Professional Documents
Culture Documents
Aksara Tafsir Al-Qur'An Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Aksara Tafsir Al-Qur'An Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Aksara Tafsir Al-Qur'An Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Abstract: This study focuses on the use of both pegon and Latin or Roman scripts in the writing of
the Quranic exegesis in Priangan, West Java. The object of research is the works of Ahmad Sanoesi
(1880-1950), namely Sundanese tafsīr of Rauḍat al-Irfān and Malja’ al-Ṭālibīn which use pegon scripts
and Malay or Indonesian tafsīr of Tamsjijjatoel Moeslimien which uses Latin scripts. This research
employs social history and a hermeneutic approach. This study confirms that the use of pegon and
Latin scripts related to the different backgrounds of Muslim reader segmentation. It was not only
written for the santri of pesantren who were generally only able to read pegon writings, but also for
the wider community who were able to read Latin scripts. Rauḍat al-Irfān and Malja’ al-Ṭālibīn which
used Sundanese pegon scripts were written for the santri of Sundanese pesantren in Priangan.
Meanwhile, Tamsjijjatoel Moeslimien, which used Indonesian Latin scripts was written for the wider
Indonesian community. The use of these two types of scripts also then affects the differences in
Sanoesi’s interpretation of the Quran. Explanations of Qur’anic verses dominated Rauḍat al-Irfān and
Malja’ al-Ṭālibīn through the knowledge of Qur’an and tafsir which are generally only understood by
santri in Priangan. In contrast, Tamsjijjatoel Moeslimien was generally dominated by explanations
which understood by a broad audience.
Abstrak: Kajian ini memfokuskan pada penggunaan huruf pegon dan aksara latin dalam penulisan
tafsir Al-Qur’an di Priangan, Jawa Barat. Objek kajiannya adalah tafsir karya K.H. Ahmad Sanoesi
(1880-1950), yaitu Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang beraksara pegon dengan bahasa Sunda
serta Tamsjijjatoel Moeslimien yang beraksara latin dalam bahasa Indonesia. Melalui pendekatan
sejarah sosial dan hermeneutik, kajian ini menegaskan bahwa penggunaan kedua aksara tersebut
terkait dengan latar perbedaan segmentasi pembaca. Tidak hanya ditulis untuk kalangan pesantren
yang umumnya saat itu hanya mampu membaca teks huruf pegon, tetapi juga untuk masyarakat
luas yang mampu membaca teks aksara latin. Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn ditulis untuk
kepentingan santri dan kiai pesantren di Priangan, sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien ditulis untuk
masyarakat Indonesia secara lebih luas. Penggunaan dua jenis aksara tersebut juga kemudian
berdampak pada perbedaan substansi penafsiran Sanoesi terhadap ayat Al-Qur’an. Rauḍat al-‘Irfān
dan Malja’ al-Ṭālibīn yang beraksara pegon lebih didominasi oleh penjelasan ayat melalui perangkat
keilmuan Al-Qur’an dan tafsir yang umumnya hanya dapat dipahami oleh kaum santri di Priangan,
sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien yang beraksara latin didominasi penjelasan yang bercirikan
kepentingan masyarakat umum sehingga dapat dipahami oleh khalayak luas.
1. Pendahuluan
Tafsir Alquran di Indonesia disajikan dengan bahasa dan aksara yang sangat beragam. Bukan
hanya bahasa Arab, tetapi juga bahasa lokal-daerah seperti Melayu, Aceh, Jawa, Sunda, Bugis,
Madura dan lainnya. Bukan hanya ditulis menggunakan huruf Arab, tetapi juga aksara Jawa
(carakan), lontara, latin, huruf jawi, pegon dan lainnya. Bahasa dan aksara yang beragam tersebut
tentu saja dimaksudkan untuk memudahkan pembaca dalam memahami kandungan
Alquran(Hussin, et al., 2016) (Bilmauidhah, 2011, hal. 41–62; Kiptiah, n.d., hal. 420–445; Mursalim,
2009).
Salah satu aksara yang digunakan dalam penulisan tafsir adalah huruf pegon. Huruf ini
merupakan huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura dan Sunda.
Sebagaimana huruf Arab-Melayu atau jawi di daerah Sumatra, huruf pegon termasuk ke dalam jenis
tulisan asing yang sampai ke Nusantara seperti halnya aksara Jawa, Sunda dan lainnya yang berasal
dari India dan aksara latin dari Eropa. Pegon menunjukkan sebuah pengalihan dari huruf Arab ke
dalam huruf yang hampir sama untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Sebuah
pengalihan yang menyerap huruf asalnya ke dalam tulisan lain. Setiap kali tulisan baru diserap, ia
menunjukkan suatu pengaruh budaya yang sangat besar. Huruf Arab yang diserap menjadi pegon
menunjukkan pengaruh besar budaya Arab terhadap budaya Nusantara. Ia kemudian selalu
menghasilkan penyerapan sejumlah kata asing berbahasa Arab dan penerjemahan sejumlah teks
Arab ke dalam tulisan pegon(Roger Tol, et al., 2009, hal. 309).
Di tatar Sunda, penggunaan huruf pegon untuk penulisan tafsir Alquran dilakukan oleh salah
seorang ulama terkenal, K.H. Ahmad Sanoesi (1880-1950). Ia misalnya, menulis tafsir Malja’ al-Ṭālibīn
(tempat berlindung para siswa) tahun 1930-an saat dibuang di Batavia Centrum, lalu menulis Rauḍat
al-‘Irfān (kebun pengetahuan) saat kembali dari pengasingan. Keduanya dan banyak sekali karya
tafsir lainnya ditulis menggunakan huruf pegon. Ia menggunakan huruf tersebut dalam kebanyakan
karyanya di bidang keilmuan Islam. Hal ini dilakoni sepanjang hidupnya, paling tidak sejak ia
menulis Nahrah Dargham (suara singa wilayah) saat di Mekah (1914), lalu berlanjut saat di Pesantren
Cantayan (1915-1921), Pesantren Babakan Sirna Genteng (1921-1927), dibuang ke Batavia Centrum
(1928-1934), tahanan kota di Sukabumi (1934-1939), hingga beberapa tahun jelang wafatnya (1939-
1942)(Saleh, 2016).
Namun, perhatian Sanoesi rupanya tidak hanya pada huruf pegon, ia juga belakangan
menggunakan aksara latin dalam menulis karyanya, salah satunya tafsir berbahasa Indonesia,
Tamsjijjatoel Moeslimien (perjalanan kaum Muslimin) tahun 1934. Tafsir ini diterbitkan saat Sanoesi
selesai menjalani masa tahanan dari Batavia Centrum lalu pindah ke Sukabumi sebagai tahanan kota
tahun 1934-1939. Bahkan tafsir ini kemudian memicu polemik di kalangan ulama Priangan, karena
dianggap tidak layak digunakan untuk menuliskan Alquran. Selain huruf Arab, Sanoesi juga
menampilkan transliterasi tulisan Alquran dalam aksara latin(Darmawan, 2009, hal. 110). Meski
terjadi penolakan, Tamsjijjatoel Moeslimien terus diterbitkan bahkan hingga mencapai Singapura.
Pertanyaannya, Mengapa Sanoesi memilih menulis tafsir tidak hanya dengan huruf pegon, tetapi
juga aksara latin yang akhirnya memicu kontroversi? Apa faktor penyebab utama yang mendorong
Sanoesi menulis tafsirnya dengan kedua aksara tersebut? Apakah penggunaan aksara yang berbeda
berpengaruh pula terhadap substansi penafsiran Sanoesi terhadap ayat Alquran?
Artikel ini memfokuskan pada penggunaan huruf pegon dan aksara latin dalam penulisan tafsir
Alquran karya Sanoesi. Mengingat begitu banyaknya karya tafsir Sanoesi, maka tidak semua karya
tafsirnya dijadikan objek kajian(Basri, 2003; Matin, 2009, hal. 147–164). Hanya tiga karya tafsirnya
yang digunakan untuk kepentingan kajian ini, yaitu Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang
berhuruf pegon dan Tamsjijjatoel Moeslimien yang beraksara latin. Kajian ini menggunakan
pendekatan sejarah sosial untuk menganalisis ragam faktor sosial intelektual yang mempengaruhi
terjadinya peristiwa sejarah, yaitu dinamika penulisan karya tafsir Sanoesi dalam rentang waktu
1930-1934(MacRaild et al., 2004, hal. 18). Pilihan ketiga tafsir karya Sanoesi tersebut didasarkan pada
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 17 dari 27
dekatnya rentang waktu penerbitannya dibanding karya tafsir lainnya. Selain itu, digunakan pula
pendekatan hermeneutik untuk memahami posisi dunia pembaca dalam lingkaran triadik teks tafsir
yang tidak dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan dunia teks itu sendiri(Seebohm, 2004, hal. 40).
Sepengetahuan penulis, meski sudah sangat banyak sarjana yang menulis tentang Sanoesi dan
karya-karyanya(Basri, 2003, hal. 225–241; Iskandar, 2001; Manshur, 1992, hal. 9–16), termasuk karya
tafsirnya(A.Rohmana, 2015, hal. 297–2332, 2017, hal. 25–58; Darmawan, 2009; Manshur, 1992; Umar,
n.d., hal. `153-180), tetapi yang memfokuskan pada posisi aksara yang digunakan Sanoesi dalam
karyanya tidak banyak mendapat perhatian. Kiranya hanya tulisan Gusmian yang pernah membahas
tentang penggunaan aksara dan bahasa dalam penulisan tafsir Alquran, meskipun dalam konteks
Indonesia dan tafsir bahasa Jawa(Gusmian, n.d., hal. 141–168, 2010, 2015, hal. 233–247), Karenanya,
kajian ini berusaha mengisi ruang kosong kajian para sarjana tersebut, sehingga dapat berkontribusi
dalam studi aksara penulisan tafsir di Indonesia.
Selain itu, pengungkapan alasan di balik penggunaan huruf pegon dan aksara latin dalam
penulisan tafsir Alquran penting dilakukan untuk menjernihkan posisi penggunaan huruf tersebut
dalam konteks kolonialisme Belanda. Beberapa sarjana mengklaim bahwa penggunaan huruf pegon
oleh kalangan pesantren sebagai bentuk perlawanan simbolis terhadap kolonial yang mewacanakan
aksara latin(Fikri, 2014, hal. 82; Gusmian, n.d., hal. 157–158; Mustaqim, 2017, hal. 360,372), Tetapi,
sebagaimana akan dijelaskan, penggunaan huruf pegon dan aksara latin sama sekali tidak ada
hubungannya dengan bentuk perlawanan itu. Buktinya, meski Sanoesi dikenal sangat anti kolonial,
tetapi Sanoesi menggunakan kedua jenis aksara tersebut dalam tulisan tafsirnya. Kajian ini kiranya
sangat penting untuk mendudukkan masalah tersebut yang dalam kasus Sanoesi sama sekali tidak
relevan untuk dijadikan dasar dalam perlawanan anti kolonial.
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 18 dari 27
huruf jim dengan titik tiga ()چ, nga ditulis dengan huruf ‘ain dengan titik tiga di atasnya ( )ڠ, ga (untuk
membedakan dengan gha) ditulis dengan huruf kaf dengan titik satu di atas atau di bawah ( )ڬ, nya
ditulis dengan huruf ya’ dengan titik tiga di atas (()ۑCoolsma, 1985, hal. 10).
Tetapi, berbeda dengan huruf pegon yang memiliki sedikit perbedaan dengan huruf Arab biasa,
aksara latin yang digunakan dalam penulisan tafsir Alquran tidak memiliki perbedaan dengan
penggunaan aksara latin biasa. Ia berjumlah 26 huruf. Perbedaan akan muncul ketika ejaan lama
(ejaan van Ophuijsen) masih digunakan, yaitu beberapa penulisan huruf seperti dj, j, oe, sj, tj, ch dan
tanda angka dua di atas (2) untuk kata ulang yang berlaku sejak 1901. Ejaan ini kemudian digantikan
oleh ejaan republik atau ejaan Soewandi sejak 1947 sehingga penulisannya menjadi j, y, u, sy, c,
kh(James, 2003, hal. 91). Begitu pula penulisan aksara latin digunakan untuk menuliskan bahasa
Sunda dilakukan beberapa tambahan, seperti adanya huruf vokal é dan eu. Terjadi pula penyesuaian
penulisan sesuai bunyi suara dalam pengucapan terhadap huruf konsonan tertentu yang jarang
digunakan dalam urutan abjad bahasa Sunda, seperti ‚f, q, v, x, z, kh, sy‛(Tamsyah, 2001, hal. 19).
Beberapa huruf konsonan tersebut biasanya diubah penulisannya menjadi huruf ‚p, k, p, ks, j, h, s.‛
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 19 dari 27
pun. Tafsir ini bahkan telah mengalami puluhan kali cetak ulang hingga mencapai lebih dari 50.000
eksemplar.(Manshur, 1992, hal. 120) Sampai sekitar 1990-an, Rauḍat al-‘Irfān masih menjadi salah satu
kitab yang dipelajari di berbagai pesantren di Priangan(Bruinessen, 1990, hal. 237–238).
Sedangkan tafsir Malja’ al-Ṭālibīn ditulis dengan huruf pegon berbahasa Sunda. Ia disusun
sampai juz sembilan dalam 28 jilid. Tafsir ini diterbitkan saat Sanoesi berada dalam pembuangan di
Batavia Centrum. Edisi pertama dicetak pada 28 Januari 1931. Pemasarannya umumnya di sekitar
Priangan, Batavia, Banten hingga Purwakarta. Dari 28 jilid yang sempat terbit, 20 jilid diterbitkan di
Batavia, sementara sisanya di Sukabumi. Setiap jilid rata-rata membahas tidak lebih dari setengah juz
Alquran dengan kisaran ketebalan rata-rata 50 halaman. Di setiap sampul jilidnya tercantum
pengumuman karangan Sanoesi lainnya, kadang berisi kritik pada kaum modernis, permintaan doa
bagi konsumen yang wafat dan beberapa perbaikan(Sanoesi, n.d.-e).
Adapun tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien, sebagaimana tafsir Malja’ al-Ṭālibīn, diterbitkan dalam
bentuk buletin atau majalah bulanan. Tafsir ini diterbitkan perdana pada 1 Oktober 1934 yaitu dua
bulan setelah statusnya sebagai tahanan dipindahkan dari Batavia ke Sukabumi. Tafsir ini diterbitkan
hingga edisi ke-53 atau hingga juz ke-8 Alquran. Tafsir ini didistribusikan secara luas hingga Batavia,
Bandung, Belitung bahkan Singapura. Pada jilidnya dicantumkan pula harga tafsir itu yakni F.
0.40(Umar, n.d., hal. 156).
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 20 dari 27
Pada tafsir Malja’ al-Ṭālibīn tersebut, Sanoesi menggunakan huruf ca ()چ, nga ()ڠ, ga ( )ڬdan nya
()ۑ. Huruf ca ( )چmisalnya, tampak pada kata kacida dan cara; huruf nga ( )ڠmisalnya, tampak pada
kata mangka, ngadu’a, Pangeran, katerangan, koneng, ngagebur, bungah, ningali; huruf ga ( )ڬtampak pada
kata gusti dan ngagebur; sedangkan huruf nya ( )ۑtampak pada kata saenya-enyana.
Sedangkan dalam kutipan tafsir Rauḍat al-‘Irfān tersebut tampak menggunakan huruf nga ()ڠ
dan ga ()ڬ. Huruf nga ( )ڠmisalnya, tampak pada kata jeung, ngersakeun, mangka dan tangtu.
Sedangkan huruf ga ( )ڬtampak pada kata tegesna. Seperti penafsiran berikut ini :
Ngersakeun Pangeran
Mangka tangtu iman
Tegesna sakabehna
ڠ سبكي ف
م ڠك تڠجى ايوبى جلن
تڬسٌب سك هي اً ي
تڬسٌب سك هي اً ي
Jeung lamun
جڠ لوىى
sakabehna
maneh
سك ه ًب
jalma
insan
ڠي اى هبً ه
5. Aksara Latin dalam Tamsjijjatoel Moeslimien
Adapun aksara latin digunakan oleh Sanoesi dalam tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien juga sama
dengan jumlah aksara latin pada umumnya, yaitu berjumlah 26 huruf dari a sampai z. Aksara latin
yang digunakan dalam penulisan tafsir berbahasa Indonesia ini tidak memiliki perbedaan dengan
penggunaan aksara latin biasa. Hanya saja tafsir ini masih menggunakan ejaan lama atau ejaan van
Ophuijsen yang berlaku sejak 1901. Hal ini tampak pada beberapa penulisan huruf seperti dj, j, oe, sj,
tj, ch, dan tanda angka dua di atas (2) untuk kata ulang yang masih digunakan dalam tafsirnya.
Berikut salah satu contoh penulisan aksara latin yang digunakan Sanoesi dalam Tamsjijjatoel
Moeslimien ketika ia menafsirkan QS. Al-Baqarah[2]: 2.
Tabel 2 contoh penafsiran tafsir tamsjijatoel Moeslimien
Bahwa segala keadaan didalamnja itoe benar, dan dari pada Allah ta’ala, dan oleh karena Qoerän
ini didjadikan patokan dan oendang2, boeat sekalian manoesia hidoepnja didoenia, soepaja teroes
meneroes mendapat keselamatan, dan keoentoengan, dan kebahagiaan sampai kepada achirat,
maka didjadikan permoelaannja keterangan segala bahagian manoesia,... (Sanoesi, n.d.-d, hal. 28–
29)
Dalam kutipan Tamsjijjatoel Moeslimien di atas, Sanoesi menggunakan bahasa Indonesia dengan
aksara latin, tetapi ia masih menggunakan aksara latin dengan ejaan lama ejaan van Ophuijsen,
seperti tampak pada beberapa penulisan kata seperti sjak, ragoe2, Qoerān itoe, didalamnja, itoe,
didjadikan, oendang2, boeat, manoesia, hidoepnja, didoenia, soepaja, teroes meneroes, keoentoengan, achirat,
didjadikan, permoelaannja dan manoesia. Kata tersebut menggunakan ejaan seperti dj, j, oe, sj, tj, ch dan
tanda angka dua di atas (2) untuk kata ulang. Hal ini dapat dipahami, karena Sanoesi menerbitkan
karyanya Tamsjijjatoel Moeslimien sekitar tahun 1934. Sehingga ejaan van Ophuijsen masih berlaku
saat itu.
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 21 dari 27
Pemilihan aksara dalam sebuah literatur tafsir pada hakikatnya melibatkan pembaca. Mufasir
akan menyesuaikan karyanya dengan tingkat pemahaman pembaca yang akan ditujunya. Karena
bagaimanapun pembaca berkedudukan sebagai konsumen yang akan membeli produk karya tafsir
yang diinginkannya. Di sinilah letak segmentasi pembaca yang senantiasa disadari oleh mufasir saat
menulis karya.
Mufasir seperti Sanoesi karenanya menyadari bahwa terdapat pembaca yang berasal dari
lingkungan pesantren yang bisa dipastikan mampu menguasai bahasa Arab, aksara Arab dan bahasa
Sunda. Maka ia menulis tafsir Alquran yang ditulis dengan huruf pegon, karena kalangan santri dan
kiai di pesantren terbiasa menggunakan huruf tersebut. Huruf pegon menjadi pilihan utama Sanoesi
sejak awal karirnya sebagai pengarang buku-buku keislaman di tahun 1915. Sehingga karyanya
dengan huruf pegon umumnya menyebar di berbagai pesantren di Priangan hingga sekarang.
Secara historis, penulisan tafsir dengan huruf pegon berbahasa Sunda terkait dengan latar
pendidikan dan karirnya yang tidak jauh dari pesantren. Sebagaimana sudah dijelaskan, Sanoesi
belajar di banyak pesantren sejak kecil. Selain belajar dari ayahnya, Haji Abdurrahim, ia juga belajar
menjadi santri kelana di sejumlah pesantren di Priangan. Salah satu sumber menyebutkan bahwa
setidaknya-tidaknya ada sembilan pesantren yang pernah dimasuki Sanoesi, baik yang ada di
Sukabumi maupun yang ada di luar Sukabumi. Kesembilan pesantren itu adalah Pesantren
Selajambe (Cisaat), Pesantren Sukamantri (Cisaat), Pesantren Sukaraja (Sukaraja), Pesantren Cilaku
(Cianjur), Pesantren Ciajag (Cianjur), Pesantren Gudang (Tasikmalaya), Pesantren Gentur
(Warungkondang, Cianjur), dan Pesantren Keresek serta Pesantren Bunikasih yang kedua-duanya
berada di Garut
Karenanya, huruf pegon berbahasa Sunda sudah menjadi sarana Sanoesi dalam mempelajari
berbagai kitab-kitab pesantren. Hal ini kemudian berlanjut ketika Sanoesi mengajar di pesantren
milik ayahnya sekembalinya dari Mekah tahun 1915. Ia mengajar dengan menggunakan gaya bahasa
Sunda yang mudah dimengerti oleh para santrinya, sehingga mendapat panggilan ajengan Cantayan.
Begitu pun setelah Sanoesi menjalani hukuman tahanan kota di Batavia Centrum, ia kembali aktif di
pesantren Cantayan dan melakukan rutinitasnya sebagai seorangan ajengan. Ia lalu mendirikan
pesantren baru bernama pesantren Genteng tahun 1919 hingga ia juga dijuluki dengan ajengan
Genteng.
Di pesantren inilah ia kemudian menerbitkan beberapa karya tafsir berhuruf pegon seperti
Rauḍat al-‘Irfān. Tafsir ini ditulis sebagai bagian dari kegiatan kepesantrenan. Ia merupakan hasil
transmisi lisan saat pengajian yang disampaikannya tidak lama setelah Sanoesi kembali dari
pengasingannya di Batavia. Tafsir ini ditulis ke dalam teks tulisan oleh sekitar 30 santrinya. Hasilnya
kemudian dikumpulkan dan disalin ulang oleh penulis (ka>tib) yang dipercaya Sanoesi, yakni
Muhammad Busyra dan kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Yahya. Setelah mendapat
persetujuan Sanoesi, hasil salinan tulis tangan ka>tib itu kemudian diperbanyak dengan cetak batu
(litografi) di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi(Manshur, 1992, hal. 117–118). Dengan demikian,
penggunaan huruf pegon berbahasa Sunda seperti tampak pada tafsir Rauḍat al-‘Irfān tidak bisa
dilepaskan dari aktifitas Sanoesi yang berasal dari lingkungan pesantren dan kemudian mengajar di
pesantren. Ia menyadari bahwa karya tafsir yang ditulisnya memang diperuntukkan bagi kalangan
pesantren Sunda di Priangan, bukan untuk kalangan umum yang lebih luas.
Hal ini berbeda dengan tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien yang ditulis dalam bahasa Indonesia
dengan aksara latin. Karya ini ditulis setelah Sanoesi menjalani masa pengasingan di Batavia
Centrum. Pergaulannya yang luas semasa di organisasi SI di Mekah lalu berlanjut di Sukabumi,
hingga mendirikan organisasi Al Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang kemudian berubah menjadi PUI
menjadikannya sosok yang banyak bergaul dengan berbagai kalangan yang luas. Sanoesi tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya di organisasi tersebut, tetapi menggunakan bahasa
Indonesia. Karenanya, ketika menulis tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien dalam bahasa Indonesia, aksara
latin tentu saja menjadi pilihan utama, karena diperuntukkan bukan hanya untuk pembaca orang
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 22 dari 27
Sunda tetapi untuk semua orang Indonesia, sehingga penyebaran tafsirnya mencapai Belitung dan
Singapura.
Dengan demikian, pilihan Sanoesi untuk menggunakan dua aksara yang berbeda dalam
penulisan tafsir, kiranya karena dihadapkan pada segmentasi pembaca yang berbeda. Kondisi sosial-
kultural Sanoesi berada pada dua sisi yang berbeda, yakni di satu sisi ia dikenal sebagai ulama
pesantren Sunda yang hidup di tengah-tengah kaum santri, tetapi di sisi lain ia juga menjadi aktifis SI
lalu mendirikan sekaligus menjadi pimpinan AII yang memiliki pergaulan yang luas. Ia tidak hanya
bergaul dengan kalangan pesantren, tetapi juga berbaur dengan berbagai kalangan seperti kaum
menak, abangan, berpendidikan, termasuk juga para aktifis SI, PNI, Pasundan dan lainnya.
Pergaulan Sanoesi dengan berbagai kalangan masyarakat dari latar belakang berbeda-beda
inilah yang menumbuhkan kesadaran untuk memberikan pengajaran tentang keislaman melalui
literatur tafsir Alquran yang ditujukan pada khalayak yang lebih luas. Maka pilihan yang paling
realistis adalah menggunakan bahasa Indonesia beraksara latin melalui tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien
tahun 1934. Hal ini kiranya tidak lepas dari situasi pasca Sumpah Pemuda 1928 di tengah
peningkatan semangat nasionalisme yang semakin tumbuh, salah satunya diikat oleh bahasa yang
satu, bahasa Indonesia. Seain itu, penggunaan transliterasi huruf Arab ke dalam aksara latin pada
Tamsjijjatoel Moeslimien membuat pembaca yang belum dapat membaca Alquran dengan huruf Arab
mudah membacanya. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam aksara latin mempermudah
pembaca awam untuk mempelajari ajaran Islam melalui karya tafsir. Hal ini sangat berbeda dengan
Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ At Tha>libi>n yang ditulis dalam bahasa Sunda huruf pegon, kiranya hanya
ditujukan untuk segmen pembaca yang terbatas, yaitu para santri dan kiai yang pasti mampu
membaca huruf Arab dan hanya di lingkungan Priangan saja. Dalam salah satu pengantar awalnya
yang berjudul ‚Tanbiehat (segala peringatan)‛ pada Tamsjijjatoel Moeslimien, Sanoesi menyatakan:
(1) Dimoehoenkan oleh saja jang dho’ief, kepada sekalian Toean2 jang moelja, jang membatja ini Tafsier,
djika melihat soeatoe kesalahan dari pada perkataan Melajoenja, atau dari pada soesoenannja, soedi kiranja
membetoelkan dengan jang showab, dan memberi ma’af, karena saja boekan orang Malajoe dan boekan
seorang jang mengalami sekolahan(Sanoesi, n.d.-d).
Kutipan tersebut tampak bahwa Sanoesi menunjukkan karyanya sejak awal ditujukan pada
orang Melayu yang mengenyam pendidikan. Karenanya ia merasa perlu meminta maaf jika bahasa
Melayu atau Indonesianya banyak kesalahan, karena ia sendiri bukan orang Melayu dan tidak
pernah belajar di sekolah Belanda, melainkan hanya di pesantren.
Selain itu, untuk membuktikan perbedaan segmentasi konsumen pembaca tersebut, salah
satunya dapat dilihat dari perbedaan penyebaran distribusi ketiga tafsir tersebut. Sebagaimana
tampak dari pengumuman berita kematian atau tagihan tunggakan daftar para pelanggan yang di
bagian akhir tafsirnya, bisa diketahui bahwa tafsir Malja’ At Tha>libi>n misalnya, karena ditulis dengan
huruf pegon berbahasa Sunda, maka didistribusikan di beberapa daerah yang terbatas di Priangan, di
antaranya Batavia atau Betawi, Bandung, Purwakarta, Bogor, Tasikmalaya, Ciamis, Rangkasbitung
Banten. Kemudian daerah Sukabumi, seperti Cisaat, Malang, Rembang, Rawa Bantul, Pasar Tanjung,
Tipar, Jantawana, Pasanggrahan Garut, Kubang Buleud, Nyalindung, Cibolong, Cimenteng, Cibolang
dan Cikukulu(Sanoesi, n.d.-b, hal. 192, n.d.-a, hal. 118).
Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan Tamsjijjatoel Moeslimien yang ditulis dengan bahasa
Indonesia beraksara latin, maka jangkauan pemasarannya lebih luas. Meski tidak diketahui secara
pasti penyebaran Tamsjijjatoel Moeslimien, tetapi dilihat dari bahasa dan aksara yang digunakan karya
ini ditujukan untuk menjangkau pembaca yang banyak dan luas. Penyebaran tafsir ini kemungkinan
menjangkau berbagai wilayah di hampir seantero Nusantara, seperti Jawa, Sumatera, Aceh dan
bahkan Singapura(Umar, n.d., hal. 156). Karenanya, dibandingkan Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ At
Tha>libi>n, tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien lebih mudah diakses untuk kalangan luas.
Pilihan aksara yang berbeda tersebut rupanya tidak hanya terbatas pada persoalan aksara dan
bahasa saja, tetapi selanjutnya berpengaruh pula pada format dan substansi penafsiran ayat Alquran
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 23 dari 27
yang disesuaikan dengan khalayak segmen pembaca yang ditujunya seperti akan dijelaskan di
bagian selanjutnya.
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 24 dari 27
) (وي وىىjeung sok ngalakonan eta jalma2 sarta kalawan sampurna sarat rukun adatna ) (الصالkana salat
anu dipardukeun nyaeta anu lima waktu dina sapoe sapeuting, jadi saha2 jalma anu tara daek ngalakonan
salat eta ditampik ku undang2 Islam nyaeta ku Qur’an anu matak eta dijieun bab kadua dina alamatna
diaku ku Qur’an, kahiji ku sabab eta salat ditetepkeun dina hadis jadi tengahna agama, saha2 jalma anu
ngaku Islam tapi tara salat eta Islamna moal nangtung, eta salat jadi cara anu misahkeun antara Islam
jeung kupur jadi jalma ngaku2 Islam tara salat eta henteu aya bedana reujeung kapir.
Terjemahan: ) (وي وىىdan suka melaksanakan itu orang-orang serta dengan sempurna syarat dan
rukun adatnya ) (الصالpada salat yang difardukan, yaitu yang lima waktu dalam sehari semalam,
jadi siapa orang yang tidak mau melakukan salat, maka ditolak oleh undang-undang Islam yaitu oleh
Alquran, karenanya dibuat bab kedua dalam alamatnya yang diakui oleh Alquran, pertama dengan
sebab salat itu ditetapkan dalam hadis menjadi setengahnya agama, siapa orang yang mengaku Islam
tetapi tidak pernah salat maka Islamnya tidak tegak, salat itu menjadi cara yang memisahkan antara
Islam dan kufur, jadi orang yang mengaku-ngaku Islam tetapi tidak pernah salat tidak ada bedanya
dengan kafir.
Begitu pun ketika menafsirkan ayat tilka ummah qad khalat laha ma kasabat wa akum ma kasabtum wa
la tus’alun ‘amma kanu ya’malun (Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan
dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban)
tentang apa yang dahulu mereka kerjakan) QS. Al-Baqarah[2]: 134, Sanoesi dalam Tamsjijjatoel
Moeslimien menyebut nama Indonesia terkait pentingnya menjauhkan diri dari perpecahan. Sebuah
penjelasan yang jelas tidak hanya terbatas ditujukan pada kalangan santri di pesantren, tetapi bagi
pembaca umum yang lebih luas jangkauannya di seluruh Indonesia.
Dan siksaan bertjerai berai, itoe telah njata, dan terasa sakitnja, dan getirnja, oleh sekalian
oemmat Islam Indonesia, dimasa sekarang, kerana djika diselidiki dengan sedjaoeh2nja, nistjajalah
diboektikan tiada ada 20 pCt, jang masih teritoeng pantes makanannja, dan pakajannja, dan tempat
tinggalnja, sedangkan tanah Indonesia itoe soeatoe tanah doenia jang paling soeboer dan jang paling
kaja(Sanoesi, n.d.-d, hal. 413).
Hal ini berbeda dengan Malja’ al-Ṭālibīn yang menjelaskan ayat dalam QS. Al-Baqarah[2]: 134 itu
dengan menjelaskan maknanya perkata saja layaknya tafsir al-Jalalain yang biasa digunakan dalam
kajian tafisr di pesantren, tanpa memberikan tafsiran yang terperinci sebagaimana Tamsjijjatoel
Moeslimien.
)(تلك) اري ايت نبي ابراهيم جڠ سكابيه فترا فتونا (امة) ايت امة (قد خلت) انو ڬس كلوة تهال ايت امة (لها
)تتف كا ايت امة (ما) ببالس سكابيه عملنا (كسبت) انو ڠاسب ايت امة (ولكم) جڠ تتف كا منيه كابيه (ما
ببالس سكابيه عمل (كسبتم) انو ڠسب مانيه كابيه (وال تسئلون) جڠ موال د فركس مانيه كابيه دنا فووي قيامة
. انو سيجين (كانوا) انو ايا ايت سكابيه جلما (يعملون) فد مڬاوي ايت سكابيه جلما٢(عما) تنا سكابيه عمل
(Sanoesi, n.d.-f, hal. 111)
) (جلari eta Nabi Ibrahin jeung sakabeh putra putuna ) (اهةeta umat ) (قد خلثanu geus kaliwat tiheula eta
umat ) (لهبtetep ka eta umat ) (هبbabales sakabeh amalna ) (ك ثanu ngasab eta umat ) (ولكنjeung tetep ka
maneh kabeh ) (هبbabales sakabeh amal ) (ك حنanu ngasab maneh kabeh ) (وال ج ئلىىjeung moal dipariksa
maneh kabeh dina poe kiamah ) (عوبtina sakabeh amal2 anu sejen ) (كبًىاanu eta sakabeh jalma )(يعولىى
pada migawe eta sakabeh jalma.
Terjemahan: ) (جلsedang itu Nabi Ibrahin dan seluruh anak cucunya ) (اهةitu umat ) (قد خلثyang
sudah berlalu lebih dahulu itu umat ) (لهبtetap pada itu umat ) (هبmembalas seluruh amalnya
)(ك ثyang mengusahakan itu umat ) (ولكنdan tetap pada kamu semua ) (هبmembalas seluruh
amal ) (ك حنyang mengusahakan kamu semua ) (وال ج ئلىىdan tidak akan ditanya kamu pada hari
kiamat ) (عوبdari semua amal-amal yang lain ) (كبًىاyang semua orang itu ) (يعولىىmengerjakan
itu semua orang.
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 25 dari 27
Dengan demikian, penafsiran dalam Tamsjijjatoel Moeslimien terlihat lebih luas dan berkaitan
dengan masalah kebangsaan, karena segmentasi dari pembaca tafsir ini adalah golongan masyarakat
secara umum di luar kalangan pesantren, seperti kaum menak, abangan dan yang berpendidikan di
sekolah Belanda. Hal ini berbeda dengan Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ At Tha>libi>n yang penafsirannya
cenderung pada makna ayat secara terbatas ditambah dengan beberapa penjelasan qira’at. Hal ini
sesuai dengan segmen pembaca yang ditujunya yang khusus bagi kalangan santri Sunda di Priangan.
Dapat dikatakan bahwa kedua tafsir berhuruf pegon berbahasa Sunda tersebut penafsirannya terlihat
lebih nyantri (sesuai selera santri) dibanding tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien.
Karenanya, penjelasan di atas menunjukkan bahwa pilihan bahasa dan aksara yang digunakan
mufasir seperti Sanoesi ditujukan untuk segmentasi pembaca tertentu yang pada gilirannya juga
akan sangat berpengaruh terhadap substansi penafsirannya terhadap ayat Alquran. Inilah yang
menjadi argumen penting mengapa pilihan huruf pegon dalam kasus tafsir karya Sanoesi sama sekali
tidak terkait dengan upaya perlawanan simbolis terhadap kolonial, karena Sanoesi juga
menggunakan aksara latin yang sejak awal dibawa oleh bangsa kolonial itu. Pilihan huruf pegon dan
aksara latin kiranya lebih terkait dengan persoalan teknis penulisan yang disesuaikan dengan segmen
pembaca yang dituju oleh Sanoesi antara pembaca kalangan santri Sunda di Priangan dan segmen
pembaca non-santri yang lebih luas jangkauannya.
8. Simpulan
Literatur tafsir Alquran di Indonesia ditulis dengan bahasa dan aksara yang sangat beragam,
pemilihan aksara ini erat kaitannya dengan kondisi sosial kultural di mana tafsir itu diproduksi.
Kajian ini berhasil membuktikan bahwa penggunaan aksara tafsir salah satunya terkait dengan latar
perbedaan segmentasi pembaca sehingga produk tafsir dapat dipasarkan secara tepat sasaran. Karya
Ahmad Sanoesi Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang beraksara pegon dengan bahasa Sunda
ditulis untuk kepentingan santri dan kiai pesantren di Priangan sebagai basis karir keilmuannya
sehingga distribusi tafsirnya hanya di sekitar Priangan. Sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien yang
beraksara latin berbahasa Indonesia ditulis untuk masyarakat lebih luas seiring dengan pergaulannya
yang semakin luas terutama setelah aktif di organisasi SI, AII dan kemudian terlibat di PPKI,
sehingga pemasaran tafsirnya menjangkau wilayah di luar Priangan, bahkan mencapai Sumatra dan
Singapura. Pembedaan penggunaan dua jenis aksara tersebut juga berdampak pada substansi
penafsiran Sanoesi terhadap ayat Alquran. Malja’ At-Tha>libi>n dan Rauḍat al-‘Irfān yang beraksara
pegon lebih didominasi oleh penjelasan ayat melalui perangkat keilmuan Alquran yang umumnya
hanya dapat dipahami oleh kaum santri secara terbatas, sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien yang
beraksara latin didominasi penjelasan yang bercirikan kepentingan masyarakat umum agar dapat
dipahami oleh khalayak luas. Karenanya, kiranya kurang tepat pandangan sebagian sarjana bahwa
penggunaan huruf pegon oleh kalangan pesantren sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial
yang mewacanakan aksara latin. Tetapi, sebagaimana dalam kasus Sanoesi, penggunaan huruf pegon
sama sekali tidak ada hubungannya dengan bentuk perlawanan itu dibanding alasan keterbacaan
karya oleh segmen pembaca yang berbeda-beda. Buktinya, meski Sanoesi dikenal sangat anti
kolonial, tetapi Sanoesi menggunakan tidak hanya huruf pegon, tetapi juga aksara latin. Karenanya
sangat tidak masuk akal bila penggunaan suatu aksara dihubungkan dengan upaya kalangan
pesantren dalam meneguhkan simbol perlawanan kolonial
Referensi
A.H.Johns. (n.d.). ‚Penerjemahan‛ Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan (H. Chambert-Loir, Ed.).
Jakarta.
A.H.Johns. (1984). Islam in the Malay World: An Exploratory Survei with Some Reference to Quranic Exegesis. In
Raphael Israeli and A.H. Johns, Islam in Asia. Jerussalem: Magnes Press.
A.H.Johns. (1988). Quranic Exegesis in the Malay-Indonesian World: In Search of Profile. In A. Rippin (Ed.),
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 26 dari 27
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 27 dari 27
Mohd Nazri Ahmad, M. F. M. S. (201AD). Metodologi Muhammad Sa’id Umar Terhadap Periwayatan Hadith-
Hadith Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir Nurul Ihsan. Jurnal Al-Turath, 3(1).
Mursalim. (2009). Tafsir Bahasa Bugis/Tafsir Al-Qur’an Al-karim Karya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi
Selatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mustaqim, A. (2017). The Epistemology of Javanese Qur’anic Exegesis, A Study of Salih Darat’s Fayd al-Rahman.
Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 2, 55.
Riddell, HAL. G. (1989). Earliest Qur’anic Exegitical Activity in Malay-Speaking State‛. Archipel, 39.
Roger Tol,, Willem van der Molen, Uli Kozok, H. C. (2009). Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam
Sejarah (H. Chambert-Loir, Trans.). Jakarta.
Rosmini. (2009). Revitalisasi Tafsir Lokal: Telaah atas fungsi ganda tafsir Mabbicara Ugi Tafsir al-Munir karya
AGH. Daud Ismail al-Soppeniy. Jurnal Al-Qalam, 15(2), 199–214.
Saleh, M. (2016). K.H. Ahmad Sanusi, Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional. Tangerang Selatan:
Jelajah Nusa.
Sanoesi, A. (n.d.-a). Malja at Thalibin. Tanah Tinggi no. 191 Batavia Karamat.
Sanoesi, A. (n.d.-b). Pangadjaran Bahasa Soenda (Malja’ al-Thalibin). Tanah Tinggi No. 191 Batavia Kramat: Kantor
Cetak sareng Toko Kitab Al-Ittihad.
Sanoesi, A. (n.d.-c). Rauḍat al-‘Irfän fi Ma’rifat al-Qur’ān (2nd ed.). Sukabumi: Pesantrén Gunung Puyuh.
Sanoesi, A. (n.d.-d). Tamsjijjatoel Moeslimin fie Tafsieri Kalami-Rabbil’alamien.
Sanoesi, A. (n.d.-e). Tapsir bahasa Soenda. No 8, Tanah Tinggi Senen No. 191 Batavia Kramat.
Sanoesi, A. (n.d.-f). Tapsir Basa Soenda (Malja’ al-Talibin).
Seebohm, T. M. (2004). Hermeneutics, Method and Methodology. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Tamsyah, B. R. (2001). Galuring Basa Sunda,. Bandung: Pustaka Setia.
Umam, S. (2013). God’s Mercy is Not Limited to Arabic Speakers: Reading Intellectual Biography of Muhammad
Salih Darat and His Pegon Islamic Texts. Studia Islamika, 20(2).
Umar, H. H. (n.d.). Al-Turath al-‘Ilmi li al-Islam bi Indunisiyya: Dirasah fi Tafsir Malja’ al-Talibin wa Tamassiyah
al-Muslimin li al-Shaikh al-Hajj Ahmad Sanusi. Studia Islamika, 8(1), 153–180.
Yusuf, M. (2013). Relevansi Pemikiran Ulama Bugis dan Nilai Budaya Bugis: Kajian tentang ‘iddah dalam Tafsir
berbahasa Bugis karya MUI Sulsel. Analisis, XIII(1), 57–78.
Zuhdi, M. N. (2012). Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia. Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Zulkifli bin Mohd Yusoff, H. B. M. (2005). Biografi Haji Mohd Said Dan Sejarah Penulisan Tafsir Nur Al-Ehsan.
Al-Bayan: Journal of Al-Quran and Al-Hadith, 3, 65–82.
© 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms
and conditions of the Attribution 4.0 International (CC BY 4.0) license
(https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).
Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi