaiban yang datang dari Tuhan; d) Religious
Knowledge (the intellectual dimension), yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui
tentang ajaran-ajaran agamanya, yang terdiri dari pengetahuan dan konsep-konsep
kognitif yang berhubungan dengan penciptaan, serta upaya menambah
pengetahuan tentang agamanya, terutama yang ada didalam kitab suci maupun
buku-buku agama lainnya; dan e) Religious Effect (the consequential dimension),
yaitu dimensi yang mengukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi dan
konsekuen dengan ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.

C. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:


Hipotesis Mayor
Ada hubungan antara religiusitas dengan subjective well being melalui
kemampuan penyesuaian diri pada usia dewasa akhir madya.
10

Hipotesis Minor
a. Ada hubungan langsung reigiusitas dengan subjective well being pada usia
dewasa madya.
b. Ada hubungan langsung kemampuan penyesuaian diri dengan subjective well
being pada dewasa madya.

D. Metode Penelitian

1. Subjek Penelitian

Subjek adalah kelompok akhir dewasa madya, yang berusia 50-60 tahun dan
memiliki latar belakang pendidikan tinggi.Jumlah sampel dalam penelitian ini
sebanyak 68 subjek dengan teknik pemilihan sampel menggunakan quota
incidental sampling.
Tabel 1
Usia dan jenis kelamin Subjek

Usia 56-60 tahun 50-55 tahun Total


Jenis kelamin f % F % F %
Laki-Laki 20 29% 26 38% 46 68%
Perempuan 12 18% 10 15% 22 32%
Total 32 47% 36 53% 68 100%

2. Pengujian Alat Ukur


a. Subjective Well being
Hasil uji diskriminasi butir dapat diketahu sebagai berikut.
Tabel 2
Hasil uji instrumen skala subjective well being
Butir yang diterima Indeks
Aspek Total
Favorable Unfavorable Diskriminasi
afekpositif 1,11,22 6,17,26,27 0,303 – 0,659
7
(pleasant affect)
afeknegatif 7,8,28,29 ,23 0,314 – 0,722
5
(unpleasant affect)
Kepuasan hidup 15,16 9,10,20,21, 0,303 – 0,712
8
(life satisfaction) 30,31
Jumlah 9 11 20
11

Hasil uji reliabilitas pada skala subjective well being diperoleh nilai α =
0,874. Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur
dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, dengan
demikian skala penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini
tergolong handal.
b. Penyesuaian diri
Hasil uji diskriminasi butir dapat diketahu sebagai berikut.
Tabel 3
Hasil uji skala adjustment
Butir diterima Indeks
Aspek Total
Favorable Unfavorable Diskriminasi
Self knowledge-self
1,2,13,14 18 0,486 – 0,532 5
insight
Self-Objectivity-self
8,9,19,20, 3,4,15 0,259 – 0,687 7
acceptance
Self control – self
5,16, 10,11,21,22 0,295 – 0,771 6
development
Good interpersonal
12,23,24 6,7,17 0,270 – 0,519 6
Relationship
Jumlah 13 11 24

Hasil uji reliabilitas pada skala penyesuaian diri diperoleh nilai α =


0,891. Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur
dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, artinya
skala penyesuaian diri yang digunakan dalam penelitian ini tergolong handal.
c. Religiusitas
Tabel 4
Hasil uji instrumen skala religiusitas

Butir diterima Indeks


Aspek Total
Favorable Unfavorable Diskriminasi
Religious Belief 8,17,26, 12,21,29, 0,466 – 0,829 6
Religious Practice 9,18, 4,13,22,30 0,494 – 0,803 6
Religious Feeling 10,19,27, 5,14,23, 0,574 – 0,834 6
Religious Knowledge 2 6,15,24 0,476 – 0,727 4
Religious Effect 3,11,20,28,31 7,16 0,448 – 0,813 7
Jumlah 14 17 29
12

Hasil uji reliabilitas pada skala religiusitas diperoleh nilai α = 0,960.


Menurut Santoso (2000), Ghazali (2005), dan Azwar (2010), alat ukur
dinyatakan reliabel (andal) jika memiliki nilai mendekati angka 1, dengan
demikian skala religiusitas yang digunakan dalam penelitian ini tergolong
handal.

E. Analisis dan Pembahasan

1. Analisis Pengujian Hipotesis

Hasil pengujian hipotesis dapat diketahui sebagaimana rangkuman tabel


berikut.
Tabel 5
Pengujian hipotesis mayor
R R2 F P
0,434 0,188 7,541 0,001

Hasil uji korelasi secara simultan untuk menjawab hipotesis yang


menyatakan ada korelasi antara religiusitas dengan subjective well being
melalui penyesuaian diri sebagai variabel moderating diperoleh nilai
probabilitas sebesar 0,003 (p<0,01), yang berarti bahwa hipotesis yang
diajukan dapat diterima.
Nilai koefisien korelasi sebesar 0,434 menunjukkan bahwa rentang
hubungan antara religiusitas dengan subjective well being melalui kemampuan
penyesuaian diri tergolong kurang kuat (rxy < 0,50) atau dapat dikatakan
bahwa nilai korelasi tersebut termasuk dalam kategori lemah. Hal tersebut
dapat diketahui dari nilai koefisien determinasi sebesar 0,188 yang berarti
bahwa religiusitas melalui kemampuan penyesuaian diri mampu memberikan
kontribusi terhadap subjective well being sebesar 18,8%.
13

Tabel 6
Pengujian hipotesis minor
T p
Penyesuaian diri (X2) 3,881 0,001
Penyesuaian diri(Z) 2,955 0,012
Religiusitas (X1) - -

Hasil uji korelasi parsial diketahui bahwa pada variabel penyesuaian


diri dan variabel penyesuaian diri sebagai variabel moderating diperoleh nilai
probabilitas kurang dari 5% (p<0,05) yang berarti penyesuaian diri dalam
posisi sebagai variabel bebas memiliki hubungan langsung yang signifikan
dengan subjective well being. Demikian pula sebagai variabel moderating,
penyesuaian diri juga memiliki hubungan yang signifikan dengan subjective
well being.
Hasil analisis uji korelasi parsial pada variabel religiusitas diketahui
excluded variable, yang artinya bahwa variabel religiusitas tidak dapat
menjadi variabel bebas yang berkorelasi secara langsung dengan subjective
well being, artinya religiusitas tidak memiliki hubungan secara langsung
dengan subjective well beingkecuali melalui penyesuain diri. Hal ini dapat
dikatakan bahwa hipotesis yang mehyatakan ada hubungan antara religiusitas
dengan subjective well being tidak terbukti.
Tabel 7
Nilai sumbangan efektif

Koefisien Cross-
Variabel Regresi R2
(β) Product
Penyesuaian diri (X) 0,727 1605,765 19,6%
1121,045
Penyesuaian diri (Z) 0,212 -218,794 -0,8%
Total 18,8%

Tabel 6 menunjukkan koefisien determinasi parsial pada variabel


penyesuaian diri sebesar 19,6% yang berarti bahwa kemampuan penyesuaian
diri pada subjek mampu memberikan kontribusi atau sumbangan efektif
sebesar 19,6% terhadap pencapaian subjective well being. Namun
kemampuan penyesuaian diri sebagai variabel moderating justru memberikan
14

kontribusi negatif sebesar -0,8% yang berarti ketika religiusitas mempengarhi


penyesuaian diri, maka subjective well being akan mengalami penurunan
sebesar 0,8%.
2. Pembahasan

Hasil uji korelasi secara uji simultan yang menyatakan ada korelasi antara
religiusitas dengan subjective well being melalui penyesuaian diri sebagai
variabel moderating diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,003 (p<0,01), yang
berarti bahwa hipotesis yang diajukan terbukti. Diterimanya hipotesis ini sesuai
dengan hasil penelitian Diener, Oishi, and Lucas (2003), dan Schmidt and Welsh
(2010), yang menyebutkan bahwa religiusitas dengan segala aspek-aspek di
dalamnya secara konsisten membantu seseorang meningkatkan kemampuan
penyesuaian diri sehingga mencapai kondisi subjective well being. Hasil
penelitian McCullough dan Willoughby (2009) menyimpulkan bahwa
religiusitas secara tidak langsung akan mempengaruhi subjcetive well being,
yang artinya terdapat variabel lain yang memediasi religiusitas dengan
subjcetive well being, salah satunya adalah kemampuan penyesuaian diri.
Diterimanya hipotesis dalam penelitian ini dan kesesuaian dengan
penelitian sebelumnya dapat menegaskan bahwa semakin tinggi kemampuan
seseorang utnuk menyesuaiakan dirinya maka akan semakin tinggi pula
subjective well being yang dialaminya, terutama kemampuan penyesuaian diri
yang terkait dengan kehidupan religiusitas seseorang. Hal ini ditunjukkan
dengan nilai koefisien determinasi sebesar 0,188 yang berarti bahwa religiusitas
melalui kemampuan penyesuaian diri mampu memberikan kontribusi terhadap
subjective well being sebesar 18,8%.
Hasil uji korelasi hipotesis minor (Tabel 6) antara penyesuaian diri sebagai
variabel bebas dengan subjective well being memiliki nilai probabilitas sebesar
0,001 (p<0,01) yang berarti bahwa hipotesis yang menyatakan penyesuaian diri
memiliki korelasi dengan subjective well beingterbukti. Demikian pula dengan
variabel penyeuaian diri sebagai variabel moderating memiliki nilai 0,012
(p<0,05) yang menunjukkan bahwa penyesuaian diri sebagai variabel
moderating memiliki korelasi yang signifikan dengan subjective well being.
15

Schneiders (dalam Papalia dan Old’s, 2001; Schmidt dan Welsh, 2010; serta
Wrosch dan Miller, 2011) menjelaskan bahwa penyesuaian diri merupakan
proses yang meliputi respon mental dan perilaku yang merupakan usaha individu
untuk mengatasi dan menguasai kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, frustasi,
dan konflik-konflik agar terdapat keselarasan antara tuntutan dari dalam dirinya
dengan tuntutan atau harapan dari lingkungan di tempat tinggalnya.
Adanya korelasi positif tersebut juga dapat diketahui dari hasil analisis
silang bahwa 75% subjek yang memiliki kemampuan penyesuaian diri tergolong
tinggi juga memiliki subjective well being yang tinggi pula, demikian sebaliknya
subjek yang memiliki kemampuan penyesuaian dirinya tergolong rendah juga
memiliki subjective well beingyang juga rendah. Hal tersebut juga dibuktikan
dari uji chi square yang menunjukkan probabilitas kurang dari 5%. Di samping
korelasi positif tersebut juga diketahui nilai koefisien determinasi parsial yang
menunjukkan bahwa kemampuan penyesuaian diri seseorang sebagai variabel
bebas mampu memberikan kontribusi terhadap pencapaian subjective well being
sebesar 19,6%, sehingga dapat dikatakan bahwa selain faktor penyesuaian diri
masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi subjective well being. Menurut
Diener et al, (1997); Diener, Oishi, dan Lucas (2003), Joshi dan Bindu (2009),
menyebutkan beberapa faktor yang relatif memiliki pengaruh kuat terhadap
subjective well being, yaitu: a)temperamenyang didalamnya memuat sitat-sifat
kepribadian khusus dan faktor ini dapat dijadikan sebagai unit prediktor tingkat
SWB seseorang, kemudian b)faktor biososial atau demografik, c) faktor
psikososial, dan d) faktor budaya, bahwakonstruksi budaya tempat tinggal
individu berpengaruh cukup signifikan dalain membentuk pola pikir (mind set).
Hasil pengujian hipotesis minor Tabel 6 yang menunjukkan tidak adanya
korelasi antara religiusitas dengan subjective well being selain sebagai variabel
yang harus dimediasi oleh variabel penyesuaian diri. Tidak adanya korelasi
tersebut bertentangan dengan banyak penelitian, seperti penelitian Barkan dan
Greenwood (2003); Chang (2009); serta Wrosch, Amir, and Miller (2011), yang
menyimpulkan bahwa religiusitas memiliki keterkaitan erat dengan subjective
well being.Namun demikian, hasil penelitian Colón-Bacó (2010), justru
16

menjelaskan bahwa religiusitas tidak dapat berdiri sendiri sepenuhnya sebagai


prediktor untuk mengukur subjectivwe well being, karena memerlukan variabel
demografis dan intensitas religius yang terukur sebagai moderasinya. Penelitian
tersebut mengacu pada penelitian Barkan dan Greenwood (dalam Colón-Bacó,
2010), menjelaskan bahwa intensitas religius akan terukur melalui enam
indikator, yaitu frekuensi doa, kehadiran dalam layanan keagamaan, interaksi
sosial dengan teman, keluarga, dan tetangga, dan peristiwa kehidupan traumatis.
Selain indikator tersebut variabel religiusitas dikendalikan oleh beberapa faktor
sosio-demografis yang telah terbukti untuk mempengaruhi subjective well
being.Penelitian Graham et al., (dalam Chang (2009)juga menilai hubungan
terbalik antara subjective well beingdan pendapatan serta kesehatan dengan
menguji efek kebahagiaan pada pendapatan, kesehatan, dan faktor lainnya.
Hasilnya menunjukkan bahwa orang memiliki subjective well beingyang lebih
tinggi berada dalam kondisi ekonomi keuangan yang baik, dan cenderung berada
dalam kesehatan yang lebih baik, sedangkan variabel agama perlu dimoderasi
oleh faktor-faktor seperti harga diri dan optimisme untuk menghubungkan
dengan pencapaian kondisi subjective well being.
F. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian, melalui analisis data dan pembahasan yang


telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas melalui kemampuan
penyesuaian diri memiliki keterkaitan dengan subjective well being pada usia
akhir dewasa madya. Keterkaitan ini menunjukkan bahwa kehidupan religi
sesseorang akan mengarahkan seseorang pada pengembangan kemampuan
penyesuaian dirinya, sehingga dapat tercapai kondisi subjective well being.
Kemampuan penyesuaian diri sebagai variabel bebas dengan subjective well
being memiliki korelasi yang positif, artinya semakin tinggi kemampuan
penyesuaian diri seseorang maka akan semakin tinggi pula subjective well being
yang dapat dicapai di akhir usia dewasa madya. Namun demikian sumbangan
kemampuan penyesuaian diri dalam penelitian yang mengambil subjek dari
berbagai latar belakang pekerjaan ini masih tergolong rendah meskipun sebagian
subjek yang memiliki subjective well being tergolong tinggi. Penyesuaian diri
17

sebagai variabel moderating memiliki korelasi yang signifikan, namun tidak


memiliki konsistensi atau relatif dipengaruhi oleh variabel bebas, yaitu variabel
religius atau variabel lainnya.
Adanya variabel penyesuaian diri sebagai variabel moderasi telah menolak
religiusitas sebagai variabel bebas yang berkorelasi dengan subjective well being,
yang artinya bahwa religiusitas hanya dapat dijadikan variabel yang mendukung
variabel penyesuaian diri untuk dikaitkan dengan subjective well being.

Daftar Pustaka

Anthonia, E.I & Asuquo, P.N (2013). Perception And Attitude Towards Pre-
Retirement Counselling Among Nigerian Civil Servants. Guidance and
Counselling Paper, Department of Educational Foundations, University of
Calabar, Calabar. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari
http://www.tojce.com/january2013/tjanuary4.pdf
Azwar, S (2006). Penyusunan Skala Psikologi. Cetakan VIII, Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar
Azwar, S (2010). Validitas dan Reliabilitas. Cetakan 10, Yogyakarta: Penerbit
Pustaka Pelajar
Barkan, SE., dan Greenwood, SF. (2003). Religious Attendance and Subjective
Well-Being among Older Americans: Evidence from the General Social
Survey. Review of Religious Research. Vol. 45., p: 116-29
Carr, W (2004). Positive Psychology: The Science of Happiness and Human
Strengths. Journal of Philosophy of Education. Volume 38, Issue 1, p:55–73.

Chang, WC (2009). Religious Attendance and subjective Well-being in an


Eastern-Culture Country: Empirical Evidence from Taiwan. Marburg
Journal of Religion: Volume 14, No. 1

Colón-Bacó, E. (2010). The Strength of Religious Beliefs is Important for


Subjective Well-Being. Undergraduate Economic Review. Vol. 6: Iss. 1,
Article 11, p: 1-27.

Dada, MF dan Idowu, A.I. (2007). Counselling strategies for managing pre-
retirement anxiety among employees. Ilorin Journal of Education. Vol. IX,
p:1-12
18

David, F. (2003). Psychology, Religion, and Spirituality. Oxford: The British Psychological Society
and Blackwell Publishing Ltd
.
Desmita(2009). Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosda Karya
Diener, ED., Scollon, CN., Oishi, S., Dzokoto, V., dan Suh, M. (1997). Recent
Findings on Subjective Well-Being. Indian Journal of Clinical Psychology,
Vol. 1., p:159–76
Diener, ED and Chan, M (2010). Happy People Live Longer: Subjective Well-
Being Contributes to Health and Longevity. Health Benefits of Happiness
Journal of Personality, Vol. 71, pg: 1-50
Diener, ED, dan Clifton. D, (2002). Life Satisfaction and Religiosity in Broad
Probability Samples. Journal of Psychological Inquiry, Vol. 13, p: 206-09.
Diener, ED., Oishi, S., adan Lucas, RE. (2003). Personality, Culture, and
Subjective Well-Being: Emotional and Cognitive Evaluations of Life. Annual
Revision Psychological Journal. Vol. 54; page: 403–25
Djarir, I. (2005). Erosi Moral dan Pemahaman Kembali Agama. Diambil pada
tanggal 14 Februari 2013. http://www.suara_merdeka.com/harian/0406/18/
op14.htm.
Ekoja, C dan Tor-Anyiin, SA. (2004). Psychosocial effects of retirement on
retirees: Implication for pre-retirement conselling in Nigeria. A paper
presented at the 28th Annual National Conference of Counselling Association
of Nigeria. Maiduguri. Diambil pada tgl. 17 Juni 2013 dari:
http://www.unilorin.edu.ng/publications/idowuade/Prof.%20Idowu's
%20Paper.pdf
Ellison, C.G. (1991). Religious Involvement and Subjective Well-Being. Journal
of Health and Social Behavior. Vol. 32; page: 80-99.

Erikson. H,E. (1992). Siklus Hidup Manusia dan Krisis Identitas. Cetakan kedua.
(Alih bahasa : Suparmanto, T ).Jakarta : Penerbit PT. Gramedia.

Fromm, E (2000). Memiliki dan Menjadi: Tentang dua modus ekxixtensi.


Yogyakarta: Penerbit LP3ES

Fromm, E (2002). Beyond the Chains of Illusion: Pertemuan Saya dengan marx
dan Freud. Yogyakarta: penerbit Jendela.

Fromm, E., Suzuki, DT., dan De Martino. C (2004). Zen and Psychoanalisis.
Yogyakarta: Penerbit Suwung
19

Ghazali, I. (2005). Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:


Penerbit Universitas Diponegoro.

Grasha, A.F & Kirschenbaum, D.S. (1980). Psychology of adjustment and


competence. Cambridge, massachucetts : Winthrop publisher, Inc
Heaven, P.C.L., dan Ciarrochi, J. (2007). Personality and religious values among
adolescents: A three-wave longitudinal analysis. British Journal of
Psychology, Vol. 98, p:681–694.
Hoorn, A.V (2007). A Short Introduction To Subjective Well-Being: Its
Measurement, Correlates And Policy Uses. Organized by the Bank of Italy,
the Centre for Economic & International Studies (CEIS), the Joint Research
Centre of the European Commission and the Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD). University of Rome ‘or Vergata.
Hurlock, E.B (2005). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang
rentang kehidupan. (Istiwidayanti dan Soejarwo, Pengalih bhs.). Jakarta:
Erlangga.
Joshi, U (2010). Subjective Well-Being by Gender . Journal of Economics and
Behavioral Studies. Vol. 1, No. 1, pp. 20-26, Dec 2010.
Joshi. LH., Singh, R dan Bindu (2009). Psychological Distress, Coping and
Subjective Wellbeing among Infertile Women. Journal of the Indian
Academy of Applied Psychology. July 2009, Vol. 35, No. 2, 329-336.
Kahneman, D and Krueger, A.B (2006). Developments in the Measurement of
Subjective Well-Being. Journal of Economic Perspectives. Volume 20,
Number 1, p:Pages 3–24
Kartono, K (2002). Psikologi Perkembangan. Jakarta : Rineka Cipta
Kashdan, T.B (2004). The assessment of subjective well-being (issues raised by
the Oxford Happiness Questionnaire). University at Bu.alo, Department of
Psychology, State University of New York: Park Hill
Knoll, M (2011), Behavioral and Psychological Aspects of the Retirement
Decision. Social Security Bulletin, Vol. 71 No. 4, 2011. Diambil pada tgl. 17
Juni 2013 dari http://www.ssa.gov/policy/docs/ssb/v71n4/v71n4p15.html
Mangunwijaya, Y. B. (1991). Menumbuhkan Sikap Religius Anak-Anak. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Markides, K.S. (1983). Aging, Religiosity, and Adjustment: A Longitudinal
Analysis. Journal of Gerontology. Vol. 38., p: 621-25.
20

May, R (1999). Man Search for Him Self (terjemahan). Jakarta: Penerbit Mitra
Utama

McCullough, EM dan Willoughby, L.B.B (2009). Religion, Self-Regulation, and


Self-Control: Associations, Explanations, and Implications. Psychological
Bulletin, Vol. 135, No. 1, 69–93
Mönks, E.J, Knoers, A.M.P, dan Haditono, S.R, (2001). Psikologi
Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai bagiannya (eds). Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Oswald (2002). How Much do External Factors Affect Wellbeing? A Way to
Use‘Happiness Economics’ to Decide. Artikel (Online). Diterbitkan oleh
London: Department of Economics, University of Warwick, Coventry, CV4
7AL. Diambil pada tanggal 12 Juni 2013 dari
http://wrap.warwick.ac.uk/344/3/WRAP_Oswald_final_sent_the_psychologis
t_aug_2002.pdf
Qiang, Li (2005). Subjective Well-Being and Mortality in Chinese Oldest Old.
Working Paper. WP.2005-11. April 2005. Rostock, Germany: Max Planck
Institute for Demographic Research.
Santrock, J.W. (2002). Life Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Edisi
5, Jilid 1, alih bahasa, Juda Damanik & Ahmad Chusairi. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Scherer, MJ and Frisina, DR (2008). Characteristics associated with marginal
hearing loss and subjective well-being among a sample of older adults.
Journal of Rehabilitation Research and Development. Vol. 35 No. 4, Pages
420-426
Schmidt, C.K.,dan Welsh, A.C. (2010). College Adjustment and Subjective Well-
Being When Coping with a Family Member's Illness. Journal of Counseling
and Development. Vol. 88, No. 4
Schneiders, A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Holt,
Rinehart and Winston

Semiun, Y. (2003). Kesehatan Mental 1. cetakan kedua. Yogyakarta: Penerbit


Kanisisus

Sobur, A (2003). Psikologi Umum. Bandung: Penerbit Pustaka Setia

Suryabrata, S (2005). Pengembangan alat ukur Psikologis. Yogyakarta: penerbit


Andi
21

Winkelmann, R (2006). Unemployment, Social Capital, and Subjective Well-


Being. University of Zurich, Socioeconomic Institute Working Paper 0503.
{Online} diakses dari pada tanggal 3 Februari 2007 melalui
http://www.iza.org
Woodward, M.R (2000). Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan.
(Pengalih Bahasa : Salim, HS).Yogyakarta: LkiS
Wrosch C,, Amir. E, dan Miller, G.E. (2011). Goal adjustment capacities, coping,
and subjective well-being: the sample case of caregiving for a family member
with mental illness. Journal of Personality and Social Psycholpgy. 2011
May;100(5):934-46.

You might also like