Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 2

Nama : Asriati Ina Dunga

Nim : 97918014
Fakultas : Sastra
Semester : V
Mata Kuliah : Translation II

Gambuh

One of the types of courtly dance-drama mentioned in the old records survives in Bali

today, preserved by a continuous performing tradition that goes back 400 years. This is

Gambuh, a bebali, or semi-secular, dance of the temple's second courtyard, which is performed

without masks. In Gambuh, aspects of the manners and ideals of the sophisticated courtiers of

the Majapahit era are preserved, as well as the musical repertoire, choreographic ideas, and

highly refined literature of the period. Archaic, formal, and stately, Gambuh is accompanied

by its peculiar form of music, dominated by wailing flutes (suling), and is presented by grave

dancer-actors who chant and intone lengthy speeches.

Gambuh is also of great importance in Balinese dance because of its influence on later

forms; it is the source and prototype for the more modern forms of dance-drama like Topeng,

Wayang Wong, Arja, Legong, and Balinese choreographers have relied heavily on Gambuh

for notions of structure, characterization, means of dramatization, compositional elements,

costume, musical repertoire, and other features. In adition, Gambuh is the point of contact and

communication between the dancer and the accompanying gamelan in every type of dance that

develop later.

The traditional locus for the Gambuh performance is the jaba tengah, or second

courtyard, of the temple. This space serves as the ante-room to the jeroan and, like it, is
enclosed by a wall about 2 meters high. It contains building and pavilions in which kitchen

equipment, ceremonial paraphernalia, musical instruments, and costume items are stored

between festivals. Tall ceremonial gateways (candi bentar) give access to the outer courtyard

and to the jeroan. As the middle space in the traditional Balinese temple, the jaba tengah, is, in

effect, a transitional zone between the sacred and secular space.

Translate Gambuh

Salah satu jenis drama tari keraton yang disebutkan dalam catatan-catatan lama bertahan di Bali saat
ini, dilestarikan oleh pertunjukan tradisi yang berlangsung sejak 400 tahun yang lalu. Inilah tarian
Gambuh,bebali, atau semi sekuler, tarian di pelataran kedua candi, yang dilakukan
tanpa topeng. Di Gambuh, aspek dari tata krama dan cita-cita para abdi dalem canggih pada zaman
Majapahit tetap terjaga, serta repertoar musik, ide-ide koreografi, dan sastra yang sangat halus pada
periode itu.
Kuno, formal, dan megah, Gambuh diiringi dengan bentuk musik yang khas, didominasi seruling ratapan
(suling), dan dibawakan oleh aktor penari makam yang melantunkan pidato panjang lebar.

Gambuh juga sangat penting dalam seni tari Bali karena pengaruhnya terhadap bentuk-bentuk
selanjutnya. Sumber dan prototipe bentuk-bentuk drama tari yang lebih modern seperti
Topeng,Wayang Wong, Arja, Legong, dan koreografer Bali sangat mengandalkan Gambuh
untuk pengertian struktur, penokohan, sarana dramatisasi, unsur komposisi,
kostum, repertoar musik, dan fitur lainnya. Selain itu, Gambuh juga menjadi titik temu dan komunikasi
antara penari dan pengiring gamelan dalam setiap jenis tarian yang berkembang kemudian.

Lokus tradisional untuk pertunjukan Gambuh adalah jaba tengah, atau pelataran kedua candi.
Ruang ini berfungsi sebagai ruang ante untuk jeroan dan seperti halnya, ditutup oleh dinding setinggi
sekitar 2 meter. Ini berisi bangunan dan paviliun tempat peralatan dapur, perlengkapan upacara, alat
musik, dan barang kostum disimpan di antara festival. Gerbang upacara (candi bentar) memberikan
akses ke halaman luar dan ke jeroan. Sebagai ruang tengah di pura tradisional Bali, Jaba tengah pada
dasarnya merupakan zona transisi antara ruang sakral dan sekuler.

Dalam menerjemahkan Gambuh saya menggunakan metode literal translation.


Alasanya karena saya lebih mudah mengerti untuk menerjemahkan dengan menyesuaikan bahasa
sasaran agar dapat dipahami dalam bahasa indonesia.

You might also like