Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 81

HUBUNGAN STATUS GIZI, ASUPAN ZAT GIZI, DAN AKTIVITAS

FISIK DENGAN KEBUGARAN ANAK SEKOLAH DI SDN 2


PASANGGRAHAN PURWAKARTA

IRANI RACHMAWATI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Status


Gizi, Asupan Zat Gizi, dan Aktivitas Fisik dengan Kebugaran Anak Sekolah di
SDN 2 Pasanggrahan Purwakarta adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013

Irani Rachmawati
NIM I14104012
iii

ABSTRACT

IRANI RACHMAWATI. Relationships between Nutritional Status, Nutrient Intake,


and Physical Activity with Fitness of School Children at Pasanggrahan 2
Elementary School, Purwakarta. Under the guidance of HIDAYAT SYARIEF and
BUDI SETIAWAN.

About 2/3 of children have sedentary lifestyle, especially in developing


countries that will affect fitness level. The purpose of this study was to analyze
the relations of nutritional status, nutrient intake, and physical activity to fitness of
school children. This study used a case study with a sample of 53 students.
Fitness levels were measured through a multi stage run test (bleep test). Data
processed by Microsoft Excel 2007 and analyzed using the Statistical Program
for Social Science (SPSS) 16.0 for Windows. There were no significant
differences (p>0.05) between gender, age, and pocket money of sample with
nutritional status and physical activity of sample. While there were a significant
differences (p<0.05) between sex and age with sufficient levels of vitamin and
mineral samples. The results showed that there were a significant correlations (p
<0.05) between age and iron intake with the level of fitness. There were a
significant differences (p<0.05) on gender, consumption of vegetables, protein
intake, and physical activity of the samples fit and unfit. Based on linear
regression analysis showed that age and iron intake have a significantly affecting
(p>0.05) samples fitness level.

Keywords: Physical fitness, nutritional status, nutrient intake, physical activity,


school children
iv

RINGKASAN

IRANI RACHMAWATI. Hubungan Status Gizi, Asupan Zat Gizi, dan Aktivitas
Fisik dengan Kebugaran Anak Sekolah di SDN 2 Pasanggrahan Purwakarta. Di
bawah bimbingan HIDAYAT SYARIEF dan BUDI SETIAWAN.

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah menganalisis status gizi,


aktivitas fisik, dan asupan zat gizi yang berpengaruh dengan kebugaran anak
sekolah di SDN Pasanggrahan 2 Purwakarta. Tujuan khusus dalam penelitian ini,
diantaranya menganalisis: 1) Karakteristik contoh; 2) Status gizi contoh; 3)
Asupan zat gizi contoh; 4) Aktivitas fisik contoh; 5) Tingkat kebugaran contoh; 6)
Hubungan status gizi, aktivitas fisik, dan asupan zat gizi dengan tingkat
kebugaran contoh.
Penelitian ini menggunakan desain case study, dilaksanakan pada bulan
September – November 2012 di SDN Pasanggrahan 2, Kecamatan Tegalwaru,
Kabupaten Purwakarta. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian yang
berjudul Pengaruh Pemberian PMT-AS terhadap Status Gizi dan Kesehatan
pada Siswa SDN 2 Pasanggrahan, yang dilaksanakan oleh BAZNAS bekerja
sama dengan Yayasan Nurani Dunia dan Institut Pertanian Bogor. Jumlah siswa
kelas 4 dan 5 adalah 54 orang dan semuanya dijadikan contoh penelitian. Jenis
data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Pengumpulan data
dilakukan dengan wawancara langsung, pengukuran berat badan dan tinggi
badan secara langsung, dan pembagian kuisioner serta dengan melakukan tes
kebugaran yaitu bleep test atau tes lari multi tahap. Tahapan pengolahan data
dimulai dari pengkodean (coding), pemasukan data (entry), pengecekan ulang
(cleaning), dan analisis data yang diolah dengan program Microsoft Excel dan
Statistical Program for Social Science (SPSS) versi 16 for windows.
Terdapat satu anak yang drop out, sehingga tersisa 53 anak yang
dijadikan contoh. Contoh laki-laki jumlahnya sebanyak 53% dan contoh
perempuan jumlahnya sebanyak 47%. Secara keseluruhan rata-rata usia contoh
adalah 10.2 ± 1.2 tahun dengan kisaran 8 – 12 tahun. Pada penelitian ini contoh
yang berusia 10 tahun jumlahnya paling banyak (34%), sedangkan sisanya
berusia 9 tahun (32%), 12 tahun (21%), 11 tahun (11%), dan usia 8 tahun (2%).
Secara keseluruhan terdapat 39.6% contoh yang mendapat uang saku Rp 2.000
dan 37.7% contoh yang mendapat uang saku Rp 1.000.
Pada penelitian ini contoh yang berstatus gizi normal sebesar 53.0%
dengan rata-rata z-score IMT/U -1.83 ± 1.17. Contoh berjenis kelamin
perempuan yang memiliki status gizi tergolong normal sebanyak 32.1%. Usia
contoh 9-10 tahun sebagian besar (15.1%) memiliki status gizi normal. Sebesar
18.9% pada kelompok status gizi normal mempunyai uang saku sebesar Rp
1000 dan Rp 2000. Terdapat 7.5% sampel perempuan memiliki tingkat
kecukupan energi tergolong defisit ringan dan normal. Dilihat dari usia contoh,
28.9% contoh berusia 9 tahun memiliki tingkat kecukupan energi yang tergolong
defisit berat. Contoh yang memiliki uang saku sebesar Rp 1.000 memiliki tingkat
kecukupan energi yang tergolong normal sebesar 7.5%. Sebanyak 24.5% contoh
perempuan memiliki tingkat aktivitas fisik ringan, sedangkan 1.9% contoh laki-laki
memiliki tingkat aktivitas fisik berat.
Pada penelitian ini berdasarkan hasil multi tahap, rata-rata skor
kebugaran laki-laki lebih tinggi dibandingkan contoh perempuan. Sebanyak
20.8% contoh laki-laki dan 1.9% contoh perempuan memiliki tingkat kebugaran
jasmani cukup. Pada contoh yang memiliki tingkat kebugaran jasmani cukup,
paling banyak adalah contoh berusia 12 tahun (9.4%), kemudian diikuti contoh
v

berusia 9 tahun (7.5%), contoh berusia 11 tahun (3.8%) dan 10 tahun (1.9%).
Contoh yang memiliki tingkat kebugaran jasmani cukup memiliki uang saku Rp
2.000 (11.3%).
Kebiasaan makan contoh berdasarkan hasil wawancara dan kuesioner,
terdapat 54.7% contoh memiliki frekuensi makan sebanyak tiga kali setiap hari.
Sebanyak 39.6% contoh selalu membiasakan sarapan. Pada penelitian ini hanya
5.7% contoh yang mempunyai makanan pantangan. Terdapat 43.4%, 49.4%,
dan 45.3% contoh yang jarang mengkonsumsi sayur, protein hewani, serta
protein nabati. Sebanyak 30.2% contoh tidak pernah mengkonsumsi buah-
buahan. Sebagian besar contoh (60.4%) mengkonsumsi air putih 5-8 gelas
setiap harinya dan sebanyak 37.7% contoh sering mengkonsumsi susu setiap
minggunya. Sebanyak 47.2% contoh sering jajan, yaitu 4-6 kali setiap
minggunya.
Pada tingkat kebugaran cukup, 20.8% contoh memiliki tingkat kecukupan
energi tergolong defisit berat. Sebanyak 34% contoh memililki tingkat kecukupan
protein tergolong defisit berat, 28.3% tergolong lebih, 20.8% contoh tergolong
normal, 9.4% tergolong defisit ringan, dan 7.5% contoh tergolong defisit sedang.
Pada tingkat kebugaran cukup, 11.3% contoh memiliki tingkat kecukupan protein
tergolong defisit berat. Contoh yang memiliki tingkat kecukupan vitamin A kurang
hanya terdapat 1.9% sedangkan sisanya (98.1%) memiliki tingkat kecukupan
vitamin A cukup. Terdapat 5.7% contoh yang memiliki tingkat kecukupan vitamin
B1 dan kalsium tergolong cukup. Terdapat 17% dan 30.2% contoh yang memiliki
tingkat kecukupan vitamin C dan zat besi tergolong cukup. Pada tingkat
kebugaran kurang sekali, kurang, dan cukup, sebagian besar contoh memiliki
tingkat kecukupan vitamin dan mineral tergolong kurang.
Sebanyak 56.6% dan 34% contoh pada penelitian ini memiliki tingkat
aktivitas fisik ringan dan singat ringan. Pada tingkat kebugaran cukup, 13.2%
contoh memiliki aktivitas fisik ringan, sisanya 5.7% memiliki aktivitas sangat
ringan, 1.9%, dan 1.9% contoh memiliki aktivitas fisik sedang dan berat. Contoh
yang memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang sekali, kurang, dan cukup,
sebagian besar berturut-turut (7.5%, 32.1%, 13.2%) memiliki status gizi normal.
Terdapat perbedaan signifikan (p<0.05) antara jenis kelamin contoh,
kebiasaan konsumsi sayuran, kebiasaan konsumsi protein nabati, dan aktivitas
fisik dengan kebugaran contoh. Tingkat kebugaran jasmani berhubungan
signifikan (p>0.05) dengan usia dan tingkat kecukupan vitamin zat besi contoh.
Hasil analisis regresi linier menunjukkan bahwa terdapat variabel independen,
yaitu usia dan tingkat kecukupan zat besi yang berpengaruh signifikan (p<0.05)
terhadap kebugaran contoh.
vi

HUBUNGAN STATUS GIZI, ASUPAN ZAT GIZI, DAN AKTIVITAS


FISIK DENGAN KEBUGARAN ANAK SEKOLAH DI SDN 2
PASANGGRAHAN PURWAKARTA

IRANI RACHMAWATI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan YME atas berkat-Nya


sehingga skripsi berjudul “Hubungan Status Gizi, Asupan Zat Gizi, dan Aktivitas
Fisik dengan Kebugaran Anak Sekolah di SDN 2 Pasanggrahan Purwakarta”
dapat diselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat bagi penulis untuk
dapat memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Sebagai ungkapan rasa
syukur, penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan nasihat dan dukungan kepada penulis selama menjalani
perkuliahan.
2. Prof. Dr. Ir. Hidayat Syarief, MS dan Dr. Ir. Budi Setiawan, MS selaku
pembimbing skripsi yang telah memberikan banyak saran dan masukan
pada skripsi sejak awal penelitian hingga penyelesaian skripsi.
3. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku pemandu seminar dan penguji yang telah
memberikan semangat, kritik, dan saran demi penyempurnaan skripsi.
4. LSM Nurani Dunia dan pihak SDN 2 Pasanggrahan Purwakarta yang telah
memberi kesempatan, kepercayaan, dan kemudahan dalam pelaksanaan
penelitian.
5. Para pembahas seminar Stacey A. Gunawan, Wilda Haerul, Ratu D.
Koerniawati, dan Noviany C. Dewi yang telah memberikan kritik dan saran
sehingga skripsi ini dapat diperbaiki dan disempurnakan.
6. Orangtua dan adik yang senantiasa memberikan doa dan dukungan, baik
berupa materi dan moril serta semangat dalam penyelesaian skripsi.
7. Teman-teman Gizi Alih Jenis angkatan 04 yang telah memberikan dukungan
dan semangat selama dua tahun kuliah.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan penulis. Penulis juga
berharap agar penelitian ini dapat dapat bermanfaat bagi semua.

Bogor, Desember 2012

Penulis
viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Januari 1989 di Jakarta. Penulis


merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Budi
Rachman dan Ibu Ety Suryatinah, S.Pd. Pendidikan penulis dimulai di TK
Tirtayasa PCI Cilegon pada tahun 1994-1995. Pada tahun 1995 penulis
melanjutkan pendidikan di SD YPWKS 3 Cilegon hingga tahun 2001. Kemudian
penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Cilegon hingga tahun 2004,
kemudian di SMA Negeri 1 Cilegon hingga tahun 2007. Pada tahun 2007 penulis
melanjutkan pendidikan di Jurusan Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi,
Institut Pertanian Bogor.
Penulis pernah melakukan Intership Dietetik dan Manajemen Sistem
Penyelenggaraan Makanan Rumah Sakit di RSUD Margono, Purwokerto dan
Kuliah Kerja Profesi di Desa Cipetung, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten
Brebes, Jawa Tengah. Pada tahun 2010 penulis menyelesaikan pendidikan D3
dan mendapat gelar sebagai Ahli Madya (AMD) dengan tugas akhir berupa karya
tulis ilmiah mengenai penyelenggaraan makanan untuk pasien pasca bedah di
rumah sakit. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di Program
Pendidikan Sarjana Alih Jenis Mayor Ilmu Gizi, Departemen Gizi Masyrakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
ix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR........................... ............................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiv

PENDAHULUAN........................................................................................... 1
Latar Belakang....................................................................................... 1
Tujuan................................................................................. .................... 2
Hipotesis................................................................................................ .. 2
Kegunaan Penelitian.................. ............................................................ 3

TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 4
Anak Sekolah Dasar............................................................................... 4
Kebugaran Jasmani.................. ............................................................. 4
Pengukuran Tingkat Kebugaran Jasmani... ................................ .. 5
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebugaran Jasmani........................ 6
Usia……………………………………………………………………... 6
Jenis Kelamin………………………………………………………….. 7
Status Gizi……………………………………………………………… 7
Hereditas……………………………………………………………….. 7
Aktivitas Fisik…………………………………………………………. . 7
Konsumsi Pangan……………………………………………………. . 8
Status Gizi.......... ................................................................................... 8
Penilaian Status Gizi.................................... ................................. 8
Pengukuran dan Penilaian Status Gizi secara Antropometri …..... 10
Konsumsi Pangan................. ................................................................. 10
Penialain Konsumsi Pangan....... .................................................. 11
Kecukupan Gizi Bagi Anak Sekolah Dasar.................................. ........... 13
Aktivitas Fisik.......... ............................................................................... 13
Pengukuran dan Penilaian Aktivitas Fisik....................................... 14

KERANGKA PEMIKIRAN........ ..................................................................... 16

METODE PENELITIAN............................................................................ ...... 18


Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian......... ......................................... 18
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh........ .............................................. 18
Jenis dan Cara Pengumpulan Data........................................................ 18
Pengolahan dan Analisis Data.................................................................. 19
Definisi Operasional................................................................................ 23

HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................... 25


Gambaran Umum Sekolah....................................................................... 25
Karakteristik Contoh........................................................................ ........ 26
Jenis Kelamin................................................................................. 26
Usia………………………………………………………………………. 26
Uang Saku...................................................................................... 27
Status Gizi............................................................................................... 28
x

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi.................................................. 30


Tingkat Kecukupan Energi………………………………………….... 30
Tingkat Kecukupan Protein…………………………………………... 32
Tingkat Kecukupan Vitamin A………………………………………. . 33
Tingkat Kecukupan Vitamin B1…………………………………….... 35
Tingkat Kecukupan Vitamin C………………………………………. . 36
Tingkat Kecukupan Zat Besi…………………………………………. 37
Tingkat Kecukupan Kalsium………………………………………… . 39
Aktivitas Fisik................................................................... ....................... 40
Kebugaran……………………………………………….............................. 43
Frekuensi Makan berdasarkan Tingkat Kebugaran……………….. 46
Kebiasaan Makan berdasarkan Tingkat Kebugaran………………. 47
Kebiasaan Konsumsi Sayur dan Buah berdasarkan Tingkat
Kebugaran …………………………… ...................................... 48
Kebiasaan Konsumsi Pangan Sumber Protein berdasarkan
Tingkat Kebugaran…………………........................................ . 49
Kebiasaan Minum berdasarkan Tingkat Kebugaran………………. 51
Hubungan Status Gizi dengan Kebugaran ................ ……………………. 52
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi dengan Kebugaran... 52
Tingkat Kecukupan Energi dengan Kebugaran………………........ 52
Tingkat Kecukupan Protein dengan Kebugaran………………....... 53
Tingkat Kecukupan Vitamin A dengan Kebugaran………….. ........ 54
Tingkat Kecukupan Vitamin B1dengan Kebugaran…………. ........ 54
Tingkat Kecukupan Vitamin C dengan Kebugaran………….......... 55
Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Kebugaran……………......... 56
Tingkat Kecukupan Kalsium dengan Kebugaran……………. ........ 56
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kebugaran………………... ................ 57
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kebugaran………………….. 58

KESIMPULAN DAN SARAN...................................................................... .... 59


Kesimpulan............................................................................................. . 59
Saran...................................................................................................... . 60

DAFTAR PUSTAKA................................................................................. ...... 61

LAMPIRAN............................................................................................... ...... 65
xi

DAFTAR TABEL

Halaman
1 Kategori status gizi menurut IMT/U…………………………………………. 10
2 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per hari bagi anak
usia sekolah........................................................................................... 13
3 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL.............................. 15
4 Jenis variabel dan indikator penelitian........................... ......................... 19
5 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi.................................... 20
6 Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR ........................................ 21
7 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL.............................. 21
8 Formulir catatan lari multi tahap.............................................................. 22
9 Kategori VO2 max pada hasil bleep test.................. ............................... 22
10 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan usia........ ..................... 27
11 Sebaran contoh berdasarkan status gizi........ ........................................ 29
12 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi........... .............. 31
13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein......................... 33
14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A…………...... 34
15 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1.. ............... . 35
16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C................... . 37
17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat besi........................ 38
18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan kalsium........................ 39
19 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik. .......................................... . 41
20 Jenis aktivitas fisik, alokasi waktu, dan rata-rata nilai PAL
contoh.................................................................................... ........... ...... 42
21 Sebaran usia contoh berdasarkan tingkat kebugaran………………. ...... 45
22 Sebaran uang saku contoh berdasarkan tingkat kebugaran................... 46
23 Sebaran frekuensi makan contoh berdasarkan tingkat kebugaran…….. 47
24 Sebaran kebiasaan makan contoh berdasarkan tingkat kebugaran……. 48
25 Sebaran konsumsi sayur dan buah contoh berdasarkan tingkat
kebugaran….. ........................................................................................ 49
26 Sebaran konsumsi pangan sumber protein contoh berdasarkan
tingkat kebugaran…….. ......................................................................... 50
27 Sebaran kebiasaan minum contoh berdasarkan tingkat kebugaran........ 51
28 Sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat kebugaran…………..…. 52
29 Sebaran tingkat kecukupan energi contoh berdasarkan tingkat
kebugaran……………………………………………………………………… 53
xii

30 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh berdasarkan tingkat


kebugaran……………………………………………………………………… 54
31 Sebaran tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh berdasarkan
tingkat kebugaran…………………………………………………………… . 55
32 Sebaran aktivitas fisik contoh berdasarkan tingkat kebugaran……..…… 57
33 Model hasil uji regresi linier………………………………………………….. 58
xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Kerangka pemikiran hubungan status gizi, asupan zat gizi dan
aktivitas fisik dengan kebugaran anak sekolah di SDN 2
Pasanggrahan Purwakarta ................................... .................................. 17
2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin .................. ......................... 26
3 Sebaran contoh berdasarkan usia..................................... ..................... 26
4 Sebaran contoh berdasarkan uang saku...................................... .......... 27
5 Sebaran contoh berdasarkan status gizi......................................... ........ 28
6 Sebaran tingkat kecukupan energi menurut jenis kelamin contoh….. .... 30
7 Sebaran tingkat kecukupan protein menurut jenis kelamin contoh.......... 32
8 Sebaran tingkat kecukupan vitamin A menurut jenis kelamin contoh...... 34
9 Sebaran tingkat kecukupan vitamin B1 menurut jenis kelamin contoh.... 35
10 Sebaran tingkat kecukupan vitamin C menurut jenis kelamin contoh...... 36
11 Sebaran tingkat kecukupan zat besi menurut jenis kelamin contoh........ 38
12 Sebaran tingkat kecukupan kalsium menurut jenis kelamin contoh........ 39
13 Sebaran aktivitas fisik menurut jenis kelamin contoh.............................. 40
14 Sebaran tingkat kebugaran menurut jenis kelamin contoh...................... 44
xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Nilai p hasil uji korelasi berbagai variabel terhadap karakteristik


contoh.................................................................................................... 66
2 Nilai p hasil uji korelasi berbagai variabel dengan tingkat
kebugaran.............................................................................................. 66
3 Nilai p hasil uji beda berbagai variabel berdasarkan status
kebugaran............................................................................. .................. 66
4 Tabel Penilaian VO2 max......................................................................... 67
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Anak usia sekolah adalah investasi bangsa, karena mereka adalah
generasi penerus bangsa. Tumbuh berkembangnya anak usia sekolah yang
optimal tergantung pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang baik
serta benar. Namun dalam masa tumbuh kembang tersebut pemberian nutrisi
atau asupan makanan pada anak tidak selalu dapat dilaksanakan dengan
sempurna. Masalah yang sering timbul terutama dalam pemberian makanan
yang bergizi dan berimbang yang tidak benar dan menyimpang. Bukan hanya itu
saja, contoh terbiasa melakukan kegiatan dengan bantuan alat-alat yang serba
praktis, sehingga contoh menjadi mudah lelah ketika melakukan kegiatan fisik
yang bersifat aktif (Judarwanto 2005).
Bagi seorang anak, kebugaran sangat penting terutama sebagai modal
utama dalam melaksanakan kegiatan belajar dan bermain. Anak yang bugar
akan memiliki rentang perhatian lebih lama dalam belajar, bermain, atau
berbagai kegiatan lainnya (Sriundy 2009). Kebugaran jasmani dipengaruhi oleh
beberapa hal, diantaranya asupan zat gizi dan komposisi tubuh.Komposisi tubuh
tersebut dipengaruhi oleh besarnya status gizi seseorang.Namun demikian,
permasalahan yang terjadi terkait dengan kebugaran jasmani contoh saat ini
masih sangat memprihatinkan.Hal ini terlihat dengan banyaknya anak yang
sering terkena berbagai penyakit, seperti penyakit pernafasan, pencernaan,
ataupun penyakit kurang gerak dan menurunnya daya tahan tubuh.
Menurut Riskesdas 2010, prevalensi status gizi menurut IMT/U anak usia
6-12 tahun di Provinsi Jawa Barat adalah 3.5% sangat kurus, 6.7% kurus, 81.4%
normal, dan 8.5% gemuk. Sedangkan, surveitim pengembang Sport
Development Index tahun 2005 meneliti kebugaran jasmani pelajar SD, SMP dan
SMA di seluruh Indonesia. Hasilnya untuk kategori baik sekali 0%, baik 5,66%,
sedang 37,66%, kurang 45,97%, kurang sekali 10,71%. Selain itu pola hidup
kurang gerak (sedentary lifestyle) seperti berlama-lama nonton TV, video, play
station, dialami sekitar 2/3 anak terutama di negara-negara yang sedang
berkembang.
Kebugaran merupakan kemampuan tubuh untuk melaksanakan suatu
kegiatan dengan menggunakan kekuatan, daya kreasi, dan daya tahan dengan
efisien dalam waktu yang relatif lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti,
serta cadangan energi yang tersisa masih mampu untuk menikmati waktu luang
2

dan menghadapi hal-hal yang tidak terduga (Satya 2008). Kebugaran jasmani
adalah kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa menimbulkan
kelelahan fisik dan mental yang berlebihan. Kebugaran jasmani sangat penting
dalam menunjang aktivitas kehidupan sehari-hari, akan tetapi nilai kebugaran
jasmani tiap-tiap orang berbeda beda sesuai dengan tugas atau profesinya.
Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu kabupaten yang terletak di
Propinsi Jawa Barat.Desa Pasanggrahan terletak di Kabupaten Purwakarta
bagian utara, Kecamatan Tegal Waru. Kondisi kependudukan Desa
Pasanggrahan, Kecamatan Tegal Waru, pada tahun 2007 untuk kelompok anak
usia 5-9 tahun dan 10-14 tahun berjumlah 347 orang dan 352 orang. Di Desa
Pasanggrahan hanya terdapat 2 Sekolah Dasar Negeri, yaitu SDN 01
Pasanggrahan dan SDN 02 Pasanggrahan.Selain itu, di Desa Pasanggrahan
tidak terdapat rumah sakit, posyandu ataupun puskesmas.Mengacu pada
permasalahan masih rendahnya kebugaran jasmani di Indonesia, penelitian
tentang hubungan berbagai faktor, seperti status gizi, aktivitas fisik, dan asupan
zat gizi terhadap kebugaran anak sekolah dasar di desa tertinggal menjadi
menarik untuk dikaji lebih dalam.
Tujuan
Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis status gizi,
aktivitas fisik, dan asupan zat gizi yang berpengaruh dengan kebugaran anak
sekolah di SDN Pasanggrahan 2 Purwakarta.
Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini, adalah:
1. Menganalisis karakteristik contoh.
2. Menganalisis status gizi contoh.
3. Menganalisis asupan zat gizi contoh.
4. Menganalisis aktivitas fisik contoh.
5. Menganalisis tingkat kebugaran contoh.
6. Menganalisis hubungan status gizi, aktivitas fisik, dan asupan zat gizi dengan
tingkat kebugaran contoh.
Hipotesis
1. H0 : Tidak terdapat hubungan yang nyata antara status gizi, aktivitas fisik,
dan asupan zat gizi dengan tingkat kebugarancontoh SDN 2 Pasanggrahan
Purwakarta.
3

2. H1 : Terdapat hubungan yang nyata antara status gizi, aktivitas fisik, dan
asupan zat gizi dengan tingkat kebugaran contoh SDN 2 Pasanggrahan
Purwakarta.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pentingnya
status gizi, aktivitas fisik, dan asupan zat gizi dengan tingkat kebugaran anak
sekolah dasar. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
kepada pihak sekolah dan orang tua terkait tingkat kebugarancontoh dan faktor-
faktor yang mempengaruhinya, seperti status gizi, aktivitas fisik, dan asupan zat
gizi serta akan menjadi masukan untuk perbaikan gizi dan kebugaran contoh.
Selain itu juga mampu memberikan gambaran bagi pemerintah (Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga) tentang akibat tingkat kebugaran yang
kurang optimal.Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat menjadi rujukan untuk
penelitian selanjutnya.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Anak Sekolah Dasar


Menurut Soetardjo (2011), kelompok anak menurut usia dibagi dalam tiga
golongan, yaitu usia 1-3 tahun, 4-6 tahun, dan 7-9 tahun. Usia 1-3 tahun dan 4-6
tahun disebut sebagai usia pra sekolah, sedangkan usia 7-9 tahun sebagai usia
sekolah. Anak sekolah berada pada masa pertumbuhan yang sangat cepat dan
kegiatan fisik yang sangat aktif. Anak usia sekolah berusaha mengembangkan
kebebasan dan membentuk nilai-nilai pribadi. Perbedan-perbedaan antar anak
antara lain tampak pada kecepatan tumbuh, pola aktivitas, kebutuhan gizi,
perkembangan kepribadian, dan asupan makanan.
Perbedaan laju pertumbuhan pada anak laki-laki dan perempuan
ditemukan juga pada usia sekolah dasar. Pada umur 10-12 tahun, kebutuhan gizi
anak laki-laki berbeda dengan anak perempuan.Anak laki-laki lebih banyak
melakukan aktivitas fisik, sehingga membutuhkan energi lebih banyak,
sedangkan anak perempuan pada umumnya sudah mulai menstruasi sehingga
memerlukan protein dan zat besi lebih banyak.Kebutuhan yang meningkat ini
harus diimbangi dengan makanan sumber zat gizi yang diperlukan.Pengaturan
makan yang baik bagi anak adalah dengan memberikan makanan kepada anak
yang mengandung minimal tiga kelompok zat gizi yaitu zat gizi sumber energi,
sumber pembangun, dan sumber pengatur dalam jumlah yang cukup sehingga
pertumbuhan dan perkembangan fisik tetap berjalan optimal (Nasoetion & Riyadi
1994).
Kebugaran Jasmani
Kebugaran adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugas
atau pekerjaan fisik tidak merasakan kelelahan disaat melakukan pekerjaan atau
tugas tersebut. Kebugaran jasmani akan diperoleh apabila seseorang melakukan
latihan rutin dan berkesinambungan. Kebugaran akan mempengaruhi terhadap
kinerja sehingga tidak akan cepat merasa lelah (Adi 2010). Menurut Satya (2008)
derajat kebugaran dapat menggambarkan seberapa baik penyesuaian fisik
terhadap beban dan tugas fisik yang dilakukan dan seberapa cepat proses pulih
asal dari kelelahannya. Semakin baik tingkat penyesuaian terhadap tugas fisik
dan kecepatan pulih asalnya, maka semakin baik pula tingkat kebugaran yang
dimilikinya.
Kebugaran diuraikan menjadi berbagai komponen yang secara garis
besarnya terbagi menjadi dua golongan yaitu komponen kebugaran yang terkait
5

dengan kesehatan (health-related fitness) dan komponen kebugaran yang terkait


dengan keterampilan (skill-related fitness).Komponen kebugaran yang terkait
dengan kesehatan secara umum adalah 1)kebugaran jantung-paru, 2)kebugaran
otot (kekuatandan daya tahan otot), 3)fleksibilitas, (kelentukan) dan 4)komposisi
tubuh. Komponen kebugaran yang terkait dengan keterampilan terdiri dari
berbagai macam dan untuk setiap orang bersifat khas, yaitu sangat bergantung
pada profesi seseorang (Sudarsono 2008).
Menurut Sudarsono (2008), berbagai jenis olahraga dapat menjadi pilihan
untukmemelihara kebugaran tubuh. Setiap saat mucul jenis olahraga baru,
exercisebaru yang kelihatan menarik dan modern. Namun, sesungguhnya hal
yang penting diperhatikandalam merencanakan kegiatan berolahraga adalah
memenuhi setidaknya empat criteria, yaitu: F (frequency; frekuensi berolahraga),
I (intensity; intensitas/beratnya latihan), T(type; jenis kegiatan olahraga), dan T
(time/duration; lama waktu berolahraga). Kebugaran tubuh dapat dicapai jika
olahraga yang dilakukan dapat mencapai sasaran berbagai komponen
kebugaran.
Pengukuran Tingkat Kebugaran Jasmani
Setiap orang memiliki tingkat kebugaran jasmani yang berbeda-beda.Hal
ini dapat diketahui dengan menggunakan tes kebugaran jasmani. Tes kebugaran
jasmani ada bermacam-macam, antara lain: 1) Harvard Step Test, 2) Tes
Aerobik, 3) Tes ACSPFT, 4)Bleep Test, 5) Tes Kebugaran Jasmani Indonesia
(TKJI).Bleep test bertujuan untuk mengukur tingkat efisiensi fungsi jantung dan
paru-paru yang ditunjukkan melalui pengukuran pengambilan oksigen maksimum
(maximum oxygen uptake). Alat-alat yang diperlukan dalam pelaksanaan tes
tersebut diantaranya: lintasan datar dan tidak licin, meteran, kaset, formulir bleep
test, dan alat tulis (Nurhasan & Cholil 2007).
Pelaksanaan dari bleep test atau tes lari multi tahap, yaitu: 1) Pertama-
tama diukur jarak sepanjang 20 meter dan diberi tanda pada kedua ujungnya.
Peserta tes dianjurkan melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum mengikuti
tes dan 2) Hidupkan pita suara (kaset), kemudian peserta tes mulai berlari ketika
pita kaset mulai mengeluarkan sinyal suara “TUT”. Jarak antara dua sinyal “TUT”
menandai suatu interval 1 menit. Peserta tes harus meneruskan lari selama
mungkin sampai tidak mampu lagi menyesuaikan dengan kecepatan yang telah
diatur dalam pita rekaman. Skor-skor peserta tes lari multi tahap dapat digunakan
6

untuk mengukur kebugaran yang dilihat dari besarnya nilai VO2 max (Nurhasan &
Cholil 2007).
VO2 max atau yang biasa disebut dengan maximal oxygen consumption,
maximal oxygen uptake, peak oxygen uptake atau maximal aerobic capacity
adalah kapasitas maksimum tubuh seseorang untuk menyalurkan dan
menggunakan oksigen selama olahraga berintensitas tinggi. VO2 max bisa
diketahui dengan menghitung jumlah oksigen dalam liter per menit (l/menit) atau
nilai relatif oksigen dalam mililiter per kilogram berat tubuh per menit (ml/kg/min).
VO2 max juga bisa dipakai sebagai alat ukur kekuatan aerobik maksimal dan
kebugaran kardiovaskular (Dunia Fitness 2012).
Menurut Nurhasan dan Cholil (2007), tes ini bersifat maksimal dan
progresif, artinya cukup mudah pada permulaannya kemudian meningkat dan
makin sulit menjelang saat-saat terakhir.Peserta tes harus mengerahkan kerja
maksimal saat melakukan tes ini. Setelah melakukan tes, lakukan gerakan-
gerakan pendinginan dengan cara berjalan dan diikuti dengan peregangan-
peregangan otot. Jumlah terbanyak dari level dan balikan sempurna yang behasil
diperoleh dicatat sebagai skor-skor peserta tes.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebugaran Jasmani
Usia
Pada usia pertumbuhan kebugaran jasmaninya akan lebih baik,
dikarenakan fungsi organ akan tumbuh dengan optimal. Sedangkan pada orang
tua akan terjadi penurunan kebugaran jasmnani dikarenakan banyak jaringan-
jaringan dalam tubuh yang mengalami kerusakan (Muslichatun 2005).
Tingkat kebugaran jasmani meningkat sampai mencapai maksimal pada
usia 30 tahun, dan setelah usia 30 tahun akan terjadi penurunan kebugaran
secara perlahan (Afriwardi 2002). Hal tersebut terjadi akibat penurunan kapasitas
fungsional dari seluruh tubuh, kira-kira sebesar 0.8-1% per tahun, tetapi bila rajin
berolahraga penurunan ini dapat dikurangi sampai separuhnya (Depkes
2010).Usia besar pengaruhnya terhadap kebugaran jasmani, misalnya: 1) Daya
tahan jantung dan pembuluh darah, mulai anak-anak meningkat sampai usia
sekitar 20 tahun, dan mencapai maksimal di usia 20-30 tahun, kemudian
menurun sesuai dengan usia, sehingga pada usia 70 tahun hanya memiliki daya
tahan jantung dan pembuluh darah sekitar 50% saja dan 2) Kekuatan Otot, pada
usia kira-kira 25 tahun kekuatan otot mencapai dalam keadaan optimal, setelah
itu terjadi penurunan, hingga pada usia 65 tahun kekuatannya hanya sekitar 65-
7

70% dari kekuatan yang dimiliki pada usia 25 tahun, sesudah usia 65 tahun
penurunannya akan lebih cepat lagi. Pada anak-anak berusia 15-19 tahun
kekuatan ototnya baru mencapai 70-85% maksimal. Selain itu seluruh nilai
komponen kebugaran jasmani juga akan mengalami penurunan setelah usia kira-
kira 30 tahun.
Jenis Kelamin
Nilai kebugaran jasmani pada laki-laki dan perempuan hampir sama
sampai usia pubertas, tetapi setelah usia tersebut laki-laki mempunyai nilai jauh
lebih besar. Hal ini dapat disebabkan salah satunya pengaruh hormone seks laki-
laki yang mempunyai hormon testoteron 10 kali lebih banyak dari
perempuan.Hormon ini adalah suatu anabolic steroid yang membuat otot jadi
lebih besar dan lebih kuat (rata-rata kekuatan otot perempuan hanya sekitar 2/3
dari kekuatan otot laki-laki) dan bersifat lebih agresif (Afriwardi 2002).
Status Gizi
Status gizi adalah hasil akhir dari keseimbangan antara makanan yang
masuk ke dalam tubuh (nutrient input) dengan kebutuhan tubuh (nutrient output)
akan zat gizi tersebut (Supariasa 2002). Sedangkan zat gizi sendiri dapat
diartikan adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya,
yaitu menghasilkan energi, membangun, dan memelihara jaringan, serta
mengatur proses-proses kehidupan (Almatsier 2006).Status gizi sangat
mempengaruhi tingkat kebugaran jasmani seseorang, karena status gizi
menyebabkan tingkat kesehatan seseorang menjadi baik.
Hereditas
Komponen kebugaran jasmani sesungguhnya mencakup dua komponen
dasar, yaitu kebugaran organik dan kebugaran dinamik.Kebugaran organik
membahas bagaimana pengaruh garis keturunan dalam mewariskan tingkat
kebugaran pada generasi berikutnya (Satya 2008).
Aktivitas fisik
Almatsier (2004) menjelaskan bahwa aktivitas fisik adalah gerakan yang
dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya untuk menggerakkan badan.
Latihan fisik tidak sama dengan aktivitas fisik. Latihan fisik merupakan bagian
dari aktivitas fisik yang terencana, terstruktur, dilakukan berulang-ulang dan
bertujuan untuk memperbaiki atau mempertahankan kebugaran jasmani.Tugas-
tugas rumah tangga dan pekerjaan biasanya dilakukan tanpa
mempertimbangkan aspek kebugaran jasmani. Walaupun demikian seseorang
8

dapat melaksanakan tugas-tugas rumah tangga dan pekerjaan dengan cara yang
lebih efektif dan menghasilkan kebugaran jasmani pada saat yang sama
pekerjaan terselesaikan.
Konsumsi pangan
Menurut Suharjana dan Purwanto (2008) untuk mendapatkan kesehatan
dan kebugaran jasmani yang baik, seseorang harus berpola hidup sehat.Untuk
melakukan aktivitas sehari-hari manusia memerlukan energi.Energi tersebut
diperoleh dari makanan yang dikonsumsi sehari-hari.Proporsi makanan yang
baik adalah karbohidrat 60%, lemak 25% dan protein 15%.Zat-zat gizi dari
makanan mutlak diperlukan agar kebugaran jasmani baik karena zat-zat
teersebut digunakan untuk tenaga atau kalori, pembentukan sel-sel atau
pertumbuhan dan menggiatkan atau mengatur proses-proses dalam tubuh
(Susilowati 2007).
Status Gizi
Menurut Briawan dan Madanijah (2008), status gizi adalah keadaan tubuh
yang diakibatkan oleh keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat gizi dan
jumlah yang dibutuhkan (requirement) untuk berbagai fungsi biologis.Status gizi
sangat ditentukan oleh ketersediaan zat gizi dalam jumlah cukup dan dalam
kombinasi waktu yang tepat di tingkat sel agar tubuh dapat berkembang dan
berfungsi dengan normal.Nilai status gizi seseorang ditentukan oleh pemenuhan
semua zat gizi yang diperlukan tubuh dari makanan dan berperannya fatktor
yang menentukan besarnya kebutuhan, penyerapan, dan penggunaan zat-zat
gizi tersebut (Supariasa 2002).
Riyadi (2007), mendefinisikan status gizi sebagai keadaan kesehatan
tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi,
penyerapan, dan penggunaan zat-zat gizi makanan.Ukuran fisik seseorang
sangat erat hubungannya dengan status gizi, oleh sebab itu antropometri diakui
sebagai indikator yang baik dan dapat diandalkan dalam penentuan status
gizi.Ditambahkan oleh Hardinsyah et al. (2002), bahwa status gizi baik atau
status gizi optimal terjadi bila tubuh digunakan secara efisien, sehingga
memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan
kesehatan secara umum pada tingkat yang setinggi mungkin.
Penilaian Status Gizi
Terdapat dua jenis penilaian status gizi, yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian status gizi secara langsung antara lain dengan antropometri,
9

biokimia, biofisik, dan klinis. Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat
dilakukan melalui survey konsumsi makanan, statistik vital, dan penilaian faktor
ekologi (Supariasa 2002). Menurut Gibson (2005), terdapat empat cara untuk
melakukan penilaian status gizi di tingkat individu, yaitu pengukuran klinis atau
fisik, pengukuran konsumsi makanan, pengukuran antropometri, dan pengukuran
biokimia.
Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia.Ditinjau dari
sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi.Antropometri secara umum digunakan untuk melihat
ketidakseimbangan asupan protein dan energi.Ketidakseimbangan ini terlihat
pada pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan
jumlah air dalam tubuh (Fauzi 2011).
Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai
status gizi masyarakat.Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang
terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi.Hal ini dapat dilihat
pada jaringan epitel (superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan
mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti
kelenjar tiroid.Penggunaan metode ini umumnya untuk survei klinis secara cepat
(rapid clinical surveys).Survei ini dirancang untuk mendeteksi secara cepat
tanda-tanda klinis umum dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi (Fauzi
2011).
Menurut Fauzi (2011), penilaian status gizi dengan biokimia adalah
pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada
berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain:
darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.Metode
ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi keadaan
malnutrisi yang lebih parah lagi. Gejala klinis yang kurang spesifik banyak
ditemui, maka penentuan kimia faali dapat lebih banyak menolong untuk
menentukan kekurangan gizi yang spesifik.
Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi
dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan
struktur dari jaringan.Umumnya dapat digunakan dalam situasi tertentu seperti
kejadian buta senja epidemik (epidemic of night blindnes), Cara yang digunakan
adalah tes adaptasi gelap (Fauzi 2011).
10

Pengukuran dan Penilaian Status Gizi secara Antropometri


Pengukuran antropometrik berasal dari bahasa latinantropos yang berarti
manusia (human being). Antropometrik dapat dilakukan melalui beberapa macam
pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan, dan lingkar
lengan sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam survei
gizi.Menurut Riyadi (2004), saat ini pengukuran antropometri (ukuran-ukuran
tubuh) digunakan secara luas dalam penilaian status gizi, terutama bila terjadi
ketidakseimbangan kronik antara intake energi dan protein.
Gibson (2005) menyatakan bahwa pada anak-anak indeks antropometri
yang sering digunakan adalah berat badan menurut umur (BB/U), berat badan
menurut tinggi badan (BB/TB) dan tinggi badan menurut umur (TB/U).Indeks
antropometri dapat dinyatakan dalam istilah z-skor, persentil atau persen
terhadap median.Indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan tidak hanya
dipengaruhi oleh umur saja tetapi juga oleh tinggi badan (TB).Indikator TB/U
menggambarkan status gizi ini secara sensitif dan spesifik. Menurut WHO (2007)
pengukuran status gizi pada anak usia 5 hingga 19 tahun sudah tidak
menggunakan indikator BB/TB akan tetapi menggunakan indeks massa tubuh
berdasarkan umur (IMT/U).
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan cara yang lebih dianjurkan untuk
menentukan status gizi kurus, normal, atau gemuk pada seseorang. IMT
merupakan hasil pembagian berat badan (BB) dalam satuan kilogram dengan
kuadrat tinggi badan (TB2) dalam satuan meter. Indeks ini tidak memerlukan data
usia sehingga merupakan indeks yang independen terhadap usia dan dapat
digunakan untuk menyatakan status gizi saat ini. Kategori status gizi berdasarkan
IMT/U dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1 Kategori status gizi menurut IMT/U
Kategori IMT/U Baku nilai
Sangat gemuk >+3 SD
Gemuk +2 SD sampai dengan +3 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Kurus -3 SD sampai -2 SD
Sangat kurus <-3 SD
Sumber: WHO 2007

Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.Definisi ini
11

menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau dari aspek jenis pangan
yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi.Jenis dan jumlah pangan
merupakan hal yang penting dalam menghitung jumlah zat gizi yang
dikonsumsi.Batasan ini menunjukkan bahwa konsumsi pangan dapat ditinjau
berdasarkan aspek jenis pangan dan jumlah pangan yang dikonsumsi (Kusharto
& Sa’adiyah 2008).
Penilaian Konsumsi Pangan
Survey konsumsi atau penilaian konsumsi pangan adalah salah satu
metode yang digunakan dalam penetuan status gizi perorangan atau
kelompok.Supariasa (2002) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi pangan
terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode kuantitatif,
serta gabungan dari keduametode tersebut.Metode kualitatif digunakan untuk
mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan pangan,
dan menggali informasi tentang kebiasaan makan. Metode kuantitaif digunakan
untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung
konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan
(DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga
(URT), Daftar Konversi Mentah Masak (DKMM), dan Daftar Penyerapan Minyak
(DPM).
Metode food recall 24 jam merupakan salah satu metode dalam
melakukan survey konsumsi pangan dengan tujuan untuk mengetahui kebiasaan
makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi pada
tingkat kelompok, rumah tangga, dan perorangan serta faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap konsumsi pangan. Mengingat kembali dan mencatat
jumlah serta jenis pangan dan minuman yang telah dikonsumsi 24 jam
merupakan metode pengumpulan yang paling banyak digunakan dan paling
mudah dilakukan (Arisman 2004).
Pengukuran konsumsi pangan diawali dengan menanyakan jumlah
pangan dalam URT (Ukuran Rumah Tangga), setelah itu baru dikonversi dalam
satuan berat (Kusharto & Sa’adiyah 2008).Pengukuran food recall 24 jam
sebaiknya dilakukan berulang-ulang dan harinya tidak berturut-turut. Pengukuran
sebaiknya minimal dua kali (2x24 jam) tanpa berturut-turut sehingga dapat
menghasilkan gambaran asupan gizi yang lebih optimal dan memberikan variasi
yang lebih besar tentang intake harian individu (Gibson 2005).
12

Menurut Gibson (2005), pada metode food recall jumlah makanan yang
dikonsumsi diukur atau diperkirakan dengan ukuran rumah tangga yang
kemudian dikonversi dengan ukuran berat. Metode ini memiliki beberapa
kelebihan, diantaranya: 1) Menunjukkan konsumsi makanan yang akurat
(dibandingkan dengan food frequency); 2) Mengingat dalam jangka waktu yang
pendek (24 jam yang lalu); 3) Mampu memperkirakan asupan zat gizi dari
kelompok; 4) Tidak mengubah kebiasaan makan; dan 5) Wawancara dapat
dilakukan melalui telepon jika responden tidak dapat hadir.
Kelemahan dari metode food recall, yaitu: 1) Mengandalkan ingatan
responden yang mungkin kurang akurat; 2) Responden dapat menambah atau
mengurangi informasi konsumsi makanan yang sebenarnya; dan 3) Estimasi
konsumsi energi menjadi rendah karena konsumsi minuman sering tidak
diperhitungkan.
Metode food frequency didesain untuk memperoleh gambaran informasi
mengenai bahan makanan yang biasa dikonsumsi pada waktu tertentu.Kuisioner
food frequency terdiri dari daftar bahan makanan yang biasa dikonsumsi dan
kategori frekuensi yang digunakan (hari, minggu, bulan atau tahun).Daftar bahan
makanan dibuat berdasarkan kelompok makanan untuk memperkirakan asupan
zat gizi. Kuesioner food frequency harus dibuat secara sederhana sehingga
hanya diperlukan 15-30 menit waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi kuisioner
(Gibson 2005).
Food frequency dibagi menjadi dua macam yaitu Food Frequency
Qualitative (FFQ) dan Food Frequency Semi-Quantitative (FFSQ).FFQ
digunakan untuk melihat kualitas makanan yang dikonsumsi atau melihat
kebiasaan makan sehari-hari. FFSQ digunakan untuk melihat kebiasaan makan,
jumlah makan yang biasa dikonsumsi, menentukan frekuensi dari konsumsi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi dalam suatu periode tertentu
(Gibson 2005).
Menurut Gibson (2005), metode food frequency ini mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Kelebihannya antara lain relatif murah, dapat dilakukan sendiri
oleh responden, tidak membutuhkan latihan khusus, dan dapat membantu
menjelaskan hubungan antara penyakit dengan kebiasaan makan.Kekurangan
metode Food Frequency antara lain tidak dapat digunakan untuk menghitung
intake zat gizi sehari, sulit mengembangkan kuisioner pengumpulan data, cukup
menjemukan bagi pewawancara, perlu membuat percobaan pendahuluan untuk
13

menentukan jenis bahan makanan yang akan masuk dalam daftar kuisioner,
serta responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.
Kecukupan Gizi Bagi Anak Sekolah Dasar
Perhitungan asupan gizi seseorang dapat mengacu pada Daftar
Kecukupan Gizi (DKG), yaitu daftar yang memuat angka-angka kecukupan gizi
rata-rata per orang per hari bagi orang sehat Indonesia.Penilaian tingkat
kecukupan zat gizi dilakukan dengan membandingkan konsumsi zat gizi aktual
dengan AKG yang dianjurkan (Hardinsyah & Briawan 1994).Angka kecukupan
gizi adalah nilai yang menunjukkan jumlah zat gizi yang diperlukan tubuh untuk
hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur,
jenis kelamin, dan kondisi fisiologis tertentu seperti kehamilan dan menyusui
(Muhilal & Sulaeman 2004).
Untuk pertumbuhan dan perkembangan secara normal, seorang anak
harus mengkonsumsi makanan dengan jumlah yang cukup (Rahmawati 2001).
Apabila makanan yang dikonsumsi oleh anak sekolah dasar tidak mencukupi
kebutuhan gizinya, maka akan dapat mengakibatkan gangguan gizi pada anak
sekolah dasar. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa anak usia sekolah dasar
mengkonsumsi zat gizi kurang dari kecukupan yang dianjurkan disebabkan
karena jarang sarapan pagi, pemilihan makanan jajanan yang kurang baik serta
jarang mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan (Thoha 2003).Angka
kecukupan gizi yang dianjurkan bagi anak sekolah dasar dapat dilihat pada Tabel
2 berikut.
Tabel 2 Angka kecukupan gizi rata-rata yang dianjurkan per hari bagi anak usia
sekolah
Golongan umur
Energi dan zat gizi
7 – 9 tahun Pria 10 – 12 tahun Wanita 10 – 12 tahun
Energi (kkal) 1800 2050 2050
Protein (g) 45 50 50
Vitamin A (RE) 500 600 600
Vitamin B1 (mg) 0,9 1,1 1,1
Vitamin C (mg) 45 50 50
Kalsium (mg) 600 1000 1000
Zat Besi (mg) 10 13 20
Sumber: WKNPG 2004
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik atau disebut juga aktivitas eskternal adalah suatu rangkaian
gerak tubuh yang menggunakan tenaga atau energi. Jenis aktivitas fisik yang
sehari-hari dilakukan antara lain berjalan, berolahraga, mengangkat benda, dan
mengayuh sepeda. Setiap kegiatan fisik menentukan energi yang berbeda
menurut lamanya intensitas dan sifat kerja otot (FKM-UI 2007). Aktivitas fisik juga
14

diartikan sebagai gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem


penunjangnya untuk menggerakan badan.
Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Kelebihan energi
karena rendahnya aktivitas fisik dapat meningkatkan risiko kegemukan dan
obesitas. Oleh karena itu, angka kebutuhan energi individu disesuaikan dengan
aktivitas fisik (FAO/WHO/UNU 2001). Aktivitas fisik dan angka metabolisme
basal (AMB) atau basal metabolic rate (BMR) merupakan komponen utama yang
menentukan kebutuhan energi. AMB dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, berat
badan, dan tinggi badan (Almatsier 2004).
Menurut WHO (2007), aktivitas fisik contoh sekolah dibagi atas beberapa
bagian, yaitu tidur, waktu sekolah, waktu luang (di sekolah dan luar sekolah),
waktu mengerjakan tugas, waktu melakukan perjalanan ke sekolah, dan waktu
olahraga. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi di luar
metabolisme untuk bergerak, sedangkan jantung dan paru-paru memerlukan
tambahan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh
serta untuk mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh. Banyaknya energi yang
dibutuhkan tergantung pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama,
dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2006).
Aktivitas fisik dilaporkan merupakan 20-40% total pengeluaran
energi.Aktivitas fisik rutin dapat memberikan dampak positif bagi kebugaran
seseorang, diantaranya yaitu: 1) peningkatan kemampuan pemakaian oksigen
dan curah jantung, 2) penurunan detak jantung, penurunan tekanan darah,
peningkatan efisiensi kerja otot jantung, 3) mencegah mortalitas dan morbiditas
akibat gangguan jantung, 4) peningkatan ketahanan saat melakukan latihan fisik,
5) peningkatan metabolisme tubuh (berkaitan dengan gizi tubuh), 6)
meningkatkan kemampuan otot, dan 7) mencegah obesitas (Astrand 1992).
Pengukuran dan Penilaian Aktivitas Fisik
Menurut Riyadi (2006), jika diketahui jumlah energi tubuh yang telah
dikeluarkan selama aktivitas sehari, maka sebenarnya jumlah tersebut
merupakan kebutuhan energi seseorang dengan asumsi aktivitas harian tersebut
merupakan aktivitas normal sehari-hari untuk hidup sehat. Kegiatan fisik dan
olahraga secara teratur dan cukup takarannya, dapat membantu
mempertahankan derajat kesehatan yang optimal. Kegiatan fisik dan olahraga
yang tidak seimbang dengan energi yang dikonsumsi dapat mengakibatkan berat
badan tidak normal.
15

FAO/WHO/UNU (2001), menyatakan bahwa aktivitas fisik dan angka


metabolisme basal merupakan variabel utama dalam perhitungan pengeluaran
energi. Pengeluaran energi dapat menjadi gambaran kebutuhan energi
seseorang dapat hidup sejahtera dan berkualitas secara keseluruhan. Tingkat
aktivitas fisik yang dilakukan seseorang selama 24 jam dinyatakan dalam PAL
(Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL ditentukan dengan rumus
berikut:
( )
PAL =
24
Keterangan :
PAL = Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)
PAR = Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis
aktivitas per satuan waktu tertentu)
Tabel 3 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL
Kategori Nilai PAL
Aktivitas Sangat Ringan < 1,40
Aktivitas Ringan 1,40- 1,69
Aktivitas Sedang 1,70-1,99
Aktivitas Berat 2,00-2,40
Sumber: FAO/WHO/UNU (2001)
16

KERANGKA PEMIKIRAN

Kebugaran adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tugas


atau pekerjaan fisik tidak merasakan kelelahan disaat melakukan pekerjaan atau
tugas tersebut.Kebugaran fisik atau jasmani adalah suatu kualitas atau kondisi
fisiologis dan karena itu jelas berbeda dengan aktivitas fisik serta latihan fisik
yang merupakan tipe perilaku lainnya.Ciri-ciri kebugaran jasmani yang baik yaitu,
tahan jika bekerja dalam waktu yang lama, tidak mudah capai, tidak mudah
terkena stress, tidak mudah terserang penyakit, dan produktivitas kerja yang
tinggi.
Aktivitas fisik merupakan bentuk kegiatan yang melibatkan anggota tubuh
untuk bergerak.Aktivitas fisik dapat diartikan dengan kegiatan yang dilakukan
seseoarng mulai dari bangun sampai tidur kembali.Aktivitas fisik sering identik
dengan melakukan olahraga yang tujuannya untuk mendapatkan kesehatan dan
kebugaran.Anak sekolah memiliki aktivitas fisik yang sangat aktif,maka keadaan
gizi pada masa ini harus diperhatikan dan mempengaruhi keadaan status gizi
dan tingkat kebugarannya.
Konsumsi pangan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara
tunggal maupun beragam, yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang
yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, psikologis dan
sosiologis.Tujuan mengkonsumsi makanansecara fisiologis untuk memenuhi
keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang
diperlukan tubuh.Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi
kebutuhan gizi yang selanjutnya menentukan status gizi seseorang.
Status gizi anak adalah keadaan kesehatan anak yang ditentukan oleh
derajat kebutuhan fisik energi dan zat-zat gizi lain yang diperoleh dari pangan
dan makanan yang dampak fisiknya diukur secara antroppometri. Status gizi
dapat mempengaruhi komposisi tubuh seseorang.Komposisi tubuh selanjutnya
akan mempengaruhi tingkat kebugaran. Kebugaran jasmani adalah kemampuan
tubuh untuk melakukan aktivitas tanpa menimbulkan kelelahan fisik dan mental
yang berlebihan. Kebugaran jasmani sangat penting dalam menunjang aktivitas
kehidupan sehari-hari, akan tetapi nilai kebugaran jasmani tiap-tiap orang
berbeda beda sesuai dengan tugas atau profesinya.
Faktor-faktor diatas diduga berpengaruh terhadap tingkat kebugaran
jasmani pada anak usiasekolah. Kerangka pemikiran selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 1.
17

Karakteristik Contoh:

 Umur
 Jenis Kelamin
 Uang Saku

Pengetahuan Gizi Konsumsi Pangan Ketersediaan

Tingkat Kecukupan:
 Energi
Aktivitas Fisik  Protein
 Vitamin dan
mineral

Status Gizi
Penyakit Penyakit Non
IMT
Infeksi Infeksi

Tingkat Kebugaran
Bleep Test

Prestasi Belajar

Keterangan :
= variabel yang diteliti
= variabel yang tidak diteliti
= hubungan yang diteliti
= hubungan yang tidak diteliti

Gambar 1 Kerangka pemikiran hubungan status gizi, aktivitas fisik, dan asupan
zat gizi terhadap tingkat kebugaran jasmani anak sekolah dasar
18

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu


Penelitian ini menggunakan desain Case Study.Penelitian ini dilakukan di
SDN Pasanggrahan 2, Desa Cilangohar, Kecamatan Tegalwaru Kabupaten
Purwakarta.Pengambilan data dilakukan pada bulan September sampai bulan
November tahun 2012.
Jumlah dan Cara Penarikan Contoh
Pemilihan sampel di SDN Pasanggrahan 2 Kecamatan Tegalwaru
Kabupaten Purwakarta secara purposive berdasarkan rekomendasi dari
BAZNAS dan LSM Nurani Dunia dengan kriteria sekolah yang berhak menerima
zakat. Pada penelitian ini, diambil 2 kelas, yaitu kelas 4 sebanyak 26 sampel dan
kelas 5 sebanyak 28 sampel dengan total jumlah sampel 54 anak. Kriteria inklusi
contoh adalah yang bersedia dijadikan sampel, tidak sakit dan tidak mendapat
pengobatan.
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder.Data
primer diperoleh melalui wawancara langsung dengan contoh dan penyebaran
kuesioner.Data primer ini meliputi data karakteristik sosial ekonomi keluarga
contoh, data pengetahuan gizi dan keamanan pangan, antropometri (tinggi
badan, berat badan), aktivitas contoh, tingkat morbiditas, konsumsi pangan dan
data kebugaran contoh.Sedangkan data sekunder sebagai data pendukung yang
diambil meliputi gambaran umum lokasi penelitian (jumlah murid dan guru, lama
belajar, serta sarana dan prasarana) diperoleh dari lokasi penelitian.Berbagai
jenis variabel dan indikator penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.
Data karakteristik contoh dikumpulkan melalui wawancara menggunakan
kuesioner kepada contoh.Data konsumsi pangan diperoleh dengan recall
konsumsi pangan dengan bantuan kuesioner yang dilakukan selama dua kali,
yaitu satu kali pada hari sekolah dan satu hari pada hari libur. Data aktivitas fisik
diperoleh dengan cararecall aktivitas fisik satu hari. Data status gizi diperoleh
dengan pengukuran antropometri dan perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT/U)
perhitungan Z-score.Berat badan contoh diukur menggunakan timbangan
dengan kapasitas maksimum 200 kg dan ketelitian0.1 kg.Tinggi badan contoh
diukur menggunakan microtoise dengan kapasitas maksimum 200 cm dengan
ketelitian 0.1 cm.
19

Tabel 4 Jenis variabel dan indikator penelitian


No Variabel Jenis Data Indikator Cara Pengumpulan Data
1. Karakteristik Primer - Usia Usia, jenis kelamin, dan
contoh - Jenis kelamin uang saku dengan
- Uang saku wawancara dan
kuesioner

2. Konsumsi Primer Konsumsi Wawancara langsung


pangan dengan responden
dengan menggunakan
metode recall 2x 24 jam
dan kuesioner kebiasaan
makan
3. Aktivitas fisik Primer Skor PAL Wawancara dan
kuesioner
4. Status gizi Primer IMT/U BB ditimbang
menggunakan timbangan
injak, TB diukur
menggunakan microtoise

5. Tingkat Primer Kategori kebugaran Bleep Test


2
kebugaran dilihat dari nilai VO
max hasil
pengukuran
6. Profil Sekolah Sekunder Laporan sekolah Wawancara
Pengolahan dan Analisis Data
Proses pengolahan data meliputi editing, coding, entry, dan analisis data.
Proses editing adalah pemeriksaan seluruh kuesioner setelah data terkumpul
dari responden.Coding adalah pemberian angka atau kode tertentu yang telah
disepakati terhadap jawaban-jawaban pertanyaan dalam kuesioner.Entry
merupakan tahapan memasukkan data jawaban kuesioner sesuai kode yang
telah ditentukan untuk masing-masing variabel sehingga menjadi data dasar
untuk dianalisis. Data-data yang diperoleh dari kuesioner diolah menggunakan
program Microsoft Excel 2007.
Data status gizi ditentukan berdasarkan data yang diperoleh yaitu usia
contoh, berat badan, dan tinggi badan dengan parameter Indeks Massa Tubuh
menurut umur (IMT/U) dengan menggunakan software WHO anthroplus 2007.
Nilai indeks massa tubuh menurut IMT/U dibagi menjadi 5 kategori berdasarkan
WHO (2007) yaitu sangat gemuk (>+3 SD), gemuk (+2 SD sampai dengan +3
SD), normal (-2 SD sampai dengan 2 SD), kurus (-3 sd sampai -2 sd), sangat
kurus (<-3 SD). Dari limakategori, dibagi kembali menjadi 2 kategori kurus (<-3
SD sampai -2 SD) dan normal.
Data konsumsi pangan yang diperoleh dari hasil recall selama 2x24 jam,
kemudian dikonversikan untuk menentukan zat gizi contoh yatu energi, protein,
20

vitamin A, vitamin C, kalsium, zat besi, dan zinc. Data konsumsi pangan dihitung
dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) dengan rumus
sebagai berikut (Hardinsyah & Briawan 2004).

Kgij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

Keterangan:
KGij = Kandungan zat gizi ke-i dalam bahan makanan ke-j
Bj = Berat makanan ke-j yang dikonsumsi
Gij = Kandungan zat gizi ke-i dalam 100 gram BDD bahan makanan ke-j
BDDj = Bagian yang dapat dimakan dalam bahan makanan ke-j
Untuk menentukan Angka Kecukupan Gizi (AKG) contoh digunakan
rumus:

AKGI = (Ba/Bs) x AKG


Keterangan:
AKGI = Angka kecukupan gizi contoh
Ba = Berat badan aktual sehat (kg)
Bs = Berat badan standar (kg)
AKG = Angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan Widya Karya
Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG 2004).
Kecukupan vitamin dan mineral dihitung langsung dengan menggunakan
angka kecukupan tanpa menggunakan AKGI. Selanjutnya tingkat kecukupan
energi dan protein diperoleh dengan cara membandingkan jumlah konsumsi zat
gizi tersebut dengan menggunakan rumus.

TKG = (K/AKGI) x 100

TKG = Tingkat kecukupan zat gizi


K = Konsumsi zat gizi
AKGI = Angka kecukupan gizi contoh
Tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh dinyatakan dalam
persen.Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan zat gizi
Energi dan Zat Gizi Klasifikasi Tingkat Kecukupan
Energi dan protein a. Defisit tingkat berat (< 70% angka kebutuhan)
b. Defisit tingkat sedang (70 – 79% angka kebutuhan)
c. Defisit tingkat ringan (80 – 89% angka kebutuhan)
d. Normal (90 – 119% angka kebutuhan)
e. Di atas angka kebutuhan (≥ 120% angka kebutuhan)
Vitamin dan mineral a. Kurang (< 77% angka kebutuhan)
b. Cukup (≥ 77% angka kebutuhan)
Sumber : Depkes (1996), Gibson (2005)
21

Data aktivitas fisik didapatkan dengan metode wawancara langsung dan


hasilnya akan diolah dengan cara mengalikan bobot nilai per aktivitas dikalikan
dengan lamanya waktu yang digunakan untuk beraktivitas. Menurut
FAO/WHO/UNU (2001) besarnya aktivitas fisik yang dilakukan seseorang dalam
24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical activity level) atau tingkat aktivitas fisik.
PAL ditentukan dengan rumus berikut:

( )
PAL =
24
Keterangan :
PAL = Physical activity level (tingkat aktivitas fisik)
PAR = Physical activity ratio (jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis
aktivitas per satuan waktu tertentu)
Jenis aktivitas yang dapat dilakukan dikategorikan menjadi 18 jenis
kategori berdasarkan PAR seperti yang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai PAR
Kategori Keterangan PAR
PAL1 Tidur (tidur siang dan malam) 1
PAL2 Tidur-tiduran (tidak tidur), duduk diam, dan membaca 1.2
PAL3 Duduk sambil menonton TV 1.72
PAL4 Berdiri diam, beribadah, menunggu (berdiri), berhias 1.5
PAL5 Makan dan minum 1.6
PAL6 Jalan santai 2.5
PAL7 Berbelanja (membawa beban) 5
PAL8 Mengendarai kendaraan 2.4
PAL9 Menjaga anak 2.5
PAL10 Melakukan pekerjaan rumah (bersih-bersih) 2.75
PAL11 Setrika pakaian (duduk) 1.7
PAL12 Kegiatan berkebun 2.7
PAL13 Office worker (duduk di depan meja, menulis, dan mengetik) 1.3
PAL14 Office worker (berjalan-jalan mondar-mandirmembawa arsip) 1.6
PAL15 Olahraga (badminton) 4.85
PAL16 Olahraga (jogging, lari jarak jauh) 6.5
PAL17 Olahraga (bersepeda) 3.6
PAL18 Olahraga (aerobic, berenang, sepak bola, dan lain-lain) 7.5
Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Selanjutnya PALakan dikategorikan menjadi empat kategori menurut
FAO/WHO/UNU (2001), seperti yang disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 Kategori tingkat aktivitas fisik berdasarkan nilai PAL
Kategori Nilai PAL
Aktivitas Sangat Ringan < 1,40
Aktivitas Ringan 1,40- 1,69
Aktivitas Sedang 1,70-1,99
Aktivitas Berat 2,00-2,40
Sumber : FAO/WHO/UNU (2001)
Data status kebugaran contoh diukur dengan melakukan bleep test yang
bertujuan mengukur fungsi jantung yang merupakan salah satu indikator
22

kebugaran seseorang.Bleep test atau tes lari multi tahap merupakan jenis tes
kebugaran cardiovascular yang dilakukan dengan cara berlari secara bertahap
dengan isntruksi dari kaset yang diputar dengan jarak lintasan lari sepanjang 20
meter. Setelah melakukan tes, dapat dicatat jumlah oksigen maksimum yang
digunakan selama berlari sesuai dengan nomor tahapan dan nomor balikan
(Nurhasan & Cholil 2007).Formulir catatan lari multi tahap dapat dilihat pada
Tabel 8 di bawah ini, sedangkan prediksi nilai penggunaan oksigen maksimum
dengan tes lari multi tahap dapat dilihat pada Lampiran.
Tabel 8 Formulir catatan lari multi tahap
Nomor Tahap Nomor Balikan
1 1234567
2 12345678
3 12345678
4 123456789
5 123456789
6 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
7 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
8 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
9 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
10 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
11 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
13 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
14 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
15 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
16 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
17 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
18 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
19 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
20 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
21 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Untuk menentukan tingkat kebugaran jasmani, maka nilai VO2 max yang
diperoleh dari bleep test tersebut kemudian dicocokan dengan kategori VO2 max
pada hasil bleep test pada Tabel 9 di bawah ini
Tabel 9 Kategori VO2 max pada hasil bleep test
Jenis
Kategori VO2 maks
Kelamin
Putra Kurang sekali < 25
Kurang 25-33
Cukup 34-42
Baik 43-52
Baik sekali > 53
Putri Kurang sekali <24
Kurang 24-30
Cukup 31-37
Baik 38-48
Baik sekali >49
Sumber: American of Heart Asociation
23

Data-data yang telah diolah kemudian dianalisis menggunakan Statistical


Program for Social Science (SPSS) 16 for Windows.Analisis data yang dilakukan
adalah sebagai berikut: 1) Analisis deskriptif (persentase dan rata-rata) meliputi
data karakteristik contoh, aktivitas fisik contoh, tingkat konsumsi zat gizi contoh,
status gizi contoh, dan tingkat kebugaran jasmani contoh. 2) Uji bedat-test
digunakan untuk menguji perbedaan karakteristik contoh, status gizi, konsumsi
pangan, aktivitas fisik dengan tingkat kebugaran contoh. 3) Uji bedaMann
Whitney digunakan untuk menguji perbedaan kebiasaan makan dan kebiasaan
minum contoh dengan tingkat kebugaran contoh. 4) Uji korelasi Pearson dan
Spearman digunakan untuk melihat variabel hubungan, yaitu menganalisis
hubungan usia, konsumsi, tingkat kecukupan zat gizi, aktivitas fisik, dan status
gizi pada contoh dengan tingkat kebugaran. 5) Variabel-variabel yang
berpengaruh terhadap kebugaran contoh dianalisis dengan menggunakan uji
regresi linier berganda.
Definisi Operasional

Aktivitas fisik adalah kegiatan yang dilakukan seseorang mulai dari bangun
sampai tidur kembali dan lamanya seseorang melakukan kegiatan fisik
tersebut, seperti bersekolah, menonton tv, tidur, aktivitas ringan (duduk
dan berdiri), aktivitas sedang (bersepeda dan jogging), dan aktivitas berat
(bermain basket dan berenang)
Antropometri adalah metode yang digunakan dalam melakukan penilaian status
gizi secara langsung yaitu tinggi badan, berat badan.
Asupan zat giziadalah rata-rata konsumsi setiap jenis pangan per hari yang
dinyatakan dalam satuan berat (gram) dan ukuran rumah tangga, yang
diperoleh dari hasil recall 2 x 24 jam.
Kebugaranadalah kemampuan tubuh untuk melakukan kegiatan sehari-hari
tanpa mengalami kelelahan yang berarti baik fisik maupun mental.
Contohadalah siswa kelas 4 dan 5 SDN 2 Pasanggrahan, Desa Pasanggrahan,
Kecamatan Tegal Waru, Kabupaten Purwakarta.
Karakterisitik contohadalah data-data contoh yang meliputi usia, jenis kelamin,
uang saku, berat badan, dan tinggi badan.
Status giziadalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan antara
jumlah asupan (intake) zat gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requirement)
untuk digunakan (utilization) berbagai fungsi biologis.yang ditentukan
melalui Indek Massa Tubuh menurut umur (IMT/U) dan dikelompokkan
24

menjadi 5 kategori: sangat kurus <-3SD, kurus -3 SD s/d <-2 SD, normal
-2 SD s/d 1 SD, gemuk >1 SD s/d 2 SD, sangat gemuk > 2 SD.
Tingkat kebugaran adalah keadaan seseorang yang melakukan aktivitas fisik
tanpa merasakan kelelahan yang nilainya diperoleh berdasarkan tes
keolahragaan.
Tingkat kecukupan gizi adalah perbandingan konsumsi zat gizi actual terhadap
angka kecukupan yang dianjurkan menurut umur berdasarkan WKNPG
(2004) yang dinyatakan dalam persen.
VO2 max adalah kapasitas maksimum tubuh seseorang untuk menyalurkan dan
menggunakan oksigen selama melakukan tes lari multi tahap (bleep test).
25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Sekolah


Penelitian ini dilaksanakan di sekolah dasar (SD) Negeri Pasanggrahan 2
Kabupaten Purwakarta Kecamatan Tegalwaru.Pemilihan sampel sekolah ini
dilakukan berdasarkan rujukan dari BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Nurani Dunia dengan kriteria sekolah
yang berhak mendapatkan zakat.Lokasi sekolah yang jauh dari lingkungan
tempat tinggal dan keterbatasan akses transportasi juga menjadi salah satu
alasan pemilihan sampel.
Sekolah Dasar Negeri Pasanggrahan 2 berdiri dan mulai beroperasi sejak
tahun 1974 terletak di Kampung Cilanggohar Desa Pasanggrahan Kecamatan
Tegalwaru Kabupaten Purwakarta Provinsi Jawa Barat. Sekolah ini mendapatkan
jenjang akreditas C. Kegiatan belajar mengajar (KBM) di SDN Pasanggrahan 2
berlangsung dari hari senin hingga jumat dengan jam belajar berkisar antara 4
hingga 6 jam. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas 1 sampai kelas 3 pada hari
Senin sampai Kamis dimulai pada pukul 07.15 sampai dengan pukul 11.00 WIB,
sedangkan pada hari Jumat dimulai pukul 07.15 hingga pukul 10.00. Kegiatan
belajar mengajar untuk kelas 4 sampai kelas 6 pada hari Senin sampai Kamis
dimulai pada pukul 07.15 sampai dengan pukul 13.00 WIB. Pada hari Jumat
kegiatan belajar mengajar dimulai pada pukul 07.15 sampai dengan pukul 10.30
WIB.
Sumber daya manusia yang dimiliki oleh SDN Pasanggrahan 2 berjumlah
sembilan orang, yang terdiri dari dua orang guru tetap dan tujuh orang tenaga
pengajar tidak tetap. Fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah yaitu
tujuh unit ruang kelas, satu unit ruang kantor, lapangan olahraga, satu unit kamar
mandi, dan tempat mencuci tangan. Fasilitas yang terdapat di dalam kelas yaitu
meja dan kursi yang disesuaikan dengan jumlah contoh tiap kelas, 1 buah meja
dan kursi guru, 1 buah whiteboarddan papan tulis, 1 buah papan absensi contoh,
1 buah jam dinding, dan tempat sampah di depan ruang kelas. Sekolah ini
mempunyai kegiatan ekstrakulikuler yaitu pramuka dan voley ball, Kegiatan ini
dilaksanakan pada hari Senin, Selasa, dan Sabtu seminggu sekali di luar jam
pelajaran sekolah.
26

Karakteristik Contoh
Pada penelitian ini, sampel berjumlah 53 contoh yang terdiri dari contoh
kelas 4 sebanyak 27 contoh dan kelas 5 sebanyak 26 contoh. Gambaran umum
contoh dalam penelitian ini, dapat dilihat dari sebaran jenis kelamin, umur, dan
uang saku.
Jenis Kelamin
Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin, dari keseluruhan contoh
proporsi antara laki-laki dan perempuan dari jumlah sampel sebesar 47%contoh
berjenis kelamin perempuan dan sebagian besar contoh(53%) berjenis kelamin
laki-laki. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 2
dibawah ini.

47% Laki-laki
Perempuan
53%

Gambar 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin


Usia
Usia contoh pada penelitian ini berkisar antara 8-12 tahun. Umur 9
sampai 12 tahun contohmerupakan masa kelas akhir di SD. Pada masa ini
contoh memiliki kemampuan konkrit operasional yang mampu untuk berpikir
secara sistematik terhadap objek konkrit.Mereka juga sudah dapat mengambil
kesimpulan dari suatu pertanyaan (Hurlock1997).Pada umur tersebut contoh
memiliki pengetahuan gizi yang cukupsehingga diharapkan dapat memilih
makanan yang tepat.Sebaran umur contoh dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah
ini.

2%
8thn
21% 9thn
32%
11% 10thn

11thn
34%
12thn

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan usia


27

Secara keseluruhan rata-rata usia contoh adalah 10.2 ± 1.2 tahun


dengan kisaran 8 – 12 tahun. Pada penelitian ini contoh yang berusia 10 tahun
jumlahnya paling banyak (34%), sedangkan sisanya berusia 9 tahun (32%), 12
tahun (21%), 11 tahun (11%), dan usia 8 tahun (2%). Berikut merupakan Tabel
10 yang menyajikan sebaran contoh menurut jenis kelamin berdasarkan usia.
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan usia
Usia
Jenis 11 Total
8 tahun 9 tahun 10 tahun 12 tahun
Kelamin tahun
n % n % n % n % n % n %
Laki-laki 0 0.0 8 15.1 6 11.3 3 5.7 11 20.8 28 52.8
Perempuan 1 1,9 9 17.0 12 22.6 3 5.7 0 0.0 25 47.2
Total 1 1.9 17 32.1 18 33.9 6 11.4 11 20.8 53 100.0
Sebagian besar contoh berusia 10 tahun (22.6%) adalah contoh
perempuan sedangkan contoh berusia 12 tahun seluruhnya (20.8%) adalah
contoh laki-laki. Contoh berusia 9 tahun paling banyak adalah contoh perempuan
(17.0%), sedangkan pada contoh berusia 11 tahun jumlah laki-laki dan
perempuannya sama besar (5.7%), dan untuk contoh usia 8 tahun hanya
terdapat pada contoh perempuan (1.9%).
Uang Saku
Anak usia sekolah biasanya diberi uang saku oleh orang tuanya baik
anak dari keluarga berpendapatan tinggi maupun keluarga berpendapatan
rendah. Pada penelitian ini, rata-rata uang saku contoh adalah Rp 1839,62 ±
908.16dengan kisaran Rp 1.000 – 5.000. Secara keseluruhan terdapat 38%
contoh yang mendapat uang saku Rp 1.000 dan 4% contoh yang mendapat uang
saku Rp 1.500. Persentase uang saku contoh paling banyak adalah Rp 2000
(39%).Pada penelitian ini hampir semua contoh mengalokasikan uang saku
mereka untuk keperluan jajan.Sebaran contoh berdasarkan uang saku disajikan
dalam Gambar 4 berikut.

4%
1000
6% 9%
1500
38%
2000
2500

39% 3000
5000
4%

Gambar 4 Sebaran contoh berdasarkan uang saku


28

Status Gizi
Status gizi contoh dihitung menggunakan analisis z-score.WHO (World
Health Organization) merekomendasikan penggunaan analisis z-scoreuntuk
mengukur status gizi anak pada negara berkembang.Analisis z-score dapat
dihitung secara akurat dengan menggunakan batas bawah dari data
referensi(Gibson 2005).
Perhitungan z-score dibantu dengan software anthroplus 2007 yang
dikeluarkan WHO 2007.Indikator yang digunakan yaitu IMT (Indeks Massa
Tubuh) dari hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan berdasarkan umur
(IMT/U) untuk penentuan status gizi pada masa kini.Hal tersebut dikarenakan
anak berusia diatas 10 tahun tidak hanya mengalami pertambahan berat badan
tanpa lemak tetapi juga masa tubuh yang lainnya seperti lemak (WHO 2007).

11%
normal
kurus
36% 53%
kurus sekali

Gambar 5 Sebaran contoh berdasarkan status gizi

Berdasarkan Gambar 5 diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar contoh


berstatus gizi normal sebesar 53.0% dengan rata-rata z-score IMT/U -1.83 ±
1.17, nilai minimum z-score -3.86 dan nilai maksimum 1.31. Pada sampel
penelitian masih ditemui masalah gizi pada contoh yaitu kurus (36%), dan sangat
kurus (11%). Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi
status gizi menurut hasil Laporan Riskesdas 2010 di Jawa Barat, pada anak
usia6-12 tahun prevalensi anakdengan status gizi sangat kurus yaitu sebanyak
3.5% dan 6.7% kurus.
Menurut WHO (2007), permasalahan kesehatan masyarakat dapat dilihat
berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang dengan 4 kriteria yaitu rendah
(<10%), sedang (10-19.9%), tinggi (20-29.9%) dan sangat tinggi
(>30%).Permasalah kesehatan masyarakat berdasarkan status gizi kurus dan
kurus sekali pada penelitian ini yaitu 36% dan 11% tergolong tinggi. Status gizi
yang kurang optimal akan menimbulkan berbagai permasalahan pada anak,
terutama anak usia sekolah.Anak usia sekolah dengan status gizi yang baik
29

dapat menunjang perkembangan dan pertumbuhannya dalam kegiatan belajar


juga beraktifitas fisik secara optimal.
Arisman (2004) juga mengemukakan, bahwa masyarakat yang keadaan
gizinya baik adalah masyarakat yang terbebas dari masalah gizi.Masalah gizi
tersebut, baik masalah gizi kurang dan gizi lebih.Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dikatakan bahwa sebagian dari seluruh jumlah contoh mempunyai
masalah gizi.Berikut adalah Tabel 11 sebaran contoh berdasarkan status gizinya.
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan status gizi
Status Gizi
Karakteristik Kurus Total
Kurus Normal P
Contoh Sekali
n % n % n % n %
Jenis Kelamin
Laki-laki 3 5.7 14 26.4 11 20.8 28 52.8
Perempuan 3 5.7 5 9.4 17 32.1 25 47.2 0.711
Total 6 11.3 19 35.8 28 52.8 53 100.0
Usia
8 tahun 0 0.0 0 0.0 1 1.9 1 1.9
9 tahun 2 3.8 7 13.2 8 15.1 17 32.1
10 tahun 2 3.8 8 15.1 8 15.1 18 34.0
0.938
11 tahun 0 0.0 2 3.8 4 7.5 6 11.3
12 tahun 2 3.8 2 3.8 7 13.2 11 20.8
Total 6 11.3 19 35.8 28 52.8 53 100.0
Uang Saku
1.000 2 3.8 8 15.1 10 18.9 20 37.7
1.500 0 0.0 1 1.9 1 1.9 2 3.8
2.000 3 5.7 8 15.1 10 18.9 21 39.6
2.500 1 1.9 1 1.9 1 1.9 3 5.7 0.617
3.000 0 0.0 0 0.0 5 9.4 5 9.4
5.000 0 0.0 1 1.9 1 1.9 2 3.8
Total 6 11.3 19 35.8 28 52.8 53 100.0
Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada berbedaan yang nyata
antara status gizi laki-laki dan perempuan (p>0.05). Pada penelitian sebelumnya,
kecenderungan bahwa laki-laki memiliki peluang lebih besar untuk mengalami
kurang gizi (underweight) dibandingkan perempuan terlihat pada penelitian,
Soekirman et al. (2002)dan Kustiyahet al. (2006).Hasil penelitian Soekirman et al.
(2002) di wilayah Jakarta Barat dan Bogor memperlihatkan bahwa 15,0% anak
laki-laki dan 8,3% anak perempuan mengalami underweight.Pada penelitian
Kustiyah (2005) yang melibatkan 184 siswa SD di Bogor, prevalensi underweight
pada contoh perempuan (25,4%) lebih rendah daripada laki-laki (31,7%).
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa umur siswa 9-10 tahun
sebagian besar siswa (15.1%)dengan status gizi normal, dan sebesar 15.1%
siswa yang berumur 10 tahun dengan status gizi kurus. Hasil uji beda
30

menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata usia contoh antara kelompok status
gizi kurus dan status gizi normal (p>0.05).
Sebagian besar (5.7%) pada kelompok status gizi kurus sekali
mempunyai uang saku sebesar Rp 2000 dan sebesar 18.9% pada kelompok
status gizi normal mempunyai uang saku sebesar Rp 1000 dan Rp 1500. Hasil uji
beda menyatakan bahwa tidak ada perbedaan besar uang saku antara kelompok
status gizi kurus dan status gizi normal (p>0.05).
Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan keluarga
yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan
harian,mingguan atau bulanan (Napitu 1994).Besar uang saku anak merupakan
salah satu indikator sosial ekonomi keluarga.Semakin besar uang saku, maka
semakin besar peluang anak untuk membeli makanan jajanan baik di kantin
maupun diluar sekolah (Andarwulan et al2008).
Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi
Tingkat Kecukupan Energi
Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak.Energi berfungsi sebagai zat tenaga untuk metabolisme, pertumbuhan,
pengaturan suhu dan kegiatan fisik.Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan
energi dalam bentuk glikogen sebagai cadangan energi jangka pendek dan
dalam bentuk lemak sebagai cadangan jangka panjang (Hardinsyah &
Tambunan 2004).
Asupan energi contoh diperoleh melalui metode recall 2x24 jam yaitu
pada saat hari sekolah dan hari libur. Tujuan dari penggunaan metode recall
2x24 jam agar dapat menghasilkan gambaran mengenai asupan zat gizi contoh
yang lebih optimal. Asupan energi contoh rata-rata adalah 1077 kkal dengan
kisaran 715 – 1592 kkal.Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan tingkat
kecukupan energi yang disajikan dalam Gambar 6.

41,5

26,4
Laki-Laki
11,3 Perempuan
5,7 7,5 7,5
0,0 0,0

defisit berat defisit sedang defisit ringan normal

Gambar 6 Sebaran tingkat kecukupan energi menurut jenis kelamin contoh (%)
31

Tingkat kecukupan energi rata-rata contoh keseluruhan termasuk dalam


kategori defisit tingkat berat (67.9%).Sebagian besar contoh berjenis kelamin
laki-laki memiliki tingkat kecukupan energi tergolong defisit berat (41.5%) dan
defisit sedang (11.3%).Rata-rata sampel perempuan (7.5%) memiliki tingkat
kecukupan energi tergolong defisit ringan dan normal. Hasil uji beda
menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara contoh yang
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan berdasarkan tingkat kecukupan
energinya. Berikut Tabel 12 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat
kecukupan energi.
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi
Tingkat Kecukupan Energi
Karakteristik Defisit Defisit Defisit Total
Normal P
Contoh Berat Sedang Ringan
n % n % n % n % n %
Usia
8 tahun 1 1.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 1.9
9 tahun 15 28.3 0 0.0 1 1.9 1 1.9 17 32.1
10 tahun 9 17.0 4 7.5 3 5.7 2 3.8 18 34.0
0.211
11 tahun 4 7.5 1 1.9 0 0.0 1 1.9 6 11.3
12 tahun 7 13.2 4 7.5 0 0.0 0 0.0 11 20.8
Total 36 67.9 9 17.0 4 7.5 4 7.5 53 100.0
Uang Saku
1.000 12 22.6 2 3.8 2 3.8 4 7.5 20 37.7
1.500 2 3.8 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 3.8
2.000 15 28.3 4 7.5 2 3.8 0 0.0 21 39.6
2.500 2 3.8 1 1.9 0 0.0 0 0.0 3 5.7 0.588
3.000 3 5.7 2 3.8 0 0.0 0 0.0 5 9.4
5.000 2 3.8 0 0.0 0 0.0 0 0.0 2 3.8
Total 36 67.9 9 17.0 4 7.5 4 7.5 53 100.0
Berdasarkan Tabel 12 dapat diketahui bahwa 1.9% contoh berusia 9
tahun memiliki tingkat kecukupan energi yang tergolong defisit ringan, sedangkan
sebagian besar (3.8%) contoh yang berusia 10 tahun tingkat kecukupan
energinya tergolong normal. Berdasarkan uji beda tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (p>0.05) antara usia contoh dengan tingkat kecukupan energinya.
Contoh yang memiliki uang saku sebesar Rp 1.000 memiliki tingkat
kecukupan energi yang tergolong normal (7.5%). Hasil uji beda menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara uang saku contoh dengan
tingkat kecukupan energi contoh. Uang saku dapat menjadi indikator sosial
ekonomi contoh untuk memenuhi konsumsi energi harian contoh. Konsumsi
tersebut akan berpengaruh terhadap tingkat kecukupan energi contoh. Hasil
penelitian yang menunjukkan sedikitnya contoh memiliki tingkat kecukupan
energi tergolong normal sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Jumirah
32

(2008) pada anak SD di Medan yang menunjukkan tingkat kecukupan energi


kurang dan defisit sebanyak 43.3%.
Tingkat Kecukupan Protein
Menurut Almatsier (2004), protein berfungsi untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur
keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, mengangkat zat-zat gizi, dan
pembentukan antibodi. Gambar 7 merupakan sebaran contoh berdasarkan
tingkat kecukupan protein.
18,9
15,1 15,1
13,2 13,2
9,4
7,5 Laki-Laki
5,7
1,9 Perempuan
0,0

defisit berat defisit defisit normal lebih


sedang ringan

Gambar 7 Sebaran tingkat kecukupan protein menurut jenis kelamin contoh (%)
Secara keseluruhan rata-rata asupan protein contoh adalah 47.0 g
dengan kisaran 18.2 – 251.2 g. Sebanyak 34% contoh memililki tingkat
kecukupan protein tergolong defisit berat, 7.5% contoh tergolong defisit sedang,
9.4% defisit ringan, dan 20.8% tergolong normal, sedangkan sisanya tergolong
lebih (28.3%). Rata-rata tingkat kecukupan protein contoh keseluruhan adalah
132.1%.Pada penelitian ini, contoh yang berjenis kelamin laki-laki rata-rata
memiliki tingkat kecukupan protein yang tergolong normal (13.2%) dan defisit
sedang (5.7%).Contoh yang berjenis kelamin perempuan menunjukkan tingkat
kecukupan protein yang tergolong defisit ringan (9.4%).
Hasil penelitian tersebut berbanding terbalik dengan hasil penelitian
Jumirah et al (2008), mengenai status gizi, tingkat kecukupan energi, dan protein
anak sekolah di Medan yang menunjukkan anak berjenis kelamin laki-laki
memiliki tingkat kecukupan protein yang tergolong kurang dan defisit
dibandingkan dengan contoh perempuan. Berdasarkan hasil uji beda, terdapat
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara contoh berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan dengan kategori tingkat kecukupan protein. Berikut Tabel 13
menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein.
33

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan protein


Tingkat Kecukupan Protein
Karakteristik Defisit Defisit Defisit Total
Normal Lebih P
Contoh Berat Sedang Ringan
n % n % n % n % n % n %
Usia
8 tahun 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 1.9 1 1.9
9 tahun 6 11.3 1 1.9 1 1.9 6 11.3 3 5.7 17 32.1
10 tahun 5 9.4 3 5.7 2 3.8 3 5.7 5 9.4 18 34.0
0.167
11 tahun 2 3.8 0 0.0 2 3.8 1 1.9 1 1.9 6 11.3
12 tahun 5 9.4 0 0.0 0 0.0 1 1.9 5 9.4 11 20.8
Total 18 34.0 4 7.5 5 9.4 11 20.8 15 28.3 53 100.0
Uang Saku
1.000 6 11.3 2 3.8 2 3.8 4 7.5 6 11.3 20 37.7
1.500 1 1.9 0 0.0 0 0.0 1 1.9 0 0.0 2 3.8
2.000 7 13.2 2 3.8 3 5.7 3 5.7 6 11.3 21 39.6
2.500 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 1.9 2 3.8 3 5.7 0.602
3.000 3 5.7 0 0.0 0 0.0 1 1.9 1 1.9 5 9.4
5.000 1 1.9 0 0.0 0 0.0 1 1.9 0 0.0 2 3.8
Total 18 34.0 4 7.5 5 9.4 11 20.8 15 28.3 53 100.0

Contoh yang memiliki tingkat kecukupan protein tergolong normal paling


banyak dimiliki oleh contoh yang berusia 9 tahun (11.3%). Sedangkan contoh
dengan tingkat kecukupan protein yang tergolong lebih paling banyak terdapat
pada usia 10 tahun (9.4%) dan 12 tahun (9.4%). Hasil uji beda menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara usia contoh dengan tingkat
kecukupan proteinnya. Berdasarkan tabel di atas contoh yang memiliki uang
saku Rp 1.000 memiliki tingkat kecukupan protein yang tergolong normal (7.5%)
dan lebih (11.3%). Hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (p>0.05) antara besar uang saku contoh dengan tingkat
kecukupan protein contoh.
Tingkat Kecukupan Vitamin A
Vitamin A yang berperan dalam proses penglihatan juga berperan dalam
kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, dan pencegahan
penyakit kanker dan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung(Almatsier
2004).Daging, unggas, ikan dan telur mengandung vitamin A dalam jumlah yang
lumayan.Sedangkan bahan-bahan nabati seperti buah-buahan (orange), seperti
sayuran berdaun hijau, akar dan umbi-umbian (seperti wortel dan ubi jalar
merah) serta minyak sawit merah mengandung vitamin A dalam bentuk prekursor
atau karotenoid provitamin A (Muhilal & Sulaeman 2004).
Pada penelitian ini contoh yang memiliki tingkat kecukupan vitamin A
tergolong cukup sebanyak 98.1%, sedangkan sisanya (1.9%) memiliki tingkat
kecukupan vitamin A yang kurang. Rata-rata tingkat kecukupan vitamin A contoh
secara keseluruhan adalah 210.5% dengan kisaran 76.9% – 447.5%.Rata-rata
asupan vitamin A contoh secara keseluruhan adalah 981.5 RE dengan kisaran
34

384.7 – 2237.5 RE.Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan tingkat


kecukupan vitamin A yang disajikan dalam Gambar 8.

52,8
45,3

Laki-Laki
Perempuan

0,0 1,9

kurang cukup

Gambar 8 Sebaran tingkat kecukupan vitamin A menurut jenis kelamin contoh (%)
Pada penelitian ini, hanya terdapat satu orang contoh berjenis kelamin
perempuan yang memiliki tingkat kecukupan vitamin A tergolong kurang. Seluruh
contoh yang berjenis kelamin laki-laki (52.8%) memiliki tingkat kecukupan vitamin
A yang tergolong cukup dan hanya 1.9% contoh berjenis kelamin perempuan
yang memiliki tingkat kecukupan vitamin A tergolong kurang. Berikut Tabel 14
menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin A
Tingkat Kecukupan Vitamin A
Karakteristik
Kurang Cukup Total P
Contoh
n % n % n %
Usia
8 tahun 0 0.0 1 1.9 1 1.9
9 tahun 0 0.0 17 32.1 17 32.1
10 tahun 1 1.9 17 32.1 18 34.0
0.315
11 tahun 0 0.0 6 11.3 6 11.3
12 tahun 0 0.0 11 20.8 11 20.8
Total 1 1.9 52 98.1 53 100.0
Uang Saku
1.000 0 0.0 20 37.7 20 37.7
1.500 0 0.0 2 3.8 2 3.8
2.000 1 1.9 20 37.7 21 39.6
2.500 0 0.0 3 5.7 3 5.7 0.861
3.000 0 0.0 5 9.4 5 9.4
5.000 0 0.0 2 3.8 2 3.8
Total 1 1.9 52 98.1 53 100.0

Contoh dengan usia 9 dan 10tahun memiliki tingkat kecukupan vitamin A


yang tergolong cukup (32.1%) dan hanya 1 orang contoh (1.9%) yang berusia 10
tahun dengan tingkat kecukupan vitamin A tergolong kurang. Berdasarkan besar
uang saku contoh, sebanyak 37.7% contoh dengan uang saku sebesar Rp 1.000
dan Rp 2.000 memiliki tingkat kecukupan vitamin A tergolong cukup. Hasil uji
beda menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05)
antara jenis kelamin dengan tingkat kecukupan vitamin A, usia contoh dengan
tingkat kecukupan vitamin A, dan besar uang saku contoh dengan tingkat
kecukupan vitamin A.
35

Tingkat Kecukupan Vitamin B1


Nama lain vitamin B1 adalah tiamin. Tiamin merupakan koenzim yang
penting pada metabolisme energi dari karbohidrat (Almatsier 2004).Tiamin
terdapat pada seluruh jaringan tubuh, tapi tidak terdapat cadangan tiamin,
sehingga asupan sehari-hari sangat penting untuk mencukupi kebutuhan
tubuh.Jumlah tiamin yang dianjurkan dalam kebutuhan harus berdasarkan pada
jumlah karbohidrat dalam makanan (Setiawan & Rahayuningsih 2004).Gambar 9
merupakan sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1.

50,9
43,4

Laki-Laki
Perempuan
1,9 3,8

kurang cukup

Gambar 9 Sebaran tingkat kecukupan vitamin B1 menurut jenis kelamin contoh (%)
Sebanyak 94.3% contoh memiliki tingkat kecukupan vitamin B1 tergolong
kurang dan hanya 5.7% contoh yang tergolong cukup.Rata-rata konsumsi vitamin
B1 contoh secara keseluruhan adalah 64.4%.Sebagian besar contoh (50.9%)
berjenis kelamin laki-laki memiliki tingkat kecukupan vitamin B1 yang tergolong
kurang.Sedangkan sebanyak 3.8% contoh perempuan memiliki tingkat
kecukupan vitamin B1 tergolong cukup.Berikut Tabel 15 menunjukkan sebaran
contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin B1
Tingkat Kecukupan Vitamin B1
Karakteristik
Kurang Cukup Total P
Contoh
n % n % n %
Usia
8 tahun 1 1.9 0 0.0 1 1.9
9 tahun 16 30.2 1 1.9 17 32.1
10 tahun 16 30.2 2 3.8 18 34.0
0.686
11 tahun 6 11.3 0 0.0 6 11.3
12 tahun 11 20.8 0 0.0 11 20.8
Total 50 94.3 3 5.7 53 100.0
Uang Saku
1.000 20 37.7 0 0.0 20 37.7
1.500 2 3.8 0 0.0 2 3.8
2.000 18 34.0 3 5.7 21 39.6
2.500 3 5.7 0 0.0 3 5.7 0.063
3.000 5 9.4 0 0.0 5 9.4
5.000 2 3.8 0 0.0 2 3.8
Total 50 94.3 3 5.7 53 100.0
Berdasarkan tabel di atas, seluruh contoh yang berusia 8, 11, dan 12
tahun memiliki tingkat kecukupan vitamin B1 yang tergolong kurang (1.9%,
36

11.3%, dan 20.8%). Sebanyak 3.8% contoh yang berusia 10 tahun memiliki
tingkat kecukupan vitamin B1 tergolong cukup.Contoh dengan uang saku Rp
2.000 memiliki tingkat kecukupan vitamin B1 yang tergolong cukup sebanyak
5.7%.
Berdasarkan hasil uji beda tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05)
antara usia contoh dengan tingkat kecukupan vitamin B1. Sedangkan terdapat
perbedaan signifikan (p<0.05) antara jenis kelamin contoh dengan tingkat
kecukupan vitamin B1 dan besar uang saku contoh dengan tingkat kecukupan
vitamin B1.Uang saku merupakan bagian dari pengalokasian pendapatan
keluarga yang diberikan pada anak untuk jangka waktu tertentu seperti keperluan
harian,mingguan atau bulanan (Napitu 1994).Semakin besar uang saku maka
semakin besar peluan contoh untuk meningkatkan konsumsi pangannya.
Tingkat Kecukupan Vitamin C
Vitamin C dikenal sebagai senyawa utama tubuh yang dibutuhkan dalam
berbagai proses penting, mulai dari pembuatan kolagen, pegangkut lemak,
pengangkut elektron dari berbagai reaksi enzimatik, pemacu gusi yang sehat,
pengatur tingkat kolesterol, serta pemacu imunitas. Sumber terbesar vitamin C
adalah buah-buahan yang masih segar maupun yang sudah berupa minuman
sari buah (Khomsan 2002). Gambar 10 merupakan sebaran contoh berdasarkan
tingkat kecukupan vitamin C.

41,5 41,5

Laki-Laki
11,3 Perempuan
5,7

kurang cukup

Gambar 10 Sebaran tingkat kecukupan vitamin C menurut jenis kelamin contoh (%)
Rata-rata asupan vitamin C contoh secara keseluruhan adalah 25.8 mg
dengan kisaran 0.0 mg – 145.2 mg. Pada penelitian ini hanya terdapat 17%
contoh yang memiliki tingkat kecukupan vitamin C tergolong cukup, sisanya
sebanyak 83% contoh memiliki tingkat kecukupan vitamin C tergolong kurang.
Terdapat 41.5 % contoh laki-laki dan 41.5% contoh perempuan yang memiliki
tingkat kecukupan vitamin C tergolong kurang.Contoh berjenis kelamin laki-laki
yang memiliki tingkat kecukupan vitamin C tergolong cukup adalah 11.3% lebih
37

banyak dibandingkan contoh perempuan.Berikut Tabel 16 menunjukkan sebaran


contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan vitamin C
Tingkat Kecukupan Vitamin C
Karakteristik
Kurang Cukup Total P
Contoh
n % n % n %
Usia
8 tahun 1 1.9 0 0.0 1 1.9
9 tahun 16 30.2 1 1.9 17 32.1
10 tahun 14 26.4 4 7.5 18 34.0
0.024
11 tahun 5 9.4 1 1.9 6 11.3
12 tahun 8 15.1 3 5.7 11 20.8
Total 44 83.0 9 17.0 53 100.0
Uang Saku
1.000 19 35.8 1 1.9 20 37.7
1.500 2 3.8 0 0.0 2 3.8
2.000 16 30.2 5 9.4 21 39.6
2.500 1 1.9 2 3.8 3 5.7 0.144
3.000 4 7.5 1 1.9 5 9.4
5.000 2 3.8 0 0.0 2 3.8
Total 44 83.0 9 17.0 53 100.0

Berdasarkan Tabel 16, contoh dengan usia 8 tahun memiliki tingkat


kecukupan vitamin C tergolong kurang. Sedangkan contoh yang berusia 10 dan
12 tahun memiliki tingkat kecukupan vitamin C yang tergolong cukup (7.5% dan
5.7%).Sebagian besar (39.6%) contoh dengan uang saku sebesar Rp 2.000
memiliki tingkat kecukupan vitamin C yang tergolong cukup.
Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
(p<0.05) antara jenis kelamin contoh dengan tingkat kecukupan vitamin C.
Contoh berjenis kelamin laki-laki lebih banyak mengkonsumsi pangan sumber
vitamin C dibandingkan contoh perempuan, sehingga tingkat kecukupannya
tercukupi. Berdasarkan hasil uji beda ada perbedaan yang signifikan (p<0.05)
antara usia contoh dengan tingkat kecukupan vitamin C. Sedangkan hasil uji
beda menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p>0.05) antara
besar uang saku contoh dengan tingkat kecukupan vitamin C contoh.
Tingkat Kecukupan Zat Besi
Zat Besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam
tubuh manusia dan hewan, yaitu sebanyak 3 – 5 gram di dalam tubuh manusia
dewasa. Besi mempunyai beberapa fungsi esensial di dalam tubuh: sebagai alat
angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di
dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan
tubuh (Almatsier 2004). Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan tingkat
kecukupan zat besi yang disajikan dalam Gambar 11.
38

35,8 34,0

17,0 Laki-Laki
13,2
Perempuan

kurang cukup

Gambar 11 Sebaran tingkat kecukupan zat besi menurut jenis kelamin contoh (%)
Secara keseluruhan terdapat 30.2% contoh yang memiliki tingkat
kecukupan zat besi tergolong cukup sedangkan sisanya (69.8%) memiliki tingkat
kecukupan zat besi tergolong kurang.Rata-rata tingkat kecukupan zat besi
contoh adalah 99.6% dengan kisaran.Pada penelitian ini terdapat 17.0% contoh
berjenis kelamin laki-laki yang memiliki tingkat kecukupan zat besi yang
tergolong cukup.Berikut Tabel 17 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan
tingkat kecukupan zat besi.
Tabel 17 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan zat besi
Tingkat Kecukupan Zat Besi
Karakteristik
Kurang Cukup Total P
Contoh
n % n % n %
Usia
8 tahun 0 0.0 1 1.9 1 1.9
9 tahun 8 15.1 9 17.0 17 32.1
10 tahun 17 32.1 1 1.9 18 34.0
0.350
11 tahun 5 9.4 1 1.9 6 11.3
12 tahun 7 13.2 4 7.5 11 20.8
Total 37 69.8 16 30.2 53 100.0
Uang Saku
1.000 14 26.4 6 11.3 20 37.7
1.500 2 3.8 0 0.0 2 3.8
2.000 16 30.2 5 9.4 21 39.6
2.500 1 1.9 2 3.8 3 5.7 0.459
3.000 3 5.7 2 3.8 5 9.4
5.000 1 1.9 1 1.9 2 3.8
Total 37 69.8 16 30.2 53 100.0

Berdasarkan usia contoh, sebagian besar (17.0%) contoh yang berusia 9


tahun memiliki tingkat kecukupan zat besi yang tergolong cukup. Contoh dengan
uang saku Rp 1.500 memiliki tingkat kecukupan zat besi yang tergolong kurang
(3.8%). Sedangkan contoh dengan uang saku Rp 1.000 memiliki tingkat
kecukupan zat besi tergolong cukup (11.3%).Hasil uji beda menunjukkan tidak
terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) antara usia dan uang saku contoh
dengan tingkat kecukupan zat besi. Berdasarkan hasil uji beda ada perbedaan
yang signifikan (p<0.05) antara jenis kelamin contoh dengan tingkat kecukupan
zat besinya.
39

Tingkat Kecukupan Kalsium


Hampir seluruh kalsium di dalam tubuh ada dalam tulang yang berperan
sentral dalam struktur dan kekuatan tulang dan gigi.Hanya sedikit sekali (1%)
berada dalam jaringan lunak, cairan ekstra sel dan plasma yang diperlukan
dalam banyak peran metabolisme dan pengaturan.Berikut adalah sebaran
contoh berdasarkan tingkat kecukupan kalsium yang disajikan dalam Gambar 12.

49,1
45,3

Laki-Laki
Perempuan
3,8 1,9

kurang cukup

Gambar 12 Sebaran tingkat kecukupan kalsium menurut jenis kelamin contoh (%)
Pada penelitian ini contoh yang memiliki tingkat kecukupan kalsium
tergolong cukup hanya sebesar 5.7% dan sisanya (94.3%) tergolong
kurang.Rata-rata tingkat kecukupan kalsium contoh adalah 33.7% dengan
kisaran 6.7% - 99.4%.Sebanyak 3.8% contoh berjenis kelamin laki-laki dan 1.9%
contoh perempuan memiliki tingkat kecukupan kalsium yang tergolong
cukup.Berikut Tabel 18 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan tingkat
kecukupan kalsium.
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan kalsium
Tingkat Kecukupan Kalsium
Karakteristik
Kurang Cukup Total P
Contoh
n % n % n %
Usia
8 tahun 0 0.0 1 1.9 1 1.9
9 tahun 17 32.1 0 0.0 17 32.1
10 tahun 17 32.1 1 1.9 18 34.0
0.144
11 tahun 5 9.4 1 1.9 6 11.3
12 tahun 11 20.8 0 0.0 11 20.8
Total 50 94.3 3 5.7 53 100.0
Uang Saku
1.000 18 34.0 2 3.8 20 37.7
1.500 2 3.8 0 0.0 2 3.8
2.000 21 39.6 0 0.0 21 39.6
2.500 3 5.7 0 0.0 3 5.7 0.506
3.000 4 7.5 1 1.9 5 9.4
5.000 2 3.8 0 0.0 2 3.8
Total 50 94.3 3 5.7 53 100.0

Berdasarkan Tabel 18, 32.1% contoh berusia 9 tahun dan 10 tahun yang
memiliki tingkat kecukupan kalsium tergolong kurang. Sedangkan contoh berusia
8, 10, dan 11 tahun memiliki tingkat kecukupan kalsium yang tergolong cukup
sebesar 1.9%. Dilihat dari besar uang saku contoh, terdapat 3.8% contoh dengan
40

uang saku Rp 1.000 yang memiliki tingkat kecukupan kalsium tergolong cukup.
Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jenis
kelamin, usia, dan uang saku contoh dengan tingkat kecukupan kalsiumnya.
Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh dan sistem
penunjangnya.Aktivitas fisik memerlukan energi di luar kebutuhan untuk
metabolisme basal.Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung pada
beberapa banyak otot yang bergerak, berapa lama, dan berapa berat pekerjaan
yang dilakukan (Almatsier 2004). Dalam penelitian ini besarnya aktivitas fisik
yang dilakukan contoh selama 24 jam dinyatakan dalam Physical Activity Level
(PAL) atau tingkat aktivitas fisik. Rata-rata skor PAL keseluruhan contoh adalah
1.48 dengan kisaran 1.29 – 2.07.Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik
menurut PAL disajikan pada Gambar 13 berikut.

32,1
24,5
18,9
15,1 Laki-Laki
Perempuan
3,8 3,8 1,9 0,0

sangat ringan ringan sedang berat

Gambar 13 Sebaran aktivitas fisik menurut jenis kelamin contoh (%)


Sebanyak 34.0% contoh pada penelitian ini memiliki tingkat aktivitas fisik
sangat ringan, 56.6% contoh dengan tingkat aktivitas ringan, 7.5% contoh
memiliki tingkat aktivitas sedang, dan hanya 1.9% contoh dengan tingkat aktvitas
berat.Terdapat 18.9% contoh perempuan memiliki tingkat aktivitas fisik sangat
ringan.Sebanyak 3.8% contoh berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang
memiliki aktivitas fisik tergolong sedang.Terdapat 1.9% contoh laki-laki yang
memiliki tingkat aktivitas fisik berat.
Contoh yang berusia 12 tahun memiliki tingkat aktivitas fisik yang
tergolong berat sebanyak 1.9%.Sedangkan sebanyak 3.8% contoh berusia 11
tahun memiliki tingkat aktivitas fisik yang tergolong sedang. Terdapat 1.9%
contoh dengan uang saku Rp 1.000 yang memiliki tingkat aktivitas fisik berat dan
3.8% contoh dengan uang saku Rp 2.000 memiliki tingkat aktivitas fisik sedang.
Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat perbedaan (p>0.05) yang signifikan
antara jenis kelamin, usia, dan uang saku contoh dengan tingkat aktivitas
41

fisiknya. Berikut Tabel 19 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan aktivitas


fisiknya.
Tabel 19 Sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik
Tingkat Aktivitas Fisik
Karakteristik Sangat Total
Ringan Sedang Berat P
Contoh Ringan
n % n % n % n % n %
Usia
8 tahun 0 0.0 1 1.9 0 0.0 0 0.0 1 1.9
9 tahun 6 11.3 10 18.9 1 1.9 0 0.0 17 32.1
10 tahun 9 17.0 9 17.0 0 0.0 0 0.0 18 34.0
0.174
11 tahun 1 1.9 3 5.7 2 3.8 0 0.0 6 11.3
12 tahun 2 3.8 7 13.2 1 1.9 1 1.9 11 20.8
Total 18 34.0 30 56.6 4 7.5 1 1.9 53 100.0
Uang Saku
1.000 11 20.8 7 13.2 1 1.9 1 1.9 20 37.7
1.500 1 1.9 1 1.9 0 0.0 0 0.0 2 3.8
2.000 5 9.4 14 26.4 2 3.8 0 0.0 21 39.6
2.500 0 0.0 2 5.7 1 1.9 0 0.0 3 5.7 0.330
3.000 0 0.0 5 9.4 0 0.0 0 0.0 5 9.4
5.000 1 1.9 1 1.9 0 0.0 0 0.0 2 3.8
Total 18 34.0 30 56.6 4 7.5 1 1.9 53 100.0
Aktivitas umum yang dilakukan contoh adalah tidur, berpakaian, mandi,
istirahat/berbaring, makan, duduk, beribadah, dan berolahraga.Alokasi waktu
terbesar yang dilakukan contoh pada kelompok aktivitas umum, yaitu tidur
dengan alokasi waktu sebanyak 8.80 jam/hari. Puspitorini (2009) menyebutkan
rata-rata individu membutuhkan tidur minimal delapan jam sehari. Menurut
sebuah laporan dari Dayton Veterans Administration Hospital di Ohio,
mengurangi tidur 1.5 jam saja dalam semalam dapat mengurangi kewaspadaan
pada siang hari sampai 33%.
Alokasi waktu terbesar untuk kegiatan transportasi adalah berjalan kaki
dan bersepeda. Sedangkan alokasi waktu terkecil adalah berangkat sekolah naik
motor maupun angkutan umum. Rata-rata alokasi waktu untuk berjalan kaki
adalah sebesar 0.72 jam/hari dengan nilai PAL sebanyak 0.1 atau 5.7% dari total
rata-rata nilai PAL contoh. Kegiatan rumah tangga yang dilakukan contoh
meliputi menyetrika, menyapu, mengepel, dan mengasuh adek.Alokasi waktu
terbesar untuk kegiatan rumah tangga adalah menyapu dan membersihkan
rumah sebesar 0.5 jam/hari dan nilai PAL 0.05.Nilai PAL (Physical Activity Ratio)
untuk tidur adalah sebesar 0.37 atau 21.7% dari total rata-rata nilai PAL
contoh.Jenis aktivitas fisik, alokasi waktu, serta rata-rata nilai PAL contoh dapat
dilihat pada Tabel 20 di bawah ini.
42

Tabel 20 Jenis aktivitas fisik, alokasi waktu, dan rata-rata nilai PAL contoh
Alokasi
No Aktivitas PAR waktu PAL
(jam/hari)
Aktivitas Umum
1 Tidur 1.00 8.80 0.37
2 Berpakaian 2.30 0.28 0.03
3 Mandi 2.30 0.28 0.03
4 Istirahat. Berbaring 1.20 0.10 0.01
5 Makan 1.40 0.62 0.04
6 Duduk 1.20 0.62 0.03
7 Beribadah 1.40 0.72 0.04
8 Olahraga (aerobik, sepakbola, berenang) 7.55 0.90 0.28
Kegiatan Transportasi
8 Berjalan kaki 3.20 0.72 0.10
9 Bersepeda 3.60 0.40 0.06
10 Berangkat sekolah naik motor 1.50 0.00 0.00
11 Berangkat sekolah naik bus/angkot 1.20 0.00 0.00
Kegiatan Rumah tangga
12 Memasak 2.10 0.00 0.00
13 Mencuci piring 1.70 0.00 0.00
14 Mencuci pakaian 2.80 0.00 0.00
15 Menyetrika 1.70 0.06 0.00
16 Menyapu dan membersihkan rumah 2.30 0.50 0.05
17 Mengepel 4.40 0.01 0.00
18 Menjaga adik 2.50 0.49 0.05
19 Memandikan adik 3.50 0.00 0.00
20 Kegiatan rumah tangga laiinya 2.80 0.00 0.00
21 Belanja di pasar 4.60 0.00 0.00
Aktivitas Pertanian
22 Menyiangi Sawah/Berkebun 3.70 0.03 0.00
23 Menjemur Padi 5.10 0.00 0.00
Kategori Pekerjaan
24 Mengikuti pengajian/ Membaca/Belajar 1.50 5.70 0.36
25 Mengemas 2.20 0.00 0.00
26 Menjahit 2.50 0.00 0.00
Kegiatan Rekreasi
27 Menonton TV 1.64 2.86 0.20
28 Mendengarkan music 1.43 0.16 0.01
29 Mengobrol/Bercerita dengan teman 1.40 0.75 0.04
Jumlah 24.00 1.69

Kegiatan pekerjaan utama contoh adalah belajar di sekolah dan mengaji,


namun sebagian waktu contoh juga dialokasikan untuk melakukan aktivitas
pertanian.Aktivitas pertanian yang dilakukan contoh adalah menyiangi sawah
dengan alokasi waktu 0.03 jam/hari dan nilai PAL 0.00.Sedangkan kegiatan
43

contoh seperti belajar, membaca, dan mengikuti pengajian membutuhkan alokasi


waktu sebesar 5.7 jam/hari.Nilai PAL dari kegiatan tersebut adalah 0.36 atau
21.1% dari total rata-rata nilai PAL contoh.Kegiatan rekreasi yang paling banyak
dilakukan contoh adalah menonton televisi dengan alokasi waktu 2.86 jam/hari
dan nilai PAL 0.20.
Kebugaran
Kebugaran merupakan kemampuan tubuh untuk melaksanakan suatu
kegiatan dengan menggunakan kekuatan, daya kreasi, dan daya tahan dengan
efisien dalam waktu yang relatif lama tanpa menimbulkan kelelahan yang berarti,
serta cadangan energi yang tersisa masih mampu untuk menikmati waktu luang
dan menghadapi hal-hal yang tidak terduga (Satya 2008). Kebugaran jasmani
terdiri dari komponen-komponen yang dikelompokkan menjadi kelompok yang
berhubungan dengan kesehatan (health related fitness) dan kelompok yang
berhubungan dengan keterampilan (skill related fitness).
Kebugaran yang berkaitan dengan kesehatan meliputi daya tahan jantung
paru atau kebugaran cardiovascular, kekuatan dan daya tahan otot, komposisi
tubuh dan kelenturan (fleksibilitas).Sedangkan kebugaran yang berkaitan dengan
keterampilan meliputi komponen kecepatan, kecepatan reaksi, daya ledak
(power),kelincahan, keseimbangan,ketepatan, koordinasi dan daya
tahan(Suntoda 2007).
Dalam penelitian ini kebugaran jasmani contoh diukur dengan
menggunakan tes lari multi tahap (bleep test). Dari tes lari multi tahap tersebut
akan diperoleh skor kebugaran yang kemudian akan dikategorikan menjadi
tingkat kebugaran jasmani berdasarkan nilai VO2 max (Nurhasan & Cholil 2007).
Sebagian besar contoh (69.8%) berada pada tingkat kebugaran kurang,
sedangkan sisanya sebanyak 22.6% dan 7.5% contoh berada pada tingkat
kebugaran cukup dan kurang sekali. Dalam penelitian ini tidak terdapat contoh
yang memiliki tingkat kebugaran baik maupun baik sekali. Secara keseluruhan
rata-rata nilai VO2 max sebagai indikator skor kebugaran contoh adalah 28.4
dengan kisaran antara 21.8 – 40.2 berdasarkan hasil tes lari multi tahap (bleep
test). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kebugaran disajikan dalam Gambar 14
berikut.
44

37,7
32,1

20,8
Laki-Laki

7,5 Perempuan

0,0 1,9

kurang sekali kurang cukup

Gambar 14 Sebaran tingkat kebugaran menurut jenis kelamin contoh (%)


Pada penelitian ini berdasarkan hasil tes lari multi tahap (bleep test), skor
kebugaran contoh perempuan berkisar antara 21.8 – 34.6 dengan rata-rata
25.7.Sedangkan skor kebugaran contoh laki-laki berkisar antara 25.0 – 40.2
dengan rata-rata 30.8.Rata-rata skor kebugaran contoh laki-laki lebih tinggi
dibandingkan contoh perempuan.Terdapat contoh laki-laki sebanyak 0.0% dan
7.5% contoh perempuan yang memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang
sekali.Pada tingkat kebugaran jasmani tergolong kurang, terdapat contoh laki-laki
sebanyak 32.1% dan 37.7% contoh perempuan.Sedangkan pada tingkat
kebugaran jasmani tergolong cukup, terdapat contoh laki-laki sebanyak 20.8%
dan 1.9% contoh perempuan.
Berdasarkan hasil uji bedat-test menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
tingkat kebugaran antara contoh laki-laki dan perempuan (p<0.05). Salah satu
faktor yang mempengaruhi tingkat kebugaran seseorang adalah jenis
kelamin.Sampai pubertas biasanya kebugaran jasmani anak laki-laki hampir
sama dengan anak perempuan. Anak laki-laki biasanya mempunyai nilai
kebugaran yang jauh lebih besar setelah pubertas (Kesehatan Komunitas 2002).
Contoh yang berusia 8 tahun memiliki rata-rata kebugaran 25.0,
sedangkan contoh berusia 9 tahun memiliki rata-rata skor kebugaran 28.4
dengan kisaran 22.1 – 36.7. Contoh berusia 10 tahun memiliki rata-rata skor
kebugaran 26.1 dengan kisaran 21.8 – 33.2.Contoh yang berusia 11 tahun
memiliki rata-rata skor kebugaran 29.7 dengan kisaran 24.3 – 40.2.Sedangkan
contoh berusia 12 tahun memiliki rata-rata skor kebugaran 31.6 dengan kisaran
26.2 – 38.5. Sebaran usiacontoh berdasarkan tingkat kebugarannya disajikan
dalam Tabel 21.
45

Tabel 21 Sebaran usiacontoh berdasarkan tingkat kebugaran


Tingkat Kebugaran
Kurang Total
Usia Kurang Cukup P
Sekali
n % n % n % n %
8 tahun 0 0.0 1 1.9 0 0.0 1 1.9
9 tahun 3 5.7 10 18.9 4 7.5 17 32.1
10 tahun 1 1.9 16 30.2 1 1.9 18 34.0 0.358
11 tahun 0 0.0 4 7.5 2 3.8 6 11.3 0.015
12 tahun 0 0.0 6 11.3 5 9.4 11 20.8
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Pada Tabel 21, terdapat 5.7% contoh berusia 9 tahun dan 1.9% contoh
usia 10 tahun memiliki tingkat kebugaran kurang sekali. Pada tingkat kebugaran
kurang, paling banyak adalah contoh berusia 10 tahun (30.2%), kemudian diikuti
contoh berusia 9 tahun (18.9%), contoh berusia 12 tahun (11.3%), contoh
berusia 11 tahun (7.5%), dan usia 8 tahun (1.9%). Pada tingkat kebugaran
jasmani cukup, paling banyak adalah contoh berusia 12 tahun (9.4%), kemudian
diikuti contoh berusia 9 tahun (7.5%), contoh berusia 11 tahun (3.8%), dan 10
tahun (1.9%). Hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan pada usia contoh
dengan tingkat kebugarannya. Berdasarkan hasil uji korelasi
Spearmanmenunjukkan bahwa terdapat hubungan antara usia contoh dengan
tingkat kebugaran (p < 0.05) dan nilai koefisien korelasi adalah 0.336.
Rata-rata usia contoh dengan tingkat kebugaran cukup adalah 10.7 tahun
dengan kisaran 9 – 12 tahun. Rata-rata usia contoh yang memiliki tingkat
kebugaran kurang sekali dan kurang adalah 10.2 tahun dengan kisaran 8 – 12
tahun. Usia sangat berpengaruh terhadap kebugaran jasmani. Kebugaran
jasmani anak-anak meningkat sampai mencapai maksimal pada usia 25 – 30
tahun. Kemudian akan terjadi penurunan kapasitas fungsional dari seluruh tubuh,
kira-kira sebesar 0,8 – 1% per tahun, tetapi bila rajin berolahraga penurunan ini
dapat dikurangi sampai separuhnya (Kesehatan Komunitas 2002).
Pada tingkat kebugaran kurang sekali terdapat 3.8% contoh yang
mendapat uang saku Rp 2.000. Pada tingkat kebugaran kurang terdapat 30.2%
contoh yang mendapat uang saku Rp 1.000 dan 24.5% contoh yang mendapat
uang saku Rp 2.000. Pada tingkat kebugaran cukup terdapat 11.3% contoh yang
mendapat uang saku Rp 2.000.Berdasarkan hasil uji bedat-test tidak terdapat
perbedaan signifikan (p>0.05) uang saku contoh antara contoh berstatus bugar
dan contoh berstatus tidak bugar.Sebaran uang saku contoh berdasarkan tingkat
kebugarannya disajikan dalam Tabel 22.
46

Tabel 22 Sebaran uang saku contoh berdasarkan tingkat kebugaran


Tingkat Kebugaran
Kurang Total
Uang saku Kurang Cukup P
Sekali
n % n % n % n %
1.000 1 1.9 16 30.2 3 5.7 20 37.7
1.500 0 0.0 0 0.0 2 3.8 2 3.8
2.000 2 3.8 13 24.5 6 11.3 21 39.6
2.500 0 0.0 2 3.8 1 1.9 3 5.7 0.810
3.000 0 0.0 5 9.4 0 0.0 5 9.4
5.000 1 1.9 1 1.9 0 0.0 2 3.8
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang


dimakan individu atau kelompok dengan tujuan tertentu.Tujuan mengkonsumsi
pangan dalam aspek gizi adalah untuk memperoleh sejumlah zat gizi yang
diperlukan tubuh.Konsumsi pangan meliputi informasi mengenai jenis pangan
dan jumlah pangan yang dimakan seseorang atau kelompok orang (sekeluarga
atau rumah tangga) pada waktu tertentu (Hardinsyah & Martianto 1992).
Supariasa, Bakri, Fajar(2001) menjelaskan bahwa dalam survei konsumsi
pangan terdapat tiga metode yang digunakan yaitu metode kualitatif, metode
kuantitatif, serta gabungan dari metode keduanya. Metode kualitatif digunakan
untuk mengetahui frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan
pangan, dan menggali informasi tentang kebiasaan makan.Metode kuantitatif
digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi individu atau
kelompok.
Frekuensi Makan berdasarkan Tingkat Kebugaran
Frekuensi makan dan kebiasaan makan contoh digunakan untuk
mengetahui konsumsi pangan secara kualitatif.Frekuensi makan yang diukur
pada penelitian ini adalah dalam satuan kali per hari dengan menggunakan
metode recall.Sebanyak 54.7% contoh memiliki frekuensi makan sebanyak tiga
kali setiap harinya.Sedangkan sisanya memiliki frekuensi makan sebanyak 2 kali
(28.3%), 4 kali (11.3%), dan 1 kali (5.7%).Pada tingkat kebugaran kurang sekali
(5.7%) dan sebagian besar (41.5%) contoh dengan tingkat kebugaran kurang
memiliki frekuensi makan sebanyak tiga kali setiap harinya.Sedangkan pada
tingkat kebugaran cukup terdapat 11.3% contoh memiliki frekuensi makan
sebanyak dua kali setiap harinya.Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat
perbedaan signifikan (p>0.05) frekuensi makan contoh antara contoh berstatus
bugar dengan contoh berstatus tidak bugar. Menurut Khomsan (2002), frekuensi
makan yang baik adalah tiga kali sehari. Frekuensi makan contoh berdasarkan
tingkat kebugaran dapat dilihat pada Tabel 23.
47

Tabel 23 Sebaran frekuensi makan contoh berdasarkan tingkat kebugaran


Tingkat Kebugaran
Frekuensi
Kurang Total
Makan Kurang Cukup P
Sekali
(kali/hari)
n % n % n % n %
1 kali 0 0.0 3 5.7 0 0.0 3 5.7
2 kali 0 0.0 9 17.0 6 11.3 15 28.3
3 kali 3 5.7 22 41.5 4 7.5 29 54.7 0.882
4 kali 1 1.9 3 5.7 2 3.8 6 11.3
Total 4 7.5 37 68.9 12 22.6 53 100.0
Kebiasaan Makan berdasarkan Tingkat Kebugaran
Kebutuhan gizi secara kuantitas dan kualitas sulit dipenuhi apabila hanya
makan satu kali atau dua kali sehari.Itulah sebabnya makan dilakukan secara
frekuentif yakni tiga kali sehari termasuk sarapan pagi (Khomsan
2002).Kebiasaan makan contoh pada penelitian ini menunjukkan bahwa 39.6%
contoh selalu membiasakan diri untuk sarapan.Pada tingkat kebugaran kurang
sekali sebanyak 5.7% contoh tidak pernah sarapan setiap hari.Sedangkan pada
tingkat kebugaran kurang dan cukup sebanyak 30.2% dan 9.4% contoh selalu
sarapan setiap hari.Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat perbedaan
signifikan (p>0.05) frekuensi sarapan contoh antara contoh berstatus bugar
dengan contoh berstatus tidak bugar.
Menu sarapan yang dikonsumsi oleh contoh pada penelitian ini adalah
sebagian besar berbeda-beda, yang digolongkan ke dalam beberapa menu, yaitu
(1)menu lengkap yang terdiri dari nasi, lauk hewani, lauk nabati, sayur, dan buah;
(2)nasi, lauk hewani, lauk nabati, dan sayur; (3)nasi dan lauk hewani; serta menu
lain. Terdapat 47.2% contoh mengkonsumsi menu sarapan yang terdiri dari nasi
dan lauk hewani. Sedangkan sisanya, yaitu 24.5% contoh mengkonsumsi menu
lain, 18.9% menu lengkap, dan 9.4% mengkonsumsi nasi, lauk hewani, lauk
nabati, dan sayur.
Pada penelitian ini, sebagian besar contoh yang memiliki tingkat
kebugaran kurang sekali (3.8%), kurang (52.8%), dan cukup (18.9%) tidak
pernah mengkonsumsi supplement. Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat
perbedaan signifikan (p>0.05) frekuensi konsumsi supplement contoh dengan
tingkat kebugarannya.Pada tingkat kebugaran kurang sekali sebanyak 3.8%
contoh jarang jajan.Sedangkan pada tingkat kebugaran kurang dan cukup
sebanyak 35.8% dan 9.4% contoh memiliki kebiasaan jajan yang sering.Jenis
jajanan yang biasanya dikonsumsi, diantaranya chiki (52.8%), mie ayam (26.4%),
bakso (18.9%), dan aneka jajanan lainnya (3.8%).Berdasarkan hasil uji beda
48

tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) frekuensi jajan contoh antara contoh
berstatus bugar dengan contoh berstatus tidak bugar.
Selain itu, pada penelitian ini terdapat contoh yang mempunyai makanan
pantangan, seperti pemanis buatan dan ayam.Secara keseluruhan hanya 5.7%
contoh yang mempunyai makanan pantangan.Sebanyak 3.8% contoh pada
tingkat kebugaran kurang sekali memiliki makanan pantangan.Sedangkan
sebagian besar contoh (67.9%) pada tingkat kebugaran kurang tidak memiliki
makanan pantangan dan hanya 1.9% saja yang memiliki makanan
pantangan.Seluruh contoh (22.6%) pada tingkat kebugaran cukup tidak memiliki
makanan pantangan.Sebaran kebiasaan makan contoh berdasarkan tingkat
kebugarannya disajikan dalam Tabel 24 di bawah ini.
Tabel 24 Sebaran kebiasaan makan contoh berdasarkan tingkat kebugaran
Tingkat Kebugaran
Kurang Total
Kebiasaan makan Kurang Cukup
Sekali P
n % n % n % n %
Kebiasaan Sarapan
Tidak Pernah 3 5.7 3 5.7 3 5.7 9 17.0
Jarang (< 4 kali/minnggu) 0 0.0 14 26.4 0 0.0 14 26.4
Sering (4 – 6 kali/minggu) 1 1.9 4 7.5 4 7.5 9 17.0 0.274
Selalu (7 kali/mingu) 0 0.0 16 30.2 5 9.4 21 39.6
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Suplemen
Tidak Pernah 2 3.8 28 52.8 10 18.9 40 75.5
Jarang (< 4 kali/minnggu) 1 1.9 8 15.1 2 3.8 11 20.8
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0.928
Selalu (7 kali/mingu) 1 1.9 1 1.9 0 0.0 2 3.8
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Kebiasaan Jajan
Tidak Pernah 0 0.0 3 5.7 1 1.9 4 7.5
Jarang (< 4 kali/minnggu) 2 3.8 14 26.4 4 7.5 20 37.7
Sering (4 – 6 kali/minggu) 1 1.9 19 35.8 5 9.4 25 47.2 0.411
Selalu (7 kali/mingu) 1 1.9 1 1.9 2 3.8 4 7.5
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Makanan Pantangan
Ada 2 3.8 1 1.9 0 0.0 3 5.7
Tidak 2 3.8 36 67.9 12 22.6 50 94.3 0.180
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Kebiasaan Konsumsi Sayur dan Buah berdasarkan Tingkat Kebugaran


Sayur dan buah merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik untuk
membantu metabolisme zat gizi serta beberapa mineral penting dalam menjaga
kebugaran dan daya tahan tubuh.Sayuran sering dijadikan musuh oleh sebagian
orang, padahal banyak manfaat positif bila menyukai sayuran.dianjurkan
konsumsi sayuran setiap hari sekitar 200 gram (Khomsan 2002). Pada tingkat
kebugaran kurang sekali, terdapat 3.8% contoh yang jarang dan 3.8% selalu
mengkonsumsi sayur, begitu juga pada tingkat kebugaran kurang, yaitu 24.5%
jarang dan 24.5% selalu mengkonsumsi sayur.
49

Terdapat 3.8% contoh dengan tingkat kebugaran kurang sekali dan


22.6% contoh dengan tingkat kebugaran kurang selalu mengkonsumsi buah
setiap hari.Sedangkan contoh yang memiliki tingkat kebugaran cukup
menunjukkan 9.4% tidak pernah mengkonsumsi buah dan 9.4% jarang
mengkonsumsi buah. Jenis sayuran dan buah yang sering dikonsumsi,
diantaranya: wortel, bayam, kangkung, jeruk, pisang, dan papaya. Berdasarkan
hasil uji beda tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) frekuensi konsumsi
buah dengan tingkat kebugaran contoh. Sedangkan hasil uji beda menunjukkan
adanya perbedaan yang signifikan (p<0.05)frekuensi konsumsi sayur contoh
dengan tingkat kebugarannya.Berikut sebaran konsumsi sayur dan buah contoh
berdasarkan tingkat kebugarannya yang disajikan dalam Tabel 25.
Tabel 25 Sebaran konsumsi sayur dan buah contoh berdasarkan tingkat
kebugaran
Tingkat Kebugaran
Konsumsi Sayur dan Kurang Total
Kurang Cukup P
Buah Sekali
n % n % n % n %
Konsumsi Sayuran
Tidak Pernah 0 0.0 6 11.3 2 3.8 8 15.1
Jarang (< 4 kali/minnggu) 2 3.8 13 24.5 8 15.1 23 43.4
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 5 9.4 1 1.9 6 11.3 0.025
Selalu (7 kali/mingu) 2 3.8 13 24.5 1 1.9 16 30.2
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Buah
Tidak Pernah 1 1.9 10 18.9 5 9.4 16 30.2
Jarang (< 4 kali/minnggu) 1 1.9 7 13.2 5 9.4 13 24.5
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 8 15.1 2 3.8 10 18.9 0.178
Selalu (7 kali/mingu) 2 3.8 12 22.6 0 0.0 14 26.4
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Kebiasaan Konsumsi Pangan Sumber Protein berdasarkan Tingkat


Kebugaran
Protein berfungsi sebagai sumber pembangun yang diperlukan tubuh,
teruatama pada masa pertumbuhan.Protein terbagi menjadi dua, yaitu protein
hewani dan protein nabati. Protein hewani dalam penelitian ini dibedakan
menurut asal jenis pangan, yaitu daging merah, daging putih, telur, dan ikan
segar. Sebanyak 3.8% dan 13.2% contoh pada tingkat kebugaran kurang sekali
dan cukup tidak pernah mengkonsumsi daging merah.Sedangkan 32.1% contoh
pada tingkat kebugaran kurang jarang mengkonsumsi daging merah. Sebanyak
1.9%, 32.1%, dan 17.0% contoh pada tingkat kebugaran kurang sekali, kurang
dan cukup jarang mengkonsumsi daging putih. Berdasarkan hasil uji Mann-
Whitney tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi daging merah
(p>0.05) dan konsumsi daging putih (p>0.05) contoh dengan tingkat
kebugarannya.
50

Pada penelitian ini sebanyak 3.8%, 32.1% dan 15.1% contoh pada tingkat
kebugaran kurang sekali, kurang, dan cukup jarang mengkonsumsi telur.
Sebanyak 35.8% dan 17.0% contoh pada tingkat kebugaran kurang dan cukup
jarang mengkonsumsi ikan segar. Sedangkan 3.8% contoh pada tingkat
kebugaran kurang sekali sering mengkonsumsi ikan segar. Berdasarkan hasil uji
Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan konsumsi telur (p>0.05) dan
konsumsi ikan segar (p>0.05) dengan tingkat kebugaran contoh. Berikut adalah
sebaran konsumsi pangan protein contoh berdasarkan tingkat kebugaran yang
disajikan dalam Tabel 26.
Tabel 26 Sebaran konsumsi pangan protein contoh berdasarkan tingkat
kebugaran
Tingkat Kebugaran
Kurang Total
Konsumsi Pangan Protein Kurang Cukup P
Sekali
n % n % n % n %
Konsumsi Daging Merah
Tidak Pernah 2 3.8 13 24.5 7 13.2 22 41.5
Jarang (< 4 kali/minnggu) 1 1.9 17 32.1 4 7.5 22 41.5
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 4 7.5 0 0.0 4 7.5 0.560
Selalu (7 kali/mingu) 1 3.8 3 5.7 1 1.9 5 9.4
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Daging Putih
Tidak Pernah 1 1.9 5 9.4 1 1.9 7 13.2
Jarang (< 4 kali/minnggu) 1 1.9 17 32.1 9 17.0 27 50.9
Sering (4 – 6 kali/minggu) 1 1.9 6 11.3 1 1.9 8 15.1 0.671
Selalu (7 kali/mingu) 1 1.9 9 17.0 1 1.9 11 20.8
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Telur
Tidak Pernah 0 0.0 3 5.7 0 0.0 3 5.7
Jarang (< 4 kali/minnggu) 2 3.8 17 32.1 8 15.1 27 50.9
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 7 13.2 2 3.8 9 17.0 0.341
Selalu (7 kali/mingu) 2 3.8 10 18.9 2 3.8 14 26.4
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Ikan Segar
Tidak Pernah 1 1.9 1 1.9 2 3.8 4 7.5
Jarang (< 4 kali/minnggu) 1 1.9 19 35.8 9 17.0 29 54.7
Sering (4 – 6 kali/minggu) 2 3.8 9 17.0 0 0.0 11 20.8 0.516
Selalu (7 kali/mingu) 0 0.0 8 15.1 1 1.9 9 17.0
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Protein Nabati
Tidak Pernah 0 0.0 3 5.7 0 0.0 3 5.7
Jarang (< 4 kali/minnggu) 3 5.7 15 28.3 6 11.3 24 45.3
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 8 15.1 2 3.8 10 18.9 0.001
Selalu (7 kali/mingu) 1 1.9 11 20.8 4 7.5 16 30.2
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Protein nabati yang umum dikonsumsi oleh contoh, yaitu tahu dan tempe.
Pada penelitian ini, sebanyak 5.7%, 28.3%, dan 11.3% contoh pada tingkat
kebugaran kurang sekali, kurang, dan cukup jarang mengkonsumsi protein
nabati. Berdasarkan hasil uji beda terdapat perbedaan signifikan (p<0.05)
frekuensi konsumsi protein nabati dengan tingkat kebugaran contoh.
51

Kebiasaan Minum berdasarkan Tingkat Kebugaran


Konsumsi cairan bagi anak sangat diperlukan untuk menjaga status
hidrasi tubuh.Pemberian cairan bertujuan untuk mencegah dehidrasi dan untuk
mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.Selain itu, pemberian cairan yang
adekuat ditujukan untuk mencegah panas tubuh yang berlebihan. Kebiasaan
minum contoh menunjukkan bahwa contoh sebagian besar (60.4%)
mengkonsumsi air putih 5-8 gelas setiap harinya, sebanyak 28.3% contoh
mengkonsumsi air putih kurang dari lima gelas sehari, dan sisanya sebanyak
11.3% mengkonsumsi air putih lebih dari delapan gelas setiap harinya. Sebanyak
5.7% dan 49.1% contoh pada tingkat kebugaran kurang sekali dan kurang
mengkonsumsi air putih 5-8 gelas setiap harinya. Sedangkan sebanyak 15.1%
contoh pada tingkat kebugaran cukup mengkonsumsi air putih kurang dari lima
gelas sehari. Tabel 27 merupakan kebiasaan minum contoh berdasarkan tingkat
kebugaran.
Tabel 27 Sebaran kebiasaan minum contoh berdasarkan tingkat kebugaran
Tingkat Kebugaran
Kurang Total
Kebiasaan Minum Kurang Cukup P
Sekali
n % n % n % n %
Konsumsi Air Putih (per hari)
< 5 gelas 1 1.9 6 11.3 8 15.1 15 28.3
5 – 8 gelas 3 5.7 26 49.1 3 5.7 32 60.4
0.495
> 8 gelas 0 0.0 5 9.4 1 1.9 6 11.3
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Konsumsi Susu
Tidak Pernah 0 0.0 9 17.0 3 5.7 12 22.6
Jarang (< 4 kali/minnggu) 2 3.8 9 17.0 4 7.5 15 28.3
Sering (4 – 6 kali/minggu) 0 0.0 17 32.1 3 5.7 20 37.7 0.190
Selalu (7 kali/mingu) 2 3.8 2 3.8 2 3.8 6 11.3
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Berdasarkan hasil uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan


(p>0.05) konsumsi air putih contoh dengan tingkat kebugarannya. Sebagai zat
gizi, air mempunyai fungsi penting bagi tubuh manusia, yaitu sebagai pembentuk
sel dan cairan tubuh, pengatur suhu tubuh, sebagai pelarut, sebagai pelumas
dan bantalan, sebagai media transportasi serta sebagai media eliminasi toksin
dan produk sisa metabolisme (Santoso et all 2011).
Pada konsumsi susu contoh sebanyak 3.8% dan 7.5% contoh pada
tingkat kebugaran kurang sekali dan cukup jarang mengkonsumsi susu.
Sedangkan 32.1% contoh dengan tingkat kebugaran kurang sering
mengkonsumsi susu. Jenis susu yang umumnya dikonsumsi contoh, yaitu susu
cair (49.1%), susu kental manis (43.4%), dan susu bubuk (5.7%). Berdasarkan
52

hasil uji Mann-Whitney tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) konsumsi


susu dengan tingkat kebugaran contoh.
Hubungan Status Gizi dengan Kebugaran
Pada penelitian ini, sebagian besar contoh berstatus gizi normal sebesar
53.0% dengan rata-rata z-score IMT/U -1.83 standar deviasi 1.17, nilai minimum
z-score -3.86 dan nilai maksimum 1.31. Pada sampel penelitian masih ditemui
masalah gizi pada contoh yaitu kurus (36%), dan sangat kurus (11%).Berikut
adalah sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat kebugarannya yang
disajikan dalam Tabel 28.
Tabel 28 Sebaran status gizi contoh berdasarkan tingkat kebugaran
Tingkat Kebugaran
Total
Status Gizi Kurang Sekali Kurang Cukup P
n % n % n % n %
Kurus Sekali 0 0.0 6 11.3 0 0.0 6 11.3
Kurus 0 0.0 14 26.4 5 9.4 19 35.8 0.497
Normal 4 7.5 17 32.1 7 13.2 28 52.8 0.459
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Contoh yang memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang sekali, kurang,
dan cukup (7.5%, 32.1%, 13.2%) memiliki status gizi normal.Pada penelitian ini
terdapat 41.7% contoh pada tingkat kebugaran jasmani cukup memiliki status gizi
kurus.Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang
signifikan (p>0.05) antara status gizi contoh dengan tingkat kebugaran jasmani
contoh dan nilai korelasinya sebesar 0.096. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Hastuti (2003) pada anak SD Majasto 1 Kabupaten Sukaharjo yang
menunjukkan tidak adanya hubungan antara status gizi dengan tingkat
kesegaran jasmani contoh.
Hasil uji bedat-testmenunjukkan tidak terdapat perbedaan signifikan
(p>0.05) status gizi contoh dengan tingkat kebugarannya. Status gizi yang baik
akan menjadikan organ tubuh melakukan fungsi secara optimal sehingga akan
menghasilkan tingkat kebugaran jasmani seseorang (Depkes 1997).
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dan Zat gizi dengan Kebugaran
Tingkat Kecukupan Energi dengan Kebugaran
Contoh yang memiliki tingkat kebugaran cukup sebagian besar (91.7%)
memiliki tingkat kecukupan energi tergolong defisit berat.Contoh yang memiliki
tingkat kebugaran kurang memiliki tingkat kecukupan energi tergolong defisit
berat (21.5%) dan defisit sedang (15.1%).Sedangkan contoh yang memiliki
tingkat kebugaran kurang sekali memiliki tingkat kecukupan energi tergolong
53

defisit berat (5.7%) dan sisanya (1.9%) memiliki tingkat kecukupan energi yang
deficit ringan.
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang
signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi contoh dengan tingkat
kebugaran contoh.Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan signifikan
(p>0.05) tingkat kecukupan energi contoh dengan tingkat kebugarannya.Berikut
adalah tingkat kecukupan energi contoh berdasarkan tingkat kebugarannya yang
disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29Sebaran tingkat kecukupan energi contoh berdasarkan tingkat
kebugaran
Tingkat Kebugaran
Tingkat Kecukupan Total
Kurang Sekali Kurang Cukup P
Energi
n % n % n % n %
Defisit Berat 3 5.7 22 41.5 11 20.8 36 67.9
Defisit Sedang 0 0.0 8 15.1 1 1.9 9 17.0
Defisit Ringan 1 1.9 3 5.7 0 0.0 4 7.5 0.863
Normal 0 0.0 4 7.5 0 0.0 4 7.5 0.192
Lebih 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Energi diperlukan manusia untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik


dan menggerakkan proses-proses dalam tubuh.Kekurangan energi terjadi bila
asupan energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh
akan mengalami keseimbangan energi negatif. Bila terjadi pada bayi dan anak-
anak akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan pada anak
adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan
penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2004).Selain itu,
peranan energi dalam olahraga penting diperhatikan, misalnya tidak cukupnya
ketersediaan energi yang diperlukan dari glikogen otot atau glukosa darah dapat
mengakibatkan kelelahan dan tubuh menjadi tidak bugar.
Tingkat Kecukupan Protein dengan Kebugaran
Pada contoh yang memiliki tingkat kebugaran jasmani cukup sebanyak
11.3% contohnya memiliki tingkat kecukupan protein tergolong defisit berat,
sedangkan sisanya 1.9% contoh tergolong defisit ringan, 3.8% tergolong normal,
dan 5.7% contoh tergolong lebih. Pada tingkat kebugaran kurang sebanyak
22.6% dan 20.8% contohnya memiliki tingkat kecukupan protein tergolong lebih
dan defisit berat. Sedangkan pada tingkat kebugaran kurang sekali sebanyak
5.7% contoh memiliki tingkat kecukupan protein tergolong normal dan 1.9%
contohnya tergolong defisit berat.Tabel 30merupakan sebaran tingkat kecukupan
protein contoh berdasarkan tingkat kebugaran.
54

Tabel 30 Sebaran tingkat kecukupan protein contoh berdasarkan tingkat


kebugaran
Tingkat Kebugaran
Tingkat Kecukupan Total
Kurang Sekali Kurang Cukup P
Protein
n % n % n % n %
Defisit Berat 1 1.9 11 20.8 6 11.3 18 34.0
Defisit Sedang 0 0.0 4 7.5 0 0.0 4 7.5
Defisit Ringan 0 0.0 4 7.5 1 1.9 5 9.4 0.414
Normal 3 5.7 6 11.3 2 3.8 11 20.8 0.969
Lebih 0 0.0 12 22.6 3 5.7 15 28.3
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang


signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein contoh dengan tingkat
kebugaran jasmani contoh.Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan
signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan protein dengan tingkat kebugaran
contoh.Kekurangan protein banyak terdapat pada masyarakat sosial ekonomi
rendah. Kekurangan protein murni pada stadium berat menyebabkan
kwashiorkor pada anak-anak di bawah umur lima tahun (Almatsier 2004).
Tingkat kecukupan vitamin dan mineral dibagi menjadi 2 kategori yaitu
kurang dan cukup (Gibson 2005) dimana kurang yaitu <77% dari AKG, dan
cukup >77% AKG.
Tingkat Kecukupan Vitamin A dengan Kebugaran
Contoh yang memiliki tingkat kebugaran jasmani kurang sekali (7.5%),
kurang (67.9%), dan cukup (22.6%) secara keseluruhan memiliki tingkat
kecukupan vitamin A tergolong cukup. Sedangkan sisanya sebesar 1.9% contoh
yang tingkat kebugaran jasmaninya kurang memiliki tingkat kecukupan vitamin A
yang tergolong kurang.Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat
hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dengan
tingkat kebugaran jasmani contoh.
Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05)
tingkat kecukupan vitamin A contoh dengan tingkat kebugarannya.Vitamin A
sangat berperan penting dalam diferensiasi sel dan kekebalan tubuh (Almatsier
2004), oleh sebab itu intik vitamin A yang cukup sangat diperlukan dalam
pertumbuhan dan daya tahan contoh untuk meningkatkan kebugaran tubuh.
Sebaran siswa berdasarkan tingkat kecukupan vitamin dan mineral dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tingkat Kecukupan Vitamin B1 dengan Kebugaran
Contoh yang memiliki tingkat kecukupan vitamin B1 tergolong cukup
memiliki tingkat kebugaran jasmani tergolong kurang sekali (1.9%) dan 3.8%
lainnya memiliki tingkat kebugaran yang kurang.Contoh pada kelompok yang
55

tingkat kebugarannya tergolong cukup (22.6%) dan kurang (66.0%) memiliki


tingkat kecukupan vitamin B1 tergolong kurang.Berdasarkan hasil uji korelasi
Pearson tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara tingkat
kecukupan vitamin B1 contoh dengan tingkat kebugaran jasmani contoh.
Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05) tingkat
kecukupan vitamin B1 contoh dengan tingkat kebugarannya. Peranan utama
tiamin adalah dalam metabolisme karbohidrat (Almatsier 2004).Hal tersebut
berperan dalam transportasi oksigen dalam darah yang penting dalam
beraktivitas ataupun berolahraga sehingga tubuh tetap dalam kondisi bugar
(Hanum 2012).
Tabel 31 Sebaran tingkat kecukupan vitamin dan mineral contoh berdasarkan
tingkat kebugaran
Tingkat Kebugaran
Tingkat
Kategori Kurang P
Kecukupan Kurang Cukup Total
sekali
n % n % n % n %
Kurang 0 0.0 1 1.9 0 0.0 1 1.9
Vitamin A 0.697
Cukup 4 7.5 36 67.9 12 22.6 52 98.1
0.482
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Kurang 3 5.7 35 66.0 12 22.6 50 94.3
Vitamin B1 0.870
Cukup 1 1.9 2 3.8 0 0.0 3 5.7
0.298
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Kurang 4 7.5 30 56.6 10 18.9 44 83.0
Vitamin C 0.825
Cukup 0 0.0 7 13.2 2 3.8 9 17.0
0.386
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Kurang 1 1.9 26 49.1 10 18.9 37 69.8
0.046
Zat Besi (Fe) Cukup 3 5.7 11 20.8 2 3.8 16 30.2
0.641
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0
Kurang 3 5.7 35 66.0 12 22.6 50 94.3
0.491
Kalsium (Ca) Cukup 1 1.9 2 3.8 0 0.0 3 5.7
0.180
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Tingkat Kecukupan Vitamin C dengan Kebugaran


Pada tingkat kebugaran jasmani tergolong kurang terdapat contoh yang
memiliki tingkat kecukupan vitamin C tergolong cukup (13.2%) sedangkan
sisanya (56.6%) tergolong kurang.Seluruh contoh (7.5%) pada tingkat kebugaran
jasmani tergolong kurang sekali memiliki tingkat kecukupan vitamin C tergolong
kurang.Sedangkan pada contoh dengan tingkat kebugaran cukup sebanyak
56

18.9% memiliki tingkat kecukupan vitamin C tergolong kurang dan sisanya


(3.8%) tergolong cukup.
Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang
signifikan (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin C contoh dengan tingkat
kebugaran jasmani contoh.Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan
signifikan (p>0.05) tingkat kecukupan vitamin C dengan tingkat kebugaran
contoh. Kekurangan vitamin C yang berat akan mengakibatkan fungsinya pada
sintesa kolagen terganggu dan akan tampak sebagai perdarahan terutama pada
jaringan lunak seperti gusi. Pada gejala yan lebih ringan, diduga kekurangan
vitamin C berpengaruh pada sistem pertahanan tubuh dan kecepatan
penyebuhan luka (Setiawan & Rahayuningsih 2004).
Tingkat Kecukupan Zat Besi dengan Kebugaran
Pada tingkat kebugaran jasmani tergolong kurang sekali terdapat 1.9%
contoh yang memiliki tingkat kecukupan zat besi tergolong kurang sedangkan
sisanya (5.7%) memiliki tingkat kecukupan zat besi tergolong cukup.Begitu juga
pada contoh dengan tingkat kebugaran jasmani tergolong kurang (49.1%) dan
cukup (18.9%) memiliki tingkat kecukupan zat besi tergolong
kurang.Berdasarkan hasil uji korelasi Pearsonterdapat hubungan yang signifikan
(p<0.05) antara tingkat kecukupan zat besi contoh dengan tingkat kebugaran
jasmani contoh. Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat perbedaan signifikan
(p>0.05) tingkat kecukupan zat besi contoh dengan tingkat kebugarannya.
Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat,
baik di negara maju maupun di negara berkembang. Defisiensi besi terutama
menyerang golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui
serta pekerja berpenghasilan rendah.Defisiensi besi berpengaruh luas terhadap
kualitas sumberdaya manusia, yaitu terhadap kemampuan belajar dan
produktivitas kerja, termasuk kebugaran tubuh (Almatsier 2004).
Tingkat Kecukupan Kalsium dengan Kebugaran
Pada penelitian ini seluruh contoh yang memiliki tingkat kebugaran
jasmani cukup (22.6%) memiliki tingkat kecukupan kalsium tergolong
kurang.Contoh yang tingkat kebugarannya kurang sekali (5.7%) dan kurang
(66.0%) memiliki tingkat kecukupan kalsium tergolong kurang.Berdasarkan hasil
uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0.05) antara
tingkat kecukupan kalsium contoh dengan tingkat kebugaran jasmani
57

contoh.Berdasarkan hasil uji t-test tidak terdapat perbedaan signifikan (p>0.05)


tingkat kecukupan kalsium contoh dengan tingkat kebugarannya.
Kalsium memiliki dua fungsi, yaitu penyusunan dan pengaturan.Hampir
seluruh kalsium bersama fosfor, berperan sebagai komponen utama tulang dan
gigi.Anak yang masih tumbuh dan kembang memerlukan pembentukan tulang
lebih banyak dari pada orang yang sudah tua.Peningkatan kebutuhan terjadi
pada pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas
fisik yang meningkatkan densitas tulang (Almatsier 2004).
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Kebugaran
Pada tingkat kebugaran kurang sekali, terdapat 1.9% contoh memiliki
aktivitas fisik sangat ringan. Pada tingkat kebugaran kurang, sebanyak 37.7%
memiliki aktivitas fisik ringan dan 26.4% memiliki aktivitas fisik sangat ringan.
Pada tingkat kebugaran cukup, sebanyak 13.2% contoh memiliki aktivitas fisik
ringan dan 5.7% contoh memiliki aktivitas fisik sangat ringan. Contoh yang
memiliki aktivitas fisik berat (1.9%) mempunyai tingkat kebugaran jasmani cukup,
sedangkan sebanyak 5.7% dan 1.9% contoh yang memiliki aktivitas fisik sedang
menunjukkan kebugaran jasmani yang tergolong kurang dan cukup. Tabel 32
merupakan sebaran contoh berdasarkan aktivitas fisik dan tingkat kebugaran.
Tabel 32Sebaran aktivitas fisik contoh berdasarkan tingkat kebugaran
Tingkat Kebugaran
Kurang Total
Aktivitas Fisik Kurang Cukup P
Sekali
n % n % n % n %
Sangat ringan (< 1,40) 1 1.9 14 26.4 3 5.7 18 34.0
Ringan (1,40- 1,69) 3 5.7 20 37.7 7 13.2 30 56.6
0.615
Sedang (1,70-1,99) 0 0.0 3 5.7 1 1.9 4 7.5
0.015
Berat (2,00-2,40) 0 0.0 0 0.0 1 1.9 1 1.9
Total 4 7.5 37 69.8 12 22.6 53 100.0

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson tidak terdapat hubungan yang


signifikan (p>0.05) antara aktivitas fisik contoh dengan tingkat kebugaran
contoh.Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Dwiyani (2011)
pada anak SD yang mengalami obesitas dan diberikan intervensi diet dan
olahraga menunjukkan peningkatan aktivitas fisik melalui olaharaga dapat
meningkatkan tingkat kesegaran jasmani namun masih pada kategori kurang
sekali.Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara aktivitas fisik dengan tingkat kebugaran jasmani contoh.
Hasil uji bedat-testterdapat perbedaan signifikan (p<0.05) aktivitas fisik
contoh dengan tingkat kebugarannya. Menurut Kesehatan Komunitas (2002)
salah satu manfaat fisik atau biologis adalah meningkatkan kebugaran
58

tubuh.Aktivitas fisik dilakukan sekurang-kurangnya 30 menit setiap hari dengan


baik dan benar agar bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran tubuh.
Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Kebugaran
Analisis regresi linier dilakukan untuk mengetahui variabel yang paling
berpengaruh dengan kebugaran contoh. Variabel yang diduga mempengaruhi
kebugaran adalah usia, status gizi, tingkat konsumsi energi dan zat gizi (protein,
vitamin A, vitamin B1, vitamin C, zat besi, dan kalsium), serta aktivitas fisik.
Berikut Tabel 33 yang menunjukkan model hasil uji regresi linier.
Tabel 33 Model hasil uji regresi linier
Koefisien
Koefisein Tidak Standar
Standar Koefisien
Model t Signifikansi
Standar Determinasi
B Beta
Kesalahan
(Konstanta) -.830 1.235 -.672 .506
Status gizi .140 .156 .140 .902 .372
Usia -.297 .092 -.501 3.230 .002
Energi .090 .123 .122 .733 .468
Protein .008 .070 .020 -.121 .904
Vitamin A .095 .735 .019 .129 .898 .063
Vitamin B1 .330 .440 .113 .751 .457
Vitamin C .267 .262 .148 -1.017 .315
Zat Besi .151 .239 .100 -.634 .030
Kalsium .187 .436 .064 -.430 .670
Aktivitas Fisik .211 .158 .206 -1.337 .189
Variabel Dependen: Kebugaran
Berdasarkan Tabel 33 tersebut dapat diketahui bahwa hasil uji regresi
linier berganda menunjukkan bahwa terdapat dua variabel independen, yaitu usia
dan tingkat kecukupan zat besi yang berpengaruh terhadap kebugaran contoh.
Sedangkan variabel independen lainnya tidak menunjukkan adanya pengaruh
yang signifikan (p>0.05) terhadap kebugaran contoh. Hal tersebut dapat
disebabkan dari variabel-variabel independen yang diuji tidak menunjukkan
adanya hubungan dengan kebugaran contoh dan contoh pada penelitian ini
realtif homogen. Contoh memiliki tingkat kebugaran yang tergolong kurang sekali
dan kurang atau dikatakan tidak bugar, sehingga dapat menjadi penyebab tidak
ditemukan adanya pengaruh yang signifikan antara variabel independen dengan
variabel dependen, yaitu kebugaran.
59

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Statu gizi contoh dalam penelitian ini sebagian besarnya adalah normal,
yaitu sebesar 53.0% dengan rata-rata z-score IMT/U -1.83 ± 1.17, nilai minimum
z-score -3.86 dan nilai maksimum 1.31.Terdapat 32.1% contoh berjenis kelamin
perempuan yang memiliki status gizi normal.Status gizi yang normal paling
banyak ditemui pada contoh yang berusia 9 dan 10 tahun, yaitu sebesar
15.1%.Sedangkan contoh yang memiliki status gizi normal (18.9%) paling banyak
terdapat pada sampel yang memperoleh uang saku sebesar Rp 1.000 dan Rp
2.000. Berdasarkan hasil uji beda tidak ada perbedaan yang signfikan (p>0.05)
antara jenis kelamin, usia, dan uang saku dengan status gizi contoh.
Tingkat kecukupan energi dan protein contoh sebesar 67.9% dan 34%
masih tergolong defisit berat.Sebagian besar (98.1%) contoh memiliki tingkat
kecukupan vitamin A yang tergolong cukup.Hasil tersebut berbanding terbalik
dengan tingkat kecukupan vitamin dan mineral lainnya yang menunjukkan
sebagian besar contoh tergolong kurang. Berdasarkan hasil uji beda, terdapat
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara contoh berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan dengan kategori tingkat kecukupan protein.Terdapat perbedaan
signifikan (p<0.05) antara jenis kelamin dan besar uang saku contoh dengan
tingkat kecukupan vitamin B1. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan (p<0.05) antara jenis kelamin dan usia contoh dengan
tingkat kecukupan vitamin C. Berdasarkan hasil uji beda ada perbedaan yang
signifikan (p<0.05) antara jenis kelamin contoh dengan tingkat kecukupan zat
besinya.
Sebanyak 34.0% contoh pada penelitian ini memiliki tingkat aktivitas fisik
sangat ringan dan 56.6% contoh dengan tingkat aktivitas ringan.Sebanyak 18.9%
contoh perempuan memiliki tingkat aktivitas fisik sangat ringan.Terdapat 1.9%
contoh laki-laki yang memiliki tingkat aktivitas fisik berat.Sedangkan sebanyak
3.8% contoh berusia 11 tahun memiliki tingkat aktivitas fisik yang tergolong
sedang.Terdapat 3.8% contoh dengan uang saku Rp 2.000 memiliki tingkat
aktivitas fisik sedang. Berdasarkan hasil uji beda tidak terdapat perbedaan
(p>0.05) yang signifikan antara jenis kelamin, usia, dan uang saku contoh
dengan tingkat aktivitas fisiknya.
Sebagian besar contoh (69.8%) berada pada tingkat kebugaran kurang,
sedangkan sisanya sebanyak 22.6% dan 7.5% contoh berada pada tingkat
60

kebugaran cukup dan kurang sekali.Pada penelitian ini terdapat perbedaan


signifikan jenis kelamin contoh (p<0.05) dengan tingkat kebugarannya.Kemudian
terdapat perbedaan signifikan konsumsi sayur (p<0.05) dan konsumsi protein
nabati (p<0.05) dengan tingkat kebugaran contoh.Selain itu, terdapat perbedaan
signifikanaktivitas fisik contoh (p<0.05) dengan tingkat kebugarannya.
Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat
hubungan antara usia contoh dengan tingkat kebugaran (p< 0.05). Hasil uji
korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara status gizi (p>0.05) dan aktivitas fisik (p>0.05) contoh dengan kebugaran
contoh.Sedangkan berdasarkan hasil uji korelasi Pearson terdapat hubungan
antara asupan zat besi contoh (p<0.05) dengan kebugaran contoh. Hasil uji
regresi linier menunjukkan terdapat variabel independen, yaitu usia dan tingkat
kecukupan zat besi yang signifikan berpengaruh (p<0.05) terhadap kebugaran
contoh.
Saran
Asupan zat gizi yang baik dapat meningkatkan status gizi seseorang.
Contoh sebaiknya lebih meningkatkan konsumsi pangan yang tinggi energi,
vitamin B1, dan kalsium dikarenakan hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat
konsumsi contoh akan zat gizi tersebut masih tergolong defisit atau kurang.
Tingkat kebugaran jasmani dapat ditingkatkan dengan berbagai macam cara,
salah satunya olahraga. Seseorang dapat terhindar dari ancaman berbagai
macam penyakit infeksi maupun degenerative dengan berolahraga secara
teratur.Selain itu, dengan olahraga tubuh juga dapat melakukan berbagai macam
pekerjaan tanpa harus mengalami kelelahan yang berarti.Saran untuk penelitian
selanjutnya adalah sebaiknya kebiasaan olahraga contoh perlu diteliti sebagai
salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kebugaran.
61

DAFTAR PUSTAKA

Adi. 2010. Meningkatkan kebugaran jasmani anak SD melalui latihan kebugaran


aerobik. http://blogjurnalkesehatan.com//.html [11 September 2012].

Afriwardi. 2002. Ilmu Kedokteran Olaharaga. Jakarta: EGC.

AlmatsierS. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

________. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Andarwulan N, Madanijah S, Zulaikhah. 2008. Monitoring Verifikasi dan Profil


Keamanan Pangan Makanan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) Nasional
tahun 2008. Seafast Center.

Arisman. 2004. Gizi Daur Dalam Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Astrand 1992.Physical activity and fitness.Am J. Clin-Nutr. 55 (6 Suppl: 1231-6S)

Briawan D, Madanijah S. 2008. Penilaian Status Gizi Cara Antropometri.Diktat


Mata Kuliah Penilaian Status Gizi Departemen Gizi Masyarakat, Bogor:
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

[DEPKES] Departemen Kesehatan. 1997. Unsur-Unsur Kesegaran Jasmani.


Jakarta: Departemen Kesehatan.

________. 2010. Panduan kesehatan olahraga bagi petugas kesehatan.


http://www.depkes.go.id//PanduanKesehatan.pdf [11 September 2012].

Dunia Fitness. 2012. VO2 max dan faktor yang mempengaruhinya.


http://duniafitnes.com//vo2maxdanfaktoryangmempengaruhinya.html [11
September 2012].

Dwiyani L. 2011. Indeks Massa Tubuh dan Tingkat Kesegaran Jasmani Pada
Anak Obesitas Setelah Lepas Intervensi Diet dan Olahraga [skripsi].
Semarang: Kedokteran, UNDIP.

FAO/WHO/UNU. 2001. Human Energy Requirement. Rome: FAO/WHO/UNU.

Fauzi. 2011. Penilaian status gizi. http://myblogpoltekespadang.htm [04


September 2012].

[FKM-UI] Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2007. Gizi dan


Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Gibson RS. 2005. Principle of Nutritional Assessment. OXFORD University


Press.Second Edition.

Hanum FN. 2011. Hubungan Karakteristik Atlet, Pengetahuan Gizi, Konsumsi


Pangan, dan Tingkat Kecukupan gizi Terhadap Tingkat Kebugaran Atlet
Bola Basket di SMP/SMA Ragunan Jakarta Selatan [skripsi]. Bogor:
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
62

Hardinsyah, Martianto D. 1992.Menaksir Kecukupan Energi dan Protein Serta


Penilaian Mutu Konsumsi Pangan. Jakarta: Wirasari.

______, Briawan D. 1994. Penilaian dan perencanaan asupan pangan.Bogor:


Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

______, Briawan D, Retnaningsih, Herwati T, Wijaya R. 2002.Analisis Kebutuhan


Konsumsi Pangan. Bogor: Pusat Studi Kebijakan Pangan (PSKPG) IPB
dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Dina Ketahanan
Pangan, Deptan.

______, Tambunan V. 2004. Angka Kecukupan Energi, Protein, Lemak, dan


Serat Makanan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI.

Hurlock EB. 1997. Perkembangan Anak Jilid II. Jakarta: Erlangga.

Hastuti S. 2003. Hubungan Status Gizi dengan Tingkat Kesegaran Jasmani Anak
Sekolah Dasar di Sd Negeri Majasto I Kecamatan Tawangsari Kabupaten
Sukoharjo [skripsi]. Semarang: Gizi Kesehatan Masyrakat, UNDIP.

Judarwanto W. 2005. Perilaku makan anak


sekolah.http://gizi.depkes.go.id/makalah/ [04 September 2012].

Jumirah, Lubis Z, Aritonang E. 2008. Status Gizi dan Tingkat Kecukupan Energi
dan Protein Anak Sekolah Dasar di Desa Namo Gajah, Kecamatan
Medan Tuntungan. Medan: Jurnal Penelitian USU, Juni 2008, 12(1): 1-6.

Kesehatan Komunitas. 2002. Panduan Kesehatan Olahraga Bagi Petugas


Kesehatan. Jakarta: Kesehatan Komunitas.

Khomsan A. 2002. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan.Bogor:Jurusan Gizi


Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

Kusharto CM dan Sa’diyyah NY. 2008. Penilaian Konsumsi Pangan. Bogor:


Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.

Kustiyah L, Syarief H, Hardinsyah, Rimbawan, Suradijono SH. 2006. Pengaruh


Intervensi Makanan Kudapan terhadap Peningkatan Kadar Glukosa
Darah dan Daya Ingat Anak Sekolah Dasar. Bogor: Media Gizi &
Keluarga,Juli 2006, 30 (1): 42-57.

Muhilal, Sulaeman A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak.Jakarta:


Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.

Muslichatun.2005. Perbandingan Pengaruh Latihan Senam Kesegaran Jasmanis


Usia Sekolah Dasar Antara Tiga Kali dengan Empat Kali dalam Seminggu
terhadap Tingkat Kesegaran Jasmani Siswa Putri di SD Negeri
Gunungjati 4 dan Nangkosawit Tahun Ajaran 2004/2005 [skripsi].
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
63

Napitu N. 1994. Perilaku jajan di kalangan siswa SMA di kota dan pinggiran kota
DKI Jakarta [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.

Nasoetion A, Riyadi H. 1994. Gizi Terapan. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga IPB.

Nurhasan H, Cholil H, 2007. Modul Tes dan Pengukuran Keolahragaan.


Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan, Universitas
Pendidikan Indonesia.

Puspitorini M. 2009. Cara Mudah dan Murah menjadi Wanita Sehat. Yogyakarta:
Bookmarks.

Rahmawati SM. 2001. Pengaruh Program Makanan Tambahan Anak Sekolah


(PMT-AS) Terhadap Status Gizi Contoh Sekolah Dasar [tesis]. Bogor:
Sekolah Pascasarjana, IPB.

[RISKESDAS] Riset Kesehatan Dasar. 2010. Status Gizi Anak Usia 6-12 tahun
Provinsi Jawa Barat. http://www.riskesda.litbang.depkes.id [11 September
2012].

Riyadi H. 2004. Penilaian Status Gizi. Dalam Baliwati YF, Khomsan A, Dwiriani
CM, editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya; hlm
78-82.

_______. 2006. Gizi dan Kesehatan Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka.

Riyadi H, Kohomsan A, Anwar F, Mudjajanto SE. 2007.Studi Implementasi


Program Gizi. Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB.

Satya WI. 2008. Kebugaran jasmani dalam mendukung kinerja. J IQRA, Ilmu
Kependidikan dan Keislaman 4(2):211-222.

Santoso BI, Hardinsyah, Siregar P, Pardede SO. 2011. Air Bagi Kesehatan.
Jakarta: Centra Communications.

Setiawan B, Rahayuningsih S. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut


Air.Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.

Soekirman, Hardinsyah, Jus’at I, Jahari AB. 2002. Regional study of nutritional


status of urban primary school children, West Jakarta and Bogor,
Indonesia. Food and Nutrition Bulletin, 23 (1): 31-40.

Soetardjo S. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT.


Gramedia.

Sriundy MIM. 2009. Profil kebugaran jasmani anak usia 7 – 13 tahun sebagai
sasaran evaluasi penjasorkes. Jurnal Pendidikan Dasar 10(1): 92-104.

Sudarsono NC. 2008. Kebugaran. http://kebugaran.myblog.com/2011/07/15/tes-


kebugaran-jasmani-indonesia-tkji/ [11 September 2012].
64

Suharjana F, Purwanto H. 2008. Kebugaran jasmani mahacontoh D II PGSD


penjas FIK UNY.Jurnal Pendidikan Jasmani Indonesia 5(2).

Suntoda A. 2007. Pedoman dan Instrumen Praktikum Tes dan Pengukuran


Olahraga. Bandung: Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan,
Universitas Pendidikan Indonesia.

Supariasa IDN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi.Jakarta: Buku


Kedokteran EGC.

______. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Susilowati. 2007. Faktor-Faktor Risiko Kesegaran Jasmani Pada Polisi Lalu


Lintas di Kota Semarang [tesis]. Semarang: Program Pasca Sarjana
Diponegoro, Universitas Diponegoro.

Thoha WH. 2003 Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu tentang Jajan dan
Makanan Jajanan pada Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja dengan Kebiasaan
Jajan Anak Sekolah Dasar [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.

[WHO] World Health Organization. 2007. BMI for Age (5-19 years).
http://www.who.inti/growthhref/who2007bmi-for-age/en/index.html. [04
September 2012].

Wulandari AWR. 2004. Hubungan Antara Status Gizi dan Latihan Fisik dengan
Kesegaran Jasmani Lansia di Klub Jantung Sehat Semarang [skripsi].
Semarang: Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro.
65

LAMPIRAN
66

Lampiran 1 Nilai p hasil uji beda karaktersitik contoh dengan status gizi, asupan
zat gizi dan aktivitas fisik
Nilai p Variabel
Karakteristik Asupan Zat Gizi
Status Aktivitas
Contoh Vitamin Vitamin Vitamin Zat
Gizi Energi Protein Kalsium Fisik
A B1 C Besi
Jenis
0.693 0.693 0.045 0.284 0.000 0.030 0.043 0.187 0.793
Kelamin
Usia 0.938 0.211 0.167 0.315 0.686 0.024 0.350 0.144 0.174
Uang Saku 0.617 0.588 0.602 0.361 0.063 0.144 0.459 0.506 0.330

Lampiran 2 Nilai p hasil uji korelasi berbagai variabel dengan tingkat kebugaran
Variabel P
Usia 0.015
Status gizi 0.497
Aktivitas fisik 0.615
Tingkat kecukupan energy 0.863
Tingkat kecukupan protein 0.414
Tingkat kecukupan vitamin A 0.697
Tingkat kecukupan vitamin B1 0.870
Tingkat kecukupan vitamin C 0.825
Tingkat kecukupan zat besi 0.046
Tingkat kecukupan kalsium 0.491

Lampiran 3 Nilai p hasil uji beda berbagai variabel berdasarkan status kebugaran
Variabel P Variabel P
Jenis Kelamin 0.000 Konsumsi daging putih 0.671
Uang saku 0.810 Konsumsi telur 0.341
Status gizi 0.459 Konsumsi protein nabati 0.001
Aktivitas fisik 0.615 Konsumsi air putih 0.495
Frekuensi makan 0.882 Konsumsi susu 0.190
Kebiasaan sarapan 0.274 Tingkat kecukupan energi 0.192
Konsumsi supplement 0.928 Tingkat kecukupan protein 0.969
Frekuensi jajan 0.411 Tingkat kecukupan vitamin A 0.482
Makanan pantangan 0.180 Tingkat kecukupan vitamin B1 0.298
Konsumsi sayuran 0.025 Tingkat kecukupan vitamin C 0.386
Konsumsi buah 0.178 Tingkat kecukupan kalsium 0.180
Konsumsi daging merah 0.560 Tingkat kecukupan zat besi 0.641
Konsumsi ikan 0.516
67

Lampiran 4 Tabel Penilaian VO2 max


Tabel Penilaian VO2 max Berdasarkan Bleep Test
TK BLK VO2max TK BLK VO2max TK BLK VO2max
2 1 20.1 3 1 23 4 1 26.2
2 2 20.4 3 2 23.6 4 2 26.8
2 3 20.7 3 3 23.9 4 3 27.2
2 4 21.1 3 4 24.3 4 4 27.6
2 5 21.4 3 5 24.6 4 5 27.9
2 6 21.8 3 6 25 4 6 28.3
2 7 22.1 3 7 25.3 4 7 28.9
2 8 22.5 3 8 25.7 4 8 29.5
4 9 29.7

TK BLK VO2max TK BLK VO2max TK BLK VO2max


5 1 29.9 6 1 33.2 7 1 36.7
5 2 30.2 6 2 33.6 7 2 37.1
5 3 30.6 6 3 33.9 7 3 37.4
5 4 31 6 4 34.3 7 4 37.8
5 5 31.4 6 5 34.6 7 5 38.1
5 6 31.8 6 6 35 7 6 38.5
5 7 32.1 6 7 35.3 7 7 38.8
5 8 32.5 6 8 35.7 7 8 39.2
5 9 32.9 6 9 36 7 9 39.5
6 10 36.4 7 10 39.9

TK BLK VO2max TK BLK VO2max TK BLK VO2max


8 1 40.2 9 1 43.6 10 1 47.1
8 2 40.5 9 2 43.9 10 2 47.4
8 3 40.8 9 3 44.2 10 3 47.9
8 4 41.1 9 4 44.5 10 4 48.4
8 5 41.4 9 5 44.8 10 5 48.5
8 6 41.8 9 6 45.2 10 6 48.7
8 7 42.1 9 7 45.6 10 7 49
8 8 42.4 9 8 45.9 10 8 49.3
8 9 42.7 9 9 46.2 10 9 49.6
8 10 43 9 10 46.5 10 10 49.9
8 11 43.3 9 11 46.8 10 11 50.2

You might also like