Aksara Tafsir Al-Qur'An Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 13

Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir

ISSN: 2540-8461 (online)


ISSN: 2528-1054 (print)

AKSARA TAFSIR AL-QUR’AN DI


PRIANGAN:HURUF PEGON DAN AKSARA LATIN
DALAM KARYA K.H. AHMAD SANOESI
Yani Yuliani1*
1 Fakultas Ushuludin UIN Sunan Gunung Jati Bandung, Jl. AH. Nasution No. 105 Bandung, Jawa Barat,
Indonesia; Email: yaniyuliani342@gmail.com
* Correspondence

Received: 2020-05-07; Accepted: 2020-06-30 Published: 2020-07-21

Abstract: This study focuses on the use of both pegon and Latin or Roman scripts in the writing of
the Quranic exegesis in Priangan, West Java. The object of research is the works of Ahmad Sanoesi
(1880-1950), namely Sundanese tafsīr of Rauḍat al-Irfān and Malja’ al-Ṭālibīn which use pegon scripts
and Malay or Indonesian tafsīr of Tamsjijjatoel Moeslimien which uses Latin scripts. This research
employs social history and a hermeneutic approach. This study confirms that the use of pegon and
Latin scripts related to the different backgrounds of Muslim reader segmentation. It was not only
written for the santri of pesantren who were generally only able to read pegon writings, but also for
the wider community who were able to read Latin scripts. Rauḍat al-Irfān and Malja’ al-Ṭālibīn which
used Sundanese pegon scripts were written for the santri of Sundanese pesantren in Priangan.
Meanwhile, Tamsjijjatoel Moeslimien, which used Indonesian Latin scripts was written for the wider
Indonesian community. The use of these two types of scripts also then affects the differences in
Sanoesi’s interpretation of the Quran. Explanations of Qur’anic verses dominated Rauḍat al-Irfān and
Malja’ al-Ṭālibīn through the knowledge of Qur’an and tafsir which are generally only understood by
santri in Priangan. In contrast, Tamsjijjatoel Moeslimien was generally dominated by explanations
which understood by a broad audience.

Keywords: Quranic exegesis; scripts; reader, segmentation; substance.

Abstrak: Kajian ini memfokuskan pada penggunaan huruf pegon dan aksara latin dalam penulisan
tafsir Al-Qur’an di Priangan, Jawa Barat. Objek kajiannya adalah tafsir karya K.H. Ahmad Sanoesi
(1880-1950), yaitu Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang beraksara pegon dengan bahasa Sunda
serta Tamsjijjatoel Moeslimien yang beraksara latin dalam bahasa Indonesia. Melalui pendekatan
sejarah sosial dan hermeneutik, kajian ini menegaskan bahwa penggunaan kedua aksara tersebut
terkait dengan latar perbedaan segmentasi pembaca. Tidak hanya ditulis untuk kalangan pesantren
yang umumnya saat itu hanya mampu membaca teks huruf pegon, tetapi juga untuk masyarakat
luas yang mampu membaca teks aksara latin. Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn ditulis untuk
kepentingan santri dan kiai pesantren di Priangan, sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien ditulis untuk
masyarakat Indonesia secara lebih luas. Penggunaan dua jenis aksara tersebut juga kemudian
berdampak pada perbedaan substansi penafsiran Sanoesi terhadap ayat Al-Qur’an. Rauḍat al-‘Irfān
dan Malja’ al-Ṭālibīn yang beraksara pegon lebih didominasi oleh penjelasan ayat melalui perangkat
keilmuan Al-Qur’an dan tafsir yang umumnya hanya dapat dipahami oleh kaum santri di Priangan,
sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien yang beraksara latin didominasi penjelasan yang bercirikan
kepentingan masyarakat umum sehingga dapat dipahami oleh khalayak luas.

Kata Kunci: Tafsir; aksara; pembaca; segmentasi; substansi.

DOI : 10.15575/ v5i1.8461 https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/Al-Bayan


Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 16 dari 27

1. Pendahuluan
Tafsir Alquran di Indonesia disajikan dengan bahasa dan aksara yang sangat beragam. Bukan
hanya bahasa Arab, tetapi juga bahasa lokal-daerah seperti Melayu, Aceh, Jawa, Sunda, Bugis,
Madura dan lainnya. Bukan hanya ditulis menggunakan huruf Arab, tetapi juga aksara Jawa
(carakan), lontara, latin, huruf jawi, pegon dan lainnya. Bahasa dan aksara yang beragam tersebut
tentu saja dimaksudkan untuk memudahkan pembaca dalam memahami kandungan
Alquran(Hussin, et al., 2016) (Bilmauidhah, 2011, hal. 41–62; Kiptiah, n.d., hal. 420–445; Mursalim,
2009).
Salah satu aksara yang digunakan dalam penulisan tafsir adalah huruf pegon. Huruf ini
merupakan huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura dan Sunda.
Sebagaimana huruf Arab-Melayu atau jawi di daerah Sumatra, huruf pegon termasuk ke dalam jenis
tulisan asing yang sampai ke Nusantara seperti halnya aksara Jawa, Sunda dan lainnya yang berasal
dari India dan aksara latin dari Eropa. Pegon menunjukkan sebuah pengalihan dari huruf Arab ke
dalam huruf yang hampir sama untuk menuliskan bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Sebuah
pengalihan yang menyerap huruf asalnya ke dalam tulisan lain. Setiap kali tulisan baru diserap, ia
menunjukkan suatu pengaruh budaya yang sangat besar. Huruf Arab yang diserap menjadi pegon
menunjukkan pengaruh besar budaya Arab terhadap budaya Nusantara. Ia kemudian selalu
menghasilkan penyerapan sejumlah kata asing berbahasa Arab dan penerjemahan sejumlah teks
Arab ke dalam tulisan pegon(Roger Tol, et al., 2009, hal. 309).
Di tatar Sunda, penggunaan huruf pegon untuk penulisan tafsir Alquran dilakukan oleh salah
seorang ulama terkenal, K.H. Ahmad Sanoesi (1880-1950). Ia misalnya, menulis tafsir Malja’ al-Ṭālibīn
(tempat berlindung para siswa) tahun 1930-an saat dibuang di Batavia Centrum, lalu menulis Rauḍat
al-‘Irfān (kebun pengetahuan) saat kembali dari pengasingan. Keduanya dan banyak sekali karya
tafsir lainnya ditulis menggunakan huruf pegon. Ia menggunakan huruf tersebut dalam kebanyakan
karyanya di bidang keilmuan Islam. Hal ini dilakoni sepanjang hidupnya, paling tidak sejak ia
menulis Nahrah Dargham (suara singa wilayah) saat di Mekah (1914), lalu berlanjut saat di Pesantren
Cantayan (1915-1921), Pesantren Babakan Sirna Genteng (1921-1927), dibuang ke Batavia Centrum
(1928-1934), tahanan kota di Sukabumi (1934-1939), hingga beberapa tahun jelang wafatnya (1939-
1942)(Saleh, 2016).
Namun, perhatian Sanoesi rupanya tidak hanya pada huruf pegon, ia juga belakangan
menggunakan aksara latin dalam menulis karyanya, salah satunya tafsir berbahasa Indonesia,
Tamsjijjatoel Moeslimien (perjalanan kaum Muslimin) tahun 1934. Tafsir ini diterbitkan saat Sanoesi
selesai menjalani masa tahanan dari Batavia Centrum lalu pindah ke Sukabumi sebagai tahanan kota
tahun 1934-1939. Bahkan tafsir ini kemudian memicu polemik di kalangan ulama Priangan, karena
dianggap tidak layak digunakan untuk menuliskan Alquran. Selain huruf Arab, Sanoesi juga
menampilkan transliterasi tulisan Alquran dalam aksara latin(Darmawan, 2009, hal. 110). Meski
terjadi penolakan, Tamsjijjatoel Moeslimien terus diterbitkan bahkan hingga mencapai Singapura.
Pertanyaannya, Mengapa Sanoesi memilih menulis tafsir tidak hanya dengan huruf pegon, tetapi
juga aksara latin yang akhirnya memicu kontroversi? Apa faktor penyebab utama yang mendorong
Sanoesi menulis tafsirnya dengan kedua aksara tersebut? Apakah penggunaan aksara yang berbeda
berpengaruh pula terhadap substansi penafsiran Sanoesi terhadap ayat Alquran?
Artikel ini memfokuskan pada penggunaan huruf pegon dan aksara latin dalam penulisan tafsir
Alquran karya Sanoesi. Mengingat begitu banyaknya karya tafsir Sanoesi, maka tidak semua karya
tafsirnya dijadikan objek kajian(Basri, 2003; Matin, 2009, hal. 147–164). Hanya tiga karya tafsirnya
yang digunakan untuk kepentingan kajian ini, yaitu Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang
berhuruf pegon dan Tamsjijjatoel Moeslimien yang beraksara latin. Kajian ini menggunakan
pendekatan sejarah sosial untuk menganalisis ragam faktor sosial intelektual yang mempengaruhi
terjadinya peristiwa sejarah, yaitu dinamika penulisan karya tafsir Sanoesi dalam rentang waktu
1930-1934(MacRaild et al., 2004, hal. 18). Pilihan ketiga tafsir karya Sanoesi tersebut didasarkan pada

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 17 dari 27

dekatnya rentang waktu penerbitannya dibanding karya tafsir lainnya. Selain itu, digunakan pula
pendekatan hermeneutik untuk memahami posisi dunia pembaca dalam lingkaran triadik teks tafsir
yang tidak dapat dilepaskan dari dunia pengarang dan dunia teks itu sendiri(Seebohm, 2004, hal. 40).
Sepengetahuan penulis, meski sudah sangat banyak sarjana yang menulis tentang Sanoesi dan
karya-karyanya(Basri, 2003, hal. 225–241; Iskandar, 2001; Manshur, 1992, hal. 9–16), termasuk karya
tafsirnya(A.Rohmana, 2015, hal. 297–2332, 2017, hal. 25–58; Darmawan, 2009; Manshur, 1992; Umar,
n.d., hal. `153-180), tetapi yang memfokuskan pada posisi aksara yang digunakan Sanoesi dalam
karyanya tidak banyak mendapat perhatian. Kiranya hanya tulisan Gusmian yang pernah membahas
tentang penggunaan aksara dan bahasa dalam penulisan tafsir Alquran, meskipun dalam konteks
Indonesia dan tafsir bahasa Jawa(Gusmian, n.d., hal. 141–168, 2010, 2015, hal. 233–247), Karenanya,
kajian ini berusaha mengisi ruang kosong kajian para sarjana tersebut, sehingga dapat berkontribusi
dalam studi aksara penulisan tafsir di Indonesia.
Selain itu, pengungkapan alasan di balik penggunaan huruf pegon dan aksara latin dalam
penulisan tafsir Alquran penting dilakukan untuk menjernihkan posisi penggunaan huruf tersebut
dalam konteks kolonialisme Belanda. Beberapa sarjana mengklaim bahwa penggunaan huruf pegon
oleh kalangan pesantren sebagai bentuk perlawanan simbolis terhadap kolonial yang mewacanakan
aksara latin(Fikri, 2014, hal. 82; Gusmian, n.d., hal. 157–158; Mustaqim, 2017, hal. 360,372), Tetapi,
sebagaimana akan dijelaskan, penggunaan huruf pegon dan aksara latin sama sekali tidak ada
hubungannya dengan bentuk perlawanan itu. Buktinya, meski Sanoesi dikenal sangat anti kolonial,
tetapi Sanoesi menggunakan kedua jenis aksara tersebut dalam tulisan tafsirnya. Kajian ini kiranya
sangat penting untuk mendudukkan masalah tersebut yang dalam kasus Sanoesi sama sekali tidak
relevan untuk dijadikan dasar dalam perlawanan anti kolonial.

2. Huruf Pegon dan Aksara Latin


Karakteristik huruf pegon dan aksara latin yang digunakan dalam penulisan tafsir Alquran di
Jawa Barat. Penjelasan ini penting untuk menunjukkan perbedaan di antara kedua aksara tersebut. Di
Jawa Barat, huruf pegon merupakan tulisan Arab untuk bahasa Sunda, maka diperlukan kemampuan
bahasa Sunda sebagai perangkat dasar agar dapat membacanya. Hanya orang yang memiliki
kemampuan membaca huruf Arab dan menguasai bahasa Sunda saja yang dapat membaca teks
berhuruf pegon tersebut. Meskipun huruf pegon berasal dari huruf Arab, tetapi karena bahasa
dasarnya adalah bahasa Sunda, maka cara baca dan penulisannya pun memiliki sedikit perbedaan
dengan huruf Arab biasa.
Terdapat beberapa ciri yang membedakan huruf pegon dengan aksara lainnya, di antaranya: 1)
huruf ini ditulis dari kanan ke kiri, sebagaimana terdapat dalam teks beraksara Arab pada umumnya;
2) keseluruhan jumlah huruf pegon ada 33 huruf, berbeda dengan huruf Arab biasa yang berjumlah
30 huruf, tetapi huruf-huruf itu tidak semuanya digunakan dalam bahasa Sunda. Karenanya, huruf-
huruf seperti tz, kh, dz, z, sy, dl, tl, th, ‘ (‘ain), g (ghain), f dan q hanya digunakan untuk kata asing yang
bersumber dari bahasa Arab; 3) bunyi huruf vokal pada huruf pegon sama dengan huruf Arab
umumnya, yaitu mengikuti pola i’rab, yaitu bunyi a disebut jabar dinyatakan dengan 4]\714] berupa
garis miring pendek di atas huruf bersangkutan; bunyi i disebut jeer dan diberi tanda dengan kasrah
berupa garis miring pendek di bawah hurufnya; bunyi u disebut pees dan diberi tanda dengan
dhammah, yaitu ‫ ٯ‬kecil di atas huruf bersangkutan; bunyi é bernama panéléng diberi tanda dengan
fathah di atas huruf serta di belakang huruf itu, misalnya éh (‫ ;)ايه‬bunyi o bernama panolong dinyatakan
dengan fathah di atas hurufnya disertai ‫ و‬di belakang hurufnya, misalnya bol (‫ ;)بىل‬untuk e pepet
digunakan huruf hamzah tetapi bentuknya agak diubah, meskipun tidak jelek karena dalam tulisan
Arab pun hamzah dipakai ketika tidak ada vokal; sedangkan untuk eu paneuleung digunakan tanda ͂
di atas huruf bersangkutan(Coolsma, 1985, hal. 9–10).
Huruf pegon sepenuhnya mengadopsi huruf Arab (hijaiyyah) yang berjumlah 30 huruf, hanya
saja dalam huruf pegon terdapat beberapa penambahan, di antaranya seperti ca yang ditulis dengan

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 18 dari 27

huruf jim dengan titik tiga (‫)چ‬, nga ditulis dengan huruf ‘ain dengan titik tiga di atasnya ( ‫)ڠ‬, ga (untuk
membedakan dengan gha) ditulis dengan huruf kaf dengan titik satu di atas atau di bawah ( ‫)ڬ‬, nya
ditulis dengan huruf ya’ dengan titik tiga di atas (‫()ۑ‬Coolsma, 1985, hal. 10).
Tetapi, berbeda dengan huruf pegon yang memiliki sedikit perbedaan dengan huruf Arab biasa,
aksara latin yang digunakan dalam penulisan tafsir Alquran tidak memiliki perbedaan dengan
penggunaan aksara latin biasa. Ia berjumlah 26 huruf. Perbedaan akan muncul ketika ejaan lama
(ejaan van Ophuijsen) masih digunakan, yaitu beberapa penulisan huruf seperti dj, j, oe, sj, tj, ch dan
tanda angka dua di atas (2) untuk kata ulang yang berlaku sejak 1901. Ejaan ini kemudian digantikan
oleh ejaan republik atau ejaan Soewandi sejak 1947 sehingga penulisannya menjadi j, y, u, sy, c,
kh(James, 2003, hal. 91). Begitu pula penulisan aksara latin digunakan untuk menuliskan bahasa
Sunda dilakukan beberapa tambahan, seperti adanya huruf vokal é dan eu. Terjadi pula penyesuaian
penulisan sesuai bunyi suara dalam pengucapan terhadap huruf konsonan tertentu yang jarang
digunakan dalam urutan abjad bahasa Sunda, seperti ‚f, q, v, x, z, kh, sy‛(Tamsyah, 2001, hal. 19).
Beberapa huruf konsonan tersebut biasanya diubah penulisannya menjadi huruf ‚p, k, p, ks, j, h, s.‛

3. Sekilas tentang K.H. Ahmad Sanoesi dan Karya-karyanya


Sanoesi lahir di Sukabumi pada 18 September 1888. Ia dikenal sebagai ajengan, ulama pejuang
dan perintis kemerdekaan dengan ratusan karya keagamaan yang kebanyakan berbahasa Sunda.
Latar belakang keilmuan pesantren didapat dari ayahnya, Haji Abdurrahim, dan sejumlah pesantren
di Priangan. Sebagai santri kelana, ia terhubung dengan jaringan pesantren Priangan. Sanoesi
berguru pada para kiai sesuai dengan keilmuan yang hendak diperdalamnya. Ia pernah belajar
setidaknya pada sembilan pesantren di Sukabumi, Cianjur, Garut dan Tasikmalaya. Selanjutnya,
keterikatan Sanoesi dengan jaringan pesantren Sunda tersebut membuat dirinya juga terhubung
dengan jaringan keilmuan Islam Nusantara, terutama setelah kepergiannya ke Mekah selama sekitar
lima tahun (1909-1914). Di sini ia kemudian menjadi anggota Sarekat Islam (SI). Sepulangnya dari
Mekah, ia kemudian dituduh pihak kolonial terlibat kasus SI-Afdeeling B, meski Sanoesi sendiri
sudah lama mengundurkan diri dari SI. Tidak itu saja, pihak penjajah kemudian merasa semakin
terganggu saat Sanoesi membuat kegaduhan terkait gugatannya atas kebijakan keagamaan hingga
membuatnya dipenjara selama beberapa tahun lalu diasingkan ke Batavia Centrum tahun 1928. Di
pengasingan inilah Sanoesi kemudian banyak menerbitkan karya-karyanya yang tersebar ke seluruh
wilayah Priangan(Iskandar, 2001, hal. 308–310).
Sepulangnya dari pengasingan tahun 1932, Sanoesi lalu membangun pesantren Cantayan,
Genteng, Syamsul Ulum dan terus menerbitkan sejumlah karya. Sanoesi lalu mendirikan organisasi
Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) lalu berubah menjadi PUI. Ia kemudian terlibat di PPKI dan BPUPKI
tahun 1945 dan meninggal lima tahun kemudian di Sukabumi(Falah, 2009, hal. 176). Dari ratusan
karya yang pernah dipublikasikannya, terdapat belasan karya tafsir Alquran yang ditulis dengan dua
jenis aksara berbeda, yaitu huruf pegon dan aksara latin, di antaranya Pengadjaran dengan Bahasa
Soenda atau Malja’ al-Ṭālibīn fi Tafsir Kalam Rabb al-‘Alamin, Tamsjijjatoel Moeslimien, Kashf al-Auham wa
al-Zunun fi Bayan Qaulih Ta’ala la yamassuh illa al-Mutahharun, Raudatul ‘Irfan fi Ma’rifatil Qur’an,
Hidayat al-Qulub fi Fadl Surat Tabarak al-Mulk min al-Qur’an, Tafrih Qulub al-Mu’minin fi Tafsir Kalimat
Surat Yasin, Kanz al-Rahmat wa al-Lutf fi Tafsir Surat al-Kahf, Tanbih al-Hairan fi Tafsir Surat al-Dukhan,
Kashf al-Sa’adah fi Tafsir Surat Waqi’ah dan Silah al-‘Irfan dan lain-lain(A.Rohmana, 2014, hal. 7).
Di antara sejumlah karya tafsirnya tersebut, tiga karya akan dikaji dalam kajian ini, yakni Rauḍat
al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang menggunakan huruf pegon berbahasa Sunda dan Tamsjijjatoel
Moeslimien yang menggunakan bahasa Indonesia beraksara latin. Tafsir Rauḍat al-‘Irfān ditulis dengan
menggunakan huruf pégon dengan sistem penulisan antar baris secara miring dan menggantung atau
disebut dengan logat gantung. Tafsirnya secara singkat di letakkan di bagian pinggir. Terdiri dari dua
jilid (Juz 1 s/d 15 dan Juz 16 s/d 30) (Sanoesi, n.d.-c). Tafsir ini diketahui disambut baik oleh para
ulama pesantrén dan masyarakat luas di daerah Priangan tanpa ada protes dan penentangan sedikit

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 19 dari 27

pun. Tafsir ini bahkan telah mengalami puluhan kali cetak ulang hingga mencapai lebih dari 50.000
eksemplar.(Manshur, 1992, hal. 120) Sampai sekitar 1990-an, Rauḍat al-‘Irfān masih menjadi salah satu
kitab yang dipelajari di berbagai pesantren di Priangan(Bruinessen, 1990, hal. 237–238).
Sedangkan tafsir Malja’ al-Ṭālibīn ditulis dengan huruf pegon berbahasa Sunda. Ia disusun
sampai juz sembilan dalam 28 jilid. Tafsir ini diterbitkan saat Sanoesi berada dalam pembuangan di
Batavia Centrum. Edisi pertama dicetak pada 28 Januari 1931. Pemasarannya umumnya di sekitar
Priangan, Batavia, Banten hingga Purwakarta. Dari 28 jilid yang sempat terbit, 20 jilid diterbitkan di
Batavia, sementara sisanya di Sukabumi. Setiap jilid rata-rata membahas tidak lebih dari setengah juz
Alquran dengan kisaran ketebalan rata-rata 50 halaman. Di setiap sampul jilidnya tercantum
pengumuman karangan Sanoesi lainnya, kadang berisi kritik pada kaum modernis, permintaan doa
bagi konsumen yang wafat dan beberapa perbaikan(Sanoesi, n.d.-e).
Adapun tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien, sebagaimana tafsir Malja’ al-Ṭālibīn, diterbitkan dalam
bentuk buletin atau majalah bulanan. Tafsir ini diterbitkan perdana pada 1 Oktober 1934 yaitu dua
bulan setelah statusnya sebagai tahanan dipindahkan dari Batavia ke Sukabumi. Tafsir ini diterbitkan
hingga edisi ke-53 atau hingga juz ke-8 Alquran. Tafsir ini didistribusikan secara luas hingga Batavia,
Bandung, Belitung bahkan Singapura. Pada jilidnya dicantumkan pula harga tafsir itu yakni F.
0.40(Umar, n.d., hal. 156).

4. Huruf Pegon dalam Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn


Sebagaimana sudah dijelaskan huruf pegon memiliki beberapa perbedaan dengan huruf Arab
biasa. Terdapat huruf Arab yang tidak digunakan seperti tz, kh, dz, z, sy, dl, tl, th, ‘ (‘ain), g (ghain), f
dan q. Ada pula tambahan harakat untuk bunyi huruf é, eu dan o, serta terdapat tambahan huruf
untuk menuliskan ca (‫)چ‬, nga (‫)ڠ‬, ga (‫ )ڬ‬dan nya (‫)ۑ‬.
Tafsir berbahasa Sunda Malja’ al-Ṭālibīn dan Rauḍat al-‘Irfān karya Ahmad Sanoesi yang ditulis
dalam huruf pegon juga menggunakan aturan huruf yang sama sebagaimana umumnya huruf
pegon. Berikut akan ditunjukkan contoh penulisan huruf pegon dalam Rauḍat al-‘Irfān ketika
menafsirkan Q.S. Yu>nus[10]: 99 beserta transliterasinya dalam aksara latin yang dibuat oleh
penulis(Sanoesi, n.d.-c, hal. 401).
Pada tafsir Malja’ al-Ṭālibīn, seperti ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah[2]:
‫(قَالُوا) مڠك اونجوكن بني اسرائيل (ادع) موڬا ڠدعا ڬوستي (لنا) بواة عبدي سديا (ربك) كفڠيران ڬوستي‬
‫(يبين) سفيا مفرن كتراڠن فڠيران (لنا) كا عبدي سديا (ما لونها) انو كومها روفنا ايت سفي (قال) مڠك نمبالن‬
‫نا ايت سفي (بقرة) ايت كود سفي (صفراء) انو كونيڠ‬٢‫نا اهلل (يقول) نمبالن اهلل (انها) سئيا‬٢‫نبي موسى (انه) سئيا‬
‫(فاقع) انو كچدا كونيڠ نا انو ڠاڬبور چرا امس (لونها) روفنا ايت سفي (تسر) انو متك بوڠه متك رسف ايت‬
.‫الوسنا سرة كچدا برسيه روفنا‬ ‫سفي (الناظرين) كا سكابيه انو نڠالي تنا لنترن كاچدا‬
(‫ )قَبلُىا‬mangka unjukeun Bani Israil ( ُ ‫ )ا ْدا‬muga ngadu’a Gusti (‫ )لٌََب‬buat abdi sadaya ( َ ‫ ) َ بَّب‬ka Pangeran
Gusti (‫ )يُ َ ْدِّيي‬supaya maparin katerangan Pangeran (‫ )لٌََب‬ka abdi sadaya (‫ ) َهب لَىْد ًُهَب‬anu kumaha rupana eta
sapi (‫ )قَب َل‬mangka nembalan Nabi Musa (ُ‫ ) ًَِّبه‬saenya-enyana Allah (‫ )يَ ُى ُل‬nembalan Allah (‫ ) ًَِّبهَب‬saenya-
enyana eta sapi (‫ )بَ َ َ ٌة‬eta kudu sapi (‫ ) َ ْد َ ا ُا‬anu koneng ( ‫ ) َبقِ ٌة‬anu kacida koneng na anu ngagebur cara
emas (‫ )لَىْد ًُهَب‬rupana eta sapi ( ‫ )جَ ُ ُّر‬anu matak bungah matak resep eta sapi ( َ‫ا ِيي‬ِ ‫ )الٌَّبب‬ka sakabeh anu ningali
tina lantaran kacida alusna sarta kacida beresih rupana(Sanoesi, n.d.-f, hal. 59).
Terjemahan: (‫ )قَبلُىا‬maka Bani Israil berkata ( ُ ‫ )ا ْدا‬semoga engkau berdoa (‫ )لٌََب‬bagi kami ( َ ‫ ) َ بَّب‬pada
Tuhanmu (‫ )يُ َ ْدِّيي‬supaya memberikan keterangan Tuhan (‫ )لٌََب‬pada kami (‫ ) َهب لَىْد ًُهَب‬apa warna sapi itu
(‫ )قَب َل‬maka Nabi Musa menjawab (ُ‫ ) ًَِّبه‬sesungguhnya Allah (‫ )يَ ُى ُل‬berfirman Allah (‫) ًَِّبهَب‬
sesungguhnya sapi itu (‫ )بَ َ َ ٌة‬itu harus sapi (‫ ) َ ْد َ ا ُا‬yang berwarna kuning ( ‫ ) َبقِ ٌة‬yang sangat
kuning yang bercahaya seperti emas (‫ )لَىْد ًُهَب‬warnanya sapi itu ( ‫ )جَ ُ ُّر‬sehingga senang dan suka
pada sapi itu ( َ‫ا ِيي‬ ِ ‫ )الٌَّبب‬semua yang melihat karena sangat bagus dan bersih warnanya.

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 20 dari 27

Pada tafsir Malja’ al-Ṭālibīn tersebut, Sanoesi menggunakan huruf ca (‫)چ‬, nga (‫)ڠ‬, ga (‫ )ڬ‬dan nya
(‫)ۑ‬. Huruf ca (‫ )چ‬misalnya, tampak pada kata kacida dan cara; huruf nga (‫ )ڠ‬misalnya, tampak pada
kata mangka, ngadu’a, Pangeran, katerangan, koneng, ngagebur, bungah, ningali; huruf ga (‫ )ڬ‬tampak pada
kata gusti dan ngagebur; sedangkan huruf nya (‫ )ۑ‬tampak pada kata saenya-enyana.
Sedangkan dalam kutipan tafsir Rauḍat al-‘Irfān tersebut tampak menggunakan huruf nga (‫)ڠ‬
dan ga (‫)ڬ‬. Huruf nga (‫ )ڠ‬misalnya, tampak pada kata jeung, ngersakeun, mangka dan tangtu.
Sedangkan huruf ga (‫ )ڬ‬tampak pada kata tegesna. Seperti penafsiran berikut ini :

tabel 1 contoh penafsiran Surat Yu>nus ayat 99

‫جو عب‬ ‫كلهن‬ ‫هي ي األ ض‬


Anu aya di luhur bumi ‫ألهي‬ ‫شبا ب‬ ‫ولى‬

Ngersakeun Pangeran
Mangka tangtu iman
Tegesna sakabehna

‫ڠ سبكي ف‬
‫م ڠك تڠجى ايوبى جلن‬
‫تڬسٌب سك هي اً ي‬
‫تڬسٌب سك هي اً ي‬

‫اًى ايب ا لهى بىم‬

Jeung lamun
‫جڠ لوىى‬
sakabehna

maneh
‫سك ه ًب‬

jalma
insan

‫ڠي اى هبً ه‬
5. Aksara Latin dalam Tamsjijjatoel Moeslimien
Adapun aksara latin digunakan oleh Sanoesi dalam tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien juga sama
dengan jumlah aksara latin pada umumnya, yaitu berjumlah 26 huruf dari a sampai z. Aksara latin
yang digunakan dalam penulisan tafsir berbahasa Indonesia ini tidak memiliki perbedaan dengan
penggunaan aksara latin biasa. Hanya saja tafsir ini masih menggunakan ejaan lama atau ejaan van
Ophuijsen yang berlaku sejak 1901. Hal ini tampak pada beberapa penulisan huruf seperti dj, j, oe, sj,
tj, ch, dan tanda angka dua di atas (2) untuk kata ulang yang masih digunakan dalam tafsirnya.
Berikut salah satu contoh penulisan aksara latin yang digunakan Sanoesi dalam Tamsjijjatoel
Moeslimien ketika ia menafsirkan QS. Al-Baqarah[2]: 2.
Tabel 2 contoh penafsiran tafsir tamsjijatoel Moeslimien

‫ال يب‬ Tiada ada sjak dan ragoe2

‫ه‬ Didalem Qoerän itoe

Bahwa segala keadaan didalamnja itoe benar, dan dari pada Allah ta’ala, dan oleh karena Qoerän
ini didjadikan patokan dan oendang2, boeat sekalian manoesia hidoepnja didoenia, soepaja teroes
meneroes mendapat keselamatan, dan keoentoengan, dan kebahagiaan sampai kepada achirat,
maka didjadikan permoelaannja keterangan segala bahagian manoesia,... (Sanoesi, n.d.-d, hal. 28–
29)
Dalam kutipan Tamsjijjatoel Moeslimien di atas, Sanoesi menggunakan bahasa Indonesia dengan
aksara latin, tetapi ia masih menggunakan aksara latin dengan ejaan lama ejaan van Ophuijsen,
seperti tampak pada beberapa penulisan kata seperti sjak, ragoe2, Qoerān itoe, didalamnja, itoe,
didjadikan, oendang2, boeat, manoesia, hidoepnja, didoenia, soepaja, teroes meneroes, keoentoengan, achirat,
didjadikan, permoelaannja dan manoesia. Kata tersebut menggunakan ejaan seperti dj, j, oe, sj, tj, ch dan
tanda angka dua di atas (2) untuk kata ulang. Hal ini dapat dipahami, karena Sanoesi menerbitkan
karyanya Tamsjijjatoel Moeslimien sekitar tahun 1934. Sehingga ejaan van Ophuijsen masih berlaku
saat itu.

6. Huruf Pegon, Aksara Latin dan Segmentasi Pembaca

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 21 dari 27

Pemilihan aksara dalam sebuah literatur tafsir pada hakikatnya melibatkan pembaca. Mufasir
akan menyesuaikan karyanya dengan tingkat pemahaman pembaca yang akan ditujunya. Karena
bagaimanapun pembaca berkedudukan sebagai konsumen yang akan membeli produk karya tafsir
yang diinginkannya. Di sinilah letak segmentasi pembaca yang senantiasa disadari oleh mufasir saat
menulis karya.
Mufasir seperti Sanoesi karenanya menyadari bahwa terdapat pembaca yang berasal dari
lingkungan pesantren yang bisa dipastikan mampu menguasai bahasa Arab, aksara Arab dan bahasa
Sunda. Maka ia menulis tafsir Alquran yang ditulis dengan huruf pegon, karena kalangan santri dan
kiai di pesantren terbiasa menggunakan huruf tersebut. Huruf pegon menjadi pilihan utama Sanoesi
sejak awal karirnya sebagai pengarang buku-buku keislaman di tahun 1915. Sehingga karyanya
dengan huruf pegon umumnya menyebar di berbagai pesantren di Priangan hingga sekarang.
Secara historis, penulisan tafsir dengan huruf pegon berbahasa Sunda terkait dengan latar
pendidikan dan karirnya yang tidak jauh dari pesantren. Sebagaimana sudah dijelaskan, Sanoesi
belajar di banyak pesantren sejak kecil. Selain belajar dari ayahnya, Haji Abdurrahim, ia juga belajar
menjadi santri kelana di sejumlah pesantren di Priangan. Salah satu sumber menyebutkan bahwa
setidaknya-tidaknya ada sembilan pesantren yang pernah dimasuki Sanoesi, baik yang ada di
Sukabumi maupun yang ada di luar Sukabumi. Kesembilan pesantren itu adalah Pesantren
Selajambe (Cisaat), Pesantren Sukamantri (Cisaat), Pesantren Sukaraja (Sukaraja), Pesantren Cilaku
(Cianjur), Pesantren Ciajag (Cianjur), Pesantren Gudang (Tasikmalaya), Pesantren Gentur
(Warungkondang, Cianjur), dan Pesantren Keresek serta Pesantren Bunikasih yang kedua-duanya
berada di Garut
Karenanya, huruf pegon berbahasa Sunda sudah menjadi sarana Sanoesi dalam mempelajari
berbagai kitab-kitab pesantren. Hal ini kemudian berlanjut ketika Sanoesi mengajar di pesantren
milik ayahnya sekembalinya dari Mekah tahun 1915. Ia mengajar dengan menggunakan gaya bahasa
Sunda yang mudah dimengerti oleh para santrinya, sehingga mendapat panggilan ajengan Cantayan.
Begitu pun setelah Sanoesi menjalani hukuman tahanan kota di Batavia Centrum, ia kembali aktif di
pesantren Cantayan dan melakukan rutinitasnya sebagai seorangan ajengan. Ia lalu mendirikan
pesantren baru bernama pesantren Genteng tahun 1919 hingga ia juga dijuluki dengan ajengan
Genteng.
Di pesantren inilah ia kemudian menerbitkan beberapa karya tafsir berhuruf pegon seperti
Rauḍat al-‘Irfān. Tafsir ini ditulis sebagai bagian dari kegiatan kepesantrenan. Ia merupakan hasil
transmisi lisan saat pengajian yang disampaikannya tidak lama setelah Sanoesi kembali dari
pengasingannya di Batavia. Tafsir ini ditulis ke dalam teks tulisan oleh sekitar 30 santrinya. Hasilnya
kemudian dikumpulkan dan disalin ulang oleh penulis (ka>tib) yang dipercaya Sanoesi, yakni
Muhammad Busyra dan kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Yahya. Setelah mendapat
persetujuan Sanoesi, hasil salinan tulis tangan ka>tib itu kemudian diperbanyak dengan cetak batu
(litografi) di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi(Manshur, 1992, hal. 117–118). Dengan demikian,
penggunaan huruf pegon berbahasa Sunda seperti tampak pada tafsir Rauḍat al-‘Irfān tidak bisa
dilepaskan dari aktifitas Sanoesi yang berasal dari lingkungan pesantren dan kemudian mengajar di
pesantren. Ia menyadari bahwa karya tafsir yang ditulisnya memang diperuntukkan bagi kalangan
pesantren Sunda di Priangan, bukan untuk kalangan umum yang lebih luas.
Hal ini berbeda dengan tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien yang ditulis dalam bahasa Indonesia
dengan aksara latin. Karya ini ditulis setelah Sanoesi menjalani masa pengasingan di Batavia
Centrum. Pergaulannya yang luas semasa di organisasi SI di Mekah lalu berlanjut di Sukabumi,
hingga mendirikan organisasi Al Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang kemudian berubah menjadi PUI
menjadikannya sosok yang banyak bergaul dengan berbagai kalangan yang luas. Sanoesi tidak lagi
menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya di organisasi tersebut, tetapi menggunakan bahasa
Indonesia. Karenanya, ketika menulis tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien dalam bahasa Indonesia, aksara
latin tentu saja menjadi pilihan utama, karena diperuntukkan bukan hanya untuk pembaca orang

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 22 dari 27

Sunda tetapi untuk semua orang Indonesia, sehingga penyebaran tafsirnya mencapai Belitung dan
Singapura.
Dengan demikian, pilihan Sanoesi untuk menggunakan dua aksara yang berbeda dalam
penulisan tafsir, kiranya karena dihadapkan pada segmentasi pembaca yang berbeda. Kondisi sosial-
kultural Sanoesi berada pada dua sisi yang berbeda, yakni di satu sisi ia dikenal sebagai ulama
pesantren Sunda yang hidup di tengah-tengah kaum santri, tetapi di sisi lain ia juga menjadi aktifis SI
lalu mendirikan sekaligus menjadi pimpinan AII yang memiliki pergaulan yang luas. Ia tidak hanya
bergaul dengan kalangan pesantren, tetapi juga berbaur dengan berbagai kalangan seperti kaum
menak, abangan, berpendidikan, termasuk juga para aktifis SI, PNI, Pasundan dan lainnya.
Pergaulan Sanoesi dengan berbagai kalangan masyarakat dari latar belakang berbeda-beda
inilah yang menumbuhkan kesadaran untuk memberikan pengajaran tentang keislaman melalui
literatur tafsir Alquran yang ditujukan pada khalayak yang lebih luas. Maka pilihan yang paling
realistis adalah menggunakan bahasa Indonesia beraksara latin melalui tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien
tahun 1934. Hal ini kiranya tidak lepas dari situasi pasca Sumpah Pemuda 1928 di tengah
peningkatan semangat nasionalisme yang semakin tumbuh, salah satunya diikat oleh bahasa yang
satu, bahasa Indonesia. Seain itu, penggunaan transliterasi huruf Arab ke dalam aksara latin pada
Tamsjijjatoel Moeslimien membuat pembaca yang belum dapat membaca Alquran dengan huruf Arab
mudah membacanya. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam aksara latin mempermudah
pembaca awam untuk mempelajari ajaran Islam melalui karya tafsir. Hal ini sangat berbeda dengan
Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ At Tha>libi>n yang ditulis dalam bahasa Sunda huruf pegon, kiranya hanya
ditujukan untuk segmen pembaca yang terbatas, yaitu para santri dan kiai yang pasti mampu
membaca huruf Arab dan hanya di lingkungan Priangan saja. Dalam salah satu pengantar awalnya
yang berjudul ‚Tanbiehat (segala peringatan)‛ pada Tamsjijjatoel Moeslimien, Sanoesi menyatakan:
(1) Dimoehoenkan oleh saja jang dho’ief, kepada sekalian Toean2 jang moelja, jang membatja ini Tafsier,
djika melihat soeatoe kesalahan dari pada perkataan Melajoenja, atau dari pada soesoenannja, soedi kiranja
membetoelkan dengan jang showab, dan memberi ma’af, karena saja boekan orang Malajoe dan boekan
seorang jang mengalami sekolahan(Sanoesi, n.d.-d).
Kutipan tersebut tampak bahwa Sanoesi menunjukkan karyanya sejak awal ditujukan pada
orang Melayu yang mengenyam pendidikan. Karenanya ia merasa perlu meminta maaf jika bahasa
Melayu atau Indonesianya banyak kesalahan, karena ia sendiri bukan orang Melayu dan tidak
pernah belajar di sekolah Belanda, melainkan hanya di pesantren.
Selain itu, untuk membuktikan perbedaan segmentasi konsumen pembaca tersebut, salah
satunya dapat dilihat dari perbedaan penyebaran distribusi ketiga tafsir tersebut. Sebagaimana
tampak dari pengumuman berita kematian atau tagihan tunggakan daftar para pelanggan yang di
bagian akhir tafsirnya, bisa diketahui bahwa tafsir Malja’ At Tha>libi>n misalnya, karena ditulis dengan
huruf pegon berbahasa Sunda, maka didistribusikan di beberapa daerah yang terbatas di Priangan, di
antaranya Batavia atau Betawi, Bandung, Purwakarta, Bogor, Tasikmalaya, Ciamis, Rangkasbitung
Banten. Kemudian daerah Sukabumi, seperti Cisaat, Malang, Rembang, Rawa Bantul, Pasar Tanjung,
Tipar, Jantawana, Pasanggrahan Garut, Kubang Buleud, Nyalindung, Cibolong, Cimenteng, Cibolang
dan Cikukulu(Sanoesi, n.d.-b, hal. 192, n.d.-a, hal. 118).
Hal ini tentu saja sangat berbeda dengan Tamsjijjatoel Moeslimien yang ditulis dengan bahasa
Indonesia beraksara latin, maka jangkauan pemasarannya lebih luas. Meski tidak diketahui secara
pasti penyebaran Tamsjijjatoel Moeslimien, tetapi dilihat dari bahasa dan aksara yang digunakan karya
ini ditujukan untuk menjangkau pembaca yang banyak dan luas. Penyebaran tafsir ini kemungkinan
menjangkau berbagai wilayah di hampir seantero Nusantara, seperti Jawa, Sumatera, Aceh dan
bahkan Singapura(Umar, n.d., hal. 156). Karenanya, dibandingkan Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ At
Tha>libi>n, tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien lebih mudah diakses untuk kalangan luas.
Pilihan aksara yang berbeda tersebut rupanya tidak hanya terbatas pada persoalan aksara dan
bahasa saja, tetapi selanjutnya berpengaruh pula pada format dan substansi penafsiran ayat Alquran

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 23 dari 27

yang disesuaikan dengan khalayak segmen pembaca yang ditujunya seperti akan dijelaskan di
bagian selanjutnya.

7. Aksara dan Substansi Penafsiran Alquran


Sebagaimana sudah dijelaskan, Sanoesi menggunakan dua jenis aksara dalam menerbitkan tafsir
Alquran, yaitu huruf pegon dan aksara latin. Dari belasan karya tafsirnya, umumnya diterbitkan
dalam huruf pegon dengan bahasa Sunda. Hal ini bisa terlihat dalam Malja’ al-Ṭālibīn dan Rauḍat al-
‘Irfān yang dijadikan objek kajian ini. Sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien diterbitkan dalam bahasa
Indonesia beraksara latin.
Perbedaan penggunaan aksara dalam terbitan tafsir karangan Sanoesi tersebut tentu saja
berdampak pada format dan penyajian tafsir yang berbeda pula. Malja’ al-Ṭālibīn dan Rauḍat al-‘Irfān
yang berhuruf pegon dengan bahasa Sunda yang diperuntukkan bagi pembaca dari kalangan santri
pesantren, format penyajian dan substansi tafsirnya sesuai dengan tradisi kitab kuning di pesantren.
Hal ini berbeda dengan Tamsjijjatoel Moeslimien yang menggunakan aksara latin berbahasa Indonesia.
Format dan substansi tafsir dalam Tamsjijjatoel Moeslimien sangat jauh berbeda dengan tafsir behuruf
pegon, kiranya diperuntukkan bagi kalangan pembaca yang lebih luas.
Berikut akan disajikan contoh format dan substansi penafsiran Sanoesi antara yang berhuruf
pegon dalam Malja’ al-Ṭālibīn dan Rauḍat al-‘Irfān dengan tafsir yang beraksara latin, Tamsjijjatoel
Moeslimien.
Dalam Tamsjijjatoel Moeslimien, Sanoesi tampak menyadari luasnya jangkauan pembaca tafsir
berbahasa Indonesia beraksara latin tersebut. Ia misalnya, ketika menafsirkan kalimat wayuqimun al-
shalat (dan mereka mendirikan salat) dalam QS. Al-Baqarah[2]: 3, menjelaskan secara panjang lebar
tentang bab salat termasuk perkara rahasia salat berjamaah dengan menyebut-nyebut pentingnya
persatuan umat Islam dan persamaan antara orang marhaen dan ningrat, orang asing dan pribumi.
Sebuah penjelasan yang jelas ditujukan untuk para pembaca yang terlibat aktif dalam aktifitas
gerakan nasional.
Rahsiah2 Sembahjang berdjamaah
1. Mempersatoekan sekalian kaoem Islam, sekira2 sekalian mereka itoe berbaris dengan satoe barisan,
dibelakang satoe Imam, soepaja masing2 kaoem Islam mengetahwi akan kewadjiban bersatoe didalam
segala2nja tentang doenjanja dan agamanja.
2. Soepaja menoendjoekan atas persamaan diantara sekalian manoesia sekira2 sekalianja berbaris didalam
satoe barisan tiada dibeda2kan orang2 jang kaja dari pada orang2 jang miskin, dan orang2 jang ningrat,
dari pada orang2 jang marhaen, dan orang2 asing dari pada orang2 priboemi. Oleh karena itoe, maka
sangat digemerkan sembahjang berdjama’ah itoe(Sanoesi, n.d.-d, hal. 17–18).
Penjelasan ayat tersebut jelas sangat berbeda dengan tafsir Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn
yang lebih menekankan pada penafsiran yang umumnya dikenal kalangan santri bahkan dengan
disertai penjelasan bab qira’at, sebuah keahlian diri Sanoesi yang pernah belajar qira’at di pesantren
Keresek Garut. Dalam Malja’ al-Ṭālibīn misalnya, Sanoesi menafsirkan kalimat wayuqimun al-salat
dengan penjelasan:
‫ سرة كلون سمفرنا شرط ركن ادتنا (الصالة) كان صالة انو دفرضوكن‬٢‫(ويقيمون) جڠ سوك ڠالكونن ايت جلم‬
٢‫ جلم انو تار دايك ڠالكونن صالة ايت دتمفك كو اوندڠ‬٢‫ جدي سها‬,‫ۑأية انو لما وقتو دنا سفوي سفتڠ‬
‫اسالم يايت كو قران انو متك ايت دجين باب كادوا دنا عالمة نا د اكو كو قران كاهج كو سبب ايت صالة دتتفكن‬
‫ ايت صالة‬,‫ جلم انو ڠاكو اسالم تفي ترا صالة ايت اسالمنا مووال نڠتوڠ‬٢‫ سها‬,‫دنا حديث جدي تهڠنا اڬام‬
‫يدانا رجڠ كافر‬
‫ اسالم ترا صالة ايت هنت ايا ب‬٢‫جدي چري انو مسهكن انترا اسالم جڠ كفور جدي جلم ڠاكو‬
(Sanoesi, n.d.-b, hal. 17–18)

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 24 dari 27

)‫ (وي وىى‬jeung sok ngalakonan eta jalma2 sarta kalawan sampurna sarat rukun adatna ) ‫ (الصال‬kana salat
anu dipardukeun nyaeta anu lima waktu dina sapoe sapeuting, jadi saha2 jalma anu tara daek ngalakonan
salat eta ditampik ku undang2 Islam nyaeta ku Qur’an anu matak eta dijieun bab kadua dina alamatna
diaku ku Qur’an, kahiji ku sabab eta salat ditetepkeun dina hadis jadi tengahna agama, saha2 jalma anu
ngaku Islam tapi tara salat eta Islamna moal nangtung, eta salat jadi cara anu misahkeun antara Islam
jeung kupur jadi jalma ngaku2 Islam tara salat eta henteu aya bedana reujeung kapir.
Terjemahan: )‫ (وي وىى‬dan suka melaksanakan itu orang-orang serta dengan sempurna syarat dan
rukun adatnya ) ‫ (الصال‬pada salat yang difardukan, yaitu yang lima waktu dalam sehari semalam,
jadi siapa orang yang tidak mau melakukan salat, maka ditolak oleh undang-undang Islam yaitu oleh
Alquran, karenanya dibuat bab kedua dalam alamatnya yang diakui oleh Alquran, pertama dengan
sebab salat itu ditetapkan dalam hadis menjadi setengahnya agama, siapa orang yang mengaku Islam
tetapi tidak pernah salat maka Islamnya tidak tegak, salat itu menjadi cara yang memisahkan antara
Islam dan kufur, jadi orang yang mengaku-ngaku Islam tetapi tidak pernah salat tidak ada bedanya
dengan kafir.
Begitu pun ketika menafsirkan ayat tilka ummah qad khalat laha ma kasabat wa akum ma kasabtum wa
la tus’alun ‘amma kanu ya’malun (Itulah umat yang telah lalu. Baginya apa yang telah mereka usahakan
dan bagimu apa yang telah kamu usahakan. Dan kamu tidak akan diminta (pertanggungjawaban)
tentang apa yang dahulu mereka kerjakan) QS. Al-Baqarah[2]: 134, Sanoesi dalam Tamsjijjatoel
Moeslimien menyebut nama Indonesia terkait pentingnya menjauhkan diri dari perpecahan. Sebuah
penjelasan yang jelas tidak hanya terbatas ditujukan pada kalangan santri di pesantren, tetapi bagi
pembaca umum yang lebih luas jangkauannya di seluruh Indonesia.
Dan siksaan bertjerai berai, itoe telah njata, dan terasa sakitnja, dan getirnja, oleh sekalian
oemmat Islam Indonesia, dimasa sekarang, kerana djika diselidiki dengan sedjaoeh2nja, nistjajalah
diboektikan tiada ada 20 pCt, jang masih teritoeng pantes makanannja, dan pakajannja, dan tempat
tinggalnja, sedangkan tanah Indonesia itoe soeatoe tanah doenia jang paling soeboer dan jang paling
kaja(Sanoesi, n.d.-d, hal. 413).
Hal ini berbeda dengan Malja’ al-Ṭālibīn yang menjelaskan ayat dalam QS. Al-Baqarah[2]: 134 itu
dengan menjelaskan maknanya perkata saja layaknya tafsir al-Jalalain yang biasa digunakan dalam
kajian tafisr di pesantren, tanpa memberikan tafsiran yang terperinci sebagaimana Tamsjijjatoel
Moeslimien.
)‫(تلك) اري ايت نبي ابراهيم جڠ سكابيه فترا فتونا (امة) ايت امة (قد خلت) انو ڬس كلوة تهال ايت امة (لها‬
)‫تتف كا ايت امة (ما) ببالس سكابيه عملنا (كسبت) انو ڠاسب ايت امة (ولكم) جڠ تتف كا منيه كابيه (ما‬
‫ببالس سكابيه عمل (كسبتم) انو ڠسب مانيه كابيه (وال تسئلون) جڠ موال د فركس مانيه كابيه دنا فووي قيامة‬
.‫ انو سيجين (كانوا) انو ايا ايت سكابيه جلما (يعملون) فد مڬاوي ايت سكابيه جلما‬٢‫(عما) تنا سكابيه عمل‬
(Sanoesi, n.d.-f, hal. 111)
) ‫ (جل‬ari eta Nabi Ibrahin jeung sakabeh putra putuna )‫ (اهة‬eta umat )‫ (قد خلث‬anu geus kaliwat tiheula eta
umat )‫ (لهب‬tetep ka eta umat )‫ (هب‬babales sakabeh amalna )‫ (ك ث‬anu ngasab eta umat )‫ (ولكن‬jeung tetep ka
maneh kabeh )‫ (هب‬babales sakabeh amal )‫ (ك حن‬anu ngasab maneh kabeh )‫ (وال ج ئلىى‬jeung moal dipariksa
maneh kabeh dina poe kiamah )‫ (عوب‬tina sakabeh amal2 anu sejen )‫ (كبًىا‬anu eta sakabeh jalma )‫(يعولىى‬
pada migawe eta sakabeh jalma.
Terjemahan: ) ‫ (جل‬sedang itu Nabi Ibrahin dan seluruh anak cucunya )‫ (اهة‬itu umat )‫ (قد خلث‬yang
sudah berlalu lebih dahulu itu umat )‫ (لهب‬tetap pada itu umat )‫ (هب‬membalas seluruh amalnya
)‫(ك ث‬yang mengusahakan itu umat )‫ (ولكن‬dan tetap pada kamu semua )‫ (هب‬membalas seluruh
amal )‫ (ك حن‬yang mengusahakan kamu semua )‫ (وال ج ئلىى‬dan tidak akan ditanya kamu pada hari
kiamat )‫ (عوب‬dari semua amal-amal yang lain )‫ (كبًىا‬yang semua orang itu )‫ (يعولىى‬mengerjakan
itu semua orang.

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 25 dari 27

Dengan demikian, penafsiran dalam Tamsjijjatoel Moeslimien terlihat lebih luas dan berkaitan
dengan masalah kebangsaan, karena segmentasi dari pembaca tafsir ini adalah golongan masyarakat
secara umum di luar kalangan pesantren, seperti kaum menak, abangan dan yang berpendidikan di
sekolah Belanda. Hal ini berbeda dengan Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ At Tha>libi>n yang penafsirannya
cenderung pada makna ayat secara terbatas ditambah dengan beberapa penjelasan qira’at. Hal ini
sesuai dengan segmen pembaca yang ditujunya yang khusus bagi kalangan santri Sunda di Priangan.
Dapat dikatakan bahwa kedua tafsir berhuruf pegon berbahasa Sunda tersebut penafsirannya terlihat
lebih nyantri (sesuai selera santri) dibanding tafsir Tamsjijjatoel Moeslimien.
Karenanya, penjelasan di atas menunjukkan bahwa pilihan bahasa dan aksara yang digunakan
mufasir seperti Sanoesi ditujukan untuk segmentasi pembaca tertentu yang pada gilirannya juga
akan sangat berpengaruh terhadap substansi penafsirannya terhadap ayat Alquran. Inilah yang
menjadi argumen penting mengapa pilihan huruf pegon dalam kasus tafsir karya Sanoesi sama sekali
tidak terkait dengan upaya perlawanan simbolis terhadap kolonial, karena Sanoesi juga
menggunakan aksara latin yang sejak awal dibawa oleh bangsa kolonial itu. Pilihan huruf pegon dan
aksara latin kiranya lebih terkait dengan persoalan teknis penulisan yang disesuaikan dengan segmen
pembaca yang dituju oleh Sanoesi antara pembaca kalangan santri Sunda di Priangan dan segmen
pembaca non-santri yang lebih luas jangkauannya.

8. Simpulan
Literatur tafsir Alquran di Indonesia ditulis dengan bahasa dan aksara yang sangat beragam,
pemilihan aksara ini erat kaitannya dengan kondisi sosial kultural di mana tafsir itu diproduksi.
Kajian ini berhasil membuktikan bahwa penggunaan aksara tafsir salah satunya terkait dengan latar
perbedaan segmentasi pembaca sehingga produk tafsir dapat dipasarkan secara tepat sasaran. Karya
Ahmad Sanoesi Rauḍat al-‘Irfān dan Malja’ al-Ṭālibīn yang beraksara pegon dengan bahasa Sunda
ditulis untuk kepentingan santri dan kiai pesantren di Priangan sebagai basis karir keilmuannya
sehingga distribusi tafsirnya hanya di sekitar Priangan. Sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien yang
beraksara latin berbahasa Indonesia ditulis untuk masyarakat lebih luas seiring dengan pergaulannya
yang semakin luas terutama setelah aktif di organisasi SI, AII dan kemudian terlibat di PPKI,
sehingga pemasaran tafsirnya menjangkau wilayah di luar Priangan, bahkan mencapai Sumatra dan
Singapura. Pembedaan penggunaan dua jenis aksara tersebut juga berdampak pada substansi
penafsiran Sanoesi terhadap ayat Alquran. Malja’ At-Tha>libi>n dan Rauḍat al-‘Irfān yang beraksara
pegon lebih didominasi oleh penjelasan ayat melalui perangkat keilmuan Alquran yang umumnya
hanya dapat dipahami oleh kaum santri secara terbatas, sedangkan Tamsjijjatoel Moeslimien yang
beraksara latin didominasi penjelasan yang bercirikan kepentingan masyarakat umum agar dapat
dipahami oleh khalayak luas. Karenanya, kiranya kurang tepat pandangan sebagian sarjana bahwa
penggunaan huruf pegon oleh kalangan pesantren sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial
yang mewacanakan aksara latin. Tetapi, sebagaimana dalam kasus Sanoesi, penggunaan huruf pegon
sama sekali tidak ada hubungannya dengan bentuk perlawanan itu dibanding alasan keterbacaan
karya oleh segmen pembaca yang berbeda-beda. Buktinya, meski Sanoesi dikenal sangat anti
kolonial, tetapi Sanoesi menggunakan tidak hanya huruf pegon, tetapi juga aksara latin. Karenanya
sangat tidak masuk akal bila penggunaan suatu aksara dihubungkan dengan upaya kalangan
pesantren dalam meneguhkan simbol perlawanan kolonial

Referensi

A.H.Johns. (n.d.). ‚Penerjemahan‛ Bahasa Arab ke dalam Bahasa Melayu: Sebuah Renungan (H. Chambert-Loir, Ed.).
Jakarta.
A.H.Johns. (1984). Islam in the Malay World: An Exploratory Survei with Some Reference to Quranic Exegesis. In
Raphael Israeli and A.H. Johns, Islam in Asia. Jerussalem: Magnes Press.
A.H.Johns. (1988). Quranic Exegesis in the Malay-Indonesian World: In Search of Profile. In A. Rippin (Ed.),

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 26 dari 27

Approaches to the History of the Interpretation of the Qur`a>n.


A.Rohmana, J. (2013). Ideologisasi Tafsir Lokal Berbahasa Sunda: Kepentingan Islam-Modernis dalam Tafsir
Nurul-Bajan dan Ayat Suci Lenyepaneun. Journal of Qur’an and Hadith Studies, 2(1), 125–154.
A.Rohmana, J. (2014). Sejarah Tafsir Al-Qur’an di Tatar Sunda. Bandung: Mujahid Press-Diktis Kementerian
Agama RI.
A.Rohmana, J. (2015). Al-Qur’ān wa al-Isti‘mār: Radd al-Shaykh al-Ḥājj Ahmad Sanusi (1888-1950) ‘al{ al-Isti‘mār
min Khilāl Tafsīr Mal’ja’ al-Ṭālibīn. Studia Islamika, 22(2), 297–332.
A.Rohmana, J. (2017). Polemik Keagamaan dalam Tafsir Malja’ al-Talibin Karya KH. Ahmad Sanusi. Suhuf, 10(1).
A.Teeuw. (1961). A Critical Survey of Studies on Malay and Bahasa Indonesia. B.V: Springer-Science+Business Media.
Asif, M. (2017). Tafsir Ahkam Pertama dari Pesatren: Telaah Awal atas Tafsīr Ayāt al-Aḥkām min al-Qur`ān al-
Karīm karya Abil Fadhal as-Senory. Suhuf, 10(2).
Baidan, N. (2003). Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai.
Basri, H. H. (2003). KH. Ahmad Sanusi: Membangun Format Ideal Relasi Agama dan Politik. In Transformasi
Otoritas Keagamaan, Pengalaman Islam Indonesia (hal. 225–241). Jakarta: Gramedia.
Bilmauidhah. (2011). Puitisasi Terjemahan Quran: Studi Analisis Terjemahan Quran Bersajak Bahasa Aceh. Indo-
Islamika, 1(1), 41–62.
Bruinessen, M. van. (1990). Kitab kuning; Books in Arabic script used in the Pesantren milieu; Comments on a
new collection in the KITLV Library‛. In Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (No. 2/3). Leiden.
Coolsma, S. (1985). Tata Bahasa Sunda (H. W. dan Y. Rusyana, Trans.). Jakarta: Penerbit Jambatan.
Darmawan, D. (2009). Ortodoksi Tafsir: Respon Ulama terhadap Tafsir Tamsjijatoel Moeslimin Karya K.H. Ahmad
Sanoesi. Disertasi, Program Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Falah, M. (2009). Riwayat Perjuangan K.H. Ahmad Sanusi. Masyarakat Sejarawan Indonesia Jawa Barat
bekerjasama dengan Pemerintah Kota Sukabumi.
Federspiel, H. M. (1994). Popular Indonesian Literature of the Qur’an. Ithaca, New York: Cornel Modern Indonesia
Project.
Fikri, I. (2014). Aksara Pegon, Studi tentang Simbol Perlawanan Islam di Jawa pada Abad XVIII-XIX.
Gusmian, I. (n.d.). Tafsir Al-Qur’an Bahasa Jawa, Peneguhan Identitas, Ideologi dan Politik. Ṣuḥuf, 9(1), 141–168.
Gusmian, I. (2010). Bahasa dan Aksara Tafsir Al-Qur’an di Indonesia, dari Tradisi, Hierarki hingga Kepentingan
Pembaca. Thaqafah, 6(1).
Gusmian, I. (2013). Khazanah Tafsir Indonesia:Dari Hermeneutika hingga Ideologi (1st ed.). Yogyakarta: Lkis.
Gusmian, I. (2015). Bahasa dan Aksara dalam Penulisan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia Era Awal Abad 20 M.
Mutawatir, 5,(2), 233–247.
Gusmian, I. (2017). ‚K.H. Raden Muhammad Adnan (1889-1969 M): Ulama dan Pejuang di Bidang Pendidikan,
Politik, dan Agama dari Kauman Surakarta. Jurnal Lektur Keagamaan, 15(1), 207–232.
Harun, S. (1988). Hakikat Tafsir Tarjuman Al-Mustafid Karya Syekh Abdurrauf Singkel. IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Haziyah Husin;Et.al. (2012). The Trend of Malay Quranic Commentary Writing in Malaysia in the 20th Century.
Journal of Applied Sciences Research, 8(8).
Hussin, H., Majid, L. A., Mohd, N. S., Abdullah, W. N. W., & Mohamad, S. (2016). Pemikiran Tafsir Sheikh
Mohamed Idris al-Marbawi dalam Manuskrip Quran Bergantung Makna Melayu. Al-Turath Journal of Al-
Quran and Al-Sunnah, 1(1), 24–34. Retrieved from http:// spaj. ukm. my/jalturath/index. php/jalturath/
article/view/4
Iskandar, M. (2001). Para Pengemban Amanah, Pergulatan Pemikiran Kiai dan Ulama di Jawa Barat, 1900-1950.
Yogyakarta: Mata Bangsa.
James, S. (2003). The Indonesian Language, Its history and role in modern society. Sydney: UNSW Press,.
Kiptiah, S. M. (n.d.). Tradisi Penulisan Tafsir Alquran Bahasa Jawa Cacarakan: Studi Atas Kur’an Jawen
Muhammadiyah dan Tafsir Kur’an Jawen Pandam lan Pandoming Dumadi. Jurnal Lektur Keagamaan, 15(2),
420–445.
M.Feener, R. (2001). Southeast Asian Qur’anic Literature (General Editor), Encyclopaedia of the Qur’an (J. D. McAullife,
Ed.). Leiden-Boston-Koln: Brill.
MacRaild, Donald M., dan Taylor, A. (2004). Social Theory and Social History. New York: Palgrave MacMillan.
Manshur, F. M. (1992). Ajaran Tasawuf dalam Raudhatul-‘Irfan fi Ma’rifatil-Qur’an Karya Kyai Haji Ahmad Sanusi:
Analisis Semiotik dan Resepsi. Universitas Gadjah Mada.
Matin, U. A. (2009). K.H. Ahmad Sanusi (1888-1950): His Religio-Intellectual Discourse, and His Work Collection.
Lektur, 7(1), 147–164.

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi
Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 1 (Juni 2020): 15-27 27 dari 27

Mohd Nazri Ahmad, M. F. M. S. (201AD). Metodologi Muhammad Sa’id Umar Terhadap Periwayatan Hadith-
Hadith Asbab al-Nuzul Dalam Tafsir Nurul Ihsan. Jurnal Al-Turath, 3(1).
Mursalim. (2009). Tafsir Bahasa Bugis/Tafsir Al-Qur’an Al-karim Karya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi
Selatan. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Mustaqim, A. (2017). The Epistemology of Javanese Qur’anic Exegesis, A Study of Salih Darat’s Fayd al-Rahman.
Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 2, 55.
Riddell, HAL. G. (1989). Earliest Qur’anic Exegitical Activity in Malay-Speaking State‛. Archipel, 39.
Roger Tol,, Willem van der Molen, Uli Kozok, H. C. (2009). Aksara, Huruf, Lambang: Jenis-jenis Tulisan dalam
Sejarah (H. Chambert-Loir, Trans.). Jakarta.
Rosmini. (2009). Revitalisasi Tafsir Lokal: Telaah atas fungsi ganda tafsir Mabbicara Ugi Tafsir al-Munir karya
AGH. Daud Ismail al-Soppeniy. Jurnal Al-Qalam, 15(2), 199–214.
Saleh, M. (2016). K.H. Ahmad Sanusi, Pemikiran dan Perjuangannya dalam Pergolakan Nasional. Tangerang Selatan:
Jelajah Nusa.
Sanoesi, A. (n.d.-a). Malja at Thalibin. Tanah Tinggi no. 191 Batavia Karamat.
Sanoesi, A. (n.d.-b). Pangadjaran Bahasa Soenda (Malja’ al-Thalibin). Tanah Tinggi No. 191 Batavia Kramat: Kantor
Cetak sareng Toko Kitab Al-Ittihad.
Sanoesi, A. (n.d.-c). Rauḍat al-‘Irfän fi Ma’rifat al-Qur’ān (2nd ed.). Sukabumi: Pesantrén Gunung Puyuh.
Sanoesi, A. (n.d.-d). Tamsjijjatoel Moeslimin fie Tafsieri Kalami-Rabbil’alamien.
Sanoesi, A. (n.d.-e). Tapsir bahasa Soenda. No 8, Tanah Tinggi Senen No. 191 Batavia Kramat.
Sanoesi, A. (n.d.-f). Tapsir Basa Soenda (Malja’ al-Talibin).
Seebohm, T. M. (2004). Hermeneutics, Method and Methodology. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
Tamsyah, B. R. (2001). Galuring Basa Sunda,. Bandung: Pustaka Setia.
Umam, S. (2013). God’s Mercy is Not Limited to Arabic Speakers: Reading Intellectual Biography of Muhammad
Salih Darat and His Pegon Islamic Texts. Studia Islamika, 20(2).
Umar, H. H. (n.d.). Al-Turath al-‘Ilmi li al-Islam bi Indunisiyya: Dirasah fi Tafsir Malja’ al-Talibin wa Tamassiyah
al-Muslimin li al-Shaikh al-Hajj Ahmad Sanusi. Studia Islamika, 8(1), 153–180.
Yusuf, M. (2013). Relevansi Pemikiran Ulama Bugis dan Nilai Budaya Bugis: Kajian tentang ‘iddah dalam Tafsir
berbahasa Bugis karya MUI Sulsel. Analisis, XIII(1), 57–78.
Zuhdi, M. N. (2012). Tipologi Tafsir al-Qur’an Mazhab Indonesia. Program Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Zulkifli bin Mohd Yusoff, H. B. M. (2005). Biografi Haji Mohd Said Dan Sejarah Penulisan Tafsir Nur Al-Ehsan.
Al-Bayan: Journal of Al-Quran and Al-Hadith, 3, 65–82.

© 2020 by the authors. Submitted for possible open access publication under the terms
and conditions of the Attribution 4.0 International (CC BY 4.0) license
(https://creativecommons.org/licenses/by/4.0/).

Yani Yuliani / Aksara Tafsir Al-Qur’an Di Priangan:Huruf Pegon Dan Aksara Latin Dalam Karya K.H. Ahmad Sanoesi

You might also like